kajian: delik penghinaan presiden bangkit dari...

14
Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2018

Upload: others

Post on 10-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

Kajian:

Delik Penghinaan Presiden “Bangkit dari

Kubur?”

Dewan Mahasiswa Justicia

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

2018

Page 2: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

A. Pendahuluan

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang

sedang dalam proses perumusan pada saat kajian ringkas ini ditulis menuai banyak kontroversi.

Dimulai dari pasal penghinaan presiden yang kembali dirumuskan sampai delik tentang

korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

terpisah sebagaimana yang terdapat pada hukum positif Indonesia sekarang ini (14/06/2018).

Tulisan ini akan secara spesifik membahas mengenai pasal penghinaan presiden. Pada tahun

2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mencabut pasal penghinaan presiden yang terdapat

dalam KUHP yang berlaku sekarang ini. Lebih tepatnya dengan putusan No. 013-022/PUU-

IV/2006 di mana dalam putusan tersebut seluruh permohonan pemohon dikabulkan

sepenuhnya sehinggal pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP hasil konkordasi dari wetboek von

strafrecht (WVS) dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Lebih lagi oleh berbagai pihak

pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet sehingga akan berimplikasi pada terciptanya

ketidakpastian hukum, hal ini tidak terlepas dari kekosongan pengaturan mengenai tindakan

seperti apa yang dapat dikategorikan atau memenuhi unsur menghina dalam pasal tersebut dan

juga mengaca pada kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi akibat kekosongan pengaturan

tersebut contohnya pada kasus yang menimpa Eggi Sudjana pada tahun 2006. Tulisan ini tidak

dimaksudkan untuk menunjukan sikap mendukung atau tidak mendukung dirumuskannya

pasal tersebut dalam RUU KUHP melainkan lebih mengarah pada mengkaji pasal tersebut dari

sisi historis, rumusan delik, dan keabsahan perumusah pasal secara formil.

B. Historis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa permasalahan pasal penghinaan presiden bukan barang

baru dalam sistem hukum Indonesia. Dalam KUHP yang sekarang berlaku pun (KUHP hasil

konkordasi dari WVS Belanda) terdapat rumusan pasal penghinaan presiden lebih tepatnya pada

pasal 134, 136bis, dan 137. Pasal-pasal ini pun menuai kontroversi dengan alasan yang kurang

lebih sama dengan kontroversi yang terjadi sekarang. Tetapi seperti yang telah dinyatakan

secara eksplisit dalam pendahuluan. Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan yang

menyatakan pasal-pasal bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena

dinilai tidak konstitusional. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar di benak banyak orang

ketika pasal penghinaan presiden kembali dirumuskan kedalam RUUKUHP. Melihat dari

sejarahnya, pasal tersebut merupakan hasil konkordasi dari pasal penghinaan penguasa belanda

Page 3: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

yang terdapat dalam WVS. KUHP sekarang berasal dari konkordasi wvs dengan beberapa

perubahan yang dinyatakan melalui beberapa Undang-undang, salah satunya pasal 134, 136bis,

dan 137 di mana kata “presiden dan wakil presiden” digunakan untuk menggantikan penguasa

belanda yang dalam hal ini berarti Ratu atau Gubernur Jenderal dan penguasa belanda di

daerah-daerah Hindia Belanda.1 Memang pasal 111 wvs belanda merumuskan hal yang serupa

dengan pasal 134 KUHP. Tentu hal tersebut sangatlah wajar mengingat Belanda merupakan

simbol sebuah negara di mana negara akan selalu melekat pada raja atau ratunya. Sehingga

harus selalu dihormati dan dilindungi dengan cara apapun. Melihat dari argumen tersebut, tidak

dapat dipungkiri bahwa merumuskan pasal khusus mengenai penghinaan pemimpin belanda

tersebut merupakan salah satu cara yang sangat wajar untuk menjaga kehormatan dan

melindungi diri serta martabat pemimpin tersebut karena dengan argumen yang sama dapat

disimpulkan bahwa dalam negara kerajaan kehormatan pemimpin sama dengan kehormatan

negara tersebut. Tetapi dalam hal ini pun terdapat pembatasan. Mengutip pendapat Prof.

Mardjono Reksodiputro dalam kesaksian ahlinya yang mengutip pendapat Noyon-Langemeijer

berpendapat “Apa yang, untuk orang lain tidak dapat dianggap sebagai penghinaan, juga bukan

penghinaan untuk Raja”.2

C. Rumusan Delik

Penting untuk disadari terlebih dahulu bahwa RUU yang menjadi dasar untuk pembuatan

kajian ini adalah RUU KUHP per 9 april. Sehingga besar kemungkinan saat kajian ini

dikeluarkan rumusan pasal yang menjadi acuan sudah berubah total atau rumusan yang tadinya

hanya menjadi alternatif menjadi rumusan pasal yang sebenarnya atau bahkan bisa saja

rumusan delik penghinaan presiden tidak jadi dimasukan. Dikarenakan suatu rancangan

undang-undang bersifat sangat cair. Cair dalam artian, besar kemungkinan terjadi perubahan

dalam rumusan pasal yang bersangkutan. Hal tersebut akan sangat bergantung dengan

dinamika politik hukum yang sedang terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa bagaimapun suatu

Undang-Undang merupakan produk politik.

Berdasarkan RUU KUHP per 9 april 2018 pasal penghinaan presiden yaitu pasal 238 dan 239

dirumuskan sebagai berikut. Pasal 238 ayat (1) berbunyi:

1 Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006, hal.24 2 Ibid, hal.42

Page 4: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

“Setiap Orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.”3

dan ayat (2) pasal yang bersangkutan berbunyi:

“Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”4

dengan alternatif yang dikeluarkan per 2 april 2018 sebagai berikut. Untuk ayat (1)

“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan

martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”5

dan ayat (2)

“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan

aduan.”6

serta terdapat usulan untuk ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:

“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh kuasa

Presiden atau Wakil Presiden.”7

Melihat rumusan deliknya (tanpa memandang alternatif rumusan delik) maka jelas bahwa

sejatinya rumusan delik ini merupakan delik biasa atau gewone delict. Menurut Prof. Eddy

dalam bukunya prinsip-prinsip hukum pidana. Hal yang menjadi pembeda utama delik biasa

atau gewone delict dengan delik aduan atau klacht delict adalah bahwa dalam delik aduan

maka perlu adanya pengaduan untuk memproses perkara tersebut lebih lanjut.8 Delik tersebut

akan menjadi delik aduan jika secara eksplisit syarat tersebut dirumuskan dalam pasal

sebagaimana tertulis dalam pasal 25 ayat (2) RUU KUHP per 9 april yang menyatakan:

3 Pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 9 april 2018 4 Pasal 238 ayat (2) Ibid. 5 Alternatif pasal 238 ayat (1) Ibid. 6 Alternatif pasal 238 ayat (2) Ibid. 7 Usual pasal 238 ayat (3) Ibid. 8 Hiarej, Eddy. (2016). Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Hal. 145

Page 5: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

“Tindak Pidana aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditentukan secara

tegas dalam Undang-Undang.”9

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada usulan pasal 238 ayat (2) dan (3) yang telah dituliskan

di atas. Di mana mensyaratkan pelaku kejahatan hanya dapat dituntut jika terdapat pengaduan

dan pada ayat (3) pengaduan tersebut dapat dilaksanakan oleh kuasa presiden atau wakil

presiden. Hal ini berimplikasi pada diperbolehkannya orang lain atas nama presiden atau wakil

presiden untuk mengadukan kejahatan yang terjadi jika dan hanya jika mendapatkan kuasa oleh

pihak yang bersangkutan. Dapat disimpulkan pula dengan adanya eksistensi ayat tersebut

berarti pasal 28 RUU KUHP tidak berlaku. Sedangkan pasal 26 dan 27 RUU KUHP yang

memperbolehkan aduan dilakukan oleh orang lain selain orang yang bersangkutan jika

memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh pasal bersangkutan sedari awal tidak mungkin

berlaku. Hal ini dikarenakan tidaklah mungkin seorang presiden belum berusia 16 tahun

sebagaimana pengecualian orang yang mengadu seperti yang diatur dalam pasal 26 dan

tidaklah mungkin seorang presiden berada di bawah pengampuan sebagaimana pengecualian

orang yang dapat mengadu seperti yang diatur dalam pasal 27.

Implikasi dari hal tersebut berarti jika rumusan delik tersebut tidak berubah. Maka tidak

diperlukan adanya pengaduan terlebih dahulu dari presiden, wakil presiden, atau pihak lain

yang diperbolehkan Undang-Undang untuk menindaklanjuti dugaan tindak pidana penghinaan

presiden atau wakil presiden. Sedangkan jika saat RUU KUHP ini disahkan dan diundangkan

perumus RUU KUHP memutuskan untuk menggunakan rumusan delik alternatif yang tertera

diatas, atau rumusan yang sejenis yang pada intinya membuat rumusan delik tersebut menjadi

delik aduan. Maka perlu ada pengaduan dari pihak yang bersangkutan atau pihak-pihak lain

yang diperbolehkan Undang-Undang terlebih dahulu sebelum dugaan tindak pidana

penghinaan presiden atau wakil presiden.

Mengenai hal yang selalu menjadi kontroversi sampai saat ini. Yaitu parameter yang digunakan

untuk menilai apakah suatu tindakan dapat disebut sebagai penghinaan atau tindakan seperti

apa yang memenuhi unsur penghinaan atau unsur menyerang kehormatan atau harkat dan

martabat diri presiden memang tidak disebutkan secara jelas dalam pasal yang bersangkutan.

Tetapi dapat dilihat pada bagian penjelasan pasal yang bersangkutan. Penjelasan pasal 238 ayat

(1) RUU KUHP per 2 Februari 2018 yang kurang lebih merumuskan hal yang sama. Pada

9 Pasal 25 ayat (2) Op.cit.

Page 6: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

intinya menjelaskan bahwa penghinaan termasuk di dalamnya menista dengan surat,

memfitnah, dan menghina untuk tujuan memfitnah adalah segala tindakan di muka umum yang

menyerang harkat dan martabat presiden atau wakil presiden, dan hal tersebut dapat diukur

berdasarkan berbagai aspek yaitu agama, moral, nilai-nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai

kemanusiaan/atau ham.10 Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan. Tetapi melihat dari

penjelasan pasal tersebut, memang mengurangi sifat karet dari pasal 238, yang mana besarnya

kemungkinan multitafsir pasal tersebut menjadi ketakutan atau kegelisahan banyak orang.

Parameternya adalah nilai-nilai yang hidup pada rakyat, hal ini mengembalikan kita pada

pernyataan Prof. Mardjono Reksodiputro dalam kesaksian ahlinya yang mengutip pendapat

Noyon-Langemeijer berpendapat “Apa yang, untuk orang lain tidak dapat dianggap sebagai

penghinaan, juga bukan penghinaan untuk Raja”.11 Implikasinya, jika rakyat tidak

menghendaki suatu peristiwa sebagai penghinaan maka hal tersebut tidak dapat dikatakan

sebagai penhinaan. Jika dipahami secara komprehensif, seolah-olah memang pasal tersebut

memiliki parameter yang jelas dimana nilai-nilai yang terkandung dan hidup dalam rakyat

menjadi parameter tersebut. Tetapi tentunya hal ini juga akan menimbulkan masalah-masalah

dan pertanyaan-pertanyaan baru. Menurut KBBI daring rakyat berarti penduduk suatu negara.12

Akan menjadi naif jika siapapun tidak menyadari atau menolak menyadari bahwa bangsa

Indonesia yang terdiri dari sabang sampai merauke berisikan rakyat dari suku dan kebudayaan

yang berbeda-beda. Keberbedaan ini memang baik dan dapat menjadikan kita suatu bangsa

yang kuat, tetapi dalam kasus ini perbedaan dapat menjadi masalah. Perlu disadari dengan

berbedanya budaya yang ada maka nilai-nilai yang hidup juga akan berbeda. Singkatnya apa

yang baik di suatu wilayah belum tentu merupakan hal yang baik di wilayah lain atau bahkan

ekstremnya dapat merupakan suatu bentuk penghinaan di wilayah lain meskipun masih di

dalam wilayah Repubik Indonesia. Kenyataan tersebut memunculkan sebuah pertanyaan

“Nilai-nilai yang manakah yang dipakai sebagai parameter?” atau mungkin pertanyaan yang

lebih mendasar “Siapakah yang dimaksud rakyat dalam pernyataan nilai-nilai yang terkandung

didalam rakyat?”. Alih-alih menyelesaikan masalah, hal ini hanya akan membawa kita berputar

kembali ke pertanyaan awal “Seperti apa parameter yang digunakan untuk menentukan

penghinaan?” Terlepas dari permasalahan yang mungkin muncul setidak-tidaknya dapat

10 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 2 Februari 2018 11 Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006, hal.24 12 Kemdikbud. Rakyat. KBBI online. [online] tersedia di: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rakyat [Diakses: 14 november 2018]

Page 7: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

dinyatakan bahwa telah ada usaha untuk memberikan parameter penilai suatu tindakan apakah

merupakan penghinaan atau bukan.

Sedangkan pasal 239 RUU KUHP berbunyi sebagai berikut:

“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau

gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga

terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden

dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.”

Perbedaan mendasar antara kedua pasal selain sanksi yang diberikan dapat terlihat dengan

jelas. Di mana tindakan penghinaan akan memenuhi unsur pasal 239 jika dilakukan dengan

menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar, dan

memperdengarkan rekaman. Sehingga penghinaan harus dilakukan dengan media tertentu.

Selain itu dikarenakan tidak dirumuskan secara expressive verbis dalam pasal yang

bersangkutan dapat disimpulkan delik yang dirumuskan merupakan delik biasa bukan delik

aduan. Sehingga polisi atau instansi lain yang berwenang untuk menindaklanjuti dugaan tindak

pidana penghinaan presiden tidak diperlukan adanya pengaduan terlebih dahulu

D. Cacat formiil

Selain kekaretan pasal, keabsahan rumusan pasal tersebut juga sering dipermasalahkan banyak

pihak. Mengingat telah ada putusan MK yang menyatakan rumusan pasal penghinaan presiden

tidak konstitusional, lebih tepatnya putusan No. 013-022/PUU-IV/2006. Sehingga perlu

dibahas lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Pada prinsipnya putusan MK bersifat final and binding dimana begitu putusan dibacakan,

putusan tersebut langsung memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini dapat dilihat pada pasal

47 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 tahun 2011 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan:

Page 8: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

“Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai

diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”13

Begitu mendapat kekuatan hukum mengikat, berarti putusan tersebut berlaku bagi semua pihak

atau dengan kata lain erga omnes. Berlakunya putusan ini bagi semua pihak berarti pihak-pihak

yang bersangkutan harus melakukan tindak lanjut terhadap putusan MK tersebut dimana dalam

hal ini berarti jika perlu adanya perubahan pasal yang bersangkutan presiden dan/atau DPR

harus segera bertindak sebagai mana yang ternyatakan pada pasal 59 ayat (2) UU No. 8 tahun

2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi:

“Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau

Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”14

Meskipun begitu seringkali hal tersebut hanya merupakan Das Sollen sedangkan berbicara

tentang Das Sein seringkali tidak ada tindakan nyata untuk mengubah pasal yang bersangkutan.

Meskipun begitu bukan berarti tidak ada tindak lanjut dari pihak terkait. Seringkali tindak

lanjut ada pada perubahan peraturan pelaksana. Hal ini memang baik karena berarti ada tindak

lanjut secara nyata, tetapi jadi menimbulkan masalah. Jika pasal yang bersangkutan tidak

berubah apakah peraturan pelaksana yang diubah sesuai dengan ketentuan pasal yang

bersangkutan? Atau menjadi masalah lagi ketika pasal yang bersangkutan dinyatakan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat, berarti seharusnya tidak ada peraturan pelaksana sama

sekali karena peraturan pelaksana sejatinya merupakan pengaturan lebih lanjut untuk

melaksanakan ketentuan pasal yang bersangkutan.

Berkenaan dengan hal tersebut. Sejatinya rumusan pasal yang telah dinyatakan oleh MK

sebagai pasal yang tidak konstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka

tidak dapat dirumuskan kembali. Perlu diingat yang diuji oleh MK adalah muatan pasal atau

kaidah serta norma yang terkandung dalam pasal tersebut. Sehingga ketika dinyatakan tidak

konstitusional maka kaidah atau norma yang terkandung dalam pasal tersebut tidak

konstitusional, konsekuensinya adalah meskipun dirumuskan kembali, norma tersebut akan

13 Pasal 47 UU No. 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 14 Pasal 59 Ibid.

Page 9: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

tetap tidak konstitusional sehingga seharusnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

karena putusan MK bersifat final and binding. Meskipun demikian seringkali ditemukan

rumusan pasal yang dinyatakan tidak konstitusional oleh MK dirumuskan kembali. Berkaitan

dengan hal ini MK tidak bisa memberikan sanksi apapun untuk menindak lanjutinya karena

memang tidak ada pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut. Hal ini mengindikasikan

kelemahan MK secara eksekutorial. Menurut Aminoto, dosen Tata Negara Fakultas Hukum

UGM, hal ini yang seringkali membuat antar instansi pemerintah (dalam arti luas) tidak

konsisten dan tidak memiliki sinergisitas yang baik. Hal tersebut juga yang mungkin menjadi

dasar perubahan pasal 60 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana UU

No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi menambahkan ketentuan jika terdapat materi muatan UUD NRI 1945

yang menjadi alasan berbeda maka rumusan pasal atau materi muatan pasal yang pernah diuji

dapat diujikan kembali. Hal tersebut dapat terlihat dari pasal 60 ayat (2) UU No. 8 tahun 2011

yang menyatakan

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi

muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

dijadikan dasar pengujian berbeda.”15

Dimana ayat (1) menyatakan:

“Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang

telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”16

Pada pasal 60 UU No. 23 tahun 2004 tentang MK tidak terdapat ketentuan ayat (2) sebagai

mana yang terdapat dalam pasal 60 UU No.8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-

undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu dalam UU No. 12 tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga memberikan ketentuan yang

tegas bahwa rumusan materi muatan yang diatur Undang-Undang harus berisikan tindak lanjut

dari putusan Mahkamah Konstitusi. Lebih tepatnya dapat dilihat pada pasal 10 ayat (1) huruf

d yang menyatakan:

15 Pasal 60 ayat (2) UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 16 Pasal 60 ayat (1) Ibid.

Page 10: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

“tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi”17

Maksud dari tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dapat kita lihat pada bagian

penjelasan pasal terkait. Dalam penjelasan pasal, secara implisit dapat kita ambil kesimpulan

bahwa materi muatan pasal yang menurut putusan Mahkamah Konstitusi secara tegas tidak

konstitusional tidak dapat dirumuskan kembali.

Kembali menurut Aminoto jika dipaksakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian

dari Undang-Undang yang telah dicabut tidak dapat dirumuskan kembali, maka ketidak

konsisten antar lembaga pemerintah (dalam arti luas) akan sering terjadi, sehingga akan

menjadi tidak efektif dan memunculkan masalah baru. Oleh karena itu dapat disimpulkan pula

jika alasan yang menjadi latar belakang pengujian berbeda maka materi muatan tersebut dapat

diujikan kembali, maka jika yang menjadi alasan perumusan berbeda maka materi muatan yang

sudah dinyatakan tidak konstitusional dapat dirumuskan kembali.

Secara Historis sebagaimana yang secara singkat sudah dinyatakan dalam kajian ini, pasal

penghinaan presiden dalam KUHP yang telah dinyatakan tidak konstitusional dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat merupakan hasil dari konkordasi pasal penghinaan

penguasa belanda. Terhadap pasal penhinaan penguasa belanda, dapat dipahami dengan jelas

mengapa sangat dibutuhkan, karena belanda merupakan negara kerajaan sehingga penghinaan

terhadap penguasa tentu saja merupakan penghinaan langsung terhadap negara oleh karena itu

dapat disimpulkan pasal tersebut untuk melindungi kepala negara serta melindungi negara itu

sendiri. Hal ini disebabkan selalu melekatnya suatu entitas negara terhadap diri kepala negara

tersebut. Seperti yang telah dibahas memang dirasa kurang relevan alasan tersebut untuk

konteks Indonesia tetapi dikarenakan pasal dalam KUHP merupakan hasil konkordasi maka

begitulah adanya. Jika dilihat dalam penjelasan RUU KUHP yang melatarbelakangi

dirumuskan kembali pasal tersebut adalah janggal jika penghinaan terhadap orang biasa dengan

orang yang sudah meninggal serta penghinaan terhadap bendera/lagu kebangsaan, lambang

negara, dan yang lainnya dibedakan dan memiliki pengaturan khusus namun penghinaan

terhadap presiden selaku kepala negara dan pemerintahan di Indonesia tidak dibedakan dan

diberikan pengaturan khusus.18 Sedari awal posisi atau kedudukan presiden sudah berbeda

17 Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 18 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana per 2 Februari 2018

Page 11: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

sehingga menjadi tidak adil dan aneh jika dipermasalahkan dengan prinsip “Equality before

the law”

Dilihat dari dua alasan tersebut, latar belakang munculnya pasal penghinaan presiden berbeda

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak menjadi masalah jika pasal tersebut dirumuskan

kembali. Meskipun demikian mengenai keabsahan bahwa suatu pasal yang pernah dinyatakan

tidak konstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dirumuskan kembali dengan

alasan atau semangat yang berbeda masih dan akan menjadi perdebatan lebih lanjut.

Jika diteliti lebih lanjut, pada KUHP sekarang yang mana merupakan hasil konkordasi dari

WVS Belanda. Pasal penghinaan presiden yang dinyatakan tidak konstitusional adalah pasal

penghinaan presiden yang termasuk dalam delik biasa. Menjadi pertanyaan lebih lanjut jika

perumus RUU KUHP memutuskan pada akhirnya merumuskan pasal penghinaan presiden

sebagai delik aduan, apakah pasal tersebut tetap bertentangan dengan putusan Mahkamah

Konstitusi? Dilihat dari rumusannya dapat dikatakan tidak. Karena berisi materi muatan dan

rumusan delik yang berbeda dimana yang dinyatakan tidak konstitusional adalah pasal

penhinaan presiden yang merupakan delik biasa bukan delik aduan.

Dilihat sekilas, memang rasanya sistem hukum Indonesia terlihat baik. Dimana kemungkinan-

kemungkinan untuk terjadinya kekosongan hukum hampir tidak ada. Tetapi jika diteliti baik-

baik, dapat disadari bahwa ketatanegaraan Republik Indonesia masih sangat kacau dan terdapat

banyak masalah. Tidak konsistennya para pemegang kekuasaan di Indonesia dapat

menimbulkan efek bola salju dimana dari satu masalah yang terlihat kecil menjadi masalah

yang sangat besar dan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan Republik Indonesia. Oleh

karena itu sebenarnya diperlukan reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia untuk

menjamin keberlangsungan kehidupan kenegaraan yang lebih baik lagi.

E. Penutup

Sebelum melangkah lebih lanjut perlu diingat bahwa sampai tulisan ini ditulis RUU KUHP

belum disahkan sehingga besar kemungkinan akan terdapat beberapa revisi di kemudian hari

termasuk salah satunya tidak jadinya dirumuskan pasal yang bersangkutan.

Alasan kembali dirumuskannya pasal tersebut dapat dilihat dengan jelas pada penjelasan pasal

tersebut. Pada intinya pasal tersebut kembali dirumuskan dikarenakan dirasakan janggal jika

penghinaan biasa, penginaan terhadap orang mati, penghinaan terhadap kepala negara sahabat,

Page 12: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

penhinaan terhadap lambang negara,dan penghinaan lainnya dirumuskan secara khusus tetapi

penghinaan terhadap kepala negara sendiri tidak dirumuskan.19 Berkenaan dengan

pemberlakuan asal persamaan di hadapan hukum perlu diingat bahwa terdapat perbedaan

mendasar antara persamaan di hadapan hukum sebagai mana yang dianut oleh Indonesia

dengan kesamaan di hadapan hukum. Di mana dalam hal persamaan di hadapan hukum berarti

perlu dilihat juga latar belakang, posisi/jabatan, dan aspek lain dari orang yang bersangkutan.

Mengingat posisi presiden dan/atau wakil presiden pada dasarnya sudah berbeda dari warga

negara biasa maka tidaklah mungkin diberikan perlakuan yang sama pula. Perbedaan posisi ini

dapat terlihat dengan jelas melalui contoh yang diberikan oleh hakim konstitusi I Dewa Gede

Palguna dan Soedarsono dalam dissenting oppinions dalam putusan MK No.013-022/PUU-

IV/2006 Bahwa dalam perspektif hukum Internasional seorang presiden dibebaskan dari

keharusan untuk menunjukan credentials ketika menghadiri perundingan untuk membahas

suatu perjanjian Internasional.20 Tentu saja pembedaan ini tidak bermaksud untuk memberikan

imunitas karena pada dasarnya tidak dikenal imunitas dalam hukum pidana dan juga bukan

untuk mengkriminalisasi pelaku kritik atau meniadakan kebebasan berekspresi sebagaimana

yang secara nyata dan jelas dinyatakan dalam penjelasan pasal 238 ayat (1).21

Hal yang selalu menjadi kontroversi selama ini, berkenaan dengan kekaretan pasal yang

bersangkutan sudah diminimalisir dengan adanya parameter yang digunakan untuk menilai

apakah suatu tindakan merupakan penghinaan atau bukan. Meskipun tidak dinyatakan secara

eksplisit jenis-jenis tindakan seperti apa saja yang disebut sebagai menghina, akal sehat

manusia seharusnya dapat membedakan dengan jelas apakah suatu tindakan merupakan

penghinaan atau tidak karena aspek-aspek yang digunakan untuk menilai sudah dinyatakan

secara jelas. Meskipun menjadi masalah karena kebudayaan masyarakat Indonesia yang

beragam sehingga apa yang baik dan yang tidak dapat sangat berbeda antar kebudayaan

tersebut. Sehingga semakin jelas bahwa pasal tersebut bukan dirumuskan untuk menghalangi

kebebasan berekspresi termasuk di dalamnya adalah dengan berdemonstrasi melainkan untuk

melindungi harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dari penghinaan yang mungkin

dilakukan oleh berbagai pihak terentu. Ditambah lagi dengan dirumuskannya pasal 238 ayat

(2) di mana tindakan yang jelas-jelas untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak dapat

dikategorikan sebagai penghinaan.22 Sehingga seharusnya keberadaan pasal tersebut tidak

19 Ibid. 20 Dissenting Oppinions Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 21 Penjelasan pasal 238 ayat (1) Op.cit. 22 Pasal 238 ayat (2) Op.cit.

Page 13: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

perlu ditakutkan akan digunakan sebagai alat kriminalisasi oleh para penegak hukum. Hal ini

mengingat dijaminnya kebebasan berekspresi selama tidak melanggar hukum yang ada karena

perlu diingat pasal 28J UUD NRI 1945 dengan jelas mengharuskan setiap orang untuk

mengormati hak asasi orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-

undang yang tentunya pembatasan dimaksudkan agar terjaminnya penghormatan hak dan

kebebasan orang lain.23

Mengenai hal-hal yang bersifat formiil. Jika rumusan pasal akhirnya ditetapkan menjadi delik

aduan maka tidak terlalu menjadi masalah. Namun akan menjadi perdebatan lebih lanjut jika

delik yang dirumuskan tetap delik biasa, meskipun terdapat ahli yang menyatakan bahwa boleh

dirumuskan kembali jika berasal dari semangat atau alasan yang berbeda.

Oleh karena itu penting bagi kita, mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya

untuk terus mengawal hal ini. Bagaimanapun kita akan merasakan dampak dari pasal-pasal

yang terdapat dalam RUU KUHP ini jika nanti telah disahkan dan diundangkan. Sehingga

penting bagi kita untuk mengetahui secara komprehensif dan mendalam karena terdapat suatu

adagium Ignorante juris non excusat yang pada intinya berarti ketidaktahuan akan suatu hukum

tidak dapat menjadi alasan pemaaf.

23 Pasal 28J Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Page 14: Kajian: Delik Penghinaan Presiden Bangkit dari Kubur?demajusticia.org/wp-content/uploads/2018/11/Delik...korupsi yang dirumuskan kedalam RUU KUHP tersebut bukan dalam Undang-Undang

Referensi

Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Hiarej, Eddy. (2016). Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka

Penjelasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kemdikbud. Rakyat. KBBI online. [online] tersedia di:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rakyat

UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

UU No. 8 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi

UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UUD NRI 1945