kajan pendekatan kuratorial terhadap pameran … · (sekarang fakultas seni rupa dan desain, ......

10
Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN-PAMERAN DENGAN LABEL BANDUNG PERIODE 2000-2012 Ganjar Gumilar Dr. Agung Hujatnika, M.Sn. Aminudin T. H. Siregar, M.Sn. Program Studi Sarjana Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email: [email protected] Kata kunci: Mazhab Bandung, pendekatan kuratorial, seni rupa Bandung, wacana estetik posmodern Abstrak Label ‘Bandung’ pada pameran seni telah digunakan semenjak periode 1950-an dan pada gilirannya menggeser pemahaman terhadap istilah tersebut. ‘Bandung’ tidak hanya dimaknai sebagai batasan geografis (kota) melainkan sebagai diskursus estetik. Melalui kajian kuratorial dengan fokus pendekatan kuratorial terhadap tawaran wacana estetik pameran, penggunaan label Bandung pada periode 2000-an berkaitan dengan sejarah seni rupa Bandung yang dianggap sebagai ‘anomali’ di tengah praktik seni rupa Indonesia. Pameran-pameran tersebut berupaya untuk membingkai ulang identitas ‘Bandung’ dengan tawaran wacana estetik yang dapat dibaca melalui teorisasi seni posmodern, atau kajian estetik yang melampaui modernisme. Elaborasi wacana estetik pada pameran dilakukan melalui pendekatan kuratorial yang berbeda-beda, antara lain: elaborasi teoretis atau historis. Bandung pada periode 2000-an tidak diidentifikasi melalui diskursus estetik tunggal, melainkan beragam. Keberagaman/pluralitas tersebut dapat dijelaskan melalui konsep seperti alegori, representasi seni, penumpukkan teks, dekonstruksi tanda, dan lainnya. Abstract The term ‘Bandung’ as exhibition label have been a recurrent occurring since 1950s. This implementation then shift the perspective of the term itself, more than a geographic boundary, but to an aesthetical discourses. Through curatorial studies focusing on curatorial approach to the proposed issues of aesthetics in art exhibitions, the term Bandung as exhibition label through the 2000s has been linked with history of Bandung visual art, which was recognized as an ‘anomaly’ amidst the scene of Indonesian visual arts. These exhibitions strive to reframing the identity of Bandung visual art by postmodern art theories, or by aesthetical concepts beyond modernism. Aesthetical discourse elaboration on exhibitions done through diverse way of curatorial approach, for instance, theoretical or historical elaboration. Sometimes between the 2000s, Bandung wasn’t identified through single aesthetical discourse, but through multiple aesthetical discourse (diversity/pluralism). This diversity elaborated through concepts such as allegory, self referentiality, intertextuality, deconstruction, and so on. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana istilah Bandung diulas sebagai wacana dalam pameran melalui kajian pendekatan kuratorial terhadap pameran dengan label Bandung periode 2000-2012. Melalui analisis tersebut diharapkan diperoleh gambaran mengenai elaborasi wacana ‘ke-Bandung-an’ dalam pameran-pameran tersebut. Penelitian ini pun diharapkan dapat meletakkan dasar pemetaan seni rupa Bandung dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. I. Pendahuluan Label wilayah cenderung lazim diimplementasikan dalam pameran seni rupa di Indonesia baik dalam lingkup provinsi maupun kota. Sebagai contoh, ‘Jatim Art Now’ (2012), ‘Kompetisi Seni Lukis Jawa Barat’ (2006-07), ‘Pameran Lukisan: 18 Pelukis Kota Malang’ (2003), dan ‘Reinventing Bali’ (2008). Dalam konteks internasional, identifikasi pameran melalui implementasi label kota dalam judul pameran bukanlah cara yang lazim digunakan. Pada kasus pameran dalam skala bienale kecenderungan ini memang ditemukan, namun implementasi label tersebut berkaitan dengan patronase pemerintah, sementara di Indonesia tidak sepenuhnya demikian. Dalam konteks Bandung, penggunaan label kota dalam judul pameran sudah ditemukan pada dekade 1950-an serta dekade-dekade berikutnya. Tercatat 3 pameran dengan label Bandung diselenggarakan di Balai Budaya (Jakarta) sepanjang periode 1950/60-an, antara lain: ‘Akademi Seni Rupa Bandung’ (1954), ’12 Pelukis Bandung’ (1958), dan Sebelas Seniman Bandung’ (1966). Helena Spanjaard menyebutkan bahwa salah satu pameran tersebut (Akademi Seni Rupa Bandung - 1954) mendapat kritik dari Trisno Soemardjo dalam artikel ‘Bandung Mengabdi Laboratorium Barat’ (Spanjaard, 1993). Dalam artikel ini Sumardjo menyatakan bahwa pameran tersebut menunjukkan prinsip estetika yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa, yakni abstrak formalistik yang disebutnya tidak mengandung pesan

Upload: lediep

Post on 07-Mar-2019

250 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAPPAMERAN-PAMERAN DENGAN LABEL BANDUNG PERIODE 2000-2012

Ganjar Gumilar Dr. Agung Hujatnika, M.Sn. Aminudin T. H. Siregar, M.Sn.

Program Studi Sarjana Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITBEmail: [email protected]

Kata kunci: Mazhab Bandung, pendekatan kuratorial, seni rupa Bandung, wacana estetik posmodern

AbstrakLabel ‘Bandung’ pada pameran seni telah digunakan semenjak periode 1950-an dan pada gilirannya menggeser pemahaman terhadap istilah tersebut. ‘Bandung’ tidak hanya dimaknai sebagai batasan geografis (kota) melainkan sebagai diskursus estetik. Melalui kajian kuratorial dengan fokus pendekatan kuratorial terhadap tawaran wacana estetik pameran, penggunaan label Bandung pada periode 2000-an berkaitan dengan sejarah seni rupa Bandung yang dianggap sebagai ‘anomali’ di tengah praktik seni rupa Indonesia. Pameran-pameran tersebut berupaya untuk membingkai ulang identitas ‘Bandung’ dengan tawaran wacana estetik yang dapat dibaca melalui teorisasi seni posmodern, atau kajian estetik yang melampaui modernisme. Elaborasi wacana estetik pada pameran dilakukan melalui pendekatan kuratorial yang berbeda-beda, antara lain: elaborasi teoretis atau historis. Bandung pada periode 2000-an tidak diidentifikasi melalui diskursus estetik tunggal, melainkan beragam. Keberagaman/pluralitas tersebut dapat dijelaskan melalui konsep seperti alegori, representasi seni, penumpukkan teks, dekonstruksi tanda, dan lainnya.

AbstractThe term ‘Bandung’ as exhibition label have been a recurrent occurring since 1950s. This implementation then shift the perspective of the term itself, more than a geographic boundary, but to an aesthetical discourses. Through curatorial studies focusing on curatorial approach to the proposed issues of aesthetics in art exhibitions, the term Bandung as exhibition label through the 2000s has been linked with history of Bandung visual art, which was recognized as an ‘anomaly’ amidst the scene of Indonesian visual arts. These exhibitions strive to reframing the identity of Bandung visual art by postmodern art theories, or by aesthetical concepts beyond modernism. Aesthetical discourse elaboration on exhibitions done through diverse way of curatorial approach, for instance, theoretical or historical elaboration. Sometimes between the 2000s, Bandung wasn’t identified through single aesthetical discourse, but through multiple aesthetical discourse (diversity/pluralism). This diversity elaborated through concepts such as allegory, self referentiality, intertextuality, deconstruction, and so on.

Penelitian ini akan menganalisis bagaimana istilah Bandung diulas sebagai wacana dalam pameran melalui kajian pendekatan kuratorial terhadap pameran dengan label Bandung periode 2000-2012. Melalui analisis tersebut diharapkan diperoleh gambaran mengenai elaborasi wacana ‘ke-Bandung-an’ dalam pameran-pameran tersebut. Penelitian ini pun diharapkan dapat meletakkan dasar pemetaan seni rupa Bandung dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.

I. PendahuluanLabel wilayah cenderung lazim diimplementasikan dalam pameran seni rupa di Indonesia baik dalam lingkup provinsi maupun kota. Sebagai contoh, ‘Jatim Art Now’ (2012), ‘Kompetisi Seni Lukis Jawa Barat’ (2006-07), ‘Pameran Lukisan: 18 Pelukis Kota Malang’ (2003), dan ‘Reinventing Bali’ (2008). Dalam konteks internasional, identifikasi pameran melalui implementasi label kota dalam judul pameran bukanlah cara yang lazim digunakan. Pada kasus pameran dalam skala bienale kecenderungan ini memang ditemukan, namun implementasi label tersebut berkaitan dengan patronase pemerintah, sementara di Indonesia tidak sepenuhnya demikian.

Dalam konteks Bandung, penggunaan label kota dalam judul pameran sudah ditemukan pada dekade 1950-an serta dekade-dekade berikutnya. Tercatat 3 pameran dengan label Bandung diselenggarakan di Balai Budaya (Jakarta) sepanjang periode 1950/60-an, antara lain: ‘Akademi Seni Rupa Bandung’ (1954), ’12 Pelukis Bandung’ (1958), dan Sebelas Seniman Bandung’ (1966). Helena Spanjaard menyebutkan bahwa salah satu pameran tersebut (Akademi Seni Rupa Bandung - 1954) mendapat kritik dari Trisno Soemardjo dalam artikel ‘Bandung Mengabdi Laboratorium Barat’ (Spanjaard, 1993). Dalam artikel ini Sumardjo menyatakan bahwa pameran tersebut menunjukkan prinsip estetika yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa, yakni abstrak formalistik yang disebutnya tidak mengandung pesan

Page 2: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

maupun muatan fillosofis (ibid). Soemardjo kemudian melanjutkan bahwa Bandung dicurigai bermaksud untuk membentuk mazhab-mazhab tertentu.

Salah satu tokoh yang melihat perbedaan / dikotomi antara Bandung dan Jogja pada periode 1950/60-an adalah Helena Spanjaard. Dalam esai ‘Modern Indonesia Painting: The Relation with the West’, Ia memetakan dikotomi tersebut melalui kaitannya terhadap perbedaan kurikulum akademi. Akademi Seni Rupa Indonesia, Jogjakarta (Sekarang Institut Seni Indonesia) merupakan perkembangan dari sanggar-sanggar seniman (Spanjaard, 1993). Akademi tersebut merupakan simbol dari perjuangan nasionalis (ibid). Fokus kurikulum ASRI adalah praktik seni yang menyuarakan kepentingan rakyat. Sementara di Bandung didirikan Universitaire Leergang voor de Opleidingvan Tekenlelaren (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung) dengan struktur kurikulum yang menunjukkan rujukan estetika Barat (abstrak formalis). Setelah periode 1960-an, perdebatan mengenai dikotomi Mazhab tersebut mulai menyurut (Mamannoor, 1996).

Kembali pada konteks label Bandung pada pameran, tercatat setidaknya 26 pameran dengan label Bandung diselenggarakan sepanjang periode 1970-1990. Pada periode 1970 dan 1980-an tercatat 5 pameran diselenggarakan pada setiap dekadenya, sementara pada periode 1990-an sejumlah total 13 pameran diselenggarakan.

Grafik 1: Intensitas pameran dengan label Bandung periode 1950-1990Sumber: Peneliti

Fenomena meningkatnya intensitas pameran dengan label Bandung didahului oleh perbincangan seputar menurunnya partisipasi seniman Bandung dalam praktik seni rupa Indonesia periode 1990 akhir hingga 2000 awal. Tercatat beberapa tokoh menyatakan indikasi dari hal tersebut. Pernyataan pertama diutarakan oleh Asmudjo Irianto pada akhir 1990-an. Ia menyebutkan bahwa akademi seni rupa ITB pada periode tersebut gagal mencetak seniman. Pernyataan tersebut ditinjau dari minimnya lulusan seni rupa ITB yang mendeterminasikan diri sebagai seniman dan memilih untuk berkarir di bidang seni terapan (dalam Hujatnika, 2008). Kedua oleh Aminudin T. H. Siregar yang mencatat pernyataan kemunduran seni rupa Bandung di tengah praktik seni yang simpang siur (dalam sebuah diskusi di galeri R66 1994) (Siregar, 2004). Ketiga, oleh Agung Hujatnika yang meragukan indikasi kemunduran Bandung jika hanya merujuk pada kuantitas keikutsertaan seniman tanpa pemeriksaan pencapaian estetik. Hujatnika juga mencatat Enin Suprianto menyatakan Bandung cenderung ‘lamban’ jika dibandingkan akselerasi Jogjakarta dalam menghimpun kuantitas penyelenggaraan pameran (Hujatnika, 2008). Keempat, Annisa Desmiati yang menyatakan bahwa periode 2000-an akhir adalah giliran Bandung untuk muncul setelah sebelumnya (periode 1990 - 2000 awal) Jogjakarta mendapat sorotan utama dari publik seni Indonesia (Desmiati, 2009). Desmiati melanjutkan pengamatannya dengan mengutarkan bahwa sebelum Jogjakarta menjadi arus utama seni rupa Indonesia pada periode 1990 hingga 2000-an awal, Bandung pada tahun 1980-an mendapat sorotan utama dengan kecenderungan abstrak formalis. (Desmiati, 2012).

Grafik 2: Intensitas pameran dengan label Bandung dekade 1990Sumber: Peneliti

0

3

6

9

12

15

1950 1960 1970 1980 1990Bandung Jakarta Yogyakarta Lain-lain

01234

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 2

Page 3: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Penggunaan label Bandung dalam pameran seni mengalami peningkatan intensitas pada periode 2000-an. Tercatat setidaknya 30 pameran dengan label Bandung diselenggarakan di sejumlah kota seperti Magelang, Jakarta, dan Bandung dalam rentang waktu tersebut. Pada periode 2000-2004 pameran hanya diselenggarakan di kota Bandung dan pada tahun 2005 mulai diselenggarakan di luar kota Bandung (Magelang). Pada tahun 2008 penyelenggaraan pameran Bandung menunjukkan peningkatan intensitas dan perluasan cakupan kota (Jakarta). Frekuensi penyelenggaraan pameran mulai menurun pada periode 2010 serta tempat penyelenggaraan kembali hanya di kota Bandung.

Grafik 3: Intensitas pameran dengan label Bandung periode 2000-2012Sumber: Peneliti

Tercatat 3 seri pameran diselenggarakan dalam rangkaian pameran dengan label Bandung periode 2000-an, antara lain: seri pameran ‘Petisi Bandung’ (3 kali,), seri pameran ‘Bandung Initiative’ (5 kali), dan seri pameran ‘Bandung New Emergence’ (4 kali). 3 seri pameran tersebut memperlihatkan kekhasan pendekatan kuratorial. Seri pameran ‘Bandung New Emergence’ menunjukkan kaitan praktik seni kontemporer dengan perkembangan budaya kreatif di Bandung pasca Orde Baru. Pameran ‘Bandung Initiative’ memperlihatkan elaborasi teroretik seputar praktik seni kontemporer yang kemudian dikaitkan dengan seni rupa Bandung. Sementara seri ‘Petisi Bandung’ menunjukkan elaborasi historis.

Seluruh seri pameran dengan label Bandung diselenggarakan di tempat yang berbeda, yakni Bandung untuk ‘Bandung New Emergence’, Jakarta untuk ‘Bandung Initiative’, dan Magelang untuk ‘Petisi Bandung’ (kecuali ‘Bandung Art Now’ di Jakarta) Dengan asumsi bahwa penyelenggaraan pameran juga disertai dengan kepentingan mediasi seni rupa Bandung, penelitian ini meninjau bahwa seri pameran ‘Petisi Bandung’ dan ‘Bandung Initiative’ menunjukkan intensi mediasi dan cakupan audiens yang lebih luas jika dibandingkan ‘Bandung New Emergence’. Melalui pertimbangan tersebut, seri pameran ‘Petisi Bandung’ dan ‘Bandung Initiative’ diputuskan sebagai sampel dalam penelitian ini.

II. Metode PenelitianPenelitian ini berpijak pada kajian kuratorial (curatorial studies) dan teori seni posmodern. Data dikumpulkan melalui studi kearsipan yang melingkupi tulisan dan gambar (terutama katalog) yang berhubungan dengan pameran-pameran seni rupa dengan label Bandung, serta wawancara dengan narasumber terkait, yakni kurator pameran. Data-data yang diperoleh kemudian diolah melalui metode kuantitatif maupun kualitatif. Analisis secara mendalam menggunakan metode kualitatif.

Pijakan utama dalam penelitian ini adalah kajian kuratorial yakni telaah terhadap bingkai tematik maupun konsep pameran sebagai objek penilaian kritik. Hujatnika (2012) menyatakan bahwa kajian kuratorial masih bersandar pada museologi klasik sebagai lembaga yang berfungsi sebagai etalase sejarah. Pendekatan kuratorial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara-cara yang dilakukan kurator dalam mengelaborasi topik utama yang dicantumkan dalam esai kuratorial berdasarkan tujuan-tujuan tertentu.

Teorisasi seni posmodern digunakan sebagai acuan paradigma estetik dalam analisis pameran. Teori posmodernisme dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ideologi, atau paradigma modernisme berdasarkan gagasan-gagasan dalam posmodernisme (atau pos-strukturalis) sebagai suatu pendekatan epistemologis (Owens dalam Hujatnika, 2012). Perumusan wacana estetik posmodernisme dapat dilakukan melalui beberapa perspektif, salah satunya adalah semiotika. Beberapa idiom / bahasa estetik posmodern (Piliang, 2003) antara lain:• Pastiche: Bahasa pastiche ditandai dengan peminjaman idiom-idiom estetik masa lalu. Pastiche adalah bentuk imitasi

tanpa beban kritik sebagai upaya untuk menghargai masa lalu. Penggunaan bahasa ini menandakan adanya perlawanan terhadap rentang sejarah linier serta kemajuan / progress.

• Parody: Parody menunjukkan proses yang sama dengan idiom pastiche, yakni meminjam idiom-idiom estetik masa lalu. Perbedaan antara parody dan pastiche adalah terletak pada muatan kritik. Idiom parody menunjukkan unsur kiritk. Konsekuensi dari hal tersebut adalah munculnya citraan-citraan yang absurd dan humoris.

012345

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012Bandung Jakarta Magelang

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3

Ganjar Gumilar

Page 4: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

• Kitsch: Bahasa estetik kitsch didefinisikan sebagai ‘segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan dan tanpa selera’. Kitsch menandali peleburan antara artes liberales (seni tinggi) dan artes serviles (seni rendah).

• Camp: Bahasa camp merupakan salah satu model estesisime namun bukan merujuk pada keindahan. Idiom ini menandai keterpesonaan terhadap nilai permukaan. Camp menunjukkan adanya ketertutupan dan ambivalensi. Model semiosis camp tidak melalui struktur dialogis, produksi makna dapat dilakukan semena-mena.

• Skizofrenik: Skizofrenik adalah istilah dalam psikologi untuk mengidentifikasi penyakit dengan simptom keterputusan rantai pertandaan. Dalam konteks semiotika, struktur dialogis penanda dan petanda akan membentuk efek makna. Bagi individu yang menderita skizofrenik, sebuah konsep dapat dijelaskan melalui petanda di luar batas konvensi.

Selain bahasa estetik di atas, Hujatnika (2012) menyatakan beberapa karakter seni posmodern sebagai berikut:• peniruan/peminjaman (appropiation) bentuk, citraan atau fragmen atau pastiche dari teks (karya) lain yang pernah

ada dalam konvensi sejarah;• penampakkan kecenderungan/sensibiltas alegoris (unsur naratif atau cerita); • merujuk pada, atau menggunakan citraan-citraan kebudayaan populer; • kembalinya bentuk-bentuk figuratif dalam konvensi naturalis, (terkadang) melalui bentuk-bentuk fragmen citraan; • penonjolan aspek perbedaan (differences) dan pemaknaan yang berbenturan, • penerapan unsur nostalgia; • penggambaran figur atau tubuh manusia sebagai situs atau agen kegiatan seksual dan kekerasan• mengedepankan representasi diri (self-referentiality);• kembalinya praktik seni yang mencampuri urusan-urusan politik.

Meskipun basis dari penelitian ini adalah praktik seni kontemporer Bandung, paparan naratif sejarah diperlukan untuk merumuskan latar penelitian. Latar ini pada analisis selanjutnya akan dijadikan sebagai titik tolak perumusan kaitan antara praktik seni rupa kontemporer Bandung dengan praktik seni rpada periode sebelumnya. Secara singkat, perkembangan wacana estetik seni rupa Bandung pada rentang waktu 1950-1990 (Desmiati, 2012 )antara lain:• Periode 1950an atau generasi awal Mazhab Bandung dengan kecenderungan abstrak formalistik. • Periode 1960-an atau periode Mazhab Bandung masih dengan kecenderungan abstrak formalistik.• Periode 1970-an atau periode DECENTA dengan kecenderungan perpaduan antara abstrak formalistik dengan ragam

hias tradisi Indonesia.• Periode 1970 hingga 1980 (tumpang tindih dengan periode DECENTA) atau periode ‘Gerakan Seni Rupa Baru’

dengan kecenderungan respon hegemoni modernisme (serta Mazhab Bandung) dan kemunculan isu sosial politik dalam seni.

• Periode 1990-an dengan gerakan ‘Seni Jeprut’. Pada periode ini kecenderungan seni rupa Bandung diwarnai oleh seni eksperimental, eksplorasi medium, serta isu sosial-politik dalam seni.

III. AnalisisSeri Pameran ‘Bandung Initiative’‘Bandung Initiative’ diselenggarkan di Jakarta selama periode 2008-2010. Kurator yang menangani pameran ini adalah A. Rikrik Kusmara dan Rizki Ahmad Zaelani. BI terdiri dari 5 pameran dengan judul/tema: #1 Conversation Pieces, #2 A Cabinet of Signs, #3 Form As Attitude, #4 Post Medium Intervention, dan #5 Veduta. Rumusan tema pada setiap pameran berawal dari perspektif kurator terhadap perkembangan mutakhir dari seni rupa Bandung. Pada awalnya penyelenggaraan BI diproyeksikan sebanyak 4 kali dalam rentang waktu Juni 2008 hingga Juni 2009. Namun pada praktiknya BI diselenggarakan sebanyak 5 kali dengan penyelenggaran terkahir pada bulan Januari tahun 2010. Tujuan utama dari pameran adalah merepresentasikan praktik seni rupa kontemporer Bandung. Menurut Andonowati (2008) tujuan lain dari seri pameran ini adalah untuk memporomosikan seni rupa Bandung. Pendekatan kuratorial dalam pameran ini adalah elaborasi teoretik dengan rujukan teorisasi seni posmodern.

Penyeleggara dari pameran ini adalah ArtSociates, Roemah Roepa, dan Vanessa Art Link. Basis dari seluruh penyelenggara adalah Jakarta (saat pameran diselenggarakan). Penyelenggaraaan pameran pertama hingga ke empat ditangani oleh Art Sociates dan Roemah Roepa, sedangkan pameran ke 5 ditangani oleh Vanessa Art Link. Sejumlah total 75 seniman berpartisipasi dalam seri pameran, dengan pembagian sebagai berikut: 11 seniman pada BI#1 Conversation Pieces, 13 seniman pada BI#2 A Cabinet of Signs, 15 seniman pada BI#3 Form As Attitude, 15 seniman pada BI#4 Post Medium Intervention, dan 25 seniman pada pameran BI#5 Veduta. Konfigurasi seniman dalam seri pameran ini selalu berbeda pada setiap penyelenggaraannya, kecuali pada kasus Veduta.

Pameran BI#1 Conversation Pieces diselenggarakan pada 9 - 30 Juli 2008. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran adalah representasi seni, seni posmodern, dan allegori. Seni posmodern dijelaskan Kusmara dan Zaelani (2008) sebagai praktik bercampurnya beragam gaya seni. Elaborasi kemudian menajam kepada alegori. Alegori

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 4

Ganjar Gumilar

Page 5: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

didefiniskan kurator sebagai proses penumpukkan teks dalam karya serta rujukan pada idiom estetik terdahulu. Selain itu, alegori juga disebutkan memiliki konsekuensi multi-interpretasi. Konsep alegori (penumpukkan teks dalam karya) dapat diidentifikas melalui istilah- istilah lain, Hujatnika merunutnya menjadi “[...] eklektik, bricollage, pastiche, dan parodi [...]” (Hujatnika, 2012). Selain itu, alegori dapat pula berarti menambahkan unsur naratif atau cerita dalam karya seni. Alegori yang ditandai dengan penumpukkan teks merupakan konsep yang inklusif. Seluruh karya dapat saja diinterpretasi melalui konsep tersebut. Pada kasus karya A. D. Pirous dan Haryadi Suadi (seniman senior Bandung yang menekuni abstrak formalisme) disebutkan menumpukkan ideologi modern dengan spiritualitas atau unsur tradisi. Disamping itu, kedua seniman tersebut juga menunjukkan proses makna yang berbenturan sebagai salah satu karakter seni posmodern.

Gambar 1 (kiri): A. D Pirous, Allah (2007)Gambar 2 (kanan): Haryadi Suadi, Raden Saleh (2008)

Sumber: Katalog Pameran Bandung Initiative #1: Converastion Pieces

Pameran BI#2 A Cabinet of Sign diselenggarakan pada 30 Oktober - 16 November 2008. Kata kunci elaborasi kuratorial pada pameran ke dua adalah identitas dan dekonstruksi tanda. Kurator menyatakan bahwa pameran ini merupakan penghargaan terhadap identitas seniman. Kusmara dan Zaelani (2008) sebelumnya menyebutkan praktik pasar yang memperlakukan identitas hanya sebagai label dagang. Identitas seniman dianalogikan sebagai lemari berisi tanda-tanda yang dimiliki seniman. Tanda-tanda tersebut dikonfigurasikan sehingga dapat mewakili identitas personal setiap seniman. Tujuan pameran sebagai penghargaan identitas seniman relevan dengan konsep self-referentiality. Konsep tersebut pada praktiknya mengedepankan representasi diri (seniman). Tidak seluruh karya dalam pameran ini menampilkan sisi personal seniman. Sebagai contoh, karya Tomi A. P (Gambar 4) masih menampilkan sensibilitas sosial.

Gambar 3 (kiri): Tomi M, Taped Blue Deck (2007)Gambar 4 (kanan): Tomy A. P., Main tangkap-tangkapan (2008)

Sumber: Katalog Pameran Bandung Initiative #2: A Cabinet of Sign

Pameran BI#3 Form as Attitude diselenggarakan pada 19 Maret - 13 April 2009. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran ini adalah neo-formalisme. Dalam mengantarkan konsep tersebut kurator mengelaborasi perkembangan seni rupa Bandung periode 1950-1960-an. Elaborasi historis tersebut diperlukan untuk menjelaskan konsep abstrak formalis sebagai titik tolak pendekatan kuratorial. Kurator menjelaskan problematika kaitan bentuk dan konten dalam lingkup formalis. Problematika tersebut dilacak dari kesulitan publik dalam mengapresiasi karya abstrak. Tawaran neo-formalisme merupakan revisi kritis terhadap formalisme. Pada konsep Neo-formalisme bentuk dan konten berkaitan ‘melalui cara yang layak dan memuaskan’ (Kusmara dan Zaelani, 2009). Pameran ini masih menampilkan karya dengan kecenderungan formalisme yang kuat dan sebagian melampauinya. Neo-formalisme merupakan kajian estetika yang melampaui formalisme modern. Meskipun melampui modern, konsep neo-formalisme masih menunjukkan semangat kritik progresif (semangat modern).

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5

Ganjar Gumilar

Page 6: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Gambar 5 (kiri): Harry Cahaya, Planes (2009)Gambar 6 (kanan): Dadang S, Transfigurasi 35 (2008)

Sumber: Katalog Pameran Bandung Initiative #3: Form As Attitude

Pameran BI#4 Post Medium Intervention diselenggarakan pada 28 Mei - 28 Juni 2009. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran ini adalah eksplorasi medium. Kurator mengelaborasi ‘Gerakan Seni Rupa Baru’ sebagai awal eksplorasi medium yang melampaui konsep medium specificity Greenbergian, yakni pemahaman terhadap konvensi karakter medium yang bersifat mengikat (Greenberg, dalam Caroll 1985).Kurator merujuk pada elaborasi Rosalind Kraus (2006) dalam ‘Art in The Age of Post-Medium’ untuk menjelaskan karya yang dipamerkan. Dalam konsep Art in The Age of Post Medium, medium sebagai technical support mampu mengatasi penyampaian makna yang tidak bisa disampaikan oleh konsep medium specificity. Kurator menyebutkan pameran ini menunjukkan keragaman penggunaan medium. Namun, masih ditemukan karya yang diselesaikan melalui medium konvensional seperti lukisan.

Gambar 7 (kiri): Abdul Azid, ABSTRAX, May Desktop (2009)Gambar 8 (kanan): Bagus Pandega, Gallop Box (2009)

Sumber: Katalog Pameran Bandung Initiative #4: Post Medium Intervention

Analisis diatas memperlihatkan bahwa seri pameran ‘Bandung Initiative’ merujuk pada teorisasi seni posmodern atau kajian estetika yang melampaui modern. Dalam wawancara, Kusmara (2013) menyatakan bahwa pameran ini tidak sepenuhnya mengacu pada wacana estetik posmodern. Elaborasi historis GSRB serta kajian estetika modern memang tercantum dalam elaborasi kuratorial, namun hal tersebut diperlukan kurator untuk menjelaskan konsep yang melampaui modern sebagai tawaran wacana estetik pameran..

Sekuens seri pameran ‘Bandung Initiative‘ cenderung acak. Sekuens tidak dilandaskan pada perimeter tertentu. Jika sekuens pameran disimulasikan secara linier, sekuens pameran akan menjadi Form As Attitude (3) - Post-Medium Intervention (4) - Conversation Pieces (1) - A Cabinet of Sign (2). Simulasi sekuens didasarkan pada elaborasi historis yang dilakukan. Pada Form as Attitude kurator menjelaskan formalisme Bandung sementara pada Post-Medium Intervention kurator menjelaskan GSRB. Dua pameran lainnya memang tidak menunjukkan elaborasi sejarah. Penentuan sekuens pada kedua pameran tersebut didasarkan pada pertimbangan: (1) terdapatnya klarifikasi seni post-modern pada Conversation Pieces, dan (2) dengan menimbang permainan tanda sebagai perayaan seni kontemporer.

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 6

Ganjar Gumilar

Page 7: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Bagan 1: Simulasi sekuens linier seri pameran ‘Bandung Initiative’.Sumber: Peneliti

Seri Pameran ‘Petisi Bandung’Seri pameran ‘Petisi Bandung’ diselenggarakan sebanyak 3 kali. Pada penyelenggaraan yang ketiga judul pameran berubah menjadi ‘Bandung Art Now’. PB1 dan 2 diselenggarakan di Magelang, sementara BAN di Jakarta. Pameran diselenggarakan dua tahun sekali dalam rentang 2005-2009. Tujuan pameran adalah menampilkan perkembangan mutakhir dari seni rupa Bandung. Pendekatan kuratorial yang khas dalam seri pameran ini adalah elaborasi sejarah. Selain sebagai pendekatan kuratorial, kepentingan sejarah seni rupa Bandung pun merupakan tujuan dari pameran ini. Penyelenggara dari seri pameran ‘Petisi Bandung’ adalah Langgeng Galery, Magelang. Pada kasus pameran ‘Bandung Art Now’ , penyelenggaraan pameran ditangani oleh Galeri Nasional (Jakarta) bekerjasama dengan Langgeng Gallery.

Kurator yang menangani pameran ini adalah Aminudin T. H. Siregar dan Heru Hikayat. Terdapat hierarki kekuratoran dalam seri pameran ini. Siregar bertugas sebagai kurator utama sementara Hikayat sebagai kurator rekan (co-curator). Hierarki tersebut mempengaruhi kerja kuratorial yang dilakukan kedua kurator. Siregar bertugas untuk menuliskan basis pameran secara umum melalui paparan sejarah, sementara Hikayat bertugas untuk menginerpretasi karya dari masing-masing seniman partisipan. Elaborasi sejarah yang dituliskan Siregar cenderung disampaikan secara naratif. Sementara investigasi estetik oleh Hikayat bersifat interpretatif dengan mengacu pada wacana estetik posmodern.

Sejumlah total 32 seniman berpartisipasi dalam seri pameran ‘Petisi Bandung’, dengan pembagian sebagai berikut : 7 seniman pada ‘Petisi Bandung 1’, 11 seniman pada 'Petisi Bandung 2’, dan 26 seniman pada ‘Bandung Art Now’. Beberapa seniman terlacak diikutsertakan lebih dari satu kali.

Pameran ‘Petisi Bandung 1’ diselenggarakan pada 3-20 Desember 2005. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran ini adalah elaborasi historis (Siregar) dan konsep representasi seni, dekonstruksi tanda, permainan persepsi, serta medium (Hikayat). Paparan sejarah dalam pameran ini disampaikan paling rinci dalam esai kurang lebih 2000 kata. Secara spesifik Siregar menyoroti perkembangan seni rupa Bandung periode 1950/60an, terutama seputar kecenderungan abstrak formalis yang dipraktikkan oleh Mazhab Bandung. Siregar menjelaskan kekhasan latar sosio- kultural Bandung pada masa kolonial. Kekhasan ini terlihat pada proyeksi modern kota Bandung. Ia juga menyebutkan bahwa pameran menunjukkan pemahaman modernisme sebagai kekhasan Bandung 1950/60an dalam kaitannya dengan praktik budaya kontemporer. Investigasi estetik karya kemudian disampaikan melalui 7 tulisan lepas oleh Heru Hikayat. Tulisan-tulisan Hikayat menyinggung sejumlah konsep seni posmodern yang disebutkan sebelumnya. Secara singkat karya yang ditampilkan menunjukkan pluralitas pernyataan artistik. Beberapa karya masih meunjukkan rujukan formalisme Bandung (seperti Oco Santoso), sebagian lainnya menunjukkan penumpukkan teks (seperti karya Radi Arwinda)

Gambar 9 (kiri): Oco Santoso, Estetika Benda 3 (2005)Gambar 10 (kanan): Radi Arwinda, Setan Ngepet, Radi Ngepet, Malaikat Ngepet (2005)

Sumber: Katalog Pameran ‘Petisi Bandung 2’

Ganjar Gumilar

Page 8: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Pameran ‘Petisi Bandung 2’ diselenggarakan pada 8-26 Desember 2007. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran ini mirip dengan pameran sebelumnya, yakni elaborasi historis (Siregar) dan konsep representasi seni, dekonstruksi tanda, permainan persepsi, medium, serta identitas (Hikayat). Tulisan Siregar masih berkaitan dengan elaborasi sejarah pada pameran sebelumnya. Terdapar elaborasi tambahan seputar penyimpangan seni rupa Bandung sebagai retakan (rupture) sejarah. Hal ini disebutkan Siregar (2007) membuktikan diskontinuitas serta lapisan-lapisan dalam sejarah seni rupa Indonesia Pameran ini berupaya untuk menunjukkan pengaruh dari retakan sejarah tersebut. Di samping itu, pameran ini secara eksplisit menyatakan bahwa penulisan sejarah seni di Indonesia perlu direvisi. Revisi tersebut dilatarbelakangi oleh subordinasi peran Bandung dalam catatan sejarah. Kriteria seniman dalam pameran ini dirumuskan dari pendekatan estetis yang unik dan otentik dalam karya seniman. Keunikan / keotentikan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Siregar. Investigasi estetik kembali dilakukan oleh Heru Hikayat, Pengulangan konfigurasi seniman juga menyebabkan repretisi interpretasi kuratorial. Konsep problematika identitas mutakhir adalah suplemen investigasi estetik yang tidak ditemukan pada pameran sebelumnya.

Gambar 11 (kiri): Beatrix Hendriani Kuswara, What Ypur Money Can’t Buy #1 (2007Gambar 12 (kanan): Dasamuka & Rukmala (2007)

Sumber: Katalog Pameran ‘Petisi Bandung 2’

Pameran ‘Bandung Art Now’ diselenggarakan pada 7-17 Januari 2009. Kata kunci elaborasi kuratorial dalam pameran ini berpijak pada elaborasi historis dan konsep identitas. Esai kuratorial pameran masih mengutip elaborasi sejarah pada pameran sebelumnya. Bingkai tematik dari pameran ini adalah konsep problematika identitas. Problematika identitas bertolak dari singgungan-singgungan sosial yang dialami seniman. Dalam konteks posmodernisme, tema tersebut bersinggungan dengan konsep self-referentiality (mengedepankan representasi diri/seniman) serta karakter kepedullian baru seni posmodern (terhadap problematika identitas).

Gambar 13 (kiri): Radi Arwinda, Pet-pet (2009)Gambar 14 (kanan): Mujahidin Nurrahman, Reduksi Abstrak (2009)

Sumber: Leaflet Pameran ‘Bandung Art Now’

Analisis diatas menunjukkan kaitan antara investigasi estetik seri pameran ‘Petisi Bandung’ dengan teori/karakter seni posmodern. Seri pameran ini tidak menjelaskan kaitan antara kecenderungan abstrak (seni rupa Bandung periode 1950-an) dengan karakter seni posmodern (seni rupa Bandung periode 2000an) secara langsung. Elaborasi kuratorial pada seri pameran ini cenderung diarahkan sebagai pembacaan serta pemetaan kecenderungan estetik. Tidak terdapat rumusan tema yang tegas dalam seri pameran ‘Petisi Bandung’. Sekuens pameran pun pada akhirnya tidak dapat diperiksa. Terdapat repetisi beberapa konsep/karakter seni posmodern dalam investigasi estetik pameran.

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 8

Page 9: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Komparasi pendekatan kuratorialDalam menganalisis pendekatan kuratorial, penelitian ini terlebih dahulu mendaftar beberapa kesamaan dalam seri pameran ‘Bandung Initiative’ dan ‘Petisi Bandung’, antara lain: (1) jenis pameran yang ditentukan dalam bentuk pameran bersama yang berkelanjutan (seri), (2) signifikansi pameran untuk meningkatkan produktivitas praktik seni rupa Bandung, (3) sejarah seni rupa Bandung (spesifik: 1950/60an) sebagai titik tolak konsep pameran, dan (4) keberagaman/pluralitas sebagai identitas seni rupa Bandung periode 2000an.

Terdapat perbedaan cara mengelaborasi sejarah dalam BI dan PB. Esai kuratorial PB dengan konsisten menuliskan paparan naratif sejarah, sementara pada BI paparan tersebut bersifat opsional. Pada PB dampak dari pendekatan tersebut adalah repetisi elaborasi kuratorial. Porsi paparan sejarah pada BI paling banyak terdapat pada pameran ke-3 (Form As Attitude) dan lebih sedikit pada seri pameran ke-2 (Cabinet of Sign).

Selain perbedaan elaborasi sejarah, BI dan PB memperlihatkan perbedaan epistemologi kuratorial. BI berpijak pada elaborasi teoretis, sementar PB pada elaborasi sejarah. Dalam lingkup akademis, kedua pendekatan tersebut digolongkan kedalam estetika empiris (Yustiono, 2004). Yustiono menggolongkan estetika empiris ke dalam dua kelompok, pertama adalah kelompok estetika yang tertuju pada karya seni sebagai objek pengetahuan mencakup kritik seni, morfologi estetik, dan semiotika dan kedua adalah seputar kegiatan manusia dalam konteks seni yang mencakup sejarah seni, antropologi seni, sosiologi seni, psikologi seni, manajemen seni, dan hermeneutika seni. Pada titik ini terliat bahwa BI menunjukkan penggunaan pendekatan estetika yang lebih luas dibandingkan PB. Elaborasi teoretis dalam BI disampaikan secara akademis dan ilmiah, sementara elaborasi historis dalam PB disampaikan secara naratif.

Perbedaan lain dalam kedua seri pameran adalah proses perumusan tema. Setiap tema pameran pada BI bertolak dari satu topik yang kemudian dikembangkan oleh kurator. Konsep kunci dalam setiap tema tersebut mencakupi: alegori, dekonstruksi tanda, formalisme baru, dan eksplorasi medium. Terdapat resiko homogenisasi pemaknaan karya dalam ketegasan rumusan tema BI. Sementara pada PB tema setiap pameran cenderung tidak dirumuskan. Hal ini adalah konsekuensi dari investigasi estetik yang bertolak dari seniman. Pendekatan kuratorial PB yang cair cenderung lebih tepat dalam merepresentasikan pluralitas.

Perbedaan proses perumusan tema pada PB dan BI pun mempengaruhi kriteria pemilihan seniman. Pada BI setiap seniman cenderung disiapkan untuk merespon sebuah tema sementara pada PB tema pameran cenderung menyesuaikan dengan karya. Pada titik ini dapat dipahami bahwa kuratorial BI lebih ketat jika dibandingkan PB. Perbedaan selanjutnya adalah konfigurasi seniman. Konfigurasi seniman dalam BI selalu berbeda pada setiap penyelenggaraanya, sementara pada PB terdapat repetisi seniman partisipan.

Bagan 2: Pendekatan kuratorial dalam seri pameran ‘Bandung Initiative’Sumber: Peneliti

Bagan 3: Pendekatan kuratorial dalam seri pameran ‘Petisi Bandung’Sumber: Peneliti

4. KesimpulanKebaruan identitas Bandung pada pameran dengan label Bandung periode 2000-an disebutkan sebagai perkembangan dari ‘anomali’ seni rupa Bandung pada periode sebelumnya (1950/60an). Penyimpangan tersebut adalah kecenderungan abstrak formalis di tengah seni rupa kerakyatan sebagai wacana estetik dominan pada skala nasional. Perkembangan tersebut direpresentasikan melalui tawaran wacana estetik yang dapat dibaca melalui teorisasi seni posmodern, atau mewacanakan praktik seni yang telah melampaui seni modern.

Wacana ‘Bandung’ pada periode mutakhir tidak lagi diidentifikasi sebagai Mazhab secara khusus. Pergeseran ini menyebabkan lingkup wacana menjadi cenderung geografis, yakni praktik seni yang diproduksi oleh seniman yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa ITB atau bersinggungan dengannya.

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 9

Ganjar Gumilar

Page 10: KAJAN PENDEKATAN KURATORIAL TERHADAP PAMERAN … · (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain, ... dalam seni rupa merupakan revisi kritis terhadap berbagai macam pandangan, ... Idiom

Elaborasi wacana estetik dalam pameran dilakukan melalui pendekatan kuratorial yang berbeda. Elaborasi tersebut dilakukan melalui sekurang-kurangnya dua cara, yakni elaborasi historis (dengan rujukan sejarah seni rupa Bandung) dan elaborasi teoretis (dengan rujukan teorisasi seni posmodern). Kata kunci elaborasi estetik pada mayoritas pameran adalah pluralitas. Salah satu pameran yang cukup tepat mewacanakan pluralitas Bandung pada periode 2000-an adalah seri pameran ‘Petisi Bandung’.

Pewacanaan estetik pada pameran dengan label Bandung periode 2000-an dilakukan kurator melalui beberapa cara seperti: melalui metode survey atau pembacaan, dan pengembangan perpektif kurator terhadap prakik seni rupa Bandung. Pewacanaan estetik tersebut menempatkan kurator pada posisi yang sentral.

Meningkatnya intensitas penggunaan label Bandung pada pameran merupakan antisipasi dari asumsi seputar kemunduran Bandung pada rentang waktu 1990-an akhir hingga 2000-an awal. Inferioritas tersebut dapat dilacak dari minimnya keikutsertaan seniman serta menurunnya apresiasi pasar terhadap karya seniman muda Bandung. Selain hadir sebagai upaya untuk membingkai ulang identitas baru dengan gaya postmodern, rangkaian pameran dengan label Bandung periode 2000-an merupakan strategi untuk membentuk praktik seni rupa Bandung yang lebih produktif.

Ucapan Terima KasihArtikel ini merujuk pada proses penelitian dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Supervisi proses pelaksaan Tugas Akhir ini ditangani oleh Dr. Agung Hujatnika, M.Sn. dan Aminudin T. H. Siregar, M.Sn..

Daftar PustakaDesmiati, Annisa (2012): Kajian Sejarah Sosial Seni Rupa di Bandung Periode 1970 – 1998 Melalui Representasi

Visual Karya-karya Srihadi Soedarsono, Nyoman Nuarta, dan Tisna Sanjaya, thesis Program Studi Magister Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung

Hujatnika, Agung (2012): Praktik Kekuratoran dan Relasi Kuasa dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Indonesia, disertasi Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Piliang, Yasraf Amir (2003): Hipersemiotika: Tafsir Culutral Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, YogyakartaSiregar, Aminudin T. H. dan Enin Supriyanto (2006): Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan, Penerbit Nalar,

JakartaRugg, J. Dan Sedgwick, M. (ed.), (2007): Issues in Curating Contemporary and Performance, Intellect Books, Bristol

and Chicago

Katalog Pameran Petisi Bandung II (2007), Langgeng Galery, MagelangKatalog Pameran Petisi Bandung I (2005), Langgeng Galery, Magelang Katalog Pameran Bandung Initiative #1: Conversation Pieces (2008), Roemah Roepa, JakartaKatalog Pameran Bandung Initiative #2: A Cabinet of Sign (2008), Roemah Roepa, JakartaLeaflet Pameran Bandung Art Now (2009) Galeri Nasional, JakartaKatalog Pameran Bandung Initiative #3: Form as Attitude (2009), Roemah Roepa, JakartaKatalog Pameran Bandung Initiative #4: Post Medium Intervention (2009), Roemah Roepa, Jakarta,

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 10

Ganjar Gumilar