kaitan masalah komunikasi lintas budaya dengan dimensi budaya
DESCRIPTION
KOMUNIKASI DAN NEGOSIASI BISNISTRANSCRIPT
PAPER
MATA KULIAH KOMUNIKASI DAN NEGOSIASI BISNIS
“KAITAN MASALAH KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
DENGAN DIMENSI BUDAYA”
Maria Angelina
14/363165/EK/19803
DISUSUN OLEH:
MARIA ANGELINA
14/363165/EK/19803
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015
I. Latar Belakang
Di dalam proses melakukan komunikasi dan negosiasi bisnis antar lintas budaya harus dapat
memahami sekiranya perbedaan pandangan, bertingkah laku, pola pikir, dan cara penyampaian
pendapat. Hal tersebut perlu dipahami untuk dapat mendorong common understanding antar kedua
negara tersebut. Selain itu, terdapatnya perbedaan proses kebudayaan juga mempengaruhi hasil
komunikasi dan negosiasi bila masing-masing negara tidak mampu untuk mengerti terlebih dahulu.
Pada materi video yang menjadi bahan analisa, terdapat kesulitan yang dialami oleh negara
Amerika ketika melakukan negosiasi dengan negara Jepang yang memiliki kebudayaan yang sangat
berbeda. Negara Amerika sering menjadi tidak nyaman ketika melakukan negosiasi dengan negara
Jepang karena negara Jepang sering kali membawa budaya asalnya, sehingga sikap yang berlainan
bisa membawa rasa tidak nyaman antar negara satu sama lain.
Bila dikaitkan dengan dimensi kebudayaan Hofstede, ada terdapat 5 dimensi kebudayaan
yang mampu mengaitkan tentang permasalahan-permasalahan yang timbul oleh negara Amerika
ketika melakukan negosiasi dengan negara Jepang. Selain dimensi kebudayaan Hofstede, terdapat
pula dimensi kebudayaan yang dikemukakan oleh Edward T.Hall yang menjelaskan mengenai High
Context dan Low Context, yang mana setiap negara memiliki preferensi yang berbeda.
II. Pembahasan dan Analisa Permasalahan
A. Kaitan dengan Dimensi Kebudayaan Hofstede
Cultural Dimension Theory menjelaskan bahwa kelompok-kelompok budaya nasional dan
regional mempengaruhi perilaku masyarakat dan organisasi. Penelitian Hofstede menjelaskan
mengenai elemen-elemen struktural dari budaya yang mempengaruhi kuat perilaku dalam situasi
organisasi dan institusi. Adapun dimensi-dimensi nya yaitu:
1. Individualisme dan Kolektivisme
Menurut pandangan Hofstede, dimensi ini menyampaikan mengenai sikap atau pandangan
yang berbeda terhadap kepentingan pribadi atau bersama dalam suatu kelompok. Individualisme
memiliki sikap yang relatif bebas sedangkan kolektivisme memiliki fungsi ketat yakni rasa loyalitas
yang tinggi.
Analisa Keterkaitan: Negara Jepang dikatakan memiliki sikap yang lebih mengutamakan
kepentingan tim dibandingkan individu, menyukai hubungan yang harmonis diantara tingkatan senior
dan junior dibandingkan menonjolkan kepentingan individu sendiri. Sehingga, bila dihubungkan
dengan dimensi kebudayaan Hofstede ini, Negara Jepang lebih mengarah kepada indeks kolektivisme
dibandingkan individualisme, walaupun tidak terlalu tinggi karena Negara Jepang masih memiliki
sikap individual karena kebudayaan Jepang yang sangat respect atau peduli pada orang yang jauh
lebih tua yang bukan keluarga maupun terlebih pada keluarganya.
2. Power Distance/Jarak Kekuasaan
Geeert Hofstede (dalam: Em. Griffin, 2004:442) mengidentifikasikan power distance atau
jarak kekuasaan sebagai tingkatan dimana anggota masyarakat yang memiliki kekuatan atau
kekuasaan lebih sedikit akan menerima kekuatan yang didistribusikan dengan tidak sama atau tidak
merata.
Negara yang memiliki Large Power Distance cenderung memiliki perbedaan kekuasaan yang
nyata antara atasan dan bawahan dalam hal perintah, pertanggungjawaban kesalahan yang biasanya
dilimpahkan pada bawahan, sedangkan negara dengan Small Power Distance menerima kekuasaan
yang pembagiannya merata karena atasan yang cenderung menghormati bawahan dan pembagian
pertanggungjawaban kesalahan yang timbul secara merata.
Analisa Keterkaitan: Negara Jepang memiliki hubungan yang baik antara senior dan junior
karena menekankan hubungan yang harmonis antara keduanya yang menuntut untuk meningkatkan
kerjasama kelompok dibandingkan pencapaian individu yang dapat disimpulkan bahwa negara Jepang
memiliki power distance yang rendah. Tetapi negara Jepang sangat menghormati tingkatan orang
yang lebih tua, sehingga di dalam suatu kelompok akan lebih menghormati orang yang memiliki
tingkatan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, negara Jepang juga memiliki power distance yang tinggi.
Ketika sedang bernegosiasi, negara Jepang lebih memilih untuk mencari penerjemah yang seumuran
sehingga dapat lebih merasa nyaman, menunjukkan jarak kekuasaan yang rendah. Sedangkan negara
Amerika serikat cenderung memiliki power distance yang rendah dibandingkan negara Jepang,
karena tiap individunya berhak memiliki hak yang sama dalam hal pengambilan keputusan dalam
komunikasi.
3. Uncertainty Avoidance / Penghindaran Ketidakpastian
Uncertainty Avoidance menunjukkan bagaimana seorang negosiator bersikap untuk dapat
menghindari hasil yang memiliki ambiguitas yang muncul. Negara yang memiliki Uncertainty
Avoidance yang tinggi cenderung mentaati segala peraturan yang berlaku dan sangat menghindari
sesuatu yang menyimpang. Sedangkan sebaliknya, negara dengan Uncertainty Avoidance yang
rendah tidak terlalu memperhatikan peraturan dan menerima berbagai penyimpangan yang
ditimbulkan.
Analisa Keterkaitan: Dalam melakukan komunikasi dan negosiasi bisnis dengan negara
Jepang, negara Amerika dituntut untuk memberikan prosedur persyaratan yang sangat mendetail atau
menganut process oriented yang sangat mementingkan proses untuk menghindari nilai ambiugitas
yang timbul pada perjanjian komunikasi dan negosiasi untuk menghindair resiko yang terjadi di masa
depan. Ditambah negara Jepang sangat tidak peduli pada nilai harga yang timbul pada perjanjian,
yang penting bahwa ketika dilakukan komunikasi dan negosiasi, negara Jepang memiliki data yang
jelas mengenai perjanjian dengan negara Amerika.
4. Maskulinitas dan Feminitas
Pada dimensi ini membagi bukan jenis kelamin, melainkan peran individu dalam
bernegosiasi. Negara yang memiliki indeks maskulitinas yang tinggi cenderung untuk ambisius,
kompetitif, beroritentasi lebih pada harta dan kekayaan. Sebaliknya negara yang memiliki indeks
feminitas yang rendah cenderung lebih peka dan mementingkan sebuah relasi antar individu maupun
kelompok,
Analisa Keterkaitan: Negara Jepang bernegosiasi dengan menggunakan indeks maskulitinas
yang sangat tinggi bila dibandingkan pada negara yang indeks feminitasnya sangat tinggi karena
proses komunikasi dan negosiasi yang mereka lakukan berpegang pada prosedur yang jelas sehingga
cenderung untuk memiliki keberanian berkompetisi serta berargumen yang tinggi dan sangat process
oriented. Negara Amerika cukup memiliki tingkat maskulitinas yang tinggi walau tidak setinggi
negara Jepang sehingga ketika bernegosiasi akan membutuhkan proses yang panjang.
5. Long Term Orientation/Orientasi Jangka Panjang
Orientasi jangka panjang ini ”hadir untuk memperjuangkan kebaikan yang diarahkan pada
dukungan masa mendatang, khususnya melalui perlindungan dan penghematan tertentu” (Hofstede,
2001 : 359). Negara dengan Long Term Orientation yang tinggi cenderung ingin memiliki hubungan
yang berlanjut setelah negosiasi untuk keuntungan jangka panjang, sedangkan negara dengan Long
Term Orientation yang rendah cenderung tidak ingin.
Analisa Keterkaitan: Negara Jepang memiliki rasa sopan yang tinggi, dengan sikap ramah
yang mereka tunjukkan ketika bernegosiasi bisnis dengan negara Amerika. Mereka juga memiliki
kebiasaan tertawa bukan hanya sekedar untuk humor saja tetapi tertawa untuk menenangkan situasi.
Hal tersebut menjadi jelas bila dikaitkan dengan orientasi jangka panjang dari negara Jepang yang
sangat tinggi. Berbanding terbalik dengan negara Amerika yang sama sekali tidak memperdulikan
aspek keuntungan negaranya di masa yang akan datang.
b. High dan Low Context
Pada dimensi kebudayaan yang dikemukakan oleh Edward T. Hall yakni dimensi High
Context dan Low Context. High Context dipegang oleh Negara Jepang yang berarti bahwa gaya
komunikasi yang mereka miliki itu sangat singkat dan penuh arti. Sedangkan negara Amerika yang
memiliki gaya komunikasi Low Context cenderung untuk menyampaikan secara menyeluruh dan
terperinci dan dibicarakan secara eksplisit, sangat bertolakbelakang dengan negara Jepang. Sehingga
komunikasi dan negosiasi bisnis yang dilakukan antara negara Jepang dan negara Amerika bisa
menimbulkan kesalahan bila masing-masing negara tidak memahami, terlebih negara Jepang yang
sering membawa kebudayaan yang dilakukan di negara asalnya.
Gaya Komunikasi
Pada negara Jepang yang cenderung High Context, mereka memiliki nilai ambiguitas yang
cukup tinggi. Misalnya penggunaaan kata “Haik” yang digunakan bukan berarti bahwa mereka setuju
dengan yang dibicarakan tapi berarti bahwa mereka sedang mendengarkan pembicaraan sehingga
negara Amerika diharapkan dapat mendengarkan komunikasi dan menarik kesimpulan ketika
semuanya benar-benar sudah selesai.
Komunikasi non-verbal
Komunkasi yang dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh ketika mendemonstrasikan
sesuatu yang disampaikan, bisa melalu kepala, wajah, mata, tangan, dan kaki. Negara Jepang sering
sekali menggunakan komunikasi yang non-verbal yang sering sekali berbicara berputar-putar
dibandingkan secara langsung karena menganggap pembicaraan langsung ketujuan adalah hal yang
konfrontasi dan ancaman.
Eye contact
Negara Jepang menganggap bahwa penggunaan eye contact sangat tidak sopan karena merasa
bahwa tatapan yang menjurus langsung tersebut sebagai sebuah ancaman, berlainan dengan negara
Amerika yang menganggap tatapan mata adalah suatu hal biasa dalam komunikasi dan bernegosiasi.
Facial Expression
Negara Jepang sering menggunakan ekspresi yang sama ketika komunkasi tetapi juga sering
menggunakan ekspresi wajah tertentu yang memiliki arti yang berbeda. Senyum atau tertawa yang
dilakukan oleh orang Jepang bukan cuma menunjukkan bahwa pembicaraan itu lucu tapi juga
berusaha untuk menenangkan situasi.
III. Kesimpulan
Budaya yang dimiliki oleh setiap negara itu memiliki banyak perbedaan maka bila dibawa
ketika melakukan komunikasi dan negosiasi dengan negara lain maka akan menimbulkan penafsiran
yang berbeda dan memunculkan hambatan. Memahami bagaimana negara Jepang berkomunikasi
dalam hal gaya komunikasi, bahasa tubuh, sistem budaya hormat oleh negara Amerika akan
meningkatkan rasa senang bagi negara Jepang. Begitupun sebaliknya negara Amerika akan merasa
lebih nyaman dalam bernegosiasi dengan negara Jepang karena telah mengetahui arti-arti tertentu
yang secara implisit digunakan. Kesimpulannya saling memahami dan tanggap terhadap perbedaan
komunikasi lintas budaya antar negara Jepang dan Amerika adalah faktor utama dalam peningkatan
komunikasi yang baik dan efektif yang kemudian mengarah kepada pencapaian hasil yang baik pula
karena bila tidak ada, perbedaan budaya yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan komunikasi yang
tidak baik maupun tidak efektif yang hasil komunikasi pun tidak sesuai dengan yang diharapkan
masing-masing negara.
IV. Sumber/Referensi
Althifah, Rozalia. 2014. Komunikasi Antar Budaya (Power Distance, Prejudice, stereotype, Rasisme,
dan Etnosentrisme), (Online), (https://rozalianhk.wordpress.com/2014/01/01/komunikasi-antar-
budaya-power-distance-prejudice-stereotype-rasisme-dan-etnosentrisme/ Diakses 17 Oktober 2015)
Gunawan, Asep. 2013. Komunikasi dan Budaya, (Online), (http://damaidotcom.blogspot.co.id/2013/09/komunikasi-dan-budaya_8159.html. Diakses 17 Oktober 2015)
Kumayama, Akihisa. 1991. “Japanese/American Cross-Cultural Business Negotiations” Dalam Intercultural Coomunication Studies. America: American Graduate School of International Management.
Windiana, Alta. 2009. Pembagian Kebudayaan Berdasarkan Sifatnya, (Online), (http://altawindiana.blogspot.co.id/2009/04/pembagian-kebudayaan-berdasarkan.html. Diakses 17 Oktober 2015)
Dari video yang disampaikan pada materi tersebut terdapat beberapa
Case berneg
1. Orang jepang lebih ke proses, respek ke elders
2. Mereka jepang, respek orang tua jadi mereka harus bikin nyaman mereka, jadi kalo pakai
penerjemah itu sebaiknya seumuran sama orang jepangnya jadi biar mereka ngerasa ga
sungkan, lebih terbuka
3. Mereka jepang, orangnya sopan, jadi kalo misalnya kalo mereka ketawa itu ga Cuma
sekedar buat humor tapi mereka ketawa untuk menenangkan situasi
4. Jepang, kalau mereka itu ga itung-itungan soal harga
5. Jepang, karena punya perbedaan bahasa sebaiknya mendengarkan dulu pembicaraan
sampai akhir dulu karena kata “Haik” itu bukan mereka berarti agree, tapi bisa aja karena
mereka sedang mendengarkan
6. Mereka lebih suka harmoni antar setiap individual senior-junior, dibandingkan
penonjolan masing-masing. Kesuksesan tim bukan individu
7. Orang jepang humble, bahasa mereka menunjukkan kalo mereka itu polite
8. Jangan terlalu suka eyecontact ke orang jepang , karena kayaknya arti nya kayak
ngancem.
9. Harus menjelaskan secara detail mengenai syarat prosedure kepada orang jepang
10.