kaitan kearifan lokal dengan polmas

Upload: wrwnnvnt

Post on 10-Oct-2015

66 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dengan diterapkannya sistem Subak ini secara tidak langsung potensi konflik antar petani dapat dihindari sehingga terwujud keharmonisan antara sesama kelompok petani yang tergabung dalam organisasi Subak. Akhirnya tercipta situasi harmonis dan kamtibmas yang kondusif di lingkungan sekitar wilayah dimana sistem Subak tersebut diberlakukan. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa nilai kearifan lokal di suatu daerah mampu menggerakkan masyarakat lokal untuk ikut andil dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. Kepolisian sebagai salah satu institusi yang dikedepankan dalam pemeliharaan kamtibmas sangat diuntungkan dengan masih adanya nilai-nilai kearifan lokal yang masih eksis keberadaaanya di sebagian besar daerah di indonesia karena masyarakat lokal dan kepolisian setempat secara bersama-sama ikut dalam menjaga situasi lingkungan yang tertib dan kondusif.

TRANSCRIPT

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPOLISIAN MAHASISWA ANGKATAN 64

TUGAS MATA KULIAH POLMAS

NILAI KEARIFAN LOKAL PADA SISTEM IRIGASI SUBAK DI PROVINSI BALI

Disusun Oleh:

Nama: MUHAMMAD WIRAWAN NOVIANTONo. Mhs : 13648370Sindikat : DPolda: Bali

Denpasar, September 2014NILAI KEARIFAN LOKAL PADA SISTEM IRIGASI SUBAK DI PROVINSI BALI

I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara yang memiliki susunan masyarakat dengan ciri pluralitas yang tinggi, dengan luas yang mencapai 1.922.570 km2 yang didalamnya terdiri dari daratan dan lautan serta terdapat kurang lebih 17.508 pulau dengan karakteristik daerah yang berbeda satu sama lain. Terdapat berbagai ras, suku, budaya dan nilai-nilai budaya masing-masing yang membuat kemajemukan Indonesia semakin tinggi. Secara geografis Indonesia diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua Samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Wilayah Indonesia juga mengandung potensi kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan beraneka ragam.Kemajemukan masyarakat serta potensi kekayaan alam yang melimpah di berbagai daerah rentan menimbulkan konflik didalam mayarakat itu sendiri. Apabila tidak dikelola dengan baik, maka konflik dapat berkembang menjadi gangguan nyata yang mengancam eksistensi kesatuan bangsa. Pada dasarnya kecenderungan akan terjadinya konflik di masing-masing daerah akibat dari perbedaan pendapat dan kepentingan para pihak didalam masyarakat sudah disadari oleh masyarakat lokal itu sendiri, kepedulian dan ketergantungan antara masyarakat yang ingin menumbuhkan tatanan hidup yang damai dan tentram antara satu sama lain inilah yang akhirnya membentuk suatu sistem dalam upaya untuk mengurangi timbulnya konflik tersebut. Pada fase inilah tebentuk yang namanya sistem sosial, yaitu suatu sinergi antara berbagai subsistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan.Peran Budaya masyarakat di tiap-tiap daerah di Indonesia dalam menjaga hubungan antara sesama individu didalam masyarakat terbentuk karena adanya sistem budaya. Sistem budaya merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas satu dari yang lainnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan, yang diartikan pula adat-istiadat mencangkup sistem nilai budaya, sistem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama. Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih kental dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keraifan lokalnya salah satunya yaitu sistem irigasi Subak. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat di Bali yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam menyebabkan sumber air untuk suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh. Kadang-kadang untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak. Sebagaimana halnya dengan berbagai organisasi tradisional yang tumbuh di Bali, subak juga berdasarkan atas filosofi Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga factor dari Tri hita karana, yaitu Parhyangan (unsur Ketuhanan), Pawongan (manusia), dan Palemahan (unsur alam). Secara tidak langsung penerapan sistem Subak juga membantu menghidari terjadinya konflik diantara para petani terutama dalam pemerataan pengelolaan air irigasi sehingga tercipta hubungan yang harmonis baik antara manusia dengan sesamanya maupun dengan alam.

II. PEMBAHASANKearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan local dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain sebagainya.Masyarakat Bali sebagai satu kesatuan geografis, suku, ras, agama memiliki nilai kearifan lokal yang telah teruji dan terbukti daya jelajah sosialnya dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan sosial. Nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam menata hubungan dan kerukunan antar sesame umat beragama di Provinsi Bali salah satunya nilai kearifan Tri Hita Karana; suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan tuhan (sutata parhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam lingkungannya (sutata palemahan). Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan social masyarakat yang berjalan sangat dinamis. Tri Hita Karana(THK) tercermin dalam suatu kelembagaan masyarakat lokal bali salah satunya yaitu dalam sistem irigasi Subak.WujudTri Hita Karanadalam sistem irigasi subak di Bali merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya sudah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Adapun perwujudan konsep THK dalam operasional sistem irigasi subak antara lain :a.Subsistem budayayang dicerminkan dengan pola pikir pengelolaan air irigasi yang dilandasi dengan keharmonisan dan kebersamaan.Contoh: Menyelenggarakan upacaramendak toya, membuat Pura bangunan suci (Bedugul) di lahan yang tersisa pada lokasi bangunan-bagi.b.Subsistem sosialyang dicerminkan dengan adanya organisasi subak yang disesuaikan dengan kepentingan petani, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dan konflik yang terjadi di dalam subak dapat dihindari agar tercipta keharmonisan.Contoh: Pembuatanawig-awig(peraturan) agar dapat dipatuhi oleh semua anggota dan pengurus subak, adanya rapat yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama.c.Subsistem artefak/kebendaanyang dicerminkan dengan ketersediaan sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan subak, pendistribusian air secara adil, dan proses peminjaman air. Sehingga, konflik-konflik dapat dicegah.Contoh: Pembagian air menggunakan sistemtektek, sistem suplesi dan drainasi yang terpisah dalam satu kompleks sawah yang dikenal dengan one inlet and oneoutlet system, dan adanya pemberian tambahan air seandainya terjadi suplai air yang kurang di lahan petani.Berdasarkan penjelasan diatas bentuk kearifan lokal dalam sistem subak dapat dipahami sesuai dengan teori Struktur Fungsional dan Teori Konflik Dialektika. Dalam teori Struktur Fungsional dijelaskan bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai dasar kemasyarakatan yang menjadi panutannya. Hal ini tercermin pada pembuatan awig-awig(peraturan) oleh semua anggota dan pengurus subak yang didasarkan atas kesepakatan bersama dan untuk dipatuhi secara bersama-sama. Sedangkan dilihat berdasarkan teori konflik dialektika dijelaskan bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Sistem Subak tumbuh seiring dengan semakin sedikitnya ketersediaan air akibat dari kerusakan alam sedangkan kebutuhan air semakin meningkat. Kekurangan air dirasakan terutama pada musim kemarau, yang sering memicu terjadinya konflik antar pengguna air, baik antar wilayah hulu dengan hilir, antar sektor, dan antar kelompok petani. Hal inilah memicu para kelompok petani untuk membuat kesepakatan dalam bentuk regulasi dan teknologi atas dasar pemikiran bersama dalam rangka membentuk sarana jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan sawah dan pendistribusian air yang adil. Pada era modern sekarang ini nilai kearifan sistem irigasi Subak dihadapkan dengan gencarnya pembangunan-pembangunan yang menggunakan teknologi tinggi dan cenderung eksploitatif, dan kuatnya pengaruh budaya modernisme. Hal ini seringkali mengakibatkan semakin pudarnya penghayatan nilai-nilai budaya tradisional disatu sisi; namun disisi lain nilai kearifan lokal sejauh ini masih mampu mempertahankan eksistensinya, mampu memelihara, menjaga, dan melestarikan sumberdaya alam (baik lahan, hutan, maupun air) untuk mendukung kehidupan secara berkelanjutan. Ditandai dengan masih digunakannya sistem Subak ini sampai saat ini oleh sebagian besar kelompok petani di beberapa daerah di Bali.Dengan diterapkannya sistem Subak ini secara tidak langsung potensi konflik antar petani dapat dihindari sehingga terwujud keharmonisan antara sesama kelompok petani yang tergabung dalam organisasi Subak. Akhirnya tercipta situasi harmonis dan kamtibmas yang kondusif di lingkungan sekitar wilayah dimana sistem Subak tersebut diberlakukan. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa nilai kearifan lokal di suatu daerah mampu menggerakkan masyarakat lokal untuk ikut andil dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. Kepolisian sebagai salah satu institusi yang dikedepankan dalam pemeliharaan kamtibmas sangat diuntungkan dengan masih adanya nilai-nilai kearifan lokal yang masih eksis keberadaaanya di sebagian besar daerah di indonesia karena masyarakat lokal dan kepolisian setempat secara bersama-sama ikut dalam menjaga situasi lingkungan yang tertib dan kondusif.

III. PENUTUPTerdapat relevansi antara teori Struktur Fungsional dan Teori Konflik Dialektika dengan pembentukan kearifan lokal sistem irigasi Subak, dijelaskan bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat para anggotanya terhadap nilai dasar kemasyarakatan yang menjadi panutannya dan perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.Nilai kearfian lokal Tri Hita Karana(THK) yang tercermin dalam suatu kelembagaan masyarakat lokal bali dalam sistem irigasi Subak terbukti memiliki dampak positif dalam meredam potensi konflik yang bisa terjadi antar pengguna air, baik antar wilayah hulu dengan hilir, antar sektor, dan antar kelompok petani sehingga terwujud keharmonisan antara sesama kelompok petani.Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa nilai kearifan lokal di suatu daerah mampu menggerakkan masyarakat lokal untuk ikut andil dalam menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. Nilai kearifan lokal Kepolisian sebagai salah satu institusi yang dikedepankan dalam pemeliharaan kamtibmas sangat diuntungkan dengan masih adanya nilai-nilai kearifan lokal yang masih eksis keberadaaanya di sebagian besar daerah di indonesia karena masyarakat lokal dan kepolisian setempat secara bersama-sama ikut dalam menjaga situasi lingkungan yang tertib dan kondusif.

DAFTAR PUSTAKAPitana, I Gede. 1993. Subak. Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Upada Sastra. Denpasarhttp://id.wikipedia.org/wiki/Subak_(irigasi)http://www.gianyarkab.go.id/subak-pulagan-dinilai