kaitan antara pertumbuhan dengan … · keluarga yang tergolong perokok aktif. rata-rata pendidikan...

124
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR

Upload: vuongtu

Post on 19-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK

USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kaitan antara

Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia

Prasekolah di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Rindu Dwi Malateki Solihin

NIM I151114141

iv

RINGKASAN

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Kaitan antara Pertumbuhan dengan

Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten

Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan DADANG SUKANDAR.

Pertumbuhan anak salah satunya dapat dilihat dari indeks tinggi badan

menurut umur. Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia

mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita

mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010.

Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih

tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas

30%. Stunting pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan

diantaranya gangguan kognitif (Walker et al. 2005) dan motorik (Paiva et al.

2012), tetapi penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek

pertumbuhan dan perkembangan masih terbatas dan hasilnya bervariasi.

Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis kaitan antara pertumbuhan

(TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah.

Secara khusus bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristik keluarga dan anak

usia prasekolah; 2) Menganalisis pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan

pengasuhan anak ibu; 3) Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah; 4)

Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik)

anak usia prasekolah; 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi anak,

karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik)

dan status gizi anak (TB/U); 6) Menganalisis hubungan antara karakteristik

keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik

keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan)

ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak; dan

7) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U)

dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Penelitian ini termasuk penelitian survei yang dilakukan terhadap 73 anak

usia 3-5 tahun di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5

tahun; 2); mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai

data berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat bawaan.

Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan atau sedang

sakit. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data

primer meliputi karakteristik keluarga, pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan

dan pengasuhan anak pada ibu, karakteristik anak, perkembangan anak (kognitif

dan motorik), pertumbuhan anak (TB/U), dan pola konsumsi anak. Data sekunder

meliputi gambaran umum lokasi penelitian, jumlah dan karakteristik anak.

Analisis statistik dilakukan dengan SPSS 16 for Windows. Analisis

deskriptif menggambarkan sebaran variabel berdasarkan persen dan rataan.

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara: 1)

karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola konsumsi anak, perkembangan

(kognitif dan motorik) dan tinggi badan anak menurut umur; 2) karakteristik

keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak;

v

3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek ibu mengenai gizi,

kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai gizi dan kesehatan

dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan

motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda.

Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh balita mempunyai

karakteristik normal. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada pada kategori

kecil dan termasuk keluarga miskin. Lebih dari separuh balita mempunyai anggota

keluarga yang tergolong perokok aktif. Rata-rata pendidikan terakhir ayah adalah

SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan ibu adalah SD atau SMA dan tidak

bekerja. Lebih dari separuh ibu mempunyai tinggi badan dan IMT yang tergolong

normal dan mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong

sedang, sedangkan tingkat pengetahuan pengasuhan tergolong tinggi. Praktek

kesehatan ibu tergolong tinggi sedangkan praktek gizi dan pengasuhan ibu

tergolong sedang. Balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu

menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif

selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Pada umumnya,

gangguan makan balita adalah kebiasaan jajan. Hampir seluruh ibu menyiapkan

dan menyuapi balita makan sambil bermain di luar rumah. lebih dari separuh

balita mempunyai TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan

motorik halusnya rendah, sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar

tergolong sedang.

Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu,

tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan

panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD,

dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3)

TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan

dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan

tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan

keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang

signifikan antara besar keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu dengan tingkat kecukupan gizi

balita.

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah

tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktor-

faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus

balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktor-

faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar

balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktor-

faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita

adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.

Kata kunci: kognitif, motorik, perkembangan, pertumbuhan, prasekolah

vi

SUMMARY

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Relationship between Growth, Cognitive

Development, and Motor Development among Preschool Children in Bogor

District. Supervised by FAISAL ANWAR and DADANG SUKANDAR.

Children growth is reflected by height for age index. According to

Riskesdas (2010), stunting among under five children in Indonesia reached

35.7%. Specifically in West Java province, the prevalence of stunting in under

five children reached 35.4% in 2007 and decreased to 33.7% in 2010. The number

was still below the national stunting prevalence, but it was a high public health

problem according to WHO reference because it was above 30%. Stunting in

under five children causes variety of developmental disorders including cognitive

(Walker et al. 2005) and motor (Paiva et al. 2012) disorders. Studies in Indonesia,

which leads to growth and development aspects are still limited and the results are

varied.

The main objective of this study was to analyze relationship between

growth, cognitive development, and motor development in preschool children.

Specifically, it was aimed to : 1)analyze the characteristics of families and

preschool children ; 2)analyze the knowledge and practice of nutrition, health and

child care; 3)analyze the consumption pattern of preschool children ; 4)analyze

growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool

children; 5)analyze the relationship between consumption patterns of children,

child characteristics, family characteristics, development (cognitive and motor)

and childrens nutritional status (height for age); 6)analyze the relationship

between family characteristics, mothers knowledge (nutrition, health , and child

care), mothers practices (nutrition, health and child care), and childrens nutrient

adequacy level; 7)analyze the factors that influence growth (height for age) and

development (cognitive and motor) of preschool children.

This survey was conducted to 73 children aged 3-5 years in Cibanteng

village, Bogor District, West Java. Sampling was carried out with inclusion

criteria: 1)children age 3-5 years, 2); had complete parents and willing to join the

survey, 3) data of weight and height at birth were available; 4) do not have

congenital abnormalities. Exclusion criteria were: children were sick or under any

medical treatments. Data collected included primary and secondary data. Primary

data included family characteristics, knowledge and practice (nutrition, health and

child care) child characteristics, child development (cognitive and motor), child

growth (height for age), and consumption patterns of children. Secondary data

included description of the study location and children characteristics.

Statistical analysis was performed by SPSS 16 for Windows. Descriptive

analysis described the distribution of the variable based on percent and average.

Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between: 1)

family characteristics, child characteristics, consumption patterns of children,

development (cognitive and motor) and height for age; 2) family characteristics

and mother's knowledge (nutrition, health, and child care); 3) family

characteristics and mothers knowledge practices (nutrition, health, and child

care), 4) practice of mother (nutrition and health) and childrens nutrient adequacy

vii

level. Factors that affect growth (TB/U) and development (cognitive and motor)

of children were analized by linear multiple regression.

This study showed that more than half of the children had normal

characteristics. Families size mostly were small and they were poor. More than

half children had family members that were active smokers. The average of

fathers education level was high school and worked as labor, while the mother

was elementary or high school and not working. Mothers height and BMI were

relatively normal. Level of mothers nutrition knowledge and health were

classified as moderate, while the knowledge level of child care was high. Level of

health practices was high while the level of nutrition practices and child care were

moderate. Most children ate three times a day and did not always finish their food.

Most children were not exclusively breastfed for six months (89.0%) and did not

drink milk regularly. Snacking was a common childrens eating disorder. Almost

all mothers prepared and fed their children by themselves. More than half of the

children had normal height for age, but level of cognitive and fine motor

development were low, while gross motor development level were moderate.

There was significant positive relationship between: 1) mothers height,

childrens nutrient adequacy level (energy, protein, iron, vitamin A, calcium,

phosphorus), birth length of children, and children height for age; 2) children

height for age, early education, age of the children, and level of motor (fine and

gross) development; 3) children height for age, early education, age of the

children, psychosocial stimulation, and level of cognitive development; 4)

mother's education level and mothers nutrition knowledge; 5) mother's education

level, family income, and mothers health practices. There was significant

negative relationship between family size, nutrition knowledge level and child

care practices level of mother. There was no significant relationship between

mothers nutrition and health practices and childrens nutrient adequacy level.

Factors that significantly influenced children height for age were mothers

height and childrens nutrient adequacy level (energy and protein). Factors that

significantly influenced the level of fine motor development were children height

for age and gross motor development level. Factors that significantly influenced

the level of gross motor development were childrens age, cognitive and fine

motor development level. Factors that significantly influenced the level of

cognitive development were early education and gross motor development level.

Keywords: cognitive development, growth, motor development, preschool

viii

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN

KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN

PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK

USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS

xi

Judul Tesis : Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan

Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor

Nama : Rindu Dwi Malateki Solihin

NIM : I151114141

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS

Ketua

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Gizi Masyarakat

drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

(18 Desember 2013)

Tanggal Lulus:

xii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat

dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis

yang berjudul Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan

Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor diajukan sebagai salah

satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi

Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan usulan, saran, kritik dan motivasi

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.

3. Kedua orang tua, Rahmat Solihin Sm.Hk (Alm) dan Dra. Titin Kusumawati beserta semua keluarga besar penulis yang tak henti-hentinya mendoakan dan

memberikan motivasi.

4. Gugum Gumbira, S.Ik beserta keluarga yang senantiasa memberikan perhatian dan motivasi kepada penulis.

5. Darwin Warsono, S.Sos selaku Kepala Desa Cibanteng yang telah memberikan izin pengambilan data penelitian.

6. Nuraeni, Susanti dan seluruh kader posyandu Desa Cibanteng yang telah memberikan bantuan selama pengambilan data penelitian.

7. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian: Ima Karimah, S.Gz; Nurlaely Fitriana, S.Gz; Siti Alvianti, S.Gz; Risma Junita, S.KPm;

Catur Dwi Anggarawati, SP; Ida Parida, SP; dan Tatit Sastrini, SP.

8. Teman-teman mahasiswa Ilmu Gizi Masyarakat yang telah memberikan motivasi dan bantuan selama penulis melangsungkan studi di sekolah

Pascasarjana IPB.

9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak permasalahan untuk

dikaji terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak,

sehingga dibutuhkan penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam

untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2013

Rindu Dwi Malateki Solihin

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Determinan Stunting pada Anak 4

Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak 10

Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak 16

3 KERANGKA PEMIKIRAN 19

4 METODE PENELITIAN 22

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian 22

Teknik Pemilihan Sampel 22

Jenis dan Cara Pengambilan Data 23

Pengolahan dan Analisis Data 26

Definisi Operasional 29

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 31

Karakteristik Umum Balita 34

Riwayat Kelahiran Balita 36

Riwayat PemberianASI dan MP-ASI Balita 38

Preferensi Makanan dan Minuman Balita 40

Kebiasaan Makan Balita 42

Tingkat Kecukupan Gizi Balita 44

Pertumbuhan Balita 46

Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita 47

Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu 48

Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu 50

Tingkat Pengetahuan Ibu 51

Praktek Ibu 57

Praktek Pengasuhan Ibu 61

Karakteristik Keluarga Balita 64

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu 66

xiv

Hubungan Praktek Ibu 68

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Praktek Ibu 69

Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur 71

Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita 74

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita 78

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita 82

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik kasar Balita 84

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita 86

6 SIMPULAN DAN SARAN 88

Simpulan 88

Saran 89

DAFTAR PUSTAKA 90

LAMPIRAN 104

RIWAYAT HIDUP 108

xv

DAFTAR TABEL

1 Pondasi perkembangan motorik 13

2 Tahap perkembangan kognitif Piaget 14

3 Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data 24

4 Kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U 27

5 Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996) 27

6 Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng 31

7 Jumlah penduduk menurut struktur usia 32

8 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk 33

9 Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng 34

10 Sebaran balita menurut karateristiknya 36

11 Sebaran balita menurut riwayat kelahiran 37

12 Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI 39

13 Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman 41

14 Sebaran balita menurut kebiasaan makan 43

15 Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi 45

16 Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur 46

17 Sebaran balita menurut tingkat perkembangan 48

18 Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi 49

19 Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi 51

20 Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan 52

21 Sebaran ibu balita menurut praktek 57

22 Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan 62

23 Sebaran balita menurut karakteristik keluarga 65

24 Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu 67

25 Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu 69

26 Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu 70

27 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga 72

28 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita 73

29 Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan

karakteristik balita 75

30 Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan

karakteristik balita 76

31 Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan

karakteristik balita 77

32 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U 79

33 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus 82

34 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar 85

35 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif 86

xvi

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif

dan motorik pada anak usia prasekolah 21

2 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan

benar 53

3 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan

dengan benar 54

4 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan

dengan benar 56

5 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar 58

6 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan

Benar 60

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 105

2 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U 106

3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus 106

4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar 106

5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif 107

6 Dokumentasi kegiatan pengukuran perkembangan anak 107

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gizi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi

terlibat dalam berbagai reaksi matabolisme pada berbagai sistem tubuh yang

diantaranya bertanggung jawab terhadap perkembangan fisik dan mental.

Malnutrisi pada anak merupakan masalah yang kompleks, multidimensi, dan

saling berhubungan. Di Indonesia, spektrum malnutrisi sangat luas yang tersebar

di seluruh tahap kehidupan, diantaranya dalam bentuk Kurang Energi Protein

(KEP), kekurangan zat gizi mikro, berat bayi lahir rendah, dan gangguan

pertumbuhan yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (Atmarita

2005).

Pertumbuhan anak salah satunya tercermin dari indeks tinggi badan

menurut umur. Berdasarkan indeks tersebut maka anak dikelompokan menjadi

stunting atau normal. Stunting merupakan kondisi kurang gizi menurut indeks

tinggi badan menurut umur (TB/U). Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang

rendah dan efek kumulatif dari kekurangan atau ketidakcukupan asupan energi,

zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi

kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Menurut

Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus

di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada

tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih

dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah

publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting dapat

menyebabkan gangguan perkembangan diantaranya gangguan kecerdasan

(Walker et al. 2005) dan perkembangan motorik (Pollit 2000)

Gangguan pertumbuhan yang dicirikan dengan rendahnya tinggi badan

menurut umur (stunting) sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Pada

anak stunting seringkali mengalami penurunan kinerja sistem syaraf yang

berimplikasi pada rendahnya kecerdasan anak. Hasil-hasil penelitian

menunjukkan bahwa kurang gizi pada usia dini, salah satunya tercermin dari

keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ

yang dicirikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di

sekolah. Menurut World Bank (2006), stunting dapat menyebabkan kehilangan IQ

sebesar 5-11 poin. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan kemampuan

kognitif yang rendah di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi

pada usia muda (Walker et al. 2005).

Selain itu, stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan

sistem motorik baik pada anak yang normal maupun pada anak yang mengidap

penyakit tertentu. Anak stunting yang terekspos oleh HIV mempunyai skor

kemampuan motorik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal

(McDonald et al. 2012). Penurunan fungsi motorik pada anak stunting yang tidak

mempunyai kelainan bawaan dikaitkan dengan rendahnya kemampuan mekanik

dari otot tricep surae, sehingga lambatnya kematangan fungsi otot tersebut

menyebabkan kemampuan motorik anak stunting terhambat (Paiva et al. 2012).

2

Pada umumnya, peneliti hanya meneliti aspek pertumbuhan dan

perkembangan secara terpisah. Penelitian-penelitian di Indonesia yang mengarah

kepada penilaian aspek pertumbuhan sekaligus perkembangan anak masih terbatas

dan hasilnya masih bervariasi. Penelitian Marlina (2012) menyebutkan tidak ada

hubungan signifikan antara stunting dengan perkembangan kognitif anak usia

prasekolah. Sebaliknya, sebuah penelitian terhadap kelompok stunting dan normal

menunjukan bahwa kelompok stunting mempunyai skor perkembangan bahasa

dan kognitif yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan

kelompok normal, dan terdapat hubungan yang nyata antara kejadian stunting

dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak (Hanum 2012). Penelitian ini

dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya dengan

melihat pengaruh stunting baik terhadap perkembangan kognitif maupun terhadap

dimensi perkembangan yang lain yaitu perkembangan motorik pada anak usia

prasekolah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang ingin diteliti

adalah: 1) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak,

tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan

pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur; 2) bagaimana

hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi,

kesehatan, dan pengasuhan anak; 3) bagaimana hubungan antara karakteristik

keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak

dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu; 4) bagaimana hubungan

antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia

prasekolah; dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

(TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kaitan antara

pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia

prasekolah.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis karakteristik keluarga dan karakteristik anak usia prasekolah 2. Menganalisis pengetahuan dan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan dan

pengasuhan anak

3. Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah 4. Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan

motorik) anak usia prasekolah

5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi anak, karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik) dan

pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur

3

6. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan

pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan

praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak.

7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan

pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur.

2. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak.

3. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi,

kesehatan, dan pengasuhan ibu.

4. Terdapat hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah.

5. Terdapat pengaruh dari karakteristik keluarga dan anak terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia

prasekolah.

Manfaat

Memberikan informasi kepada orang tua akan pentingnya menjaga status

gizi dan memberikan stimulasi psikososial pada anak agar mencapai kematangan

perkembangan kognitif dan motorik yang optimal. Selain itu, dapat pula menjadi

bahan rujukan bagi para pembuat kebijakan dalam merencanakan program

intervensi gizi pada anak usia prasekolah sehingga program intervensi gizi lebih

difokuskan pada penurunan prevalensi stunting pada kelompok anak usia di

bawah lima tahun.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Determinan Stunting pada Anak

Pertumbuhan pada anak merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi

masyarakat karena erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang

lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan

lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat

pendidikan (Depkes 2009). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang

tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati defisit 2SD

dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi

internasional (Manary & Solomons 2009). Hasil studi kohort di Brazil,

Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa stunting

dalam dua tahun pertama kehidupan merupakan faktor risiko untuk konsentrasi

glukosa yang tinggi, tekanan darah, dan profil lipid yang merugikan setelah

dewasa (Victora et al. 2008). Walaupun demikian, penyebab dan etiologi stunting

pada anak jauh kurang dipahami jika dibandingkan dengan konsekuensinya.

Stunting dapat terjadi secara luas di lingkungan yang miskin (Reyes et al. 2004;

Khomsan et al. 2013), bahkan di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan

(Teshome et al. 2009). Dalam suatu populasi, seorang anak dapat menjadi stunted

atau tidak, atau secara lebih luas, suatu populasi dapat menjadi lebih stunted

dibandingkan populasi lainnya. Hal ini berarti bahwa diperlukan pemahaman yang

baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak menjadi stunting baik pada

tingkat individu maupun ekologi.

Jenis Kelamin Anak

Jenis kelamin anak sering dijadikan faktor risiko dalam menganalisis

masalah stunting di beberapa wilayah atau negara. Pada tahun 2006, sebuah

penelitian cross sectional dilakukan oleh Teshome et al. terhadap 622 pasang ibu-

balita (usia 0-59 bulan). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa anak laki-laki

mempunyai risiko menjadi stunting 1.5 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan

anak perempuan. Teshome et al. mengkaitkan hal tersebut dengan sex preference

yang dilakukan oleh ibu atau caregiver dimana anak laki-laki relatif dirugikan

dengan pola asuh gizi yang berbeda dengan anak perempuan. Oleh sebab itu,

Teshome et al. menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

perbedaan pola asuh pada anak laki-laki dan perempuan. Melengkapi hal tersebut,

penelitian Nzala et al. (2011) terhadap 6142 anak balita di Zambia menunjukan

bahwa anak laki-laki mempunyai risiko menjadi stunted yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan adanya kebudayaan di zambia

dimana anak laki-laki terbiasa makan dengan ayahnya, yang berati lebih sedikit

makanan yang didapat, sementara anak perempuan terbiasa makan dengan ibu

mereka dan mendapat makanan yang lebih banyak. Selain itu, pengeluaran energi

anak laki-laki lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan karena anak

laki-laki lebih aktif bermain. Walaupun kedua penelitian tersebut memasukkan

jenis kelamin sebagai faktor risiko stunting, tapi dalam penelitian lain jenis

kelamin tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting

(Schoenbaum et al. 1995; Kshatryia & Ghosh 2008; Ekpo et al. 2008).

http://www.indonesian-publichealth.com/2013/03/pemantauan-status-gizi.html

5

Usia Anak

Stunting merupakan proses kumulatif yang berlangsung lama bahkan sejak

masih dalam kandungan. Oleh sebab itu, faktor usia menjadi berpengaruh

terhadap kejadian stunting dalam beberapa penelitian di Ethiopia (Teshome et al.

2009; Yimer 2000) dan negara berkembang lainnya (Kumar et al. 2006). Pada

penelitian Teshome et al. (2009), risiko stunting meningkat seiring dengan

bertambahnya usia, dimana anak dengan usia 13-24 bulan berisiko lebih tinggi

mengalami stunting dibandingkan dengan anak dengan usia yang lebih muda (< 7

bulan). Hasil penelitian Teshome et al. (2009) menggarisbawahi pentingnya dua

tahun pertama kehidupan sebagai masa paling kritis untuk intervensi gizi sehingga

diperlukan program-program yang meningkatkan status gizi pada anak-anak yang

rentan. Anak dengan usia kurang dari 24 bulan merespon jauh lebih cepat

terhadap perbaikan pertumbuhan dibandingkan anak dengan usia lebih tua.

Setelah anak mencapai 2 tahun, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi

stunting yang telah terjadi sebelumnya.

Status Kesehatan Anak

Status kesehatan pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan

masalah stunting khususnya diare (El Taguri et al. 2007; Teshome et al. 2009;

Nzala et al. 2011). Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting

dimana anak-anak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting

dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare, sementara prevalensi malaria lebih

besar pada mereka yang stunting akan tetapi tidak ditemukan hubungan yang

signifikan (Teshome et al. 2009). Selain diare, infeksi pernapasan akut juga

ditemui pada anak stunting walaupun tidak setingi insiden diare (Nzala et al.

2011). Menurut Eastwood (2003) infeksi dan diare berkontribusi terhadap

kejadian stunting karena dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh

sehingga menyebabkan pertumbuhan anak tidak optimal, akan tetapi dalam

penelitian Nasikhah (2012) infeksi pernapasan akut tidak terbukti berhubungan

secara signifikan dengan kejadian stunting.

Status Kelahiran Anak

Status kelahiran berkonribusi terhadap kejadian stunting pada anak (Ricci

& Becker 1996; Kusharisupeni 2002; Santos et al. 2009). Berdasarkan penelitian

kohort prospektif selama 12 bulan yang dilakukan Kusharisupeni (2002), ukuran

tubuh pada saat lahir mampu memprediksi pertumbuhan janin, dimana pada saat

usia 12 bulan kelompok bayi yang lahir dengan berat badan rendah (

6

kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal, peluang

tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan.

Asupan Zat Gizi Anak

Masalah stunting pada anak tidak dapat dipisahkan dari asupan zat gizi

anak baik yang berasal dari makanan, minuman, maupun ASI. Zat gizi diperlukan

oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat

vital dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kulit manusia akan mengalami

pergantian sel setiap tujuh tahun, lemak yang berada di bawah kulit hari ini tidak

sama dengan lemak yang berada di bawah kulit setahun yang lalu, sel darah merah

akan diperbaharui setiap 120 hari, dan seluruh lapisan pencernaan akan

diperbaharui setiap tiga sampai lima hari (Whitney & Rolfes 2011). Untuk itu,

seorang anak harus terus menerus memenuhi asupan gizinya untuk menjaga

proses tersebut tetap berlangsung.

Mikronutrien yang seringkali dianggap penting dalam pertumbuhan balita

maupun usia prasekolah adalah vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al. 2007;

Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800 balita si

NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan vitamin A)

berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al. 2007). TB/U

balita stunting pada kelompok yang diberi Zn+Fe dan kelompok yang diberi

Zn+Fe+Vit A meningkat secara signifikan setelah 4 bulan suplementasi,

ditunjukan dengan angka pertumbuhan 1.1-1.5 cm lebih tinggi jika dibandingkan

dengan kelompok plasebo, sementara pada kelompok Zn tidak berbeda secara

signifikan dengan plasebo. Setelah 6 bulan kemudian dilakukan follow-up,

perbedaan TB/U diantara ke empat kelompok menjadi tidak berbeda secara

signifikan, tetapi kelompok Zn+Fe dan kelompok Zn+Fe+vit A masih tetap

mempunyai nilai TB/U yang lebih tinggi jika dibandingkan kelompok Zn dan

plasebo. Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya

mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan

mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin

yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang

optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan

rasio Zn:Fe yang tepat. Fahmida et al. (2007) juga menekankan pentingnya peran

zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita.

Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan

pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein

yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001).

Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan

kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan

optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel

dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan

vitamin A anak usia 3-5 tahun adalah 400-450 RE/hari, zinc 8.2-9.7 mg/hari, besi

8-9 mg/hari, energi 1000-1550 Kal/hari, dan protein 25-39 gram/hari.

Selain itu, kalsium dan fosfor (bersama-sama dengan vitamin D) berperan

dalam proses mineralisasi tulang dan pertumbuhan pada anak-anak. Vitamin C

diperlukan dalam pembentukan kolagen yang mempengaruhi integritas struktur

sel di semua jaringan ikat seperti tulang rawan, matriks tulang, dan tendon otot.

Kekurangan vitamin dan mineral tersebut berakibat pada terhambatnya

7

pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada

anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004),

kebutuhan kalsium anak usia 3-5 tahun adalah 500 mg/hari, fosfor 400 mg/hari,

vitamin D 5 g/hari, dan vitamin C 40-45 mg/hari.

Pemberian ASI dan MP-ASI

Pemberian ASI eksklusif secara tepat sejak bayi hingga usia 6 bulan

merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan

sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak disusui secara eksklusif tidak hanya

akan terganggu pertumbuhannya akan tetapi juga tidak akan mendapat stimulasi

optimal untuk perkembangan otak karena melalui proses menyusui eksklusif akan

terbentuk hubungan kasih sayang antara ibu dan anak (Syarief et al. 2009). WHO

(2002) menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan.

Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan

anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi,

lemak, dan vitamin A. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat

meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak

memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak (Teshome et al. 2009; Gugsa

et al. 1999). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa penyapihan kolostrum,

lama menyusui, usia pengenalan MP-ASI, frekuensi makan, cara pemberian

makan, dan jenis makanan yang diberikan pertama kali sebagai MP-ASI

berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada balita (Teshome et

al. 2009).

Ukuran Keluarga

Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam

memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga.

Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas

sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan secara

merata (Djauhari & Friyanto 1993). Sebuah penelitian terhadap 1000 anak usia 7-

12 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat mempengaruhi

jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana semakin besar ukuran

keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga

tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011). Ukuran keluarga bukan merupakan satu-

satunya karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kejadian stunting pada

anak. Pada penelitian Semba et al. (2008) tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara stunting dengan ukuran keluarga, dimana ukuran keluarga antara kelompok

stunting tidak berbeda signifikan dengan kelompok normal (Astari et al. 2006)

Tingkat Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena

berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi

(Rahmawati 2006; Supariasa et al. 2002). Pendidikan orang tua tidak

berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi

melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan

kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Oleh sebab itu, dalam beberapa

penelitian hasilnya bervariasi.

8

Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara

pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi (Madanijah 2003), stimulasi psikososial

yang diberikan pada anak (Latifah et al. 2010), dan kejadian stunting (Zottarelli et

al. 2007; Rayhan & Khan 2006; Astari et al. 2006; Fitri 2012). Sementara itu,

beberapa hasil penelitian lain tidak menunjukan hubungan yang nyata antara

pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak (Nasikhah 2012), bahkan pada

penelitian Riyadi et al. (2011) terhadap 3 wilayah menunjukkan bahwa dua

wilayah penelitian tidak mempunyai keeratan hubungan antara pendidikan ibu

dengan kejadian stunting pada anak.

Pengetahuan dan Praktek Ibu mengenai Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan merupakan hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari sumber yang kompeten sehingga membentuk

sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran,

majalah, email, artikel, iklan dan manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi

perilaku yang diperkenalkan oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum

seseorang mengadopsi suatu perilaku atau praktek tertentu, ia akan melewati tahap

awal yang disebut dengan awareness yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu

stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan

baru yang disebabkan oleh adanya stimuli yang diterimanya. Praktek pengasuhan

gizi dan kesehatan yang dilakukan seorang ibu merupakan hasil dari proses

panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu

stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun

media informasi.

Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan

kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua

tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007).

Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan

gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan)

merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk

stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat

menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh

sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan

pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review

terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan

gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al.

2011).

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan

kualitas pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh

gizi dan kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti

mempunyai pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut

mempengaruhi kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan

kuantitas komunikasi yang terbentuk (Perangin-angin 2006). Berdasarkan hasil

penelitian Marlina (2012), pekerjaan ibu berhubungan dengan tingkat kecukupan

energi pada anak. Hal ini menurut Satoto (1990) dapat dijelaskan sebagai

konsekuensi logis dimana ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah

9

untuk mencari nafkah memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan

merawat anak.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga mempengaruhi stunting melalui mekanisme akses

terhadap pangan yang berkualitas. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan

daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga

kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi

keluarga (Riyadi et al. 1990). Menurut Miller dan Rodgers (2009), pada level

rumah tangga, tingkat pendapatan akan berhubungan dengan akses terhadap

pembelian makanan dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan

maka akan semakin tinggi akses terhadap daya beli makanan yang bergizi, air

bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak,

penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan

Martianto dan Ariani (2004) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang

dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan

makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi

dua kali dalam sehari. Hasil penelitian Faiza et al. (2007) memperlihatkan

hubungan signifikan antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, dimana

anak yang berasal dari keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai

peluang untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali jika dibandingkan dengan

anak yang berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi tinggi.

Status Merokok Keluarga

Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua

yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan.

Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau

dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan,

dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk

membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai

contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata

49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya

untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk

makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah

tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22%

dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang

yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non

perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian

stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau

terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan

skeletal (Kawakita et al. 2008).

Faktor Keturunan (Genetik)

Selain faktor eksternal, faktor internal seperti genetik juga berpengaruh

terhadap kejadian stunting anak. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek

akibat defisiensi hormon pertumbuhan memiliki gen dalam kromosom yang

membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen

tersebut dan tumbuh stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat

10

kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi

badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo

et al. 1997). Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan

anak yang pendek pula (Astari 2006; Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Pada

penelitian Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan

teramati dari peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang

dari 150 cm, 30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase

sampai 13.61% pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.

Kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko

stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya

kurang dari 150 cm, dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir

dari ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.

Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak

Menurut Yusuf (2006), perkembangan merupakan perubahan-perubahan

yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang

berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik

menyangkut fisik maupun psikis. Sistematis berarti perubahan dalam

perkembangan itu bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling

mempengaruhi antara fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang

harmonis. Progresif berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju,

meningkat, dan mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif

(psikis). Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi individu

berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan

acak. tetapi sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan yaitu: 1) perkembangan

merupakan proses yang tidak pernah berhenti; 2) semua aspek perkembangan,

baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah

hubungan yang positif; 3) perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu

dimana setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap

sebelumnya. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian

diikuti perkembangan kaudal atau anggota tubuh (pola sefalokaudal).

Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan

kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (pola

proksimodistal). Perkembangan berjalan dari umum ke khusus, dari konkret ke

abstrak, dari egosentrisme ke perspektivisme, dan dari outter control ke inner

control; 4) pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbeda-

beda pada masing-masing anak; 5) perkembangan berkorelasi dengan

pertumbuhan, bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan pun

meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya

serta bertambah kepandaiannya; 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan,

tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan

sebagainya.

Instrumen penilaian perkembangan anak usia prasekolah (2.5-6.5 tahun)

telah dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan

Departemen Pendidikan Nasional (Puskur Diknas 2004), yang meliputi instrumen

penilaian perkembangan kognitif, bahasa, motorik halus, motorik kasar, menolong

11

diri sendiri, dan sosial emosional. Penilaian perkembangan kognitif meliputi

ketajaman menbedakan stimulus, perhatian, kemampuan memanipulasi benda,

imitasi, vokalisasi, daya ingat, mengatasi masalah, dan menyebutkan nama objek.

Penilaian perkembangan motorik meliputi kemampuan motorik kasar (mengukur

kemampuan berjalan diatas garis lurus, berlari, melompat, membungkukan badan,

koordinasi mata dan kaki, koordinasi mata dan tangan, melambungkan bola,

berdiri satu kaki, dan berjalan diatas titian) dan motorik halus (membangun

menara, meremas, menggambar, menjiplak, melipat, dan menggunting).

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling

berhubungan. Bertambahnya keterampilan anak baik mental maupun motorik

akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya.

Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya

kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan

lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004). Stunting merupakan gangguan

pertumbuhan yang dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan

diantaranya gangguan perkembangan kognitif (Walker et al. 2005), dan

perkembangan motorik (Pollit 2000).

Hingga tahun 1999, hubungan antara stunting dengan perkembangan anak

masih belum jelas. Hasil yang bervariasi dihubungkan dengan kemungkinan

adanya mekanisme yang berbeda tergantung dari zat gizi apa yang menjadi

defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et al. 1999). Selain itu,

caregiver mungkin kurang memberikan rangsangan terhadap anak apatis,

sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez & Martinez 1982).

Hipotesis lain menyebutkan bahwa anak stunting bisa menyebabkan orang dewasa

memperlakukan mereka seperti anak-anak kecil sehingga tidak memberikan

rangsangan yang sesuai dengan usia anak.

Perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan atau status

gizi anak. Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek

perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama

lain dengan arah hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak

yang mengalami stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah

sehingga tingkat aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan

perkembangan motorik yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif

anak. Menurut Piaget, meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah

akibat dari perilaku gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu

berhubungan dengan proses berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat

dari perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori

gerak Kephart dan Delaco. Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan

belajar pada anak adalah hasil dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan

langkah dalam persepsi proses gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsur-

unsur dalam fungsi kognitif yang optimal merupakan pengembangan dari

dominasi kontrol otak.

Perkembangan Motorik

Menurut Hurlock (2000), perkembangan motorik adalah perkembangan

pengendalian gerak jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot

yang terkoordinasi. Pengendalian berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan

massa yang ada pada waktu lahir. Perkembangan motorik beriringan dengan

12

proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak (Santrock 2007).

Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak adalah

Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen dan whiteneyer. Teori

tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak

harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka untuk

melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk bergerak.

Perkembangan motor ditandai oleh beberapa ciri yaitu kemampuan yang

berkembang secara sistematik, tiap penguasaan kemampuan baru mempersiapkan

bayi untuk kemampuan berikutnya. Pertama kali bayi akan belajar keterampilan

sederhana, kemudian mengkombinasikannya ke dalam sistem tindakan yang

semakin kompleks, yang menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau

lebih tepat dan kontrol yang lebih efektif terhadap lingkungan (Papalia et al.

2008).

Setelah lahir, dalam hal kontrol kepala, sebagian besar bayi dapat

menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika

ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi

untuk dapat diputarkan. Dalam 2 atau 3 bulan pertama, mereka akan mengangkat

kepala mereka semakin tinggi hingga suatu ketika sampai pada titik di mana

mereka kehilangan keseimbangan dan berguling. Pada usia 4 bulan, hampir semua

bayi dapat menjaga kepala mereka tetap tegak ketika digendong atau dalam posisi

duduk. Selain itu, bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Apabila telapak

tangan bayi ditekan, maka tangan akan menggenggam dengan kuat. Pada usia 3.5

bulan, sebagian besar bayi dapat menggenggam benda berukuran sedang seperti

mainan, tetapi kesulitan untuk menggenggam objek berukuran kecil. Kemudian

mereka akan mencoba menggenggam objek dengan satu tangan dan

mengalihkannya ke tangan yang lain. Antara usia 7-11 bulan, tangan mereka

sudah cukup terkoordinasi untuk mengambil benda kecil seperti daun, dengan

menggunakan pincer grasp. Setelah itu ketepatan kontrol tangan semakin

meningkat. Pada bulan ke 15, bayi normal dapat membangun sebuah menara

dengan dua kotak. Beberapa bulan setelah ulang tahun yang ketiga, seorang anak

dapat menyalin lingkaran dengan baik (Papalia et al. 2008).

Dalam hal locomotion, setelah 3 bulan seorang bayi yang normal akan

mulai berguling dengan sengaja. Pertama dari muka ke belakang kemudian dari

belakang ke muka. Bayi normal dapat duduk tanpa bersandar pada usia 6 bulan,

dan diperkirakan bisa duduk tanpa bantuan sekitar 2,5 bulan kemudian. Antara 6-

10 bulan, sebagian besar bayi mulai bergerak merangkak dan merayap dengan

kekuatan mereka sendiri. Pencapaian self-locomotion ini sangat mempengaruhi

perkembangan kognitif dan psikososial. Dengan bertumpu pada tangan atau

perabot, bayi normal dapat berdiri di usia 7 bulan ke atas. Kurang lebih 4 bulan

kemudian, bayi sudah dapat berdiri sendiri. Seorang bayi normal dapat berdiri

dengan baik sekitar 2 minggu sebelum ulang tahun pertamanya. Semua

perkembangan ini mengarah kepada pencapaian keterampilan motorik utama pada

bayi yaitu berjalan. Segera setelah mereka dapat berdiri sendiri dengan baik, pada

sekitar 11.5 bulan, sebagian besar bayi melakukan langkah pertama mereka.

Dalam beberapa minggu, segera setelah ulang tahun pertamanya, anak normal

akan dapat berjalan dengan baik (Papalia et al. 2008)

Tabel 1 menunjukkan usia rata-rata pada saat anak dapat melakukan tiap

keterampilan sebanyak 50% dan 90%, merujuk pada Denver Training Manual II.

13

Ketika membahas tentang apa yang rata-rata dapat dilakukan oleh seorang bayi,

maka hal tersebut merujuk kepada 50% nilain Denver. Pada kenyataannya,

definisi kenormalan mencakup area yang luas, dimana sebagian dari para bayi

menguasai keterampilan tersebut sebelum usia yang seharusnya, sedangkan

sebagian yang lain justru setelah usia yang seharusnya. Akan tetapi nilai ini belum

tentu valid untuk anak dari budaya lain di luar budaya barat. Di indonesia, skala

Denver sudah umum dipakai untuk menilai perkembangan pada anak, termasuk

perkembangan motorik.

Tabel 1 Pondasi perkembangan motorik Keterampilan 50% 90%

Bergulimg 3.2 bulan 5.4 bulan

Menggenggam mainan 3.3 bulan 5.9 bulan

Duduk sendiri 5.9 bulan 6.8 bulan

Berdiri ketika dipegang 7.2 bulan 8.5 bulan

Menggenggam dengan ibu jari dan jari lain 8.2 bulan 10.2 bulan

Berdiri sendiri dengan baik 11.5 bulan 13.7 bulan

Berjalan dengan baik 12.3 bulan 14.9 bulan

Membangun menara dari dua balok 14.8 bulan 20.6 bulan

Menaiki tangga 16.6 bulan 21.6 bulan

Loncat di tempat 23.8 bulan 2.4 tahun

Meniru lingkaran 3.4 tahun 4.0 tahun

Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau

masa anak-anak, yang mana terjadi dalam usia anak dan terbagi dalam 3 tahapan

yaitu infancytoddlerhood di usia 0 sampai 3 tahun, early childhood usia 3 sampai

6 tahun, dan middle childhood usia 6 sampai 11 tahun. Seperti yang diungkapkan

Papalia et al. (2008), pada usia 3-6 tahun, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak

tidak mengalami sakit seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan

perkembangan fisik jadi lebih maskimal dari pada usia sebelumnya.

Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik

kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar

atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari,

naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang

menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, contohnya

kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok,

menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006).

Sejak tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan

motorik telah temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et

al. 1981; Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Anak yang mengalami stunting

diketahui akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat

aktifitasnya rendah. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu

terhadap lingkungannya dan kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga

gagal dalam mencapai perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan

dengan anak normal pada umumnya (Levitsky 1979). Perilaku ini juga terlihat

pada anak dengan defisiensi besi (Lozoff et al. 1985), zinc (Sazawal et al. 1996;

Bentley et al. 1997), dan energi (Torun & Viteri 1981; Viteri & Torun 1981).

Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Paiva et al. (2012) terhadap

55 anak stunting prapubertas di Brazil. Paiva et al. meneliti hubungan antara

14

stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari kemampuan

mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting rendah

sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan

mekanik otot berkurang.

Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental

yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan

bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal

dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar

keluarga (Dariyo 2007). Salah satu pendiri teori perkembangan kognitif yang

banyak dirujuk adalah Jean Piaget. Menurut Piaget, anak secara aktif membangun

pemahaman dan pengetahuan tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan

kognitif (Santrock 2007). Masing-masing tahapan perkembangan mempunyai

keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap

tahapan (Ormrod 2003). Tahapan perkembangan tersebut terdiri dari tahap

sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12

tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008; Santrock 2007).

Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget

Tahap Umur Perkembangan kognitif

Sensorimotorik 0-2 tahun Perkembangan perlahan pada ketrampilan sensori

dan motorik. Kurang dapat membedakan konsep

diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti

dan pencapaian konsep objek yang permanen

preoperational 2-7 tahun Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep

diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul

kemampuan mencapai imajinasi pikiran.

Kemampuan persepsi meningkat, namun masih

ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat.

Belum mengerti konsep konservasi, pola pikir

masih bersifat intuitif dan impulsif.

concret operational 7-12 tahun Mulai memahami hukum konservasi dan operasi

yang bersifat kebalikan. Mulai dapat

mengelompokkan, menyusun menurut ukuran

dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan.

formal operational (>12 tahun) Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan

konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan

dan logika, serta mampu membuat hipotesa.

Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman

tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik,

misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, sehingga

disebut sensorimotorik. Di akhir tahap ini, anak mampu menghasilkan pola-pola

sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif

(Santrock 2007).

Tahap selanjutnya adalah tahap praoperasional (usia 2-7 tahun).

Pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui

kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik.

15

Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpura-

pura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini sangat

berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses berpikir

yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang

memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan

sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun

pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan

tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007).

Pada tahap preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan

persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran.

Mereka juga sudah mengkategorikan konsep (Papalia 1979). Tahap

praoperasional diklasifikasikan dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi

simbolik dan sub tahap berpikir intuitif. Subtahap simbolik terjadi ketika anak

berusia 2-4 tahun. Pada subtahap ini anak memiliki kemampuan menggambarkan

objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi

bangunan tertentu. Subtahap ini juga dikenal dengan subtahap berpikir egosentris,

yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir

orang lain. Sedangkan subtahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa

ini disebut subtahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya

mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan

balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki

kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007).

Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan

anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi

sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis

terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan

klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, dan kemampuan

berpikir secara deduktif (Santrock 2007). Tahap operasional formal (12 tahun

sampai dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara

berpikir abstrak, yang dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide,

memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni

mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran

hipotesis tersebut (Santrock 2007).

Perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik

internal maupun eksternal (Dariyo 2007). Faktor eksternal termasuk status

ekonomi keluarga. Dalam studi Meksiko, hubungan yang signifikan antara

stunting dengan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang miskin

tetapi tidak muncul pada anak-anak kelas menengah. Peneliti menyimpulkan

bahwa stunting pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh

kecenderungan genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan

fungsi neurosensori, sedangkan stunting pada anak-anak miskin di pedesaan

terutama disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional

terutama dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966).

Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan perkembangan

kognitif anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas,

efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan

anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Soedjatmiko (2008) menekankan

pentingnya stimulasi kognitif dibandingkan dengan pendidikan orang tua karena

16

walaupun pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan

pokok untuk perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak

akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak

berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi, belum tentu mereka tidak cerdas,

sehingga perkembangan kognitif anak dapat tetap berkembang optimal asalkan

diberikan stimulasi kognitif sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan

remaja. Akan tetapi, orang tua dengan pendidikan yang tinggi lebih diharapkan

sampai kepada perubahan pengetahuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat

memberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan kognitif anak. Hasil

penelitian kohort yang dilakukan oleh Schady (2011) terhadap 2118 anak di

daerah pedesaan Ekuator secara menunjukkan bahwa pendidikan orang tua

memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif anak.

Sesuai dengan prinsip perkembangan, anak-anak dengan gangguan

pertumbuhan seperti stunting akan mempunyai perkembangan kognitif yang tidak

optimal. Hipotesisi lain mengemukakan bahwa anak stunting mempunyai ukuran

kepala yang lebih kecil, dan jika dibandingkan dengan pengukuran antropometri

lainnya, ukuran kapala pada usia dini merupakan prediktor kuat nilai IQ pada usia

7 tahun (Grantham-McGregor et al. 1997). Studi serupa yang lebih baru dilakukan

oleh Chang et al. (2002), yang meneliti pengaruh stunting terhadap perkembangan

kognitif anak usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan

dengan anak normal, anak stunting mempunyai kemampuan kognitif yang rendah

di usia 11-12 tahun, yang tercermin dari kemampuan aritmetik, mengeja,

membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga pencapaian pendidikan anak

stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Penelitian

pada usia yang lebih tinggi juga dilakukan oleh Kar et al. (2007) di Kota

Bangalore yang menguji pengaruh stunting pada anak usia 5-7 tahun dan 8-10

tahun terhadap perkembangan kognitif dengan menggunakan ukuran

neuropsikologis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa anak kurang gizi

yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan

perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007)

menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan

kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga

menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang.

Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak

Pengukuran lingkungan pengasuhan anak salah satunya dapat dilakukan

dengan alat bantu HOME Inventory, dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari

apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua

memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana

yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana

tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif

bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang

tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah.

HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory)

dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur lingkungan

pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun

17

kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri

dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masing-

masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak

sesuai pertanyaan). Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the

Enviroment Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan

pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun)

dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen

HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak

usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik,

variasi stimulasi, hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta

lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan kognitif, instrumen

HOME juga bisa digunakan untuk memprediksi pencapaian akademik,

perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa

etnis di seluruh dunia. Semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula

perkembangan anak (Anwar 2002).

Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain

dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan,

dan memberikan kasih sayang. Hal-hal tersebut berhubungan dengan keadaan ibu

yang meliputi kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang

pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya

(Soekirman 2000).

Menurut Sternberg dan Grigorenko (2001), lingkungan pengasuhan

merupakan faktor genetik yang juga diwariskan. Walau bagaimanapun,

perbedaan dalam lingkungan pengasuhan sebagian merupakan respon terhadap

perbedaan genetik di antara anak-anak yang dibesarkan (emosi, minat,

kemampuan, dan sebagainya). Analisis dengan menggunakan ukuran standar

lingkungan pengasuhan seperti Skala Lingkungan Keluarga (FES) dan Home

Observation for the Measurement of Environment (HOME) menunjukkan bahwa

perbedaan kondisi dalam membesarkan anak-anak (kehangatan dari orang tua,

mainan yang disediakan, dan sebagainya) sekitar 40% diwariskan. Sebagai bukti,

kembar identik yang diasuh terpisah menilai lingkungan masa kecil mereka lebih

mirip dibandingkan dengan kembar fraternal yang diasuh bersama-sama. Hal

tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang benar-benar mengamati interaksi

orangtua dan anak yang membuktikan bahwa adanya pengaruh genetik pada

lingkungan pengasuhan (Scarr 1996). Selain itu, sekitar separuh dari korelasi

fenotipik antara HOME dan IQ anak-anak adalah genetik. Artinya, variasi

substansial dalam kedua lingkungan HOME dan IQ dapat ditelusuri ke gen yang

sama (Plomin et al. 1997).

Pola asuh mencakup stimulasi psokososial, yaitu kegiatan bermain sejak

bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi

dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem

indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati

musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008).

Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi

pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan

motorik anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2003) menunjukkan bahwa

status gizi dan perkembangan anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan

18

pengasuhan. Sejalan dengan hal tersebut, Miquelote et al. (2012) meneliti

hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan

motorik anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen Home

Environment for Motor Development dengan skala Bayley untuk perkembangan

balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara

lingkungan pengasuhan yang mencakup stimulasi motorik terhadap

perkembangan motorik dan bahkan kognitif balita. Lingkungan pengasuhan lebih

penting dibandingkan dengan materi, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh

Zeitlin et al. (2000) yang menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah

dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang

memadai dan tepat. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai terbukti

berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok

keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu

perilaku pemberian ASI (Jusat et al. 2000).

Walker et al. (2005) meneliti pengaruh suplementasi gizi dan stimulasi

psikososial terhadap perkembangan kognitif anak stunting dan normal usia 9-24

bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan stimulasi

psikososial, suplementasi tidak mempunyai efek yang signifikan dengan

perkembangan kognitif anak di usia 17-18 tahun. Anak stunting yang tidak

mendapat stimulasi psikososial mempunyai skor kognitif yang lebih rendah.

Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan

pendidikan di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia

dini.

Lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut

hasil penelitian Latifah et al. (2010), terdapat hubungan yang signifikan antara

pendidikan ayah dan ibu dengan stimulasi psikososial. Selain itu, semakin besar

suatu keluarga maka semakin sedikit pembagian perhatian pada masing-masing

anggota keluarga. Oleh karena itu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan dan

perawatan anak. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan

kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak. Hasil penelitian Sadiyyah (1998)

terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa

curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan

wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang

dicurahkan ibu untuk anaknya. Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang

bekerja akan menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas

pengasuhan anak tidak terkontrol dengan baik.

Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah

untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk

mengasuh dan merawat anak. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan

adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan

ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap

anaknya terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana edukasi bagi anak.

Anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh

rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua sering kali sibuk atau terlalu

dibebani oleh masalah ekonomi (Beck 1998). Latifah et al. (2010) menyatakan

bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita

keluarga dengan stimulasi psikososial.

19

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Pertumbuhan pada anak merupakan merupakan cerminan dari keadaan

sosial ekonomi masyarakat karena hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi yang

terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan

sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang

kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Stunting merupakan gangguan

pertumbuhan yang tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati

defisit 2SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi

referensi. Anak usia dini yang mengalami stunting biasanya mempunyai masalah

dalam perkembangan, walaupun faktor pengasuhan turut berperan dalam

membentuk perkembangan anak.

Anak dengan gangguan pertumbuhan (stunting) cenderung mengalami

penurunan kinerja sistem syaraf, terlihat dari kemampuan kognitif yang rendah di

akhir masa remaja. Penurunan fungsi motorik pada anak stunting dapat

disebabkan oleh rendahnya kemampuan mekanik dari sistem otot tricep surae

sehingga menghambat kemampuan motorik mereka. Oleh karena itu, gangguan

pertumbuhan (stunting) mungkin dapat mempengaruhi fungsi motorik dan

kognitif secara bersamaan.

Gangguan pertumbuhan dapat terjadi secara luas baik di lingkungan yang

miskin maupun di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan. Dalam suatu

populasi, seorang anak dapat menjadi stunted atau tidak. Oleh sebab itu,

diperlukan pemahaman yang baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak

menjadi stunting baik pada tingkat individu maupun ekologi. Stunting pada anak

dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor ekonomi, sosial, maupun

budaya. Hal tersebut tercermin dalam karakteristik anak, karakteristik keluarga

anak, dan konsumsi anak. Ketiga aspek tersebut seringkali dipertimbangkan

sebagai faktor-faktor yang dapat menjadi risiko dalam munculnya gangguan

pertumbuhan pada anak usia prasekolah.

Usia dan jenis kelamin termasuk variabel karakteristik anak yang penting

dan seringkali menjadi dasar dalam klasifikasi demografi pada penelitian survei.

Jenis kelamin dapat menyebabkan pola asuh gizi dan pengeluaran energi yang

berbeda sehingga diduga dapat menyebabkan magnitud stunting yang berbeda

pada kedua jenis kelamin. Stunting adalah proses kumulatif yang dimulai dalam

rahim dan terus berlanjut sampai sekitar tiga tahun setelah kelahiran, sehingga

dalam beberapa studi ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian

stunting dan usia anak.

Gangguan pertumbuhan juga dikaitkan dengan status kesehatan khususnya

diare. Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak.

Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan malnutrisi pada anak sehingga

efek jangka panjangnya dapat menyebabkan stunting. Selain status kesehatan,

status kelahiran juga turut berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Bayi dengan

panjang lahir dibawah normal menandakan telah terjadi retardasi pertumbuhan

ketika masih dalam kandungan, sedangkan bayi dengan berat lahir rendah

mempunyai kejar tumbuh (catch up growth) yang tidak sempurna di kemudian

hari sehingga pertumbuhan anak tersebut tehambat.

http://www.indonesian-publichealth.com/2013/03/pemantauan-status-gizi.html

20

Karakteristik keluarga turut berperan dalam munculnya gangguan

pertumbuhan pada anak. Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi

faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan dalam

keluarga. Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor

kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan.

Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan kualitas

pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh gizi dan

kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti mempunyai

pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut mempengaruhi

kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan kuantitas

komunikasi yang terbentuk

Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena

berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi.

Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah

dan konsumsi pangan keluarga kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi

kesehatan dan status gizi keluarga. Gangguan pertumbuhan juga banyak

d