jurnal_srtm
DESCRIPTION
Jurnal srtmTRANSCRIPT
-
1
Analisis Penggabungan Data DEM SRTM 30 dengan Data Kontur RBI Menggunakan
Metode Integrasi Untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM Arry Prasetya Nugraha
1) M.Awaluddin, ST., MT.
2) Bandi Sasmito, ST., MT.
3) Atriyon Julzarika, ST.
4)
1) Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang
2) Dosen Pembimbing I Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang
3) Dosen Pembimbing II Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang
4) Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antaraiksa Nasional (LAPAN) Pusbangja, Jakarta
ABSTRACT
Digital Elevation Model (DEM) can be made based on SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) and
topography map (RBI contour). This research used DEM SRTM 30 (DEM SRTM X Band) and RBI contour. Those
DEM have strength and weakness. DEM SRTM 30 has good accuracy and large area coverage, but low spatial
resolution (30 m). While RBI contour has detail information in the hilly land, but it has less information in the flat
area. On the other hand, the area coverage of RBI contour does not cover all of Indonesia region (1:25000).
Combining DEM SRTM 30 band to RBI contour map of Semarang Regency has done in this research.
First, both of data is merged by extraction of spot height in those data, then the spot height is combined based on
height error map. The results will be converted to DEM using the spherical kriging interpolation. DEM Integration
has been evaluated using visual assessment for investigating the detail information of DEM. Finally, the assessment
of vertical accuracy is done based on measurement of Geodetic Global Position Systems (GPS) and the spot height
of RBI.
The result shows that combined DEM has smoother pattern and higher accuracy than original DEM. It can
be proved where the spot height of combined DEM is closer to the spot height of RBI contour. As conclusion,
combining between DEM SRTM 30 and topography map can be used to improve DEM accuracy of topography map.
Keyword: DEM SRTM 30, RBI contour, DEM Integration, DEM accuracy.
PENDAHULUAN
Digital Elevation Model (DEM) merupakan
salah satu bentuk (model) representasi statistik
sederhana yang menggambarkan bentuk topografi
permukaan bumi yang dibentuk dari banyak titik
koordinat (x,y,z) sehingga dapat divisualisasikan
kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Sekarang ini
DEM telah banyak digunakan di bidang analisis dan
pemetaan. Manfaat dari DEM antara lain untuk
menganalisa kemiringan lereng, membuat DAS
(Daerah Aliran Sungai), menganalisa daerah genangan
banjir, dan masih banyak aplikasi lainya yang dapat
menggunakan data DEM (Trisakti at al (2011)) .
Masing-masing metode pembuatan DEM ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:
metode pengukuran lapangan membutuhkan titik
pengukuran yang banyak dan menyebar untuk
menghasilkan suatu DEM yang baik, citra stereo
sensor optik mudah diproses untuk menghasilkan
DEM dengan akurasi tinggi tapi bermasalah dengan
tutupan awan, sedangkan citra stereo sensor radar
tidak terpengaruh dengan kondisi awan dan waktu
(siang atau malam) tapi mempunyai masalah temporal
decorrelation (citra yang digunakan mempunyai
perbedaan waktu pengambilan) dan proses
pengolahannya yang sulit.
Dewasa ini, pembangunan yang dilakukan di
setiap daerah membutuhkan data DEM yang akurat
untuk memenuhi kebutuhan pembuatan peta topografi
wilayah, baik untuk skala global (provinsi dan
kabupaten) atau skala lokal (kecamatan dan
kelurahan). Selain itu banyaknya kejadian bencana
(gunung api, tsunami, banjir dan longsor) yang terjadi
di Indonesia membutuhkan DEM yang lebih detil dan
akurat untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana
dalam memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena
itu, sangat diperlukan adanya peningkatan akurasi dan
kedetilan informasi dari data DEM yang digunakan
saat ini. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan
tersebut adalah melakukan penggabungan (DEM
Fusion and DEM Integration) antara data 2 atau lebih
data DEM untuk menghasilkan data DEM dengan
informasi yang lebih detil dan lebih akurat (Hoja and
dAngelo (2010), Hoja et al. (2006)). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana
pengaruh penggabungan DEM untuk menghasilkan
DEM yang lebih detil dan akurat. Dimana hasilnya
diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan yang
dimiliki DEM yang ada, dan menghasilkan DEM
dengan tingkat akurasi dan kedetilan informasi yang
lebih baik dibandingkan DEM pembentuknya. Studi
kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah di
daerah lembar RBI 1408-542 dan 1408-631, yang
meliputi Ungaran, dan Wiru. Pemilihan lokasi
penelitian ini karena berdasarkan pada ketersediaan
data penelitian.
-
2
Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas,
maka permasalahan yang didapat adalah sebagai
berikut:
1. Apakah bisa dilakukan penggabungan data DEM antara DEM SRTM 30 dengan DEM RBI?
2. Bagaimanakah hasil DEM Integrasi bila digunakan untuk pembuatan slope dan analisis
beda tinggi dengan DEM RBI?
3. Apakah penggabungan data DEM SRTM 30 dan data kontur dari peta RBI dapat memberikan
tingkat akurasi DEM yang lebih baik?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam pembuatan tugas akhir ini
adalah :
1. Meningkatkan akurasi DEM dengan metode Integrasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai ini dalam pembuatan
tugas akhir adalah:
1. Memberikan alternatif pembuatan DEM Integrasi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
akurasi data DEM.
2. Memberi sumbangan penelitian dan telaah pustaka untuk pengembangan ilmu yang
berkaitan dengan DEM.
Pembatasan Masalah
Untuk menjelaskan permasalahan yang akan
dibahas di dalam tugas akhir ini, dan agar tidak terlalu
jauh dari kajian masalah yang penulis paparkan, maka
pada tugas akhir ini pembahasan akan dibatasi pada
hal-hal berikut ini:
1. Penelitian ini hanya mengambil sampel di daerah lembar RBI 1408-542 (Ungaran) dan 1408-631
(Wiru).
2. Data DEM yang dianalisis hanya berasal dari data DEM SRTM 30 dan data kontur dari peta
RBI.
3. Tidak membahas faktor internal dari data DEM SRTM 30.
4. Tidak mengkaji perbandingan jenis interpolasi.
Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain:
1. Peta RBI digital skala 1:25000 lembar 1408-542 dan 1408-631 (diperoleh dari Bakosurtanal),
2. DEM SRTM 30 meter (diperoleh dari LAPAN), 3. Data GCP hasil pengukuran GPS Geodetik.
-
3
Metode penelitian
Metodologi penelitian yang akan dilakukan pada tugas akhir ini ditunjukkan pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
-
4
PELAKSANAAN PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Wilayah penelitian didasarkan pada lembar RBI
1408-542 dan 1408-631. Wilayah administrasi yang
tercakup dalam wilayah penelitian diantaranya adalah :
1. Kabupaten Semarang: Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Ungaran Timur, Kecamatan Bawen,
Kecamatan Pringapus, Kecamatan Bergas,
Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Bringin,
Kecamatan Tuntang.
2. Kabupaten Grobogan: Kecamatan Kedungjati, Kecamatan Tanggung Harjo.
3. Kabupaten Demak: Kecamatan Karangawen.
Alat
Dalam tahapan penelitian kali ini, hal pertama
yang perlu diperhatikan adalah alat-alat yang digunakan
dalam pengolahan data spasial yang telah dikumpulkan
sebelumnya. Adapun alat yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
1. Hardware a. Satu unit notebook HP dengan spesifikasi
Processor Intel(R) Core(TM) i5-2410M CPU
@ 2.30GHz (4 CPUs), Ram 2Gb, Harddisk
500 Gb
b. 1set GPS Geodetic Merk Topcon Hiper II c. GPS Handheld d. Statif e. Meteran
2. Software a. Microsoft Office 2007 b. Autodesk Map 2004 c. Global Mapper 11.0 d. ArcGIS 9.3 e. Surfer 10 f. Topcon Tools v.7.5.1
Pengolahan Data
Pembuatan Kontur SRTM dan Eksport Data ke
Format *.bln Pada proses ini DEM SRTM 30 yang berformat
*.tiff akan dibuat konturnya dengan interval kontur
setiap 1 meter. Langkah-langkahnya bisa dilakukan
sebagai berikut: buka data SRTM di Global Mapper Pada menu File klik Generate Contours Muncul kotak dialog Contour Generation Option Isi Contour Interval dengan nilai 1 meter Kemudian klik Ok. Nilai resolusinya bernilai 30 meter, hal ini dulakukan
untuk menyamakan resolusi dari DEM SRTM dan DEM
RBI.
Hasil generate contours akan terlihat seperti
gambar di bawah ini kemudian di eksport ke format
*.bln.
Gambar 3. Hasil Generate Contours
Setelah itu, kontur dan titik tinggi yang berasal
dari RBI skala 1:25.000 berformat *.shp bisa dibuka
menggunakan software Global Mapper, kemudian di
export ke format file *.bln supaya bisa diolah lebih lanjut
pada software Surfer.
Pembuatan DEM RBI dan Height Error Map RBI
Height Error Map adalah merupakan hasil yang
menunjukkan kualitas DEM saat melakukan pembuatan
DEM melalui metode interpolasi (Surfer) atau
pembuatan DEM dengan citra stereo optik (Leica
Photogrametry Suite, Erdas Imagine).
DEM RBI dan HEM RBI bisa dilihat pada
gambar 4 dan gambar 5 dibawah ini.
Gambar 4. Tampilan DEM RBI
Gambar 5. Tampilan Height Error Map RBI
Error
-
5
Gambar 6. Tampilan Gridding Report RBI
Penggunaan metode krigging spherical dalam
melakukan interpolasi berdasarkan penelitian terdahulu
yang menyatakan bahwa metode tersebut adalah metode
yang paling baik untuk melakukan interpolasi garis
kontur karena memiliki nilai RMSE paling kecil.
Dari hasil interpolasi yang telah dilakukan akan
menghasilkan tiga file, yaitu: file hasil interpolasi format
*.grd, file standar deviasi (height error map) format
*.grd, dan file report.
Pembuatan Height Error Map SRTM
DEM SRTM dan HEM SRTM bisa dilihat pada
gambar 7 dan gambar 8 dibawah ini.
Gambar 7. Tampilan DEM SRTM
Gambar 8. Tampilan Height Error Map SRTM
Gambar 9. Tampilan Gridding Report SRTM
Intergrasi Grid DEM RBI dengan Data DEM SRTM
Penggabungan data DEM dilakukan dengan cara
melakukan mengekstrak titik tinggi (grid) dari kedua
data DEM menggunakan software Global Mapper
dengan sample spacing titiknya setiap 30 meter.
Gambar 10. Hasil ekstraksi grid (30x30) SRTM
Gambar 11. Hasil ekstraksi grid (30x30) RBI
Hasil titik tinggi yang berbentuk grid tersebut
kemudian dieksport ke format *shp supaya memudahkan
pengolahan di ArcGIS.
DEM yang akan diperbaiki adalah DEM RBI,
maka harus ditentukan area mana saja yang akan
diperbaiki dan akan diisi dengan titik tinggi SRTM.
Height Error Map RBI digunakan sebagai panduan
pendeteksian area yang akan diperbaiki pada DEM RBI.
Dari data Height Error Map RBI dapat ditentukan
area DEM RBI mana saja yang akan diisi, dengan cara
mengecek nilai standard deviation pada hasil gridding
report RBI.
Error
-
6
Gambar 12. Area HEM RBI yang akan diisi dengan
data grid SRTM
Area yang terlihat seperti gambar di atas dieksport
ke format *.shp kemudian diedit menggunakan ArcGIS
sehingga menjadi bentuk poligon. Poligon tersebut
digunakan untuk menghapus titik tinggi RBI yang telah
diekstrak, pada ArcGIS bisa menggunakan toolbox erase
yang hasilnya terlihat seperti gambar di bawah ini.
Sedangkan titik tinggi SRTM dilakukan clipping dengan
menggunakan toolbox clip pada ArcGIS. Setelah itu,
kedua data tersebut digabung (merge) dengan
menggunakan toolbox merge pada ArcGIS.
Gambar 13. Grid RBI yang telah dihapus berdasarkan
area yang telah ditentukan.
Gambar 14. Grid SRTM yang telah dilakukan clipping.
Gambar 15. Gabungan data grid RBI dengan data grid
SRTM
Pembuatan DEM Integrasi
DEM Integrasi adalah gabungan antara DEM RBI
dengan DEM SRTM. Setelah proses penggabungan titik
tinggi RBI dengan SRTM, titik tinggi tersebut kemudian
dilakukan interpolasi metode kriging spherical dengan
spacing 30 meter. Pengolahan DEM Integrasi
menggunakan software Sufer.
Setelah proses gridding selesai, maka hasil DEM
Integrasi dan HEM Integrasi bisa dilihat pada gambar 16
dan gambar 16 dibawah ini.
Gambar 16. Hasil DEM Integrasi
Gambar 17. Hasil Height Error Map DEM Integrasi
Gambar 18. Tampilan Gridding Report Integrasi
HASIL DAN ANALISIS
Analisis Korelasi Data RBI dengan DEM SRTM
Sebelum melakukan proses penggabungan
(integrasi) data antara kontur RBI dengan DEM SRTM,
sebaiknya diuji terlebih dahulu apakah data RBI dan
Error
Error
-
7
DEM SRTM memiliki korelasi yang kuat, sehingga
dapat dilakukan penggabungan data. Pengujian ini dapat
dilakukan dengan melakukan metode korelasi. Analisis
korelasi merupakan salah satu teknik statistik yang
digunakan untuk menganalisis hubungan antara dua
variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif.
Pengujian mengambil sampel 494 titik tinggi
RBI dan 494 titik tinggi DEM SRTM yang telah
diekstrak titik tingginya (tabel titik sampel bisa dilihat
pada lampiran), kemudian kedua data tersebut dianalissi
dengan metode korelasi.
Gambar 21. Grafik Korelasi Titik Tinggi RBI dengan
SRTM
Berdasarkan gambar 21 diatas, nilai korelasi R2= 0.998.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa data DEM SRTM
dengan data titik tinggi RBI memiliki keterkaitan yaang
sangat kuat sekali, jika dipersentasekan keterkaitan data
tersebut sebesar 99.8%. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa dapat dilakukan penggabungan (integrasi) antara
data DEM SRTM dengan data kontur RBI.
Analisis Height Error Map (HEM)
Height Error Map merupakan hasil yang
menunjukkan kualitas DEM saat melakukan pembuatan
DEM melalui metode interpolasi (Surfer). Height Error
Map dibuat berbasis pada standar deviasi dari setiap nilai
ketinggian, proses pembuatannya melalui tahapan
konturing (interval 1 m), dan interpolasi menggunakan
software Surfer.
Dari hasil pembuatan DEM SRTM dan DEM RBI
menghasilkan Height Error Map, yang kemudian dapat
disingkat sebagai HEM. Height Error Map (HEM) DEM
SRTM dan Height Error Map (HEM) DEM RBI.
Gambar 22. Perbandingan Height Error Map DEM RBI
dengan Height Error Map DEM SRTM
Berdasarkan gambar 22 diatas terlihat bahwa
DEM RBI memiliki error paling banyak. Hal ini
disebabkan kondisi topografi pada daerah tersebut yang
relatif datar sehingga informasi kontur renggang yang
mengakibatkan kekurangan informasi ketinggian pada
DEM RBI. Sedangkan berdasarkan Gridding Report
yang diperoleh dari proses gridding, DEM RBI memiliki
nilai standar deviasi 5.761 meter dan DEM SRTM
memiliki nilai standar deviasi 6.680 meter. Hal ini
disebabkan karena DEM SRTM memiliki resolusi yang
rendah.
Gambar 23. Perbandingan Height Error Map DEM RBI
dengan Height Error Map DEM Integrasi
Dari Height Error Map DEM Integrasi terlihat
error map nya tidak sebanyak Height Error Map DEM
RBI, karena telah dilakukan penggabungan (integrasi)
data DEM SRTM dengan DEM RBI sehingga errornya
tereduksi pada proses gridding (interpolasi). Dari report
gridding DEM Integrasi, nilai standar deviasi bernilai
1.194 meter.
Analisis DEM SRTM, DEM RBI, dan DEM Integrasi
Berdasarkan DEM SRTM yang dihasilkan dari
proses interpolasi memiliki tekstur yang cenderung
buram bila dibandingkan dengan DEM RBI ataupun
DEM Integrasi. Sedangkan DEM RBI yang dihasilkan
memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik bila
dibandingkan dengan DEM SRTM dan hampir memiliki
tingkat kedetilan yang sama dengan DEM Integrasi.
Berdasarkan tabel dibawah ini, maka dipilihlah
DEM RBI yang akan diperbaiki dengan DEM SRTM
karena ingin mempertahankan kedetilan topografi dari
DEM RBI. Meskipun DEM SRTM memiliki nilai
standar deviasi yang tidak sebaik DEM RBI, namun
HEM DEM SRTM lebih sedikit dibandingkan HEM
DEM RBI. Hal ini terjadi karena DEM SRTM memiliki
informasi ketinggian yang baik pada daerah yang
bertopografi datar.
Tabel 1. Hasil Report Gridding pada software Surfer
Data Standard Deviation (meter)
DEM SRTM 6.680
DEM RBI 5.761
DEM Integrasi 1.194
Berdasarkan hasil report gridding software Surfer,
DEM Integrasi memiliki standar deviasi 1.194 meter dan
bila dibandingkan dengan DEM RBI, maka DEM
Integrasi lebih bagus.
-
8
Tabel 2. Cuplikan Daerah yang Dilakukan
Penggabungan (Integrasi)
Data Screen shoot DEM
DEM
RBI
DEM
SRTM
DEM
Integrasi
Analisis Beda Tinggi Pengukuran Lapangan dengan
DEM Integrasi Pengukuran lapangan bertujuan untuk
memverifikasi hasil pengolahan DEM Integrasi.
Pengukuran ini menggunakan GPS Geodetik, dengan
mengukur 12 titik yang tersebar di area penelitian. Data
tinggi dari hasil pengukuran lapangan dibandingkan
dengan data tinggi dari DEM Integrasi, kemudian
dilakukan perhitungan beda tingginya. Beda tinggi
maksimum terdapat pada titik 1132021 dengan nilai
11.184 meter, beda tinggi minimum terdapat pada titik
1132024 dengan nilai 0.059 meter. Sedangkan standar
deviasinya 5.364 meter.
Tabel 4 Perbandingan Data Pengukuran Lapangan
dengan DEM Integrasi
No
Z (Ukuran
Lapangan)
(m)
Z DEM
Integrasi
(m)
dH Pengukuran
Lapangan-DEM
Integrasi (m)
TTK1 546.126 539.688 6.438
1132070 251.403 240.710 10.693
TTK3 57.491 61.355 3.864
1132021 138.319 127.135 11.184
1132024 506.312 506.371 0.059
TTK6 449.879 449.223 0.656
TTK7 666.175 663.338 2.837
TTK8 517.288 514.708 2.580
TTK9 313.202 312.500 0.702
TTK10 318.242 320.684 2.442
TTK11 272.603 274.566 1.963
TTK12 305.578 300.676 4.902
Maksimum 11.184
Minimum 0.059
Rata-rata 7.434
Std.
Deviasi 5.364
Gambar 25. Grafik Perbandingan Elevasi Hasil
Pengukuran Lapangan dengan DEM Integrasi
Jika diperhatikan tabel dan grafik diatas, nilai
beda tinggi antara pengukuran lapangan dengan DEM
Integrasi tidak ada selisih yang sangat mencolok, hampir
mendekati ketinggian eksisting dilapangan, dan
dibuktikan dengan nilai standar deviasinya yang kecil
5.364 meter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penggabungan (integrasi) data DEM SRTM dengan data
kontur RBI dapat meningkatkan akurasi DEM.
Analisis Beda Tinggi DEM Menggunakan ArcGIS Hasil minus raster di ArcGIS antara DEM
Integrasi dengan DEM RBI, nilai statsitiknya seperti
yang terlihat pada gambar 26. Dari hasil pengolahan
beda tinggi, didapat nilai maksimum 28 meter dan nilai
minimum -23 meter. Hasil standar deviasinya bernilai
1.798 meter.
-
9
Gambar 26. Tampilan Classification Statistic Beda
Tinggi Antara DEM Integrasi dengan DEM RBI
Analisis Perbandingan Elevasi Aliran Sungai pada
DEM RBI dengan DEM Integrasi Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan elevasi antara sungai DEM RBI dengan
sungai DEM Integrasi. Untuk mengetahui selisih elevasi
sungai antara kedua DEM tersebut, maka dilakukan
overlay sungai DEM RBI dengan sungai DEM Integrasi.
Untuk melihat perbandingan elevasinyanya bisa
menggunakan Create Profile Graph sehingga terlihat
penampang memanjang (long section) sungai seperti
gambar 27. Panjang sungai yang dibuat long section
tersebut memiliki panjang 15,507 kilometer.
Gambar 27. Penampang Memanjang Sungai DEM RBI
dengan DEM Integrasi
Untuk memudahkan analisis perbedaan elevasi
penampang memanjang sungai tersebut, maka tiap jarak
500 meter (interval 500 meter) diambil informasi elevasi
sungai dari DEM Integrasi dan DEM RBI, seperti terlihat
pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Perbandingan Elevasi Sungai DEM Integrasi
dengan DEM RBI Stationing
(m) Elevasi DEM Integrasi
(m) Elevasi DEM RBI
(m) dH (m)
0 612.786 611.639 1.147
500 599.374 599.407 0.033
1000 573.677 573.630 0.047
1500 553.290 551.805 1.485
2000 537.248 537.232 0.016
2500 523.482 523.452 0.030
3000 508.608 508.661 0.053
3500 496.370 496.305 0.065
4000 487.453 487.369 0.084
4500 472.882 472.852 0.030
5000 461.908 461.843 0.065
5500 448.445 448.280 0.165
6000 436.892 436.769 0.123
6500 427.254 427.651 0.397
7000 411.962 411.933 0.029
7500 400.923 400.726 0.197
8000 387.442 386.899 0.543
8500 386.144 386.021 0.123
9000 384.494 384.494 0.000
9500 383.951 384.074 0.123
10000 385.947 385.138 0.809
10500 379.596 377.799 1.797
11000 373.977 374.073 0.096
11500 350.226 350.109 0.117
12000 337.886 337.772 0.114
12500 331.234 331.404 0.170
13000 319.040 319.040 0.000
13500 309.208 309.219 0.011
14000 297.984 297.938 0.046
14500 287.454 287.402 0.052
15000 239.290 238.992 0.298
15500 200.096 199.755 0.341
Maksimum 1.797
Minimum 0.000
Rata-rata 0.269
Standar Deviasi 0.508
Berdasarkan gambar 27 dan tabel 5 diatas terlihat
bahwa sungai DEM RBI dengan DEM Integrasi hampir
berimpit, selisih elevasi maksimum 1.797 meter pada
stationing ke 10500, kemudian pada stationing ke 9000
elevasi DEM RBI dengan DEM Integrasi benar-benar
berimpit karena memiliki elevasi yang sama (selisih
elevasi 0 meter). Hasil pengujian dengan 32 titik
stationing pada masing-masing DEM RBI dan DEM
Integrasi menghasilkan nilai standar deviasi 0.508 meter.
Analisis Perbandingan Slope Aliran Sungai pada
DEM RBI dengan DEM Integrasi Slope adalah nilai dari perubahan ketinggian
(kemiringan). Daerah dengan nilai slope yang lebih
rendah, merupakan daerah yang lebih datar. Sebaliknya,
-
10
daerah dengan nilai slope yang lebih tinggi merupakan
daerah yang lebih curam. Output Slope dari sebuah
obyek raster dapat dihitung dalam bentuk persen atau
derajat slope.
Presentase Slope =
Gambar 28. Bagian Yang Akan Ditentukan Nilai
Kemiringannya
Slope yang akan dihitung adalah kemiringan dari
aliran sungai yang terdiri dari lima segmen seperti
terlihat pada gambar 28, yang masing-masing memiliki
kemiringan yang bervariasi. Setelah itu kemudian
dilakukan perhitungan slope DEM Integrasi dan slope
DEM RBI pada tabel 7.
Tabel 7 Slope DEM Integrasi dan Slope DEM RBI
Segmen
Slope DEM
Integrasi (%)
Slope DEM
RBI (%)
Std. Deviasi
(m)
1 -3.40 -3.40 0.515
2 -2.30 -2.30 0.542
3 -0.30 -2.12 1.194
4 -2.30 -2.30 0.168
5 -9.20 -9.20 0.503
Berdasarkan perhitungan slope DEM Integrasi
dan slope DEM RBI pada tabel 7, ternyata dari 5 segmen
yang telah dibuat hanya terjadi perbedaan nilai slope
pada segmen 3. Sedangkan pada segmen 1, segmen 2,
segmen 4, dan segmen 5 memiliki nilai slope yang sama.
Perbedaan slope yang terjadi pada segmen 3 bisa
disebabkan oleh pembagian segmen yang kurang teliti
dan elevasi yang naik-turun. Kemudian dapat
disimpulkan slope yang paling curam terjadi pada
segmen 5 dengan nilai slope -9.20%.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari serangkaian proses dan analisis pada bab
sebelumnya kita dapat menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis korelasi antara DEM RBI dengan DEM SRTM 30 terdapat korelasi sebesar
99.8%, yang menandakan memiliki hubungan yang
sangat dekat, sehingga bisa dilakukan penggabungan
(integrasi) data antara kedua DEM tersebut.
2. Berdasarkan perbandingan slope DEM Integrasi dengan slope DEM RBI hanya terjadi perbedaan nilai
slope pada segmen 3, sedangkan pada segmen 1,
segmen 2, segmen 4, dan segmen 5 memiliki nilai
slope yang sama. Pada segmen 3, slope DEM
Integrasi bernilai -0.30% sedangkan pada slope DEM
RBI bernilai -2.12%. Hal ini disebabkan pembagian
segmen yang kurang detil dan besarnya standar
deviasi pada segmen 3 yang bernilai 1.194 meter bila
dibandingkan dengan segmen-segmen yang lain.
3. Berdasarkan analisis beda tinggi aliran sungai pada DEM RBI dengan DEM Integrasi, selisih elevasi
maksimum pada stationing ke 10500 dengan nilai
1.797 meter. Standar deviasi perbandingan elevasi
aliran sungai pada DEM RBI dengan DEM Integrasi
adalah 0.508 meter. Hal ini menunjukkan DEM
Integrasi memiliki ketelitian yang cukup baik
sehingga bisa digunakan untuk analisis beda tinggi.
4. Kedetilan dan tingkat akurasi DEM dapat ditingkatkan dengan melakukan pengabungan DEM,
dimana DEM Integrasi mempunyai pola yang lebih
halus, dan lebih akurat karena lebih sesuai dengan
koordinat titik tinggi dari peta RBI dan hasil
pengukuran GPS Geodetik.
Saran
Dari beberapa kesimpulan di atas maka dapat
dikemukakan saran-saran yang berguna untuk
menyempurnakan penelitian kali ini yaitu :
1. Data DEM SRTM yang digunakan sebaiknya sudah terbebas dari noise, sehingga dapat memberikan hasil
yang maksimal pada proses penggabungan DEM.
2. Titik sampel hasil pengukuran GPS Geodetik sebaiknya ditambah lagi dan di tempatkan secara
merata pada areal penelitian. Base yang dijadikan
sebagai titik kontrol pada saat pengukuran dipilih
yang memiliki sedikit obstruksi.
3. Jika memungkinkan tersedianya data pengukuran sipat datar untuk dibandingkan dengan hasil DEM
Integrasi.
4. Dalam membangun sebuah DEM dari data kontur RBI sebaiknya dilakukan proses pengecekan terhadap
kontur dari DEM RBI apakah sesuai dengan elevasi
yang seharunya agar DEM yang dibangun benar-
benar memiliki kesalahan seminimal mungkin.
5. Hendaknya menganalisa faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap ketelitian vertikal
DEM SRTM dan DEM Integrasi.
Daftar Pustaka
Abidin,H.Z. 2002. Survey dengan GPS, Jakarta : Pradnya
Paramitha.
A. Cuartero, A.M Felicisimo, F.J Ariza. 2003. Accuracy
of DEM Generation From TERRA-ASTER Stero
-
11
Data. Dept. of Cartography, Geodesy and
Photogrammetry Engineering, University of
Jan.Spanyol
Andy Jarvis, Jorge Rubiano, Alex Cuero. 2006.
Comparison of SRTM derived DEM vs. topographic
map derived DEM in the region of Dapa. CIAT
(Inetrnational Center for Tropical Agricultue)
Bambang Trisakti, Atriyon Julzarika. 2005 . Kajian
Penggabungan Data SRTM C Band dan Peta
Topografi untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM.
Proceding PIT Mapin tahun 2011
Kustiyo, Yohanes Manalu, Sri Harini Prmono. 2005.
Analisis Ketelitian Ketinggian Data DEM1 X SAR .
ITS. Surabaya
Prahasta, E., 2001, Konsep-Konsep Dasar Sistem
Informasi Geografis, Informatika, Bandung.
Trisakti B. dkk, 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi
Dem (Digital Elevation Model) Dari Data ALOS
PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset
Dasar, Pusbangja, LAPAN, 2010
Qiming Zhou, Brian Lees, Guo-an Tang (eds). 2008.
Advances in Digital Terrain
Analysis. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg
Kurniawan, Bayat. 2011. Analisis Pengaruh Faktor
Tutupan Lahan Terhadap Ketelitian Vertikal DEM
SRTM 30 (Studi Kasus Kabupaten Semarang).
Tugas Akhir Teknik Geodesi. Semarang