jurnal_srtm

11
1 Analisis Penggabungan Data DEM SRTM 30 dengan Data Kontur RBI Menggunakan Metode Integrasi Untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM Arry Prasetya Nugraha 1) M.Awaluddin, ST., MT. 2) Bandi Sasmito, ST., MT. 3) Atriyon Julzarika, ST. 4) 1) Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang 2) Dosen Pembimbing I Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang 3) Dosen Pembimbing II Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang 4) Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antaraiksa Nasional (LAPAN) Pusbangja, Jakarta ABSTRACT Digital Elevation Model (DEM) can be made based on SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) and topography map (RBI contour). This research used DEM SRTM 30 (DEM SRTM X Band) and RBI contour. Those DEM have strength and weakness. DEM SRTM 30 has good accuracy and large area coverage, but low spatial resolution (30 m). While RBI contour has detail information in the hilly land, but it has less information in the flat area. On the other hand, the area coverage of RBI contour does not cover all of Indonesia region (1:25000). Combining DEM SRTM 30 band to RBI contour map of Semarang Regency has done in this research. First, both of data is merged by extraction of spot height in those data, then the spot height is combined based on height error map. The results will be converted to DEM using the spherical kriging interpolation. DEM Integration has been evaluated using visual assessment for investigating the detail information of DEM. Finally, the assessment of vertical accuracy is done based on measurement of Geodetic Global Position Systems (GPS) and the spot height of RBI. The result shows that combined DEM has smoother pattern and higher accuracy than original DEM. It can be proved where the spot height of combined DEM is closer to the spot height of RBI contour. As conclusion, combining between DEM SRTM 30 and topography map can be used to improve DEM accuracy of topography map. Keyword: DEM SRTM 30, RBI contour, DEM Integration, DEM accuracy. PENDAHULUAN Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu bentuk (model) representasi statistik sederhana yang menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi yang dibentuk dari banyak titik koordinat (x,y,z) sehingga dapat divisualisasikan kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Sekarang ini DEM telah banyak digunakan di bidang analisis dan pemetaan. Manfaat dari DEM antara lain untuk menganalisa kemiringan lereng, membuat DAS (Daerah Aliran Sungai), menganalisa daerah genangan banjir, dan masih banyak aplikasi lainya yang dapat menggunakan data DEM (Trisakti at al (2011)) . Masing-masing metode pembuatan DEM ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain: metode pengukuran lapangan membutuhkan titik pengukuran yang banyak dan menyebar untuk menghasilkan suatu DEM yang baik, citra stereo sensor optik mudah diproses untuk menghasilkan DEM dengan akurasi tinggi tapi bermasalah dengan tutupan awan, sedangkan citra stereo sensor radar tidak terpengaruh dengan kondisi awan dan waktu (siang atau malam) tapi mempunyai masalah temporal decorrelation (citra yang digunakan mempunyai perbedaan waktu pengambilan) dan proses pengolahannya yang sulit. Dewasa ini, pembangunan yang dilakukan di setiap daerah membutuhkan data DEM yang akurat untuk memenuhi kebutuhan pembuatan peta topografi wilayah, baik untuk skala global (provinsi dan kabupaten) atau skala lokal (kecamatan dan kelurahan). Selain itu banyaknya kejadian bencana (gunung api, tsunami, banjir dan longsor) yang terjadi di Indonesia membutuhkan DEM yang lebih detil dan akurat untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana dalam memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya peningkatan akurasi dan kedetilan informasi dari data DEM yang digunakan saat ini. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah melakukan penggabungan (DEM Fusion and DEM Integration) antara data 2 atau lebih data DEM untuk menghasilkan data DEM dengan informasi yang lebih detil dan lebih akurat (Hoja and d’Angelo (2010), Hoja et al. (2006)). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana pengaruh penggabungan DEM untuk menghasilkan DEM yang lebih detil dan akurat. Dimana hasilnya diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan yang dimiliki DEM yang ada, dan menghasilkan DEM dengan tingkat akurasi dan kedetilan informasi yang lebih baik dibandingkan DEM pembentuknya. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah di daerah lembar RBI 1408-542 dan 1408-631, yang meliputi Ungaran, dan Wiru. Pemilihan lokasi penelitian ini karena berdasarkan pada ketersediaan data penelitian.

Upload: widya-prajna

Post on 21-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Jurnal srtm

TRANSCRIPT

  • 1

    Analisis Penggabungan Data DEM SRTM 30 dengan Data Kontur RBI Menggunakan

    Metode Integrasi Untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM Arry Prasetya Nugraha

    1) M.Awaluddin, ST., MT.

    2) Bandi Sasmito, ST., MT.

    3) Atriyon Julzarika, ST.

    4)

    1) Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang

    2) Dosen Pembimbing I Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang

    3) Dosen Pembimbing II Teknik Geodesi Universitas Diponegoro, Semarang

    4) Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antaraiksa Nasional (LAPAN) Pusbangja, Jakarta

    ABSTRACT

    Digital Elevation Model (DEM) can be made based on SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) and

    topography map (RBI contour). This research used DEM SRTM 30 (DEM SRTM X Band) and RBI contour. Those

    DEM have strength and weakness. DEM SRTM 30 has good accuracy and large area coverage, but low spatial

    resolution (30 m). While RBI contour has detail information in the hilly land, but it has less information in the flat

    area. On the other hand, the area coverage of RBI contour does not cover all of Indonesia region (1:25000).

    Combining DEM SRTM 30 band to RBI contour map of Semarang Regency has done in this research.

    First, both of data is merged by extraction of spot height in those data, then the spot height is combined based on

    height error map. The results will be converted to DEM using the spherical kriging interpolation. DEM Integration

    has been evaluated using visual assessment for investigating the detail information of DEM. Finally, the assessment

    of vertical accuracy is done based on measurement of Geodetic Global Position Systems (GPS) and the spot height

    of RBI.

    The result shows that combined DEM has smoother pattern and higher accuracy than original DEM. It can

    be proved where the spot height of combined DEM is closer to the spot height of RBI contour. As conclusion,

    combining between DEM SRTM 30 and topography map can be used to improve DEM accuracy of topography map.

    Keyword: DEM SRTM 30, RBI contour, DEM Integration, DEM accuracy.

    PENDAHULUAN

    Digital Elevation Model (DEM) merupakan

    salah satu bentuk (model) representasi statistik

    sederhana yang menggambarkan bentuk topografi

    permukaan bumi yang dibentuk dari banyak titik

    koordinat (x,y,z) sehingga dapat divisualisasikan

    kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Sekarang ini

    DEM telah banyak digunakan di bidang analisis dan

    pemetaan. Manfaat dari DEM antara lain untuk

    menganalisa kemiringan lereng, membuat DAS

    (Daerah Aliran Sungai), menganalisa daerah genangan

    banjir, dan masih banyak aplikasi lainya yang dapat

    menggunakan data DEM (Trisakti at al (2011)) .

    Masing-masing metode pembuatan DEM ini

    mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara lain:

    metode pengukuran lapangan membutuhkan titik

    pengukuran yang banyak dan menyebar untuk

    menghasilkan suatu DEM yang baik, citra stereo

    sensor optik mudah diproses untuk menghasilkan

    DEM dengan akurasi tinggi tapi bermasalah dengan

    tutupan awan, sedangkan citra stereo sensor radar

    tidak terpengaruh dengan kondisi awan dan waktu

    (siang atau malam) tapi mempunyai masalah temporal

    decorrelation (citra yang digunakan mempunyai

    perbedaan waktu pengambilan) dan proses

    pengolahannya yang sulit.

    Dewasa ini, pembangunan yang dilakukan di

    setiap daerah membutuhkan data DEM yang akurat

    untuk memenuhi kebutuhan pembuatan peta topografi

    wilayah, baik untuk skala global (provinsi dan

    kabupaten) atau skala lokal (kecamatan dan

    kelurahan). Selain itu banyaknya kejadian bencana

    (gunung api, tsunami, banjir dan longsor) yang terjadi

    di Indonesia membutuhkan DEM yang lebih detil dan

    akurat untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana

    dalam memetakan daerah rawan bencana. Oleh karena

    itu, sangat diperlukan adanya peningkatan akurasi dan

    kedetilan informasi dari data DEM yang digunakan

    saat ini. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan

    tersebut adalah melakukan penggabungan (DEM

    Fusion and DEM Integration) antara data 2 atau lebih

    data DEM untuk menghasilkan data DEM dengan

    informasi yang lebih detil dan lebih akurat (Hoja and

    dAngelo (2010), Hoja et al. (2006)). Pada penelitian ini akan dianalisis bagaimana

    pengaruh penggabungan DEM untuk menghasilkan

    DEM yang lebih detil dan akurat. Dimana hasilnya

    diharapkan dapat menghilangkan keterbatasan yang

    dimiliki DEM yang ada, dan menghasilkan DEM

    dengan tingkat akurasi dan kedetilan informasi yang

    lebih baik dibandingkan DEM pembentuknya. Studi

    kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah di

    daerah lembar RBI 1408-542 dan 1408-631, yang

    meliputi Ungaran, dan Wiru. Pemilihan lokasi

    penelitian ini karena berdasarkan pada ketersediaan

    data penelitian.

  • 2

    Perumusan Masalah

    Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas,

    maka permasalahan yang didapat adalah sebagai

    berikut:

    1. Apakah bisa dilakukan penggabungan data DEM antara DEM SRTM 30 dengan DEM RBI?

    2. Bagaimanakah hasil DEM Integrasi bila digunakan untuk pembuatan slope dan analisis

    beda tinggi dengan DEM RBI?

    3. Apakah penggabungan data DEM SRTM 30 dan data kontur dari peta RBI dapat memberikan

    tingkat akurasi DEM yang lebih baik?

    Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dalam pembuatan tugas akhir ini

    adalah :

    1. Meningkatkan akurasi DEM dengan metode Integrasi.

    Manfaat Penelitian

    Manfaat yang ingin dicapai ini dalam pembuatan

    tugas akhir adalah:

    1. Memberikan alternatif pembuatan DEM Integrasi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan

    akurasi data DEM.

    2. Memberi sumbangan penelitian dan telaah pustaka untuk pengembangan ilmu yang

    berkaitan dengan DEM.

    Pembatasan Masalah

    Untuk menjelaskan permasalahan yang akan

    dibahas di dalam tugas akhir ini, dan agar tidak terlalu

    jauh dari kajian masalah yang penulis paparkan, maka

    pada tugas akhir ini pembahasan akan dibatasi pada

    hal-hal berikut ini:

    1. Penelitian ini hanya mengambil sampel di daerah lembar RBI 1408-542 (Ungaran) dan 1408-631

    (Wiru).

    2. Data DEM yang dianalisis hanya berasal dari data DEM SRTM 30 dan data kontur dari peta

    RBI.

    3. Tidak membahas faktor internal dari data DEM SRTM 30.

    4. Tidak mengkaji perbandingan jenis interpolasi.

    Data Penelitian

    Data yang digunakan dalam penelitian ini antara

    lain:

    1. Peta RBI digital skala 1:25000 lembar 1408-542 dan 1408-631 (diperoleh dari Bakosurtanal),

    2. DEM SRTM 30 meter (diperoleh dari LAPAN), 3. Data GCP hasil pengukuran GPS Geodetik.

  • 3

    Metode penelitian

    Metodologi penelitian yang akan dilakukan pada tugas akhir ini ditunjukkan pada Gambar 1 berikut:

    Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

  • 4

    PELAKSANAAN PENELITIAN

    Lokasi Penelitian

    Wilayah penelitian didasarkan pada lembar RBI

    1408-542 dan 1408-631. Wilayah administrasi yang

    tercakup dalam wilayah penelitian diantaranya adalah :

    1. Kabupaten Semarang: Kecamatan Ungaran Barat, Kecamatan Ungaran Timur, Kecamatan Bawen,

    Kecamatan Pringapus, Kecamatan Bergas,

    Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Bringin,

    Kecamatan Tuntang.

    2. Kabupaten Grobogan: Kecamatan Kedungjati, Kecamatan Tanggung Harjo.

    3. Kabupaten Demak: Kecamatan Karangawen.

    Alat

    Dalam tahapan penelitian kali ini, hal pertama

    yang perlu diperhatikan adalah alat-alat yang digunakan

    dalam pengolahan data spasial yang telah dikumpulkan

    sebelumnya. Adapun alat yang digunakan dalam

    penelitian ini antara lain:

    1. Hardware a. Satu unit notebook HP dengan spesifikasi

    Processor Intel(R) Core(TM) i5-2410M CPU

    @ 2.30GHz (4 CPUs), Ram 2Gb, Harddisk

    500 Gb

    b. 1set GPS Geodetic Merk Topcon Hiper II c. GPS Handheld d. Statif e. Meteran

    2. Software a. Microsoft Office 2007 b. Autodesk Map 2004 c. Global Mapper 11.0 d. ArcGIS 9.3 e. Surfer 10 f. Topcon Tools v.7.5.1

    Pengolahan Data

    Pembuatan Kontur SRTM dan Eksport Data ke

    Format *.bln Pada proses ini DEM SRTM 30 yang berformat

    *.tiff akan dibuat konturnya dengan interval kontur

    setiap 1 meter. Langkah-langkahnya bisa dilakukan

    sebagai berikut: buka data SRTM di Global Mapper Pada menu File klik Generate Contours Muncul kotak dialog Contour Generation Option Isi Contour Interval dengan nilai 1 meter Kemudian klik Ok. Nilai resolusinya bernilai 30 meter, hal ini dulakukan

    untuk menyamakan resolusi dari DEM SRTM dan DEM

    RBI.

    Hasil generate contours akan terlihat seperti

    gambar di bawah ini kemudian di eksport ke format

    *.bln.

    Gambar 3. Hasil Generate Contours

    Setelah itu, kontur dan titik tinggi yang berasal

    dari RBI skala 1:25.000 berformat *.shp bisa dibuka

    menggunakan software Global Mapper, kemudian di

    export ke format file *.bln supaya bisa diolah lebih lanjut

    pada software Surfer.

    Pembuatan DEM RBI dan Height Error Map RBI

    Height Error Map adalah merupakan hasil yang

    menunjukkan kualitas DEM saat melakukan pembuatan

    DEM melalui metode interpolasi (Surfer) atau

    pembuatan DEM dengan citra stereo optik (Leica

    Photogrametry Suite, Erdas Imagine).

    DEM RBI dan HEM RBI bisa dilihat pada

    gambar 4 dan gambar 5 dibawah ini.

    Gambar 4. Tampilan DEM RBI

    Gambar 5. Tampilan Height Error Map RBI

    Error

  • 5

    Gambar 6. Tampilan Gridding Report RBI

    Penggunaan metode krigging spherical dalam

    melakukan interpolasi berdasarkan penelitian terdahulu

    yang menyatakan bahwa metode tersebut adalah metode

    yang paling baik untuk melakukan interpolasi garis

    kontur karena memiliki nilai RMSE paling kecil.

    Dari hasil interpolasi yang telah dilakukan akan

    menghasilkan tiga file, yaitu: file hasil interpolasi format

    *.grd, file standar deviasi (height error map) format

    *.grd, dan file report.

    Pembuatan Height Error Map SRTM

    DEM SRTM dan HEM SRTM bisa dilihat pada

    gambar 7 dan gambar 8 dibawah ini.

    Gambar 7. Tampilan DEM SRTM

    Gambar 8. Tampilan Height Error Map SRTM

    Gambar 9. Tampilan Gridding Report SRTM

    Intergrasi Grid DEM RBI dengan Data DEM SRTM

    Penggabungan data DEM dilakukan dengan cara

    melakukan mengekstrak titik tinggi (grid) dari kedua

    data DEM menggunakan software Global Mapper

    dengan sample spacing titiknya setiap 30 meter.

    Gambar 10. Hasil ekstraksi grid (30x30) SRTM

    Gambar 11. Hasil ekstraksi grid (30x30) RBI

    Hasil titik tinggi yang berbentuk grid tersebut

    kemudian dieksport ke format *shp supaya memudahkan

    pengolahan di ArcGIS.

    DEM yang akan diperbaiki adalah DEM RBI,

    maka harus ditentukan area mana saja yang akan

    diperbaiki dan akan diisi dengan titik tinggi SRTM.

    Height Error Map RBI digunakan sebagai panduan

    pendeteksian area yang akan diperbaiki pada DEM RBI.

    Dari data Height Error Map RBI dapat ditentukan

    area DEM RBI mana saja yang akan diisi, dengan cara

    mengecek nilai standard deviation pada hasil gridding

    report RBI.

    Error

  • 6

    Gambar 12. Area HEM RBI yang akan diisi dengan

    data grid SRTM

    Area yang terlihat seperti gambar di atas dieksport

    ke format *.shp kemudian diedit menggunakan ArcGIS

    sehingga menjadi bentuk poligon. Poligon tersebut

    digunakan untuk menghapus titik tinggi RBI yang telah

    diekstrak, pada ArcGIS bisa menggunakan toolbox erase

    yang hasilnya terlihat seperti gambar di bawah ini.

    Sedangkan titik tinggi SRTM dilakukan clipping dengan

    menggunakan toolbox clip pada ArcGIS. Setelah itu,

    kedua data tersebut digabung (merge) dengan

    menggunakan toolbox merge pada ArcGIS.

    Gambar 13. Grid RBI yang telah dihapus berdasarkan

    area yang telah ditentukan.

    Gambar 14. Grid SRTM yang telah dilakukan clipping.

    Gambar 15. Gabungan data grid RBI dengan data grid

    SRTM

    Pembuatan DEM Integrasi

    DEM Integrasi adalah gabungan antara DEM RBI

    dengan DEM SRTM. Setelah proses penggabungan titik

    tinggi RBI dengan SRTM, titik tinggi tersebut kemudian

    dilakukan interpolasi metode kriging spherical dengan

    spacing 30 meter. Pengolahan DEM Integrasi

    menggunakan software Sufer.

    Setelah proses gridding selesai, maka hasil DEM

    Integrasi dan HEM Integrasi bisa dilihat pada gambar 16

    dan gambar 16 dibawah ini.

    Gambar 16. Hasil DEM Integrasi

    Gambar 17. Hasil Height Error Map DEM Integrasi

    Gambar 18. Tampilan Gridding Report Integrasi

    HASIL DAN ANALISIS

    Analisis Korelasi Data RBI dengan DEM SRTM

    Sebelum melakukan proses penggabungan

    (integrasi) data antara kontur RBI dengan DEM SRTM,

    sebaiknya diuji terlebih dahulu apakah data RBI dan

    Error

    Error

  • 7

    DEM SRTM memiliki korelasi yang kuat, sehingga

    dapat dilakukan penggabungan data. Pengujian ini dapat

    dilakukan dengan melakukan metode korelasi. Analisis

    korelasi merupakan salah satu teknik statistik yang

    digunakan untuk menganalisis hubungan antara dua

    variabel atau lebih yang bersifat kuantitatif.

    Pengujian mengambil sampel 494 titik tinggi

    RBI dan 494 titik tinggi DEM SRTM yang telah

    diekstrak titik tingginya (tabel titik sampel bisa dilihat

    pada lampiran), kemudian kedua data tersebut dianalissi

    dengan metode korelasi.

    Gambar 21. Grafik Korelasi Titik Tinggi RBI dengan

    SRTM

    Berdasarkan gambar 21 diatas, nilai korelasi R2= 0.998.

    Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa data DEM SRTM

    dengan data titik tinggi RBI memiliki keterkaitan yaang

    sangat kuat sekali, jika dipersentasekan keterkaitan data

    tersebut sebesar 99.8%. Sehingga dapat disimpulkan

    bahwa dapat dilakukan penggabungan (integrasi) antara

    data DEM SRTM dengan data kontur RBI.

    Analisis Height Error Map (HEM)

    Height Error Map merupakan hasil yang

    menunjukkan kualitas DEM saat melakukan pembuatan

    DEM melalui metode interpolasi (Surfer). Height Error

    Map dibuat berbasis pada standar deviasi dari setiap nilai

    ketinggian, proses pembuatannya melalui tahapan

    konturing (interval 1 m), dan interpolasi menggunakan

    software Surfer.

    Dari hasil pembuatan DEM SRTM dan DEM RBI

    menghasilkan Height Error Map, yang kemudian dapat

    disingkat sebagai HEM. Height Error Map (HEM) DEM

    SRTM dan Height Error Map (HEM) DEM RBI.

    Gambar 22. Perbandingan Height Error Map DEM RBI

    dengan Height Error Map DEM SRTM

    Berdasarkan gambar 22 diatas terlihat bahwa

    DEM RBI memiliki error paling banyak. Hal ini

    disebabkan kondisi topografi pada daerah tersebut yang

    relatif datar sehingga informasi kontur renggang yang

    mengakibatkan kekurangan informasi ketinggian pada

    DEM RBI. Sedangkan berdasarkan Gridding Report

    yang diperoleh dari proses gridding, DEM RBI memiliki

    nilai standar deviasi 5.761 meter dan DEM SRTM

    memiliki nilai standar deviasi 6.680 meter. Hal ini

    disebabkan karena DEM SRTM memiliki resolusi yang

    rendah.

    Gambar 23. Perbandingan Height Error Map DEM RBI

    dengan Height Error Map DEM Integrasi

    Dari Height Error Map DEM Integrasi terlihat

    error map nya tidak sebanyak Height Error Map DEM

    RBI, karena telah dilakukan penggabungan (integrasi)

    data DEM SRTM dengan DEM RBI sehingga errornya

    tereduksi pada proses gridding (interpolasi). Dari report

    gridding DEM Integrasi, nilai standar deviasi bernilai

    1.194 meter.

    Analisis DEM SRTM, DEM RBI, dan DEM Integrasi

    Berdasarkan DEM SRTM yang dihasilkan dari

    proses interpolasi memiliki tekstur yang cenderung

    buram bila dibandingkan dengan DEM RBI ataupun

    DEM Integrasi. Sedangkan DEM RBI yang dihasilkan

    memiliki tingkat kedetilan yang lebih baik bila

    dibandingkan dengan DEM SRTM dan hampir memiliki

    tingkat kedetilan yang sama dengan DEM Integrasi.

    Berdasarkan tabel dibawah ini, maka dipilihlah

    DEM RBI yang akan diperbaiki dengan DEM SRTM

    karena ingin mempertahankan kedetilan topografi dari

    DEM RBI. Meskipun DEM SRTM memiliki nilai

    standar deviasi yang tidak sebaik DEM RBI, namun

    HEM DEM SRTM lebih sedikit dibandingkan HEM

    DEM RBI. Hal ini terjadi karena DEM SRTM memiliki

    informasi ketinggian yang baik pada daerah yang

    bertopografi datar.

    Tabel 1. Hasil Report Gridding pada software Surfer

    Data Standard Deviation (meter)

    DEM SRTM 6.680

    DEM RBI 5.761

    DEM Integrasi 1.194

    Berdasarkan hasil report gridding software Surfer,

    DEM Integrasi memiliki standar deviasi 1.194 meter dan

    bila dibandingkan dengan DEM RBI, maka DEM

    Integrasi lebih bagus.

  • 8

    Tabel 2. Cuplikan Daerah yang Dilakukan

    Penggabungan (Integrasi)

    Data Screen shoot DEM

    DEM

    RBI

    DEM

    SRTM

    DEM

    Integrasi

    Analisis Beda Tinggi Pengukuran Lapangan dengan

    DEM Integrasi Pengukuran lapangan bertujuan untuk

    memverifikasi hasil pengolahan DEM Integrasi.

    Pengukuran ini menggunakan GPS Geodetik, dengan

    mengukur 12 titik yang tersebar di area penelitian. Data

    tinggi dari hasil pengukuran lapangan dibandingkan

    dengan data tinggi dari DEM Integrasi, kemudian

    dilakukan perhitungan beda tingginya. Beda tinggi

    maksimum terdapat pada titik 1132021 dengan nilai

    11.184 meter, beda tinggi minimum terdapat pada titik

    1132024 dengan nilai 0.059 meter. Sedangkan standar

    deviasinya 5.364 meter.

    Tabel 4 Perbandingan Data Pengukuran Lapangan

    dengan DEM Integrasi

    No

    Z (Ukuran

    Lapangan)

    (m)

    Z DEM

    Integrasi

    (m)

    dH Pengukuran

    Lapangan-DEM

    Integrasi (m)

    TTK1 546.126 539.688 6.438

    1132070 251.403 240.710 10.693

    TTK3 57.491 61.355 3.864

    1132021 138.319 127.135 11.184

    1132024 506.312 506.371 0.059

    TTK6 449.879 449.223 0.656

    TTK7 666.175 663.338 2.837

    TTK8 517.288 514.708 2.580

    TTK9 313.202 312.500 0.702

    TTK10 318.242 320.684 2.442

    TTK11 272.603 274.566 1.963

    TTK12 305.578 300.676 4.902

    Maksimum 11.184

    Minimum 0.059

    Rata-rata 7.434

    Std.

    Deviasi 5.364

    Gambar 25. Grafik Perbandingan Elevasi Hasil

    Pengukuran Lapangan dengan DEM Integrasi

    Jika diperhatikan tabel dan grafik diatas, nilai

    beda tinggi antara pengukuran lapangan dengan DEM

    Integrasi tidak ada selisih yang sangat mencolok, hampir

    mendekati ketinggian eksisting dilapangan, dan

    dibuktikan dengan nilai standar deviasinya yang kecil

    5.364 meter. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

    penggabungan (integrasi) data DEM SRTM dengan data

    kontur RBI dapat meningkatkan akurasi DEM.

    Analisis Beda Tinggi DEM Menggunakan ArcGIS Hasil minus raster di ArcGIS antara DEM

    Integrasi dengan DEM RBI, nilai statsitiknya seperti

    yang terlihat pada gambar 26. Dari hasil pengolahan

    beda tinggi, didapat nilai maksimum 28 meter dan nilai

    minimum -23 meter. Hasil standar deviasinya bernilai

    1.798 meter.

  • 9

    Gambar 26. Tampilan Classification Statistic Beda

    Tinggi Antara DEM Integrasi dengan DEM RBI

    Analisis Perbandingan Elevasi Aliran Sungai pada

    DEM RBI dengan DEM Integrasi Analisis ini bertujuan untuk mengetahui

    perbedaan elevasi antara sungai DEM RBI dengan

    sungai DEM Integrasi. Untuk mengetahui selisih elevasi

    sungai antara kedua DEM tersebut, maka dilakukan

    overlay sungai DEM RBI dengan sungai DEM Integrasi.

    Untuk melihat perbandingan elevasinyanya bisa

    menggunakan Create Profile Graph sehingga terlihat

    penampang memanjang (long section) sungai seperti

    gambar 27. Panjang sungai yang dibuat long section

    tersebut memiliki panjang 15,507 kilometer.

    Gambar 27. Penampang Memanjang Sungai DEM RBI

    dengan DEM Integrasi

    Untuk memudahkan analisis perbedaan elevasi

    penampang memanjang sungai tersebut, maka tiap jarak

    500 meter (interval 500 meter) diambil informasi elevasi

    sungai dari DEM Integrasi dan DEM RBI, seperti terlihat

    pada tabel 5 di bawah ini.

    Tabel 5. Perbandingan Elevasi Sungai DEM Integrasi

    dengan DEM RBI Stationing

    (m) Elevasi DEM Integrasi

    (m) Elevasi DEM RBI

    (m) dH (m)

    0 612.786 611.639 1.147

    500 599.374 599.407 0.033

    1000 573.677 573.630 0.047

    1500 553.290 551.805 1.485

    2000 537.248 537.232 0.016

    2500 523.482 523.452 0.030

    3000 508.608 508.661 0.053

    3500 496.370 496.305 0.065

    4000 487.453 487.369 0.084

    4500 472.882 472.852 0.030

    5000 461.908 461.843 0.065

    5500 448.445 448.280 0.165

    6000 436.892 436.769 0.123

    6500 427.254 427.651 0.397

    7000 411.962 411.933 0.029

    7500 400.923 400.726 0.197

    8000 387.442 386.899 0.543

    8500 386.144 386.021 0.123

    9000 384.494 384.494 0.000

    9500 383.951 384.074 0.123

    10000 385.947 385.138 0.809

    10500 379.596 377.799 1.797

    11000 373.977 374.073 0.096

    11500 350.226 350.109 0.117

    12000 337.886 337.772 0.114

    12500 331.234 331.404 0.170

    13000 319.040 319.040 0.000

    13500 309.208 309.219 0.011

    14000 297.984 297.938 0.046

    14500 287.454 287.402 0.052

    15000 239.290 238.992 0.298

    15500 200.096 199.755 0.341

    Maksimum 1.797

    Minimum 0.000

    Rata-rata 0.269

    Standar Deviasi 0.508

    Berdasarkan gambar 27 dan tabel 5 diatas terlihat

    bahwa sungai DEM RBI dengan DEM Integrasi hampir

    berimpit, selisih elevasi maksimum 1.797 meter pada

    stationing ke 10500, kemudian pada stationing ke 9000

    elevasi DEM RBI dengan DEM Integrasi benar-benar

    berimpit karena memiliki elevasi yang sama (selisih

    elevasi 0 meter). Hasil pengujian dengan 32 titik

    stationing pada masing-masing DEM RBI dan DEM

    Integrasi menghasilkan nilai standar deviasi 0.508 meter.

    Analisis Perbandingan Slope Aliran Sungai pada

    DEM RBI dengan DEM Integrasi Slope adalah nilai dari perubahan ketinggian

    (kemiringan). Daerah dengan nilai slope yang lebih

    rendah, merupakan daerah yang lebih datar. Sebaliknya,

  • 10

    daerah dengan nilai slope yang lebih tinggi merupakan

    daerah yang lebih curam. Output Slope dari sebuah

    obyek raster dapat dihitung dalam bentuk persen atau

    derajat slope.

    Presentase Slope =

    Gambar 28. Bagian Yang Akan Ditentukan Nilai

    Kemiringannya

    Slope yang akan dihitung adalah kemiringan dari

    aliran sungai yang terdiri dari lima segmen seperti

    terlihat pada gambar 28, yang masing-masing memiliki

    kemiringan yang bervariasi. Setelah itu kemudian

    dilakukan perhitungan slope DEM Integrasi dan slope

    DEM RBI pada tabel 7.

    Tabel 7 Slope DEM Integrasi dan Slope DEM RBI

    Segmen

    Slope DEM

    Integrasi (%)

    Slope DEM

    RBI (%)

    Std. Deviasi

    (m)

    1 -3.40 -3.40 0.515

    2 -2.30 -2.30 0.542

    3 -0.30 -2.12 1.194

    4 -2.30 -2.30 0.168

    5 -9.20 -9.20 0.503

    Berdasarkan perhitungan slope DEM Integrasi

    dan slope DEM RBI pada tabel 7, ternyata dari 5 segmen

    yang telah dibuat hanya terjadi perbedaan nilai slope

    pada segmen 3. Sedangkan pada segmen 1, segmen 2,

    segmen 4, dan segmen 5 memiliki nilai slope yang sama.

    Perbedaan slope yang terjadi pada segmen 3 bisa

    disebabkan oleh pembagian segmen yang kurang teliti

    dan elevasi yang naik-turun. Kemudian dapat

    disimpulkan slope yang paling curam terjadi pada

    segmen 5 dengan nilai slope -9.20%.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Dari serangkaian proses dan analisis pada bab

    sebelumnya kita dapat menarik beberapa kesimpulan

    sebagai berikut:

    1. Berdasarkan analisis korelasi antara DEM RBI dengan DEM SRTM 30 terdapat korelasi sebesar

    99.8%, yang menandakan memiliki hubungan yang

    sangat dekat, sehingga bisa dilakukan penggabungan

    (integrasi) data antara kedua DEM tersebut.

    2. Berdasarkan perbandingan slope DEM Integrasi dengan slope DEM RBI hanya terjadi perbedaan nilai

    slope pada segmen 3, sedangkan pada segmen 1,

    segmen 2, segmen 4, dan segmen 5 memiliki nilai

    slope yang sama. Pada segmen 3, slope DEM

    Integrasi bernilai -0.30% sedangkan pada slope DEM

    RBI bernilai -2.12%. Hal ini disebabkan pembagian

    segmen yang kurang detil dan besarnya standar

    deviasi pada segmen 3 yang bernilai 1.194 meter bila

    dibandingkan dengan segmen-segmen yang lain.

    3. Berdasarkan analisis beda tinggi aliran sungai pada DEM RBI dengan DEM Integrasi, selisih elevasi

    maksimum pada stationing ke 10500 dengan nilai

    1.797 meter. Standar deviasi perbandingan elevasi

    aliran sungai pada DEM RBI dengan DEM Integrasi

    adalah 0.508 meter. Hal ini menunjukkan DEM

    Integrasi memiliki ketelitian yang cukup baik

    sehingga bisa digunakan untuk analisis beda tinggi.

    4. Kedetilan dan tingkat akurasi DEM dapat ditingkatkan dengan melakukan pengabungan DEM,

    dimana DEM Integrasi mempunyai pola yang lebih

    halus, dan lebih akurat karena lebih sesuai dengan

    koordinat titik tinggi dari peta RBI dan hasil

    pengukuran GPS Geodetik.

    Saran

    Dari beberapa kesimpulan di atas maka dapat

    dikemukakan saran-saran yang berguna untuk

    menyempurnakan penelitian kali ini yaitu :

    1. Data DEM SRTM yang digunakan sebaiknya sudah terbebas dari noise, sehingga dapat memberikan hasil

    yang maksimal pada proses penggabungan DEM.

    2. Titik sampel hasil pengukuran GPS Geodetik sebaiknya ditambah lagi dan di tempatkan secara

    merata pada areal penelitian. Base yang dijadikan

    sebagai titik kontrol pada saat pengukuran dipilih

    yang memiliki sedikit obstruksi.

    3. Jika memungkinkan tersedianya data pengukuran sipat datar untuk dibandingkan dengan hasil DEM

    Integrasi.

    4. Dalam membangun sebuah DEM dari data kontur RBI sebaiknya dilakukan proses pengecekan terhadap

    kontur dari DEM RBI apakah sesuai dengan elevasi

    yang seharunya agar DEM yang dibangun benar-

    benar memiliki kesalahan seminimal mungkin.

    5. Hendaknya menganalisa faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh terhadap ketelitian vertikal

    DEM SRTM dan DEM Integrasi.

    Daftar Pustaka

    Abidin,H.Z. 2002. Survey dengan GPS, Jakarta : Pradnya

    Paramitha.

    A. Cuartero, A.M Felicisimo, F.J Ariza. 2003. Accuracy

    of DEM Generation From TERRA-ASTER Stero

  • 11

    Data. Dept. of Cartography, Geodesy and

    Photogrammetry Engineering, University of

    Jan.Spanyol

    Andy Jarvis, Jorge Rubiano, Alex Cuero. 2006.

    Comparison of SRTM derived DEM vs. topographic

    map derived DEM in the region of Dapa. CIAT

    (Inetrnational Center for Tropical Agricultue)

    Bambang Trisakti, Atriyon Julzarika. 2005 . Kajian

    Penggabungan Data SRTM C Band dan Peta

    Topografi untuk Perbaikan Tingkat Akurasi DEM.

    Proceding PIT Mapin tahun 2011

    Kustiyo, Yohanes Manalu, Sri Harini Prmono. 2005.

    Analisis Ketelitian Ketinggian Data DEM1 X SAR .

    ITS. Surabaya

    Prahasta, E., 2001, Konsep-Konsep Dasar Sistem

    Informasi Geografis, Informatika, Bandung.

    Trisakti B. dkk, 2010, Pengembangan Metode Ekstraksi

    Dem (Digital Elevation Model) Dari Data ALOS

    PRISM, Laporan Akhir Program Insentif Riset

    Dasar, Pusbangja, LAPAN, 2010

    Qiming Zhou, Brian Lees, Guo-an Tang (eds). 2008.

    Advances in Digital Terrain

    Analysis. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg

    Kurniawan, Bayat. 2011. Analisis Pengaruh Faktor

    Tutupan Lahan Terhadap Ketelitian Vertikal DEM

    SRTM 30 (Studi Kasus Kabupaten Semarang).

    Tugas Akhir Teknik Geodesi. Semarang