jurnal tht

Upload: rickyrexi

Post on 02-Mar-2016

30 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DAYA GUNA ANTAGONIS LEUKOTRIEN SEBAGAI TERAPI ADJUVAN PADA RHINITIS ALERGICemal Cingi, MD; Kivanc Gunhan, MD; Linda Gage-White, MD, PhD, FAAOA; Halis Unlu, MD

Tujuan/Hipotesis: Gejala rhinitis alergi muncul dari proses aktivasi immunoglobulin E-dependent mast cell, yang ditandai dengan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin. Pasien dengan rhinitis alergi yang diturunkan dari orang tua, juga memiliki kadar cysteinyl leukotriene (CysLT) yang tinggi pada cairan lavase hidung. Histamin dan CysLT menghasilkan respons yang berbeda dalam patogenesis rhinitis alergi, dan penelitian ini menguji hipotesis bahwa efek dari perpaduan antihistamin dan antagonis leukotrien lebih efektif daripada penggunaan antihistamin saja. Rancangan Penelitian: Multisenter, prospektif, randomized, kontrol dengan plasebo, pengelompokan sampel paralel. Metode: Tiga kelompok dengan total 275 pasien menggunakan: 1) fexofenadine saja, 2) fexofenadine dengan montelukast, atau 3) fexofenadine dengan placebo. Penelitian dilakukan selama 21 hari saat musim semi, dimana udara bebas akan mengandung banyak serbuk sari. Analisis obyektif meliputi penemuan pada pemeriksaan fisik dan penilaian hambatan hidung sebelum dan sesudah masa perlakuan. Data subyektif meliputi catatan harian pasien dan penilaian kepuasan pasien sebelum dan sesudah masa perlakuan. Hasil: Kelompok yang menggunakan perpaduan fexofenadine dan montelukast menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mengatasi hidung tersumbat, dibandingkan dengan kelompok yang menggunakan antihistamin saja atau yang menggunakan perpaduan antihistamin dan plasebo, dimana hasil ini dinilai baik secara subyektif maupun secara obyektif. Penilaian secara subyektif menggunakan catatan harian pasien dan evaluasi visual analog scale, sedangkan penilaian secara obyektif menggunakan rhinomanometri dan pemeriksaan fisik.Simpulan: Data kami memberikan bukti subyektif dan obyektif bahwa terapi kombinasi antagonis reseptor leukotrien dan antihistamin, untuk mengatasi gejala rhinitis alergi, lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan antihistamin saja.Kata Kunci: Rhinitis alergi, leukotrien, montelukast, antagonis reseptoe leukotrienKekuatan Bukti Ilmiah: 1a

PENDAHULUANRhinitis alergi merupakan keadaan inflamasi kronis yang sudah umum ditemukan di seluruh dunia dengan prevalensi yang meningkat, sehingga menyebabkan beban sosial dan ekonomi. Gejala rinitis alergi terjadi dari aktivasi specific immunoglobulin E-dependent mast cell, pelepasan mediator inflamasi yang diikuti dengan pengikatan dan aktivasi leukosit, dan adanya sitokin predominan Th2, yang dipicu oleh paparan alergen udara ke mukosa nasal. Gejala ini, yang meliputi hidung tersumbat, gatal, bersin, dan rhinorrhea, pada dasarnya akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas pasien. Pengobatan awal dan rumatan inflamasi banyak menggunakan banyak mediator seperti histamin dan leukotrien sistenil (CysLT), yang memiliki peran penting dalam patogenesis inflamasi saluran nafas akibat alergi [1]. Leukotrien dan histamin merupakan mediator paling menonjol dalam mekanisme rhinitis alergi. Leukotrien sistenil (LTC4,LTD4, dan LTE4) memicu berbagai reaksi inflamasi, meliputi kebocoran mikrovaskuler, kemotaksis sel inflamasi (khususnya eosinofil), hipersekresi mukus, dan stimulasi neuron, dimana semua reaksi tersebut relevan terhadap patofisiologi rhinitis alergi [2].Bukti terkini menunjukkan keterlibatan CysLT dalam patofisiologi rhinitis alergi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa: 1) CysLT dilepaskan dari sel inflamasi yang terlibat dalam rhinitis alergi [3], 2) reseptor untuk CysLT terletak di jaringan mukosa nasal [4], 3) CysLT meningkat pada pasien dengan rhinitis alergi dan dilepaskan setelah terjadi paparan alergen [5], 4) reaksi hidung terhadap CysLT menimbulkan gejala rhinitis alergi [2], 5) CysLT memiliki peran yang penting dalam maturasi dan pelepasan sel inflamasi, 6) terdapat inter-regulasi yang rumit antara CysLT dan mediator inflamasi lainnya, 7) CysLT meningkatkan permeabilitas vaskuler dan aliran darah nasal, yang akan mendorong eksudasi protein plasma dan menyebabkan blokade dan sekresi mukus [7], dan 8) kadar CysLT meningkat pada pasien yang sensitif terhadap ragweed selama musim ragweed [5].Banyak pilihan terapi yang tersedia untuk rhinitis alergi, namun menurut pedoman terbaru, antihistamin oral merupakan terapi lini pertama dengan kortikosteroid intranasal [8]. Kortikosteroid intranasal efektif sebagai terapi lini pertama untuk rhinitis alergi berat dan sedang dan sudah umum digunakan untuk mengatasi hidung tersumbat dan gejala thinitis alergi lainnya, namun kortikosteroid tidak menghambat pelepasan leukotrien pada manusia secara in vivo [9]. Terlebih, penggunaannya dibatasi karena potensi munculnya efek samping jangka panjang, yang terjadi pada kurang lebih 5% pasien. Penggunaannya juga dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan pada anak-anak.Karena histamin merupakan mediator kunci munculnya gejala rhinitis alergi, maka antihistamin dianggap sebagai pilihan utama dalam mengatasi gejala yang muncul, terlebih karena antihistamin memiliki onset yang cepat dan dapat digunakan bila perlu saja. Antihistamin generasi kedua, seperti fexofenadine, tidak melewati sawar darah otak, sehingga lebih dipilih oleh pasien karena tidak menimbulkan efek sedasi. Meskipun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan keuntungan dari penggunaan antihistamin terbaru untuk mengatasi hidung tersumbat, namun secara umum obat ini, menurut jenisnya, obat ini hanya efektif untuk mengatasi bersin dan gatal, dan tidak efektif untuk mengatasi hidung tersumbat dan hidung mampet [10].Meskipun pengenalan cysteinyl-leukotriene receptor antagonist (LTRA), pada awalnya adalah untuk mengatasi penyakit alergi saluran nafas bawah, namun hasil penelitian yang menunjukkan keefektifannya untuk penyakit saluran nafas atas terus bertambah. Montelukast, suatu LTRA dan obat antiasma, kini penggunaan klinisnya sudah disetujui untuk pengobatan rhinitis alergi berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya pada anak dan dewasa [11].Histamin dan CysLT memiliki peran yang berbeda pada patogenesis rhinitis alergi, dan nampaknya sangat masuk akal jika terapi kombinasi antihistamin dan leukotrien diharapkan akan lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan menggunakan antihistamin atau leukotrien saja. Meskipun banyak penelitian menunjukkan efektivitas LTRA secara subyektif untuk terapi rhinitis alergi, namun hasil penelitian tersebut tidak konsisten; dan hanya sedikit penelitian yang menggunakan parameter obyektif [12].Kami memiliki hipotesis bahwa fexofenadine saja tidak akan sepenuhnya mengurangi hidung tersumbat (dinilai secara obyektif dengan total nasal resistance), dan penambahan montelukast pada penggunaan antihistamin akan mengurangi respons pada fase awal dan fase laten, yang menghasilkan efek sinergis dengan menarget mediator kedua dari dua mediator penting yang menginduksi respons tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur efek sinergis pengobatan LTRA jika dikombinasikan dengan antihistamin untuk penatalaksanaan pasien rhinitis alergi musiman, yang dinilai dengan parameter obyektif, subyektif, dan dengan parameter kualitas hidup. BAHAN DAN METODERancangan PenelitianPenelitian ini bersifat multisenter, prospektif, randomized, kontrol dengan plasebo, pengelompokan sampel paralel (tiga kelompok perlakuan), dan dilakukan selama musim semi dimana udara bebas mengandung banyak serbuk sari. Pada penelitian ini dilakukan 3 kali kunjungan. Kunjungan pertama, peneliti mencatat penemuan klinis penting dan evaluasi, dan menentukan apakah pasien dapat digunakan sebagai sampel atau tidak. Pada kunjungan kedua, pasien secara acak dipilih untuk mendapatkan fexofenadine 120 mg/hari (kelompok 1), fexofenadine 120 mg/hari dengan montelukast 10 mg/hari (kelompok 2), atau fexofenadine 120 mg dengan plasebo (kelompok 3), dan diberikan pengobatan sesuai kelompok (kelompok 1 menerima 1 botol, sedangkan kelompok 2 dan 3 menerima 2 botol), dan catatan harian rhinitis. Untuk meningkatkan kepatuhan, pasien dibantu mengisi catatan harian saat kunjungan pertama, dengan menjelaskan cara mengisi catatan harian tersebut. Kunjungan ketiga dilakukan pada akhir hari ke-21 perlakuan, dokter memeriksa kembali pasien, mengevaluasi hasil, dan mengambil botol obat. Dokter yang memeriksa pasien (C.C., K.G.) tidak mengetahui pengelompokan pasien. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa efek fexofenadine dan montelukast terjadi dalam 21 hari, sehingga selang waktu ini dipilih untuk menilai efek maksimum tanpa menyulitkan pasien.Seluruh pasien yang mengikuti penelitian ini meminum obat sesuai kelompoknya sekali dalam sehari, yaitu pada pagi hari, tanpa memperhatikan konsumsi makanan. Isi botol pengobatan dihitung saat perlakuan selesai untuk menilai ketaatan pasien. Penghitungan tablet menunjukkan bahwa seluruh pasien paling tidak memiliki angka kepatuhan 90%. Dewan pengkajian institusional menyetujui protokol dan formulir informed consent. Seluruh pasien diberikan informed consent tertulis. Tidak ada satu pun perusahaan obat yang membantu membiayai penelitian atau berperan dalam rancangan penelitian, evaluasi hasil, atau penulisan jurnal ini.PasienSubyek (usia 15-68 tahun) yang tercatat dengan riwayat rhinitis alergi musiman paling tidak 1 tahun dengan hasil skin test positif untuk serbuk sari rumput dan/atau pohon dan yang memiliki kondisi kesehatan baik, memenuhi syarat untuk penelitian ini. Meskipun memenuhi syarat, pasien tidak akan diikutsertakan pada penelitian bila : 1) sudah diterapi dengan obat perlakuan atau dekongestan selama 1 minggu, 2) sudah dirawat menggunakan astemizole dalam 2 bulan, 3) sudah dirawat menggunakan kortikosteroid topikal, oral atau parenteral dalam 1 bulan, 4) telah menerima imunoterapi dalam 3 tahun. Pasien dengan asma, gejala, penyakit sinonasal lain, deviasi septum nasal, turbinate hypertrophy berat, polip nasi, atau kelainan sinonasal lain juga dieksklusi dari penelitian. Pengukuran HasilPemeriksaan fisikDokter mencatat pemeriksaan fisik setiap pasien saat kunjungan pertama dan ketiga. Inferior turbinate diklasifikasikan sebagai bormal (0), pucat (1), kebiruan (2), atau pucat atau biru berat (3). Edema, discharge nasal, dan hidung tersumbat dinilai sebagai tidak ada (0), ringan (1), sedang (2), atau berat (3).Hambatan HidungAliran udara nasal secara obyektif diukur dengan rhinomanometri anterior (SRE 2000; RhinoMetrics, Lynge, Denmark). Prosedur meliputi penempatan sensor tekanan pada salah satu lubang hidung dan detektor aliran udara pada lubang hidung satunya. Sehingga, hambatan pada masing-masing rongga hidung dan hambatan aliran udara total dapat dihitung secara terpisah. Aliran udara nasal dilaporkan sebagai jumlah dari aliran udara yang terekam pada lubang hidung kanan dan kiri dalam mililiter per detik pada perbedaan tekanan 150 Pa melewati saluran nasal (Pa/cm/s). Setiap pasien memiliki minimal 4 pengukuran aliran udara, dan rata-ratanya dihitung.Kartu Catatan Harian RhinitisPada catatan harian rhinitis, pasien mengevaluasi dan mentatat gejala rhinitis alergi dengan 4 skala penilaian (0-3). Setelah penjelasan dan pencatatan data pada kunjungan pertama, pasien mengevaluasi dan menilai gejala mereka pada buku catatan harian selama 21 hari. Pertanyaan-pertanyaan pada pada catatan tersebut akan membantu menilai gejala pada hidung (tersumbat, gatal, bersin, dan hidung meler) dengan rincian: (0) gejala berat, kadang mengganggu/selalu mengganggu; (1) gejala sedang, kadang mengganggu; (2) gejala ringan, gejala jelas, namun tidak mengganggu; (3) gejala tidak jelas. Penentuan nilai ini menunjukkan validitas yang baik pada penelitian tentang rhinitis alergi sebelumnya [10].Evaluasi KepuasanKepuasan pasien dengan berkurangnya gejala juga dinilai dengan visual analog score (VAS) dari 0 sampai 100 (0 = jauh lebih buruk, 100 = jauh lebih baik) dalam catatan harian dan di akhir masa perlakuan. Evaluasi Daya GunaSemua pasien mengevaluasi daya guna pengobatan menggunakan VAS dengan skala 0-100 saat hari terakhir masa perlakuan Jika dibandingkan saat awal penelitian, kondisi hidung saya secara umum dan gejala selain pada hidung saya sekarang, menggunakan 7 skala penilaian (0 = jauh lebih baik, 7 = jauh lebih buruk). Penilaian serupa tentang fungsi secara keseluruhan juga digunakan untuk penelitian tentang asma dan rhinitis alergi. Analisis StatistikSPSS untuk Windows 15.0 (SPSS Inc., Chicago, IL) digunakan untuk mengolah data. Persebaran variabel diperiksa dengan Shapiro-Wilk test. Pemeriksaan parametrik dilakukan pada data dan menunjukkan distribusi normal, sedangkan pemeriksaan nonparametrik dilakukan dan menunjukkan persebaran yang abnormal. Penilaian v2 digunakan untuk membandingkan distribusi basis jenis kelamin dan jenis rumah dari masing-masing kelompok. Perbandingan distribusi umur pada kelompok dilakukan dengan menggunakan independent samples t test. Analisis perbedaan skor catatan harian dibandingkan menggunakan repeated measures analysis of variance. Di samping itu, penilaian Bonferroni digunakan umtuk menilai reliabilitas perbedaan kelompok.Skor gejala utama untuk discharge hidung, bersin, hidung mampet, dan gatal dibandingkan dengan Mann-Whitney U test. Variasi gejala dan hasil pemeriksaan fisik selama masa perlakuan dibandingkan dengan Wilcoxon signed rank test. Independent samples t test digunakan untuk membandingkan daya guna dan evaluasi kepuasan dari kelompok.HASILPasien

Untuk 275 pasien yang berpartisipasi dalam penelitian, karakteristik dasar dari responden kurang lebih sama (Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam distribusi jenis kelamin dan usia pada kelompok (P > 0,05). Distribusi lingkungan tempat tinggal pasien (jenis rumah) juga secara statistik tidak berbeda (P>0,05) pada kelompok.Hasil Pemeriksaan FisikMeskipun kelompok ditentukan secara acak, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata basis pada hari ke-0 dari hasil pemeriksaan fisik atau gejala yang muncul pada ketiga kelompok (P>0,05). Gambar 1 menunjukkan evaluasi hari pertama dan hari ke-21 dari warna turbinate. Gambar 2 menunjukkan penilaian awal serupa untuk edema turbinate, discharge hidung, dan hidung mampet pada ketiga kelompok. Pemeriksaan endoskopik nasal pada hari ke-21 menunjukkan: 1) efek tambahan yang signifikan pada edema turbinate dengan terapi kombinasi pada kelompok 2 (P = 0,045), 2) tidak ada perbedaan yang signifikan pada discharge nasal pada kelompok (P > 0,05), dan 3) terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok 2 untuk hidung mampet jika dibandingkan dengan kelompok 1 (P < 0,001) dan kelompok 3 (P < 0,001).Hambatan NasalBerdasarkan hasil pemeriksaan rhinomanometri, hambatan nasal total rata-rata berkurang dari 0,42 Pa/cm hingga 0,32 Pa/cm dengan terapi fexofenadine saja, dan dari 0,43 Pa/cm sampai 0,33 Pa/cm dengan terapi fexofenadine dan plasebo. Tidak ada perubahan yang signifikan (P > 0,05). Kombinasi terapi fexofenadine dan montelukast (kelompok 2) memberikan penurunan yang signifikan dari 0,43 Pa/cm hingga 0,27 Pa/cm (P = 0,027). Nilai pada hari ke-21 untuk kelompom 2 berbeda secara statistik jika dibandingkan dengan hari ke-21 kelompok 1 dan 3 (P = 0,038) (Gambar 3).Pengukuran GejalaKartu Catatan Harian RhinitisSkor gejala rata-rata untuk hidung terseumbat, gatal di hidung, bersin, dan rhinorrhea menunjukkan kemajuan awal setelah 3 hari masa perlakuan pada semua kelompok. Kelompok 2 menunjukkan kemajuan yang lebih daripada kelompok lain, dan perbedaan menjadi signifikan secara statistik setelah hari ke-9, 10, 11, dan 13 untuk hidung tersumbat (P = 0,003), gatal (P = 0,009), bersin (P = 0,004), dan rhinorrhea (P = 0,001) (Gambar 4). Pada hari ke-21, skor hidung tersumbat nampak lebih baik secara signifikan hanya pada kelompok 2 dengan pengobatan fexofenadine/montelukast. Secara umum skor kebugaran juga meningkat dengan cara yang sama dalam 7 hari pertama pada semua kelompok, namun hanya terapi kombinasi yang memiliki nilai yang jauh lebih baik pada hari ke-21. Basis dan skor akhir seluruh kelompok secara statistik menunjukkan perbaikan untuk hidung tersumbat, gatal, bersin dan rhinorrhea.Penilaian Daya Guna Penilaian daya guna terhadap pengobatan yang diberikan pada pasien menunjukkan bahwa nilai kelompok 2 secara signifikan lebih baik daripada skor kelompok 1 dan 3 (P = 0,037). Perbedaan dianalisis menggunakan SigmaStat software (Aspire Software International, Ashburn, VA). Hasil serupa juga didapatkan pada penilaian kepuasan pasien (P = 0,029) jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan fexofenadine saja dan fexofenadine dengan placeb. Gambar 5 menunjukkan hasil penilaian kepuasan pasien. PEMBAHASANAntihistamin merupakan terapi lini pertama untuk rhinitis alergi. Antihistamin umumnya efektif untuk berbagai macam gejala rhinitis laergi seperti rhinorrhea, bersin, gatal, iritasi, dan keluhan pada mata, namun tidak terlalu efektif untuk hidung tersumbat. LTRA telah diteliti sebagai terapi tunggal maupun terapi tambahan [11]. LTRA telah terbukti menghambat gejala rhinitis pada pemberian alergen nasal buatan, maupun alergen alami yang ada di lingkungan. Yang menarik adalah, pada beberapa kasus jangkauan gejala yang dihambat oleh LTRA pada paparan alergen buatan lebih besar dibandingkan jangkauan gejala yang ditimbulkan oleh paparan langsung leukotrien pada mukosa hidung. Hal ini mengindikasikan bahwa leukotrien mungkin memunculkan gejala pada mukosa nasal yang tidak terpapar langsung dengan leukotrien, atau leukotrien yang terstimulasi mungkin berinteraksi dengan mediator lain yang dilepaskan pada saat yang sama untuk memunculkan gejala-gejala tersebut.Paparan leukotrien pada mukosa nasal pasien nonatopik meningkatkan aliran darah nasal pada pengamatan menggunakan Doppler, namun tidak menimbulkan efek gatal, bersin, dan discharge, tidak seperti pada paparan dengan antigen atau histamin. Terlebih, leukotrien D4 memiliki potensi 5000 kali lipat lebih besar daripada histamin dalam hitungan mikrogram, jika dioleskan langsung pada mukosa intranasal [2]. Hal ini menyebabkan dilatasi vaskuler, yang menyebabkan hidung tersumbat dan peningkatan hambatan aliran udara nasal, namun tidak menimbulkan peningkatan sekret, gatal, atau bersin [13]. Selain lebih poten dalam menimbulkan hidung tersumbat daripada histamin, gejala yang ditimbulkan CysLT berlangsung lebih lama [13]. Kemudian muncul anggapan bahwa memblokade efek lokal tersebut dapat meringankan gejala hidung tersumbat.Obstruksi nasal merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada pasien rhinitis alergi. Gejala ini merupakan gejala rhinitis alergi yang paling mengganggu dan paling sulit untuk diredakan, karena terdapat penumpukan darah pada sinus kavernosus, yang menimbulkan penurunan respons lumen saluran nafas terhadap stimulasi alergi.Rhinomanometri anterior merupakan salah satu metode pemeriksaan laboratorium terpercaya yang digunakan untuk menilai fungsi, yang diukur sebagai hambatan nasal. Pada banyak penelitian, penentuan derajat obstruksi nasal utamanya bergantung pada penilaian subyektif. Keakuratan dan realiabilitas hasil tersebut tentu saja meragukan. Pada penelitian tentang obstruksi nasal pada pasien dengan rhinitis alergi musiman, gejala hidung tersumbat selalu muncul, karena terjadi perubahan pada mukosa nasal terjadi dalam fase akut. Sehingga, penentuan derajat hidung tersumbat secara subyektif berdasarkan keterangan pasien kebenaran dan keakuratannya patut dipertanyakan. Pengukuran aliran udara dan hambatan nasal menggambarkan penilaian obyektif dan kuantitatif dari patensi nasal, dan rhinomanometri anterior merupakan metode paling dipercaya untuk menilai parameter tersebut [14].Pada penelitian ini angka rhinomanometri didapatkan berdasarkan laporan komite internasional untuk standarisasi rhinomanometri. Data kami menunjukkan bahwa fexofenadine, yang digunakan sebagai obat tunggal atau yang dikombinasikan dengan plasebo, menurunkan hambatan total nasal, namun penurunan ini tidak mencapai angka yang signifikan hingga akhir hari ke-21. Sebaliknya, fexofenadine yang dikombinasikan dengan montelukast menurunkan hambatan total nasal secara signifikan, dan juga sangat efektif untuk mengatasi hidung tersumbat. Efek ini juga dikonfirmasi dengan berkurangnya sumbatan turbinate pada pemeriksaan fisik (diperiksa oleh dokter yang sama untuk kunjungan pertama dan ketiga).Beberapa antihistamin generasi kedua dapat mengatasi hidung tersumbat. Fexofenadine terbukti lebih efektif dibandingkan dengan desloratadine pada penatalaksanaan gejala rhinitis alergi musiman, meliputi hidung tersumbat [15]. Dosis fexofenadine yang disetujui di Amerika Serikat adalah 180 mg sekali dalam sehari atau 60 mg dua kali dalam sehari; sedangkan di Eropa, Amerika Latin, dan Australia adalah 120 mg sekali dalam sehari atau 60 mg dua kali dalam sehari. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan fexofenadine 120 mg sekali dalam sehari dan fexofenadine 180 mg sekali dalam sehari memiliki daya guna yang sepadan dalam mengurangi gejala rhinitis alergi. Data yang kami dapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek fexofenadine 120 mg (sebagai obat tunggal atau dengan plasebo) dapat mengurangi gejala hidung tersumbat namun secara statistik angkanya tidak signifikan. Sedangkan penggunaan terapi kombinasi LTRA dengan fexofenedine 120 mg dapat memberikan manfaat yang signifikan pada pasien. Pada penelitian ini, kepuasan subyektif pasien pada semua kelompok kurang lebih sama hingga hari ke-10 perlakuan. Perbedaan dalam daya guna menjadi signifkan setelah hari ke-10. Penemuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa penggunaan LTRA sebagai obat tunggal atau digunakan bersama dengan antihistamin tidak terlalu efektif pada minggu pertama masa perlakuan [11].Pada penelitian ini, penggunaan kombinasi LTRA dengan fexofenedine menunjukkan peningkatan yang signifikan pada skor kebugaran setelah minggu pertama, yang diukur baik dengan skor rata-rata buku catatan harian maupun dengan penilaian kualitas hidup (misal: evaluasi kepuasan dan daya guna). Penelitian kami dakan saat musim semi, terhadap pasien yang didiagnosis elergi terhadap serbuk sari musim semi, berdasarkan hasil skin prick test. Kombinasi LTRA dan antihistamine secara signifikan lebih efektif daripada antihistamin dengan plasebo atau antihistamin saja. Paparan histamin menginduksi respons inflamasi, seperti bersin dan gatal, namun tidak menimbulkan semua gejala rhinitis alergi, yang mengindikasikan keterlibatan mediator lain seperti CysLT [7].Baik antihistamin maupun LTRA memiliki fungsi antiinflamasi, meliputi peran yang berbeda dalam pelepasan mediator, dan kemoraksi sel inflamasi. Ini menjelaskan mengapa kombinasi antihistamin dengan montelukast memberikan efek tambahan dibandingkan pemberian antihistamin saja. SIMPULANData yang kami dapat pada penelitian ini dapat menjadi dasar penggunaan LTRA dan antihistamin sebagai terapi kombinasi untuk rhinitis alergi. Penggunaan terapi kombinasi tersebut untuk mengatasi gejala hidung tersumbat memberikan hasil yang secara signifikan lebih baik, yang dinilai secara subyektif (menggunakan 2 pengukuran yang berbeda) maupun secara obyektif (dengan rhinomanometri dan pemeriksaan fisik), dibandingkan dengan penggunaan antihistamin saja atau kombinasi antihistamin dengan plasebo. Hal ini nampaknya terjadi karena aktivitas antiinflamasi tambahan dengan jalan mengurangi infitrat inflamasi dan kadar sitokin proinflamasi.Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevalasi keefektivan jangka panjang dari LTRA, khususnya sebagai terapi adjuvan, namun berdasarkan data yang kami dapat, penggunaan terapi kombinasi LTRA dan antihistamin sebagai terapi standar pasien rhinitis alergi adalah rasional dan relatif aman.