jurnal kopkun institute vol i artikel 004/ 2015

2
EKONOMI YANG TERCERABUT Saat ini ekonomi semakin tercabut dari entitas-entitas lain. Ia tak lagi berakar sosial, tidak berlandas pada kultural, tidak mempertimbangkan ekologi, hanya berdiri kokoh sendiri minus refleksi apapun. Ekonomi tak lebih menjadi usaha pencarian profit. Apapun jalannya boleh dilakukan dengan bebas. Bisa dengan cara santun ataupun langkah kekerasan. Tergantung bagaimana respon rakyat yang menjadi objek ekonomi. Indonesia termasuk salah satu negara yang juga turut merayakan ekonomi pengejar untung ini. Jauh meninggalkan jejak warisan filosofi berkekonomi yang telah dibangun para pendahulunya. Warisan itu bernama ekonomi kekeluargaan yang kian hari lebih mirip menjadi mitos, karena konteks kontemporer selalu mencerminkan sama sekali tidak ada nilai kekeluargaan dalam rancang bangun ekonomi di Indonesia. Membicarakan kembali ekonomi kekeluargaan, hemat saya, masih menjadi suatu usaha yang perlu digalakan lebih keras. Terlebih rezim ekonomi yang bercokol tidak pernah berubah walaupun pemerintah yang berkuasa sudah beberapa kali berganti. Apalagi bila mengenang luka lama zaman orde baru, yang telah berhasil mengimplementasikan ekonomi kekeluargaan dikorupsi menjadi ekonomi keluarga, merunyamkan makna yang terkandung dari nilai kekeluargaan itu sendiri. Oleh karenanya ekonomi kekeluargaan seakan menjadi ikhwal yang tidak memiliki kekuatan untuk menjadi asas. Ekonomi mainstream pun sanksi bila kehidupan ekonomi bisa berasaskan kekeluargaan. Karena ekonomi hanya bisa bergerak dengan fondasi sistem pasar. Hal ini semakin didukung dengan kurikulum ekonomi di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang menjelaskan secara 'ilmiah' ekonomi tak lain adalah pasar bebas. Krisis demi krirsis yang terjadi sebagai bukti rusaknya sistem ekonomi pasar bebas seperti diabaikan dalam kajian-kajian khas ekonomi arus utama tersebut. Praktik ekonomi pasar bebas tetap begitu gencar dan hegemonik. PERSAUDARAAN Mendorong ekonomi kekeluargaan tentu bukan sekedar perayaan romantik, atau sentimentil karena alasan ini Indonesia banget. Karena alasan demikian tidak mencukupi untuk menjelaskan pentingnya dalam mengusung ekonomi kekeluargaan. Memang karakter gotong royong melekat di sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia, tapi hal ini tentu tidak terjadi di sini saja. Perlu diingat masyarakat Eropa abad pertengahan punya ikatan sosial yang tinggi dan telah terbiasa dalam pola kerjasama, misal dalam kerja membuat saluran air dan irigasi. Di tempat lain bentuk-bentuk kerjasama ada Fruiters di Perancis, Fads di India, Ejido di Meksiko atau Ayllu di Peru. Jadi gotong royong tidaklah Indonesia- Indonesia banget. Corak-corak ekonomi yang mirip juga berlaku di belahan dunia lain. Oleh karenanya perlu kekuatan argumentasi yang lebih komprehensif dan memiliki daya eksplansasi yang luas dalam menjawab pertanyaan, “Mengapa ekonomi kekeluargaan?” Makna konsep kekeluargaan dalam asas ekonomi belum ajeg. Kadang term kekeluargaan sendiri dalam bahasa sehari-hari berkonotasi negatif sebagai kompromi, jalan damai dalam suatu perkara tertentu, atau persekongkolan. Maka dalam tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan definisi ekonomi kekeluargaan. Saya lebih memilih makna asas kekeluargaan sebagai persaudaraan (brotherhood). Selayaknya saudara, maka haram adanya praktik eksploitatif dalam relasi ekonomi. Pun selayaknya saudara maka tidak ada pertarungan yang saling mengalahkan. Begitupula dalam kehidupan ekonomi kekeluargaan yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain bila ada corak ekonomi yang mencari keuntungan lebih sebagai tujuan (bukan alat mencapai kesejahteraan), dengan sendirinya ia tak lagi bersifat kekeluargaan karena senantiasa mengkondisikan ada yang menjadi pusat, ada yang sub-ordinat. Alhasil yang tercipta adalah ketimpangan: ada segelintir pihak yang menguasai banyak pihak. Kontitusi negara kita UUD 45 menuangkan gagasan pentingnya asas kekeluargaan dalam ekonomi. Ada pasal 33 ayat 1 yang secara ekplisit menjelaskan, “Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Mengenai amanah konstitusi ini menarik memperhatikan pendalaman Sri-Edi Swasono terhadap FOOTNOTE: * / Deputi Riset dan Pengembangan Kopkun Institute dan Dosen Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. 085723504025 | www.dodifaedlulloh.com HC kepanjangan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi. Kontak: JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.003/2015 HAL 1 EKONOMI (ASAS) KEKELUARGAAN Oleh: Dodi Faedulloh, HC*. “Kemudian ekonomi kekeluargaan menghargai ruang-ruang individualitas, oleh karenanya tidak serta merta menjadi pelembagaan sebagai sistem ekonomi yang membunuh hak milik secara serampangan. ”

Upload: kopkun-full

Post on 22-Jul-2016

219 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ekonomi (Asas) Kekeluargaan

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Kopkun Institute Vol I Artikel 004/ 2015

EKONOMI YANG TERCERABUT

Saat ini ekonomi semakin tercabut dari entitas-entitas lain. Ia tak lagi

berakar sosial, tidak berlandas pada kultural, tidak mempertimbangkan

ekologi, hanya berdiri kokoh sendiri minus refleksi apapun. Ekonomi tak

lebih menjadi usaha pencarian profit. Apapun jalannya boleh dilakukan

dengan bebas. Bisa dengan cara santun ataupun langkah kekerasan.

Tergantung bagaimana respon rakyat yang menjadi objek ekonomi.

Indonesia termasuk salah satu negara yang juga turut merayakan

ekonomi pengejar untung ini. Jauh meninggalkan jejak warisan filosofi

berkekonomi yang telah dibangun para pendahulunya. Warisan itu

bernama ekonomi kekeluargaan yang kian hari lebih mirip menjadi

mitos, karena konteks kontemporer selalu mencerminkan sama sekali

tidak ada nilai kekeluargaan dalam rancang bangun ekonomi di

Indonesia.

Membicarakan kembali ekonomi kekeluargaan, hemat saya, masih

menjadi suatu usaha yang perlu digalakan lebih keras. Terlebih rezim

ekonomi yang bercokol tidak pernah berubah walaupun pemerintah

yang berkuasa sudah beberapa kali berganti. Apalagi bila mengenang

luka lama zaman orde baru, yang telah berhasil mengimplementasikan

ekonomi kekeluargaan dikorupsi menjadi ekonomi keluarga,

merunyamkan makna yang terkandung dari nilai kekeluargaan itu

sendiri. Oleh karenanya ekonomi kekeluargaan seakan menjadi ikhwal

yang tidak memiliki kekuatan untuk menjadi asas.

Ekonomi mainstream pun sanksi bila kehidupan ekonomi bisa

berasaskan kekeluargaan. Karena ekonomi hanya bisa bergerak dengan

fondasi sistem pasar. Hal ini semakin didukung dengan kurikulum

ekonomi di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang menjelaskan

secara 'ilmiah' ekonomi tak lain adalah pasar bebas. Krisis demi krirsis

yang terjadi sebagai bukti rusaknya sistem ekonomi pasar bebas seperti

diabaikan dalam kajian-kajian khas ekonomi arus utama tersebut.

Praktik ekonomi pasar bebas tetap begitu gencar dan hegemonik.

PERSAUDARAAN

Mendorong ekonomi kekeluargaan tentu bukan sekedar perayaan

romantik, atau sentimentil karena alasan ini Indonesia banget.

Karena alasan demikian tidak mencukupi untuk menjelaskan

pentingnya dalam mengusung ekonomi kekeluargaan. Memang

karakter gotong royong melekat di sendi-sendi kehidupan rakyat

Indonesia, tapi hal ini tentu tidak terjadi di sini saja. Perlu diingat

masyarakat Eropa abad pertengahan punya ikatan sosial yang

tinggi dan telah terbiasa dalam pola kerjasama, misal dalam kerja

membuat saluran air dan irigasi. Di tempat lain bentuk-bentuk

kerjasama ada Fruiters di Perancis, Fads di India, Ejido di Meksiko

atau Ayllu di Peru. Jadi gotong royong tidaklah Indonesia-

Indonesia banget. Corak-corak ekonomi yang mirip juga berlaku di

belahan dunia lain. Oleh karenanya perlu kekuatan argumentasi

yang lebih komprehensif dan memiliki daya eksplansasi yang luas

dalam menjawab pertanyaan, “Mengapa ekonomi kekeluargaan?”

Makna konsep kekeluargaan dalam asas ekonomi belum ajeg.

Kadang term kekeluargaan sendiri dalam bahasa sehari-hari

berkonotasi negatif sebagai kompromi, jalan damai dalam suatu

perkara tertentu, atau persekongkolan. Maka dalam tulisan ini,

saya akan mencoba menguraikan definisi ekonomi kekeluargaan.

Saya lebih memilih makna asas kekeluargaan sebagai

persaudaraan (brotherhood). Selayaknya saudara, maka haram

adanya praktik eksploitatif dalam relasi ekonomi. Pun selayaknya

saudara maka tidak ada pertarungan yang saling mengalahkan.

Begitupula dalam kehidupan ekonomi kekeluargaan yang

bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain bila ada

corak ekonomi yang mencari keuntungan lebih sebagai tujuan

(bukan alat mencapai kesejahteraan), dengan sendirinya ia tak lagi

bersifat kekeluargaan karena senantiasa mengkondisikan ada yang

menjadi pusat, ada yang sub-ordinat. Alhasil yang tercipta adalah

ketimpangan: ada segelintir pihak yang menguasai banyak pihak.

Kontitusi negara kita UUD 45 menuangkan gagasan pentingnya

asas kekeluargaan dalam ekonomi. Ada pasal 33 ayat 1 yang secara

ekplisit menjelaskan, “Perekonomian disusun atas usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan.” Mengenai amanah konstitusi ini

menarik memperhatikan pendalaman Sri-Edi Swasono terhadap

FOOTNOTE:

* / Deputi Riset dan Pengembangan Kopkun Institute dan Dosen Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. 085723504025 | www.dodifaedlulloh.com

HC kepanjangan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi. Kontak:

JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.003/2015

HAL 1

EKONOMI (ASAS) KEKELUARGAANOleh: Dodi Faedulloh, HC*.

“Kemudian ekonomi kekeluargaan menghargai ruang-ruang individualitas, oleh karenanya tidak serta

merta menjadi pelembagaan sebagai sistem ekonomi yang membunuh hak milik secara serampangan. ”

Page 2: Jurnal Kopkun Institute Vol I Artikel 004/ 2015

pasal tersebut. Ia menjelaskan makna “disusun” berarti tidak dibiarkan

begitu saja perekonomian berlangsung sesuai dengan selera pasar.

Sedangkan bentuk perekonomian adalah badan-badan usaha yang

dihimpun oleh rakyat, untuk rakyat dan tujuannya kesejahteraan rakyat

itu sendiri. Yang jelas badan usaha harus mengikuti rel paham "disusun

sebagai usaha bersama

berdasar asas kekeluargaan" yang artinya, minimal ada co-ownership.

Kemudian "usaha bersama" perlu berlandaskan pada mutualisme atau

kepentingan bersama yang berlaku asas kekeluargaan, brotherhood,

yang bukan kinship atau kekerabatan [1]. Walaupun tidak eksplisit,

lanjutan dalam pasal 33,. ayat 2 dan ayat 3 bisa menjadi intisari dari asas

kekeluargaan. Pasal lain yang merefleksikan inti dari asas kekeluargaan

adalah pasal 27 ayat 2 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Lewat pembacaan kontitusi ini, bisa ditarik substansi penting dari asas

kekeluargaan, yaitu hal ikhwal yang berhubung erat dengan

kebersamaan, egaliterisme, gotong-royong dan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun seiring berjalan, praktiknya masih bak panggang jauh dari api.

Pasal fondasi perekonomian di Indonesia ini telah diamandemen.

Efisiensi ternyata dinilai lebih penting dari kekeluargaan. Tak lebih, kata-

kata seperti ekonomi kekeluargaan, ekonomi kerakyatan memang selalu

berhasil dijadikan materi politisasi. Ada problem akut yang menjalar

dalam tubuh negara dalam mengelola ekonomi.

Ekonomi asas kekeluargaan harus bekerja sejalan dengan nilai yang ada

dalam masyarakat. Maka praktiknya nilai-nilai ekonomi tidak

bertentangan dengan nilai sosial masyarakat yang berlaku. Kemudian

ekonomi kekeluargaan menghargai ruang-ruang individualitas, oleh

karenanya tidak serta merta menjadi pelembagaan sebagai sistem

ekonomi yang membunuh hak milik secara serampangan. Karena

masalah pokok dalam sistem ekonomi pasar bebas bukan pada private

proverty-nya tapi individual wealth accumulation melalui perampasan-

perampasan hak publik atau yang disebut Marx sebagai primitive

accumulation. Implikasinya hak milik pada ekonomi kekeluargaan harus

memiliki dampak publik.

Dengan kata lain individu-individu berhak memiliki hak milik,

sejauh hak milik tersebut bisa memberikan sumbangan konkret

bagi kehidupan bersama. Mengikuti Moh. Hatta, individualitas beda

hal secara prinsipil dengan individualisme.

Individualitas adalah soal kesadaran atas harga diri, yaitu tentang

karakter kekukuhan watak seseorang yang bisa diapresiasi oleh

orang lain. Karenanya individualitas satu kesatuan semangat

dengan solidaritas. Sedangkan individualisme menuntut individu

bisa bebas lepas tidak terikat dari masyarakat dan mendahulukan

hak individu daripada hak masyarakat, oleh karenanya menurut

sang founding father individualisme tidak bisa memajukan

kemakmuran rakyat [2].

MEMULAI PROSES

Ekonomi kekeluargaan jangan sampai terjebak menjadi sekedar

seruan moral, oleh karena itu perlu daya dukung kuat yang lebih

terorganisir. Seperti yang telah ditawarkan Dawam Rahardjo dalam

beberapa kesempatan, perjuangan tersebut di antaranya yaitu

dengan membuat undang-undang perekonomian Indonesia yang

kelak menjadi landasan garis-garis besar sistem ekonomi

Indonesia.

Rencana regulasi ini menjadi dokumen resmi mengenai sistem

ekonomi Indonesia yang berisi perkembangan konsep

perekonomian yang telah tertuang dalam pasal-pasal yang disebut

dalam tulisan ini. Dalam rencana rancang bangun ekonomi

Indonesia perlu disusun melalui tiga proses. Pertama ontologi,

yakni pembahasan mengenai latar belakang historistruktural.

Ontologi berisi persoalan-persoalan pokok yang dihadapi

Indonesia. Kedua epistemologi, yaitu cara pemahaman dan

pemecahan masalah. Yang ketiga aksiologi berupa tujuan

perekonomian Indonesia di masa mendatang [3]. Tentunya

sebelum melangkah jauh ke sana, aksi yang paling dekat dari kita

semua, yaitu memulai membangun usaha-usaha untuk

mewujudkan kemandirian ekonomi yang sebangun dengan asas

kekeluargaan. Siap? []

JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.002/2015

HAL 2

FOOTNOTE:

1 / Sri-Edi Swasono. Koperasi dan UUD Borjuis. dalam Kompas 12 Juli 2013.

2 / Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan ke Ekonomi dan pembangunan, (Djakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Tjetakan keenam, 1960).

3 / Ekonomi di Indonesia Berdasarkan Rasa Kekeluargaan. dalam Gemari Edisi 96/Tahun IX/Januari 2009.

Per Mei 2015 koperasi

yang aktif hanya 147.249

dari data sebelumnya

yang menyebut 209.483

koperasi. Dari jumlah itu

sebanyak 80.008 koperasi

(54,34%) melaksanakan RAT

dan 67.241 koperasi

(45,66%) yang belum

melaksanakan RAT.