jurnal ilmu komunikasi vol 1 no 2 desember 2004

94

Click here to load reader

Upload: agustinus-rusdianto-berto

Post on 30-Dec-2015

272 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004
Page 2: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

ISSN 1829 – 6564

Volume 1, Nomor 2, Desember 2004

Halaman 95 - 184

Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika (95-112)

André Hardjana (Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)

Perkembangan Hubungan Perkawinan:

Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik (113-130)

Anne Suryani (Universitas Indonesia)

Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan

dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital dan Masyarakat Informasi (131-142)

AG. Eka Wenats Wuryanta

(Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)

Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi (143-156)

G. Arum Yudarwati (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Newspaper Language in Representing Ethnic Violence:

Textual Analysis of Kompas and Republika Newspapers (157-170)

Prayudi (Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta)

Media Literacy: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan (171-184)

Rahayu (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)

Page 3: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

95

Teori Komunikasi:

Kisah Pengalaman Amerika1

André Hardjana2

Abstract: Being an interdisciplinary science, communication ows its key

concepts and theoreties to other scientific fields. The body of

communication knowledge grew out of research works undertaken by

those scholars who were actively involved in the various activities

related to the war information management, some of whom were then

pronounced ‘founding fathers’ of communication research. This article

briefly reviews the intensive interactions among those founding

fathers during the war whose ideas were then drown together to

constitute the communication field of study. Schramm was the

institutionalizer of this new field of communication study. The

development of communication theory now is largely depending on the

various research works undertaken by those researchers affiliated with

either the departments of communication or the schools of journalism

mass communication in the US and Canada.

Key Words: Communication, mass communication, communication

research, interdisci- plinary field of communication study.

Sebagai pangkal tolak dari pembicaraan tentang teori komunikasi di

Amerika Serikat dan pengaruhnya pada pemahaman tentang konsep dan teori

komunikasi dan komunikasi massa, akan dibuat kisah pengandaian seorang

dosen ilmu komunikasi dengan gelar sarjana lengkap—kini disebut Sarjana

1 Disunting dari makalah yang disampaikan pada Penataran Teori Komunikasi bagi

Dosen Ilmu Komunikasi se-Jawa dan Bali; yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu

Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1 Oktober 2003 di Yogyakarta. 2 André Hardjana adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atma

Jaya Jakarta.

Page 4: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

96

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Strata Satu (S1) lulusan awal tahun 1970-an. Sebagai sarjana tahun-tahun awal

1970-an, penulis berkesimpulan bahwa nama paling besar dalam ilmu

komunikasi adalah Wilbur Schramm. Nama itu dikenal berkat bukunya Mass

Communications (1960)—sebuah buku tebal yang mencapai 696 halaman—

yang menghimpun berbagai pembicaraan penting dan perspektif tentang media

komunikasi massa, dinamika pertumbuhan, dan fungsinya dalam

perkembangan masyarakat Amerika. Di mata penulis, nama Schramm makin

melambung berkat The Process and Effects of Mass Communication (asli 1954

dengan edisi revisi 1972). Untuk edisi pertama, Wilbur Schramm menulis

sebuah kata pengantar panjang berjudul “How Communication Works” yang

menjelaskan proses kelangsungan komunikasi. Kata pengantar itu kemudian

diubah menjadi “The Nature of Communication between Humans” dalam edisi

revisi yang merupakan sebuah buku raksasa setebal 998 halaman. Dalam kata

pengantar baru itu, Schramm memaparkan pemahaman yang mendalam tentang

hakikat komunikasi sebagai proses dan keempat fungsinya, yakni “informing,

instructing, persuasion, dan entertaining”. Separoh dari isi buku raksasa yang

menghimpun 36 makalah penting tersebut berkaitan dengan masalah-masalah

sosial makro. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan tujuh buah pengantar

untuk masing-masing seksi, yakni (1) Media as Communication Institution, (2)

The Nature of Audience, (3) Approaches to the Study of Mass Communication

Effects: Attitutes and Information, (4) Social Consequences of Mass

Communications, (5) Mass Communications, Public Opinion, and Politics, (6)

Communication, Innovation, and Change, dan (7) Implications of the New

Communication Technology.

Sebagai dosen muda ilmu komunikasi dekade 1970-an, penulis harus

melakukan “mind shift” dari “konsep publisistik” ke “konsep komunikasi”,

mengapa begitu? Penulis tidak mengetahui alasan konseptual yang menjadi

dasarnya. Dalam kegairahan pembangunan nasional dalam development era

dunia, konsep komunikasi diperkenalkan sebagai pengganti konsep publisistik.

Istilah “komunikasi pembangunan” sangat populer di kalangan akademisi dan

birokrasi pemerintahan sebagai alat untuk perubahan sikap mental (mental

attitude) di awal modernisasi bangsa Indonesia. Penulis tidak pernah mengerti

mengapa tidak digunakan istilah “publisistik pembangunan”. Nampaknya

istilah komunikasi pembangunan sengaja digunakan dalam artian sebagai

“komunikasi massa pembangunan”, sehingga penulis harus berkenalan dengan

buku Schramm lain—ini benar-benar buah karya Wilbur Schramm sendiri—

yang diberi judul Mass Communication and National Development: The Role of

Information in the Developing Countries (1964). Buku itu diterbitkan oleh

UNESCO dalam kerjasama dengan Stanford University. Dari buku itu penulis

belajar tentang fungsi kebijakan pemerintah dalam pengembangan komunikasi

Page 5: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

97

nasional untuk mendorong akselerasi pembangunan nasional. Bagi penulis,

Schramm tidak hanya memberikan pegangan teknis kebijakan, tetapi juga

pegangan teori komunikasi pembangunan. Sebagai buku pegangan teori, buku

ini mendapat sokongan empiris dari dua tingkatan, yakni level makro dan level

mikro. Pada tingkat makro, buku penting pendukung kebijakan komunikasi

adalah The Passing of Traditional Society (1958) karya Daniel Lerner yang

diangkat dari rangkaian studi empiris di negara-negara Timur Tengah. Pada

tingkatan mikro, buku yang menjadi pendukung empiris adalah Modernization

among Peasants: The Impact of Communication (1969) dan buku

Communication and Innovations: A Cross Cultural Approach (1962)—buku

kedua ini dalam edisi revisi diubah judulnya menjadi Diffusion of Innovations

(1995). Kedua buku ini merupakan karya Everett M Rogers. Pelaksanaan

komunikasi pembangunan secara empiris mengikuti ajaran Rogers, yang

terkenal dengan sebutan “model adopsi inovasi” (adoption of innovations).

Bagi penulis, Everett M. Rogers menjadi nama terbesar kedua sesudah Wilbur

Schramm sebagai tokoh ilmu komunikasi. Sesuai dengan ajaran modernisasi,

adopsi inovasi mengandaikan bahwa ide dan praktek inovasi berasal dari

sumber luar masyarakat—khususnya dalam pengenalan dan penggunaan

teknologi pertanian. Model adopsi inovasi yang mengesampingkan “personal

growth and development” ini, kemudian ditinjau kembali secara kritis di dalam

Communication and Development: Critical Perspectives (Rogers, 1976).

Pengertian-pengertian “teori komunikasi”, terutama bersumber pada dua

buku, yakni The Process of Communication (1960) karya David Berlo yang

memberikan dua konsep penting, yakni komunikasi sebagai proses dan

pendekatan proses. Teori tersebut di kalangan mahasiswa terkenal dengan

sebutan Model Berlo:

S M C R [E F]

Model Berlo ini ternyata dibangun berdasarkan model proses komunikasi

teknis yang dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver untuk

komunikasi teknologis yang dirumuskan sebagai teori matematik—

Mathematical Theory of Communication (1949) yang dapat memudahkan

pemahaman tentang proses komunikasi antarmanusia. Namun model Berlo itu

tidak memasukkan konsep “arus komunikasi”(flow of communication). Di

samping itu, elemen-elemen feedback dan interaction juga tidak dinyatakan

secara eksplisit—hanya dapat diimplikasikan saja. Dari penjelasan dan rincian

dari model tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi terjadi dalam dan

Page 6: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

98

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

dipengaruhi oleh sistem sosial dan budaya. Akhirnya, komunikasi yang berhasil

hanya terjadi bila terdapat kesepadanan antara source dan receiver dalam hal

ketrampilan komunikasi dan nilai maupun sikap.

Buku teori kedua adalah Four Theories of the Press (1956) karya Fred

S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schramm. Buku “teori” ini berisi

empat buah landasan-landasan filosofi yang berbeda tentang komunikasi, yakni

libertarian dan authoritarian (Fred S. Siebert), social responsibility (Theodore

Peterson), dan totalitarian (Wilbur Schramm). Berdasarkan pandangan dalam

buku teori komunikasi ini, selanjutnya “komunikasi pembangunan” yang

dirintis oleh Wilbur Schramm, Daniel Lerner, dan Everett M Rogers disebut

sebagai “teori komunikasi kelima”. Perkembangan dan aplikasi teori kelima—

komunikasi pembangunan nasional—dalam perkembangan selanjutnya sangat

dipengaruhi oleh Wilbur Schramm dan Daniel Lerner melalui program East-

West Center Communication Institute di kampus University of Hawaii.

Pemahaman tentang konsep dasar “the act of communication” dan

“communication research” sangat dibantu oleh “rangkaian pertanyaan klasik”

dari Harold D. Lasswell yang kemudian menjadi tersohor dengan sebutan

Model Lasswell (1948). Model Lasswell meliput lima buah pertanyaan sebagai

berikut:

Who

Says What

In Which Channel

To Whom

With What Effect?

Dengan pemahaman tentang kejadian komunikasi ini, para peneliti dapat

memilih untuk menjawab salah satu pertanyaan. Dengan fokus pada “Who”

peneliti dapat meninjau faktor-faktor yang mendorong dan membimbing “act of

communication”; dengan begitu ia masuk bidang control analysis. Kemudian

peneliti yang tertarik pada “Says What” masuk ke bidang content analysis.

Selanjutnya, peneliti yang tertarik pada “In Which Channel”— radio, pers,

film, dan saluran komunikasi lain, dapat memasuki bidang penelitian media

analysis. Sedangkan peneliti yang berminat pada “To Whom”—orang-orang

yang dicapai oleh media—ia memasuki bidang penelitian audience analysis.

Akhirnya, peneliti yang berminat pada “With What Effect”—dampak dari yang

Page 7: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

99

ditimbulkan pada khalayak—ia dapat melakukan penelitian effect analysis.

Namun Lasswell tidak menganjurkan pemisahan bidang penelitian secara ketat,

sebaliknya ia justru menganjurkan penggabungan beberapa bidang penelitian

agar pemahaman tentang “communication act” itu menjadi lebih mendalam.

Selain menunjukkan peluang-peluang penelitian yang dapat dipilih,

Model Lasswell ini juga memberikan penjelasan bahwa “the act of

communication” melaksanakan tiga fungsi dalam sistem sosial, yang meliputi

“the surveillance of the environment”, the correlation of the parts of society in

responding to the environment, and the transmission of the social heritage

from one generation to the next”.

Selain itu, juga dijelaskan bahwa sistem sosial memiliki “distinctive

patterns” (institution) tentang “act of communication” dan tugas untuk

menentukan “certain criteria of efficiency in communication”—lembaga dan

kebijakan komunikasi yang menjamin efektivitas komunikasi. Namun dalam

kaitan ini perlu ditambahkan bahwa rangkaian kelima pertanyaan Lasswell di

atas tidak meliput pertanyaan tentang “Why”, sehingga para siswa komunikasi

tidak memperoleh pemahaman tentang berapa besar makna komunikasi (massa)

dalam masyarakat dan bagaimana mengukurnya.

Salah satu konsep penting sebagai dampak dari komunikasi

pembangunan adalah modernisasi (modernization), yang secara khusus meliput

pembaharuan politik dan partisipasi sosial dalam pembangunan. Sebagai dosen

yang percaya pada fungsi komunikasi dalam proses modernisasi sosial dan

politik, penulis berkenalan dengan buku Modernization, yang disunting oleh

Myron Weiner (ed, 1966)) dan buku Becoming Modern karya Alex Inkeles dan

David H. Smith (1974). Buku Weiner adalah buku umum yang berisi makalah-

makalah yang pernah disiarkan radio di Amerika Serikat tentang ide-ide pokok

dalam perubahan sosial politik suatu bangsa, sedang buku Inkeles-Smith

merupakan laporan riset ilmiah tentang pelaksanaan modernisasi di Asia,

Afrika, dan Amerika Latin. Secara singkat dapat dikatakan bahwa buku kedua

merupakan pendukung empiris dari konsep-konsep yang termuat dalam buku

pertama. Selanjutnya, khusus tentang komunikasi dan partisipasi politik penulis

berkenalan dengan buku Communications and Political Development (1963)

yang berisi hasil-hasil riset dan pengamatan tentang perkembangan komunikasi

dan sosial-politik di Asia dan Afrika oleh Lucian W. Pye (ed., 1963). Pada

dasarnya isi buku ini sejalan dan melanjutkan “teori demokrasi” di Amerika

yang termuat dalam The Civic Culture (1963) karya Gabriel Amond dan

Sidney Verba.

Dari beberapa buku penting karya tokoh-tokoh komunikasi di atas—

meskipun tidak semua makalah tentang berbagai persoalan itu dapat penulis

Page 8: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

100

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

pahami—muncul kesan bahwa komunikasi adalah sebuah bidang studi yang

interdisipliner. Namun bagaimana kaitan antara berbagai disiplin keilmuan

membentuk jalinan dan membentuk teori-teori komunikasi, penulis tidak begitu

paham. Demi pemahaman tentang pembentukan teori-teori itu, penulis merasa

perlu melanjutkan studi Pascarjana ke Amerika, karena dari negeri itulah nama-

nama besar di bidang komunikasi yang dikenal itu berasal, sehingga kisah

pengandaian ini masih akan dilanjutkan di bagian berikutnya.

ILMU KOMUNIKASI: BIDANG STUDI INTERDISIPLINER

Bagaimana ilmu komunikasi menemukan dirinya sebagai bidang studi

“interdisipliner”? Pertanyaan ini langsung mengacu pada kenyataan bahwa

banyak ahli dari berbagai bidang keilmuan, seperti psikologi, sosiologi, ilmu

politik, cybernetics, matematika, retorika, lingusitik, seni, kebudayaan, dan

sejarah, yang tertarik pada “komunikasi” karena “zaman menuntutnya”.

“Tuntutan zaman” itu berkaitan dengan disorganisasi sosial dan

disfungsionalisasi sistem, khususnya karena perang. Para ahli psikologi,

misalnya, menggarap masalah-masalah psikologi dalam komunikasi dan ahli

matematik mengembangkan teori informasi yang sangat dibutuhkan.

Komunikasi dipandang sebagai bidang penelitian yang bermanfaat untuk

memahami perilaku manusia dan perilaku sosial maupun dapat membantu

menjelaskan teori-teori lain agar dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata saat

zamannya. Dari sejumlah ahli dari berbagai bidang keilmuan itu muncul sangat

mencolok empat nama dari tiga bidang keilmuan—dua orang ahli psikologi,

seorang ahli sosiologi, dan seorang lagi ahli ilmu politik—yang oleh Schramm

(1962) dinyatakan sebagai “the founding fathers of communication research”

dalam studi ilmu komunikasi.

Dalam tulisannya yang berjudul “Communication Research in the United

States” yang menjadi pengantar buku berjudul The Science of Human

Communication (Schramm, ed., 1962) dengan tegas menyatakan Paul

Lazarsfeld (ahli sosiologi didikan Vienna), Kurt Lewin (ahli psikologi didikan

Vienna), Harold Lasswell (ahli ilmu politik didikan Universitas Chicago), dan

bintang mati muda Carl Hovland (ahli psikologi didikan Yale University). Paul

F. Lazarsfeld (1901-1976) yang berkebangsaan Austria, datang ke Amerika

Serikat dan menjadi staf di Bureau of Applied Social Research di Columbia

University, New York. Lazarsfeld mempunyai spesialisasi “survey research”

dengan minat khusus tentang dampak-dampak media massa dan hubungannya

dengan pengaruh pergaulan (personal influence). Baginya pengukuran khalayak

Page 9: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

101

(audience measurement) dapat digunakan untuk memahami media. Pilihan atas

jenis program menunjukkan sesuatu tentang orang maupun tentang programnya

sendiri. Langkah berikutnya mencari tahu tentang mengapa orang-orang

memilih program tersebut. Kemudian mengetahui bagaimana mereka

menggunakan apa yang diperolehnya dari media, dan akhirnya apa dampak dari

media atas perilaku dalam pemilihan umum, cita rasa, dan pandangan-

pandangan umum tentang kehidupan dan masyarakat. Di lembaga tersohor itu,

selain Lazarsfeld juga bekerja Robert K. Merton, seorang ahli teori sosial

moderen, yang mencetuskan konsep-konsep penting—latent and manifest

functions, social effects, opinion leadership, parochialism, cosmopolitanism,

dan popular taste—sebagai dampak dari penggunaan media massa. Kemudian

dari lembaga tersebut muncul ahli-ahli kenamaan, seperti Elihu Katz, Joseph T.

Klapper, dan Herbert Menzel.

Tokoh kedua adalah Kurt Lewin (1890-1947), yang berkebangsaan

Austria adalah seorang ahli psikologi Gestalt yang datang ke Amerika Serikat

dan bekerja di University of Iowa. Minatnya adalah pada komunikasi dalam

kelompok dan dampak dari tekanan kelompok, norma-norma kelompok, ikatan

dan keutuhan kelompok, dan peran kelompok dalam perilaku maupun pada

sikap-sikap anggota kelompok. Dari rangkaian riset yang dilakukan dengan

beberapa staf mudanya, diperoleh pemahaman tentang perilaku kelompok

dengan kepemimpinan demokratik dan kepemimpinan otoriter (democratic and

authoritatian leadership), perubahan perilaku penting dengan komunikasi dan

keputusan partisipatif kelompok—pembiasaan makan daging limpa, hati, dan

ginjal sapi—jaringan informasi kelompok dan gatekeeping role (social

network). Dengan berbagai riset kelompok yang dilakukan, ia diakui sebagai

perintis Group Dynamics Movement. Di antara para ahli kenamaan yang

kemudian melanjutkan minat Lewin adalah Leon Festinger dan William J.

McGuire, Jack Brehm, dan David Manning White.

Tokoh ketiga adalah Harold Dwight Lasswell (1902-1978), kelahiran

Donnellson di Illinois, adalah seorang ahli ilmu politik lulusan University of

Chicago. Minat awalnya adalah pada penelitian tentang propaganda dalam

aliran riset kesisteman (systems research) tentang komunikasi di kalangan

bangsa-bangsa dan masyarakat. Kemudian studinya makin terfokus pada tokoh-

tokoh komunikasi politik yang sangat berpengaruh di Eropa, seperti Adolph

Hitler. Dalam usaha tersebut ia menjadikan ilmu politik tidak terpisahkan dari

komunikasi, dan selanjutnya komunikasi terkait dengan psikoanalisis.

Singkatnya, ia berjasa karena telah berhasil meyakinkan bahwa komunikasi

memang merupakan bidang studi interdisipliner. Dari riset-riset Lasswell

tersebut dapt dipelajari tentang content analysis dan penggunaan statistik dalam

riset komunikasi. Dampak komunikasi—propaganda sebagai komunikasi

Page 10: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

102

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

politik—dapat dilihat pada bobot dan intensitas pola penggunaan kata-kata

kunci dan lambang (symbol) di dalam pesan-pesan yang disebarkan melalui

media massa. Dengan konsep propaganda itu Lasswell mengajukan pemikiran

“pengubahan pandangan orang” sebagai strategi “managing public opinion”.

Minatnya terhadap “public opinion” memperkuat kedudukan konsep “Public

Opinion” di negara demokrasi yang mengandalkan media komunikasi massa

yang sebelumnya dicetuskan oleh Walter Lippmann (1922). Bekerja sama

dengan John Marshall, salah seorang pengurus The Rockefeller Foundation, ia

membuat program “Rockefeller Foundation Seminar on Mass Communication”

yang berlangsung selama sepuluh bulan (1939-1940). Rangkaian seminar itu

antara lain melahirkan sebuah buku klasik, yang sangat penting dalam studi

ilmu komunikasi, berjudul The Communication of Ideas (ed. Lyman Bryson,

1948). Buku klasik ini berisi enambelas artikel tentang berbagai aspek

komunikasi—tiga di antaranya dikenal karena dimuat kembali dalam buku

Wilbur Schramm, yakni “The Structure and Function of Communication in

Society” (Harold D. Lasswell), “Mass Communication, Popular Taste, and

Organized Social Action” (Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton) dan

“Some Cultural Approaches to Communication” (Margaret Mead). Dua tokoh

muda yang melanjutkan minat Lasswell di bidang “public opinion, mass

communication, content analysis, and propaganda” adalah Ralph Casey

lulusan dari University of Wisconsin dan Ithiel de Sola Pool lulusan University

of Chicago. Bahkan selama Perang Dunia II Casey dan Lasswell sama-sama

bekerja di Office of Facts and Figures yang kemudian menjadi lebih terkenal

dengan sebutan Office of War Information (OWI) di Washington, D.C.

Tokoh keempat adalah Carl Hovland (1912-1961), seorang ahli psikologi

yang mempunyai reputasi sebagai ahli psikologi eksperimental. Sebagai dosen

yang juga mempunyai pengalaman bekerja pada US Army Research Branch di

bawah pimpinan Samuel A. Stouffer selama perang dunia, ia menunjukkan

minat yang luar biasa pada “communication and attitude change”. Pada

awalnya ia melakukan studi tentang “persuasion” yang bertumpu pada teori

Carl Rogers tentang pentingnya “conclusion drawing by clients” dalam

hubungannya dengan “credibility of the communicator” dalam proses

perubahan sikap, dan teori tentang “mass communication and its effects”.

Kemudian minat penelitiannya dilanjutkan dengan rangkaian eksperimen

pembelajaran di kalangan militer, yang terkenal sebagai buku dengan judul

Experiments on Mass Communication (1949). Dalam rangkaian eksperimen itu,

ia menggunakan film melihat “the effects of the army’s morale films” yang

dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan personil militer—tidak hanya

mengandalkan ukuran kuantitatif. Film-film itu dibuat untuk meningkatkan

semangat bertempur di kalangan militer. Dengan eksperimen-eksperimen yang

Page 11: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

103

menggarap konsep-konsep Aristoteles—logos, etos, dan pathos—Hovland

dapat dikatakan menghidupkan kembali pengembangan retorika moderen

(modern rhetoric). Dalam riset-riset tersebut, misalnya, ia menggunakan

konsep–konsep kredibilitas, pesan-pesan satu sisi dan dua-sisi, pengaruh rasa

takut, dan inokulasi untuk melawan propaganda. Dalam literatur komunikasi,

riset Carl Hovland terkenal dengan sebutan “message learning approach”

(MLA), yang pada dasarnya menunjukkan bagaimana orang belajar tentang

pesan-pesan komunikasi. Rangkaian riset eksperimen yang dilakukan oleh

Hovland mempunyai implikasi sangat besar pada komunikasi massa, karena

meskipun “persuasion experiments” itu dapat dikategorikan sebagai

komunikasi antar pribadi namun juga berlaku untuk studi tentang perilaku

komunikasi massa pada tingkatan mikro, yakni bagaimana orang “menyerap

pesan-pesan” (reception of messages) dari media komunikasi massa. Dari

seluruh rangkaian penelitiannya, “the credibility experiments” adalah yang

paling tersohor dan menjadi model dalam penelitian-penelitian sejenis

selanjutnya. Berkat rangkaian penelitiannya tersebut, oleh Schramm (1985), ia

dijuluki sebagai “orang yang paling berjasa di bidangnya”. Julukan itu

nampaknya tidak berlebihan, karena “setiap tahun sejak terbitnya buku

Communication and Persuasion (1958) sampai akhir hayatnya (1961) Hovland

dan stafnya di Yale University menerbitkan sebuah buku tentang perubahan

sikap”. (Everett M. Rogers, 1994: 378-79). Para penerus kenamaan yang

melanjutkan studi jalur ini adalah Irving L. Janis dan Nathan Maccoby. Dari

Hovland dapat dipelajari tentang “teori perubahan sikap melalui komunikasi”—

the theory of how to change attitudes by means of communication.

Sumbangan keempat tokoh perintis ini sangat mewarnai teori dan

metodologi dalam penelitian komunikasi—khususnya komunikasi massa—di

Amerika kemudian. Dengan jelas tampak bahwa penelitian komunikasi

mengandalkan pengukuran dengan angka-angka—quantitative rather than

speculative—seperti “content analysis, audience measurement, group

dynamics, message learning approach”, meskipun Carl Hovland juga

menggunakan wawancara untuk membantu penjelasannya. Mereka pada

dasarnya sangat peduli tentang pengembangan teori, namun bagi mereka yang

penting adalah teori yang dapat diuji. Singkatnya, tampil sebagai “behavioral

researchers”, mereka mencoba mencari sesuatu tentang “mengapa manusia

bertindak begitu”—behave as they do—dan bagaimana komunikasi dapat

membuat mereka hidup bersama secara lebih bahagia dan produktif.

Dari pengamatannya tentang penelitian komunikasi di Amerika Serikat,

Schramm akhirnya menjelaskan bahwa “pusat-pusat studi komunikasi

bermunculan tidak saja terbatas pada Bureau of Applied Social Research

(Columbia University) dan Communication and Attitude Change Program

Page 12: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

104

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

(Yale University), tetapi juga menyebar ke Stanford, Illinois, M.I.T. , Michigan

State dan Wisconsin” (Schramm, 1962: 6).

Dalam kisah pengandaian ini penulis tentu saja kecewa menemukan

kenyataan bahwa Wilbur Schramm dan Everett M. Rogers yang semula penulis

anggap sebagai “dua nama paling besar” dalam studi komunikasi—khususnya

komunikasi massa—tidak didudukkan sebagai “founding fathers”. Penulis baru

merasa lega kemudian, ketika membaca bahwa Wilbur Schramm (1907-1987)

mendapat julukan “institutionalizer”—pelembaga studi ilmu komunikasi—oleh

Everett M. Rogers (1986: 107). Komunikasi menjadi bidang keilmuan secara

penuh dan absah—terpisah dari ilmu politik, sosiologi, dan psikologi—berkat

usaha dan jasa dari Schramm. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang

dapat ditarik dari kesaksian para ahli tentang jasa Wilbur Schramm sebagai

“institutionalizer” dalam bidang studi ilmu komunikasi.

“[It was his vision], “more than anyone else, that

communication could become a field of study in its own right”

(William Paisley, 1985: 2).

Memang sejak ditunjuk menjadi Director of Education Division

pada Office of Facts and Figures (OFF) oleh penyair Archibal

MacLeish, yang saat itu menjadi kepala US Library of

Congress, yang merangkap jabatan direktur OFF, Schramm

membayangkan komunikasi sebagai sebuah bidang keilmuan

… “Vision of Communication Study” yang menimba banyak

konsep dan teori dari ajaran-ajaran psikologi, sosiologi, dan

politik namun berdiri sendiri dan tidak merupakan bagian dari

ketiganya.

“He had a vision for founding the new field of communication

study.” (Rogers, 1994: 16).

Visi itu lahir dari pengalamannya selama lima belas bulan

sebagai perencana “white propaganda … aimed at domestic

audience”: menyebar informasi kepada rakyat tentang

perkembangan perang dan himbauan agar rakyat rela

melakukan pengorbanan tertentu untuk memenangkan perang.

Page 13: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

105

Singkatnya, kampanye untuk “to boost domestic morale” yang

menjadi tanggung jawabnya sebagai perencana “white

propaganda” itu memaksa Schramm terlibat dalam sebuah

jaringan interaksi yang intensif dengan berbagai ahli ilmu

sosial yang menjadi pejabat atau penasehat pada tiga lembaga

penting di Washington DC saat itu, yakni Research Branch-

Information and Education Division (US Army) yang diketuai

Samuel A. Stouffer, Survey Division-Office of War Information

(OWI) pimpinan Elmo Wilson, dan Division of Program

Surveys-US Department of Agriculture (USDA) pimpinan

Rensis Likert. “Jaringan intensif selama Perang Dunia II itu

“created the conditions for the founding of communication

study”.

Willard Grosvenor Bleyer (1934), yang kemudian terkenal

dengan sebutan “Daddy Bleyer”, “the founding father of

journalism education” menyermpurnakan pendidikan

jurnalisme di University of Wisconsin—Departement of

Journalism dibentuk tahun 1912—menjadi bidang studi ilmu

sosial yang handal—bukan program teknik jurnalistik—dengan

menggabungkan ilmu-ilmu sejarah, ekonomi, politik dan

pemerintahan, sosiologi, psikologi, dan ilmu kemunusiaan.

Dengan penyempurnaan tersebut, pendidikan jurnalisme

mendapat tempat terhormat dan berkembang di universitas

yang bangga sebagai Research University itu, karena dapat

dilanjutkan dengan program doktor, yang kemudian terkenal

dengan sebutan “School of Journalism and Mass

Communication”. Hasil didikan Bleyer, seperti Ralph O.

Nafziger, Fred Siebert, Chilten Bush, dan Ralph Casey

kemudian menjadi motor penggerak dari program komunikasi

yang dibangun oleh Wilbur Schramm. (Rogers, 1994: 466).

Ralph O. Nafziger, seorang didikan Bleyer di University of

Wisconsin, memperkenalkan “some communication study into

his school of journalism” di University of Minnesota (1944)—

mengembangkan jurnalisme menjadi komunikasi massa.

Page 14: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

106

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Singkatnya, langkah yang ditempuh Wilbur Schramm memang

istimewa—berbeda dengan Nafziger dan Bleyer. Kalau kedua tokoh itu

“memantapkan kedudukan ilmiah pendidikan jurnalisme” yang ada dengan

mempersiapkan program pascasarjana dengan orientasi komunikasi massa,

Wilbur Schramm mempersiapkan peluncuran program baru, yang belum ada

sebelumnya—“launching a whole new field of academic study” . Hal itu

mulanya dilakukan di University of Iowa, tetapi baru terlaksana beberapa

waktu kemudian di Illinois dengan didirikannya Institute of Communication

Research di University of Illinois (1947). Perkembangan ilmiah dan riset

komunikasi—khususnya komunikasi massa—terkait dengan munculnya

Communication Research Institute yang menopang program-program doktoral

di universitas-universitas Iowa, (1943), Illinois (1947), Wisconsin (1949),

Minnesota (1951), dan Stanford (1952). Pembicaraan tentang awal dari

program pascasarjana ilmu komunikasi ini dibuat agak rinci karena hal itu

sangat berpengaruh pada arah perkembangan ilmiah—teori-teori komunikasi

umumnya berkembang sejalan hasil riset para penulis disertasi untuk gelar

doktor, karena gelar tersebut memang merupakan gelar riset.

STATUS SEKARANG

Pengenalan tentang keempat “bapak” ilmu komunikasi dan “perintis”

program pendidikan pascasarjana di bidang ilmu komunikasi dapat memberikan

bayangan pada kita, bagaimana perkembangan teori komunikasi selanjutnya.

Teori komunikasi berkembang di kampus-kampus yang menyelenggarakan

pendidikan pascasarjana yang dilengkapi pusat atau lembaga risaet

komunikasi massa yang berawal di universitas-universitas di wilayah

Midwest—dengan kekecualian universitas Stanford di California—yang

kemudian diikuti oleh universitas di wilayah lain. Pengembangan teori-teori

komunikasi merupakan hasil rangkaian kerja riset yang tidak mengenal lelah—

baik melalui pendekatan positivism maupun subjectivism—sebagaimana tersirat

dari riset para bapak di atas. Ilmu komunikasi yang dicita-citakan oleh Wilbur

Schramm tidak terbatas pada bidang ”komunikasi massa” (mass

communication) yang ternyata dikaitkan dengan Journalism, tetapi juga meliput

“komunikasi antar manusia” (human communication), yang pada saat itu

dipahami sebagai “komunikasi antar pribadi” (interpersonal communication)

dan menjadi bagian dari Speech and Drama. Komunikasi massa cenderung

berkembang sebagai profesi keilmuan sosial, sehingga umumnya dikelola

sebagai “Sekolah” (School of Journalism and Mass Communication), sedang

komunikasi antar pribadi dikembangkan sebagai ilmu kemanusiaan dalam

Page 15: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

107

bentuk “Jurusan” (Departemen tof Speech Communication atau

Communication Arts) yang berafiliasi dengan Department of English. Banyak

universitas terkenal memiliki kedua-duanya—School of Journalisme and Mass

Communication dan Department of Communication Arts. Dalam praktek,

mahasiswa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan program studinya

dengan mengambil kuliah di kedua departemen tergantung pada minat khusus

dalam penyusunan program pribadinya.

Arah dan orientasi teoritik dalam studi ilmu komunikasi secara teratur

dirangkum dan ditinjau ulang dalam buku-buku teori dan perkembangan dari

saat ke saat dilaporkan dalam Communication Yearbook. Buku-buku teori yang

beredar di Indonesia antara lain Theories of Human Communication (Stephen

W. Littlejohn), Theories of Mass Communication (Melvin L. DeFleur), Mass

Communication Theory (Denis McQuail),Communication Theories:

Perspectives, Processes, and Contexts (Katherine Miller), A First Look at

Communication Theory (Em Griffin), dan Foundations of Communication

Theory (ed. Kenneth Sereno dan C. David Mortensen). Perkembangan teori

terutama menjadi pembicaraan dan topik penelitian dari jurnal-jurnal ilmiah

yang diterbitkan oleh ICA (International Communication Association),

khususnya Communication Theory, Journal of Communication, dan Human

Communication Research dan AEJMC (Association for Education in

Journalism and Mass Communication), khususnya Journalism and Mass

Communication Quarterly, Journal of Public Relations Research, dan Mass

Communication and Society.

Untuk memudahkan pemahaman dan pembedaan teori-teori yang kini

dikembangkan dalam berbagai kegiatan penelitian dan dilaporkan dalam jurnal-

jurnal ilmiah, Robert Craig (University of Colorado) mencoba membuat peta

teori (mapping the theory), yang meliput tujuh bidang, yang telah membentuk

tradisi dalam penelitian komunikasi. Ketujuh teori adalah 1) socio-

psychological theory: pengaruh antar pribadi (interpersonal influence); 2)

cybernetics theory: pemrosesan informasi (information processing); 3)

rhetorical theory: seni pidato (the artful public address); 4) semiotics theory:

proses kebersamaan makna melalui tanda (the process of sharing meaning

through signs); 5) socio-cultural theory: penciptaan dan pengungkap realitas

sosial (creation and enactment of social reality); 6) critical theory: penelurusan

reflektif tentang wacana yang timpang (reflective challenge of unjust

discourse); dan 7) phenomenological theory: pengalaman pribadi dan orang

lain melalui dialog.

Page 16: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

108

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Bila disimak menurut paradigma yang digunakan maka segenap

penelitian yang disajikan dalam jurnal-jurnal ilmiah baku (mainstream

communication journals) yang dimaksudkan untuk membangun teori tersebut

dapat digolongkan menjadi tiga paradigma dasar yaitu 1) empirisisme, yang

mencoba menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol atas fenomena-

fenomena yang teramati dengan menunjukkan hubungan-hubungan yang umum

dan penting; 2) hermeneutika, yang mencoba memahami makna-makna

perilaku manusia melalui penafsiran teks dan kerangka-kerangka pemahaman;

dan 3) kritikisme, yang mencoba melakukan perubahan-perubahan

emansipatoris melalui refleksi kritis atas kebiasaan sosial. Paradigma kedua

dan ketiga menjadi sangat popular dalam pendekatan budaya (cultural studies)

yang juga terkenal dengan sebutan media studies yang menunjukkan ciri

khusus, yakni “naturism, social causation, and functionalism” (James Porter et

al. 1993: 317-335).

Bila buku-buku teori dan jurnal-jurnal tersebut disimak, dapat diperoleh

sebuah gambaran bahwa teori fungsionalisme, terutama “communication

effect” merupakan teori komunikasi yang tetap kokoh dan dimantapkan oleh

rangkaian penelitian di berbagai lingkungan sosial. Teori ketergantungan

(dependency theory) dan pembuatan jadwal (agenda setting) telah berkembang

ke arah pembentukan kerangka pandang individual (framing). Namun perlu

dicatat bahwa teori propaganda—termasuk kampanye politik—tidak lagi

dianggap memiliki “super-influence” seperti dalam Era Perang Dingin,

meskipun propaganda sudah menjadi roh komodifikasi informasi dan iklan

bisnis. Salah satu aliran dalam teori besar fungsionalisme adalah teori

normatif (normative theory) yang menjelaskan letak, kedudukan, dan fungsi

komunikasi dalam konteks sosial budaya dalam artian luas—sosial, ekonomi,

peolitik, psikologi, dan budaya.

Teori kesisteman (systems theory), yang juga dikenal sebagai teori

kesisteman dasar (general systems theory), termasuk teori informasi

(information theory) dan sibernetika (cybernetics) secara khusus menjadi

landasan bagi perkembangan komunikasi keorganisasian dan teori jaringan

yang peka terhadap umpan balik, distorsi, kadar muatan (load capacity),

saluran-media, dan interdependensi antar sistem—subsistem-sistem-

suprasistem—melalui input, process, dan output plus feedback. Teori informasi

dan pengaruh (information theory and influence) khususnya dikembangkan

menjadi bidang kajian dan profesi hubungan masyarakat (public relations),

yang juga meliput public opinion and the communication of consent.

Page 17: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

109

Berkat pengaruh paradigma kritis sistem produksi komunikasi kini

mendapat perhatian yang makin besar, karena media komunikasi massa

dianggap sebagai alat dari kelas dominan untuk mempengaruhi kesadaran sosial

palsu (false consciousness) dengan nilai-nilai materialistik dan hedonistik guna

memupuk hegemoni. Dalam kerangka ini baik penguasaan media massa global

maupun kebijakan isi mendapat perhatian khusus—terutama televisi yang telah

tampil sebagai media massa yang paling global. Dalam kerangka paradigma

kritis ini juga muncul pendekatan naturalistis yang menghasilkan

etnometodologi dan fenomenologi postmodernisme yang cenderung

menampilkan pemahaman pribadi atas fenomena yang tengah terjadi. Pada

dasarnya ini merupakan manifestasi paling signifikan dari subjektivisme menuju

konstruktivisme (social constructivist), yang antara lain memunculkan “post

colonial communcation theory of development” dan dikotomi antara

“lokalisme dan globalisme”. Teori kritis telah menunjukkan kekuatan analisis

tradisional sejak dicetuskannya teori “structural imperialism” dan

“underdevelopment dan dependence” dalam jaringan komunikasi

internasional—termasuk cultural domination theory. Akhirnya, salah satu jasa

besar dari teori kritis adalah lahirnya feminisme dalam teori komunikasi.

Subjektivisme tentang pemaknaan pesan komunikasi—khususnya dari

media komunikasi massa (mediated message)—gratification theory yang

umumnya dipahami dalam pengertian “uses and gratifications” , yang

dioperasionalisasikan sebagai kepuasan yang diharapkan dan kepuasan yang

diperoleh, kini masih terus dikembangkan bahkan dengan kemungkinan

“feedback” untuk memahami media khalayak yang aktif menghadapi pilihan-

pilihan media. Subjektivisme dalam pemaknaan dan pemaknaan sosial telah

melahirkan interaksionisme simbolik yang akhirnya melahirkan konsep budaya

sebagai alat kontrol pergaulan sosial—dalam sistem organisasi mendapat

sebutan organizational culture atau corporate culture—karena budaya

dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengurangi “uncertainty” dari

lingkungan.

Teori terakhir yang kiranya layak dikemukakan adalah munculnya multi-

kulturalisme komunikasi dalam teori maupun praktek. Multikulturalisme

berkaitan dengan globalisme yang kini sedang melanda dunia—termasuk dunia

bisnis—sehingga multikulturalisme dan diversitas budaya dalam teori

komunikasi organisasi, public relations, maupun komunikasi internasional kini

mendapat perhatian luar biasa.

Page 18: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

110

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

DAFTAR PUSTAKA

Berelson, Bernard dan Morris Janowitz (eds). 1953. Reader in Public

Opinion and Communication. Glencoe, IL: The Free press

Berger, Charles R. dan Steven H. Chaffee (eds). 1987. Handbook of

Communication Science. Newbury, CA: Sage Publications Inc.

Bryson, Lyman (ed). 1948. The Communication of Ideas. New York:

Harper and Brothers & Institute for Religious and Social Studies.

Cherry, Colin. 1975. On Human Communication: A Review, A Survey,

and A Criticism. Seventh printing. Cambridge, MA: The MIT

Press.

Delia, Jesse G. 1987. Communication Research: A History dalam

Handbook of Communication Science, eds. Berber R. Charles dan

Steven H. Chaffee. Newbury, CA: Sage Publications Inc.

Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory. Fifth ed.

Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.

Heath, Robert L. dan Jennings Bryant. 2000. Human Communication

Theory and Research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum associates,

Publishers.

Lerbinger, Otto dan Albert J. Sullivan (eds). 1965. Information and

Influence. New York: Basic Book Co.

Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication.

Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co.

Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives,

Processes, and Contexts. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.

Page 19: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

111

McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory. Fourth ed.

London: Sage Publications Inc.

Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A

Biographical Approach. New York: The Free Press.

Schramm, Wilbur (ed). 1960. Mass communications. Urbana, IL:

University of Illinois Press.

__________________. 1961. The Science of Human Communication.

New York: Basic Book Co.

__________________. 1972. The Process and Effects of Mass

Communication. Revised ed. Urbana, IL: University of Illinois

Press.

Sereno, Kenneth dan David Mortensen (eds). 1970. Foundations of

Communication Theory. New York: Harper & Row Publishers.

Smith, Alfred G. (ed). 1966. Communication and Culture: Reading in

the Codes of Interaction. New York: Holt, Rinehart & Winston.

Sola Pool, Ilthiel de, Wilbur Schramm (eds). Handbook of

Communication. Chicago, IL: Rand McNally Publishing Co.

Communication Theory: an official journal of ICA (International

Communication Association)

Communication Yearbook: an official publication of ICA

Human Communication Research: an official journal of ICA

(International Communication Association)

Journal of Communication: an official journal of ICA (International

Communication Association)

Journalism and Mass Communication Quarterly: an official journal of

AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass

Communication)

Page 20: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112

112

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Journal of Public Relations Research: an official journal of AEJMC

(Association for Education in Journalism and Mass

Communication)

Mass Communication and Society: an official journal of AEJMC

(Association for Education in Journalism and Mass

Communication)

Page 21: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

113

Perkembangan Hubungan Perkawinan:

Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan

Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik3

Anne Suryani4

Abstract: Focus of this research is the interpersonal relation growth

phases in marriage at different marriage age. The analysis relies on

the theory of The phases of interpersonal relation growth from Devito

( 2001), namely phase of Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration,

Repair, and Dissolution. Research shows that interpersonal relations

of couple in Chatolic marriage develop through the phase: Contact,

Involvement, Intimacy, Deterioration, and Repair phase. The

Dissolution phase is not (yet) experienced by the informan because of

principle of Chatolic marriage they believe. Marriage age does not

relate to the relationship growth. The relationship growth itself varies

in term of time, situation and process.

Key words: Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration, Repair,

Dissolution.

Penelitian ini berfokus pada hubungan seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang terlibat dalam perkawinan. Topik perkawinan sangat menarik

karena fenomena ini adalah hasil dari suatu hubungan sekaligus merupakan

suatu proses yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Ada pendapat

bahwa perkawinan merupakan hal yang indah tetapi sekaligus bisa

menimbulkan perasaan frustasi bagi pasangan yang menjalani perkawinan

tersebut. Cecil G. Osborne (1970, 1988) mengatakan bahwa:

3 Tulisan ini merupakan ringkasan tesis bidang Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana

Universitas Indonesia. 4 Anne Suryani adalah staf pengajar tidak tetap pada Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi,

Universitas Indonesia; dan mengajar bidang ilmu komunikasi di beberapa universitas swasta dan

institusi pemerintah

Page 22: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

114

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

"…tidak ada pernikahan yang sempurna dan tidak seorang pun dapat

memenuhi semua kebutuhan orang lain. Kesulitan mencapai suatu

pernikahan yang baik disebabkan oleh perbedaan genetis antara dua

orang. Latar belakang lingkungan mereka berbeda, begitu juga

kepribadian, kebutuhan-kebutuhan, tujuan, dorongan-dorongan dan

reaksi-reaksi emosional mereka.”

Keunikan yang terjadi pada hubungan perkawinan adalah meskipun

banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional,

lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil.

Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri

yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan utama hidup

bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan

dan masalah (Osborne, 1988).

Perkawinan adalah bentuk hubungan antarpribadi yang spesifik.

Meskipun banyak orang yang akan atau telah mengalaminya tetapi terdapat

beragam perbedaan tipe hubungan, model, tahapan, perkembangan dan proses

yang berubah setiap waktu. Hollingshead (1950), Katz dan Hill (1956)

menyatakan perkawinan umumnya dibentuk antarindividu yang memiliki

kategori kebudayaan tertentu, seperti kesamaan latar belakang etnis, ras,

agama, pendidikan dan sosial ekonomi.

Perkawinan merupakan bagian dari sistem sosial. Jenis hubungan ini

menjadi dasar pembentukan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam

masyarakat. Keberhasilan, kebahagiaan, kegagalan, atau perpecahan

perkawinan berdampak langsung pada kelangsungan kehidupan keluarga.

Meskipun tingkat keberhasilan dan makna kebahagiaan bersifat relatif dan tidak

sama bagi setiap orang, mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang sukses

merupakan keinginan semua suami-istri.

Faktor kesamaan sangat penting bagi kedua individu yang terikat

perkawinan. Umumnya kesamaan membawa hubungan menjadi lebih harmonis

(Schmiedeler, 1946). Sementara perbedaan yang terlalu besar akan mengarah

pada situasi yang memanas, pergesekan dan ketidakharmonisan hubungan.

Kesamaan antarindividu umumnya terjadi pada latar belakang budaya. Budaya

mencakup hal-hal seperti agama, ras, pendidikan, dan lain-lain. Budaya sangat

mempengaruhi adat atau tata cara berperilaku, tujuan yang dicapai, perasaan,

sikap, gagasan dan keinginan orang.

Setiap perkawinan tak lepas dari pengaruh agama yang dianut oleh suami

dan istri. Agama mempengaruhi prinsip, cara pandang dan dasar tindakan

Page 23: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

115

seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini merupakan hasil

pengamatan terhadap pasangan yang terlibat perkawinan secara agama Katolik.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perkawinan Katolik berbeda dari

perkawinan agama lain.

Pasangan yang akan menjalani perkawinan menurut agama Katolik

harus melalui beberapa tahap. Pertama, pihak laki-laki dan perempuan

berkonsultasi dengan pastor selaku pemimpin gereja di lingkungan di mana

salah satu pasangan tinggal. Lalu calon suami-istri mengikuti Kursus Persiapan

Perkawinan di Gereja Katolik yang telah ditentukan. Materi dalam kursus

antara lain tentang kesehatan, keluarga berencana, pengelolaan keuangan

keluarga, komunikasi antara suami-istri, dan prinsip atau pandangan agama

Katolik terhadap perkawinan.

Pasangan juga harus mempersiapkan Surat Permandian yang telah

dilegalisir oleh Gereja di mana surat tersebut dikeluarkan. Dalam lembaran

surat itu tertera tanggal penerimaan Sakramen Permandian, Sakramen

Penguatan dan Sakramen Perkawinan. Setiap orang yang dipermandikan secara

Katolik hanya memiliki satu surat dan dicatat oleh Pusat Gereja Katolik di

Vatikan. Sehingga jika seseorang telah kawin secara Katolik, dalam Surat

Permandiannya tercantum tanggal penerimaan Sakramen Perkawinan pula.

Aturan yang ketat ini dibuat oleh Gereja Katolik untuk menghindari terjadinya

perkawinan lebih dari satu kali.

Agama Katolik hanya mengijinkan perkawinan antara laki-laki dan

perempuan terjadi satu kali seumur hidup dan melarang perceraian. Menurut

kitab suci agama Katolik, awal suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan

sebagai berikut,

Tuhan Allah berfirman:"Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.

Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur,

Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup

tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah

dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya

kepada manusia itu (Kejadian 2:18, 21, 22).

Setelah hubungan antarpribadi berkembang dan memasuki bentuk

perkawinan, Alkitab menyatakan: "Sebab itu seorang laki-laki akan

meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga

keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24).

Page 24: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

116

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Artinya seorang laki-laki akan setia kepada istrinya melebihi ikatannya

kepada orang tuanya. Namun pemaknaan kata "meninggalkan" bukan berarti

"memutuskan hubungan". Ikatan harus juga timbul di antara keluarga yang baru

dari laki-laki dengan istrinya itu dan orang tua mereka (Chong Kwong Tek &

Chua Wee Hian, 1999).

Mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terlibat

perkawinan, Agama Katolik dalam kitab sucinya menjelaskan:

“Hawa melengkapi kebutuhan Adam dengan sempurna. Ia memiliki

segala sifat yang dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan fisik, emosi,

intelektual dan sosial Adam. Hubungan saling melengkapi berawal dari

suatu kekosongan yang dirasakan pria dan kemampuan wanita dalam

mengisi kekosongan itu menjadi dasar dari suatu pernikahan.”

(1 Korintus 11:9)

Setelah laki-laki dan perempuan memasuki jenjang perkawinan, ada

prinsip penting yang tertulis dalam kitab suci dan diberlakukan secara ketat

oleh Gereja Katolik yakni komitmen seumur hidup, sebagaimana kutipan

berikut: "…karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan

manusia” (Matius 19:4-6).

Laki-laki dan perempuan yang kawin secara Katolik mengikrarkan janji

perkawinan di hadapan Tuhan. Berikut kutipan lain dari Kitab suci tentang

perkawinan: “Janji pernikahan adalah ungkapan komitmen seumur hidup. Arti

dari janji ‘mulai hari ini’ berlangsung seumur hidup seseorang. Itulah janji yang

tidak dapat dibatalkan” (Pengkhotbah 5:4).

Penelitian dilakukan dengan mengamati pasangan suami-istri yang kawin

secara Katolik dengan usia perkawinan yang berbeda untuk melihat bagaimana

proses perkembangan hubungan antarpribadi yang terjadi. Pasangan suami-istri

yang memiliki usia perkawinan lebih muda cenderung memiliki komunikasi

antarpribadi yang berbeda dengan suami-istri yang lebih lama terlibat

perkawinan.

Johan Suban Tukan (1999), seorang pembina Kursus Persiapan

Perkawinan di Keuskupan Agung Jakarta yang telah berpengalaman selama 23

tahun mengungkapkan,

"Seorang yang belum menikah seandainya berbicara tentang

perkawinan pasti sangat lain dengan mereka yang telah menikah.

Demikian pula pasangan suami-istri yang baru lima tahun menikah

pastilah lain sekali cara memandang perkawinan dibandingkan dengan

yang sudah menikah 20,30 bahkan 50 tahun. Rupanya banyak hal

Page 25: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

117

tentang perkawinan yang ketika masa muda dinilai absolut, justru

ketika dewasa dan tua dinilai semakin relatif. Semakin tua diharapkan

orang semakin lebih arif."

Komunikasi berperan penting dalam kehidupan manusia. Ada perceraian

yang terjadi karena kegagalan suami dan istri berkomunikasi. Penelitian ini

memberi gambaran mengenai tahap-tahap perkembangan hubungan

antarpribadi pada pasangan beragama Katolik dengan usia perkawinan lima,

limabelas dan tigapuluh tahun. Juga dijelaskan temuan mengenai hal-hal yang

terjadi selama perkawinan tersebut berlangsung.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan paradigma interpretif atau

konstruktivis. Peneliti terlibat pengamatan langsung terhadap pelaku sosial

dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu memahami dan menafsirkan

bagaimana para pelaku sosial dapat menciptakan dan mengelola dunianya.

Kriteria penilaian kualitas penelitian ini didasarkan pada authenticity dan

reflectivity yaitu bagaimana hasil penelitian merefleksikan secara otentik suatu

realitas sosial yang dihayati para pelaku sosial.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan studi kasus berdesain

multicases single level analisys dengan strategi etnografi. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan. Untuk

pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap orientasi,

eksplorasi dan "Member Check".

Penelitian dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan unit

analisis pada tingkat pasangan. Informan adalah warga negara Indonesia,

suami-istri yang kawin resmi secara Katolik dan merupakan pasangan yang

kawin untuk pertama kali atau belum pernah mengalami perceraian.

Pemilihan informan menggunakan cara Snowball Sampling. Data

diperoleh dari 3 (tiga) kasus suami-istri yang berbeda usia perkawinan yakni

lima tahun (Ant-Yyn), limabelas tahun (Har-Von) dan tigapuluh tahun (Rob-

Tin). Nama informan ditulis berdasarkan inisial. Pihak laki-laki adalah Ant (35

th), Har (45 th) dan Rob (57 th). Pihak perempuan yakni Yyn (41 th), Von (41

th) dan Tin (51 th). Pengumpulan informasi berlangsung mulai bulan Mei

sampai dengan Juni 2003.

Page 26: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

118

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Analisis data dilakukan melalui tahapan mereduksi data, menyusun data

yang telah dikelompokkan dalam bentuk narasi-narasi sesuai dengan

permasalahan penelitian; mengambil kesimpulan; dan memberi pembuktian

hasil analisis data dari informasi yang didapat.

Kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data kualitatif pada

penelitian ini (Lexy J. Moleong 1998) adalah derajat kepercayaan (credibility),

keteralihan (transferbility), ketergantungan (dependability) dan kepastian

(confirmability).

HASIL PENELITIAN

Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan

Pembahasan mengacu pada Teori Perkembangan Hubungan dari DeVito

(2001). Tahap-tahap ini diidentifikasi berdasarkan perilaku dan cara

berkomunikasi yang terjadi. Suatu hubungan intim seperti halnya hubungan lain

dibangun melalui serangkaian tahapan. Mayoritas hubungan meliputi enam

tahap utama, yaitu Tahap Kontak, Tahap Keterlibatan, Tahap Keintiman, Tahap

Penurunan dan Tahap Perbaikan atau Pemutusan.

Namun tahap-tahap ini bersifat standar dan tidak semua pasangan

mengalami hal sama. Setiap tahap memiliki fase awal dan akhir, menjelaskan

sifat suatu hubungan dan bukan menilai atau memprediksi bagaimana

seharusnya suatu hubungan.

Pada Tahap Kontak, dua individu mulai berkenalan. Saat pertemuan

pertama terdapat beberapa informasi atau kesadaran akan kontak (perceptual

contact). Dari sini diketahui gambaran fisik seperti jenis kelamin, usia rata-rata,

berat, dan lain-lain. Setelah persepsi ini, timbul kontak interaksional

(interactional contact) yang bersifat 'tampak luar' (superficial) dan relatif tidak

pribadi. Saat ini terjadi pertukaran informasi dasar yang mengawali keterlibatan

selanjutnya. Menurut penelitian dalam lima menit pertama dari interaksi awal,

seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan atau tidak (Zunin

dan Zunin, 1972). Pada tahap kontak, penampilan fisik sangat penting karena

lebih siap dilihat. Juga perilaku verbal dan non-verbal, kualitas seperti

keramahan, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme sangat menentukan.

Berger (1979) membagi hubungan perkenalan menjadi tiga bagian.

Pertama adalah tahap pasif di mana kedua orang yang bertemu untuk pertama

kali saling mengutamakan perhatian kepada komunikasi yang berlangsung

tanpa menanyakan apa-apa. Semua situasi dan kondisi terjadi secara alami

tanpa dimanipulasi. Berikutnya yaitu tahap aktif ketika dua pihak yang bertemu

Page 27: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

119

saling mengajukan pertanyaan, memperhatikan dan mendengarkan lawan

bicara, pihak komunikan mulai memanipulasi situasi hubungan antarpribadi.

Ketiga adalah tahap interaktif yaitu tahap memanipulasi komunikan agar

komunikator memperoleh informasi melalui perilaku komunikan.

Pada pasangan Ant dan Yyn pertemuan pertama terjadi dalam acara

Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK) tahun 1995 di Yogyakarta. Baik

Ant maupun Yyn tidak tertarik satu sama lain. Satu setengah tahun kemudian

keduanya bertemu kembali pada acara tahun baru 1997 dan tertarik untuk

melanjutkan hubungan. Pasangan kedua, Har dan Von berkenalan secara tidak

sengaja. Har adalah teman dari kakak laki-laki Von. Mereka berasal dari Kediri,

Jawa Timur. Bagi pasangan ketiga, Rob dan Tin, pertemuan pertama sangat

bermakna karena mereka saling menyukai satu sama lain. Keduanya bertemu

saat mengikuti misa di Kapel Kanisius, Jakarta Pusat.

Tahapan selanjutnya adalah Tahap Keterlibatan (involvement). Pada

tahap ini muncul rasa saling ketergantungan, ingin melanjutkan hubungan dan

berusaha mempelajari orang lain. Pertama, timbul semacam keinginan menguji

apakah penilaian awal atau pendapat pribadi saat pertemuan pertama bisa

terbukti dan beralasan. Seseorang yang tertarik melanjutkan hubungan

antarpribadi mulai membuka diri sendiri dan ingin tahu informasi tentang mitra

bicaranya (Tolhuizen, 1989).

Sepanjang proses hubungan, terutama selama Tahap Keterlibatan dan

Keintiman awal, seseorang sering menguji pasangannya untuk mengetahui

perasaan pasangan tentang hubungan. Beberapa strategi yang digunakan

(Baxter dan Wilmot, 1984; Bell dan Buerkel-Rothfuss, 1990) yaitu: 1)

Langsung (directness), yaitu dengan cara langsung menanyakan pasangan

bagaimana perasaannya atau menyatakan perasaan sendiri dengan asumsi

pasangan juga akan membuka diri; 2) Ketahanan (endurance), yaitu berperilaku

negatif terhadap pasangan dengan asumsi jika pasangan mampu bertahan maka

ia serius pada hubungan; 3) Saran tidak langsung (indirect suggestion), yaitu

mengajak pasangan untuk berhubungan lebih akrab melalui kata-kata atau sikap

tertentu; 4) Penampilan publik (public presentation), yaitu tampil berdua

dengan pasangan di hadapan publik; 5) Perpisahan (separation), yaitu berpisah

secara fisik guna melihat respon pasangan; 6) Pihak ketiga (third party), yaitu

menanyakan pihak ketiga seperti teman atau keluarga, tentang perasaan dan

intensi pasangan; dan 7) Segitiga (triangle), yaitu mengatur dan mengatakan

bahwa ada orang lain tertarik dengan diri sendiri untuk melihat reaksi pasangan.

Pada Tahap Keterlibatan pada pasangan Ant dan Yyn, pihak laki-laki

berinisiatif menelepon dan berkunjung ke rumah pihak perempuan. Selain

informasi yang diperoleh langsung, Ant juga bertanya kepada pihak ketiga

Page 28: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

120

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

yakni teman-teman Yyn. Mereka merasa ragu untuk melanjutkan hubungan

antarpribadi karena perbedaan usia di mana pihak perempuan lebih tua enam

tahun dari pihak laki-laki.

Pasangan Har dan Von memasuki Tahap Keterlibatan dengan inisiatif

pihak laki-laki. Meski tempat tinggal mereka berbeda kota, Har menemui Von

setiap bulan. Informasi mengenai perasaan pasangan diperoleh dengan cara

bertanya langsung dan dari pihak ketiga.

Pada pasangan ketiga, saat pertama kali berjumpa, Rob menanyakan

nama dan alamat Tin. Lalu mereka saling tertarik dan sepakat melanjutkan

pertemuan berikutnya. Uniknya, Rob dan Tin sedang memiliki hubungan

khusus dengan orang lain ketika mereka memasuki tahap keterlibatan. Menurut

penuturan Tin, saat berkenalan masing-masing telah memiliki pacar dan saling

tidak mengetahui hal tersebut. Setelah beberapa bulan mereka saling membuka

diri sehingga informasi tersebut diketahui. Akhirnya mereka sepakat

memutuskan hubungan dengan pacar sebelumnya dan meneruskan hubungan.

Tahapan Keintiman. Pada tahap ini seseorang berkomitmen berhubungan

lebih dalam dengan orang lain, mengukuhkan hubungan agar ia menjadi teman

terdekat, kekasih atau pasangan. Keduanya saling berbagi jaringan sosial,

bergaul dengan beragam anggota kebudayaan yang berbeda (Gao dan

Gudykunst, 1995). Tidak mengherankan jika kepuasan hubungan juga

meningkat sejalan pergerakan ke arah tahap ini (Siavelis dan Lamke, 1992).

Tahap Keintiman terbagi dalam dua fase, yaitu, pertama, komitmen

antarpribadi di mana dua orang saling sepakat dalam suatu cara khusus, dan

kedua, ikatan sosial di mana komitmen ditunjukkan kepada publik, misalnya

kepada keluarga dan kawan-kawan.

Pada tahap hubungan dekat dan intim, terdapat peningkatan hubungan.

Dua orang menganggap diri mereka sebagai unit khusus dan saling mendapat

keuntungan lebih besar dari hubungan bersifat intim. Karena saling mengetahui

lebih baik (seperti nilai-nilai, pendapat, sikap) maka ketidakpastian tentang

orang lain menjadi berkurang secara signifikan, dan prediksi mengenai perilaku

orang tersebut lebih akurat. Pada tahap ini, masing-masing pihak, pria dan

wanita yang awalnya memiliki hubungan khusus sebagai pacar, mulai

mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan.

Pada Tahap Keintiman, peneliti menelaah tahap ini dalam dua tahap,

yaitu Tahap Keintiman Sebelum Perkawinan dan Setelah Perkawinan terjadi.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada Tahap Keintiman Sebelum

Perkawinan, ketika seseorang jatuh cinta ia akan melebih-lebihkan kebaikan

dan meminimalkan kekurangan pasangannya. Saling berbagi emosi dan

Page 29: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

121

pengalaman, berbicara perlahan dengan tingkah laku santun dan penuh

kesopanan. Komunikasi yang berlangsung bersifat sangat pribadi. Tipe

komunikasi ini mencakup rahasia yang disimpan dari orang lain dan pesan yang

memiliki makna dalam hubungan khusus (Knapp, Ellis dan Williams, 1980).

Saat orang luar mencoba menggunakan istilah yang bersifat pribadi,

ekspresinya tampak tidak tepat dan sering mengganggu privasi, muncul

keterbukaan diri yang signifikan, terdapat konfirmasi dan diskonfirmasi di

antara pasangan cinta dibandingkan dengan bukan pasangan atau pasangan

yang akan putus cinta, antara lain kesadaran mengenai apa yang tepat untuk

pasangannya, imbalan, hukuman, dan tindakan untuk memperoleh hal yang

diinginkan. Sentuhan yang terjadi lebih sering dan intim (Guerrero, 1977).

Tanda ikatan (tie signs) yaitu gesture non-verbal yang menunjukkan

kebersamaan lebih banyak dilakukan.

Sternberg (1986, 1988) mendefinisikan cinta sebagai kombinasi

keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman (intimacy) adalah aspek emosional

cinta yang meliputi perilaku saling berbagi, berkomunikasi dan mendukung;

yang merupakan rasa selalu ingin berdekatan dan berhubungan. Gairah

(passion) adalah aspek motivasional yang terdiri atas ketertarikan fisik dan

bersifat romantis. Komitmen merupakan aspek kognitif dan berisi keputusan

yang berkaitan dengan perhatian terhadap pasangan. Cinta seutuhnya

merupakan gabungan tiga komponen, yakni keintiman, gairah dan komitmen

secara seimbang.

Skala yang dibuat Hendrick dan Hendrick (1990) berdasarkan hasil

penelitian Lee (1976) mengarah pada pembahasan tentang enam jenis cinta.

Skala ini dirancang untuk mengidentifikasi gaya-gaya yang merefleksikan

keyakinan tentang cinta, mengacu pada enam jenis cinta yaitu: 1) Eros

(keindahan dan seksualitas), mengutamakan kecantikan dan ketertarikan fisik;

2) Ludus (hiburan dan kesenangan), cinta sebagai suatu permainan, kesenangan.

Cinta bukan hal yang harus ditangani secara serius; Strorge (penuh damai dan

perlahan), tidak secara khusus mencari kekasih tetapi lebih mengukuhkan

hubungan persahabatan dengan seseorang yang dikenal dan kepada siapa

mereka berbagi ketertarikan dan aktivitas; 4) Pragma (praktis dan tradisional),

menginginkan compatibility dan hubungan yang bisa memuaskan kebutuhan

dan keinginan yang penting, lebih memperhatikan kualifikasi sosial daripada

kualitas pribadi dari pasangan potensialnya; 5) Mania (kegembiraan dan

depresi), mencintai dengan sangat kuat dan pada saat yang sama sangat takut

kehilangan cinta, sangat pencemburu, obsesif terhadap pasangan, kurang

memiliki citra diri, dan harga diri diperoleh dari cinta yang diberikan; 6) Agape

(penuh kebaikan dan tidak mengutamakan diri sendiri), cinta penuh kasih

Page 30: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

122

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

sayang, cenderung spiritual tanpa memperhatikan imbalan atau keuntungan

pribadi, tanpa mengharap bahwa cinta akan dibalas.

Peneliti menemukan bahwa perilaku pasangan informan mengarah pada

hubungan romantis, seperti saling bertemu dan menceritakan pengalaman

masing-masing (Ant dan Yyn), saling berkirim surat (Har dan Von), pergi

nonton dan makan berdua (Rob dan Tin). Para informan juga menyatakan

perasaan kepada pasangannya.

Sebelum mengukuhkan hubungan antarpribadi dalam bentuk

perkawinan, para informan mengalami masa pacaran yakni keterlibatan antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam hubungan yang mengarah pada

keintiman sebelum memasuki jenjang perkawinan. Lama waktu yang

dibutuhkan dalam tahap keintiman sebelum perkawinan bervariasi. Pasangan

Ant dan Yyn memerlukan waktu sekitar dua tahun, informan Har dan Von

hanya membutuhkan delapan bulan sementara pasangan Rob dan Tin

melewatinya dalam periode kurang lebih dua tahun.

Para informan memiliki alasan beragam ketika ditanya mengapa mau

berkomitmen dalam perkawinan dengan pasangannya. Bagi Ant dan Yyn,

alasan utama adalah usia yang dianggap layak untuk membentuk keluarga.

Pada pasangan Har dan Von, usia yang dianggap layak untuk segera

berkeluarga juga menjadi alasan pertama memasuki suatu perkawinan.

Sementara bagi pasangan Rob dan Tin, gagasan untuk berkomitmen dalam

perkawinan dicetuskan oleh orang tua pihak perempuan.

Pada Tahap Keintiman Setelah perkawinan, ketika keintiman menjadi

hubungan seumur hidup, menurut Zimmer (1986), seseorang berhadapan

dengan tiga jenis kekhawatiran (anxiety), yaitu: 1) Kekhawatiran keamanan

(security anxiety), dalam perkawinan terkadang muncul rasa khawatir bahwa

pasangan meninggalkan hubungan demi orang lain; 2) Khawatir akan

pemenuhan (fulfillment anxiety), ada pula suami atau istri yang merasa khawatir

tidak dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pasangannya; 3) Khawatir

pada kegembiraan (excitement anxiety), ada pasangan yang khawatir bahwa

kegiatan sehari-hari yang dilakukan dalam perkawinan mengakibatkan suami-

istri terjebak dalam rutinitas yang membosankan serta kehilangan kebebasan

untuk bertindak.

Peneliti mengamati bahwa ada kekhawatiran yang bervariasi pada tiap

pasangan informan. Pada pasangan Ant dan Yyn terjadi kekhawatiran akan

pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan anak. Suami-istri ini telah menikah

selama lima tahun namun belum dikaruniai anak. Sementara bagi pasangan Har

dan Von, pihak suami yakni Har merasa khawatir tidak dapat memenuhi

Page 31: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

123

kebutuhan dan keinginan istrinya karena tidak mengetahui apa yang menjadi

keinginan Von. Bagi pasangan Rob dan Tin yang melewati tigapuluh tahun

hidup bersama dalam perkawinan, muncul setidaknya dua kali kekhawatiran

akan rasa aman. Tin mengaku pernah merasa cemburu karena suaminya

mengantar teman perempuan pulang. Di sisi lain, Rob mengakui khawatir

kehilangan istrinya terutama setelah anak-anak mereka beranjak dewasa.

Kemudian, pada Tahap Penurunan (deterioration) ditandai dengan

munculnya ketidakpuasan intra pribadi—seseorang mulai mengalami

ketidakpuasan interaksi sehari-hari dan memandang masa depan bersama

pasangan dengan negatif—dan penurunan antarpribadi—seseorang mundur dan

terus menjauh. Waktu luang bersama pasangan makin berkurang. Saat bersama

saling berdiam diri, sedikit terbuka, sedikit kontak fisik dan kurang kedekatan

psikologis. Konflik sering terjadi dan sulit diselesaikan.

Deteriorasi hubungan adalah melemahnya ikatan kebersamaan antar dua

orang. Penurunan hubungan timbul ketika seseorang menyadari pasangannya

tidak lagi memiliki fisik dan kepribadian yang menarik, saat tidak lagi

dirasakan adanya kedekatan, atau jika perbedaan menjadi lebih penting

daripada kesamaan yang ada. Putus hubungan akan lebih menarik bagi orang

yang pergi (Blumstein dan Schwartz, 1983).

Sangat sulit menentukan penyebab khusus bagi tiap penurunan

hubungan. Semua penyebab juga bisa menjadi akibat (efek) dari penurunan

hubungan. Ketika tidak ada lagi faktor-faktor penting yang mendukung

pengukuhan hubungan maka hubungan mungkin melemah (DeVito, 2001).

Harapan yang tidak dipenuhi oleh orang yang tepat sering menjadi

penyebab kesulitan hubungan (Lederer, 1984). Masalah yang berkaitan dengan

pekerjaan dan finansial kadang juga mempersulit hubungan (Blumsteim dan

Schwartz, 1983).

Pada pasangan Ant-Yyn ketidakpuasan muncul setelah menemui

kenyataan bahwa si pasangan bukanlah tipe ideal seperti yang diharapkan. Lain

halnya dengan pasangan Har dan Von. Perbedaan sifat dalam kehidupan sehari-

hari menimbulkan ketidakpuasan terutama bagi pihak istri. Namun keduanya

menyadari bahwa perbedaan sifat tersebut bisa diterima dengan menyesuaikan

diri. Selain ketidakpuasan, Tahap Penurunan hubungan mulai timbul dengan

adanya konflik dalam perkawinan. Kadang konflik disebabkan hal-hal yang

sifatnya tidak terlalu penting. Sementara pada pasangan Rob dan Tin yang telah

menikah selama tigapuluh tahun, ketidakpuasan terhadap pasangan timbul

karena perbedaan sifat, masalah pekerjaan dan anak.

Page 32: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

124

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Tahap Penurunan memiliki dua pilihan. Pertama pasangan suami istri

melangkah ke Tahap Perbaikan. Pilihan kedua adalah Tahap Pemutusan

hubungan suami-istri.

Tahap Perbaikan (repair) hubungan bersifat optional dan dalam bagan

digambarkan melalui lingkaran terpecah. Beberapa pasangan mungkin berhenti

sejenak selama tahap deterioration dan mencoba memperbaiki hubungan.

Sementara ada pula pasangan yang tanpa berhenti namun langsung

memutuskan hubungan.

Ada dua fase perbaikan, yaitu: 1) Perbaikan intra pribadi. Seseorang

menganalisa kesalahan dan mempertimbangkan cara memecahkan kesulitan

hubungan. Mungkin terjadi perubahan perilaku atau harapan terhadap

pasangan. Juga dipertimbangkan imbalan dari hubungan yang sedang

berlangsung dan imbalan yang diperoleh jika hubungan berakhir; 2) Perbaikan

antarpribadi. Fase ini adalah saat membicarakan keputusan memperbaiki

hubungan dengan pasangan, mencakup negosiasi kesepakatan dan perilaku

baru. Saran memperbaiki hubungan dapat diperoleh dari teman, keluarga atau

konseling dengan profesional.

Dalam Tahap Perbaikan, suami-istri Ant dan Yyn menyadari dan mau

menerima sifat yang ada pada pasangan. Mereka mengatakan bahwa setelah

bertengkar atau mengalami konflik, dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk

diam dan saling introspeksi diri. Keduanya sepakat agar suatu masalah selesai

tanpa campur tangan pihak ketiga.

Sementara itu pasangan Har dan Von yang melewati masa limabelas

tahun perkawinan tidak menutupi bahwa konflik juga muncul dalam hubungan

perkawinan mereka. Har berpendapat bahwa cara terbaik menyelesaikan

pertentangan adalah menyadari sikap pemarah yang ia miliki dan meminta maaf

kepada istrinya.

Pada pasangan Rob dan Tin, ketika terjadi pertengkaran pihak istri

cenderung memilih sikap diam dan mengalah karena tidak mau memperkeruh

keadaan. Mereka berjanji menyelesaikan konflik dengan introspeksi diri dan

masalah harus diselesaikan paling lambat sebelum tidur di malam hari.

Akhir dari hubungan antarpribadi adalah pemutusan ikatan antarindividu.

Suami dan istri yang merasa tidak dapat mempertahankan perkawinan bisa

memutuskan untuk berpisah. Tahap Pemutusan ini terdiri dari dua fase yaitu: 1)

Perpisahan antarpribadi (interpersonal separation) di mana pasangan tinggal

terpisah satu sama lain; dan 2) Perpisahan sosial atau publik (social or public

separation) yakni perceraian.

Page 33: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

125

Penurunan atau pemutusan hubungan berakibat negatif dan positif. Dari

sisi negatif, misalnya ada pihak yang kehilangan hal-hal menyenangkan yang

dinikmati sebagai hasil hubungan, sedangkan dari sisi positifnya, hubungan

yang tidak memuaskan telah hilang.

Tidak semua hubungan harus dipertahankan. Tidak semua pemutusan

hubungan merupakan hal buruk. Putus hubungan akan memudahkan orang

mengembangkan pergaulan baru dan mengalami jenis hubungan berbeda

dengan beragam orang.

Peneliti menemukan keunikan pada tiga pasang informan yang diteliti,

yakni mereka mengaku tidak pernah berpikir untuk memutuskan hubungan

dengan pasangan bahkan ketika mereka menghadapi masalah dalam

perkawinan.

Pasangan Ant dan Yyn telah menikah selama lima tahun dan belum

memiliki anak. Ant mengungkapkan bahwa ia tidak pernah berpikir untuk

kawin lagi sebagai jalan keluar memperoleh anak. Ia telah berjanji kepada

Tuhan sewaktu menikah di Gereja untuk setia dan menerima keadaan istri apa

adanya. Prinsip hidup yang diyakininya adalah kawin hanya sekali seumur

hidup. Di sisi lain Yyn berpendapat bahwa Ant adalah suami yang terbaik

baginya.

Tahap Pemutusan juga tidak terjadi pada pasangan informan kedua. Har

dan Von dengan usia perkawinan limabelas tahun, lebih banyak melewatkan

waktu dengan pasangan atau dengan anak-anak. Har merasa bahagia dengan

kehidupan perkawinan yang dijalani selama limabelas tahun ini sehingga tidak

pernah berpikir untuk bercerai. Ia yakin bahwa konflik seberat apapun bisa

diselesaikan bersama istri. Ketidaksesuaian pendapat (pertengkaran) dalam

perkawinan adalah hal positif karena suami-istri bisa saling mengetahui apa

yang disukai dan tidak disukai pasangannya.

Alasan utama bagi pasangan Rob dan Tin yang telah menjalani masa

tigapuluh tahun perkawinan untuk menghindari perceraian adalah kehadiran

anak-anak. Rob mengakui bahwa ia telah berjanji kepada Tuhan saat pertama

kali menikah untuk bertanggung jawab terhadap anak-anak. Mereka memegang

prinsip agama Katolik tentang perkawinan yakni ‘suami dan istri bersama-sama

dalam susah dan senang’.

Page 34: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

126

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Pergerakan Antartahap

Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi dapat dilihat pada bagan di bawah

ini. Dalam bagan tersebut digambarkan Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi

terdiri dari tiga arah: 1) Arah keluar, di mana tiap tahap menawarkan

kesempatan untuk keluar dari hubungan; 2) Arah vertikal atau pergerakan

antartahap menjelaskan fakta bahwa seseorang dapat bergerak ke tahap lain,

yaitu lebih intens (misal dari keterlibatan menuju keintiman) atau kurang intens

(contoh dari keintiman ke arah penurunan). Juga dapat berpindah kembali ke

tahap sebelumnya (Masheter dan Harris, 1996); dan 3) Arah refleksi diri, arah

yang melompat kembali ke awal tahap (tingkat) yang sama, menandakan bahwa

setiap hubungan bisa menjadi stabil tiap saat.

Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi

(Sumber: DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book, New

York: Addison Wesley Longman Inc., 9th

edition)

Page 35: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

127

Pergerakan melalui beragam tahap biasanya merupakan proses perlahan

(gradual), tidak dapat melompat dari Tahap Kontak ke Tahap Keterlibatan lalu

ke Tahap Keintiman.

Pada tiga pasang informan ditemukan Tahap-Tahap Perkembangan

Hubungan. Pasangan dengan usia perkawinan lima, limabelas dan tigapuluh

tahun sama-sama melewati Tahap Kontak, Keterlibatan, Keintiman, Penurunan

dan Perbaikan. Pengulangan ada pada Tahap Penurunan, Perbaikan dan

Keintiman. Namun semua informan belum pernah memasuki Tahap

Pemutusan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Lama atau usia perkawinan tidak berkaitan dengan Tahap-Tahap

Perkembangan Hubungan yang dialami. Tahap-Tahap Perkembangan

Hubungan pada masing-masing pasangan bervariasi dari segi waktu, situasi dan

proses komunikasi yang berlangsung.

Setelah memasuki masa perkawinan, suami-istri mengalami pengulangan

pada Tahap Keintiman, Penurunan dan Perbaikan. Setelah Tahap Perbaikan,

pasangan cenderung kembali berada pada Tahap Keintiman. Pengulangan yang

terjadi bervariasi dari segi jumlah, jangka waktu, situasi, proses, latar belakang

atau hal-hal yang menyebabkan pengulangan tersebut.

Pada pasangan informan yang memiliki anak, topik mengenai anak,

antara lain cara pengasuhan dan pendidikan anak, seringkali menjadi sumber

perdebatan. Sementara bagi pasangan informan yang belum mempunyai anak,

keinginan untuk memperoleh anak menjadi tema yang sering dibicarakan.

Pada Tahap Kontak pihak laki-laki dan perempuan mendapatkan

informasi yang diperoleh dengan usaha sendiri dan dari pihak ketiga. Informasi

pada pertemuan pertama adalah ciri-ciri fisik yang menjadi alasan ketertarikan

antara dua individu. Ketiga pasang informan melanjutkan hubungan ke Tahap

Keterlibatan setelah melewati Tahap Kontak dan mendapat respon positif dari

lawan bicara.

Hubungan antarpribadi dalam Tahap Keintiman awal ditandai dengan

kedekatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Selanjutnya masing-masing

mulai membicarakan komitmen hubungan dalam bentuk perkawinan. Alasan

menikah berbeda-beda, diantaranya karena usia yang dianggap telah layak

menikah dan permintaan pihak orang tua.

Page 36: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

128

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Para informan telah mengalami konflik dan pernah merasa kecewa atau

tidak puas dengan pasangannya dalam suatu hal sehingga mengalami Tahap

Penurunan Hubungan. Topik yang menjadi sumber konflik antara lain

pengasuhan anak, perbedaan sifat, sikap dan perilaku antarpasangan sehari-hari.

Selanjutnya antara suami-istri menyadari apa yang menjadi penyebab masalah

dan memperbaiki diri dengan berusaha tidak mengulangi hal tersebut di masa

depan. Hal-hal ini termasuk Tahap Perbaikan.

Setelah melalui Tahap Perbaikan, tiga pasang informan yang diteliti

memiliki kesamaan untuk kembali berada di Tahap Keintiman. Sikap suami

istri yang berada pada Tahap Keintiman ditunjukkan dengan kedekatan fisik,

misalnya bersentuhan, memberi kado kepada pasangan, mencium pipi dan pergi

berdua. Juga ditandai dengan kedekatan secara psikologis antara lain merasa

rindu dan kesepian ketika tidak bertemu pasangan beberapa hari.

Tiga pasang informan sepakat tidak berniat atau tidak pernah

memikirkan untuk putus hubungan perkawinan dengan pasangannya. Jadi

Tahap Pemutusan hubungan tidak terjadi pada suami-istri yang diteliti. Hal ini

cenderung disebabkan prinsip agama Katolik yang mereka sadari, sehingga

membentuk pola pikir bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup dan tidak

bisa dipisahkan manusia. Informan Har berpendapat “perkawinan Katolik

adalah perkawinan monogami”; Ant mengatakan "akan menjaga perkawinan

ini seumur hidupnya."; dan Rob menyatakan "perkawinan Katolik tidak boleh

diceraikan manusia". Sementara Tin, istri Rob, berprinsip "suami dan istri

bersama-sama dalam susah dan senang."

Pada pasangan informan dengan latar belakang budaya berbeda (Ant dan

Yyn: budaya Jawa dan Cina), terdapat konflik pada awal masa perkawinan

sehingga ada ketidakpuasan terhadap pasangan. Sumber konflik cenderung

disebabkan oleh perbedaan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari namun

dianggap informan sebagai perilaku khas suku tertentu. Perbedaan antara pihak

laki-laki dan perempuan yang terlibat perkawinan dapat diterima dan tidak

dipermasalahkan oleh pasangannya. Perbedaan tersebut adalah usia dan tingkat

pendidikan.

Dukungan lingkungan kedua pihak yang menjalin hubungan antarpribadi

turut mempengaruhi awal perkembangan hubungan terutama pada Tahap

Kontak, Keterlibatan dan Keintiman. Lingkungan yang dimaksud adalah orang

tua, teman-teman dan saudara. Hubungan pasangan informan dengan keluarga

besar (orang tua, mertua, saudara dan saudara ipar) umumnya baik dan tidak

mempengaruhi kelangsungan perkawinan.

Page 37: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

129

Usia perkawinan atau lama hubungan antarpribadi yang terjalin, tidak

berpengaruh pada perkembangan hubungan. Ada hal-hal yang mempengaruhi

berlangsungnya tahap-tahap perkembangan hubungan seperti ketertarikan baik

fisik maupun non fisik, dukungan keluarga dan teman-teman, situasi saat

terjalinnya hubungan, sifat yang dimiliki seseorang, dan lain-lain.

Suatu hubungan perkawinan tak luput dari konflik yang terjadi antara

suami dan istri. Namun bagaimana menyikapi dan mengatasi konflik sangat

berperan bagi perkembangan hubungan selanjutnya. Jika pasangan bisa

menghadapi konflik dengan terbuka, mau memperbaiki kesalahan dan mencari

jalan keluar secara bersama maka konflik yang terjadi tidak akan berlanjut.

Penelitian ini tidak menitikberatkan pada topik konflik dalam perkawinan,

namun peneliti menemukan bahwa konflik bisa menjadi hal yang positif bila

pasangan mampu mengatasinya dengan tepat. Ada informan berpendapat

bahwa melalui konflik, seseorang mendapat informasi tentang hal-hal yang

disukai dan tidak disukai pasangannya, maka informasi tersebut bisa

bermanfaat untuk menghindari terulangnya konflik dan menjaga hubungan

perkawinan.

Pihak-pihak yang berminat mengamati hubungan perkawinan dapat

menggunakan metode atau pendekatan lain dan banyak hal yang menarik untuk

dianalisis. Misalnya bagaimana analisis dari sudut pandang teori self disclosure,

peran latar belakang budaya dalam perkawinan, atau pasangan informan yang

diteliti beragama non-Katolik.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Charles & Chaffee, Steven. 1975. Handbook of Communication

Science, Newbury,CA: Sage Publication Inc.

DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book. New York:

Addison Wesley Longman Inc., 9th

edition.

Gudykunst, W.B. & Stella Ting Toomey. 1988.Culture and Interpersonal

Communication. New Burry Park, Beverly Hills, CA : Sage Publications.

Page 38: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

130

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Miller, Gerald M. dan Steinberg, Mark. 1975. Between People: A New Analysis

of Interpersonal Comunication, USA : Science Research Associates Inc.

Moleong, Lexy. J.1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV

Remadja Karya.

Osborne, Cecil G. 1988. The Art of Understanding Your Mate. Michigan :

Zondervan Publishing House Grand Rapids,

Schmiedeler, Edgar, O.S.B.,Ph.D.1946.Marriage and the Family, A Text for a

Course on Marriage and the Family for use in Catholic Schools, 6th

ed.

New York: McGraw-Hill Book Company Inc.

Swihart, Judson J. Ph.D. 1993. How Do You Say, "I Love You". Illinois:

InterVarsity Press.

Tek, Dr. & Ny. Chong Kwong dan Tn. & Ny. Chua Wee Hian. 1999.

Kekasihku: Setelah Pernikahan. Terjemahan. Bandung: Lembaga

Literatur Baptis.

Tukan, Johan Suban. 1999. Membina Para Pembina Kursus Persiapan

Perkawinan. Jakarta: Yayasan Putra-Putri Maria.

Wahlroos, Sven. Komunikasi Keluarga. 1988. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia

Page 39: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

131

Digitalisasi Masyarakat:

Menilik Kekuatan dan Kelemahan

Dinamika Era Informasi Digital

dan Masyarakat Informasi

AG. Eka Wenats Wuryanta5

Abstract: Some adagium which have been told by modern

communications growth observer show that information become one

of the vital element in society. Information become a fundamental

requirement so that can be expressed as the lifeblood that sustains

political, social and business decision. As a consequence, society has

to expose themself with the growth and new media dynamics and

global communications. The rotation in production, consumption and

information distribution is faster experienced of and owned by global

new society system supported by economic and extention power,

global information system network and also contributed by digital

technology. This Paper will explain some of alternative discourse to

see the excess and weakness of information technologization process

which finally instruct the society at digital era.

Key words: Digitalization, information society, media industry,

political economics perpective, social transformation.

Para pakar komunikasi sekarang mulai sepakat bahwa era modern

ditandai dengan era informasi. Penguasaan dan hegemoni informasi bisa

menempatkan kekuasaan sebagai konsekuensi logis. Prediksi dan analisis Alvin

Toffler (1980) menyatakan bahwa era kemanusiaan dibagi dalam tiga era

5 AG. Eka Wenats Wuryanta adalah staf pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dan

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Aktif sebagai koordinator

Program dan Penelitian Departemen Kajian Media dan Trend Budaya Institut Kajian Sosial dan

Komunikasi Strategis Jakarta

Page 40: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

132

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

pokok, yaitu era masyarakat agraris, masyarakat industri dan masyarakat

informasi, telah dan sedang menjadi kenyataan umum yang mau tidak mau

diakui.

Don Tapscott (1996), seorang pemerhati perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi di Amerika Serikat—dalam bukunya yang berjudul

The Digital Economy, Promise and Peril in the Age of Networked

Intelligence—menyatakakan bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang

mengalami perubahan dari dinamika masyarakat industri yang berbasis pada

baja, kendaraan, dan jalan raya ke arah dinamika masyarakat ekonomi baru

yang dibentuk oleh silicon, komputer, dan jaringan (networking).

Beberapa adagium yang telah dikemukakan oleh para pemerhati

perkembangan komunikasi modern memperlihatkan kepada setiap manusia

bahwa informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat.

Straubhar menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat

mempunyai aktivitas ekonomi politik-sosial melalui proses produksi, konsumsi

dan distribusi informasi. Masyarakat informasi ditandai dengan intensitas yang

tinggi atas pertukaran dan penggunaan teknologi komunikasi (Straubhar, 2002).

Dapat dikatakan bahwa informasi menjadi kebutuhan pokok sehingga dapat

dinyatakan dengan ungkapan “information is the lifeblood that sustains

political, social and business decision”. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa

masyarakat mulai harus membuka diri dengan perkembangan dan dinamika

media baru dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan

distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat

baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi,

jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi.

Dengan mengukur perkembangan komunikasi dari pengaruh pra-lisan,

tradisi lisan, tulisan, cetakan, media massa dan akhirnya telematika dapat

disimak bahwa bagaimana lambannya gerakan proses kebudayaan komunikasi

tersebut pada proses awalnya, tapi kemudian terakselerasi secara cepat dan

massif pada era belakangan ini (Briggs, 2002).

Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi

informasi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses

massifikasi informasi terjadi ketika hasil teknologi membantu mengubah pola

komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi

informasi tanpa batas. Dengan demikian, pada dasarnya teknologi bersifat baik,

sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perubahan dari media massa

tradisional menjadi media massa baru. Pada akhirnya media baru dalam

konteks teknologi dan globalisasi mengalami perubahan yang sedemikian

Page 41: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

133

kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam industri dan

teknologi media komunikasi.

Dalam wacana media komunikasi baru muncul beberapa konsiderasi atau

pertimbangan yang patut diperhatikan. Beberapa konsiderasi itu adalah

pemahaman masyarakat informasi dalam era digital, perkembangan teknologi

media kontemporer, wacana industri media pada era informasi digital, wacana

ekonomi politik dalam konteks masyarakat komunikasi digital, dan beberapa

catatan etis-kritis menanggapi beberapa janji—kemudahan sekaligus

ketidakpastian masa depan industri media digital modern.

PEMAHAMAN MASYARAKAT INFORMASI DIGITAL

Masalah yang jelas dalam pemahaman masyarakat informasi digital

adalah sejauh mana definisi masyarakat informasi mendapat tempat dan porsi

yang tepat dalam seluruh konteks perkembangan masyarakat. Pada dasarnya

masyarakat informasi melekat dalam setiap tahapan masyarakat yang ada.

Adalah sebuah kenyataan bahwa setiap komunitas sosial mempunyai kebutuhan

dan tuntutan tindakan komunikatif-informatif. Hanya memang perkembangan

dinamika sejarah kemanusiaan menempatkan komunikasi dalam konteks

masyarakat informasi industrial yang dipicu dan dibantu oleh teknologi yang

mampu memampatkan keterbatasan ruang dan waktu.

Seperti sudah dikatakan bahwa, masyarakat informasi merupakan

masyarakat yang melihat bahwa produksi, proses dan distribusi informasi

sebagai bagian dalam seluruh aktivitas sosial ekonomi. Informasi dalam

konteks ini dapat dikatakan sebagai bagian dari ”kapital”. Konstelasi kapital

dan informasi lebih dilihat sebagai proses komodifikasi informasi sehari-hari.

Artinya, masyarakat melihat bahwa modal ekonomi-sosial didasarkan pada

informasi, sehingga informasi telah menjadi komoditas. Itulah sebabnya, dalam

masyarakat pasca-industri—yang banyak ditandai oleh komodifikasi

informasi—komoditas utamanya terletak pada produksi, distribusi dan

konsumsi pengetahuan.

Proses komodifikasi informasi dalam masyarakat informasi kontemporer

dibantu oleh teknologi informasi. Teknologi dan media informasi pada akhirnya

mempengaruhi kinerja dan pola komunikasi. Salah satu ciri dinamika teknologi

informasi adalah ciri konvergensi.

Page 42: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

134

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA KONTEMPORER

Perkembangan teknologi komunikasi modern yang bersifat konvergen

merupakan proses konkruensi dari seluruh proses evolusi media massa. Ada

beberapa pertimbangan yang perlu dilihat dalam wacana dinamis

perkembangan teknologi media kontemporer.

Pertama, perubahan komponen dalam proses komunikasi. Konvergensi

media meliputi digitalisasi, perluasan teknologi serat optik dan networking

technology. Pemampatan, digitalisasi, kompresi dan akselerasi distribusi-

produksi dan konsumsi informasi mempengaruhi nilai mental yang berpengaruh

dalam seluruh proses komunikasi. Pola S – M – C – R adalah model sederhana.

Pola klasik komunikasi ini diubah melalui isu inovasi kapitalisasi pengetahuan,

isu virtualisasi, isu molekularisasi, integrasi jaringan, isu dan permasalahan

prosumsi dan perluasan isu diskordansi.

Pertimbangan kedua adalah soal networking (jaringan). Jaringan

memungkinkan adanya keterkaitan antara jaringan yang satu dengan jaringan

yang lain. Jaringan teknologi komunikasi ini mempunyai tingkatan, baik lokal,

nasional, maupun global. Tentu saja, adanya “jalan tol informasi” turut

memperbaiki dan membuat jangkauan informasi menjadi lebih luas dan lebih

baik.

Konvergensi teknologi komunikasi ditandai dengan warna digitalisasi.

Titik utama dari proses konvergensi pada tingkat teknologi informasi adalah

digitalisasi. Digitalisasi adalah proses di mana semua bentuk informasi baik

angka, kata, gambar, suara, data, atau gerak dikodekan ke dalam bentuk bit

(binary digit atau yang biasa disimbolisasikan dengan representasi 0 dan 1)

yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data (bitstreaming).

Teknologi digital mampu menggabung, mengkonversi atau menyajikan

informasi dalam berbagai macam bentuk. Apapun isi yang ditampilkan, bit

dapat dieksplorasi sekaligus dimanipulasi, termasuk cropping informasi asli

dengan pengurangan maupun penambahan.

Pertimbangan ketiga adalah teknologi multimedia. Teknologi multimedia

tidak hanya mengubah cara berkomunikasi tradisional yang bersifat manual tapi

juga bersifat digital, inovatif, cepat dan interaktif.

Digitalisasi telah mengubah dan melakukan transfigurasi teknologi media

dan komunikasi. Jaringan telepon otomatis yang sebelumnya dioperasikan

secara manual sekarang bisa dioperasikan oleh perangkat jaring-intelek

komputer dengan perangkat lunak yang mampu mengkonfigurasikan jaringan

cerdas (intelligent network) dengan fitur-fitur kompleks digital.

Page 43: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

135

Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa seluloid, sebagian besar

editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya

dilakukan secara digital. Contoh yang paling jelas dari penggunaan teknologi

ini adalah hasil efek khusus dalam film “Independence Day”, “Lords of The

Ring”, “Spider Man” atau serial “Matrix”.

Digitalisasi juga mengarahkan konvergensi produk dan proses aplikasi

informasi yang dapat melakukan berbagai fungsi audio-visual dan komputasi.

Konvergensi produk komunikasi terjadi ketika televisi dan komputer menjadi

satu produksi media sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat

televisi (lihat layanan Indovision yang menyediakan jaringan komputer dengan

band-width yang cukup lebar atau yang bisa disebut broadband channel).

Sebaliknya, siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time.

Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon

selular yang disertai dengan berbagai macam layanan dan fasilitas modern.

Telepon selular modern selain mempunyai kemampuan untuk melakukan

hubungan telepon konvensional, media komunikatif tersebut juga bisa

mengirim SMS (Short Message Service) atau MMS (Multimedia Message

Service) dengan kemampuannya untuk memproduksi, menerima, mengolah

atau mengirim gambar, suara, data, bahkan melakukan aktivitas “berselancar”

dalam internet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan

alat cetak, pemindai (scanner), fotokopi, mesin faksimili, dan telepon menjadi

satu. Belum lagi teknologi telepon selular sudah masuk pada generasi ketiga

dan selanjutnya, yang tentunya semakin banyak dan lebar band frekuensi yang

dipunyainya.

Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger)

perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi, dan media.

Microsoft berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit,

penerbitan, dan industri internet. AT&T yang membeli televisi kabel Tele-

Communication Inc (TCI). Singapore Technologies Telemedia membeli saham

mayoritas PT Indosat Tbk. PT Indosat Tbk. sendiri juga mempunyai output

produk dalam usaha sambungan langsung internasional, sambungan lokal di

Indonesia, dan bisnis internet. Indosat sendiri telah mengembangkan hubungan

antara sistem digital selular pada Matrix, Mentari dan IM3. Hal itu juga

dikembangkan oleh PT Telkom yang tidak hanya melayani sambungan telepon

dan internet (Telkomnet Instant).

Dalam istilah konvergensi atau pemampatan industri digital akan

tergambar ketika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai

produsen perangkat lunak (soft-ware) dan keras (hard-ware), penerbit bergerak

dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai

Page 44: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

136

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

penjual jasa telekomunikasi, mengoperasikan jaringan atau membuat perangkat.

Momen-momen dinamis teknologi komunikasi semakin mengaburkan batas-

batas media konvensional dan pengertian-pengertian yang dikonseptualisasi

dalam ilmu komunikasi. Dalam industri media dan komunikasi digital yang ada

serta berperan adalah peralatan informasi, sehingga produksi dan konsumsi

media baru dibedakan pada tingkatan-tingkatan dari kreasi isi hingga konsumsi

akhir.

Industri yang dikembangkan oleh penerbit, studio film maupun stasiun

televisi sudah merambah pada soal isi media. Hal ini terjadi karena dalam

teknologi digital dapat dilakukan konversi data yang murah, cepat dan efisien

dari media satu ke model media yang lain. Ini bisa dilihat dengan dijadikannya

film menjadi permainan. Film terakhir James Bond “Die Another Day”, Lord of

The Ring: The Return of King, atau rangkaian acara televisi yang berjudul

“Smack Down” tersedia versi permainan virtualnya untuk bisa dimainkan di

komputer atau dalam play-station sampai generasi ke-2. Permainan Street

Fighter atau Tomb Raider produksi Eidos Interactive yang bisa dimainkan

lewat perangkat seperti Playstation, komputer, kemudian dibuat filmnya.

Penerbit buku kini dapat juga memasarkan bukunya dalam bentuk CD-ROM.

Konvergensi televisi dan komputer disatukan dengan jaringan yang

meruncingkan industri TV kabel, yang menggunakan coaxial cable dengan

menggunakan teknologi Hybrid Fiber Coax. Teknologi ini memungkinkan

layanan televisi dikonvergensikan dengan fasilitas akses internet berkecepatan

tinggi dan IP telephone yang memungkinkan komunikasi suara ke PSTN, ISDN

atau GSM. Selain TV kabel, teknologi digital juga memungkinkan untuk

mengembangkan broadcasting television melalui sambungan satelit atau siaran

televisi melalui alamat web internet.

WACANA INDUSTRI MEDIA DIGITAL MODERN

Paradigma masyarakat informasi memberikan akibat yang tidak sedikit

atas perkembangan industri media digital dan proses digitalisasi masyarakat.

Setidaknya industri media digital memiliki karakter yang unik pada masalah

produksi, distribusi dan proses komodifikasi pesan komunikasi masyarakat.

Teknologi dalam industrialisasi media begitu krusial. Industrialisasi

media komunikasi membutuhkan teknologi untuk menjadi perpanjangan tangan

yang efektif menaikkan skala keuntungan ekonomi yang diperoleh, tapi tetap

ada beberapa argumentasi yang perlu dikaji, selain argumentasi ekonomi.

Pertama, adalah argumentasi budaya komunikasi yang berkembang.

Argumentasi ini mau memperlihatkan adanya perkembangan atau perubahan

Page 45: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

137

mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola

komunikasi manusia. Mobilitas manusia atau masyarakat diimbangi dengan

proses teknologi digital yang dibantu oleh media massa modern.

Kedua, adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan

budaya yang dihidupi oleh manusia modern. Setidaknya perlu dikaji soal relasi

signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal

urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media digital.

Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa

puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu

disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat

Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan

praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang

mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan

tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres dalam teknologi. Efisiensi

industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi

produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang

dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.

Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk

semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital,

mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpul-

simpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi

isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang

terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri.

Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah

menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas

dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi

dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan

pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam

seluruh proses distribusi media komunikasi modern.

Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika

perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global.

Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi.

Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan

media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang

mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan

waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan

teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat

dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia.

Page 46: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

138

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Perkembangan komunikasi sangat luar biasa. Perkembangan dramatik teknologi

komunikasi tidak terletak pada soal sistem perangkat kerasnya saja tapi sudah

menyangkut soal bagaimana membuat interkoneksitas jaringan komunikasi.

Teknologi komunikasi bukan sekedar soal barang tapi juga soal teknologi

jaringan itu sendiri.

Teknologi komunikasi merupakan perangkat yang membutuhkan biaya

yang tinggi, dengan demikian hanya pemilik modal besar saja yang mampu

menguasai teknologi, maka tidak mengherankan apabila industrialisasi dan

teknologisasi media komunikasi membawa industri media pada usaha

konglomerasi.

WACANA EKONOMI POLITIK KRITIS-ETIS DIGITALISASI

MASYARAKAT

Dari bagian sebelumnya, wacana industri media digital modern dan

proses digitalisasi masyarakat tidak bisa dilepaskan dari proses ekonomi politik

media yang juga berkembang sampai sekarang. Dalam wacana ekonomi politik

media digital modern, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, perkembangan teknologi digital, industri media digital, serta

digitalisasi masyarakat informasi tidak bisa dipisahkan dengan proses

komersialisasi dan massifikasi kapitalisme modern. Dengan demikian, seturut

dengan proses kapitalisasi media digital, maka proses digitalisasi masyarakat

melibatkan tiga proses utama ekonomi politik media modern, yaitu

komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Digitalisasi informasi dalam

masyarakat melibatkan proses komodifikasi, yaitu proses transformasi barang-

jasa, dalam hal ini informasi dan proses komunikasi, dari nilai guna menjadi

nilai tukar. Nilai tukar informasi semakin direkonfigurasi melalui bilangan

biner yang dikonversi dalam teknologi suara-gambar dan data.

Digitalisasi informasi dalam masyarakat melibatkan proses spasialisasi,

yaitu proses pemampatan batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.

Selain bidang teknis, spasialisasi juga mempunyai makna bahwa digitalisasi

informasi memberikan perpanjangan institusi media dalam bentuk korporasi

yang semakin besar dan efektif. Perpanjangan spasial industri media digital

membawa konsekuensi pada ekstensi vertikal dan horizontal. Strukturasi media

digital dan digitalisasi informasi masyarakat membawa hubungan yang semakin

erat antara agen, proses struktural dan praktek sosial. Dalam media digital yang

bersifat interaktif, terdapat proses interaksi yang semakin interdependen antara

agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Persoalan

Page 47: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

139

dalam poin pertama ini berupa pertanyaan kritis yaitu sejauh mana akhirnya

masyarakat bisa membentuk dirinya untuk menjadi pelaku aktif dan kritis atas

seluruh proses dan teknologisasi media digital ?

Teknologi dan media digital mempunyai kemampuan untuk memacu

percepatan dan pembuatan jaringan baru. Laju pertumbuhan dan perkembangan

informasi bersifat eksponensial (Dahlan, 2000). Ini berarti bahwa informasi

yang diterima oleh masyarakat atau tiap orang bisa merupakan banjir informasi.

Masyarakat semakin dibanjiri produks informasi yang dibawa oleh media

digital dan jaringan media komunikasi massa, baik yang bersifat lokal-regional

dan internasional. Proses komodifikasi, strukturasi dan spasialisasi membuat

informasi seperti air bah yang menerpa masyarakat. Terpaan informasi di satu

sisi bisa membuat manusia yang lapar informasi bisa mendapatkan informasi

yang diperlukan, tapi di lain pihak terpaan informasi bisa membuat situasi

beban berlebih atas seluruh proses informasi yang diterima oleh setiap manusia

atau masyarakat. Dalam hal ini, muncul kontradiksi masyarakat informasi yaitu,

di satu pihak terjadi banyak dan kebanjiran informasi dan pada saat yang saat

yang sama terjadi kesulitan masyarakat untuk mencerna informasi yang

diterima. Situasi kelebihan beban informasi yang dialami oleh masyarakat

membuat masyarakat sendiri tidak mampu memanfaatkan informasi untuk

membangun dan mengkonstruksi tata sosial yang lebih baik.

Kedua, adalah masalah komodifikasi informasi. Perubahan nilai guna

menjadi nilai tukar pada setiap informasi juga semakin menempatkan makna

informasi sebagai sesuatu yang bersifat komersial. Informasi pada tataran

wacana ilmu komunikasi diartikan sebagai sesuatu yang bersifat “entropi”.

Informasi adalah sesuatu yang belum secara utuh diketahui dan tak terduga.

Nilai informasi justru terletak pada soal ketidakpastian dari yang

diinformasikan. Titik tolak nilai informasi justru dari derajat ketidakpastiannya

(Littlejohn, 2002). Komersialisasi informasi menempatkan informasi sebagai

barang atau jasa yang mampu memberikan pemenuhan rasa ingin tahu

masyarakat. Dalam proses selanjutnya, informasi justru semakin membawa

masyarakat pada ketidakcerdasan dalam membedakan mana yang hakiki dan

mana yang semu, memilah mana yang gosip dan mana yang fakta.

Komodifikasi digital mampu menyediakan ruang-ruang “simulacra”.

Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern, komodifikasi

digital mengembangkan proses rekonfigurasi masyarakat yang tradisional

menjadi masyarakat konsumen informasi. Logika informasi telah berkembang

dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat

tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna atau

utilitasnya tapi lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya

Page 48: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

140

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

budaya baru yang semakin terisolasi dan teralienasi dari kebutuhan manusia

yang sesungguhnya. Logika digital dalam berbagai macam bentuk isi pesannya

memang memperkaya khasanah kebudayaan kontemporer, tapi di lain pihak

terjadi pemutarbalikan logika episteme yang dipunyai oleh masyarakat. Sistem

produksi media digital telah membawa struktur produksi dan konsumsi

(produser, marketer, iklan) mampu membentuk struktur konsumen, bukan

sebaliknya. Logika digital juga membawa pada situasi di mana terjadi

“fethisisme komoditas informasi”, dalam arti bahwa informasi yang merupakan

sesuatu yang abstrak dijadikan sumber interpretasi realitas yang bersifat

konkret. Pencitraan yang dikonstruksi oleh media digital bisa dimanfaatkan

untuk membentuk citra “sewenang-wenang” yang dilakukan oleh para pelaku

media.

Digitalisasi informasi yang dikembangkan oleh teknologi digital bisa

membuat apa saja menjadi mungkin, telah menempatkan logika tanda dalam

pencarian kebenaran manusia menjadi soal massifikasi permainan simbol.

Tidak hanya sampai di situ saja, digitalisasi masyarakat semakin menempatkan

masyarakat menjadi “penonton” kosong yang dibanjiri sejumlah besar

informasi. Memang terjadi keterpesonaan atas kemajuan digital dan bentuk

kenyamanan sensualistik, sekaligus rimba informasi digital tersebut justru

membuat ruang personal dan privat yang semakin sempit. Reduksi digitalistik

dalam ruang pribadi masyarakat tidak menutup kemungkinan menimbulkan

kehampaan baru atas proses pemaknaan realitas yang seharusnya dilakukan

oleh setiap pribadi.

Ketiga, perubahan dalam industri teknologi digital membawa

konsekuensi yang tidak sedikit dalam proses ekonomi politik media

kontemporer. Setidaknya ada beberapa watak yang unik dalam proses

digitalisasi industri media dan masyarakat. Watak konvergensi merupakan

watak integrasi dari beberapa media menjadi satu media pokok. Watak

demassifikasi media semakin nampak di mana komunikasi tidak mutlak

dimulai dari sumber atau media yang menentukan isi pesan dan tujuan

komunikasi, tetapi juga oleh penerima komunikasi yang berinteraksi satu sama

lain. Watak divergensi media terjadi ketika media digital menjadi lebih

personal. Ini berarti, media dalam arti tertentu, dituntut untuk semakin

spesialistik. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi dan politik tersendiri pula.

Watak kompetisi dalam pasar media modern semakin tinggi dan membutuhkan

bentuk networking yang semakin global. Watak variabilitas informasi dituntut

oleh konsumen modern. Variabilitas ini mengakibatkan konglomerasi informasi

untuk membuka peluang penyediaan informasi secara lebih massal dan luas.

Page 49: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

141

Keempat, wacana ekonomi politik digitalisasi masyarakat juga harus

dilihat dalam proses transformasi masyarakat itu sendiri. Artinya, bahwa

digitalisasi masyarakat mengarah pada kekuatan pasar yang optimis untuk

memasuki kompetisi teknologi baru. Selanjutnya transformasi digitalisasi

masyarakat juga menekankan pemberdayaan dan penyebaran tanggung jawab

sosial atas seluruh dampak yang diakibatkan oleh teknologi digital. Berikutnya,

perubahan yang menyentuh komponen masyarakat dalam berbagai perannya di

sekian skala yang mempunyai pertimbangan kesadaran atas informasi,

pengetahuan, teknologi, imajinasi, komitmen dan kebebasan sebagai

pertimbangan yang mengatasi teknologi. Artinya, teknologi digital mampu

melayani kebutuhan manusia.

WACANA AKHIR: LANGKAH KE DEPAN

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah apakah memang orang

Indonesia benar-benar siap melangkah menjadi masyarakat informasi serta

bagaimana perkembangan citra dan budaya teknologi informasi di Indonesia.

Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi mencakup persiapan

masyarakat informasi di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang perlu

ditarik dalam hal ini.

Pertama adalah soal penentuan konsep teknologi dan masyarakat

komunikatif macam apa yang mau dibangun. Pertanyaan tersebut bukan

pertanyaan yang terlambat untuk dijawab sekarang ini. Masyarakat kita perlu

mengadopsi teknologi komunikasi tanpa meninggalkan nilai budaya setempat.

Perkembangan teknologi dan industri komunikasi memang harus dilihat secara

paralel dengan proses industri dengan logika internal yang menyertainya, tetapi

tetap saja teknologi dan industri digital harus dilihat secara kritis. Artinya,

proses perkembangan digitalisasi masyarakat justru tidak semakin

mengalienasikan manusia dari struktur yang lebih besar atau bahkan mereduksi

manusia ke dalam residu teknologistik belaka.

Kedua, perkembangan teknologi mempengaruhi transformasi sosial.

Transformasi sosial yang seimbang dan sesuai dengan kekuatan sosial

masyarakat. Transformasi itu meliputi integrasi optimisme industri dan

teknologi komunikasi, pemberdayaan partisipasi masyarakat—kewenangan

negara dan kekuatan swasta—untuk semakin bertindak dan bertanggungjawab

secara sosial, transformasi regulasi yang diperlukan untuk aturan main bersama

terutama dalam hal perkembangan industri dan teknologi media, aspek

transformasi kepemimpinan dalam menemukan dan menciptakan ekonomi baru

sebagai perluasan lapangan kerja dan akses informasi yang lebih luas.

Page 50: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142

142

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Ketiga, perubahan citra teknologi komunikasi itu sendiri. Perubahan citra

teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun

adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif praktek hidup,

kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian,

tersedia setiap saat, terbukti bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Briggs, Asa. 2002. A Social History of The Media: From Gutenberg to the

Internet. Cambridge: Polity Press

Dahlan, Alwi. 2000. Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah

untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester

Genap 1999/2000, Jakarta: Universitas Indonesia:

Straubhaar, Joseph dan Robert La Rose. 2002. Media Now: Communication

Media in the Information Age: Australia: Wadsworth

Tapscott, Don. 1996. The Digital Economy Era: Promise and Peril in the Age

of Networked Intelligence, New York: McGraw Hill.

Toffler, A..1980. The Third Wave, New York: Morrow:

Littlejohn, Stephen W. 2000. Theories of Human Communications. 7th

Ed.

Belmont: Wadsworth Publishing Company.

Page 51: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

143

Community Relations:

Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi

G. Arum Yudarwati6

Abstract: Community relations is performed as an institution’s

planned, active, and continuing participation with and within a

community to maintain and enhance its environment to the benefit of

both the institution and the community. Community relations will

reduce conflict and help to discover the best policy that lead to well-

being community through the establishment of social capital as part of

corporate social responsibility. At the macro level, the system

approach and communitarian approach give perspectives to explain the

interaction between organization with its environment. At the mezzo

level, the community relations should be supported by its function in

organization. Finally at the micro level, public relations practitioners

should take a significant role in organizations.

Key words: community relations, system approach, social

responsibility, public relations

Relasi organisasi dengan publiknya semakin kompleks seiring dinamika

lingkungan yang melingkupinya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi relasi

organisasi dengan publiknya, seperti yang terjadi di Indonesia. Yang pertama

adalah adanya era reformasi yang menempatkan posisi publik setidaknya relatif

lebih seimbang dan memiliki kekuatan tawar menawar dengan organisasi.

Dengan posisi ini publik memiliki kebebasan berbicara dan mengkritik

organisasi tanpa adanya tekanan. Kedua, jumlah media pembentuk opini publik

juga semakin banyak. Dalam situasi seperti ini, organisasi perlu membuka

ruang dialog dengan publik dan peka untuk selalu beradaptasi dengan

lingkungannya. Perkembangan teknologi informasi ikut pula mempengaruhi

6 G. Arum Yudarwati adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP,

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Page 52: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

144

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

relasi organisasi dengan publiknya. Teknologi mampu meniadakan batas ruang

dan waktu antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Suatu peristiwa dapat

dengan segera disebarluaskan dengan bantuan teknologi informasi. Sangat sulit

bagi organisasi untuk menutup diri, sebaliknya harus cepat tanggap dan

memberikan informasi terkini. Perdagangan bebas juga membuat organisasi

untuk semakin berbenah diri dan menjalin hubungan dengan publik untuk

mendapatkan reputasi yang baik.

Reputasi sendiri, bagi beberapa pihak lebih dilihat sebagai bentuk

keberhasilan organisasi dalam menggalang profit, sehingga ada istilah good

profit means good reputation, namun sebenarnya tidak sesederhana itu.

Pemahaman akan reputasi menyangkut dua hal, yang pertama, reputasi

dipahami sebagai sebuah produk, yaitu sebagai kumpulan impresi individu

terhadap organisasi. Sementara itu, pandangan kedua menekankan reputasi

sebagai sebuah proses, yaitu proses pertukaran sosial berkaitan dengan berbagai

elemen organiasi yang melibatkan komunikasi dan interaksi sosial. Reputasi ini

menyangkut beberapa aspek, yaitu credibility, reliability, trustworthiness dan

responsibility yang terkait satu sama lain dan ditentukan oleh penerimaan

publik berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki (Fombrun,

1996).

Salah satu publik yang memberikan kontribusi terbentuknya reputasi

organisasi adalah komunitas. Komunitas dipahami sebagai sekelompok orang

yang memiliki kepentingan dan terkait dengan keberadaan organisasi, serta

secara geografis berada di wilayah sekitar organisasi (Grunig & Hunt 1984).

Keberadaan komunitas menjadi penting bagi kelangsungan eksistensi

organisasi mengingat komunitas merupakan kelompok masyarakat yang

tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu, yang juga menjadi bagian dari

lingkungan di mana organisasi itu berada. Kerangka hubungan organisasi

dengan komunitas diletakkan dalam kerangka hubungan bertetangga yang baik

dan memiliki rasa saling ketergantungan. Komunitas sekitar dapat berperan

untuk menjaga perusahaan itu sendiri dari resiko atau peristiwa buruk yang

mungkin dapat terjadi. Sebaliknya perusahaan juga dapat turut membantu

mengembangkan potensi kehidupan sosial, budaya dan perekonomian

komunitas setempat.

Berkaitan dengan relasi perusahaan terhadap komunitas, selama ini

bentuk relasi lebih banyak diwujudkan pada program-program bantuan yang

bersifat material ataupun bangunan fisik. Hal tersebut dianggap cukup dalam

menunjang kemajuan dan potensi ekonomi masyarakat setempat. Secara fisik

maupun ekonomi barangkali bantuan menjadi nampak nyata, namun di sisi

Page 53: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

145

yang lain hal ini cenderung memanjakan masyarakat tanpa disertai kesadaran

dari masyarakat untuk mandiri ketahanan hidupnya.

Tulisan ini selanjutnya akan memberikan pandangan praktek community

relations yang sejalan dengan konsep public relations yang mampu

memberdayakan publiknya. Tulisan diawali dengan pembahasan pendekatan

sistem untuk memahami relasi organisasi dengan publiknya, dilanjutkan

pemaparan pendekatan communitarianism yang memungkinkan hubungan

harmonis dengan komunitas. Berikutnya dipaparkan community relations dalam

kerangka tanggung jawab sosial organisasi, dilanjutkan dengan fungsi public

relations dalam community relations, dan diakhiri dengan bagaimana

manajemen community relations dilakukan.

PENDEKATAN SISTEM DALAM PUBLIC RELATIONS

Pendekatan sistem merupakan salah satu alternatif untuk melihat relasi

organisasi dengan publiknya. Organisasi sendiri merupakan suatu sistem, yaitu

“a set of interacting units that endures through time within an established

boundary by responding and adjusting to change pressures from the

environment to achieve and maintain goal states” (Cutlip et.al., 2000). Sebuah

sistem ini terdiri dari beberapa sub sistem dan di kelilingi sistem lain yang

saling tergantung satu sama lain.

Pendekatan sistem diyakini mampu menjelaskan saling ketergantungan

organisasi dengan lingkungannya dalam menjalankan aktivitas untuk mencapai

tujuan. Menurut Kreps (1986), setidaknya ada empat implikasi penting dari

pendekatan sistem untuk memahami organisasi. Implikasi pertama, bahwa

saling ketergantungan menunjukkan antara satu bagian dan bagian lain saling

berhubungan. Untuk mencapai kerja organisasi yang efektif maka seluruh

bagian fungsional tersebut harus dikoordinasikan melalui komunikasi. Aktivitas

komunikasi digunakan untuk berbagi informasi maupun saling mempersuasi

agar mau bekerja sama. Implikasi kedua, dalam pendekatan sistem ditunjukkan

bagaimana keterbukaan membawa implikasi bagi organisasi untuk menyadari

adanya perubahan lingkungan. Implikasi ketiga, bahwa berdasar kerangka

analisis mikro dan makro ditunjukkan adanya beberapa level organisasi dalam

organisasi itu sendiri. Analisis mikro fokus pada kerja internal organisasi,

sementara analisis makro lebih pada keterkaitan organisasi dengan

lingkungannya. Ini termasuk arti penting saluran komunikasi internal dan

eksternal serta bagaimana kedua saluran tersebut digunakan bersama. Implikasi

keempat menunjukkan bahwa organisasi tidak bersifat statis, tetapi dinamis,

dikarenakan adanya adaptasi dan inovasi dalam organisasi. Organisasi perlu

Page 54: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

146

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

fleksibel dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Di sini terjadi

pertukaran informasi melalui saluran eksternal komunikasi.

Pendekatan sistem dipakai dalam pembahasan public relations dalam

tataran makro, yaitu berkaitan dengan bagaimana interaksi organisasi dengan

lingkungan yang melingkupinya. Praktek public relations dipengaruhi oleh

bagaimana organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini dengan

para stakeholder. Untuk melihat hal tersebut ada dua pendekatan sistem yang

dapat digunakan, yaitu pendekatan sistem terbuka dan sistem tertutup.

Dalam pendekatan sistem tertutup, organisasi memandang publik bukan

sebagai bagian langsung organisasi, antara keduanya terdapat pembatas yang

tidak dapat ditembus. Kebutuhan, harapan, maupun opini publik tidak dijadikan

pertimbangan dalam pembuatan keputusan, sebaliknya publik dijadikan obyek

organisasi. Interaksi bersifat searah, yaitu dari organisasi kepada publik. Dalam

organisasi seperti ini, public relations lebih difungsikan sebagai corong

organisasi untuk menyampaikan informasi dari organiasi kepada publik dan

tidak sebaliknya. Program public relations dibuat untuk membentuk citra sesuai

kehendak organisasi dan ditujukan untuk mempertahankan status quo. Public

relations lebih sebagai eksekutor kebijakan organisasi dan tidak terlibat dalam

pembuatannya. Peran teknis pada akhirnya yang lebih dominan.

Sementara itu dalam pendekatan sistem terbuka, antara organisasi dengan

publik dianggap tidak memiliki batasan pemisah yang tidak dapat ditembus.

Pendekatan ini secara radikal mencoba mengubah pandangan dalam pendekatan

tertutup dengan menempatkan publik sebagai bagian dari organisasi yang tidak

terlepaskan. Organisasi melihat publik sebagai bagian organisasi yang ikut

menentukan kehidupan organisasi. Organisasi berupaya untuk mengetahui

kebutuhan, harapan maupun opini publik berkaitan dengan organisasi, yang

selanjutnya dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan dalam pembuatan

keputusan organisasi. Dengan demikian kebijakan organisasi sesungguhnya

merupakan hasil kesepakatan bersama dari kedua belah pihak.

Dalam sistem terbuka, public relations berperan sebagai fasilitator

komunikasi antara organisasi dengan publiknya. Public relations membantu

organisasi untuk mengeksplorasi dan memetakan opini publik, kemudian

menyampaikannya kepada organisasi. Demikian pula sebaliknya, bahwa public

relations membantu menyampaikan dan mensosialisasikan kebijakan organisasi

kepada publik. Dengan demikian, penyesuaian diri terjadi pada kedua belah

pihak, baik organisasi maupun publik sebagai hasil kesepakatan bersama.

Dalam menjalankan fungsi tersebut, tentunya public relations pada

akhirnya tidak hanya berperan sebagai eksekutor kebijakan atau teknisi saja.

Page 55: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

147

Public relations lebih banyak menjalankan peran manajerial, dengan

memberikan masukan pada pihak manajemen dan terlibat dalam proses

pembuatan kebijakan. Public relations pun dapat membantu organisasi

mencegah terjadinya krisis dengan memberikan masukan bagi perubahan yang

diperlukan organisasi, sekaligus mengarahkan program untuk mengubah sikap

maupun perilaku publik. Sifat public relations lebih pada upaya proaktif

daripada reaktif.

Pendekatan sistem terbuka dalam public relations dapat digambarkan

sebagaimana terlihat pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Open System Model of Public Relations

(Sumber: Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective

Public Relations. 8th edition. New Jersey: Prentice Hall, p.244)

Berkaitan dengan community relations, pendekatan sistem terbuka

diyakini mampu memberdayakan publiknya, mengingat publik ditempatkan

pada posisi yang seimbang, saling tergantung dan tidak saling mendominasi.

Pendekatan sistem terbuka dalam kaitannya dengan community relations

dikembangkan lebih spesifik menjadi pendekatan communitarian (Wilson,

2001). Pendekatan ini menekankan bahwa hak setiap pihak diakui, namun

dalam penerapannya perlu disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada satu pihak

Page 56: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

148

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

yang akan dikorbankan untuk memenuhi hak pihak lain, namun masing-masing

mengembangkan rasa tanggung jawab.

Bellah (dalam Wilson, 2001) mengidentifikasi adanya empat nilai yang

menjadi dasar communitarian relationship. Nilai yang pertama adalah

kombinasi dari nilai individual dan penolakan terhadap berbagai bentuk

dominasi dengan fakta bahwa keseluruhan komunitas yang berkualitas

merupakan prasyarat bagi individu maupun organisasi yang berkualitas. Nilai

yang kedua adalah solidaritas. Dalam hal ini, salah satu pihak ada karena relasi

organisasi dengan pihak lain. Nilai yang ketiga adalah communitarian

relationship yang merupakan penyeimbang dari adanya keanggotaan individu

maupun organisasi yang beragam. Akhirnya, nilai yang keempat adalah

partisipasi dalam komunitas yang merupakan sebuah hak sekaligus tanggung

jawab. Relasi akan baik ketika seluruh anggota komunitas, baik individu

maupun organisasi di dalamnya berpartisipasi mendukung komunitas dan

membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bersama.

COMMUNITY RELATIONS DAN TANGGUNG JAWAB

SOSIAL ORGANISASI

Community relations sebagai bagian dari public relations merupakan

wujud tanggung jawab sosial organisasi. Seperti disampaikan Bernays (dalam

Grunig & Hunt, 1984): "Public relations is the practice of social responsibility.

Hal ini didukung pula oleh hasil riset Gildea (dalam Daugherty, 2001) yang

menunjukkan bahwa responden menempatkan praktek bisnis, dukungan kepada

komunitas dan perlakuan terhadap karyawan sebagai indikator penting dari

tanggung jawab sosial organisasi. Lebih lanjut, Buchholz (dalam Daugherty,

2001) memilih menggunakan istilah public responsibility untuk mengganti

social responsibility. Menurut Buchhloz, public responsibility berkaitan dengan

niat baik organisasi untuk secara aktif terlibat dalam berbagai isu publik

meskipun tidak berkaitan langsung dengan kepentingan organisasi. Keterlibatan

ini dapat diawali dengan melakukan identifikasi dan riset isu publik, itikad baik

untuk mendiskusikannya di arena publik dan kemampuan untuk bekerja sama

dengan pihak lain dalam memecahkan masalah yang ada.

Perkembangan di masyarakat menuntut praktek public relations tidak

hanya sebagai corong masyarakat dan bersifat satu arah, tetapi public relations

diharapkan mampu menjembatani organisasi dalam mewujudkan tanggung

jawab pada publiknya. Bentuk tanggung jawab itu sendiri dapat dikatakan tanpa

batas. Organisasi sulit menentukan kapan tanggung jawab sosial itu dimulai dan

berakhir.

Page 57: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

149

Davis & Blomstrom (dalam Grunig & Hunt, 1984) menggambarkan

tanggung jawab sosial dalam dunia bisnis ke dalam tiga buah lingkaran sebagai

berikut :

Gambar 2. A Widening Circle of Business Social Responsibility

(Sumber: Davis & Blomstrom dalam Grunig & Hunt 1984:54)

Dalam upaya mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bentuk kontribusi

public relations dilakukan melalui fungsi-fungsi yang dijalankan (Grunig &

Hunt, 1984), yaitu internal reporting dan external reporting.

Melalui internal reporting, public relations berperan sebagai pemberi

masukan kepada pihak manajemen berdasarkan opini publik tentang "perilaku"

organisasi yang dianggap bertanggung jawab maupun yang tidak. Secara lebih

khusus public relations menjalankan proses yang disebut sebagai issues

management, yaitu:

… the capacity to understand, mobilize, co-ordinate, and direct all

strategic and policy planning functions, and all public affairs/public

relations skills towards the achievement of one objective: meaningful

participation in creation of public policy that affects personal and

institutional destiny (Chase, 1984).

External reporting dari public relations dapat berbentuk social report

dan social audit. Social report berisi laporan kontribusi organisasi kepada

publiknya. Laporan ini antara lain mencakup aktivitas hubungan dengan

komunitas, partisipasi kayawan dalam aktivitas komunitas, konservasi

lingkungan, adanya peluang yang sama bagi wanita maupun kelompok

minoritas, serta aktivitas sosial yang lain. Sementara itu social audit lebih

Page 58: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

150

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

melihat tanggung jawab sosial berdasarkan perhitungan keuangan yang

digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak

konsultan eksternal.

COMMUNITY RELATIONS

Community relations sebagai salah satu wujud penerapan tanggung

jawab sosial dimaknai sebagai "an institution’s planned, active, and continuing

participation with and within a community to maintain and enhance its

environment to the benefit of both the institution and the community" (Baskin,

1997). Setidaknya ada tiga dimensi dari relasi organisasi dengan publik yang

menjadi bagian dari community relations, yaitu community investment,

community involvement, dan community commitment (Ledingham & Bruning,

2001).

Antara organisasi dengan komunitas terdapat hubungan saling

ketergantungan, seperti dikemukakan oleh The Community Relation’s Section

of Champion International Corporation’s Public Affairs Guide:

We are important to those communities. Our payroll maybe the

bulwark of the area’s economy. The taxes we pay support local schools

and government. Our voluntary contributions, both financial both and

in the form of employees’ personal services, help the communities

grows and prosper.

And these communities are important to us. Without public acceptance,

no industry can realize its full potential. The goodwill of the people

who live in our plant communities is essential and must be earned

(Grunig & Hunt, 1984).

Adanya saling ketergantungan ini memotivasi organisasi untuk

mendesain program-program community relations. Menurut Grunig dan Hunt

(1984), program community relations dapat dibedakan dalam dua tipe. Tipe

program yang pertama merupakan program yang fokus pada aktivitas untuk

membantu komunikasi organisasi dengan pemimpin komunitas lokal.

Sementara itu program kedua fokus pada aktivitas yang melibatkan organisasi

pada aktivitas komunitas, seperti dukungan terhadap proses pendidikan dan

sekolah, maupun memberikan donasi pada organisasi lokal.

Program community relations dilaksanakan untuk mencapai beberapa

tujuan (Cutlip, Center & Broom, 2000), yaitu: 1) memberikan informasi pada

komunitas tentang organisasi itu sendiri, produk yang dihasilkan, pelayanan

Page 59: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

151

yang diberikan serta aktivitas yang dilakukan; 2) meluruskan kesalahpahaman

dan menanggapi kritikan publik disertai upaya menggalang dukungan dan opini

yang positif; 3) mendapatkan dukungan secara hukum yang akan

mempengaruhi iklim kerja komunitas; 4) mengetahui sikap, pengetahuan dan

harapan komunitas; 5) mendukung sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi dan

aktivitas budaya; 6) mendapatkan pengakuan yang baik dari pemerintah

setempat; 7) membantu perkembangan ekonomi lokal dengan membeli barang-

barang kebutuhan dari wilayah setempat.

Dari ketujuh tujuan tersebut nampak bahwa program community

relations sesungguhnya tidak hanya masalah perbaikan ekonomi, namun

disertai juga upaya pemberdayaan akses informasi dan komunikasi. Penentuan

tujuan itu sendiri dipengaruhi oleh karakter komunitas. Ada beberapa karakter

komunitas yang perlu diidentifikasi sebelum melaksanakan program community

relations (Baskin et.al, 2004), yaitu:

Pertama, struktur komunitas, meliputi: tingkat homogenitas atau

heterogenitas; struktur kepemimpinan formal maupun informal; nilai-nilai

yang ada dan berkembang dalam komunitas; dan media komunikasi.

Kedua, kelebihan dan kekurangan komunitas, meliputi: identifikasi

permasalahan yang dihadapi komunitas; situasi dan kondisi ekonomi politik;

dan sumber daya yang dimiliki komunitas, baik sumber daya manusia, alam,

maupun budaya.

Ketiga, pemahaman dan sikap komunitas terhadap organisasi, meliputi:

pemahaman komunitas akan produk, jasa, aktivitas maupun kebijakan

organisasi; sikap dan perasaan komunitas akan keberadaan organisasi; adakah

kesalahpahaman terjadi; dam harapan komunitas terhadap organisasi.

Perlu ditekankan bahwa harapan komunitas terhadap organisasi tidak

hanya sesuatu yang tangible seperti gaji, lapangan kerja, dan pajak namun juga

intangible, seperti partisipasi organisasi, stabilitas dan keamanan, serta rasa

bangga akan keberadaan organisasi.

Selain itu, perlu pula mengidentifikasi pola hubungan komunitas

dengan organisasi. Menurut Esman (dalam Grunig & Hunt, 1984) ada empat

bentuk hubungan organisasi dengan komunitas, yaitu: 1) enabling linkage,

merupakan bentuk hubungan antara organisasi dengan kelompok sosial yang

memberikan otoritas dan kontrol yang memungkinkan organisasi eksis,

termasuk hubungan dengan pemerintah lokal, khususnya dengan orang-orang

kunci; 2) functional linkage, ada dua pola hubungan yaitu input linkage dan

output linkage. Input linkage meliputi hubungan dengan karyawan lokal,

kelompok/asosiasi lokal, dan penyedia bahan-bahan mentah, uang, yang

Page 60: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

152

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

menyediakan input bagi organisasi. Output linkage berkaitan dengan hubungan

organisasi dengan organisasi lain yang menggunakan produknya, seperti para

konsumen; 3) normative linkage, merupakan hubungan organisasi dengan

organisasi lain yang menghadapai masalah yang sama atau memiliki nilai-nilai

yang sama, organisasi lokal dengan kepentingan yang sama dengan organisasi;

4) diffused linkage, merupakan bentuk hubungan dengan elemen dalam

masyarakat yang berperan dalam penyebaran opini publik, seperti hubungan

dengan media lokal dan para pemuka pendapat lokal.

Pencapaian tujuan community relations juga akan dipengaruhi oleh cara

pandang dan perlakuan organisasi terhadap komunitasnya. Dalam hal ini peran

public relations dalam organisasi menjadi penting. Wilson (2001)

mengidentifikasi adanya empat aktivitas penting yang perlu dijalankan seorang

public relations. Yang pertama adalah mereka membantu organisasi agar para

pimpinan memandang penting relasi dengan komunitas dan melihat pentingnya

peran organisasi dalam komunitas. Mereka perlu meyakinkan tanggung jawab

organisasi untuk terlibat dalam upaya pembangunan dan kemajuan komunitas.

Tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas ini perlu

dilakukan bukan karena akan mendatangkan profit, namun merupakan

tanggung jawab moral organisasi. Peran seorang public relations yang kedua

adalah membantu menyadarkan organisasi bahwa komunitas tidak hanya

sekedar terdiri dari para investor (stockholder), namun mereka juga terdiri dari

para stakeholders, yaitu karyawan, konsumen, pesaing, pemasok bahan, dan

kelompok publik lain di mana hubungan perlu dikembangkan. Selanjutnya,

karena perspektif yang menekankan perlunya hubungan dengan komunitas ini

termasuk hal yang baru, maka evaluasi terhadapnya pun belum banyak

dilakukan. Di sini peran ketiga public relations adalah untuk meyakinkan

organisasi bahwa evaluasi keberhasilan organisasi tidak hanya dari sisi

finansial, namun juga dilihat dari aplikasi tanggung jawab sosial organisasi dan

penerimaan komunitas. Akhirnya, peran keempat dari public relations adalah

mengembangkan budaya dan nilai organisasi, termasuk menanamkannya pada

seluruh anggota organisasi, yang menjamin berlangsungnya hubungan dengan

komunitas yang baik.

Peran public relations tersebut sejalan dengan pendapat Baskin dan

Latimore (1997) tentang fungsi public relations dalam organisasi, meliputi:

Pertama, fungsi manajemen. Untuk menjalankan fungsi ini maka Public

relations memberi masukan kepada pihak manajemen dalam perumusan misi,

visi, tujuan maupun kebijakan organisasi berdasarkan hasil eksplorasi opini

publik; dan membantu organisasi dalam melakukan perubahan yang diperlukan,

khususnya di masa krisis. Hal ini didasari oleh dua hal, yaitu: 1) public

Page 61: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

153

relations memonitor dan mengeksplorasi opini publik, maka kemudian public

relations dapat mewakili kepentingan publik dan memprediksi reaksi publik

terhadap kebijakan organisasi; dan 2) public relations berfungsi

mengkomunikasikan kebijakan organisasi kepada publik.

Kedua, fungsi komunikasi. Sebagai fungsi komunikasi public relations

dapat dilihat dari empat hal, yaitu ketrampilan ataupun keahlian komunikasi

yang perlu dimiliki public relations, aktivitas kerja yang biasa dilakukan,

sistem yang dibentuk dan operasionalisasi penggunaan sistem yang sudah

dibentuk, meliputi: 1) Kemampuan dasar komunikasi. Setidaknya ada tiga

kemampuan dasar yang perlu dimiliki seorang public relations, yaitu

kemampuan mendengarkan, menulis dan berbicara, baik dalam konteks

komunikasi organisasi maupun berbicara di depan publik (public speaking).

Selain ketiga hal tersebut, untuk menjalankan peran manajerial maka seorang

public relations juga perlu memiliki kemampuan melakukan riset, menyusun

perencanaan dan mengevaluasi hasil riset; 2) Public relations mencakup

berbagai aktivitas kerja yang dilakukan berkaitan dengan proses komunikasi,

seperti produksi media release, company profile, ataupun majalah internal,

termasuk juga di sini, program kampanye untuk membentuk kesadaran akan

isu tertentu ataupun membentuk image positif organisasi.; 3) Public relations

berperan dalam membangun suatu sistem komunikasi, seperti sistem

pengumpulan informasi dari publik, membentuk kelompok pelanggan ataupun

komunitas untuk mendapatkan masukan, ataupun dengan menjalin hubungan

baik dengan para editor dan wartawan; 4) Public relations berkaitan dengan

aktivitas memanfaatkan sistem komunikasi yang sudah ada.

Ketiga, fungsi mempengaruhi opini publik. Aktivitas public relations

banyak bersentuhan dengan opini publik. Dalam hal ini ada tiga hal yang dapat

dilakukan public relations, yaitu: 1) Public relations membantu organisasi

untuk membangun relasi dengan publik; 2) Public relations

menginterpretasikan opini publik dan menyampaikannya kepada organisasi

sebagai input; 3) Ketika berbicara masalah opini publik, maka salah satu hal

yang menjadi sorotan publik adalah masalah tanggung jawab sosial. Public

relations membantu organisasi mewujudkan tanggung jawab sosial melalui

program-programnya.

MANAJEMEN COMMUNITY RELATIONS

Community relations merupakan suatu aktivitas yang terencana dari

suatu organisasi. Ada beberapa alternatif tahapan manajerial yang ditawarkan,

namun pada intinya adalah sama. Kelly (2001) misalnya mengemukan adanya

Page 62: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

154

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

lima tahap manajerial, yaitu riset, penentuan tujuan, penyusunan program dan

implementasi, evaluasi dan diakhiri dengan pendampingan. Lebih lanjut

tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Cutlip et.al, 2000 & Kelly,

2001):

Tahap penemuan fakta. Dalam tahap ini public relations melakukan riset

untuk mendapatkan fakta yang ada berkaitan dengan organisasi. Setidaknya ada

tiga hal yang perlu diidentifikasi, yaitu: 1) Kondisi internal organisasi, meliputi

identifikasi dan evaluasi kebijakan organisasi, aktivitas maupun produk (barang

maupun jasa) yang dihasilkan, serta harapan organisasi terhadap komunitas.

Setidaknya diidentifikasi ada lima harapan organisasi terhadap komunitas, yaitu

pelayanan yang baik dari pemerintahan lokal, aturan pajak yang jelas dan adil,

lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja, dukungan akan tenaga

kerja, serta pada akhirnya dukungan terhadap bisnis dan produknya; 2) Fakta

yang ada pada publik, dalam hal ini identifikasi komunitas; 3) Analisis peluang

berkaitan dengan upaya membangun hubungan komunitas yang baik; 4)

Berdasarkan fakta yang diperoleh, selanjutnya public relations mengidentifikasi

permasalahan utama atau isu besar berkaitan dengan hubungan komunitas.

Tahap perencanaan. Berdasarkan identifikasi masalah dan temuan fakta

yang ada, public relations menentukan tujuan jangka pendek, menengah

maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan program

hubungan komunitas, yang pada dasarnya terdiri dari dua tipe program, yaitu

program komunikasi dan program keterlibatan organisasi dalam komunitas.

Tahap aksi dan komunikasi. Dalam tahap ini disusun dua strategi besar,

yaitu: 1) Strategi aksi yang berkaitan dengan implementasi program,

perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan dan 2) Strategi komunikasi yang berkaitan dengan upaya

pengkomunikasian program, yang terdiri dari dua strategi, yaitu: a) Strategi

pesan, berkaitan dengan pemilihan dan penyusunan pesan yang disampaikan

kepada komunitas, dan b) Strategi media, berkaitan dengan pilihan media untuk

menyampaikan pesan maupun mendapatkan masukan dari komunitas.

Tahap evaluasi. Dalam tahap ini, evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap

output yang dihasilkan namun juga input, yaitu berkaitan dengan kelengkapan

pemahaman akan komunitas, dan outcome, yaitu perubahan sikap maupun

perilaku yang pada akhirnya memberikan gambaran akan reputasi organisasi di

mata publik. Proses evaluasi menurut Cutlip, Center dan Broom (2000) dapat

dilakukan terhadap tiga tahap proses public relations, yaitu: 1) tahap persiapan,

seperti evaluasi terhadap kelengkapan informasi berkaitan dengan komunitas,

pilihan media, maupun penyusunan pesan; 2) tahap implementasi, seperti

jumlah partisipan, jumlah pesan yang disampaikan, maupun frekuensi kegiatan;

Page 63: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

155

3) dampak yang dihasilkan, seperti perubahan sikap, perilaku, atau bahkan

perubahan sosial yang terjadi.

Tahap pendampingan. Program hubungan komunitas merupakan

program yang berkelanjutan, sehingga dalam hal ini public relations perlu

melakukan beberapa hal berikut: 1) Selalu menginformasikan perkembangan

terakhir yang terjadi dalam organisasi, seperti menyampaikan laporan tahunan

ataupun kebijakan terbaru organisasi yang berdampak pada komunitas; 2)

Mengembangkan komunikasi timbal balik yang memungkinkan komunitas

menyampaikan opini dan memperoleh umpan balik; 3) Secara rutin melakukan

kontak dengan komunitas untuk menjaga dan memupuk hubungan baik, seperti

dengan menghadiri pertemuan rutin komunitas ataupun mengundang komunitas

dalam kegiatan organisasi.

Tahapan manajemen public relations tersebut dapat digambarkan sebagai

siklus hubungan organisasi dengan publik yang aktif. Hasil evaluasi dengan

disertai proses pendampingan akan menghasilkan input bagi perumusan

program public relations berikutnya.

Melihat uraian di atas dapat disampaikan bahwa untuk memahami

community relations perlu dilihat dari berbagai level analisis. Pada tataran

makro, community relations dilihat dari relasi organisasi sebagai suatu sistem

yang berhubungan dan saling tergantung dengan sistem yang lain. Aspek sosial,

ekonomi, politik maupun budaya akan mempengaruhi pola hubungan yang ada.

Reputasi organisasi tidak hanya dilihat dari sisi seberapa besar profit yang

diperoleh, namun juga dilihat dari aspek tanggung jawab sosial organisasi

dalam bentuk community investment, community involvement, dan community

commitment. Selanjutnya dari level mezo, ditunjukkan bahwa aktivitas

community relations tidak akan lepas dari pemahaman organisasi akan peran

public relations. Posisi, kewenangan dan fungsi yang dijalankan dalam

organisasi akan mempengaruhi model praktek yang dijalankan. Akhirnya pada

level mikro, yaitu berkaitan dengan individu pelakunya, community relations

akan dipengaruhi oleh kompetensi para pelaku yang membawa implikasi pada

peran yang dijalankan, apakah peran manajerial ataukah teknis. Community

relations akan memberikan benefit jangka panjang jika ditempatkan sebagai

bagian dari strategi besar organisasi.

Page 64: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156

156

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

DAFTAR PUSTAKA

Baskin, Otis, Craig Aronoff and Dan Lattimore. 1997. Public Relations: The

Profession and The Practice. Edisi empat. Madison: Brown & Benchmark.

Baskin, Otis, Dan Lattimore and Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth, and James K.

van Leuven. 2004. Public Relations: The Profession and The Practice. Edisi

lima. Madison: Brown & Benchmark.

Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective Public

Relations. Eight edition. New Jersey: Prentice Hall.

Daugherty, Emma L. 2001. “Public relations and social responsibility” dalam Heath,

Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California:

Sage Publication, Inc. (h. 389-402).

Fombrun, Charles J. 1996. Reputation, Realizing Value from the Corporate Image.

Boston: Harvard Business School Press.

Grunig, James E & Todd Hunt. 1984. Managing Public relations. Chicago: Holt,

Rinehart and Winston, Inc.

Kelly, Kathleen S. 2001. “Stewardship: the fifth step in the public relations process”

dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public

Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 279-290).

Kreps, Gary L. 1986. Organizational Communication, Theory dan Praktek. New York:

Longman.

Lauzen, Martha M. 1997. “Understanding the relation between public relations and

issues management”. Journal of Public Relations Research. Vol. 9. No. 1. (h.

65-82).

Ledingham, John A. and Stephen D. Bruning. 2001. “Managing community

relationships to maximize mutual benefit: doing well by doing good” dalam

Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations.

California: Sage Publication, Inc.(h. 527-534).

McLisky, Chadd. 1999. “Indonesia, public relations and social responsibility”. Asia

Pacific Public relations Journal. Vol. 1. No. 1. (h. 105-108).

Starck, Kenneth and Dean Kruckeberg. 2001. “Public relations and community: a

reconstructed theory revisited” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel

(eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 51-

60).

Wilson, Laurie J. 2001. “Relationships within communities: public relations for the

new century”. Dalam Heath, Robert L (ed). Handbook of Public Relations.

California: Sage Publication, Inc. (h. 521- 526).

Page 65: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

157

Newspaper Language

in Representing Ethnic Violence:

Textual Analysis of Kompas

dan Republika Newspapers

Prayudi7

Abstract: The reconceptualization of ethnicity came to its peak when

the New Order regime introduced the policy of ‘suku’ (ethnic),

‘agama’ (religion), ‘ras’ (racial) or ‘antar golongan’ (inter-group).

The policy, known as SARA, was meant to limit and control public

interpretation over all socio-political conflicts that may endanger

national stability and to restrict languages used in the news media.

The policy had became the main foundation of all government

policies related to society. Conflicts should be avoided and difference

within society was intolerable. The Indonesian press then faced a

dilemma when it came to reporting issues of ethnicity. On one side,

they had an obligation to report the news to public; on the other side,

the concept of SARA had become an unwritten law to restrict the

press from reporting the issue. Further, the government could revoke

the publishing permits without any warning it thought that the press

had broken the law. The objective of the research was to define and

analyze the usage of language in national newspapers in representing

ethnicity issues. The analysis focused on the 1997 ethnic violence in

West Kalimantan.

Key words: newspaper language, ethnic violence, SARA

Language plays significant role within the context of ethnic pluralism. It

can unify as well as divide people of various ethnic backgrounds. Newspaper

7 Prayudi is a lecturer at the School of Communication Studies, Faculty of Social and Political

Sciences, the University of Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta.

Page 66: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

158

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

ability in influencing its readers has brought to surface the issue of language

used by newspaper institution in representing issue of ethnic violence. How the

newspaper presents the issue, the perspectives used and reporting style all lead

to the usage of newspaper language.

An attempt to analyse how Indonesian newspapers used the language in

representing the issue of 1997 ethnic violence strongly relates to some

arguments. They include political context, press policies and news orientation.

The 1997 ethnic violence itself occurred in West Kalimantan. It was claimed to

be the biggest ethnic violence that involved the Dayak community as

indigenous people and the Madura community, migrants of Madura Island. It is

noteworthy that the violence occurred during the New Order era.

First argument is the introduction of SARA policy as part of Suharto’s

development political policy. SARA policy was introduced by the New Order

regime in the early 1970s in order to limit and control public interpretation of

all socio-political conflicts that may endanger national stability. The SARA

acronym represents suku (ethnicity), agama (religion), ras (race) and

antargolongan (inter-group) issues. Although ethnic, religious, race and inter-

group diversity was integral to the character of Indonesian society; SARA

issues were labeled as the 'embryo’ of disintegration. SARA policy was

underpinned by the notion that conflict between groups within society will

provide an opportunity for particular groups to secure their own interests, which

might be at the expense of the national interest. Further, the conflict may lead to

subversive actions (Katjasungkana, Kartika and Mahendra 1999). The state

apparatus then created conditions to suppress issues of ethnic identity, religion,

races and inter-groups. Meetings, discussions and writing about SARA were

considered threats toward national integrity and were therefore banned.

Krisnamurthi (2002) argues that the politics of SARA introduced by the New

Order regime through repressive power, either directly or indirectly, was a

politics of isolation of the elements of ethnic, religion, race and inter-group

within the life of nation and state.

SARA was used to ban any discourse of ethnicity as part of Suharto’s

idea of reshaping Indonesia into a ‘big Java’. In the context of Javanese culture,

ethnic groups outside Javanese are considered lower status. Therefore, they

have no right to express their ethnic identity and purpose or make requests of

their ruler. Meanwhile, the hierarchical system in Javanese culture has also

created a condition where Javanese people from lower classes must, as part of

their ethnic identity, obey their rulers. Thus, culturally there have already been

some limitations on issues of ethnicity which were later legalized by Suharto's

introduction of SARA.

Page 67: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

159

The policy of SARA had also affected the life of the press in Indonesia

during the New Order era. A range of topics through which the discourse of

SARA could surface was widely recognized as being off limits. Further

restriction included prohibition of news that refers to anything deemed as

seditious (menghasut), insinuating (insinuasi), sensational (sensasi), and

speculative (spekulasi) (see, Hill. 1990). Thus, the policy of SARA had become

a very effective instrument for the New Order government to pressure both

ethnic groups and the press. In 1975, there was a clash that involved Chinese

ethnic group and claimed many lives and properties. However, few newspapers

reported the issue. If the press had to report SARA issues, they were required to

report from the government point of view. This indicates the strength of the

New Order regime which was fully supported by the military.

Press policies as the second argument relates to how newspaper

institution reports the issue of ethnicity. Principally the newspaper institutions

should have been fair and objective in representing the violence and focused its

coverage on public interest basis. However, government strong policy on

ethnicity still restricted the press from presenting the news in a more objective

way. In reporting the violence, the press still did not dare to report the issue

explicitly. I conducted a content analysis of Kompas and Republika dailies in

2001 and found that principally both Kompas and Republika played a role as

storyteller in reporting SARA issues or other sensitive issues. I found that the

way the press reports news strongly relates to the interplay of various levels of

influence from within press institutions (such as mission, vision, goals) and

from political economy factors outside the press institutions (like government

policy on SARA). The facts of events are thus written as information based on

a set of frameworks which state that the news reported should not mislead its

readers or condemn people or parties involved in the matter. It should hold the

pre-assumption of innocence, place the matter in the way it really stands,

involve the choice of relevant and balanced news sources, and always try to

confirm the information gathered.

The third argument is the orientation of news coverage. Issue of ethnic

violence has high news values like frequency (time-span taken by an event),

threshold (size of an event), meaningfulness (events that accord with the

cultural background of the news gatherers) and so on (see, Hartley, 1995).

Consequently, newspapers will certainly report the issue. Nevertheless, the

orientation of news coverage strongly influenced by the interests the newspaper

institutions have to serve. If they orient the news coverage based on public

interest, it is likely that the newspaper institutions will use language that reduce

rather than intensify the violence. However, if they orient the coverage to

increase the newspapers exemplar, it is possible that the newspaper institutions

Page 68: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

160

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

will use language that either purposely or not purposely contributes to the

violence. In an interview with the editor in chief of a local newspaper in West

Kalimantan province, I found that it was difficult for the local newspaper to be

fair and balance in the coverage. Even if the newspaper institution had used the

language that would not exacerbate the issue, still it had to face demands and

demonstration from some ethnic groups who thought that the newspaper had

taken aside to one particular ethnic group.

In sum, the interplay of these arguments led to the newspapers institution

perspectives in reporting issue of ethnicity. These perspectives were then

reflected in the language used. To support this claim, two Indonesian national

newspapers had been analysed: Kompas and Republika. The time period to be

examined was from January until mid February 1997 which included the period

of ethnic violence and its aftermath. Using textual analysis, I examined how the

language was used by both newspapers in representing issue of ethnic violence,

considering the complicity of the New Order regime. The analysis focused on

the language and meanings implied in the headlines and text. This analysis was

then followed by comments from editors of the respective newspapers and

other sources to strengthen the arguments. The next section focuses on analysis

of how the language was used by Kompas and Republika newspapers in

representing the 1997 ethnic violence.

PRESENTATION AND INTERPRETATION OF DATA

Ethnic Violence in West Kalimantan is a series of events which can be

seen as a discourse over which many institutions contest the various approaches

to the violence. Arguments regarding the source of the violence included

surrounding political arguments, marginalisation, deforestation, and

transmigration. The violence occurred as the result of the politics of

development under the New Order regime, which incorporated the policy of

SARA in its practice (see, Prayudi, 2003).

The 1997 ethnic violence occurred in Sanggau Ledo sub district, which

later spread to Ledo, Bengkayang, Samalantan and Tujuh Belas sub districts, all

within Sambas Districts. In particular, the fighting that occurred over women

indicated how fragile inter-ethnic relations within society were. Although the

violence was related to the implementation of politics of ethnicity (SARA)

associated with the New Order regime's politics of development, newspaper

items were restricted to coverage of youth fighting amongst both ethnic groups

and the proposal that the solution could be found through a traditional peace

ceremony.

Page 69: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

161

From the analysis of more than a hundred articles of both newspapers

that related to the issue, it was hardly to find language that tended to intensify

the violence. Rather, both of the newspapers used the language intelligently to

represent the issue from different perspective that put them in a neutral

position. Within the context of reporting ethnic violence, newspapers basically

can focus their coverage on the following perspectives: implication, causes and

solution of the violence. It has to be admitted that many newspapers would

prefer to report the process of the violence which may be full of bias and

difficult to be fair and objective. These kinds of newspapers usually orient the

reportage to enhance its newspaper selling, rather then informing the public

through fair and balance coverage.

Kompas tended to report ethnic violence from the humanitarian

perspective. This is signified by the coverage of lives and properties lost in the

violence, the condition of victims and the uncertain future they faced. The

choice of this perspective strongly related to Kompas' editorial policies and

vision to develop understanding within plural society. In particular, the

influence came from the founder of Kompas, Jakob Oetama and late P.K.

Ojong (About the humanism of Kompas newspapaer, see Sindhunata in St.

Sularto, 2001). Further, it was another way to cover the issue without being

afraid of control from government agencies like KOPKAMTIB or military

headquarters as, since the beginning of the coverage, Kompas had already been

told not to exacerbate the issue. By bringing up the human side of the unrest,

which usually was abandoned by the press, Kompas presented the impact of the

violence through the description of the victims. This can be seen from some of

Kompas headlines, such as Keamanan Di Sanggau Ledo

Terkendali(02/01/1997) Pengungsi Di Singkawang Kekurangan

Pangan(04/01/1997), Kami Harus Tinggal Dimana? (12/01/1997), 1.094

Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo (13/01/1997), and

Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar (28/01/1997). The emphasis on a

humanitarian perspective, was evident in Kompas news items as follows:

Pengungsi di Singkawang Kekurangan Pangan

Pengungsian ribuan penduduk daribeberapa desa di wilayah

Kecamatan Bengkayang, Samalantan dan Kecamatan Tujuh Belas ke

Kota Singkawang, masih terus berlangsung, sementara pengadaan

pangan untuk para pengungsi mulai menipis….

Anggota DPRD II Sambas Haji Zainal selaku koordinator Posko

Penanggulangan Pengungsi di Singkawang mengatakan, masalah besar

yang dihadapi saat ini adalah kekurangan pangan, terutama beras.

Page 70: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

162

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Sejauh ini posko penanggulangan pengungsi di Singkawang baru

menerima bantuan beras dua ton dari Pemda Kabupaten Sambas, juga

gula, kopi dan mie instant dari para dermawan. Padahal untuk memberi

makan seluruh pengungsi yang sudah berjumlah 5.678 orang, Posko

Singkawang harus menyediakan beras 2,8 – 3 ton per hari dengan lauk

seadanya seperti ikan asin. “Karena itu saya menghimbau semua pihak

termasuk pemerintah untuk dapat meringankan beban para pengungsi,’

ujarnya.

Dijelaskan Zainal, karena terbatasnya persediaan beras yang dimiliki

Posko, pada Jum’at siang kemarin pengungsi di Singkawang terpaksa

hanya diberikan makanan dengan bubur.

(Kompas, 04/01/1997)

Kami Harus Tinggal di mana?

Ketika diperbolehkan kembali melihat rumahnya di Dusun Sindu, Desa

Beringin, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Sambas, Minggu (5/1)

lalu, Haji Abdullah (42) hanya bisa termenung lesu melihat rumah dan

harta bendanya tinggal puing-puing belaka.…Padahal menurut

pengakuan Haji Abdullah, selama ini pergaulan sehari-hari

antarpenduduk desa itu sangat baik dan hidup rukun.

***

“Secara jujur sulit saya memahami mengapa kerusuhan ini terjadi,

sebab antara masyarakat Dayak, Madura dan Melayu di desa ini tidak

ada masalah. Bahkan di antara warga kami sudah ada yang kawin

campur,” kata Frans Adam, Kepala Desa Bagak Sahwa, Kecamatan

Tujuh Belas. Frans Adam yang seorang tokoh masyarakat Dayak

Bagak, sangat menyesalkan terjadinya peristiwa ini.

(Kompas, 12/01/1997).

To achieve the humanitarian perspective, Kompas emphasized the

interview with the opinion leaders and victims of both ethnic groups, the local

government in terms of the total lives lost and properties damaged, and also the

head of the coordinating post for refugees. From the two news items above,

Kompas explicitly highlighted that principally both parties involved suffered

from the violence. Further, the implied meanings of this representation are the

failure of the New Order government politics of development and its security

approach in preventing the violence from occurring and also the slowness in

helping the victims of the violence. Thus, instead of using newspaper language

Page 71: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

163

to describe the violence, Kompas preferred to use the language to describe the

impact of the violence. The implied meaning of some of the news items above

does signify this. Jakob Oetama, General Manager of Kompas argued,

Information is not just presented. It is presented in such a way that its

meaning and significance will gain clarity. Context, therefore, is the key

word if one is to be able to present such information. There must always

be a background, a process, the interrelationship, and the context.

Context is two-sided. First, it directly relates with events and problems

which constitute the sources of news and information. Context is also

interrelated with a frame of reference. If context in this sense can be

combined smartly and proactively and supplemented with critical

reflection, it may help newspapers read and present trends.

(Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times)

It is clear that in understanding the language used in the newspaper,

readers must see the context of the event being reported in attempt to

understand the issue. Sometimes the meaning has to be understood implicitly.

Unlike Kompas, Republika represented ethnic violence by emphasizing

the current situation and steps taken by the government in managing the unrest.

This was done through interviews with military officers and civil officials.

These representations can be analysed from some of Republika headlines that

state Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas (06/01/1997),

Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai (07/01/1997),

Sanggau Ledo:Rusuh di Kampung Jagung(13/01/1997), Bupati Sambas Taryo

Aryanto: Empat kali Kerusuhan Hanya Antardua Suku Itu(13/01/1997), and

Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi(27/02/1997). Most

of the Republika headlines are statements made by both local and centre

government officials, military and civil. News items exhibiting current situation

and steps taken by the government in managing the unrest, for instance, are as

follows:

Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas

Pihak-pihak yang bertikai di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas,

Kalimantan Barat, Ahad siang mengadakan upacara perjanjian

perdamaian secara adat. Pelaksanaan perjanjian tersebut disaksikan

dua anggota Komnas HAM, Asamara Nababan, SH dan Muhammad

Salim SH...

Page 72: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

164

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

“Kami harapkan perdamaian semacam itu akan ditindaklanjuti sampai

Pemda tingkat II,’ harap Pangdam XII/Tanjungpura Mayjen TNI

Namuri Anoem S setelah menerima laporan adanya upacara itu,

kemarin di Singkawang

Dalam perjanjian tersebut – seperti yang dilakukan di Desa

Pangmilang – antara lain disebutkan bahwa kejadian tersebut sebagai

kesalahpahaman akibat informasi dan berjanji tidak akan saling

dendam…

(Republika 06/01/1997).

Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai

Panglima ABRI Jenderal TNI Faisal Tanjung menyatakan, masalah

kerusuhan antarkelompok yang terjadi 29 Desember 1996 di Sanggau

Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sudah selesai. Aparat

keamanan sudah dapat mengatasi sepenuhnya. ‘Sudah selesai, sudah

selesai’” kata Pangab kepada wartawan di Jakarta, Senin, ketika

ditanyai tentang perkembangan kasus tersebut.

...Saat menjawab pertanyaan apakah ABRI melihat aksi kerusuhan

massa akhir-akhir ini yang merebak di berbagai daerah, terdapat pola

yang mengorganisasinya, Feisal mengatakan, “Pola apa, tidak ada

pola-pola.” Meskipun demikian, Pangab minta wartawan

menyampaikan berita yang benar.”Kalian dengar tadi apa yang

dikatakan Pak Harto. Kalau tulisan kalian ‘ngaco’, itu sangat

mempengaruhi orang lain, memutarbalikkan kenyataan. Janganlah

memutarbalikkan pendapat orang,” katanya....

…Ditanyai tentang suasana saat ini, menurut Nababan, sudah jauh

lebih baik dan bila meminjam istilah Pangdam VI/Tanjungpura,

kondisinya makin mendekati titik nol. Adanya upacara adat sebagai

peringatan perdamaian dari kedua kelompok yang bertikai, menurut

dia, menunjukkan suasana yang menyejukkan bahkan di sebagian

anggota kelompok sudah melepaskan ikatan kepala. Namun baik

Nababan maupun Muhammad Salim sependapat bahwa untuk

menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas tidaklah mudah.

Upacara adat sebagai tanda perdamaian yang dilangsungkan di

beberapa desa saat ini, semua itu sifatnya baru sampai tahap

menyejukkan, kata Nababan. “Tindakan lebih lanjut harus ada

partisipasi nyata dari kedua pihak.”

(Republika 07/01/1997.

Page 73: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

165

Based on the two news items above, Republika stressed the government

attempts to bring peace between the two groups through traditional peace

ceremonies. The implied meaning signifies the unpreparedness of the military

in analysing the violence before it occurred or when the violence was still in

progress. Short statements from the commander of the armed forces also

represented this. The facts later proved that the violence lasted for one and a

half months. Whereas the quotation of statements from member of NHCR

signifies that the government should not rely on traditional peace ceremonies to

stop the violence without searching for the root of the problem. Although it did

not clearly and directly criticize government efforts to solve the problem,

Republika had tried to see the issue from critical perspective.

The publication of the statement from the commander of the armed

forces indicates that press must report the issue carefully. The policy of SARA

had become a very effective political and legal instrument for the military to

control the press. It is noteworthy that the military were active censors toward

the press and did not merely rely on KOPKAMTIB and BAKIN which

politically represented military monitoring and controlling bodies over political

activities within societies, including the press. Nevertheless, there had been an

attempt from the newspaper institutions to use the language cleverly and

meaningfully in representing the issue.

In summary, the use of covered, polite and euphemistic reportage style,

as shown by Kompas, and the dominant use of government news sources whilst

implicitly criticising the government, as shown by Republika, signify how the

Indonesian newspapers institutions accommodated the political situation during

the New Order government into their editorial policies in reporting ethnic

violence. It is then reflected in the newspaper language.

Another finding from the textual analysis of newspaper language in both

Kompas and Republika newspapers was how both newspapers used the

language to represent the causes of the violence. Basically, both newspapers

portrayed two aspects of the violence. First, was the root of the violence, which

was based on the New Order government politics of development that

incorporated the policy of SARA. Second, was the way the government

handled the violence.

Kompas first coverage of the violence was on 2 January 1997 entitled

‘Keamanan di Sanggau Ledo Terkendali’ concentrated on the military approach

to handling the violence. Kompas' care in reporting the issue can be seen from

the placement of the article in page 15, which was set for national news articles,

and the content of the article, which includes statements from government

(military officers) and steps taken to prevent greater violence. At the end of this

Page 74: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

166

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

article Kompas emphasized the existence of government companies in the area

of violence as follow:

Komoditas utama Kalbar tercermin di Sambas. Di situ ditemukan

perkebunan karet, kopra, lada dan sawit. Sebagian perkebunan ini

dikelola PT Perkebunan Nusantara XIII yang antara lain memiliki

kantor di Kecamatan Samalantan. Hari Rabu malam banyak telepon

yang masuk ke kantor redaksi Harian Kompas. Mereka umumnya

menanyakan situasi di Sanggau Led.

(Kompas, 02/01/1997).

Here, Kompas used covered, euphemism newspaper language which

contained implied meanings. Rubber, copra, white and black pepper and oil

palm plantations represented government development projects, which had

overtaken tribal land of indigenous people through the Agrarian Law No.5. PT

Perkebunan Nusantara XIII (a government-owned company) represented the

government extension hand in exploiting the natural resources for the benefit of

elite in Jakarta. In running the project, instead of using indigenous workers, the

government preferred to use migrants (Madurese people) as workers. Thus, the

policy had marginalized indigenous people and created social and economic

gap between migrants and indigenous people. Meanwhile calls accepted at the

editorial desk signifies that Kompas was pressured to carefully report the

violence.

Another way of reporting news about government complicity in the

violence was by publishing opinions of political analysts or other sources like

member of NCHR (National Commission of Human Right). Some of the news

items are Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny

(06/01/1997), Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan (19/02/1997),

and Kekerasan Massa dan Kekerasan Struktural (20/01/1997). One of the news

items above read as follow,

Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Amin Rais

menyatakan,”…Republik ini yang berdasarkan kemajemukan agama,

etnis, dan ras seperti sangat terancam. Sumbernya bukan SARA (suku,

agama, ras dan antargolongan) itu sendiri, tapi kesewenang-wenangan

dan kezaliman ekonomi yang berlangsung cukup lama sehingga rakyat

banyak sudah tidak tahan lagi.”

Page 75: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

167

Amien melihat kerusuhan hanya bisa terkendali jika ada program-

program yang jelas untuk memberdayakan ekonomi masyarakat

banyak. Menurut dia, program-program yang ada sekarang seperti

proyek Jimbaran dan penyisihan dua persen dari keuntungan

perusahaan memang akan berjalan, tapi kemungkinannya, “Doesn’t

make any difference.”

(Kompas 06/01/1997)

From the news item above, Kompas use newspaper language to represent

the complicity of the New Order regime in the violence. Through opinions from

some political analysts, Kompas implicitly criticized the New Order

development SARA policies that had created the gap within society as the

trigger of mass violence. Whereas Amien Rais, a figure that openly criticized

the Suharto leadership and military involvement in the government structure,

was represented as the leader of one of the biggest Moslem organization in

Indonesia instead of a political analyst. By doing this, Kompas expected that the

government would pay more attention to the issue being presented in the news.

Thus, in using newspaper language to portray the government complicity in the

violence, Kompas combined its reportage through formal, polite, covered and

euphemistic reportage style and utilized the opinions of political analysts and

other non-government sources.

Republika, on the other hand, used different newspaper language in

representing government complicity in the event. Republika represented this

through the reportage of previous violence that involved both ethnic groups

which had occurred several times. The reportage also emphasized the violence

that occurred in places where many government projects were situated. To

achieve this, Republika did not merely report what government news sources

said. Rather, it used contradictive newspaper language by quoting statements

from government officials regarding the violence to signify the possibility of

political interests involved in the issue. Thus, quotation of government officials

by Republika in its reportage of the violence contains two arguments: first, to

deal with government policy in reporting SARA issues; and second, to

represent the government as the source of ethnic violence. What is also

significant is that Republika was founded with the involvement of Habibie, who

was Suharto’s trusted man during the New Order era.

Page 76: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

168

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

In one of its news items entitled Sanggau Ledo:Rusuh Di Kampung

Jagung on 13 January 1997, Republika emphasized on how small cases of

youth fighting could turn into mass SARA violence. Some parts of the news

item states,

Bagi Uray Faisal Hamid, orang Sambas yang menjadi anggota DPR RI

dari daerah pemilihan Kalbar, akar persoalan adalah kesenjangan

sosial yang menganga antara suku setempat dan pendatang…

Melihat tiga peristiwa serupa pada 1977, 1979 dan 1983, memang

tampak pertikaian selalu saja terjadi antara warga suku Dayak dan

suku pendatang yang sama. Meskipun pertikaian selalu diakhiri ikrar

damai, bara d iantara mereka rupanya tak pernah benar-benar padam.

(Republika,13/01/1997).

By writing about violence that had been occurred for several times for

quite long time, Republika sent a message to the government to seriously pay

attention to this ethnic violence issue.

In summary, both newspapers had represented the government

complicity in the violence. From the two analysed newspapers, the press

demonstrated how they set particular newspaper language in order to convey

their message without transgressing government controls. This is what Jakob

Oetama, the chairman of Kompas, said the press must know how to play. In

relation to government's management of the violence, Kompas and Republika

quoted statements from military officers and other figures like the Chairman of

MPR and local opinion leaders. Both dailies avoided writing opinions and let

its readers construct the meaning of the violence through the presentation of

facts and contextual information which appeared in the language used.

CONCLUSION

The usage of language in newspaper in representing issue of ethnicity

principally relates to many factors. Some of them, as identified in this research,

are political context, editorial policy, and news orientation. The interplay of

these factors leads to perspective of a newspaper institution in representing the

issue.

The coverage of issue of ethnic violence is not merely about the position

(intensify, neutral or diminish) of a newspaper in the violence. There are many

other perspectives to report the issue of ethnic violence without exacerbating it.

Page 77: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

169

Kompas and Republika newspapers emphasized on humanitarian and sources of

violence in representing the issue. The policy of SARA introduced by the New

Order regime, editorial policies which were influenced by mission and vision of

newspapers institutions, and orientation of news coverage which avoid to

directly report the process of violence had resulted in the variety of language

used in reporting the issue.

However, it was done through cautious, polite and closed reportage style

due to the maintenance of strong control over the press. The ramification of

these findings is, in fact that the language used by the newspaper institutions

during the New Order regime had been engaged in the struggle to give more

balanced and fair coverage of the issue.

BIBLIOGRAPHY

Hartley, John. 1995. Understanding New., London: Routledge.

Hill, David. 1990. ‘Publishing within Political Parameters’. Inside Indonesia.

Melbourne. No. 23, June, pp.16-7.

Katjasungkana, Nug. 1999. ‘Konteks Sosial Historis SARA’ dalam Sandra

Kartika & M Mahendra (Ed.). Dari Keseragaman Menuju Keberagaman,

Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.

Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times.

Krisnamurthi, Indra. 2002. Kerusuhan, Stigma SARA, dan Partai, [Online].

Available at: http://ww.bubu.com/kampus/juli98/lipsus.htm [2002,

December 20]

Prayudi. 2003. Press Coverage of Ethnic Violence. Unpublished Thesis. RMIT

University, Melbourne, Australia.

Sindhunata. 2001. ‘Menatap Masa Depan Humanisme di Indonesia Bersama

Kompas’ dalam St Sularto. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta:

Penerbit Buku Kompas.

Page 78: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170

170

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Kompas’ news items:

Keamanan Di Sanggau Ledo Terkendali (02/01/1997)

Pengungsi Di Singkawang Kekurangan Pangan (04/01/1997)

Kami Harus Tinggal Dimana? (12/01/1997)

1.094 Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo (13/01/1997)

Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar (28/01/1997)

Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny (06/01/1997)

Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan (19/02/1997)

Kekerasan Massa Dan Kekerasan Struktural (20/01/1997)

Republika’s news items:

Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai Di Sambas (06/01/1997)

Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai (07/01/1997)

Sanggau Ledo: Rusuh Di Kampung Jagung (13/01/1997)

Bupati Sambas Taryo Aryanto: Empat Kali Kerusuhan

Hanya Antardua Suku Itu (13/01/1997)

Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi (27/02/1997)

Page 79: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

171

Media Literacy:

Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

Rahayu8

Abstract: The complexcity of the media’s problem in determining media

policy can not be solved only by structural approach. The cultural

approach is also needed in getting people participation and involvement

to solve that problem. When the effect of media become an important

issue in the relationship between media and the public, the media

should not only be regulated, but the public should be involved and

given the opportunity to play important role making the media to be

part of public life and helping the public to solve their life. People’s

empowerment in this cultural approach can be conducted through the

program of media literacy. This movement as a public power and

identity certainly has influence to the media.

Keywords: media effects, media literacy and public empowerment

Sejauh ini persoalan media massa dan masyarakat umumnya berkaitan

dengan “intervensi” media dan ketidakberdayaan publik atas dampak media.

Media massa digambarkan terlampau hebat dengan efek pengaruh yang sangat

kuat, sementara publik dicerminkan sebagai makhluk tak berdaya dan korban

dari “kebrutalan” media. Sejumlah teori dan kajian-kajian menyangkut media

dan masyarakat memberikan legitimasi pada pandangan tersebut hingga terus

saja direproduksi dari waktu ke waktu, bahkan kebijakan tentang media massa

condong ditujukan untuk mengatur institusi media daripada masyarakat. Meski

kebijakan pengaturan media dimaksudkan untuk melindungi hak-hak

masyarakat namun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya merefleksikan relasi

media dan masyarakat.

8 Rahayu adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM dan Koordinator

Peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer

Page 80: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

172

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Relasi masyarakat dengan media tidak bersifat mekanis dan linear namun

multidimensi, menyangkut berbagai aspek sosiologis. Dalam konteks ini

masyarakat seharusnya dipandang sebagai pihak yang aktif dalam berhubungan

dengan media massa. Namun sayangnya, sebagian masyarakat sendiri juga

tidak memahami serta menyadari pentingnya persoalan ini dan justru

“terbenam” dalam hingar bingar perkembangan media yang ada. Di sinilah

orientasi kebijakan perlu bertumpu pada masyarakat untuk meningkatkan

identitas diri dan kemampuannya dalam berhubungan dengan media.

Kebijakan media literacy dalam kaitan ini semakin mendesak dan

penting untuk meningkatkan kekuatan masyarakat ketika berinteraksi dengan

media. Media literacy dapat diandalkan untuk memberikan edukasi kepada

masyarakat tentang bagaimana mengakses media, memilih pesan, memaknai

bahkan mengkritisinya. Melihat arah perkembangan media massa yang semakin

kompleks, baik dari segi format maupun content-nya karena dukungan

teknologi informasi yang semakin canggih, media literacy dapat diharapkan

mengatasi pengaruh media di masyarakat. Pada akhirnya masyarakat sendirilah

yang seharusnya dapat menentukan sikap terhadap gencarnya pengaruh media.

Tulisan ini mengurai bagaimana media literacy seharusnya menjadi

agenda “pendidikan” nasional di Indonesia. Urgensi media literacy tidak saja

terkait dengan prediksi perkembangan media massa dan teknologi informasi

yang semakin canggih di masa depan, tetapi juga menyangkut problematik

tayangan televisi yang kian meresahkan di kalangan masyarakat. Meski

beberapa kelompok aktivis media telah memulai bahkan melakukan media

literacy namun kegiatan tersebut terkesan parsial. Perlu dorongan yang kuat

agar media literacy menjadi gerakan nasional untuk membebaskan masyarakat

dari pengaruh media.

Untuk memberikan uraian yang komprehensif, tulisan ini akan dimulai

dari pemaparan refleksi kualitas program tayangan televisi yang kian hari kian

tidak bermartabat. Kemudian bahasan pun menyentuh aspek kritik terhadap

media yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pengharapan publik. Uraian

tentang Pervasive Presence Theory disajikan dalam dialog ini untuk

memberikan penekanan bagaimana pertarungan memperebutkan private place

menjadi isu penting saat ini. Bahasan terakhir akan dikaitkan dengan telaah

kritis gerakan media literacy di Indonesia dan konsep-konsep sentral media

literacy yang dapat diterapkan.

Page 81: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

173

REFLEKSI RENDAHNYA “MARTABAT” TV KITA

Pertelevisian Indonesia mulai awal tahun 1990-an menunjukkan

perkembangan yang luar biasa. Hingga saat ini tidak kurang dari 50 institusi

penyiaran televisi beroperasi—baik di Jakarta maupun di sejumlah daerah lain

di luar Jawa. Dari segi kuantitas, tentu saja jumlah tersebut sangat

menggembirakan bahkan terkesan begitu fantastis untuk sebuah negara

berkembang dan baru bangkit dari krisis. Namun, dari sisi kualitas,

perkembangan televisi di Indonesia justru sangat memprihatinkan.

Keprihatinan terhadap kualitas televisi di tanah air terkait dengan

tayangan-tayangan program yang masih saja berkutat pada kekerasan, kisah

cinta yang naif, ketimpangan si miskin dan si kaya, kekonyolan dan kebloonan

serta hantu-hantuan. Tayangan-tayangan semacam itu nyaris dapat dijumpai di

setiap waktu di semua stasiun-stasiun televisi swasta yang beroperasi saat ini.

Acara-acara sinetron yang menampilkan tokoh antagonis dengan ekspresi yang

ekstrim—mata melotot, bibir tersungging sinis dan gigi mengerat kaku—

menghasut publik akan eksistensi manusia jahat dan mengerikan. Sinetron

bertema anak dengan desain skenario ala remaja atau orang dewasa

menumpulkan logika publik dan menjebaknya dalam realitas semu. Beberapa

acara reality show yang menebar mimpi dan sebagian besar melanggar area

privat memperdaya publik untuk memaklumi dan menghalalkan area privat

menjadi konsumsi massa. Belum lagi menyoroti tayangan-tayangan berita

kriminal yang tidak etis karena terlalu banyak menampilkan kekerasan,

eksploitasi korban, darah dan kengerian-kengerian lainnya. Karakteristik

tayangan televisi saat ini nampaknya kurang mendidik dan cenderung amoral

Program televisi pun cenderung seragam. Keseragaman ini menunjukkan

bagaimana sikap pengelola televisi yang kurang tanggap—atau kemungkinan

besar tidak peduli—dengan nilai-nilai inovasi. Akibatnya, paritas program tidak

beranjak dari sinetron, reality show dengan tema-tema yang nyaris sama, kuis,

ngerumpi selebritis dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan di sini

acara hantu-hantuan yang nyaris serupa di beberapa stasiun televisi, mulai dari

“Dunia Lain” (TRANSTV), “Gentayangan” (TPI) sampai “Pemburu Hantu”

(LATIVI). Juga berita-berita kriminal yang nyaris sama seperti “Sergap”

(RCTI), “Jejak Kasus” (INDOSIAR), “Buser” (SCTV) dan sebagainya. Kasus

lain menyangkut program acara selebriti, dapat dijumpai di sini “Cek & Ricek”

(RCTI), “Lipstik” (ANTEVE), “KISS” (INDOSIAR), “Kroscek” (TRANSTV),

“Peri Gosip” (RCTI) juga “Kabar-Kabari” (RCTI).

Tidak dapat dipungkiri sikap pengelola media yang kurang tanggap

dengan inovasi disebabkan oleh ketergantungan mereka terhadap angka rating.

Logika rating telah mencetak pengelola media menjadi follower handal dari

Page 82: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

174

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

program-program yang terlebih dulu berhasil menembus angka rating tinggi.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana KDI (Kontes Dangdut Indonesia)

yang disiarkan TPI dan juga KPI (Kontes Pelawak Indonesia) yang segera

menyusul, mengikuti jejak keberhasilan AFI (Akademi Fantasi Indonesia) yang

ditayangkan Indosiar. Nampaknya cara ini yang ditempuh oleh kebanyakan

pengelola media untuk mengurangi resiko dari kegagalan produksi program.

Beginilah kalau kapitalisme menggerakkan industri penyiaran, performa

institusi penyiaran televisi pun selalu dikaitkan dengan kemampuannya meraup

iklan dan urusan kualitas dinomorsekiankan.

Bertolak dari fenomena tersebut, ketimpangan antara harapan publik dan

harapan pengelola terhadap kualitas program televisi dapat ditelusuri. Publik

dengan variasi karakter, kondisi, kebutuhan dan kepentingan yang beragam

menuntut peran media yang bervariasi. Parameter yang digunakan publik untuk

menilai kualitas program pun bisa jadi berbeda-beda karena ketidaksamaan

latar belakang sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini yang kemudian

menyebabkan respon publik terhadap tayangan televisi menjadi beraneka

ragam. Sementara itu, logika rating justru mendorong pengelola media hanya

tanggap pada program-program dengan audiens terbanyak. Hanya program-

program yang ditonton oleh sebagian besar orang—tergambar pada angka

rating tinggi—yang akan diproduksi dan ditayangkan karena berkorelasi

dengan pendapatan iklan. Program acara merupakan komoditas barang

dagangan yang bernilai komersial tinggi. Bagaimana merancang program yang

laik jual merupakan bagian terpenting dalam aktivitas industri media. Meski

validitas penghitungan angka rating masih menjadi perdebatan di sejumlah

kalangan media, namun hingga kini masih terus menjadi rujukan utama.

Akibatnya, pengharapan publik di luar keinginan mayoritas (di luar selera

pasar) dan orientasi terhadap nilai-nilai yang lebih bermanfaat bagi publik

menjadi terabaikan.

KRITIK, EKSPRESI PENGHARAPAN PUBLIK

Ribut-ribut tentang kualitas program televisi dapat dimaknai

merefleksikan pengharapan masyarakat yang cukup tinggi terhadap institusi

penyiaran tersebut. Sikap masyarakat yang demikian dalam perspektif

struktural berhubungan dengan pengharapannya terhadap fungsi media sebagai

institusi sosial. Media massa, termasuk televisi, dipersepsikan mampu

memberikan manfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan informasi dan

pengetahuan, hiburan serta sarana yang mendukung kemampuan sosialisasi

dengan lingkungannya. Dalam kerangka praktis, media dipercayai mampu

membantu masyarakat merancang agenda, menetapkan tujuan dan memaknai

Page 83: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

175

perubahan lingkungan hingga memudahkannya beradaptasi dengan lingkungan

sosial yang lebih luas.

Media massa sebagai sebuah institusi sosial antara lain menjalankan

fungsi-fungsi institusi sosial tradisional. Fungsi institusi pendidikan misalnya

dapat dijalankan oleh televisi karena kemampuannya mentransmisikan pesan-

pesan edukasi kepada khalayak luas. Program-program “Discovery Channel”

misalnya memberikan informasi dan pengetahuan kepada publik secara jelas

dan gamblang mengenai berbagai fenomena alam semesta.

Kekuatan televisi dalam menyuguhkan pesan-pesan audio visual telah

menjadikannya media hiburan yang sangat popular di masyarakat. Fungsi-

fungsi teater, gedung bioskop, pagelaran musik dan sebagainya hadir di layar

kaca hingga masyarakat tidak perlu beranjak dari ruang privatnya untuk dapat

menikmati hiburan. Tidak hanya itu, televisi memiliki kekuatan menciptakan

rasa membership in group tanpa seseorang harus melakukan kontak fisik.

Tayangan program AFI dan KDI perlu diakui telah melahirkan komunitas-

komunitas audiens yang cukup solid. Partisipasi mereka dalam memberikan

dukungan via sms kepada tokoh pujaannya menunjukkan bagaimana televisi

berhasil mengembangkan “identitas” kelompok.

Lebih strategis lagi, masyarakat juga sangat mengharapkan media dapat

memberikan referensi dalam menata atau mengatasi problem kehidupannya.

Melalui informasi yang disajikan, media memiliki kekuatan dalam memetakan

isu-isu tertentu hingga tidak menutup kemungkinan audiens menjadikannya

acuan dalam mengambil keputusan. Melihat fenomena ini Potter menyatakan:

“We all live in two world: the real world and the media world. The

real world is where we come in direct contact with other people,

locations and events. Most of us feel that the real world is too limited,

that is, we cannot get all the experiences and information we want from

just the real world. In order to get those experience and information,

we journey into the media world”. (Potter, 2001: vii)

Harapan masyarakat yang sedemikian besar terhadap fungsi televisi

menuntut tayangan-tayangan program yang berkualitas. Sayangnya, fungsi

tersebut masih saja jauh dari harapan. Ketika tayangan-tayangan tersebut

menyodorkan selera rendah, tidak mendidik dan jauh dari nilai-nilai sosial-

budaya, masyarakat menjadi kecewa, “marah” bahkan frustasi. Sikap demikian

sekaligus menunjukkan bagaimana masyarakat begitu peduli dengan rendahnya

“martabat” penyiaran televisi saat ini.

Page 84: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

176

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

PERVASIVE PRESENCE THEORY DAN PERJUANGAN

MEMPERTAHANKAN PRIVATE PLACE

Meski persepsi akan buruknya kualitas tayangan televisi menyebar luas

di kalangan masyarakat, masih saja media berlayar kaca tersebut menjadi

tontonan yang “menarik” dan ditunggu-tunggu. Ada sebagian acara yang

ditonton lalu dipuji-puji karena mampu menghadirkan hal baru dari tayangan

biasanya (misalnya: “Bajaj Bajuri”) tetapi ada pula tayangan yang (tidak

mungkin tidak) ditonton meski juga dicaci maki karena jauh dari kualitas yang

diharapkan (misalnya: tayangan berita kriminal dan hiburan reality show).

Kehadiran televisi di masyarakat nampaknya sulit dibendung. Tragisnya,

sementara orang tua dapat menghindari televisi karena kesibukan bekerja, anak-

anak di rumah justru keranjingan mencari program tayangan yang

menggembirakannya tanpa disadari oleh orang tuanya. Pervasive Presence

Theory mengisahkan bagaimana televisi menerobos masuk dalam private place

tanpa peringatan dan menjangkau baik anak-anak maupun orang dewasa tanpa

mampu mereka menghindar dan menghentikannya (Dominick, 2004:230).

Layaknya public place, televisi hadir mengoyak-oyak private place dengan

membebaskan “orang-orang asing” memasuki area tersebut. Masyarakat tidak

dapat menghindar karena tidak memiliki alternatif lain. Beralih program berarti

mengkonsumsi hal yang sama di channel lain. Televisi (terutama yang privat)

yang beralih fungsi menjadi etalase produk-produk kapitalis dan karakter

teknologinya yang canggih hadir menerobos private place tanpa ampun.

Dalam situasi demikian regulasi penyiaran sangat penting untuk

mengendalikan program-program tayangan televisi. Regulasi di sini tidak

hanya mengatur masalah seleksi isi media namun juga perlu menyentuh aspek

sosiologis yang mempertimbangkan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan

media. Perilaku masyarakat menonton televisi mulai dari memilih, mengakses

dan memaknai program televisi berhubungan erat dengan relasi-relasi sosial.

Pemberian kode pada tayangan program televisi pada dasarnya merupakan

kemajuan dan merefleksikan bagaimana kontrol media seharusnya dalam

masyarakat yang dimulai dari keluarga—termasuk bagaimana orang tua

membimbing anak-anaknya ketika mengkonsumsi media. Pada tataran inilah

peran aktif masyarakat justru menjadi penting.

Ketika isu kontrol terhadap media diharapkan datang dari masyarakat,

sikap masyarakat sendiri terhadap media perlu diperjelas. Komitmen, kesadaran

dan kegairahan masyarakat untuk mempertahankan private place-nya perlu

dibangun. Dalam konteks ini bekal pengetahuan untuk menjadikan masyarakat

Page 85: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

177

kuat dan berdaya menghadapi media perlu direalisasikan. Salah satu solusi

adalah dengan gerakan media literacy.

URGENSI MEDIA LITERACY DI INDONESIA

Bertolak dari kecemasan akan dampak media sekaligus pengharapan

publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak terhindarkannya

“serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan masyarakat, perlu

kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan direalisasikan secepatnya di

Indonesia. Luis V. Teodoro, seorang profesor bidang jurnalistik dari University

of the Philippines, mengingatkan:

“The power of the media and their omnipresence require a public that

can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public

must be media literate if it is not to be manipulated by the various

interest, biases and failings that drive the media even in –some argue

specially in- regimes of media freedom.” (Teodoro, 2002: 134).

Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan kunci

penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan perkembangan

teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke waktu semakin

dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat beragam. Perisai

pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu sebagai anggota

masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan pengetahuan tentang media

melalui media literacy.

Dalam menangani keresahan publik atas tayangan televisi pada dasarnya

dapat juga diharapkan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga

independen ini bahkan telah membuat keputusan tentang Pedoman Perilaku

Penyiaran dan Standar Program Siaran yang seharusnya menjadi acuan bagi

Lembaga Penyiaran dan Komisi Penyiaran untuk menyelenggarakan dan

mengawasi penyiaran di Indonesia. Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan

panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan/atau

tidak diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran.

Sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa

yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam

program siaran. Kedua keputusan tersebut menjadi panduan bagi Lembaga

Penyiaran dalam menentukan standar isi siarannya. Meski kebijakan tersebut

telah dicetuskan dan disahkan, namun sejauh ini belum diketahui tingkat

efektivitasnya dalam memandu tayangan-tayangan program yang ada.

Page 86: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

178

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Jauh sebelum KPI dan kebijakannya lahir, aktivitas media watch sudah

sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media dan

advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media pada dasarnya telah cukup

memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun

sayangnya aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena

berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat

cenderung pasif. Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring

tentang media—mana saja yang tidak profesional dan melanggar etika—atau

sebatas mengadukan media-media yang tidak profesional dan melanggar etika

pada institusi yang relevan. Lain halnya dengan media literacy, aktivitas ini

menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu

bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan memaknai serta

menyerap pesan media. Tanpa mengesampingkan peran media watch, media

literacy merupakan altrenatif solusi bagaimana “mencerdaskan” masyarakat

dalam menyikapi media. Bahkan media watch harus terus dikembangkan

karena berfungsi mengontrol performa media dan membantu publik dalam

advokasi ketika hak-haknya sebagai warga negara dilanggar.

Mendesaknya gerakan media literacy juga terkait dengan perkembangan

media massa di Indonesia yang pesat dengan variasi isi media yang semakin

beragam. Kemajuan media massa sejauh ini justru tidak membawa pengaruh

pada banyaknya informasi yang didapat oleh masyarakat. Isu diversity of

content dalam demokratisasi media yang diorientasikan mampu memberikan

berbagai alternatif variasi isi dan perspektif media nampaknya tidak (semoga

saja belum adanya) membuat masyarakat kaya informasi. Masyarakat tetap saja

tidak mendapatkan informasi multiperspektif dari ragam media dan tayangan

program yang ada. Kondisi ini jelas dipicu oleh homogenitas program dan

keseragaman perspektif dalam penyajian informasi.

Gejala lain menunjukkan adanya paradoks, di satu sisi keberadaan

informasi berlipat ganda baik secara kuantitatif (jenis dan item) maupun

kualitatif (topik yang diangkat semakin luas), namun di sisi lain ada

kecenderungan individu-individu yang berinteraksi dengan media justru tidak

mampu mengolah, memilah dan memanfaatkan informasi yang mereka peroleh.

Bagaimana masyarakat berkeluh kesah tentang pemberitaan televisi, mengecam

acara-acara hiburan dan mengkambinghitamkan media sebagai stimulator

tindak asosial menunjukkan gejala tersebut. Di sinilah media literacy penting

artinya bagi individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan

individu dalam menghadapi atau mengakses media. James Potter

mendefinisikan media literacy sebagai:

Page 87: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

179

“A perspective that we actively use when exposing ourselves to the

media in order to interpret the meaning of the messages we counter.

We build our perspective from knowledge structure. To build our

knowledge structures, we need tools and raw material. The tools are

our skills. The raw material is information from the media and the real

world. Active use means that we are aware of the messages and are

consciously interacting with them” (Potter, 2001: 4).

Pengertian tersebut menekankan pentingnya struktur pengetahuan yang

dimiliki individu agar dapat aktif menafsirkan makna pesan yang disampaikan

oleh media. Di mana struktur pengetahuan tersebut dibangun dari keahlian yang

dimiliki dan informasi yang diterima baik dari media maupun dari lingkungan

(dunia) nyata.

Keahlian di sini diklasifikasikan oleh Potter dalam dua bentuk. Keahlian

pertama merupakan keahlian dasar yang meliputi aspek: 1) Expore, berupa

keahlian memutuskan pajanan pesan yang dipilih dari suatu media; 2)

Recognize symbols, merupakan keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah

simbol-simbol; 3) Recognize patterns, menyangkut keahlian mengenali pola-

pola merangkaikan simbol-simbol sehingga dapat ditafsir atau dimaknai; dan 4)

Matching meaning, merupakan keahlian untuk menghubungkan simbol dengan

makna yang telah mereka miliki sebelumnya (Potter, 2001: 40-42).

Keahlian kedua disebutnya sebagai keahlian lanjut yang sangat

diperlukan untuk memaknai pesan-pesan media yang lebih kompleks yang

bisanya memiliki banyak lapisan-lapisan makna. Keahlian ini terdiri dari

message focused skill dan message extending skill. Message focused skill

merupakan keahlian menafsirkan makna pesan media massa. Keahlian ini

meliputi aspek: 1) Analysis, keahlian menjabarkan pesan ke dalam elemen-

elemen yang bermakna dengan cara menggali lapisan-lapisan makna di dalam

pesan yang tersaji di media; 2) Compare/contrast, merupakan keahlian untuk

membuat klasifikasi pesan-pesan yang memiliki persamaan dan perbedaan; 3)

Evaluation, menunjukkan keahlian menilai elemen pesan dengan

membandingkannya dengan kriteria-kriteria tertentu; dan 4) Abstraction,

merupakan keahlian untuk menyusun sebuah deskripsi pesan media yang tepat

yaitu singkat, jernih dan akurat (Potter, 2001: 44-49).

Message extending skill merupakan keahlian menjelaskan dan

menyimpulkan pesan-pesan media massa yang diterima. Keahlian ini terdiri

dari: 1) Deduction, keahlian menggunakan prinsip-prinsip umum untuk

menjelaskan hal-hal khusus; 2) Induction, keahlian untuk menarik kesimpulan

mengenai pola-pola umum melalui pengamatan terhadap hal-hal khusus; dan 3)

Page 88: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

180

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

Synthesis, keahlian untuk menyusun kembali elemen-elemen menjadi suatu

struktur baru (Potter, 2001: 50-52). Kesemua keahlian tersebut yang pada

akhirnya menentukan tingkat media literate individu.

Menurut Potter, media literacy merupakan suatu kontinum. Semua orang

pada dasarnya melek media, tidak ada yang benar-benar tidak melek media dan

tidak ada pula yang benar-benar melek media. Semua pada dasarnya melek

media meski berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Porter menilai, semakin

tinggi tingkat media literacy yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak

makna yang dapat digalinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat media literacy

seseorang, semakin sedikit atau dangkal pesan yang didapatnya. Seseorang

yang tingkat media literacy-nya rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan

pesan, keberpihakan media, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi atau

satire dan sebagainya. Bahkan kemungkinan besar orang tersebut akan dengan

mudah mempercayai dan menerima makna-makna yang disampaikan media apa

adanya tanpa berupaya mengkritisinya.

Ungkapan senada disampaikan oleh Patricia Aufderheide (Berg, 2004:

219-228), media literacy diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan

individu dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menyusun

informasi dalam variasi format media. Menurutnya, media literacy meliputi

kemampuan warganegara dalam mengakses, menganalisis dan memproduksi

informasi untuk suatu outcome yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan

kepentingannya. Karena itu, Aufderheide menghubung-hubungkan media

literacy dengan critical autonomy di tingkat individu dalam mengakses media.

Kedua definisi ini menolak pemahaman sempit media literacy yang

hanya berkaitan dengan kemampuan membaca (memahami) dan memproduksi

media. Jauh dari itu, media literacy mencakup aktivitas mempertanyakan,

menganalisis, mengevaluasi dan mengkritisi informasi yang disampaikan

media. Teodoro menegaskan:

“media literacy campaign is to create a public knowledgeable on the

mass media—their professional and ethical values, standards, and

biases, as well as the legal, economic and political constraints that

impinge on media practice”. (Teodoro, 2002: 137)

Upaya mewujudkan media literacy di kalangan masyarakat di sejumlah

negara dilakukan dengan mengenalkan konsep-konsep utama tentang media

agar individu dapat memahami media secara utuh. Konsep-konsep yang

dimaksud meliputi:

Page 89: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

181

Pertama, media merupakan hasil konstruksi. Masyarakat atau dalam hal

ini individu yang berinteraksi dengan media perlu memahami adanya

korespondensi antara kenyataan (real world) dengan kenyataan yang

direpresentasikan oleh media. Bahwa media dalam merepresentasikan fakta

telah melakukan serangkaian kegiatan mulai dari mendesain, memilih,

menyeleksi dan mengedit fakta yang akan disajikan sebagai pesan media.

Memang media telah menyajikan kenyataan namun perlu ditekankan kenyataan

yang disajikan media telah melalui serangkaian proses produksi. Tidak terbatas

dalam pengertian ini, Aufderheide menambahkan, “media are constructed and

construct reality” (Christ, 2004: 92-96). Eksistensinya di masyarakat sebagai

alat komunikasi menjadikan media dikonstruksi oleh lingkungannya, baik itu

lingkungan sosial maupun ekonomi.

Kedua, representasi media mengontruksi realitas. Perlu disadari ketika

individu tidak memiliki informasi tentang suatu peristiwa dari sumber atau

referensi lain selain media, besar kemungkinan individu tersebut beranggapan

peristiwa tersebut sama dengan realitasnya. Padahal kenyataannya tidak selalu

demikian. Dalam hal ini penting artinya mengajak individu bersikap “terbuka”

untuk memperluas pengetahuannya agar individu memiliki alternatif pilihan

bagaimana memahami peristiwa yang ditampilkan di media.

Ketiga, pesan media berisi nilai dan ideologi. Masyarakat perlu tahu

bahwa media mengkonstruksi nilai dan kepercayaan tertentu, termasuk menjadi

alat ideologis bagi penguasa untuk melontarkan pesan propaganda politik atau

pun pemodal yang mendidik masyarakat sebagai konsumen produk-produk

kapitalis. Dengan begitu, masyarakat akan kritis menanggapi pesan-pesan

politik dan juga siaran niaga yang disampaikan oleh media.

Keempat, pesan media berimplikasi sosial dan politik. Media sering

dipahami hanya merefleksikan realitas sosial karenanya dinilai netral dan bebas

nilai. Namun sesungguhnya media ikut mengkonstruksi realitas—yang

kemudian diterima dan dipahami masyarakat—sehingga memiliki konsekuensi

sosial dan politik. Setiap versi realitas yang ditampilkan media merupakan hasil

seleksi atau serangkaian proses produksi berdasarkan ideologi tertentu dan

merupakan gambaran parsial dari realitas yang sesungguhnya

(www.ci.appstate.edu/program/ edmiden/medialit/article.html).

Dalam artikelnya berjudul “Media Literacy Key Concepts” John

Pungente (www.media-awarness.ca/English/teachers/media_literacy/ key_

concept.cfm) menambahkan empat konsep lainnya, yaitu: 1) Makna media

merupakan negosiasi audiens. Perlu disadari oleh masyarakat bahwa media

menyodorkan banyak materi pesan untuk dapat membangun gambaran realitas.

Masyarakat melakukan negosiasi terhadap makna pesan media berdasarkan

Page 90: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

182

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

pada kebutuhannya, kesukaannya, latar belakang budaya dan nilai-nilai yang

dianutnya; 2) Media memiliki implikasi komersial. Masyarakat perlu

memahami bahwa pertimbangan komersial mempengaruhi isi media, teknik

produksi dan distribusinya. Perlu disadari (untuk kategori privat) produksi

media merupakan bisnis dan diorientasikan untuk mendatangkan keuntungan;

3) Bentuk dan isi memiliki kaitan erat di media. Mengadopsi ungkapan Marshal

McLuhan, Pungente menyatakan “each medium has its own grammar and

codifies reality in its own particularly way”. Masyarakat perlu menyadari

bahwa kategori kejadian yang sama jika menggunakan media berbeda akan

melahirkan impresi dan pesan yang berbeda; dan 4) Masing-masing media

memiliki keunikan bentuk estetis yang disebabkan oleh karakteristiknya yang

beragam.

Konsep-konsep tersebut merupakan bagian penting dalam media

literacy karena membantu masyarakat memahami tiga esensi media massa,

yaitu: teks media, proses produksi dan cara memaknainya. Pengetahuan tentang

tiga esensi tersebut akan menentukan daya kritis masyarakat dalam menghadapi

media.

Di berbagai negara seperti di Amerika, Eropa bahkan sebagian Asia

seperti halnya di Philipina, program media literacy diorientasikan untuk

mendidik masyarakat agar memahami persoalan tentang sejarah media, media

dan masyarakat, kepemilikan media, konsep berita, nilai-nilai media massa,

kebebasan pers dan hak publik atas informasi serta dinamika media baru.

Cakupan tema tersebut terkesan luas dan umum, namun memiliki peran besar

dalam membangun struktur pengetahuan masyarakat tentang media.

Meski media literacy merujuk pada pengertian konsep yang lebih

spesifik dibanding media education, namun keduanya saling berhubungan.

Bahkan pilar mewujudkan masyarakat yang melek media antara lain dapat

dirancang melalui kegiatan media education. Blake memerinci “Key Concept

for Media Education” meliputi (www.media-awarness.ca/english/

teachers/media_literacy/keyconcept.cfm): 1) Analisis Produksi Media. Materi

ini mengungkapkan tujuan produksi media, nilai-nilai pesan yang bersifat

eksplisit dan implicit, representasi media, proses produksi media dan

sebagainya; 2) Interpretasi Audiens dan Pengaruhnya. Materi ini

mengungkapkan berbagai hal menyangkut bagaimana proses menginterpretasi

pesan media dalam diri audiens, pengaruh media pada audiens baik di level

attitude, behavior maupun value, serta pengaruh audiens pada institusi media

dalam memproduksi dan menstransmisikan pesan-pesan; 3) Media dan

Masyarakat. Topik ini menjelaskan bagaimana relasi hubungan kekuasaan

antara media dan masyarakat terjadi. Termasuk dalam paparan ini adalah peran

Page 91: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

183

kekuasaan dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan dan aktivitas institusi

media serta perubahan teknologi media dalam mempengaruhi dinamika politik,

ekonomi, sosial dan dimensi intelektual masyarakat.

Konsep-konsep tersebut diperkenalkan untuk target efek yang lebih

umum berupa pengetahuan khalayak terhadap media dilihat dari sisi teks,

makna dan relasinya dengan masyarakat. Target inilah yang membedakannya

dari media literacy yang berfokus pada kemampuan khalayak dalam menyikapi

media. Media education berperan besar dalam media literacy karena

memperkaya struktur pengetahuan masyarakat sehingga tanggap bagaimana

seharusnya membangun relasi dengan media massa.

Uraian di depan secara spesifik menghubungkan media literacy dengan

pemberdayaan masyarakat, namun gerakan ini sesungguhnya memiliki target

yang lebih luas, termasuk untuk kalangan praktisi media. Dalam tulisan artikel

berjudul “Assessment, Media Literacy Standards and Higher Education”,

William G. Christ (2004) mengungkapkan dua kelompok yang menjadi target

pendidikan media literacy, yaitu praktisi media dan warga negara. Menurut

Christ, media literacy education yang ditujukan untuk kalangan praktisi media

dimaksudkan agar mereka lebih profesional. Melalui media literacy pengelola

media diharapkan menjadi semakin tahu dan menyadari program apa yang

layak disampaikan dan ditonton oleh masyarakat termasuk nilai-nilai dan

kelayakan sosial dari program tersebut.

Bertolak dari paparan tersebut, gerakan media literacy sangat penting

dan mendesak untuk disosialisasikan dan direalisasikan di Indonesia untuk

menjaga agar masyarakat tidak menjadi korban dan “bulan-bulanan” media.

Gerakan ini pun perlu diperkenalkan di kalangan praktisi media untuk dapat

memproduksi pesan—termasuk menyajikan tayangan program—yang lebih

berkualitas dan esensial bagi masyarakat. Persoalan selanjutnya, bagaimana

merancang model media literacy sesuai dengan konteks Indonesia perlu

pembahasan serius.

PENUTUP

Perkembangan media massa khususnya televisi di tanah air yang sangat

dinamis menghadirkan kontroversi di berbagai kalangan. Kontroversi tersebut

masih saja terkait dengan kualitas program (content) dan kekhawatiran dampak

media. Meski pengaturan media telah ditetapkan oleh KPI melalui kebijakan

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, namun perlu

ditopang oleh kegiatan media literacy. Aktivitas inilah yang mampu menyentuh

masyarakat bahkan sampai pada level individu untuk bertindak kritis terhadap

Page 92: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184

184

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI

media. Media literacy membuat masyarakat tahu bagaimana menyikapi media,

baik pada tataran memilih media, menyeleksi pesan, memaknai dan

mengkritisinya. Keteraturan praktek media termasuk concern pengelola media

terhadap kualitas program pada akhirnya akan banyak ditentukan oleh kekuatan

masyarakat dalam menjaga dan memperjuangkan identitas dan integritas

dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Leah R. Vande, Wenner, A. Lawrence & Gronbeck, E. Bruce. “Media

Literacy and Television Criticism: Enabling an Informed and Engaged

Citizenry”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 2 October 2004.

Christ, William G.“Assessment, Media Literacy Standars and Higher

Education”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 1 September

2004.

Dominick, R. Joseph, Messere, Fritz & Sherman, L. Barry. 2004. Broadcasting,

Cable, the Internet and Beyond: An Introduction to Modern Electronic

Media. Fifth Edt. New York: McGraw-Hill.

Potter, W. James. 2001. Media Literacy. Second Edition. New Delhi: Sage

Publication.

Teodoro, Luis V. 2002. “Empowering The Public”. Dalam Cecile C.A. Balgos

(Edt). Watching the Watchdog: Media Self-Regulation in Southeast Asia.

Bangkok: SEAPA (Southeast Asian Press Alliance) & Friedrich Ebert

Stiftung.

www.ci.appstate.edu/program/edmiden/medialit/article.html

http://www.media-

awarness.ca/English/teachers/media_literacy/key_concept.cfm

Page 93: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel

konseptual) di bidang ilmu komunikasi.

2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi

ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci

dalam Bahasa Inggris juga.

3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang

tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung.

Contoh

Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12)

Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25)

4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama

Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit.

Contoh

Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in

Digital Age. New York, McGraw Hill.

5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki

dalam halaman pertama naskah.

6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan

format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12.

7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3)

Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5)

Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan

pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8)

Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat

pustaka yang dirujuk dalam artikel).

8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak

(dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan

(tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar

Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).

9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan

kepada:

Jurnal Ilmu Komunikasi

d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281

Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748

Email: [email protected]

10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang

artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak

lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas

permintaan penulis.

Page 94: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 1 No 2 Desember 2004

Jurnal

ILMU KOMUNIKASI