jurnal dr.hendra hubungan

37
TUGAS REFERAT DERMATOLOGI-VENEROLOGI “HUBUNGAN PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN PADA URTIKARIA KRONIK” OLEH Gusti Putu Ary Dharmawan H1A 010 020 Zihan H1A 010 032 PEMBIMBING: dr. I Wayan Hendrawan, Sp.KK

Upload: muhammad-kholid-firdaus

Post on 16-Jul-2016

23 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

TUGAS REFERAT DERMATOLOGI-VENEROLOGI

“HUBUNGAN PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN PADA

URTIKARIA KRONIK”

OLEH

Gusti Putu Ary Dharmawan H1A 010 020

Zihan H1A 010 032

PEMBIMBING:

dr. I Wayan Hendrawan, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

RSU PROVINSI NTB

2016

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria (hives, biduran) adalah erupsi eritematosa yang meninggi, terjadi secara singkat

atau edema bagian dermis bagian atas dan berhubungan dengan rasa gatal. Gambaran dari

urtikaria yaitu peninggian dengan berbagai ukuran baik dengan atau tanpa dikelilingi eritema,

rasa gatal atau kadang-kadang timbul rasa terbakar dan kulit akan kembali normal, biasanya

dalam waktu 1–24 jam.1

Urtikaria merupakan penyakit dermatologis umum, 15–25% penduduk dalam waktu

tertentu dalam hidupnya pernah mengalaminya. Urtikaria dapat terjadi pada semua jenis kelamin

dan berbagai kelompok umur. Angka kejadian pada urtikaria akut (40–60%) dibandingkan pada

urtikaria kronik (10–20%), dimana urtikaria kronik ini sendiri merupakan urtikaria yang terjadi

lebih dari 6 minggu..1,2

Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek histamin terhadap

tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Secara farmakologis reseptor histamin dapat di

bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H1 dan reseptor H2. Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga

dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H1 (H1 blokers), antagonis reseptor H2

(H2 blokers).3

Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik

maupun rekuren. Antihistamin dalam dosis terapi, efektif untuk mengobati edema, eritem dan

pruritus, tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamin.2,4

Pedoman the third international consensus meeting on urticaria in 2008, bersama dengan

Dermatology Section of the European Academy of Allergology and Clinical Immunology

(EAACI), EU-funded network of excellence, the Global Allergy and Asthma European Network

(GA2LEN), the European Dermatology Forum (EDF) and the World Allergy Organization

(WAO) merekomendasikan pengobatan lini pertama urtikaria dengan pengobatan non sedatif

antihistamin H1 generasi kedua.

Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat judul “Hubungan

Penggunaan Antihistamin pada Urtikaria Kronik”.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Urtikaria

1. Definisi

Urtikaria dapat didefinisikan sebagai lesi pada kulit yang terdiri dari reaksi

inflamasi yang terlokalisasi pada intrakutaneus edema yang dikelilingi oleh area eritem

dan mengalami pruritus tipikal. Individu yang mengalami urtikaria dapat terjadi selama

30 menit hingga 36 jam. Ukurannya dapat seukuran millimeter hingga 6-8 inchi diameter

pada urtikaria besar. Urtikaria menyebar dengan tekanan dan dilatasi dari pembuluh

darah, dan juga dihitung berdasarkan central pallor dari edema. Pembuluh darah yang

berdilatasi dapat meningkatkan permeabelitas yang menyebabkan karakteristik urtikaria

yaitu terdapat pleksus venular yang terlokalisasi (fritzpatrick seven edition).

2. Epidemiologi

Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur.Urtikaria terutama

terjadi pada usia dewasa, dengan usia rata-rata 35 tahun. Urtikaria lebih banyak terjadi

pada usia dewasa daripada usia muda(fritzpatrick seven edition).

Berdasarkan data epidemiologi yang ditemukan di poliklinik Kulit dan Kelamin di

Rumah Sakit Umum Provinsi NTB didapatkan sebanyak 43 pasien yang terdiri dari 35

pasien dengan jenis kelamin wanita dan 8 pasien dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan

rentang usia berada diantara 7 hingga 81 tahun. Jenis urtikaria yang terjadi didominasi

oleh urtikaria akut dengan 19 kasus, dan disusul dengan urtikaria kronik dengan 8 kasus,

dan sisanya adalah jenis angioudem, urtikaria popular, urtikaria kontak, dan urtikaria

kolinergik.

Pada penelitian epidemiologi lainnya ditemukan 40% bentuk urtikaria, 49%

dalam bentuk hanya urtikaria 49% urtikaria yang disertai dengan angioedema, dan 11%

angioedema saja.Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang lebih dari satu tahun,

bahkan ada yang lebih dari 20 tahun. Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria

dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik

laki-laki maupun wanita, umur, ras, jabatan atau pekerjaan, letak geografis, dan

perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE.

Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.

3. Etiologi

Urtikaria terutama disebabkan oleh reaksi terhadap obat-obatan golongan antibiotic

seperti golongan sulfonamid, penisilin, analgesic, pencahar, hormone diuretic, aspirin,

kodein, opium. Makanan-makanan yang mengandung protein, mengandung zat warna,

penyedap rasa, bahan pengawet, gigitan serangga. Bahan-bahan fotosensitizer :

griseofulvin, fenotiazin, sulfonamide, bahan kosmetik, sabun gemizid. Bahan-bahan

inhalan seperti : serbuk sari, spora jamur, debu, dan bulu-bulu binatang. Trauma fisik

seperti : panas(sinar matahari, radiasi), tekanan(contohnya ikat pinggang. Infeksi dan

infestasoi, faktor psikis, genetic dan penyakit sistemik(fritzpatrick seven edition).

4. Klasifikasi

Menurut waktu, urtikaria dibagi menjadi 2 yaitu, antara lain :

a. Urtikaria akut

Terjadi dalam kurun waktu <6 minggu atau selama 4 minggu tetapi timbul setiap

hari.

b. Urtikaria kronik

Melebihi waktu dari urtikaria akut, dalam kurun waktu lebih dari 6 minggu.

Menurut luasnya, urtikaria dibagi menjadi 3 yaitu:

a. urtikaria local

b. generalisata

c. angioedema

5. Pathogenesis

Penting untuk mengetahui mekanisme dari urtikaria,karena hal ini akan

membantu pemeriksaan yang rasional. Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai

permeabelitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi yang mengakibatkan

pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai

kemerahan.

Vasodilatasi dan peningkatan permeabelitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan

mediator-mediator, misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance

anaphylaxis (SSRA), dan prostaglandin oleh sel mast dan basophil. Selain itu terjadi pula

inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik, misalnya kalkirin, tripsin, plasmin, dan

hemotripsin di dalam sel mast.Baik faktor imunologik, maupun non imunologik mampu

merangsang sel mast dan basophil untuk melepaskan mediator tersebut.

Tidak semua bahan biologis potensial yang diproduksi saat sel mast terstimulasi.

Contohnya, pelepasan substansi P dilepaskan oleh histamine dari sel mast kulit namun

tidak beregenerasi menjadi Prostaglandin D2. Permeabelitas vaskuler pada kulit

diproduksi terutama oleh reseptor histamine H1 sekitar 85% dan H2 sekitar 15%.

Faktor imunologis lebih berperan pada urtikaria akut daripada kronik; biasanya

IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila

ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka akan terjadi degranulasi sel,

sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I

(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen ini ikut berperan, aktivasi

komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin

(C5a, dan C3a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat

racun atau toksin bakteri.

Gambar: Skema Reaksi Anafilaksis (Fritzpatrick eight edition)

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan

kompleks imun, pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat

kontak dapat juga terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan pengusir serangga, bahan

kosmetik, dan obat golongan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inihibitor secara

genetic menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

6. Gejala Klinis

Keluhan subjektif yang biasanya muncul adalah rasa gatal, kemerahan, rasa terbakar, atau

tertusuk. Klinis berupa edema setempat berbatas tegas dan kadang bagian tengah tampak

lebih pucat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan lapisan mukosa

atau subkutan yang menyebabkan terjadinya angioedema.Pada keadaan ini jaringan yang

lebih sering terkena adalah muka. Gejala disertai sesak nafas, serak, dan rhinitis.

Dermografisme berupa edema dan eritema yang tersebar secara linear di kulityang

terkena goresan benda tumpul, timbul dalam waktu kurang lebih 30 menit.Pada urtikaria

akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertek, misalnya di sekitar pinggang,

pada penderita ini dermografisme jelas terlihat.

Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500

nm, timbul setelah 18-72 jam penyinaran, dan klinis berbentuk urtikaria popular. Hal ini

harus dibuktikan dengan tes foto temple. Sejumlah 7-17 % urtikaria kronik disebabkan

faktor fisik, antara lain akibat dingin, panas, tekanan dan penyinaran. Umumnya pada

dewasa muda, terjadi pada episode singkat, dan biasanya kortikosteroid sistemik

umumnya kurang memberikan efek yang adekuat.

Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan

yang memicu, dan pekerjaan berat. Biasanya bersifat sangat gatal, urtikaria bervariasi

dari beberapa mm sampai nummular dan konfluen membentuk plakat. Serangan berat

sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut, diare muntah-muntah, dan nyeri

kepala; dijumpai pada umur 15-25 tahun. Urtikaria akibat obat atau makanan umumnya

timbul secara akut dan generalisata.

7. Pemeriksaan Penunjang

Walaupun melalui anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis mudah ditegakkan

diagnosis utrikari, beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan penyebabnya,

misalnya (fritzpatrick seven edition dan Ilmu Kulit Kelamin FKUI) :

a) Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang

tersembunyi atau kelainan pada organ dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu

diperiksa pada dugaan utrikaria dingin.

b) Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk

menyingkirkan adanya infeksi lokal.

c) Pemeriksaan kadar IgE, eosinophil dan komplemen,

d) Tes kulit, uji gores (scratch test) dan uji tusuk/cukit (prick test), tes eliminasi

makanan, cie cube test urtikaria karena dingin, Tes foto temple urtikaria karena

sinar matahari (fritzpatrick seven edition).

e) Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai

untuk beberapa waktu, lalu mencobanya satu demi satu.

f) Pemeriksaan histopatologis, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu

diagnosis. Biasanya dalam kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis, gelilgi

epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permukaan tidak

tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit terutama di

sekitar pembuluh darah.

g) Pada utrikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto temple.

h) Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan padaa diagnosis utrikaria kolinergik.

8. Diagnosis Banding

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat serta pembantu

diagnosis di atas, agaknya dapat ditegakkan diagnosis utrikaria, dan penyebabnya.

Walaupun demikian hendaknya dipertimbangkan juga beberapa penyakit sistemik yang

sering disertai utrikaria. Utrikaria kronik harus dibedakan dengan purpura anafilaktoid,

pitriasis rosea bentuk popular, dan utrikaria pigmentosa. Diagnosis banding dari urtikaria

adalah purpura anafilaktoid, dan pitriasi rosea (fritzpatrick eigth edition).

Table Diagnosis Banding dari Urtikaria (Fritzpatrick Eight Edition)

9. Tata Laksana

Menghentikan obat penyebab atau kausa penyebab adalah terapi ideal, dan pemberian

obat antihistamin, kortikosteroid pada urtikaria akut dan berat. Terapi pada urtikaria

akut/angioedema adalah pemberian antihistamin dan kortikosteroid dan identifikasi dan

eliminasi faktor penyebab/pencetus baik endogen maupun eksogen. Terapi lain yaitu

dengan induksi agen C1 inhibitor, antifibrinolitik agen, kalkirein inhibitor, dan antagonis

reseptor bradikinin.

Terapi utrikaria secara fisik termasuk profilaksis antihistamin dosis tinggi, kecuali pada

utrikaria yang mengalami delayed. Terapi pada kronik idiopatik utrikaria atau autoimun

utrikaria atau angioedema utrikaria yaitu dengan pemberian kortikorsteroid harian dosis

rendah atau obat golongan siklosporin (fritzpatrick seven edition).

10. Prognosis

Urtikari akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, urtikaria

kronik lebih sulit diaatasi karena penyebabnya sulit dicari.

B. Antihistamin

1. Definisi

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek histamin

terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Anti histamin adalah zat

yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamin pada reseptornya.

Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan.

Histamin adalah autakoid yang berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada

proses yang fisiologis maupun patologis. Histamin bekerja dengan menduduki reseptor

tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan memberan. Terdapat 3 jenis reseptor

histamin H1, H2, H3; reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan

dengan protein G. Pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinaptik,

sedangkan reseptor H2 terutama prasinaptik.

Secara farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 3 tipe yaitu histamin 1

(H1), histamin 2 (H2), dan histamin 3 (H3). Peran reseptor tersebut berbeda – beda.

Reseptor H1 terdapat di kulit dan otak. Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan

kontraksi otot polos, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi mucus serta

menimbulkan rasa gatal. Reseptor H2 terutama menyebabkan rangsangan sekresi asam

lambung dan beberapa hormon. Reseptor H3 terdapat di otak dan bertanggung jawab

sebagai autoregulasi pelepasan histamin.

Aktivasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel otot polos, menyebabkan

kontraksi otot polos, meningkatkan permabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus.

Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantarai oleh peningkatan cyclic guanosine

monophosphate di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmiter dalam

susunan saraf pusat.

Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun.

Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga

berperan dalam menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan dalam

menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin menstimulasi sekresi asam lambung,

meningkatkan kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan anithistamin H2

menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus, aktivasi reseptor H1 oleh histamin

menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2

akan menyebabkan relaksasi.

Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai sistem organ.

Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan di beberapa daerah di otak mengurangi pelepasan

transmiter baik histamin maupun norepinefrin, serotononin, dan asetilkolin. Meskipun

agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai gastroprotektif, dan

antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk digunakan sebagai antiobesitas,

sampai saat ini belum ada agonis maupun anatagonis reseptor H3 yang diizinkan

digunakan di klinik.

2. Klasifikasi

a. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)

Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh

dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil apapun yang berkenaan dengan obat

ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Semisal perubahan dalam penggolongan

antihistamin H1. Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin

H1. Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular,

antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist ketimbang antagonis

reseptor histamin H1.

Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama

dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas

intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu

antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat reseptor atau

menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist,

suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.

Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia,

yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin.

Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya

menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal

denagn penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi

pertama, kedua, dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang

segnifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek

antikolinergenik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang

selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP) lebih besar dibanding

generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih banyak terikat

dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.

Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit

(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi

ketiga ini dimaksudkan untuk memproleh profil antihistamin yang lebih baik dengan

efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal.

1) Klasifikasi atau Penggolongan antihistamin 1 (AH1)

a) antihistamin generasi pertama

AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada urtikaria kronik

hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja antihistamin dalam menghilangkan

gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan

reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan

memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin tersebut digolongkan

dalam antihistamin generasi pertama.

Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai efektifitas

yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat

dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek

yang tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga

mengganggu aktifitas dalam pekerjaan.

Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini

memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat

menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang

menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa

mengantukSelain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat

antidepresan. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping

antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan

berkabut, retensi urin, konstipasi dan impotensia.

Yang termasuk golongan ini adalah:

Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat dan

tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, dimentinden

maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin maleat/pirilamin maleat.

Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin sitrat

dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin hidroklorida,

mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat, dimenhidrinat,

klemastin fumarat.

Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin sitrat

dan hidroklorida, antazolin fosfat.

Fenotiazin : dimetotiazin mesilat, mekuitazin, metdilazin dan metdilazin

hidroklrida, prometazin hidroklorida dan teoklat, trieprazin tartrat.

Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida, difenilpralin

hidroklorida, fenindamin tartrat.

Piperazin : hidroksizin hidroklorida dan pamoat.4

b) antihistamin generasi kedua

Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi

pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar

darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping

yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi

sangat baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk meringankan

gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung

pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang

pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin

pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat

mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan

gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada

penderita dengan hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai

efek terbatas dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat,

sehingga antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik.

Yang termasuk golongan ini adalah:

Akrivastin

Astemizole

Cetirizin

Loratadin

Mizolastin

Terfenadin

Ebastin

c) antihistamin generasi ketiga

Antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole dan

deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah merupakan metabolit

antihistamin generasi kedua. Tujuan mengembangkan antihistamin generasi

ketiga adalah untuk menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya,

serta menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.

Yang termasuk golongan ini adalah:

Levocetirizin

Desloratadin

Fexofenadin

2) Farmakologi

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1

Antihistamin tipe H1 bekerja dengan cara competitif inhibitor terhadap histamin

pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan serta mengaktivasi

reseptornya. (Fitzpatrick, Wolverton, Katzung Arndt) Ikatannya reversibel dan dapat digantikan

oleh histamin dalam kadar yang tinggi. (Fitzpatrick, Katzung). Dengan menghambat kerja

dari histamin, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan antihistamin, yaitu

menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan edema yang disebabkan oleh

histamin serta menghambat vasokonstriksi. Obat ini lebih efektif jika diberikan

sebelum pelepasan histamin. Pada pemberian awal, antihistamin dapat mencegah

edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas, sehingga banyak keuntungan

yang didapat jika digunakan untuk pencegahan urtikaria kronik idiopatik.Wilkin

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1 ini juga memiliki aktivitas antikolinergik,

efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk perjalanan.(Fitzpatrick, Goodman and Gillman)

Beberapa antihistamin tipe H1 mempunyai kemampuan untuk menghambat

reseptor α-adrenergik atau reseptor muskarinik kolinergik, sedangkan obat lain

mempunyai efek antiserotonin. (Fitzpatrick)

Antihistamin H1 generasi ke-2 dan ke-3

Antihistamin tipe H1 low sedating merupakan antagonis dari histamin pada

reseptor H1, berikatan secara tidak kompetitif, tidak mudah diganti oleh

antihistamin, dilepaskan secara perlahan dan kerjanya lebih lama (Wolverton, Wilkin,

Fitzpatrick) Antihistamin H1 ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus

sawar darah otak, dan lebih mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik. (Fitzpatrick, Wilkin, Wolverton, Arndt) Beberapa obat ini mempunyai membrane stabilizing atau

efek seperti kuinidine pada otot jantung, dan menyebabkan perpanjangan masa

refraksi jantung serta aritmia ventrikuler ”torsades de pointes”. (Fitzpatrick) Walaupun

golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obat-obat ini tetap dapat menyebabkan

efek sedasi, namun dalam banyak penelitian dikatakan insidensi sedasi jauh lebih

sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik, demikian pula efek

antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1 klasik. (Wilkin)

Cetirizine berpengaruh pada perpindahan sel dalam kulit dan jaringan lainnya,

pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi

molekul adhesi. (Fitzpatrick)

3) Farmakokinetik

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1

Setelah pemberian secara oral, antihistamin akan diabsorbsi dengan baik dalam

saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 30 menit, mencapai konsentrasi

puncak plasma dalam 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam, dan beberapa obat

lainnya dapat bertahan lebih lama.(Fitzpatrick, Goodman and Gillman, Katzung, Wolverton, Lippincot)

Antihistamin tipe H1 dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom hepar P450

(CYP) CYP3S4, dikonjugasi membentuk glukuronida dan hampir seluruhnya

diekskresikan ke urin setelah 24 jam pemberian. (Fitzpatrick)

Antihistamin H1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk

metabolitnya. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada

anak dan lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan pasien yang

menerima ketokonazol, eritromosin, atau menghambat microsomal oxygenas

lainnya.

Antihistamin H1 generasi ke-2 dan ke-3

Antihistamin tipe H1 low sedating diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai

puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut menghilangkan urtikaria

dan reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemizol, loratadin, aktivastin,

mizolastin, ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melalui sisitem enzim

CYP dalam hepar CYP3A4. Cetirizin, metabolit asam karboksilik dari terfenadin,

dan desloratadin tidak dimetablisme dalam hepar. (Fitzpatrick)

Astemizol mempunyai efek jangka panjang, namun onset mulai kerjanya dan

konsentrasi dalam keadaan stabil dicapai dalam 3-4 minggu. Efek astemizol

berlangsung lama dan obat harus dihentikan 4-6 minggu sebelum dilakukan uji

tusuk. Waktu paruh eliminasi cetirizin dan feksofenadin pada anak-anak sama

dengan dewasa (Fitzpatrick)

4) Indikasi

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1

Antihistamin tipe H1 generasi I digunakan untuk menghilangkan pruritus,

pengobatan urtikaria akut, urtikaria kronis, angioedema dan reaksi alergi kulit

lainnya temasuk reaksi obat. (Fitzpatrick, Wilkin) Apabila salah satu dari kelompok

antihistamin tipe H1 tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok

yang lain. (Fitzpatrick)

Antihistamin tipe H1 digunakan untuk terapi pruritus pada penderita dermatitis

atopik. Efeknya berhubungan dengan menekan ansietas dan sedasinya. Pruritus

yang disebabkan hal lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk lain

dermatitis, liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena

penyakit lain atau yang bersifat idiopatik, juga dapat dihilangkan dengan

penggunaan antihistamin tipe H1. (Fitzpatrick)

Antihistamin H1 generasi ke-2 dan ke-3

Antihistamin tipe ini berguna untuk pengobatan simptomatik berbagai penyakit

alergi dan mencegah efek sedatif. Antihistamin generasi pertama digunakan untuk

mengatasi hipersitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi, urtikaria

kronis, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa

digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. (Katzung, Wilkin)

5) Kontraindikasi

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1

Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada bayi baru lahir atau bayi prematur,

kehamilan, ibu menyusui, glaukoma sudut sempit, retensi urin, dan asma. (Wilkin)

Panduan penggunaan antihistamin tipe H1 wanita hamil terbatas. Sebagian besar

antihistamin tipe H1 pada wanita hamil oleh United States of Food and Drug

Administration (FDA) digolongkan sebagai kategori B atau C. (Fitzpatrick)

Antihistamin H1 generasi ke-2 dan ke-3

Kontra indikasi dari antihistamin low sedating ini adalah pada kehamilan dan ibu

menyusui. (Wilkin)

6) Efek samping

Pada dosis, terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek samping walaupun

jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan.

Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang

efek ini sangat menganggu sehingga terapi perlu dihentikan.

Efek samping antihistamin H1 Generasi pertama:

Sistem saraf pusat

Komplikasi tersering pada orang dewasa adalah depresi SSP, sedasi dan

pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat terjadi: kecemasan, iritabilitas,

insomia, tremor dan mimpi buruk. Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang.

Pernah dilaporkan terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan

kombinasi antihistamin-dekongestan. (Fitzpatrck, Katzung, Wolverton Simon and Simon, Wilkin,

Goodman and Gilman)

Gastrointestinal

Dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare. (Fitzpatrick, Wolverton,

Wilkin, Goodman and Gilman)

Jantung

Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara (Wolverton, Fitzpatrick)

Genitourinaria

Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin (Wolverton, Simon and Simon, Arndt)

Darah

Klorfeniramin dapat menebabkan pansitopenia, agranulositosis,

trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik. (Wilkin, Fitzpatrick, Goodman and Gilman)

Kulit

Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug eruption

dan fotosensitif. (Fitzpatrick)

Efek samping lainnya

Terdapat efek samping antikolinergik yang dapat berupa muka merah, dilatasi

pupil, hipertermia kekeringan pada membran mukosa dan penglihatan yang

buram. (Fitzpatrick, Arndt, Goodman and Gilman)

Efek samping antihistamin H1 generasi kedua dan ketiga:

Kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan interval

QT dan takiaritmia ventrikular atipikal berhubungan dengan pemakaian

astemizole dan terfenadin. (Murphy) Kelainan ini dapat tejdadi terutama pada

wanita dan penderita dengan kelainan jantung organik yang sebelumnya telah

ada (seperti iskemia, kardiomiopati), arritmia, ataupun penderita dengan

gangguan eletrolit (seperti hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia) (Simons FER)

Sistem saraf pusat

Dalam beberapa penelitian dikatakan tefenadin, astemizole dan loratadin

memiliki efek sedasi yang lebih rendah dibandingkan antihistamin H1 klasik. (Wilkin)

Kulit

Fotosensitivitas, urtikaria, erupsi makulopapular, eritema serta pengelupasan

kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya reaksi fotoalergi dan

alopesia yang diduga berhubungan dengan penggunaan terfenadin. Dilaporkan

juga suatu kasus psoriasis yang mengalami eksaserbasi selama menggunakan

terfenadin. (Wilkin)

Hepar

Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis yang

berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan. Peningkatan

serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang kadang-kadang dapat

terjadi. (wilkin)

Efek samping lainnya

Dilaporkan adanya sakit kepala, mual, kekeringan pada mukosa mulut dan

beberapa efek antikolinergik lainnya, namun insidensinya sangat rendah. (Wilkin)

7) Interaksi Obat

Antihistamin tipe H1 generasi ke-1

Efek depresi SSP akan semakin meningkat apabila antihistamin tipe H1 diminum

bersamaan dengan alkohol atau obat lain yang bersifat depresif terhadap SSP

seperti diazepam. Antihistamin kelompok fenotiazin menghambat dan sebaliknya

epinefrin mempunyai efek vasosupresi. Kontra indikasi pemberian antihistamin

tipe H1 adalah penderita yang mendapat inhibitor monoamine oksidase, seperti

isokarboksazid, nialamid, moklobemid, ranilsipromin, fenelzim(Fitzpatrick)

Antihistamin H1 generasi ke-2 dan ke-3

Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang megkonsumsi

terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid,

seperti eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor protease

dan flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.

Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin

serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human Immunodeficiency

Virus-1 (HIV-1) protease inhibitors, Selective Serotonin Reuptake Inhibitors

(SSRI) antidepresant, seperti quinin, zileuton. (Wolverton)

b. Anthistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)

1. Mekanisme kerja

Sama dengan cara kerja antihistamin H1, antihistamin H2 adalah antagonis yang

mengikat reseptor H2 yang terletak di seluruh tubuh, termasuk epitel dan sel

endotel. Data terbaru mengungkapkan bahwa reseptor H2 diekspresikan pada sel

mast dan sel dendritik kulit. Melalui pengikatan dengan reseptor, antihistamin H2

memediasi permeabilitas pembuluh darah, pelepasan mediator inflamasi setempat

dan selular, dan presentasi antigen, tapi jalur ini kurang dipahami, dan klinis

tidak diketahui.

2. Farmakokinetik

Antihistamin H2 diabsorbsi secara cepat di saluran pencernaan dengan puncak

antara 1 dan 2 jam setelah pemberian. Antistamin H2 dimetabolisme melalui

hepar. Hanya sebagian kecil dari cimetidine diserap; sebagian besar penyerapan

terjadi di usus halus. Waktu paruh dari cimetidine dalam plasma adalah 2 jam.

Sekitar 69% diekskresikan melalui urine. Waktu paruh ranitidine dalam plasma

adalah 2-3 jam pada orang dewasa yang sehat dan orang tua dengan gangguan

hati dan ginjal. Metabolit obat diekskresikan terutama melalui urin. Famotidine

memiliki waktu paruh di plasma sekitar 3-8 jam. Pada pasien dengan gagal ginjal,

waktu paruh dari famotidine dapat melebihi 20 jam. nizatidine memiliki waktu

paruh plasma 1-2 jam, dan durasi kerjanya sampai dengan 10 jam. nizatidine

terutama dieliminasi oleh ginjal dalam waktu 16 jam. Bioavailabilitas nizatidine

oral tidak berpengaruh oleh makanan. Agen ini bersifat lipofilik dengan penetrasi

terbatas dari sawar darah otak.

3. Indikasi pada dermatologi

Ada beberapa data dari studi terkontrol yang mendukung penggunaan H2 blocker

untuk mengobati kondisi dermatologi (Kotak 229-5). Paling sering, kelompok ini

digunakan dalam kasus-kasus refrakter urtikaria kronis dan angioedema.

Kombinasi hydroxyzine dan cimetidine dapat mengurangi rasa gatal, jumlah

papul, dan tingkat keparahan daripada hydroxyzine saja. Pengamatan serupa pada

klorfeniramin dikombinasikan dengan cimetidine. Kombinasi terapi antihistamin

H1 dan H2 juga dapat membantu dalam mengurangi gatal dan pertumbuhan papul

pada mastositosis sistemik dan urtikaria pigmentosa. Klorfeniramin dan

cimetidine merupakan kombinasi efektif dalam mengurangi gatal dan papul.

Pada laporan anekdotal dari penggunaan cimetidine untuk mengobati pruritus

sekunder pada kondisi medis lainnya seperti polisitemia vera dan carcinoid flush.

Dosis tinggi cimetidine dapat berhasil dalam pengobatan veruka vulgaris di

beberapa individu.

4. Risiko dan Pencegahan

Antihistamin H2 mungkin memiliki beberapa efek sistem saraf pusat, termasuk

kebingungan, sakit kepala, dan pusing (Kotak 229-6). Efek samping lainnya

termasuk kantuk, malaise, nyeri otot, diare, dan sembelit. Dengan penekanan

sekresi asam lambung, antihistamin H2 dapat memudahkan terjadinya infeksi

mulut dan meningkatkan risiko pneumonia pada individu immunocompromised,

termasuk pasien diabetes, orang tua, dan pasien dengan immunodeficiency.

Sebagai golongan, obat ini dapat menutupi gejala karsinoma lambung.

Efek samping yang hebat dari cimetidine yaitu ginekomastia dengan atau tanpa

peningkatan kadar prolaktin pada laki-laki; galaktorea dengan peningkatan kadar

prolaktin pada perempuan; hilangnya libido, impotensi, dan pengurangan jumlah

sperma pada lelaki dewasa. Efek samping dermatologi yang jarang, termasuk

alopesia dan vaskulitis urtikaria. Perubahan dari sympathovagal jantung dapat

menyebabkan kerentanan aritmia, terutama bradiaritmia, setelah infus intravena.

Famotidine dan nizatidin berhubungan dengan beberapa efek samping; dapat

menyebabkan penghambatan sistem CYP dan karena itu interaksi obat lebih

sedikit.

5. Interaksi obat

Melalui penghambatan sistem CYP, cimetidine meningkatkan kadar serum

berbagai obat, termasuk beberapa obat yang paling umum digunakan dalam

perawatan pasien. Cimetidine meningkatkan kadar warfarin dan dapat

menyebabkan peningkatan waktu protrombin dan risiko perdarahan. Cimetidine

juga berinteraksi dengan banyak obat jantung yaitu β blocker, calcium channel

blockers, amiodaron, golongan antiaritmia. Seperti yang sudah disebutkan (lihat

Bagian "Inisiasi Therapy"), penggunaan cimetidine merupakan kontraindikasi

pada pasien yang menggunakan dofetilide. Obat lainnya yang berinteraksi dengan

cimetidine adalah fenitoin, beberapa benzodiazepin, metformin, sulfonilurea, dan

selective serotoninreuptake inhibitors.

Meskipun ranitidine kebih jarang berinteraksi dengan obat lain daripada

cimetidine, interaksi yang signifikan dengan fentanyl, metoprolol, midazolam,

nifedipine, teofilin, dan warfarin. Ranitidine dapat menurunkan penyerapan

diazepam dan mengurangi konsentrasi plasma sebesar 25%. Famotidine dan

nizatidin lebih sedikit berinteraksi dengan obat.

C. Hubungan Pemakaian Antihistamin Dengan Kejadian Urtikaria

Pedoman konsensus manajemen urtikaria antara lain menghindari faktor penyebab dan

farmakoterapi (spesifik dan non spesifik). Pendekatan farmakoterapi seperti obat antihistamin

(spesifik), dan menghambat pelepasan sel seperti kortikosteroid (non spesifik). Tetapi

pengunaan kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan dalam pengobatan urtikaria karena

resiko dan efek samping jangka panjang lebih besar daripada manfaatnya. Pendekatan

pengobatan spesifik melibatkan penggunaan antihistamin H1 non sedatif seperti cetirizine,

levocetirizine, loratadine, desloratadine, dan fexofenadine yang memberikan efek antialergi

dan antiinflamasi dengan menghambat pelepasan sitokin dari basofil dan mengurangi

aktifitas sel mast dari eosinofil. Sedangkan penggunaan antihistamin H1 sedatif dan

antihistamin H2 dapat berguna pada pasien yang mengalami gejala psikosomatis, depresi dan

kecemasan karena urtikaria (Sujoy, 2013). Gejala urtikaria dimediasi oleh reseptor H1 pada

saraf kulit dan sel endotel akibat pelepasan histamin oleh sel mast, ini berarti bahwa

antihistamin adalah pengobatan lini pertama urtikaria kronik (Fernando, 2010).

Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai terapi.

Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin yang akan diberikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vella dkk (2010), penatalaksanaan di Divisi

Alergi-Imunologi Unit Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada

penderita urtikaria akut terbanyak adalah antihistamin H1 saja sebanyak 221 penderita

(59,6%), dalam hal ini pilihan obat tersering adalah mebhidrolin napadisilat. Pengobatan

yang diberikan kepada penderita urtikaria kronis terbanyak adalah kombinasi antihistamin

H1 dengan antihistamin H2 sebanyak 188 penderita (63,1%), dengan pilihan obat tersering

kombinasi mebhidrolin dan simetidin.

Pada penelitian di atas, hampir sebagian penderita urtikaria akut (UA) maupun urtikaria

kronik (UK) mendapat pengobatan antihistamin H1 saja, masing-masing 59,6% dan 35,9%.

berikutnya kombinasi antihistamin H1 dan antihistamin H2, didapatkan 50,4% pada UA dan

63,1% pada UK. Terdapat 5,4% penderita UA yang mendapat kombinasi kortikosteroid

sistemik dan antihistamin, sedangkan pada UK sebanyak 3,9%. Pada pengobatan urtikaria

akut dalam hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat hampir sebagian kasusnya

ditambahkan antihistamin H2 sebagai terapi awal. Walaupun umumnya antihistamin dapat

mengatasi gejala urtikaria, pada kasus yang berat memerlukan kortikosteroid. Penggunaan

kortikosteroid sistemik bertujuan untuk mengurangi gejala pasien dengan urtikaria, walaupun

memberikan hasil yang tidak memuaskan. Kortikosteroid sistemik ini tidak boleh digunakan

dalam jangka waktu yang panjang, karena bisa menimbulkan efek samping yang lebih parah

(Vella dkk, 2010). Pernyataan ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sujeong dkk (2013), yang menyatakan bahwa dari 498 pasien dengan pengobatan

antihistamin H1 dan 103 pasien dengan pengobatan kombinasi antihistamin H1 dengan

kortikosteroid oral tidak didapatkan perbedaan signifikan dalam penyembuhan pada urtikaria

tetapi pada penelitian ini didapatkan adanya keuntungan dalam pengobatan awal pada

urtikaria dengan penggunaan antihistamin H1 saja. Beberapa keuntungannya seperti

mengurangi biaya pengobatan, mencegah efek samping yang lebih berat, dan mengurangi

pemakaian kortikosteroid oral.

Antihistamin H1 efektif dalam penanganan urtikaria kronik, terutama antihistamin H1

generasi kedua yang aman dan efektif sebagai lini pertama penanganan pada urtikaria kronik

(Amin, Priyal. Et all, 2014). Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wellwe dkk (2011), menunjukkan bahwa penggunaan antihistamin H1 generasi kedua lebih

efektif dibandingkan antihistamin H1 generasi pertama dengan angka signifikan (P<0,0005).

Dan antihistamin H1 generasi pertama lebih banyak memberikan efek yang tidak diharapkan

daripada antihistamin H1 generasi kedua dengan angka signifikan (P<0,0001). Serta pasien

dengan pemakaian obat antihistamin H1 generasi pertama lebih cepat terasa lelah daripada

pemakaian obat antihistamin H1 generasi kedua dengan angka signifikan (P<0,0001).

Sehingga pada penelitian ini merekomendasikan pengobatan lini pertama pada pasien

urtikaria harus menggunakan pengobatan antihistamin H1 generasi kedua. Namun, antagonis

H2 atau antagonis reseptor leukotrin dapat dipertimbangkan untuk pasien urtikaria kronik

dengan respon yang tidak memuaskan dengan antihistamin H1 generasi kedua.(Jonathan,

2014) .

Rekomendasi JTFPP dalam pendekatan pengobatan urtikaria kronik dengan antihistamin

H1 yang secara bertahap dapat diikuti dengan peningkatan dosis menjadi 2-4 kali dosis

harian atau menambahkan antihistamin H2 atau antagonis reseptor leukotrin jika belum

terkontrol. Dan jika penggunaan 3 terapi masih tetap tidak terkontrol dapat dipertimbangkan

penggunaan imunosupresif. Dimana prednison mungkin diperlukan selama proses untuk

mengendalikan gatal-gatal. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amin, Priyal. Et all

(2014) menyatakan bahwa 33% dari 221 responden dapat dikontrol dengan penambahan

siklosporin. Sedangkan pada penelitian Hollander et all, menyatakan tidak ada hubungan

yang signifikan dengan respon siklosporin, tetapi penggunaan siklosporin memberikan durasi

yang lebih singkat dalam penanganan urtikaria kronik.

Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Amin, Priyal. Et all (2014)

menyatakan bahwa kombinasi terapi antihistamin H1 generasi kedua dengan antagonis

reseptor leukotrin memiliki kontrol tertinggi dibandingan dengan pilihan kombinasi obat-

obatan lainnya. Pada urtikaria fisik umumnya lebih sulit dikontrol, sehingga penggunaan

antihistamin H1 generasi pertama atau antihistamin H1 generasi kedua atau antagonis

reseptor leukotrin dikaitkan secara signifikan lebih baik. Penelitian ini didukung oleh Kozet

et all, bahwa pasien dengan urtikaria fisik selain tekanan, dingin, surya dan aquagenik

berespon lebih baik terhadap antihistamin H1, terutama antihistamin H1 generasi kedua

sedikit lebih baik dapat mengontrol urtikaria fisik sedangkan pada urtikaria dermatografia

dapat dikontrol dengan antagonis reseptor leukotrin.