jurnal afra neo fungsional

6
119 ASEAN DALAM PERSEPEKTIF PLURALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME OOM RENGGANAWATI Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran Di Usianya yang lebih dari 30 tahun, Association of South East Asian Nation (ASEAN) sebagai suatu organisasi regional mengalami banyak tantangan dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Ketangguhan ASEAN sudah terbukti untuk dapat mencapai usianya itu adalah istimewa, karena biasanya organisasi regional yang ditandai oleh pluralitas tidak bertahan lama, hal itu bukan berarti ASEAN mulus dalam mempertahankan eksistensinya. Tantangan yang muncul dewasa ini akan ditampilkan dalam tulisan ini, lebih menyoroti tantangan teoritis mengenai keberadaan ASEAN pasca didefinisikannya kembali konsepsi kawasan di era perkembangan organisasi internasional yang bersifat pluralisme. Bagi teorisasi keberadaan ASEAN diperdebatkan secara konsep dan pendekatan neo-fungsinalisme ASEAN, neo-fungsionalisme. PENDAHULUAN ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967, ide dasarnya adalah untuk membina kerja sama di berbagai bidang, terutama sosial, ekonomi dan ilmu pendidikan negara- negara di kawasan Asia Tenggara. Ide ini tertuang dalam Deklarasi Bangkok yang dalam perkembangannya dilengkapi Treaty and Amity of Cooperation in South East Asia (TAC) dan ASEAN Concord (AC). Dengan demikian, ASEAN diharapkan kokoh untuk maju ke dan menghadapi kerja sama di kawasan dan mereduksi konflik. Namun tujuan tersebut banyak mengalami hambatan. Secara teori ASEAN dikategorikan sebagai organisasi (walau berwujud asosiasi) yang keanggotaannya terbatas tetapi memiliki tujuan luas (Coulumbis & Wolfe,1999). Saat itu ada kesepakatan untuk membatasi keanggotaan hanya pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara, namun ternyata hanya 5 negara yang menjadi original members (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand). Brunei Darussalam menjadi anggota ke-6 Januari 1984. Dengan masuknya Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997) serta Kamboja (1999), tercipta One South East Asia dalam artian seluruh negara di kawasan Asia Tenggara menjadi anggota ASEAN. Ada juga yang hanya menjadi peninjau (observer) yaitu Papua Nugini. Timor Timur memiliki kemungkinan besar untuk diterima menjadi anggota karena memiliki kedekatan sejarah dan hubungan yang intens dengan kawasan sebagai negara bekas provinsi Indonesia. Pada awal pendirian ASEAN, struktur sistem internasional tengah mengalami tight bipolarity atau Perang Dingin yang “panas” Alamat korespondensi pada Oom Rengganawati, Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjajaran, Band- ung. Bidang Humaniora Majalah Ilmiah Unikom, Vol.6, hlm. 119-124

Upload: heru-susanto

Post on 30-Jun-2015

286 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

ASEAN DALAM PERSEPEKTIF PLURALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME

119

ASEAN DALAM PERSEPEKTIF PLURALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME

OOM RENGGANAWATI

Jurusan Hubungan Internasional

Universitas Padjajaran

Di Usianya yang lebih dari 30 tahun, Association of South East Asian Nation (ASEAN) sebagai suatu organisasi regional mengalami banyak tantangan dan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Ketangguhan ASEAN sudah terbukti untuk dapat mencapai usianya itu adalah istimewa, karena biasanya organisasi regional yang ditandai oleh pluralitas tidak bertahan lama, hal itu bukan berarti ASEAN mulus dalam mempertahankan eksistensinya. Tantangan yang muncul dewasa ini akan ditampilkan dalam tulisan ini, lebih menyoroti tantangan teoritis mengenai keberadaan ASEAN pasca didefinisikannya kembali konsepsi kawasan di era perkembangan organisasi internasional yang bersifat pluralisme. Bagi teorisasi keberadaan ASEAN diperdebatkan secara konsep dan pendekatan neo-fungsinalisme ASEAN, neo-fungsionalisme.

PENDAHULUAN ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967, ide dasarnya adalah untuk membina kerja sama di berbagai bidang, terutama sosial, ekonomi dan ilmu pendidikan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Ide ini tertuang dalam Deklarasi Bangkok yang dalam perkembangannya dilengkapi Treaty and Amity of Cooperation in South East Asia (TAC) dan ASEAN Concord (AC). Dengan demikian, ASEAN diharapkan kokoh untuk maju ke dan menghadapi kerja sama di kawasan dan mereduksi konflik. Namun tujuan tersebut banyak mengalami hambatan. Secara teori ASEAN dikategorikan sebagai organisasi (walau berwujud asosiasi) yang keanggotaannya terbatas tetapi memiliki tujuan luas (Coulumbis & Wolfe,1999). Saat itu ada kesepakatan untuk membatasi

keanggotaan hanya pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara, namun ternyata hanya 5 negara yang menjadi original members (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand). Brunei Darussalam menjadi anggota ke-6 Januari 1984. Dengan masuknya Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997) serta Kamboja (1999), tercipta One South East Asia dalam artian seluruh negara di kawasan Asia Tenggara menjadi anggota ASEAN. Ada juga yang hanya menjadi peninjau (observer) yaitu Papua Nugini. Timor Timur memiliki kemungkinan besar untuk diterima menjadi anggota karena memiliki kedekatan sejarah dan hubungan yang intens dengan kawasan sebagai negara bekas provinsi Indonesia. Pada awal pendirian ASEAN, struktur sistem internasional tengah mengalami tight bipolarity atau Perang Dingin yang “panas”

Alamat korespondensi pada Oom Rengganawati, Jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Padjajaran, Band-ung.

Bidang Humaniora

Majalah Ilmiah Unikom, Vol.6, hlm. 119-124

Page 2: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

OOM RENGGANAWATI

120

karena persaingan ideologi Blok Barat yang dipimpin oleh AS dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Ironisnya, negara–negara ASEAN terlibat dalam konflik ini sebagai war by proxy dan pada kenyataannya konflik terbuka dalam Perang Dingin ini diperlihatkan melalui Perang Vietnam dan juga konflik di Indonesia. Jelas dalam hal ini, tujuan ASEAN yang luas itu tidak tercapai. Sebaliknya tujuan yang sempit yang sebenarnya tidak disinggung dalam Deklarasi Bangkok, yaitu kerja sama politis yang terbatas. Oleh karena itu, struktur ASEAN tidak berfungsi dan tujuan untuk kerja sama di bidang ekonomi juga lemah. ASEAN justru lebih senang bekerja sama dengan ekstra kawasan. Hal ini dipicu oleh terbatasnya opsi dalam perumusan politik luar negeri akibat terseret dalam konflik ideologi. Bagaimana ASEAN mau bekerja sama bila melandaskan pada kebijakan antikomunis, sementara negara-negara lainnya di kawasan menganut paham komunis. Hal yang signifikan juga dicatat bahwa ASEAN merupakan negara yang secara ekonomi pembangunan dikategorikan negara agraris. Produk mereka cenderung sama dengan mereka terjebak oleh pasar internasional. Barangkali hanya dengan Singapura dapat tercipta suatu hubungan ekonomi yang saling mengisi (komplementer), sementara sesama negara ASEAN lainnya tidak tercipta. Pendekatan ekonomi-politik kelihatan sekali pada saat itu, sehingga ASEAN tidak dapat berkembang sebagai suatu organisasi fungsional. Bahkan untuk mengadakan KTT I ASEAN pun harus menunggu hampir 10 tahun, ketika kelima negara ASEAN bertemu di Denpasar, Bali pada tahun 1976. Di sinilah kemudian lahir TAC dan yang memperkuat landasan ASEAN sebagai suatu model kerja sama ekonomi. Sebagai bentuk organisasi pun ASEAN semakin dimantapkan dengan dibentuknya Sekretariat ASEAN secara permanen di Jakarta. Kerja sama ekonomi

mulai didasarkan secara integrasi, terutama dengan pemodelan joint venture di bidang perindustrian. Kerja sama ekonomi diharapkan dapat meningkat sementara secara politis ASEAN selalu menyuarakan kesamaan dalam memandang peraturan politik di kawasan dan dunia internasional. ASEAN dianggap sebagai organisasi buatan “Barat” yang merupakan kepanjangan tangan AS demi kepentingan kapitalismenya. Secara organisasi ASEAN kurang mampu untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah di kawasan karena adanya persepsi yang berbeda dan kecurigaan negara-negara kawasan melihat arah dan kecenderungan ASEAN dalam model pembangunannya. Tapi semua itu adalah sebagai konsekuensi pengaruh dari lingkungan luar ASEAN, suatu struktur sistem internasional yang bipolar. Namun ASEAN selalu mencari peluang untuk dapat memajukan kerja sama dalam ekonominya. ASEAN pun selalu mengembangkan fungsinya sesuai dengan perkembangannya di lingkungannya. Gejala akan berakhir Perang Dingin, yang ditandai oleh berinteraksinya ekonomi Barat dan Timur, atau model keterbukaan ekonomi di negara sosialis, menyebabkan negara blok sosialis, terutama yang ada di kawasan, menjadikan suatu peluang yang menguntungkan, karena semakin terbukanya jalur untuk mencapai tujuan ASEAN, terutama membangun kerja sama ekonomi yang saling komplementer. ASEAN DALAM KONTEKS PLURALISME Hal paling mendasar dari ASEAN adalah untuk menjaga komitmennya seperti tertuang dalam TAC dan AC, untuk tidak ikut campur dalam urusan masing-masing negara anggota. Komitmen ini terus dijaga meskipun tetap berupaya untuk adaptif dengan lingkungan. Perekonomian bergerak ke arah yang pluralis, terutama ketika rezim

Page 3: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

ASEAN DALAM PERSEPEKTIF PLURALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME

121

ekonomi berkembang ke arah perdagangan bebas, pembatas atau sekat-sekat politik dianggap tidak mampu lagi membendung kerja sama antar negara. Di dalam ASEAN sendiri, TAC dan AC pun kini diartikan secara signifikan mengacu pada kerja sama intra-ASEAN yang sesungguhnya. Dalam kerja sama intra-ASEAN tidak perlu harus meliputi dan mengikat seluruh negara ASEAN. Pada saat itu ada 6 negara ASEAN. Kerja sama ini boleh dilakukan secara bilateral, trilateral atau empat negara saja, asal negara tersebut adalah anggota ASEAN. Konsep ini mulai diperkenalkan pada KTT III ASEAN di Manila (1987). Dunia saat itu bergerak pada pengakuan adanya pluralisme dalam berbagai kegiatan ekonomi. Sosialis dan kapitalis sudah tak dapat dibedakan. Misalnya RRC yang sejak dekade 70 akhir melansir kebijakan open door policy, dianggap bukan lagi ancaman secara politik dan ideologi. Justru dianggap pasar (market) yang potensial, karena merupakan medan konsumsi bagi 1 milyar penduduknya. Perkembangan ekonomi berdasar pada kerja sama regional, yaitu merupakan blok-blok ekonomi, sudah mencapai lebih dari sekadar free trade. Uni Eropa sudah mengacu pada pasar bersama, yang menyebabkan dunia seolah tanpa batas lagi (borderless world) (Luhulima, 1997). ASEAN sendiri belum mampu untuk mencapai kerja sama melalui free trade. Baru Singapura yang siap dan karena itu giat menyuarakan kerja sama model ini. Untuk uji coba, dalam merealisasikan model kerja sama intra-ASEAN dan tahap awal memperkenalkan perdagangan bebas kawasan, ASEAN meluncurkan kebijakan untuk kerja sama ekonomi di kawasan berikat (kerja sama tripartit) seperti SIJORI (Singapura-Johor-Riau), yang kemudian berubah namanya menjadi IMS-GT atau Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle. Meski banyak menemui kendala, terutama karena antara Indonesia dan

Malaysia tidak bisa tercapai suatu prinsip saling komplementer karena produk dan komoditi yang dihasilkan sama. Sementara kedua wilayah tersebut dengan Singapura dapat terjalin komplementabilitas. Model kerja sama ini kemudian dijadikan acuan untuk dikembangkan di bagian wilayah negara lainnya, antara lain IMT-GT atau Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle dan BIMP-EAGA (Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philipine East ASEAN Growth Area). Di samping itu, ASEAN pun mengembangkan free trade-nya dengan model sendiri, yaitu melalui CEPT (Common Effective Preferential Tariff) atau melalui sejumlah daftar barang-barang yang diperdagangkan di negara-negara ASEAN yang sudah memberlakukan AFTA dan mengenakan tarif yang berkisar antara 0-15%, dan akan dibebaskan bila AFTA telah berlaku efektif (Anwar, 1994). Memang agak sulit untuk menerapkan free trade di ASEAN karena negara-negara ASEAN (kecuali Singapura) masih berbasis ekonomi agraris. Namun negara-negara ASEAN ini adalah calon-calon negara industri manufaktur, dan dalam terminologi ekonomi kawasan dikenal sebagai “Macan Asia”, yaitu secara berurutan disebut Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. ASEAN DALAM PENDEKATAN NEO-FUNGSIONALISME ASEAN telah mengenal free trade melalui CEPT, tetapi organisasi regional ini seolah mempercepat pemberlakuan free trade-nya. Kesempatan ini tercapai ketika KTT IV ASEAN diadakan di Singapura (1992), karena memang negeri ini sangat mendorong free trade di kawasan Asia Tenggara. Dicanangkan bahwa AFTA akan diberlakukan pada tahun 2007, namun dipercepat menjadi tahun 2005. Pernah diusulkan untuk dipercepat menjadi 2002, namun kemudian disepakati untuk diberlakukan secara efektif tahun 2003.

Page 4: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

OOM RENGGANAWATI

122

Dalam perkembangan ini, terlihat ASEAN ingin mengacu kerja sama ekonomi integrasinya. Bila sudah dilansir kerja sama melalui AFTA, meski baru berlaku untuk 6 negara, ASEAN ingin memacu kerja sama pada langkah-langkah selanjutnya. Misalnya custom union, common market, sampai pada full integrated economy seperti Uni Eropa. Dalam konteks ini ASEAN harus mampu menyatukan perbedaan dan melangkah dengan adanya liberalisasi perdagangan internasional, terutama dengan adanya organisasi macam WTO (World Trade Organization). Memasuki dunia liberalisasi, ada Agenda yang dikenal sebagai Agenda Internasional. Bahwa negara adalah bagian dari dunia dan selayaknya ada “satu” pengaturan ke arah itu (Bennet, 1984). Perdagangan adalah yang bisa diregulasikan secara bersama. Maka diwajibkan adanya perdagangan bebas pada 2020 untuk negara-negara berkembang, dan 2010 untuk negara maju. Sedangkan, untuk globalisasi diharapkan ada kesamaan visi, khususnya dalam memandang demokratisasi, hak-hak asasi manusia (HAM), good governance and clean government, atau lingkungan hidup dan seterusnya (Diehl, 1997). ASEAN yang harus bertahan, perlu adjustment terhadap “nilai-nilai” internasional ini. Pilihan ASEAN kemudian menjadi dilematis, termasuk pada kesepakatan awal dan komitmen mereka semula. Misalkan penerapan non-interference ASEAN menjadi batu sandungan ketika berhubungan dengan negara lain khususnya negara Barat (AS dan Uni Eropa), karena pemerintahan Junta Militer Myanmar yang memenjarakan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi. Tapi bagaimana bila asap dari Indonesia yang dianggap kelalaian dalam mengawasi lingkungan hidup dan berdampak bagi Singapura dan Malaysia, haruskah mereka diam?

Pandangan ASEAN ke depan, setidaknya selaras dengan perkembangan dunia internasional. Fungsi ASEAN pun perlu disesuaikan, tapi ASEAN selalu berkomentar: “ASEAN’s fundamental role in managing diversity and differences in South East Asia is as important today as when ASEAN was formed is 1967”. Pernyataan tersebut masih tetap dipegang sampai KTT VI ASEAN di Hanoi, Vietnam (1998), yang menghasilkan The Hanoi Declaration (HD) and The Hanoi Plan of Action (HPA), khususnya dalam merealisasikan Visi ASEAN 2020. Fungsi ASEAN kemudian ditegaskan kembali untuk berperan dalam memperkuat kerja sama ekonomi di kawasan dalam kerangka ASEAN yang bersatu dan mengonfirmasikan kembali komitmen ASEAN pada perdagangan dan investasi terbuka melalui AFTA dan AIA (ASEAN Investment Area). ASEAN DALAM PERLUASAN FUNGSI Tak dapat dipungkiri bahwa to action ASEAN pada gilirannya merambah dan melibatkan negara di luar ASEAN. Hal ini didasari pemikiran bahwa ASEAN adalah organisasi yang dinamis. Sebut saja, dalam kerangka keamanan, ASEAN telah membentuk ARF (ASEAN Regional Forum) yang melibatkan Uni Eropa, Amerika Serikat, Rusia, India, Australia dan sebagainya. Di bidang ekonomi ASEAN pun merambah sampai ke Amerika Latin, misalnya dalam FEALAC (Forum for East Asia – Latin American Cooperation) atau ASEM (Asia – Europe Meeting), yang berintikan model kerja sama ASEAN dan Uni Eropa. Juga berbagai forum yang sebelumnya terjalin dengan berbagai nama. Melalui kerja sama perdagangan dan politik, ASEAN berupaya memperkuat diri meski kadang ada perbedaan visi. Misalnya meski ASEAN telah mendekatkan Asia dan Eropa di bidang ekonomi, tetapi ada ganjalan karena secara tradisional ada penerapan dan standar HAM dan demokratisasi yang berbeda. Dalam upaya memperluas wawasan, secara teori ASEAN

Page 5: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

ASEAN DALAM PERSEPEKTIF PLURALISME DAN NEO-FUNGSIONALISME

123

mengintegrasikan diri pada arus dan dampak globalisasi. Hal ini merupakan dorongan, setidaknya dalam 5 hal (Saefulah, 2001). 1. Kemajuan Iptek, terutama di bidang

informasi serta inovasi dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia.

2. Terbukanya perdagangan bebas yang membuka peluang majunya perdagangan masing-masing;

3. Terjadinya kerja sama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan bangsa-bangsa tanpa mengenal batas;

4. Meningkatnya kesadaran akan HAM dan demokrasi bagi masyarakat;

5. Terciptanya masyarakat mega kompetisi. Dengan demikian, melihat struktur yang semakin luas, maka fungsi ASEAN di era pluralisme dunia ini semakin luas dan kompleks. ASEAN tentunya bukan hanya organisasi seremonial belaka. Kini keterbukaan ASEAN terhadap swasta sebagai pelaku bisnis semakin mengemuka. ASEAN perlu direvitalisasi dengan konsep-konsep ekonomi politik internasional yang baru. Bahwasanya APEC adalah perluasan dari kepentingan perdagangan (konsep ekonomi) bagi ASEAN, yang perlu diciptakan perdamaian (konsep politik) untuk menunjang dinamika kawasan. Di sinilah ASEAN memerlukan suatu pendekatan neo-fungsionalism, yaitu suatu pendekatan fungsional yang memadukan antara ekonomi dan politik internasional (ekopolin). Konsekuensinya, ada adjustment dalam ASEAN untuk dapat menerima “nilai-nilai selain ASEAN value. ASEAN tidak bisa berpikir sepihak lagi, tetapi harus mempertimbangkan juga dimensi lain. Hal ini bisa mengancam integritas ASEAN, tetapi sebaliknya justru memiliki peluang untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya di luar batas liniernya. Masih diperdebatkan secara konseptual dari kondisi ini oleh mereka yang meneruskan eksistensi ASEAN dari para founding fathernya di tahun 1967.

ASEAN DAN KEBIJAKAN INWARD LOOKING ANGGOTANYA Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak krisis ekonomi melanda kawasan ini pada pertengahan 1997 telah membuka perubahan yang signifikan bagi negara-negara anggota ASEAN. Mereka terjebak dalam kecenderungan untuk memilih sikap inward looking demi untuk menyelamatkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Meskipun dikenal adanya apa yang disebut nilai-nilai ASEAN (ASEAN values), tindakan kolektif ASEAN tidak dapat menanggulangi krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara anggotanya. Dalam upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, negara-negara ASEAN lebih suka untuk melakukan kerja sama eksternal-regional daripada kerja sama internal-regional. Hal ini merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Refleksi itu kemudian muncul dalam pengembangan ide untuk jalinan perdagangan bebas. Meski ASEAN sudah memiliki ASEAN + 3 misalnya, tak urung beberapa negara anggota ASEAN juga ingin menikmati hubungan khusus dengan mencapai agreement untuk free trade negaranya. Misalnya Singapura dengan RRC, Korea Selatan dan Jepang. Bahkan dengan negara lainnya seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia atau Taiwan. Indonesia, Malaysia, Thailand atau Filipina juga mengembangkan hubungan free trade secara bilateral. Sebaliknya, di antara negara-negara anggota ASEAN sendiri masih terdapat sejumlah konflik di antara mereka. Penyelesainya kadang tidak menggunakan mekanisme ASEAN, tetapi lembaga internasional lainnya. Contohnya dalam penyelesaian masalah Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Akibat disparitas pertumbuhan ekonomi pun ada kesenjangan di antara negara-negara ASEAN. Di dalamnya terkandung suatu conflict of interests semisal Indonesia dan Singapura. Bahkan untuk membentuk badan otorita Batam melalui

Page 6: JURNAL AFRA NEO FUNGSIONAL

OOM RENGGANAWATI

124

konsepsi FTZ (Free Trade Zone) masih menghadapi tantangan. Indonesia sukar menentukan sikap karena pertimbangan Singapura. Di mana kedudukan ASEAN dalam hal ini? Apakah kolektivisme ASEAN ditinggalkan dan lebih memanfaatkan bilateralisme? Para teorisasi ASEAN atau organisasi regional melihat kecenderungan ini dapat menyusun suatu kerangka konseptual yang baru. PENUTUP ASEAN dalam perkembangannya selalu mengadakan perubahan (change) yang merupakan adaptasi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan untuk suatu adjustment atau penyesuaian, tetapi juga ada yang konsepsinya tetap dipertahankan. Dua contoh di atas, dalam kerangka membangun konseptualisasi baru ASEAN dalam perspektif regionalisme, muncul dua perspektif, ASEAN yang semakin meluaskan fungsinya untuk membaur dengan organisasi yang lebih besar, atau secara eksklusif membangun kerja sama bilateral dan multilateral dengan negara-negara lainnya di luar konteks ASEAN. Hal ini merupakan tantangan bagi pengembangan teori organisasi regional, terutama akan kekhasan ASEAN, yang kita sendiri dewasa ini harus merasakan “keberadaan”-nya.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, D.F. (1994). Indonesia in ASEAN:

foreign policy and regionalisme. Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies & Pustaka Sinar Harapan:

Bellone, C.J. (1980). Organization theory and the new public administration. Boston: L. Allyn and Bacon.

Bennet, A. L. (1984). International organization principles and issue (3rd edition). New Jersey: Prentice and Hall.

Couloumbis T.A. & Wolfe J.H. (1999). Introduction to international relations: power and justice. Bandung: Putra Abardin.

Diehl, P.F. (1997). The politics of global governance: international organization in an interdependent World. Colorado: Lynne Rienner Publisher.

Luhulima, C.P.F. (1997). ASEAN menuju postur baru. Jakarta: Center for Strategic and International Studies.

Zey-Ferrell, M. (1979). Dimensions of organization: environments, context, structure, process, and performance. California: Goodyear Publishing Company.