web viewamilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4) unit glukosa yang memiliki...
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SEREALIA DAN UMBI - UMBIAN
Ekstraksi Pati Alami dan Modifikasi Pati
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teknologi Pengolahan
Serealia dan Umbi – Umbian yang dibimbing oleh Mustika Nuramalia,
Handayani, S.TP., M.Pd.
Oleh :
Amalia Dwi Lestari (1301107)
Isnaeni Apriliani (1305572)
Juliana M Nur (1306948)
Mita Maharani Bahriah (1305741)
Utari Nur Amalia (1300751)
Winni Trinita Maulandhiyani (1304693)
Yanni Handayani (1306681)
Kelompok 6
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
(Winni Trinita Maulandhiyani - 1304693)
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki hasil pertanian berupa umbi-umbian yang cukup
tinggi, diantaranya ubi kayu (singkong) dan ubi jalar. Pemanfaatan hasil
pertanian ini di kalangan masyarakat digunakan sebagai sumber karbohidrat
dengan cara mengolahnya secara sederhana untuk dikonsumsi langsung.
Dalam industri pangan, komoditi ubi kayu (singkong) dan ubi jalar ini telah
diolah dengan teknologi lebih tinggi untuk meningkatkan nilai ekonomis dari
hasil pertanian ini.
Singkong dan Ubi jalar dalam industri pangan, dapat diolah menjadi
tepung atau patinya diekstrak untuk digunakan sebagai bahan pengisi,
pengental, dan pembuatan gel, pembentuk film dan sebagai agen penstabil
makanan. Namun pati alami yang berasal dari singkong dan ubi jalar memiliki
keterbatasan fungsi karena sifat pati yang tidak tahan terhadap panas, kondisi
asam dan tidak tahan terhadap pengadukan sehingga fungsinya sebagai
pengental atau pengisi tidak akan maksimal.
Keterbatasan yang dimiliki oleh pati alami memaksa industri membuat
pati termodifikasi untuk menutupi kekurangan dari pati alami. Pada pati alami,
amilopektin dan amilosa yang terdapat pada granula pati dihubungkan oleh
ikatan hidrogen yang sangat rentan mengalami pemutusan selama proses
gelatinisasi. Hal inilah yang menyebabkan pati tidak tahan terhadap
pemanasan, pH rendah atau pengadukan. Oleh karena itu, pati dapat
dimodifikasi untuk mengantisipasi kelemahan dari sifat pati alami.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian ekstraksi pati cara
basah dan cara kering serta modifikasi pati dari ubi kayu (singkong) dan ubi
jalar untuk mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode
basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian
untuk memperoleh produk berkualitas. Selain itu, sebagai referensi bagi
industri untuk menghasilkan pati termodifikasi dengan menggunakan tepung
pati pregelatinisasi dan tepung pra masak.
1.2. Tujuan Praktikum
Mahasiswa dapat mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan
metode basah ataupun kering dan tahapan penting yang memerlukan
pengendalian untuk memperoleh produk berkualitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ubi Kayu (Singkong) dan Ubi Jalar (Utari Nur Amalia – 1300751)
Ubi Kayu (Singkong)
Ubi kayu atau singkong berasal dari Brazilia. Dalam sistematika
tumbuhan, ubi kayu termasuk ke dalam kelas Dicotyledoneae. Ubi kayu
berada dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai sekitar 7.200
spesies, beberapa diantaranya adalah tanaman yang mempunyai nilai
komersial, seperti karet (Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan
Jatropha curcas), umbi-umbian (Manihot spp), dan tanaman hias
(Euphorbia spp) (Ekanayake et al.1997). Klasifikasi tanaman ubi kayu
adalah sebagai berikut:
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Arhichlamydeae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Sub Famili : Manihotae
Genus : Manihot
Spesies : Manihot esculenta Crantz
Ubi kayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi
sumber bahan baku utama pembuatan bioetanol karena mempunyai
kemampuan untuk tumbuh di tanah yang tidak subur, tahan terhadap
serangan hama penyakit dan dapat diatur masa panennya. Beberapa alasan
digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi, khususnya
bioetanol, diantaranya adalah sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia,
tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi, merupakan sumber karbohidrat
karena kandungan patinya yang cukup tinggi, harga di saat panen raya
seringkali sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol
diharapkan harga menjadi lebih stabil, dan menguatkan security of
supplybahan bakar berbasis kemasyarakatan (Prihandana et al. 2007)
Adapun unsur gizi yang terdapat dalam tiap 100 g singkong segar
dapat dilihat dalam Tabel berikut :
Manfaat Tanaman Singkong
1. Sumber Terbaik Vitamin A
Singkong digelari sebagai makanan super oleh Center for Science
in the Public Interest berkat kandungan nutrisinya. Sebutir singkong
ukuran sedang menyediakan lebih dari 200 persen kebutuhan harian
akan vitamin A. Vitamin ini muncul dalam bentuk beta karoten, yang
memberikan warna kuning oranye pada ubi(Widowati, dan
Damardjati, 2001).Vitamin A sendiri memberi manfaat untuk
penglihatan, kulit, dan tulang. Singkong juga berfungsi sebagai
antioksidan, membantu mencegah infeksi dalam pencernaan, saluran
kencing, dan paru-paru.
Dalam sebuah studi yang digelar oleh Kansas State University
pada tahun 2003, dan dipublikasikan di The American Society for
Nutritional Sciences, ditemukan hubungan antara kekurangan vitamin
8A dan emphysema (infeksi paru-paru yang menyebabkan kesulitan
bernafas) (Anonim, 2010).
2. Sumber Vitamin dan Mineral
Singkong juga merupakan sumber terbaik vitamin C (sepotong
singkong memenuhi 66 persen kebutuhan vitamin C dalam sehari),
tembaga, vitamin B6, zat besi, kalsium, potasium, dan mangaan.
Singkong juga kaya serat. Menurut The U.S. Sweet Potato Council
Inc., singkong masak yang dimakan beserta kulitnya menyediakan
lebih banyak serat daripada seporsi oatmeal (Anonim, 2010).
3. Mudah dicerna
Kandungan patinya yang tinggi membuatnya kurang bekerja untuk
sistem pencernaan, yang menghilangkan penyebab sakit perut.
Seratnya yang tinggi mampu mencegah sembelit (dan penyebab
penyakit perut lainnya). Vitamin A, B, C, kalsium, dan potasiumnya
membantu meringankan radang perut, dan masalah sejenis karena
manfaat anti peradangannya (Anonim, 2010).
4. Karbohidrat alternatif untuk yang sedang berdiet
Singkong berukuran sedang yang tidak dimasak mengandung 112
kalori, bebas lemak dan bebas kolesterol, serta rendah sodium.
Kandungan ini tentu akan berubah, tergantung cara memasaknya.
Mengukus atau merebus singkong akan memunculkan rasa manisnya
yang alami, namun dengan sedikit kalori (Anonim, 2010). Singkong
memiliki kadar Glycemic Index (GI) yang rendah, khususnya bila
dibandingkan dengan roti putih atau nasi.
Dari segi produk – produk olahan, singkong segar dapat dibuat
menjadi produk olahan langsung dan produk awetan. Produk olahan
langsung terdiri dari produk olahan kering (misalnya keripik singkong dan
kerupuk singkong) dan produk olahan semi basah (contohnya tape, getuk
dan makanan tradisional lainnya). Untuk produk awetan olahan singkong
dapat dijadikan produk tapioka, gaplek dengan produk turunannya (antara
lain tiwul, nasi rasi (beras singkong), serta tepung singkong sebagai bahan
baku untuk tiwul instan dan juga berbagai aneka kue, misalnya Brotel
(Brownies Tela), Sirobak (Singkong Roti Bakar) dan lain sebagainya
(Winarno, 2000).
Ubi Jalar
Ubi jalar atau ketela rambat atau “sweet potato” berasal dari Benua
Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal
tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian
tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet,
memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika
Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-
negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol
menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan
Indonesia (Purwono dan Purnawati, 2007).
Ubi jalar (Ipomea batatas) termasuk dalam famili Cavalvuloceae.
Varietas ubi jalar sangat beragam. Dua kelompok ubi jalar yang umum
dibudidayakan adalah jenis ubi jalar yang memiliki daging ubi keras
(padat), kering dan berwarna putih; dan jenis ubi jalar dengan daging umbi
lunak, kadar air tinggi dan warnanya kuning – oranye. Karbohidrat
merupakan kandungan utama dari ubi jalar. Selain itu, ubi jalar juga
mengandung vitamin, mineral, fitokimia (antioksidan) dan serat (pektin,
selulosa, hemiselulosa). Kadar pati di dalam ubi jalar ubi jalar segar sekitar
20%. Pati ubi jalar berbentuk bulat sampai oval, dengan diameter 3 – 40
µm dengan kandungan amilosa sekitar 15 – 25%,menunjukkan bahwa
tepung ubi jalar dari varietas sukuh yang dibuat dengan pengeringan sinar
matahari memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi (80.3°C), viskositas
puncak tinggi (540 BU), dengan breakdown dan set back yang tinggi
(berturut-turut 75 BU dan 165 BU) (Moorthy, 2004).
Manfaat lain ubi jalar yaitu untuk mengendalikan produksi hormon
melatonin yang dapat bekerja menghasilkan kelenjar pineal di dalam otak.
Melatonin merupakan antioksidan andal yang menjaga kesehatan sel dan
sistem saraf otak, sekaligus mereparasinya jika ada kerusakan.
Kekurangan asupan vitamin A menghambat produksi melatonin dan
menurunkan fungsi saraf otak sehingga muncul gangguan tidur dan
berkurangnya daya ingat. Keterbatasan produksi melatonin berakibat
menurunkan produksi hormon endokrin, sehingga sistem kekebalan tubuh
merosot. Kondisi ini memudahkan terjadinya infeksi dan mempercepat
laju proses penuaan.
Ubi jalar juga bisa dijadikan obat karena mengandung prebiotik.
Prebiotik ini penting sekali karena sebagai pakan mikroba di dalam usus
sehingga pencernaan akan menjadi sehat. Selain beta-karoten dan
prebiotik, ubi jalar ternyata banyak mengandung zat antioksidan yang
dapat dijadikan pewarna alami. Dengan rajin makan ubi jalar, ketajaman
daya ingat dan kesegaran kulit serta organ tubuh tetap terjaga. Kombinasi
vitamin A (betakaroten) dan vitamin E (tokoferol) dalam ubi jalar bekerja
sama untuk mencegah stroke dan serangan jantung. Beta karotennya
mencegah stroke sementara vitamin E ubi jalar merah mencegah terjadinya
penyumbatan dalam saluran pembuluh darah, sehingga munculnya
serangan jantung dapat dicegah. Manfaat tersebut didukung pula oleh
kandungan serat dalam ubi jalar. Ubi jalar merupakan umbi-umbian yang
mengandung senyawa antioksidan paling lengkap. Hampir semua zat gizi
yang terkandung dalam ubi jalar mendukung kemampuannya memerangi
serangan jantung koroner.
Pati (Juliana M Nur – 1306948)
Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan
amilopektin. Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4)
unit glukosa yang memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu
102-104 unit glukosa. Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-(1,4)
unit glukosa yang memiliki percabangan α-(1,6) unit glukosa dengan
derajat polimerisasi yang lebih besar yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian
percabangan amilopektin terdiri dari α-D-glukosa dengan derajat
polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa (Kusnandar, 2011).
Jumlah pati yang dihasilkan dengan beberapa perbandingan
molekul amilosa dan amilopektin tergantung dari sumber tanaman asal,
seperti tapioka yang hanya mengandung amilosa sebesar 17% dan sisanya
adalah amilopektin yaitu sebesar 83% sedangkan pada jagung jumlah
amilosa bisa mencapai 25% sampai 80% dan sisanya amilopektin (Smith,
1982).
Menurut Winarno (1992), kandungan pati yang terdapat di dalam
ubi kayu adalah 34,6%. Amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut.
Molekul amilosa yang memiliki sifat hidrofilik dengan afinitas air yang
tinggi menyebabkan amilosa pati semakin paralel dengan ikatan hidrogen.
Apabila afinitas tersebut menurun maka ukuran pati akan membesar
sehingga pada konsentrasi rendah akan terjadi presipitasi dan pada
konsentrasi tinggi akan terbentuk gel. Hubungan antara molekul amilosa
ini disebut retrogradasi.
Amilopektin merupakan fraksi pati yang tidak larut. Berbeda
dengan amilosa dengan struktur yang lurus, struktur amilopektin yang
bercabang cenderung tidak sekuat dan sefleksibel amilosa (Winarno,
1992). Dalam struktur granula pati, posisi amilosa dan amilopektin berada
dalam suatu cincin-cincin dengan jumlah cincin sekitar 16 buah dalam
suatu granula pati. Cincin-cincin dalam suatu granula pati tersebut terdiri
atas lapisan-lapisan yaitu cincin lapisan amorf dan cincin lapisan
semikristal (Hustiany, 2006).
Saat dipanaskan maka granula pati akan mengalami pengembangan
dan bersifat tidak kembali ke bentuk semula yang disebut dengan
gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini terjadi akibat hilangnya sifat polarisasi
cahaya pada hilum yang akan tercapai pada titik suhu tertentu. Ikatan
granula yang bervariasi pada pati merupakan faktor yang menentukan
besarnya suhu untuk mencapai gelatinisasi. Kisaran suhu gelatinisasi pada
kentang 57-870C, tapioka 68-920C, gandum 50-860C, corn waxy 68-
900C, jagung 70-890C (Swinkels, 1985).
Granula pati berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak
berasa apabila dalam keadaan murni. Granula pati memiliki bentuk dan
ukuran yang bervariasi. Bentuk, ukuran, dan sifat granula pati tergantung
dari sumber patinya, ada yang berbentuk bulat, oval, atau tak beraturan
(Koswara, 2006).
1. Ekstraksi Pati Cara Basah dan Cara Kering (Amalia Dwi Lestari –
1301107)
PATI
Pati (C6H10O5)n telah dikenal di Mesir sejak 4000 tahun sebelum
masehi. Ekstraksi dan penggunaan pati merupakan sumber karbohidrat
utama yang disediakan alam, dimana jumlahnya sama dengan selulosa.
Pati disintesis pada kloroplas tumbuh-tumbuhan yang berperan sebagai
pusat fotosintesa, tempat karbohidrat dihasilkan yaitu reaksi dari CO2 dan
air. Pati dapat ditemukan pada semua bagian tumbuh-tumbuhan, yang
dihasilkan gula yang selanjutnya dibawa dan disimpan sebagai cadangan
energi pada bagian-bagian tanaman seperti biji, akar, umbi dan batang.
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) pati adalah salah satu jenis
polisakarida yang amat luas tersebar di alam. Bahan ini tersimpan sebagai
cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan di dalam biji-bijian/serealia
(jagung, gandum, juwawut, sorghum dan lain-lain), di dalam umbi (ubi
kayu, ubi jalar, huwi, talas, kentang dan lain-lain) dan pada batang (aren,
sagu dan lain-lain).
Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan
untuk persediaan bahan makanan. Pati merupakan butiran atau granula
yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau serta tidak mempunyai rasa.
Pati pada dasarnya merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α
glikosidik. Sifat dari berbagai macam pati tidak sama, tergantung dari
panjang rantai karbonnya (Winarno, 1989). Dilihat dari susunan kimianya,
pati adalah polimer dari glukosa atau maltosa. Unit terkecil di dalam rantai
pati adalah glukosa yang merupakan hasil proses fotosintesa di dalam
bagian tubuh tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Dalam bentuk aslinya, pati merupakan butir-butir kecil yang
disebut granula pati. Granula pati mempunyai ukuran, bentuk,
keseragaman dan bentuk hilum yang khas dan berbeda-beda tergantung
dari jenis patinya, sehingga dapat digunakan untuk identifikasi jenis pati.
Dalam granula, campuran dari molekul struktur linear dan bercabang,
tersusun secara radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin
dan lamella. Terbentuknya lamella dalam pati, diduga sebagai akibat dari
adanya pelapisan molekul pada granula, sedangkan hilum merupakan titik
dari mulai berkembangnya granula. Sifat fisik dan komposisi kimia
berbagai jenis granula pati yakni sebagai berikut:
Ekstraksi Pati
Sumber pati dapat diperoleh dari umbi-umbian, biji-bijian serta bagian
batang tanaman. Umbi merupakan bagian tanaman yang berupa akar atau
batang sebagai tempat untuk menyimpan cadangan makanan. Akar dan
batang yang berfungsi khusus untuk menyimpan cadangan makanan akan
membengkak, memiliki sejumlah besar parenkim yang sel-selnya penuh
dengan cadangan makanan. Akibat hal tersebut maka terjadi dominasi sel-
sel parenkim pada xylem dan floem sekundernya. Selama terjadi proses
pembengkakan umbi, diikuti pula dengan peningkatan konsentrasi pati dan
terjadi penurunan kadar air dalam pati. Biji-bijian sumber pati menyimpan
cadangan makanan pada endosperm. Penggilingan biji-bijian secara kering
akan menghasilkan tepung, sedangkan pati merupakan produk biji-bijian
yang diekstrak dengan cara penggilingan basah.
Pati dan tepung secara visual terlihat sama yaitu berupa serbuk dan
berwarna putih akan tetapi sebenarnya berbeda, baik secara fisik, kimia
dan proses pembuatannya. Perbedaan proses pembuatannya terletak pada
proses ekstraksi, dimana untuk menghasilkan pati perlu proses ekstraksi.
Proses ekstraksi pati diawali dengan pengupasan bahan baku pati
seperti ubi kayu lalu dicuci sampai kotoran hilang. Pencucian harus
diperhatikan dan harus dilakukan dengan bersih karena pencucian yang
tidak bersih akan mempengaruhi kandungan pati. Semakin banyak zat
pengotor yang terbawa pada proses pembuatan pati maka kemurnian pati
akan semakin rendah. Tahap setelah pencucian bahan baku pati yaitu
pemarutan. Tahap pemarutan yaitu tahap dimana proses penghancuran
bahan baku pati dilakukan. Pentingnya tahap ini yaitu untuk mengecilkan
ukuran dan memecah ukuran granula pati sehingga memudahkan tahap
selanjutnya yaitu ekstraksi. Tahap ekstraksi dilakukan untuk memisahkan
ampas yang berupa serat-serat dan kotoran. Pada tahap ini menghasilkan
bubur pati, yang selanjutnya dilakukan pengepresan. Dengan adanya
pengepresan maka akan terpisah antara ampas dan suspensi pati. Suspensi
pati diendapkan sehingga didapatkan endapan pati. Endapan pati kemudian
dikeringkan dan digiling. Hasil penggilingan tersebut dinamakan pati.
Komponen Penyusun Pati
Granula pati tidak terdapat dalam keadaan murni, tetapi bercampur
dengan bahan-bahan kimia lain seperti asam lemak dan senyawa fosfor.
Greenwood (1975) mengemukakan bahwa granula pati tersusun oleh tiga
komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara yang
merupakan komponen minor berupa lemak dan protein. Secara umum
granula pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan granula pati umbi-umbian dan umbi batang.
Pati terdiri dari komponen mayor dan komponen minor. Komponen
mayor yaitu komponen pati dengan jumlah yang besar yaitu kandungan
amilosa dan amilopektin. Komponen minor yaitu komponen yang
terkandung pada pati dengan jumlah kecil.
Amilosa dan Amilopektin
Menurut Winarno (1997) Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa
sedangkan yang tidak larut disebut amilopektin. Amilosa merupakan rantai
lurus dari D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -(1,4) glikosidik
dengan struktur cincin puranosa, oleh karena itu heksosa yang mengalami
pengulangan adalah unit glukosa. Menurut Hizukuri (1996) amilosa
merupakan rantai lurus D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan -1,4-
D-glukosidik. Panjang rantai lurus tersebut adalah antara 250-2000 unit
glukosa dengan bobot molekul antara 40.000-340.000.
Amilopektin mempunyai struktur dengan ikatan bercabang yang lebih
banyak, terdiri dari amilosa rantai pendek dengan derajat polimerisasi
antara 10 sampai 60 unit glukosa. Setiap unit dihubungkan dengan ikatan
α-(1-6) glikosidik. Glukosa dengan ikatan α-(1-6) merupakan titik
percabangan molekul amilopektin dan jumlahnya sekitar 5% unit glukosa
dalam amilopektin (Swinkels, 1985). Menurut Haryanto dan Pangloli
(1992) glukosa yang berada dalam amilopektin mencapai jumlah yang
besar yaitu 5000-40.000 unit sebanding dengan berat molekulnya antara
800.000 sampai jutaan.
Harsanto (1986) menjelaskan bahwa rasio amilosa dan amilopektin
akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa lebih
tinggi maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung
menyerap air banyak (higroskopik). Menurut Tjokroadikoesoemo (1986)
sifat amilopektin yang disukai oleh pengolahan pangan yaitu (1) sangat
jernih, sehingga dalam bentuk pasta, amilopektin menunjukkan
kenampakan yang sangat jernih sehingga sangat disukai karena dapat
mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir. (2) mudah
menggumpal. (3) memiliki daya pemekat yang tinggi. (4) sifat pasta yang
tidak mudah pecah atau rusak. Pada suhu normal atau lebih rendah, pasta
tidak mudah kental dan pecah (retak-retak). Dibandingkan dengan pati
biasa, stabilitas amilopektin pada suhu amat rendah juga lebih tinggi. (5)
suhu gelatinisasi lebih rendah.
Amilopektin juga memiliki sifat yang kurang disukai yaitu sifat yang
sangat kohesif, viskositas tinggi serta mudah rusak jika mendapat
perlakuan panas dan asam. Untuk menghilangkan sifat yang kurang
menyenangkan maka pati diberi perlakuan kimia tertentu sehingga
mengalami modifikasi.
Komponen Minor
Lipid (Internal Lipid)
Komponen ini berikatan dengan molekul lain misalnya fosfolipid,
sehingga lipid dari pati sangat sulit diekstrak berbentuk polar lipid.
Protein
Klasifikasi protein yang terdapat pada pati berdasarkan kelarutannya
yaitu albumin yang larut dalam air, prolamin yang larut dalam alkohol 70
%, globulin yang tidak larut dalam air dan larut dalam larutan garam,
glutelin yang larut dalam asam atau basa. Protein ini terdapat dalam pati
walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Gelatinisasi Pati
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi membengkak dalam air
hangat. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pembengkakan
granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya
penekanan antara granula satu dengan yang lainnya. Pada awal
pemanasan, pembengkakan granula bersifat reversible yaitu sifat dari
granula yang dapat kembali ke bentuk semula. Pembengkakan granula
akan bersifat irreversible (tidak dapat balik) ketika telah melewati suhu
tertentu. Gelatinisasi yaitu proses dimana pembengkakan granula pati
tidak dapat kembali ke bentuk semula, sedangkan suhu yang terlewati
sehingga granula pati tidak dapat kembali disebut suhu gelatinisasi.
Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung dari sifat dan jenis pati.
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen yang
berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas granula pati.
Kerusakan integritas dan granula pati menyebabkan granula menyerap air,
sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk ke dalam medium. Sesudah
pengrusakan granula selesai maka viskositas pati akan menurun.
Proses gelatinisasi juga akan berpengaruh terhadap struktur heliks dari
polimer glukosa, sehingga terjadi perubahan dimana air yang diserap akan
berikatan. Akibat dari hal tersebut maka granula pati akan kehilangan
struktur heliksnya. Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses
gelatinisasi, granula pati akan mengalami hidrasi dan mengembang,
molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati berkurang
yang diikuti dengan semakin kuatnya antar granula, peningkatan
viskositas, kejernihan pasta semakin meningkat dan granula pati akan
kehilangan sifat birefringence yaitu sifat dimana pati akan menghantarkan
cahaya terpolarisasi.
2. Modifikasi Pati
1. Modifikasi Pati → Pati termodifikasi (pati pregelatinisasi) (Mita
Maharani Bahriah – 1305741)
Tepung Pregelatinisasi adalah tepung yang mengalami proses
gelatinisasi dengan perebusan (parboiling) dan selanjutnya
dikeringkan, sehingga memperbaiki kualitas, sifat reologi dan pasta
tepung. Pemanasan suspense tepung, yang diikuti oleh pengeringan,
menghasilkan produk yang swellable dalam air dingin dan
menghasilkan pasta saat dipanaskan. Produk ini biasanya digunakan
dalam makanan instan, seperti pudding, dan sebagai bahan
pengembang (belitz).
Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi proses pregelatinisasi. Jika pati tidak dipanaskan pada
temperatur yang sesuai maka derajat pengembangan granula pati tidak
tepat dan tidak memberikan sifat yang diinginkan (Hapsari, 2007).
Pemanasan menyebabkan lemahnya ikatan hidrogen dalam
granula, sehingga granula yang telah membengkak memiliki ukuran
yang besar dan bersifat irreversibel. Ketika dilakukan proses
pengeringan tepung yang telah tergelatinisasi, air mudah lepas dari
ikatan hidroksil sehingga kadar air sedikit menurun.
Menurut Kenneth, Leon and J Peter (1991) dalam Hapsari (2007)
penggunaan panas yang terus meningkat menyebabkan ikatan
hidrogen intermolukuler antara rantai amilosa dan rantai cabang
amilopektin mulai melemah, sehingga granula pati mengembang
secara cepat. Granula yang telah mengembang mempunyai struktur
yang lebih lunak dan bersifat irreversibel.
Ikatan hidrogen intramolekuler berfungsi mempertahankan struktur
integritas granula pati. Proses pengeringan kembali pati yang telah
mengalami gelatinisasi, akan memudahkan terlepasnya air yang terikat
didalam granula pati (Hapsari, 2007).
Tepung yang mengalami pre gelatinisasi dengan perebusan atau
(parboling) telah mengalami perubahan struktur ikatan dan bentuk
granula. Ikatan hidrogen antara amilosa dan amilopektin melemah
karena adanya pemanasan awal. Gelatinisasi mengakibatkan dehidrasi
dan konversi dari bentuk amarphous amilosa ke bentuk helik. Bentuk
helik menjadi bagian yang lemah dari kristal granula pati. Menurut
Zallie (1988) dalam Hapsari (2007) temperatur gelatinisasi
dipengaruhi oleh kuat lemahnya ikatan di dalam granula.
Menurut Light (1999) dalam Hapsari (2007), pregelatinisasi
merupakan salah satu teknik modifikasi fisik yang dapat mengatur
ukuran partikel. Annison dan Topping (2000) dalam Hapsari (2007)
menyatakan bahwa gelatinisasi terdiri dari dua tahap proses yaitu
suspensi pati yang dipanaskan pada suhu 60-700C sebagian granula
akan mengembang. Ketika suhu dinaikkan menjadi 900C granula akan
mengembang seluruhnya dan kehilangan bentuknya, meskipun pati
masih terdiri dari suatu fragmen yang melingkupinya.
2. Modifikasi pati → Tepung pra-masak termodifikasi (Juliana M Nur
– 1306948)
Tepung pra masak termodifikasi merupakan cara mendapatkan
rendemen pati dengan cara pendinginan yang dilakukan untuk
menggelatinisasi pati yang terdapat pada suatu bahan.
Maquenne (1993) dalam Jacobson and BeMiller (1998)
menemukan pengaruh suhu terhadap tingkat retrogradasi pati, dimana
kecepatan retrogradasi akan bertambah dengan semakin rendahnya
suhu. Makin rendah suhu, makin cepat proses retrogradasi dan makin
banyak pati.
Swelling Power (Winni Trinita Maulandhiyani – 1304693)
Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat
maksimum pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling
power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air.
Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati
mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk
memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses
produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan
masih bisa menampung pati tersebut (Suriani, 2008).
Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan
nonkovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam
air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun
demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya
mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika granula pati dipanaskan dalam air,
granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah
amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada
daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air
oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga
viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai
oleh granula pati (Swinkels, 1985). Ketika molekul pati sudah benar-benar
terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di
luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang
memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak
molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan
terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih
tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Fleche,
1985). Selain itu, Mulyandari (1992) juga melaporkan selama pemanasan
akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa
lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
(Isnaeni Apriliani - 1305572)
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum
Pada praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Serealia, kacang, dan
Umbi-umbian mengenai “Ekstraksi Pati Alami dan Modifikasi Pati”
dilaksanakan pada hari Rabu, 15 April 2015 bertempat di Laboratorium
Pendidikan Teknologi Agroindustri Fakultas Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia.
3.2. Alat dan Bahan
Ekstraksi Pati Alami
Alat-alat yang digunakan dalam proses ekstraksi pati alami
diantaranya adalah oven, ayakan tyler, grinder, baskom, kain kasa, dan
saringan. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan dalam proses
ekstraksi pati alami adalah singkong dan ubi jalar.
Modifikasi Pati
Alat-alat yang digunakan dalam proses modifikasi pati diantaranya
adalah kompor listrik, beker glass, oven, grinder, ayakan tyler, hot plate,
penangas air, baskom, kain kasa, kulkas, alat pengaduk, termometer,
statip, water bath, dan loyang. Sementara itu bahan-bahan yang digunakan
dalam proses modifikasi pati adalah singkong dan ubi jalar.
3.3. Prosedur Kerja
Ekstraksi Pati Alami (cara basah)
Umbi
Penimbangan
Pengupasan
Pencucian
Kulit umbi
Penimbangan
Pengecilan ukuran
Perlakuan terhadap umbi tertentu (talas, gadung, suweg, porang)
Pencucian
Ekstraksi umbi : air (1 : 4)
Pengendapan 6-24 jam
Penyaringan Pati
Lakukan sebanyak dua kali
Pengeringan pati (55°C, 6-14 jam) ((55Type equation here .
Pengayakan (100 mesh)
Pati kering alami
Ekstraksi Pati Alami (cara kering)
Penimbangan
Pengupasan
Pencucian
Kulit umbi
Penimbangan
Pengecilan ukuran
Perlakuan terhadap umbi tertentu (talas, gadung, suweg, porang)
Pencucian
Pengeringan (55°C, 6-14 jam) jam)
Penghancuran (grinder)
Pengayakan (60-100 mesh) Tepung
Ekstraksi pati tepung : air (1 : 5 ) 3-6 jam ((55Type equation here .
Pengeringan pati (55°C, 3-10 jam)
Umbi
Rendam dalam air
Pati Termodifikasi (pati pregelatinisasi)
Pati kering alami
60-80% Pati hasil ekstraksi
Pensuspensian pati dengan aquades (20% b/v)
Pemanasan suspensi pati (hot plate 60-80°C) samapai viskositas meningkat
Pendinginan selama 1 jam pada suhu ruang
Penyimpanan (4°C, 24 jam)
Thawing (2 jam)
Pengeringan (55°C, 4-10 jam)
Penghancuran (grinder)
Pengayakan (60-100 mesh)
Pati termodifikasi
Tepung Pra Masak Termodifikasi
Penimbangan
Pengupasan
Pencucian
Kulit umbi
Penimbangan
Pengecilan ukuran
Perlakuan terhadap umbi tertentu (talas, gadung, suweg, porang)
Pencucian
Perebusan (100°C, 30 menit)
Pendinginan pada suhu ruang selama 1 jam
Thawing (2 jam)
Pengeringan (55°C, 10-24 jam)
Umbi
Penyimpanan (4°C, 24 jam)
Swelling Power 0,1 gram sampel tepung/pati
(
Pemasukan kedalam tabung reaksi+ 10 ml aquades
Pemanasan dalam water bath (70°C, 30 menit)
diaduk secara kontinyu dan
dipanaskan secaraperiodik
Pemisahan supernatan dengan cairannya
Sentrifugasi (2500 rpm, 20 menit)
Didekantasi Pasta
Penimbangan pasta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan (Yanni Handayani - 1306681)
Atribut Pengamatan
Pati Singkong Pati Ubi JalarPati termodifikasi (pregelatinisasi)
Tepung pra masak (modifikasi)
Ekstraksi kering
Ekstraksi basah
Ekstraksi kering
Ekstraksi basah
Singkong Ubi Jalar Singkong Ubi Jalar
Rendemen (%)95,2 g2000 g
x100 %=4,76 %200,6 g1650 g
x100 %=12,158 %63 g2000 g
x100 %=3,15 %74,4067 g1700 g
x100 %=4,3769%8,1885 % 65,40% 109,2323%118,2g1000 g
x100 %=11,82%
dalam 1000 gram
Warna/ dejarat putih
++
Putih
++
Putih
-
Orange-krem
-
Krem
Putih-krem
--
Coklat
++
Kuning
+
Kuning
Aroma
-
Tidak beraroma
++
Aroma tepung
++
Aroma ubi
++
Aroma tepung
+++ Aroma
singkongAroma ubi
++
aroma singkong
rebus
Aroma tepung ubi +
+
Tekstur (mesh) 100 100 80 80 100 60 100 100
Swelling power (%)
3,1473 g0,1 g
x100 %=3147,3 %3,5413 g0,1 g
x100 %=3541,3 %0,8159 g0,1034 g
x100 %=789,07 %2,5781 g0,1262 g
x100 %=2042,87 %3929,417%
1652,8672%3,0922 g0,103 g
x 100 %=3002,14 %1,6799 g0,1049 g
x100 %=1601,43 %
Gambar bentuk/struktur
granula patiTerlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir Terlampir
4.2. Pembahasan
Nama : Amalia Dwi Lestari
NIM : 1301107
Pati merupakan butiran atau granula yang berwarna putih mengkilat, tidak
berbau serta tidak mempunyai rasa. Pati pada dasarnya merupakan polimer
glukosa dengan ikatan 1,4 α glikosidik. Sifat dari berbagai macam pati tidak sama,
tergantung dari panjang rantai karbonnya (Winarno, 1989).
Pati merupakan campuran dari amilosa dan amilopektin yang tersusun di
dalam granula pati. Amilosa merupakan polimer linier yang mengandung
500-2000 unit glukosa yang terikat oleh ikatan Į-(1,4) sedangkan amilopektin
selain mengandung ikatan Į-(1,4) juga mengandung ikatan Į-(1,6) sebagai titik
percabangannya ( Smith, 1982; Swinkels, 1985; Pomeranz, 1991).
Dalam praktikum ekstraksi pati dan modifikasi pati yang dilakukan pada
15 April di laboratorium teknologi pengolahan hasil pertanian prodi Pendidikan
Teknologi Agroindutri FPTK UPI, dilakukan beberapa percobaan yakni
pembuatan pati alami cara basah dan cara kering, pati tergelatinisasi, dan pati
pramasak yang bahan bakunya yakni singkong dan ubi jalar.
1. Ekstraksi Pati
Sumber pati dapat diperoleh dari umbi-umbian, biji-bijian serta bagian
batang tanaman. Umbi merupakan bagian tanaman yang berupa akar atau
batang sebagai tempat untuk menyimpan cadangan makanan. Akar dan
batang yang berfungsi khusus untuk menyimpan cadangan makanan akan
membengkak, memiliki sejumlah besar parenkim yang sel-selnya penuh
dengan cadangan makanan. Akibat hal tersebut maka terjadi dominasi sel-sel
parenkim pada xylem dan floem sekundernya. Selama terjadi proses
pembengkakan umbi, diikuti pula dengan peningkatan konsentrasi pati dan
terjadi penurunan kadar air dalam pati.
Adapun proses pengekstrakan pati yang dilakukan dengan bahan umbi-
umbian, yakni proses ekstraksi pati diawali dengan pengupasan bahan baku
pati seperti ubi kayu lalu dicuci sampai kotoran hilang. Pencucian harus
diperhatikan dan harus dilakukan dengan bersih karena pencucian yang tidak
bersih akan mempengaruhi kandungan pati. Semakin banyak zat pengotor
yang terbawa pada proses pembuatan pati maka kemurnian pati akan semakin
rendah. Tahap setelah pencucian bahan baku pati yaitu pemarutan. Tahap
pemarutan yaitu tahap dimana proses penghancuran bahan baku pati
dilakukan. Pentingnya tahap ini yaitu untuk mengecilkan ukuran dan
memecah ukuran granula pati sehingga memudahkan tahap selanjutnya yaitu
ekstraksi. Tahap ekstraksi dilakukan untuk memisahkan ampas yang berupa
serat-serat dan kotoran. Pada tahap ini menghasilkan bubur pati, yang
selanjutnya dilakukan pengepresan. Dengan adanya pengepresan maka akan
terpisah antara ampas dan suspensi pati. Suspensi pati diendapkan sehingga
didapatkan endapan pati. Endapan pati kemudian dikeringkan dan digiling.
Hasil penggilingan tersebut dinamakan pati.
Dalam melakukan proses ekstraksi, ada beberapa jenis umbi-umbian yang
harus melakukan pretreatment terlebih dahulu, hal ini dikarenakan pada
beberapa jenis umbi-umbian memiliki kandungan racun yang apabila
termakan oleh kita akan menyebabkan keracunan. Sebagai contoh, bahan
baku singkong memiliki racun yang berupa HCN atau asam sianida. Dalam
hal ini, asam sianida direduksi terlebih dahulu dengan pencucian yang bersih.
HCN dalam singkong lebih banyak terdapat di kulitnya dibanding dengan
dagingnya. Namun bila pencucian tidak bersih, dikhawatirkan kandungan
HCN masih ada pada singkong bagian dagingnya. Sehingga pencucian yang
bersih dan pemanasan dapat mereduksi HCN yang terdapat pada singkong.
Rasa singkong ada yang sedikit manis dan ada yang sedikit pahit tergantung
kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida.
a. Randemen
Dalam praktikum ini, dilakukan penghitungan randemen pati singkong dan
pati ubi jalar dengan dua perlakukan yang berbeda, didapatkan hasil sebagai
berikut:
Pati Singkong Pati Ubi Jalar
Ekstraksi Ekstraksi basah Ekstraksi Ekstraksi basah
kering kering
95,2 g2000 g
x100 %=4,76 %200,6 g1650 g
x100 %=12,158 %63 g2000 g
x100 %=3,15 %74,4067 g1700 g
x100 %=4,3769%
Tabel 1.1 Rendemen Pati singkong dan Pati Ubi jalar
Rendemen merupakan berat pati yang lolos pengayakan perberat sampel
yang digunakan kemudian dipresentasekan. Dari hasil tersebut, didapatkan
bahwa rendement pati yang tinggi nilainya yakni dengan perlakukan ekstraksi
cara basah.
b. Warna
Dalam pengamatan warna, dapat dilihat bahwa warna pati yang terbentuk
yakni:
Pati Singkong Pati Ubi Jalar
Ekstraksi
kering
Ekstraksi
basah
Ekstraksi
kering
Ekstraksi
basah
++
Putih
++
Putih
-
Orange-krem
-
Krem
Tabel 1.2 warna pati singkong dan pati ubi jalar
Adanya perbedaan warna yang dihasilkan dari pati tersebut dikarenakan
kandungan pigmen pada jenis umbi yang berbeda. Adanya warna orange
kream yang terbentuk, dikarenakan adanya kandungan betakaroten. Selain itu
terdapat beberapa warna pada umbi jalar yakni ungu, kuning, merah, putih
dan adapula warna jingga pada ubi jalar yang memberi isyarat akan tingginya
kandungan senyawa lutein, zeaxantin, pasangan antioksidan karotenoid.
Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil merupakan pembentuk
vitamin A. Lutein dan zeaxantin merupakan senyawa aktif yang memiliki
peran penting menghalangi proses perusakan sel. Sedangkan pati singkong
memiliki warna putih pati.
c. Aroma dan tekstur
Pati singkong dan pati ubi jalar memiliki aroma khas umbi dan tekstur
yang halus. Aroma yang dihasilkan dari umbi tersebut dikarenakan senyawa
volatil. Adanya aroma yang berkurang dkarenakan adanya penguapan
senyawa volatile pada saat proses ekstraksi. Adanya tekstur halus didapatkan
dari hasil ayakan yang digunakan dengan satuan mesh. Adanya tingkat
kehalusan dari pati tersebut merupakan jumlah pati yang lolos saringan
dengtan ukuran tertentu.
Atribut
Pengamata
n
Pati Singkong Pati Ubi Jalar
Ekstraksi
kering
Ekstraksi
basah
Ekstraksi
kering
Ekstraksi
basah
Aroma-
Tidakberaroma
++
Aroma
tepung
++
Aroma ubi
++
Aroma
tepung
Tekstur
(mesh)100 100 80 80
Tabel 1.3 aroma dan tekstur pati singkong dan pati ubi jalar
d. Swelling power
Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk
mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan
hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen
dengan air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati
mengembang secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini
disebabkan karena banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan
granula pati yang mengembang tersebut mengakibatkan swelling power
menjadi meningkat. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, nilai swelling
power yang tertinggi didapatkan dengan cara ekstraksi basah.
Pati Singkong Pati Ubi Jalar
Ekstraksi kering Ekstraksi basah Ekstraksi kering Ekstraksi basah
3,1473 g0,1 g
x100 %=3147,3 %3,5413 g0,1g
x100 %=3541,3 %0,8159 g0,1034 g
x100 %=789,07 %2,5781 g0,1262 g
x100 %=2042,87 %
Tabel 1.4 uji swelling ekstraksi pati singkong dan pati ubi jalar
e. Granula pati
Granula pati mempunyai ukuran, bentuk, keseragaman dan bentuk hilum
yang khas dan berbeda-beda tergantung dari jenis patinya, sehingga dapat
digunakan untuk identifikasi jenis pati. Dalam granula, campuran dari
molekul struktur linear dan bercabang, tersusun secara radial dalam sel yang
konsentrik dan membentuk cincin dan lamella. Terbentuknya lamella dalam
pati, diduga sebagai akibat dari adanya pelapisan molekul pada granula,
sedangkan hilum merupakan titik dari mulai berkembangnya granula.
Pati singkong ekstraksi kering
kelompok 2
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati singkong ekstraksi basah
kelompok 1
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati ubi jalar ekstraksi kering
kelompok 6
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati ubi jalar ekstraksi basah
kelompok 5
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Gambar 1.1 granula pati singkong dan pati ubi jalar
Dari gambar 1.1 terlihat bahwa bentuk granula pati singkong dan ubi jalar
berbeda. Granula pati ubi jalar memiliki bentuk polygon sedangkan granula
pati singkong memiliki bentuk bulatan oval. Hal ini dapat disesuaikan dengan
literature yang ada bahwa granula pati ubi jalar memiliki bentuk polygon dan
pati singkong berbentuk oval.
Gambar 1.2 sifat fisik dan komposisi kimia berbagai jenis granula pati
2. Pati Termodifikasi
Dalam percobaan ini, dilakukan dua percobaan yakni percobaan
pembuatan pati termodifikasi (pragelatinisasi) dan pati pra masak
(modifikasi). Pati dapat dimodifikasi untuk menghasilkan sifat-sifat pati yang
diinginkan yang berkaitan dengan produk yang akan dihasilkan. Pati yang
telah mengalami modifikasi disebut pati termodifikasi (modified starch).
Menurut Fleche (1985) pati termodifikasi adalah pati yang gugus
hidroksilnya telah diubah melalui suatu reaksi (esterifikasi, eterifikasi atau
oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya. Glicksman (1969)
mengatakan bahwa pati termodifikasi yaitu pati yang diberi perlakuan tertentu
dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki
sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini
dapat mencakup panggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan
kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan
bentuk, ukuran serta struktur molekul pati.
Pregelatinisasi merupakan teknik modifikasi pati secara fisik yang paling
sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga
tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati yang dihasilkan
dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer. Karena sudah mengalami
gelatinisasi, maka pati pregelatinisasi tidak lagi memiliki penampakan
granula pati. Pati pregelatinisasi bersifat instan, dimana dapat larut dalam
dalam air dingin (cold water soluble). Di samping itu, pati pregelatinisasi
memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati yang tidak
dipregelatinisasi. Pati pregelatinisasi di antaranya dapat digunakan untuk
formulasi makanan bayi dan pudding.
Dari percobaan yang dilakukan dalam pembuatan pati modifikasi yakni
pati pregelatinisasi dan tepung pramasak didapatkan hasil pada tabel 2.1
Atribut Pati termodifikasi Pati pramasak
Pengamatan(pregelatinisasi) (modifikasi)
Singkong Ubi Jalar Singkong UbiJalar
Rendemen (%) 8,1885 % 65,40% 8,1885 % 65,40%
Warna/ dejarat
putihPutih-krem
--
CoklatPutih-krem
--
Coklat
Aroma+++ Aroma
singkongAroma ubi
+++ Aroma
singkongAroma ubi
Tekstur (mesh) 100 60 100 60
Swelling power (%) 3929,417% 1652,8672% 3929,417% 1652,8672%
Tabel 2.1 pengamatan pati pregelatinisasi dan pati pramasak
Dapat dilihat dari hasil percobaan yang dilakukan, rendemen yang
dihasilkan nilai paling tinggi pada ubi jalar, namun pada pengujian swelling
power didapatkan nilai paling tinggi yaitu pada singkong. Hal ini
menunjukkan bahwa daya serap air lebih baik pada pati yang termodifikasi
dengan bahan baku singkong.
Pada pengamatan granula pati yang terbentuk didapatkan hasil yang
berbeda-beda. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi membengkak
dalam air hangat. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan
pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan
terjadinya penekanan antara granula satu dengan yang lainnya. Pada awal
pemanasan, pembengkakan granula bersifat reversible yaitu sifat dari granula
yang dapat kembali ke bentuk semula. Pembengkakan granula akan bersifat
irreversible (tidak dapat balik) ketika telah melewati suhu tertentu.
Gelatinisasi yaitu proses dimana pembengkakan granula pati tidak dapat
kembali ke bentuk semula, sedangkan suhu yang terlewati sehingga granula
pati tidak dapat kembali disebut suhu gelatinisasi. Menurut Swinkels (1985)
jika granula pati dipanaskan dan akan tercapai pada suhu dimana pada saat itu
akan terjadi hilangnya sifat polarisasi cahaya pada hilum, mengembangnya
granula pati yang bersifat tidak dapat kembali disebut dengan gelatinisasi.
Patitermodifikasi
(pregelatinisasi) Singkong
Patitermodifikasi
(pregelatinisasi) Ubijalar
Patipramasak (modifikasi)
singkong
Patipramasak (modifikasi)
ubijalar
Gambar 2.1 granula pati termodifikasi
Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa bentuk granula pati
tidak berbentuk oval maupun polygon seperti ekstraksi pati sebelumnya. Hal
ini dikarenakan amilosa dan amilopektin didalam granula pati dihubungkan
dengan ikatan hydrogen, apabila granula pati dipanaskan didalam air, maka
energy panaas akan menyebabkan ikatan hydrogen terputus dan air masuk
kedalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan
hydrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air kedalam granula
menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati sehingga ukuran granula
akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut
pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilisa dan sedikit
amilopektin berdifusi keluar. Proses inilah yang disebut gelatinisasi.
Sumber :
Anonim. Karbohidrat . [Online]. Tersedia di
https://docs.google.com/document/d/1q5E889rMKc73MVf1pvh6ZQbl5xir
KyHUDPegGccp18c/edit?hl=en&pli=1 diakses pada April 2015
Halim, M. 2015. Tepung dan Pati. [Online]. Tersedia di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/42929/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada april 2015
Kalsum, Nurbani dan Surfiana. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu yang
Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan Vol. 13 (1): 13-23
Kusnandar, Feri. 2010. Teknologi Modifikasi Pati dan Aplikasinya di Industri
Pangan. [Online]. Tersedia di http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?
option=com_content&task=view&id=111&Itemid=94 diakses pada april
2015
Lase, VA. 2013. Ubi jalar. [Online]. Tersedia di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37667/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada april 2015
Widyaastuti, Endrika. 2012. Modifikasi Pati. [Online]. Tersedia di
https://endrikawidyastuti.files.wordpress.com/2012/03/modifikasi-pati1.pdf
diakses pada April 2015
Nama : Isnaeni Apriliani
NIM : 1305572
Ubi jalar merupakan tanaman yang banyak ditemukan di pasar dengan harga
relatif murah. Kita mengenal ada beberapa jenis ubi jalar. Jenis yang paling umum
adalah ubi jalar putih, merah, ungu, kuning atau orange. Kelebihan dari ubi jalar
yang berwarna yaitu mengandung antioksidan yang kuat untuk menetralisir
keganasan radikal bebas penyebab penuaan dini dan pencetus penyakit degeneratif
seperti kanker dan jantung. Zat gizi lain yang banyak terdapat dalam ubi jalar
adalah energi, vitamin C, vitamin B6 (piridoksin) yang berperan penting dalam
kekebalan tubuh. Kandungan mineralnya dalam ubi jalar seperti fosfor, kalsium,
mangan, zat besi dan serat yang larut untuk menyerap kelebihan lemak/kolesterol
dalam darah (Reifa, 2005).
Ubi jalar memiliki prospek dan peluang yang cukup besar sebagai bahan
baku industri pangan. Perkembangan pemanfaatannya dapat ditingkatkan dengan
cara penerapan teknologi budidaya yang tepat dalam upaya peningkatan
produktivitas serta tersedianya jaminan pasar yang layak. Peningkatan produksi
ubi jalar tersebut harus diikuti dengan teknologi pengolahan yang dapat
menumbuhkan agroindustri ubi jalar. Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini
kami mencoba mengekstraksi pati alami dan pati termodifikasi berbahan dasar ubi
jalar sebagai bentuk diversifikasi ubi jalar.
Sampel yang kami gunakan dalam praktikum kali ini adalah ubi jalar
oranye. Ubi jalar oranye merupakan salah satu umbi-umbian yang memiliki
kandungan senyawa fungsional yaitu betakaroten. Menurut Depkes RI (1981)
dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002), vitamin A pada ubi jalar
memiliki kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi yaitu sebesar 7700
SI/100 gram terutama ubi jalar yang daging umbinya berwarna oranye atau jingga.
Betakaroten merupakan salah satu jenis karotenoid, disamping mempunyai
aktivitas biologis sebagai provitamin A, juga dapat berperan sebagai antioksidan
untuk melawan radikal bebas pada tubuh. Tetapi betakaroten mudah mengalami
perubahan struktur terutama pada saat pengolahan (Sinaga, 2011).
Ada beberapa kelebihan ubi jalar oranye dalam kandungan zat gizi
dibandingkan ubi jalar lainnya. Ubi jalar oranye merupakan sumber vitamin C dan
betakaroten (provitamin A) yang sangat baik. Kandungan betakarotennya lebih
tinggi dibandingkan ubi jalar berdaging kuning. Bahkan, ubi jalar berdaging putih
tidak mengandung vitamin tersebut atau sangat sedikit. Sementara kandungan
vitamin B ubi jalar berdaging jingga sedang (Sarwono, 2005).
Berikut merupakan nilai gizi ubi jalar dibandingkan dengan beras, ubi
kayu, dan jagung per 100 g bahan.
Komposisi kimia ubi jalar berdasarkan Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan RI (1981) dalam Jamriyanti (2007).
Selain mengandung zat-zat gizi ubi jalar juga mengandung zat anti gizi
yaitu tripsin inhibitor dengan jumlah 0,26-43,6 SI/100 gram ubi jalar segar
(Bradbury dan Holoway, 1988). Tripsin inhibitor tersebut akan memotong gugus
aktif enzim tripsin, sehingga enzim tersebut terhambat dan melakukan fungsinya
sebagai pemecah protein. Aktivitas tripsin inhibitor dapat dihilangkan dengan
pengolahan sederhana yaitu pengukusan atau perebusan (Cahyono, MM, 2004).
Dalam praktikum ekstraksi pati alami, kami melakukan dua perlakuan
yang berbeda yaitu ekstraksi pati alami dengan menggunakan cara basah dan
ekstraksi pati alami dengan menggunakan cara kering. Begitupun dengan
praktikum modifikasi pati, dalam pelaksanaannya kami menggunakan teknologi
pengolahan modifikasi pati yang berbeda yaitu pati termodifikasi (pregelatinisasi)
dan pati pra masak. Tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi terhadap produk
pati yang dihasilkan. Hal yang kami amati dalam praktikum ini antara lain adalah
rendemen, warna/derajat putih, aroma, tekstur (mesh), bentuk granula pati, dan
daya serap air/swelling power.
1. Ekstraksi Pati Alami
Pati disusun oleh amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan
polisakarida yang linier sedangkan amilopektin adalah yang bercabang. Tiap
jenis pati tertentu disusun oleh kedua fraksi tersebut dalam perbandingan yang
berbeda-beda. Pada pati jenis yanga rekat (addesif) amilosa dalam pati berkisar
20-30% (Sudarmadji, 2003).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-
nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua
fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa
dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai struktur
cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total
(Winarno, 2002).
Pati adalah polimer glukosa yang terdapat dalam dua bentuk, yaitu
bentuk linier, amilosa, dimana unit-unit glukosa digabungkan dengan ikatan α-
(1,4) dan bentuk polimer bercabang, amillopektin, dimana unitunit glukosa
digabungkan baik dengan ikatan α-(1,4) maupun dengan ikatan α-(1,6).
Sebagian besar pati mengandung 16-24% amilosa (Muchtadi, 1989).
Dalam praktikum ini, kami menggunakan dua perlakuan yang berbeda
untuk mendapatkan ekstrkasi pati alami ubi jalar yaitu dengan menggunakan
cara kering dan cara basah. Dalam prosesnya, hal yang membedakan dari
kedua perlakuan tersebut terletak pada proses perlakuan pendahuluannya. Pada
ekstraksi pati alami cara kering, dilakukan pengeringan selama 6-14 jam dalam
oven dengan suhu 550C sementara pada ekstraksi cara basah, dilakukan
perendaman dalam air sampai terbentuk endapan dengan rasio perbandingan
ubi dan air adalah 1 : 4.
Perendaman yang dilakukan dalam proses ekstraksi pati alami ubi jalar
berfungsi untuk mencegah kontak oksigen di udara dengan daging ubi jalar.
Sementara itu pengeringan yang dilakukan dalam proses ekstraksi pati alami
ubi jalar befungsi untuk mengeringkan ubi jalar dengan digunakan pemanas
drying oven agar tidak terjadi kontak antara ubi dengan oksigen. Pemanasan
dilakukan pada suhu 550C selama 16 jam agar warna tepung dan karoten tidak
rusak.
a. Rendemen
Rendemen merupakan persentase dari hasil (berat pati yang diperoleh)
dengan berat bahan baku (umbi segar). Besarnya rendemen yang dihasilkan
dari ubi jalar segar dapat diketahui dari kadar bahan keringnya. Semakin tinggi
kadar bahan kering ubi jalar, maka semakin tinggi pula rendemen tepung yang
dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada varietas/klon,
lingkungan (radiasi sinar matahari, suhu, pemupukan, kelembaban tanah) dan
umur tanaman (Bradbury dan Holloway, 1988).
Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen ekstraksi pati alami cara basah
memiliki rendemen paling besar dibandingkan dengan rendemen ekstraksi pati
cara kering. Persentase rendemen pati cara basah yaitu sebesar 4,3769%
sedangkan persentase rendemen pati cara kering yaitu sebesar 3,15%. Hal
tersebut menunjukan adanya perubahan selama proses pengolahan yang terjadi
pada kedua perlakuan tersebut. Perbedaan rendemen yang diperoleh tersebut
dipengaruhi oleh jenis perlakuan yang diberikan. Cara basah memiliki
rendemen yang besar disebabkan oleh karena kadar air yang terdapat dalam
pati tersebut besar sehingga mempengaruhi berat jenis atau rendemennya
begitupun dengan rendemen yang diperoleh oleh pati dengan perlakuan cara
kering sedikit, hal tersebut dipengaruhi oleh perlakuan pengeringan yang
diberikan sehingga menyebabkan pemindahan air dengan sengaja dari bahan
pangan atau ubi jalar. Pengeringan yang terjadi berlangsung dengan penguapan
air yang terdapat di dalam bahan pangan sehingga berat jenis atau rendemen
yang dihasilkannyapun sedikit.
b. Warna
Warna merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori
(organoleptik) dengan menggunakan indera penglihatan. Warna yang
diharapkan untuk bahan hasil pengeringan yaitu warna tidak terlalu
menyimpang dari warna asli (Kusmawati, dkk, 2000)
Berdasarkan hasil pengamatan warna pati yang dihasilkan dari setiap
masing-masing perlakuan menunjukan warna yang sedikit berbeda, dimana
warna pati dengan perlakuan cara basah menunjukan warna krem, hal tersebut
dapat terjadi akibat dari adanya perendaman dalam proses pengolahannya
sehingga mempengaruhi warna yang dihasilkan oleh produk. Warna pati yang
dihasilkan akan cenderung memudar, hal ini disebabkan oleh karena semakin
lama perendaman semakin banyak komponen penimbul warna atau pigmen
(dalam hal ini karoten) yang terbuang. Sementara itu warna pati yang
dihasilkan dari perlakuan cara kering menunjukan warna orange-krem hal
tersebut dapat terjadi karena pemanasan yang dilakukan pada suhu 550C
selama 14 jam pigmen karoten tidak rusak sehingga mampu mempertahankan
warna pati. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Regina (2009)
Selain daripada itu, dari kedua perlakuan tersebut warna pati alami ubi
jalar yang dihasilkan memiliki warna krem (sedikit coklat). Hal tersebut dapat
terjadi karena adanya reaksi pencoklatan non enzimatis yang berupa reaksi
maillard. Menurut Winarno (2002), reaksi Maillard merupakan reaksi antara
karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil
tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki atau
kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Selain itu Dedi
Fardiaz, dkk (1992) juga menyatakan bahwa Reaksi pencoklatan non enzimatik
atau disebut juga reaksi maillard terjadi bila gula pereduksi bereaksi dengan
senyawa-senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida,
dan amonium).
c. Aroma
Aroma merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori
(organoleptik) dengan menggunakan indera penciuman. Aroma dapat diterima
apabila bahan yang dihasilkan mempunyai aroma spesifik (Kusmawati, dkk,
2000). Aroma adalah salah satu komponen cita rasa (flavor). Aroma
merupakan sensasi subyektif yang dihasilkan dengan penciuman (pembauan).
Konstituen yang dapat menimbulkan aroma adalah senyawa volatile (yang
dapat diisolasi dari bahan pangan biasanya kurang daru 100 ppm) (Santoso dan
Murdijati G, 1999).
Berdasarkan hasil pengamatan, aroma pati alami ubi jalar yang dihasilkan
dari kedua perlakuan yang berbeda menghasilkan aroma yang berbeda. Dimana
pada perlakuan ekstraksi pati alami cara basah aroma pati yang tercium
cenderung memiliki aroma seperti tepung sedangkan aroma pati yang
dihasilkan dari ekstraksi pati alami cara kering cenderung memiliki aroma
seperti ubi. Kedua perlakuan tersebut sangat mempengaruhi perubahan aroma
yang terjadi, dalam hal ini aroma dari produk pati alami ubi jalar yang
dihasilkan memiliki aroma yang tidak terlalu dominan seperti bahan utamanya
hal ini disebabkan oleh proses perendaman dan pengeringan yang dapat
mengakibatkan senyawa volatile atau flavor yang terdapat dalam bahan pangan
tersebut mudah menguap (volatile favour) hilang. (Buckle, et al : 1985) dalam
bukunya ”Ilmu Pangan”.
d. Tekstur
Dalam praktikum ekstraksi pati alami ubi jalar orange ini kami
menggunakan ayakan thyller 80 mesh, baik itu ekstraksi pati dengan
menggunakan cara basah maupun ekstraksi pati dengan menggunakan cara
kering. Pati ubi jalar yang dihasilkan dari kedua jenis perlakuan tersebut
memiliki tingkat kehalusan yang sama yaitu dengan ukuran ayakan 80 mesh.
Ayakan thyller 80 mesh ini artinya sepanjang 1 inch terdapat 80 lubang.
Tingkat kehalusan pati alami ubi jalar yang diperoleh tersebut merupakan
jumlah partikel pati yang lolos dalam 80 lubang sepanjang 1 inch (saringan
thyller ukuran 80 mesh)
e. Swelling Power
Dalam praktikum ini, kami melakukan pengujian terhadap daya serap air
pati atau yang biasa disebut dengan swelling power. Metode yang kami
gunakan dalam percobaan ini adalah metode sentrifugasi. Berdasarkan hasil
pengamatan, Nilai swelling power pati alami cara basah adalah 2042,87%
sedangkan nilai swelling power pati alami cara kering adalah 789,07%. Nilai
swelling power yang dihasilkan oleh pati alami ubi jalar dengan menggunakan
cara basah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai swelling
power yang dihasilkan oleh pati alami ubi jalar dengan menggunakan cara
kering. Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh perendaman yang dilakukan
pada proses ekstraksi pati alami cara basah, sehingga menyebabkan masuknya
air ke dalam molekul pati, oleh karena itu ikatan antarmolekul pati akan
melemah sehingga nilai swelling power pati akan menjadi lebih tinggi. Dalam
hal ini Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun
pati. Dengan masuknya air ke dalam molekul pati, ikatan antarmolekul pati
akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati
alami (Aziz, 2004). Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus
amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu
proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan
jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power (Sasaki dan
Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007).
f. Struktur Granula Pati
Selanjutnya dalam praktikum ini, kami melakukan pengujian terhadap
bentuk granula pati dengan menggunakan mikroskop digital. Berdasarkan hasil
pengamatan, diperoleh gambar yang menunjukan bentuk dan ukuran granula
pati dari setiap masing-masing perlakuan. Gambar bentuk ukuran granula pati
yang ditunjukan oleh pati dari kedua jenis perlakuan tersebut menunjukan
bentuk dan ukuran granula pati yang sama yaitu berbentuk bulat tak beraturan.
Hal yang membedakannya adalah kecerahan dan kejernihan penampakan yang
terlihat dari penampang bentuk dan ukuran granula pati. Dimana dapat kita
lihat bahwa bentuk dan ukuran granula pati dengan menggunakan cara kering
terlihat lebih cerah dan lebih jernih daripada bentuk dan ukuran granula pati
dengan menggunakan cara basah. Selain daripada itu, granula pati dengan
menggunakan cara basah terlihat lebih padat dan bentuk molekulnya cederung
lebih besar dibandingkan dengan bentuk dan ukuran granula pati cara kering.
Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh perendaman dimana granula pati
akan menyerap air dan membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan
pembengkakannya terbatas. Selain menyerap air lebih banyak, pati dengan
kadar amilosa yang tinggi memiliki daya kembang yang lebih besar saat
dimasak.
2. Modifikasi Pati
Dalam praktikum ini, kami melakukan percobaan mengenai modifikasi pati.
Dalam pelaksanaannya kami menggunakan teknologi pengolahan modifikasi
pati yang berbeda yaitu pati termodifikasi (pregelatinisasi) dan pati pra masak.
Tentu saja hal tersebut akan mempengaruhi terhadap produk pati yang
dihasilkan. Hal yang kami amati dalam praktikum ini antara lain adalah
rendemen, warna/derajat putih, aroma, tekstur (mesh), bentuk granula pati, dan
daya serap air/swelling power.
a. Rendemen
Pada tiap jenis pati, perlakuan modifikasi tidak memberikan pengaruh yang
nyata pada kadar air, kadar abu, kadar Ca dan kadar lemak. Retrogradasi gel
pati sebagai hasil modifikasi fisik menyebabkan keluarnya air dari matriks gel
(sineresis) karena bergabungnya molekul pati (terutama amilosa) (Elliason and
Gadmundsson, 1996), air menjadi mudah diuapkan saat pengeringan. Pada
modifikasi kimia, Ca masuk dalam granula menggantikan gugus hidroksil
molekul pati, terbentuk jembatan Ca dan membebaskan air. Air dalam bahan
juga menjadi lebih mudah diuapkan. Hal ini diperkuat oleh Bryant and
Hamaker (1997) yang menyatakan bahwa kation divalent (dalam hal ini adalah
ion Ca++) berikatan sangat kuat dengan molekul– molekul pati yang
menyebabkan kemampuan menahan air pada bahan menurun.
Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen pati pra gelatinisasi memiliki nilai
yang lebih besar dibandingkan dengan rendemen pati pra masak. Persentase
rendemen pati pragelatinisasi adalah 65,40% sedangkan presentase rendemen
pati pra masak adalah 11,82%. Hal tersebut dapat terjadi diduga karena
pengaruh dari perlakuan yang diberikan, dimana pada pati pragelatinisasi
dilakukan suspensi pati alami dengan air sebanyak 20% b/v yang secara tidak
langsung hal tersebut dapat berpengaruh terhadap rendemen pati yang
dihasilkan akan cenderung lebih besar dibandingkan dengan pati pra masak
yang tidak ditambahkan dengan material apapun.
b. Warna
Berdasarkan hasil pengamatan, warna yang dihasilkan oleh kedua jenis pati
termodifikasi tersebut menunjukan warna yang berbeda, pati pra masak
menghasilkan warna kuning sementara pati pragelatinisasi menghasilkan warna
coklat. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh dari perlakuan
yang diberikan kepada masing-masing pati termodifikasi. Warna coklat yang
dihasilkan dari pati pragelatinisasi diduga terjadi akibat dari adanya reaksi
pencoklatan non enzimatis yang berupa reaksi maillard selama proses
pengolahan yang menggunakan panas. Menurut Winarno (2002), reaksi
Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi
dengan gugus amina primer. Hasil tersebut menghasilkan bahan berwarna
coklat, yang sering dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda
penurunan mutu. Selain itu Dedi Fardiaz, dkk (1992) juga menyatakan bahwa
Reaksi pencoklatan non enzimatik atau disebut juga reaksi maillard terjadi bila
gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus
NH2 (protein, asam amino, peptida, dan amonium). Reaksi terjadi apabila
bahan pangan dipanaskan dan atau didehidrasi. Dalam protein terdapat bagian
yang merupakan grup polar yang menjadi jenuh dengan mengadsorbsi air. Hal
ini menyebabkan molekul protein bertambah besar dalam mobilisasinya, dan
memungkinkan proses modifikasi intra dan intermolekuler dan kecepatan
modifikasi ini semakin bertambah dengan semakin cepatnya reaksi
pencoklatan.
c. Aroma
Berdasarkan hasil pengamatan, kedua jenis pati termodifikasi tersebut
memiliki aroma yang sama yaitu aroma ubi jalar atau tepung ubi jalar. Hal ini
menunjukan bahwa kedua jenis perlakuan terhadap pati termodifikasi tersebut
tidak merubah kualitas aroma bahan baku atau bahan utama pembuatan pati
alami (senyawa volatilenya dapat dipertahankan).
d. Tekstur
Berdasarkan hasil pengamatan, tekstur dari kedua jenis pati termodifikasi
tersebut memiliki tekstur dan tingkat kehalusan yang berbeda. Pati pra masak
cenderung lebih halus dibandingkan dengan pati pra gelatinisasi, hal ini dapat
terjadi karena perbedaan penggunaan ukuran ayakan thyller pada proses
pengayakan. Dalam hal ini, pati pra masak menggunakan ayakan thyller 100
mesh (terdapat 100 lubang dalam 1 inch) sementara itu pati pragelatinisasi
menggunakan ayakan thyller 60 mesh (terdapat 60 lubang dalam 1 inch). Hal
tersebut tentu saja akan berpengaruh terhadap produk pati yang dihasilkan.
e. Swelling Power
Dalam praktikum pengujian swelling power pati termodifikasi ini kami
menggunakan metode sentrifugasi. Berdasarkan hasil pengamatan, keduanya
memiliki nilai swelling power yang tidak jauh berbeda. Nilai swelling power
pati pra masak adalah 1601,43 % sementara itu nilai swelling power pati
pragelatinisasi adalah 1652,8672%. Proses gelatinisasi terjadi apabila pati
mentah dimasukan ke dalam air dingin. Granula pati akan menyerap air dan
membengkak, tetapi jumlah air yang diserap dan pembengkakannya terbatas.
Gelatinisasi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses
hidrolisis/liquifikasi, karena larutan pati harus sempurna. Jika larutan pati
terlalu pekat, maka akan sulit tersuspensi dengan baik sehingga selama proses
gelatinisasi, terjadi pengendapan partikel-partikel pati. Oleh karena itu, proses
gelatinisasi ini dapat dilakukan dengan membuat bubur pati dengan konsentrasi
antara 25-40 % padatan kering (Winarno, 1996 dalam Jariyah, 2002).
Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun
pati. Dengan masuknya air ke dalam molekul pati, ikatan antarmolekul pati
akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati
alami (Aziz, 2004). Hasil penelitian Adity (2009) mengatakan bahwa semakin
kecil perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power nilai
kelarutan, akibatnya swelling power dan kelarutan cenderung meningkat.
Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai
salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka
semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa
tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power (Sasaki dan Matsuki, 1998
dalam Artiani, 2007).
f. Struktur Granula Pati
Dalam praktikum ini, kami menggunakan mikroskop digital untuk dapat
melihat struktur granula pati termodifikasi. Hasil pengamatan menunjukan
bahwa bentuk dan ukuran granula pati pada kedua pati termodifikasi tersebut
memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dimana bentuk dan ukuran granula
pati pragelatinisasi memiliki bentuk yang tidak beraturan dan cenderung padat
sedangkan pati pra masak memiliki bentuk oval tak beraturan dan cenderung
memiliki ruang kosong antara molekul yang satu dengan molekul yang lainnya.
Perbedaan bentuk dan ukuran granula pati tersebut disebabkan oleh perlakuan
yang diberikan terhadap masing-masing pati termodifikasi. Pada pati
pragelatinisasi dilakukan pemanasan suspensi pati terlebih dahulu sehingga pati
akan mengalami gelatinisasi dan berpengaruh terhadap struktur bentuk dari pati
itu sendiri.
Sumber :
Apriliyanti, Tina. 2010. Kajian Sifat Fisikokimia dan Sensori Tepung Ubi
Jalar Ungu (Ipomoea batatas blackie) dengan Variasi Proses
Pengeringan. Skripsi, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Ayu, Disafitri Candra dan Yuwono, Sudarminto Setyo. 2014. Pengaruh
Suhu Blansing dan Lama Perendaman Terhadap Sifat Fisik
Kimia Tepung Kimpul (Xanthosoma Sagittifolium). [Jurnal]
Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 2 : 110-120
Kalsum, Nurbani dan Surfiana. 2013. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi
Kayu yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial.
[Jurnal] Penelitian Pertanian Terapan Vol. 13 (1) : 13-23 ISSN
1410-5020
Padmaningrum, Regina Tutik dan Utomo, M Pranjoto. 2009. Perubahan
Warna dan Kadar Beta-Karoten dalam Tepung Ubi Jalar
(Ipomoea batatas, L) Akibat Pemutihan. [Jurnal] Kimia FMIPA
UNY dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan
dan penerapan MIPA.
Retnaningtyas, Dyah Ayu dan Putri, Widya Dwi Rukmini. 2014.
Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye Hasil
Modifikasi Perlakuan STTP (Lama Perendaman dan
Konsentrasi) [Jurnal] Pangan dan Agroindustri Vol. 2 No. 4 : 68-
77
Wulan, Siti Narsito dkk. 2006. Modifikasi Pati Sederhana dengan Metode
Fisik, Kimia, dan Kombinasi Fisik-Kimia Untuk Menghasilkan
Tepung Pra-masak Tinggi Pati Resisten yang Dibuat dari
Jagung, Kentang, dan Ubi Kayu. [Jurnal] Teknologi Pertanian
Vol. 7 No. 1 : 1-9
Wulandari, Betty. 2014. Penggunaan Pemanis Rendah Kalori pada
Pembuatan Velva Ubi jalar Oranye (Ipomoea batatas L). [Jurnal]
Teknosains pangan Vol. 3 No. 3 ISSN : 2302-0733
Nama : Juliana M Nur
NIM : 1306948
Pati merupakan karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin.
Amilosa adalah bagian polimer linier dengan ikatan α-(1,4) unit glukosa yang
memiliki derajat polimerisasi setiap molekulnya yaitu 102-104 unit glukosa.
Sedangkan amilopektin merupakan polimer α-(1,4) unit glukosa yang memiliki
percabangan α-(1,6) unit glukosa dengan derajat polimerisasi yang lebih besar
yaitu 104-105 unit glukosa. Bagian percabangan amilopektin terdiri dari α-D-
glukosa dengan derajat polimerisasi sekitar 20-25 unit glukosa (Kusnandar, 2011).
Menurut Winarno (1992), kandungan pati yang terdapat di dalam ubi kayu
adalah 34,6%. Amilosa merupakan fraksi pati yang terlarut. Molekul amilosa
yang memiliki sifat hidrofilik dengan afinitas air yang tinggi menyebabkan
amilosa pati semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Apabila afinitas tersebut
menurun maka ukuran pati akan membesar sehingga pada konsentrasi rendah
akan terjadi presipitasi dan pada konsentrasi tinggi akan terbentuk gel. Hubungan
antara molekul amilosa ini disebut retrogradasi.
1. Ekstraksi Pati Alami
Pada praktikum Teknologi Pengolahan Serelia dan Umbi-umbian kali ini
di lakukannya ekstraksi alami dan juga modifikasi pati. Yang bertujuan untuk
mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun
kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh
produk berkualitas. Dengan bahan baku yang di gunakan adalah singkong dan ubi
jalar. Pada proses ektraksi pati alami dapat di lakukan dengan cara basah dan cara
kering.
Berikut merupakan hasi dari atribut pengamatan yang telah di lakukan
pada ekstraksi pati alami pada kedua bahan baku berupa singkong dan ubi jalar:
a. Pati Singkong
Pati singkong adalah pati yang didapatkan dari umbi singkong (Manihot
utilissima). Sampai saat ini, pati singkong telah banyak dieksploitasi
secara komersial dan masih merupakan sumber utama kebutahan pati. Pati
yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan memberikan warna
putih jika diekstraksi secara benar. Pati singkong memiliki granula dengan
ukuran 5-35 μm dengan rata-rata ukurannya di atas 17 μm (Samsuri,
2008). Granula pati singkong akan pecah apabila dipanaskan pada suhu
gelatinisasinya. Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang
mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil
kemungkinan untuk terjadi retrogradasi. Suhu gelatinisasi pada 62-73ºC,
sedangkan suhu pembentukan pasta pada 63ºC. Berikut pembahasan-
pembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan:
Rendemen
Rendemen pada pati ini adalah presentase produk atau pati yang
didapatkan dari menbandingkan berat awal bahan baku dengan
berat akhir (produk pati) yang dihasilkan. Rendeman didapatkan
dengan cara (menghitung) menimbang berat akhir bahan yang
dihasilkan dari proses dibandingkan dengan berat bahan awal
sebelum mengalami proses ekstraksi.
Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong
dengan menggunakan cara kering dan cara basah ternyata hasilnya
berbeda jauh. Pati singkong dengan cara kering menghasilkan
rendemen sebesar 4,76% sedangkan pati singkong dengan cara
basah menghasilkan rendemen sebesar 12,158%. Itu dikarenakan
cara ekstraksi yang dilakukan dengan cara yang berbeda terhadap
bahan baku pembuatan pati. Dengan menggunakan cara basah pada
saat proses ekstraksi dimungkinkan akan ada banyak pati yang
lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas bahan bakunyapun
ikut lolos.
Warna (Derajat Putih)
Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan
memberikan warna putih jika diekstraksi secara benar. (Samsuri,
2008). Dan jika dilihat dari hasil pengamatan kedua cara ekstraksi
menghasilkan pati berwarna putihm artinya ekstraksi dilakukan
dengan benar oleh kedua cara.
Aroma
Aroma yang di hasilkan dari pati setiap bahan baku baik singkong
maupun ubi jalar dengan cara ektraksi basah dan cara ektraksi
kering memiliki aroma yang sama yaitu aroma khas tepung. Ini di
karenakan bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan
dan proses pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah
menghilang sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan
baku sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja.
Tekstur (Mesh)
Dari tekstur bahan baku yang berbeda otomatis akan adanya
perbedaan mesh dari setiap pati dengan cara ekstraksi basah
maupun kering. Karena singkong banyak mengandung pati
sehingga teksturnya yang lebih keras. Pada pati singkong baik
ekstraksi cara basah maupun ektraksi cara kering menggunakan
ayakan 100mesh. Penggunaan ukuran mesh ini mempengaruhi
kehalusan pati karena semakin kecil ukuran mesh maka akan
semakin halus pati yang lolos. Dan bagaimana kelolosan pada pati
tersebut terhadap ayakan. Jika dibandingkan dengan pati ubi jalar
yang hanya menggunakan ayakan 80 mesh itu artinya pati
singkong memiliki tekstur leih halus dari pati ubi jalar.
Gambar Granula Pati
Granula pati adalah komponen utama yang tidak dapat pecah
dalam air dingin, dan ketika ditambahkan ke air pada suhu ruang,
hanya sedikit terjadi pemecahan sampai dilakukan pemanasan.
Struktur granula pati yang terdiri dari kristal (kristalit, micelles,
area yang terorganisir) dan bukan kristal (tidak berbentuk, bukan
kristal, fase gel). Area yang tidak terbentuk dari granula pati adalah
akibat adanya air yang masuk dan enzim serta aktivitas asam.
Kristal merupakan perubahan sejumlah besar rantai glukosa yang
mengalami pengikatan hidrogen untuk membentuk area yang sulit
bagi air dan enzim untuk menembus. Granula pati asli tidak dapat
larut dalam air dingin, tetapi mengembang secara reversible ketika
diletakkan dalam air dingin.
Granula pati dalam pati yang berbahan dasar berbeda dan juga cara
ekstraksi yang berbeda mempunyai bentuk granula (butir) yang
berbeda-beda. Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan
karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga
dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati
berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran
granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga
kecil. Uukuran dan bentuk granula pati yang didapatkan, hasil yang
terlihat pada microscop bentuk pati terlihat lonjong dan bulat.
Swelling Power
Swelling power merupakan perbandingan berat pasta dengan berat
pati kering, pasta ini termasuk amilopektin yang tidak larut dalam
air. Oleh karena itu jika kandungan amilopektin (pasta) semakin
berkurang, maka swelling powernya juga semakin berkurang (Hee-
Young An, 2005).
Pada pati singkong dengan cara kering memiliki kadar swelling
power yaitu 3147,30%, sedangkan pati singkong dengan cara basah
memiliki kadar swelling power sebesar 3541,3%. Dari hasil dapat
dilihat bahwa kadar swelling power pada pati singkong yang
diekstraksi dengan cara basah memiliki kadar swelling yang lebih
tinggi dibandingkan pati singkong yanag diekstraksi dengan cara
kering, ini berarti pati singkong yang diekstraksi dengan cara basah
lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya
tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan
pati singkong yang diekstraksi dengan cara kering. Selain karna
disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa
menyebabkan persentase swelling power pada pati singkong yang
diekstraksi dengan cara basah lebih tinggi juga karena penggunaan
singkong dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap
air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin
besar.
b. Pati Ubi Jalar
Pati ubi jalar merupakan pati yang di dapatkan dari ubi jalar. Ubi jalar
(Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman pangan tropis yang
banyak terdapat di Indonesia. Ubi jalar memiliki potensi yang sangat layak
untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan
yang berbasiskan pada produk tepung dan pati (Honestin 2007). Pati ubi
jalar belum banyak dimanfaatkan di Indonesia seperti pati ubi kayu,
jagung dan garut. Ubi jalar memiliki empat varietas yang berbeda warna
daging umbinya, yaitu Sukuh (putih), Sari (krem), Pakhong (kuning
muda), dan Ayamurasaki (ungu tua). Warna daging umbi berpengaruh
terhadap derajat putih pati; nilai derajat putih tertinggi pada pati dari
varietas Sari (91,2%). Rendemen pati tertinggi diperoleh dari pati varietas
Sukuh dan Ayamurasaki, masing-masing 14,5% dan 14,2%; nilai ini
berkorelasi positif dengan kadar pati pada umbi segar. Pati varietas Sukuh
memiliki tingkat kekerasan dan kekuatan gel tertinggi, berkaitan dengan
kadar amilosanya yang tertingggi juga (39% bk). Berikut pembahasan-
pembahasan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan:
Rendemen
Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati ubi jalar
dengan menggunakan cara kering dan cara basah ternyata hasilnya
berbeda jauh. Pati ubi jalar dengan cara kering menghasilkan
rendemen sebesar 3,15% sedangkan pati ubi jalar dengan cara
basah menghasilkan rendemen sebesar 4,3769%. Itu dikarenakan
cara ekstraksi yang dilakukan dengan cara yang berbeda terhadap
bahan baku pembuatan pati. Dengan menggunakan cara basah pada
saat proses ekstraksi dimungkinkan akan ada banyak pati yang
lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas bahan bakunyapun
ikut lolos.
Warna (Derajat Putih)
Warna dari pati ubi jalar pada kedua cara menghasilkan warna
krem, berbeda dengan singkong yang menghasilkan pati berwarna
putih. Itu disebabkan warna pigmen pada daging ubi jalar dan
singkong jelas berbeda sehingga menghasilkan warna pati yang
berbeda pula. Selain itu menurut Rosmakan dan Yuwono (2002)
ubi jalar yang berwarna lebih cerah atau putih lebih diarahkan
untuk pengembangan tepung dan pati karena umbi yang berwarna
cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan warna tepungnya pun
lebih menyerupai terigu.
Aroma
Aroma yang di hasilkan dari pati setiap bahan baku baik singkong
maupun ubi jalar dengan cara ektraksi basah dan cara ektraksi
kering memiliki aroma yang sama yaitu aroma khas tepung. Ini di
karenakan bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan
dan proses pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah
menghilang sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan
baku sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja.
Tekstur (Mesh)
Ubi jalar banyak mengandung air sehingga teksturnya lebih
empuk. Setelah proses ekstraksi, di lakukan pengayakan dengan
ayakan 60-100 mesh. Pati ubi jalar menggunakan ayakan 80 mesh.
Penggunaan ukuran mesh ini mempengaruhi jumlah rendemen
kehalusan pati karena semakin kecil ukuran mesh maka akan
semakin halus pati yang dihasilkan. Dan bagaimana kelolosan pada
pati tersebut terhadap ayakan. Sehingga pati ubi jalar lebih kasar
dibandingkan dengan pati singkong, karena memiliki ukuran mesh
yang lebih besar.
Gambar Granula Pati
Granula pati adalah komponen utama yang tidak dapat pecah
dalam air dingin, dan ketika ditambahkan ke air pada suhu ruang,
hanya sedikit terjadi pemecahan sampai dilakukan pemanasan.
Struktur granula pati yang terdiri dari kristal (kristalit, micelles,
area yang terorganisir) dan bukan kristal (tidak berbentuk, bukan
kristal, fase gel). Area yang tidak terbentuk dari granula pati adalah
akibat adanya air yang masuk dan enzim serta aktivitas asam.
Kristal merupakan perubahan sejumlah besar rantai glukosa yang
mengalami pengikatan hidrogen untuk membentuk area yang sulit
bagi air dan enzim untuk menembus. Granula pati asli tidak dapat
larut dalam air dingin, tetapi mengembang secara reversible ketika
diletakkan dalam air dingin.
Granula pati dalam pati yang berbahan dasar berbeda dan juga cara
ekstraksi yang berbeda mempunyai bentuk granula (butir) yang
berbeda-beda. Dengan mikroskop jenis pati dapat dibedakan
karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga
dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati
berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran
granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga
kecil. Uukuran dan bentuk granula pati yang didapatkan, hasil yang
terlihat pada microscop bentuk pati terlihat lonjong dan bulat.
Swelling Power
Pada pati ubi jalar dengan cara kering memiliki kadar swelling
power yaitu 789,07%, sedangkan pati ubi jalar dengan cara basah
memiliki kadar swelling power sebesar 2042,87%. Dari hasil dapat
dilihat bahwa kadar swelling power pada pati ubi jalar yang
diekstraksi dengan cara basah memiliki kadar swelling yang lebih
tinggi dibandingkan pati ubi jalar yanag diekstraksi dengan cara
kering, ini berarti pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara basah
lebih banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya
tinggi sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan
pati ubi jalar yang diekstraksi dengan cara kering. Selain karna
disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain yang bisa
menyebabkan persentase swelling power pada pati ubi jalar yang
diekstraksi dengan cara basah lebih tinggi juga karena penggunaan
ubi jalar dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap
air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin
besar.
2. Modifikasi Pati
Pada praktikum kali ini juga di lakukan prosedur dan pembuatan
modifikasi pada pati, baik itu pati pregelatinisasi dan juga tepung pramasak
termodifikasi. Pati yang di gunakan adalah pati ekstraksi alami yang sudah di buat
dan juga bahan baku yang sama yaitu singkong dan ubi jalar.
Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat
suatu reaksi kimia (acetylasi, esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan
mengganggu struktur asalnya (Fleche, 1985). Pati diberi perlakuan tertentu
dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat
sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya atau untuk
merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan
panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan
menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur
molekul pati.
Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat
disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah
pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan
terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et al., 1989).
a. Pregelatinisasi pada pati
Salah satu sifat pati adalah tidak larut dalam air dingin, karena molekulnya
berantai lurus atau bercabang tidak berpasangan, sehingga membentuk
jaringan yang mempersatukan granula pati. Kesulitan dalam
penggunaan patiadalah pemasakannya memakan waktu yang cukup lama
dan pasta yang terbentuk juga cukup keras. Selain itu terjadinya proses
retrogradasi dan sineresis pada pati alami sering tidak dikehendaki.
Retrogradasi merupakan proses kristalisasi kembali dan pembentukan
matrik pati yang telah mengalami gelatinisasi akibat pengaruh suhu. Cara
untuk mengatasi hal tersebut yaitu perlu dilakukan
modifikasi pati sehingga diperoleh sifat-sifat yang cocok untuk aplikasi
tertentu.
Pregelatinisasi pati merupakan teknik modifikasi pati secara fisik yang
paling sederhana yang dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air
sehingga tergelatinisasi sempurna, kemudian mengeringkan pasta pati
yang dihasilkan dengan menggunakan spray dryer atau drum dryer.
Setelah mengalami gelatinisasi maka pati pregelatinisasi tidak lagi
memiliki penampakan granula pati. Pati pregelatinisasi bersifat instan,
dimana dapat larut dalam air dingin (cold water soluble). Di samping itu,
pati pregelatinisasi memiliki viskositas yang lebih rendah dibanding pati
yang tidak dipregelatinisasi. Pregeletinisasi pada pati ini menggunakan dua
bahan baku yaitu singkong dan jalar, yang sebelumnya sudah di lakukan
proses pembuatan pati dengan cara ekstraksi basah dan kering dari setiap
bahan baku. Berikut pembahasan-pembahasan dari hasil pengamatan yang
telah dilakukan:
Rendemen (%)
Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong
dengan rendemen dari pati ubi jalar dengan menggunakan metode
yang sama yaitu pregelatinisasi hasilnya berbeda jauh. Pati
singkong menghasilkan rendemen sebesar 8,1885% sedangkan pati
ubi jalar menghasilkan rendemen sebesar 64,40%. Seharusnya
rendemen pati pada singkong lebih banyak dibandingkan ubi jalar,
karena pati singkong memiliki tekstur yang lebih halus dari pada
ubi jalar yang memungkinkan pati banyak yang lolos pada saat
pengayakan. Perbedaan dengan teori ini disebabkan kesalahan pada
saat praktikum ketika pengayakan.
Warna (derajat putih)
Pati dengan cara pregelatinisasi berpengaruh terhadap warna
karena pada umumnya pati itu berwarna putih. Namun jika dilihat
dari hasil pengamatan, pati singkong menghasilkan warna putih-
krem sedangkan pati ubi jalar berwarna cokelat. Kondisi ini
disebabkan oleh proses pemanasan pada pre gelatinisasi akan
melarutkan beberapa komponen kimia dalam tepung dan sel pati
seperti gula, amilosa, protein. Proses pengeringan kembali pati
yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut
tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan
pigmen berwarna coklat atau krem (Hapsari, 2013).
Aroma
Aroma pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang
terkandung dalam ubi jalar. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh
pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati yang dihasilkan tidak
beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan pati ubi
jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat
berkurang dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses
pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa
menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil
aroma pada pati yang dihasilkan.
Tekstur (mesh)
Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar
dan pati songkong yang dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan
ayakan bertingkat dengan mesh 60, 80, dan 100. Pati ubi jalar
Pregelatinisasi memiliki kehalusan 60 mesh. Sedangkan pati
singkong memiliki kehalusan 100 mesh. Hal ini sesuai pada
Farmakope Indonesia IV (1995) yang menyatakan bahwa pati
alami berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran
pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi.
Proses gelatinasi mengakibatkan granul-granul pati pecah dan
berubah menjadi susunan yang bergerombol (Kurniadi, 2010 dalam
Karisma).
Granula pati
Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya
penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai,
menyebabkan granul-granul amilum mengembang lalu pecah
menjadi susunan yang bergerombol. Semakin tinggi suhu
pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna
proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granul-
granul yang bergerombol (Kurniadi, 2010). Susunan yang
bergerombol ini menghasilkan amilum dengan ukuran partikel
berbentuk granul.
Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat
terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh
pati. Bentuk granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk
yang tidak seragam. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh
terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang
kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil.
Smith (1982) menambahkan bahwa Pada struktur granula pati,
amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin.
Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,
dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk
lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati
dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati
dipanaskan di dalam air, maka energy panas akan menyebabkan
ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air
yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan
amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya
pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat
sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah.
Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin
berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang
menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena
jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka
kemampuan menyerap air sangatlah besar pula. Terjadi
peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar
granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini
sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas
lagi.
Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi,
interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta
kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula
menyebabkan granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit
membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan
mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom et
al., 2004).
Swelling power
Pada pati ubi jalar memiliki kadar swelling power yaitu
1652,8672% sedangkan pati singkong memiliki kadar swelling
power sebesar 3929,417%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar
swelling power pada pati singkong memiliki kadar swelling yang
lebih tinggi dibandingkan pati ubi, ini berarti pati singkong lebih
banyak menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi
sehingga volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati
ubi jalar. Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal
lain yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati
singkong lebih tinggi juga karena singkong memiliki kadar amilosa
yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga
pengembangan volume juga semakin besar.
b. Tepung pra-masak termodifikasi
Tepung pra masak termodifikasi merupakan cara mendapatkan rendemen
pati dengan cara pendinginan yang dilakukan untuk menggelatinisasi pati
yang terdapat pada suatu bahan.
Maquenne (1993) dalam Jacobson and BeMiller (1998) menemukan
pengaruh suhu terhadap tingkat retrogradasi pati, dimana kecepatan
retrogradasi akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu. Makin
rendah suhu, makin cepat proses retrogradasi dan makin banyak pati.
Berikut pembahasan-pembahasan dari hasil pengamatan yang telah
dilakukan:
Rendemen (%)
Jika dilihat dari hasil pengamatan rendemen dari pati singkong
dengan rendemen dari pati ubi jalar dengan menggunakan metode
yang sama yaitu pra-masak hasilnya berbeda jauh. Pati singkong
menghasilkan rendemen sebesar 109,2323% sedangkan pati ubi
jalar menghasilkan rendemen sebesar 11,82%. Pati pada singkong
lebih banyak dibandingkan pati pada ubi jalar dikarenakan pati
singkong memiliki tekstur yang lebih halus dari pada ubi jalar yang
memungkinkan pati banyak yang lolos pada saat pengayakan.
Warna (derajat putih)
Pati dengan cara pregelatinisasi berpengaruh terhadap warna
karena pada umumnya pati itu berwarna putih. Namun jika dilihat
dari hasil pengamatan, pati singkong menghasilkan warna putih-
krem sedangkan pati ubi jalar berwarna cokelat. Kondisi ini
disebabkan oleh proses pemanasan pada pre gelatinisasi akan
melarutkan beberapa komponen kimia dalam tepung dan sel pati
seperti gula, amilosa, protein. Proses pengeringan kembali pati
yang tergelatinisasi memungkinkan senyawa-senyawa terlarut
tersebut, seperti gula perduksi dan protein bereaksi menghasilkan
pigmen berwarna coklat atau krem (Hapsari, 2013).
Aroma
Aroma pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang
terkandung dalam ubi jalar. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh
pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati yang dihasilkan tidak
beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan pati ubi
jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat
berkurang dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses
pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa
menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil
aroma pada pati yang dihasilkan.
Tekstur (mesh)
Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar
yang dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan ayakan bertingkat
dengan mesh no. 60, 80, dan 100. Pati ubi jalar pra masak dan pati
singkong memiliki kehalusan 100 mesh. Hal ini sesuai pada
Farmakope Indonesia IV (1995) yang menyatakan bahwa pati
alami berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran
pati pregelatin disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi.
Proses gelatinasi mengakibatkan granul-granul pati pecah dan
berubah menjadi susunan yang bergerombol (Kurniadi, 2010 dalam
Karisma).
Granula pati
Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya
penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai,
menyebabkan granul-granul amilum mengembang lalu pecah
menjadi susunan yang bergerombol. Semakin tinggi suhu
pemanasan dan penambahan air maka akan semakin sempurna
proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granul-
granul yang bergerombol (Kurniadi, 2010). Susunan yang
bergerombol ini menghasilkan amilum dengan ukuran partikel
berbentuk granul.
Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat
terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh
pati. Bentuk granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk
yang tidak seragam. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh
terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang
kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil.
Smith (1982) menambahkan bahwa Pada struktur granula pati,
amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin.
Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16,
dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan sebagian berbentuk
lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati
dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati
dipanaskan di dalam air, maka energy panas akan menyebabkan
ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air
yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan
amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya
pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat
sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah.
Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin
berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang
menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena
jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka
kemampuan menyerap air sangatlah besar pula. Terjadi
peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada di luar
granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini
sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas
lagi.
Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi,
interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta
kemudahan didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula
menyebabkan granula bersifat lebih kristalin, lebih sedikit
membentuk kompleks dengan lemak, lebih sedikit larut dan
mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom et
al., 2004).
Swelling power
Pada pati ubi jalar memiliki kadar swelling power yaitu 1601,43%
sedangkan pati singkong memiliki kadar swelling power sebesar
3002,14%. Dari hasil dapat dilihat bahwa kadar swelling power
pada pati singkong memiliki kadar swelling yang lebih tinggi
dibandingkan pati ubi, ini berarti pati singkong lebih banyak
menyerap air sehingga kadar swelling powernya tinggi sehingga
volumenya pun lebih tinggi di bandingkan dengan pati ubi jalar.
Selain karna disebabkan oleh cara pengekstraksiannya hal lain
yang bisa menyebabkan persentase swelling power pada pati
singkong lebih tinggi juga karena singkong memiliki kadar amilosa
yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga
pengembangan volume juga semakin besar.
Sumber :
Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT Dian
Rakyat. Jakarta.
Fleche G. 1985. Chemical Modifikation and Degradation of Starch, Di dalam
G.M.A. Van Beynum dan J.A. Roels ed Starch conversion technology.
London: Applied Science Publ.
Hee-Young An. 2005. Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on
Properties of Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate
Faculty of the Louisiana state University and Agricultural and Mechanical
College
Hapsari, Titi. 2013. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung
Singkong. Jurnal Penelitian. Online: http://jurnal.yudharta.ac.id/wp-
content/uploads/2013/04/HAPSARI-TITI-PALUPI-Pengaruh-Pre-
Gelatinisasi-Terhadap-.pdf. Diakses pada 25 April 2015.
Honestin, T. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 120 hlm
Jacobson, M.R and J.N BeMiller. 1998. Method for Determining The Rate and
Extent of Accelerated Starch Retrogradation. Cereal Chem 75 (1): 22-29
Karisma Sari, Kadek Lenny., Jemmy Anton Prasetia, dan Cok. Istri Sri Arisanti.
Pengaruh Rasio Amilum: Air Dan Suhu Pemanasan Terhadap Sifat Fisik
Amilum Singkong Pregelatin Yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet.
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana.
Kurniadi, Tedi. 2010. Kopolimerisasi Grafting Monomer Asam Akrilat Pada
Onggok Singkong dan Karakteristiknya. Tesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana IPB
Lindeboom et al.. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of
starch granule size with emphasis on small granulastarches : A Review.
Starch/starke. 56:89-99.
Rosmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.
Yogyakarta.
Samsuri, Bilal. 2008. Penggunaan Pragelatinisasi Pati Singkong Suksinat
Sebagai Matriks Dalam Sediaan Tablet Mengapung Verapamil HCL.
Skripsi. FMIPA-UI. Depok.
Smith, P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam
Lineback, D. R. dan Inglett, G. E. (eds.). Food Carbohydrates. The AVI
Publishing Company Inc., Westport, Connecticut.
Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M. Syarif. 1992. Sifat Fisik
Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.
Nama : Mita Maharani Bahriah
NIM : 1305741
Berdasarkan hasil ekstraksi pati ubi kayu dan ubi jalar, rendemen pati yang
dihasilkan dari ubi kayu adalah 4,76 % (cara kering) dan 12,158% (cara basah),
dan dari ubi jalar adalah 3,15% (cara basah) dan 4,3769% (cara kering). Hasil
ekstraksi dengan dua cara yang berbeda ini menunjukan hasil yang berbeda,
ekstraksi cara kering cenderung memberikan hasil yang lebih sedikit
dibandingkan dengan cara basah, hal ini terjadi, karena adanya proses perebusan
yang menyebabkan penyerapan air pada bahan, sehingga meningkatkan berat dari
bahan yang tentunya berpengaruh terhadap rendemen dan kadar air yang
dihasilkan. Pada pati termodifikasi, dengan dua variasi perlakuan yaitu
pregelatinisasi dan pra-masak, menunjukan hasil yang sangat bervariasi. Pati
pragelatinisasi yang dihasilkan dari ubi kayu sekitar 8,1885 %, dan ubi jalar
65,40%, sedangkan pada pati pra-masak dari ubi kayu adalah 109,2323%, dan ubi
jalar 11,82%. Hasil yang bervariasi ini kemungkinan karena adanya cacat data
atau human error pada proses pengujian atau proses ekstraksi sehingga
menyebabkan tidak akuratnya data. Namun pada beberapa penelitian lain yang
dilakukan oleh Wulan et al. (2006), bahwa kadar pati resisten yang dihasilkan dari
modifikasi pramasak dari ubi kayu didapatkan hasil sekitar 6% dari kadar pati
total 30%.
Warna atau derajat putih yang dihasilkan dari ekstraksi pati dengan dua
cara yang berbeda tidak tidak menunjukan perbedaan yang signifikan terhadap
derajat putih yang dihasilkan, namun derajat putih yang dihasilkan dari bahan
yang berbeda memberikan warna yang berbeda, seperti pada ekstrak pati yang
didapatkan dari ubi kayu cenderung berwarna putih pucat sedangkan dari ubi jalar
adalah putih cream. Hal ini terjadi karena perbedaan pigmen yang terdapat dalam
bahan. Hal ini juga terjadi pada pati pragelatinisasi, warna yang dihasilkan dari
ubi jalar menunjukan hasil kecoklata, hal ini kmungkinan terjadi karena adanya
pencoklatan selama proses pragelatinisasi, karena adanya pemanasan. Pre
gelatinisasi memberikan penurunan tingkat penerimaan panelis terhadap warna
tepung singkong, dibandingkan perlakuan tanpa pre gelatinisasi (Hapsari, 2007).
Hal ini dapat terjadi karena semakin terdegradasinya pigmen dalam tepung
sehingga menurunkan ketajaman warna yang dihasilkan.
Pada aspek aroma, setiap perlakuan tidak menunjukan adanya perbedaan
ketajaman aroma pada ekstrak ubi kayu, namun terdapat perbedaan aroma
ketajaman aroma yang dirasakan pada ekstrak ubi kayu dengan cara kering.
Pada pati pra-masak terjadi modifikasi dalam sifat kimia dan fisik yang
menurunkan daya cerna. Pada modifikasi pati secara kombinasi dan fisik,
perlakuan pendinginan 4oC mengakibatkan pati yang telah tergelatinisasi
menjadi teretrogradasi lebih cepat. Maquenne (1993) dalam Jacobson and
BeMiller (1998) dalam Wulan (2006) menemukan pengaruh suhu terhadap
tingkat retrogradasi pati, dimana kecepatan retrogradasi akan bertambah
dengan semakin rendahnya suhu. Makin rendah suhu, makin cepat proses
retrogradasi dan makin banyak pati resisten yang terbentuk. Pendinginan
sesudah pemasakan akan mengubah keadaan fisik polisakarida sehingga
menurunkan kecernaannya (Wulan, 2006).
Asp and Bjork (1992) dalam Wulan (2006), menyatakan makin tinggi
kadar amilosa pati maka makin tinggi pula kadar pati resistennya. Granula pati
kaya amilosa mampu mengkristal yang lebih besar, disebabkan oleh lebih
intensifnya ikatan hidrogen, akibatnya tidak dapat mengembang atau
mengalami gelatinisasi sempurna pada waktu pemasakan sehingga tercerna
lebih lambat.
Menurut Be Miller and Whistler (1996) dalam Fennema (1996), gugus
ester fosfat menyebabkan amilopektin pati kentang bermuatan negatif
menghasilkan gaya tolak-menolak Coulomb yang mungkin memberikan
kontribusi pada pengembangan granula pati kentang yang cepat dalam air
hangat dan pada beberapa sifat pasta kentang seperti viskositas yang tinggi
dan kejernihan (clarity) yang bagus serta laju retrogradasi yang rendah.
Pada ubi kayu modifikasi fisik berperan meningkatkan kandungan pati
resisten karena dapat memfasilitasi retrogradasi tanpa keberadaan gugus ester-
fosfat yang dapat mencegah penggabungan rantai molekul. Perlakuan
pendinginan pada suhu rendah dan dilanjutkan pengeringan juga memfasilitasi
retrogradasi amilopektin pada ubi kayu yang proporsinya cukup besar. Seperti
dijelaskan Silverio, et al. (2000) bahwa retrogradasi amilopektin dapat
difasilitasi dengan memberikan perlakuan siklus suhu-waktu.
Daya Serap Air (Swelling Power)
Pengujian daya serap air tepung ubi kayu, menggunakan metode
sentrifugasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalsum (2013), hasil pengujian
daya serap air tepung ubi kayu, disajikan pada Gambar. Pada Gambar ini, terlihat
bahwa ketersediaan pati, konsentrasi, dan suhu pemanasan pragelatinisasi
parsial berpengaruh terhadap karakteristik kelarutan dalam air dan daya serap air
dekstrin yang dihasilkan.
Hasil pengujian pada Gambar 5, juga menunjukkan bahwa terjadi
trend peningkatan daya serap air sesuai dengan semakin tingginya
konsentrasi. Daya serap air terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi
20%. Dari hasil pengamatan, nilai daya serap air dekstrin ubi kayu berkisar antara
16,27 % - 20,67 % dengan nilai daya serap air dekstrin tertinggi terdapat
pada dekstrin ubi kayu ketersediaan pati kering pada konsentrasi 50 % (K4)
dan pemanasan pada suhu 90oC (T2) (Gambar 5). Hasil pengujian pada Gambar
5, juga menunjukkan bahwa terjadi trend penurunan daya serap air akibat
semakin tingginya suhu pemanasan untuk semua varietas.
Sedangkan pati hasil ekstraksi dan modifikasi yang dihasilkan menunjukan
swelling power yang cukup tinggi, yaitu berkisar pada 789,07 %−3929,417 %,
swelling power terendah dihasilkan dari ekstrak pati kering ubi jalar, sedangkan
yang paling tinggi didapatkan dari pati pregelatinisasi ubi kayu.
Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun
pati. Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antarmolekul pati akan
melemah sehingga nilai swelling power pati modifikasi lebih tinggi daripada
pati alami (Aziz, 2004 dalam Kalsum, 2012). Hasil penelitian Adity (2009)
dalam Kalsum, 2012, mengatakan bahwa semakin kecil perbandingan pati dan
air, maka semakin besar nilai swelling power nilai kelarutan, semakin besar
dan volume minyak jahenya, akibatnya swelling power dan kelarutan
cenderung meningkat. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan
gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu
proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan
jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power (Sasaki dan
Matsuki, 1998 dalam Artiani, 2007 dalam Kalsum, 2012).
Granula pati yang dari pati hasil ekstraksi menunjukan bentuk yang masih
bulat atau belum tergelatinisasi, hal ini berubah setelah dilakukan perlakuan
seperti pregelatinisasi dan pra-masak yang telah mengalami gelatinisasi parsial
sehingga hanya terlihat beberapa bulatan kecil dari granula pati.
Sumber :
Hapsari, Titi P. A., Dkk. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap karakteristik
Tepung Singkong. Universitas Yudharta.
Kalsum, Nurbani, dan Surfiana. 2012. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu
yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian
Pertanian Terapan Vol. 13 (1): 13-23.
Wulan, S. N., Dkk. 2006. Modifikasi Pati Sederhana Dengan Metode Fisik,
Kimia, Dan Kombinasi Fisik Fisik- Kimia Untuk Untuk Menghasilkan
Tepung Pra Tinggi Pati Resisten Yang Dibuat Dari Jagung, Dan Ubi
Kayu. Jurnal Teknologi Pertanian, Vol. 7 No. 1 (April) 1-9.
Nama : Utari Nur Amalia
NIM : 1300751
Pada praktikum kali ini yaitu dilakukan ekstraksi pati alami dan modifikasi
pati. Pati alami (native) menyebabkan beberapa permasalahan yang berhubungan
dengan retrogradasi, kestabilan rendah, dan ketahanan pasta yang rendah. Pati
alami mempunyai kelemahan pada karakteristiknya yaitu tidak larut dalam air
dingin, membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan, pasta yang dihasilkan
cukup keras, dan mempunyai kestabilan yang rendah. Hal tersebut menjadi alasan
dilakukan modifikasi pati (Fortuna, Juszczak, and Palansinski, 2001).
Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan
untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya
atau merubah beberapa sifat lainnya. Pati dimodifikasi dengan tujuan untuk
mempermudah penggunaan dalam industri pangan, lebih stabil dalam proses dan
lebih baik teksturnya. Selain itu juga agar suhu gelatinisasinya lebih tinggi dan
tahan panas serta agar viskositasnya lebih baik dari pati sebelumnya. Pati
termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin dan persamaan sifat
birefringence-nya. Konsentrasi asam, temperatur, konsentrasi pati, dan waktu
reaksi dapat bervariasi tergantung dari sifat pati yang diinginkan.
Pembuatan pati pada prinsipnya adalah dengan ekstraksi. Sampel yang
digunakan dalam pelaksanaan praktikum ini adalah singkong dan ubi jalar.
Ekstaksi dilakukan dengan cara ekstraksi basah dan ekstraksi kering. Ekstraksi
kering dilakukan dengan menghancurkan umbi yang telah dikupas dan di sortasi.
Ekstraksi delakukan dengan perbandingan air dan umbi 4 : 1, kemudian dilakukan
penyaringan, dan pengeringan. Sedangkan pada ekstraksi basah dilakukan
pengeringan terlebih dahulu sebelum di hancurkan dengan grinder, setelah
penghancuran dilakukan pengayakan dan perendaman pada air dengan
perbandingan 1 : 5. Setelah pengendapan dilakukan pencucian dan barulah
dikeringkan.
Untuk mengetahui karakteristik pati dapat dilakukan beberapa uji seperti
bentuk granula, gelatinisasi, kadar pati, dan swelling power. Bentuk dan ukuran
morfologi granlua pati dipengaruhi oleh jenis bahan dasar sehingga mempunyai
bentuk dan ukuran yang spesifik. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu
gelatinisasi dan berbeda beda tergantung jenis pati dan konsentrasinya. Kadar pati
merupakan kriteria mutu dan kualitas pati murni yang dihasilkan. Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui karakteristik warna, aroma, bentuk granula,
rendemen pati, tekstur, dan juga kapasitas pembengkakan (Swelling Power) pati.
Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh terhadap
berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan
berat kering bahan. Berdasarkan pengamatan, rendemen pati singkong dan ubi
jalar dengan perlakuan ekstraksi basah memiliki rendemen lebih tinggi daripada
rendemen pati dengan perlakukan ekstraksi kering. Proses ekstraksi merupakan
faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu rendemen pati yang dihasilkan.
Rendemen pati juga sangat berhubungan erat dengan kadar pati yang terkandung
dalam umbi.
Warna pada pati singkong hasil ekstraksi basah dan kering yaitu, putih.
Sedangkan pada ubi jalar yaitu orange-krem. Warna pada pati singkong
termodifikasi yaitu krem-kuning, sedangkan pada ubi jalar yaitu kuning. Aroma
pada pati singkong dan ubi jalar hasil ekstraksi tidak begitu kuat, dibandingkan
aroma pati termodifikasi, pati singkong dan ubi jalar termodifikasi lebih kuat
aromanya. Tekstur merupakan salah satu parameter dalam pengujian sifat sensori
(organoleptik) dengan menggunakan indera perabaan (tangan) yang dinyatakan
dalam keras atau lunak. Tekstur pada pati ubi jalar hasil ekstraksi basah lebih
kasar dari pada tekstur singkong.
Berdasarkan pengamatan dan analisis dapat diketahui bahwa hasil uji
Swelling power (kapasitas pembengkakan) pada pati yang tertinggi adalah pada
pati ubi jalar hasil ekstraksi basah. Pada pati termodifikasi, hasil swelling power
tertinggi adalah pada pati singkong modifikasi (pra gelatinisasi). Pregelatinisasi
merupakan teknik modifikasi pati secara spesifik yang paling sederhana yang
dilakukan dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi
sempurna. Pati pre gelatinisasi adalah pati yang mengalami proses gelatinisasi dan
selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan sifat
pati alami. Menurut Padmaja et. al. (1996) modifikasi tepung secara pre
gelatinisasi dengan perebusan (parboiling) dapat memperbaiki karakteristik dari
pasta tepung.
Swelling power sangat dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun
pati. Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antarmolekul pati akan
melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami (Aziz,
2004). Hasil penelitian Adity (2009) mengatakan bahwa semakin kecil
perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power nilai
kelarutan. Swelling power sangat dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa
sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka
semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa
tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power (Sasaki dan Matsuki, 1998
dalam Artiani, 2007).
Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk
mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan
hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan
air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati mengembang
secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena
perlakuan pre gelatinisasi secara parboiling (perebusan). Pemanasan
menyebabkan lemahnya ikatan hidrogen dalam granula, sehingga granula yang
telah membengkak memiliki ukuran yang besar dan bersifat irreversibel. Ketika
dilakukan proses pengeringan tepung yang telah tergelatinisasi, air mudah lepas
dari ikatan hidroksil sehingga kadar air sedikit menurun.
Menurut Kenneth, Leon and J Peter (1991) penggunaan panas yang terus
meningkat menyebabkan ikatan hidrogen intermolukuler antara rantai amilosa dan
rantai cabang amilopektin mulai melemah, sehingga granula pati mengembang
secara cepat. Granula yang telah mengembang mempunyai struktur yang lebih
lunak dan bersifat irreversible. Banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula
pati dan granula pati yang mengembang tersebut mengakibatkan swelling power
menjadi meningkat.
Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
proses pre gelatinisasi. Jika pati tidak dipanaskan pada temperatur yang sesuai
maka derajat pengembangan granula pati tidak tepat dan tidak memberikan sifat
yang diinginkan. Perlakuan pre gelatinisasi sedikit menurunkan kadar amilosa.
Hal ini disebabkan ketika pati dipanaskan dalam air pada temperatur gelatinisasi,
energi panas menyebabkan ikatan hidrogen pati menjadi melemah. Ikatan yang
lemah memudahkan air masuk ke dalam granula dan memungkinkan sedikit
melarutnya dan terjadi pertukaran molekul amilosa menuju ke air.
Bentuk granula dari pati singkong dan ubi jalar terlihat memiliki granula
berbentuk bulat. Pada granula pati termodifikasi (pragelatinisasi) da pramasak
memiliki bentuk yang sedikit berbeda. Pregelatinisasi merupakan salah satu teknik
modifikasi fisik yang dapat mengatur ukuran partikel. Perlakuan pemanasan atau
parboiling pada menyebabkan perubahan struktur dan ukuran granula. Proses pre
gelatinisasi mengakibatkan granula pati mengembang, dan mengalami perubahan
bentuk, meskipun tetap pada suatu lapisan atau fragmen yang melingkupinya.
Proses pre gelatini asi ini bersifat ireversibel, dimana pati yang telah mengalami
gelatinisasi tidak dapat kembali pada kondisi semula. Pregelatinisasi merupakan
salah satu teknik modifikasi fisik yang dapat mengatur ukuran partikel.
Proses Modifikasi Pati dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran
partikel, temperatur, waktu reaksi, dan perbandingan berat air terhadap pati.
Berikut beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses modifikasi pati secara
umum :
1. Ukuran Partikel
Dalam proses modifikasi pati, ukuran partikel berpengaruh terhadap laju reaksi.
Semakin kecil ukuran pati maka semakin cepat reaksi berlangsung karena
ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta
meningkatkan kelarutan dalam air (Saraswati, 2006).
2. Temperatur
Secara umum temperatur berhubungan dengan laju reaksi. Makin tinggi
temperatur, maka reaksi akan berlangsung lebih cepat.
3. Waktu reaksi
Waktu reaksi berpengaruh terhadap tekstur pati yang dihasilkan. Waktu reaksi
yang terlalu cepat mengakibatkan reaksi belum berjalan sempurna sedangkan
jika waktu reaksi terlalu lama mengakibatkan terkstur yang kasar. Hal ini
terjadi karena semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak dinding sel
singkong yang pecah sehingga terjadi pelubangan dari granula pati
termodifikasi, hal ini menyebabkan permukaan yang tidak rata pada granula
pati tersebut sehingga tekstur yang dihasilkan kasar (Subagio, 2008).
4. Perbandingan Berat Air Terhadap pati
Perbandingan berat air terhadap pati harus tepat agar pati dapat sempurna
terlarut. Perbandingan yang terlalu besar akan menimbulkan pemborosan
penggunaan pelarut, sedangkan perbandingan yang terlalu kecil dapat
menyebabkan pengendapan pati.
Menurut Sutrisno (2010) Kualitas pati ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Warna
2. Kandungan air
3. Tingkat kekentalan
Sumber :
Ayu, Diah. 2014. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye Hasil
Modifikasi Perlakuan Stpp (Lama Perendaman Dan Konsentrasi):
Malang. Universitas Brawijaya
Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar:
Bogor. Institut Pertanian Bogor
Kalsum, Nurbani. 2013.Characterization of Cassava Starch Dextrin Processed
with Pregelatination Partial Method: Lampung. Politeknik Negeri
Lampung
Murwati., dkk. 2005. Teknologi Pembuatan Tepung dan Olahan Ubi Jalar:
Yogakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Titi, Hapsari. 2007. Pengaruh Pre Gelatinisasi Terhadap Karakteristik Tepung
Singkong. Universitas Yudharta
Nama : Winni Trinita Maulandhiyani
NIM : 1304693
Pada praktikum kali ini, kami melakukan penelitian ekstraksi pati alami
cara basah dan cara kering serta modifikasi pati pregelatinisasi dan tepung pra
masak termodifikasi pada singkong dan ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui prosedur ekstraksi pati alami baik dengan metode basah ataupun
kering dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh
produk berkualitas. Selain itu, sebagai referensi bagi industri untuk menghasilkan
pati termodifikasi dengan menggunakan tepung pati pregelatinisasi dan tepung pra
masak.
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati tersusun dari dua macam
karbohidrat, amilosa dan amilopektin, dalam komposisi yang berbeda-beda.
Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat
lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan
amilopektin tidak bereaksi (Anonim, 2011).
Ekstraksi pati merupakan suatu proses untuk mendapatkan pati dari suatu
tanaman dengan cara memisahkan pati dari komponen lainnya yang terdapat pada
tanaman tersebut. Ada beberapa metode dalam melakukan ekstraksi pati, antara
lain alkaline steeping, wet milling, protein digestion, dan high intensity
ultrasound. (Drapcho dan Walker, 2008). Ekstraksi dapat dipengaruhi beberapa
faktor yaitu ukuran bahan, suhu ekstraksi dan pelarut.
Modifikasi pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang
kurang menguntungkan seperti; tidak tahan panas, tidak tahan asam, tidak tahan
gesekan dan pengadukan, kelarutan yang terbatas pada air, serta mudah
mengalami sineresis, sehingga proses retrogradasi cepat terjadi. Sehingga dapat
memperluas pemanfaatan pati dalam proses pengolahan pangan serta
menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan.
Pati termodifikasi adalah pati yang diperlakukan secara fisik atau kimia
untuk mengubah salah satu atau lebih sifat fisik atau kimianya yang penting.
Menurut Glicksman (1969), pati diberi perlakuan tertentu yang bertujuan untuk
menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau
untuk mengubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup
penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi, atau bahan kimia lainnya yang
akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran, serta
struktur molekul pati.
Pati pregelatinisasi merupakan pati yang telah mengalami gelatinisasi
dengan cara pemasakan dengan air di atas suhu gelatinisasinya kemudian
dikeringkan, dibuat untuk memudahkan pelarutan dalam proses pengolahan.
Biasanya pati pregelatinisasi dibuat dengan cara membuat pasta (kadar pati dalam
pasta 55% dan 45% berat kering), selanjutnya dikeringkan pada suhu sekitar 800C
dan 1000C dengan menggunakan drum drier (Anonim, 2001). Nama lain dari pati
pregelatinisasi adalah precooked starch, pregelled starch, instant starch, cold water
starch, dan cold water swellable starch. Pregelatinisasi merupakan salah satu
bentuk transformasi fisik, untuk menghasilkan pati yang larut dalam air dingin
(Fennema, 1982).
Rendemen (%)
Rendemen merupakan persentase berat produk yang diperoleh
terhadap berat bahan baku yang digunakan. Perhitungan rendemen
dilakukan berdasarkan berat kering bahan. Rendemen tepung menyatakan
nilai efisiensi dari proses pengolahan sehingga dapat diketahui jumlah
tepung yang dihasilkan dari bahan dasar awalnya (Anonim, 2011).
Hasil perhitungan rendemen pati yang diperoleh dari ekstraksi cara
kering dan cara basah pati singkong dan pati ubi jalar diketahui bahwa
rendemen pati tertinggi terdapat pada ekstraksi basah pati singkong
dengan rendemen 12,158%, sedangkan pada ekstraksi kering pati singkong
yaitu 4,76%. Berikutnya rendemen pati yang diperoleh pada ekstraksi
basah pati ubi jalar yaitu 4,3769% dan rendemen pati terendah terdapat
pada ekstraksi kering pati ubi jalar dengan rendemen 3,15%.
Berdasarkan data perhitungan rendemen hasil ekstraksi cara kering
dan cara basah pati singkong dan pati ubi jalar dapat diketahui pada
ekstraksi basah pati singkong memiliki kandungan pati yang tertinggi dan
dengan demikian diketahui pula bahwa semakin rendah berat pati alami
maka semakin rendah pula rendemen pati yang terkandung di dalamnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Guritno (2003).
Perbedaan hasil persentase perhitungan rendemen kemungkinan
karena ekstraksi dipengaruhi beberapa faktor yaitu 1. Ukuran bahan.
Proses pengecilan ukuran bahan memiliki tujuan untuk memperluas
permukaan bahan sehingga mempercepat penetrasi pelarut ke dalam bahan
yang akan diekstrak dan mempercepat waktu ekstraksi. Semakin kecil
ukuran bahan akan semakin luas permukaan bahan namun dapat berakibat
terbawanya padatan inert di dalam pelarut sehingga mengganggu aktivitas
pelarut. Selain untuk memperluas, tujuan lainnya adalah agar homogen
sehingga kontak dengan solventnya dapat seragam di semua bagian. 2.
Suhu Ekstraksi. Ekstraksi lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi. Kondisi
suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan berubahnya struktur
antioksidan. Sehingga dibutuhkan kondisi suhu yang optimal. 3. Pelarut.
Pelarut yang baik untuk ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai daya
melarutkan yang tinggi terhadap zat yang diekstraksi. Daya melarutkan
yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran
senyawa yang diekstraksi. Terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa
polar larut dalam pelarut polar dan sebaliknya.
Warna (derajat putih)
Warna merupakan salah satu atribut penting untuk produk pangan.
Warna / derajat putih diukur dengan pengamatan secara organoleptik
dengan standar warna putih (BaSO4 = 100 %). Berdasarkan hasil
pengamatan, warna pada pati ubi jalar ekstraksi cara kering dan ekstraksi
cara basah memiliki warna yang berbeda, pada ekstraksi cara kering pati
berwarna orange-krem sedangkan pada ekstraksi cara basah pati berwarna
krem. Berikutnya pada pati pregelatinisasi ubi jalar berwarna coklat dan
pada pati modifikasi pra masak berwarna kuning.
Berdasarkan hasil pengamatan, pati singkong termasuk pati yang
memiliki standar warna putih karena warna yang dihasilkan pada ekstraksi
cara kering maupun cara basah yaitu berwarna putih (++). Lalu pada pati
pregelatinisasi berwarna putih – krem sedangkan pada pati modifikasi pra
masak berwarna kuning.
Balagopalan et al., (1988) menyatakan bahwa pati alami yang
memiliki swelling power tinggi dan kecenderungan retrogradasinya rendah
memiliki kejernihan yang lebih tinggi. Suspensi pati alami dalam air
berwarna buram (opaque), namun proses gelatinisasi pada granula pati
dapat meningkatkan transparansi larutan tersebut. Pati dengan warna
buram dapat digunakan untuk produk sejenis salad dressing. Disamping itu
kejernihan dipengaruhi oleh kandungan ISSP (insoluble starch particles)
dalam pati (Stoddard, 1999). ISSP ialah partikel-partikel pati yang
tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan
membentuk rantai lurus.
Menurut Meyer (1960) dan Mulyandari (1992), derajat putih
sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses
ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan semakin putih. Jika
proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak
komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati.
Aroma
Aroma yang dihasilkan dari setiap pati singkong dan pati ubi jalar
dengan ekstraksi cara kering maupun cara basah, pati pregelatinisasi serta
pati modifikasi pra masak dapat disimpulkan memiliki aroma yang sama
yaitu aroma khas tepung / aroma singkong atau aroma ubi jalar. Ini
disebabkan karena singkong dan ubi jalar yang sudah di ekstraksi secara
pengulangan dan proses pengeringan sehingga aroma singkong dan ubi
jalar sudah menghilang banyak sedangkan aroma patinya semakin kuat
karena sudah di buat dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja.
Tekstur (mesh)
Kehalusan diukur dengan menggunakan ayakan. Ayakan bekerja
dengan menggunakan beberapa susunan ayakan atau saringan, ayakan
yang digunakan berjumlah tiga buah yang disusun, lalu dipaling bawah
diberi wadah untuk menampung sisa sampel. Ayakan yang digunakan
yaitu ayakan No.60, No.80 dan No.100 (150mm). Pengukuran dilakukan
dengan menimbang sejumlah sampel lalu ditaburkan secara merata pada
ayakan paling atas, kemudian ayakan ditutup.
Berdasarkan pengamatan, kehalusan pati singkong dan pati ubi
jalar cara kering dan cara basah, pati pregelatinisasi serta pati modifikasi
pra masak berbeda nyata pada taraf signifikansi, baik pada penyaringan
dengan menggunakan ayakan No.60, No.80 maupun No.100.
Bentuk / Struktur Granula
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Winarno
(2002), menyatakan bahwa granula pati mempunyai sifat merefleksikan
cahaya terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam
putih. Sifat inilah yang disebut birefringent. Pada saat granula mulai
pecah, sifat birefringent ini akan menghilang.
Untuk mengamati bentuk / struktur granula yaitu sejumlah sampel
ditambahkan dengan aquades kemudian diteteskan dalam gelas objek dan
ditutup dengan kaca penutup. Sampel diamati dibawah lensa mikroskop
kemudian difoto dengan menggunakan kamera Olympus yang telah
terpasang pada mikroskop.
Berdasarkan hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop
cahaya terpolarisasi, dapat dilihat bahwa bentuk / struktur granula dari
keseluruhan pati yaitu ekstraksi cara kering dan cara basah, pati
pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak pada singkong dan ubi jalar
tidak jauh berbeda bentuk patinya untuk setiap sampel.
Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda
tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy (2004), ukuran granula pati
singkong dan pati ubi jalar menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-
40 μm dengan bentuk bulat dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh
varietas tanaman singkong dan periode pertumbuhan pada musim yang
berbeda.
Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan
proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air.
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati dapat
mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan
meningkatkan pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati
menyebabkan terjadinya penekanan antara granula pati dengan lainnya.
Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible (dapat kembali
ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati,
pembengkakan granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali).
Kondisi pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible ini disebut
dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini disebut
dengan suhu gelatinisasi.
Swelling Power
Daya kembang pati atau swelling power didefinisikan sebagai
pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air
(Balagopalan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena
adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati
dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan
membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Ketika
granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang
(swelling).
Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat
molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya
menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy, 2004). Semakin
besar sweeling power berarti semakin banyak air yang diserap selama
pemasakan, hal ini tentu saja berkaitan dengan kandungan amilosa dan
amilopektin yang terkandung dalam tepung. Semakin tinggi kadar amilosa
maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal itu karena
dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak
sehingga pengembangan volume juga semakin besar (Murillo, 2008).
Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat
alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga tergantung pada sifat
alami dan kekuatan daya ikat granula. Berbagai faktor yang menentukan
daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dan amilopektin, (2)
bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4)
derajat percabangan, (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar
yang berperan dalam kumpulan ikatan (Leach, 1959).
Berdasarkan hasil perhitungan swelling power yang diperoleh dari
ekstraksi cara kering dan cara basah pati, pati pregelatinisasi, pati
modifikasi pra masak terhadap pati ubi jalar diketahui bahwa nilai
tertinggi terdapat pada ekstraksi basah dengan nilai 2042,87%, sedangkan
nilai terendah terdapat pada ekstraksi kering yaitu 789,07%. Berikutnya
nilai yang diperoleh pada pati pregelatinisasi ubi jalar yaitu 1652,8672%
dan nilai yang diperoleh pada pati modifikasi pra masak ubi jalar yaitu
1601,43%.
Secara umum, swelling power akan meningkat dengan
bertambahnya suhu pengukuran. Namun, peningkatan swelling power
berbeda untuk masing-masing sampel. Perbedaan nilai swelling power
dapat terjadi karena adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin.
Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki
kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang
berbeda, antara lain swelling power dan kelarutan. Sasaki dan Matsuki
(1998) dalam Li dan Yeh (2001) melaporkan bahwa proporsi yang tinggi
pada rantai cabang amilopektin berkontribusi dalam peningkatan nilai
swelling. Sasaki dan Matsuki (1998) dalam Li dan Yeh (2001) juga
melaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara swelling power dengan
kadar amilosa. Hal ini terjadi karena amilosa dapat membentuk kompleks
dengan lipida dalam pati, sehingga dapat menghambat swelling.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain perbandingan
amilosa-amilopektin, panjang rantai dan distribusi berat molekul. Sifat-
sifat psikokimia dan rheologi tepung termodifikasi seperti swelling power,
kelarutan, gugus karbonil dan gugus karboksil memiliki standard tertentu.
Menurut Pomeranz (1991), kelarutan pati semakin tinggi dengan
meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas
untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur
berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling
power.
Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa akan
keluar dari granula pati dan larut dalam air. Persentase pati yang larut
dalam air ini dapat diukur dengan mengeringkan supernatan yang
dihasilkan saat pengukuran swelling power. Menurut Fleche (1985), ketika
molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai
menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah
molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi
suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula
pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga
pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak
mengeluarkan amilosa.
Sumber :
Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia
Pati Tapioka Termodifikasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Anonim, 2011. Amilum. http://id.wikipedia.org/wiki/amilum. Makassar.
Ariansyah, Fitra., Amran Laga., dan Meta Mahendradatta. 2011. Studi Ekstraksi
Pati Berdasarkan Ketinggian Batang Pohon Kelapa Sawit. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Honestin, Trifena. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar. IPB,
Bogor.
Mulyandari, S.H. 1992. Kajian Perbandingan Sifat-Sifat Pati Umbi-Umbian dan
Pati Biji-Bijian. Skripsi. IPB, Bogor.
Rahman, Adie Muhammad. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia Dan Fisik
Tepung Tapioka Dan Mocal (Modified Cassava Flour) Sebagai Penyalut
Kacang Pada Produk Kacang Salut. IPB, Bogor.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Nama : Yanni Handayani
NIM : 1306681
Pada praktikum kali ini dilakukan ekstraksi pati dari ubi jalar dengan cara
ekstraksi basah dan ekstraksi kering. Pati merupakan cadangan bahan bakar pada
tanaman yang disimpan atau ditimbun pada berbagai jaringan penimbun, baik
umbi akar, umbi rambat, umbi rimpang, empelur batang, daging buah maupun
endosperm biji. Pati disimpan dalam bentuk granula yang kenampakan dan
ukurannya seragam serta khas untuk tiap spesies tanaman.
Pati disebut juga amilum yang merupakan homopolimer D-glukosa dengan
ikatan α-glikosidik, yang terdiri dari fraksi amilosa yang mempunyai struktur
lurus dengan ikatan α-(1.4)-D-glukosa yang larut dalam air panas dan fraksi
amilopektin yang tidak larut dengan air panas. Sifat pati sangat ditentukan oleh
panjang rantai C-nya serta lurus atau bercabang rantai molekulnya. Amilosa dan
amilopektin dalam pati selalu terdapat bersama-sama dalam granula. Granula pati
bersifat higroskopis, dan diikuti peningkatan diameter granula. Granula pati dapat
dibedakan karena mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda dan letak
hilum yang unik (Muchtadi, D dan Sugiyono 1992).
Proses Ekstraksi Pati
Proses ekstraksi yang dilakukan pada saat parktikum dibagi ke dalam dua
cara yaitu ekstraksi pati secara kering dan ekstraksi pati secara basah. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui perbedaan proses ekstraksi pati terhadap hasil
rendemen pati dan karakteristik fisik pati yang dihasilkan. Perbedaan mendasar
pada kedua cara ekstraksi pati ini yaitu pada ekstraksi pati secara kering ubi jalar
yang digunakan sebagai sampel dibuat menjadi tepung terlebih dahulu baru
kemudian direndam dalam air untuk proses ekstraksi patinya. Sedangkan pada
ekstraksi pati cara basah, ubi jalar setelah melalui proses pengecilan ukuran dan
pencucian langsung direndam dalam air untuk mengendapkan patinya. Setelah
diperoleh endapan pati dari kedua cara ekstraksi tersebut, pati kemudian
dikeringkan dan diamati karakteristik fisiknya.
Pada dasarnya pengolahan pati sangat mudah. Caranya bahan yang berpati
tersebut cukup dihancurkan atau digiling dengan penambahan air, direndam
dengan sulfit untuk mempertahankan kualitas warna. Bubur bahan disaring
dengan kain saring sehingga pati lolos dari saringan sebagai suspensi pati, dan
serat tertinggal pada kain saring. Suspensi pati ini ditampung pada wadah
pengendapan. Filtrat diendapkan sebagai pasta, dipisahkan airnya yaitu cairan di
atas endapan dibuang, dikeringkan sampai kadar air dibawah 14%, dan terakhir
digiling atau dibubukan sampai halus. Untuk keseragaman ukuran, bahan diayak
dengan ayakan. Selanjutnya dikemas (Febriyanti, 1990).
Pada proses ekstraksi pati baik cara kering maupun cara basah untuk
beberapa sampel umbi-umbian seperti gadung, suweg dan porang perlu dilakukan
perlakuan pendahuluan terlebih dahulu yaitu perendaman umbi dalam larutan
natrium bisulfit untuk mereduksi metabolit-metabolit sekunder seperti kalsium
oksalat ataupun toksin seperti sianida, dan sebagainya.
Pati Termodifikasi
Modifikasi pati dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu
metode fisika dan metode kimia. Metode fisika yang digunakan yaitu perlakuan
pemanasan atau perlakuan suhu. Perlakuan tersebut mengakibatkan permukaan
granula terbuka sehingga menyebabkan daya penetrasi lebih cepat dan pori–
porinya lebih besar. Modifikasi pati secara kimia merupakan salah satu cara yang
banyak digunakan misalnya dengan penambahan asam, oxidasi, starchesters,
kationik, dan crosslinking.
Pati termodifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan
untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnnya
atau untuk merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup
penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang
akan menghasilkan gugus kimia baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta
struktur molekul pati (Heiman, 1980). Modifikasi pati yang dapat dilakukan baik
secara fisik, kimia, biokimia maupun kombinasi ketiganya secara langsung akan
mempengaruhi kharakteristik fisik maupun kimia dari pati termodifikasi yang
akan dihasilkan.
Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat
disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah
pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan
terhadap sharing mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap
kondisi asam dan suhu sterilisasi. Pada praktikum kali ini, pati termodifikasi yang
dibuat yaitu pati pregelatinisasi dan pati pra masak.
Pati pregelatinisasi
Pati preglatinisasi adalah pati dimana kondisinya belum pecah atau masih
mengembang sehingga suhu pregelatinisasi ini lebih rendah daripada suhu
gelatinisasi. Pati pregelatinisasi ini masih dapat mengalami retrogradasi sehingga
dapat kembali ke keadaan semula. Kalau pati sudah tergelatinisasi, keadaan fisik
pati sudah tidak dapat kembali ke keadaan semula. Modifikasi fisik merupakan
perubahan karakteristik pati yang disebabkan perlakuan fisik, biasanya dikenal
dengan pre-gelatinisasi. Alat yang umum digunakan dalam pre-gelatinisasi adalah
spray dryer atau drum dryer sehingga dapat menghasilkan produk yang mudah
larur dalam air dingin (Winarno, 1980).
Pati pregelatinisasi ini pada dasarnya dibuat dengan cara merusak granula
pati dengan bantuan air dan pemanasan. Proses pembuatan pati pregelatinisasi
pada prinsipnya adalah pati dibuat larutan (suspensi), kemudian dipanaskan, lalu
dikeringkan dan digiling, serta diayak. Pada praktikum kali ini, pati pregelatinisasi
dibuat pada suhu yang dijaga antara 60-80oC. Mekanisme dari pre-gelatinisasi
sama prinsipnya dengan gelatinisasi. Akan tetapi, pre-gelatinisasi tersebut
menyebabkan pati yang telah mengalami gelatinisasi terhidrasi. Sifat inilah yang
menyebabkan pati pre-gelatinisasi dapat larut dalam air dingin.
Pregelatinisasi adalah pati yang telah dikeringkan untuk merusak struktur
granula (Rogol, 1986). Teknik modifikasi pati pregelatinisasi prinsipnya cukup
sederhana yakni dengan cara memasak pati di dalam air sehingga tergelatinisasi
sempurna, kemudian mengeringkannya dengan menggunakan rol-rol (drum
drying) yang dipanaskan. Pada proses ini terjadi kerusakan butir pati tetapi
amilosa dan amilopektinnya tidak terdegradasi.
Pati pregelatinisasi mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih
tinggi daripada pati biasa dan mudah larut dalam air dingin (cold water soluble)
serta cepat membentuk pasta dalam air dingin. Viskositasnya juga lebih rendah
dibanding pati yang tidak di pregeltinisasi. Sifat fungsional pati pregel ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi pengeringan. Tingkat dan teknik modifikasi serta metode
pengeringan merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya keragaman sifat
fungsional pati pregelatinisasi.
Rendemen pati
Rendemen merupakan persentase dari hasil (berat pati yang diperoleh)
dengan berat bahan baku (umbi segar). Dari data praktikum ekstraksi pati ubi jalar
diperoleh bahwa rendemen ubi jalar pada ekstraksi basah lebih tinggi dibanding
pati ubi jalar pada ekstraksi kering, yaitu 4,38 % dan 3,15%. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi rendemen antara lain mutu bahan baku (kondisi
tanaman, umur panen), penanganan pascapanen (pengeringan dan penyimpanan)
dan proses ekstraksi, penyaringan, pengeringan dan penggilingan). Perbedaan
varietas ternyata berpengaruh terhadap rendemen tepung dan pati yang dihasilkan.
Hal ini diduga disebabkan faktor genetik tanaman. Greenwood (1970)
menyatakan bahwa keberadaan amilosa dalam pati mungkin bervariasi yang
disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian variasi kadar amilosa dari pati
yang dihasilkan diperkirakan dipengaruhi varietas.
Pemanenan ubi jalar yang tepat akan menghasilkan pati dengan kualitas
yang baik dan rendemen yang tinggi. Menurut Asnawi (2003) dalam Nurdjanah
(2007), waktu panen yang terlalu cepat akan merugikan karena kandungan kadar
pati ubi jalar masih rendah menyebabkan kualitas ubi jalar menjadi kurang baik.
Ubi jalar merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang diduga juga mempunyai
pola hubungan antara tingkat ketuaan, kekerasan dan kandungan pati.
Hal ini sesuai dengan Abbot dan Harker (2001) dan Wills et al.(2005)
dalam Nurdjanah (2007), yang menyatakan bahwa pada umumnya dengan
bertambahnya tingkat ketuaan umbi-umbian akan semakin keras teksturnya
karena kandungan pati yang semakin meningkat, akan tetapi apabila terlalu tua
kandungan seratnya bertambah sedang kandungan pati menurun. Waktu panen ubi
jalar bervariasi tergantung varietas dan kegunaannya. Jika waktu panen terlalu tua,
ubi jalar mengeras karena banyak mengandung komponen komponen non-pati
seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Bentuk/Struktur Granula Pati
Kondisi mikroskopis granula pati merupakan deskripsi kondisi granula
pati melalui pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi. Menurut Muchtadi
et al. (1988) dalam Hidayat (2009), melalui pengamatan kondisi granula pati
dapat diketahui apakah granula pati telah mengalami proses pengembangan/
pembengkakkan, atau kah amilosa telah mengalami proses difusi dan keluar dari
granula pati (amylose leaching), hingga seluruh molekul amilosa telah keluar dari
granula pati seluruhnya dan terperangkap dalam matriks amilopektin (pati telah
tergelatinisasi sempurna).
Hasil pengujian kondisi mikroskopis granula pati, menunjukkan bahwa
pati ubi jalar dengan hasil ekstraksi berbeda dengan hasil pati termodifikasi pra
gelatinisasi. Pada pati hasil pra gelatinisasi granula pati telah mengalami proses
pengembangan/ pembengkakan.
Menurut Winarno (1992) dalam Hidayat (2009), proses gelatinisasi
merupakan proses pembengkakan granula pati yang bersifat irreversible yang
sangat tergantung pada kondisi kandungan air bahan dan adanya panas. Dalam
bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap
jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Pati memiliki bentuk granula
yang berbeda untuk setiap tumbuhan. Granula pati dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop cahaya.
Menurut Holleman dan Aten, A. (1956), granula pati tepung ubi jalar
memiliki bentuk poligonal, bulat, hingga lonjong dengan ukuran granula tidak
seragam.
Gambar 1 Pati ubi jalar ekstraksi kering Gambar 2 Pati ubi jalar ekstraksi basah
Gambar 3 Pati ubi jalar termodifikasi pregelatinisasi
Gambar 4 Pati ubi jalar termodifikasi pra masak
Berdasarkan gambar diatas yaitu pengamatan struktur granula pati ubi jalar
yang diamati dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran tertentu
diketahui bahwa bentuk struktur granula pati yaitu bulat dengan ukuran tak
seragam, maka hal ini sesuai dengan teori di atas.
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-
beda. Proses dasar pembuatan semua jenis pati adalah sama, yaitu penghancuran
sel-sel untuk memisahkan butiran-butiran pati dari komponen-komponen lainnya
dengan pertolongan air untuk mengekstraknya (Winarno, 1985).
Menurut Greenwood (1970), pati merupakan butir atau granula yang
berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa. Granula pati dibentuk
dari lapisan tipis yang merupakan susunan melingkar dari molekul-molekul pati,
lapisan-lapisan tersebut tersusun secara terpusat. Granula tiap-tiap jenis pati
berbeda dalam bentuk dan ukurannya, sehingga dapat digunakan untuk
menentukan sumbernya.
Bentuk Granula Pati Termodifikasi
Proses gelatinasi adalah proses pembentukan gel akibat adanya
penambahan air dan pemanasan pada suhu yang sesuai, menyebabkan granul-
granul amilum mengembang lalu pecah menjadi susunan yang bergerombol.
Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin
sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granul-granul
yang bergerombol (Kurniadi, 2010). Susunan yang bergerombol ini menghasilkan
amilum dengan ukuran partikel berbentuk granul.
Pada pati pregelatinisasi memiliki bentuk yang lebih besar akibat
terjadinya pengembangan karena absorbsi air yang dilakukan oleh pati. Bentuk
granula pati termodifikasi lebih besar dengan bentuk yang tidak seragam.
Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati.
Ukuran granula pati yang kecil, maka kekuatan pembengkakannya juga kecil.
Smith (1982) menambahkan bahwa Pada struktur granula pati, amilosa
dan amilopektin tersusun dalam suatu cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu
granula kurang lebih berjumlah 16, dimana sebagian berbentuk lapisan amorf dan
sebagian berbentuk lapisan semikristal. Amilosa dan amilopektin di dalam granula
pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Apabila granula pati dipanaskan di
dalam air, maka energy panas akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air
masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan
hidrogen dengan amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan
granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum
akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian
amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang
menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah. Karena jumlah gugus
hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air
sangatlah besar pula. Terjadi peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya
berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspense dipanaskan, kini
sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi.
Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi,
interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta kemudahan
didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan granula
bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih
sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom
et al., 2004).
Warna
Warna adalah salah satu karakteristik fisik pati yang penting. Warna
ekstrak pati ubi jalar yang diharapkan yaitu berwarna putih. Namun, hasil
ekstraksi pati ubi jalar diperoleh warna pati ekstraksi basah dan kering krem,
untuk pati pre gelatinisasi berwarna coklat, dan pati pra masak termodifikasi
berwarna kuning.Karakteristik warna pati dipengaruhi oleh proses pembuatan
pati, seperti proses pemanasan atau pengeringan. Pemanasan menurunkan tingkat
kecerahan pati. Penurunan kecerahan meningkat dengan meningkatnya intensitas
panas yang diterima selama proses pengeringan.
Selain itu warna dasar dari ubi jalar yang diekstrak patinya juga akan
mempengaruhi warna pati yang dihasilkan. Warna ubi jalar yang digunakan
sebagai sampel yaitu ubi jalar putih dan ubi jalar kuning. Sehingga pada pati pra
masak termodifikasi yang dihasilkan berwarna putih. Sedangkan warna krem pati
yang dihasilkan dipengaruhi oleh lamanya proses pengeringan atau suhu yang
digunakan selama proses pengeringan.
Pengujian karakteristik warna dilakukan karena warna pati ubi jalar yang
digunakan sebagai bahan baku pada pengolahan aneka produk pangan akan sangat
mempengaruhi penampakan produk akhir yang dihasilkan. Perbedaan warna pati
yang dihasilkan diduga berkaitan dengan lamanya prose pengeringan pada saat
perolehan pati dari ubi jalar. Waktu pengeringan yang lebih singkat akan
meminimalisasi terbentuknya warna coklat akibat proses pencoklatan oksidatif.
Aroma
Aroma juga merupakan salah satu karakteristik fisik yang penting. Aroma
pati akan dipengaruhi oleh komposisi kimia yang terkandung dalam ubi jalar.
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh pati yang beraroma ubi. Seharusnya pati
yang dihasilkan tidak beroma, namun komposisi kimia ubi jalar yang menjadikan
pati ubi jalar yang dihasilkan beraroma ubi. Aroma pati ubi jalar dapat berkurang
dipengaruhi oleh proses perolehan pati. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat
ekstraksi pati mungkin bisa menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia
penghasil aroma pada pati yang dihasilkan.
Tekstur
Uji makroskopik dilakukan untuk mengetahui ukuran pati ubi jalar yang
dihasilkan. Uji ini menggunakan bantuan ayakan bertingkat dengan mesh no. 60,
80, dan 100. Pati hasil ekstraksi basah basah dan kering memiliki tingkat
kehalusan 80 mesh, pati ubi jlaar pra masak memiliki kehalusan 100 mesh,
sedangkan pati ubi jalar ore gelatinisasi memiliki kehalusan 60 mesh. Hal ini
sesuai pada Farmakope Indonesia IV (1995) yang menyatakan bahwa pati alami
berbentuk serbuk sangat halus. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin
disebabkan karena proses gelatinasi yang terjadi. Proses gelatinasi mengakibatkan
granul-granul pati pecah dan berubah menjadi susunan yang bergerombol
(Kurniadi, 2010 dalam Karisma).
Swelling Power
Swelling power merupakan sifat fungsional yang dimiliki oleh suatau
bahan terutama tepung atau pati. Swelling power dapat mencirikan daya kembang
suatu bahan, dalam hal ini adalah kekuatan tepung atau pati untuk mengembang.
nilai swelling power diperoleh dari perbandingan antara berat sedimen pasta pati
(supernatant) dengan berat kering tepung yang dapat membentuk pasta.
Hasil uji swelling power pada pati ubi jalar yang diperoleh dengan cara
ekstraksi kering yaitu 789,07%, ekstraksi basah yaitu 2042,87%, pati
termodifikasi pregelatinisasi yaitu 1652,87%, dan pati modifikasi pra masak yaitu
1601,43%. Diketahui bahwa nilai swelling power tertinggi diperoleh dari pati
hasil ekstraksi basah, sedangkan nilai swelling power terendah diperoleh dari pati
hasil ekstraksi kering.
Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati
mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk
memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses
produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih
bisa menampung pati tersebut. Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada
kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga
tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula.
Dari sini terlihat bahwa kemampuan mengembang produk pati
termodifikasi berkurang karena perlakuan yang dilakukan dan pati alami lebih
sulit mengembang. Hal ini tidak sesuai karena hasil yang didapat seharusnya pati
alami memiliki swelling power yang tertinggi karena masih banyak ikatan
bercabang dalam pati alami yang dapat mengikat gugus hidroksil lebih banyak.
Sedangkan untuk pati termodifikasi seharusnya swelling powernya berkurang
karena ikatan cabang dalam produk ini telah berkurang akibat perlakuan dalam
proses produksinya.
Menurut Leach 1965 di dalam Sunarti et al. (2007) berbagai faktor yang
menentukan daya ikat tersebut adalah:
1. Perbandingan amilosa dan amilopektin.
2. Bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut.
3. Distribusi bobot molekul.
4. Derajat percabangan.
5. Panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang berperan dalam
kumpulan ikatan.
Kecenderungan penurunan swelling power, hal ini dikarenakan semakin
lama perendaman diduga menyebabkan kemampuan mengikat air semakin rendah,
hal ini disebabkan karena semakin banyak pengikatan fosfat oleh molekul
(amilosa/amilopektin) yang semakin menyebabkan pembengkakan menjadi
terbatas. Menurunnya nilai swelling power dikarenakan meningkatnya kristalin
pati setelah modifikasi sehingga membatasi air yang masuk ke dalam pati dan
membuat pati menjadi lebih terbatas saat membengkak.
Swelling power dipengaruhi oleh kemampuan molekul pati untuk
mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen. Setelah gelatinisasi ikatan
hidrogen antara molekul pati terputus dan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan
air. Sehingga pati dalam tergelatinisasi dan granula-granula pati mengembang
secara maksimal. Proses mengembangnya granula pati ini disebabkan karena
banyaknya air yang terserap kedalam tiap granula pati dan granula pati yang
mengembang tersebut mengakibatkan swelling power menjadi meningkat.
Sumber :
Febriyanti, T. 1990. Studi Karakteristik Fisik, Kimia, dan Fungsional Beberapa
Varietas Tepung Singkong. Skripsi. IPB, Bogor.
Greenwood, C. T. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam The Carbohydrates
Chemistry and Biochemistry. Academic Press, New York.
Heiman, W. 1980. Fundamental of Chemistry. Avi Publisher. Co, Westerfort.
Hidayat, Beni., Nurbani Kalsum., dan Surfiana. 2009. Jurnal Teknologi Industri
dan Hasil Pertanian: Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi yang
Diproses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Parsial. Volume 14, No 2.
Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri, Lampung.
Karisma Sari, Kadek Lenny., Jemmy Anton Prasetia, dan Cok. Istri Sri Arisanti.
Pengaruh Rasio Amilum:Air Dan Suhu Pemanasan Terhadap Sifat Fisik
Amilum Singkong Pregelatin Yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet.
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana.
Lindeboom et al.. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of
starch granule size with emphasis on small granulastarches : A Review.
Starch/starke. 56:89-99.
Muchtadi, D. dan Sugiyono 1992. Ilmu dan Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, D., Palupi, N.S. & Astawan, M. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan
Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor: PAU Pangan
dan Gizi IPB.
Nurdjanah, Siti., Susilawati, dan Maya Ratna Sabatini. 2007. Jurnal Teknologi
dan Industri Hasil Pertanian: Prediksi Kadar Pati Ubi Kayu (Manihot
Esculenta) Pada Berbagai Umur Panen Menggunakan Penetrometer.
Volume 12, No.2.
Retnaningtyas, Dyah Ayu., dan Widya Dwi Rukmi Putri. 2014. Jurnal Pangan
dan Agroindustri: Karakterisasi Sifat Fisikokimia Pati Ubi Jalar Oranye
Hasil Modifikasi Perlakuan STPP (Lama Perendaman Dan Konsentrasi).
Vol. 2 No 4 p.68-77. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas
Brawijaya Malang.
Rogol, S. 1986. Pati Termodifikasi Pregelatinisasi. Jakarta : PT. Gramedia
PustakaUtama.
Smith, P. S. 1982. Starch Derivatives and Their Use in Foods. Di dalam
Lineback, D. R. dan Inglett, G. E. (eds.). Food Carbohydrates. The AVI
Publishing Company Inc., Westport, Connecticut.
Sunarti, T.C., N. Richana., F. Kasim., Purwoko, A. Budiyanto., 2007.
Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Tepung dan Pati Jagung Varietas Unggul
Nasional dan Sifat Penerimaannya terhadap Enzim dan Asam.
Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB Bogor.
Winarno, F.G. 1980. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F.G.1985. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Nama : Amalia Dwi Lestari
NIM : 1301107
Dalam pembuatan ekstraksi pati dilakukan pretreatment terlebih dahulu
pada beberapa jenis umbi-umbian untuk menghilangkan kandungan racunnya.
Kemudian adanya perluasan ukuran untuk memudahkan proses ekstraksi
selanjutnya. Pati adapula yang dimodifikasi dengan tujuan untuk memudahkan
pelarutan dalam air dingin dan memudahkan untuk proses pengolahan
selanjutnya.
Nama : Isnaeni Apriliani
NIM : 1305572
1. Rendemen ekstraksi pati alami cara basah memiliki rendemen paling besar
dibandingkan dengan rendemen ekstraksi pati cara kering. Persentase
rendemen pati cara basah yaitu sebesar 4,3769% sedangkan persentase
rendemen pati cara kering yaitu sebesar 3,15%. Hal tersebut menunjukan
adanya perubahan selama proses pengolahan yang terjadi pada kedua
perlakuan tersebut. Perbedaan rendemen yang diperoleh tersebut
dipengaruhi oleh jenis perlakuan yang diberikan.
2. Warna pati dengan perlakuan cara basah menunjukan warna krem, hal
tersebut dapat terjadi akibat dari adanya perendaman dalam proses
pengolahannya sehingga mempengaruhi warna yang dihasilkan oleh
produk. Warna pati yang dihasilkan akan cenderung memudar, hal ini
disebabkan oleh karena semakin lama perendaman semakin banyak
komponen penimbul warna atau pigmen (dalam hal ini karoten) yang
terbuang.
3. Ekstraksi pati alami cara basah aroma pati yang tercium cenderung
memiliki aroma seperti tepung sedangkan aroma pati yang dihasilkan dari
ekstraksi pati alami cara kering cenderung memiliki aroma seperti ubi.
4. Pati ubi jalar yang dihasilkan dari kedua jenis perlakuan tersebut memiliki
tingkat kehalusan yang sama yaitu dengan ukuran ayakan 80 mesh.
5. Nilai swelling power pati pra masak adalah 1601,43 % sementara itu nilai
swelling power pati pragelatinisasi adalah 1652,8672%.
6. Bentuk ukuran granula pati yang ditunjukan oleh pati dari kedua jenis
perlakuan tersebut menunjukan bentuk dan ukuran granula pati yang sama
yaitu berbentuk bulat tak beraturan. Hal yang membedakannya adalah
kecerahan dan kejernihan penampakan yang terlihat dari penampang
bentuk dan ukuran granula pati.
7. Rendemen pati pra gelatinisasi memiliki nilai yang lebih besar
dibandingkan dengan rendemen pati pra masak. Persentase rendemen pati
pragelatinisasi adalah 65,40% sedangkan presentase rendemen pati pra
masak adalah 11,82%.
8. Pati pra masak menghasilkan warna kuning sementara pati pragelatinisasi
menghasilkan warna coklat. Tentu saja hal tersebut dapat terjadi karena
pengaruh dari perlakuan yang diberikan kepada masing-masing pati
termodifikasi.
9. Kedua jenis pati termodifikasi tersebut memiliki aroma yang sama yaitu
aroma ubi jalar atau tepung ubi jalar.
10. Pati pra masak cenderung lebih halus dibandingkan dengan pati pra
gelatinisasi, hal ini dapat terjadi karena perbedaan penggunaan ukuran
ayakan thyller pada proses pengayakan.
11. Nilai swelling power pati pra masak adalah 1601,43 % sementara itu nilai
swelling power pati pragelatinisasi adalah 1652,8672%.
12. bentuk dan ukuran granula pati pada kedua pati termodifikasi tersebut
memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dimana bentuk dan ukuran
granula pati pragelatinisasi memiliki bentuk yang tidak beraturan dan
cenderung padat sedangkan pati pra masak memiliki bentuk oval tak
beraturan dan cenderung memiliki ruang kosong antara molekul yang satu
dengan molekul yang lainnya.
Nama : Juliana M Nur
NIM : 1306948
1. Dengan menggunakan cara basah pada saat proses ekstraksi dimungkinkan
akan ada banyak pati yang lolos saat penyaringan dan kemungkinan ampas
bahan bakunyapun ikut lolos.
2. Pati yang diperoleh dari ekstraksi umbi singkong ini akan memberikan
warna putih jika diekstraksi secara benar.
3. Bahan baku yang sudah di ektraksi secara pengulangan dan proses
pengeringan sehingga aroma bahan bakunya yang sudah menghilang
sedangkan aroma patinya semakin kuat karena bahan baku sudah di buat
dalam bentuk tepung atau di ambil patinya saja.
4. Semakin kecil ukuran mesh maka akan semakin halus pati yang lolos.
5. Karena penggunaan singkong dengan kadar amilosa yang tinggi maka
akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga
semakin besar.
6. Proses pengeringan kembali pati yang tergelatinisasi memungkinkan
senyawa-senyawa terlarut tersebut, seperti gula perduksi dan protein
bereaksi menghasilkan pigmen berwarna coklat atau krem.
7. Proses pemanasan/ pengeringan pada saat ekstraksi pati mungkin bisa
menguapkan atau mereduksi senyawa-senyawa kimia penghasil aroma
pada pati yang dihasilkan.
8. Semakin besarnya ukuran pati pregelatin disebabkan karena proses
gelatinasi yang terjadi.
9. Semakin tinggi suhu pemanasan dan penambahan air maka akan semakin
sempurna proses gelatinasi, ditandai dengan semakin banyaknya granul-
granul yang bergerombol
10. Bahan yang memiliki kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air
lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar
sehingga kadar swelling pun makin tinggi.
Nama : Mita Maharani Bahriah
NIM : 1305741
Rendemen pati yang dihasilkan dari dua metode yang berbeda menghasilkan
rendemen yang berbeda, pada cara basah terdapat proses perebusan yang tentunya
meningkatkan kadar air dalam bahan. Sedangkan rendemen pati modifikasi
mengalami kebiasan data sehingga hasil yang diperoleh kurang akurat.
Namun dalam derajat warna dan aroma modifikasi pati menurunkan
ketajaman warna dan aroma sehingga menurunkan tingkat penerimaan. Hal ini
terjadi karena adanya degradasi lanjutan pada proses modifikasi sehingga senyawa
pigmen dan flavonoid menurun, yang tentunya menurunkan ketajaman aroma,
sedangkan pada tepung yang pati pregelatinisasi ubi jalar, terjadi pencoklatan,
yang diduga terjadi karena pencoklatan non enzimatis karena adanya pemanasan.
Swelling power yang dihasilkan bervariasi, terendah dihasilkan dari ekstrak
pati kering ubi jalar, sedangkan yang paling tinggi didapatkan dari pati
pregelatinisasi ubi kayu.
Nama : Utari Nur Amalia
NIM : 1300751
1. Proses ekstraksi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu
rendemen pati yang dihasilkan.
2. Pati termodifikasi menghasilkan sifat yang lebih baik dari difat
sebelumnya
3. Semakin kecil perbandingan pati dan air maka nilai swelling power dan
nilai kelarutan semakin besar
4. Bentuk dan ukuran morfologi granlua pati dipengaruhi oleh jenis bahan
dasar sehingga mempunyai bentuk dan ukuran yang spesifik
5. Faktor yang mempengaruhi proses modifikasi pati yaitu ukuran partikel,
temperatur, waktu reaksi, dan perbandingan berat air terhadap pati.
Nama : Winni Trinita Maulandhiyani
NIM : 1304693
1. Perbedaan hasil persentase perhitungan rendemen kemungkinan karena
ekstraksi dipengaruhi beberapa faktor yaitu ukuran bahan, suhu ekstraksi
dan pelarut.
2. Warna / derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati.
Semakin murni proses ekstraksi pati, maka tepung yang dihasilkan akan
semakin putih.
3. Aroma yang dihasilkan tetap khas tepung disebabkan karena singkong dan
ubi jalar yang sudah di ekstraksi secara pengulangan dan proses
pengeringan sehingga aroma singkong dan ubi jalar sudah menghilang
banyak sedangkan aroma patinya semakin kuat karena sudah di buat dalam
bentuk tepung atau di ambil patinya saja.
4. Kehalusan pati singkong dan pati ubi jalar cara kering dan cara basah, pati
pregelatinisasi serta pati modifikasi pra masak berbeda nyata pada taraf
signifikansi, baik pada penyaringan dengan menggunakan ayakan No.60,
No.80 maupun No.100.
5. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung
dari sumbernya. Ukuran granula pati singkong dan pati ubi jalar
menunjukan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40 μm dengan bentuk bulat
dan oval. Variasi tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong dan
periode pertumbuhan pada musim yang berbeda.
6. Faktor-faktor seperti rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul
dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya
menentukan swelling power dan kelarutan.
Nama : Yanni Handayani
NIM : 1306681
1. Nilai rendemen pati ubi jalar dan nilai uji swelling power pati ubi jalar
yang dihasilkan dari ekstraksi pati cara kering berbeda dengan pati hasil
ekstraksi basah. Rendemen pati ekstraksi basah dan uji swelling power nya
lebih tinggi dibanding pati ekstraksi kering.
2. Dilakukan modifikasi pati yaitu pre gelatinisasi dan pra masak bertujuan
untuk memperbaiki sifat atau karakteristik fisik pati ubi jalar yang
dihasilkan.
3. Secara umum pati ubi jalar yang dihasilkan berwarna krem-kuning, pati
beraroma ubi, dan memiliki tekstur atau kehalusan antara 60-100 mesh.
4. Bentuk struktur/granula pati alami hasil ekstraksi kering dan basah yaitu
berukuran kecil, bulat, tidak beraturan. Sedangkan bentuk granula pati
hasil pre gelatinisasi dan pra masak cenderung lebih besar dan
bergerombol, akibat adanya sifat pati yang menyerap air.
5.2. Saran
1. Untuk dapat menghasilkan pati dengan karakteristik dan kualitas yang
baik, maka sebaiknya harus memperhatikan proses ekstraksi/pengambilan
pati dari bahan, karena proses ekstraksi pati yang dilakukan merupakan
faktor utama penentu kualitas pati yang dihasilkan.
2. Perlu diperhatikan prosedur kerja dalam ekstraksi pati alami cara basah
maupun cara kering.
3. Perlu dilakukan analisis karakteristik pati lebih mendalam agar dapat
diketahui kegunaan pati singkong dan ubi jalar dalam industri.
4. Perlu dilakukan analisis untuk mengetahui ketahanan pati termodifikasi
(pati pregelatinisasi) dan tepung pra masak termodifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia
Pati Tapioka Termodifikasi. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Anonim. Karbohidrat . [Online]. Tersedia di
https://docs.google.com/document/d/1q5E889rMKc73MVf1pvh6ZQbl5xir
KyHUDPegGccp18c/edit?hl=en&pli=1 diakses pada April 2015
Hustiany, R. 2006. Modifikasi asilasi dan suksinilasi pati tapioka sebagai bahan
enkapsulasi komponen flavor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jacobson, M.R and J.N BeMiller. 1998. Method for Determining The Rate and
Extent of Accelerated Starch Retrogradation. Cereal Chem 75 (1): 22-29
Koswara, S. 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. http://www.
Ebookpangan.com. Diakses tanggal 15 Desember 2008.
Smith. 1982. Introduction to Fish Physiology. Publication Inc., England
Swinkels, 1985. Source of Starch, Its Chemistry and Physics. Di dalam: G.M.A.V.
Beynum dan J.A Roels (eds.). Starch Conversion Technology. Marcel
Dekker, Inc., New York
Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan danGizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
(Yanni Handayani - 1306681)
Gambar bentuk struktur/granula pati
Pati singkong ekstraksi kering kelompok 2
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati singkong ekstraksi basah kelompok 1
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati ubi jalar ekstraksi kering kelompok 6
Bentuk granula: Bulat tak beraturan
Pati ubi jalar ekstraksi basah kelompok 5
Bentuk granula: Bulat tak
beraturan
Pati termodifikasi (pregelatinisasi) Singkong
Pati termodifikasi (pregelatinisasi) Ubi jalar
Pati pra masak (modifikasi) singkong
Pati pra masak (modifikasi) ubi jalar