journal reading- uveitis posterior
DESCRIPTION
uveitis posteriorTRANSCRIPT
JOURNAL READING
New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis
Pembimbing :
Dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M
Disususn oleh :
Adelita Yuli Hapsari
030.10.003
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 29 JUNI 2015 s/d 08 AGUSTUS 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
0
LEMBAR PENGESAHAN
Journal reading dengan judul
”New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata
di RSUD Kardinah periode 29 Juni 2015 – 08 Agustus 2015
Tegal, Juli 2015
(dr. Imamatul Ibaroh,Sp.M)
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas journal reading “New Infectious Etiology for
Posterior Uveitis” ini. Adapun penulisan jurnal ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
periode 29 Juni 2015 – 08 Agustus 2015
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Imamatul
Ibaroh, Sp.M, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan dalam
penyusunan journal reading ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua
pihak yang turut serta membantu penyusunan journal reading ini yang tidak mungkin
diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam penulisan
ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
bagi perbaikan penulisan ini. Terima kasih.
Tegal, Juli 2015
(Penulis)
2
DAFTAR ISI
Lembar pengesahan........................................................................................................ 1
Kata Pengantar................................................................................................................ 2
Daftar isi.......................................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan......................................................................................................... 4
Bab II Tinjauan Pustaka.................................................................................................. 5
2.1 Anatomi Uvea.............................................................................................. 5
2.2 Definisi......................................................................................................... 6
2.3 Insidensi....................................................................................................... 6
2.4 Etiologi........................................................................................................ 6
2.5 Patofisiologi................................................................................................. 7
2.6 Gejala klinis................................................................................................. 8
2.7 Komplikasi................................................................................................... 9
2.8 Diagnosis banding........................................................................................ 9
2.9 Terapi........................................................................................................... 10
2.10 Prognosis.................................................................................................... 10
JOURNAL READING................................................................................................... 12
Abstrak............................................................................................................... 13
Pendahuluan....................................................................................................... 13
Infeksi WNV...................................................................................................... 14
Demam Berdarah............................................................................................... 16
Infeksi virus cikungunya................................................................................... 17
Rift Valley Fever................................................................................................ 18
Riketsia.............................................................................................................. 19
Uveitis H1N1..................................................................................................... 20
Journal : New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis................................. 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan besar dalam
vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan sebagai
inflamasi yang terjadi pada uvea.1
Istilah “uveitis” merupakan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus siliare
(uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun, dalam
praktiknya, isitilah ini turut mencakup peradangan pada retina (vaskulitis retinal), dan nervus optikus
intraretinal (papilitis). Uveitis bisa terjadi secara sekunder oleh karena peradangan pada kornea
(keratitis), sklera (skleritis) atau keduanya (sklerokeratitis). Uveitis biasanya terjadi pada usia 25 – 50
tahun dan berpengaruh pada 10-20% kasus kebutaam yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis
lebih banyak ditemukan pada negara-negara berkembang oleh karena tingginya prevalensi infeksi
seperti tuberkulosis dan toksoplasmosis. Selain infeksi, uveitis juga merupakan akibat dari adanya
trauma, neoplasia atau proses autoimun.1,2,3
Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea, yaitu pada lapisan
koroid, sehingga sering disebut koroiditis. Penyebab uveitis posterior terbagi atas penyebab infeksi
dan noninfeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit
sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan morfologi lesi, cara
onset dan perjalanan penyakit atau hubungannya dengan penyakit sistemik. Pertimbangan lain adalah
umur pasien dan apakah timbulnya unilateral atau bilateral. Pada uveitis posterior, retina hampir
selalu terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal sebagai koriorenitis. Pada uveitis posterior umumnya
lebih sering terjadi uveitis jenis granulomatosa. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau
lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses granulomatosa kronis2
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena
terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan
pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan
oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat4,5
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Uvea
Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata yang terletak antara
kornesklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari tiga bagian, yaitu iris, badan siliaris, dan koroid.
Gambar 1. Anatomi Uvea1
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina dan sklera. Terdapat
tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang, dan kecil. Pada bagian interna koroid
dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di bagian luar terdapat suprakoroidal.1,2
5
Gambar 2 Lapisan Koroid1
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari arteri
oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di
badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus.
Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.1,2
2.2 Definisi
Uveitis posterior merupakan salah satu klasifikasi uveitis berdasarkan anatomis. Uveitis
posterior adalah radang uvea bagian posterior yang biasanya disertai dengan keradangan jaringan
disekitarnya. Inflamasi ini terletak dibagian uvea di belakang dengan batas basis vitreus. Jika
mengenai retina disebut retinitis dan jika mengenai vitreous disebut vitritis. 1,2,3
Gambar 3. Klasifikasi Uveitis secara Anatomi1
2.3 Insidensi
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15
kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Toxoplasma dianggap sebagai penyebab 30-50% uveitis posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam
periode Januari 1981 – Maret 1982 terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus
disebabkan oleh toksoplasmosis. Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70
tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis
diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia.2,4,6
2.4 Etiologi
6
Penyebab dari uveitis posterior dapat dibagi atas dari penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)
dan non infeksi (uveitis non granulomatosa).2
1. Penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)
virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus Epstein-
Barr, virus coxsackie.
bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik dan endemik, Nocardia,
Neisseria meningitides, Mycobacterium avium-intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
2. penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)
autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, poliarteritis nodosa, ofthalmia
simpatis, vaskulitis retina.
keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi metastatik.
etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati pigmen plakoid multifokal
akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati pigmen retina.
2.5 Patofisiologi
Pada stadium awal terjadi kongestif dan infiltrasi dari sel-sel radang seperti PMN, limfosit,
dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih banyak berperan pada uveitis jenis
granulomatosa sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih
dominan. Apabila inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan
menginvasi rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada uveitis
granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell sebagai nodul
granulomatosa yang tipikal. Kemudian eksudat menghilang dengan disertai atrofi dan melekatnya
lapisan koroid dan retina yang terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula
pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan difagositosis oleh
makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.5
7
Gambar 4. Uveitis Posterior
Sel-sel radang pada humor vitreus, lesi berwarna putih atau putih kekuningan pada retina dan
atau koriod, eksudat pada retina, vaskulitis retina dan edema nervus optikus dapat ditemukan pada
uveitis posterior.
2.6 Gejala Klinis
Gejala Uveitis Posterior antara lain2,4,5,7:
a. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis uveitis posterior.
b. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen posterior yang terkena, jadi gejala
ini jarang pada toksoplasmosis dan tidak ada pada histoplasmosis.
c. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis retina akut, sifilis, infeksi
bakteri endogen, skleritis posterior, dan pada kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus.
Pasien toksoplasmosis, toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak disertai glaukoma
umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit segmen posterior noninfeksi lain yang khas tidak
sakit adalah epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan Sindroma
Vogt-Koyanagi-Harada.
Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah2 :
a. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia, penyakit Behcet, sifilis,
toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.
b. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis granulomatosa anterior
yang juga mengenai retina posterior dan koroid, sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis,
Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non granulomatosa
dapat menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, bruselosis,
sarkoma sel retikulum, dan sindrom nekrosis retina akut.
c. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis retina akut,
toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
d. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior. Peradangan dalam
vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada
koroiditis geografik atau histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel
retikulum, infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus toksoplasmosis dengan fokus-
fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya, peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat
terdapat pada tuberkulosis, toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis, toksoplasmosis,
dan pada pasien endoftalmitis bakteri atau kandida endogen.
8
e. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang menimbulkan retinitis
dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla
umumnya mengenai retina secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada
koroiditis. Pada pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses granulomatosa, yang
juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa
merusak retina dan pasien tidak menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara
primer pada oftalmia simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa lesi
geografik, lesi punctata, nodul Dalen-Fuchs.
f. Vaskulitis.
g. Hemoragik retina.
h. Parut lama.
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah4,5 :
a. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour, badan siliar, iris, nervus
optikus, dan sklera.
b. Sinekia posterior.
c. Edema makula sistoid.
d. Vaskular dan optik atropi.
e. Traction retinal detachment.
f. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari uveitis posterior antara lain3:
1. Penyakit degenerasi retina
Biasanya disertai miopia tinggi
Bersifat slowly progressive dan menetap
Tidak bisa diobati
2. Kekeruhan badan kaca karena penyakit lain
Biasanya ada penyakit sistemik
Ultrasonografi jelas terlihat
Diresorbsi spontan 6 bulan
3. Ablasio retina
Progresif, USG jelas terlihat
9
Bila regmatogenus ditemukan sobekan retina
Satu-satunya tindakan hanya operasi
2.9 Terapi
Terapi uveitis posterior tergantung dari penyebabnya. Pada prinsipnya pengobatan ditujukan
untuk mempertahankan penglihatan sentral, mempertahankan lapang pandang, mencegah atau
mengobati perubahan-perubahan struktur mata yang terjadi seperti katarak, glaukoma sekunder,
sinekia posterior, kekeruhan badan kaca, ablasi retina dan sebagainya.3,7
Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis, yaitu midriatikum, steroid,
sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau
antivirus yang sesuai. Midriatikum berfungsi untuk memudahkan follow up keberhasilan pengobatan.
Atropin tidak diberikan lebih dari 1-2 minggu. 3,7
Indikasi operasi pada pasien dengan uveitis mencakup rehabilitasi visual, biopsi diagnostik
(hasil penemuan dari biopsi menyebabkan adanya perubahan pada rencana pengobatan), dan
pengeluaran Opacities media untuk memonitor segmen posterior. Apabila timbul perubahan struktur
pada mata (katarak, glukoma sekunder) maka terapi terbaik adalah dengan operasi. 3,7
Vitrektomi berfungsi untuk menentukan diagnosis dan pengobatan. Indikasi vitrektomi
adalah peradangan intraokular yang tidak sembuh pada pengobatan, dugaan adanya keganasan dan
infeksi pada mata. Uveitis posterior berkaitan dengan kekeruhan vitreus yang tidak dapat
disembuhkan dengan obat-obatan. Dengan adanya vaskulitis dan oklusi vaskular pada pars planitis,
penyakit Behcet dan sarkoidosis neovaskularisasi retina atau pada diskus optikus (pada pasien uveitis)
menyebabkan timbulnya perdarahan pada vitreus. Vitrektomi merupakan salah satu pilihan untuk
situasi tersebut. 3,7
2.10 Prognosis
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi daerah lesi. Lesi
yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan berpengaruh pada fungsi penglihatan.
Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak
mengenai area makula.4
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Melinda. Uveitis. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Riau, 2009.
2. Shock JP. Lensa. Dalam: Vaughan D, Asbury T. Oftalmologi Umum (General Opthalmology).
Alih bahasa: Ilyas S. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000.
3. Soewono W, Eddyanto. Uveitis Posterior dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi bagian Ilmu
Penyakit Mata. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga, 2006.
4. Ilyas R. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.
5. Allen. J. H., May’s manual of the disease of the eye, Robert E. Kriger Pubhlising Company New
York 1968, hal 124-149.
6. Robert HJ. Uveitis. 2005; (online), (http://www.emedicine.com/oph/topic581.htm diakses 14 Juli
2010).
7. Ilyas S, Mailangkay, Taim H, Saman R, Simarmata M et al. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
11
JOURNAL READING
New Infectious Etiologies for Posterior Uveitis
Pembimbing :
Dr. Imamatul Ibaroh, Sp.M
Diterjemahkan oleh :
Adelita yuli hapsari
030.10.003
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
12
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 29 JUNI 2015 s/d 08 AGUSTUS 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Etiologi Infeksi Terbaru pada Uveitis Posterior
Moncef Khairallah Rim Kahloun Salim Ben Yahia Bechir JellitiRiadh Messaoud
Department of Ophthalmology, Fattouma Bourguiba University Hospital, Faculty of Medicine, University of Monastir, Monastir , Tunisia
Kata kunci
Uveitis posterior•retinitis•korioretinitis•vaskulitis
Abstrak
Munculnya dan kembalinya wabah penyakit infeksi artropoda merupakan kelainan sistemik terbesar
yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Diantaranya, virus dan bakteri seperti
west nile virus, virus demam berdarah, chikungunya, Rift valey fever, dan riketsia yang berperan
dalam menimbulkan gejala pada mata. Termasuk uveitis anterior, retinitis, korioretinitis, vaskulitis
retina dan keterlibatan saraf optikus. Diagnosis klinis yang tepat pada penyakit infeksi ini berdasarkan
data epidemiologi, riwayat penyakit, gejala dan tanda sistemik serta pola perkembangan pada mata.
Diagnosis tersebut biasanya dikonfirmasi oleh terdeteksinya serum antibodi spesifik. Perkembangan
pada mata dihubungkan dengam munculnya infeksi yang biasanya dapat sembuh tanpa pengobatan,
tetapi hal tersebut dapat menyebabkan kelainan mata yang terus menerus. Tidak adanya bukti spesifik
terhadap pengobatan penyakit aarboviral dan sebagian besar terapi berupa terapi suportif. Vaksinasi
untuk melawan virus ini masih dalam penelitian. Doksisiklin adalah terapi pilihan untuk penyakit
riketsia. Pencegahan dalam menurunkan jumlah nyamuk dan perlindungan personal merupakan
langkah utama dalam mengkontrol penyakit menular akibat artropoda. Virus influenza A (H1N1)
bertanggungjawab terhadap pandemik pada tahun 2009, dan akhir-akhir ini dihubungkan dengan
variasi perubahan segmen anterior mata.
Pendahuluan
Penyakit menular artropoda merupakan infeksi berulang yang penting diketahui. Penyebab
penyakit ini termasuk kedalam variasi besar dari penyakit virus, bakteri, dan parasit yang di
transmisikan ke manusia oleh gigitan serangga (artropoda) seperti nyamuk. Sebagian besar terdapat
13
pada daerah subtropis dan tropis, tetapi serangga tersebut cenderung tersebar ke daerah yang baru
terutama di daerah yang mengalami perubahan iklim atau globalisasi. Tingkat penyakit sistemik
tersebut mulai dari demam ringan sampai berat dan berpotensial menyebabkan kematian. Infeksi virus
dan bakteri spesifik oleh serangga akhir-akhir ini telah dikaitkan dengan uveitis posterior dan gejala
gangguan mata lainnya [1-3]. Penyakit virus tersebut dapat disebut sebagai infeksi West Nile virus
(WNV), virus dengue (DF), cikungunya dan riketsia. Tidak adanya bukti spesifik terhadap pengobatan
penyakit aarboviral dan sebagian besar terapi berupa terapi suportif. Pencegahan dalam menurunkan
jumlah nyamuk dan perlindungan personal merupakan langkah utama dalam mengkontrol penyakit
menular akibat artropoda ini. Dalam artikel ini, kami mengkaji epidemiologi, sistemik dan
menampilkan kelainan mata yang berkaitan dengan infeksi virus oleh artropoda. Virus influenza A
(H1N1) yang berhubungan dengan kelainan mata masih didiskusikan lebih dalam.
Infeksi WNV
Infeksi WNV adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh rantai tunggal RNA flavivirus
dan ditransmisikan kepada manusia melalui nyamuk (jenis culex) pada tempat pakan burung liar
sebagai reservoar atau sumbernya [1-3]. Virus tersebut terdistribusi secara luas di afrika, Eropa,
Australia, dan Asia dan sejak tahun 1999 telah menyebar secara cepat ke bagian belahan barat
termasuk United states, kanada, meksiko dan karibia serta ke negara bagian tengah dan selatan
Amerika [1-3]. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat subklinis (80%) atau bermanifestasi
sebagai demam (20%) [1-3]. Kelainan saraf yang berat telah dilaporkan terdapat kurang dari 1%
pasien dan sering dihubungkan dengan bertambahnya usia dan diabetes [3]. Diagnosis dikonfirmasi
dengan mendeteksi antibodi IgM dalam serum cairan serebrospinal atau PCR [4].
Bilateral tipikal atau korioretinitis unilateral multifokal merupakan gejala pada mata yang
biasa terjadi pada infeksi WNV, kejadiannya hamipr 80% pasien dengan infeksi WNV akut
dihubungkan dengan gangguan saraf [5,6]. Kebanyakan pasien tidak menimbulkan gejala pada mata
atau hanya mengalami penurunan visus yang ringan atau buram. Lesi korioretinitis aktif muncul
dalam bentuk sirkular, dalam, lesi yellowish dalam oftalmoskopi (fig.1), dengan hipofloresen dini dan
angiografi dalam pewarnaan floresen (FA) [5]. Lesi inaktif korioretina tampak melingkar, lesi atrofi
dengan atau tanpa pigmentasi sentral (fig.2a), dan biasanya memperlihatkan ‘target-like-appearance’
pada FA (fig.2b) dengan hipofloresen sentral dan hiperfloresen perifer [5]. Lesi korioretinal bervariasi
dalam jumlah maupun bentuk, disertai midperifer dengan atau tanpa dihubungkan dengan bagian
posterior [5]. Semua ini terorientasi secara tipikal di bagian nasal dan fundus perifer atau tersusun
secara kurvalinear di temporal fundus posterior [5]. Pola linear pada korioretinitis tampak berkaitan
dengan serabut saraf retina utama[7]. Angiografi indosianin hijau (Indocyanine green angipgraphy)
14
memperlihatkan gambaran spot hipofloresen koroid yang lebih baik dibandingkan secara klinis atau
pada FA [8].
Fig. 1. Fotografi warna fundus pada mata kanan pasien muda dengan infeksi WNV yang tampak pada supratemporal, kelompok garis linear yang dalam, creamy, lesi aktif korioretinal (tanda panah)
Kebanyakan pasien dengan korioretinitis berusia diatas 50 tahun dan memiliki riwayat
diabetes melitus yang diperkuat dengan adanya hubungan retiopati diabetes [9]. Meskipun multifokal
korioretinitis adalah manifestasi tersering pada infeksi WNV, manifestasi lain telah diseskripsikan,
ter,asuk perdarahan retina, perselubungan vaskular retinal fokal atau difus, kebocoran vaskular
(vascular leakage), vaskulitis oklusif, zona atrofi dan bercak pigmentasi epitel retina (RPE), edema
makula, dan neuritis optik [1-3,5,6]. Penyakit mata yang berkaitan dengan infeksi WNV biasanya
dapat sembuh sendiri dan ketajaman penglihatan dapat kembali pada sebagian besar pasien [5].
Bagaimanapun juga, kehilangan daya visual dapat diakibatkan oleh jaringan parut fovea korioretinal,
neovaskularisasi koroid, perdarahan vitreus, pelepasan traksi retina, makulopati iskemik berat, atrofi
optik, dan kerusakan retrogenikulata [1-3, 5, 6, 10, 11]. Baru-baru ini, telah dilaporkan adanya satu
kasus mengenai reaktivasi infeksi WNV berkaitan dengan korioretinitis [12].
Saat ini, tidak ada terapi terbaik dalam menangani infeksi WNV. Dalam kasus penyakit
sistemik berat, perlu diindikasikan terapi suportif yang intensif [1-3, 13, 14]. Agen antivirus seperti
ribavirin dan interferon telah ditemukan aktif secara in vitro [3]. Beberapa percobaan klinis mengenai
IFN- α-2b, IFN-β, dan imunoglobulin titer tinggi intrevena akan diikuti sebagai terapi pendekatan
dikemudian hari [13,14]
15
Fig. 2. Fotografi warna fundus (a) dan angiogram floresen (b) pada mata kiri pasien diabetes dengan infeksi WNV yang memperlihatkan lesi multifokal korioretinitis inaktif dengan kelompok garis linear tipikal dan ‘target appearance’ pada lesi korioretina.
Terapi spesifik terhadap gangguan mata mungkin diperpukan seperti kortikosteroid topikal
pada uveitis anterior, fotokoagulasi retina perifer untuk neovaskularisasi yang disebabkan oleh
vaskulitis oklusi, vitrektomi pars plana untuk perdarahan vitreus atau kerusakan retina dan injeksi
intravitreus sebagai agen faktor pertumbuhan antivaskularisasi endotel untuk neovaskularisasi koroid
atau edema makula [11,15].
Demam Berdarah
DF disebabkan oleh virus Dengue, flavivirus ditransmisikan melalui nyamuk Aedes aegypti.
Penyakit ini dianggap sebagai salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh artropoda terpenting
di daerah subtropis dan tropis [1-3]. Sebagai tambahan terhadap adanya demam, DF dapat
menyebabkan sakit kepala, mialgia, trombositopeni dan dengue shock syndrome [1-3]. Diagnosis DF
berdasarkan klinis yang muncul secara khas serta serologi IgM dengue positif [1-3]. Perkembangan
pada mata, yang sering pada pasien DF biasanya terjadi secara bilateral [1-3]. Pada pasien yang
merupakan pelajar biasanya mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral atau
terdapat bayangan. Perdarahan subkonjungtiva, gambaran peteki yang khas dan sering berkaitan
dengan jumlah platelet yang kurang dari 50.000/µl [3]. Perubahan segmen posterior berhubungan
dengan DF, termasuk perdarahan retina, perselubungan vaskularisasi retina, bintik kuning pada retina,
bercak RPE, foveolitis (tampak secara klinis sebagai lesi kuning yang melingkar pada fovea; fig. 3a),
perubahan koroid, pembengkakan diskus optikus, neuritis optikus, dan neuroretinitis [1-3, 16-23].
16
a b
Terdapat juga sel di bilik mata depan atau vitreus humor. Penemuan tersering pada FA yakni
kebocoran dan hambatan vaskularisasi retina. Angipgrafi indosianin hijau memperlihatkan bintik
hipofloresein yang dicocokkan pada lesi subretina yang tampak secara klinis dan adanya bintik
tambahan pada area yang tidak terbukti secara klinis [17]. Sering didapatkan adanya vaskulopati
koroid besar dengan hiperfloresen dan kebocoran. Optical Coherence Tomography (OCT) berguna
dalam mendeteksi dan memonitoring progresifitas foveolitis [24], memperlihatkan penebalan focal
outerneurosensory RPE yang sesuai dengan lesi bulat kekuningan pada fovea secara klinis (fig. 3b).
OCT juga dapat berguna untuk mendeteksi dan mengevaluasi kerusakan serosa retina (SRD) dan
edema makula. Meskipun prgnosis ketajaman penglihatan baik pada sebagian besar pasien, Dengue
berkaitan dengan makulopati dan neuropati bisa menyebabkan kerusakan visual permanen [24].
Kelainan mata pada DF dapat sembuh sendiri [1-3] dan tidak dilakukan terapi percobaan sampai saat
ini. Pengobatan topikal, periokular, oral, dan steroid intravena serta imunoglobulin telah berhasil
dilakukan [16,18].
Fig 3. (a) warna fundus pada fotografi mata kiri pasien DF menunjukkan lingkaran subretina, lesi kekuningan pada fovea. (b). OCT menunjukkan penebalan focal outer neurosensory RPE (diambil oleh Soon-Phaik Chee)
Infeksi virus cikungunya
Virus cikungunya merupakan virus RNA rantai tunggal dari genus Alphavirus dalam famili
Togaviridae yang ditransmisikan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti [1-3]. Virus
tersebut telah dihubungkan dengan dengan banyaknya epidemik pada daerah tropis seperti Afrika,
India, Asia Tenggara dan Amerika Selatan [1-3]. Demam ckungunya dapat bermanifestasi sebagai
demam akut dengan nyeri kepala, kelelahan, mialgia, ruam makulopapular difus, perdarahan dari
hidung atau gusi, edema perifer, nyeri sendi, kegagalan hepar akut, kegagalan multiorgan, transmisi
ibu-ke-anak, dan komplikasi pengobatan penglihatan [1-3].
17
a
b
Gejala pada mata biasanya terjadi setelah periode laten dalam hitungan bulan sampai tahun,
meskipun, telah dilaporkan gejala dapat terjadi secara bersamaan. Perkembangan mata pada
cikungunya dapat terjadi secara uniletaral maupun bilateral, keduanya dapat terjadi pada semua jenis
kelamin disemua usia, dengan manifestasi tersering uveitis anterior dan retinitis [1-3, 25].
Retinitis cikungunya atau korioretinitis biasanya berdampingan dengan vitritis ringan dan
dalam bentuk area keputihan pada retina bagian posterior yang melingkari retina serta edema makula
(fig. 4). Hubungan vaskulitis oklusif secara akurat dapat dideteksi oleh FA [1-3, 25-27].
Perkembangan segmen posterior termasuk neuritis optikus, neuroretinitis oklusi sentral arteri retina,
kerusakan eksudatif retina [25-29]. Meskipun manifestasi pada mata secara klinis khas, neuritis
optikus bisa menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen. Beberapa pemeriksa mengobati
retina dengan asiklovir oral/intravena dan prednisolon oral, meskipun tidak ada bukti dalam
kepustakaan yang mendukung kemanjuran asiklovir atau agen untuk melawan cikungunya [1-3].
Rift Valley Fever
RVF adalah penyakit virus yang ditularkan oleh artropoda yang disebabkan oleh
Bunyaviridae. Ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk atau kontak langsung pada hewan
yang terinfeksi. Beberapa perjangkitan yang telah dilaporkan terdapat di sub-Sahara dan Afrika Utara
dan akhir-akhir ini terdapat di Arabian peninsula [1-3]. Gejala utamanya adalah demam dengan kurva
suhu bifasik, sakit kepala, nyeri sendi, mialgia dan gangguan pencernaan [1-3]. Klinis lain termasuk
demam berdarah dengan gangguan hati, trombositopenia, ikterus, dan perdarahan, serta gangguan
neurologis dengan ensefalitis setelah episode demam disertai gejala kebingungan dan koma [1-3].
Gangguan mata telah dilaporkan terjadi sebanyak 1-20% pada infeksi RVF [1-3, 30]. Jarak antara
onset RVF dan gejala gangguan visual selama 4-15 hari.
Retinitis makula dan paramakula sering ditemukan (fig. 5). Fokus retinitis memperlihatkan
hipofloresein dini dengan pewarnaan lesi retina dan kebocoran vaskular retina pada FA. Lesi segmen
posterior lain termasuk perdarahan retina, vitritis, edema diskus optikus, dan vaskulitis retina [1-3,
30]. Gejala muncul secara spontan antara 2-3 minggu dari onset gejala sistemik, tetapi kehilangan
penglihatan permanen sering terjadi oleh karena paut makula dan paramakula, sumbatan vaskular atau
atrofi optikus [1-3, 30].
Seluruh pengobatan berupa terapi suportf. Mulai dari kasus RVF ringan sampai sedang, anti nyeri
sederhana dan cairan dapat diberikan [1-3]. Pada penyakit pasien yang memburuk mungkin bisa
diberikan ventilasi dan transfusi darah [1-3].
18
Fig. 4 fotografi fundus pada mata kiri pasien dengan cikungunya menunjukkan diskus optik yang hiperemi, lesi putih retina yang banyak, perdarahan superfisial dan incomplete macular star (diambil dari Padamamalini Mahendradar)
Fig. 5 fotografi fundus pada mata kiri pasien RVF menunjukkan retinitis makula kaitannya dengan perselubungan vaskularisasi retina dan perdarahan retina (diambil dari Emad Abboud)
Riketsia
Riketsia terdistribusi secara mendunia yang merupakan bakteri intraselular obligat gram
negatif. Sebagian besar dari bakteri tersebut ditransmisikan ke manusia melalui gigitan serangga [1-
3]. Agen riketsia diklasifikasikan kedalam 3 kategori besar: the spotted fever group, typhus group, dan
the scrub typhus group [1-3]. Penyakit riketsia tetap dipikirkan, selama musim panas dan musin semi,
trias gejala seperti demam tinggi, sakit kepala dan malaise serta ruam kulit pada pasien telah kembali
dari derah endemik riketsiosa [1-3]. Gangguan penglihatan sering menyertai pada pasien riketsia,
tetapi sering kali asimtomatik dan sembuh sendiri sehingga mudah terlewatkan [1-3, 31-33]. Inner
retinitis dengan atau tanpa kaitannya dengan vitritis ringan atau sedang sering ditemukan secara
klinis [1-3, 31-33]. Kelainan ini mucul dalam bentuk lesi putih yang khas pada retina yang berbatasan
pada pembuluh retina (fig. 6a) dan bervariasi dalam jumlah, bentuk, dan lokasi. FA menunjukkan
hiploforesein dini dan pewarnaan lambat pada lesi retina yang besar (fig. 6b) dan hiploforesen ringan
atau isofloresen pada lesi retina yang kecil [31,32]. SRD (serous retina disorder), secara akurat
dideteksi dengan OCT, sering kali desertai dengan fokus besar dan retinitis riketsia. Lesi vaskular
retina pada pasien riketsia seperti perselubungan difus atau fokus retina, kebocaran vaskular,
perdarah retina. Hambatan vaskular retina, termasuk oklusi cabang arteri dan vena retina atau sub-
oklusi, menyebabkan neovaskularisasi retina dan perdarahan vitreus [1-3, 31-34]. Perkembangan
subklinis mata dalam bentuk bintik gelap multipel pada FA telah diobservasi lebih dari 15% pada
19
pasien dengan meditteranean spotted fever [31]. Indocyanine green angiography menunjukkan bintik
hipofloresen kecil pada fase intermediet dan fase lambat, area hipofloresein, defek aliran pembuluh
darah koroid, dan pewarnaan pembuluh darah koroid [32]. Perubahan korioretina termasuk edema
makula sistoid dan endoftalmitis [1-3, 31-34]. Diskus optik dapat berkembang menjadi edema diskus
optik, pewarnaan diskus optik, neuritis optik, neuroretinitis dan iskemik neuropati optikus [1-3, 35].
Perkembangan gangguan mata pada riketsia sering sembuh sendiri. Fokus pada retinitis biasanya
hilang tanpa adanya bekas luka dalam 3-10 minggu. Penurunan ketajaman penglihatan terus menerus
dapat terjadi pada kasus-kasus yang berubah kedalam edema makula sekunder atau SRD, sumbatan
arteri atau vena retina, parut korioretina fovea atau neuropati optikus [1-3, 31-34]. Doksisiklin adalah
obat pilihan untuk penyakit riketsia [1-3, 31-32]. Steroid sistemik mungkin diperlukan pada gangguan
mata berat [1-3, 31,32].
Fig. 6. a warna fundus pada fotografi mata kanan pasien dengan rikestia menunjukkan lesi putih pada retina yang berbatasan dengan batas arkade vaskular inferior dan dekat dengan diskus optikus yang berkaitan dengan perdarahan retina. b. Fase lambat FA menunjukkan pewarnaan pada lesi retina dengan kebocoran vaskular dan hipofloresen diskus optikus.
Uveitis H1N1
Virus influenza A (H1N1) merupakan penyebab influenza tersering pada manusia pada tahun
2009. Pasien yang terinfeksi H1N1 memperlihatkan gejala flu seperti demam, batuk dan nyeri-nyei
badan [36,37]. Gangguan pada mata akhir-akhir ini telah dihubungkan dengan infeksi H1N1,
sebaiknya vaksinasi. Termasuk retinitis, koroiditis, perdarahan submakular, edema makula, cotton
wool spots, froster branch angiitis, SRD, edema diskus optik dan efusi uvea [36-41]. Frosted branch
angiitis, edema makula dan efusi uvea dapat diterapi dengan prednisolon oral [38,40].
20
a b
21