pterigium pseudopterigium uveitis posterior by fadil

16
PTERIGIUM Definisi Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular yang bersifat degenerative dan invasive. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Epidemiologi Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40 o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o . Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi

Upload: fadillovemama

Post on 23-Jun-2015

694 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

PTERIGIUM

Definisi

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular yang bersifat degenerative dan invasive.

Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang

meluas ke daerah kornea.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan

Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-

15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya

meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis

lintang utara ini.

Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita. Jarang

sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun

mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai

insidensi pterigium yang paling tinggi

Etiopatofisiologi

Etiologi belum diketahui pasti. Teori yang dikemukakan :

1.Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal

ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat

equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2.Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan

bahan iritan (angin, debu, polutan).

UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis,

transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi

seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid

kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran

Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskular.

Klasifikasi

Tipe 1

Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi (ditunjukkan dengan Stocker line) dapat

terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan pterygium. Lesi/jejas ini asimtomatis, meskipun sebentar-

sebentar dapat meradang (intermittently inflamed). Jika memakai soft contact lense, gejala dapat timbul

lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada ujung kepala pterygium yang sedikit

naik/terangkat dan ini dapat menyebabkan iritasi.

Tipe 2

Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent) sehingga perlu tindakan pembedahan.

Dapat mengganggu precorneal tear film dan menyebabkan astigmatisme.

Tipe 3

Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual axis). Lesi/jejas yang luas

(extensive), jika kambuh, dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke

fornix yang terkadang dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata.

Gambar : Tampak jaringan fibrovaskuler konjungtiva.

Gejala

Merasa seperti kelilipan saat berkedip, dapat tidak memberikan keluhan.

Dapat memberikan keluhan mata iritatif, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang

akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.

Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak dibagian sentral atau di daerah kornea. Pterogium

dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering), dan garis besi

(“iron line” dari Stocker) yang terletak di ujung pterigium.

Pembuluh yang terdapat pada konjungtiva akan memberikan mata lebih merah.

Diagnosis

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan berikut:

1. Pemeriksaan Visus

2. Slit lamp

Tatalaksana

Pengobatan pterigum adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan

penglihatan akibat terjadinya astigmatisma irregular atau pterigium yang telah menutupi media penglihatan.

Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu, atau udara kering dengan kacamata pelindung.

Bila terdapat tanda radang diberi air mata buatan bila perlu diberikan steroid. Bila terdapat delen (lekukan

kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu control dalam 2

minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.

Indikasi operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan penglihatan,

pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata yang terganggu/terbatas, dan

bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual.

Operasi mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara topografi membuat

permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah menghilangkan pterigium

menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju limbus. Meskipun teknik ini lebih disukai

dilakukan diseksi ke bawah bare sclera pada limbus, akan tetapi tidak perlu diseksi eksesif jaringan Tenon,

karena kadang menimbulkan perdarahan akibat trauma terhadap jaringan otot. Setelah eksisi, biasanya

dilakukan kauter untuk hemostasis sclera.

Komplikasi

Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

Gangguan penglihatan

Kemerahan

Iritasi

Gangguan pergerakan bola mata.

Prognosis

Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir

pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan

setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus

terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga

beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan

eksisi dan grafting.

PSEUDOPTERIGIUM

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini

terjadai pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Letak

pseudopterygium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya.

PTERIGIUM PSEUDOPTERIGIUM

1. Lokasi Selalu di fisura palpebra Sembarang lokasi

2.Progresifitas Bisa progresif atau

stasioner

Selalu stasioner

3.Riwayat peny. Ulkus kornea (-) Ulkus kornea (+)

4.Tes sondase Negatif Positif

Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan, kecuali sangat mengganggu visus,

atau alasan kosmetik.

UVEITIS POSTERIOR

Definisi

Uveitis posterior merupakan salah satu klasifikasi uveitis berdasarkan anatomis. Uveitis posterior

adalah radang uvea bagian posterior yang biasanya disertai dengan keradangan jaringan disekitarnya.

Inflamasi ini terletak dibagian uvea di belakang dengan batas basis vitreus. Jika mengenai retina disebut

retinitis dan jika mengenai vitreous disebut vitritis.

Gambar : Klasifikasi Uveitis secara Anatomi

Epidemiologi / Insidensi

Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000

penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Toxoplasma dianggap

sebagai penyebab 30-50% uveitis posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam periode Januari 1981 –

Maret 1982 terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus disebabkan oleh toksoplasmosis.

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian uveitis mulai

berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster,

dan afakia.

Etiologi

Penyebab dari uveitis posterior dapat dibagi atas dari penyakit infeksi (uveitis granulomatosa) dan

non infeksi (uveitis non granulomatosa).

1. Penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)

virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, HIV, virus Epstein-Barr,

virus coxsackie.

bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik dan endemik, Nocardia, Neisseria

meningitides, Mycobacterium avium-intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.

fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.

parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.

2. penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)

autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, poliarteritis nodosa, ofthalmia

simpatis, vaskulitis retina.

keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi metastatik.

etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati pigmen plakoid multifokal

akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati pigmen retina.

Patofisiologi

Pada stadium awal terjadi kongestif dan infiltrasi dari sel-sel radang seperti PMN, limfosit, dan

fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih banyak berperan pada uveitis jenis granulomatosa

sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila

inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan menginvasi rongga vitreum

yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada uveitis granulomatosa kronis tampak sel

mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian eksudat

menghilang dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan retina yang terkena. Eksudat dapat

menjadi jaringan parut. Keluarnya granula pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel

epitelia pigmen akan difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.

Gambar : Uveitis Posterior

Sel-sel radang pada humor vitreus, lesi berwarna putih atau putih kekuningan pada retina dan atau

koriod, eksudat pada retina, vaskulitis retina dan edema nervus optikus dapat ditemukan pada uveitis

posterior.

Gejala Klinis

Gejala Uveitis Posterior antara lain :

a. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis uveitis posterior.

b. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen posterior yang terkena,

jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan tidak ada pada histoplasmosis.

c. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis retina akut, sifilis,

infeksi bakteri endogen, skleritis posterior, dan pada kondisi-kondisi yang mengenai nervus optikus.

Pasien toksoplasmosis, toksokariasis, dan retinitis sitomegalovirus yang tidak disertai glaukoma

umumnya tanpa rasa sakit pada mata. Penyakit segmen posterior noninfeksi lain yang khas tidak sakit

adalah epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis geografik, dan Sindroma Vogt-Koyanagi-

Harada.

Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :

a. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia, penyakit Behcet, sifilis,

toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.

b. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis granulomatosa anterior yang

juga mengenai retina posterior dan koroid, sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma

Vogt-Koyanagi-Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non granulomatosa dapat menyertai

penyakit Behcet, epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan

sindrom nekrosis retina akut.

c. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis retina akut, toksoplasmosis,

tuberkulosis, atau sarkoidosis.

d. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior. Peradangan dalam vitreum

berasal dari fokus-fokus radang di segmen posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik

atau histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel retikulum, infeksi virus

sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus toksoplasmosis dengan fokus-fokus infeksi kecil pada retina.

Sebaliknya, peradangan berat dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada tuberkulosis,

toksokariasis, sifilis, penyakit Behcet, nokardiosis, toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis

bakteri atau kandida endogen.

e. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang menimbulkan retinitis dengan

peradangan koroid di dekatnya. Infeksi virus sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya

mengenai retina secara primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis. Pada

pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses granulomatosa, yang juga mengenai

retina. Koroiditis geografik terutama mengenai koroid dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan

pasien tidak menderita pasien sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada oftalmia

simpatis dan penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa lesi geografik, lesi punctata, nodul Dalen-

Fuchs.

f. Vaskulitis.

g. Hemoragik retina.

h. Parut lama.

Terapi

Terapi uveitis posterior tergantung dari penyebabnya. Pada prinsipnya pengobatan ditujukan untuk

mempertahankan penglihatan sentral, mempertahankan lapang pandang, mencegah atau mengobati

perubahan-perubahan struktur mata yang terjadi seperti katarak, glaukoma sekunder, sinekia posterior,

kekeruhan badan kaca, ablasi retina dan sebagainya.

Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis, yaitu midriatikum, steroid,

sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus

yang sesuai. Midriatikum berfungsi untuk memudahkan follow up keberhasilan pengobatan. Atropin tidak

diberikan lebih dari 1-2 minggu.

Indikasi operasi pada pasien dengan uveitis mencakup rehabilitasi visual, biopsi diagnostik (hasil

penemuan dari biopsi menyebabkan adanya perubahan pada rencana pengobatan), dan pengeluaran

Opacities media untuk memonitor segmen posterior. Apabila timbul perubahan struktur pada mata

(katarak, glukoma sekunder) maka terapi terbaik adalah dengan operasi.

Vitrektomi berfungsi untuk menentukan diagnosis dan pengobatan. Indikasi vitrektomi adalah

peradangan intraokular yang tidak sembuh pada pengobatan, dugaan adanya keganasan dan infeksi pada

mata. Uveitis posterior berkaitan dengan kekeruhan vitreus yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-

obatan. Dengan adanya vaskulitis dan oklusi vaskular pada pars planitis, penyakit Behcet dan sarkoidosis

neovaskularisasi retina atau pada diskus optikus (pada pasien uveitis) menyebabkan timbulnya perdarahan

pada vitreus. Vitrektomi merupakan salah satu pilihan untuk situasi tersebut.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah :

a. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour, badan siliar, iris, nervus

optikus, dan sklera.

b. Sinekia posterior.

c. Edema makula sistoid.

d. Vaskular dan optik atropi.

e. Traction retinal detachment.

f. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.

Prognosis

Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi daerah lesi. Lesi yang

kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi

yang meluas sepanjang fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.

Sorry bu editor, bwt pseudopterigiumnya cma itu yang bisa sy

buat… bkannya malas nyari ne, tpi bhannya langka banget

soalnya……