"joko swiwi" karya seno gumira ajidarma

8

Click here to load reader

Upload: irwan-odoy

Post on 02-Jul-2015

268 views

Category:

Spiritual


2 download

DESCRIPTION

cerpen koran tempo 2006

TRANSCRIPT

Page 1: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

JOKO SWIWI

Seno Gumira Ajidarma

“CERITAKAN kepada kami tentang perbedaan,” kata murid-murid sekolah dasar itu

kepada Ibu Guru Tati, kelak di masa yang akan datang.

Maka Ibu Guru Tati akan menceritakan legenda Joko Swiwi. Ketika Joko Swiwi lahir,

Poniyem merasa dirinya melahirkan seekor ayam, karena bayi yang keluar dari rahimnya

terbungkus sepenuhnya oleh sepasang sayap yang basah. Dukun bayinya saja hampir

pingsan melihat bayi seperti itu.

Ketika sayap itu membuka dengan sendirinya, barulah tampak kepala bayi yang akan

bernama Joko Swiwi itu. Matanya sudah melek dengan jernih, dan ia langsung tertawa

terkekeh-kekeh, seperti bercanda kepada mereka yang terkaget-kaget.

“He-he-he-he-he….”

Poniyem sebetulnya juga nyaris pingsan, karena ia semula mengira Dirinya betul-betul

melahirkan seekor ayam, tetapi pandangan mata bayi itu kepadanya adalah pandangan

mata seorang anak kepada ibunya. Poniyem segera merasakan tali batin hubungan ibu dan

anak, tali batin ajaib yang berlaku bagi ibu dan anak mana pun, bagaimanapun

bentuk rupa ibu dan anak itu, sehingga ketika dukun bayi itu mendekatkan bayi bersayap

tersebut ia pun segera merengkuh dan menyusuinya.

Di luar ruangan, orangtua Poniyem melihat Ibu Dukun itu menyibak gorden dan termangu-

mangu di pintu.

“Cucu sampean itu Joko Swiwi, Lik.”

“Ha?”

“Iya, Joko Swiwi, mana mungkin bayi seperti itu mau sampean beri nama Bambang

Wicaksono.”

JOKO Swiwi memang tidak punya bapak, atau lebih tepat tidak jelas bapaknya. Ketika

Poniyem pulang dari luar negeri, ia sudah mengandung tujuh bulan. Entah kenapa semua

orang di desanya maklum-maklum saja dan dengan gerak cepat segera mendapatkan

seorang suami bagi Poniyem. Tidak penting benar apakah pemuda berusia 30 tahun itu

sering meneteskan air liur tanpa sebab dan sama sekali tidak cocok dengan Poniyem yang

cantik jelita indah rupawan bahenol nian. Bagi penduduk desa cara seperti itu sungguh cara

yang tidak bisa lebih sahih lagi untuk menghapuskan sesuatu yang bisa dianggap sebagai

aib.

Tidak peduli apakah pemuda 30 tahun yang setiap hari mengarit dengan air liur menetes-

netes dan menyediakan rumput untuk sapi-sapi penduduk itu juga tak punya nama dan

tiada pernah jelas asal-usulnya.

Page 2: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

“Pokoknya yang tidak jelas dijelaskan, yang tidak mapan dimapankan,” ujar Pak Lurah.

Orangtua Poniyem hanya bisa setuju-setuju saja, kecuali kalau mereka pindah dari desa

dan hal itu tentu tidak mungkin, karena menginjak tanah di luar desanya saja mereka

belum pernah. Maka sejak itu pemuda tanpa nama yang selalu menetes-neteskan air liur itu

bernama Bapaknya Joko Swiwi, dan Joko Swiwi menjadi nama resmi bayi bersayap

tersebut. Setelah berusia enam tahun ia bersekolah seperti anak-anak desa lain dan terdaftar

dengan nama Joko Swiwi.

Hanya saja kalau anak-anak desa harus berjalan kaki naik turun perbukitan kapur untuk

belajar matematika, Joko Swiwi terbang langsung dari rumahnya dan kadang-kadang

masuk kelas lewat jendela. Usaha orangtua Poniyem untuk mendapat penjelasan dari

anaknya selalu gagal.

“Nduk anakku yang cantik, sebetulnya di luar negeri kamu itu berhubungan dengan siapa

kok anakmu bisa bersayap seperti itu?”

Poniyem biasanya hanya tertunduk, tetapi di balik rambutnya yang panjang terurai

menutupi wajah itu ia tersenyum-senyum. Bagaimana mungkin ia menjelaskan apa yang

dialaminya dalam mimpi kepada orangtuanya? Bagaimana mungkin ia menjelaskan betapa

malam-malamnya yang lelah sehabis bekerja berat 20 jam sehari selalu memberikannya

mimpi yang bersambung setiap hari?

Itulah mimpi tentang makhluk-makhluk bersayap dan bercahaya putih kemilau yang selalu

mendatangi dan bercinta dengannya dan ia melayani mereka habis-habisan dengan segala

kemungkinan yang bisa diberikan oleh imajinasi. Makhluk-makhluk bersayap itu adalah

para pecinta yang dahsyat. Meski cuma mimpi, ketika terbangun kasur busa tempatnya

tidur di lantai selalu basah kuyup. Ketika mengetahui dirinya hamil, Poniyem memang

agak bingung, tetapi ia sungguh-sungguh senang karena yang selama ini dianggapnya

mimpi ternyata memberikannya bayi.

“Terima kasih Tuhan,” katanya dalam hati, “terima kasih atas keajaiban ini.”

Kini anaknya bisa terbang dan masuk kelas lewat jendela, ia bangga mempunyai anak Joko

Swiwi.

KELAHIRAN Joko Swiwi memang memberi berkah kepada penduduk desa. Kabar

tentang kelahiran Joko Swiwi yang tersebar ke mana-mana membuat penduduk desa-desa

sekitar berdatangan ingin melihatnya. Dari hari ke hari mereka yang berdatangan bukannya

tambah sedikit, melainkan berlipat ganda sampai berdesak-desak berbau keringat. Pak

Lurah dengan tangkas segera menyiasati keadaan.

Setiap orang yang memasuki gerbang desa diharuskan membayar, kalau membawa

kendaraan dan parkir sudah pasti akan ditagih lagi, tidak peduli apakah itu mobil, sepeda

motor, atau cuma sepeda. Bayaran paling wajib tentu untuk setiap kepala bermata yang

ingin menyaksikan Joko Swiwi dengan mata kepala sendiri. Bahkan orang buta yang hanya

mampu meraba-raba saja ditagih bayaran pula. Memotret tentu ditagih bayaran tambahan,

ongkos memotret Joko Swiwi saja dan foto bersama dibedakan. Kalau Poniyem ikut

dipotret ditarik lagi ongkos tambahan.

Page 3: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

Sebegitu jauh, tiada seorang pun peduli kepada Bapaknya Joko Swiwi, karena memang

tiada seorang pun yang tahu betapa pemuda yang selalu menetes-neteskan air liur dan tak

jelas tinggal di mana itu (di kuburan, kata sebagian orang) jika malam tiba akan berubah

menjadi makhluk bersayap yang putih kemilau gilang gemilang cahaya kencana memasuki

mimpi-mimpi Poniyem.

Joko Swiwi sendiri memang layak jadi atraksi. Pada usia balita ia sudah bisa terbang

setinggi pohon beringin. Tentu saja selain punya sayap ia juga punya tangan dan karena itu

bisa membantu ibunya memetik buah ini-itu, buah kelapa misalnya, karena Bapaknya Joko

Swiwi yang masih terus menetes-neteskan air liur itu rupa-rupanya memilih untuk pura-

pura tidak mampu melakukannya—ia menjadi hebat hanya apabila malam tiba dan

menyatroni Poniyem dalam mimpi sebagai makhluk bersayap yang putih kemilau gilang

gemilang cahaya kencana.

Adalah Joko Swiwi yang sejak usia balita sudah terbang berkelebat ke sana ke mari.

Sayapnya yang besar akan terdengar mengepak ceblak-cebluk di atas rumah-rumah

penduduk, benar-benar seperti burung besar, yang lama-lama memang tambah dewasa

tampan seni rupawan.

Setiap kali berangkat sekolah, Poniyem selalu saja berpesan: “Hati-hati di jalan Nak,

jangan sampai ketabrak helikopter.”

Semakin dewasa kemampuan terbangnya memang semakin bertambah tinggi. Para pilot

helikopter suka terkaget-kaget jika Joko Swiwi kebetulan melintas berkelebat di depannya.

“Busyet! Burung apa itu?”

“Oh, bukan burung kok, itu Joko Swiwi!”

“Oh….”

Bukan hanya tinggi dan cepat terbangnya Joko Swiwi, tapi juga indah dan penuh pesona.

Kadang kala apabila Poniyem melihat ke langit, dilihatnya Joko Swiwi seperti merayakan

angkasa. Sayapnya yang begitu besar membuat ia bisa terbang begitu laju hanya dalam

beberapa kepakan sahaja dan selebihnya ia tinggal meluncur dengan sayap terbentang

seperti burung elang.

Para peladang ketela suka menghentikan sejenak pekerjaan mencangkulnya, beristirahat

sambil menikmati Joko Swiwi yang terbang berputar-putar dalam tarian angkasa. Gadis-

gadis desa yang mandi di kali kecil pura-pura berteriak marah tapi senang juga menatap

dan ditatap Joko Swiwi.

“Joko Swiwiiiiiiiiiiii!” teriak mereka ramai-ramai.

Mereka itulah yang suka mengumpulkan bulu-bulu Joko Swiwi yang rontok.

Di bawah sudah ramai mereka menantikan bulu-bulu putih yang melayang jatuh dari

angkasa itu, berebutan menangkapnya, karena bulu-bulu sayap Joko Swiwi memang

Page 4: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

cendera mata yang indah. Sepertinya putih, tetapi kalau digerakkan bolak-balik dalam

cahaya matahari, akan membiaskan cahaya segala macam warna.

Itu pula yang terjadi jika Joko Swiwi mengepakkan sayap di angkasa, bulu-bulu sayapnya

membiaskan segenap warna di dunia yang bisa tercerap oleh mata.

“Joko Swiwiiiiiiiiiiii! Sini dong mandi bersama kami!”

Namun Joko Swiwi adalah pemuda yang sopan, ia bukan tukang intip, bukan pula lelaki

yang kurang ajar. Maka ia tidak akan terbang merendah untuk melihat-lihat perempuan

mandi, melainkan akan terbang meninggi, makin tinggi, dan makin tinggi. Semakin naik

dan semakin menyepi dari dunia ramai yang terkasih. Dalam kesunyian langit

itulah Joko Swiwi merenungkan dirinya yang bersayap, yang menjadi tontonan, yang

selalu dibicarakan dan dimanfaatkan.

Pernah ia membawa Poniyem ibunya terbang sambil membopongnya dan dalam kesunyian

langit ia bertanya.

“Ibu, Ibu, siapakah bapakku yang sebenarnya Ibu, sehingga aku menjadi bersayap begini?”

Sangatlah wajar jika Joko Swiwi hanya bisa memaklumi, betapa lelaki yang selalu

mengarit dan dipanggil Bapaknya Joko Swiwi itu bukanlah ayahnya sama sekali.

“Seorang lelaki bersayap tak akan berayahkan lelaki yang selalu menetes-neteskan air

liur,” pikirnya.

Namun susahlah bagi Poniyem memberitahukan bahwa lelaki yang menetes-neteskan air

liur itu setiap malam menjelma sebagai pecinta bersayap yang putih kemilau dalam

mimpinya—tetapi Poniyem tetap bercerita bahwa ayah Joko Swiwi memang adalah

makhluk-makhluk bersayap yang putih kemilau celang cemerlang gilang gemilang cahaya

kencana yang menggaulinya dalam mimpi-mimpi ketika menjadi TKI di luar negeri.

“Jadi bapakku banyak?”

“Mungkin yang satu itu banyak dan yang banyak itu satu, apalah bedanya? Segenap dunia

dengan kita di dalamnya juga cuma satu.”

Joko Swiwi memahami keterasingan ibunya, dan Joko Swiwi kini menghayati

keterasingannya sendiri.

ALKISAH, di luar desa mereka berlangsung bencana. Mula-mula satu, lantas dua, disusul

empat puluh, berlipat empat ratus, menjadi empat ribu, menjelma empat juta unggas mati

berkaparan. Segala makhluk bersayap entah kenapa tewas di mana-mana. Ada yang

sekadar tidak pernah bangun dari tidur, ada yang mendadak saja sekarat seperti

habis disembelih, tak jarang tiba-tiba jatuh ketika terbang. Bagi orang miskin, unggas

penyakitan ini kadang-kadang tetap saja dipanggang dan dibakar.

Wabah telah melanda dunia burung, termasuk di desa-desa sekitar desa tempat kelahiran

Joko Swiwi. Masalahnya, para penghuni perbukitan kapur yang tidak pernah menonton

Page 5: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

televisi karena gambarnya selalu bergoyang-goyang dan suaranya cuma kresak-kresek ini

tidak tahu apa-apa tentang wabah yang menyapu bumi. Yang mereka tahu hanyalah ayam

bebek mentok piaraan mereka mati semua untuk selama-lamanya, tapi tidak begitu dengan

unggas di desa tempat Joko Swiwi dilahirkan.

Pak Lurah dipanggil oleh Pak Camat dan di sana ia dikepung oleh lurah-lurah desa di

sekitarnya.

“Pak Lurah, makhluk bersayap ajaib di desa sampean itulah pembawa kutukan ini, kita

belum pernah mengalami wabah seperti ini sebelum kedatangan makhluk yang dinamakan

Joko Swiwi itu.”

“Kalau memang begitu, kenapa harus menunggu 18 tahun, kenapa tidak dari dulu-dulu

ketika Joko Swiwi dilahirkan maka wabah ini melanda?”

“Apakah bedanya? Pokoknya wabah ini ada setelah Joko Swiwi ada, wabah ini membunuh

makhluk-makhluk bersayap dan Joko Swiwi adalah makhluk bersayap. Ia suka terbang

ceblak-cebluk ke sana kemari. Barangkali saat itulah ia menyebar penyakit ke mana-

mana.”

“Nanti dulu, dia bukan burung saya rasa, dia manusia, sama seperti kita, bedanya cuma dia

bersayap sahaja. Dia baru saja lulus SMU dan jelas lebih pintar dari ayam-ayam kita.

Barangkali sebentar lagi ikut mendaftar ke perguruan tinggi di kota. Penduduk desa kita

selama ini hidup seperti katak dalam tempurung, Joko Swiwi bisa terbang ke mana-mana

dan membagi pengetahuan untuk kita, apakah sampean-sampean akan membunuhnya?”

“Apakah ada cara lain? Kalau ia tetap hidup, ia akan tetap menyebarkan penyakit!”

“Tapi keberadaan Joko Swiwi belum terbukti menjadi penyebab wabah ini. Sampean-

sampean jangan main hakim sendiri!”

“Pak Lurah, peternakan kami hancur karena wabah ini, padahal seluruh penduduk

bergantung kepada peternakan itu. Tanah kita terlalu tandus untuk membuat sawah,

penjualan panen ketela tergantung kepada para tengkulak, dan para tengkulak belum

mampu mengubah penduduk bumi menjadi penggemar gaplek. Peternakan ayam bebek

mentok selama ini telah membantu kita. Apakah Pak Lurah mengira kami akan berpangku

tangan sahaja? Apakah Pak Lurah tidak tahu kalau wabah ini tidak hanya membunuh

unggas tetapi juga manusia? Mereka mati seperti ayam disembelih! Kalaupun Joko Swiwi

bukan penyebabnya, ia sungguh pantas menjadi tumbal!”

Pak Lurah memandang Pak Camat yang ternyata cuma bisa mengangkat bahu. Pak Lurah

tahu, urusan Pak Camat hanyalah supaya ia bisa terpilih lagi pada musim pemilihan

mendatang dan kedudukannya sangatlah ditentukan oleh para lurah desa di dalam

kecamatannya. Pak Lurah juga mengerti, penduduk desa-desa tetangga sudah lama iri

dengan keberuntungan desanya semenjak kelahiran Joko Swiwi yang mendatangkan

berkah. Semua rumah penduduk di desa tempat tinggal Joko Swiwi kini berlantai tegel,

sementara rumah penduduk desa-desa lain, kecuali para pemilik peternakan, masih tidak

berlantai dan hanya beralaskan tanah yang menyebabkan paru-paru basah.

Page 6: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

“Sampean cuma satu orang Pak Lurah, sampean kalah suara. Itulah demokrasi.”

Pak Lurah tertunduk, air matanya titik—kali ini ia tidak peduli dengan kedudukannya.

KENTONG titir tanda bahaya terdengar di seluruh desa. Para penduduk berlari ke berbagai

gardu penjagaan yang selama ini menganggur karena memang tiada pernah terdapat

bahaya mengancam desa dalam seratus tahun terakhir. Namun kini mereka mengalami

ancaman yang sungguh tiada terduga, itulah kepungan penduduk desa-desa tetangga

mereka sendiri.

“Serahkan Joko Swiwi, atau kami bakar desa kalian!”

Penduduk desa mungkin tidak tahu apa-apa, tetapi dalam urusan harga diri adat mereka

memberi pelajaran harus dibela, kalau perlu sampai mengorbankan nyawa.

Bambu runcing segera berada di tangan mereka. Tua muda laki perempuan anak kecil tak

luput bersiap siaga.

“Mana musuh kita,” kata mereka dengan bangga, “suruh mereka kemari, biar kusudet

ususnya!”

Desa mereka dikitari bukit kapur, mereka berjaga di tempat yang tertinggi. Bongkah-

bongkah batu besar telah siap digelindingkan. Para pengepung memang jauh lebih banyak,

tetapi mereka tak akan mendapat kemenangan tanpa korban ratusan nyawa. Segenap

penduduk telah siap mengadu jiwa atas nama kemerdekaan mereka.

Di hadapan Poniyem ibunya yang bermuram durja, Joko Swiwi menundukkan muka.

“Biarlah aku menyerahkan diriku wahai Ibu, tidaklah perlu penduduk desa habis terbunuh

karena aku.”

“Tapi dirimu bukanlah penyebab wabah itu anakku, kalau dirimu penyebab wabah itu,

pasti dirimu sendiri sudah mati. Entah dari mana asal penyakit itu, tapi pasti datangnya

bukan dari kamu. Para lurah itu hanya mencari-cari alasan saja untuk membasmi kita, tidak

pernah bisa mereka terima betapa desa yang dulunya paling miskin telah menjadi desa

yang paling kaya di perbukitan kapur ini. Betapa dengki dan iri hati bisa menjadi parah

begini.”

“Biarlah kuserahkan diriku Ibu, nyawaku tidaklah terlalu berharga dibanding kehidupan

desa yang kusayangi ini, aku tidak ingin melihat desa ini kosong dan hanya berisi mayat

bergelimpangan di sana-sini.”

“Itu tidak mungkin terjadi wahai Joko Swiwi anakku, sebelum mereka melangkahi

mayatku!”

Poniyem lantas mengambil sebatang bambu runcing dan keluar rumah dengan gagah.

Tubuhnya tinggi seperti Ratih Sanggarwati, dan ia putar bambu runcing itu seperti Sun Go

Kong memutar toya, sampai sepuluh orang bisa bergelimpangan seketika.

Page 7: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

Joko Swiwi juga keluar rumah dan mengepakkan sayap ke angkasa. Dapat disaksikannya

di antara para pengepung itu terdapat sejumlah pemburu yang membawa senapan, seperti

siap menembak Joko Swiwi jika berniat lari terbang ke angkasa. Mungkinkah

terbayangkan betapa Joko Swiwi tertembak di udara dan bulu-bulu sayapnya rontok

berhamburan di udara? Mungkinkah terbayangkan peluru-peluru akan berdesingan di

sekitarnya dan beberapa di antaranya akan bersarang di tubuhnya, membuatnya

meneteskan darah, dan jatuh melayang dari angkasa? Memang bisa saja ia lolos dari segala

kepungan itu dan terbang melarikan diri jauh-jauh sampai ke Singapura, tetapi apalah yang

akan dilakukannya di sana?

Minta suaka terlalu rumit baginya, sedangkan Jakarta tidaklah memberi harapan meski

sekadar hanya untuk bertanya, karena bahkan burung-burung langka yang dilindungi

negara dan dunia tewas pula di sana. Dirinya memang manusia, namun tetap saja makhluk

bersayap adanya, sedangkan manusia dan makhluk bersayap adalah sasaran wabah yang

tiada pernah dikenalnya pula. Dari angkasa ia menyaksikan segalanya. Dengan sedih

dilihatnya penduduk desa yang sederhana siap mengadu jiwa dan kehilangan nyawa.

Mungkin memang bukan karena membela Joko Swiwi sebenarnya, lebih karena membela

desa yang siap ditindas kekuatan di luarnya, tetapi Joko Swiwi merasa dirinyalah

tetap menjadi penyebab utama. Adalah kelahirannya di dunia dalam wujud berbeda

menjadi penyebab segalanya.

“Mengapa perbedaan harus dipaksakan, jika persamaan masih dimungkinkan,” pikirnya

pula.

Ketika uang mereka sudah terkumpul cukup banyak, karena Joko Swiwi memang adalah

tontonan yang dahsyat, terpikir olehnya untuk pergi ke kota dan membedah lepas sepasang

sayapnya yang sangat besar itu. Namun bukan saja penduduk desa keberatan, tentu karena

sumber penghasilan akan menghilang, melainkan juga Joko Swiwi tak terlalu suka

mengubah kodrat keberadaan dirinya meski melakukannya bukanlah suatu dosa.

Desa mereka begitu terpencil karena dunia mereka yang berkapur menjauhkan mereka dari

peradaban. Dunia mereka hanyalah dunia putih kapur, debu-debu kapur yang

mengakibatkan wajah-wajah berkapur seperti selalu berpupur.

Orang-orang kota menganggap mereka sebagai makhluk-makhluk ajaib yang seluruh

tubuhnya putih seperti kapur. Keberadaan Joko Swiwi hanya menjadi pengetahuan orang-

orang desa.

Orang-orang kota yang pernah mendengarnya hanya manggut-manggut dengan sopan

karena mengiranya sebagai takhayul. Hanya para pilot helikopter yang pernah

menyaksikan Joko Swiwi terbang berkelebat ke sana kemari, tetapi para pilot ini cukup

berbaik hati untuk tidak memberi tahu para wartawan—apalagi wartawan infotaintment.

“Serahkan segera Joko Swiwi sekarang juga,” terdengar teriakan penduduk desa tetangga,

“atau kami bakar habis desa kalian sampai habis rata tanpa sisa.”

Jagabaya desanya maju ke muka. “Majulah kalian sekarang juga, jangan terlalu banyak

bicara, tak ada seorang pun akan diserahkan karena rudapaksa.”

Page 8: "Joko swiwi" karya Seno Gumira Ajidarma

Suasana tegang. Joko Swiwi sangat bimbang. Dari langit dilihatnya lingkaran ribuan

penduduk lima desa bergerak maju. Bagaimana mungkin ia pergi terbang meninggalkan

desanya? Bagaimana mungkin ia bisa menerima desanya akan menjadi bara merah yang

menyala-nyala? Sebagai orang desa Joko Swiwi mengerti benar akan bakat kekerasan

paling kejam yang tertanam dalam diri orang-orang desa. Pencuri mati dirajam, pezina

diarak telanjang, dan perang antardesa adalah pertumpahan darah purba yang sangat

mengerikan.

“Seberapa pentingkah seorang Joko Swiwi, seorang manusia yang kebetulan lahir

bersayap, sehingga keberbedaannya harus dibela dan dipertahankan?”

Joko Swiwi yang remaja masih berpikir keras. Namun akhirnya ia mengambil keputusan.

SUNGAI Air Mata masih mengalir dari dua sumber mata air yang istimewa. Sumber mata

air pertama adalah kedua mata pada patung Poniyem yang terus-menerus mengeluarkan air

mata. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air mata duka Poniyem itu mengalir

sehingga menganak sungai dan betul-betul membentuk aliran sebuah anak sungai.

Sumber mata air kedua adalah sudut kanan mulut pada patung Bapaknya Joko Swiwi yang

terus menerus mengeluarkan air liur. Begitu banyak dan begitu terus-menerus air liur

ketidaksadaran Bapaknya Joko Swiwi itu mengalir sehingga menganak sungai dan betul-

betul membentuk aliran sebuah anak sungai.

Kedua patung itu terletak di atas bukit kapur yang tandus dan gersang, di kaki bukit kedua

anak sungai itu bertemu, membentuk sungai yang kemudian disebut Sungai Air Mata.

Patung Poniyem yang mengenakan kain dan kebaya bersimpuh dengan kedua tangan di

tanah menahan tubuh, sementara kepalanya yang tertunduk agak miring ke kanan,

sehingga rambutnya yang panjang ikal mayang jatuh terurai sampai menutupi dada kanan.

Patung Bapaknya Joko Swiwi yang mengenakan baju dekil dan celana pendek sobek-sobek

berjongkok dan memegang arit seperti dalam kehidupannya sehari-hari, kepalanya yang

berwajah bodoh juga agak miring ke kanan sehingga air liurnya keluar dari sudut kanan

bibirnya yang selalu terbuka. Sungai Air Mata telah memungkinkan penduduk desa

perbukitan kapur itu mengubah ladang ketela mereka menjadi sawah yang subur.

Berabad-abad kemudian kedua patung itu disebut sebagai patung Dewi Air Mata dan

patung Dewa Air Liur. Kedua patung itu begitu mirip dengan manusia karena tidak berasal

dari batu yang dipahat melainkan manusia yang berubah menjadi patung karena duka tak

tertahankan.

“Kenapa disebut Sungai Air Mata, padahal sumber mata airnya bukan hanya air mata

melainkan juga air liur?” murid-murid sekolah dasar itu kelak akan bertanya.

Ibu Guru Tati tidak menjawab, dan balas bertanya: “Itu dia soalnya, kenapa?”

Taipei-Tokyo-Honolulu-M/N1043, Maret 2006