jl. siaga ii no. 6f, pejaten barat, pasar minggu jakarta...

74

Upload: others

Post on 26-Nov-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat
Page 2: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

ii

Judicial Killing: Dibunuh Demi Keadilan Fair Trial dan Hukuman Mati di Indonesia Disusun oleh Anggara Senior Researcher Associate Supriyadi W. Eddyono Senior Researcher Associate Erasmus A.T. Napitupulu Researcher Associate Yonatan Iskandar Chandra Junior Researcher Associate Desain Sampul Antyo Rentjoko Bahan praolah: Freepik.com dan All-free-download.com Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License. Diterbitkan oleh: Institute for Criminal Justice Reform Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510 Phone/Fax : +6221 7945455 icjr.or.id | @icjrid | [email protected] Dipublikasikan pertama kali pada : November 2015

Page 3: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

iii

Kata Pengantar Dalam sejarahnya, perdebatan hukum pidana di Indonesia mengenai pidana mati adalah perdebatan cukup baru. Pengorganisasian kelompok masyarakat sipil yang menolak hukuman mati juga baru dimulai pada 1980-an saat Koalisi Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) terbentuk. Pada saat itu, penembakan tanpa proses peradilan juga marak yang dikenal dengan nama Petrus atau Penembakan Misterius. Sejak saat itu terjadi perdebatan panjang diantara para ahli hukum pidana dan juga antara masyarakat anti hukuman mati dengan masyarakat yang mendukung diberlakukannya hukuman mati. Perdebatan ini juga tidak berhenti pada saat untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusionalitas hukuman mati di pengujian UU Narkotika. Perdebatan itu juga membelah suara dari para Hakim Konstitusi dalam memandang konstitusionalitas hukuman mati dalam UUD RI Tahun 1945. Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat pemerintah memutuskan melakukan dua eksekusi mati di awal 2015 terhadap 11 orang terpidana mati. Keputusan eksekusi mati yang dijalankan pemerintah menuai perdebatan terutama dari sisi hak atas peradilan yang adil (fair trial) dalam seluruh proses yang dijalani oleh para terpidana mati. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam penelitiannya menemukan fakta tidak hanya dalam prosesnya yang diragukan akan tetapi juga kompabilitas fair trial yang dianut oleh KUHAP dengan berbagai perjanjian internasional yang telah diratifikasi juga diragukan. ICJR mencatat bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya. Mestinya ada standar yang berbeda yang harus diterapkan jika Tersangka tersebut terancam dengan pidana mati. Selain itu ada banyak persoalan yang masih berulang dan mencederai standar yang diberikan KUHAP diantaranya adalah kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim. Perdebatan ini diprediksi akan semakin memanas karena pada saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan KUHP. Pasal 67 RKUHP masih mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan. Perbedaannya dengan KUHP, hukuman mati dinyatakan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Namun, sifat khusus untuk penerapan yang selektif ini masih perlu diragukan karena banyaknya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati dalam RKUHP. Dalam RKUHP, terdapat 15 pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam deliknya. Tak ada penjelasan khusus, kenapa hukuman mati masih dipertahankan begitu juga dengan tak adanya penjelasan kenapa tindak pidana tertentu perlu dijatuhi hukuman mati. Apakah penetapannya apakah berdasarkan dampak kejahatan atau lebih dikarenakan melihat tingkat keseriusan kejahatan (gravity of the crimes)? Penelitian yang dilakukan oleh ICJR ini berupaya untuk menggambarkan sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap seorang yang diancam dengan pidana mati. Harapannya, penelitian ini bisa jadi dasar untuk melakukan advokasi untuk perbaikan hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia Jakarta, November 2015 Institute for Criminal Justice Reform

Page 4: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

iv

Daftar Isi

Kata Pengantar ........................................................................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................................................................... iv BAB I Pendahuluan ................................................................................................................. 1

1. Tujuan Penelitian ..................................................................................................................... 3 2. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................................................ 3 3. Metode Penelitian ................................................................................................................... 3

BAB II Hukuman Mati dan Hak atas Peradilan Yang Adil ............................................................ 4 1. Standar Hak Atas Peradilan Yang Adil ..................................................................................... 4 2. Tidak Ada Penerapan Retroaktif, namun Mengikuti Perubahan Undang-Undang ................. 4 3. Hukuman Mati dan Kejahatan Serius Tertentu ....................................................................... 5 4. Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi. ................................. 7 5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil .................................. 8

BAB III Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati (Riset 42 Putusan Pidana Mati) .. 17 1. Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati ......................................................................... 17

1.1. Usia .............................................................................................................................. 17 1.2. Kebangsaan ................................................................................................................. 18 1.3. Jenis Kelamin ............................................................................................................... 18 1.4. Pekerjaan ..................................................................................................................... 19 1.5. Agama .......................................................................................................................... 20

2. Gambaran Putusan Pengadilan ............................................................................................. 20 2.1. Jenis Perkara ................................................................................................................ 20 2.2. Sebaran Putusan ......................................................................................................... 21 2.3. Tahun Putusan ............................................................................................................. 22 2.4. Putusan berdasarkan Provinsi ..................................................................................... 22 2.5. Jenis Tuntutan ............................................................................................................. 23 2.6. Vonis dan Alur Putusan ............................................................................................... 26 2.7. Alur Putusan ................................................................................................................ 28 2.8. Penahanan ................................................................................................................... 29

BAB IV Potret Khusus Putusan Pidana Mati .............................................................................. 33 1. Penyiksaan/Intimidasi ........................................................................................................... 33 2. Akses terhadap Bantuan Hukum/Advokat ............................................................................ 35 3. Penggunaan “Saksi Mahkota”: Pelanggaran Prinsip Non Self Incrimination ........................ 36 4. Pengakuan Terdakwa ............................................................................................................ 38 5. Penggunaan Saksi Penyidik (Verbalisan): Melanggengkan Kekerasan dalam Praktek

Penyidikan Pidana ................................................................................................................. 38 6. Terpidana Mati: Anak dan Remaja ........................................................................................ 39 7. Ketimpangan Pembuktian ..................................................................................................... 40 8. Pelaku Utama Yang (Tak Pernah) Dijerat .............................................................................. 40 9. Inkonsistensi Mahkamah Agung dan Masalah Peninjauan Kembali (PK) .............................. 42 10. Administrasi Peradilan ........................................................................................................... 46

BAB V Problem Upaya Hukum dan Grasi ................................................................................. 49 1. Situasi Fair Trial di Indonesia dan Regulasi di Indonesia ....................................................... 49 2. Peninjauan Kembali ............................................................................................................... 49 3. Grasi ....................................................................................................................................... 50

BAB VI Simpulan dan Rekomendasi ......................................................................................... 53 1. Simpulan ................................................................................................................................ 53

Page 5: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

v

2. Rekomendasi ......................................................................................................................... 53 Lampiran ................................................................................................................................... 54

PEKERJAAN TERDAKWA ................................................................................................................... 56 MODEL DAKWAAN ........................................................................................................................... 57 PASAL DAKWAAN ............................................................................................................................. 58 PASAL TUNTUTAN ............................................................................................................................ 63 ALUR VONIS ..................................................................................................................................... 65 MASA PENAHANAN ......................................................................................................................... 67

Page 6: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

1

BAB I

Pendahuluan Perdebatan mengenai moratorium hukuman mati di Indonesia memasuki babak baru setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terhadap enam terpidana mati pada 18 Januari 2015.1 Persoalan makin meruncing setelah Presiden Joko Widodo tidak mengindahkan kecaman dari dunia internasional dan malah menginstruksikan Jaksa Agung untuk melakukan eksekusi terpidana mati gelombang ke-dua. Eksekusi mati ini didasarkan atas jargon bahwa Indonesia sebagai negara darurat narkotika dan kesebelas orang terpidana mati yang keseluruhannya terlibat kasus narkotika bersiap untuk diseksekusi.2 Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, telah menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang menguraikan permintaan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan satu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Konsekuensi dari putusan ini, terpidana dapat mengajukan permohonan kembali lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur. MK menilai bahwa PK merupakan pengejewantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan Hakim mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan. Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari kebenaran materil. Namun, Mahkamah Agung (MA) pada akhir 2014 kemudian mengeluarkan SEMA No. 7 tahun 2014 (SEMA 7/2014) yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali. Keputusan MA mengeluarkan SEMA disinyalir atas intervensi dari Jaksa Agung dan Menkumham yang menyatakan bahwa PK lebih dari satu kali akan mengganggu eksekusi hukuman mati.3 Oleh MK, keputusan MA tersebut dianggap menciderai konsepsi negara hukum dan pembangkangan terhadap Konstitusi.4 Problem peradilan pidana di Indonesia memang menjadi isu khusus, beberapa laporan organisasi non pemerintah menunjukkan bahwa problem peradilan pidana di indonesia cukup memprihatinkan.5 Angka penyiksaan dan kekerasan oleh aparat dalam proses peradilan berbanding lurus dengan angka pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan oleh masyarakat.6 Beberapa kali

1 Enam terpidana mati telah dieksekusi di Nusakambangan dan Boyolali, Diakses pada

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150117_eksekusi_narkoba 2 Persiapan Eksekusi Mati Gelombang Kedua Telah Final, Diakses pada

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/611054-persiapan-eksekusi-mati-gelombang-kedua-telah-final 3 Bahas PK Lebih dari Sekali, Menkum HAM Undang Pakar, Diakses pada

http://www.jawapos.com/baca/artikel/11252/Bahas-PK-Lebih-dari-Sekali-Menkum-HAM-Undang-Pakar 4 MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum, Diakses pada

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aaac4f8e2fb/mk-nilai-ma-langgar-konsepsi-negara-hukum 5 ICJR, Laporan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana: “Catatan di 2014 dan Rekomendasi di 2015”, Diakses

pada http://icjr.or.id/laporan-situasi-reformasi-hukum-di-sektor-pidana-catatan-di-2014-dan-rekomendasi-di-2015/ 6 Polisi paling banyak diadukan ke Komnas HAM, Diakses pada http://beritagar.com/p/polisi-paling-banyak-

diadukan-ke-komnas-ham-18326 dan Kontras: Aparat Masih Gunakan Metode Penyiksaan, Diakses pada http://m.tribunnews.com/nasional/2014/01/12/kontras-aparat-masih-gunakan-metode-penyiksaan

Page 7: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

2

MA, dalam putusannya, menyatakan bahwa telah terjadi rekayasa kasus yang dilakukan oleh kepolisian. Tidak hanya kepolisian yang “disindir”, dalam beberapa putusannya, MA mengatakan bahwa Jaksa sering tidak mendakwa seseorang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya hanya atas dasar agar terdakwa dijatuhi pidana yang berat.7 Masalah fair trial menjadi hal yang belum terjawab dalam peradilan pidana di Indonesia, setidaknya sejauh ini fakta bahwa minimnya pengawasan terhadap kewenangan aparat penegak hukum terlihat jelas dalam regulasi yang ada di Indonesia. Termasuk dalam KUHAP yang hanya menyisahkan Praperadilan sebagai lembaga komplain dan kontrol horizontal terhadap kewenangan aparat penegak hukum dalam fase penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.8 Sementara problem fair trial masih jadi tanda tanya di Indonesia, pada “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa menyatakan bahwa seluruh putusan pidana mati di Indonesia telah sesuai dengan prinsip Fair Trial. Argumen yang dinyatakan oleh RTRI di Jenewa tersebut ditujukan untuk menjawab desakan dan kritikan dari dunia internasional terhadap sikap Indonesia yang kukuh melanjutkan serangkaian eksekusi mati terhadap terpidana mati di Indonesia. Berdasarkan Pasal 6 ayat 2 jo. Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol), di negara yang masih menerapkan hukuman mati, maka jaminan atas prinsip fair trial menjadi mutlak diberlakukan. Semua hak yang melekat pada terdakwa dalam proses peradilannya harus diberikan dan dijamin tanpa ada celah sedikitpun.9 Fair trial menjadi alat uji yang harus dilekatkan pada praktik peradilan dimana seseorang dituntut dengan hukuman mati. Persoalan penerapan fair tria terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan Laporan Amnesty International, Indonesia masuk ke dalam beberapa negara yang masih belum menerapkan prinsip fair trial untuk menjamin hak-hak terpidana mati serta ketentuan internasional lainnya.10 Tak lama setelah PTRI mengumumkan bahwa fair trial terhadap seluruh terpidana mati telah dilakukan, negara ini seakan tertampar dengan temuan atas putusan pidana yang dijatuhkan pada anak atas nama Yusman Telambanua. Tidak hanya atas dasar dirinya seorang anak, kejanggalan kasus Yusman dan kakak iparnya Rasulah Hia yang juga terpidana mati, menyeruak ke publik. Yusman dan Rasulah Hia terindikasi disiksa oleh oknum penyidik dan kasusnya diduga direkayasa, Yusman dan Rasulah Hia juga tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Penasihat Hukum keduanya malah meminta agar Pengadilan menjatuhkan pidana mati terhadap mereka.11 Kasus Yusman dan Rasulah Hia bisa jadi hanya awal dari masalah fair trial lainnya yang belum terungkap di Indonesia. Standar penjatuhan pidana mati yang telah diatur secara internasional

7 ICJR: Problem Pasal 111 dan 112 UU Narkotika terhadap Pengguna narkotika, Harus Menjadi Perhatian

Serius, Diakses pada http://icjr.or.id/icjr-problem-pasal-111-dan-112-uu-narkotika-terhadap-pengguna-narkotika-harus-menjadi-perhatian-serius/ 8 Institusi Praperadilan sudah layak dimusiumkan, Diakses pada http://icjr.or.id/institusi-praperadilan-sudah-

layak-dimusiumkan/ 9 Mufti Makarim, Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) Dan Relevansinya Dengan

Perdebatan Hukum Di Indonesia, Elsam, Diakses pada http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/BEBERAPA-PANDANGAN-TENTANG-HUKUMAN-MATI-DEATH-PENALTY-DAN-RELEVANSINYA-DENGAN-PERDEBATAN-HUKUM-DI-INDONESIA.pdf 10

Amnesty International, Death Sentences And Executions 2014, Diakses pada https://www.amnesty.org/en/documents/act50/0001/2015/en/ 11

KontraS nilai kasus vonis mati Yusman penuh rekayasa, diakses pada http://www.merdeka.com/peristiwa/kontras-nilai-kasus-vonis-mati-yusman-penuh-rekayasa.html

Page 8: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

3

berdasarkan standar HAM kini jadi tantangan serius bagi Indonesia. Atas dasar tersebut, ICJR berinisatif untuk melakukan kajian terhadap beberapa putusan hukuman mati guna melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana prinsip fair trial diperhatikan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, khususnya terhadap seorang yang diancam dengan pidana mati. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan dasar untuk advokasi dan kerja-kerja reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pidana di Indonesia.

2. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup bahasan dalam penelitian ini secara garis besar adalah memberikan gambaran situasi penerapan prinsip fair trial dalam peradilan terhadap seseorang yang diancam dan dijatuhi hukuman mati. Gambaran tersebut didapatkan dengan menguraikan, memberikan kritik, dan menguji ketentuan normatif terhadap data faktual yang direpresentasikan oleh putusan pengadilan. Selain itu, turut dipotret pelaksanaan suatu peradilan pidana secara utuh terhadap terpidana mati. Terutama dengan memberikan penekanan pada beberapa aspek dan isu tertentu. Penelitian juga akan menyasar kondisi terkini regulasi dan kebijakan Pemerintah maupun Lembaga Negara lain yang berkaitan dengan Hukuman Mati.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menjadikan putusan pengadilan menjadi dasar analisis. Putusan yang akan dikaji merupakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pembacaan dilakukan terhadap 42 (Empat puluh Dua) putusan yang terdiri dari 47 (Empat Puluh Tujuh) terpidana mati yang dijadikan bahan analisis pada penelitian ini. Berdasarkan putusan tersebut setidaknya diasumsikan dapat memberikan gambaran umum mengenai potret situasi fair trial bagi terpidana mati dalam putusan pengadilan. Pemilahan terhadap putusan tersebut dilakukan secara ketat dengan kriteria bahwa putusan adalah putusan yang terdakwanya dijatuhi pidana mati baik di tingkatan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Hasil dari analisis putusan ini dirumuskan dalam model persentase dan rata-rata serta dimuat dalam bentuk grafik dan turut juga diberikan interpretasi mengenai hasil analisis putusan tersebut. Untuk pendekatan pada isu yang sedang berkembang yang berhubungan dengan hukuman mati, analisis dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan melihat perkembangan pengaturan dari regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

Page 9: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

4

BAB II

Hukuman Mati dan Hak atas Peradilan Yang Adil12

1. Standar Hak Atas Peradilan Yang Adil Masyarakat internasional sebetulnya telah lama menyerukan dan mendorong penghapusan hukuman mati.13 Tren penghapusan tersebut kemudian dituangkan dalam beberapa perjanjian-perjanjian Internasional maupun regional.14 Pada 1997 dan 1998 Komisi HAM PBB menyerukan kepada semua negara yang belum menghapuskan hukuman mati untuk melakukan moratorium atas eksekusi dengan tujuan untuk menghapuskan hukuman mati tersebut secara keseluruhan.15 Hal ini kemudian dipraktikkan dalam beberapa Pengadilan Pidana Internasional yang tidak memasukkan hukuman mati sebagai hukuman yang dijatuhkan.16 Hal yang sama juga terjadi pada Statuta International Criminal Court (ICC), yang tidak mengijinkan ICC memberlakukan hukuman mati. Dalam konteks masih adanya negara-negara yang memberlakukan hukuman mati maka secara Internasional dikenal beberapa standar hukum yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah jaminan atas peradilan yang adil dan ketentuan legislasi yang tidak pula boleh berbenturan dengan prinsip Internasional. Ketentuan legislasi nasional setidaknya harus mengatur larangan-larangan akan adanya aturan yang memberlakukan secara retroaktif hukuman mati, juga harus secara selektif mengkualifikasikan tindak pidana apa saja dan siapa saja yang boleh dan tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Selanjutnya, negara juga harus dan terpenting memastikan standar-standar hak atas peradilan yang adil dianut dalam regulasi nasional yang akan mempengaruhi praktik peradilan terpidana mati. Berikut adalah gambaran ketentuan hak atas peradilan yang adil di Indonesia secara regulasi dikaitkan dengan standar internasional yang berlaku mengenai hak tersebut.

2. Tidak Ada Penerapan Retroaktif, namun Mengikuti Perubahan Undang-Undang Asas non-retroaktif adalah aturan utama turunan asas legalitas dalam KUHP. Dalam hukum pidana, asas ini dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP17: “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”. Selain dalam KUHP, larangan terhadap asas non-retroaktif diatur lebih tinggi dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

12

Sumber utama Fair Trial, Amnesti Internasional, Volume 2 tahun 2014. 13

Lihat Pasal 6 (6) ICCPR, Pasal 4 (2) dan 4(3) Konvensi Amerika 14

Protokol Tambahan Kedua ICCPR, Konvensi Amerika tentang HAM dan Penghapusan Hukuman Mati, dan Protokol No.6 Konvensi Eropa melarang eksekusi dan mengharuskan penghapusan hukuman mati pada waktu damai, Lihat Protokol Optional Kedua ICCPR, Protokol Konvensi Amerika tentang tentang HAM dan Penghapusan Hukuman Mati, Protokol No.6 Konvensi Eropa. 15

Resolusi 1997/12, Komisi HAM, E/CN4/1997/150, Resolusi 1988/8, Komisi HAM, Sesi ke-54 E/CN.4/1998/L.12 16

Bagi negara bekas Yugoslvia dan Rwanda, Dewan Keamanan PBB secara sengaja bahkan tidak memasukkan hukuman mati sebagai hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang, meski pengadilan-pengadilan ini memiliki juridiksi atas kejahatan-kejahatan keji, seperti genosida, kejahatan kemanusiaan lain dan kejahatan perang, Lihat Resolusi Dewan Keamanan PBB No.825 tgl 23 Mei 1993 dan No.95 tgl 8 November 1994 17

Sebelumnya juga diarur di pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”)

Page 10: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

5

Namun penyimpangan terhadap asas non-retroaktif sebetulnya juga diatur dalam KUHP. Pasal 1 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa suatu hukum yang lebih baru dapat berlaku surut, sepanjang hukum yang baru itu lebih menguntungkan bagi tersangka daripada hukum yang lama. Ketentuan ini menyerupai ketentuan secara internasional, Pasal ini berlaku apabila seseorang dipidana dengan hukum baru sebelum hakim menjatuhkan vonis. Selain pasal 1 ayat (2) KUHP, aturan retroaktif tersebut juga dianut dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) yang menyebutkan : “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc” Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa: “Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.” Masalahnya dalam UU Pengadilan HAM hukuman mati justru menjadi salah satu pidana pokok,18 dan dapat pula dijtuhkan secara retroaktif. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kecuali hukuman tersebut merupakan sebuah hukuman yang diputuskan berdasarkan hukum untuk suatu kejahatan yang terjadi pada saat kejahatan itu dilakukan.19 Dalam hal ini Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar hukum, mendadak atau sewenang-wenang menyatakan pendapatnya bahwa, Pasal 6 (2) Kovenan Sipol tidak mengijinkan adanya berlakunya kembali hukuman mati setelah dihapuskan dan adanya perluasan lingkup hukuman mati.20 Termasuk Hukuman yang lebih berat dibanding dengan hukuman yang seharusnya diberlakukan tidak boleh dijatuhkan.21 Namun, seseorang yang didakwa dengan tuduhan melakukan tindakan kejahatan harus merasakan pada waktu dilakukan perubahan undang-undang yang memberlakukan hukuman yang lebih rendah.22 Sehingga seseorang yang dijatuhkan hukuman mati harus mendapatkan manfaat atas hukuman yang lebih ringan jika hukum tersebut direformasi (diubah) setelah putusan atas mereka dijatuhkan.23 Konvensi Amerika secara tegas melarang negara memperluas penerapan hukuman mati atas tuduhan kejahatan – pada saat negara tersebut menerapkan Konvensi tersebut. Konvensi ini juga melarang pemberlakuan kembali hukuman mati jika negara tersebut telah menghapusnya.24

3. Hukuman Mati dan Kejahatan Serius Tertentu Undang-Undang pertama di Indonesia yang mencamtumkan pidana mati adalah KUHP. KUHP diterapkan di Indonesia pada masa kolonial belanda, tahun 1918. Belanda sendiri telah menghapuskan hukuman mati dalam KUHP nya pada 1878, dan secara keseluruhan menghapuskan

18

Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3) UU Pengadilan HAM 19

Lihat Pasal 6(2) ICCPR, Paragraf 2 tentang perlindungan atas hukuman mati, Pasal 4(2) Konvensi Amerika, Pasal 2 (1) Konvensi Eropa 20

Laporan Pelapor khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang dalam misinya ke Amerika Serikat./Dok.PBB E/CN.4/1998/Add.3, 22 Jnuari 1998, paragraf ke-3. 21

Lhiat Pasal 11 Deklarasi Universal, Pasal 15 ICCPR, Pasal 9 Konvensi Amerika, Pasal 7 Konvensi Eropa, Pasal 7 Piagam Afrika 22

Pasal 15(1) ICCPR, Pasal 9 Konvensi Amerika 23

Paragraf ke-2 tentang Perlindungan dari Hukuman Mati Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, E.S.C. res. 1984/50, annex, 1984 U.N. ESCOR Supp. (No. 1) at 33, U.N. Doc. E/1984/84 (1984) (Selanjutnya disebut Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati) 24

Pasal 4 Konvensi Amerika, Lihat juga, Laporan Tahunan Pengadilan Inter-Amerika, Advisory Opinion OC-3/83, OAS/Ser.L/V/III.10 dok.13, 1984

Page 11: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

6

pidana mati pada 1983 dengan mengeluarkannya dari Hukum Militer. Sejak pengaturan di KUHP, ada beberapa Undang-Undang yang turut mengatur mengenai hukuman mati. Indonesia tidak mengenal adanya pembagian tindak pidana serius atau pidana berat, sehingga penempatan pidana mati sangat tergantung pada perumus Undang-Undang tanpa ada patokan yang pasti. Peraturan perundang-undangan yang masih mencantumkan hukum mati, sebagai berikut.

Peraturan Perundang-Undangan Ketentuan

KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, Pasal 368 ayat (2).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KU HPM)

Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 73 Ke1, Ke2, Ke3 dan Ke4, Pasal 74 Ke1 dan Ke2, Pasal 76 (1), Pasal 82, Pasal 89 Ke1 dan Ke2, Pasal 109 Ke1 dan Ke2, Pasal 114 ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2), Pasal 135 ayat (1) ke1 dan ke2, ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan (2), Pasal 138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142 ayat (2).

UU Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api Pasal 1 (ayat) 1

Penpres Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewanang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam Hal Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan

Pasal 2

Perppu Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)

UU Nomor 31/PNPS/1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom

Pasal 23

UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan

Pasal 479 huruf k ayat (2) Pasal 479 huruf 0 ayat (2)

UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2)

UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 74, Pasal 113 ayat (2), 114 ayat (2), 119

ayat (2), 118 ayat (2), 119 ayat (2), 121 ayat

(2), 132 ayat (3), 133 ayat (1), 144 ayat (2)

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi

Pasal 2 ayat (2)

UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3)

UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16

UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 89 ayat (1)

Page 12: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

7

Secara Internasional, hukuman mati hanya dimungkinkan dijatuhkan hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling serius.25 Komite HAM telah menyatakan bahwa arti “kejahatan yang paling serius” ini harus diartikan bahwa hukuman mati hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi yang sangat tertentu (quite exceptional measure).26 Kejahatan-kejahatan yang diputus dengan hukuman mati adalah kejahatan yang menimbulkan matinya seseorang dengan sengaja atau menimbulkan akibat yang berat bagi korban.27”. Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa hukuman mati harus dihapuskan untuk kejahatan-kejahatan seperti kejahatan ekonomi dan obat-obat terlarang.28

4. Orang-orang yang tidak boleh dijatuhi hukuman Mati dan Dieksekusi. Standar Internasional melarang pemberlakuan hukuman mati bagi orang-orang dengan kategori tertentu seperti orang dibawah umur 18 tahun pada saat kejadian tersebut berlangsung, orang-orang diatas umur 70 tahun, perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan, sakit jiwa dan sakit mental. Di Indonesia larangan ini juga berlaku, dalam beberapa aturan ada larangan tegas terhadap orang-orang yang tidak dapat dijatuhi pidana mati di Indonesia anak, dan penundaan eksekusi bagi wanita hamil. Sampai dengan saat ini, Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU 2/PNPS/1964) masih merupakan pedoman utama dalam melakukan eksekusi mati di Indonesia.

4.1. Anak-anak Hukum Indonesia secara tegas dan jelas menyatakan bahwa hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan pada anak. Secara komprehensif larangan penjatuhan pidana mati dan seumur hidup terhadap anak tertulis tidak kurang pada tiga aturan berlevel Undang-undang, yaitu Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 huruf (f) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan Pasal 64 huruf (f) UU 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kovenan Sipol menekankan dengan tegas bahwa orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejadian berlangsung, tidak boleh dijatuhi hukuman mati, meskipun pada saat persidangan dan putusan dijatuhkan usianya melebihi 18 tahun.29

4.2. Orang Lanjut Usia Dalam hukum di Indonesia tidak dikenal pembatasan usia maksimum orang dikenakan pidana mati, Indonesia hanya mengatur mengenai batas minimum penjatuhan pidana mati, yaitu usia 18 tahun untuk anak. Hukum Indonesia tidak kompatibel dengan ketentuan Internasional terkait dengan terpidana mati lanjut usia, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara-negara harus menetapkan usia maksimum bagi orang-orang yang dikenakan hukuman mati atau dieksekusi.30

25

Pasal 6(2) ICCPR, Pasal 4(2) Konvensi Amerika, Paragraf 1 tentang Perlindungan dari hukuman mati 26

Pernyataan Umum Komite HAM NO.6, paragraf ke-7 27

Paragraf 1 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 28

Laporan Pelapor khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak sewenang-wenang, Dok.PBB: E/CN.4/1996/4, pada paragraf 556 29

Pasal 6(5) ICCPR, Pasal 37(a) Konvensi Hak-hak Anak, Angka 17.2 Beijing Rules (United Nations Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice “Beijing Rules”), Paragraf- 3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati dan Pasal II Konvensi Jenewa tahun 1949 melarang hukuman mati dikenakan bagi orang-orang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejahatan tersebut dilakukan. 30

Resolusi ECOSOC 1989, Dok.PBB, E/1989/INF/7, 127 hal 128

Page 13: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

8

4.3. Orang Sakit Mental Tidak ditemukan secara jelas aturan yang melarang pidana mati dilakukan kepada orang sakit mental di Indonesia, tidak juga dalam UU 2/PNPS/1964. Namun, apabila ditelusuri, KUHP Indonesia mengatur mengenai ketentuan orang sakit mental tidak dapat dipidana dan dimintai pertanggungjawaban pidana. Ketentuan tersebut disebut sebagai alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum, sehingg dilihat dari sisi orang/pelakunya (secara subjektif). Orang sakit mental adalah salah satu contoh subjek yang bisa dikenai alasan pemaaf sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP disebutkan:“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Selanjutnya juga dituliskan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa.” Secara Internasional, eksekusi bagi orang-orang yang sakit mental dilarang.31 Larangan ini termasuk orang-orang yang terganggu jiwanya karena dikenakan hukuman mati.32 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB merekomendasikan agar negara-negara menghapuskan hukuman mati “bagi orang-orang yang menderita gangguan mental atau keterbelakangan mental, baik pada saat penentuan putusan maupun eksekusi.”33

4.4. Perempuan Hamil dan Baru Melahirkan Dalam hukum di Indonesia, diatur juga alasan penundaan pidana mati, salah satunya kepada wanita hamil dan baru melahirkan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7 UU 2/PNPS/1964 yang berbunyi: “Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.” Berdasarkan peraturan di atas, eksekusi pidana mati bagi terpidana mati yang sedang hamil itu ditunda hingga empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Artinya, eksekusi pidana mati tidak akan dilakukan jika terpidana mati dalam keadaan hamil. Hal ini sudah sesuai dengan konteks Internasional, yang melarang hukuman mati dijatuhkan kepada perempuan hamil34 dan kepada perempuan yang baru melahirkan.35

5. Kaitan langsung Hukuman Mati dengan Hak atas Peradilan yang Adil Karena sifat hukuman mati sangatlah besar akibatnya, maka proses peradilan terhadap kasus-kasus besar harus segera mengacu pada standar-standar internasional dan regional yang melindungi hak atas Peradilan yang Adil. Semua perlindungan dan proses yang menjamin hak atas Peradilan yang Adil yang diatur dalam standar internasional harus dilaksanakan selama berlangsungnya proses pra-persidangan, persidangan dan tingkat banding serta standar-standar tersebut harus dihargai sepenuhnya. Diyakini bahwa semua eksekusi melanggar hak atas hidup. Meski hal ini tidak sepenuhnya diterima secara internasional, namun badan-badan HAM internasional dan para ahli setuju bahwa hal itu melanggar hak atas hidup dengan mengeksekusi seseorang setelah proses

31

Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 32

Lihat juga Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses peradilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB.A/51/457, paragraf 115 33

Resolusi ECOSOC, 1989/64, diadopsi tgl 24 Mei 1989, Dok.PBB;E/1989/INF/7 34

Pasal 6(5) ICCPR, Pasal 4(5) Konvensi Amerika 35

Paragraf ke-3 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati , Lihat juga Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, (A/51/457), 7 Oktober 1996, paragraf 115

Page 14: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

9

peradilan yang tidak adil. Tidak seorangpun yang dapat dicabut hak atas hidupnya secara sewenang-wenang.36 Hukuman mati hanya dapat dikenakan atas dasar putusan akhir pengadilan yang kompeten setelah dilalui proses hukum yang menjamin pengadilan yang adil, paling tidak memenuhi standar seperti yang disyaratkan pada Pasal 14 Kovenan Sipol, termasuk hak-hak bagi terdakwa yang didakwa dengan tuduhan tindak kriminal dengan tuntutan hukuman berat dan terdakwa tersebut didampingi oleh penasihat hukum pada setiap proses pengadilan.37 Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa “proses imposisi putusan atas kejahatan-kejahatan berat harus didasarkan pada standar tertinggi hakim dan juri yang independen, kompeten, objektif dan imparsial, seperti yang disyaratkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Semua terdakwa yang menghadapi imposisi hukuman berat harus mendapatkan fasilitas penasihat hukum yang kompeten pada setiap proses pengadilan. Terdakwa harus diasumsikan tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan tanpa ragu-ragu, dengan standar tertinggi dalam mencari dan menilai bukti-bukti. Selain itu, seluruh faktor yang meringankan terdakwa harus diperhitungkan. Proses pengadilan harus menjamin hak bagi tribunal yang lebih tinggi untuk menguji fakta dan aspek hukum kasus tersebut, dengan hakim-hakim yang berbeda dari hakim yang menangani kasus itu sebelumnya. Hak terdakwa untuk memohon maaf, komutasi (keringanan hukuman) atau pengampunan juga harus dijamin.38 Berikut ketentuan dasar peradilan yang adil :

5.1. Hak Atas Bantuan Hukum yang Efektif Dalam hukum acara pidana di Indonesia aturan utama terkait bantuan hukum dan penasihat hukum terdapat dalam KUHAP. Pasal 54 KUHAP menyatakan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan : “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dalam pasal 54 KUHAP, hak untuk mendapatkan bantuan hukum termasuk dalam hak tersangka dan terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk memiih sendiri penasihat hukumnya.39 Ketentuan lain diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 22 ayat (1) menekankan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Sebagai implementasi UU No. 18 Tahun 2003 ini kemudian Pemerintah membuat PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Menindaklanjuti kedua peraturan ini, pada 2010 Perhimpunan Advokat Indonesia kemudian

36

Pasal 6(1) ICCPR, Pasal 4 Konvensi Afrika, Pasal 4(1) Konvensi Amerika 37

Paragraf ke-5 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati 38

Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB, A/51/457/7 Oktober 1996, paragraf 111 39

Pasal 55 KUHAP

Page 15: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

10

mengeluarkan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.40 Pemberian bantuan hukum yang tersedia secara nasional diatur melalui UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam UU ini diatur tentang siapa saja yang dapat menerima bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, dan juga pengelola bantuan hukum. Dalam konteks terpidana mati, KUHAP sebenarnya sudah mengatur mengenai kewajiban pemberian bantuan hukum. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.” Dengan ketentuan ini maka setiap orang yang diangka dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dari negara. Bantuan hukum itu juga harus disediakan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Semua bantuan hukum tersebut harus disediakan dengan cuma-cuma kepada tersangka atau terdakwa.41 Namun, merujuk pada padal 56 ayat (1) KUHAP, dalam penjelasannya KUHAP mengamanatkan bahwa penunjukan advokat disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga bantuan hukum, artinya ada kemungkinan aturan ini disimpangi di daerah yang minim atau tidak tersedia bantuan hukum. Perlu untuk diperhatikan bahwa aturan hukum di Indonesia memang hanya mengatur mengenai ketersediaan dan beberapa ketentuan prosedural mengenai bantuan hukum dan penasihan hukum.42 Secara eksplisit dalam KUHAP tidak menekankan mengenai bantuan hukum yang efektif. Satu-satunya ketentuan mengenai bantuan hukum yang efektif malah diatur dalam UU SPPA. UU SPPA telah mengatur ketentuan bahwa Anak berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.43 Hal yang menjadi catatan bahwa Anak tidak dapat dipidana mati, sehingga meskipun mengatur ketentuan yang lebih progresif dari pada KUHAP, secara faktual Indonesia berarti tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai hak terpidana mati dalam mendapatkan bantuan hukum yang efektif. Berdasarkan Kovenan Sipol ICCPR, siapapun yang ditahan atau didakwa dengan tuduhan tindak kriminal memiliki hak atas penasihat hukum selama penahanan, persidangan maupun banding.44 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menyatakan bahwa seseorang yang menghadapi tuntutan hukuman mati harus disediakan “bantuan penasihat hukum yang memadai pada setiap proses persidangan”.45 Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak, dan sewenang-wenang

40

Supriyadi W. Eddyono, dkk , Memetakan Situasi Penahanan Di Indonesia, ICJR, Jakarta, 2012, hlm. 60. 41

Pasal 56 ayat (2) KUHAP 42

Pasal 69 – Pasal 74 KUHAP mengatur mengenai Bantuan Hukum, mayoritas mengatur mengenai jaminan komunikasi antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya. 43

Pasal 3 huruf c UU SPPA : “Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: c. memperoleh bantuan

hukum dan bantuan lain secara efektif” 44

Pasal 14(3)(d) ICCPR, Prinsip 1 Prinsip Dasar Peran Pengacara, Pasal 7 (1)(c) Piagam Afrika, Pasal 8 (2)(d) dan (e) Konvensi Amerika, Pasal 6 (3)(C) Konvensi Eropa 45

Resolusi ECOSOC 1989/64, 24 Mei 1989, Dok.PBB E/1989/INF/7, hal 128, lihat juga Perlindungan terhadap Hukuman Mati

Page 16: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

11

menyatakan bahwa pada semua proses pengadilan , terdakwa yang dituntut dengan hukuman berat harus didampingi oleh pengacara kompeten dan efektif yang dibiayai negara.46 Komite HAM menegaskan bahwa kasus yang diancam dengan pidana mati tidak dapat diproses jika terdakwa tidak diwakili oleh penasihat hokum, dan penasihat hukum harus berdasarkan pilihannya sendiri, walau diperlukan penundaan pemeriksaan.47 Dalam hal dimana penasihat hukum terdakwa tidak efektif namun pengadilan tetap menugaskan penasihat hukum yang sama pada proses hukum selanjutnya padahal terdakwa mengajukan nama lain, maka hak terdakwa terhadap penasihat hukum telah dilanggar.48 Penasihat hukum wajib berkonsultasi dengan terdakwa terakit upaya hukum, dan harus diberitahukan pada terdakwa skema bantuan hukum dari negara, sehingga terdakwa memiliki alternatif lain yang masih terbuka.49

5.2. Hak atas Waktu dan Fasilitas yang Memadai dalam Mempersiapkan Pembelaan Hukum Indonesia tidak mengatur mengenai waktu dan fasilitas memadai dalam mempersiapkan pembelaan. Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP, dinyatakan bahwa pembelaan harus dibuat dalam bentuk tertulis, dinyatakan lebih lengkap bahwa : “Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan”. Penjelasan Pasal 182 ayat (1) butir c ini kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa bagi terdakwa yang tidak dapat menulis, panitera mencatat pembelaannya. Satu-satunya fasilitas yang diberikan dalam KUHAP hanyalah pencatatan oleh panitera bagi terdakwa yang tidak bisa menulis. Secara Internasional dalam kasus-kasus hukuman mati hak untuk mendapatkan aaktu dan fasilitas yang Memadai dalam Mempersiapkan Pembelaan sangat penting. Komite HAM menyatakan bahwa, “dalam kasus-kasus yang akan dikenakan hukuman berat, harus dijamin bahwa terdakwa dan penasihat hukumnya diberikan waktu yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan.”50

5.3. Hak untuk menyelesaikan Proses Pengadilan tanpa Penundaan KUHP tidak menyediakan mekanisme untuk sesegara mungkin menghadapkan tersangka setelah penahanan ke hadapan Hakim, terdakwa baru akan bertemu hakim saat sidang pertama dimulai, hal itu berarti setelah penghitungan masa penahanan pra persidangan selesai. Terkait masa penahanan pra persidangan sampai dengan seseorang dihdapkan di muka sidang, utamanya untuk seseorang yang diancam dengan pidana diatas 9 tahun, termasuk terpidana mati dapat ditahan mencapai waktu 230 hari.

Jangka Waktu Penahanan di dalam KUHAP

46

Laporan Pelapor Khusus tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB; E/CN.4/1996/4, paragraf 547 47

Lihat Pinto v.Trinidad dan Tobago, (232/1987), 20 Juli 1990, hal 69 dan Robinson v.Jamaica (223/1987), 30 Maret 1989. Laporan Komite HAM, (A/44/40), 1989, 241, Lihat Abdool Saleem Yassen dan Noel Thomas v.Guyana, 30 Maret 1998, Dok.PBB, CCPR/C/62/D/676/1996, paragraf 78, Temuan atas Pelanggaran pada Pasal 14 dimana salah seorang terdakwa tidak dihadirkan pada 4 hari pertama persidangan ulangan (retrial) kasus. 48

Lihat Pinto v.Trinidad dan Tobago, (232/1987), 20 Juli 1990, Laporan Komite HAM, Vol.II (A/45/40), 1990, pada 69, Kelly v.Jamaica, (253/1987), 8 April 1991, Laporan Komite HAM (A/46/40), 1991 49

Burrel v.Jamaica, (546/1993), 18 Juli 1996, Dok.PBB, CCPR/C/57/D/546/1993, 1996 50

Kelly v.Jamaica, (253/1987), 8 April 1991, Laporan Komite HAM, (A/46/40), 1991, hal 241.

Page 17: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

12

Tahapan proses pemeriksaan

Penahanan/ Perpanjangan oleh

Dasar Hukum Lamanya Jumlah

Penyidikan Penyidik Pasal 24 ayat (1) 20 hari 60 hari

Diperpanjang oleh JPU Pasal 24 ayat (2) 40 hari

Penuntutan Penuntut Umum Pasal 25 ayat (1) 20 hari 50 hari

Diperpanjang Ketua PN Pasal 25 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan di PN Hakim Pengadilan Negeri Pasal 26 ayat (1) 30 hari 90 hari

Diperpanjang Ketua PN Pasal 26 ayat (2) 60 hari

Pemeriksaan tingkat banding

Hakim Pengadilan Tinggi Pasal 27 ayat (1) 30 hari 90 hari

Diperpanjang Ketua PT Pasal 27 ayat (2) 60 hari

Pemeriksaan tingkat kasasi

Hakim Mahkamah Agung Pasal 28 ayat (1) 50 hari 110 hari

Diperpanjang Ketua MA Pasal 28 ayat (2) 60 hari

400 hari 400 hari

Selain dalam jangka waktu normal di atas, KUHAP juga masih memuat ketentuan pengecualian masa penahanan dalam hal seorang tersangka/terdakwa diancam dengan hukuman penjara 9 tahun ke atas (termasuk pidana mati) atau dalam hal tersangka atau terdakwa mengalami gangguan fisik atau mental yang berat sesuai dengan bukti keterangan yang diberikan dokter. Untuk kepentingan pemeriksaan, terhadap perkara yang memenuhi salah satu dari kriteria ini, penahanan bisa kembali diperpanjang selama masing-masing 2 x 30 hari untuk tiap-tiap tahap proses pemeriksaan. Dilihat dari jumlah hari yang ditentukan dalam “perpanjangan pengecualian” ini, juga memuat waktu yang panjang yakni selama 300 hari, sehingga jika dijumlahkan secara keseluruhan dengan masa penahanan secara normal di atas, maka seseorang berpotensi untuk ditahan selama 700 hari lamanya.

Perpanjangan pengecualian51

51

Pasal 29 KUHAP

Tahapan Proses Pemeriksaan

Diminta oleh Diberikan oleh Dasar Hukum Lamanya

Penyidikan Penyidik Ketua PN Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Penyidik Diperpanjang Ketua PN

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Penuntutan Penuntut Umum Ketua PN Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Penuntut Umum Diperpanjang Ketua PN

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan di PN Ketua PN Ketua PT Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Diperpanjang Ketua PT

Diperpanjang Ketua PT

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan tingkat banding

Hakim MA Hakim MA Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Diperpanjang Hakim MA

Diperpanjang Hakim MA

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Pemeriksaan tingkat kasasi

Ketua MA Ketua MA Pasal 29 ayat (2) 30 hari

Diperpanjang Ketua MA

Diperpanjang Ketua MA

Pasal 29 ayat (2) 30 hari

300 hari

Page 18: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

13

Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia memiliki asas utama peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, menyatakan bahwa tersangka dan terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, dan berhak segera diadili oleh pengadilan.52 Selain itu, jaminan kepastian waktu untuk banding sampai dengan kasasi juga diatur dalam pelimpahan berkas perkara banding oleh Pengadilan Negeri ke pengadilan tinggim yang harus sudah dikirim “14 hari” dari tanggal permohonan banding.53 Selanjutmya, 7 hari sesudah putus pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri.54 Pengaturan yang sama juga dijelaskan juga pada tingkat kasasi, dalam waktu 14 hari dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi.55 Berikutnya, 7 hari sesudah tanggal putusan, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan hasil putusan kasasi ke Pengadilan Negeri. Hanya saja, dalam KUHAP tidak diatur batas berapa lama waktu Hakim memeriksa perkara banding maupun kasasi, masalah yang sama juga tidak diatur dalam pemeriksaan PK, sehingga lamanya waktu sangat tergantung pada kinerja Hakim. Standar Internasional menegaskan bahwa proses pengadilan harus diselesaikan tanpa penundaan.56 Komite HAM menyatakan bahwa “pada semua kasus, khususnya kasus-kasus besar, terdakwa berhak untuk diadili dan naik banding tanpa penundaaan.57 Komite HAM menyatakan bahwa penundaan harus dianggap terlalu panjang untuk kasus besar: penundaan selama satu minggu antara penahanan dengan pemeriksaan terdakwa dipengadilan oleh hakim (Pelanggaran Pasal 9 (3) KOvenan Sipol), menahan terdakwa dalam tahanan selama 16 bulan (480 hari) sebelum persidangan digelar (Pelanggaran atas Pasal 9(3) KOvenan Sipol) dan Penundaan selama 31 bulan (930 hari) antara pengadilan dengan berakhirnya banding (dismissal of the appeal).

5.4. Hak untuk melakukan Upaya Hukum Bagi terpidana mati, bagi semua putusan diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali.58 Indonesia membuka dua mekanisme upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari upaya hukum banding59 dan kasasi. Upaya hukum banding diajukan ke Pengadilan Tinggi,60 sedangkan upaya hukum kasasi diajukan ke Mahkamah Agung.61 Selain upaya hukum biasa, dikenal juga upaya hukum luar biasa. Terdiri dari Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum62 dan PK63. Khusus untuk terpidana mati, maka PK merupakan salah

52

Pasal 50 KUHAP 53

Pasal 326 KUHAP 54

Pasal 234 ayat (1) KUHAP 55

Pasal 248 KUHAP 56

Pasal 9(3) dan 14(3)(c) ICCPR, Pasal 7(1)(d) Piagam Afrika, Pasal 7(5) dan 8(1) Konvensi Amerika, Pasal 5(3) dan 6(1) Konvensi Eropa 57

Mc.Lawrence v.Jamaica, Dok.PBB, CCPR/C/60/D/702/1996, 29 September 1997, paragraf 5-6. 58

Pasal 1 angka 12 KUHAP 59

Pasal 67 KUHAP 60

Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP 61

Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP 62

Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP

Page 19: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

14

satu mekanisme penting. Pada 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 34/PUU-XI/201364, merubah pengaturan PK dalam KUHAP. PK kemudian bisa diajukan lebih dari satu kali. Menurut MK, kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. MK mengatakan bahwa untuk alasan keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka pembatasan PK bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 201465 untuk kemudian kembali melakukan pembatasan terhadap PK. Pada intinya SEMA 7 Tahun 2014 menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali. Secara Internasional setiap orang yang didakwa dengan hukuman mati berhak untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi.66 Pelapor khusus PBB tentang Eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang menyatakan bahwa dalam kasus-kasus besar, “proses pengadilan harus menjamin hak untuk mereview aspek-aspek faktual dan legal dari kasus tersebut ke pengadilanyang lebih tinggi, yang terdiri dari hakim yang berbeda dari hakim yang menangani kasus itu sebelumnya.67

5.5. Hak untuk Memohon Pengampunan dan Peringanan Hukuman Ketentuan mengenai pengampunan dan peringanan hukuman diatur dalam pasal 14 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.68 Presiden juga dapat memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.69 Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.70Pidana mati adalah satu satu putusan pemidanaan yang dapat diajukan grasi.71 Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung.72 Secara Internasional, setiap orang yang diputus dengan hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan dan peringanan hukuman. Hal ini dicantumkan secara jelas dalam Pasal 6(4) ICCPR “Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk meminta Pengampunan dan Peringanan

63

Pasal 263 sampai dengan 269 KUHAP 64

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_1651_34%20PUU%202013-telahucap-6Maret2014.pdf 65

Lihat SEMA 7 Tahun 2014 pada http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_07_2014.pdf 66

Pasal 14(5) ICCPR, Pasal 8(2)(h) Konvensi Amerika, Pasal 2 Protokol 7 Konvensi Eropa, Lihat Pasal 7(a) Piagam Afrika 67

Laporan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi di luar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB E/CN.4/1997/60, paragraf 82 68

Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 69

Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 70

Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) 71

Pasal 2 ayat (2) UU Grasi 72

Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesi dan Abolisi (UU Amnesti dan abolisi)

Page 20: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

15

Hukuman atas hukuman tersebut. Amnesti, Pengampunan atau Keringanan atas Hukuman mati dimungkinkan untuk dikabulkan untuk semua kasus.”

5.6. Tidak Boleh dilakukan Eksekusi saat Proses Banding dan Permohonan Pengampunan

Pelaksanaan putusan pengadilan terdapat dalam Bab XIX tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Bab XX tentang Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan KUHAP. Dalam Pasal 270 KUHAP disebutkan bahwa “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP tersebut, maka dapat diambil kesimpulan, hanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sajalah yang dapat dieksekusi oleh Jaksa. Sehingga ketentuan KUHAP telah menjamin bahwa dalam hal terdakwa yang dituntut dengan pidana mati mengajukan upaya hukum, tidak dapat dilakukan eksekusi. Terkait permohonan grasi, aturan penundaan eksekusi mati apabila terpidana mengajukan grasi ke Presiden diatur dalam Pasal 3 UU Grasi yang berbunyi : “Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 2 ayat (3) UU Grasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Selain membatasi banyaknya jumlah permohonan, UU Grasi juga membatasi jangka waktu permohonan, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.73 Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan setelah diputus akhir oleh hakim pada pengadilan yang kompeten.74 Eksekusi tidak boleh dilakukan apabila masih dalam proses banding atau berada dalam prosedur yang harus dijalankan berkaitan dengan permintaan pengampunan atau komutasi hukuman tersebut.75 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) menyatakan segala informasi terkait upaya hukum dan permohonan pengampunan terpidana mati harus diinformasikan kepada pejabat atau aparat negara yang terlibat dalam pengambilan keputusan atas hukuman mati, sehingga eksekusi tidak dapat dilakukan dalam hal terpidana mati sedang melakukan upaya hukum dan permohonan pengampunan.76

5.7. Waktu yang Cukup antara Putusan dengan Eksekusi Terkait waktu yang cukup sebelum eksekusi mati, tidak ada pengaturan di Indonesia yang menjabarkan rentang waktu tersebut, hanya saja permohonan upaya hukum dan permintaan pengampunan adalah salah satu alasan penundaan eksekusi mati. Kondisi Indonesia tidak sesuai dengan Pelapor khusus PBB tentang eksekusi diluar Pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang merekomendasikan periode sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum hukuman mati dilaksanakan oleh pengadilan, ini dimaksudkan agar ada waktu yang cukup untuk persiapan upaya hukum dan permintaan petisi untuk peringanan Hukuman. 77

73

Pasal 7 ayat (2) UU Grasi 74

Pasal 6(2) ICCPR, Paragraf ke-5 Perlindungan atas Hukuman Mati, Pasal 4(2) Konvensi Amerika 75

Paragraf ke-8 Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati, Pasal 4(6) Konvensi Amerika, Lihat Pasal 14(5) dan 6(4) ICCPR 76

Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar proses pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, Dok.PBB E/CN.4/1996/4, pada hal.553 dan Resolusi ECOSOC 1996/15, diadopsi 23 Juli 1996 77

Laporan Pelapor Khusus PBB tentang eksekusi diluar pengadilan, mendadak dan sewenang-wenang, , paragraf 553

Page 21: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

16

5.8. Kondisi Penjara bagi Terpidana Mati Pada dasarnya Indonesia tidak mengenal pengaturan khusus mengenai penjara bagi terpidana yang dijatuhi hukuman mati, hanya saja diatur dalam Pasal 5 UU 2/PNPS/1964 mengenai dalam hal menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditempatkan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa. Dalam beberapa aturan, khususnya UU Pemasyarakatan, tidak dilakukan pembedaan hak antara terpidana mati dan terpidana lainnya, hanya saja bagi terpidana yang dijatuhi pidana seumur hidup dan pidana mati tidak mendapatkan hak-hak khusus seperti asimilasi dan pengurangan masa pidana. Indonesia mengenal mengenai mekanisme tunggu terpidana mati, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No 2/PNPS/1964, lamanya waktu tunggu sebelum eksekusi adalah tiga kali dua puluh empat jam (3x24 jam). Waktu tersebut diatur setelah Jaksa Tinggi/Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya eksekusi pidana mati. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menyerukan bahwa perlakuan bagi terpidana mati harus sesuai dengan standar-standar dan Aturan Minimum PBB tentang perlakuan bagi tahanan ecara efektif, dengan maksud untuk meminimalisir penderitaan tahanan yang dihukum hukuman mati dan menghindari terjadinya penderitaan yang lebih dalam.78 Komite HAM berpandangan bahwa memperpanjang waktu hukuman mati, tidak melanggar hak-hak terpidana mati. Keputusan ini berdasarkan fakta bahwa Kovenan Sipol tidak melarang hukuman mati, meski maksud dan tujuannya adalah untuk mengurangi pelaksanaan hukuman mati dan menyatakan bahwa penetapan batas waktu maksimum akan mendorong negara-negara untuk menjatuhkan hukuman mati sebelum waktunya.79 Namun, Komite HAM menyatakan bahwa, “apabila periode penahanan tentang hukuman mati berlangsung selama 11 tahun, ini merupakan persoalan yang serius, oleh karena itu Komite menegaskan bahwa periode spesifik tersebut tidak boleh melanggar Pasal 7 dan 10 (1) ICCPR. 80

78

Resolusi ECOSOC 1996/15, Diadopsi tanggal 23 Juli 1996 79

Robinson La Vende v, Trinidad dan Tobago (554/1993), 29 Oktober 1997 80

Johnson v. Jamaica (588/1994), 22 Maret 1996, Dok.PBB.CCPR/C/56?D/588/1994

Page 22: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

17

BAB III

Potret Umum Putusan Pengadilan dalam Pidana Mati (Riset 42 Putusan Pidana Mati)

1. Gambaran Umum Identitas Terpidana Mati

1.1. Usia Jika dilihat dari rata-rata usia dalam putusan, diketahui bahwa rata-rata usia tertinggi yang dikenai pidana mati adalah usia produktif yakni usia 21-30 tahun dengan jumlah 20 orang. Setalah itu disusul dengan rata-rata usia 31-40 tahun dengan jumlah 17 orang. Terdapat juga usia yang masih tergolong usia remaja yang dikenakan pidana mati, yakni 3 orang yang masih berusia rata-rata 18-20 tahun.

3

20

17

3 3

0 0

5

10

15

20

25

18-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun

RATA-RATA USIA

Page 23: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

18

1.2. Kebangsaan Dari latar belakang kebangsaan para terpidana mati, didominasi oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dengan jumlah 30 terpidana mati, sedangkan Warga Negara Asing (WNA) berjumlah 13 terpidana mati. Dari 13 terpidana mati WNA ini terdiri dari beberapa negara diantaranya Australia (2), Nigeria (3), Sierra Leone, Sinegal, Pakistan, India, Inggris, Zimbage, Belanda dan Philipina. Dengan demikian, 73% terpidana mati yang dijatuhi hukuman mati adalah WNI.

Namun jika dilihat secara jenis perkara, untuk perkara Narkotika didominasi oleh WNA yakni sebanyak 60%. Sedangkan untuk Perkara Pembunuhan Berencana secara keseluruhan dilakukan oleh WNI.

1.3. Jenis Kelamin Kemudian jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, Jenis kelamin Laki-Laki mendominasi dengan prosentasi lebih dari 80% yaitu 41 orang, sementara perempuan berjumlah 6 orang.

4%

2% 2% 2%

7% 2% 2%

2% 2%

73%

2%

Total

Australia Belanda India Inggris

Nigeria Pakistan Philipina Sierra Leone

Sinegal Afrika WNI Zimbage

WNA 60 %

WNI 40 %

Kebangsaan (Tindak Pidana Narkotika)

Page 24: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

19

Jika dilihat dari jenis tindak pidana, Laki-laki tetap mendominasi dengan angka 16 untuk tindak pidana narkotika dan 24 untuk tindak pidana pembunuhan berencana. Sedangkan wanita memiliki angka 4 orang dan 2 orang untuk tindak pidana narkotika dan pembunuhan berencana.

1.4. Pekerjaan Berdasarkan pekerjaan yang dimiliki terpidana mati, terlihat bahwa peringkat tertinggi adalah dengan profesi Wiraswasta, Tani, dengan angka 7 terpidana mati. Sedangkan pada bagian Lain-lain terdiri dari profesi Tukang Elektronik, Pelayan Toko, Konstruksi, Tukang Pelitur, Tukang Ojek, Ibu Rumah Tangga, Businessman, Nambang Sampan, Pembantu Rumah Tangga, Supir, konsultan Pertanian dan Bisnis Sepatu. Sedangkan yang tidak ada informasi mengenai pekerjaan berjumlah 7 terpidana mati. Melihat dari komposisi pekerjaan, maka pekerjaan informal cukup mendominasi.

L 87%

P 13%

Total

16

24

4 2

0

5

10

15

20

25

30

Tindak Pidana Narkotika Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Laki-Laki

Perempuan

Page 25: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

20

1.5. Agama Jika dilihat dari latar belakang agama, Terpidana mati yang akan dieksekusi didominasi oleh Islam dengan prosentase 47,83% dari keseluruhan total terpidana mati. Disusul dengan agama Kristen/Kahtolik dengan prosentase 43,48%. Untuk Agama lainnya seperti Hindu terdapat 2 terpidana mati, dan untuk agama Budha dan Tidak memiliki Agama masing-masing 1 orang terpidana.

2. Gambaran Putusan Pengadilan

2.1. Jenis Perkara Dari 47 terpidana mati, terbagi atas 3 perkara utama yaitu Narkotika, Pembunuhan Berencana serta Pembunuhan Berencana dan Pemerkosaan. Duapuluh orang dijatuhi pidana mati karena melakukan tindak pidana narkotika, 26 orang dijatuhi pidana mati karena melakukan pembunuhan berencana dan 1 orang dijatuhi pidana mati karena melakukan pembunahan berencana dan pemerkosaan.

2

7

3 4

7

3

13

7

0 2 4 6 8

10 12 14

Pekerjaan

Kristen/Katholik

20 orang 43,48 %

Islam 22 orang 47,83 %

Hindu 2 orang 4,35 %

Buddha 1 orang 2,17 %

Tidak Beragama 1 orang 2,17 %

Agama/Kepercayaan

Page 26: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

21

2.2. Sebaran Putusan Mengenai asal pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili Perkara Hukuman Mati, Pengadilan Negeri Tangerang menempati peringkat teratas dengan memeriksa dan mengadili 8 perkara, disusul dengan Pengadilan Negeri Depok dengan jumlah 4 Perkara.

43%

55%

2%

Jenis Perkara

Narkotika Pembunuhan Berencana Pembunuhan Berencana dan Pemerkosaan

PN. TANGERANG 8

3

1

1

2

1

2

2

PN DEPOK 4

1 1

1

3

1

1

1

1

1

1 1

1 1

1 2

Asal Pengadilan Negeri PN. Tangerang

PN. Denpasar

PN. Medan

PN. Jakarta Selatan

PN. Jakarta Pusat

PN. Jakarta Utara

PN. Jakarta Barat

PN. Sekayu

PN. Depok

PN. Lamongan

PN. Lubuk Pakau

PN. Kuala Tungkai

PN. Surabaya

PN. Palembang

PN. Tanjung Balai Karimun

PN. Rangkasbitung

PN. Bale Bandung

PN. Pontianak

PN. Kendari

PN. Amlapura

PN. Sleman

PN. Makale

PN. Palu

PN. Gunungsitoli

Page 27: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

22

2.3. Tahun Putusan Berdasarkan waktu memutus perkara, pada Tahun 2002 adalah tahun dengan putusan pidana mati terbanyak, yakni 7 terpidana mati dan berikutnya yaitu pada Tahun 2009 (6) dan Tahun 2005 (5).

2.4. Putusan berdasarkan Provinsi Berdasarkan letak provinsi, Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dengan 11 perkara yang dihukum mati. Menyusul dengan Provinsi DKI Jakarta sebanyak 6 perkara, Provinsi Bali dengan 5 perkara, Provinsi Sumatra Utara dengan 4 perkara dan dengan jumlah masing-masing 3 perkara yakni Provinsi Banten dan Jawa Timur.

7

2

3

2

3 3

2

6

5

4

3

2

0

1

2

3

4

5

6

7

8

TAHUN PUTUSAN

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Page 28: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

23

2.5. Jenis Tuntutan

JAWA BARAT

11

JAWA TIMUR 3

JAWA TENGAH

1

SUMATARA UTARA

2

SUMATRA SELATAN

4

BALI 5

DKI JAKARTA

6

BANTEN 3

JAMBI 1

RIAU 1

KALIMANTAN BARAT

1

SULAWESI TENGGARA

1

SULAWESI SELATAN

1 SULAWESI TENGAH

1

BERDASARKAN PROVINSI

JAWA BARAT

JAWA TIMUR

JAWA TENGAH

SUMATRA UTARA

SUMATRA SELATAN

BALI

DKI JAKARTA

BANTEN

JAMBI

RIAU

KALIMANTAN BARAT

SULAWESI TENGGARA

2%

73%

2%

4%

17%

2%

Jenis Tuntutan

Penjara

Pidana Mati

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan

pidana mati dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan Seumur Hidup

Seumur Hidup dan Denda Subsidair kurungan

Page 29: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

24

Mayoritas jenis tuntutan yang dijatuhkan oleh Penuntut Umum adalah Pidana Mati, terdapat 34 atau 73% putusan yang langsung dituntut dengan pidana mati, dilanjutkan dengan 17% atau 8 putusan yang dituntut dengan pidana seumur hidup.

2.5.1. Pasal Tuntutan dalam perkara Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan tren tuntutan dalam perkara Narkotika, pasal yang sering digunakan adalah Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 35 Tahun 2009, pada urutan kedua yakni Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 35 Tahun 2009. Terdapat juga JPU yang mengajukan Tuntutan dengan sifat kumulatif atau dengan menuntut 2 Pasal dalam Tuntutan. Terdapat 2 Pasal yang digunakan, yang pertama Pasal 82 ayat (2) huruf a UU 35 tahun 2009, Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9 tahun 1976 dan Pasal 62 UU 9 tahun 1976.

Pasal 82 UU 22 Tahun 1997

(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : (a) mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima,menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidanadengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00(satu milyar rupiah);

Pasal 82 UU 22 Tahun 1997

(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam : (a) ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 23 UU 9 Tahun 1976

(4)Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.

Pasal 114 jo. 132 ayat (1) UU 35 Tahun 2009

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal tersebut.

Page 30: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

25

2.5.2. Pasal Tuntutan dalam perkara Pembunuhan Berencana Pada perkara pembunuan berencana, Pasal yang digunakan tidak variatif layaknya Narkotika, yang mendominasi adalah Pasal 340 KUHP sebagai Pasal Tuntutan yang sering digunakan. Namun terdapat juga pasal tuntutan lain yang juga digunakan, yakni 363 ayat (1) ke-3 KUHP. Sama hal nya dengan Tindak Pidana Narkotika, terdpaat juga Tuntutan yang bersifat kumulatif dengan Pasal-Pasal diantaranya; Pasal 292 KUHP, Pasal 82 UU 23 taun 2002, Pasal 480 KUHP, Pasal 378 KUHP, Pasal363 ayat (1) ke-3 dan Pasal 351 KUHP.

3.2.4. Vonis dan Alur Putusan 3.2.4.1. Vonis Tingkat Pertama

10

3

1

2

1 1 1 1

2

1 1

0

2

4

6

8

10

12

PASAL TUNTUTAN PERTAMA

PASAL TUNTUTAN KEDUA

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU 22/1997 Pasal 82 ayat (3) huruf a UU 22/1997 Pasal 23 ayat (4) jo. Pasal 36 ayat (4) UU 9/1976 Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU 35/2009 Pasal 78 ayat (1) huruf a UU 22/1997 Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU 9/1976 Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 9/1976 Pasal 82 ayat (2) huruf a UU35/2009 Pasal 23 ayat (5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU 9/1976 Pasal 62 UU 9/1976

24

1 1 1 1 1 1

0

5

10

15

20

25

30

PASAL TUNTUTAN PERTAMA PASAL TUNTUTAN KEDUA

Pasal 340 KUHP

Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP

Pasal 292 KUHP

Pasal 82 UU 23/ 2002

Pasal 480 KUHP

Pasal 378 KUHP

Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP

351 KUHP

Pasal 340 Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas

nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,

paling lama dua puluh tahun.

Page 31: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

26

Mayoritas Vonis pada pengadilan tindak pertama langsung menjatuhkan pidana mati, mencapai 79% atau 37 putusan, diikuti dengan vonis Pidana mati dan Denda Subsidair sebanyak 7%, lalu Pidana seumur hidup berjumlah 6%, pidana mati dan denda berjumlah 4%, sisanya merata bagi vonis pidana penjara dan Pidana mati dan Denda dengan subsidair kurangan berjumlah 2%.

2.6. Vonis dan Alur Putusan

2.6.1. Vonis Tingkat Banding

4%

2%

79%

7%

2% 6%

Vonis Tingkat Pertama

penjara

penjara dan denda subsidair kurungan.

Pidana Mati

Pidana Mati dan Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan

Seumur Hidup

2% 2%

2%

77%

7%

2% 2%

6%

Vonis Tingkat Banding

penjara

Penjara dan denda

penjara dan denda subsidair kurungan.

Pidana Mati

Pidana Mati & Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan

Seumur Hidup

Tidak diketahui

Page 32: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

27

Untuk Vonis tingkat banding, tidak banyak perubahan pola berdasarkan vonis pada tingkat pertama mayoritas putusan adalah pidana mati dengan 77% atau 36 putusan. Diikuti secara merata oleh jenis pidana lainnya.

2.6.2. Vonis Tingkat Kasasi

Untuk Vonis tingkat kasasi, dari total 40 terpidana mati yang mengajukan kasasi, hampir seluruhnya dijatuhi pidana mati, dengan mayoritas 75% hanya vonis pidana mati, 4% untuk pidana mati dengan denda. 4% juga untuk Pidana mati dengan Denda dan Subsidair kurungan, dan 4% tidak dapat diterima atau NO.

2.6.3. Vonis Tingkat Peninjauan Kembali (PK)

Untuk Vonis tingkat PK, dari seluruh putusan 51% dijatuhi pidana mati, 39% putusan tidak diketahui apakah mengajukan PK atau tidak dan 2% NO. Menariknya, koreksi terhadap pidana mati terlihat dalam Vonis PK, 2% putusan dikoreksi menjadi pidana penjara, dan 2% lainnya dikoreksi menjadi pidana seumur hidup.

75%

4%

2%

15%

4%

Vonis Tingkat Kasasi

Pidana Mati

Pidana Mati & Denda

Pidana Mati dan denda subsidair kurungan

Tidak diketahui

NO

39%

2% 2%

4%

51%

2%

Vonis Tingkat PK Pidana Mati

Penjara

penjara dan denda subsidair kurungan.

Seumur Hidup

Tidak diketahui

NO

Page 33: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

28

2.7. Alur Putusan

Jenis Putusan Jumlah Tuntutan

Putusan PN Putusan PT Putusan MA Putusan PK

Penjara 1 1 - - 2

Penjara, Denda - 1 2 - 1

Seumur Hidup 7 3 1 - 2

Seumur Hidup, Denda

1 - - - -

Mati 38 37 37 35 19

Mati, Denda - 4 4 3 -

NO - - - 3 1

Tidak Diketahui/Tidak

Mengajukan

- - 2 4 20

Dari 47 terpidana mati mati yang terdapat di dalam 42 putusan, terlihat bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan tuntutan paling sering menggunakan Tuntutan Pidana mati dengan angka 38 perkara. Sedangkan pada tingkat Pengadilan Negeri, pidana mati masih mendominasi dengan angka 37 putusan dengan vonis pidana mati. Pada tingkat Banding, tingkat Kasasi sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), pidana mati masih tetap menempati dengan angka secara berurutan 37, 35 dan 19 perkara.

NO Perubahan Alur

Jumlah

Tuntutan Putusan PN Putusan PT Putusan MA Putusan PK

1 Mati Penjara, Denda

Penjara, Denda

Mati Penjara, Denda 2

2 Seumur Hidup

Seumur Hidup

Seumur Hidup Mati Seumur Hidup 1

3 Mati, Denda Mati, Denda

Mati, Denda Mati, Denda Penjara 2

4 Mati Mati Mati Mati Mati 16

5 Mati Mati Mati Tidak Diketahui/Tidak

Mengajukan

Mati 1

6 Mati Mati Tidak Diketahui/Tidak Mengajukan

NO Mati 1

7 Seumur Hidup

Mati Mati Mati Mati 1

8 Mati Mati Mati Mati - 7

9 Mati Mati Mati NO - 2

10 Mati Mati, Denda

Mati, Denda Mati, Denda - 1

11 Mati Mati, Denda

Mati, Denda Mati - 1

12 Mati Mati, Denda

Mati, Denda Mati, Denda - 2

13 Seumur Mati Mati Mati - 3

Page 34: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

29

Hidup

14 Penjara, Denda

Mati Mati Mati - 1

15 Penjara Penjara Mati Mati - 1

16 Mati Seumur Hidup

Mati - - 1

17 Mati Mati - - - 3

18 Mati Mati Mati Tidak Diketahui/Tidak

Mengajukan

NO 1

Terdapat beberapa model perubahan alur putusan dari 47 terpidana mati. Alur dengan bentuk dari tuntutan sampai dengan putusan Peninjauan Kembali adalah Pidana Mati, merupakan bentuk alur yang paling sering tampil dari total keseluruhan putusan yang ada dengan angka 16 perkara. Menyusul dengan alur dari tuntutan sampai dengan Tingkat kasasi saja berjumlah 7 perkara. Hal menarik dari perubahan alur ini adalah terdapat 3 jenis alur yang putusan pada tingkat Kasasinya mengalami koreksi saat masuk ke tingkat Peninjauan Kembali. Alur yang pertama adalah terdapat 2 putusan yang bentuk alurnya adalah Pidana Mati dari tuntutan Jaksa, Penjara dan Denda pada tingkat pertama, Penjara dan Denda pada tingkat banding, Pidana Mati pada tingkat Kasasi dan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) adalah Penjara dan Denda. Dalam hal ini dapat terlihat, bahwa perubahan vonis yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi masih belum baik, dikarenakan pada tingkat PK hakim menilai harus dilakukan koreksi pada putusan tersebut. Terdapat juga alur yang hanya pada putusan Kasasi saja menjatuhkan hukuman mati dan pada tingkat PK dilakukan koreksi. Dan terdapat juga alur putusan yang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi adalah hukuman mati namun pada tingkat PK dilakukan koreksi pada bagian vonis. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakhati-hatian dari para hakim dalam menjatuhkan vonis, padahal vonis yang akan dijatuhkan adalah hukuman mati kepada si terpidana mati.

2.8. Penahanan

2.8.1. Rentang Penahanan Penyidikan

Page 35: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

30

Menjadi catatan penting adalah mayoritas putusan tidak memberikan informasi terkait masa penahanan selama penyidikan. Dari data yang terkumpul 47% putusan tidak diketahui masa penahanan di penyidikan, 23% ditahan selama 30-90 hari, 21% ditahan lebih dari 90 hari, sisanya yang ditahan dibawah 30 hari hanya 9%.

2.8.2. Rentang Penahanan Penuntutan

Angka terkait putusan yang tidak memberikan informasi tidak berubah yaitu 47%. Dari data yang memberikan informasi, rentang waktu penahanan Penuntutan yang ditahan diantara 30-90 hari berjumlah 17%, lebih dari 90 hari hanya 2% dan sisanya berada dipersentasi 34% untuk penahanan kurang dari 30 hari.

2.8.3. Rentang Penahanan PN, PT, MA

23%

9%

21%

47%

Rentang Penahanan Penyidikan

30-90 Hari

Kurang Dari 30 Hari

Lebih Dari 90 Hari

Tidak Diketahui

17%

34%

2%

47%

Rentang Penahanan Penuntutan

30-90 Hari

Kurang Dari 30 Hari

Lebih Dari 90 Hari

Tidak Diketahui

Page 36: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

31

Di PN, dari data yang diketahui penahanan hanya terbagi dalam 2 masa, yaitu dalam rentang 30-90 hari mencapai 25% dan lebih dari 90 hari mencapai 28%.

Di pengadilan tinggi, putusan yang tidak memberikan informasi penahanan meningkat menjadi 51%. Masa penahanan terbagi menjadi tiga bagian, 24% menahanan dalam rentang waktu 30-90 hari, 21% menahan untuk rentang lebih dari 90 hari, sedangkan yang menahan dibawah 30 hari hanya tercatat 4%.

25%

28%

47%

Rentang Penahanan PN

30-90 Hari

Lebih Dari 90 Hari

Tidak Diketahui

24%

4%

21%

51%

Rentang Penahanan PT

30-90 Hari

Kurang Dari 30 Hari

Lebih Dari 90 Hari

Tidak Diketahui

Page 37: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

32

Untuk penahanan ditingkatan MA, perubahan pola penahanan cukup terlihat. 58% tidak diketahui lama penahanannya, hanya 2% yang ditahan dibawah 30 hari, 6% untuk penahanan dengan rentang 30-90 hari, dan 34% untuk penahanan dengan rentang waktu lebih dari 90 hari.

6%

2%

34%

58%

Rentang Penahanan MA

30-90 Hari

Kurang Dari 30 Hari

Lebih Dari 90 Hari

Tidak Diketahui

Page 38: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

33

BAB IV

Potret Khusus Putusan Pidana Mati

1. Penyiksaan/Intimidasi

Penyiksaan atau intimidasi menjadi salah satu alat paling efektif dalam mendapat keterangan, meminta pengakuan atau bahkan memaksa seseorang untuk menyatakan apa yang bisa jadi tidak dia lakukan. Dalam konteks kasus-kasus yang dijatuhi pidana mati, harusnya sudah terbebas dengan prasangka adanya penyiksaan atau intimidasi. ICJR menemui setidaknya dari 47 Terpidana mati, ada 11 terpidana mati yang terindikasi terjadi penyiksaan maupun intimidasi dari aparat penegak hukum. Dari 11 terpidana mati tersebut, hanya 1 putusan yang kemudian dipertimbangkan atau setidak-tidaknya ditelusuri oleh Hakim, yaitu dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie. Klaim penyiksaan dan Intimidasi tidak hanya terjadi pada pelaku saja, nemun juga terjadi pada saksi dalam ruang sidang dengan tujuan untuk mempermudah pembuktian. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan terpidana mati Zulfikar Ali, terpidana mati dan beberapa saksi bahkan memberikan pengakuan telah diintimidasi dan disiksa oleh penyidik, hasilnya, meraka bersama-sama mencabut keterangan pada saat di BAP. Dalam bukti rekaman persidangan yang dilampirkan kuasa hukum Zulfikar Ali pada memori kasasi, terungkap bahwa Terpidana mati, saksi Ginong Pratidina dan saksi Gurdip Singh mencabut BAP dikarenakan adanya “tekanan fisik dan mental pada tahap penyidikan”. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman, adanya intimidasi justru terlihat dari memori kasasi yang diajukan jaksa sendiri, dalam memori kasasinya jaksa menyebutkan :

“setelah diinterogasi secara intensif mengakui dengan sejujurnya pembunuhan hanya dilakukan oleh para Terdakwa berdua....”

dalam persidangan tersebut, untuk membuktikan tidak terjadi penyiksaan, Jaksa kemudian mengajukan saksi verbal lisan, atau saksi penyidik yang kemudian menyatakan tidak terjadi penyiksaan. Dalam perkara tersebut, masing-masing terdakwa mengaku diintimidasi. Intimidasi juga terlihat terjadi karena dalam persidangan, Jaksa menyimpulkan tidak adanya bantahan pada saat saksi verbal lisan diajukan, adalah bentuk ketidakmampuan terdakwa untuk membuktikan adanya intimidasi.

“Bahwa atas keterangan para saksi perbalisan tersebut para Terdakwa hanya terdiam dan tidak menyampaikan keberatannya sebagaimana sebelum saksi perbalisan diperiksa para Terdakwa telah menyangkal dan mengakui diintimidasi.”

Dalam perkara PK dengan No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor, terdapat saksi yang melihat langsung terjadinya penyiksaan, penyiksaan tersebut menurut saksi bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dan keterangan dari Pemohon PK.

“Surat pernyataan dan kesaksian DENNIS ATTAH, (sedang menjalani pidana di LP cipinang ) yang mengatakan bahwa ketika pemohon PK diinterogasi di Polda Metro Jaya di kantor Bapak Hendra Jhoni, polisi melakukan pemukulan selama berjam-jam kepada pemohon PK

Page 39: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

34

bahkan pemohon PK tidak diperkenankan duduk dan tetap berdiri dalam keadaan tangan diborgol serta mata tertutup dan kaki pemohon PK di jepit dan terlihat pemohon PK sangat kelelahan. Dan ketika setiap pertanyaan dijawab oleh pemohon PK tidak tau, lalu dipukul sampai mengeluarkan darah dan akhirnya polisi mengarahkan pemeriksaan kepada pengakuan pemohon PK yang isinya sudah diatur oleh polisi;”

Dalam pertimbangan putusan PK Hillary K. Chimezie dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2009,:

Bahwa selalin itu ternyata dalam proses penyidikan terhadap saksi - saksi pendukung yaitu IZUCHUKWU OKOLOAJA dan MICHAEL TITUS IGWEH yang menerangkan bahwa telah di lakukan kekerasan dari petugas penyidik, sehingga keterangannya tidak obyektif dan penuh rekayasa dari petugas dan kenyataannya terhadap saksi mahkota atau saksi yang mempunyai nilai pembuktiian yang akurat (saksi kunci ) atas nama MARLENA dan IZUCHUKWU OKOLOAJA alias KHOLISAN NKOMO dinyatakan telah meninggal dunia pada saat di tahanan Polisi; Hal - hal tersebut di atas perlu dijadikan pertimbangan oleh Majelis Peninjauan Kembali dalam memutus perkara a quo meskipun secara formil telah di atas sumpah keterangan- keterangan dari saksi - saksi yang meninggal dunia tersebu t ;

Dalam kasus yang sama, salah satu Hakim Agung yaitu Timur P. Manurung bahkan memasukkan alasan adanya intimidasi dan penyiksaan pada saksi yang mengakibatkan saksi meninggal dunia

“... Bahwa kesaksian saksi kunci ke-2 MARLENA/almarhumah juga di persidangan, ternyata juga hanya dibacakan, namun walaupun dibacakan, ternyata juga tidak mengaitkan pada Pemohon Peninjauan Kembali/ Terpidana dalam kegiatannya , dan kedua saksi aquo yaitu saksi MARLENA dan saksi IZUCHUKWU OKOLOAJA, telah meninggal oleh tindak kekerasan ditahanan Penyidik Polri dan karenanya juga kesaksian in casu tidak dapat di terima , apalagi dalam kesaksiannya saksi menyatakan bahwa selama di tahanan Penyidik , saksi telah menerima intimidasi dan kekerasan pisik ;...”

Selain penyiksaan dan intimidasi yang ditujukan pada terpidana mati maupun saksi, tekanan ataupun intimidasi juga didapat oleh pengadilan sendiri, bahkan juga terjadi pada kuasa hukum, sehingga jalannya sidang berada dibawah tekanan pikologis yang kuat. Dalam Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati bernama Yohanes Martinus Alias Dado Alias Martin Bin Tedi Gunawan, suasana sidang yang digambarkan dalam memori kasasi menunjukkan adanya intimidasi kepada hakim dan kuasa hukum terpidana mati.

“Bahwa Pengadilan Negeri Depok/Majelis Hakim tidak lagi bersikap objektif di dalam menilai perkara ini karena berada di bawah tekanan atau pressure dari pihak keluarga korban yang setiap persidangan selalu membawa massa lebih dari 9 orang yang selalu bersikap anarkis dan melakukan pengerusakan terhadap mobil yang dipakai Penasehat Hukum Terdakwa (Berita Harian Surat Kabar Nasional dan media TV tertanggal 5 September 2008)”

Dalam perkara lainnya, yaitu putusan MA No. No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati bernama Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, mengklaim bahwa terjadi tekanan publik yang begitu besar, initmidasi berupa ancaman terjadi terhadap hakim untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana mati.

“Bahwa Pengadilan Negeri telah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa yang maksimal hanya karena desakan dan permintaan serta tekanan dari keluarga dan simpatisan korban

Page 40: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

35

yang secara sporadis datang setiap hari ke Pengadilan Negeri Kendari berunjuk rasa dan mengancam selama proses persidangan atas diri Terdakwa berlangsung dan meminta Terdakwa dihukum mati, bukan atas fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.”

Klaim penyiksaan juga bahkan sudah diajukan dalam sidang di PN, namun tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, klaim tersebut terdapat contohnya dalam Putusan No. 503 K/Pid/2002, dengan terpidana mati Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin. Kuasa hukum terpidana mati menyatakan bahwa :

“Bahkan pada saat pemeriksaan Terdakwa, Terdakwa menyangkal BAP yang dibuat oleh Kepolisian itu adalah hasil karangan Terdakwa saja sebab pada saat BAP dibuat pada tanggal 21 Desember 2000 Terdakwa telah dipukuli dan diintimidasi oleh penyidik untuk menghindari cacat phisik sehingga Terdakwa mengarang cerita; Bahwa Penasehat Hukum Terdakwa memperlihatkan adanya pukulan bagian badan Terdakwa yang membekas...”

2. Akses terhadap Bantuan Hukum/Advokat

Dalam standar hak asasi manusia salah satu unsur penting dalam sistem peradilan pidana adalah tersedianya akses terhadap bantuan hukum atau advokat secara efektif. Dari 47 terpidana mati terdapat 11 putusan dimana para terdakwa (saat ini terpidana Mati) tidak memiliki advokat, dan umumnya ketiadaan advokat justru berada ditingkatan penyidikan dan penuntutan, yang merupakan tahap paling penting dalam mempersiapkan pembelaan. Dari 47 putusan, ada 11 putusan tidak diketahui apakah terpidana mati memiliki advokat atau bantuan hukum. ICJR mengkategorikan 11 putusan tersebut diragukan karena dalam putusan terjadi indikasi ketidakhadiran bantuan hukum, misalnya terjadi persoalan formal dan prosedur pengajuan upaya hukum yang lazim terjadi akibat ketidaktahuan terpidana mati serta tidak adanya bantuan hukum. Catatan yang sangat penting adalah baik bagi terpidana mati yang teridentifikasi tidak mendapatkan bantuan hukum atau bagi mereka yang tidak diketahui apakah mendapatkan bantuan hukum atau tidak, Hakim tidak pernah melakukan penelusuran atau setidak tidaknya menjadikan keadaan ini sebagai dasar pertimbangan pembelaan di dalam putusan. Dalam kasus Zainal Abidin dengan putusan No. 503 K/Pid/2002, penasehat hukum baru hadir mendampingi dirinya beberapa hari setelah pemerikaan/BAP dilakukan.

“Pada halaman depan alinea pertama tertulis pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2000 jam 12.00 Wib. Dst….dan pada bagian akhir halaman 6 BAP dibuat catatan bahwa Terdakwa pada saat pemeriksaan didampingi oleh Penasehat Hukum, padahal Penasehat Hukum baru mendampingi Terdakwa Mgs. Zainal Abidin bin Mgs. Mahmud Badaruddin pada tanggal 23 Desember 2000 surat kuasa khusus.”

Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun No. 178/PID.B/2009/PN.TBK, dengan terpidana mati Raja Syahrial Bin Raja Muzahar Als. Herman Als. Wak Ancap, terpidana mati baru didampingi oleh Avokat yang ditunjuk oleh Hakim PN Tanjung Balai Karimun pada tanggal 29 September 2009, padahal terpidana mati sudah ditahan oleh penyidik dari mulai tanggal 28 Juni 2009.

Page 41: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

36

“Menimbang, bahwa terdakwa di dampingi Penasihat Hukum SURYADI, SH, Advokat/Penasihat Hukum yang ditunjuk oleh Hakim Ketua Majelis berdasarkan Penetapan Nomor : 178/Pen.Pid/BH/2009/PN.TBK tertanggal 29 September 2009”

Penunjukan advokat diruang sidang juga terjadi dalam Putusan No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, dalam putusan tersebut, Penasehat Hukum keduanya baru ditunjuk oleh hakim PN pada tanggal 29 Januari 2013, sedangkan keduanya telah ditahan pada 14 September 2012. Selain dari penunjukkan langsung yang dilakukan hakim, tidak adanya Advokat atau bantuan hukum juga terlihat dari surat permohonan PK yang diajukan sendiri oleh pemohon. Isi keberatan dalam permohonan PK juga menunjukkan bahwa pemohon PK membuat sendiri permohonannya. Hal ini terlihat dalam Dalam Putusan PK No. 53 PK/Pid/2002, dengan terpidana mati Turmudi bin Kasturi dan Putusan PK No. 22 PK/Pid/2003 dengan terpidana mati Jurit bin Abdullah. Dalam Putusan PK Turmudi bin Kasturi misalnya, mengajukan permohonan PK sendiri ke PN Kuala Tungkal pada 6 Maret 2002, dengan bunyi keberatan sebagai berikut :

1. Saya menyadari dan menyesali sepenuhnya perbuatan yang saya lakukan dan saya berjanji sepenuh hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar hukum. Tetapi dalam hal ini, saya tidak mempunyai rencana sama sekali untuk melakukan pembunuhan seperti dituduhkan kepada saya;

2. Saya masih ingin hidup untuk bertaubat dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan saya akan memperbaiki diri seraya mohon ampun kehadirannya;

3. Saya masih memiliki tenaga dan kemampuan yang dapat saya sumbangkan pada Bangsa dan negara semampu saya;

4. Saya mohon dengan kerendahan hati agar hukuman saya mendapatkan keringanan; Selain dari ketersediaan bantuan hukum dan advokat, kualitas bantuan hukum juga menjadi isu yang perlu diperhatikan. Dalam putusan PN Gunung Sitoli No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, Penasihat Hukum keduanya tidak melakukan pembelaan, bahkan dalam pendapat yang berbeda, Penasihat Hukum kedua terpidana mati yang juga sama yaitu Laka Dodo Laila, SH, MH dan Cosmas Dohu Amazihono, SH, MH., meminta kliennya untuk dijatuhi hukuman mati.

“...Menimbang, bahwa dalam pembelaan pribadinya terdakwa menyatakan mengakui kesalahannya dan memohon kepada Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang seringan-ringannya sedagkan Penasihat Hukum terdakwa mempunyai pendapat berbeda yang memohon kepada Majelis hakim agar terdakwa dijatuhi hukuman mati karena apa yang telah dilakukan terdakwa bersama dengan pelaku lainnya sangat kejam dan sadis...”

3. Penggunaan “Saksi Mahkota”: Pelanggaran Prinsip Non Self Incrimination Saksi mahkota merupakan alat bukti paling efektif yang dimiliki oleh Jaksa karena dalam beberapa kasus, Jaksa bahkan tidak memiliki alat bukti maupun saksi lainnya. Dalam kasus-kasus hukuman mati, Pengadilan harusnya diberikan pilihan bukti lebih banyak untuk memberikan keyakinan lebih besar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati, ketimbang hanya untuk memenuhi formalitas pembuktian semata. ICJR menemukan angka yang cukup tinggi terkait keberadaan saksi mahkota,

Page 42: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

37

dari 42 putusan yang diteliti, melibatkan 47 terpidana mati, 17 putusan diantaranya memuat pertimbangan saksi mahkota.

Apabila dilihat dari pola di atas, hanya 1 kasus dari 17 kasus yang melibatkan saksi mahkota dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, yaitu dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie, dimana saksi mahkota nya meninggal dunia, disebut karena disiksa oleh Polisi. Untuk kasus lain, Hakim sama sekali tidak memberikan pertimbangan padahal sudah dimohonkan oleh terpidana mati. Dalam Putusan MA No. 2253 K/PID/2005 dengan Terpidana mati Zulfikar Ali, Jaksa mengajukan Gurdip Singh sebagai saksi mahkota, Gurdiph Singh dipidana dalam kasus yang sama. Dalam memori kasasi Zulfikar Ali, disebutkan bahwa Gurdiph Singh bersedia melakukan kesaksian atas terpidana mati Zulfikar Ali dengan iming-iming dari penyidik untuk mendapatkan hukuman ringan:

“...saksi Gurdiph Singh sebagai saksi kunci dalam perkara ini justru mencabut kesaksiannya dan menyatakan bahwa ia terpaksa menyebut nama Pemohon Kasasi sebagai pemilik Heroin yang ada pada saksi karena saksi dijanjikan oleh penyidik akan mendapat hukuman ringan namun justru kesaksiannya diabaikan...”

ICJR melihat bahwa pola penggunaan saksi mahkota sebagai modus untuk “saling memberatkan atau saling menjebak” tidak hanya ditemukan di kasus Zulfikar Ali saja, dalam putusan PK MA No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor, kuasa hukum Pemohon PK menyerahkan surat pernyataan dari salah seorang saksi mahkota dalam kasus Humprey Ejike Alias Doctor :

“Surat pernyataan dari saksi UGOCHUKINU IBIAM OKORO,tanggal 6 Juni 2004, (sedang menjalani pidana di LP Cipinang ), yang mengatakan, bahwa KELLY sakit hati kepada pemohon PK karena curiga kalau pemohon PK yang menjebak KELLY sampai ditengkap polisi bahkan Pemohon PK dicurigai sebagai orang yang memberi informasi kepada polisi tentang keterlibatan KELLY dalam masalah narkotika,sehingga dia menjebak pemohon PK dengan cara menyuruh Ifany menaruh / menyimpan narkotika di restaurant recon dan melapor kepolisi agar pemohon PK ditangkap polisi”

Tidak Dipertimbangkan Dipertimbangkan

Ada 17 1

Tidak Ada 29

0

5

10

15

20

25

30

35

Saksi Mahkota VS Pertimbangan Hakim

Page 43: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

38

Dalam contoh penggunaan saksi mahkota lainnya, terdapat tiga orang terdakwa yang masing-masing berkas perkaranya dipisah, menjadi saksi mahkota bergantian di sidang satu sama lainnya, hal ini terdapat dalam Putusan MA No. 554 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Mulyadi Dwi Asmono Als Acong Bin Fadilah, Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Yohanes Martinus Alias Dado Alias Martin Bin Tedi Gunawan dan Putusan MA no. No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Maulana Reza Alias Item Bin Nazarudin. Ketiganya didakwa dengan tindak pidana secara bersama-sama dan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam putusan MA No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, ditemui klaim dari terpidana mati yang menyatakan bahwa Hakim PN menjatuhkan pidana mati dengan pertimbangan hanya dari satu saksi, yaitu KASRI Alias Heri Bin Lasri, yang juga merupakan saksi mahkota, keduanya disidangkan secara terpisah meskipun melakukan tindak pidana dalam perkara yang sama.

4. Pengakuan Terdakwa

Pengakuan terdakwa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan isu fair trial lainnya, mulai dari isu penyiksaan, penggunaan saksi mahkota sampai ketimpangan kesempatan dalam pembuktian. ICJR menemukan beberapa pengakuan terdakwa yang kemudian ditarik oleh para terdakwa dengan alasan terdapat penyiksaan atau intimidasi. Dalam Putusan No. 503 K/Pid/2002, dengan terpidana mati Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin, dirinya mengaku mengarang cerita karena disiksa oleh penyidik. Dalam Putusan No. 18.PK/Pid/2007 dengan Pemohon PK bernama Humprey Ejike Alias Doctor juga mengaku disiksa dan mengaku jika seluruh keterangannya telah diarahkan oleh penyidik. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman juga mengaku terintimidasi dan memberikan pengakuan atas dasar intimidasi tersebut. Dalam beberapa putusan, hakim bahkan mendasari putusannya pada pengakuan terpidana mati sebagai alasan utama dijatuhinya pidana mati. Dalam putusan PN Gunung Sitoli No. 07/Pid.B/2013/PN-GS, dengan terpidana mati Rusula Hia dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua,81 Hakim PN Gunung Sitoli menyatakan bahwa pengakuan terpidana mati dan permohonan Penasehat Hukum Terpidana mati agar terpidana mati dihukum mati menjadi alasan keduanya dihukum mati, padahal sebelumnya jaksa menuntut keduanya dengan hukuman seumur hidup.

5. Penggunaan Saksi Penyidik (Verbalisan): Melanggengkan Kekerasan dalam Praktek Penyidikan Pidana

Saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah dibuat di bawah tekanan atau paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab bantahan terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan ini. Namun anehnya dalam beberapa kasus Jaksa malah justru mempersiapkan saksi verbalisan sedari awal.

81

Lihat pengakuan dan permohonan penasehat hukum terdakwa agar terdakwa dihukum mati.

Page 44: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

39

Dalam 47 terpidana mati terdapat 6 putusan yang melibatkan adanya saksi verbalisan. Dalam putusan MA No. 254 K/PID/2013 dengan terpidana mati Rahmat Awafi Alias Awif Als Drego dan Krisbayudi Als Kris Bin Suherman, saksi verbalisan dijadikan dasar untuk membuktikan tidak terjadi penyiksaan, sebelumnya kedua terdakwa yang salah satunya adalah terpidana mati mengaku disiksa dan diintimidasi. Penggunaan saksi verbalisan yang sudah pasti tidak akan melakukan pengakuan kemudian dijadikan dasar oleh Jaksa dan Hakim Agung dalam kasus yang sama sebagai dasar bahwa tidak terjadi tindakan penyiksaan dan intimidasi, sehingga terpidana mati dijatuhi hukuman mati. Dalam kasus yang menjerat Zainal Abidin Bin Mahmud Badaruddin dengan putusan MA No. 503 K/Pid/2002, kehadiran saksi verbalisan bahkan sudah ada dalam dakwaan jaksa :

Pada hari Sabtu tanggal 16 Desember 2000 orang bernama Sulaiman dan Eko memesan ganja masing-masing seberat 2 Kilogram kepada Terdakwa Mgs. Zainal Abidin dan memberi panjar uang sebesar Rp.200.000,- dan Sulaiman belum memberi panjar, selain itu orang bernama Toyib juga mengambil ganja seberat 1 Kilogram kepada Terdakwa Mgs. Zainal Abidin dengan memberi panjar uang sebesar Rp.500.000,-. Ternyata perbuatan Terdakwa Mgs. Zainal Abidin tersebut diketahui oleh saksi M. Darwis dan saksi Tasyono selaku anggota Polri dari Poltabes Palembang.

6. Terpidana Mati: Anak dan Remaja

Dalam pengamatan ICJR pada 47 Terpidana mati, setidaknya terdapat tiga putusan dimana terpidana mati masih berusia remaja dan berada dibatas kategori anak yang berusia maksimal 18 tahun, ketiga terpidana mati berusia 19 tahun pada saat melakukan tindak pidana. Dalam Putusan MA No. 1835 K/Pid/2010 dengan terpidana mati Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus, dirinya dihukum mati karena bersalah melakukan pembunuhan berencana. Pada tingkat kasasi, permohonannya ditolak oleh MA dan dirinya tetap dijatuhi hukuman mati, namun dalam putusan tersebut terdapat dissenting opinion dari Hakim Agung Surya Jaya, yang pada intinya menyebutkan bahwa :

Terdakwa yang berumur 19 tahun merupakan suatu masa peralihan/transisi dari suasana psikologis anak memasuki fase remaja . Seorang yang berada pada masa transisi seperti ini berada pada kondisi emosional yang fluktuatif atau bersifat labil. Perbuatan orang yang berada pada kelompok ini cenderung dipengaruhi oleh dorongan perasaan/emosiona l yang sifatnya spontanitas , dan bukan didasarkan pada kesadaran atau suatu keinsyafan atas suatu akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya

41

6

Saksi verbalisan

Tidak Ada Ada/Saksi Verbalisan

Page 45: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

40

Dalam putusan lainnya di tingkatan MA, Scott Anthony Rush terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011 memiliki nasib yang lebih baik. Hakim Agung dalam putusan Scott Anthony Rush ternyata memiliki pandangan berbeda dengan Hakim dalam perkara Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus. Scott Anthony Rush kemudian dijatuhi pidana penjara seumur hidup, dalam putusannya, Hakim Agung menyatakan bahwa :

“...namun penjatuhan pidana mati terhadap Pemohon Peninjauan Kembali /Terpidana tersebut yang masih berusia muda ketika tertangkap yaitu 19 tahun dan kini sudah berusia 26 tahun dengan perannya sebagai orang yang digunakan sebagai media oleh sindikat kejahatan Narkotika yang bersifat transnasional dengan iming-iming berwisata ke Bali, dipandang kurang atau tidak memenuhi rasa keadilan sehingga tentang penjatuhan pidana terhadap Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana dapat dipertimbangkan aspek perbuatan dan perannya maupun pelaku/daader yang bersangkutan...” “Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana terbilang masih muda usianya yaitu 19 tahun secara yuridis dapat menjadi keadaan-keadaan yang meringankan sebagaimana di tentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP”

Selain dua kasus diatas, terdapat juga Putusan PN Gunung Sitoli No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua. Dalam pertimbangannya, hakim sama sekali tidak mempertimbangkan usia Yusman yang masih berusia 19 tahun, bahkan hakim memutus Yusman dengan pidana mati, lebih tinggi dari tuntutan jaksa yaitu semur hidup. Saat ini berkembang fakta baru bahwa Yusman masih berusia 16 tahun pada saat memulai proses pidana.82

7. Ketimpangan Pembuktian

Baik Jaksa dan terdakwa pada dasarnya memiliki kesempatan pembuktian yang sama di ruang sidang. Hakim dalam KUHAP berposisi sebagai pengadil, dengan kata lain bahwa kedua belah pihak harus diberikan kesempatan baik penuntutan dan pembelaan yang sama. Dalam kasus-kasus yang dapat dijatuhi pidana mati, seharusnya Hakim memiliki peran yang lebih sentral, dalam posisi ini Hakim harus memberikan semua kemungkinan yang bisa dilakukan untuk membuktikan seseorang tidak bersalah, atau setidak-tidaknya tidak dijatuhi hukuman mati. Berdasarkan hasil pengamatan ICJR, ketimpangan pembuktian terjadi di beberapa kasus, putusan MA No. No. 2473 K/Pid/2007 dengan terpidana mati bernama Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim, dalam memori Kasasinya disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Terpidana mati untuk mengajukan pembelaan secara penuh dan maksimal, sedangkan ancaman hukuman terhadap Terpidana mati sangat berat. Syekh Abdul Rahim Alias Daeng Rahim hanya diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan secara lisan pada saat itu juga sesaat setelah surat tuntutan dibacakan dan atau diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dirinya juga dipersulit untuk mengajukan dan atau menghadirkan saksi a de charge.

8. Pelaku Utama Yang (Tak Pernah) Dijerat

Hukuman mati merupakan pidana paling berat di Indonesia, untuk itu pidana ini seharusnya dijatuhkan pada mereka yang terbukti bersalah dan perannya paling besar dalam suatu tindak pidana. Untuk kasus-kasus yang terorganisi maupun dilakukan secara bersama-sama, biasanya jaksa

82

Lihat Siaran Pers Kontras http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=2020

Page 46: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

41

menidentifikasi pelaku utama dalam suatu kejahatan. Namun dalam praktiknya, hukuman mati tetap dijatuhkan pada terpidana mati yang perannya sangat minim, bahkan tidak ikut dalam perencanaan kejahatan tersebut. Menariknya, banyak pelaku utama yang justru masih DPO dan belum tertangkap. Dari 47 putusan terdapat 13 putusan yang menyatakan tersangka lain masih DPO, baik sebagai pelaku utama atau masih belum diketahui perannya.

Dalam pengamatan ICJR, terdapat beberapa putusan yang terang-terang memposisikan terpidana mati bukan sebagai pelaku utama, sering kali hal ini diabaikan oleh Hakim dalam persidangan. Hasilnya, dari 13 klaim mengenai masih adanya DPO atau setidak-tidaknya belum terungkapnya pelaku utama, Hakim tidak sekalipun melakukan pertimbangan terkait kondisi tersebut. Dalam putusan Scott Anthony Rush, terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011, baru pada tingkatan MA lah perannya yang hanya sebagai kurir dipertimbangkan oleh majelis Hakim, sebelumnya dirinya dijatuhi pidana mati oleh hakim di tingkat pertama maupun banding. Dalam Putusan PN Gunung Sitoli No. 08/Pid.B/2013/PN-GS dengan terpidana mati bernama Yusman TelaumBanua, Hakim PN bahkan mempertimbangkan posisi terpidana mati yang hanya melakukan perbantuan untuk membuang mayat, namun oleh Hakim PN dirinya dijatuhi pidana mati meskipun jaksa telah menuntut dengan pidana seumur hidup. Sedangkan pelaku utama masih DPO hingga hari ini. Kasus dimana perencana utama masih DPO juga terjadi dalam Putusan PK No. 29 PK/PID/2009 dengan terpidana mati Ronald Sagala dan Nasib Purba Alias Boy AlIas Purba, Paulus Simanjuntak yang sampai dengan putusan PK dibacakan belum tertangkap. Dalam kasus tersebut para terpidana mati kemudian menyerahkan diri karena mengaku hanya menerima ajakan dari Paulus Simanjuntak. Dari memori PK keduanya, disebutkan bahwa bahkan setelah melakukan pembunuhan, keduanya diperintahkan lari oleh Paulus Simanjuntak, sedangkan Paulus Simanjuntak tetap tinggal dengan tujuan tidak dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Dalam kasus lain, Markus Pata Sambo Alias Markus dengan putusan No. 79 PK/Pid/2008, dalam memori kasasinya memaparkan tentang ketidakseusain putusan yang menyidangkan 6 terdakwa lainnya secara terpisah. Dalam putusan Putusan Banding No.07/PID/2007/PT Mks atas nama Benediktus Budi Sopian alias Budi, yang juga terdakwa dalam kasus yang sama, menyatakan bahwa :

Tidak Dipertimbangkan

Ada 13

Tidak Ada 34

0

5

10

15

20

25

30

35

40

DPO VS Pertimbangan Hakim

Page 47: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

42

“Menimbang, Bahwa saksi Agustinus Sambo alias Agus dengan tegas menyatakan bahwa sebenarnya "Saksilah Pelaku Tunggal" dalam menghabisi nyawa dari diri kedua korban dan anaknya Israel yang dilatar belakangi karena setiap ia menagih hutang Lk.Andarias (korban), selalu dijawab tidak ada uang, jadi sama sekali bukan berlatar belakang Tanah Tongkonan,hal itu hanya rekayasa polisi semata" ; Putusan Banding No.07/PID/2007/PT Mks Hal. 80 ;”

Dalam putusan tersebut kemudian terungkap bahwa pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, bukanlah pelaku utama. Kasus tersebut menjerat Pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, Agustinus Sambo alias Agus dan Benediktus Budi Sopian alias Budi, bersama-sama melakukan pembunuhan berencana. Namun, dengan bukti yang sudah dilampirkan dengan adanya ketidaksesuaian fakta dalam putusan, Hakim MA menolak untuk mengabulkan PK dari pemohon PK Markus Pata Sambo Alias Markus, dirinya tetap dijatuhi pidana mati. Pada kasus lainnya, yaitu kasus narkotika, terdapat kasus Ranni Andriani alias Melisa Aprillia, dalam Putusan PK No. 11 PK/PID/2002, Pemohon PK Ranni Andriani alias Melisa Aprillia telah menyatakan bahwa dirinya adalah kurir yang disuruh oleh Terdakwa lain dengan nama Ola dan dirinya pun pernah menggunakan Pasal 57 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, yaitu pasal yang memungkinkan dirinya sebagai Justice Collaborator, karena dirinya menungkapkan adanya jaringan pengedar narkotika yang menjerat dirinya sebagai kurir, namun fakta ini tidak dipertimbangkan oleh Hakim pada tingkat PN sampai dengan Kasasi.

9. Inkonsistensi Mahkamah Agung dan Masalah Peninjauan Kembali (PK)

Pasal 183 KUHAP berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” Pemaknaan pada Pasal 183 KUHAP mengikat bagi Hakim PN untuk memperhatikan alat bukti dan pembuktian diruang sidang sehingga menimbulkan keyakinannya. Penjatuhan pidana sepanjang berat ringannya pidana merupakan tugas utama dari Judex facti yaitu pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Judex Facti berwenang untuk memeriksa fakta-fakta yang ada di ruang sidang sehingga dapat menilai berat ringannya putusan yang dapat dijatuhkan pada terdakwa. Disisi lain, apabila kemudian dalam memeriksa fakta-fakta tersebut terjadi kesalahan penerapan hukum, maka tugas pemeriksaan beralih ke tangan Judex Juris. Judex Juris berwenang untuk menilai penerapan hukum dari putusan-putusan hakim di tingkat PN dan Banding. Kasasi bertujuan untuk mengoreksi terhadap kesalahan putusan dan pengadilan bawah, menciptakan dan membentuk hukum baru serta pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum.83 Pandangan bahwa berat ringannya putusan merupakan domain dari Judex Facti digambarkan dalam Putusan MA No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Hanky Gunawan Alias Hanky, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MA yaitu M. Imron Anwari, Achmad Yamanie dan M. Hakim Nyak Pha, memberikan pertimbangan bahwa :

83

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, 2008. hlm 539 – 542.

Page 48: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

43

“...Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman adalah menjadi wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris (tidak tunduk pada kasasi)...”

Dalam putusan tersebut, akhirnya Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan Pemohon PK dan menjatuhkan pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 4 bulan kurungan. Pemohon PK sebelumnya dipidana 15 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsidair 4 bulan kurungan di tingkat PN, lalu 18 tahun penjara dan denda Rp. 600 juta subsidair 6 bulan kurungan di tingkat Banding, dan di MA dijatuhi pidana mati. Hakim pada tingkat Peninjauan Kembali menilai tidak seharusnya Judex Juris dalam hal ini Hakim tingkat Kasasi atau MA menjatuhkan pidana yang lebih berat. Namun putusan MA yang menyatakan bahwa berat ringannya putusan bukan merupakan domain MA tidak berlaku dalam putusan MA lainnya. Dalam putusan No. 15 PK/Pid/2004 dengan pemohon PK bernama Raheem Agbaje Salami, MA pada tingkat Kasasi menjatuhkan pidana Mati, setelah sebelumnya di tingkat PN dan Banding Raheem Agbaje Salami dijatuhi pidana Seumur Hidup dan Pidana 20 tahun penjara. Dalam permohonan PK nya, kuasa hukum Raheem Agbaje Salami menyatakan bahwa :

“Bahwa di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Nopember 1999 No: 1195/Pid/1999 tersebut Mahkamah Agung TELAH MELAMPAUI BATAS KEWENANGANNYA DAN TIDAK MENGURAIKAN SECARA TEGAS MENGAPA Mahkamah Agung merubah pidana penjara dari 20 tahun yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada tanggal 12 Juli 1999 No:160/Pid/1999/PT.Sby, dengan PIDANA MATI, padahal perubahan pidana tersebut bukanlah menjadi kewenangan Hakim Agung tingkat Kasasi dengan demikian Hakim Agung dalam pemeriksaan pada tingkat Kasasi dalam mengambil putusan telah bertentangan dengan pasal 30 Undang-Undang No 14 tahun I985 tentang Mahkamah Agung”

Dalam pertimbangannya, Hakim MA yang memeriksa PK Raheem Agbaje Salami menyatakan bahwa:

“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a, b dan c KUHAP...”

Perbedaan pandangan ini juga terjadi dalam beberapa putusan lainnya, Dalam Putusan MA No. 1835 K/Pid/2010 dengan terpidana mati Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus dan Putusan terhadap Scott Anthony Rush terpidana mati dan pemohon PK pada putusan No. 28 PK/Pid.Sus/2011, MA terkesan memberikan pertimbangan berbeda dalam hal usia dari terpidana mati. Keduanya dijatuhi pidana mati sampai dengan tingkat MA, bedanya adalah dalam perkara Scott Anthony Rush, pertimbangan usianya yang masih 19 tahun dijatdikan salah satu pertimbangan untuk meringankan pidananya menjadi seumur hidup, sedangkan dalam putusan Herri Darmawan Alias Sidong Bin Firdaus, usia 19 tahun tidak menjadi pertimbangan MA untuk meringankan putusan dari pidana mati, meskipun dalam putusan tersebut telah terjadi dissenting opinion oleh Hakim Agung Surya Jaya. Lebih jauh pandangan MA tentang hukuman mati menjadi hal yang menarik. Dalam beberapa putusan, MA menggunakan alasan konstitusional menjadi dasar MA untuk menganulir hukuman mati terhadap seorang terdakwa atau terpidana mati. Namun inkonsistensi terhadap pemikiran ini terlihat ketika ada beberapa kasus lain yang justru menekankan bahwa hukuman mati masih

Page 49: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

44

konstitusional di Indonesia. Dalam putusan Hanky Gunawan Alias Hanky, Hakim MA mempertimbangkan :

Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 : “everyone has the right to life, liberty and security of person”. Bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.

Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989 tentang HAM yang berbunyi : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun”.

Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun, tidak terkecuali oleh putusan Hakim/Putusan Pengadilan.

Bahwa dengan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata oleh Majelis Hakim dalam tingkat Kasasi dalam memutus perkara No. 455 K/Pid.Sus/2007 tanggal 28 November 2007 serta demi memenuhi Rasa Keadilan dan Hak Asasi Manusia, maka beralasan hukum apabila putusan Kasasi tersebut dibatalkan oleh Majelis Peninjauan Kembali ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas menurut Majelis Peninjauan Kembali, terdapat cukup alasan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.455 K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.256/Pid/2007/PT.SBY., tanggal 11 Juli 2007 jo putusan Pengadian Negeri Surabaya No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY., tanggal 17 April 2006 dan Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara tersebut ;

Pertimbangan atas dasar konstitusionalitas hukuman mati dan hak asasi manusia juga pernah digunakan dalam kasus lainnya, dalam putusan PK Hillary K. Chimezie dengan putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2009.84 Dalam salah satu pertimbangannya di halaman 105 Majelis PK memberikan pertimbangan:

“Bahwa terlepas dari semua uraian-uraian tersebut di atas, mengenai amar putusan Judex Juris terhadap Terdakwa (Pemohon Peninjauan Kembali) dengan (berupa) hukuman mati , majelis akan memberikan pertimbangan sebagai berikut : Bahwa hukuman mati sangat bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 (Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya) selain itu bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (1) jo . Pasal 4 Undang- Undang No.39/1999 tentang Hak azasi Manusia 10 Declaration of Human Right article 3: “everyone has the right of life, liberty and security of person, artinya : setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu ; ”

Dalam pertimbangan sebelumnya, Hakim MA mempertimbangkan bahwa dalam perkara tersebut terdapat dugaan penyiksaan serta rekayasa bukti yang dilakukan oleh penyidik. Dalam putusan tersebut kemudian terjadi dissenting opinion oleh Hakim Agung Timur P Manurung, atas dasar ditemukannya bukti rekayasa kasus dan penyiksaan, Hakim Agung Timur P Manurung berpendapat 84

Arsil, Pembatalan Hukuman Mati oleh MA atas Dasar Inkonstitusionalitas Pidana Mati : Anotasi Atas Beberapa Putusan Penting Mahkamah Agung, LeIP, 2012.

Page 50: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

45

bahwa pemohon PK harusnya dibebaskan dari seluruh dakwaan. Namun 2 orang hakim agung lainnya memutuskan untuk mengubah sanksi yang dijatuhkan kepada Terpidana mati dari pidana mati menjadi 12 tahun penjara. Putusan PK ini diputus pada tanggal 6 Oktober 2010, hampir setahun sebelum putusan Hanky Gunawan, dengan ketua majelis yang sama dengan PK Hanky Gunawan, yaitu Imron Anwari dan Timur P Manurung dan Suwardi sebagai anggota-anggota majelis.85 Hal yang perlu diperhatikan adalah MA memberikan pertimbangan Inkonstitusional hukuman mati dalam Putusan PK Hanky Gunawan pada tanggal 16 Agustus 2011, dan sebelumnya dalam putusan PK Hillary K. Chimezie pada tanggal 6 Oktober 2010 berbeda jauh dengan putusan PK MA pada 5 juli 2012 atas pemohon PK Very Idham H alias Ryan dengan putusan PK No. 25 PK/Pid/2012 yang berselang hanya sebelah bulan. Dalam putusan PK Very Idham H alias Ryan, MA menolak menganulir hukuman mati dirinya dengan alasan apapun, majelis hakim putusan tersebut terdiri dari Artidjo Alkotsar sebagai ketua majelis dan Salman Luthan serta T. Gayus Lumbuun sebagai anggota majelisnya. Penolakan Hakim MA terhadap pandangan bahwa hukuman mati adalah inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia tersebar dalam beberapa putusan. Dalam putusan PK No. 38 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Myuran Sukumaran, MA menolak PK darinya dengan alasan bahwa hukuman mati masih dapat diberlakukan di Indonesia. Hal yang menarik adalah karena Hakim dalam perkara Myuran Sukumaran yaitu M. Imron Anwari, Suwardi dan Achmad Yamanie adalah Hakim MA yang sama yang menganulir hukuman mati dengan alasan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia dalam Putusan PK Hanky Gunawan (Hakim Agungnya adalah M. Imron Anwari, Achmad Yamanie dan M. Hakim Nyak Pha) dan putusan PK Hillary K. Chimezie (Hakim Agungnya adalah M. Imron Anwari, Suwardi dan Timur P. Manurung). Dalam putusannya, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa :

“...Bahwa walaupun dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 menyatakan bahwa hak asasi meliputi hak untuk hidup dan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada bagian III Pasal 6 ayat (1) menyatakan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya, hak ini wajib dilindungi oleh hukum, tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, akan tetapi dalam ayat (2) menyatakan bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut ;...”

Keanehan ini ternyata tidak terjadi hanya dalam putusan PK Myuran Sukumaran, dalam putusan lainnya juga terdapat kejanggalan terkait inkonsistensi Hakim MA. Dalam putusan PK No. 144 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Okwudili Ayotanze. Hakim kemudian menolak permohonan PK tersebut pada tanggal 4 Januari 2012, atau sekitar lima bulan setelah putusan Hanky Gunawan, dengan Majelis Hakim M. Imron Anwari, Suwardi, SH dan Achmad Yamanie. Lalu putusan Kasasi No. 1069 K/Pid/2012 dengan terpidana mati Asep Dudung Budiman, tertanggal 8 Agustus 2012 atau kurang lebih setahun setelah putusan Hanky Gunawan. Asep Dudung Budiman dijatuhi hukuman mati sampai dengan tingkat kasasi, meskipun menggunakan dasar kasasi yang sama yaitu hak asasi manusia, namun Hakim MA yang terdiri dari dua hakim agung yang sebelumnya dalam putusan Hanky Gunawan menyatakan hukuman mati inkonstitusional, yaitu Hakim Nyak Pha dan Achmad Yamanie, memperkuat putusan Pengadilan sebelumnya dengan tetap menjatuhkan hukuman mati.

85

Ibid

Page 51: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

46

10. Administrasi Peradilan

Dalam catatan ICJR tidak sedikit problem administrasi peradilan yang kemudian mengganjal seorang terpidana mati atau terdakwa untuk mencari keadilan. Permasalahan administrasi peradilan tidak hanya datang dari peraturan perundang-undangan, dalam pengamatan ICJR beberapa faktor menyumbang hambatan tersebut, seperti ketidaktahuan dari terpidana mati atas upaya hukum dan tidak hadirnya kuasa hukum. Dalam beberapa putusan, beberapa ciri tersebut dapat terlihat. PK menjadi bagian penting dalam beberapa putusan hukuman mati, minimal terdapat tiga putusan dimana hakim mengubah pidana mati menjadi pidana lainnya pada putusan PK, yaitu dalam Putusan PK No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Hanky Gunawan Alias Hanky, putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie dan Putusan PK No. 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan pemohon PK Hanky Gunawan Alias Hanky. Dalam ketiga putusan tersebut Majelis Hakim PK mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam putusan Kasasi, sehingga permohonan PK dapat diterima. Ketiga putusan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya kemungkinan bahwa terjadi kesalahan dalam menjatuhkan pidana sangat mungkin terjadi. Dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie, Hakim Agung Timur P. Manurung yang memberikan pendapat berbeda dengan hakim lainnya menyatakan bahwa :

“...Bahwa sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sistem peradilan pidana tidaklah sempurna dan peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang- orang yang tidak bersalah, Karena Polisi, jaksa Penuntut umum maupun hakim adalah manusia biasa yang bisa saja keliru menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati, maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal karena penerapan hukuman mati irreversible. Orang yang dihukum mati tidak dapat dihidupkan lagi, walaupun dikemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah ; Bahwa ketidak sempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu yang dimungkinkan, karena merupakan Hasil karya manusia dan bahkan di Negara maju sekalipun, kegagalan sistem peradilan pidana untuk menghukum orang yang tidak bersalah cukup sering terjadi, dimana sejak di Amerika sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati, kemudian dibebaskan karena di temukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah ; Bahwa di Indonesia, kegagalan sistem hukum peradilan pidana terjadi pada perkara Sengkon dan Karta tahun 1976, yang kemudian menjadi acuan atau pemicu diadakannya upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ;...”

Masih belum sempurnanya sistem peradilan pidana di Indonesia juga mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan putusan No. 34/PUU-XI/2013, dalam putusan terssebut MK menyatakan bahwa :

“... Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum terdakwa menjadi terpidana. Hal tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang

Page 52: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

47

menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut”... Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan... “

Pertimbangan dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menunjukkan bahwa tujuan utama dari peradilan pidana adalah kebenaran materil sehingga alasan- alasan yang sifatnya administratif dan formil dapat dikesampingkan. Pada akhir 2014, MA akhirnya mengeluarkan SEMA 7/2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali, dasar pijakan MA sudah bisa diduga yaitub alasan kepastian hukum. Bahwa lahirnya SEMA 7/2014 ternyata telah menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit lagi. SEMA 7/2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi.86 Permohonan PK lebih dari satu kali dalam praktiknya ternyata juga dibutuhkan oleh terpidana mati, dalam putusan PK No. 108 PK/Pid/2007 dengan pemohon PK Ibrahim Bin Ujang, MA menolok permohonan PK dari Ibrahim Bin Ujang dengan alasan bahwa ini kali kedua dirinya mengajukan PK. Dilain sisi juga masih terdapat putusan lain dimana hakim terlihat ragu dalam menjatuhkan pidana, dalam putusan PK No. 45 PK/Pid.Sus/2009 dengan pemohon PK Hillary K. Chimezie, salah satu hakim agung, Timur P. Manurung meminta agar pemohon PK dibebaskan. Apabila melihat ketentuan SEMA 7/2014, maka Hillary K. Chimezie tidak dapat lagi mengajukan PK atas kasusnya yang bisa dianggap kontroversi, bahkan apabila dirinya mendapatkan novum lagi. Problem terkait PK tidak berhenti dimasalah pembatasan semata. Dalam SEMA 1 tahun 2012 (SEMA 1/2012) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, yang pada intinya bahwa pengajuan PK harus dihadiri langsung oleh Pemohon PK dan tidak dapat diwakili oleh advokat atau penasehat hukumnya, dalam SEMA tersebut dinyatakan bahwa :

“...Atas dasar ketentuan tersebut di atas dan juga ketentuan Pasal 265 ayat (2) DAN (3) KUHAP, Mahkamah Agung menegaskan bahwa permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung...”

SEMA 1/2012 menunjukkan bahwa alasan administratif dan formil masih menjadi pertimbangan utama dari MA. SEMA ini disinyalir keluar karena kontroversi dari PK yang diajukan oleh terpidana

86

Lihat MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum, Diakses pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54aaac4f8e2fb/mk-nilai-ma-langgar-konsepsi-negara-hukum

Page 53: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

48

mati yang melarikan diri.87 Masalahnya, SEMA 1/2012 kemudian tidak mempertimbangkan perihal terpidana mati atau pemohon PK lain yang memiliki kepentingan. Hadir sendiri dalam mengajukan PK tentu saja tidak mudah, melihat dari proses perizinan yang harus dilalui apabila misalnya pemohon PK adalah seorang terpidana, sehingga minimal membutuhkan izin keluar dari Lapas. Belum lagi apabila terpidananya adalah terpidana mati, yang kebanyakan akan dipindahkan ke Lapas di Nusa Kambangan, untuk bisa mengajukan PK dirinya harus mengakses Pengadilan Negeri tempatnya diadili, maka akan ada biaya yang sangat besar. Praktik biaya besar ini tentu saja bertentangan dengan asas biaya murah dalam peradilan pidana. Kehadiran SEMA 1/2012 juga menimbulkan tanda tanya besar terkait hak atas bantuan hukum. Kehadiran advokat, terutama bantuan hukum untuk orang miskin atau terpidana mati sangat penting, maka pembatasan terhadap hak dan kewenangan advokat adalah masalah besar. Lebih jauh melanggar hak atas bantuan hukum dan juga secara prinsip melanggar hak advokat yang dilindungi oleh UU untuk mewakili kliennya. Kehadiran advokat menjadi penting setidaknya untuk memberikan pemahaman kepada terdakwa atau terpidana mati terkait hak-hak nya, misalnya hak untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan. Dalam kasus Rusula Hia dan Yusman TelaumBanua, terpidana mati dalam putusan No. 07/Pid.B/2013/PN-GS dan Putusan No. 08/Pid.B/2013/PN-GS, tidak melakukan upaya hukum sama sekali, 88 kualitas dan kehadiran advokat menjadi alasan kuat mengapa keduanya tidak mengajukan upaya hukum. Masalah administrasi peradilan juga ditemukan dalam Putusan MA No. 554 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Mulyadi Dwi Asmono Als Acong Bin Fadilah dan Putusan MA No. 558 K/Pid/2009 dengan terpidana mati Maulana Reza Alias Item Bin Nazarudin, MA menyatakan kasasi keduanya tidak dapat diterima, namun tidak diketahui mengapa keduanya terlambat dalam mengirimkan beras, sebab dalam putusan yang langsung menerima putusan PT adalah terpidana mati, tidak menyebutkan kehadiran advokat atau bantuan hukum lainnya. MA memberikan pertimbangan yang sama persis yaitu :

“...Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan dengan hadirnya Pemohon Kasasi/Terdakwa pada tanggal 19 Januari 2009 dan Pemohon Kasasi/Terdakwa mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 10 Februari 2009, akan tetapi memori kasasi yang memuat alasan-alasan permohonannya untuk pemeriksaan perkara tersebut dalam tingkat kasasi baru diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Depok pada tanggal 24 Februari 2009 jadi melewati tenggang waktu 14 (empat belas) hari, sebagaimana ditentukan dalam pasal 248 (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No: 8 Tahun 1981), oleh karena itu hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur, dan dengan demikian permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima ;...”

87

Lihat Sikap MA Terbelah Tentang Pengajuan PK oleh Advokat, Diakses pada http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b9a65f16afe3/sikap-ma-terbelah-tentang-pengajuan-pk-oleh-advokat 88

Lihat Kejatisu Tunggu Upaya Hukum Dua Terpidana Mati Nias, Diakses pada http://www.posmetro-medan.com/kejatisu-tunggu-upaya-hukum-dua-terpidana-mati-nias/

Page 54: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

49

BAB V

Problem Upaya Hukum dan Grasi

1. Situasi Fair Trial di Indonesia dan Regulasi di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang disorot dunia karena memberlakukan hukuman mati dengan kondisi regulasi dan praktik peradilan yang cukup buruk. Dalam beberapa situasi , Indonesia menyatakan bahwa hukum negara sudah cukup baik dan telah menerapkan prinsip-prinsip fair trial. ICJR mencatat bahwa beberapa isu terkait regulasi, kebijakan dan penanganan terpidana mati yang harus menjadi sorotan, yakni upaya hukum atas putusan pengadilan hukuman mati. Misalnya untuk persoalan Grasi dan Peninjauan Kembali, Pemerintah lebih memilih melakukan pembatasan untuk alasan kepastian hukum dan ketakutan banyaknya berkas yang menumpuk dari pada memastikan bahwa terpidana mendapat jaminan terkait hak atas keadilan Pemerintah Indonesia termasuk pula lembaga judikatif seperti MA terkesan masih mengedepankan masalah administratif belaku daripada persoalan keadilan materil, hal ini terlihat dari sekian banyak kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan.. Kondisi penanganan terhadap upaya hukum dan grasi para terpidana mati harus pula menjadi sorotan. Hal tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

2. Peninjauan Kembali

Paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/201389, pengaturan Peninjauan Kembali (PK) berubah dalam KUHAP, PK kemudian bisa diajukan lebih dari satu kali. Menurut MK, kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. MK mengatakan bahwa untuk alasan keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka pembatasan PK bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 yang mengubah kebiasaan hukum acara pidana selama ini mendapat tanggapan yang serius dari Kejaksaan Agung dan juga pemerintah. Kejaksaan Agung menilai putusan ini akan menghambat proses eksekusi mati terhadap beberapa terpidana karena terpidana tersebut akan mengajukan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi mengatakan bahwa putusan

89

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_1651_34%20PUU%202013-telahucap-6Maret2014.pdf

Page 55: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

50

Mahkamah Konstitusi tersebut akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mengusulkan untuk mengubah putusan tersebut.90 Menindaklanjuti persoalan ini, Pemerintah, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung mengadakan pertemuan pada 9 Januari 2015 di Kantor Kementerian Hukum dan HAM.91 Sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan polemik yang ada, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 201492 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali, sedangkan permohonan peninjauan kembali dengan dasar adanya pertentangan putusan dapat diajukan lebih dari satu kali. Lahirnya SEMA No 7 Tahun 2014 ternyata telah menimbulkan masalah yang jauh lebih rumit lagi. SEMA No 7 Tahun 2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bahwa kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi. Mahkamah Agung sendiri tetap pada keyakinannya bahwa SEMA No 7 Tahun 2014 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum, disamping ketentuan mengenai pembatasan pengajuan permohonan kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali masih berlaku berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Terkait hal itu maka pada tanggal 17 April 2015, gabungan masyarakat sipil yang terdiri atas ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute telah menyerahkan permohonan hak uji materi terhadap SEMA 7/2014 ke Mahkamah Agung, terkait pembatasan pengajuan Permohonan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali atas dasar ditemukannya bukti baru atau novum.93

3. Grasi

Kewenangan Presiden untuk memberikan Grasi diatur secara umum dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Kewenangan ini kemudian diatur lebih lanjut mekanismenya dalam UU Grasi. Oleh karenanya, UU Grasi menjadi parameter untuk menilai tindakan Presiden Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangan grasi-nya. Namun demikian, terdapat permasalahan fundamental dalam UU Grasi saat ini. Permasalahan timbul dikarenakan tidak adanya suatu ketentuan yang mewajibkan Presiden Republik Indonesia secara terang dan jelas untuk:

1) Mempertimbangkan masak-masak tiap permohonan grasi yang masuk, termasuk dalam hal ini untuk mempertimbangkan aspek dan karakteristik khusus dari tiap pemohon grasi;

2) Memberikan penjelasan yang layak dalam menerima maupun menolak permohonan grasi. Ketiadaan kaidah kewajiban dimaksud menciptakan suatu potensi besar untuk Presiden Republik Indonesia menyalahgunakan kewenangannya. Ia bisa saja menerima atau menolak permohonan

90

Putusan MK Soal PK Berkali-kali diubah ini kata Menko Tedjo, Lihat di http://news.detik.com/read/2015/01/03/162828/2793267/10/putusan-mk-soal-pk-berkali-kali-diubah-ini-kata-menko-tedjo 91

Bahas PK Lebih dari Sekali, Menkum HAM Undang Pakar, Lihat di http://www.jawapos.com/baca/artikel/11252/Bahas-PK-Lebih-dari-Sekali-Menkum-HAM-Undang-Pakar 92

Lihat SEMA 7 Tahun 2014 pada http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_07_2014.pdf 93

Koalisi Anti Hukuman Mati Gugat Surat Ederan MA terkait Pembatasan PK, Lihat di http://nasional.kompas.com/read/2015/04/17/12363731/Koalisi.Anti.Hukuman.Mati.Gugat.Surat.Edaran.MA.Terkait.Pembatasan.PK

Page 56: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

51

grasi yang diajukan kepadanya tanpa melakukan penelitian yang disyaratkan oleh UU Grasi dan/atau tanpa memberikan pertimbangan yang layak yang dijadikan sebagai alasan dalam mengabulkan atau menolak grasi, yang mana hal ini menjadi hak bagi masyarakat, dan utamanya bagi pemohon grasi. Presiden Republik Indonesia saat ini dapat menggunakan kewenangan grasi-nya secara tidak bijaksana, dan bahkan bertentangan dari tujuan dasarnya. Grasi bagi Presiden Republik Indonesia adalah suatu kewenangan yang diberikan kepadanya beserta dengan kewajiban yang melingkupinya. Bagi pemohonnya, grasi merupakan suatu hak yang pengajuannya ia punyai, sekaligus menjadi pranata untuk menerima ampunan setelah segala jerih payah yang dilakukannya untuk menunjukkan bahwa dirinya layak menerima ampunan. Khusus bagi pemohon grasi yang menghadapi hukuman mati, grasi menjadi begitu besar dan berharga artinya: ia dapat diberi kesempatan untuk tetap hidup. Untuk masyarakat, grasi merupakan suatu keputusan yang bisa menentukan apakah seorang terpidana tetap menjadi bagian dari masyarakat atau tidak. Jadi, bagi semua pihak, keberadaan penelitian dan pertimbangan yang layak dalam pemberian atau penolakan grasi adalah hal yang esensial dan tidak dapat diabaikan. Secara normatif, keberadaan grasi adalah untuk memberikan warna humanisme dalam sistem pemerintahan. Dasar untuk menerima atau menolak permohonan grasi bukanlah aspek yang bersifat hukum lagi. Di sisi lain, karena aspek pemeriksaannya adalah mencakup semua pertimbangan yang non-hukum, maka tiap permohonan grasi yang masuk sudah seyogyanya diperiksa secara rinci oleh Presiden Republik Indonesia, termasuk pula di dalamnya memeriksa karakteristik unik/spesifik dari masing-masing pemohon grasi, sebelum akhirnya mengeluarkan keputusan menolak atau menerima permohonan grasi yang diajukan, disertai dengan alasan yang layak. Hanya dengan kecermatan Presiden Republik Indonesia yang demikian, hak masing-masing pemohon grasi dapat terpenuhi dengan layak. Hanya melalui mekanisme ini juga, sisi humanisme dalam penyelenggaraan pemerintahan –khususnya dalam hal pemberian grasi– akan terlihat. Tak ayal, pemohon grasi adalah terpidana, namun tetap saja ia manusia. Pada Mei 2015, gabungan masyarakat sipil yang memiliki fokus pada porblem hukuman mati telah mengajukan Judicial Review UU Grasi ke MK.94 Pertitum dalam permohonan ini meminta MK memutuskan menyatakan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Grasi harus dibaca :

1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan melakukan penelitian terhadap pemohon grasi dan permohonan grasinya.

2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi dengan disertai alasan yang layak.

Selain problem pasal 11 UU Grasi, masalah juga terdapat dalam Pasal 7 UU Grasi. Pasal 7 UU Grasi berbunyi :

Pasal 7 1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum

tetap.

94

Uji Materi UU Grasi, Aktivis Perbaiki Pokok Permohonan dan Kedudukan Hukum, Lihat http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11013#.VXVpMidzXIU

Page 57: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

52

2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Permasalahan dari pasal ini terletak pada pembatasan untuk mengajukan grasi yang pada praktiknya mengakibatkan terpidana mati harus memilih antara mengajukan PK atau grasi. Logika tersebut terbangun karena aparat penegak hukum pada dasarnya berpendapat apabila seseorang mengajukan grasi hal tersebut berarti dirinya sudah mengaku salah. Dalam kasus Gunawan Santoso, Jaksa Agung M. Prasetyo mengatakan bahwa Gunawan Santoso tidak perlu lagi mengajukan PK karena sudah mengaku bersalah dengan mengajukan grasi.95 Pendapat Jaksa Agung tersebut secara otmatis menghadapkan terpidana mati harus memilih antara mengajukan PK atau grasi, karena apabila dirinya mencoba mengajukan PK, otomatis akan mengurangi tenggat waktu menjaukan grasi. Sebaliknya apabila dirinya mengajukan grasi, dirinya sudah dianggap mengakui kesalahan dan kemudian tidak layak mengajukan PK. Menurut Direktur Litigasi Kemenkum HAM, Nasrudin, grasi yang tidak memberikan batasan waktu dalam pelaksanaanya dapat menyebabkan eksekusi atau pelaksanaan pidana mati menjadi tertunda sampai waktu yang tidak terbatas. Demi kepastian hukum, maka ketentuan ini perlu diatur mengenai batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati.96 Pandangan ini disampaikan oleh Nasrudin mewakili pemerintah dalam sidang pengujian Pasal 7 ayat 2 UU Grasi ke MK oleh terpidana mati bernama Suud Rusli. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah masih mengedepankan urusan formil administratif diatas masalah keadilan. Akan ada permohonan maupun berkas yang menumpuk karena tidak ada batasan waktu harusnya tidak menjadi alasan dalam penerimaan permohonan grasi, terlebih untuk tujuan keadilan dan kemanusiaan.

95

Jaksa Agung Isyaratkan Eksekusi Mati 'Si Belut' Gunawan Santoso, Lihat http://news.detik.com/berita/2805791/jaksa-agung-isyaratkan-eksekusi-mati-si-belut-gunawan-santoso 96

Pemerintah Bantah Gugatan Suud Rusli Soal Pembatasan Pengajuan Grasi, Lihat https://news.detik.com/berita/3042428/pemerintah-bantah-gugatan-suud-rusli-soal-pembatasan-pengajuan-grasi

Page 58: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

53

BAB VI

Simpulan dan Rekomendasi

1. Simpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :

1. Standar KUHAP mengenai Fair Trial sebenarnya tidak cukup kompatibel dengan standar-standar Fair Trial yang dianut dalam Hukum Hak Asasi Manusia.

2. Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia tidak membedakan standar proses peradilan bagi orang - orang yang diancam pidana mati. Hampir semua ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya. Bahkan dalam beberapa kasus, standar KUHAP juga tidak diterapkan secara layak.

3. Masih ditemukannya permasalahan penerapan prinsip fair trial dalam peradilan pidana di Indonesia, khusus bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati. Hal tersebut dapat terlihat dari masih banyaknya persolan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan pidana mati, persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang, seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.

4. Problem administratif dan masih diutamakannya kepentingan formil dari pada mencari kebenaran materil sangat kental dengan dikeluarkannya beberapa aturan oleh Mahkamah Agung. Dikeluarkannya SEMA 1/2012, SEMA 7/2014 dan aturan lainnya yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan menjadi persoalan serius yang masih perlu untuk dibenahi.

2. Rekomendasi Dari kesimpulan diatas didapat beberapa rekomendasi, yaitu : 1. Mendesak Mahkamah Agung dan Aparat Penegak Hukum untuk memastikan bahwa standar fair

trial diterapkan untuk kasus-kasus dengan ancaman pidana mati. Khususnya untuk Hakim dan Jaksa Penuntut Umum guna berhati-hati dalam melakukan penuntutan dan menjatuhkan vonis hukuman mati bagi terdakwa, melihat masih besarnya potensi unfair trial di Indonesia.

2. Mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standar fair trial. Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati.

3. Mendesak Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014 yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan. Peninjauan Kembali (PK) seharusnya diatur lebih komprehensif dalam KUHAP atau UU khusus mengenai Peninjauan Kembali sehingga tidak menimbulkan pembatasan terhadap hak terpidana mati seperti pengaturan saat ini.

Page 59: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

54

Lampiran IDENTITAS TERDAKWA

No. No Perkara Nama Terdakwa Tempat/ Tanggal

Lahir Umur

Jenis Kelamin

Warga Negara

Agama

L/ P

1 1127 K/ Pid/ 2002 Okwudili Ayotanze - 31 L Nigeri

a Khatolik

2 1771 K/ Pid/ 2002 Merri Utami Binti Siswandi Sukohardjo, 30

Januari 1974 28 P WNI

Khatolik

3 1888 K/ Pid/ 2004 Okonkwo Nonso Kingkeys Sierra Leone, 07 September 1974

29 L Sierra Leone

Kristen

4 2107 K/Pid/ 2004 Seck Osmane Sinegal, 16 April

1974 29 L

Sinegal Afrika

Kristen

5 2253 K/ Pid/ 2005 Zulfiqar Ali alias Ali Lahore, 1 Januari

1964 41 L

Pakistan

Islam

6 22/PK/Pid/2003 Jurit bin Abdullah Talang Andong 32 L WNI Islam

7 24/PK/Pid/2003 Siswanto alias Robot Pekalongan Jawa

Tengah, 4 Juni 1963 33 L WNI

Islam

8 25 PK/Pid/2012 VERY IDHAM HENYANSYAH

alias RYAN Jombang, 01

Pebruari 1978 31 L WNI

Islam

9 27 PK/Pid/2010 H. NURHASAN YOGI

MAHENDRA Lamongan, 05 Juni

1975 29 L WNI

Islam

10 29 PK/PID/2009 Ronald Sagala

Sialang buah, 14 Oktober 1984

22 L WNI Kristen

Nasib Purba Lau Balang, 21 Juni

1983 22 L WNI

Kristen

11 53 PK/Pid/2002 Turmudi bin Kasturi Demak 25 L WNI Islam

12 11 PK/Pid/2002 Ranni Andriani alias Melisa

Aprilia Cianjur, 26

September 1975 25 P WNI

Islam

13 14 PK/Pid/2002 Merika Franola alias Ola

alias Tania Jakarta, 23

November 1970 29 P WNI

Islam

14 18 PK/Pid/2007 Humprey Ejike alias Doctor Nigeria, 5

September 1974 29 L

Nigeria

Kristen

15 39 PK/Pid/2003 Ayodhya Prasad Chaubey India, 1 Juli 1939 36 L India Hind

u

16 67/Pid/2012/PT.BTN Gareth Dane Cashmore Wakafield (Inggris),

8 Maret 1979 32 L Inggris

Tidak

Beragam

a

17 503 K/Pid/2002 Mgs. Zainal Abidin bin Mahmud Badaruddin

Palembang 36 L WNI Islam

18 178/PID.B/2009/PN.

TBK RAJA SYAHRIAL BIN RAJA MUZAHAR ALS. HERMAN

Bukit Salembak Durai 23 Januari

24 L WNI Islam

Page 60: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

55

ALS. WAK ANCAP 1985

19 554 K/Pid/2009 MULYADI DWI ASMONO Als

ACONG Bin FADILAH

Jakarta21 Desember 1983

25 L WNI islam

20 558 K/Pid/2009

YOHANES MARTINUS alias DADO alias

MARTIN bin TEDI GUNAWAN

Jakarta 7 Maret 1986

22 L WNI Khatolik

21 560 K/Pid/2009 MAULANA REZA alias ITEM

bin Jakarta 19

Desember 1983 25 L WNI

Islam

22 254 K/PID/2013 RAHMAT AWAFI alias AWIF

als DREGO; Lampung 09

September 1986 25 L WNI

Islam

23 1731 K/Pid/2008 Sabirin alias Oyon bin Oma Pandeglang, 5 Juni

1967 40 L WNI

Islam

24 1069 K/Pid/2012 ASEP DUDUNG BUDIMAN

bin UJU Sumedang, 20

Desember 1980 32 L WNI

Islam

25 1135 K/ Pid/ 2002 Ozias Sibanda Bulilimamangwe Zimbage, 1969

33 L Zimba

ge Islam

26 1835 K/ Pid/ 2010 HERRI DARMAWAN alias

SIDONG bin FIRDAUS Pontianak, 3 April

1990 19 L WNI

Islam

27 2473 K/Pid/2007 SYEKH ABDUL RAHIM ALIAS

DAENG RAHIM Atappange,

Sengkang, 1956 51 L WNI

Islam

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Myuran Sukumaran/ Mark London/ 17 Agustus

1981 24 L

Australia

Kristen

29 731 K/PID.SUS/2009 JAT LIE CHANDRA alias CECE Jakarta/ 21

Desember 1967 39 L WNI

Budha

30 1443 K/Pid.Sus/2009 SIEGFRIED METS Semarang / 23 Mei

1951 57 L

Belanda

Khatolik

31 39 PK/Pid.Sus/2011 HANKY GUNAWAN Surabaya / 09 Agustus 1970

36 L WNI Kristen

32 28 PK/Pid.Sus/2011 SCOTT ANTHONY RUSH Brisbane/ 03 Des

1985 19 L

Australia

Khatolik

33 108 PK/Pid/2007 IBRAHIM BIN UJANG Talang Andong,

Sumatera Selatan 36 L WNI

Islam

34 65 PK/PID/2010 I Putu Suaka als. Keteg Bali 1963 45 P WNI Hind

u

35 987 K/Pid. Sus/2011 MARY JANE FIESTA VELOSO Baliung Bilacan ,

Philipina, 10 Januari 1985

25 P Philipi

na Khatolik

36 79 PK/Pid/2008 MARKUS PATA SAMBO

ALIAS MARKUS

Makale Tanah Toraja / 28 Pebruari

1975 31 L WNI

Kristen

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS

HERU HENDRIYANTO Als. E’EN Als. KOMANG,

Terdakwa 1 situbondo / 18 Maret 1985.,

25 L WNI Islam

PUTU ANITA SUKRA DEWI Terdakwa 2

Buleleng 3 Agustus 1990

21 P WNI Islam

38 72/PK/Pid/2002 Fabianus Tibo, Terdakwa I Flores 55 L WNI Khat

Page 61: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

56

NTT, olik

Dominggus Dasilva Alias Domi,

Terdakwa II Maomere NTT, 37

L WNI Khatolik

Marinus Riwu Terdakwa III Kupang

NTT 43 L WNI

Khatolik

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS Yusman TelaumBanua Hilonozega, 1993 19 L WNI

Kristen

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS Rusula Hia Gunung Tua, 1984 28 L WNI

Kristen

41 1014/Pid.B/1998/PN

.SBY Raheem Agbaje Cordova 33 L WNI

Islam

42 No. 45

PK/Pid.Sus/2009 HILLARY K. CHIMEZIE

Nigeria, 10 Februari 1969

34 L Nigeri

a Kristen

PEKERJAAN TERDAKWA

No. No Perkara Nama Terdakwa Pekerjaan

1 1127 K/ Pid/ 2002 Okwudili Ayotanze Pedagang

2 1771 K/ Pid/ 2002 Merri Utami Binti Siswandi Tidak Ada

3 1888 K/ Pid/ 2004 Okonkwo Nonso Kingkeys Tukan Elektronik

4 2107 K/Pid/ 2004 Seck Osmane Tidak Ada

5 2253 K/ Pid/ 2005 Zulfiqar Ali alias Ali Wiraswasta (Garment)

6 22/PK/Pid/2003 Jurit bin Abdullah Pekerja Buruh

7 24/PK/Pid/2003 Siswanto alias Robot Tuna Karya

8 25 PK/Pid/2012 VERY IDHAM HENYANSYAH alias RYAN Swasta

9 27 PK/Pid/2010 H. NURHASAN YOGI MAHENDRA Swasta

10 29 PK/PID/2009 Ronald Sagala Tani

Nasib Purba Tidak Ada

11 53 PK/Pid/2002 Turmudi bin Kasturi Tani

12 11 PK/Pid/2002 Ranni Andriani alias Melisa Aprilia Tidak Ada

13 14 PK/Pid/2002 Merika Franola alias Ola alias Tania Tidak Ada

14 18 PK/Pid/2007 Humprey Ejike alias Doctor Pedagang

15 39 PK/Pid/2003 Ayodhya Prasad Chaubey Pelayan Toko

16 67/Pid/2012/PT.BTN Gareth Dane Cashmore Konstruksi

17 503 K/Pid/2002 Mgs. Zainal Abidin bin Mahmud Badaruddin Tukang Pelitur

18 178/PID.B/2009/PN.TBK RAJA SYAHRIAL BIN RAJA MUZAHAR ALS.

HERMAN ALS. WAK ANCAP Wiraswasta

19 554 K/Pid/2009 MULYADI DWI ASMONO Als ACONG Bin

FADILAH Wiraswasta

20 558 K/Pid/2009 YOHANES MARTINUS alias DADO alias

MARTIN bin TEDI GUNAWAN Wiraswasta

21 560 K/Pid/2009 MAULANA REZA alias ITEM bin Tidak Ada

22 254 K/PID/2013 RAHMAT AWAFI alias AWIF als DREGO; Karyawan

23 1731 K/Pid/2008 Sabirin alias Oyon bin Oma Tukang Ojek

Page 62: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

57

24 1069 K/Pid/2012 ASEP DUDUNG BUDIMAN bin UJU Wiraswasta

25 1135 K/ Pid/ 2002 Ozias Sibanda Businessman

26 1835 K/ Pid/ 2010 HERRI DARMAWAN alias

SIDONG bin FIRDAUS Nambang Sampan

27 2473 K/Pid/2007 SYEKH ABDUL RAHIM ALIAS DAENG RAHIM Tani

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Myuran Sukumaran/ Mark Mantan Karyawan Statestreet

Bank & Trust

29 731 K/PID.SUS/2009 JAT LIE CHANDRA alias CECE Ibu Rumah Tangga

30 1443 K/Pid.Sus/2009 SIEGFRIED METS Karyawan Restoran

31 39 PK/Pid.Sus/2011 HANKY GUNAWAN Wiraswasta

32 28 PK/Pid.Sus/2011 SCOTT ANTHONY RUSH Buruh

33 108 PK/Pid/2007 IBRAHIM BIN UJANG Buruh

34 65 PK/PID/2010 I Putu Suaka als. Keteg Swasta

35 987 K/Pid. Sus/2011 MARY JANE FIESTA VELOSO Pembantu Rumah

36 79 PK/Pid/2008 MARKUS PATA SAMBO ALIAS MARKUS Wiraswasta

37 90 / PID / 2012 / PT.DPS HERU HENDRIYANTO Als. E’EN Als. KOMANG, Supir

PUTU ANITA SUKRA DEWI Tidak Ada

38

72/PK/Pid/2002

Fabianus Tibo, Tani

Dominggus Dasilva Alias Domi, Tani

Marinus Riwu Tani

39 08/Pid.B/2013/PN-GS Yusman TelaumBanua Karyawan Perkebunan

40 07/Pid.B/2013/PN-GS Rusula Hia Tani

41 1014/Pid.B/1998/PN.SB

Y Raheem Agbaje Konsultan Pertanian

42 No. 45 PK/Pid.Sus/2009 HILLARY K. CHIMEZIE Bisnis Sepatu

MODEL DAKWAAN

No. No Perkara Jenis Perkara Model Dakwaan

1 1127 K/ Pid/ 2002 Narkotika Subsidaritas

2 1771 K/ Pid/ 2002 Narkotika Subsidaritas

3 1888 K/ Pid/ 2004 Narkotika Alternatif

4 2107 K/Pid/ 2004 Narkotika Subsidaritas

5 2253 K/ Pid/ 2005 Narkotika Subsidaritas

6 22/PK/Pid/2003 Pembunuhan Berencana Subsidair

7 24/PK/Pid/2003 Pembunuhan Berencana Kombinasi Subsidair dan Kumulatif

8 25 PK/Pid/2012 Pembunuhan Berencana Kombinasi Subsidair dan Alternatif

9 27 PK/Pid/2010 Pembunuhan Berencana Subsidair

10 29 PK/PID/2009 Pembunuhan Berencana Subsidair

11 53 PK/Pid/2002 Pembunuhan Berencana Subsidair

12 11 PK/Pid/2002 Narkotika Subsidaritas

13 14 PK/Pid/2002 Narkotika Subsidaritas

14 18 PK/Pid/2007 Narkotika Subsidaritas

15 39 PK/Pid/2003 Narkotika Subsidaritas

Page 63: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

58

16 67/Pid/2012/PT.BTN Narkotika Subsidaritas

17 503 K/Pid/2002 Narkotika Subsidaritas

18 178/PID.B/2009/PN.

TBK pembunuhan berencana kombinasi

19 554 K/Pid/2009 Pembunuhan Berencana Alternatif

20 558 K/Pid/2009 Pembunuhan Berencana Alternatif

21 560 K/Pid/2009 Pembunuhan Berencana Alternatif

22 254 K/PID/2013 Pembunuhan Berencana Subsidiaritas

23 1731 K/Pid/2008 Pembunuhan Berencana Kombinasi Alternatif - Subsidiaritas

24 1069 K/Pid/2012 Pembunuhan Berencana Alternatif

25 1135 K/ Pid/ 2002 Narkotika Subsidaritas

26 1835 K/ Pid/ 2010 Pembunuhan Berencana Subsidaritas

27 2473 K/Pid/2007 Pembunuhan Berencana Kombinasi alternatif Subsidaritas

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Narkotika Subsidair

29 731 K/PID.SUS/2009 Narkotika Kombinasi Subsidair alternatif kumulatif

30 1443

K/Pid.Sus/2009 Narkotika Kombinasi Subsidair Alternatif

31 39 PK/Pid.Sus/2011 Narkotika Kombinasi Alternatif Kumulatif

32 28 PK/Pid.Sus/2011 Narkotika Subsidair

33 108 PK/Pid/2007 Pembunuhan Berencana Subsidair

34 65 PK/PID/2010 Pembunuhan Berencana Kumulatif

35 987 K/Pid. Sus/2011 Narkotika Alternatif

36 79 PK/Pid/2008 Pembunuhan Berencana dan

Pemerkosaan Kumulatif

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS Pembunuhan Berencana

Kombinasi

Kombinasi

38 72/PK/Pid/2002 Pembunuhan Berencana

Kombinasi

Kombinasi

Kombinasi

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS Pembunuhan Berencana Alternatif Subsidaritas

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS Pembunuhan Berencana Alternatif Subsidaritas

41 1014/Pid.B/1998/P

N.SBY Narkotika Subsidaritas

42 No. 45

PK/Pid.Sus/2009 Narkotika Alternatif Subsidaritas

PASAL DAKWAAN

No. No Perkara

Dakwaan

Dakwaan Pertama

Dakwaan Kedua

Dakwaan Ketiga

Dakwaan Keempat

Dakwaan Kelima

1 1127 K/ Pid/ 2002

Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun

Pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun

Pasal 78 ayat (1) huruf b dan ayat

(2) UU No. 22 Tahun 1997

- -

Page 64: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

59

1997 tentang Narkotika

1997 tentang Narkotika

tentang Narkotika

2 1771 K/ Pid/ 2002

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- -

3 1888 K/ Pid/ 2004

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 81 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- -

4 2107 K/Pid/ 2004

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- - -

5 2253 K/ Pid/ 2005

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- - -

6 22/PK/Pid/2003 Pasal 340 jo

Pasal 55 (1) ke-1 KUHP

Pasal 338 jo Pasal 55 (1) ke-1

KUHP

Pasal 351 (1) ke-3 KUHP jo Pasal

55 (1) KUHP - -

7 24/PK/Pid/2003 Pasal 65 (1)

KUHP jo Pasal 340 KUHP

Pasal 65 (1) KUHP jo Pasal

338 KUHP

Pasal 65 (1) KUHP jo Pasal

292 KUHP - -

8 25 PK/Pid/2012 Pasal 340 KUHP Pasal 339 KUHP Pasal 338 KUHP Pasal 365 ayat (3) KUHP

-

9 27 PK/Pid/2010 Pasal 340 jo Pasal 65 (1)

KUHP

Pasal 338 KHUP jo Pasal 65 (1)

KUHP - - -

10 29 PK/PID/2009

Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 (1)

ke-1 KUHP

Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 (1)

ke-1 KUHP - - -

- - -

11 53 PK/Pid/2002 Pasal 340 KUHP Pasal 338 KUHP Pasal 355 ayat 2

KUHP Pasal 354

ayat 2 KUHP

Pasal 351 ayat 3 KUHP

12 11 PK/Pid/2002

Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo.

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP

Pasal 81 ayat (1) huruf a UU

No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo.

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- -

13 14 PK/Pid/2002 Pasal 82 ayat (1) Pasal 81 ayat (1) Pasal 78 ayat (1) Pasal 78 ayat -

Page 65: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

60

a UU No. 22 Tahun 1997 jo. Pasal 55 KUHP

a UU No. 22 Tahun 1997 jo Pasal 55 KUHP

UU No 22 Tahun 1997 jo. Pasal

55 KUHP

(1) huruf b UU No.22

Tahun 1997

14 18 PK/Pid/2007 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

78 ayat (1) huruf b UU No. 22 Tahun 1997

- - -

15 39 PK/Pid/2003

Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 jo

Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP

Pasal 56 ayat (1) KUHP jo. Pasal 23 ayat (4) jo

Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976

Pasal 48 UU No 9 Tahun 1976

Pasal 23 ayat (5) b UU No

9 Tahun 1976 jo Pasal

55 ayat (1) ke 1 KUHP

-

16 67/Pid/2012/PT.BTN

Pasal 114 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika jo.

Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika

Pasal 113 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika jo

Pasal 132 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009

Tentang Narkotika

Pasal 112 ayat (2) UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika jo

Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika

- -

17 503 K/Pid/2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

- - -

18 178/PID.B/2009/PN.

TBK

Pasal 340 KUH Pidana Jo Pasal

55 Ayat (1) KUHP

PidanaPasal 339 KUHP Pidana Jo

pasal 55 Ayat (1) KUHP

Pasal 365 Ayat (4) KUHP

Pasal 82 Undang

Undang R.I No.23 Tahun 2002 Jo Pasal

55 ayat (1) KUH Pidana

-

19 554 K/Pid/2009

Pasal 340 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 339 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (4)

KUHP - -

20 558 K/Pid/2009

Pasal 340 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 339 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (4)

KUHP - -

21 560 K/Pid/2009

Pasal 340 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 339 KUHP jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (4)

KUHP - -

22 254 K/PID/2013

Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana dalam

- - - -

Page 66: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

61

Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP

23 1731 K/Pid/2008

Pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1)

KUHP

pasal 338 KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1)

KUHP.

pasal 355 Ayat (2) KUHP Jo

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat

(1) KUHP.

pasal 354 ayat (2) KUHP Jo

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo

pasal 64 ayat (1) KUHP.

-

pasal 365 ayat (4) KUHP Jo

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo

pasal 64 ayat (1) KUHP.

pasal 204 ayat (2) KUHP Jo

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo

pasal 64 ayat (1) KUHP

pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo

pasal 64 ayat (1) KUHP

- -

24 1069 K/Pid/2012 Pasal 340 KUHP Pasal 339 KUHP Pasal 356 ayat

(3) KUHP

Pasal 480 ke-1 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP

-

25 1135 K/ Pid/ 2002

Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU

Narkotika

Pasal 81 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU

Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b dan ayat

(2) UU Narkotika

- -

26 1835 K/ Pid/ 2010 340 KUHP 339 KUHP 338 KUHP - -

27 2473 K/Pid/2007 Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (1) dan (4) KUHP

- -

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 82 ayat (3)

UU Narkotika

Pasal 82 ayat (2) huruf a UU Narkotika

Pasal 82 (2) huruf a jo. Pasal 83 UU Narkotika jo. 53 (1) KUHP

Pasal 78 ayat (2) UU

Narkotika -

29 731 K/PID.SUS/2009

Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. ayat

(2) UU Psikotropika

Pasal 59 ayat (1) huruf c UU

Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 59 ayat (1) huruf e UU

Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 59 ayat (1) huruf e

UU Psikotropika jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP

-

30 1443 K/Pid.Sus/2009

Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika

Pasal 59 ayat (1) huruf c UU

Psikotropika jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 e KUHP

Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. Pasal 59 ayat (2) UU Psikotropika

Pasal 59 ayat (1)

huruf e UU Psikotropika jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 e KUHP

-

31 39 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 59 ayat (1) huruf b jo. Pasal 59 ayat (2) UU

Pasal 59 ayat (1) huruf b UU

Psikotropika jo.

Pasal 59 ayat (1) huruf b jo Pasal

69 UU

Pasal 59 ayat (1) huruf c

UU -

Page 67: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

62

Psikotropika jo Pasal 64 ayat (1)

KUHP

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP

Psikotropika jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1)

KUHP

Psikotropika jo Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP

32 28 PK/Pid.Sus/2011

Pasal 82 ayat (3) huruf a UU RI. No.22 Tahun 1997 tentang

Narkotika

Pasal 82 ayat (2) huruf a Undang-

Undang RI No.22 Tahun 1997 tentang

Narkotika.

Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-

Undang RI . No.22 Tahun 1997 tentang

Narkotika.

Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang-

Undang RI . No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika jo Pasal 53 (1)

KUHP jo. Pasal 83

Undang- Undang

Narkotika.

-

33 108 PK/Pid/2007 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ke-1

KUHP

Pasal 338 KUHP Jo. Pasal 55 (1)

ke- 1 KUHP

Pasal 351 (3) KUHP jo. Pasal

55 (1) ke-1 KUHP

- -

34 65 PK/PID/2010 Pasal 340 KUHP Pasal 338 KUHP Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP

Pasal 339 KUHP

-

35 987 K/Pid. Sus/2011

Pasal 114 ayat (2) Undang- undang RI Nomor 35

Tahun 2009 Tentang

Narkotika

Pasal 113 ayat (2) Undang- undang RI Nomor 35

Tahun 2009 Tentang

Narkotika

Pasal 112 ayat (2) Undang- Undang RI Nomor 35

Tahun 2009 Tentang

Narkotika

Pasal 115 ayat (2) Undang-

Undang RI Nomor 35

Tahun 2009 ten tang

Narkotika

-

36 79 PK/Pid/2008

Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64

ayat (1) KUHPidana

Pasal Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHPidana ( putusan tidak

mencantumkan Pasal yang lengkap)

Pasal 351 ayat (1) dan ayat (3)

jo. Pasa1 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHPidana

Pasal 285 jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHPidana

-

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS

Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

Pasal 365 ayat (1), ayat

(2) ke-1, 2 dan ayat (3) KUHPidana

-

Page 68: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

63

38 72/PK/Pid/2002

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat

(1) KUHP

Pasal 338 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat

(1) KUHAP

Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1)

KUHAP

-

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS

Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 338 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (2) ke-2 dan

ayat (3) KUHP - -

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS

Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 338 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP

Pasal 365 ayat (2) ke-2 dan

ayat (3) KUHP - -

41 1014/Pid.B/1998/PN

.SBY

Pasal 82 ayat (1) huruf a UU

22/1997 tentang Narkotika

Pasal 81 ayat (1) huruf a UU

22/1997 tentang

Narkotika

Pasal 78 ayat (1) huruf b UU

22/1997 tentang

Narkotika

- -

42 No. 45

PK/Pid.Sus/2009

Pasal 82 ayat (3) huruf a Undang- Undang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1)

ke- 1 KUHP Jo. Pasal

64 ayat (1) KUHP jo . Pasal

84 ayat (2) KUHAP

Pasal 82 ayat (1) huruf a Undang- Undang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1)

ke- 1 KUHP Jo. Pasal

64 ayat (1) KUHP jo . Pasal

84 ayat (2) KUHAP

Pasal 78 ayat (3) Undang-

Undang No.22 Tahun 1997 jo . Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP Jo.

Pasal 64 ayat (1)

KUHP

Pasal 78 ayat (1) huru f b

Undang- Undang No.22

Tahun 1997 jo . Pasal 64

ayat (1) KUHP;

-

PASAL TUNTUTAN

No. No Perkara Tuntutan Jenis Tuntutan

1 1127 K/ Pid/ 2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU No.

22 Tahun 1997 tentang Narkotika Seumur Hidup

2 1771 K/ Pid/ 2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika Pidana Mati

3 1888 K/ Pid/ 2004 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika Pidana Mati

4 2107 K/Pid/ 2004 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika Pidana Mati

5 2253 K/ Pid/ 2005 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika

Penjara Seumur Hidup & Denda Rp 150.000.000,- ;

Subsidair 6 bulan kurungan

6 22/PK/Pid/2003 Pasal 340 jo ps. 55 (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

7 24/PK/Pid/2003 Ps. 65 ayat (1) dari KUHP jo Ps. 340 dari KUHP dan Ps.

65 ayat (1) dari KUHP jo Ps. 292 dari KUHP

Pidana Mati

Page 69: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

64

8 25 PK/Pid/2012 Ps. 340 KUHP Pidana Mati

9 27 PK/Pid/2010 340 KUHP jo 65 ayat (1) KUHP Pidana Mati

10 29 PK/PID/2009 Ps. 340 KUHP jo. Ps. 55 (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

11 53 PK/Pid/2002 Pasal 340 KUHP Pidana Mati

12 11 PK/Pid/2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP seumur hidup

13 14 PK/Pid/2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke 1e KUHP dan Pasal 78 ayat (1) b UU No. 22 Tahun 1997

Pidana Mati

14 18 PK/Pid/2007 Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 Pidana Mati

15 39 PK/Pid/2003 Pasal 23 ayat (4) jo Pasal 36 ayat (4) b UU No. 9 Tahun 1976 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 23 ayat

(5) jo. Pasal 36 ayat (5) UU No. 79 Tahun 1976 Pidana Mati

16 67/Pid/2012/PT.BTN Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika Pidana Mati

17 503 K/Pid/2002 Pasal 78 ayat (1) huruf a UU No. 22 Tahun 1997

tentang Narkotika 15 Tahun Penjara

18 178/PID.B/2009/PN.

TBK

Pasal 340 KUH Pidana Jo pasal 55 Ayat (1) KUH Pidana Dan Pasal 82 Undang Undang R.I No.23 Tahun 2002 Jo

Pasal 55 ayat (1) KUH Pidana Pidana mati

19 554 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pidana mati dengan

perintah agar Terdakwa tetap ditahan

20 558 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP pidana mati

21 560 K/Pid/2009 Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

pidana “Mati” dengan perintah agar Terdakwa

tetap ditahan

22 254 K/PID/2013 Pasal 340 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

23 1731 K/Pid/2008

pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan

pasal 378 KUHP jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo pasal 64

ayat (1) KUHP

Pidana Mati

24 1069 K/Pid/2012 Pasal 340 & Pasal 480 ke-1 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP

Pidana Mati

25 1135 K/ Pid/ 2002 Pasal 82 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a UU

Narkotika Seumur Hidup

26 1835 K/ Pid/ 2010 340 KUHP Pidana Mati

27 2473 K/Pid/2007 Pasal 340 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana Mati

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Ps. 82 ayat (3) UU Narkotika Hukuman Mati

29 731 K/PID.SUS/2009 Pasal 59 ayat (1) huruf e jo. ayat (2) UU Psikotropika

dan Pasal 62 UU Psikotropika Hukuman Mati

30 1443 K/Pid.Sus/2009 Pasal 59 ayat (1) huruf c jo. Pasal 59 ayat (2) UU

Psikotropika Pidana mati

31 39 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 59 ayat (1) huruf b UU Psikotropika jo. Pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal Hukuman Mati

Page 70: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

65

6 ayat (1) sub b UU TPPU

32 28 PK/Pid.Sus/2011 Pasal 82 ayat (3) huruf a UU RI. No.22 Tahun 1997

tentang Narkotika Seumur Hidup

33 108 PK/Pid/2007 Pasal 340 KUHP jo pasal 55 (1) ke-1 KUHPi Seumur Hidup

34 65 PK/PID/2010 Pasal 363 ayat (1) ke-3e KUHP Pidana Mati

35 987 K/Pid. Sus/2011 Pasal 114 ayat (2) Undang- undang RI Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika Seumur Hidup

36 79 PK/Pid/2008

Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana

dan Pasal 285 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana

Pidana Mati

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS

pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP Pidana Mati

pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP

38

72/PK/Pid/2002

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

Pidana Mati

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

Pasal 340 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP , Pasal 187 ke- 1 Jo Pasal 55 (1) ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP dan Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 (1)

ke 1 Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHAP

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Seumur Hidup

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS Pasal 340 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Seumur Hidup

41 1014/Pid.B/1998/PN.

SBY Pasal 82 ayat (1) huruf a UU22/1997 tentang

Narkotika Pidana Mati

42

No. 45 PK/Pid.Sus/2009

pasal 82 ayat (3) huruf a Undang- Undang RI Nomor 22 Tahun 1997

ten tang Narkot i ka Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP

Pidana Mati dan denda Rp 500jt subsidair 3 bulan

kurungan

ALUR VONIS

No. No Perkara Vonis PN Vonis PT Vonis MA Vonis PK

1127 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati

Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

2 1771 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

3 1888 K/ Pid/ 2004 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

4 2107 K/Pid/ 2004 Pidana Mati &

Denda Rp. 100jt Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

Page 71: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

66

5 2253 K/ Pid/ 2005 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

6 22/PK/Pid/2003 Pidana Mati Pidana Mati - Menolak

permohonan PK

7 24/PK/Pid/2003 Pidana Mati - - Menolak

permohonan PK

8 25 PK/Pid/2012 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak

permohonan PK

9 27 PK/Pid/2010 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak

permohonan PK

10 29 PK/PID/2009 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak

11 53 PK/Pid/2002 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak

12 11 PK/Pid/2002 Pidana mati Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi Menolak

permohonan PK

13 14 PK/Pid/2002 Pidana mati Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi Menolak

permohonan PK

14 18 PK/Pid/2007 Pidana mati Menguatkan Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Menolak permohonan PK

15 39 PK/Pid/2003 Pidana mati Menguatkan Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Menolak permohonan PK

16 67/Pid/2012/PT.BTN Seumur Hidup Pidana Mati - -

17 503 K/Pid/2002 18 Tahun Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi -

18 178/PID.B/2009/PN.

TBK Pidana Mati - - -

19 554 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

NO -

20 558 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

21 560 K/Pid/2009 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

NO -

22 254 K/PID/2013 15 tahun penjara Menguatkan Putusan PN

pidana mati -

23 1731 K/Pid/2008 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

24 1069 K/Pid/2012 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

25 1135 K/ Pid/ 2002 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

26 1835 K/ Pid/ 2010 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

27 2473 K/Pid/2007 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

28 38 PK/Pid.Sus/2011 Pidana Mati Hukuman Mati Menolak

Permohonan Kasasi Menolak

permohonan PK

29 731 K/PID.SUS/2009 Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt

Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt

Menolak Permohonan Kasasi

-

Page 72: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

67

30 1443 K/Pid.Sus/2009 Pidana Mati dan Denda Rp. 750jt

Menguatkan pidana mati -

31 39 PK/Pid.Sus/2011

15 tahun penjara dan denda Rp.

500jt subsidair 4 bulan kurungan.

18 tahun penjara dan denda Rp.

600jt subsidar 6 bulan kurungan.

Pidana Mati

15 tahun penjara dan denda Rp

500jt subsidair 4 bulan kurungan

32 28 PK/Pid.Sus/2011 Seumur Hidup Menguatkan Pidana Mati Penjara Seumur

Hidup

33 108 PK/Pid/2007 Pidana Mati menguatkan putusan PN

- NO

34 65 PK/PID/2010 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

Menolak permohonan PK

35 987 K/Pid. Sus/2011 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

-

36 79 PK/Pid/2008 Pidana Mati Menguatkan Putusan PN

Menolak permohonan kasasi

Melolak Permohonan PK

Pemohon

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS Pidana Mati

Menguatkan Putusan PN

- -

38 72/PK/Pid/2002 Pidana Mati Pidana Mati Menolak

permohonan kasasi Menolak

permohonan PK

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS Pidana Mati - - -

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS Pidana Mati

- -

41 1014/Pid.B/1998/PN

.SBY Seumur Hidup

20 Tahun dan denda 100 juta

Pidana Mati Seumur Hidup

42 No. 45

PK/Pid.Sus/2009

Pidana Mati dan denda Rp 500jt

subsidair 3 bulan kurungan

Menguatkan Putusan PN

Menolak Permohonan Kasasi

12 tahun

MASA PENAHANAN

No. No Perkara Rentang Penahanan (dalam hari) Total Masa Penahanan

(dalam hari) Penyidikan Penuntutan PN PT MA

1 1127 K/ Pid/ 2002 - - - - - -

2 1771 K/ Pid/ 2002 - - - - - -

3 1888 K/ Pid/ 2004 25 35 88 116 163 427

4 2107 K/Pid/ 2004 115 38 89 125 84 451

5 2253 K/ Pid/ 2005 58 13 132 91 92 386

6 22/PK/Pid/2003 - - - - - -

7 24/PK/Pid/2003 - - - - - -

8 25 PK/Pid/2012 - - - - - -

9 27 PK/Pid/2010 - - - - - -

10 29 PK/PID/2009 - - - - - -

Page 73: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

68

- - - - - -

11 53 PK/Pid/2002 83 18 90 125 139 455

12 11 PK/Pid/2002 - - - - - -

13 14 PK/Pid/2002 - - - - - -

14 18 PK/Pid/2007 - - - - - -

15 39 PK/Pid/2003 - - - - - -

16 67/Pid/2012/PT.BT

N 49 7 90 108 254

17 503 K/Pid/2002 - - - - - -

18 178/PID.B/2009/PN

.TBK 20 56 90 60 - 226

19 554 K/Pid/2009 119 20 190 30 110 469

20 558 K/Pid/2009 119 20 120 30 110 399

21 560 K/Pid/2009 119 20 121 120 110 490

22 254 K/PID/2013 20 101 149 90 110 470

23 1731 K/Pid/2008 72 20 90 138 142 462

24 1069 K/Pid/2012 87 16 104 89 112 408

25 1135 K/ Pid/ 2002 59 9 121 90 111 390

26 1835 K/ Pid/ 2010 60 11 77 89 111 348

27 2473 K/Pid/2007 42 7 35 90 60 234

28 38 PK/Pid.Sus/2011 119 42 89 145 11 406

29 731

K/PID.SUS/2009 118 34 90 147 51 440

30 1443

K/Pid.Sus/2009 119 42 134 90 111 496

31 39 PK/Pid.Sus/2011 - - - - - -

32 28 PK/Pid.Sus/2011 - - - - - -

33 108 PK/Pid/2007 - - - - - -

34 65 PK/PID/2010 - - - - - -

35 987 K/Pid. Sus/2011 60 7 103 90 110 370

36 79 PK/Pid/2008 60 20 104 88 140 412

37 90 / PID / 2012 /

PT.DPS

120 50 89 41 - 300

- - - - - -

38

72/PK/Pid/2002

- - - - - -

- - - - - -

- - - - - -

39 08/Pid.B/2013/PN-

GS 96 29 150 - - 275

40 07/Pid.B/2013/PN-

GS 96 29 150 - - 275

41 1014/Pid.B/1998/P

N.SBY 23 69 150 90 - 332

42 No. 45

PK/Pid.Sus/2009 - - - - - -

Page 74: Jl. Siaga II No. 6F, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta ...icjr.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Judicial-killing...Pendapat pro – kontra atas hukuman mati kembali menguat, saat

69