jingga

18
Jingga Novelet 2011 Ribka Anasatasia Setiawan [email protected] | @helloribka 1/1/2011

Upload: gabemzaman

Post on 28-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

keadilan

TRANSCRIPT

  • Jingga Novelet

    2011

    Ribka Anasatasia Setiawan [email protected] | @helloribka

    1/1/2011

  • Jingga Ibunda Pertiwi

    Hallo, kenalkan nama saya Jingga. Jingga Ibunda Pertiwi. Mungkin kalian sampai pada tawa yang

    kesekian belas begitu mendengar nama saya, namun begitulah kenyataannya. Nama ini pemberian

    almarhum Ibunda yang meninggal sehari setelah melahirkan saya ke muka bumi. Mungkin, itulah yang

    akhirnya membuat saya berbeda dari saudara yang lain. Saya mengatakan itu sebagai hukuman.

    Saya adalah wanita keturunan Tionghoa, dimana keharusan berwajah sipit-oriental, berkulit putih,

    dan memiliki muka seperti layaknya Tionghoa seharusnya adalah seperti sebuah kewajiban. Saya

    memiliki dua orang kakak wanita yang semuanya dari fisik mereka menunjukan bahwa mereka adalah

    keturunan Tionghoa. Namun begitu menatap ke saya, semua mata itu terbelalak penuh tanya.

    Siapa ini? Biasanya mereka akan memulai mengorek informasi lewat dua kata singkat itu. Saya adik

    dari Biru dan Merah, kata saya menjelaskan, lalu mereka manggut-manggut sok mengerti. Setelah itu,

    terjadi jeda yang sangat panjang dimana saya selalu memutuskan pergi duluan dari kerumunan. Dan

    begitu saya berbalik badan, saya sudah mendapati orang-orang itu bisik-bisik, bertanya satu sama lain

    mengenai perbedaan yang mencolok antara saya, kakak, dan ayah.

    Saya memiliki kulit sawo matang, dengan rambut keriting, mata belo, dan wajah jauh dari kesan

    oriental. Untungnya Ayah suka memberi nama anaknya dengan warna, jadilah perbedaan itu tidak

    begitu menonjol. Saya katakan tidak begitu, karena kalau orang tahu nama panjang kakak-kakak saya,

    mereka akan menyadari perbedaan saya.. lewat nama. Lagipula, kalau orang tidak melihat silsilah

    keluarga saya, mereka tidak akan menyadari keanehan itu. Tionghoa tapi hitam, belo, rambut keriting,

    dan jauh dari kesan oriental.

    Obrolan dan hinaan macam kamu anak kandung bukan, sih? atau yakin nih orang tua kamu orang

    China asli? adalah sesuatu yang sudah terlalu biasa saya dengar. Saking biasanya, rasa perih yang

    awalnya ada kini menghilang perlahan. Saya jadi begitu terbiasa, bahkan cenderung tidak peduli

    dengan apa yang orang katakan atas fisik saya. Mungkin juga karena saya lelah untuk menanggapi,

    atau lebih karena saya sudah terlalu biasa mendengar. Saya tidak tahu yang mana yang menjadi alasan

    utama.

    Namun, ada satu kebanggaan yang saya milikidan tidak dimiliki oleh kedua kakak saya:

    kepintaran. Saya masuk Ekonomi ITB dengan nilai brilian cenderung ke arah jenius. Sampai tahun

    kedua, saya kuliah disini masih full scholarship. Hubungan saya dengan Ayah tidak begitu dekat, itu

  • dibuktikan ketika Ayah hanya menepuk bahu saya dengan muka datar saat saya katakan bahwa saya

    diterima beasiswa tahunan di ITB. Lagi-lagi, saya hanya bisa diam. Mungkin ini hukuman untuk saya,

    karena telah merebut istri tercinta dari tangan Ayah.

    Umur saya sekarang 20 tahun dan selama itu jugalah saya tidak pernah menjalin hubungan dengan

    lelaki mana pun. Saya tidak mau seperti Biru, kakak saya yang pertama, yang selalu bergonta-ganti

    pasangan seperti gonta-ganti kaos kaki. Akibatnya, kakak harus berperut besar saat perkawinannya

    dengan Ko Acong, seorang pedagang komputer yang ditemui kakak pertama kali di X2. Atau mungkin,

    itu adalah salah satu penolakan halus dalam diri saya, karena jauh di lubuk hati paling dalam, saya tahu

    tidak mungkin ada laki-laki setipe Tionghoa yang melirik saya. Kebanyakan dari mereka mencari wanita

    dengan warna kulit cerah, satu kualifikasi yang sudah saya kalahkan secara skak mat alias tidak

    mungkin.

    Selama 20 tahun, saya merasa hidup saya penuh dengan banyak sekali sandiwara. Sandiwara atas

    segala macam perasaan yang sebenarnya ingin saya keluarkan, namun tidak bisa. Otak saya selalu

    tidak berjalan seiringan dengan mulut. Ketika mulut saya mau berbicara, otak saya mencernanya

    terlebih dahulu, sehingga fokus saya berubah menjadi fokus berpikir dan melupakan apa yang mau

    saya katakan. Dan setelahnya, semuanya menjadi angin lalu, begitu saja.

    Saya punya beberapa sahabat sejak SMP. Namun belakangan, saya merasa saya tidak nyaman lagi

    dengan segala macam keadaan. Mungkin karena teman, segala ejekan (yang katanya bercanda) itu

    mereka lontarkan dengan begitu hebat. Saya awalnya tertawa, menerima segala jenis cercaan mereka

    walau dalam label ber-can-da. Namun, sampai disaat saya sedang mengalami masa-masa mood yang

    kurang baik, akhirnya saya meledak marah. Dan sampai detik ini, mereka tidak datang untuk minta

    maaf atas segalanya. Saya sendiri sudah terlalu lelah untuk minta maaf untuk sesuatu yang bukan

    kesalahan saya. Akhirnya, saya kembali sendiri. Menapaki hari-hari yang kian kesini, terasa kian berat.

    Pernah suatu kali, saya bertemu dengan salah seorang dari mereka di salah satu mall di Jakarta,

    saat sedang libur semester. Namun, melihat pun mereka enggan. Akhirnya saya hanya berlalu dari situ,

    dengan merekam semua tatapan sinis mereka ke saya. Sakit? Sedikit. Rasa lega lebih terpancar jelas

    disana. Saya tahu siapa mereka sebenarnya.

    Dan akhirnya, melewati proses 20 tahun yang ada, saya menyadari bahwa manusia ada untuk

    dirinya sendiri. Seperti saya. Mereka bukan ada untuk sesuatu yang bertujuan kepada sesama manusia

  • lain. Mereka ada, dan disatu sisi mereka tidak ada. Fana. Dan detik itu juga, saya belajar bahwa hidup

    adalah kesendirian.

    Jingga, sebuah suara dalam intonasi rendah, membangunkan saya dari sebuah lamunan panjang

    di siang hari. Asisten Dosen Komunikasi Bisnis sedang menatap ke arah saya dengan wajah menegur,

    namun tetap lembut. Wajah lembut pertama yang saya temui dari laki-laki.

    Saya mengangguk, minta maaf seadanya. Saya sejujurnya tidak peduli pada apapun. Fokus utama

    saya adalah tetap mempertahankan IPK di atas 3.85 dan terus mendapatkan beasiswa sampai kuliah

    selesai, cepat-cepat ambil scholarship di New York atau ikut AFS, cabut ke sana, dan tidak balik-balik

    lagi ke Indonesia. Saya sudah terlalu muak dengan segala yang ada.

    Asisten Dosen tadi berjalan menjauhi meja saya, membuat saya kembali terpaku dalam lamunan.

    Tidak lama bel berdering, saya orang pertama yang buru-buru keluar dari kelas. Saya punya destinasi

    sendiri pada waktu istirahat ini.

    Saya melangkahkan kaki ke kantin, membeli Lays rumput laut, dan sejenis italian lunch bikinan

    tangan orang Indonesia seharga dua puluh lima ribu. Saya memasukan makanan itu dalam kotak

    makan yang sudah saya siapkan dari rumah, menolak saat diberikan stereofom. Sebuah kenyataan

    bahwa satu-satunya hal yang saya cintai di dunia ini adalah bumi itu sendiri.

    Setelah memasukan makan siang, saya membawanya ke gedung perkantoran yang ada di

    seberang ITB, naik tangga sampai lantai 8, lalu lanjut lift sampai lantai 20. Saya membuka pintu rooftop,

    mendapati destinasi surga-dunia versi saya yang begitu indah. Dari atas gedung lantai 20 ini, saya bisa

    melihat pemandangan Bandung dengan begitu luas. Tidak ada batasan, tidak ada ekspektasi, hanya

    melihat serta membayangkan. Saya bisa duduk seharian disini, sibuk dengan apapun yang bisa

    menyibukkan saya. Apapun, selain masalah mengenai kenapa saya sendirian disini.

    Saya melirik jam tangan, kaget mendapati waktu berjalan begitu cepat ketika kita menikmati

    sesuatu. Seharusnya di pukul 3 sore ini saya sudah duduk manis di kelas Leadership. Tapi nyatanya,

    saya masih di sini, di seberang gedung kampus, masih memegang Lays dan membaca buku Ernest

    Hermingway.

  • Saya mau menjelaskan perihal nama saya. Mengapa saya terlihat begitu berbeda dibandingkan

    yang lain. Kakak saya yang tertua bernama Biru Hilda Putri Pertiwi, kakak saya kedua tertua bernama

    Merah Hilda Putri Pertiwi, dan saya Jingga Ibunda Pertiwi. Kalian bisa lihat perbedaan disana, kan?

    Karena ternyata dari lahir saya memang sudah sangat begitu berbeda. Ayah awalnya tidak setuju,

    namun karena sesudah mencetuskan nama itu, Ibu meninggal dunia, akhirnya Ayah memasukan juga

    nama saya ke akta lahir.

    Saya menggeleng, melupakan perihal nama dan kembali mencoba menikmati seluruh yang ada di

    atas langit. iPod mengeluarkan lagu Switchfoot dengan lirik what happens next. I dare you to move.

    Like today never happens Maybe forgiveness is right when you fell Where can you run to escape from

    yourself? Where you gonna go?....

    Itu lagu kesukaan saya sejak dulu, sejak pertama kali saya mendengar lagu itu di MTV. Saya seperti

    menemukan belahan jiwa, seperti berkenalan dengan sahabat yang saya tahu keberedaannya akan

    terus ada. Seperti sesuatu yang saya yakini akan terus eksis bersama saya.

    Saya tidak pernah bosan, bahkan cenderung gila akan lagu itu. Berkali-kali iPod memutar lagu itu,

    berkali-kali pula saya terjun ke dalam angan akibat mendengarnya. Karena bersama lagu itu, saya

    setidaknya tidak merasa se-sendirian yang biasanya.

    Dia

    Pintu berkerit, suara langkah kaki masuk, dan kaget mendapati ada seseorang di tempat Dia biasa

    duduki. Dia hanya bisa menatap bingung, lalu menggelengkan kepala cuek. Ini fasilitas umum, batin Dia

    sambil mengeluarkan headset dan memutar satu lagu yang hanya ada satu di playlist ponsel:

    Switchfoot.

    Dia akhirnya memilih duduk disana, di sisi lain dari gedung, memandang Bandung dengan pikiran

    yang melalang buana dan meloncat-loncat. Momentum, Dia berkata dalam hati. Ini seperti sebuah

    momentum karena dapat bertemu dengan seseorang di satu tempat yang samadan jarang

    dikunjungi oleh orang lain. Dia menenggok kesana, mendapati lagi wanita mungil itu. Tidak

    terdistraksi, tidak beranjak dari tempat, hanya simpel diam.

  • Tidak sadarkah ia ada seseorang disana? Dia bertanya sebatas dalam hati. Dia teliti lagi postur

    tubuh, keadaan gestur, semuanya sampai Dia menemukan benda putih kecil menempel

    menyumbatdi telinga si wanita itu. Headset. Dan tangannya iPod. Sedetik kemudian, mengertilah

    Dia kenapa wanita itu sama sekali tidak terdistraksi dengan kedatangannya. Padahal derit pintu masuk

    rooftop ini begitu keras suaranya.

    Mungkin ini waktunya untuk wanita itu menikmati kesendirian. Dia berujar lagi-lagi dalam hati.

    Dia memilih untuk diam, membiarkan seluruh harinya tenggelam dalam pikiran, seperti biasanya.

    Kalau nanti ada saatnya bertemu, mereka pasti bertemu, dan Dia akan mengenalkan diri secara proper

    kepada wanita itu.

    Jingga Ibunda Pertiwi

    Kemarin Saya tidak sengaja melihat bayangan laki-laki saat keluar dari rooftop tempat biasa

    melamun. Saya tidak melihat jelas siapa dia, saya hanya melirik sekilas sebelum akhirnya keluar dari

    ruangan terbuka itu, menuju ke rumah.

    Sosok laki-laki itu seperti saya kenal. Familiar. Entah karena bajunya, atau karena memang

    akhirnya saya menemukan orang lain yang ada di tempat yang sama dengan saya, menutup kupingnya

    dengan headset hitam besar, dan terlihat begitu menikmati kesendirian.

    Saya tidak berani menyapa. Nanti kalau ada waktunya, pasti kita akan saling mengenal, seperti saat

    saya akhirnya menemukan lagu Switchfoot, seperti saat akhirnya saya menemukan rooftop yang

    letaknya tidak begitu jauh dari kampus. Sebuah sanctuary yang sepertinya dikhususkan untuk saya.

    Di rumah, sebelum mengerjakan Ekonomi Mikro, saya menyediakan Ayah makan malam. Hanya

    sebuah pasta instan yang saya beli di Circle K depan gang rumah. Ayah sendiri belum kembali dari

    rumah, mungkin masih di pabrik, atau masih lembur bekerja, atau bertemu dengan klien, atau jalan-

    jalan dengan temannya. Saya tahu, Ayah akan melakukan apapun selain berbicara panjang lebar

    dengan saya. Ia lebih memilih makan malam tertunda (satu hal yang saya senangi, Ayah selalu makan

    malam dirumah, selarut apapun ia sampai ke rumah), daripada tepat waktu tapi harus berbicara

    bersama saya yang juga sedang makan malam.

  • Wajar, karena saya yang sudah mengambil istri tercintanya dari dunia. Demi melahirkan saya, Ibu

    akhirnya harus pergi dahulu, meninggalkan Ayah yang harus mengurus 3 orang anak wanita sendirian.

    Kakak pertama saya sudah menikah, seperti yang pernah saya ceritakan. Sedangkan kakak kedua

    saya memilih kos di Jakarta, kuliah di sebuah Universitas besar di daerah Karawaci, mengambil jurusan

    Food Technology. Jadi, di sebuah jalan panjang Dago, Bandung, pada rumah yang cukup besar untuk

    hanya ditinggali oleh dua orang, saya dan Ayah mencoba berbagi waktu dan kesedihan, juga kesepian.

    Nyatanya, saya begitu menikmati sepi, sendiri, dan monolog pikiran.

    Tapi, apakah Ayah juga menikmati sepi, sendiri, dan monolog pikiran seperti saya?

    Dia

    Dia melihatnya pergi menjauh dan menghilang di balik satu-satunya pintu yang ada di rooftop ini.

    Dia melihat bayangnya, merasa familiar dengan baju, postur tubuh, serta jalan berjalan wanita itu. Tapi,

    pikirannya seperti dikotakan. Ia hanya merasa familiar, tanpa tahu pasti siapa wanita itu.

    Belum waktunya Dia kembali berkata, lebih kepada kesabaran untuk dirinya sendiri.

  • Setahun (Dia dan Jingga bertemu di sebuah Festival Film di Jakarta mereka duduk bersebrangan. Keduanya tidak tahu itu. Keduanya hanya merasa bahwa mereka saling mengisi dalam satu dimensi.)

  • Dua tahun (Dia dan Jingga bertemu di Taman Menteng, di Circle K, di Bandung Indah Plaza, di Oakwood, dan di konser Switchfoot. Kembali mereka tidak tahu. Mereka bahkan sudah lupa kalau mereka ada di dimensi yang sama.)

  • Tiga tahun (Dia dan Jingga bertemu dalam tiga jam waktu yang sama, pada sebuah orientasi mahasiswa baru di ITB. Dia mewakili angkatan 90an, Jingga mewakili angkatan 2000an.)

  • Empat tahun (.Mereka merasa bahwa mereka ada, bahwa ada seseorang yang begitu familiar dengan mereka, tapi mereka tidak tahu siapa. Bayangan itu begitu kuat, namun juga begitu misterius.)

  • Kendra Haslan Putra

    Gue Kendra, tidak usah panggil Haslan atau Putra, karena gue punya dua alasan simpel untuk

    menolak nama itu. Pertama, Haslan seperti nama orangtua yang begitu elegan dan gue bukan

    termasuk orang yang elegan. Kedua, Putra adalah gender, dan gue rasa itu tidak menunjukan siapa gue

    sebenarnya. Jadi, cukup panggil gue Kendra, Ken, Dra, apapun asal masih berunsur nama Kendra.

    Gue sudah lulus kuliah, summa cum laude. Tidak perlu menampakan wajah berlinang airmata

    seperti itu. Menurut gue, summa cum laude adalah hal yang sangat biasa. Bukannya gue sombong, tapi

    kedua orang tua gue, abang gue, serta kakak cewek gue juga mendapatkan gelar yang sama. Mereka

    kini sudah ada yang bekerja di DC (salah satu perusahaan multinasional bergengsi dengan gaji senilai $)

    dan Louwe, salah satu advertising mahal dengan klien sebesar Pertamina, dan honor sekali desain bisa

    sampai milyaran.

    Gue? Dengan lulusan summa cum laude, gue hanya menjalani hidup sebagai seorang yang menurut

    gue bijak: guru.

    Dan bekerja pada almamater sendiri.

    Dua kualifikasi yang sukses membuat kedua orang tua gue melotot horor. Sukses membuat Ayah

    mengeluarkan sumpah serapah dalam Bahasa Inggris yang sangat kasar. Namun, apapun yang terjadi,

    gue sama sekali tidak peduli. Ini hidup gue, dan gue punya aturan sendiri dengan hidup gue. Dan detik

    itu jugalah gue menyadari banyak hal.

    Banyak orang tua tidak selamanya sempurna. Bahwa kita harus mampu menanggung setiap

    konsekuensi yang datang akibat perbuatan kita. Bahwa kita kadang kala tidak mampu berdiri hanya

    dengan ego, namun juga harus seimbang dengan hati dan logika. Bahwa maaf adalah hal yang paling

    susah dikatakan oleh orang tua. Bahwa kadang mereka pikir, dengan titel orang tua, mereka selalu

    benar.

    Akhirnya, bermodalkan uang tabungan saat uang jajan kuliah diberi Ayah begitu berlebih, gue

    mencoba untuk mengontrak sebuah rumah kecil di bilangan Setia Budi, Bandung. Tempat gue bekerja

    pun tidak begitu jauh dari sini. Setidaknya, selama hidup disini, gue bebas menentukan menjadi apa diri

    guewalau tanpa orang tua.

  • Gue melihat seseorang yang sepertinya familiar melewati Circle K, saat gue sedang membeli

    sebuah RedBull. Familiar dan terasa begitu buram. Katakan gue gila, tapi kadang kala gue bisa

    membaca aura orang sekeliling gue. Kadang kala, dengan kualifikasi tertentu.

    Dan gue rasa, rasa familiar yang keluar di otak gue adalah yang membuat gue mendadak membaca

    aura wanita ini.

    Ia terlihat begitu kesepian. dan tidak nyata. Ia seperti mengambang, mengawang pada dunianya

    sendiri.

    Jingga Ibunda Pertiwi

    Saya percaya, takdir adalah hal paling nonsens yang dipercaya oleh manusia. Namun nyatanya,

    walau bibir saya berbicara seperti itu, saya tetap percaya sepenuhnya pada takdir. Takdir yang

    mengambil Ibu saat saya keluar. Takdir yang membuat Ayah kehilangan dan mendapatkan pada waktu

    bersamaan. Takdir yang membuat saya berbeda dengan orang terdekat saya: keluarga. Jadi, kalau

    selama 25 tahun hidup dengan baying-bayang takdir, tidak salah saya mempercayainya. Walau

    nonsens.

    Kendra Haslan Putra

    Asisten Dosen? Gue mendongak dari laptop, mendapati Dosen Senior, Bapak Agung Wijaya,

    menghampiri gue dengan wajahnya yang ramah. Kadang gue merasa, ia melihat gue seperti anaknya

    sendiri.

    Ya, kata Bapak Agung. Saya rasa kamu butuh mempunyai asisten sendiri. Lagipula, Yayasan

    memang menyediakan satu slot tempat untuk asisten dosen Komunikasi Bisnis sejak dulu.

    Gue mengangguk, berusaha mengerti, ditengah-tengah otak gue yang mendadak merekam ulang

    waktu itu. Waktu gue masih menjadi asisten dosen Bapak Agung, waktu gue pertama kali mempunyai

    kecintaan akan mengajar.

    Bagaimana menurut kamu, Ken? Suara bariton Bapak Agung melepaskan gue dari lamunan.

  • Boleh, Pak.

    Jingga Ibunda Pertiwi

    Kembali ke ITB setelah hampir setengah tahun tidak pernah bermain-main kemari adalah sebuah

    nostalgia yang indah. Saya seperti mendapati waktu berhenti, kebahagiaan datang seiring dengan

    memori lama yang terkelupas satu demi satu. Rasanya, seperti kembali ke rumah lama.

    Memang setelah lulus-lulusan, saya langsung bekerja di sebuah Advertising selama empat bulan.

    Setelah itu, saya keluar karena pekerjaannya yang seperti orang gila. Datang pagi, pulang larut,

    dirumah masih harus berpikir soal pekerjaan. Kini rumah tidak sesepi dulu kala.

    Kakak saya kedua, Merah, sudah menikah dengan seorang laki-laki keturunan Itali. Namun, karena

    alasan yang tidak saya mengerti, Kakak memilih membawa laki-laki itu ke rumah kami. Saya sejujurnya

    senang karena tidak perlu lagi berduaan saja dengan Ayah. Saya sudah terlalu lelah berbasa-basi,

    mungkin.

    Tepat dua bulan setelah Kakak pindah kembali ke Bandung dan saya keluar kantor, sebuah surat

    dari almamater kampus menghampiri email saya. Mereka meminta saya untuk menjadi asisten dosen

    mata kuliah Komunikasi Bisnis. Tanpa berpikir dua kali, saya membalas surat dengan ketersediaan

    penuh. Setidaknya, saya tidak perlu menganggur dan melihat wajah Ayahyang entah mengapa

    begitu tidak suka kalau harus bersamaan dengan Mike, suami Kak Merah.

    Jadi, disinilah saya. Berada di depan almamater, dengan gedung ITB yang saya rasa makin

    moderen, serta sebuah gedung yang biasa saya singgahi selagi bosan. Gedung yang mengingatkan

    saya pada sebuah sosok yang sampai detik ini tidak saya ketahui siapa. Saya menyebutnya dengan

    dia Dia satu-satunya orang yang tahu betapa indahnya rooftop gedung di depan ITB itu. Dia satu-

    satunya orang yang membuat saya lebih tertarik memperhatikannya dibanding mendengar lagu

    Switchfoot. Dia.. yang tidak saya ketahui namanya.

    Ponsel saya berdering, menghancurkan lamunan yang datang tidak pada tempatnya. Saya

    menghela nafas, mengangkat telpon dengan suara tenang, maaf, Pak, saya sudah di depan dari tadi,

    tapi belum masuk ke gedung B. Sekitar sepuluh menit lagi, saya sampai.

  • Kendra Haslan Putra, Jingga Ibunda Pertiwi, dan. takdir

    Mereka berdua akhirnya bertemu, ditengah waktu yang terasa begitu bergerak cepat. Keduanya

    bersalaman, saling tersenyum canggung satu sama lain.

    Saya kenal dia, ujar Kendra.

    Astaga. Kenapa saya merasa orang ini seperti Dia? Jingga menahan nafasnya.

    Mereka duduk, ditengahi oleh Bapak Agung yang menjelaskan sistematika bekerja sebagai asisten

    dosen. Tidak ada yang mereka dengarkan, hanya ada suara hati yang mendadak terasa begitu intens

    muncul di antara mereka.

    Mata mereka beradu pandang, tanpa ada kebohongan, pretensi, dan keinginan untuk menjadi

    orang lain. Keduanya seakan teman lama yang baru saja ditemukan. Detik itu, mereka menyadari ada

    garis takdir yang bersinggungan di antara mereka.

    Selepas kepergian Bapak Agung, keduanya berjalan bersama-sama menuju kelas. Tidak ada

    pembicaraan apa-apa, murni hanya keinginan untuk berusaha nyaman ditengah rasa diam. Sampai

    kelas, sampai mengajar, sampai kelas selesai, sampai murid-murid bubar, sampai mereka jalan kembali

    ke ruang dosen, sampai..

    Kamu kita pernah ketemu ya? Kendra menyapa duluan, membuat Jingga menenggok lembut

    dan dengan senyum yang Kendra lihat untuk pertama kalinya.

    Mungkin, atau tidak, ujar Jingga lembut. Saya tidak tahu.

    Rumah kamu dimana? Kendra bertanya lagi.

    Tidak begitu jauh dari sini.

    Kendra menarik tangan Jingga lembut, saya antar.

  • Perjalanan itu terasa begitu dekat. Waktu seakan punya dimensinya sendiri. Lantunan lembut dari

    Clair De Lune, serta suasana khas kota Bandung membuat keduanya makin merasa sulit melepas satu

    sama lain. Padahal mereka baru saling mengenal.

    Saya pernah diajar kamu, suasana sunyi itu terpecahkan dengan suara lembut milik Jingga.

    Memorinya membeku pada masa dirinya masih SMA. Nada suara itu bangga, karena ia bisa meningat

    detail kecil mengenai betapa familiarnya Kendra di otaknya. Sekitar tujuh tahun lalu, kamu masih jadi

    asisten dosen.

    Kendra melirik dari sebelah mata, tersenyum penuh arti. Saya sudah tahu itu, Putri..

    Kamu yang paling cerdas di kelas, tapi paling sendu. Seperti awan yang selalu mendung. Ucapan

    itu keluar lancar dari mulut Kendra, tanpa laki-laki itu prediksi efeknya pada Jingga.

    Kamu bisa melihat kesedihan saya, Ken?... detail hati Jingga berbicara, lagi.

    Terima kasih atas perhatiannya, namun hanya itu yang keluar dari mulut Jingga.

    Dan perlahan, hujan turun, rintik merintik dari langit. Suasana sore hari terasa begitu indah dan

    teduh, seperti sinar mata yang mendadak terpacar dari Kendra juga Jingga. Seperti satu dalam dua,

    keduanya memiliki kebahagiaan atas sesuatu yang sama-sama abstrak: hujan, lagu, sore, langit, bumi,

    musik

    Saya suka sekali Clair De Lune, juga Switchfoot. Tidak ada yang bisa menganggu saya kalau

    sedang mendengarkan keduanya, apalagi Switchfoot kecuali satu orang itu. Ya, satu wanita di atas

    atap gedung itu. Seseorang seperti kamu. Kendra berbisik pelan. Bisikan yang cukup kencang untuk

    didengar Jingga.

    Saya juga suka Switchfoot. Jingga menjawab seadanya. Dan tidak bisa diganggu kalau sudah

    mendengarkan lagu itu kecuali didistraksi oleh dia.

    Saya suka kamu. Balas Kendra, dalam.

    Jingga menahan nafas untuk sesuatu yang tidak ia mengerti. Takdirkah? Ia melihat sekali lagi paras

    orang yang baru ia kenal selama kurang dari satu hari itu. Paras ganteng, bergaris keturunan China, dan

    seperti mengetahui kesedihan Jingga. Namun itu adalah rasa. Logika Jingga berkata lain, sungguh lain,

    bahkan cenderung bersinggungan. Ia merasa marah, dilecehkan. Sebegitu terlihat menyesakkankah ia,

  • sampai ada lelaki tidak dikenal, menyatakan suka padanya, padahal mereka baru bertemu kurang dari 24

    jam?

    Rumah saya di gang kiri. Jingga berkata, tidak menanggapi perkataan Kendra. Sudah cukup

    halusinasinya akan laki-laki yang tidak pernah ia kenal wajahnya dan hanya ia tahu punggungnya.

    Mobil berhenti di gang yang ditunjuk oleh Jingga. Lagi-lagi keduanya diam, sampai Jingga

    menenggok kepada Kendra dan tersenyum, lalu berujar, terima kasih banyak.

    Jingga keluar dari dalam mobil. Ada satu tarikan nafas, sebuah kesenduan yang tidak ia mengerti

    kenapa muncul sesaat setelah mereka berpisah. Sebuah rindu. Sebuah kesepian. Aneh batin Jingga.

    Dulu ia merasa begitu bahagia pada sepi.

    Kendra pun begitu. Jingga keluar dari mobilnya, tanpa bisa ia cegah, tanpa bisa ia larang, dan tanpa

    menjawab pernyataan darinya; walau ia tahu pasti, pernyataan itu tidak butuh jawaban. Ia merasa

    besok adalah waktu yang lama. Kendra membunuh logikanya, dan menyalakan penuh gear nurani dan

    hatinya. Ia keluar dari mobil, berlari ke arah Jingga, dan menarik tangan wanita itu.

    Jingga menenggok, keduanya saling menatap.

    Kenapa? Jingga bertanya, berusaha tetap tenang.

    Kendra diam. Jeda cukup lama di antara mereka, sampai gelengan kepala Kendra dilakukan

    bersamaan dengan mengendurnya pegangan tangan laki-laki itu pada Jingga.

    Dan Kendra berbalik.

    Dan seperti dj vu.

    Dan seperti mengeluarkan segala macam intuisi yang selama ini ditutupi.

    Dan seperti menebak pada sesuatu yang gelap.

    Dan seperti mendapatkan sebuah lampu.

    Kamu.? Satu kalimat pendek dari mulut Jingga, cukup membuat Kendra menenggok dan

    berbalik kembali kepadanya. Kamu, yang waktu sehabis pelajaran Komunikasi Bisnis sebelum UTS,

    naik ke gedung diseberang ITB? Laki-laki dengan jaket hitam?

  • Mata Kendra menyipit, berusaha mengerti arah pembicaraan Jingga, sekaligus mencari-cari di

    kotak memori otak perihal kejadian yang barusan disebutkan oleh Jingga. Dan mengertilah Kendra. Itu

    adalah waktu setelah ia mengajar Komunikasi Bisnis dan duduk santai ke tempat yang menjadi surga

    versinya sejak semester 1.

    Kendra tersenyum.

    Membuat keduanya mengerti. Bahwa mereka mencari pada sebuah benang yang dilingkarkan

    pada tubuh mereka sendiri.

    Si wanita itu. Kendra tersenyum begitu lebar.

    Dia. Jingga entah mengapa, menangis. Untuk sesuatu yang seperti sama sekali tidak sentimentil.

    Kamu yang duduk dipinggir gedung sambil mendengarkan iPod? Kendra berjalan mendekat,

    berbisik begitu lembut. Jingga mengangguk.

    Akhirnya aku ketemu kamu juga, Switchfoot girl. Kendra memeluk erat. Begitu erat, seakan-akan

    tidak ingin waktu kembali bermain pada dimensi dan takdir, lalu memisahkan mereka. Sudah lama

    sekali aku penasaran dengan wanita dipinggir gedung itu. Sudah lama sekali.

    Jingga tidak bisa berkata apa-apa. Ia menangis, menangis untuk sesuatu yang sama sekali tidak ia

    mengerti. Ia hanya merasa kangen. Kangen pada sesuatu yang tidak pernah ia temui. Tapi, begitu

    kangen.

    Kenapa kamu bisa sadar itu aku? Kendra berbisik lagi, lalu memeluk Jingga makin erat begitu

    mendengar wanita ini terisak.

    Kamu pakai jaket itu lagi kamu pakai jaket yang sama, di hari pertama kita ketemu.