jerat papua (edisi v juni 2014)
DESCRIPTION
Newsletter Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua Edisi 5 Juni 2014TRANSCRIPT
www.jeratpapua.org
EDISI V
EDISI JUNI
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 2
S.MANUFANDU
Sekretaris Eksekutif
DESSY ITAAR
Manager Office
ENI RUSMAWATI
Manager Keuangan
ASMIRAH
Keuangan
WIRYA.S
Manager PSDA & EKOSOB
SABATA.RUMADAS
PSDA & EKOSOB
E. DIMARA
Manager PPM
ESRA MANDOSIR
Manager JKL
ANDRIO. NGAMEL
Unit Studio
MARKUS IMBIRI
Unit DIP
JERRY OMONA
Unit DIP
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org Menakar Penanganan
Korupsi di Papua
Penjaga Ukiran Asmat
Dokter Yang Menulis
Buku
Merajut Wisata Yang
Rusak
Setia Demi Senyum
Pasien HIV/AIDS
Manokwari dan Dampak
Perubahan Iklim
Perusahan Sawit Masuk
Merusak Tali Per-
saudaraan Orang Mut-
ing dan Bupul
Fisikawan Papua yang
Mendunia
EDISI V
P enanganan kasus korupsi oleh Komisi Pember-
antasan Korupsi (KPK) di Papua tergolong ting-
gi.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto mengatakan,
jika dibandingkan dengan daerah lainnya seperti
Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur
(NTT) dan Gorontalo, penanganan korupsi di Papua
tak bisa diremehkan. "Bahkan di tiga wilayah itu,
belum tersentuh KPK sama sekali," tandasnya, be-
lum lama ini.
Ia menjelaskan, Papua termasuk provinsi yang
terindikasi memiliki kasus korupsi luar biasa. Pasal-
nya, dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan
untuk Papua sangatlah besar.
Bambang menuturkan, pihaknya akan tetap menin-
daklanjuti indikasi korupsi di daerah ini. Seperti ka-
sus yang menjerat tiga kepala daerah dari Kepu-
lauan Yapen, Boven Digoel dan Supiori. Ketiganya
diduga menyalahgunakan dana Anggaran Pendapa-
tan dan Belanja Daerah (APBD).
Wakil Ketua KPK ini juga menambahkan, ada dua
kasus lainnya yang kini telah masuk dalam forum
ekspose di KPK. Dua kasus itu merupakan hasil au-
dit dari BPK Perwakilan Papua. “Itu jumlahnya san-
gat besar dan melibatkan mantan (pimpinan),” ujarn-
ya. Sayang, Bambang tidak menjelaskan siapa man-
tan itu. “Karena tidak mungkin kami menyelidiki
tanpa data yang jelas. Karena data saja tidak cukup
untuk dijadikan bukti yang konkrit.”
Ditempat terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi Abraham Samad mengakui, sering terjadi
fenomena aneh di Papua jika seorang pejabat dijerat
kasus dugaan korupsi. "Kalau seorang pejabat digo-
yang kasus korupsi, dia akan memprovokasi
masyarakat untuk berdemonstrasi.”
Menurut Abraham, ia telah menerima laporan dari
Kepala Polda Papua terkait penanganan korupsi di
Papua. Kapolda memintanya berkunjung ke kantor-
kantor pemerintahan pada hari Kamis. Sebab, pada
hari-hari menjelang akhir pekan, seluruh kantor
pemerintahan kosong karena para pejabatnya
terbang ke Jakarta untuk urusan pribadi.
Informasi yang diberikan kepada Abraham ini di-
perkuat dengan sejumlah bukti fisik. Salah satunya
bukti pembayaran dari beberapa pejabat daerah di Pa-
pua saat menginap di hotel berbintang di Jakarta. "Saya
tanya kenapa Kamis? Katanya Kamis semua kantor bu-
pati kosong, semua pada ke Jakarta untuk berfoya-foya.
Ada bukti pembayaran di Hotel Shangrila di President
Suite," ujar Abraham.
44 Anggota DPR PB
Penanganan korupsi di bumi Cenderawasih juga terjadi
di Propinsi Papua Barat. Kejaksaan Tinggi Papua
menetapkan 44 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pa-
pua Barat menjadi tersangka diduga setelah menilap
uang rakyat sebesar Rp22 miliar. Mereka menjadi ter-
sangka bersama Sekretaris Daerah Provinsi PB.
"Kami menetapkan mereka sebagai tersangka, sesuai
dengan bukti-bukti yang kami temukan berupa kuitansi
transaksi keuangan, dokumen dan keterangan empat
orang saksi," ujar Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Papua,
Hardjono Tjatjo, tahun lalu.
Semua tersangka dituduh telah menggelapkan Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Daerah Papua Barat
2010 senilai Rp22 miliar. "Uang Negara Rp22 miliar
dibagi-bagi kepada anggota Dewan oleh Sekda tanpa
ada pertanggungjawaban kegunaannya," kata Hardjono.
Modus penyalahgunaan dana APBD ini adalah:
pemerintah Provinsi Papua Barat menyerahkan uang
sebesar Rp100 miliar ke perusahaan daerah setempat
yakni PT Papua Doberai Mandiri untuk dikelola. Namun,
tidak lama kemudian setelah uang disetorkan, Sekda
Papua Barat Marthen Luther Rumadas meminta sebagi-
an uang tersebut, dengan alasan meminjam.
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 P I L I H A N R E D A K S I H A L . 3
JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org
EDISI V
Awalnya, Mamad Suhadi Direktur PT Papua Doberai Mandiri
berkeberatan - meski pada akhirnya pada 17 September 2010 da-
na dicairkan sebesar Rp15 miliar dan diberikan ke Sekda. Selanjut-
nya, pada 9 Febuari 2010 dana dicairkan Rp7 miliar.
Belakangan diketahui, uang itu ternyata dibagi-bagikan Sekda
kepada 44 anggota DPR Papua Barat itu. ''Kami menilai indikasi
penyalahgunaan dana terjadi, karena Sekda tidak ada niat
mengembalikan dana itu sesuai dengan perjanjian. Dan ironisnya,
setelah diselidiki, uang itu telah habis dibagi-bagikan ke anggota
Dewan tanpa ada maksud dan alasan yang jelas."
Korupsi berjemaah ini menjadi yang terbesar selama satu dekade
di Papua Barat. Akibat Kelakuan konyol para wakil rakyat itu, 44
anggota itu diganjar dengan hukuman 15 bulan penjara dan denda
Rp 50 juta. Salah satu yang ikut divonis adalah Ketua DPRD Pa-
pua Barat Yohan Yosep Auri. Selain Yohan, Wakil Ketua DPRD
Demianus Idji dan Robert M. Nauw, serta mantan Sekda PB Mar-
then l. Rumadas, juga dinyatakan bersalah.
Perjalanan Korupsi
Pengalaman perjalanan peristiwa korup di Papua berulang dari
tahun ke tahun. Korupsi dimulai dari hal yang kecil hingga melibat-
kan pejabat publik. Jumlahnya pun ribuan kasus. Misalnya pada
2010. Ketika itu, tim penyidik tindak pidana korupsi Polresta Jaya-
pura memeriksa Ketua KPUD Jayapura, Hendrik Bleskadit terkait
dugaan menggelapkan dana pemilu kepala daerah senilai Rp 3,2
milar.
Kapolreta Jayapura, AKBP Imam Setiawan saat itu mengatakan
uang Rp 3,2 miliar yang disalurkan Pemda Kota Jayapura untuk
membiayai Pemilukada, tak bisa dipertanggungjawabkan
penggunaannya oleh KPUD.
Selain Hendrik, polisi juga sudah menginterogasi empat anggota
KPUD Kota Jayapura yang diduga ikut terlibat dalam penye-
lewengan anggaran tersebut. Dana itu disebut sebut digunakan
Bleskadit dan empat anggota KPUD untuk perjalanan dengan
tujuan menyelesaikan kasus sengketa Pemilukada Kota Jayapura
yang sempat mengalami penundaan selama tiga kali.
Dalam kasus lain, penegak hukum yang seharusnya mengawal
korupsi, malah ikut nimbrung dalam masalah ini. Peristiwa itu ter-
jadi pada 2010 ketika Kejaksaan menetapkan dua jaksa sebagai
tersangka dugaan korupsi penjualan barang bukti di Merauke.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek
Darmanto ketika itu menyebutkan, dua jaksa itu adalah Edy
Sutiyono (mantan Kepala Kejaksaan Negeri Merauke) dan Supar-
no (mantan Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Merauke).
”Kerugian negara sebesar Rp 663 juta,” kata Didiek.
Edy akhirnya dicopot dari jabatan terakhirnya sebagai Kepala Ke-
jari Wonosobo (Jawa Tengah). Sementara Suparno dipindah men-
jadi jaksa fungsional pada Bidang Intelijen Kejagung.
Didiek mengungkapkan, dalam kasus ini, kedua tersangka telah
melanggar Undang-Undang tentang Pelayaran dalam perkara tindak pidana
perikanan atau illegal fishing. Yakni melakukan pelelangan barang bukti
berupa enam kapal ikan dengan tidak sesuai prosedur. Pelelangan dil-
aksanakan di ruang kerja Kejari Merauke, dengan pelaksana Kepala Seksi
Pidana Khusus. Uang hasil lelang juga tidak disetorkan ke kas negara.
Korupsi Dilakukan Orang Pandai
Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII Mahfud MD mengaku prihatin kare-
na lebih dari 80 persen pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi.
"Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang
pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini
membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak
lulusan yang berakhlak," ungkap tokoh besar nasional itu.
Mahfud MD yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konsti-
tusi RI menjelaskan, institusi perguruan tinggi saat ini hanya mencetak sar-
jana, tanpa disertai akhlak yang kuat. Imbasnya, saat menjadi pejabat atau
petinggi politik, mereka melakukan tindak korupsi. "Sekarang ada ribuan
orang pintar tetapi sedikit yang berakhlak. Fenomena ini yang harus segera
diperbaiki dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi negera ini," tegas
Mahfud.
Menurut dia, sistem pendidikan di perguruan tinggi harus bisa membentuk
generasi yang berwatak dan berakhlak. Ia beranggapan bahwa agama dan
ilmu pedidikan tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, agama menjadi dasar ap-
likasi ilmu yang telah didapat. Ketika kombinasi keduanya terjalin dengan
baik maka institusi pendidikan akan melahirkan para cendekiawan, yakni
lulusan yang tidak hanya pandai, tetapi juga memiliki akhlak. "Bekal akhlak
yang ditanamkan sejak dini akan melahirkan generasi antikorupsi,"
pungkasnya.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)
Sidang Kasus Korupsi ( Foto ALDP )
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V A P R I L 2 0 1 4 P R O F I L H A L . 5
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org
EDISI V
E rick Sarkol memegang dua ukiran patung Asmat dari kayu. Di
tangan kirinya, patung berwujud pria setengah membungkuk
memegang sebuah pemukul. Patung yang lainnya berwujud
kepala dengan badan yang belum jadi.
“Patung ini dibuat oleh pengukir berpengalaman, pengukir sejati,”
ujar Erick sambil mengangkat ukiran patung manusia Asmat di
genggaman tangan kirinya. ”Ini dibuat oleh seseorang yang bukan
pengukir,” tutur kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan As-
mat itu sambil menunjukkan ukiran patung di tangan kanannya.
Dia lihai menilai ukiran Asmat. Dia tahu betul sebuah ukiran dibuat
oleh siapa. Ini karena ukiran Asmat, terutama ukiran patung, pada
dasarnya dibuat sesuai dengan citra diri si pematung. Secara fisik,
bentuk wajah patung adalah ”potret” diri si pengukir.
Pengukir juga memiliki gaya masing-masing. Dengan demikian,
ukirannya bisa dibedakan antara satu pengukir dan pengukir
lainnya. ”Tidak semua orang Asmat bisa mengukir. Keahlian men-
gukir biasanya bakat yang diturunkan keluarga, dari orangtua
kepada anak, juga cucu,” ujarnya.
Pada awalnya, pengukir Asmat membuat ukiran patung untuk me-
dia upacara pemanggilan roh. Karena itu, di dalam patung untuk
upacara adat diyakini ada roh leluhur. Patung itu menjadi ”hidup”.
Patung seperti ini tidak boleh diperjualbelikan.
Sebagai kurator sekaligus Kepala Museum Kebudayaan dan
Kemajuan Asmat di Agats, Erick hampir setiap tahun berkeliling
kampung dan distrik di seluruh Kabupaten Asmat.
Dia menyeleksi karya-karya pengukir yang akan diikutsertakan
dalam Pesta Budaya Asmat. Ini adalah gelar budaya tahunan
sekaligus ajang kompetisi bagi para pengukir Asmat. Di sinilah
kemampuan Erick diuji.
Karya-karya ukiran terbaik, baik patung maupun panel, dilomba-
kan dalam festival tersebut. Ada ratusan ukiran yang dibagi dalam
beberapa kategori. Setelah dinilai juri, karya ukiran itu dilelang
secara terbuka.
Nilai lelang relatif tinggi. Sebuah karya ukiran, misalnya, bisa ter-
jual sampai puluhan juta rupiah. Sebagai gambaran, nilai transaksi
lelang 227 ukiran Asmat saat Pesta Budaya Asmat di Agats be-
berapa tahun lalu mencapai Rp 1,518 miliar. Inilah yang menggo-
da para pengukir Asmat.
Karena itu, berbagai cara dilakukan agar karya ukiran mereka bisa
sebanyak mungkin lolos seleksi dengan harapan dapat terjual
banyak. Tak jarang, seorang pengukir menitipkan ukirannya yang
diatasnamakan orang lain agar bisa ikut dilombakan. Tentunya, ini
pun dengan harapan agar semakin banyak karya dia terjual
dengan nilai tinggi.
Di sinilah Erick menguji dan menilai ukiran-ukiran itu. ”Orientasi uang seperti
itu merugikan pengukir karena nama mereka bisa tenggelam. Justru orang
yang bukan pengukir bisa lebih dikenal,” ujarnya.
Kejelian menilai ukiran Asmat dipupuk Erick selama bertahun-tahun, sejak
dia bergabung dengan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat pada
1974. Sebelumnya dia adalah guru honorer selama delapan bulan di SD
YPPK di Kampung Ayam, Agats. ”Awalnya saya tak tertarik dengan karya
ukiran Asmat, tetapi lama-kelamaan tertarik juga,” kata Erick, yang sebelum
menjadi kurator bertugas di bagian perpustakaan museum.
Tak hanya tertarik, Erick bahkan juga belajar mengukir. Dia juga dikenal
sebagai pengukir gaya Asmat. Karena itu, dia dipercaya dan dihormati para
pengukir Asmat.
Jebolan sekolah guru di Merauke ini pernah keluar dari Museum Ke-
budayaan dan Kemajuan Asmat pada 1986. Ia lantas bergabung dengan
Yayasan Asmat. Tahun 1992, Erick kembali ke museum.
Ketika itu ia sangat ingin mengunjungi museum. Betapa kagetnya Erick saat
mengetahui banyak koleksi ukiran yang dipajang dalam kondisi rusak.
Hati nurani Erick terusik dan terpanggil untuk kembali bekerja di museum,
menjaga koleksi warisan budaya Asmat. Selama 1992-2001, dia diangkat
menjadi asisten kurator. Pada 2002 Keuskupan Agats, sebagai pemilik dan
pengelola museum, mengangkat dia sebagai kurator, menggantikan Yu-
vensius A Biakai yang diangkat sebagai Bupati Asmat.
Erick sangat berhati-hati menjaga ukiran-ukiran Asmat. Dia pernah jengkel
kepada siswa-siswa sekolah yang berkunjung ke museum karena berlarian
ke sana kemari. Seorang kolektor ukiran Asmat pun pernah menawar se-
buah masterpiece museum berupa perisai kayu yang diukir menggunakan
tulang kasuari dengan harga ribuan dollar AS. Tentu saja tawaran itu dia
tolak.
Erick bersyukur, belakangan ini para pengukir muda Asmat mulai bermuncu-
lan sejak digelarnya Pesta Budaya Asmat setiap tahun. Pesta budaya itu
diadakan sejak tahun 1980. (Jerry Omona/Kompas/JERAT)
Erick Sarkol (Kiri) bersama Pengunjung
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 C E R I T A D A R I K A M P U N G H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V A P R I L 2 0 1 4 P R O F I L H A L . 5
JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI V
K epala Dinas Kesehatan Propinsi Papua, sebelumnya, Kepala Rumah Sakit Umum Abepura, Jayapura, drg. Aloysius Giyai, M.
Kes, miris. Persoalan bidang kesehatan di Papua masih terbengkalai. “Masalah dana selalu menjadi alasan klasik, ditambah lagi kondisi geografis, kultur, sosial dan ekonomi yang menantang,” kata Giyai. Derajat kesehatan masyarakat kata dia, terus terpuruk. Angka ke-matian meningkat dan usia harapan hidup menurun. “Itulah sebabnya buku Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua lahir,” ujarnya lagi. Buku Giyai mencoba memberi perspektif baru pengelolaan sektor kesehatan yang sederhana, revolusioner dan berkelanjutan. Buku setebal 467 halaman itu mengisahkan perjalanan hidupnya semasa kecil, hingga menjadi direktur di RS Abepura. Diterbitkan oleh PA-KAR, Papua Pustaka Raya, November 2012. Ia menjadi satu-satunya dokter asli Papua yang menuangkan gaga-san dalam buku, serta berpikir bagaimana nasib orang asli Papua ke depan. Giyai lahir di Kampung Onago, Kabupaten Deiyai, Papua, 8 Septem-ber 1972. Ia adalah anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya Giyaibo Raimondus Giyai (alm) dan Ibu Yeimomau Albertha Yeimo (alm). Pria lulusan Magister Kesehatan Universitas Airlangga Suraba-ya 2002 ini, sejak 2009 menjabat sebagai direktur ke 13 RSUD Abepura. Karirnya menanjak setelah di 2014, Giyai dilantik menjadi Kepala Dinkes Papua. Semasa menjabat sebagai direktur rumah sakit, suami dari Agustina Katoar AM.d.G itu juga terlibat aktif dalam berbagai organisasi. Dian-taranya dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih (FKM Uncen) Jayapura, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Pegunungan Tengah Papua dan Ketua Dewan Pen-asehat Ikatan Cendekiawan Katolik Papua (ICAKAP). Di masa kuliah, Giyai dikenal sebagai pria yang bermental baja. Ia juga sukses mengubah RSUD Abepura dan meraih 14 penghargaan di tiga tahun kepemimpinannya. “Saya dari dulu ikut organisasi, sejak masa sekolah, saya pernah menjadi ketua OSIS, ini buku pertama saya yang di buat dalam waktu sekitar satu setengah tahun.” Giyai memiliki empat buah hati; Roland WR Giyai, Rolina AA Giyai, Romish Giyai dan Soshinta Giyai. “Saya membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan, saya juga menyisihkan tiap hari untuk menu-lis, saya tidak punya tempat praktek, buat apa buka praktek, karena hidup ini bukan hanya soal uang.” Karirnya dalam dunia birokrasi memang tidak mulus. Ia merintis dari bawah sebagai Staf Puskesmas Hedam, Abepura (Pegawai Negeri Sipil), tahun 2002. Meski baru saja mengenal lingkungan birokrasi, ia telah dipercaya menjadi Koordinator Perencanaan Rumah Sakit Pen-didikan Tipe B RSUD Dok II Jayapura, pada tahun 2003 – 2005. Di waktu yang sama, ia juga menjadi Ketua Pengelola Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) RSUD Dok II Jayapura. Pada akhir tahun 2005, Giyai dipindahtugaskan sebagai staf pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura. Karirnya berlanjut menjadi Kepala Seksi Puskesmas pada Subdin Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Jayapura di akhir 2005 hingga 2006. Pada pertengahan 2006, Giyai diangkat menjadi Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Jayapura. Di 2007, ia ditugaskan sebagai Kepala Puskesmas Perawatan Inap
Koya Barat pada Dinkes Kota Jayapura. Selain PNS, Giyai juga me-megang tugas lain sebagai Ketua Jurusan Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) atau Pejabat Kontrak pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Uncen, dari 2005 - 2007. Kerjanya yang cekatan kemudian membawanya memegang jabatan se-bagai Kepala Sub Dinas Kesehatan Keluarga pada Dinkes Kota Jayapu-ra. Setahun setelah itu, ia non job alias tanpa jabatan. “Hanya menjadi staf biasa di Dinas, tidak ada tugas penting,” katanya. Di 2009, tak disangka, ia kemudian dikukuhkan sebagai Direktur RSUD Abepura. “Ketika saya diangkat, banyak pihak menghina dan meren-dahkan, ada yang bilang: kamu itu tidak bisa kerja, Orang Papua susah pegang jabatan tinggi, ada juga: dokter gigi saja mau jadi Direktur, mana bisa, tapi saya menerima semua kritikan itu,” kata Giyai. Ia tak patah se-mangat. Meski diolok, Giyai menjalankan tugas dengan penuh tanggung-jawab. Menjadi Direktur pada rumah sakit besar, tidak mudah. ”Petugas dan PNS semuanya ada 650 orang, mereka punya karakter berbeda, disinilah tantangannya,” tukasnya. RSUD Abepura kini menjadi barometer di Papua. Selain menerapkan layanan kesehatan gratis bagi orang asli Papua, RS ini juga memperoleh akreditasi khusus sebagai rumah sakit dengan layanan prima. “Pengelolaan limbah kita kelola dengan baik, tidak mencemari ling-kungan. Ini rumah sakit milik semua orang Papua.” Meski demikian, ia mengakui ada kekurangan yang mesti dibenahi. “Soal kebersihan rumah sakit, atau juga menyelaraskan tugas pokok dengan usaha mendekatkan diri pada masyarakat,” ujarnya. Seluruh bagian ini telah dituangkan Giyai dalam bukunya. Ia menulis sejarah lahirnya RSUD Abepura, pelayanan ketika baru berdiri tahun 1946, kesulitan menghadapi pasien, hingga tudingan bahwa Otonomi Khusus pemicu kematian di Papua. Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib memberi apresiasi atas bu-ku Aloysius Giyai. Buku Giyai dipandang sebagai salah satu karya ter-baik putera Papua. “Sangat mengharukan, namun berisi fakta, berbagai kesulitan bidang kesehatan dan usaha untuk mengatasinya, buku „Memutus Mata Rantai Kematian di Papua‟ dapat menjadi referensi untuk
drg. Aloysius Giyai, M. Kes
Foto Jerry Omona
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 6 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI V
banyak pihak,” katanya. Menurut dia, gagasan Giyai bukan mimpi dan kosong. Usaha memutus mata rantai itu sudah dibuktikannya ketika mem-impin rumah sakit Abepura. “Persoalan kesehatan di Papua ini sangat rumit dan kompleks, tingkat kematian begitu tinggi, dan ini semua diulas dalam buku tersebut,” ujarnya. Ia berharap ada kebijakan pembangunan yang benar-benar berpihak pada rakyat kecil. “Sehingga problem klasik kesehatan yang terus mengancam keberadaan orang Papua dapat diatasi, buku tersebut menuangkan banyak pikiran cer-das dan bermanfaat,” pungkasnya.
(Jerry Omona/JERAT)
Sebuah kisah lama tentang kepedulian seorang
wanita. Ia berbagi senyum bersama mereka yang
menderita.
S eorang pria berpipi ceruk baru bangun dari
tidur. Kuyu setelah berbaring seharian di ran-
jang. Pukul 13.00, sudah waktunya minum obat.
Cahaya menyelinap masuk dari pintu kamar yang
terbuka. Yuliana Supatmiati jalan mendekat, hati-hati
dia duduk di tepi ranjang. “Minum obat ini harus ru-
tin. Tidak boleh lewat jam,” katanya setengah ber-
bisik. Nama tempat itu: Rumah Surya Kasih. Penam-
pungan pasien HIV-AIDS yang sedang berobat jalan
di RS Dian Harapan.
Berada di Kompleks SMA Katolik Teruna Bakti, Es-
pege, Waena, Jayapura, Rumah Surya Kasih dikeli-
lingi pohon-pohon besar. Tempat ini sunyi, tidak
seramai sekolah yang berdiri seratus meter jauhnya.
Di halaman, terparkir sepeda motor berpelat merah
nomor DS 6128 SM seperti mengasingkan diri. Bagi
warga sekitar Waena, Rumah Surya Kasih ”angker”. Embel-embel panti
pengidap HIV-AIDS, menambah kesan seram rumah asri tersebut.
“Saya betah disini. Ada berkat yang melimpah ketika melayani orang
dengan HIV-AIDS,” kata Yuliana yang menjadi perawat di Rumah Sakit
Dian Harapan sejak tahun 2007.
Setelah lulus Sekolah Perawat Kesehatan Rangkas Bitung di Banten
tahun 2007, Yuliana Supatmiati merantau ke Papua. Tak terbayangkan
akan bekerja merawat pasien AIDS. Sebutan ODHA atau Orang
Dengan HIV-AIDS pertama kali didengarnya di Papua. “Waktu itu saya
bertemu Bruder Agus Adil di RS Dian Harapan. Setelah sharing dengan
beliau, saya memutuskan untuk mengabdi di sini,” ujarnya.
Bruder Agus adalah pimpinan Rumah Surya Kasih. Dia mengusulkan
didirikan penampungan para pengidap HIV-AIDS di Jayapura setelah
menemukan banyak pasien tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga.
Pimpinan Ordo Fransiskan di Papua menyambut baik usul Bruder
Agus. ”Tapi waktu itu hanya ide. Tidak ada dana untuk membangunn-
ya,” kata Bruder Agus.
Sejak tahun 2007, panti ini menampung sedikitnya 90 pasien terinfeksi
HIV. Rata-rata usia mereka 15 hingga 50 tahun. “Kami menampung
pasien yang nyaris mati. Sekitar 98 persen berasal dari wilayah
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 7
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI V
Pegunungan Papua. Kebanyakan (tertular HIV) karena seks
bebas.”
Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebutkan, lebih dari 4000
orang mengidap HIV-AIDS di Provinsi Papua sejak lima tahun lalu.
Rumah Surya Kasih diresmikan 19 Agustus 2009 oleh Soejarwo,
Wakil Wali Kota Jayapura sekaligus Ketua KPA Jayapura saat itu.
Dua tahun sebelumnya, panti ini berdiri di samping RS Dian Hara-
pan, Abepura. Saat itu hanya tersedia 2 kamar perawatan. Seiring
bertambahnya pasien, dibangun panti yang lebih besar dengan
kapasitas 4 kamar perawatan, 1 kantor, 2 ruang perawat, 1 ruang
doa, 1 ruang makan, 1 kamar cuci, dan 6 kamar mandi. Semula
hanya ada 3 perawat di panti Rumah Surya Kasih.
Yuliana dan dua perawat lainnya ikut bergabung tahun 2010. Kedua perawat yang masuk belakangan, bekerja paro waktu. Se-mentara Yuliana bekerja seharian penuh, dari pagi hingga malam.
Pagi hingga malam dia berjaga jika pasien membutuhkan bantuan. Jika ada pasien rewel, Yuliana menegurnya halus. “Saya tidak mau mereka merasa tertekan. Bila ada yang ingin sesuatu saya mem-bantunya. Saya ingin mereka terus tertawa,” kata bungsu 8 ber-saudara ini. Menurut Yuliana, ilmu konseling harus dikuasai. Di panti Rumah Surya Kasih, perawat menghadapi pasien yang emosinya labil.
“Di RS sini belum ada tenaga konselor untuk mendampingi ODHA. Mereka tidak hanya sakit secara fisik. Tapi juga psikologis.”
Sebelum bekerja di panti Rumah Surya Kasih, Yuliana dapat kes-empatan melanjutkan pendidikan perawat di Politeknik Kesehatan Padang Bulan, Jayapura. Dia mengaku sempat kesulitan membagi
waktu sekolah dan bekerja. Setelah lulus tahun 2009, Yuliana dapat lebih konsentrasi mengurus pasien HIV-AIDS. ”Ya, sulit juga. Tapi saya enjoy karena tidak mengganggu satu dengan lainnya. Setelah mengurus mere-ka, saya melanjutkan aktivitas studi di kampus.” ***
Tidak banyak kegiatan di panti. Waktu dihabiskan dengan menonton TV atau bercengkerama dengan sesama penghuni. Jadwal rutin yang tak boleh dilewatkan adalah minum obat dan makan. Puluhan butir tablet an-tiretroviral virus dan vitamin ditenggak pasien tiap hari. “Mereka hidup ber-sama obat. Saya yakin jika mereka bisa rutin minum obat, umurnya bisa lebih panjang,” kata Yuliana. Jadwal minum obat dan makan ditempel di dinding ruang perawat. Di ruang lainnya, ada jam yang akan menjerit jika waktu memberi obat tiba. “Jika saya telat memberi obat itu bisa bahaya. Jadi saya harus selalu standby.”
Rumah Surya Kasih mirip penampungan pasien HIV-AIDS di Yayasan Santo Antonius (Yasanto), Kabupaten Merauke. Kebanyakan penghuninya sudah tinggal bertahun-tahun jauh dari keluarga. Beberapa diantaranya meninggal di panti. “Tempat ini bertujuan mengangkat kembali semangat hidup pasien. Kami memberikan yang terbaik untuk mereka,” kata bekas Direktur Yasanto, Leo Mahuze. Yayasan Santo Antonius didirikan tahun 1979.
Berkantor pusat di Merauke, wilayah kerja Yasanto mencakup Kabupaten Boven Digoel dan Mappi. Yayasan ini sementara menjalankan 4 kegiatan utama, menyelenggarakan pendidikan teknik melalui sekolah menengah kejuruan, Politeknik Pertanian, pengembangan sosial ekonomi, dan pengembangan kesehatan masyarakat.
“Rumah Surya Kasih dibuat seperti tempat penampungan ODHA lainnya. Kami bekerja demi semangat hidup orang lain. Mereka harus tetap bugar dan tersenyum, itu saja kami sudah bersyukur,” kata Yuliana. Yuliana bukan siapa-siapa. Hanya wanita biasa yang ingin membahagiakan orang lain. Tak berharap penghargaan. “Sekarang waktunya memberi obat. Saya takut telat,” ujarnya tertawa renyah mengakhiri obrolan.
(Jerry Omona/VHRmedia/JERAT)
“ Saya sangat kecewa dengan tindakan dari perusahaan yang mem-
buang uang Milyaran rupiah kepada kepala marga, sehingga men-
imbulkan konflik dingin antara kami keluarga besar Muting”
Kampung saya Muting, sebuah kampung yang terletak di tengah-tengah distrik Elikobel, distrik Ulilin dan distrik Muting. Kala saya masih kecil, hemparan hutan nan hijau masih mengeluarkan hawa segar disaat ma-tahari terbit di ufuk timur kota rusa, merauke Papua.
Kini, hal itu harus direlakan oleh kami keluarga besar Muting, hutan nan luas itu harus tergadaikan menjadi luka tersendiri bagi kami masyarakat adat setempat. Kami terlilit sulitnya ekonomi, menyekolahkan anak-anak dan juga proses hidup yang masih jauh dari kehidupan ideal, diatas tanah Papua yang kaya. Kami mengharapkan adanya perhatian dari pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah merauke untuk melihat hal ini, ungkap Bapak Yosep Mahuse yang juga pewaris kepala marga Mahuse Kewam dari almarhum Finsensius S. Manuse , ketika dihubungi via telpon ber-pesan”.
IMANUEL MAHUSE
foto : M.Imbiri
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 8
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI V
S etelah pendidikan dan kesehatan, sektor
pariwisata kini menduduki peringkat ketiga
terus terpuruk. Objek wisata di Papua telah
dikenal hingga penjuru bumi. Mulai dari wisata
alamnya yang indah, sejarah, budaya serta
kulinernya yang lezat. Ada juga wisata khusus,
seperti kerajinan, arsitektur khas dan banyak
lagi.
Selain alam dan budaya, bakat menyanyi orang
Papua ternyata bisa juga jadi komoditi wisata.
"Itu salah satu kehebatan orang Papua. Suara
mereka itu memang diberikan sejak lahir, natu-
rally beautiful (indah secara alami, red),” kata
Aris Sudibyo, pemimpin koor yang meraih
medali emas di Olimpiade Paduan Suara Inter-
nasional di Australia musim panas 2008.
Namun sayangnya, keindahan itu tak selalu sejalan dengan grafik
keterpurukan yang menimpanya. Berbicara budaya, karya seni asli Pa-
pua ternyata nyaris „terpinggirkan‟. Di sisi lain, Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) Papua belum juga mengatur tentang usaha perlindungan
karya-karya seni dan budaya masyarakat Papua.
Pengawas Kebudayaan dan Kesenian Papua, Fhilip Ramandey, di Biak,
mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua bersama DPR Pa-
pua harus segera mengesahkan Peraturan Perlindungan Karya Seni
Budaya Papua dan Perdasus sebagai bentuk proteksi dalam menjaga
keaslian budaya Papua. "Ketika Belanda menguasai Biak, telah ada
pengakuan perlindungan budaya asli Papua. Tapi, sekarang tidak ada
peraturan daerah yang melindungi karya seni di Papua," kata Raman-
dey.
Ia mengatakan, pembentukan Perdasus dan Perdasi untuk perlindungan
karya seniman di Papua sangat mendesak. "Jangan sampai terjadi
negara lain mengklaim seni budaya Papua, baru kita pusing memikir-
kan usaha perlindungannya.”
Wisata Selam
Lain budaya, lain juga wisata bahari. Misalnya di Pulau Karang, Biak.
Sayangnya, disana, dari 85 lokasi selam, 40 diantaranya telah rusak
akibat pengeboman ikan oleh para nelayan. Ditempat ini, terdapat
berbagai jenis terumbu karang dan biota laut yang indah. Kunjungan
wisatawan ke wilayah ini rata-rata 3.000 turis asing dan domestik per
tahun.
Dulu, Bupati Biak Numfor, Yusuf Maryen pernah mengatakan, kegiatan
para nelayan tidak dapat ditoleransi lagi. Mereka menggunakan potasi-
um dan bahan peledak untuk meraup untung. "Sangat disayangkan,
pengeboman itu justru terjadi di lokasi wisata selam yang selama ini
sebagai obyek wisata,” ujarnya.
Perusahaan sawit itu datang mengham-piri kami, dengan sejuta janji manis. Ka-mi harus berunding berulang kali untuk menanggapi hal tersebut. Hal ini membu-at pro dan kontra pun terjadi, kami didesak perusahaan. Kami tak tau harus berbuat apa, belum lagi pemerintah dae-rah setempat seakan diam dan tak men-dampingi kami, ada aparat kemananan yang menjelmah sebagai pagar baja sehingga kami tak dapat berkata banyak” sesal Imanuel Mahuse, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jayapura”
Lanjut, Imanuel menjelaskan, PT.IJS itu datang bagaikan juruselamat bagi ke-
hidupan ekonomi kami, orang tua kami pun ter-giur dengan tawaran tersebut. Kami dibuat kocar-kacir, uang “Tali Asi” atau lebih dikenal dengan uang ketuk pintu telah diberikan pada kepala marga sebesar kurang lebih 1,3 milyar. Hal ini, menurut Manu, sapaan akrap Imanuel Mahuse adalah hal yang buruk. Pihak perusahaan jika berbuat demikian, itu sama saja menimbulkan konflik bagi kami keluarga besar Mahuse Kewam sendiri dan tali persaudaraan pada marga Kewa-mijay, yang mendiami daerah ekplorasi perusa-han PT.IJS “tegas Manu”.
Manu juga membeberkan bahwa, saat ini uang tersebut telah dibagikan kepada beberapa marga dengan rincian 5 juta perorangan dalam keluarga,
itupun tidak merata, sungguh ironis “uangkapnya ketika mendatangi JERAT Papua”.
Saya sangat sedih dengan kejadian ini, seakan
kimat kecil akan terjadi bagi kami, hal ini sudah
pasti akan memecahbelahkan kami keluarga. Ada
penggelembungan dana, entah dimana ? mengapa
sampai pembagian uang itu tidak berdasarkan
pendataan marga dan pertemuan besama, itu
yang harus dijawab perusahaan nantinya, jika hen-
dak membahas Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) yang sedianya akan dilaksanakan di
Jayapura, dalam waktu dekat ini‟ tegasnya”.
(Markus Imbiri)
Suasana Wisata di Kepulauan Wayag di Raja Ampat.
Foto Jerry Omona
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 A K T I F I T A S H A L . 8 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S A H A L . 9
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI V
L aode Caludin (51), Ketua Kelompok Nelayan Borobudur di Ke-lurahan Padarni, Distrik Manokwari Barat, Manokwari, Papua
Barat, baru saja tiba usai melaut semalam. Setelah membersihkan isi perahu, ia kemudian bergegas menuju jembatan kayu disamping rumahnya. Perahu ia tambatkan begitu saja pada sebuah tiang kecil. Rumah Caludin, sama seperti pemukiman Padarni, berdiri dari pa-pan. Perahu yang sudah dibersihkan, akan dipakai lagi esok hari mencari ikan di laut lepas. Kompleks Borobudur merupakan wila-yah nelayan yang sangat terkenal di Manokwari. Terbagi dalam empat kawasan Borobudur dengan jumlah perahu mencapai 243. “Disini, 400 lebih Kepala Keluarga berprofesi sebagai nelayan, hidup kami memang dari melaut,” kata Caludin, sore itu. Saban hari, Caludin memulai aktivitasnya di pagi hari dengan mem-buat umpan ikan dari plastik bekas, atau menjual hasil tangkapan di pasar tidak jauh dari rumahnya. Ikan Ekor Kuning dijual mulai dari Rp35 ribu hingga Rp50 ribu per ekor. Ada juga tangkapan lain sep-erti cumi dan Tuna. Pria beranak tiga itu sudah 25 tahun menjelajah laut. Setelah ikan dijual, sore harinya, jika cuaca bersahabat, ia akan kembali bertolak menuju perairan jauh. “Biasanya sekitar 60 mil, atau 3 sampai 4
Selain bahari, Biak Numfor juga menyimpan
obyek wisata sejarah seperti peninggalan Perang
Dunia II berupa senjata tentara Jepang, goa untuk
persembunyian, bom-bom tua, baju loreng, gran-
at, dan sejumlah peralatan perang lainnya.
Aktivis lingkungan, Lindon Pangkali menyatakan,
kerusakan terumbu karang tidak hanya di Biak
Numfor, namun juga di Kabupaten Raja Ampat.
Proses perusakan terjadi sejak tahun 1990-an.
"Sekitar 40 persen terumbu karang di daerah itu
mengalami rusak berat, dan untuk memulihkan
dibutuhkan waktu sampai 10 tahun lagi,” papar
Lindon.Kepulauan Raja Ampat terdiri dari bebera-
pa gugusan pu-
lau besar, diantaranya Pulau Waigeo, Sala-
wati, Batanta, Misool, dan Pulau Kafiau.
Gugusan pulau kecil diantaranya Gam,
Gaag, Kawe, Sayang, Ayau, dan Pulau Asia.
Di tahun 2002, di daerah ini telah teridentifi-
kasi 450 jenis terumbu karang. Itu berarti
setengah dari jenis karang di dunia terdapat
di Raja Ampat.
Merajut Kembali
Pembangunan pariwisata di Papua memang
tak berjalan mulus. "Kondisi inilah yang
membuat pembangunan sektor ini belum
berkembang sesuai yang diharapkan," kata
mantan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Pa-
pua, Elly Weror.
Ia menghimbau masyarakat Papua yang mem-
iliki hak ulayat di lokasi-lokasi obyek wisata
agar ikut menunjang pembangunan pariwisata
sehingga bisa berkembang seperti daerah-
daerah lainnya di luar Papua "Pengelolaanya
tetap diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat setempat," kata Weror.
(Jerry Omona/Dari Berbagai Sumber)
Wisata di Kepulauan Wayag di Raja Ampat
Foto : Jerry Omona
Salah satu tempat wisata di Biak.
Pantai Bulan Sabit
jam dari darat, dulu, kita bisa dapat ikan hanya di lima sampai sepuluh mil, sekarang ikan tambah susah, itu mulai dari tahun 2000,” ucapnya. Pendapatannya pun menurun jauh. “Dulu, saya bisa dapat sepuluh sampai 15 juta per bulan, sekarang, sejuta pun sulit,” tambah sesepuh para ne-layan itu. Sulitnya mencari ikan, kata dia, dipengaruhi oleh perubahan cuaca sejak tahun 2000. Cuaca yang tidak menentu mengakibatkan pula beberapa orang hilang diterjang badai. “Sekitar empat bulan lalu, ada dua orang tenggelam, namanya Laule (35) dan Anisa (22). Mereka tiga hari dilaut karena perahunya terbalik dihajar gelombang tinggi.” Peringatan dini atau antisipasi badai, kerap diperoleh nelayan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Manokwari. “Biasanya ada SMS, tapi kan cuaca ini berubah tiap saat, jadinya kita bikin kelompok penyelamat nelayan sendiri, agar kalau ada kejadian nelayan hilang, langsung ada bantuan yang dikirim,” katanya. Kelompok penyelamat itu terdiri dari puluhan pria dewasa yang mengetahui seluk beluk laut. Berdiri sekitar awal 2000an di kompleks Borobudur. “Saya sendiri pernah hanyut sehari semalam karena perahu terbalik menghantam kayu.”
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI V
Ketika itu, Caludin melaut sendiri. Kejadiannya sekitar perten-gahan 2004. “Saya waktu itu pasrah, kalau memang harus dipanggil Tuhan, saya siap,” ceritanya. Kabar selamatnya Caludin tersebar hingga ke sudut kam-pung. Para remaja menganggap Caludin sebagai tokoh ne-layan yang hebat. “Saya bersyukur bisa selamat, padahal waktu itu, tidak banyak orang yang dapat lolos di tengah lau-tan.” Sulitnya memperkirakan masa badai, membuat nelayan tidak berani mengambil resiko melaut jika informasi angin dan pergerakan awan tidak akurat. Dimasa normal, sebelum ta-hun 2000, musim mencari ikan sudah dapat dipastikan. “Biasanya dulu, kalau bulan 3 dan 4, itu masa teduh, arus dan angin kurang, di bulan ke lima sampai 8, ada angin Timur Tenggara atau Angin Selatan, nelayan bisa mencari ikan, tapi harus berhati-hati. Nah di bulan 9-10, itu musim pancaroba, selanjutnya di bulan 11 sampai Februari, itu angin barat, ge-lombangnya tinggi. Jadwal musim ini sudah dari nenek mo-yang dulu, tapi sekarang, semua itu berubah, musim tidak menentu,” tukas Caludin panjang lebar. Caludin tak mengetahui adanya perubahan iklim secara glob-al. “Tidak tahu, intinya, kita disini, sudah susah mendapat ikan, ikannya menjauh terus dibawa arus, arusnya juga tidak tentu, itu disebabkan arah angin yang susah diprediksi. Setiap hari, kita mencari bertambah jauh, kalau dulu, hanya satu dua jam jauhnya, sekarang bisa lebih dari empat jam dari daratan,” katanya. Sulitnya memperoleh ikan, juga dirasakan Laode Musadi (45), warga nelayan di Borobudur II. “Kalau ada angin besar, ikannya tidak muncul ke permukaan, dulu, kita dapatnya sekali melaut bisa 200 ekor, sekarang, hanya 50 sampai 100 ekor saja,” ujarnya. “Yang sudah tidak bisa didapat itu Ikan Tuna. Tidak tahu ikannya hilang kemana,” tambahnya. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, selain menjual hasil tangkapan, ia juga membuka kios kecil disamping rumah. “Kalau tidak begitu, mau dapat uang dari mana.” Perubahan Iklim Dipicu Perusakan Hutan Direktur JASOIL (Jaringan Advokasi Sosial dan Lingkungan) Tanah Papua, Pitsau Amafnini berpendapat, perubahan iklim dipicu perusakan hu-tan secara besar-besaran. “Ada pembukaan hutan untuk lahan kelapa sawit, ada pula illegal loging. Perusahaan mengambil untung dua kali lipat, setelah hutan ditebang dan kayunya diambil, lalu dijadikan kebun luas untuk menanam sawit,” katanya. Perusahaan yang mengelola sawit diantaranya PT. Medco Papua Hijau Selaras yang mulai beroperasi pada 2009. “Ekspansinya di Kabupaten Manokwari begitu menjanjikan, beberapa distrik di wilayah Transmigrasi yaitu Sidey, Masni dan Pantura kemudian menerima perusahaan ini dengan sistem sewa lahan dengan jangka waktu 30 tahun. Nampak-nya perusahaan sawit ini tidak mengalami kendala yang berarti dilapangan karena sedikit demi sedikit tanah adat milik masyarakat diambil untuk ditanami sawit,” ujarnya. Karena belum memiliki pabrik untuk diproduksi menjadi min-yak mentah, Medco Hijau Selaras melakukan kerja sama dengan PT PN II Prafi, salah satu perusahaan yang sudah beroperasi puluhan tahun di Kabupaten Manokwari dengan luasan 17.817,56 hektar. “Dengan kontrak 30 tahun, perusahaan biasanya mem-bebaskan tanah adat dengan harga yang sangat murah, 1 meter 45 rupiah, kemudiaan perusahaan akan menggusur hutan dan mulai menanam. Hutan lebat yang awalnya ru-mah bagi satwa liar, dirubah menjadi lahan terbuka.”
Dampak Terkini, PT. Medco Papua Hijau
Selaras - Kali Wariwori, Distrik Masni, Tanah
Direktur JASOIL, Pitsau Amafnini
Foto : Jerry Omona J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 0 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 T R E N D A N A L I S I S H A L . 1 1
JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI V
Komunitas Masyarakat Lokal di dua Distrik Sidey dan Masni, kini sudah tidak memiliki lagi lahan berkebun maupun berburu. “Semua sudah dilepaskan oleh kepala Su-ku untuk hutan sawit, sedangkan komunitas masyarakat adat yang seluruh hidupnya digantungkan di hutan, baik itu berkebun dan berburu, menjadi miskin, mereka cenderung dipekerjakan sebagai pekerja kasar di perkebunan.” Pitsau menambahkan, pemerintah tak pernah mampu mengalahkan investasi sawit di Indonesia. Pembukaan hutan untuk sawit bukan hanya merusak tanah namun juga telah memundurkan usaha menopang kelangsungan bumi. “Perusakan hutan kemudian menimbulkan efek gas rumah kaca, dampaknya mulai kita rasakan sekarang, mengapa hari ini panas sekali,” katanya. Menurut dia, seharusnya, dengan hutan
tropis yang terbentang begitu luas, negara-negara berkembang bisa lebih arif dalam pemanfaatannya. Tidak hanya untuk sekedar mengambil dan menebang, tetapi bagaimana mengelolanya sebagai sumber pertumbuhan ekonomi sekaligus tempat pelestarian ling-kungan. Pitsau menambahkan, selain rusaknya hutan, faktor utama tingginya emisi gas rumah kaca akibat penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan serta pembuangan limbah. “Di Manowakri, limbah ada di-mana-mana, hutan juga sudah habis, sekarang, tinggal bagaimana pemerintah mau menggalakkan penanaman pohon di tiap rumah tang-ga, bila perlu, bikin Perda wajib tanam pohon di rumah masing-masing,” paparnya. Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang sangat ekstrem. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem, sehingga mengurangi kemampu-annya untuk menyerap karbondioksida di atmosfer. “Pemanasan glob-al mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut dan menimbulkan kenaikan permukaan laut, ini bahaya ke depan bagi pulau-pulau karena bisa saja tenggelam.”
Dr. Eng. Hendri, Koordinator Perubahan Iklim di Pusat Penelitian Ling-kungan Hidup Universitas Negeri Papua mengatakan, perubahan iklim global sudah mulai dirasakan. Negara kepulauan seperti Palau, Micro-nesia, Solomon, Haiti, Maldives, Marshall, Seychelles, Samoa, Baha-mas, Tuvalu bahkan diperkirakan akan menerima dampak perubahan iklim pada 2020. “Hal ini menunjukkan perubahan iklim tidak hanya enter point di Manokwari, Papua Barat, tapi sepanjang daerah di Sam-udera Pasifik,” katanya. “Kita sudah sulit memperkirakan musim, yang dulunya musim dapat dipastikan, semuanya kini jauh berbeda dan bertolak belakang dengan teori. Kalau para nelayan mengatakan mereka sulit memantau laut, ya itu benar,” jelasnya. Ia berharap, ada upaya antisipasi dari pemerintah sebelum benar benar terjadi bencana. “Jepang saja yang sudah memiliki teknologi tinggi, masih harus menerima dampak begitu besar dari tsunami, bagaimana nanti dengan Papua, pasti akan lebih parah,” pungkasnya.
(Jerry Omona/JERAT)
Dampak Terkini, PT. Medco Papua Hijau Selaras - Kali
Wariwori, Distrik Masni, Tanah Adat Yahuda Musoy
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 H A L . 1 4
REDAKSI
Penanggungjawab : pt. JERAT Papua
Pimpinan Redaksi : Septer Manufandu
Editor/Redaktur : Jerry Omona
Kontributor : Wirya Supriyadi, Engelbert Dimara
Desain/Layout : Markus Imbiri
Kantor JERAT Papua
Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey
Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua
Email : [email protected] Telp : (0967) 587836
Website : www.jeratpapua.org
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI V
” Tubuh Boleh Tiada namun Nama HANS
JACOBUS WOSPAKRIK selalu di kenang oleh
Dunia“
Hari ini tepatnya tanggal 10 September 2013 ada
sesuatu yang mungkin sebagian dari kita menge-
nangnya dan ada pula yang melupakan hingga
ada yang tidak tahu juga. Sebagai orang Papua,
kita harus bangga pada sosok Hans J Wospakrik.
Almarhum Hans adalah seorang fisikawan Indo-
nesia dengan reputasi mengagumkan mendunia.
Hans semasa hidupnya mengajar di Departemen
Fisika ITB, dianugerahi sebagai Fisikawan Ter-
baik “atas pengabdian, konsistensi, dan dedi-
kasinya yang tinggi dalam penelitian di bidang
fisika teori yang memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika
dunia berupa metode-metode matematika untuk memahami fenomena
fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein melalui
publikasinya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical
Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A,
danInternational Journal of Modern Physics A“.
Tentu saja komunitas fisika mengerti bahwa Physical Review
D dan Journal of Mathematical Physics adalah media terkemuka tem-
pat sebagian riset fisikawan pemenang Nobel dipublikasikan. Yang
menarik, yang justru mengapresiasi karya-karya penelitian berskala
internasional dari seorang Hans (1951-2005) adalah sebuah perguruan
tinggi di mana Hans tidak pernah terlibat dalam kegiatan penelitian
maupun mengajar, bukan pemerintah atau Departemen Pendidikan
Nasional yang struktural langsung membawahkan ITB tempat Hans
sebagai pengajar dan peneliti.
Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional
terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat
internasional, tidak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan
prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai
negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J
Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah
hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala. Walaupun dihargai
pemerintah Republik Indonesia dengan golongan
yang tidak sepantas, namun tidak memadamkan na-
ma Hans J Wospakrik yang telah mengharumkan na-
ma Papua, Indonesia di mata dunia.
Hans J Wospakrik pernah berpesan “ Memahami
FISIKA itu tidak hanya di kepala, tapi sampai merasuk
kedalam jiwa ”
Kami bangga padamu…
Karya dan namamu selalu dikenang oleh kami gen-
erasi pemuda Papua untuk terus belajar.
Profil Singkat Hans J Wospakrik
Hans Jacobus Wospakrik lahir di Serui, Papua, 10 September 1951 dan meninggal di Jakarta, 11 Januari
2005 pada umur 53 tahun. Ia adalah seorang fisikawan Indonesia dengan reputasi mengagumkan: telah 20 kali berhasil menebus empat jurnal fisika tingkat dunia bagi publikasi hasil-hasil penelitian dalam Teori Relativitas Umum Einstein, teori medan, dan fisika partikel. Keempat jurnal itu adalah Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Mod-ern Physics A. Di jurnal-jurnal itulah pekerjaan sebagian pemenang Nobel fisika dimaklumkan.
Hans muda pertama kali tertarik dengan teori relativitas saat guru fisi-kanya di SMA Negri Manokwari memperkenalkan konsep garis lengkung sebagai penghubung terpendek dua titik, hal yang membekuk perhatiannya sebab pemahaman awam dan ilmu ukur yang dipelajarinya sampai tingkat sekolah menengah menakrifkan bahwa penghubung terpendek dua titik mestilah suatu garis lurus. Penge-tahuan baru itu terus mengobarkan api kuriositas di pedalaman kor-pusnya.
Setamat SMA ia memiliki tekad untuk menggeledah misteri itu. Pada
awal 1970-an ia diterima sebagai mahasiswa Teknik Perminyakan ITB,
simbol kemakmuran pada masa itu, namun gaya tarik relativitas ru-
panya lebih deras menyedotnya dalam rute yang kelak memandunya
sebagai ilmuwan. Atas rekomendasi seorang fisikawan teori di Depar-
temen Fisika ITB, permohonan Hans pindah jurusan dikabulkan oleh
pihak rektorat.
(Markus Imbiri/Jerat/Berbagai Sumber)
J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 H A L . 1 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I V J U N I 2 0 1 4 H A L . 1 5
www.facebook.com/page.jeratpapua
SMS GateWay JERAT PAPUA : 0821 9827 1212
Audy Pohan : JERAT PAPUA, aku pribadi sangat berterimakasih
pada kalian, karena banyak memposting informasi Papua. Maju
terus ya...ku tunggu postingan kalian selalu di Internet (sumber :
www.facebook.com/audrypohan) #Bandung
Mihram : Relawan TIK Papua, siap membantu penyebaran informa-
si Papua dari JERAT PAPUA. Selamatkan Hutan Papua ….Maju Terus
(+628135463xxxx) #Kota-Jayapura
Gunawan Sumadiputra: Apapun namanya selama tujuannya
untuk kemajuan Papua seutuhnya..saya siap kapanpun kalau
diperlukan karena disana tempat saya dibesarkan...Gbu
(www.facebook.com/gunawan.sumadiputra)
#Kota-Yogyakarta
Ony Cantiko : Ada-ada saja ni JERAT PAPUA, selalu saja
menjerat jemari tangan ku untuk klik dan baca berita
www.jeratpapua.org. Tersenyum, haru, semua rasa menjadi
satu di jerat oleh JERAT. Tuhan sayangi langkah kalian
(www.twitter.com @onycantiko) #Makassar
Ferlan Vebianti : Setiap bangun pagi, saya melihat Bintang Fajar
dan saat itupula saya selalu membuka www.jeratpapua.org
(www.facebook.com/ferlan.vebianti) #Jakarta
Lais Wenda : Kalau SMS togel, saya Delete, kalau sms dari JERAT
Papua, so pasti saya klik. Salam (+628124813xxxx) #Wamena
EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT
www.jeratpapua.org EDISI V
“Pelatihan Hukum dan HAM Untuk Masyarakat Adat “
CO Masyarakat Momuna Kabupaten Yahukimo Papua
Jayapura 23—25 April 2014
Supported by :
DAPATK
AN
Edisi
New
sLet
ter JE
RAT
di Web
site
www.jeratpapua.org