buletin jerat papua (edisi oktober 2014)

12
www.jeratpapua.org EDISI IX Kantor JERAT Papua Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua Email : [email protected] Telp : (0967) 587836 Website : www.jeratpapua.org JERATPAPUA2014

Upload: jerat-papua

Post on 06-Apr-2016

269 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Jaringan Kerja Rakyat

TRANSCRIPT

www.jeratpapua.org

EDISI IX

Kantor JERAT Papua

Jalan : Bosnik Blok.C

No. 48 BTN Kamkey

Abepura (99351)

Kota Jayapura - Papua

Email : [email protected] Telp : (0967) 587836

Website : www.jeratpapua.org

JERAT PAPUA 2014

EDISI

OKTOBER

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4

S.MANUFANDU

Sekretaris Eksekutif

E. DIMARA

Manager Office

ENI RUSMAWATI

Manager Keuangan

ASMIRAH

Keuangan

WIRYA.S

Manager PSDA & EKOSOB

SABATA.RUMADAS

Manager PPM

ESRA MANDOSIR

Manager JKL

ANDRIO. NGAMEL

Koordinator Unit Studio

MARKUS IMBIRI

UKoordinator Unit Data-

base Informasi

dan Publikasi

JERRY OMONA

Unit DIP

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org

Pemerintah Diharapkan

Monitoring Produk UU

Tentang Perempuan

Bencana Sawit

di Merauke

UU Pilkada Disahkan,

Kemana Arah Papua ?

Mengenal Perta Dambu,

Kimaam

Berdiri Ditengah

Kekerasan

EDISI IX

P ro kontra investasi sawit di Merauke, terus ber-lanjut. Disisi lain, dapat meningkatkan penda-

patan daerah, memangkas pengangguran dan memberi dampak pada sektor industri. Namun, ke-hadiran sawit juga mendatangkan bencana pada rusaknya hutan alam.

Dari berbagai sumber, sekitar enam perusahaan sawit telah beroperasi di Merauke dalam proyek raksasa; Merauke Integrated Food Energy and Es-tate (MIFEE). Perusahaan ini dituding mencemari tiga sungai yang mengalir di kawasan pemilik tanah. Yakni Sungai Kum, Bian, dan Maro. Akibat pencemaran limbah perusahaan, ikan-ikan banyak ditemukan mati.

Enam perusahaan sawit berskala besar itu adalah

J ayapura,1/9/2014 “Pemerintah diharapkan tidak hanya

mengeluarkan produk undang-undang tentang perempuan. Tidak harus langsung tetapi pemerintah dapat menunjuk pihak-pihak lain seperti kelompok-kelompok gerakan sipil,” ungkap Asmira da-lam Pelatihan Advokasi Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325 tentang Perempuan, Perdamaian dan Keamanan di Hotel Matos, Abepura, Kota Jaya-pura, Papua, Senin (1/9).

Menurut Asmira, selama ini, pemerintah memang membuat peraturan dan undang-undang tentang perempuan. Misalnya 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif, tapi hanya agar tampak bahwa pemerintah peduli pada persoalan perempuan. “Padahal, pada kenyataannya, tidak seperti itu,” katanya.

Terkait hak-hak perempuan, Yanti Gasper, Pengacara Hukum dari Manokwari mengatakan, pada prinsipnya hak-hak perempuan secara universal sudah termaktup di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sa-lah satu hak tersebut adalah mendapatkan rasa aman.

“Untuk pelanggaran terhadap hak-hak perempuan, alat yang dapat digunakan perempuan dlam proses ad-

vokasi adalah melalui produk undang-undang yang melindungi perempuan dan juga dapat dilakukan melalui

media,” ungkap Yanti di Abepura, Jayapura, Papua, Senin (1/9). (Jubi/Aprila)

Sumber : http://tabloidjubi.com

PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), PT Bio Inti Agrin-do (Korindo Group), PT Central Cipta Murdaya (CCM), PT Agriprima Cipta Persada, PT Hardaya Sawit Papua dan PT Berkat Cipta Abadi.

Carlo Nainggolan dari Sawit Watch mengatakan, dari hasil investigasi dampak pencemaran limbah perusahaan sawit, ketiga sungai sudah berubah warna dan menge-luarkan bau tak sedap. “Masalah air bersih tidak cukup bagi warga yang bermukim di sekitar kali itu,” katanya, seperti dirilis Mongabay.com.

Perkebunan sawit di sepanjang Kali Bian dan Kali Maro, lanjut dia, menimbulkan masalah besar bagi pemilik ulayat. Perusahaan membersihkan lahan dengan mem-bakar, mengakibatkan air tercemar, situs budaya masyarakat rusak, dan kekayaan alam hilang. Perus-

Asmira (foto Jubi)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 3

JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org

EDISI IX

ahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab memulihkan dan memberikan kompensasi kepada pemilik di sepanjang pesisir Kali Bian, Kaptel, dan Kali Maro.

“Ditambah lagi kontrak 35 tahun. Kami mem-perkirakan, kalau kontrak diperpanjang hing-ga 120 tahun, pemilik tanah bukan hanya kehilangan hak ulayat tapi hutan mereka makin rusak.”

Proyek MIFEE, dimulai Agustus 2010 di la-han seluas 1, 2 juta hektar. Kasawan ini sebelumnya merupakan hutan alam, dan tempat sumber makanan pokok bagi Suku Malind Anim. Pada September 2012, Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan mendapat izin. “Dari 46, 10 perusahaan sawit. Perusahaan ini di Sungai Digoel, dan Malind Anim,” kata aktivis Sekretariat Keadi-lan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong.

Sepuluh perusahaan sawit itu adalah PT. Dongin Prabhawa (Korindo Group) PT. Pa-pua Agro Lestari, PT. Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT. Mega Surya Agung, PT. Hardayat Sawit Papua, PT. Agri Nusa Persada Mulia, PT. Central Cipta Murdaya (CCM), PT. Agri Prima, PT. Cipta Persada dan PT. Berkat Cipta Abadi. Aktivitas perke-bunan sawit dimulai sejak 1997 melalui PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korin-do Group.

Atas aktivitas perusahaan sawit tersebut, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) mendesak pemerintah segera mencabut dan membatal-

kan izin lokasi sejumlah investor. “Perusahaan telah membongkar hutan adat yang selama ini kami lindungi. Ini menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken.

Sawit Watch dan SKP adalah dua lembaga yang konsen terhadap masalah sawit di Me-rauke. Keduanya mendesak pemerintah men-gevaluasi berbagai izin lokasi dan HGU perus-ahaan sawit yang kini telah beroperasi.

Pemerintah Merauke

Terkait masuknya sawit, pemerintah setempat pernah berencana menghentikan investasi sejumlah perusahaan. Meluasnya perkebunan sawit dikhawatirkan mengancam ketersediaan air di wilayah itu. “Kita memahami Merauke ini dari aspek hidrologi hanya tergantung pada air hujan, air rawa, air tanah, tidak ada air yang mengalir dari gunung. Padahal, kelapa sawit ini butuh air banyak. Merauke pun bisa kering kerontang kalau terlalu banyak kelapa sawit,” kata Bupati Merauke Romanus Mbaraka, dalam sebuah kesempatan.

Ia mengatakan, dampak pembukaan perke-bunan sawit akan dikaji dengan lebih baik khu-susnya pengaruhnya terhadap ketersediaan air tanah. Berdasarkan kesesuaian ruang, perke-bunan kelapa sawit diarahkan ke wilayah Me-rauke utara, yaitu di daerah hulu sungai.

Berdasarkan data Pemkab Merauke, komoditas kelapa sawit dan tebu lebih diminati para inves-tor ketimbang tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai.

Sementara itu, Kepala BPMD Merauke,

Chaeruddin mengatakan, Badan Penanaman Modal Daerah mencatat ada 6 perusahaan (investor) kini sedang menginvestasikan modal-nya di Merauke.

Aktivitas perusahaan tersebut dimulai dengan pembukaan lahan, pembibitan dan penanaman bibit. Terkait peran BPMD, Chaeruddin menam-bahkan, pihaknya hanya bersifat memfasilitasi administrasi perusahaan. BPMD menerima laporan dari perusahaan dan meneruskannya ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat.

“Kami ini sifatnya pintu masuk saja, artinya memfasilitasi urusan administrasi. Terutama yang berkaitan dengan pelaporan kemajuan perusahaan yang akan kami teruskan ke BKPM pusat. Kalau administrasinya beres, investor akan berhubungan dengan instansi terkait,” tandasnya.

Menggiurkan

Potensi lahan sawit di Merauke memang meng-giurkan. Yang terbaru, adalah PT IJS yang ber-niat merambah lahan Merauke. Perusahaan ini berencana membuka perkebunan dan pabrik pengolahan sawit di Distrik Ulilin dan Elikobel di areal seluas 18 ribu hektar lebih.

Ketua Tim Teknis Komisi Penilai Amdal Provinsi Papua, Ir Frans Linting mengatakan pembaha-san terhadap dokumen Kerangka Acuan, Amdal, Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) pe-rusahaan itu telah dilakukan. Selanjutnya, akan dibahas dalam rapat komisi berbagai elemen. “Tim teknis telah menyetujui dan merekomensi-kan hasil dari penilaian ini, di mana tim teknis selanjutnya akan membawanya ke dalam rapat komisi, bahwa dari sisi teknis kegiatan (PT IJS) ini layak,” kata Frans.

Namun, sambungnya, ada beberapa catatan khusus kepada PT IJS yang mesti dikerjakan. Yakni, perusahaan wajib berkoordinasi dengan BKPRD Kabupaten Merauke terkait efektifitas luasan yang akan digunakan berdasarkan surat Bupati Merauke nomor 339 tahun 2013 tentang Pemberian Ijin lokasi seluas 18.587,5 hektar kepada PT IJS.

Kedua, perusahaan wajib mengajukan klarifi-kasi terhadap lampiran peta lokasi pada ijin lokasi, sebagaimana SK Bupati Merauke Nomor 339 tahun 2013. Untuk kepentingan tersebut, perusahaan perlu berkoordinasi dengan Tim BKPRD Kabupaten Merauke.

Ketiga, pramakarsa wajib memperbaiki dan

Lahan Kelapa Sawit

Usia 6 tahun. (foto ist)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 5

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org

EDISI IX

melengkapi dokumen. Pramakarsa juga wajib membuat peta lokasi, layout kebun inti dan plas-ma, serta peta lainnya sesuai kaidah topografi. Berikutnya, program CSR yang disepakati oleh pramakarsa agar dikoordinasikan dengan masyarakat dan Pemerintah Merauke sehingga tidak menimbulkan konflik.

Studi Amdal, RKL dan RPL oleh PT IJS, disusun berdasarkan KA Amdal yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pengel-olaan Lingkungan Hidup Provinsi Papua nomor 21 tahun 2014 tentang kesepakatan kerangka acuan rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit seluas 18.587,5 hektar di Distrik Ulilin dan Elikobel, tertanggal 30 Juni 2014.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

Pemilihan kepala daerah langsung atau berdasarkan partisipasi masyarakat akhirnya tak berlaku lagi. Dewan Perwakilan Rakyat memu-tuskan menghapus pilkada langsung dalam revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Apa pengaruhnya bagi Papua?

Foto istimewa

Pembibitan Sawit.

(foto ist)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 4 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 5

JARINGAN KERJA RAKYAT JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IX

G ubernur Papua Lukas Enembe mengatakan sistem Pilkada lewat DPRD, telah sesuai

dengan budaya keterwakilan di Papua seperti noken atau lewat kepala suku. “Kita kan minta kekhususan. Ini melekat di DPRD baik untuk kepala provinsi, walikota atau bupati. Kita kan su-dah ada noken atau keterwakilan. Itu bukan sistem yang baru,” ujar Lukas.

Dia mengatakan pilkada langsung belum siap dil-akukan di Papua. Ada beberapa alasan yang menurutnya sistem ini sulit diterapkan di daerah paling ujung timur di Indonesia ini. Selain per-pecahan komunitas suku, pilkada langsung tidak cocok dengan kondisi geografis alam di Bumi Cenderawasih.

Lukas mengungkapkan, jika memang waktunya sudah siap, Papua bakal terbuka dengan sistem pilkada langsung. “Namun belum sekarang, ke de-pan semua terbuka, tidak ada lagi sistem kepala suku, tidak ada lagi sistem noken,” kata mantan Bupati Puncak Jaya tersebut.

Pengesahan UU Pilkada lewat DPRD diputuskan, Kamis pekan lalu. Ketetapan itu diambil setelah paripurna menggelar voting atau pemungutan suara. Kubu pendukung pilkada langsung dari po-ros koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla kalah telak dari kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, pendukung pilkada melalui DPRD.

Koalisi Jokowi-JK yang terdiri dari PDI Per-juangan, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai Hati Nurani Rakyat hanya mampu mengumpulkan 125 suara. Jumlah itu terma-suk pecahan 11 dari Partai Golkar dan 4 suara dari Demokrat. Namun kubu Prabowo-Hatta yang terdiri dari Partai Gerakan Indo-nesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, serta Partai Keadilan Sejahtera, jauh lebih unggul dengan 226 suara.

Pemungutan suara yang dimulai pada pukul 01.10 WIB itu, setelah paripurna berlangsung alot. Selain kubu Jokowi-JK dan kubu Prabowo-Hatta yang mengusulkan masing-masing opsi pemilihan, Partai Demokrat juga mengusulkan satu opsi lainnya yakni pemili-han langsung dengan 10 perbaikan.

Mulanya ketiga kubu mempertahankan opsi masing-masing. Namun kubu Jokowi-JK akhirnya mengalah pada opsi Demokrat baik dalam forum lobi maupun di paripurna. Na-mun keputusan kubu presiden dan wakil presiden terpilih itu malah tak digunakan oleh Demokrat. Partai berlambang Mercy dengan 129 suara memilih walk out atau meninggal-kan paripurna.

Selain Enembe, sejumlah tokoh masyarakat

di Papua juga menyatakan dukungan ter-hadap pemilihan kepala daerah tidak lang-sung. Mereka meminta pemilihan oleh DPRD bisa dimasukan ke dalam revisi Undang Un-dang Otsus Papua yang kini tengah dibahas DPR RI.

Para tokoh yang tergabung dalam Tim Perancang Undang Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Papua ini mendatangi kan-tor Fraksi Partai Golkar di Gedung Nusanta-ra I DPR RI, Jakarta, Selasa (9/9) untuk menyampaikan aspirasi tersebut. “Kita ingin sistem pilkada tidak langsung dimasukkan dalam RUU Otsus. Pertimbangannya, situasi di Papua kalau pilkada langsung terlalu ban-yak konflik sampai-sampai merusak tatanan adat dan keluarga di Papua,” kata Ketua Tim, Basir Rohrohmana.

Menurut pria yang juga Dosen Ilmu Politik Universitas Cendrawasih ini, pilkada lang-sung di Papua lebih banyak mudharatnya. Pasalnya, bukan cuma menelan biaya besar tapi juga memakan korban jiwa.

Hal senada dilontarkan anggota Komisi B DPR Papua Thomas Sondegau. Ia menam-bahkan, mekanisme pilkada tidak langsung merupakan aspirasi mayoritas masyarakat Papua.

Pelaksanaan Pemilu

Legislatif di Papua

(foto : istimewa)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 6 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 7

EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IX

Politisi Partai Demokrat ini mengatakan, beberapa waktu lalu DPR Pa-pua pernah menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat un-tuk membahas revisi UU Otsus. Hasilnya, sebagian besar setuju pilka-da tidak langsung harus masuk dalam revisi tersebut.

Thomas menolak jika Pilkada tidak langsung dianggap tak demokratis. “Di Papua, gereja bisa pecah karena Pilkada. Jadi, pemilihan lewat DPRD juga konstitusional,” jelasnya.

Legislator DPRD Mimika, Agustinus Anggaibak berpendapat, pemilihan kepala daerah mulai dari tingkat bupati/wali kota hingga gubernur, lebih cocok lewat DPRD.

Menurut politisi yang pernah bertarung dalam Pilkada Mimika putaran pertama pada 10 Oktober 2013 itu, sistem Pilkada langsung sesungguhnya sangat baik karena rakyat mengetahui secara rinci kuali-tas calon kepala daerah yang hendak dipilih. Namun dari pengalaman selama ini, katanya, suara yang telah diberikan rakyat, banyak “disunat” oleh penyelenggara Pemilu mulai dari tingkat KPPS hingga KPU. “Secara jujur, kita harus akui bahwa birokrasi yang dibangun oleh KPU dan perangkatnya telah memperkosa suara rakyat. Akibatnya calon-calon menjadi korban. KPU dan perangkatnya hanya mengamankan kepentingan calon-calon tertentu. Itu bukan rahasia lagi. Jadi, siapa yang punya banyak uang, dia yang menang,” tuturnya.

Agustinus tidak menampik jika Pilkada melalui DPRD, hal itu akan pula melanggengkan praktik korupsi di tubuh lembaga legislatif. Untuk meminimalkan potensi korupsi tersebut, katanya, sistem pilkada harus dibenahi total. “Harus ada aturan-aturan yang jelas supaya dewan yang terima suap dari calon saat pilkada itu dihukum seberat-beratnya,” ujar wakil rakyat dari Partai Hanura itu.

Baginya, praktik jual beli suara pada pilkada langsung di Papua selama

ini sudah sangat memprihatinkan, bahkan telah merusak norma-norma

kehidupan berdemokrasi dan moral. “Sekarang ini permainannya sudah

sangat gila. Akibatnya masalah terjadi dimana-mana, orang bisa saling

membunuh karena memperebutkan suara.”

Kontroversi

Kontroversi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada terus ber-lanjut. Pengamat Politik, Mada Sukmajati, menilai pilkada langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional.

Namun, kata dia, yang menjadi persoalan terletak dari proses pengam-bilan kebijakan. Mada menegaskan tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan masyarakat mengenai dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Mada sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah

sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Bahkan, menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi daerah. “Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal,” kata Mada.

Mada mengatakan revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau.”

Belajar dari UU Pilkada ini, ia mengingatkan tidak menutup kemung-kinan akan ada poses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru. Juga, kata dia, pembahasan nantinya tidak berdasarkan dari hasil studi empiris.

Pengesahan UU Pilkada lewat DPRD dinilai menjadi sejarah hitam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya. Parpol kabinetnya yang mengklaim punya semangat reformasi justru tidak memberikan suaranya sesuai dengan kehendak rakyat.

Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi mengatakan, sikap reformis PAN, PKS dan Demokrat yang dinilai sebagai antitesis Golkar telah gugur. Mereka justru mendukung program yang pernah berlang-sung pada era Presiden Soeharto. “Lain mulut, lain perbuatan, ini merupakan sejarah terhitam era SBY. PAN dan PKS sebaiknya mem-bubarkan diri untuk bergabung dengan Golkar. Karena hakikat refor-masi yang diperjuangkan dahulu telah hangus,” kata Fahmi.

Ketika itu, kata dia, pendiri PAN, Amien Rais menyampaikan pidatonya dalam majelis amanat rakyat (Mara) dan menyatakan akan men-dukung pilkada dan pilpres langsung. Parpolnya juga bertekad akan memperjuangkan agenda reformis. Namun, sikapnya saat ini justru sejalan dengan Golkar Orde Baru.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 7

EDISI III JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IX

S alah satu ajang festival dan budaya terbesar di Merauke, ada-lah pesta Dambu. Festival yang melibatkan ribuan orang ini

digelar tiap tahun. Pada 2013 lalu, dilaksanakan dari 27-30 Juli, sedangkan tahun ini, baru saja usai tiga pekan lalu.

Pesta Dambu di Pulau Kimaam mengikutsertakan warga petani dari Distrik Kimaam, Waan, Tabonji dan Ilwayab.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Merauke, Daud Holenger mengungkapkan, dalam pesta dambu, berbagai kegiatan dilangsungkan, mulai dari pameran hasil kerajinan tangan, hasil alam berupa umbi-umbian, perlombaan panah tradisional, dayung menggunakan satu kaki, pasar malam serta beberapa kegiatan menarik lain.

Dalam ivent ini, budaya lokal diberikan perhatian khusus. “Karena dalam kesempatan itu, orang asli Papua akan memasarkan dan menjual semua potensi yang dimiliki,” katanya.

Dia mengaku, festival Dambu merupakan sarana yang sangat am-puh untuk mempercepat dan mengembangkan budaya dan pari-wisata di Merauke. “Banyak potensi masyarakat belum diketahui. Apalagi topografi wilayah sangat jauh. Dengan demikian, dalam kesempatan itu, otomatis akan dimanfaatkan masyarakat dengan sebaik mungkin.”

Bupati Merauke Drs. Romanus Mbaraka, MT menjelaskan, pesta Dambu 2014 dilaksanakan pada 19 Agustus di Distrik Kimam. Para undangan membanjiri acara akbar itu dengan melalui jalan darat, juga laut lewat selat Mariana, Buraka maupun Bian.

“Makna Dambu adalah masyarakat memamerkan hasil bumi yang didapatkan dalam setahun. Disitu para pihak melakukan pengaduan anta-ra satu dengan yang lain. Atau mereka saling pamer, saling mengkritik siapa terbanyak dan terbaik dari aspek kualitasnya. Hal itu akan memberi semangat untuk mengolah tanah mereka,” terang bupati.

Dari hasil ‘pamer’ tersebut, akan dinilai oleh juri, terutama tua-tua adat. Selanjutnya, diputuskan mana yang keluar sebagai pemenang. Pemenang tersebut, akan ditantang pada tahun berikutnya lagi oleh yang kalah. “Kegiatan ini dilakukan berkesinambungan. Dengan adanya Dam-bu sepanjang tahun, akan tersedia pangan yang sangat cukup bagi war-ga.”

Romanus menambahkan, Pesta Dambu dapat pula dimaknai sebagai usaha saling membalas hasil pangan. Tradisi ini turun-temurun diwaris-kan dan telah dimodernisasi. “Kalau nilai ini ditanamkan di seluruh Pa-pua, saya kira orang Papua atau khususnya di Merauke, tidak akan lapar sepanjang tahun. Ini nilai positif dari pesta tersebut. Event ini menjadi acara wisata budaya yang bisa dikategorikan sebagai event specific.”

Festival Dambu dapat juga diartikan sebagai salah satu pesta ucapan

Pesta Dambu

(foto Jubi)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 8

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IX

terima kasih kepada Tuhan atas hasil panen, dengan menampilkan kompetisi seperti Kumbili, Ham dan Yaro yang paling besar dan panjang. Pada acara tersebut, diisi pula tarian, ritual tusuk telinga dan gulat tradisional.

Gali Potensi Merauke

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kini sedang berupaya untuk menggali potensi wisata Merauke. “Ini untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan daerah di kabupaten itu,” kata Direktur Pro-mosi Pariwisata Dalam Negeri Kemenparekraf M Faried.

Pihaknya menggandeng para pemangku kepentingan meliputi kepala-kepala adat, pastor, dan satuan kerja di Pemkab Merauke.

Faried menyarankan agar pengembangan bertahap dilakukan paralel antara

aksesibilitas dan sarana pendukung pariwisata lainnya. “Yakni pengemasan

obyek-obyek daya tarik wisata, dan akomodasi,” katanya.

Pihaknya juga mengupayakan agar lebih banyak investor masuk ke kawasan itu. Salah satu yang sedang dijajaki adalah jaringan Swiss-Belhotel yang su-dah menyatakan akan turut bekerja sama menghidupkan pariwisata di Me-rauke.

Hotel tersebut mengoperasikan 103 kamar dan beroperasi sejak awal 2012. “Memang sudah ada Festival Dambu di Kimaan yang merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Merauke. Tapi ke depan, perlu lebih banyak lagi atraksi wisata agar investasi terus mengalir ke wilayah itu, yang kedepan di-harapkan bisa menyejahterakan masyarakat setempat.”

Dinas Pariwisata Merauke mencatat jumlah wisatawan nusantara yang mengunjungi Merauke pertahun rata-rata mencapai 6.000 orang.

Merauke sendiri merupakan satu dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua. Nama Merauke berasal dari ungkapan “Maro ka ehe liki” yang berarti ‘sungai ini bernama Maro’. Kebetulan, Kota Merauke terletak di tepi Sungai Maro. Me-lalui perjalanan waktu, sebutan Maroke atau Meroke akhirnya berubah menjadi Merauke.

Secara umum potensi wisata di Merauke dapat dipilah-pilah berdasarkan wisata alam, sejarah, dan budaya. Wisata alam meliputi pantai-pantai di bagi-an selatan, taman nasional, suaka margasatwa atau cagar alam, dan pe-nangkaran buaya. Wisata sejarah antara lain melihat Tugu Pepera yang menceritakan kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI. Ada juga tugu peringatan masuknya agama Katolik di Merauke. Lainnya, Tugu Kembar yang hanya terdapat di Sabang dan Merauke.

Menanam Padi

Festifal dambu telah memotivasi warga menanam padi. Festival yang dikem-bangkan dari kebiasaan Masyarakat Adat Sub Suku Khima-Khima melakukan kompetisi hasil panen itu, telah menjadikan Kimaam dilirik investor.

Hasil panen padi di kawasan itu dapat dibilang tak kalah dengan produksi padi di daerah transmigran di Kota Merauke. Dalam sebuah kesempatan, warga Kampung Sabon, Distrik Waan, pernah meminta Pemerintah Merauke menam-bah cetak sawah baru seluas 500 ha di daerah itu.

Permintaan disampaikan masyarakat melalui kepala distrik Waan saat panen perdana padi pada cetak sawah baru seluas 82 ha di Kampung Sabon baru-baru ini.

Kepala Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke Ir. Bam-bang Dwiatmoko, M.Si mengatakan, masyarakat Kampung Sabon begitu antusias dan serius menanam padi. Itu terlihat dari 82 sawah yang dicetak, masyarakat berhasil menanam seluas 87 ha.

Dikatakan, selain cetak sawah baru 100 ha di Kampung Sabon, di tahun 2013, pihaknya juga melakukan optimalisasi lahan seluas 100 ha di Distrik Kimaam, Kampung Woner, Kimaam, Mambum, Kumbis, Sabudom dan Teri. Untuk Distrik Waan sendiri, lanjut Bambang, tidak hanya padi yang dikembangkan, tapi juga umbi-umbian. “Bahkan pada saat panen padi itu, juga dilaksanakan pesta Dambu,” ujarnya.

(Jerry Omona/dari berbagai sumber)

(Koordinator DIP : Markus Imbiri)

JERAT PAPUA Diundang dalam Festival Jurnalis

Warga, Pemaparan Materi

“SMS Gateway Bagi Masyarakat Dalam

Mempengaruhi Kebijakan Publik terkait

Kesehatan” USAID—KINERJA (Surabaya 2014)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 8 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 9

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IX

SC JERAT Papua (Fadhal Alhamid) bersama Tokoh Adat Suku Momuna Kabupaten Yahukomo Papua 2014

(Foto : Wirya dan Sabata/Jerat Papua)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 8

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org JARINGAN KERJA RAKYAT EDISI IX

Kilas Balik HAM Perempuan Papua

Berdiri di Tengah Kekerasan

Pemenuhan HAM bagi Perempuan di Papua ternyata belum sepe-nuhnya dilakukan. Kasus kekerasan pada perempuan masih selalu

mengisi koran pagi.

Perlakuan buruk terhadap kaum hawa bahkan berjalan lurus dengan grafik penganiyaan yang menimpanya. Dalam tahun 2007, kekerasan pada perempuan di Papua masuk dalam peringkat ketiga terbesar se-luruh Indonesia. Disusul Maluku dan Yogyakarta. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), Papua berada di angka 13,62%, Maluku 10,39%, dan Yogyakarta 9,14%. Survei mengambil sampel 68.800 rumah tangga dengan blok sensus perkotaan dan pedesaan.

Wien Kusdiatmono, penanggung jawab operasional memaparkan, kasus tak terbantahkan itu terjadi 3,06% di perkotaan, dan 3,08% di pedesaan. Penelitian ini juga menyimpulkan, diantara 100 orang, diperkirakan tiga kekerasan dialami perempuan. Jumlah peristiwanya 3 juta dengan 2,27 juta korban.

Situasi mengerikan ini paling banyak berbentuk penghinaan, 65,3%, penganiayaan (25,3%), pelecehan (11,3%), penelantaran (17,9 %), dan dalam rupa lainnya yang tidak didefinisikan (16,2%). Menurut Wien, pen-ganiayaan tertinggi di Papua dengan persentase 70,3%.

Survei tersebut tak berbeda jauh dengan hasil yang diperoleh pada 2014. Wakil Ketua Bidang Program Pusat Pelayanan Terpadu Pem-berdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dr Margaretha Hanita mengatakan, Papua masih merupakan wilayah dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan, terbesar. Yakni mencapai 1.360 untuk setiap 10.000 perempuan.

Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidi-kan dan Kebudayaan Ella Yulaelawati mengatakan, Indonesia me-mang memprihatinkan dalam masalah gender, dimana pada 2012, berada di peringkat 108 dari 169 negara Indeks Pembangunan Gen-der. “Indonesia juga tercatat negara pemasok perdagangan anak perempuan, antara lain untuk prostitusi, pekerjaan rumah tangga dan eksploatatif lainnya.”

Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua

Dominggas Nari dalam “Potret Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua, dari Perspektif Hak Asasi Manusia” menyebutkan, persoalan ini merupakan suatu gejala yang universal. Hampir semua masyara-kat di dunia pada setiap tahapan sejarahnya, membawa serta dirinya dalam berbagai bentuk kekerasan. Sekjen PBB di depan konferensi Perempuan sedunia ke 4 di Beijing tahun 1985, justru menyebutkan, karena sifat keuniversalan praktek tersebut, maka ia harus dikutuk secara universal pula. Keuniversalan dari gejala ini menyentak “keadaan” yang merupakan produk dari suatu tatanan kehidupan kemasyarakatan yang serupa, tapi tidak sama sekali diantara

Mama Pedagang Papua (foto : Jerry Omona/Jerat Papua)

J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 8 J E R A T N E W S L E T T E R | E D I S I I X O K T O B E R 2 0 1 4 H A L . 9

JARINGAN KERJA RAKYAT

www.jeratpapua.org EDISI IX

masyarakat-masyarakat di dunia

Di Papua, kekerasan terhadap perempuan, begitu luar biasa. Namun masyarakat belum memahamimya sebagai bentuk dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia. “Dalam sistem budaya Orang Papua, kaum perempuan mendapat tempat yang cukup baik. Namun hal ini bukan berarti sama dalam praktek kehidupan, perempuan lepas dari kekerasan,” sebut Nari.

Umumnya perempuan yang menerima kekerasan adalah yang

tidak bekerja. Juga disebabkan oleh pola pikir yang menem-

patkan laki-laki sebagai sosok pemberani, tegas, dan memiliki

status lebih tinggi. Pemerintah sebenarnya telah berupaya

mengatasi masalah ini dengan menurunkan sejumlah undang-

undang, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Ben-

tuk Diskriminasi terhadap Wanita dan UU Nomor 5 Tahun

1998, Ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Pen-

yiksaan dan Merendahkan Martabat Manusia. Sayangnya,

regulasi itu tidak dijalankan semestinya.

Frederika Korain dalam sebuah seminar bertajuk Pemenuhan HAM Perempuan Papua, menjelaskan, 80% perempuan Pa-pua masuk dalam kategori miskin absolut. Hal ini menjadi alasan mereka sering menerima perlakuan tak adil. Mereka juga memiliki kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah dibandingkan wanita di provinsi lainnya.

Yusan Yeblo, Aktifis Perempuan menyebutkan, kekerasan ternyata tidak hanya pada kalangan berpendidikan rendah. Perempuan perkotaan, juga mengalami hal serupa. Bahkan, walau suami-istri di dalam keluarga adalah pejabat di kantor yang sama, tetapi di rumah, istri tetap sebagai orang yang harus melayani.

Program pemerintah, kata dia, tak banyak juga membantu perempuan keluar dari tekanan kekuasaan laki-laki. Soalnya, pejabat yang berkuasa di pemerintahan dan DPRD, lebih dominan kaum pria yang dibesarkan oleh adat. “Saya me-nyerukan kepada semua perempuan Papua untuk bersatu menuntut hak dan martabat, sama derajat dengan pria,” kata Yeblo.

Mas Kawin

Salah satu penyebab terpenting sikap pasrah istri terhadap suami, sekaligus menjadi sumber rentannya kekerasan adalah mas kawin. Makin tinggi nilai mas kawin, beban moril yang ditanggung istri makin besar. Istri merasa seakan-akan ‘dibayar mahal’. Karena itu, seluruh diri, jiwa raganya mesti dibaktikan untuk suami.

Mas kawin saat pertunangan atau menjelang pernikahan wajib ditanggung pihak suami dan keluarga. Besar mas kawin tergantung kesepakatan kedua pihak. Makin besar mas kawin, makin besar pula beban moril yang ditanggung sang perempuan selama perjalanan hidup berkeluarga. Perempuan harus ber-penampilan dan berperangai serba ‘menyenangkan’ untuk keluarga pria. Da-lam struktur sosial, perempuan dari keluarga berada atau terpandang memiliki mas kawin dengan nilai sampai puluhan juta rupiah. Sekitar 250 suku di Papua memiliki mas kawin berbeda-beda.

Dalam adat, posisi perempuan sejatinya bagai buah simalakama. “Perempuan Papua masih berada dalam belenggu yang mengikat tanpa daya untuk melakukan perubahan,” kata Hana Hikoyabi, mantan Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP).

Hana menjelaskan, sejak reformasi 1998, pemerintah telah mengambil ke-bijakan penyelesaian masalah Papua dengan memberikan otonomi khusus. Namun sejauh ini, implementasinya tetap saja tidak sesuai harapan. Ironisnya, permasalahan tentang kekerasan perempuan melebar ke sektor lain.

Upaya bersama, lanjut Hana, menjadi salah satu langkah paling efektif mene-gakan keadilan di Papua. “Paling penting adalah menghilangkan sikap masyarakat yang memberi beban ganda secara negatif kepada perempuan,” papar Hana.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Papua Annike Rawar mengakui kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua, begitu kom-pleks. Menurut dia, bukan hanya laki – laki saja yang patut disalahkan, tetapi juga wanita. “Miras (minuman keras) salah satu pemicu timbulnya kekerasan.”

Perkembangan teknologi informasi yang kian canggih, dibarengi maraknya aplikasi sosial media, situs kencan serta siaran infotaiment ‘murahan’ kata An-nike, ikut pula berperan merusak keharmonisan rumah tangga. “Hal ini mem-buka peluang perselingkuhan. Rumah tangga yang dulunya utuh, kini reng-gang,” ucapnya.

(Jerry Omona/Dari Berbagai Sumber)

JERAT PAPUA 2014

Supported by :

DAPATK

AN

Edisi

New

sLet

ter JE

RAT

di Web

site

www.jeratpapua.org

REDAKSI

Penanggungjawab : pt. JERAT Papua

Pimpinan Redaksi : Septer Manufandu

Editor/Redaktur : Jerry Omona

Kontributor : Wirya Supriyadi, Engelbert Dimara

Desain/Layout : Markus Imbiri

Kantor JERAT Papua

Jalan : Bosnik Blok.C No. 48 BTN Kamkey

Abepura (99351) Kota Jayapura - Papua

Email : [email protected] Telp : (0967) 587836

Website : www.jeratpapua.org

JERAT PAPUA 2014