jenis ular (serpentes) yang ditemukan di desa singapadu kabupaten
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali masih banyak memiliki binatang yang hidup liar karena
terdapatnya kantung-kantung habitat alami yang jarang dikunjungi/terjamah
manusia. Hutan tropis yang sejuk, lereng-lereng gunung berapi, jurang, sungai,
hutan mangrove dan daerah tepi pantai, hingga lautan adalah tempat hidup flora
dan fauna di daerah tropis seperti Bali. Kehidupan satwa liar di Bali masih dapat
ditemukan di berbagai habitat, misalnya di area persawahan, perkebunan,
sepanjang aliran sungai dan di area pemukiman (McKay, 2006).
Ular (Reptilia) adalah kelompok hewan melata yang dapat ditemukan
hampir diberbagai macam habitat. Hewan ini hidup terestrial, arboreal, semi
aquatik dan aquatik. Ular dapat ditemukan aktif pada siang hari (diurnal) dan
beberapa spesiesnya aktif pada malam hari (nokturnal). Permukaan tubuhnya
ditutupi oleh kulit yang bersisik, dan mengalami pergantian kulit (exdisis) secara
keseluruhan. Ular merupakan hewan berdarah dingin (poikiloterm), umumnya
bereproduksi dengan cara bertelur (ovipar) dan beberapa spesies bertelur-beranak
(ovovivipar). Saluran ekskresi pada ular berakhir pada kloaka (Zug, 1993).
Ular mampu beradaptasi walaupun habitatnya sudah mengalami banyak
perubahan yang diakibatkan karena aktivitas manusia, oleh sebab itu ular sering
kali hidup berdampingan dengan manusia. Masyarakat pada umumnya
menganggap semua ular berbahaya karena memiliki bisa atau racun yang dapat
1
2
membunuh dengan sekali gigitan. Hal ini tentu dapat berpengaruh terhadap
keberlangsungan hidup ular, karena apabila masyarakat melihat ular kemungkinan
mereka akan segera membunuhnya. Pengetahuan masyarakat tentang ular berbisa
masih sangat sedikit, misalnya dari observasi langsung di Desa Singapadu
Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar, ditemukan bahwa kebanyakan orang
yang melihat ular akan langsung membunuh ular tersebut.
Wilayah Desa Singapadu terdiri dari area persawahan, pemukiman dengan
beberapa sungai, serta terdapat lembaga konservasi. Keragaman habitat ini,
diperkirakan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis-jenis ular yang ada di
Desa Singapadu. Habitat sungai dan persawahan adalah salah satu contoh habitat
yang memiliki sumber makanan untuk ular, misalnya serangga, burung, tikus,
tupai, siput, kadal, katak, dan kodok. Oleh sebab itu informasi mengenai jenis-
jenis ular di berbagai habitat yang terdapat di Desa Singapadu akan dapat
membantu masyarakat untuk mengenal lebih baik tentang jenis – jenis ular.
Keanekaragaman jenis-jenis ular dan fungsi biologisnya akan tetap terjaga apabila
masyarakat mengetahui jenis-jenis ular yang ada disekitarnya. Langkah penting
pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi
ular-ular yang ada, sehingga dapat diketahui jenis-jenis ular serta habitat dimana
ular itu hidup.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Jenis-jenis ular apa saja yang terdapat di Desa Singapadu Kabupaten
Gianyar Bali?
2. Apakah perbedaan habitat akan berpengaruh terhadap jenis ular yang
ditemukan di Desa Singapadu Kabupaten Gianyar Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui jenis-jenis ular yang terdapat di Desa Singapadu
Kabupaten Gianyar Bali.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis ular yang hidup pada habitat yang berbeda.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Memberikan informasi tentang jenis-jenis ular serta habitatnya di Desa
Singapadu Kabupaten Gianyar Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan tentang
jenis-jenis ular yang ditemukan pada habitat persawahan, aliran sungai, area
lembaga konservasi, dan area pemukiman. Hasil penelitian ini juga dapat
digunakan sebagai sumber informasi untuk penelitian lebih lanjut, yang
berkaitan dengan jenis-jenis ular dan habitatnya.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Desa Singapadu
Desa Singapadu memiliki luas 345,93 ha dan secara topografi merupakan
dataran rendah dengan curah hujan sedang. Luas wilayah Desa Singapadu dibagi-
bagi menjadi area pemukiman seluas 53,19 ha, persawahan dengan luas 115,7 ha,
perkebunan 1,53 ha dan penggunaan lain-lain yang mencakup fasilitas umum
seperti area untuk pura, kuburan, jalan, lapangan, dan peruntukan umum lainnya
seluas 4,47 ha. Desa Singapadu memiliki enam banjar, yaitu: Banjar Dinas
Apuan, Banjar Dinas Seseh, Banjar Dinas Mukti, Banjar Dinas Kebon, Banjar
Dinas Sengguan dan Banjar Dinas Bungsu. Sebagian besar penduduk di Desa
Singapadu bekerja sehari-hari sebagai petani (RPJM.DES., 2010-2015). Petani
secara tidak langsung akan bertemu dengan ular di lingkungan persawahan dan
saluran irigasi, karena sawah merupakan salah satu habitat yang baik untuk ular.
Tiga petani digigit ular berbisa di Banjar Dinas Apuan selama bulan September
2013, jenis ular yang menggigit adalah ular hijau ekor merah atau ular mati ekor
(Sutisna, kom.pri., 2013).
Desa Singapadu juga memiliki daerah yang dijadikan kebun binatang atau
lembaga konservasi. Lembaga konservasi tersebut yaitu Bali Bird Park, Rimba
Reptile Park dan Bali Zoo. Ketiga lembaga konservasi tersebut terletak di tepi
sungai dan area persawahan yang merupakan habitat yang baik untuk ular.
4
5
Lembaga konservasi Bali Bird Park adalah salah satu lembaga yang khusus
memelihara satwa burung. Burung merupakan mangsa utama dari kelompok ular.
Tikus dan hewan pengerat lainnya secara tidak langsung akan masuk ke area
lembaga konservasi untuk mencari sisa makanan burung dan membangun sarang
untuk berkembangbiak (Obs. Pri.). Banyaknya jumlah burung dan hewan pengerat
dapat menarik ular untuk mencari mangsa di area lembaga konservasi. Rimba
Reptile Park merupakan lembaga konservasi yang khusus memelihara satwa
reptil. Kemungkinan beberapa spesies ular atau anak-anak ular hasil breeding ada
yang lepas dari kandangnya dan hidup disekitar area lembaga konservasi.
Masyarakat Desa Singapadu masih cukup banyak yang memanfaatkan
sungai untuk tempat persembahyangan, mandi, mencuci, dan memancing.
Beberapa spesies ular arboreal dan terestrial memanfaatkan lingkungan sungai
sebagai sumber air, tempat membuat sarang, tempat beristirahat/sembunyi dan
tempat berburu mangsa.
2.2 Habitat Ular
Ular merupakan kelompok hewan yang memiliki tingkat adaptasi tinggi.
Ular dapat ditemukan di seluruh benua dan pulau-pulau kecil di Bumi kecuali
Antartika dan New Zeland. Ular tersebar di daerah-daerah basah/lembab, hutan
tropis, hutan beriklim sedang, gurun pasir, padang rumput, persawahan, laut,
pegunungan, daerah pemukiman dan daerah pinggiran pemukiman (O’shea and
Halliday, 2001).
Beberapa spesies ular yang ditemukan di area persawahan seperti jenis
ular sawah/indo-chinese rat snake (Ptyas korros). Ular koros aktif mencari makan
6
pada siang hari, terutama memangsa tikus, kodok, katak dan kadal. Ular koros
dapat dijumpai di daerah-daerah pertanian, perkebunan, pemukiman dan hutan
muson (Cox et al., 1998; Ahsan and Shayla, 2001; McKay, 2006). Ular jali
belang/banded rat snake (Ptyas mucosa) dapat ditemukan di habitat persawahan.
Ular jali belang tidak berbahaya dan tidak berbisa, ular ini memangsa burung,
kodok, katak dan tikus. Ular jali belang memiliki panjang tubuh mencapai 3,7 m
dengan tubuh berbentuk bulat silindris serta gerakan yang cepat ketika berburu
dan menghindari predator (Boeadi et al., 1998; Cox et al., 1998; McKay, 2006;
Rajesh et al., 2013). Ular berbisa lemah yang dapat ditemukan di pepohonan
(arboreal) di area perkebunan/pertanian dan dipinggir sungai adalah dari jenis
ular pucuk/green vine snake (Ahaetulla prasina). Ular pucuk aktif pada siang hari
memangsa kadal, kodok, katak, burung, dan ular-ular kecil lainnya, sedangkan
pada malam hari ular ini beristirahat di atas pohon dengan melingkarkan tubuhnya
pada ranting pohon (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Kemampuan adaptasi ular yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan
peningkatan populasi individu yang konstan. Hal ini diakibatkan karena lebih
banyak masyarakat memilih untuk membunuh ular atau mengganggu sarang ular
yang ditemukan di area pemukiman. Beberapa spesies ular ada yang jumlahnya
melimpah, tetapi banyak spesies jumlahnya semakin menurun sehingga perlu
dilindungi dengan cara konservasi ex-situ ataupun in-situ. Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)
adalah dokumen yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui spesies
ular endemik Indonesia yang dilindungi. Spesies ular di Indonesia yang masuk ke
7
dalam dokumen CITES adalah ular sanca bodo/burmese python (Python molurus-
bivitatus), ular sanca hijau/green tree python (Chondropython viridis) dan ular
sanca timor (Python timorensis).
2.3 Klasifikasi Ular
Klasifikasi ular dalam taksonomi menurut O’Shea (1996) dengan contoh
dari beberapa genus dan spesiesnya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Famili : Typhlopidae, Pythonidae, Colubridae, Elapidae, Viperidae
Genus : Ramphotyphlops, Python, Ptyas, Naja, Trimeresurus
Spesies : Ramphotyphlops braminus, Python reticulatus, Ptyas
korros, Naja sputatrix, Trimeresurus insularis.
Ular memiliki sisik seperti kadal dan sama-sama digolongkan ke dalam
Kelas Reptilia bersisik Ordo: Squamata. Ular dibedakan dari reptil lainnya karena
semua ular tidak memiliki kaki sebagai alat pergerakan. Perbedaan ular dengan
kadal adalah kadal pada umumnya berkaki, walaupun beberapa spesies kakinya
mereduksi seperti pada amphisbaenians atau worm lizards. Kadal memiliki
lubang telinga dan kelopak mata yang dapat dibuka dan ditutup. Ular merupakan
salah satu reptil yang paling sukses berkembang di dunia. Ular semakin jarang
8
ditemukan di tempat-tempat yang dingin, seperti di puncak-puncak gunung,
Irlandia, Selandia baru dan daerah daerah kutub (Taylor and O’Shea, 2004).
Beberapa contoh ular dengan berbagai cirinya seperti dijelaskan berikut
ini. Ular koros berukuran sedang dan agak ramping, biasanya berwarna coklat
dengan warna sisik berpinggiran hitam. Bagian ventral tubuhnya berwarna putih
atau agak kekuning-kuningan, memiliki mata yang besar dengan pupil yang bulat.
Sisiknya halus dan sedikit berlunas, dalam 15 baris di bagian tengah tubuhnya.
Terdapat 187 sisik ventral, 146 pasang sisik subkaudal, 7 sisik bibir atas dengan
sisik anus terbelah. Ular ini tidak memiliki bisa, sehingga tidak berbahaya bagi
manusia (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Ular jali belang memiliki bentuk tubuh dan warna yang hampir sama
dengan ular koros. Ular jali belang berukuran besar dan dapat mencapai panjang
hingga 3,7 m dengan diameter badan 5 – 10 cm. Ular jali belang berwarna coklat
dengan garis-garis tebal berwarna hitam dari perut sampai ekor. Sisik-sisik pada
bibir berpinggiran hitam dan seringkali terdapat garis-garis tebal berwarna agak
kuning dari kepala sampai perut, terutama pada ular muda. Sisik-sisik dari perut
sampai ekor kadang-kadang berpinggiran hitam. Tubuh bagian ventral agak
kuning atau putih dengan 17 sisik halus pada bagian dorsal tengah tubuh.
Terdapat 213 sisik ventral, 146 pasang sisik subkaudal dan 9 sisik bibir atas
dengan sisik anus terbelah (McKay, 2006). Ular pucuk memiliki tubuh ramping
dan panjang, tubuh berwarna hijau dengan garis-garis putih yang putus-putus.
Ular pucuk memiliki 15 baris sisik halus di bagian tengah tubuh, jumlah sisik
ventral 189, sisik subkaudal 141, sisik bibir atas 8 dan sisik anus terbelah. Panjang
9
total rata-rata adalah 1,3 m dan ukuran maksimal dapat mencapai 2 m. Memiliki
bisa lemah dan tidak berbahaya bagi manusia (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Ular membunuh mangsanya dengan kekuatan lilitan seperti yang
dilakukan oleh ular Python dan beberapa spesies ular membunuh mangsanya
dengan bisa yang dimiliki. Tidak semua ular berbisa dapat membunuh manusia
dengan bisanya. Ular-ular yang berbisa kebanyakan termasuk famili Colubridae,
tetapi pada umumnya memiliki kekuatan bisa yang lemah. Ular-ular yang berbisa
kuat di Indonesia termasuk ke dalam famili Elapidae seperti ular king cobra
(Ophiophagus hannah), ular sendok (Naja sputatrix), ular weling (Bungarus
candidus) dan ular cabai kecil (Calliophis intestinalis). Ular berbisa mematikan
yang termasuk dalam famili Hydrophiidae adalah kelompok ular laut seperti ular
laut berbibir kuning/yellow-lipped sea krait (Laticauda colubrina). Kelompok ular
berbisa mematikan lainnya yang hidup terestrial adalah dari famili Viperidae
seperti ular tanah (Calloselasma rhodostoma) dan ular bidudak (Daboia
siamensis). Ular berbisa kuat yang arboreal adalah ular mati ekor (Trimeresurus
insularis) (Cox et al., 1998; Das, 2012; Marlon, 2014).
2.4 Identifikasi Ular
Identifikasi ular dilakukan dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri
morfologi, seperti bentuk tubuh, pola warna tubuh, panjang total tubuh, dan
bentuk kepala. Setelah mengamati ciri-ciri morfologi ular, dilanjutkan dengan
mengamati ciri-ciri morfometri seperti menghitung panjang tubuh ular dan ciri
meristik atau penghitungan jumlah susunan sisik labial atas (supralabial) dan
10
labial bawah (infralabial), jumlah sisik dorsal tengah, jumlah sisik ventral, jumlah
sisik subkaudal dan tipe taring (Gambar 1) (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Gambar 1. a. susunan sisik kepala bagian atas, b. susunan sisik supralabial dan
infralabial, c. cara menghitung sisik dorsal tengah tubuh, d. sisik anal
dan subkaudal (McKay, 2006; Lang and Vogel, 2005)
Sub-ordo Serpentes terdiri dari beberapa famili ular yang dapat ditemukan
di daerah tropis (Indonesia), misalnya dari famili Typhlopidae, Pythonidae,
Colubridae, Elapidae dan Viperidae (McKay, 2006).
Sisik ventral
Sisik anal terbelah
Sisik subkaudal tunggal
Pasang sisik subkaudal
a b
c d
11
2.5.1 Famili Typhlopidae
Typhlopidae adalah famili dari anggota spesies ular kawat/ular buta (blind
snake) yang berukuran kecil (12 cm – 18 cm) dan bentuknya seperti cacing tanah.
Tubuhnya berwarna hitam, abu-abu kehitaman, kecoklatan atau abu-abu kebiruan,
umumnya lebih gelap di bagian dorsal dan lebih terang di bagian ventral. Ular
kawat memiliki ekor pendek dengan ujung ekor meruncing seperti duri. Matanya
tersembunyi dan hanya terlihat seperti bintik gelap samar-samar di balik sisik
kepala. Sisik-sisik yang menutupi bagian tengah tubuh tersusun dari 20 deret sisik
yang halus dengan bentuk sama baik di bagian dorsal maupun ventral (McKay,
2006; Das, 2012).
Ular kawat ini mirip dengan cacing tanah, baik ukuran tubuh maupun
perilakunya. Ular kawat dapat ditemukan di bawah peralatan rumah tangga, di
balik pot-pot tanaman di halaman rumah, di bawah batu, di bawah serasah daun,
dan kayu-kayu busuk. Jika diamati dengan seksama, spesies ini terlihat memiliki
sisik yang berkilau dan kulit tidak berlendir. Mulut ular kawat sangat kecil,
memangsa telur-telur semut, rayap dan berbagai serangga kecil lainnya. Ular
kawat hidup di bawah tanah (fossorial), ukurannya yang kecil dan kemampuan
reproduksi dengan cara partenogenesis sangat membantu dalam penyebaran jenis
ular ini. Populasi ular kawat dapat terbentuk dari satu spesimen ular yang terbawa
dalam tanah pada pot tanaman (Kamosawa and Ota, 1996).
12
2.5.2 Famili Pythonidae
Keseluruhan anggota dari familia Pythonidae merupakan ular yang tidak
berbisa. Pythonidae dibedakan dari Boidae karena adanya gigi di bagian
premaxilla, seperti tungkai kecil di bagian paling depan dan tengah dari rahang
atas. Pythonidae umumnya lebih banyak hidup di daerah hutan hujan tropis dan
merupakan ular terpanjang di dunia yang mampu mencapai ukuran panjang 10 m
seperti misalnya ular sanca batik (Python reticulatus). Ular sanca memiliki lebih
dari 30 sisik pada lingkar tubuh tengahnya. Python membunuh mangsanya dengan
cara membelitkan tubuhnya yang berotot hingga mangsanya mati kehabisan nafas
(Ario, 2010; Das, 2012).
Beberapa spesies menunjukkan adanya tulang pelvis dan tungkai
belakang (vestigial) seperti taji di kanan dan kiri kloaka. Taji ini lebih besar pada
yang jantan dan berguna untuk merangsang pasangannya pada saat kopulasi. Ular
python betina bertelur sampai 100 butir dan betinanya mengerami telur tersebut
dengan cara melingkari tumpukan telur tersebut selama 90 hari. Cara Python
bertelur dan merawat telurnya membedakannya dengan spesies ular famili Boidae
(Boa). Familia ini terdiri dari tiga genus (Python, Morelia, dan Aspidites) dengan
lebih dari 30 spesies, habitatnya meliputi Afrika dan Indo-australia. Ular famili
Pythonidae memiliki tipe gigi aglypha, dimana hampir seluruh giginya teratur
dengan jumlah yang banyak (Zug, 1993; Lang and Vogel, 2005).
2.5.3 Famili Colubridae
Ciri famili Colubridae yang dapat membedakannya dengan famili lain
adalah sisik ventralnya berkembang dengan baik, melebar sesuai dengan lebar
13
perut. Kepala pada umumnya berbentuk oval dengan sisik-sisik yang tersusun
secara sistematis dan memiliki ekor silindris meruncing. Panjang tubuh
Colubridae bervariasi setiap spesiesnya, antara 1 – 3,5 m. Jumlah sisik lingkar
tengahnya kurang dari 30. Famili ini merupakan keluarga ular terbesar di dunia,
meliputi hampir 2/3 dari spesies ular di dunia. Kebanyakan anggota famili
Colubridae tidak berbisa dengan tipe gigi aglypha. Colubridae yang memiliki bisa
biasanya memiliki tipe gigi opistoglypha (tipe gigi berbisa lemah). Gigi taring
opistoglypha kecil dan susah dibedakan dengan gigi-gigi lainnya dan terletak
infralabial bagian tengah/belakang. Colubridae terdiri dari 320 genus dengan
jumlah spesies lebih dari 1.700 dan tersebar luas di seluruh dunia (Pough et al.,
1998; Fry et al., 2009).
McKay (2006) mengatakan bahwa beberapa spesies anggota dari famili
Colubridae di Bali memiliki bisa lemah (tidak berbahaya bagi manusia). Ular dari
famili Colubridae yang memiliki bisa lemah di Bali adalah: ular pucuk/greend
vine snake (Ahaetulla prasina), ular blidah/dog-toothed cat snake (Boiga
cynodon), ular tambak/dog-faced water snake (Cerberus rynchops), ular pohon
surga/paradise tree snake (Chrysopelea paradisi), dan ular sampi/spotted
keelback (Rhabdophis chrysargos).
Ular dari famili Colubridae yang berbisa memiliki tipe gigi opistoglypha
dengan jenis bisa hemotoksin. Jika tergigit ular ini, dalam waktu singkat mungkin
tidak akan beresiko terkena racunya, karena ular dengan gigi opistoglypha harus
memasukkan lebih dalam taringnya agar dapat menyuntikkan bisa yang lebih
14
banyak. Ular bergigi opistoglypha masih tergolong berbisa lemah, dengan efek
yang ditimbulkan hanya pembengkakan sekitar area gigitan (Fry et al., 2009).
2.5.4 Famili Elapidae
Merupakan famili yang spesiesnya kebanyakan ular berbisa mematikan
dan banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Panjang tubuh Elapidae
bervariasi, mulai dari 30 cm – 600 cm. Sisik lingkar tubuh tengahnya antara 15 –
23 sisik. Famili Elapidae terdiri dari 62 genus dengan 280 spesies, dibagi menjadi
dua sub-famili yaitu Elapinae dan Hydrophiinae. Pupil mata membulat karena
kebanyakan merupakan hewan diurnal. Famili ini dapat mencapai ukuran panjang
6 m yaitu dari spesies king cobra (Ophiophagus hannah) dan biasanya ovipar
namun adapula yang ovovivipar. Khusus pada spesies ular sendok (Naja
sputatrix), memiliki kemampuan untuk menyemprotkan bisanya sejauh 2 m dan
tepat mengenai mata musuh atau predatornya (Pough et al., 1998).
Famili Elapidae adalah ular yang paling berbahaya karena sangat agresif.
Ular ini memiliki gigi taring tipe proteroglypha yang terletak di bagian depan
infralabial dengan bisa neurotoksin. Selain bisa neurotoksin, ular kobra dan ular
laut juga memiliki tipe bisa hemotoksin dan kardiotoksin (Ario, 2010). Tipe gigi
proteroglypha kaku tidak dapat digerakkan dan dibagian depan taring terdapat
lubang saluran yang berfungsi untuk menyemprotkan bisa seperti pada Spitting
cobra. Ular bertipe gigi seperti ini tergolong sangat mematikan meskipun ukuran
taringnya tidak sepanjang taring solenoglypha yang dimiliki oleh ular viper,
namun kemampuan menyuntikkan bisanya sangat kuat. Penelitian sebelumnya di
Australia menyatakan bahwa spesies ular dari famili Elapidae adalah spesies ular
15
berbisa terkuat dengan jumlah terbanyak hingga 90 spesies (57,7%) dari 156
spesies ular terestrial yang terdapat di benua Australia (Wilson and Swan, 2003;
Williams et al., 2006).
2.5.5 Famili Viperidae
Ular-ular dari familia ini memiliki gigi taring tipe solenoglypha dengan
jenis bisa hemotoksin (Ario, 2010). Tipe gigi ini sangat spesial dari tipe gigi ular
lainnya. Sepasang taring panjang yang terdapat di bagian depan infralabial dapat
dilipat dan disembunyikan ke bagian atas rahang. Taringnya tidak hanya berfungsi
sebagai penyuntik bisa, sepasang taring ini dapat digunakan untuk membantu
mendorong mangsanya masuk ke dalam perut. Famili ini kebanyakan merupakan
ular yang hidup di gurun, namun ada pula yang hidup di daerah tropis, tersebar
hampir di seluruh dunia kecuali di Antartika, Australia, Selandia Baru, Irlandia,
Madagaskar, Hawai, berbagai pulau kecil lainnya dan Artik. Sisik biasanya
termodifikasi menjadi lapisan tanduk tebal dengan pergerakan menyamping.
Viperidae memiliki facial pit yang berfungsi sebagai thermosensor/sensor panas.
Kebanyakan anggota familinya merupakan hewan yang ovovivipar dan beberapa
ada yang ovipar. Sub-famili yang ada di Indonesia adalah Crotalinae yang terdiri
dari 18 genus dan 151 spesies (Pough et al., 1998).
2.5.6 Kandungan Bisa Ular
Bali memiliki spesies ular yang berbisa kuat atau mematikan dan berbisa
lemah atau tidak berbahaya bagi manusia (Tabel 2.1). Bisa ular merupakan hasil
sekresi khusus kelenjar mulut yang menyerupai kelenjar saliva. Setiap spesies ular
menghasilkan komponen dan kandungan bahan toksik atau non toksik yang
16
berbeda - beda. Salah satu contoh ular yang terkenal memiliki bisa kuat dan
berbahaya bagi manusia adalah ular kobra. Jenis bisa ular kobra (Elapidae) adalah
neurotoksin dan sedikit hemotoksin. Gejala yang diakibatkan oleh gigitannya
yaitu pembengkakan, pendarahan, fibrinolitik dan kerusakan jaringan pada lokasi
gigitan. Bisa ular sebagaian besar adalah protein, kandungan protein dalam bisa
ular disebut Thrombin Like Enzyme karena mempengaruhi proses pembekuan
darah. Thrombine like enzyme ini termasuk protease serin dan metaloprotease
yang menyerupai trombin dalam fungsinya mempengaruhi pembekuan benang-
benang fibrinogen (Selistre and Giglio, 1987; Chanhome et al., 2003).
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90% tersusun atas
protein yang sebagian besar adalah enzim, serta mengandung polipeptida. Enzim
utama bisa ular antara lain proteolitik, hialurinidase, asam amino oksidase,
kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase,
fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase. Dalam kandungan bisa ular
juga terdapat logam yaitu: magnesium (Mg), zink (Zn) dan mangan (Mn) dengan
konsentrasi yang bervariasi. Logam-logam ini sangat mempengaruhi kerja enzim,
misalnya ion kalsium merupakan komponen penting untuk mempertahankan
struktur tersier proteinase yang mempengaruhi aktivitas pendarahan (Brown,
1973; Fry, 1999).
17
Tabel 2.1 Ular-ular berbisa di Bali, kandungan bisa dan kekuatan bisa (McKay,
2006).
No Famili Spesies Nama lokal Kandungan
Bisa
Kekuatan
Bisa
1 Elapidae Ophiophagus hannah King Kobra Neurotoksin Mematikan
Naja sputatrix Ular Sendok Neurotoksin &
Hemotoksin
Mematikan
Bungarus candidus Ular Weling Neurotoksin Mematikan
2 Viperidae Trimeresurus insularis Ular mati ekor Hemotoksin Mematikan
3 Colubridae Ahaetulla prasina Ular pucuk Hemotoksin Lemah
Boiga cynodon Ular blidah Hemotoksin Lemah
Hemotoksin adalah kandungan racun yang menyerang sistem sirkulasi
darah, dalam kandungan racun hemotoksin terdapat enzim pemecah protein
(proteolytic). Racun hemotoksin mengakibatkan sel-sel darah akan rusak dan
terjadi penggumpalan darah. Reaksi racun sangat cepat seiring dengan
pembengkakan di daerah sekitar luka gigitan, beberapa menit setelah gigitan
korban akan sangat kesakitan dan terasa panas di area gigitan. Racun yang bersifat
hemotoksin akan mengakibatkan gejala hemolisis. Hemolisis adalah rusaknya
jaringan darah akibat lepasnya hemoglobin dari setoma eritrosit (sel darah merah).
Enzim penyebab hemolisis adalah enzim lipase seperti fosfolipase. Enzim
fosfolipase ditemukan pada semua bisa ular dalam beberapa bentuk dan variasi.
Pada bisa ular famili Elapidae dan Viperidae ditemukan 4 jenis fosfolipase, yaitu
A1, (lesitinase A2), C dan D yang diklasifikasikan berdasarkan bagian mana dari
ikatan ester 3-sn fosfogliserida yang di hidrolisis (Fry, 1999; Fry et al., 2012).
18
BAB III
KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir
Desa Singapadu memiliki area persawahan yang cukup luas yaitu 115,7
hektar dengan satu induk sungai/sungai besar yang bernama “Tukad Wos” yang
melintas di Banjar Dinas Bungsu dan beberapa anak sungai kecil lainnya seperi
“Tukad Ngiangan” di Banjar Dinas Apuan, “Tukad Anggar Besi” di Banjar Dinas
Sengguan, dan “ Tukad Apit Yeh” di Banjar Dinas Kebon. Sungai dan pinggiran
sungai merupakan habitat yang digunakan ular untuk bersarang, beristirahat,
berburu dan berkembang biak. Habitat sawah juga di manfaatkan oleh ular untuk
tempat mencari makan. Selain area persawahan yang luas, Desa Singapadu juga
memiliki tiga lembaga konservasi yaitu: Bali Bird Park, Rimba Reptile Park, dan
Bali Zoo.
Lembaga konservasi Bali Bird Park merupakan satu lembaga yang khusus
memelihara satwa burung, menarik ular untuk mencari mangsa di area tersebut.
Sisa-sisa pakan satwa di lembaga konservasi juga menarik hewan pengerat dan
burung-burung liar untuk mencari makan di area lembaga konservasi, sehingga
ular tertarik untuk berburu masuk ke dalam area lembaga konservasi. Rimba
Reptile Park dan Bali Zoo memiliki koleksi ular, yang mana beberapa jenisnya
berasal dari luar Bali, bahkan luar negeri seperti Taipan yang berasal dari
18
19
Australia dan Boa dari Amerika. Ular-ular ini pada saat reproduksi menghasilkan
banyak anak, dimana anak yang dihasilkan kemungkinan beberapa keluar area
konservasi tanpa sepengetahuan stafnya.
Sepanjang aliran sungai yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak –
semak yang berbatasan langsung dengan area konservasi, sawah dan pemukiman
merupakan habitat yang baik untuk ular – ular arboreal dan terestrial. Beberapa
jenis ular aktif di malam hari dan yang lainnya aktif di siang hari. Masyarakat di
Desa Singapadu sebagian besar bekerja sebagai petani, sehingga aktif baik di
siang maupun di malam hari. Persamaan waktu aktifitas ini memungkinkan
masyarakat petani lebih sering untuk melihat ular. Disamping itu, masyarakat
masih banyak yang memanfaatkan sungai untuk kehidupan sehari-harinya sebagai
tempat untuk mandi, mencuci, dan memancing, sehingga banyak masyarakat yang
sering bertemu langsung dengan ular ataupun yang tergigit ular.
Mempertahankan biodiversitas (keanekaragaman) ular, populasi ular,
habitat ular, serta mengurangi korban gigitan ular berbisa dapat dilakukan dengan
mengetahui jenis - jenis ular yang terdapat di Desa Singapadu. Identifikasi jenis-
jenis ular yang ditemukan di Desa Singapadu membantu masyarakat untuk
mengenal spesies ular yang tidak berbisa, berbisa lemah dan berbisa kuat. Spesies
ular berbisa kuat yang telah ditemukan di Bali adalah ular sendok/spitting cobra
(Naja sputatrix), ular weling (Bungarus candidus) dan ular mati ekor
(Trimeresurus insularis) (McKay, 2006; Asad et al., 2012; Das, 2012).
20
3.2 Konsep Penelitian
Desa Singapadu
Area persawahan
(saluran irigasi)
Sepanjang aliran
sungai
Pemukiman
Identifikasi Ular
Susunan Sisik
Kepala, Bentuk
Kepala, Bentuk
Pupil Mata,
Warna lidah,
Tipe Gigi, Pola
Warna Tubuh,
bentuk sisik
anus dan Bentuk
Sisik (Berlunas,
Halus atau
Beralur).
Sekitar lembaga
konservasi
Ciri –Ciri
Morfologi
Jumlah Ular
Yang
Ditemukan
Ciri –Ciri
Morfometri
Panjang Total
Tubuh , Jumlah
Sisik Labial
Atas/Supralabial
, Jumlah Sisik
Dorsal Tengah,
Jumlah Sisik
Ventral dan
Jumlah Sisik
Subkaudal
Waktu
Aktif Ular
Relung
(Pohon, Air
dan Tanah)
Jenis Ular
Populasi Sebaran
Temporal
Sebaran
Spatial
Populasi Ular Di Desa Singapadu
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penangkapan ular dilakukan di Desa Singapadu Gianyar Bali, yaitu di
habitat sawah, sungai, lembaga konservasi dan pemukiman. Habitat ini tersebar di
wilayah Banjar Dinas Apuan, Banjar Dinas Seseh, Banjar Dinas Mukti, Banjar
Dinas Kebon, Banjar Dinas Sengguan dan Banjar Dinas Bungsu. Identifikasi
dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Vertebrata Universitas Udayana
Jimbaran Bali. Observasi pendahuluan dilakukan dari Bulan Desember 2013
sampai Pebruari 2014. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dari Bulan Maret
sampai April 2014. Waktu pengambilan sampel yaitu pada pagi hari sampai sore
hari pukul 09.00 - 16.00 WITA dan petang sampai malam hari pukul 19.00 -
23.00 WITA.
Habitat sawah yang dimaksud adalah seluruh area persawahan yang
ditanami tanaman padi, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan. Saluran irigasi yang
mengairi sawah dan pematang sawah atau jalan setapak yang terdapat di area
persawahan. Habitat sawah ini dibatasi oleh daerah aliran sungai (DAS), area
lembaga konservasi, dan area pemukiman. Batas habitat sawah dari satu banjar
dengan banjar lainnya dibatasi oleh saluran irigasi, jalan setapak dengan/atau
tanpa dibeton, pematang sawah dan sungai. Pura dan lumbung-lumbung padi yang
terdapat disekitar area persawahan juga termasuk habitat sawah.
21
22
Yang dimaksud dengan habitat sungai adalah daerah aliran sungai (DAS)
dengan semua tumbuhan atau pepohonan yang tumbuh dipinggiran sungai. Batas
habitat sungai ± 50 meter dari tepi sungai ke habitat sawah, lembaga konservasi,
dan pemukiman. Ular yang ditemukan atau dicatat keberadaannya di habitat
sungai adalah ular yang ditemukan di air dan pepohonan/semak-semak, bebatuan,
gua-gua, celah tanah, tumpukan kayu atau daun yang membusuk, tempat
pemandian, dan Pura, dimana seluruh tempat tersebut berada di pinggiran sungai.
Habitat lembaga konservasi merupakan habitat buatan untuk satwa dan
habitat alami yang terdapat didalam lembaga konservasi. Lembaga konservasi
dikelilingi oleh tembok tinggi sebagai batas habitat. Sampel ular yang diambil dari
habitat ini adalah ular yang ditemukan baik pada habitat buatan maupun habitat
alami.
Habitat pemukiman adalah area yang ditempati oleh penduduk dengan
batas tembok-tembok rumah penduduk. Ular yang dicatat keberadaannya di
habitat pemukiman adalah ular yang memasuki area rumah penduduk, baik
ditemukan di atas pohon, pada atap rumah, di tanah, tumpukan kayu bakar, dan
tumpukan material bangunan yang terdapat di dalam lingkungan area pemukiman
penduduk.
4.2 Penentuan Sumber Data
Sampel didapatkan dengan cara menangkap ular liar yang terdapat di
empat habitat yang berbeda di Desa Singapadu yaitu: area persawah (saluran
irigasi) terdapat di semua banjar dinas, sepanjang aliran sungai yang terdapat di
23
Banjar Dinas Bungsu, Sengguan, Kebon dan Apuan, lembaga konservasi di
Banjar Dinas Bungsu dan Apuan, dan area pemukiman yang tersebar di semua
banjar dinas (Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi/tempat pengambilan sampel ular di habitat sawah, sungai,
lembaga konservasi dan pemukiman di Desa Singapadu.
24
4.3 Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lokasi pengambilan sampel dan
waktu pengambilan sampel. Lokasi pengambilan sampel dibedakan menjadi
empat habitat yaitu area persawahan (saluran irigasi), aliran sungai, sekitar
lembaga konservasi, dan area pemukiman, sedangkan waktu pengambilan sampel
dibedakan menjadi pagi dan malam hari. Variabel tergantung dari penelitian ini
adalah jumlah individu dan jenis ular yang ditemukan.
4.4 Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan untuk menangkap ular adalah penjepit ular/tongs
tipe: Collapsible Gentlet Glant 40 Inch Tong (R) Item Number: 100-GG-S-T40-
CL yang terbuat dari besi (Gambar 3a). Higrometer untuk mengetahui suhu serta
kelembaban lingkungan (Gambar 3b), meteran digunakan untuk mengukur
panjang tubuh ular (Gambar 3c). Ular yang ditemukan saat pengambilan sampel
ditangkap dan diidentifikasi dengan menggunakan tabung transparan (Gambar
3d). Led Headlamp Black Diamond (Gambar 3e), dan Flashlight Fenix PD35
(Gambar 3f) digunakan untuk mencari ular pada malam hari. Alat tulis digunakan
untuk mencatat tanggal, lokasi ditemukan, suhu, waktu ditemukan, nama spesies
dan waktu lama perjalanan (awal mulai sampai akhir pencarian). Kantung kain
digunakan sebagai tempat membawa ular yang tidak dapat diidentifikasi di
lapangan. Kamera digital Nikon Coolpix S2700 digunakan untuk pengambilan
poto ular yang tertangkap.
25
Gambar 3. Peralatan yang digunakan untuk mencari sampel ular selama
penelitian.
4.5 Prosedur Penelitian
4.5.1 Penangkapan Ular
Sampel ular di Desa Singapadu Gianyar Bali ditangkap dari area
persawahan termasuk saluran irigasi, sepanjang aliran sungai, di sekitar lembaga
konservasi dan di area pemukiman dari sampai sore hari dan petang sampai
malam hari. Sampel ular di area pemukiman dan lembaga konservasi didapatkan
dari informasi warga dan staff di lembaga konservasi.
Pengambilan sampel ular dilakukan dengan metode jelajah dengan cara
menelusuri habitat yang telah ditentukan (Asad et al., 2012). Hasil observasi
pendahuluan menunjukkan bahwa ular dapat ditemukan di tumpukan serasah,
saluran irigasi, kayu atau pohon yang sudah mati, di atas pepohonan, di semak-
semak, lubang-lubang pohon, gudang-gudang tempat penyimpanan, tumpukan
material bangunan dan gua-gua kecil yang kemungkinan dimanfaatkan oleh ular
untuk sarang. Ular yang ditemukan ditangkap dan diidentifikasi di lapangan,
sedangkan jika ular yang tidak dapat diidentifikasi secara langsung di lapangan,
26
dimasukkan ke dalam kantung kain untuk diidentifikasi lebih lanjut di
laboratorium.
4.5.2 Identifikasi
Identifikasi ular yang tertangkap di lapangan dilakukan dengan mengamati
ciri morfologi yaitu bentuk tubuh, pola warna tubuh, bentuk kepala, bentuk pupil
mata, warna lidah, tipe gigi, bentuk sisik anus, dan tekstur sisik (berlunas, halus
atau beralur). Ciri morfometri yang diukur yaitu panjang total tubuh, dan ciri
meristik yaitu jumlah sisik supralabial, jumlah sisik infralabial, jumlah sisik dorsal
tengah, jumlah sisik ventral, dan jumlah sisik subkaudal serta mengacu pada kunci
determinasi ular yang ditemukan di Desa Singapadu Gianyar Bali. Identifikasi
dilakukan menggunakan pustaka acuan dari Cox et al.(1998), Lang and Vogel
(2005), McKay (2006), Das (2012), dan Marlon (2014).
4.6 Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisa secara deskriptif kuantitatif yaitu
mendeskripsikan jenis-jenis ular pada masing-masing lokasi, keadaan habitat serta
ciri-ciri morfologinya, dan mengukur serta membandingkan morfometri dan
meristik dari sampel ular yang ditemukan.
27
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ular Yang Ditemukan Di Desa Singapadu
Masing – masing spesies yang ditemukan di Desa Singapadu memiliki
ciri-ciri morfologi, morfometri dan meristik tersendiri yang membedakan spesies
satu ular dengan spesies lainnya. Ciri-ciri morfologi, morfometri, dan meristik
dari seluruh spesies ular yang termasuk ke dalam lima famili: Colubridae,
Elapidae, Pythonidae, Typhlopidae dan Viperidae yang ditemukan selama
penelitian dipaparkan lebih lengkap di bawah ini.
5.2 Famili Colubridae
Spesies dari famili Colubridae ditemukan paling banyak di Desa
Singapadu. Famili ini ditemukan di berbagai habitat, yaitu sawah, sungai, area
lembaga konservasi, dan area pemukiman. Deskripsi dan identifikasi masing-
masing spesies dari famili Colubridae yang ditemukan dijelaskan di bawah ini.
5.2.1 Ahaetulla prasina Shaw (1802) (Lélipi Gadang Arjuné/Ular
Pucuk/Green Vine Snake)
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Famili : Colubridae
27
28
Genus : Ahaetulla
Spesies : Ahaetulla prasina (Shaw, 1802)
Gambar 4. Ular pucuk berwarna hijau (a) dan ular pucuk coklat (b).
Ular pucuk bertubuh ramping dan panjang, dengan variasi warna hijau
dan coklat. Panjang tubuh maksimal yang ditemukan pada penelitian ini adalah
200 cm dan minimal 120 cm. Pada umumnya ular ini berwarna hijau, namun
beberapa berwarna coklat muda. Jika dalam keadaan agresif, Ahaetulla prasina
yang berwarna hijau maupun coklat mengeluarkan warna garis putih dan hitam
pada bagian leher hingga bagian tengah tubuhnya. Ular yang berwarna hijau, pada
bagian ventral tubuh berwarna hijau terang dengan garis-garis putih atau kuning
disepanjang sisi tubuh yang berbatasan dengan sisik lateral, sedangkan ular yang
berwarna coklat memiliki warna putih kekuningan pada bagian ventral. Kepala
berbentuk segitiga meruncing seperti mata kapak, dengan pupil mata horisontal,
terdapat alur diantara mata dengan ujung labial atas dan lidahnya berwarna putih.
Sisik supralabial berjumlah 8 – 10, sisik bagian dorsal tengah sebanyak 15 deret,
189 - 241 sisik ventral dan 142 - 235 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus
terbelah. Gigi ular pucuk bertipe opistoglypha berbisa lemah, hidup arboreal dan
diurnal.
a b
29
5.2.2 Boiga dendrophila Boie (1827) (Lélipi Sabuk/Ular Cincin
Emas/Mangrove Cat Snake)
Gambar 5. Ular cincin emas belang putih (a) dan ular cincin emas (b).
Ular cincin emas adalah ular yang berukuran besar, dengan panjang
maksimal 250 cm (Cox et al., 1998). Pada penelitian ini panjang tubuh B.
dendrophila yang ditemukan maksimal 215 cm dan minimal 110 cm. Boiga
dendrophila memiliki dua variasi warna yaitu hitam kuning atau hitam putih
berselang-seling/berbelang-belang pada tubuh bagian dorsal dan lateral. Belang
warna hitam lebih besar daripada warna kuning atau putih. Bagian ventral tubuh
berwarna abu-abu kehitaman. Bentuk kepala oval dengan rahang yang lebar dan
otot labial atas yang kuat. Memiliki mata yang besar seperti mata kucing dengan
pupil mata bulat vertikal dan lidahnya berwarna merah, semakin ke ujung
berwarna hitam. Labial berwarna kuning/putih dengan garis-garis hitam tipis,
sisik supralabial berjumlah 8 – 9 sisik dengan sisik ketiga atau kelima bergaris
masuk mengarah ke mata. Sisik bagian dorsal tengah sebanyak 21 – 23 deret,
baris sisik vertebral membesar, 209 – 239 sisik ventral, 95 – 105 pasang sisik
subkaudal dan sisik anus tidak terbelah. Gigi bertipe opistoglypha berbisa sedang,
hidup secara arboreal dan nokturnal.
a b
30
5.2.3 Boiga cynodon Boie (1827) (Lélipi Awan/Ular Blidah/Dog-toothed Cat
Snake)
Gambar 6. Ular blidah mature (a) dan ular blidah juvenile (b).
Ular blidah adalah ular besar, bertubuh ramping dan panjang. Panjang
maksimal tubuh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 210 cm dan minimal
160 cm. Boiga cynodon berwarna coklat muda dengan garis membujur
disepanjang tubuh bagian dorsal dan lateral tubuh berwarna hitam atau coklat tua
dengan pola pinggiran tidak beraturan. Warna tubuh bagian ventral lebih muda
dibandingkan warna tubuh bagian dorsal. Pada bagian ekor terdapat garis tebal
berwarna hitam kecoklatan dan kuning berselang-seling. Pada bagian kepala
terdapat garis berwarna hitam kecoklatan dari mata mengarah ke pangkal labial.
Boiga cynodon memiliki mata besar dengan pupil mata vertikal dan lidahnya
berwarna merah pucat. Sisik supralabial berjumlah 8 – 10, sisiknya halus dan
baris sisik vertebral membesar. Sisik bagian dorsal tengah sebanyak 23 deret, 248
- 290 sisik ventral dan 114 - 165 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus tidak
terbelah. Gigi bertipe opistoglypha berbisa sedang, hidup secara arboreal dan
nokturnal.
a b
31
5.2.4 Coelognathus flavolineatus Schlegel (1837) (Lélipi Kopi/Ular
Babi/Yellow-striped Racer)
Gambar 7. Ular babi mature saat agresif (a) dan ular babi juvenile (b).
Ga Ular babi adalah ular yang cukup besar dengan tubuh berbentuk silinder.
Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan 157 cm dan minimal 120 cm. Ular
dewasa memiliki pola warna yang berbeda dengan ular muda. Ular dewasa
memiliki warna tubuh coklat yang memudar ke bagian ekor, menjadi warna abu-
abu gelap. Tubuh bagian ventral berwarna putih kekuningan, sedangkan sisik
ventral bagian ekor berwarna abu-abu gelap. Kepala ular babi yang masih muda
berwarna coklat dengan tiga garis tebal berwarna hitam melintang dari mata ke
leher. Coelognathus flavolineatus muda memiliki garis berwarna kuning
disepanjang sisik dorsal yang tepinya dibatasi dengan garis berwarna hitam.
Tubuh bagian lateral terdapat bercak hitam dan putih tersusun berselang-seling.
Warna ular muda akan memudar dan berubah menjadi cokelat bersamaan dengan
penambahan usia. Coelognathus flavolineatus memiliki pupil mata berbentuk
bulat dengan lidah berwarna merah muda pucat. Sisik supralabial berjumlah 8 – 9,
sisik bagian dorsal tengah sebanyak 19 deret dengan tekstur halus dan agak
a b
32
berlunas, 205 - 233 sisik ventral dan 91 - 108 pasang sisik subkaudal dengan sisik
anus tidak terbelah. Coelognathus flavolineatus tidak berbisa, hidup terestrial dan
nokturnal.
5.2.5 Coelognathus radiata Boie (1827) (Lélipi Bikul/Ular tikus/Copperhead
Racer)
Gambar 8. Ular tikus saat agresif.
Ular tikus adalah ular yang besar dengan tubuh lebih tinggi dibandingkan
dengan lebarnya. Pada penelitian ini hanya ditemukan satu individu, dengan
panjang tubuh 197 cm. Tubuh bagian dorsal berwarna coklat dengan empat garis
hitam melintang, dari kepala hingga ke perut. Garis di bagian lateral umumnya
lebih kecil dan terputus-putus. Ular muda umumnya memiliki pola garis berwarna
hitam dan putih vertikal di bagian lateral tubuh, semakin memudar di bagian ekor.
Warna tubuh bagian ventral putih atau putih kekuningan. Saat agresif ular ini akan
melebarkan tubuhnya membentuk huruf “S“ dengan kepala tegak berdiri dan
mulut terbuka serta garis dan pola warna akan terlihat jelas di bagian leher hingga
perut. Kepala ular ini berwarna tembaga atau jingga dengan tiga garis hitam dari
mata hingga labial. Coelognathus radiata memiliki pupil mata berbentuk bulat
33
dengan lidah berwarna merah muda pucat. Garis hitam paling atas menyatu
dengan garis hitam yang melintang dibagian belakang kepala. Sisik supralabial
berjumlah 9, sisik bagian dorsal tengah sebanyak 19 deret dengan tekstur
berlunas, 250 sisik ventral dan 108 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus tidak
terbelah. Coelognathus radiata tidak berbisa, hidup terestrial, diurnal dan
terkadang nokturnal.
5.2.6 Dendrelaphis pictus Gmelin (1789) (Lélipi Angasan/Ular Tali/Painted
Bronzeback)
Gambar 9. Ular tali istirahat dimalam hari (a) dan ular tali saat agresif (b).
Ular tali adalah ular yang berukuran sedang, memiliki tubuh yang ramping
dengan ekor yang panjang. Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan adalah
92 cm dan minimal 25 cm. Tubuh bagian dorsal berwarna perunggu, merah tua,
dan beberapa ada yang coklat kehitaman dengan dua garis hitam di lateral
tubuhnya. Tubuh bagian lateral memiliki warna kuning atau hijau muda yang
membatasi tubuh bagian dorsal dan ventral. Garis hitam di bagian lateral dimulai
dari sisi kepala hingga ekor. Warna bercak putih, hijau muda dan biru di bagian
depan tubuhnya dapat terlihat saat ular agresif dan melebarkan tubuhnya. Tubuh
bagian ventral berwarna hijau muda atau kuning. Dendrelaphis pictus memiliki
bentuk kepala oval mengecil ke arah ujung labial dengan mata yang besar dan
a b
34
pupil berbentuk bulat. Labial bawah berwarna hijau keputihan atau terkadang
berwarna putih, dengan lidah berwarna merah menyala. Sisik supralabial
berjumlah 9, sisik bagian dorsal tengah sebanyak 15 baris sisik halus, 163 – 208
sisik ventral dan 99 - 169 pasang sisik subkaudal berlunas membentuk tonjolan
dengan sisik anus terbelah. Dendrelaphis pictus tidak berbisa, hidup terestrial,
diurnal dan pada malam hari dapat ditemukan beristirahat di ranting pohon.
5.2.7 Gonyosoma oxycephalum Boie (1827) (Lélipi Gadang Ikut Pélung/Ular
Gadung Luwuk/Red-tailed Racer)
Gambar 10. Ular gadung luwuk saat agresif.
Ular gadung luwuk berukuran besar dengan tubuh lebih tinggi dari pada
lebarnya. Pada penelitian ini panjang maksimal tubuh tubuh yang ditemukan
adalah 180 cm dan minimal 112 cm. Gonyosoma oxycephalum berwarna hijau
cerah atau hijau kusam dengan ekor berwarna merah karat, abu-abu atau coklat
kemerahan. Lubang hidung bergaris hitam tipis melewati mata hingga leher, yang
membatasi tubuh bagian dorsal dengan warna hijau dan ventral dengan warna
kuning muda. Deretan sisik dari bagian dorsal hingga ke ekor dibatasi garis-garis
hitam mengikuti pola bentuk sisik. Pangkal ekor terdapat pola lingkaran berwarna
35
kuning yang berputar mengelilingi pangkal ekor. Gonyosoma oxycephalum
memiliki bentuk kepala oval dengan bentuk moncong memanjang dan pupil mata
bulat. Labial bawah berwarna kuning muda atau hijau kekuningan dengan lidah
berwarna biru. Sisik supralabial berjumlah 7 - 10, 23 – 27 sisik halus bagian
dorsal tengah, 230 – 263 sisik ventral dengan alur berlunas pada setiap sisi
luarnya dan 120 - 157 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus terbelah.
Gonyosoma oxycephalum tidak berbisa, hidup arboreal dan diurnal.
5.2.8 Lycodon aulicus-capucinus Boie (1827) (Lélipi Cécék/Ular
Cecak/Common Wolf Snake)
Gambar 11. Ular cecak.
Ular cecak adalah ular berukuran kecil dengan ukuran kepala lebih lebar
dari leher. Panjang maksimal tubuh yang ditemukan pada penelitian ini 67 cm dan
minimal 30 cm. Lycodon aulicus-capucinus berwarna coklat keabu-abuan atau
coklat kehitaman dengan bercak-bercak seperti jaring berwarna putih atau kuning.
Bagian ventral tubuh berwarna putih atau kuning, ular muda memiliki warna yang
lebih cerah dibandingkanular dewasa. Kepala berwarna coklat dengan garis
melintang berwarna putih dari bagian leher menuju labial, lidahnya berwarna
merah muda. Sisik supralabial berjumlah 8 - 9, 17 – 19 sisik halus bagian dorsal
36
tengah, 180 – 214 sisik ventral dan 57 - 89 pasang sisik subkaudal dengan sisik
anus terbelah. Lycodon aulicus-capucinus tidak berbisa, hidup terestrial dan
nokturnal.
5.2.9 Lycodon subcinctus Boie (1827) (Lélipi Tanah/Ular Cecak Belang/White-
banded Wolf Snake)
Gambar 12. Ular cecak belang mature dengan belang putih memudar ke bagian
ekor (a) dan ular cecak juvenile (b).
Ular cecak belang berukuran sedang, ukuran kepala lebih lebar dari leher.
Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan 94 cm dan minimal 26 cm. Lycodon
subcinctus berwarna hitam atau coklat tua, dengan garis tebal dan lebar berwarna
putih berselang-seling di seluruh tubuhnya. Garis putih pada ular dewasa akan
semakin memudar dari bagian tengah tubuh hingga ke ekor, sedangkan ular muda
memiliki warna belang hitam dan putih dari leher hingga ujung ekor. Tubuh
bagian ventral berwarna putih kecoklatan. Kepala berbentuk bulat dengan
moncong yang tumpul dan lidah berwarna merah muda. Sisik supralabial
berjumlah 8, 17 sisik berlunas di bagian dorsal tengah, 197 – 230 sisik ventral
dan 57 - 90 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus terbelah. Lycodon
subcinctus tidak berbisa, hidup terestrial dan nokturnal.
a b
37
5.2.10 Pareas carinatus Wagler (1830) (Lélipi Békecot/Ular Siput/ Keeled
Slug-eater)
Gambar 13. Ular siput saat agresif.
Ular siput adalah ular bertubuh kecil dan ramping, tubuhnya lebih tebal
dari pada lebarnya. Pada penelitian ini hanya ditemukan satu individu, dengan
panjang tubuh 45 cm. Warna tubuh ular siput bervariasi dari coklat muda, coklat
kemerahan atau abu-abu. Disepanjang tubuh terdapat garis-garis tebal berwarna
hitam dengan susunan tidak rapat. Tubuh bagian ventral berwarna kekuningan
dengan totolan berwarna hitam atau coklat gelap. Kepala berbentuk bulat dengan
moncong yang tumpul, memiliki mata yang besar dengan pupil bulat vertikal.
Pada bagian kepala terdapat garis melintang berwarna hitam gelap dari belakang
mata hingga ke leher. Labial bawah tidak berlekuk (tidak terdapat alur mental)
dan lidah berwarna hitam. Tidak memiliki lekukan dibagian tengah labial bawah
dan lidah berwarna hitam. Sisik supralabial berjumlah 8, 15 sisik di bagian dorsal
tengah, 158 – 206 sisik ventral dan 53 - 99 pasang sisik subkaudal dengan sisik
anus tidak terbelah. Pareas carinatus tidak berbisa, hidup terestrial dan
nokturnal.
38
5.2.11 Ptyas korros Schlegel (1837) (Lélipi Sélém Réngas/Ular Koros/Ular
Sawa/Indo-chinese Rat Snake)
Gambar 14. Ular koros mature (a) dan ular koros juvenile (b).
Ular sawa adalah ular besar dengan tubuh berbentuk silinder. Panjang
tubuh maksimal ditemukan dalam penelitian ini 200 cm dan minimal 25 cm.
Tubuh bagian dorsal berwarna coklat keabu-abuan atau berwarna olive. Tubuh
bagian ventral berwarna putih kekuning-kuningan, kuning lebih jelas terlihat pada
batas sisik ventral dengan lateral. Ular koros yang masih muda/juvenile memiliki
pola warna garis belang putih tipis dari bagian tengah tubuh hingga ke ekor.
Warna belang putih akan menghilang dengan bertambahnya usia dan ukuran
tubuh. Ptyas korros memiliki tekstur sisik halus dan sedikit berlunas. Kepala
berbentuk lonjong mengerucut tumpul ke arah labial, lidah berwarna hitam
dengan pupil mata besar dan bulat. Sisik supralabial berjumlah 7 - 8, 15 – 17 sisik
di bagian dorsal tengah, 160 – 187 sisik ventral dan 120 - 147 pasang sisik
subkaudal dengan sisik anus terbelah. Ptyas korros tidak berbisa, hidup terestrial
dan diurnal.
a b
39
5.2.12 Ptyas mucosa Linnaeus (1758) (Lélipi Tiyih/Ular Jali Belang/Banded
Rat Snake)
Gambar 15. Ular jali belang.
Ular jali belang adalah ular besar dengan tubuh berbentuk silinder .
Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 250 cm
dan minimal 45 cm. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu dengan pola garis
tebal berwarna hitam yang melingkar/membujur dari perut sampai ujung ekor.
Warna belang pada tubuh P. mucosa terlihat jelas pada ular muda. Tubuh bagian
ventral berwarna putih kekuning-kuningan. Ular ini memiliki garis tebal berwarna
putih atau kuning yang melingkari tubuhnya dari belakang kepala sampai perut.
Ptyas mucosa memiliki tekstur sisik yang halus dan sedikit berlunas dibagian
dorsal tubuh. Kepala berbentuk lonjong mengerucut tumpul ke arah labial, sisik-
sisik pada labial berpinggiran hitam, lidah berwarna hitam dengan mata yang
besar dan pupil bulat. Sisik supralabial berjumlah 8 - 9, 17 sisik halus di bagian
dorsal tengah, 187 – 213 sisik ventral dan 95 - 146 pasang sisik subkaudal dengan
sisik anus terbelah. Ptyas mucosa tidak berbisa, hidup terestrial dan diurnal.
40
5.2.13 Rhabdophis chrysargos Schlegel (1837) (Lélipi Sampi/Ular Sapi/Spotted
Keelback)
Gambar 16. Ular sapi.
Ular sapi adalah ular berukuran sedang dengan tubuh berbentuk silinder,
jika sedang agresif tubuhnya akan pipih melebar. Panjang maksimal tubuh ular
yang ditemukan dalam penelitian ini adalah 60 cm dan minimal 36 cm. Bagian
kepala sampai perut berwarna coklat kemerahan atau coklat jingga, dari perut ke
ekor berwarna coklat kusam atau coklat kehijaun dengan bercak-bercak berwarna
putih, hitam dan kuning berbentuk persegi di seluruh tubuh. Tubuh bagian ventral
berwarna putih kekuningan dengan totolan hitam atau coklat pada setiap tepi sisik
ventral. Ular muda dengan warna yang lebih cerah dibandingkan ular dewasa.
Kepala berbentuk oval, lidah berwarna merah dengan mata yang besar dan pupil
bulat. Kepala berwarna merah, atau coklat gelap dengan garis putih mulai dari
labial menuju ke leher berbentuk huruf “V”. Sisik supralabial berjumlah 8 - 9, 19
sisik berlunas di bagian dorsal tengah, 139 – 184 sisik ventral dan 38 - 101
pasang sisik subkaudal dengan sisik anus terbelah. Rhabdophis chrysargos
memiliki tipe gigi opistoglypha berbisa lemah, hidup semi aquatik dan nokturnal.
41
5.2.14 Xenochrophis piscator Schneider (1799) (Lélipi Amin/Ular Bandotan
Tutul/ Checkered Keelback)
Gambar 17. Ular bandotan tutul.
Ular bandotan tutul adalah ular berukuran sedang dengan tubuh berbentuk
silinder, jika sedang agresif tubuhnya akan pipih melebar. Pada penelitian ini
panjang maksimal tubuh 76 cm dan panjang minimal 42 cm. Tubuh berwarna
coklat muda atau coklat tua dengan totol – totol berwarna hitam seperti papan
catur di seluruh tubuh. Tubuh bagian ventral berwarna putih kecoklatan dengan
garis horisontal berwarna hitam. Kepala berbentuk oval, lidah berwarna abu-abu
hingga hitam dengan mata kecil dan pupil bulat. Kepala berwarna coklat dengan
dua garis hitam dari mata sampai labial bawah, dengan garis hitam tebal di bagian
leher berbentuk huruf “W”. Sisik supralabial berjumlah 9 buah sisik dengan sisik
ke-4 dan ke-5 garisnya menyentuh mata, 17 - 19 sisik berlunas di bagian dorsal
tengah, 122 – 128 sisik ventral dan 102 pasang sisik subkaudal dengan sisik anus
terbelah. Xenochrophis piscator tidak berbisa, semi aquatik dan dalam penelitian
ini ditemukan nokturnal. Xenochrophis piscator aktif diurnal maupun nokturnal,
tetapi lebih banyak beraktifitas pada malam hari (Das, 2012).
42
5.3 Famili Elapidae
Famili Elapidae adalah kelompok spesies ular berbisa mematikan dan
cenderung sangat agresif. Spesies dari famili Elapidae di Desa Singapadu
ditemukan di area persawahan, pinggiran sungai dan lembaga konservasi.
Deskripsi dan klasifikasi spesies dari famili Elapidae yang ditemukan di
Singapadu dipaparkan sebagai berikut:
5.3.1 Bungarus candidus Linnaeus (Lélipi Poleng/Ular Weling/Malayan Krait)
Famili : Elapidae
Genus : Bungarus
Spesies : Bungarus candidus (Linnaeus, 1758)
Gambar 18. Ular weling hitam putih dan hitam (a) dan ular weling coklat (b).
Ular weling berukuran cukup besar, panjang tubuh maksimal 144 cm (Cox
et al., 1998) (Lampiran 8). Panjang tubuh maksimal ular yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah 110 cm dan minimal 40 cm. Bungarus candidus umumnya
memiliki warna belang hitam dan putih yang lebar dari leher hingga ke ujung
ekor. Bungarus candidus yang ditemukan dalam penelitian ini dengan empat
warna yang berbeda, yaitu: belang hitam dan putih, warna hitam mengkilap,
warna coklat dan hitam dengan belang putih keperakan. Tubuh bagian ventral
berwarna putih pada ular dengan belang hitam-putih dan coklat keputihan pada
ular yang berwarna coklat, hitam dan belang keperakan. Bungarus candidus
a b
43
memiliki sisik yang kecil dan halus, dengan sisik vertebral berukuran besar dari
leher hingga ke ekor. Kepala berbentuk bulat kecil dengan moncong tumpul, lidah
berwarna merah kusam dengan mata kecil dan pupil bulat. Sisik supralabial
berjumlah 7 buah dengan sisik ke-3 dan ke-4 garisnya menyentuh mata, 15 - 17
sisik di bagian dorsal tengah, 194 – 237 sisik ventral dan 37 – 56 sisik subkaudal
tuggal dengan sisik anus tidak terbelah. Bungarus candidus memiliki gigi
proteroglypha, bisanya sangat berbahaya, gigitan dapat berakibat fatal, hidup
terestrial di area persawahan dan nokturnal.
5.3.2 Naja sputatrix Boie (1827) (Lélipi Sendok/Ular Sendok/Indonesian
Spitting Cobra)
Gambar 19. Ular sendok saat agresif.
Ular sendok adalah ular agresif, berbisa mematikan dan berukuran sedang.
Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan 100 cm dan panjang minimal 70
cm. Spitting cobra adalah ular yang dapat menyemprotkan bisa dan
mengembangkan lehernya apabila merasa terancam. Tubuh bagian dorsal
berwarna coklat kekuningan sedangkan bagian ventral berwarna putih
kekuningan. Warna ular muda hampir sama dengan ular dewasa, namun berbeda
di bagian leher. Ular sendok muda dengan pola garis lebar berwarna hitam dan
44
putih di bagian leher, warnanya akan hilang dengan bertambahnya usia. Kepala
berbentuk segitiga tumpul, lidah berwarna merah muda pucat, pupil mata
berbentuk bulat dan leher yang pipih serta dapat dilebarkan menyerupai sendok
makan. Sisik supralabial berjumlah 7 buah, 19 baris sisik di bagian dorsal tengah
dengan 160 – 187 sisik ventral, 47 – 56 sisik subkaudal dan sisik anus tidak
terbelah. Naja sputatrix memiliki tipe gigi proteroglypha, gigitannya berakibat
fatal, terestrial dan ditemukan diurnal dalam penelitian ini. Ular sendok aktif baik
diurnal maupun nokturnal (McKay, 2006).
5.4 Famili Pythonidae
Famili Pythonidae adalah famili dari spesies - spesies ular yang berukuran
besar, tidak berbisa dan memiliki otot yang kuat untuk melilit mangsanya.
Deskripsi dan klasifikasi spesies ular dari famili Pythonidae yang ditemukan di
Singapadu adalah sebagai berikut:
5.4.1 Python reticulatus Schneider (Lélipi Saab/Ular Sanca Batik/Reticulated
Python)
Famili : Pythonidae
Genus : Python
Spesies : Python reticulatus (Schneider, 1801)
Gambar 20. Ular sanca batik.
45
Ular sanca batik adalah ular berukuran besar yang merupakan spesies ular
terpanjang di dunia, panjangnya dapat mencapai 10 meter (McKay, 2006).
Panjang maksimal tubuh ular yang ditemukan dalam penelitian ini 355 cm dan
minimal 230 cm. Tubuh bagian dorsal berwarna coklat atau abu - abu dengan
pola berbentuk rantai berwarna hitam yang khas melingkari bagian-bagian yang
berwarna coklat muda atau coklat keabu - abuan. Python reticulatus memiliki pola
sisik berbentuk segitiga berwarna hitam dan putih disepanjang tubuh lateral yang
berbatasan dengan sisik ventral. Tubuh bagian ventral berwarna putih kekuning-
kuningan atau putih kecoklatan. Pola warna yang khas seperti batik, memudahkan
masyarakat lokal mengenal ular ini dengan sebutan ular Sanca Batik. Kepala P.
reticulatus berbentuk bulat lonjong bermoncong panjang dengan ujung tumpul.
Kepala berwarna coklat terang atau abu-abu, lidah berwarna merah muda pucat,
dan pupil mata berbentuk bulat. Sensor panas berbentuk lubang-lubang terdapat
dipinggiran labial atas dan belakang labial bawah. Sisik supralabial berjumlah 12 -
15 buah, 69 - 80 baris sisik kecil halus berwarna-warni di bagian dorsal tengah,
304 – 325 sisik ventral, 75 – 102 sisik subkaudal berpasangan dan sisik anus
tidak terbelah. Python reticulatus memiliki tipe gigi alypha, tidak memiliki bisa,
hidup terestrial dan nokturnal.
5.5 Famili Typhlopidae
Famili Typhlopidae adalah kelompok ular berukuran kecil dengan bentuk
hampir sama dengan cacing tanah, namun jika tubuhnya diperhatikan secara
seksama, terdapat sisik-sisik kecil dengan mata hitam kecil dan mulut yang kecil.
Spesies dari famili Typhlopidae hidup terestrial, memanfaatkan tumpukan daun,
46
ranting, celah bebatuan dan kayu yang membusuk untuk tempat tinggal. Spesies
dari famili Typhlopidae memangsa semut, larva dan telur-telur invertebrata kecil
lainnya. Famili Typhlopidae mampu berreproduksi secara partenogenesis
(Komosawa and Ota, 1996). Deskripsi dan klasifikasi spesies dari famili
Typhlopidae yang ditemukan di Singapadu adalah sebagai berikut:
5.5.1 Ramphotyphlops braminus (Lélipi Léngis/Ular Kawat/Brahminy Blind
Snake)
Famili : Typhlopidae
Genus : Ramphotyphlops
Spesies : Ramphotyphlops braminus (Daudin, 1803)
Gambar 21. Ular kawat.
Ular kawat adalah ular kecil bersisik halus dan mengkilat dengan bentuk
tubuh menyerupai cacing tanah. Satu individu ditemukan dalam penelitian ini
dengan panjang 12 cm. Tubuh R. braminus berwarna coklat tua, ungu, atau abu –
abu. Tubuh bagian ventral berwarna lebih muda/terang dibandingkan tubuh
bagian dorsal. Mata bulat kecil berwarna hitam dengan moncong/mulut yang
membulat dari berbagai sudut. Pada bagian kepala terdapat sisik yang memiliki
benjolan-benjolan kecil. Sisik tubuh bagian dorsal, lateral dan ventral berukuran
47
sama. Ramphotyphlops braminus tinggal di dalam tanah (fossorial) memangsa
semut dan larva invertebata kecil lainnya. Ular ini tidak memiliki bisa (tidak
berbahaya), hidup terestrial di habitat sawah dan nokturnal.
5.6 Famili Viperidae
Famili Viperidae adalah kelompok ular berbisa kuat dengan tipe taring
solenoglypha (taring yang dapat digerakkan atau dilipat). Spesies dari famili
Viperidae ada yang hidup secara arboreal dan terestrial. Bertubuh pendek,
memiliki kepala berbentuk segitiga tumpul yang lebih besar dan lebar daripada
leher. Deskripsi dan klasifikasi spesies dari famili Viperidae yang ditemukan di
Singapadu adalah sebagai berikut:
5.6.1 Trimersurus insularis Kramer (1977) (Lélipi Gadang Ikut Barak/Ular
Mati Ekor/Lesser Sunda White-lipped Viper)
Famili : Viperidae
Genus : Trimeresurus
Spesies : Trimersurus insularis (Kramer, 1977)
Gambar 22. Ular mati ekor saat agresif (a) dan tanda panah adalah sensor panas
(facial pit) (b).
Ular mati ekor adalah ular berbisa kuat dan berukuran sedang. Panjang
maksimal tubuh pada penelitian ini adalah 88 cm dan minimal 36 cm. Tubuh
a b
48
berwarna hijau terang atau hijau kebiruan, tubuh dari pangkal ekor hingga ujung
ekor berwarna merah menyala. Tubuh bagian ventral berwarna kekuningan, putih
kehijauan atau biru muda. Kepala berbentuk segitiga dengan lidah berwarna
merah, mata berwarna merah dengan pupil mata berwarna hitam berbentuk bulat
vertikal. Pada kepala terdapat garis tebal berwarna putih atau kuning di bagian
supralabial. Sisik supralabial berjumlah 7 buah, 21 baris sisik berlunas di bagian
dorsal tengah dengan 149 – 176 sisik ventral, 48 – 78 pasang sisik subkaudal dan
sisik anus terbelah. Tipe gigi solenoglypha, gigitannya berakibat fatal, hidup
arboreal dan nokturnal.
5.7 Kunci Determinasi Ular Yang Ditemukan Di Desa Singapadu
Subordo Serpentes adalah hewan yang kaki-kakinya mereduksi, sehingga tidak
memiliki kaki dan bergerak dengan cara melata:
1a. Tubuh pendek dan tebal, dengan dua lubang sensor panas (facial pit) pada
supralabial, sisik segitiga berlunas, tipe gigi solenoglypha .......... Viperidae(2)
b. Tubuh panjang dan berukuran besar dengan 10 lubang sensor panas pada
supralabial, sisik kecil lonjong halus, tipe gigi aglypha ............. Pythonidae(3)
c. Tubuh kecil menyerupai cacing tanah, tidak memiliki sensor panas pada
supralabial, sisik kecil pada dorsal dan ventral berukuran sama, tipe gigi
aglypha ...................................................................................... Typhlopidae(4)
d. Tubuh berukuran sedang, tidak memiliki sensor panas, dengan sisik bulat
besar dan memanjang tidak berlunas, tipe gigi proteroglypha......... Elapidae(5)
e. Tubuh berukuran kecil hingga sedang, tidak memiliki sensor panas pada
supralabial, tipe gigi ophistoglypha (rear fanged) ...................... Colubridae(6)
49
2. Kepala berbentuk segitiga, tubuh berwarna hijau, ekor berwarna merah,
memiliki 21 baris sisik berlunas di bagian dorsal tubuh, dan 149-176 sisik
ventral ........................................................................... Trimeresurus insularis
3. Pola warna tubuh seperti batik berwarna coklat, hitam, kuning, dan putih,
dengan lebih dari 60 deret sisik halus di bagian dorsal tengah, dan 304-325
sisik ventral .......................................................................... Python reticulatus
4. Tubuh berwarna coklat tua atau keabu-abuan, moncong membulat dari
berbagai sudut, mata bulat hitam kecil................... .Ramphotyphlops braminus
5a. Tubuh berwarna coklat, saat agresif ular ini akan menegakkan tubuhnya dan
mengembangkan lehernya seperti sendok................................... Naja sputatrix
b. Tubuh berwarna belang hitam putih atau coklat atau hitam mengkilap atau
hitam keperakan, tidak dapat menegakkan tubuh dan mengembangkan
lehernya seperti sendok ......................................................Bungarus candidus
6a. Ukuran panjang tubuh lebih dari 150 cm .......................................................... 7
b. Ukuran tubuh kurang dari 150 cm .................................................................. 14
7a. Tubuh berwarna hijau ........................................................................................ 8
b. Tubuh tidak berwarna hijau .............................................................................. 9
8a. Pupil mata horisontal dan lidah berwarna putih .................... Ahaetulla prasina
b. Pupil mata bulat dan lidah berwarna biru ................. Gonyosoma oxycephalum
9a. Lidah berwarna hitam ...................................................................................... 10
b. Lidah berwarna merah..................................................................................... 11
50
10a. Tubuh memiliki pola warna belang garis hitam membujur dari perut sampai
ekor, 187 - 213 sisik ventral ........................................................ Ptyas mucosa
b. Tubuh tidak memiliki pola warna belang garis hitam membujur dari perut
sampai ekor, 160 - 187 sisik ventral ............................................. Ptyas korros
11a. Kepala berbentuk segitiga tumpul, dengan pupil mata vertikal .................... 12
b. Kepala berbentuk lonjong, dengan pupil mata bulat ...................................... 13
12a.Tubuh berwarna hitam dengan pola warna tubuh berbelang hitam-kuning atau
hitam-putih dengan ukuran pola warna hitam lebih lebar daripada warna
kuning/putih, 209 - 239 sisik ventral ................................... Boiga dendrophila
b. Tubuh berwarna coklat muda, dengan pola warna tubuh belang coklat tua
yang membujur dari leher hingga ujung ekor, 248 - 290 sisik ventral ..........
................................................................................................... Boiga cynodon
13a. Tubuh berwarna coklat muda dengan ekor berwarna hitam, 205 - 233 sisik
ventral .................................................................... Coelognathus flavolineatus
b. Tubuh berwarna coklat dengan empat garis hitam melintang hingga setengah
badan, 250 sisik venral .................................................... Coelognathus radiata
14a. Tubuh berwarna coklat .................................................................................. 15
b. Tubuh berwarna hitam ................................................................................... 18
15a. Sisik anus tidak terbelah, memiliki sisik mental ................... Pareas carinatus
b. Sisik anus terbelah, tidak memiliki sisik mental ............................................ 16
16a. Tidak memiliki pola warna di bagian leher, dengan jumlah sisik ventral lebih
dari 184 buah sisik .............................................................Dendrelaphis pictus
51
b. Memiliki pola warna di bagian leher, dengn jumlah sisik ventral kurang dari
184 buah sisik ................................................................................................ 17
17a. Leher berwarna merah dengan pola berbentuk huruf “V” berwarna putih pada
bagian leher hingga supralabial.................................. Rhabdophis chrysargos
b. Leher berwarna cokla terang dengan pola berbentuk huruf “W” berwarna
hitam ............................................................................. Xenochrophis piscator
18a. Pola warna tubuh bercak putih seperti jaring, dengan 180 – 214 sisik ventral,
dan 57 – 89 pasang sisik subkaudal .................... Lycodon aulicus-ca pucinus
b. Pola warna tubuh belang hitam-putih dari kepala hingga ekor, 197 – 230 sisik
ventral, dan 57 – 90 pasang sisik subkaudal ......................Lycodon subcinctus
5.8 Populasi Ular Yang Ditemukan Di Desa Singapadu
Total jumlah ular yang ditemukan di habitat sawah, sungai, lembaga
konservasi dan pemukiman selama penelitian adalah 122 individu, yang terdiri
dari 19 spesies, 15 genus dan 5 famili. Spesies ular dari famili Colubridae
ditemukan paling banyak yaitu 14 spesies, sedangkan famili Elapidae ditemukan
dua spesies, famili Pythonidae, famili Typhlopidae dan famili Viperidae masing-
masing ditemukan satu spesies (Tabel 5.1). Ular tali/painted bronzeback (D.
pictus) merupakan spesies yang paling sering ditemukan di semua habitat,
persentase ular tali mencapai (35,2%), sedangkan spesies ular yang jarang
ditemukan adalah Ular tikus/Copperhead racer (C. radiata), ular siput/keeled
slug-eater (P. carinatus) dan ular buta/brahminy blind snake (R. braminus) yang
masing-masing memiliki persentase ditemukan sebanyak 1%.
52
Tabel 5.1 Jumlah dan persentase (%) spesies ular yang ditemukan di Desa
Singapadu. Lélipi (Bali) = Ular (Indonesia).
Famili Nama Lokal Nama Latin Jumlah (%)
Colubridae Lélipi gadang arjuna Ahaetulla prasina 2 1,6 Lélipi sabuk Boiga dendrophila 16 13,1 Lélipi awan Boiga cynodon 3 2,4 Lélipi kopi Coelognathus flavolineatus 3 2,4 Lélipi bikul Coelognathus radiata 1 1,0 Lélipi angasan Dendrelaphis pictus 43 35,2
Lélipi gadang ikut
pélung Gonyosoma oxycephalum 5
4,1
Lélipi cécék Lycodon aulicus-capucinus 4 3,2 Lélipi tanah Lycodon subcinctus 5 4,1 Lélipi békecot Pareas carinatus 1 1,0 Lélipi sélém réngas Ptyas korros 12 10 Lélipi tiyih Ptyas mucosa 5 4,1 Lélipi sampi Rhabdophis chrysargos 3 2,4 Lélipi amin Xenochrophis piscator 2 1,6
Elapidae Lélipi poleng Bungarus candidus 5 4,1
Lélipi sendok Naja sputatrix 3 2,4
Pythonidae Lélipi saab Python reticulatus 2 1,6
Typhlopidae Lélipi léngis Ramphotyphlops braminus 1 1,0
Viperidae Lélipi sugém Trimeresurus insularis 6 5,0 Total 122 100
Keanekaragaman spesies ular yang ditemukan di habitat sungai paling
tinggi yaitu 13 spesies dan paling rendah di habitat pemukiman yaitu 9 spesies
(Tabel 5.2). Spesies ular yang dapat ditemukan di keempat habitat adalah ular
cincin emas (B. dendrophila), ular tali (D. pictus), ular cecak (L. aulicus-
capucinus) dan ular sawa (P. korros). Beberapa spesies ular ditemukan pada
habitat tertentu yaitu: spesies ular weling (B. candidus), ular bandotan tutul (X.
piscator) dan Ular kawat (R. braminus) di habitat sawah, ular siput (P. carinatus)
dan ular pucuk (A. prasina) di habitat sungai sedangkan Ular tikus (C. radiata)
hanya ditemukan di lembaga konservasi.
53
Tabel 5.2 Spesies ular di empat habitat.
Spesies Sawah Sungai Lembaga
Konservasi
Pemukiman
Ahaetulla prasina √
Boiga dendrophila √ √ √ √
Boiga cynodon √ √ √
Bungarus candidus √
Coelognathus flavolineatus √ √
Coelognathus radiata √
Dendrelaphis pictus √ √ √ √
Gonyosoma oxycephalum √ √ √
Lycodon aulicus-capucinus √ √ √ √
Lycodon subcinctus √ √ √
Naja sputatrix √ √ √
Pareas carinatus √
Ptyas korros √ √ √ √
Ptyas mucosa √ √ √
Python reticulatus √ √
Ramphotyphlops braminus √
Rhabdophis chrysargos √ √
Trimeresurus insularis √ √ √
Xenochrophis piscator √
Total Spesies 12 13 11 9
Ular menempati habitat sawah, sungai, lembaga konservasi, dan
pemukiman, di setiap habitat ditemukan jumlah individu ular yang berbeda-beda.
Persentase jumlah individu ular tertinggi ditemukan di habitat sawah (42 %) dan
terendah di pemukiman (8,2 %) (Gambar 24).
Gambar 24. Persentase ular yang ditemukan di empat habitat.
0
20
40
60
Sawah Sungai LembagaKonservasi
Pemukiman
Pe
rse
nta
se ju
mla
h
54
5.8 Sebaran Temporal dan Spatial Ular Yang Ditemukan Di Desa Singapadu
Ular yang ditemukan di habitat sawah, sungai, lembaga konservasi dan
pemukiman di Desa Singapadu memiliki waktu aktif yang berbeda-beda
(nokturnal dan diurnal) dengan relung yang berbeda pula. Ular nokturnal lebih
banyak ditemukan di Desa Singapadu yaitu 12 spesies, dibandingkan ular diurnal
yang berjumlah 7 spesies. Ular dapat ditemukan pada relung yang berbeda-beda,
seperti diatas pohon/ranting pohon, di atas permukaan tanah dan di air. Data
sebaran temporal dan spatial spesies ular yang ditemukan di Desa Singapadu
Kabupaten Gianyar Bali dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel. 5.3 Sebaran temporal dan spatial ular yang ditemukan di Desa Singapadu.
Spesies Temporal Spatial
Tumbuhan Tanah Air
Ahaetulla prasina Diurnal √
Boiga dendrophila Nokturnal √ √ √
Boiga cynodon Nokturnal √
Bungarus candidus Nokturnal √
Coelognathus flavolineatus Nokturnal √
Coelognathus radiata Diurnal √
Dendrelaphis pictus Diurnal √ √
Gonyosoma oxycephalum Diurnal √ √
Lycodon aulicus-capucinus Nokturnal √
Lycodon subcinctus Nokturnal √
Naja sputatrix Diurnal √
Pareas carinatus Nokturnal √
Ptyas korros Diurnal √ √
Ptyas mucosa Diurnal √
Python reticulatus Nokturnal √ √
Ramphotyphlops braminus Nokturnal √
Rhabdophis chrysargos Nokturnal √ √
Trimeresurus insularis Nokturnal √
Xenochrophis piscator Nokturnal √
Total D:7 & N:12 7 15 4
55
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Populasi Ular Yang Ditemukan Di Desa Singapadu
Ular tali (Dendrelaphis pictus) paling banyak ditemukan dalam penelitian
ini. Ular tali dapat ditemukan diseluruh wilayah Desa Singapadu, baik pada siang
hari maupun malam hari. Pada siang hari, ular tali aktif berburu kodok, katak dan
kadal, bergerak cepat diatas permukaan tanah dan terkadang ditemukan memanjat
pohon (McKay, 2006). Ular tali beristirahat pada malam hari di ranting-ranting
pohon yang tinggi dan di atas semak-semak. Ular tali ditemukan di semua habitat
di lingkungan Desa Singapadu, lebih mudah ditemukan pada malam hari
dipinggiran sungai pada ranting pohon. Ular tali dapat berpindah-pindah dari satu
habitat ke habitat lainnya melalui darat, sungai (berenang) dan memanjat tumbuh-
tumbuhan yang merambat, sehingga penyebarannya luas. Ular tali bertubuh kecil
dan ramping ini dengan gerakan yang sangat cepat dapat berburu dan menghindari
bahaya. Diperkirakan ular ini memiliki sedikit predator, survai pendahuluan
menemukan bahwa ular tali tidak disukai untuk dimakan oleh ular weling (ular
kanibal). Ular weling memuntahkan kembali ular tali yang sempat dimakan.
Masyarakat lokal khususnya petani sering berdampingan dengan ular tali, mereka
mengenal ular tali sebagai ular yang tidak berbisa dan tidak berbahaya. Ular tali
memiliki bisa lemah yang digunakan untuk membunuh katak, kodok, cecak dan
kadal (Marlon, 2014).
55
56
Ular cincin emas (Boiga dendrophila) adalah ular dengan persentase
terbanyak ke dua ditemukan setelah ular tali. Pohon-pohon besar yang rimbun dan
celah-celah bebatuan atau lubang-lubang akar tumbuhan di area pinggiran sungai
merupakan habitat yang baik bagi ular cincin emas untuk bersembunyi dan
berkembangbiak. Ular cincin emas kemungkinan berasal dari Rimba Reptile Park.
Menurut informasi dari warga setempat dan salah satu petugas keamanan di area
Reptile Park mengatakan bahwa Reptile Park pernah memiliki koleksi ular cincin
emas dan berkembang dengan baik, kemungkinan anak-anak ular hasil breeding
ini keluar melalui celah kecil pada kandang (Artanegara, Kom.pri. 2013). Ular
cincin emas bukan ular asli Bali, namun penyebaranya di Indonesia dapat
ditemukan di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sunda kecil dan Sulawesi
(Marlon, 2014). Dalam penelitian ini, B. dendrophila pertama kali ditemukan dan
diketahui keberadaannya di Bali, khususnya di wilayah Desa Singapadu.
Ular cincin emas paling banyak dijumpai di Desa Singapadu pada malam
hari. Ular ini merupakan ular nokturnal, berburu disepanjang aliran sungai,
saluran irigasi pertanian dan di tengah-tengah sawah. Ular cincin emas adalah ular
yang memangsa berbagai jenis binatang termasuk kodok, kadal, burung, ayam,
tikus dan hewan pengerat lainnya. Ular ini membunuh mangsanya dengan melilit
dan menyuntikkan bisa hemotoksin. Pada umumnya bisa ular cincin emas tidak
berbahaya bagi manusia, efek gigitannya adalah pembengkakan di area gigitan,
berwarna merah-kebiruan dan akan sembuh setelah empat sampai enam hari
(tergantung daya tahan tubuh seseorang). Untuk orang yang memiliki alergi
terhadap kandungan protein tertentu, gigitan ular cincin emas akan memberikan
57
dampak nekrosis yang buruk, tetapi belum pernah dilaporkan sampai membunuh
manusia (Lumsden et al., 2004).
Ular cincin emas baik digunakan sebagai biologi kontrol di area pertanian,
selain tidak berbahaya, ular ini aktif berburu pada malam hari, saat petani telah
selesai beraktifitas. Ular cincin emas bersifat arboreal, pada siang hari ular ini
dapat ditemukan beristirahat di atas pohon yang tertutupi oleh daun-daun lebat
sehingga tubuhnya tidak langsung terpapar sinar matahari. Ular cincin emas
terkadang memasuki area pemukiman untuk berburu tikus, masyarakat sering
membunuh ular ini karena takut jika digigit. Masyarakat sering mengira ular
cincin emas memiliki bisa mematikan dan gigitannya berakibat fatal karena
ukuran tubuh yang besar dengan warna yang cerah.
Tiga spesies ular yang ditemukan dalam penelitian di Desa Singapadu
memiliki persentase terendah yaitu 1%. Ular yang pertama adalah Ular tikus
(Coelognathus radiata) yang hanya ditemukan di area lembaga konservasi Bali
Bird Park, di pinggir kandang Alas Bali. Habitat Ular tikus adalah di area
persawahan, hutan basah ataupun hutan kering dan terkadang memasuki area
pemukiman (McKay, 2006). Ular ini masuk ke area Bali Bird Park kemungkinan
disebabkan oleh tikus-tikus sawah yang menjadi makanan utamanya, mencari
makanan sisa satwa di Bali Bird Park akibat sawah di sekitar lembaga koservasi
yang padinya telah di panen. Ular tikus akan mengikuti jejak tikus dan ikut masuk
ke area lembaga konservasi. Ular ini merupakan hewan diurnal dengan mangsa
utama tikus, kadal, dan burung. Ular tikus berburu di atas permukaan tanah
dengan memasuki celah-celah lubang tanah dan akar pepohonan untuk
58
menemukan tikus dan kadal. Ular ini melata perlahan diatas tanah tanpa bersuara
dan warna tubuh coklat muda dengan pola hitam memberikan peyamaran yang
baik di atas permukaan tanah sehingga tikus, kadal, dan burung tidak menyadari
kedatangan ular ini.
Ular siput (Pareas carinatus) sedikit ditemukan dalam penelitian ini, dan
hanya ditemukan di habitat sungai Banjar Dinas Apuan. Ular siput merupakan
ular nokturnal, bergerak dengan cara memanjat satu ranting ke ranting lainnya
untuk berburu siput dan jarang ditemukan diatas permukaan tanah. Ukuran
tubuhnya yang kecil, warnanya coklat seperti warna ranting dan kemampuannya
dalam bersembunyi mengakibatkan ular ini susah untuk ditemukan. Ular siput
ditemukan pada tempat yang lembab, seperti halnya siput yang hidup di tempat
lembab (Cox et al., 1998). Pada saat penelitian curah hujan sangat rendah,
sehingga jarang dijumpai siput-siput kecil yang merupakan mangsa utama ular
siput (Marlon, 2014), hal ini kemungkinan menjadi alasan sedikitnya ular siput
yang ditemukan di Desa Singapadu. Selain itu, jumlah telur yang dihasilkan ular
siput tiap tahun lebih sedikit dibandingkan jenis ular lainnya yaitu 3 – 8 butir telur
(McKay,2006).
Ular dengan persentase terendah lainnya yang ditemukan adalah ular
kawat (Ramphotyphlops braminus). Ular kawat memiliki ukuran sangat kecil
dengan bentuk menyerupai cacing tanah, nokturnal dan hidup dibawah bebatuan,
daun kering, batang pohon yang membusuk dan terkadang dibawah pot-pot
tanaman di area pemukiman. Ular kawat jarang ditemukan diatas permukaan
tanah, sehingga metode tracking kurang tepat untuk mengumpulkan ular ini. Ular
59
kawat memangsa hewan invertebrata kecil dan telur-telur invertebrata kecil yang
terdapat di celah bebatuan dan celah akar tumbuhan (Komosawa and Ota, 1996).
Di Desa Singapadu khususnya Banjar Dinas Kebon, ular ini ditemukan diatas
permukaan tanah habitat sawah setelah hujan reda. Kelembaban yang tinggi
dengan suhu yang rendah menjaga tubuh ular ini tetap basah selama berburu
diatas permukaan tanah ataupun berpindah tempat. Ular kawat dapat melakukan
partenogenesis, sehingga apabila metode yang digunakan untuk mengumpulkan
ular ini tepat, maka ular ini akan ditemukan di berbagai macam habitat dengan
kemungkinan jumlah individu yang lebih banyak. Penyebaran ular kawat selain di
Indonesia, dapat ditemukan di India, Singapura, Philipina, Taiwan, Florida,
Hawai, Texas, Ohio, dan Netherland Antilles (Wallach, 2008).
6.2 Keanekaragaman Ular Pada Empat Habitat Yang Berbeda.
Habitat daerah pinggiran sungai dengan pohon-pohon yang besar, semak-
semak dan tanaman merambat merupakan habitat dengan keanekaragaman spesies
paling tinggi. Dalam penelitian ini ditemukan 13 spesies ular yang berbeda
tercatat hidup di habitat sungai. Ular yang ditemukan di habitat sungai adalah
ular-ular arboreal dan terestrial. Pinggiran sungai ditumbuhi pohon yang besar dan
tinggi, baik digunakan untuk ular arboreal dalam mencari mangsa dan sebagai
tempat tinggal/berlindung. Burung-burung yang hidup di area persawahan seperti
burung tekukur (Streptophelia chinensis), burung merbah cerukcuk (Pycnonotus
goiavier), burung kutilang (Pycnonotus aurigaster), cekakak sungai
(Todirhamphus chloris) burung bondol peking (Lonchura punctulata) dan mayar
jambul (Ploceus manyar) akan memanfaatkan pohon dan semak di area pinggiran
60
sungai untuk membangun sarang (MacKinnon et al., 2010). Anak-anak burung
yang belum bisa terbang merupakan mangsa yang mudah ditangkap oleh ular
arboreal.
Faktor lain yang mendukung tingginya keanekaragaman ular di habitat
sungai yaitu habitat sungai selalu lembab, terdapat sumber makanan berlimpah,
air, naungan, tempat tinggal seperti: serasah, pohon mati/tumbang, celah-celah
bebatuan dan lubang-lubang akar tumbuhan. Kebanyakan ular nokturnal pada
siang hari memanfaatkan area pinggiran sungai untuk tempat beristirahat, karena
kelembaban disepanjang aliran sungai terjaga dan tubuhnya terhindar dari
sengatan sinar matahari secara langsung. Aliran air sungai juga membantu ular
dalam berpindah-pindah tempat dari satu desa ke desa lainnya. Pada malam hari,
tumbuhan di pinggiran aliran sungai digunakan untuk tempat beristirahat oleh
ular-ular diurnal.
Ular tali (D. pictus) memanfaatkan ranting-ranting tumbuhan disepanjang
aliran sungai untuk tempat beristirahat. Ular pucuk (A. prasina) juga
memanfaatkan ranting pohon untuk tempat istirahat, khususnya dalam penelitian
ini ditemukan di pohon bambu. Boiga dendrophila berburu di sepanjang aliran
sungai dengan berenang menyusuri pinggiran sungai mencari kodok atau katak,
melata diatas permukaan tanah melewati semak-semak, dan juga ditemukan
memanjat untuk memangsa burung dan hewan pengerat. Ular blidah (B. cynodon)
berburu mangsanya dimalam hari dengan cara memanjat satu pohon ke pohon
lainnya untuk menemukan anak-anak burung dan induk burung yang sedang
beristirahat. Boiga cynodon memiliki tubuh berwarna coklat (seperti batang
61
pohon) dengn pola melingkar berwarna coklat tua, pola warna ini memberikan
penyamaran yang baik. Spesies B. cynodon memiliki bentuk dan warna tubuh
sama seperti B. hoeseli yang ditemukan di kepulauan Nusa Tenggara (Ramadhan
et al., 2010).
Ular berukuran kecil yang ditemukan di habitat sungai adalah ular siput
(P. carinatus). Ular siput memanjat satu ranting ke ranting lainnya disepanjang
aliran sungai mencari siput untuk dimakan. Pinggiran sungai adalah tempat yang
lembab, merupakan habitat yang baik bagi siput untuk tempat hidup dan
berkembang biak. Hal ini kemungkinan menjadi alasan mengapa ular siput hanya
ditemukan disepanjang aliran sungai di Desa Singapadu. Ular lain yang hanya
ditemukan di habitat sungai adalah ular pucuk (A. prasina).
Ular pucuk ditemukan beristirahat di ranting pohon bambu pada malam
hari, di Banjar Dinas Sengguan (sungai Anggar Besi) dan Apuan (sungai
Ngiangan). Kamuflase warna hijau atau coklat tubuhnya membuat ular ini susah
untuk dilihat pada siang hari, sedangkan pada malam hari tubuh bagian ventral
ular ini apabila terkena cahaya akan terlihat terang sehingga mudah dibedakan
antara daun, ranting dan tubuh ular pucuk. Tumbuhan yang rapat disepanjang
aliran sungai membantu ular ini dalam berburu mangsanya. Ular pucuk aktif
berburu pada siang hari (diurnal), mencari kodok dan burung dengan cara
memanjat ranting-ranting pohon (Mazumdar and Mithra, 2010).
Area pemukiman memiliki keanekaragaman ular yang paling rendah, yaitu
sembilan spesies. Area pemukiman bukan merupakan habitat yang baik untuk
ular, masuknya ular ke dalam area pemukiman dikarenakan mencari makan dan
62
mencari tempat bersembunyi. Pembangunan yang pesat merubah habitat sungai
dan sawah menjadi area pemukiman, hal ini akan mengakibatkan dampak negatif
bagi ular dan mangsanya yang hidup di habitat sungai dan sawah. Ular yang
umumnya berburu mengikuti pinggiran sungai dan sawah, secara tidak sengaja
memasuki rumah penduduk. Ular mati ekor (Trimeresurus insularis) yang
memasuki area pemukiman ditemukan di Banjar Dinas seseh dan Banjar Dinas
Apuan. ular ini masuk melalui ranting-ranting pohon di pinggiran sungai yang
mengarah ke halaman rumah. Kolam-kolam ikan dengan lampu pada malam hari
akan menarik serangga untuk mencari lampu tersebut. Serangga tertarik dengan
cahaya lampu karena pancaran cahaya lampu yang diterima oleh serangga, seperti
sinyal dari pancaran cahaya serangga jantan, sehingga banyak serangga yang
berkumpul di bawah cahaya lampu saat terjadinya fase breeding, dan menarik
serangga-serangga predator lainnya (Borror et al., 1982). Kodok dan katak akan
ikut datang ke kolam untuk berburu serangga, hal ini akan menarik ular untuk
masuk ke area pemukiman.
Persentase jumlah individu ular yang ditemukan di Desa Singapadu paling
tinggi di habitat sawah (42%), karena di sawah terdapat kodok, katak, ikan kecil
dan kadal yang merupakan mangsa utama beberapa spesies ular. Ular terestrial
dan beberapa ular arboreal pada siang dan malam hari akan mencari makan di area
persawahan, mereka berburu kodok, katak, burung dan tikus. Tikus di area
persawahan aktif di malam hari mencari makanan padi, kacang panjang dan
kacang kedelai, hal ini akan menarik ular nokturnal (P. reticulatus dan C.
flavolineatus) untuk berburu tikus di sawah.
63
Sawah yang masih memiliki padi muda (belum dipanen) merupakan
tempat yang baik bagi kodok/katak untuk mencari mangsa dan berkembangbiak.
Spesies ular air seperti X. piscator dan R. chrysargos mencari kodok dan ikan di
area persawahan. Katak/kodok pada malam hari diam di pematang sawah diantara
rerumputan dan saling bernyayi untuk menarik pasangannya. Katak/kodok yang
bersembunyi di pinggiran sungai akan datang ke area persawahan untuk mencari
pasangannya. Banyaknya jumlah katak/kodok akan menarik ular untuk berburu di
habitat sawah. Berkumpulnya sumber makanan, akan menarik ular kanibal (B.
candidus) berburu ular lainnya di area persawahan. Ptyas korros dan D. pictus
adalah salah satu ular diurnal yang memanfaatkan tumbuhan disekitar saluran
irigasi sawah untuk tempat beristirahat pada malam hari.
Habitat pemukiman memiliki persentase individu ular paling rendah
(8,2%), karena pemukiman bukan habitat alami bagi ular. Area pemukiman
merusak habitat alami ular dan satwa lainnya yang menempati habitat persawahan
atau pinggiran sungai sebelum menjadi area perumahan. Ular masuk ke area
pemukiman karena mengejar mangsanya dan mencari tempat berlindung. Di area
pemukiman banyak terdapat cecak yang menempel di dekat lampu dinding
memangsa serangga, hal ini menarik spesies ular cecak (L. aulicus-capucinus dan
L. subcinctus). Tikus akan memasuki area perumahan jika padi di sawah telah
dipanen. Tikus mencari tempat bersembunyi dan memakan sisa-sisa makanan
manusia. Ular nokturnal seperti ular Python akan masuk ke area perumahan
berburu tikus dan terkadang memangsa ayam peliharaan warga (Mistar, 2008)
64
Ular yang masuk ke area pemukiman akan memanfaatkan tumpukan kayu
bakar, celah tembok, atap rumah, tumpukan bebatuan dan tempat-tempat lembab
untuk tempat perlindungan. Masyarakat yang tidak menjaga kebersihan
lingkungan dan masih menggunakan pagar tanaman sebagai pembatas rumah,
akan menarik ular untuk datang ke area pemukiman. Ular mati ekor (T.insularis)
masuk ke area pemukiman melalui tumbuhan yang merambat di tembok atau
pagar tumbuhan yang digunakan sebagai pembatas rumah. Ular ini masuk berburu
kodok atau katak disekitar pekarangan rumah. Trimeresurus insularis adalah ular
berbisa kuat dengan taring yang panjang dan gigitannya berakibat fatal (McKay,
2006; Das, 2012; Marlon, 2014). Tubuhnya yang berwarna hijau memberikan
penyamaran yang baik di sekitar dedaunan hijau. Ular mati ekor bertanggung
jawab terhadap beberapa kasus kejadian warga Desa Singapadu yang pernah
tergigit ular di pekarangan rumah.
Beberapa spesies ular di Desa Singapadu hanya ditemukan di habitat
tertentu. Misalnya ular weling (Bungarus candidus), ular ini hanya ditemukan
pada habitat sawah, karena sawah menyediakan makanan dan tempat hidup bagi
B. candidus. Ular weling memanfaatkan celah bebatuan, celah tanah di pematang
sawah atau pinggiran saluran irigasi untuk tempat tinggal dan bersarang. Ular
weling aktif berburu mangsanya pada malam hari, bergerak perlahan di saluran
irigasi sawah mencari ular, kodok dan hewan pengerat kecil (Mohammadi et al.,
2014). Ular weling membunuh mangsanya dengan bisa neurotoksin, apabila
tergigit mangsanya akan segera lumpuh dan mati. Gigitan ular weling juga
berakibat fatal pada manusia (Lang and Vogel, 2005; McKay, 2006).
65
Petani di Desa Singapadu jarang menemukan ular weling, karena ular ini
aktif saat malam hari di atas permukaan tanah. Beberapa petani ada yang pernah
melihat ular ini saat mereka membuka saluran air irigasi untuk mengairi sawah.
Ular weling tidak seagresif ular kobra (N. sputatrix) walaupun mereka termasuk
ke dalam famili Elapidae. Ular weling jarang menggigit, namun ular ini menggigit
apabila secara tidak sengaja terinjak sehingga merasa terancam. Petani di Desa
Singapadu mempercayai ular ini sebagai ular penunggu area pertanian, sehingga
petani jarang membunuh ular weling dan hal ini sangat bagus untuk konservasi in
situ. Petani umumnya menemukan ular weling dengan warna hitam mengkilap
dan hitam-putih belang-belang, namun di Desa Singapadu ditemukan ular weling
dengan warna coklat dan belang hitam dengan putih keperakan. Ular weling yang
berwarna hitam atau keperakan/javan krait (Bungarus javanicus Kopstein) secara
genetik sama dengan spesies ular weling/malayan krait (Bungarus candidus
Linnaeus). Perubahan warna pada ular weling disebabkan karena adaptasi yang
dilakukan oleh individu ular weling yang hidup pada habitat tertentu, untuk
berkamuflase (Kuch and Dietrich, 2007).
Ular lain yang hanya ditemukan di habitat sawah adalah ular bandotan
tutul (Xenochrophis piscator) dan ular kawat (Ramphotyphlops braminus). Ular
bandotan tutul adalah ular air yang aktif baik siang maupun malam hari
memangsa kodok dan ikan. Ular bandotan tutul mencari mangsa di area
persawahan dan berenang di saluran irigasi sawah, namun terkadang dapat
dijumpai diam di atas ranting tanaman setelah hujan reda. Dari hasil pengamatan
di lapangan, pada saat hujan kodok di area persawahan akan diam di pematang
66
sawah dan di pinggiran saluran irigasi. Hal ini mempermudah ular-ular di area
persawahan untuk menangkap kodok. Saluran irigasi dan air yang tergenang di
area persawahan akan mempermudah ular bandotan tutul dalam berenang berburu
mangsa dan menghindari ancaman dengan cepat. Habitat X. piscator sama dengan
ular X. cerasogaster yang ditemukan di Pakistan, Nepal, India, Bangladesh, dan
Malaysia (Purkayastha et al., 2013).
Ular kawat ditemukan di habitat sawah wilayah Banjar Dinas Kebon pada
malam hari yang sedang melata diatas permukaan tanah yang lembab. Ular ini
kemungkinan sedang berburu invertebrata kecil di habitat sawah. Serangga
banyak ditemukan di habitat sawah, baik di dalam tanah, pada tanaman padi
ataupun pada tumpukan jerami, selain makanan yang berlimpah, ular kawat
menyukai habitat sawah karena selalu lembab dan basah. Ular siput (P. carinatus)
dan ular pucuk (A. prasina) ditemukan di habitat sungai karena daerah pinggiran
sungai banyak terdapat pepohonan yang digunakan ular ini untuk tempat
berlindung, mencari makan dan sarana untuk berpindah tempat. Ular siput dan
ular pucuk adalah ular arboreal yang bergerak dari satu ranting ke ranting lainnya
mencari makan dan pergi ke tempat lain mengikuti jalur pinggiran sungai.
Lembaga konservasi (LK) yang terdapat di Desa Singapadu dikelilingi
oleh area persawahan dan sungai. Lembaga konservasi menyediakan habitat
buatan untuk satwa yang dipelihara dan banyak terdapat pohon-pohon besar. Ular-
ular di area sungai dan persawahan terkadang memasuki LK untuk berburu tikus
atau burung serta bersembunyi dan membuat sarang di area LK. Banyaknya tikus
dan pohon-pohon besar serta taman yang rapat di habitat LK memberikan
67
keuntungan bagi ular untuk bersembunyi dan berburu. Salah satu ular yang hanya
ditemukan di LK adalah Ular tikus (C. radiata), kemungkinan ular ini masuk ke
area LK untuk berburu tikus dan kadal saat padi di sawah dipanen. Ular memiliki
fase berkembangbiak (breeding), dimana pada fase tersebut ular mengeluarkan
sex feromon untuk menarik pasangan, hal ini kemungkinan mengakibatkan
beberapa spesies ular lainnya masuk ke area LK yang khusus memelihara satwa
reptil.
6.3 Sebaran Temporal dan Spatial Ular Di Desa Singapadu
Ular termasuk ke dalam hewan poikiloterm (berdarah dingin), ular
melakukan aktifitas pada siang hari (diurnal) baik berburu atau berjemur
(thermoregulasi) (Lang and Vogel, 2005). Spesies ular yang ditemukan di Desa
Singapadu lebih banyak tergolong hewan nokturnal, hal ini disebabkan karena
aktifitas petani pada siang hari sangat padat dan cuaca di siang hari panas,
sehingga lebih banyak ular tidur atau bersembunyi. Spesies ular yang ditemukan
berburu pada siang hari di area persawahan adalah P. korros dan P. mucosa, ular
ini sangat cepat dan pandai bersembunyi di antara padi dan semak-semak (Auliya,
2010).
Ular sendok (N. sputatrix) dalam penelitian ini ditemukan pada siang hari
di pinggiran sungai. Ular sendok dapat ditemukan aktif pada malam hari mencari
tikus, katak dan kodok di area perkebunan atau pertanian (Lang and Vogel, 2005;
McKay, 2006; Das, 2010). Ular sendok adalah salah satu ular berbisa kuat di Bali,
ular ini sangat agresif dan cepat saat menyerang, serta mampu menyemprotkan
bisanya hingga dua meter tepat mengarah ke mata. Apabila mengenai mata, mata
68
akan terasa panas seperti terbakar. Hal yang perlu dilakukan adalah membasuhi
mata dengan air yang mengalir tanpa menggosok mata, agar tidak mengalami luka
(McKay, 2006; Marlon, 2014). Ular sendok memiliki bisa sedikit hemotoksin dan
lebih banyak neurotoksin (Huang and Gopalakrisnhnakone, 1996; Fry and
Wuster, 2004).
Ular nokturnal keluar berburu mangsanya dan mencari pasangan untuk
kawin pada malam hari. Beberapa faktor yang mempengaruhi aktifitas ular di
malam hari adalah kurangnya aktifitas manusia di habitat sawah, sungai, lembaga
konservasi dan pemukiman yang didukung dengan kelembaban tinggi, dan cuaca
tidak terlalu panas, seperti halnya ular nokturnal B. candidus yang ditemukan di
Thailand dengan suhu lingkungan 230
C (Mohammadi et al., 2014). Selain
beberapa faktor tersebut, pada malam hari belut keluar mencari makan, kodok dan
katak akan berkumpul mencari serangga dan kawin memanggil pasangannya, hal
ini akan menarik ular untuk berburu. Ular lebih mudah dilihat dan dijumpai pada
malam hari, karena pada malam hari ular nokturnal keluar dari sarang atau tempat
persembunyiannya dan ular diurnal beristirahat diatas pohon.
Spesies ular yang ditemukan di Desa Singapadu lebih banyak ditemukan
diatas permukaan tanah, karena jenis ular yang ditemukan lebih banyak termasuk
ular terestrial. Mangsa ular lebih banyak aktif mencari makan diatas permukaan
tanah, hal ini menarik ular sebagai predator berburu diatas permukaan tanah. Ular
arboreal terkadang dapat ditemukan diatas permukaan tanah melata mencari
mangsa (Cox et al., 1998). Spesies ular arboreal yang ditemukan di atas
permukaan tanah dalam penelitian ini adalah ular G. oxycephalum dan B.
69
dendrophila. Gonyosoma oxycephalum ditemukan diatas permukaan tanah saat
mengejar tikus yang keluar dari kandang burung di Bali Bird Park. Tikus di area
Bird Park bersembunyi di atap kandang, tumpukan kayu, dan tumpukan batu.
Boiga dendrophila dapat ditemukan di semua relung yang ada di Desa Singapadu.
Ular ini aktif mencari mangsa di pinggiran sungai, area persawahan, terkadang
memasuki lembaga konservasi dan pemukiman untuk mencari tikus dan burung.
Ular yang ditemukan di air lebih sedikit daripada ular yang ditemukan
diatas pepohonan dan permukaan tanah, karena jumlah spesies ular air tawar di
Bali tidak terlalu banyak, hanya dua spesies spesies (Rhabdophis chrysargos dan
Enhydris plumbea) (McKay, 2006). Dalam penelitian ini, spesies ular yang
ditemukan di Desa Singapadu sebanyak dua spesies yaitu: R. chrysargos dan X.
piscator. Spesies ular bandotan tutul (X. piscator) belum tercatat keberadaannya
di Bali oleh McKay (2006). Xenochrophis piscator memiliki spesifikasi habitat di
Desa Singapadu, yaitu hanya ditemukan di habitat sawah.
Spesies ular sanca batik (Python reticulatus) ditemukan di air (aliran
sungai) setelah hujan, karena aliran sungai yang deras memudahkan pergerakan
ular ini. Ular P. reticulatus memanfaatkan aliran sungai untuk berpindah-pindah
tempat dan berburu tikus atau burung. Spesies ular yang hanya ditemukan di
relung pepohonan adalah ular mati ekor (Trimeresurus insularis), ular blidah
(Boiga cynodon), ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan ular siput (Pareas
carinatus). Ular mati ekor merupakan salah satu ular berbisa kuat di Bali. Ular
mati ekor memiliki bisa hemotoksin dengan gigi solenoglypha, taringnya dapat
digerakkan maju dan mundur/melipat. Gigitan ular ini apabila tidak mendapatkan
70
penanganan yang tepat akan berakibat fatal (McKay, 2006; Marlon, 2014). Ular
mati ekor jarang ditemukan di atas permukaan tanah namun terkadang ditemukan
pada malam hari dalam posisi siaga untuk berburu. Ular mati ekor memiliki tubuh
yang berwarna hijau seperti daun, hal ini memberikan penyamaran yang baik saat
bersembunyi dan berburu.
Ular blidah memiliki tubuh ramping dan panjang, bergerak di atas pohon
dari ranting satu ke ranting lainnya memangsa burung dan telur, sama halnya
dengan ular pucuk, yang berpindah-pindah tempat dan berburu dari satu ranting
ke ranting lainnya mencari kodok dan burung. Ular pucuk jarang dijumpai melata
di atas permukaan tanah, warna daun yang hijau akan memberikan penyamaran
yang baik untuk ular pucuk (McKay, 2006). Ular siput hanya ditemukan diranting
atau di atas pohon, hal ini dikarenakan siput atau bekecot yang masih
muda/juvenile memakan pucuk-pucuk daun muda, sehingga ular pucuk lebih
mudah menemukan siput makanannya di atas pepohonan pada malam hari.
71
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Ditemukan total 122 individu ular yang termasuk ke dalam lima famili
(Colubridae, Elapidae, Pythonidae, Typhlopidae, dan Viperidae), 15 genus
dan 19 spesies. Famili Colubridae dengan 14 spesies, famili Elapidae dua
spesies, famili Pythonidae, famili Typhlopidae, dan famili Viperidae
masing-masing satu spesies.
2. Pada habitat yang berbeda ditemukan jenis ular yang berbeda seperti: Ular
weling (B. candidus), ular bandotan tutul (X. piscator) dan ular kawat (R.
braminus) hanya ditemukan di habitat sawah. Ular siput (P. carinatus) dan
ular pucuk (A. prasina) hanya ditemukan di habitat sungai, sedangkan Ular
tikus (C. radiata) hanya ditemukan di lembaga konservasi. Jenis ular yang
ditemukan di habitat pemukiman tidak menunjukkan spesifikasi spesies,
seperti pada ketiga habitat tersebut di atas, misalnya ular cincin emas (B.
dendrophila) yang ditemukan di pemukiman, juga ditemukan di habitat
sawah, sungai dan lembaga konservasi.
7.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut baik dari segi molekuler, bisa ular,
parasit pada ular, dan waktu breeding spesies ular, untuk keperluan monitoring
sumber daya hayati ular di Bali. Hal lain yang perlu dilakukan adalah edukasi
kepada masyarakat disekitar Desa Singapadu tentang jenis-jenis ular.
71
72
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan F. M., and Shayla P. 2001. The First Record of Ptyas korros (Colubridae)
from Bangladesh. Vol. 9. pp. 23-24. Department of Zoology, University of
Chittagong, Chittagong 4331, Bangladesh.
Ario A. 2010. Panduan Lapangan Mengenai Satwa Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango. Conservation International Indonesia, Jakarta.
Asad S., Jimi L. M., and Agus P. P. 2012. The Herpetofauna of Nusa Penida,
Indonesia. Herpetologycal Bulletin; Issue Number: 122.
Auliya M. 2010. Conservation Status and Impact of Trade on the Oriental Rat
Snake (Ptyas mucosa) in Java, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia,
Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Benton M. J. 2004. Vertebrate Paleontology (3rd ed.). Blackwell Science Ltd:
Oxford.
Bernard S. M. 1996. Reptile Keeper’s Handbook. Krieger Publishing Company
Malabar, Florida.
Boeadi R., Shine R., Sugardijto J., Amir M., and Sinaga M. H. 1998. Biology of
the Commercially-Harvested Rat Snake (Ptyas mucosus) and Cobra (Naja
sputatrix) in Central Java. Trade Sustainable Use of Lizards and Snakes in
Indonesia. Martensiella 9: 99 – 104.
Borror D. J., Charles A. T., and Norman F. J. 1982. An Introduction to the Study
of Insects. Sixth edition. The Ohio State University. (Translation copyright
1992, by Gadjah Mada University Press).
Brown J. H. 1973. Toxicology and Pharmacology of Venoms From Poisonous
Snakes. Springfield, Charles C. Thomas, Illinois. pp. 184 – 188.
Chanhome L., Orblidah K., Tamotsu O. S., and Visith S. 2003. Antihemorrhagin
in the Blood Serum of King Cobra (Ophiophagus hannah): Purification
and Characterization. Toxicon 41: 1013 – 1019.
Cox M. J., Peter P. D., Jarujin N., and Kumthorn T. 1998. A Photographic Guide
to Snakes and Other Reptiles of Peninsular Malaysia, Singapore and
Thailand. New Holland.
72
73
Das I. 2012. Snakes Of South-East Asia (Myanmar, Singapore, Thailand,
Myanmar, Borneo, Sumatra, Java and Bali). United Kingdom.
Fry B. G. 1999. Structure-Fuction Properties of Venom Components from
Australian Elapids. Toxicon 37: 11 – 32.
Fry B. G., and Wuster W. 2004. Origin and Evolution of the Snake Venom
Proteome Inferred From Phylogenetic Analisis of Toxin Squences.
Molecular Biology and Evolution 21(5): 870 – 883.
Fry B. G., Vidal N., Van der Weerd L., Kochva E., and Renjifo C. 2009.
Evolution and diversification of the toxicofera reptile venom system.
Journal of Proteomics 72: 127-136.
Fry B. G., Nicholas R. C., Wolfgang W., Nicolas V., Bruce Y., and Timothy N.
W. J. 2012. The structural and Functional Diversification of the
Toxicofera Reptile Venom System. Toxicon 30: 1 – 15.
Huang M. Z and Gopalakrisnhnakone P. 1996. Pathological Changes Induced by
an Acidic Phospholipase A2 From Ophiophagus hannah Venom on Heart
and Skeletal Muscle of Mice After Systemic Injection. Toxicon 34(2): 201-
211.
Komosawa M., and Ota H. 1996. Reproductive Biology of the Brahminy Blind
Snake (Ramphotyphlops braminus) from the Ryukyu Archipelago. Journal
of Herpetology 30(1): 9-14.
Krey K. 2008. “Daerah Penyebaran Dan Variasi Morfologi Ular Putih
(Micropechis ikaheka) Di Papua” (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kuch U., and Dietrich M. 2007. The Identity of the Javan Krait, Bungarus
javanicus Kopstein, 1932 (Squamata: Elapidae): Evidence From
Mitochondrial and Nuclear DNA Squence Analyses and Morphology.
Zootaxa 1426: 1-26.
Lang D R., and Vogel G. 2005. The Snake Of Sulawesi (A Field Guide to the Land
Snakes of Sulawesi with Identification Keys). Edition Chimaera, Frankfurt
am Main. Germany.
Lumsden N. G., Grieg B. F., Ventura S., Kini R. M., and Hodgson W. C. 2004.
The In-vitro and In-vivo Pharmacological Activity of Boiga dendrophila
(Mangrove catsnake) Venom. Autonomic & Autocoid Pharmacology 24;
107 -113.
MacKinnon J., Karen P., and Bas V. B. 2010. Burung-Burung di Sumatra, Jawa,
Bali dan Kalimantan. Burung Indonesia, Bogor Indonesia.
74
Mazumdar K., and Mithra D. 2010. Rescue of Short Nosed Vine Snake Ahaetulla
prasina (Shaw, 1802) in Assam University Campus, Silchar, Assam.
Zoos’Print, Volume XXV, Number 2, (RNI 11:5).
McKay J. 2006. Reptil dan Amphibi di Bali. (Laksmi Holland, Pentj). Kriger
Publishing Company.
Marlon R. 2014. Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107+ Ular
Indonesia. Indonesia Nature & Wildlife Publishing, Jakarta, Indonesia.
Mistar .2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Area Mawas Propinsi
Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). Yayasan
Penyelamatan Orangutan Borneo. Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
Indonesia.
Mohammadi S., Bryan M. K., Tracy T., Yohsuke A., and Jacques G. H. Spatial
and Thermal Observations of a Malayan Krait (Bungarus candidus) From
Thailand. Tropical Natural History (14)1: 21 – 26.
O’Shea M. 1996. A Guide to the Snakes of Papua New Guinea. Beaumont
Publishing Pte Ltd, 9 Joo Koon Circle, Singapore.
O’Shea M., and Halliday T. 2001. Reptiles and Amphibians. Dorling Kindersley
Limited, London.
Pough F. H., Heiser J. B., and McFarland W. N. 1998. Herpetology. Prentice-
Hall, Inc. New Jersey. Pp. 37-131.
Purkayastha J., Madhurima D., Gernot V., Primal C. B ., and Saibal S. 2013.
Comment on Xenochrophis cerasogaster (Cantor, 1839) (Serpentes:
Natricinae) With Remarkson its Natural History and Distribution.
Hamadryad Volume 36, No.2, pp. 149-156.
Rajesh N. V., Jayathangaraj M. G., Sridhar R., and Raman M. 2013. Efficacy of
Herbal Ectoparasiticides in Captive Rat Snakes (Ptyas mucosus) Reared in
India. Bulletin Journal Veterinary Medicine 16; No.3: 223 – 227.
Ramadhan G., Djoko T. I., and Dadang R. S. 2010. A New Species of Cat Snake
(Serpentes: Colubridae) Morphologycally Similar to Boiga cynodon from
the Nusa Tenggara Island, Indonesia. Asian Herpetological Research 1(1):
1-9.
RPJM. DES (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa). 2010-2015. Desa
Singapadu Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar-Bali.
75
Selistre H. S., and Giglio J. R. 1987. Isolation and Characterization of a
Thrombin-like Enzyme From the Venom of the Snake Bothrops insularis
(Jararaka ilhoa). Toxicon 25: 1135-1144.
Taylor B., and O’Shea M. 2004. The Great Big Book of Snake & Reptiles. Anness
Publishing Ltd. Hermes House, 88-89 Blackfriars Road, London.
Wallach V. 2008. Range Exstensions and New Island Records for
Ramphotyphlops braminus (Serpentes: Typhlopidae). Bulletine Chicago
Herpetological 43(5): 80-82.
Williams D., Wuster W., and Grieg B. F. 2006. The good, the bad and the ugly:
Australian snake taxonomists and a history of the taxonomy of Australia’s
venomous snakes. Toxicon 48: 919-930.
Wilson S., and Swan G. 2003. Reptiles of Australia. Princeton University Press,
Princeton Oxford.
Zug G. R. 1993. Herpetology: an Introductory Biology of Ampibians and
Reptiles. Academic Press. London, p : 357 – 358.