jenis mikroba yang mencemari susu olahan

43
JENIS - JENIS MIKROBA YANG MENGKONTAMINASI PRODUK OLAHAN SUSU I. Pendahuluan Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau TBC, mudah tersebar melalui bahan makanan. Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksintoksin yang dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasit-parasit hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.

Upload: widianto

Post on 27-Jun-2015

558 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

JENIS - JENIS MIKROBA

YANG MENGKONTAMINASI PRODUK OLAHAN SUSU

I. Pendahuluan

Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan

sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan

pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan

pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham

mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau

kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi.

Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan.

Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan

mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular

yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau TBC, mudah tersebar melalui

bahan makanan.

Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat makanan

disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan

langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksintoksin yang

dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasit-parasit hewan dan

mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena

memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.

Secara umum, istilah keracunan makanan yang sering digunakan untuk menyebut

gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme., mencakup gangguan-gangguan yang

diakibatkan termakannya toksin yang dihasilkan organisme-organisme tertentu dan

gangguan-gangguan akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat

ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu produk

metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme.

Dengan demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi

toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan infeksi pangan

disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui makanan yang telah

terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap bakteri atau hasil-hasil

metabolismenya.

Page 2: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

II. Mikrobiologi Susu Olahan

Susu merupakan minuman sumber protein yang diperoleh dari hasil pemerahan sapi

atau hewan menyusui lainnya, yang dapat langsung diminum atau dapat digunakan

sebagai bahan tambahan dalam pembuatan makanan yang aman dan sehat. Susu

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba sehingga apabila

penanganannya kurang baik dapat tercemar mikroba yang dapat menimbulkan penyakit

yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Susu yang baik apabila tidak mengandung

mikroba patogen (Hadiwiyoto, 1983).

Susu dapat tercemar mikroba karena beberapa faktor, antara lain (1) sapi telah

terinfeksi oleh Brucella, Micobacterium bovis, Coxiella burnetii, (2) sapi telah terinfeksi

oleh staphylococci baik secara langsung maupun tidak langsung dari manusia yang

memerah dan (3) susu dapat terkontaminasi oleh S. typhi, C. diphtheriae atau S.

pyogenes setelah diperah (Riemann dan Bryan, 1979).

Susu merupakan bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing pada

hewan mamalia seperti sapi, kambing, kerbau, dan kuda. Susu mengandung protein,

lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan enzim-enzim (Lampert 1980). Susu sapi yang

berasal dari sapi yang sehat dapat tercemar mikroba nonpatogen yang khas segera

setelah diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang

penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia (Volk

dan Wheeler 1990). Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan

keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri, kapang, dan

khamir), baik patogen maupun nonpatogen dari lingkungan (peralatan pemerahan,

operator, dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu

antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi

menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) kadangkadang

tidak dapat menerima atau membeli susu dari peternak. Akibatnya, sebagian besar IPS

menggunakan bahan dasar susu impor.

Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan

susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan.

Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain

pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba

yang ada. Apabila tidak tersedia pendingin, setelah diperah susu dapat diberi senyawa

thiosianat dan hidrogen peroksida untuk memaksimalkan kerja laktoperoksidase (enzim

Page 3: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun, penggunaan senyawa tersebut masih

dikaji terutama efektivitas dan residunya (Thahir et al. 2005).

Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E. coli. Standar Nasional

Indonesia tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak terdapat dalam susu dan produk

olahannya. Bakteri E. coli dalam air susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan

diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari

susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp.,

Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. (Adams dan Motarjemi 1999). Menurut

Thahir et al. (2005), bahan dasar susu pasteurisasi pada beberapa produsen susu di Jawa

Barat mengandung total mikroba 104−106 CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat

menurunkan kandungan mikroba hingga 0−103 CFU/g susu. Standar Nasional Indonesia

(SNI 01- 6366-2000) mensyaratkan ambang batas cemaran mikroba yang diperbolehkan

dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g sehingga susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh

produsen susu di Jawa Barat aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu memungkinkan

terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. Syarat mutu produk olahan susu

seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 dan SNI 01-3775-

1995.

III. Jenis – Jenis Mikroba Pengkontaminasi Produk Olahan Susu

a. Enterobacter sakazakii

Enterobacter sakazakii berkerabat dekat dengan Salmonella dalam keluarga

Enterobacteriaceae , Gram negatif, oksidasi negatif, anaerob fakultatif, batang, tidak

berspora dan akan mati dalam proses pasteurisasi, motile (bergerak aktif),

memfermentasi glukosa.

Enterobacter sakazakii dapat kita temukan di beberapa lingkungan industri

makanan (pabrik susu, coklat, kentang, cereal, dan pasta), lingkungan berair, sedimen

tanah yang lembab. Dalam beberapa bahan makanan yang potensi terkontaminasi E.

sakazakii antara lain keju, sosis, daging cincang awetan, sayuran, dan susu bubuk.

Serta pernah ditemukan pada beberapa jenis serangga, tikus, rumah sakit, dan organ

serta cairan dari makhluk hidup.

Faktor yang mendukung pertumbuhan E. sakazakii yaitu: nutrisi (ceceran

powder, karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, vitamin, dan Trace element), air (udara

lembab), oksigen (udara), waktu untuk berkembang biak, dan suhu yang sesuai. Susu

Infant Milk formula (untuk 0-6 bulan) merupakan media yang potensial bagi infeksi

Page 4: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

E. sakazakii pada bayi, terutama bagi: 1. Bayi yang baru lahir sampai usia 28 hari. 2.

Bayi prematur 3. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 4. Bayi dengan

gangguan fungsi kekebalan tubuh E. sakazakii sangat berbahaya bagi bayi pada

kondisi diatas, karena dapat menyebabkan antara lain Meningitis (radang selaput

otak), Necrotizing Enteroclitis (radang usus), Sepsis, Bacteremia (peningkatan jumlah

bacteri dalam darah), Brain cyst (kista otak).

Mikroorganisme yang menghasilkan koloni-koloni kuning pada TSA

(Tryptone Soya Agar), menghasilkan positif α-glicosidase, reaksi Tween 80 esterase

dan juga berbanding lurus dengan identifikasi dengan API 32E (profil biokimia dari

E. sakazakii hampir serupa dengan E. cloacae kecuali memproduksi pigmen kuning,

aktivitas α-glicosidase dan aktivitas Tween 80 esterase, E. sakazakii disebut sebagai

E. cloacae yang berpigmen kuning.

Tim peneliti bidang keamanan pangan Fakultas Biologi Universitas Kristen

Duta Wacana Yogyakarta sebenarnya telah melakukan penelitian terhadap cemaran

Enterobacter sakazakii pada susu formula bayi pada tahun 2006-2007. Penelitian

diarahkan untuk mendeteksi adanya cemaran E. sakazakii pada salah satu produk susu

bubuk formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Sampel produk susu diambil dari beberapa

supermarket yang ada di kota Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan dengan

waktu yang berbeda, kode produksi yang juga berbeda-beda. Pengambilan sampel

dilakukan sebanyak 15 kali dan setiap kali sampling dilakukan 2 kali ulangan,

sehingga total semua sampel berjumlah 30 sampel untuk satu jenis produk susu

formula bayi. Dari sampel yang diteliti didapatkan 33 isolat yang dicurigai sebagai

kandidat E. sakazakii yaitu koloni yang berwarna kuning yang tumbuh pada medium

TSBA, koloni tersebut kemudian diisolasi dan dimurnikan untuk selanjutnya

diidentifikasi secara biokimia yang merujuk ke aras genus Enterobacter. Setelah itu

diuji lebih lanjut ke aras spesies E. sakazakii menurut kunci idenfifikasi Bergey’s

Manual of determinative Bacteriology (Edisi 9, tahun 1994). Hasil identifikasi

terhadap adanya cemaran E. sakazakii menunjukkan hasil yang negatif dari 30 sampel

yang diuji. Dari hasil yang negatif terhadap salah satu produk susu formula bayi

tersebut, tim peneliti kemudian mencoba mendeteksi keberadaan cemaran E.

sakazakii pada susu mentah, dimana susu mentah merupakan bahan baku utama

produk susu. Sampel susu mentah diambil didaerah Kabupaten Sleman yang

merupakan sentra peternakan susu terbesar dan beberapa tempat lain yang ada di kota

Yogyakarta. Produk susu mentah dari peternak tersebut juga disetorkan ke salah satu

Page 5: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

pabrik susu yang ada dikota Yogyakarta. Hasil deteksi dari 15 kali sampling atau 30

sampel susu mentah yang diuji juga tidak ditemukan adanya cemaran E. sakazakii.

Penelusuran lebih lanjut dilakukan pada ambing sapi, dimana ambing sapi yang kotor

karena terkontaminasi feses sapi dapat menjadi media penyebaran E. sakazakii .

Penelitian adanya cemaran E. sakazakii pada ambing dilkukan dengan melakukan

swab pada seluruh bagian ambing sapi perah. Jumlah ambing sapi yang diteliti masih

sebatas 20 ekor sapi, yang disampling secara acak di sentra peternakan yang ada di

kabupaten Sleman. Dari 20 ambing sapi perah yang diteliti juga tidak ditemukan

adanya cemaran E. sakazakii.

Pelacakan adanya cemaran E. sakazakii dilanjutkan pada feses sapi yang

masih baru (baru saja keluar anus sapi perah). Habitat asli E. sakazakii adalah saluran

intestin yang merupakan tempat tinggal bagi kelompok bakteri enterik. Dari saluran

intestin inilah E. sakazakii keluar ke lingkungan bersama dengan feses. Dengan

meneliti ada atau tidaknya cemaran E. sakazakii pada feses maka kita sudah meneliti

sumber utama cemaran E. sakazakii pada susu dan semua produk yang berbahan dasar

susu sapi mentah. Hasil penelitian dari 20 sampel feses sapi perah menunjukkan

bahwa tingkat cemaran total bakteri antara 1,1×109–2,8×1010 cfu/gram feses, dan

jumlah cemaran kelompok enterobakter anatara 1,1×105–2,8×106 cfu/gram.

Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan didapatkan 120 isolat genus

Enterobacter. Namun dari 120 isolat tersebut tidak satupun teridentifikasi sebagai E.

sakazakii . Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan kelompok cemaran

enterobacter tersebut adalah : Enterobacter aerogenes, Enterobacter cloacae,

Enterobacter gergoviae dan Enterobacter biogroup 1.

E. sakazakii tidak hanya ditemukan di susu formula, dalam review Jeff farber

(2004) dismpaikan bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai lingkungan pabrik,

khususnya pabrik dry products (pabrik coklat bubuk, pabrik serealia, bahkan di rumah

tangga dengan isolation rate 20-30%). Bakteri yang juga banyak ditemukan di udara

(debu) ini juga diisolasi dari beberapa jenis pangan lain seperti daging kiuring dll.

Bakteri sakazakii tergolong dry resistant, oleh karena itu menjadi concern susu

bubuk (baik formula atau susu bubuk biasa) dan lazimnya tidak merupakan concern

untuk susu sapi mentah/cair.  Untungnya dari berbagai data, dilaporkan bahwa bakteri

ini tidak tahan panas (termasuk 8 isolat yang kami peroleh).  Inilah yang seyogyanya

disampaikan ke khalayak/ibu-ibu karena manajemen risiko di tingkat rumah tangga

dapat dilakukan oleh para ibu dengan menggunakan air bersuhu 70C dan hang time

Page 6: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

selama 2 jam (di hospital rekomendasi hang time selama 4 jam).  Bila bakteri

Enterobacter sakazakii menyerang bayi, dapat mengakibatkan radang selaput otak,

radang usus, gangguan neurologik bahkan kematian. Menurut WHO pada 2004, 20-50

persen penderita mengalami kematian.

 Selain terdapat pada susu formula, bakteri ini bisa ditemukan juga di cokelat,

kentang, sereal, dan di lingkungan lembab. Pada suhu kamar, jumlah bakteri

berkembang dua kali lipat dalam 45 menit, dan pada suhu kulkas jumlahnya dobel

dalam waktu 14 jam.

Kalau kita mau menengok perkembangan dunia, Codex telah memiliki draft

tahap 3 tentang manajemen bakteri E. sakazakii khususnya untuk pabrik/industri,

tentunya perjalanan draft ini untuk menjadi kebijakan masih panjang mengingat masih

ada 5 tahap lagi untuk suatu keputusan Codex.  Menurut saya ada  poin penting dari

drfat tersebut  yakni : E. sakazakii digolongkan sebagai patogen yang

direkomendasikan untuk diuji dalam susu formula (SNI kita belum

mencantumkannya), meskipun demikian sampling plannya bahkan tidak se”stringent”

Salmonella. Artinya para pakar di Codex menganggap E. sakazakii sebagai hazard

yang potensial tetapi risikonya lebih terbatas/kecil dibandingkan Salmonella.

b. Escherichia coli

Escherechia coli

Bakteri ini secara normal (komensal) terdapat pada saluran usus besar/kecil

anak-anak dan orang dewasa sehat dan jumlahnya dapat mencapai 109 CFU/g.

Bakteri ini dikenal sebagai mikroba indikator kontaminasi fekal dan dibagi dalam dua

kelompok yaitu nonpatogenik dan patogenik. Ada empat kelompok patogenik

penyebab diare yaitu EPEC (Enteropatogenik Escherichia coli), ETEC

(Enterotoksigenik Escherichia coli), EIEC (Enteroinvasif Escherichia coli) dan E. coli

Page 7: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

penghasil verotoksin (VTEC). Istilah lain juga digunakan untuk VTEC seperti E. coli

penghasil toksin mirip-Shiga (SLTEC) dan E. coli penghasil toksin Shiga (STEC).

Istilah enterohemoragik E. coli (EHEC) digunakan untuk galur-galur yang

menyebabkan diare berdarah. EHEC mempunyai faktor virulen disamping produksi

sitotoksin Vero, yang penting dalam menimbulkan penyakit yang berat pada manusia.

Enteropatogenik E. coli bersifat spesifik terhadap inang (host) dan menyebabkan

diare tanpa darah. Enterohemoragik E. coli (O157:H7) menyebabkan hemoragik dan

diare berdarah, enteroinvasif E.coli (EIEC) menyebabkan diare berdarah dengan

gejala mirip disentri (Shigella), sedangkan enterotoksigenik E. coli (ETEC)

menyebabkan diare pada bayi (infantile diarrhea) dan diare pada orang yang sedang

bepergian dengan gejala mirip kolera.

Penyakit yang disebabkan oleh grup EPEC adalah diare berair yang disertai

dengan muntah dan demam. Diare sering bersifat sembuh sendiri, tetapi EPEC dapat

menyebabkan enteritis kronis berkepanjangan yang mengganggu pertumbuhan. EPEC

umumnya dikaitkan dengan bayi dan anak-anak di bawah usia 3 tahun. Grup EIEC

menyebabkan diare yang secara klinis sering menyerupai diare basiler, yang

disebabkan oleh Shigella. Awalnya diare bersifat akut dan berair, disertai demam dan

kejang perut, berlanjut sampai fase kolon (usus besar) dengan tinja yang berdarah dan

mukoid. Tidak semua infeksi EIEC berlanjut sampai fase kolon, sehingga darah tidak

selalu terdeteksi dalam tinja. EIEC menyerang mukosa kolon dan berkembang biak di

dalam sel, menyebar ke sel-sel yang berdekatan setelah sel-sel yang terinfeksi

mengalami lisis.

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi ETEC merupakan diare berair dengan

kejang perut, demam, malaise dan muntah. Dalam bentuk yang sangat berat, infeksi

oleh galur ETEC dapat menghasilkan gambaran klinis yang menyerupai diare yang

disebabkan oleh Vibrio cholerae, yaitu tinja air beras. ETEC merupakan penyebab

utama diare pada bayi di negara kurang berkembang dan juga diare pada orang yang

sedang mengadakan perjalanan dari daerah beriklim musim dengan standar higiene

baik ke daerah-daerah tropis dengan standar higiene yang lebih rendah. VTEC

menyebabkan hemoragik colitis (HC) dan sindroma hemolitik uremik (HUS). Gejala

HC sering dimulai dengan sakit perut dan diare berair, diikuti dengan diare berdarah

umumnya tanpa demam. Diare baik berdarah atau tidak, diikuti oleh munculnya HUS.

HUS terjadi pada semua kelompok umur tetapi paling umum pada anak-anak

Page 8: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

E. coli enteroagregatif dikaitkan dengan diare yang terjadi di negara

berkembang. Diare berlangsung selama 14 hari dan biasanya berair dengan gejala

muntah-muntah, dehidrasi, dan sakit perut. Diare berdarah dan demam timbul pada

anak-anak yang terinfeksi oleh EaggEC. Diare yang terkait dengan DAEC dicirikan

dengan kotoran yang berair dan mengandung mukus dengan demam dan muntah-

muntah.

Sumber EPEC, EIEC, dan ETEC adalah manusia. Kontaminasi makanan berasal

dari karyawan pengelola pangan atau dari kontak dengan air yang mengandung

buangan manusia. Infeksi orang dewasa sehat memerlukan dosis paling sedikit 108 sel

baik melalui pangan atau air yang tercemar. Sumber utama organisme VTEC terdapat

pada alat pencernaan dari usus sapi dan hewan lain.

Galur-galur VTEC telah diisolasi dari daging sapi dan olahannya seperti sosis,

beefburger dan daging giling, demikian pula pada daging unggas dan hasil laut. Di

Amerika Selatan, VTEC O157 ditemukan pada daging sapi, babi, domba dan unggas.

dan di Amerika dari daging (patties) hamburger dan daging sapi giling.

Susu tanpa pasteurisasi merupakan pembawa infeksi yang penting. Pada tahun

1994 di Skotlandia terjadi keracunan dari susu yang dipanaskan dari susu lokal.

VTEC O157 berasal dari pipa yang membawa susu dari peralatan pasteurisasi dan

karet dari mesin pembotolan. VTEC O157 hidup baik dalam makanan yang

dibekukan dan disimpan beku. Dalam daging sapi (beef patties) beku pada suhu -80oC

dan penyimpanan pada -20oC, terjadi sedikit perubahan dalam jumlah VTEC O157

setelah 9 bulan, dan 50% diantaranya hidup dalam daging ayam giling beku yang

disimpan pada –20oC selama 18 bulan. NaCl dan natrium laktat menurunkan

ketahanan hidup VTEC O157 selama pembekuan tetapi tidak menghilangkannya

setelah 18 bulan. Kadar NaCl 8% (b/v) atau lebih tinggi menghambat pertumbuhan.

Pertumbuhan VTEC O157 dalam makanan pada suhu 12oC dan 8oC pada saider apel

tetap terjadi sehingga dapat membahayakan konsumen.

VTEC serotipe O22:H8 diidentifikasi di Jerman pada pasien dengan HUS

(Hemolytic Uremic Syndrom) dan dalam susu dari rumah pasien dan susu yang

dipasok. Letusan gastroenteritis dan diare berdarah di Montana dihubungkan dengan

galur E. coli yang memproduksi VT2. Pada tahun 1994, salami yang dikiuring kering

merupakan sumber VTEC O157 dalam suatu letusan di Amerika. Pada saat yang

sama, sosis mettwurst yang tercemar dengan VTEC O111 juga menyebabkan letusan

di Australia. VTEC bertahan hidup selama fermentasi dan proses pengeringan.

Page 9: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

Letusan infeksi E. coli diaregenik yang melibatkan keju sebagai pembawa infeksi

menunjukkan bahwa galur-galur ini tetap hidup selama fermentasi dan pembuatan

keju. Galur-galur E.coli dapat tumbuh di dalam miselia Penicillium camemberti

selama pemeraman keju pada suhu 10oC. Hal ini menunjukkan bahwa kontaminasi

silang permukaan keju dapat menyebabkan produk membahayakan kesehatan

konsumen.

VTEC O157 tidak mempunyai ketahanan panas khusus, nilai D pada 62,8oC

adalah 24 detik. Susu yang tercemar setelah pasteurisasi dan mendapat pemanasan

ringan dapat mengandung VTEC O157 dalam jumlah yang cukup untuk

menyebabkan infeksi. Ketahanan panas ini lebih tinggi dalam daging giling berlemak

daripada tanpa lemak. Pada keju cottage, walaupun VTEC O157 tumbuh selama

proses pembuatan, bakteri akan mati bila curd dimasak pada suhu 57oC selama 90

menit. Dosis radiasi sebesar 2.5 kGy akan membunuh VTEC O157 sebanyak 108.1

per gram daging sapi giling.

Penghilangan VTEC dengan pemanasan merupakan salah satu titik kendali

utama dalam rantai makanan. Untuk menghancurkan VTEC O157 dalam burger

daging sapi disarankan untuk memasak dan mempertahankan suhu 70oC selama 2

menit sampai jus tidak keluar dan tidak ada potongan yang berwarna merah muda di

dalamnya. Air yang tidak diklorinasi sebaiknya tidak digunakan untuk pembersihan

peralatan dan permukaan yang kontak dengan makanan atau untuk pembersihan atau

pendinginan unit-unit produksi pangan komersial.

c. Clostridium botulinum

Clostridium-botulinum

Sejak tahun 1793 telah dilaporkan penyebab penyakit dan kematian oleh

konsumsi sosis (“botulus”) dan penyakitnya disebut botulisme. Toksinnya bersifat

tidak tahan panas (80oC, 10’), tetapi sangat toksik (10-8 g mengakibatkan kematian).

Page 10: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

Sifat-sifat mikrobanya adalah Gram positif, motil (flagela peritrichous), anaerobik

obligat, berbentuk batang (2 – m) dengan spora berbentuk oval. Botulisme pada

manusia disebabkan10 oleh tipe A, B, E. Pertumbuhan pada pH minimum adalah

4.7, penting untuk industri pengalengan.

Gejala dikelompokkan menjadi botulisme asal makanan (foodborne), botulisme

pada bayi dan botulisme yang menimbulkan luka. Gejala botulisme pada makanan

dapat muncul beberapa jam atau beberapa hari seperti lemas, fatig, vertigo, pandangan

buram, kesulitan berbicara dan menelan akibat sarafnya terserang dan gagal bernapas

yang dapat menimbulkan kematian. Pada botulisme tipe E, menimbulkan mual dan

muntah-muntah dan mortalitas rendah.

Botulisme pada bayi, menyerang bayi kurang dari 12 bulan akibat menelan

spora C. botulinum, bergerminasi, tumbuh dan memproduksi toksin sambil

mengkolonisasi alat pencernaan. Madu diduga merupakan sumber spora dan tidak

direkomendasikan untuk bayi kurang dari 9-12 bulan. Kasus botulisme bayi

disebabkan oleh galur C. barati penghasil BoNT tipe F dan C. butyricum penghasil

BoNT tipe E. Jumlah sel C. botulinum dalam tinja dapat meningkat 103 – 108/g

sebelum timbul gejala klinis. Mikroflora perut bayi tidak mampu mencegah kolonisasi

C. botulinum, bila telah dewasa hal ini jarang terjadi.

Spora dari semua tipe dan toksinnya toleran terhadap pembekuan. Grup I

(proteolitik) dan II (non-proteolitik, sakarolitik) paling penting dalam penyimpanan

makanan. Grup I mempunyai suhu pertumbuhan optimum antara 35 dan 40oC. Grup II

mempunyai suhu optimum pertumbuhan 28-30oC. Pertumbuhan dan produksi toksin

dilaporkan dapat berlangsung di bawah suhu penjualan makanan dingin.

Toksin dari semua tipe cepat inaktif pada suhu 75-80oC. Grup I mempunyai

ketahanan panas yang tinggi. Oleh karena itu perlu diterapkan botulinum cook atau

“proses 12D” untuk makanan kaleng berasam rendah. Spora-spora Grup II dikenal

kurang tahan panas dibandingkan galur Grup-I.

Spora-spora dan toksin C. botulinum tahan terhadap radiasi ionisasi. Umumnya

Grup I tidak dapat tumbuh bila konsentrasi garam lebih dari 10% (aw 0.9353);

sedangkan Grup II tidak tumbuh bila lebih dari 5% (aw 0.9707). Semua galur tumbuh

dan memproduksi toksin pada pH 5.2 di bawah kondisi optimum. Grup I tumbuh

lambat pada pH serendah 4.6, dikenal sebagai titik batas pemisahan untuk makanan

asam atau yang diasamkan, sedangkan pada pH di bawah 4.6 tidak mampu tumbuh.

Galur Grup II tidak mampu tumbuh pada pH 5.0 atau di bawahnya. Kiuring daging

Page 11: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

dengan penggaraman dapat mengendalikan pertumbuhan C. botulinum. Disarankan

untuk mengurangi natrium nitrit yang berfungsi sebagai pembentuk flavor dan warna,

serta antimikroba, karena dikhawatirkan membentuk senyawa nitrosamin. Sebagai

pengganti dapat digunakan sorbat, polifosfat, antioksidan, nisin, paraben dan natrium

laktat. Beberapa bakteri asam laktat yang memproduksi bakteriosin mampu

menghambat C. botulinum. Sumber kontaminasi utama C. botulinum pada makanan

adalah tanah terutama sayuran (tanaman akar). Keracunan tipe A (botulisme) terjadi

karena konsumsi salad kentang yang sudah dimasak, disimpan beberapa hari pada

suhu kamar dengan kondisi anaerobik.

Karakteristik C. botulinum.

C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu

optimum untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk

strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun

pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain

spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 3,30

C, sementara jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40

C . Secara umum strain jenis E dan B bersifat non-proteolitik serta strain F suhu

minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 100 C lebih rendah daripada strain A

dan B. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya yaitu : jenis A dan B pada

suhu 500 C. Strain jenis E memiliki suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari

strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C (Cliver, 1990 ; Jay, 1978).

Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh

di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Frazier dan Westhoff, 1988).

Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau

medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap

produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan

waktu penyimpanan.

Berdasarkan atas pH, dilaporkan bahwa C. botulinum tidak mampu tumbuh pada

pH di bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan

baik dan menghasilkan toksin pada pH 5,5-8,0 (Jay, 1978). Sedangkan Frazier dan

Westhoff (1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan sel

vegetatif adalah 4,87 sedangkan untuk petumbuhan spora 5,01 di dalam cairan

kaldu. Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan

asam amino, vitamin B dan mineral.

Page 12: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

C. botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air aw 0,94 dan jenis E pada

0,97 Dilaporkan bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat

pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam Jay (1978) menyatakan bahwa pada

konsentrasi 25-500 ppm dapat menghambat jenis A lebih dari sebulan pada suhu

optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian pembentukan toksin jenis E dan

pertumbuhan sell didalam kalkun yang diinkubasikan pada suhu 300 C, Midura et

al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora jenis E akan memperbanyak diri

dan menghasikan toksin dalam waktu 24 jam. Penampakan toksin bertepatan

dengan pertumbuhan sel selama 2 minggu setelah toksin berada di luar sel hidup.

Penemuan ini mengungkapkan bahwa kemungkinan ditemukannya toksin jenis E

di dalam makanan tanpa ditemukannya sel jenis E.

Makanan yang mengandung toksin umumnya tanpa jenis organisme yang lain, hal

ini disebabkan oleh perlakuan panas dan pengepakan vakum. Dilihat dari

kehadiran ragi, kuman dilaporkan dapat tumbuh dan menghasilkan toksin pada pH

rendah 4,0. Ragi dianggap menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan

oleh Clostridia untuk tumbuh pada pH rendah, sementara bakteri asam laktat

diasumsikan sebagai alat pertumbuhan dengan terjadinya penurunan potensial

redok. Sejumlah strain C. perfringens menghasilkan penghambat yang efektif

terhadap 11 strain tipe A, 7 B proteolitik, dan 1 non proteolitik, pada 5 strain E

dan 7 strain F. Kautter et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa strain jenis E

dihambat oleh organisme non toksik lainnya yang mempunyai ciri morfologi dan

uji biokimia yang sama dengan tipe E. Organisme yang menunjukkan efek

penghambatan ini menghasilkan substansi seperti bakteriocin yang dikenal dengan

nama “bioticin Eâ€. Laporan menunjukkan bahwa adanya kaitan antara C.�

botulinum tipe F dalam sampel lumpur selama periode waktu tertentu dengan

kehadiran dari Bacillus licheniformis, dan kahadiran bakteri ini dianggap sebagai

pembawa faktor penghambat untuk pertumbuhan strain jenis F.

Gejala Botulismus

Tergantung dari penelanan toksin pada makanan, gejala botulismus dapat

berkembang dimana saja antara 12-72 jam kemudian (Jay, 1978). Menurut Cliver

(1990) masa inkubasi dari kuman berkisar antara 12-36 jam, sedangkan Hayes

(1992) menyatakan bahwa masa inkubasi kuman antara 18-36 jam. Gejalanya

diawali dengan kesakitan pada daerah gastrointestinal meliputi: mual, muntah,

diare dan diikuti konstipasi. Kelelahan dan kelemahan otot-otot adalah tanda awal

Page 13: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

dari botulism. Segera diikuti dengan efek pada mata berupa berkunang-kunang,

penglihatan ganda, kekeringan pada mulut, kesulitan berbicara dan menelan, dan

akhirnya kegagalan respirasi dan mati (Cliver, 1990 ; Jay, 1978). Luka botulismus

dapat dikelirukan dengan kejadian tetanus, namun laporan terakhir menunjukkan

bahwa kuman C. botulinum dapat menginfeksi dinding usus sendiri terutama bila

dilakukan operasi bedah. Selanjutnya pada infant botulism yang umumnya

menyerang bayi antara umur 6-12 bulan agak sulit untuk didiagnosis mengingat

kesulitan komunikasi dari pasien, namun dengan memperhatikan gejala klinis

yaitu kesulitan bernafas dalam beberapa hari dapat mengarahkan diagnosis

terhadap kecurigaan terhadap botulismus (Cliver, 1990). Secara umum lama dari

kesakitan berkisar antara 1-10 hari tergantung pada kepekaan host dan faktor

lainnya dengan tingkat kematiannya berkisar antara 30-65%.

Epidemiologi

Sekalipun wabah keracunan makanan oleh C. botulinum dianggap umum

terutama akibat dari distribusi makanan yang diperdagangkan, namun dilaporkan

bahwa keracunan makanan botulismus relatif jarang. Seperti dilaporkan kejadian

kasus di Amerika Serikat, bahwa antara tahun 1960-1977 dilaporkan 186 kali

dengan rata-rata terjadi setiap tahunnya sebanyak 10 kali wabah dengan jumlah

kematian 82 orang. Dan antara tahun 1978-1983 terjadi 91 kali wabah dengan

jumlah kasus 201 dan tingkat kematian 26 orang. Dari rangkuman kejadian kasus

di Amerika terlihat bahwa antara tahun 1960-1977 sebanyak 119 wabah berasal

dari makanan yang dipersiapkan di rumah dan sebanyak 16 kasus berasal dari

makanan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan dari jaminan

keamanan produk makanan komersial (Cliver, 1990).

Diawali pada tahun 1963, sebagian besar kasus botulismus di Amerika yang

diperantarai oleh makanan setelah diidentifikasi adalah berasal dari sayuran yang

dikalengkan dan disebabkan oleh strain A dan B. Sebesar 70% dari 640 kasus

yang dilaporkan selama periode 1899-1967, belum berhasil diidentifikasikan

makanan sebagai perantaranya secara lengkap. Dari penelitian di atas hanya

berhasil diisolasi sebesar 17,8% berasal dari sayuran, 4,1% dari buah, 3,6% ikan,

2,2% rempah-rempah, 1,4% daging dan unggas serta 1,1% sumber lainnya (Jay,

1978). Pada tahun 1976 di USA dilaporkan terjadi 29 kasus, sementara itu 4 bulan

pertama tahun 1977 dilaporkan terjadi 64 kasus. Wabah selanjutnya terjadi di

Michigan dimana 45 orang menderita botulismus setelah mengkonsumsi saos

Page 14: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

panas yang dikalengkan (di rumah) dengan kertas jalapeno. Penderita memakan

hidangan restoran yang menggunakan kertas kaleng rumahan yang melanggar

hukum, dilaporkan bahwa pada kejadian ini tidak ada kematian dan setelah diteliti

disebabkan oleh toksin jenis B. Kejadian Botulismus di Jerman bersifat konstan

untuk beberapa tahun dengan jumlah 9-15 kasus dan 30-40 penderita. Botulismus

jarang dilaporkan di Perancis sebelum Perang Dunia II, tetapi selama perang

dilaporkan lebih dari 1000 kasus (Frazier dan Westhoff, 1988).

Dari 404 kasus oleh jenis E pada tahun 1963, sebesar 304 atau 75% terjadi

di Jepang. Pada bulan Mei tahun 1951 sampai Januari 1960, tercatat 166 kasus

dengan jumlah kematian sebanyak 58 orang dengan tingkat mortalitas 35%.

Sebagian besar wabah di Jepang berasal dari makanan yang dipersiapkan di rumah

yaitu “izushiâ€yang mana makanan ini terdiri dari ikan segar, sayuran, nasi dan�

sedikit garam dan cuka. Persiapannya adalah dipak erat di dalam kotak kayu yang

dilengkapi dengan tutup dan dipertahankan selama 3 minggu atau lebih untuk

fermentasi asam laktat. Pada saat ini proses oksidasi-reduksi direndahkan yang

selanjutnya akan memberi kesempatan pertumbuhan dalam suasana anaerob (Jay,

1978). Dari laporan kasus botulismus di Amerika pada makanan kaleng yang

diperdagangkan, dilaporkan dari tahun 1899-1973 terjadi sejumlah 62 wabah. Dari

62 kasus tersebut sebanyak 41 kasus terjadi sebelum tahun 1930. Pada beberapa

tahun terakhir, dilaporkan bahwa jamur yang dikalengkan dianggap sebagai

penyebab wabah botulismus. Kemampuan dari jamur (Agaricus bisporus) untuk

membantu pertumbuhan spora C. botulinum diteliti oleh Sugiyama dan Yang (Jay,

1978).

Dari penelitiannya diketahui bahwa toksin berhasil dideteksi setelah 3-4

hari setelah produk diinkubasikan pada suhu 20oC. Diketahui bahwa strain jenis A

lebih aktif dibandingkan dengan strain jenis B walaupun demikian diketahui

bahwa strain jenis B lebih sering dijumpai pada produk makanan kaleng. Jadi

jelaslah bahwa bahaya terbesar dari botulismus berasal dari makanan yang

dipersiapkan di rumah dan makanan kaleng rumah sehingga diperlukan

penanganan yang cukup atau diberikan pemanasan yang cukup untuk merusak

spora botulinum (Jay, 1978).

Page 15: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

C. botulinum pada Makanan

Dua hal yang mendasari terbentuknya toksin pada bahan makanan yakni:

Adanya sejumlah C. botulinum yang memperbanyak diri dan selanjutnya

dihasilkan toksin pada bahan makanan yang tercemar. Diketahui bahwa bentuk

sporanya adalah kontaminan yang sangat besar, yang mana akan bersifat toleran

terhadap berbagai situasi dan akan membunuh sel vegetatif yang selanjutnya

menyisakan sel yang dormant (terhenti) untuk periode yang lama sebelum

memperbanyak diri untuk menjadi sel vegetatif apabila kondisinya mendukung

(Cliver, 1990). Lebih jauh dinyatakan bahwa kontaminasi dapat terjadi selama

masa persiapan makanan atau selama penanganan selanjutnya, tetapi yang paling

sering adalah pada saat pemanenan suatu produk. Sehingga tidaklah

mengherankan bahwa kasus keracunan makanan oleh C. botulinum berasal dari

kontaminasi lingkungan dimana kuman C. botulinum sudah sering dijumpai

seperti adanya kontaminasi sayuran dan buah-buahan akibat kontaminasi kuman

jenis A yang berasal dari tanah, kontaminasi jenis E berasal dari lingkungan

perairan (Cliver, 1990).

Keberadaan C. botulinum pada bahan makanan sebenarnya tidak

membahayakan sepanjang kuman tidak menghasilkan toksin. Pertumbuhannya

tergantung pada kecukupan nutrisi yang diperlukannya untuk tumbuh serta

kondisi yang obligate anaerob. Kuman tidak dapat tumbuh pada permukaan suatu

produk yang terpapar oleh udara, tetapi dapat tumbuh di bawah permukaan produk

asalkan tersedianya unsur pokok untuk oksidasi-reduksi, contohnya pada daging

dan ikan. Potensial redok yang lambat pada makanan kaleng dengan kondisi

anaerob akan mengakibatkan toksigenesis yang selanjutnya mengakibatkan

terjadinya botulismus. Adanya kondisi anaerob dapat juga terjadi dengan cara lain

seperti pada saat pengepakan, contohnya pada kasus keracunan kentang dimana

kentang yang tercemar oleh C. botulinum dibungkus dengan aluminium foil untuk

beberapa hari (Cliver, 1990).

Perusakan Spora C. Botulinum Makanan tidak akan mengakibatkan

terjadinya botulismus jika spora dari C. botulinum dirusak sebelum dapat

memperbanyak diri di dalam media biakannya. Cara yang termudah adalah

dengan cara pemanasan produk-produk tertutup (di kaleng) di dalam kontainer

(Cliver, 1990; Pearson dan Dutson, 1986). Untuk menguji makanan terhadap

Page 16: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

kehadiran spora tipe E, pemanasan 80oC cukup untuk merusak semua spora

demikian juga halnya dengan sel vegetatif. Peneliti menemukan bahawa

pemanasan 90oC selama 5 menit cukup membunuh spora tipe E. Kempe dalam Jay

(1978) menemukan bahwa pemanasan spora tipe E pada suhu 70-90oC dapat

mengurangi jumlah mikroorganisme menjadi 0,01% dari populasi awalnya.

Pencegahan Toxigenesis

Keamanan bahan pangan dari botulismus dapat dipersiapkan tanpa pemanasan

yang berlebihan untuk pencegahan perkembangan dari C. botulinum.

Penghambatan disini pada dasarnya secara langsung untuk melawan spora sebagai

kontaminan yang sangat penting. Beberapa peneliti mencoba berbagai perlakuan

untuk menghambat pertumbuhan dan toksin dari kuman seperti dengan cara

memodifikasi atmosfir pada produk English-style Crumpets. Daifas et al., (1999a)

dari hasil penelitiannya diketahui bahwa waktu pembentukan toksin diperpanjang

pada hari ke 4-6 dibandingkan dengan kontrol yaitu rata-rata hari ke 3,4 bila

disimpan pada kondisi penyimpanan tanpa O2 (anaerob). Lebih lanjut Daifas et al.,

(1999b) juga mengamati adanya keterkaiatan antara pH dengan keberadaan CO2,

dimana diketahui bahwa penghambatan pembentukan toksin terbesar pada pH 8,3.

Penelitian lainnya terkait dengan memodifikasi keberadaan CO2 dilakukan oleh

Glass et al., (1999), yang menyatakan bahwa tingkat CO2 yang rendah dapat

mengurangi bahaya kerusakan pada susu yang telah dipasteurisasi. pH asam

sering digunakan untuk mencegah toksigenesis di dalam bahan pangan.

Pembelahan spora grup H dapat dihambat pada pH 5,0 tetapi biasanya baru

dihambat pada pH < 4,6. Umumnya penggunaan dari asam berbeda-beda dalam

keefektipannya. Dalam medium protein dari yang tinggi sampai yang kurang daya

hambatnya berturut-turut yaitu : asam asetat, asam laktat, asam sitrat dan asam

hidroklorik. Produk pangan dengan pH < 4,6 dinamakan sebagai produk pangan

asam tinggi yang dibedakan dengan produk pangan asam rendah dengan pH yang

lebih tinggi. Pada makanan kaleng dengan produk asam rendah akan memerlukan

pemanasan yang lebih tinggi terhadap C. botulinum dibandingkan bahan makanan

dengan produk asam tinggi. Dari beberapa penelitian terlihat bahwa terbentuknya

toksin dapat berasal dari makanan yang diasamkan namun dengan ukuran bagian

yang cukup besar. Hal yang paling penting dari proses toksigenesis pada makanan

dengan asam tinggi adalah adanya proses metabiosis, yakni pertumbuhan dari

organisme sekunder yang akan membentuk kondisi optimal untuk berlangsungnya

Page 17: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

proses toksigenesis, seperti pertumbuhan dari jamur atau bakteri lain yang

menghasilkan produk metabolit yang akan meningkatkan pH. Disamping itu untuk

menghambat pertumbuhan organisme dapat dilakukan dengan penurunan aw

seperti penggunaan garam >10% untuk menghambat strain grup I dan garam > 5%

untuk strain grup II. Disamping itu dapat pula digunakan konsentrasi gula yang

tinggi yaitu sukrose 30%. Pertumbuhan C. botulinum yang baik terjadi pada suhu

20-45oC sehingga untuk menghambat pertumbuhannya dapat dilakukan dengan

memperhatikan suhu penyimpanan yaitu 10oC untuk grup I dan 4-6oC untuk grup

II (Cliver, 1990). Beberapa penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap

pembentukan spora dan toksin dari kuman seperti yang dilakukan Franciosa et al.,

(1999) yang menemukan bahwa toksin C. botulinum pada produk keju dan produk

susu dengan suhu inkubasi 28oC terbentuk pada hari ke 3 dan ke 4.

Penambahan sulfit dengan modifikasi atmosfir untuk menghambat pertumbuhan

dan toksin dari C. botulinum, dilakukan oleh Solomon et al., (1998). Sedangkan

Heinitz dan Johnson (1998) menemukan bahwa pengasapan cukup efektif untuk

menurunkan jumlah kuman, dimana tidak ada C. botulinum yang ditemukan pada

produk ikan yang diasapkan selama 5 tahun penelitiannya. Disebutkan bahwa

tidak ditemukannya pertumbuhan dan produksi toksin C. botulinum karena adanya

penghambatan yang diakibatkan oleh hasil dari kombinasi garam, garam dan

nitrat, asap serta suhu penyimpanan yang rendah (3,3oC).

Alamiah Toksin Botulinal

Adanya toksin botulismus di dalam makanan dapat ditentukan dari

penyuntikan makanan terinfeksi ke dalam mencit secara intraperotonial. Hewan

percobaan (mencit) yang peka biasanya akan mati dalam 12 hari setelah injeksi

tergantung kepada dosis. Toksin botulinal dapat juga dideteksi dengan

menggunakan microcapillary agar-gel diffusion, hemagglutination-inhibition dan

metode elektroimmunodiffusion.

Toksin C. botulinum dibentuk di dalam organisme dan pelepasannya

tergantung pada proses autolisis. Toksin dihasilkan oleh sell yang tumbuh pada

kondisi yang optimal serta sel pada fase istirahat juga pernah dilaporkan. Toksin

botulinal adalah merupakan substansi yang sangat toksik. Hayes (1992)

menyatakan bahwa toksin sangat potensial pada jumlah 1 x 108 atau dalam jumlah

1 gram dapat membunuh 100 juta orang. Dengan pemurnian diketahui bahwa pada

toksin jenis A mengandung 30.000.000 tikus LD 50/mg, dan jika ditumbuhkan

Page 18: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

pada kertas kaca (cellophane) disuspensikan pada media pertumbuhan ditemukan

jumlah yang lebih tinggi yaitu 200.000.000 tikus LD 50/mg. Toksin botulinal

yang pertama kali dimurnikan adalah toksin jenis A, disusul oleh jenis E dan F.

Molekul toksin pada dasarnya dihasilkan oleh biakan toksigenik yang dianggap

sebagai toksin progenitor. Lammana dan Sakaguchi dalam Jay (1978) menyatakan

bahwa toksin progenitor adalah turunan toksin yang segera terbentuk dari toksin

asalnya. Toksin progenitor terdiri dari komponen toksik disertai dengan

komponen atoksik. Kemampuan dari toksin progenitor akan ditingkatkan oleh

pelenyapan komponen atoksik. Berdasarkan atas beberapa pendapat diketahui

bahwa adanya enzym proteolitik yang dihasilkan organisme mengakibatkan

timbulnya sifat toksisitas. Selama organisme bersifat non-proteolitik, toksin

progenitor tidak akan menampakkan aktivitas toksik dan sifat toksik itu akan aktif

ketika organisme menghasilkan enzym tripsin yang oleh DasGupta dan Sugiyama

dalam Jay (1978) dinamakan sebagai struktur protein. Enzym tripsin tidak

memiliki pengaruh terhadap jenis A (biakan proteolitik) tetapi bersifat

meningkatkan biakan non-proteolitik dari jenis B, E, dan F. Menurut laporan

bahwa toksin jenis A memiliki sifat letal yang lebih tinggi dibandingkan dengan

toksin jenis B atau E. Seperti ditunjukkan oleh Sterne dan Van Heyningen dalam

Jay (1978) yang berhasil menenemukan bahwa toksin jenis B memiliki mortalitas

yang lebih rendah dibandingkan jenis A. Hal ini terjadi jika sejumlah besar toksin

ditemukan dalam darah. Cara kerja toksin botulinal pertama kali digambarkan

oleh Dikson and Shevky dalam Jay (1978), yang memperlihatkan adanya

kesamaan tempat aksi dari toksin dengan acetylcholine. Toksin mencegah

pelepasan acetylcholine pada pertemuan myoneural, dimana mekanisme

pelepasannya tidak merusak dirinya sendiri serta tidak memblok perjalanan Ca ke

saraf tepi. Toksin juga mempengaruhi otot polos, pembuluh darah namun

mekanismenya belum diketahui secara pasti. Gejala botulismus sudah nampak

hanya oleh masuknya 1 mg toksin secara parenteral ataupun peroral. Toksin dapat

diserap ke dalam aliran darah, seterusnya ke membran mukosa saluran pernafasan,

demikian juga halnya dengan seluruh dinding perut dan usus. Toksin disini tidak

sepenuhnya diinaktivasi oleh enzym proteolitik perut yang selanjutnya akan

bersifat mengaktivasi toksin non-proteolitik B dan F. Setelah diabsorpsi oleh

saluran pencernaan, toksin dapat ditemukan dalam darah untuk selanjutnya

diserap oleh sistem saraf tepi. Tidak sama halnya dengan enterotoksin dari

Page 19: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

Staphylococcus, toksin botulinal bersifat sensitif terhadap panas, dimana dimana

toksin dapat dirusak dengan suhu 80o C selama 10 menit.

Pencegahan

Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka pencegahan bahaya botulismus

disarankan untuk : memanaskan makanan dengan temperatur yang tinggi

(makanan kaleng) dengan tujuan untuk mematikan spora, mendinginkan makanan

yang tidak dimasak (suhu lebih rendah dari 3,3oC) dan segera mengkonsumsi

makanan yang telah dimasak karena apabila dibiarkan terlalu lama (suhu makanan

20-45oC) adalah suhu optimal untuk pertumbuhan C. botulinum.

d. Staphylococcus aureus

Staphilococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram-positif, berbentuk kokus (diameter 1

mikron), bersifat katalase positif dan anaerob fakultatif. Bakteri ini termasuk mesofil

dengan suhu pertumbuhan berkisar antara 7- 48oC, dan suhu optimum 35 – 40oC.

Nilai ketahanan panasnya adalah D62 20-65 detik dan D72 4.1 detik dalam susu. Nilai

pH optimum adalah 6 – 7, pH minimum 4.0, dan pH maksimum 9.8 – 10. Bakteri ini

memproduksi enterotoksin, serta toleran terhadap garam dan aw rendah. Dapat

tumbuh baik pada 5 – 7% NaCl dan ada yang mampu tumbuh sampai 20% NaCl.

Dapat tumbuh pada aw 0.83 dan pH 20 jam) dan tumbuh lambat. S. aureus segera

terbunuh oleh iradiasi. Enterotoksin sangat tahan terhadap iradiasi gama dan tidak

akan hancur oleh dosis yang umumnya diterapkan pada makanan. Bakteri ini tahan

garam dan tumbuh pada aktivitas air serendah 0.85 (kadar garam 25% w/w).

Gejala keracunan Staphylococcus aureus adalah banyak mengeluarkan ludah,

mual, muntah, kejang perut, diare berdarah dan berlendir, sakit kepala, kejang otot,

berkeringat dingin, lemas, nafas pendek, suhu tubuh dibawah normal. Gejala ini

Page 20: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

berlangsung 1 – 2 hari, jarang terjadi kematian. Rongga hidung manusia khususnya

penderita sinusitis mengandung banyak staphylococci, demikian halnya dengan bisul

dan luka bernanah merupakan sumber potensial. Sapi perah penderita mastitis (infeksi

pada ambing) menularkan staphylococci ke dalam air susu.

Bakteri S. aureus yang telah masuk ke dalam makanan, dapat dimatikan dengan

pemanasan pada waktu dimasak, tetapi toksin yang dihasilkannya hanya dapat terurai

jika dilakukan pemanasan selama beberapa jam, atau dipanaskan pada suhu 115°C

selama 30 menit. Makanan yang dipanaskan pada suhu ini tentu saja akan berubah

teksturnya dan mengalami kerusakan kandungan gizi yang relatif hebat.

e. Listeria monocytogenes

Listeria monocytogenes

Bakteri ini termasuk kelompok Gram positif, batang pendek, tidak membentuk

spora, katalase positif, dan fakultatif anaerobik. Kadang-kadang berbentuk bulat,

panjang 10m. Motil pada suhu 25oC, non-motil pada 35oC. Koloni mempunyai

penampakan abu-abu kebiruan. Terdapat 8 spesies, spesies terpenting penyebab

infeksi manusia adalah Listeria monocytogenes. Sepertiga infeksi manusia adalah

perinatal, melibatkan wanita hamil, bayi dalam kandungan atau baru lahir. Duapertiga

infeksi terjadi pada orang dewasa tidak hamil. Kebanyakan infeksi listeriosis terjadi

pada orang yang daya tahannya menurun karena umur, kondisi seperti kanker,

transplantasi organ, pemakai kortikosteroid, atau AIDS (Acquired Immunity

Deficiency Syndrome). Gejala hanya demam ringan tanpa atau dengan gastroenteritis

atau gejala mirip-flu, tetapi akibatnya pada janin atau bayi baru lahir dapat fatal.

Gejala paling umum adalah septikemia, kadang-kadang disertai meningitis, juga

terlihat luka pada kulit. Kebanyakan listeriosis disebabkan karena infeksi melalui

makanan; tetapi luka pada kulit dapat sebagai penyebar mikroba.

Page 21: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

Batas tumbuh bakteri adalah pada aw 0.92 – 0.93. Tahan hidup 40 hari

penyimpanan pada suhu 25oC dalam hasil laut dengan kadar air rendah (2.0 – 2.35%).

Kisaran pH pertumbuhan bakteri cukup luas yaitu 9.2 (maks) dan terendah 4.6 – 5.0.

Desinfektan yang efektif menghilangkan L. monocytogenes adalah natrium hipoklorit,

yodium, peroksida, amonium kuaterner. Dekontaminasi pada sayuran minimum pada

konsentrasi klorin 200 ppm.

Bakteri dapat hidup baik beberapa minggu pada suhu –18oC dalam berbagai

ragam makanan. Penyimpanan beku (-18 sampai –198oC) selama 1 bulan tidak

banyak mematikan bakteri. Pada ikan dan udang yang dikemas vakum dalam es

selama 21 hari, jumlah bakteri tidak meningkat dan pada –20oC jumlahnya menurun

10 x dalam 3 bulan. Bakteri dapat bertahan hidup dan tumbuh pada suhu –1 – 50oC.

Pemanasan microwave daging ayam sampai 70oC dan pemasakan daging sapi sampai

“medium” cukup mematikan L. monocytogenes. Bakteri tahan terhadap iradiasi

gamma seperti bakteri Gram positif lain dengan nilai D beragam dari 0.34 – 0.5 kGy

dalam broth sampai 0.51 – 1.0 kGy dalam daging cincang. Dosis 3 kGy tidak cukup

menghilangkan bakteri dari daging kemas vakum.

f. Clostridium perfringens

Clostridium-perfringens

Clostridium perfringens adalah bakteri Gram positif, batang anaerobik

(mikroaerofilik) dan non-motil. Spora diproduksi segera dalam usus, memproduksi

kapsul, memfermentasi laktosa, mereduksi nitrat dan -toksin). Gejala

penyakitmempunyai aktivitas lesitinase (aktivitas yang timbul meliputi sakit perut,

mual dan diare akut, 8-24 jam setelah menelan sejumlah besar organisme. Penyakit

berlangsung singkat, sembuh sendiri (self limiting), dan pulih dalam waktu 24-48 jam.

C. perfringens dikelompokkan dalam lima tipe (A - E) sesuai dengan eksotoksin

yang diproduksi; Tipe A, C dan D bersifat patogen untuk manusia. Tipe A dan C

Page 22: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

merupakan penyebab diare akut. Galur-galur tipe A menyebabkan gas gangren,

radang usus besar, demam daerah perifer (tangan dan kaki) dan peradangan

menyeluruh (septikemia). Enterotoksin dari tipe A dan C diproduksi dalam jumlah

yang cukup besar hanya dalam usus. Produksi enterotoksin umumnya diduga

dihasilkan dari lisis sel-sel yang bersporulasi dalam usus. Toksin bersifat labil panas,

inaktif pada 60oC dengan nilai D90 adalah 4 menit. Suhu optimum C. perfringens 43

– 47oC. Pangan yang diberi garam (kiuring) dapat mencegah spora bergerminasi dan

sel-sel vegetatif tidak mampu tumbuh. Nilai pH minimum adalah 5.0; dan pH

optimum 6.0 – 7.5, sedangkan aw minimum adalah 0.95 – 0.97. Spora tahan terhadap

radiasi gama, nilai D sebesar 1,2 – 3,4 kGy bila diiradiasi dalam air. Irradiasi sebelum

pemanasan (0-7kGy) menyebabkan spora lebih peka terhadap pemanasan.

Makanan pembawa adalah daging sapi dan daging ayam masak yang disimpan

pada suhu kamar dengan waktu pendinginan yang lama. Spora bertahan hidup pada

celah-celah dan lubang pada bagian dalam dan terperangkap dalam kondisi anaerobik

di dalam gulungan daging. Spora bergerminasi setelah ada kejutan panas untuk

aktivasi. Sayuran dan ikan merupakan makanan pembawa. Makanan lain yang

mungkin terkontaminasi adalah unggas, ikan, sayuran, produk susu, makanan kering,

sup, gravies, rempah-rempah, gelatin, spageti, pasta, tepung, protein kedele, roti, cake,

meat pies serta daging sapi dan unggas masak. Sejumlah besar sel-sel vegetatif harus

tertelan agar sel-sel tetap hidup setelah melalui daerah asam dalam perut.

Tindakan pengendalian yang efektif adalah dengan pendinginan relatif cepat

melalui kisaran 55 – 15oC dan pemanasan kembali produk pada suhu di atas 70oC

segera sebelum konsumsi. Setelah pemanasan, produk harus didinginkan dari 55

sampai 15oC secepat mungkin. Sebagai pedoman, peraturan di Amerika Serikat

mensyaratkan suhu internal produk tidak berada diantara 54.4oC dan 26.7oC selama

lebih dari 1.5 jam atau antara 26.7 dan 4.4oC selama lebih dari 5 jam. Bila daging

dimasak, pendinginan harus dimulai dalam waktu 90 menit pada akhir siklus

pemasakan dan produk harus didinginkan dari 48oC sampai 12.7oC dalam waktu

kurang dari 6 jam. Pendinginan harus dilanjutkan untuk transportasi sampai mencapai

suhu 4.4ºC.

Page 23: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

g. Campylobacter jejuni

Campilobacter-jejuni

Bakteri bersifat obligat mikroaerofilik (optimum pada 5% O2), Gram-negatif,

sel-sel berbentuk spiral dan motil. Bersifat oksidase positif, katalase positif, dan nilai

pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6,5 – 7,5. Adanya oksigen akan

meningkatkan kematian. Menyebabkan aborsi, infertilitas, penyebab enteritis dan

bakteremia akut pada manusia. Bakteri mempunyai antigen O yang stabil panas.

Terdapat 3 spesies Campylobacter yaitu C. jejuni, C.coli,C.laridis. Gejala yang

ditimbulkan adalah sakit perut, demam (kadang-kadang > 40ºC), dan diare, kadang-

kadang diikuti muntah-muntah, diare berair, kadang-kadang berdarah. Pada gejala

mirip disentri, darah segar, mukus dan leukosit ditemukan pada tinja. Periode inkubasi

sekitar 2 – 7 hari dan penyakit biasanya berlangsung pada periode yang sama. Diare

umumnya bersifat self-limiting (sembuh tanpa pengobatan). Organisme dikeluarkan

dalam feses (tinja) selama beberapa minggu. Kotoran ternak merupakan sumber

kontaminasi selama pemerahan. Sumber kontaminasi lain adalah infeksi puting susu

oleh 104 C. jejuni/ml susu. Konsumsi unggas yang kurang masak merupakan

penyebab keracunan. Karkas daging sapi umumnya lebih sedikit terkontaminasi.

Mikroba ini peka terhadap udara, pengeringan dan panas.

C. jejuni peka terhadap panas dengan nilai D dalam susu skim, pada suhu 48oC

adalah 7,2 – 12,8 menit, pada suhu 55oC adalah 0,6 – 2,3 menit, tidak tahan terhadap

suhu pemasakan atau pasteurisasi. Pemasakan daging giling yang mengandung 106 oC. jejuni/g dengan suhu internal 60oC selama 10 menit, bakteri sudah tidak terdeteksi.

Nilai D pada suhu 60oC pada daging adalah kurang dari 1. Secara umum, bakteri ini

tahan hidup dalam makanan yang disimpan dingin, tetapi sangat rentan terhadap

Page 24: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

pembekuan. C. jejuni dapat hidup sampai 4 minggu dalam air sungai pada suhu 4oC.

Air yang tidak diklorinasi atau air mentah merupakan penyebab kampilobakter

enteritis pada manusia. Bakteri bersifat peka terhadap NaCl, dimana 2% NaCl pada

suhu 42oC sudah bersifat bakterisidal. C. jejuni umumnya peka terhadap pengeringan

dan penyimpanan suhu kamar. Destruksi oleh klorin 38 – 95% sel masih mampu

membentuk koloni pada agar darah dan pada pH 6 lebih efektif daripada pH 8.

Klorinasi yang tepat pada air minum merupakan CCP (titik kendali kritis) dalam

mencegah infeksi oleh Campylobakter asal air. Pasteurisasi ditetapkan sebagai CCP

dalam mencegah infeksi pada manusia melalui susu. Pemasakan pada suhu 55-60oC

dapat menghancurkan Campylobacter.

h. Yersinia enterocolitica

Yersinia enterocolitica

Yersinia enterocolitica termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Spesies

patogen terhadap manusia dan hewan adalah Y. pestis; Y. pseudotuberculosis; Y.

enterocolitica. Bakteri bersifat Gram negatif, m) dalamfakultatif anaerobik, bentuk

batang (1 – 3,5 x 0.5 – 1.3 kultur muda (25oC) memproduksi sel-sel oval atau kokoid

(coccoid). Suhu optimum pertumbuhan bakteri adalah 32 - 34oC, pada suhu 37oC

memerlukan nutrisi, 3 dari 4 jenis asam amino berikut yaitu asam glutamat, thiamin,

sistin, dan pantotenat. Pertumbuhan lebih baik bila ditambah asam amino bersulfur

(metionin atau sistein), dan ditambah thiamin. Bakteri toleran terhadap pH tinggi,

garam-garam empedu, dan surfaktan. Tahan pembekuan (dalam makanan beku), -16

sampai –17oC. Mati dengan pasteurisasi, nilai D pada suhu 62,8oC adalah 0.24 – 0.96

menit. Bakteri ini bisa menyebabkan penyakit yersiniosis yaitu infeksi enteritis,

dangastrointestinal dengan gangguan-gangguan seperti ileitis terminal, serta dikenal

sebagai penyakit “usus buntu semu” (pseudoappendicitis), limfadenitis mesenterik.

Page 25: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

Gejala-gejala penyakit meliputi demam, sakit perut, diare, mual, muntah yang akan

pulih dengan sendirinya.Kebanyakan yersiniosis pada manusia melibatkan 4 serotipe

yaitu O:3; O:5,27; O:8; dan O:9. Virulensi dikaitkan dengan adanya plasmid. Adhesi

dan invasi tidak tergantung pada adanya plasmid, tetapi kemampuan untuk tetap hidup

dan berkembang biak tergantung plasmid.

Y. pseudotuberculosis menyebabkan tuberkulosis semu (pseudotuberculosis) dan

limfadenitis mesenterik pada pasien yang didiagnosa sebagai radang usus buntu. Sifat

serologis bakteri mempunyai antigen somatik O yang tahan panas. Dikelompokkan

menjadi Grup I (manusia dan hewan) sampai grup VI. Gejala penyakit mirip tifus,

pada penderita hepatik dapat berakibat fatal. Gejala meliputi demam, sakit perut,

anoreksia, mual, muntah, jarang diare. Pada susu pasteurisasi bila terjadi kontaminasi

pasca pasteurisasi, kultur dapat tetap hidup paling sedikit 20 hari pada bagian luar

karton susu pada suhu 4oC. Bakteri umumnya hancur selama proses pemanasan

makanan. Bakteri peka terhadap iradiasi, toleransi terhadap garam sedang

IV. Penutup

Makanan yang aman dan sehat saat ini sudah merupakan kebutuhan umat

manusia. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan

masyarakat, maka keamanan pangan merupakan suatu tuntutan yang perlu

mendapatkan perhatian. Keamanan pangan diperlukan untuk memperoleh pangan

yang aman, sehat, utuh, halal dan bergizi. Kasus pencemaran makanan akhir-akhir ini

ramai diberitakan di media massa. Banyak industri-industri jasa boga maupun

industri-industri makanan lainnya yang belum memperhatikan penanganan bahan

baku maupun pengolahan pangan yang baik dan benar.

Hal ini terbukti dengan masih ditemukannya cemaran mikroba patogen pada

bahan baku yang maupun produk olahan yang dihasilkan. Adanya cemaran mikroba

patogen seperti S. aureus, Enterobacter sakazakii dan E. coli dalam makanan yang

berasal dari ternak, antara dijumpai pada beberapa produk olahan susu dan unggas.

Tingkat cemaran mikroba tersebut dapat didekontaminasi pada saat melakukan

tahapan proses pengolahan yang tepat. Cara-cara penanganan bahan baku dan

pengolahan yang baik dan benar merupakan kunci pokok agar pangan yang dihasilkan

dapat aman, sehat, utuh dan halal.

Page 26: Jenis Mikroba Yang Mencemari Susu Olahan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Makanan Aman dan Bergizi. http://keamananpangan.blogspot.com (diakses

pada tanggal 27 Maret 2009)

Anonim. 2009. Susu Formula Tercemar sudah ditarik. http://smk3ae.wordpress.com (diakses

pada tanggal 27 Maret 2009)

Adams, M. and Y. Motarjemi. 1999. Basic Food Safety for Health Workers. World Health

Organization of the United Nations. Rome.

HADIWIYOTO, S., 1983. Hasil-hasil Olahan Susu,Ikan, Daging dan Telur. Liberty,

Yogyakarta,151 hal.

Lampert, C.M. 1980. Modern Dairy Product. New York Publishing, Co. Inc, p.234−255.

Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2nd edition,

Academic Press, Inc., San Diego.

RIEMANN, H. and F.L. BRYAN, 1979. Food-born Infections and Intoxocations. cademic

Press, Inc., London, 748 hal.

Thahir, R., S.J. Munarso, dan S. Usmiati. 2005. Review hasil-hasil penelitian keamanan

pangan produk peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk

Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Bogor. hlm. 18−26.

Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar. S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5.

Penerbit Erlangga, Jakarta.

WIBOWO, W., 1989. Pemantauan Bakteri Susu Kotak Pada Berbagai Umur Simpan. Skripsi

S1, Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, FTP, UGM, Yogyakarta, 87 hal.