jejak petjinan kenali budaya yang kian terkikis fileselain melestarikan budaya, komunitas ini juga...

1
CHRISTINE FRANCISKA S EBAGAI keturunan Tionghoa, Paulina Ma- yasari kerap jengkel jika bertanya tentang makna budayanya kepada orangtua. Mereka yang diang- gap lebih mengerti tentang itu malah tak bisa menjelaskan dan meneruskan tradisi ke- pada generasi muda di bawah- nya. Hal itu juga kerap dialami Debby Ariyani. Sebagai war- ga keturunan, ia merasakan kesenjangan budaya yang be- sar dengan orang-orang tua di keluarga. “Contoh nyata ada- lah penggunaan bahasa. Gene- rasi yang lahir era 70-an ke atas tidak mengajarkan bahasa Mandarin kepada anak-anak. Begitu juga dengan pemberian nama, kita sudah tidak lagi pakai marga,” kata Debby. Mereka menyadari bahwa kesenjangan ini tak datang begitu saja karena keacuhan. Pemerintahan era Orde Baru yang menekan etnik Tiong- hoa juga punya andil besar dalam permasalahan ini. Bu- daya Tionghoa yang terpasung membuat generasi muda hidup jauh dari akar tradisi. Sebuah kejutan yang me- nyakitkan lantas datang ketika tragedi Mei 1998. Maya, be- gitu panggilan akrab Paulina, sempat tak habis pikir kenapa keturunan Tionghoa masih saja diperlakukan tak adil. Ia bah- kan sempat ingin berpindah kewarganegaraan dan pergi dari Indonesia. “Tapi lama-kelamaan saya mulai sadar bahwa di negara lain pun para pendatang se- lalu mengalami diskriminasi dan ketidakadilan macam ini. Saya juga mendengar banyak cerita dari teman yang pernah sekolah dan tinggal di luar negeri. Semuanya tergantung pada dirinya sendiri, apakah mau diam saja atau melaku- kan sesuatu untuk mengubah keadaan,” jelasnya. Karena itu, Maya memutus- kan tidak lari dari persoalan. “Jadi saya putuskan untuk melakukan sesuatu dan komu- nitas Jejak Petjinan ini menjadi awalnya,” kata Maya. “Sudah saatnya kita harus mencoba untuk mengubah keadaan. Kita tak bisa terus-menerus menyalahkan pihak lain atau berharap terus pada penguasa. Sekecil apa pun usaha kita, pa- ling tidak kita sudah berusaha dan membuat hidup kita ber- guna bagi sesama.” Jejak Petjinan yang dila- hirkan di Surabaya pada 27 Desember 2009 ini merupakan sebuah wadah untuk melesta- rikan kembali budaya Tiong- hoa yang kian terkikis. Selain melestarikan budaya, komunitas ini juga ingin meng- ingatkan bahwa masyarakat Tionghoa juga bagian dari bangsa Indonesia yang maje- muk. Gerakannya tak hanya untuk masyarakat Surabaya saja, tapi juga dimaksudkan se- bagai gerakan yang universal. Dengan invasi budaya Barat, pelestarian budaya juga dinilai kian penting. Globalisasi yang terjadi saat ini akan membuat batas-batas negara menjadi kabur. Cepat atau lambat se- galanya terlihat sama. Semua orang nanti mungkin tidak bisa membedakan ketika ber- ada di Surabaya atau Penang karena semuanya sama. “Semua kota menjadi mo- dern. Dengan arus globalisasi yang kian hebat, kita mungkin sudah tak tahu lagi di mana bisa berpijak. Karena itulah kita perlu mencari dan mema- hami identitas kita dan setelah itu lalu mencoba memperta- hankannya,” jelas Maya. Belajar lagi Untuk menjalankan misi ter- sebut, Jejak Petjinan memiliki berbagai program. Utamanya adalah kegiatan Melantjong Petjinan Soerabaia yang meng- ajak anggota berkunjung ke lokasi budaya dan mempe- lajari kembali tradisi yang terkikis. Maya ingat betul salah satu pengalaman melancong de- ngan tema Ceng Beng. Karena dalam penelusuran jejak, mereka sampai berkun- jung ke lokasi-lokasi di luar pecinaan dan tempat-tempat yang kurang umum seba- gai tempat wisata, seperti kuburan, usaha peti mati, usaha bongpay , dan rumah persemayaman. Selain pelancongan, ada pula Cangkrukan bareng Jejak Petjinan yang menjadi ajang jalan-jalan ke mana saja, se- perti nonton pameran atau sekadar ngumpul . Lalu ada Kumkum Jejak Petjinan, acara gathering yang disisipi seminar, bedah buku, atau pameran. Debby Ariyani yang kemu- dian bergabung sebagai ang- gota dan pengurus komunitas mengaku belajar banyak dari kegiatan-kegiatan pelancong- an. “Saya berkesempatan un- tuk bertemu dengan banyak o- rang tua Tionghoa yang sangat mencintai tanah air Indonesia. Saya juga belajar bagaimana harus menghargai orang tua dan mengerti bagaimana kes- enjangan komunikasi bisa terjadi antara orang-orang tua dan generasi muda,” jelasnya. Untuk semua Walau fokus pada budaya Tionghoa, peserta yang ikut tak terbatas pada keturunan Tionghoa saja. Andy Suryo- no, misal, yang berasal dari keturunan Jawa-Belanda, aktif berkegiatan di komu- nitas ini. Ia mengaku memang memi- liki ketertarikan tentang segala hal yang berkaitan dengan bu- daya Tionghoa. Bahkan, Andy yang pernah ikut kelas bahasa Mandarin ini akhirnya menjadi pengurus di Jejak Petjinan. “Saya ingin mempelajari, memahami, dan mengurangi kesenjangan serta menjem- batani antara keturunan Tiong- hoa dan yang bukan. Terlebih lagi ada stigma yang kurang baik tentang orang keturunan Tionghoa,” katanya. Menurut Andy, budaya Tion- ghoa merupakan sebuah bu- daya yang hilang, karena kebe- basan berbudaya ditekan pada masa Orde Baru. Inilah yang menyebabkan generasi muda memiliki kesenjangan budaya yang besar jika dibandingkan dengan generasi yang tua. Andy berharap masyara- kat Indonesia sadar bahwa keturunan Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. “Saya ingin lebih banyak dari kalangan Tionghoa bekerja di banyak bidang, tidak melulu di perdagangan. Lagi pula, ba- nyak hal yang bisa dipelajari dan diserap dari nilai-nilai bu- daya Tionghoa,” ujarnya. “Ka- lau tidak kita, siapa lagi yang akan menjalankan. Bagi saya, suatu bangsa yang besar se- perti Indonesia haruslah punya budaya yang bisa dibanggakan, yang mencerminkan kemaje- mukan suku-suku bangsa di dalamnya. Sementara itu, Debby ber- harap ke depan, etnik Tionghoa tidak lagi dianggap pendatang dan diakui sebagai bagian dari sejarah panjang bangsa Indo- nesia. “Kita bisa dihargai sebagai- mana suku-suku lain di Indone- sia dan dihargai sebagai bagian bangsa Indonesia yang Bhinne- ka Tunggal Ika. Sehingga nanti- nya tak ada lagi kesenjangan, juga tidak terulang kembali kerusuhan seperti peristiwa Mei 1998 lalu. Karena saya yakin, bangsa ini bisa bersatu padu menjadi bangsa yang kuat dan besar.” (M-6) [email protected] Tak ingin kehilangan identitas, komunitas ini berusaha mengenal kembali dan mempertahankan budaya Tionghoa yang sempat terpasung. Jejak Petjinan Kenali Budaya yang kian Terkikis JUMAT, 9 DESEMBER 2011 21 P OP KOMUNITAS MELANTJONG: Foto bersama seluruh peserta Melantjong Petjinan Madoera, beberapa waktu lalu. DOK. JEJAK PETJINAN

Upload: lethuy

Post on 11-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jejak Petjinan Kenali Budaya yang kian Terkikis fileSelain melestarikan budaya, komunitas ini juga ingin meng-ingatkan bahwa masyarakat Tionghoa juga bagian dari bangsa Indonesia yang

CHRISTINE FRANCISKA

SEBAGAI keturunan Tionghoa, Paulina Ma-yasari kerap jengkel jika bertanya tentang

makna budayanya kepada orangtua. Mereka yang diang-gap lebih mengerti tentang itu malah tak bisa menjelaskan dan meneruskan tradisi ke-pada generasi muda di bawah-nya.

Hal itu juga kerap dialami Debby Ariyani. Sebagai war-ga keturunan, ia merasakan kesen jangan budaya yang be-sar dengan orang-orang tua di keluarga. “Contoh nyata ada-lah penggunaan bahasa. Gene-rasi yang lahir era 70-an ke atas tidak mengajarkan bahasa Mandarin kepada anak-anak. Begitu juga dengan pemberian nama, kita sudah tidak lagi pakai marga,” kata Debby.

Mereka menyadari bahwa kesenjangan ini tak datang begitu saja karena keacuhan. Pemerintahan era Orde Baru yang menekan etnik Tiong-hoa juga punya andil besar dalam permasalahan ini. Bu-daya Tiong hoa yang terpasung membuat generasi muda hidup jauh dari akar tradisi.

Sebuah kejutan yang me-nyakitkan lantas datang ketika tragedi Mei 1998. Maya, be-gitu panggilan akrab Paulina, sempat tak habis pikir kenapa

keturunan Tionghoa masih saja diperlakukan tak adil. Ia bah-kan sempat ingin berpindah kewarganegaraan dan pergi dari Indonesia.

“Tapi lama-kelamaan saya mulai sadar bahwa di negara lain pun para pendatang se-lalu mengalami diskriminasi dan ketidakadilan macam ini. Saya juga mendengar banyak cerita dari teman yang pernah sekolah dan tinggal di luar negeri. Semuanya tergantung pada dirinya sendiri, apakah mau diam saja atau melaku-kan sesuatu untuk mengubah keadaan,” jelasnya.

Karena itu, Maya memutus-kan tidak lari dari persoalan. “Jadi saya putuskan untuk melakukan sesuatu dan komu-nitas Jejak Petjinan ini menjadi awalnya,” kata Maya. “Sudah saatnya kita harus mencoba untuk mengubah keadaan. Kita tak bisa terus-menerus menyalahkan pihak lain atau berharap terus pada penguasa. Sekecil apa pun usaha kita, pa-ling tidak kita sudah berusaha dan membuat hidup kita ber-guna bagi sesama.”

Jejak Petjinan yang dila-hirkan di Surabaya pada 27 Desember 2009 ini merupakan sebuah wadah untuk melesta-rikan kembali budaya Tiong-hoa yang kian terkikis.

Selain melestarikan budaya, komunitas ini juga ingin meng-

ingatkan bahwa masyarakat Tionghoa juga bagian dari bangsa Indonesia yang maje-muk. Gerakannya tak hanya untuk masyarakat Surabaya saja, tapi juga dimaksudkan se-bagai gerakan yang universal.

Dengan invasi budaya Barat, pelestarian budaya juga dinilai kian penting. Globalisasi yang terjadi saat ini akan membuat batas-batas negara menjadi kabur. Cepat atau lambat se-galanya terlihat sama. Semua orang nanti mungkin tidak bisa membedakan ketika ber-ada di Surabaya atau Penang

karena semuanya sama.“Semua kota menjadi mo-

dern. Dengan arus globalisasi yang kian hebat, kita mungkin sudah tak tahu lagi di mana bisa berpijak. Karena itulah kita perlu mencari dan mema-hami identitas kita dan setelah itu lalu mencoba memperta-hankannya,” jelas Maya.

Belajar lagiUntuk menjalankan misi ter-

sebut, Jejak Petjinan memiliki berbagai program. Utamanya adalah kegiatan Melantjong Petjinan Soerabaia yang meng-

ajak anggota berkunjung ke lokasi budaya dan mempe-lajari kembali tradisi yang terkikis.

Maya ingat betul salah satu pengalaman melancong de-ngan tema Ceng Beng.

Karena dalam penelusuran jejak, mereka sampai berkun-jung ke lokasi-lokasi di luar pecinaan dan tempat-tempat yang kurang umum seba-gai tempat wisata, seperti kuburan, usaha peti mati, usaha bongpay, dan rumah persemayaman.

Selain pelancongan, ada

pula Cangkrukan bareng Jejak Petjinan yang menjadi ajang jalan-jalan ke mana saja, se-perti nonton pameran atau sekadar ngumpul. Lalu ada Kumkum Jejak Petjinan, acara gathering yang disisipi seminar, bedah buku, atau pameran.

Debby Ariyani yang kemu-dian bergabung sebagai ang-gota dan pengurus komunitas mengaku belajar banyak dari kegiatan-kegiatan pelancong-an. “Saya berkesempatan un-tuk bertemu dengan banyak o-rang tua Tionghoa yang sangat mencintai tanah air Indonesia. Saya juga belajar bagaimana harus menghargai orang tua dan mengerti bagaimana kes-enjangan komunikasi bisa terjadi antara orang-orang tua dan generasi muda,” jelasnya.

Untuk semuaWalau fokus pada budaya

Tionghoa, peserta yang ikut tak terbatas pada keturunan Tionghoa saja. Andy Suryo-no, misal, yang berasal dari keturunan Jawa-Belanda, aktif berkegiatan di komu-nitas ini.

Ia mengaku memang memi-liki ketertarikan tentang segala hal yang berkaitan dengan bu-daya Tionghoa. Bahkan, Andy yang pernah ikut kelas bahasa Mandarin ini akhirnya menjadi pengurus di Jejak Petjinan.

“Saya ingin mempelajari, memahami, dan mengurangi kesenjangan serta menjem-batani antara keturunan Tiong-hoa dan yang bukan. Terlebih lagi ada stigma yang kurang baik tentang orang keturunan Tionghoa,” katanya.

Menurut Andy, budaya Tion-ghoa merupakan sebuah bu-daya yang hilang, karena kebe-basan berbudaya ditekan pada masa Orde Baru. Inilah yang menyebabkan generasi muda memiliki kesenjangan budaya yang besar jika dibandingkan dengan generasi yang tua.

Andy berharap masyara-kat Indonesia sadar bahwa keturunan Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia. “Saya ingin lebih banyak dari kalangan Tionghoa bekerja di banyak bidang, tidak melulu di perdagangan. Lagi pula, ba-nyak hal yang bisa dipelajari dan diserap dari nilai-nilai bu-daya Tiong hoa,” ujarnya. “Ka-lau tidak kita, siapa lagi yang akan menjalankan. Bagi saya, suatu bangsa yang besar se-perti Indonesia haruslah punya budaya yang bisa dibanggakan, yang mencerminkan kemaje-mukan suku-suku bangsa di dalamnya.

Sementara itu, Debby ber-harap ke depan, etnik Tionghoa tidak lagi dianggap pendatang dan diakui sebagai bagian dari sejarah panjang bangsa Indo-nesia.

“Kita bisa dihargai sebagai-mana suku-suku lain di Indone-sia dan dihargai sebagai bagian bangsa Indonesia yang Bhinne-ka Tunggal Ika. Sehingga nanti-nya tak ada lagi kesenjang an, juga tidak ter ulang kembali kerusuhan seperti peristiwa Mei 1998 lalu. Karena saya yakin, bangsa ini bisa bersatu padu menjadi bangsa yang kuat dan besar.” (M-6)

[email protected]

Tak ingin kehilangan identitas, komunitas ini berusaha mengenal kembali dan mempertahankan budaya Tionghoa yang sempat terpasung.

J e j a k P e t j i n a n

Kenali Budaya yang kian Terkikis

JUMAT, 9 DESEMBER 2011 21POP KOMUNITAS

MELANTJONG: Foto bersama seluruh peserta Melantjong Petjinan Madoera, beberapa waktu lalu.DOK. JEJAK PETJINAN