jejak langkah bersama biocita tampil
TRANSCRIPT
Jejak Langkah Bersama KPA Biocita
Formica
Mengungkap pesona eksotis kearifan
lokal masyarakat tradisional
Penerapan Etnopedagogi di Lingkungan Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten
BARA CAKRAWALAPresented by
NPA 108 BC
NPA 109 BC
NPA 110 BC
Kawasan konservasi
Suku Baduy di Banten memiliki
peraturan, tata dan nilai yang sangat
erat.
Penerapan Etnopedagogi
Latar Belakang
•Mendapat
informasi tentang cara-cara mewariskan prinsip pengelolaan lingkungan, keadaan sosial budaya dan tingkat pendidikan dalam masyarakat Baduy.
•Memperluas wawasan dan pengetahuan mengenai etnopedagogi di masyarakat Baduy
•Meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan
Tujuan•Bagaimana
pendidikan nilai sosial budaya masyarakat Baduy diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya?
•Bagaimana pengaruh penerapan etnopedagogi dalam kehidupan masyarakat Baduy?
Rumusan Masalah
•memberikan contoh sejauh apa penerapan etnopedagogi di lingkungan masyarakat Baduy sehingga dapat menumbuhkan kesadaran pembaca akan pentingnya menjaga wawasan tradisional.
Manfaat
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah survey eksploratif.
Dalam kamus disebutkan pengertian survey, yaitu tindakan
mengukur atau memperkirakan. Namun dalam penelitian survey
lebih berarti sebagai suatu cara melakukan pengamatan di mana
indikator mengenai variabel adalah jawaban-jawaban terhadap
pertanyaan yang diberikan kepada responden baik secara lisan
maupun tertulis. Dalam cara ini tim membuat kuisioner yang
diajukan kepada informant atau warga masyarakat setempat.
Tempat
Penelitian
•Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Waktu Penelitian
•Pengambilan data dilapangan dilaksanakan selama 4 hari. Dimulai dari tanggal 25-29 Juni 2010.
Tempat dan Waktu Penelitian
Tinjauan PustakaEtnopedagogi
Etnopedagogi
ethno “terkait budaya”
pedagogi “seni, sains dan
profesi mengajar”
Konservasi
Konservas “Conservation
”
con (together)
servare (keep/save) mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have)
Suku baduy terletak di wilayah Kanekes secara
geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT. Tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Di Baduy terdapat 53 kampung, diantaranya 50 Baduy luar dan 3 Baduy dalam.
Di Baduy terdapat kurang lebih 3000 kepala keluarga, dengan sekitar 11.000 penduduk.
Suku Baduy
Hasil Penelitian
Masyarakat Kanekes
Tangtu Panamping Dangka
Baduy Dalam paling
ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang
tinggal di tiga
kampung: Cibeo,
Cikartawana, dan
Cikeusik).
Baduy Luar, yang
tinggal di berbagai
kampung yang
tersebar mengelilingi
wilayah Baduy
Dalam, seperti
Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh,
Cisagu, dsb.
Baduy Dangka tinggal
di luar wilayah
Kanekes, dan pada
saat ini tinggal 2
kampung yang
tersisa, yaitu
Padawaras, dan
Sirahdayeuh.
Berfungsi sebagai
semacam buffer zone
atas pengaruh dari
luar
TangtuPanamping
Perbedaan Baduy Dalam Baduy Luar
Jumlah desa 3 50
Pemukiman Terbuat dari bambu tanpa menggunakan
material lain yang bukan dari alam
Terbuat dari bambu namun telah mrnggunakan
material tambahan seperti paku
Peralatan Rumah Tangga
Hanya terdapat beberapa alat bantu terbuat dari logam
dan kayu.
Peralatan rumah tangga sudah lengkap dan berasal dari luar.
Pakaian Berwarna putih Hitam
Hubungan dengan Dunia Luar
Hanya warga Indonesia yang dapat
masuk, dan hanya boleh menginap sehari semalam.
Akses telah lebih terbuka, warga asing
boleh masuk.
Teknologi Tidak ada Sudah masuk seperti listrik, HP, radio, dll
Kepercayaan
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang
Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal,
salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek
moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,
Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita)
untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut
sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada
arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu,
dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut
dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut
adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak
bisa/tidak boleh disambung)
Penanggalan
Kampung Baduy memiliki bulan-bulannya sendiri, seperti :1. Sapar → Hajatan2. Kalima3. Kaenem → 27 juni=16 kaenem4. Kapitu5. Kadalapan → Nanem (Main angklung, mulai
nanem)6. Kasalapan7. Kasapuluh8. Hapitlemah9. Hapitkayu10.Kasa11.Karo KAWALU (Panen)12.Katiga
Di kampung Baduy memiliki tradisi di mana, bulan
Sapar merupakan bulan untuk hajatan, sehingga apabila
masyarakat Baduy ingin melakukan pernikahan harus pada
bulan Sapar tidak boleh bulan yang lain.
Adapun bulan saatnya bertanam padi yaitu pada bulan
Kadalapan. Biasanya saat akan memulai nanem akan diiringi
dengan permainan angklung.
Selain itu, di kampung Baduy ada saatnya orang-orang
luar atau pengunjung di larang memasuki kawasan Baduy
Dalam yaitu pada bulan Kasa, Kaso, dan Katiga. Bulan-bulan
itu merupakan saatnya perayaan Kawalu yaitu saatnya
panen.
Pemerintahan
Hukum NKRI Hukum Adat
Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat.
Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat.
diakulturasi
Pendidikan
Masyarakat Baduy menurunkan wawasan tradisional
mereka dengan cara mengajarkannya langsung dari orang
tua kepada anak secara lisan. Anak-anak dari Suku Baduy
tidak mengenyam pendidikan formal seperti sekolah
dasar, mereka hanya mendapatkan pendidikan dari orang
tuanya masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa
setiap orang tua bertanggung jawab dalam
mendidik anak mereka masing-masing.
Kepintaran (ilmu) yang didapat dari pendidikan formal hanya akan digunakan untuk membodohi (menipu) saudara mereka sendiri. Kepintaran yang mereka percayai datang dari hati dan pikiran yang diberikan oleh Sang Pencipta bukan dari pendidikan formal.
Ketika anak-anak Baduy mencapai umur 10 tahun, mereka mendapat pendidikan dari luar keluarganya. Anak-anak ini dikumpulkan dengan anak-anak lain seusianya dan mendapatkan pengajaran tentang budaya dan kearifan masyarakat mereka dari seorang Jaro di desanya.
Nilai Kearifan yang Sarat Akan Usaha Pemeliharaan
SDA
Suku Baduy membagi hutan ke dalam 2 jenis yaitu hutan lindung dan hutan produksi. Hutan lindung dikenal juga sebagai hutan terlarang dimana tidak boleh dimasuki oleh sembarangan orang dan tidak diiizinkan untuk menebang pohon disana.
TINAKARTA
Lahan Produksi
Lahan Pemukiman
Lahan Konservasi
Dalam kehidupan sehari-hari yang lebih sederhanapun
nilai-nilai kelestarian alam dilaksanakan seperti tidak
menggunakan sabun saat mandi maupun mencuci. Sebaliknya
mereka memanfaatkan hal yang ada di alam untuk
menggantikannya seperti menggunakan abu dari sabut kelapa
yang telah dibakar sebagai pengganti sampo.
Selain itu, mereka dilarang memutus aliran air sungai
sehingga dalam berladang mereka tidak menggunakan sistem
irigasi dari sungai. Sistem yang mereka gunakan adalah
pertanian kering yang mengandalkan air hujan atau kita kenal
sebagai huma. Mereka juga tidak menyimpan persediaan air
dalam rumah, mereka hanya mengambil air pada saat
dibutuhkan. Mereka mengambil air dengan menggunakan
suatu alat dari bambu bernama kele.
Masyarakat Baduy
Dalam pembangunan rumah mereka misalnya, mereka menggunakan bahan utama pohon bambu dan pembuatan rumah tanpa menggunakan paku (pada masyrakat Baduy Dalam). Bambu dipilih karena jumlahnya yang sangat melimpah di alam, sehingga penggunaanya tidak akan mengganggu kelestarian jenis tumbuhan di alam.
Masyarakan Baduy tidak menggunakan barang-barang dari luar yang dapat menimbulkan permasalahan sampah khususnya bagi masyarakat Baduy Dalam. Mereka hanya menggunakan benda-benda yang berbahan logam
Dalam 1 hari mereka mampu membangun 3 rumah. Dalam 3 hari mereka mampu membuat satu jembatan. Hal ini dapat dilakukan karena gotong royong yang masih sangat tinggi.
Masyarakat Baduy sangat pandai dalam ilmu perbintangan dan biologi.
Pelanggaran
Adat istiadat yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari
tidak boleh dilanggar. Apabila terjadi pelanggaran maka
mereka dapat menerima hukuman. Hukuman diberikan
dapat berupa hukuman ringan, sedang dan berat.
Simpulan
Masyarakat Baduy tidak menganut sistem pendidikan
formal mengajarkan pendidikan untuk generasi
selanjutnya dilakukan secara lisan dalam pantauan orang tua dan hukum adat yang
berlaku.
Tidak mendapatkan pendidikan formal,
kesadaran mereka akan pentingnya kelestarian
sumber daya alam dalam memenuhi kebutuhan hidup
mereka sangatlah besar, dilihat dari bagaimana
mereka membagi hutan dan ladang secara konsisten dan
seimbang. Pembagian tugas antara kedua orangtua yang jelas
serta pengawasan para tetua adat pun menjadi salah satu faktor utama dalam melestarikan adat
istiadat masyarakat Baduy secara turun temurun.
Apabila pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah
dipancing dan tetesan air terakhir telah terpakai saat itulah kita sadar apa yang sebenarnya kita harus jaga karena uang tak lagi bisa
memenuhi kebutuhan kita.