jebakan kebijaksanaan; serial diskusi masalah kesehatan

140

Upload: pusat-humaniora-kebijakan-kesehatan-pemberdayaan-masyarakat

Post on 03-Jan-2016

168 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Dalam sebuah 'kebijakan' misalnya, rasa toleransi dan permisif. ini terwujud dalam sebuah 'kebijaksanaan'.Kebijakan yang seharusnya merupakan sebuah ketetapan menjadi rancu dengan adanya 'kebijaksanaan'...Kita bahkan sangat mahfum dengan kalimat..."Saya tau pak aturannya memang begitu, tapi saya mohon kebijaksanaan dari bapak..."Sungguh sebuah jebakan...Dua kata tersebut keliatannya emang mirip, bahkan dalam beberapa kesempatan pakar tata negara kita sering keliru memakai keduanya.'Kebijakan' dalam Bahasa Inggris berasal dari kata 'policy', sedang kebijaksanaan berasal dari kata 'wisdom'. Wisdom lebih cenderung dan lebih tepat mengarah pada seseorang atau melekat pada sebuah individu, sedang policy cenderung dan lebih tepat melekat pada sebuah organisasi dan atau negara (pemerintah).'Kebijaksanaan' versi kita lebih cenderung untuk mengobrakabrik tatanan yang sudah ada, mengaburkan kepastian hukum...yang seharusnya terbangun dalam sebuah 'kebijakan'.

TRANSCRIPT

Page 1: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan
Page 2: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

i

JEBAKAN

KEBIJAKSANAAN

Serial Diskusi Masalah Kesehatan

AGUNG DWI LAKSONO

Health Advocacy

Page 3: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

ii

JEBAKAN KEBIJAKSANAAN

Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Penulis:

Agung Dwi Laksono

©Health Advocacy

Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Jl. Bibis Karah I/41 Surabaya 60232

Email: [email protected]

Cetakan Pertama – Januari 2012

Penata Letak – ADdesign Desain Sampul – ADdesign

ISBN: 978-602-98177-6-8

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh

isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

Page 4: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

iii

PengantarPengantarPengantarPengantar

Puji Tuhan akhirnya buku ‘JEBAKAN KEBIJAKSANAAN’

yang merupakan ke-tiga ‘Serial Diskusi Masalah Kesehatan’

dapat diselesaikan.

Diawali dengan keprihatinan bahwa bidang kesehatan lebih

menjadi ‘mainstream’ pemerintah daripada menjadi milik

masyarakat!

Apalagi bagi anak muda. Untuk itu penulis mencoba membuat

diskusi dengan bahasa ringan setiap senin pagi lewat media

‘Diskusi Senin Pagi’ di Facebook, media sejuta umat-nya anak

muda. Meski juga ternyata anak ‘tua’ pun turut andil memberi

banyak pencerahan menyegarkan dalam diskusi ini.

Harapan bahwa bidang kesehatan bisa membumi,

ngobrol tentang ‘pembiayaan kesehatan’ seenak ngomongin

trend baju terbaru, diskusi ‘pelayanan kesehatan’ senyaman

ngrumpi di mall,

Sungguh penulis berupaya untuk itu!

Saran dan kritik membangun tetap ditunggu.

Salam facebooker!

Surabaya, Januari 2012

Page 5: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

iv

Page 6: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

v

Memang walaupun saya pengguna Facebook, saya tidak begitu

rajin menegok halaman saya. Namun ada satu hal yang membuat

saya paling tidak bezoek Facebook, yaitu untuk mendapatkan

informasi dan wacana yang tidak biasa dijumpai di diskusi

formal yang saya hadiri di manapun di media tradisional utama.

Diskusi Senin Pagi adalah salah satu wacana yang selalu

menarik diikuti karena akan merefleksikan masalah-masalah

kesehatan dengan kacamata baru. Semoga pikiran yang inovatif

ini akan memperluas jangkuan di dunia nyata dengan buku ini...

DR. Rosalia Sciortino

Regional Director Southeast and East Asia, International

Development Research Centre (IDRC), Singapore

Page 7: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

vi

Page 8: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

vii

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

Pengantar Penulis iii

Penngantar Dr. Rosalia Sciortino v

Daftar Isi vii

� Jebakan Kebijakan dalam Sebuah

Kebijakan 1

� Lingkaran Setan! 11

� SPM Kesehatan 21

� Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan 29

� Formula SPM! 37

� Barisan Sakit Hati! 45

� Berbicara pada Dewan... 57

� Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan 67

� Kebijakan Ini-Itu 79

� Catatan Diskusi AKI 97

� Indonesia... Negeri para Smokers 107

� Pengungsi Eks Timor 115

Page 9: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

viii

Page 10: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

1

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah

Kebijakan

Monday, September 20, 2010 at 4:33am

Sugeng injing para sedherek...

Bangsa kita adalah bangsa yang sangat toleran... sangat permisif

dalam banyak hal...

Sebuah bukti bahwa nurani begitu mengedepan dalam kehidupan

keseharian,

Rasa belas kasih begitu mendarah daging dalam darah kita...

Bener po ora?

Page 11: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

2

Banyak hal yang terlandasi dengan sikap itu! Sampai pada hal-

hal yang seharusnya butuh sebuah kepastian dan tidak boleh ada

toleransi...

***

Dalam sebuah 'kebijakan' misalnya, rasa toleransi dan permisif

ini terwujud dalam sebuah 'kebijaksanaan'.

Kebijakan yang seharusnya merupakan sebuah ketetapan menjadi

rancu dengan adanya 'kebijaksanaan'...

Kita bahkan sangat mahfum dengan kalimat...

"Saya tau pak aturannya memang begitu, tapi saya mohon

kebijaksanaan dari bapak..."

Sungguh sebuah jebakan...

Dua kata tersebut keliatannya emang mirip, bahkan dalam

beberapa kesempatan pakar tata negara kita sering keliru

memakai keduanya.

'Kebijakan' dalam Bahasa Inggris berasal dari kata 'policy',

sedang kebijaksanaan berasal dari kata 'wisdom'.

Wisdom lebih cenderung dan lebih tepat mengarah pada

seseorang atau melekat pada sebuah individu, sedang policy

cenderung dan lebi tepat melekat pada sebuah organisasi dan

atau negara (pemerintah).

'Kebijaksanaan' versi kita lebih cenderung untuk mengobrak-

abrik tatanan yang sudah ada, mengaburkan kepastian hukum...

yang seharusnya terbangun dalam sebuah 'kebijakan'.

***

Page 12: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

3

Dalam sebuah kesempatan sosialisasi Askeskin (asuransi

kesehatan keluarga miskin) di sebuah puskesmas, saya

mengumpulkan seluruh perangkat desa (lurah dan carik) untuk

mensosialisasikan kriteria keluarga miskin (gakin) yang akan

ditetapkan sebagai peserta jaminan kesehatan ini, yang

selanjutnya setiap gakin akan ditetapkan sebagai peserta dengan

mendapat sebuah kartu peserta Askeskin.

Hanya pemegang kartu askeskin saja yang akan dapat

memanfaatkan fasilitas jaminan kesehatan tersebu

Apa yang terjadi??? Sebuah keributan yang sungguh huebooh!

Para perangkat desa tersebut protes keras!

"Kenapa harus ada 'kartu peserta?"

"Kenapa tidak bebas seperti dulu saja?"

Setelah reda... baru mereka mengutarakan keberatannya...

"Kalo dengan kartu peserta yang sudah ditetapkan dari awal,

kami kan jadi tidak bisa memasukkan peserta lagi di tengah

program berjalan...," alasan keberatan mereka sebagaimana

diutarakan salah satu lurah.

Usut punya usut... mereka, para perangkat desa tersebut, lurah

dan carik tersebut... takut tidak terpilih lagi pada periode

berikutnya!

Apa pasal? Mereka menggunakan 'Askeskin' sebagai salah satu

senjata 'kebijaksanaan' mereka. para lurah dan carik

menggunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan 'kebijaksanaan'

pada masyarakat 'pendukung'nya.

Oalaaaaaah...!

Page 13: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

4

Makanya jangan heran bila di rumah sakit melihat pasien

askeskin dengan atribut perhiasan mencorong menelpon

sodaranya dengan Blackberry terbaru! Atau justru pasien rawat

inap pemegang kartu Askeskin yang diantar dengan mobil

pribadi.

Kita memang bangsa yang sungguh bijaksana!

piye jal?

*tulisan ini berdasarkan kejadian sungguhan saat saya masih menjadi

kepala puskesmas

Page 14: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

5

Comment

Tumijan Skm Kebijaksanaan yang inilah yang membuat

bangsa kita terpuruk. Karena kebijaksanaan, kepatuhan

hukum/aturan tidak berdaya, dari hal yg kecil sampai besar : dari

buang sampah sembarangan sampai koruptor bebas.

Bandingkan dengan singapura dann malaysia.

Ilham Akhsanu Ridlo kebijaksanaan: Subyektif....

Kebijakan: obyektif

Mamik Hidayah Bener kuwi mas (bener itu mas, red),

bahkan sampai sekarang kebijakan sering dibenturkan dengan

kebijaksanaan. Piye jal?**Lho kok jadi ikut-ikutan istilah Mas

Agung hehehe..

Rifmi Utami Curhat yang berkepanjangan sampai saat

ini...tak ada habisnya...

berganti2 nama..>>> JPS BK ..>>PDPSE BK..>> PKPS

BBM..>>ASKESKIN..>>JPK

MM..>>JAMKESMAS..kebijakannya ganti kartunya ganti pula,

dan sekarang menjadi tidak jelas, karena kepersertaan bukan

urusan puskesmas. Di satu sisi kita senang karena tugas kita lebih

ringan, hanya melayani tanpa meng’up date’ dan validasi

kepersertaan yang dulunya juga tugas kami. Namun ironis yang

terjadi justru, dari level atas sampai bawah, hal tersebut dijadikan

alat politik yang menjerumuskan yang berkedok ‘kebijaksanaan’.

Sungguh...’kebijakan’ membedakan miskin kaya sudah tidak

Page 15: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

6

tepat lagi, mungkin dalam taraf pelayanan kesehatan standart

sebaiknya dijamin untuk semua rakyat, sedangkan buat mereka

yang memilih yankes dengan pelayanan lebih adalah privacy

yang dibiayai mereka sendiri...

Yongky Hendriyanto "pandai memanfaatkan

celah"...........hehehe......

Agung Dwi Laksono ...dan oleh karena itu maka kita

putuskan bahwa... universal coverage adalah sebuah

keniscayaan! Piye jal? cuocok tenan aku ki!

Sutopo Patria Jati Seperti penyakit kronis eksaserbasi

akut aja... kuncinya salah satunya di aspek penegakan

hukum/kebijakan, tapi sayangnya si penegak hukumnya

sepertinya kok ‘impoten’ ya ... ? :)

Feni Novikasari oalahh... kok idem yak critane..

Sujud M Raharja Itulah Indonesia........

Rachmat Hargono So...masih perlukah mempelajari

Ilmu Kebijakan?

Page 16: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

7

Didik Supriyadi Bicara kebijakan tidak lepas dari

kepentingan, dan ketika kepentingan belum terakomodir, maka

muncullah kebijaksanaan.

Melizawati Imel Sayang justru kebijaksanaan dalam

kebijakan yang sering bikin rakyat sengsara.

Ade Ayu Aha... Salut buat Um Agung atas kritikan

yang tepat sasaran.. Semoga ada yang ngerasa dan ini bisa

membuka pintu hatinya untuk berubah menjadi manusia yang

berakhlak lebih baik...

Christine Indrawati Baru aja di sebelah mejaku ada Pak

Lurah yang datang dari kecamatan yang cukup jauh dari Dinkes,

dengan keperluan menguruskan Surat Pernyataan Miskin

warganya dengan menggebu-gebu Pak Lurah bilang bahwa ini

warga yang bener-bener gak mampu tapi gak masuk

Jamkesmas/da. Tapiiiiiiiii... ada note dari puskesmas kalo

pasiene sakjane mampu tapi pak lurahe ngeyel.. piye jal?

hehe... kebijaksanaan yang semakin membuat bubrah kebijakan./

Evie Sopacua Bu Christine dann Agung ya sudahlah.....

Page 17: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

8

Tite Kabul Wisdom = bijaksana, beda dengan

kebijaksanaan yang bisa dikaitkan dengan kekuatan...

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Weleh...

kebijaksanaan itu apa sih sebenarnya Gung... kalo analog kasus

Askeskin, tidak tepat disebut kebijaksanaan....kalo disebut

kebijak lurah, dkk...bisa jadi tepat... kan kebijakan bisa dinilai

tepat ato tidak (salah/benar). Kalo kebijaksanaan... menilainya...

sebagai sebuah pilihan yang bijaksana bila output, outcome,

benefit dan impact memberikan nilai tambah positif...tak iyo???

Agung Dwi Laksono Klo ntu masalah value bang!

value kata, dimana 'kebijaksanaan' telah mengalami perluasan

makna...

Vita Darmawati Benar sekali... memang sungguh kabur

antara kebijakan & kebijaksanaan, bahkan kenyataannya sulit

dibedakan mana yang kebijakan, mana yang kebijaksanaan...

Kebijaksanaan sudah dianggap kebijakan itu sendiri, sedangkan

kebijakan sesungguhnya mulai dilupakan! Parahnya,

kebijaksanaan pun masih diminta lagi batas toleransinya...

pengalaman nyata banyak terjadi di masyarakat, cerita

Jamkesmas salah satu hal yang ada... hemmmm

Agung Dwi Laksono Brasa curhat ya non?

Page 18: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Jebakan Kebijaksanaan dalam Sebuah Kebijakan

9

Anni Haryati Gimana klo itu disebut justifikasi...

sebuah pembenaran.. aha...

Anni Haryati He he... komentare ngawur.. ya diatas

itu... basane nggak nyandak papa...terlalu aneh buatku yang

sudah lemot ini...

Anni Haryati (putus asa.com)

Vita Darmawati Iye......... plus mau dikomentari........

Agung Dwi Laksono Lha iya... kita semua nih sudah

tau itu salah, tapi juga sama-sama gak tau gimana cara

brantasnya! piye jal?

Anni Haryati Mulai dari diri kita sendiri deh.. TDA

management...Tangan Diatas lebih baik....(terusin

sendiri....nggak tega.com)

Sulistyawati Itheng Oooallalaahhhh....

Page 19: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

10

Rafael Soe Jien Perlu kalo urusan gini audit dari luar

deh... ben lurahe hanya perlu njalanke kebijakan wkkkkkkkkkk...

Arih Diyaning Intiasari Jadi ingat satu item question tes

psikologi......apakah anda orang yang susah sekali menolak

permintaan teman anda?.....jawabanku adalah : ya....karena saya

adalah orang yang bijaksana (or...penuh

kebijaksanaan...hi...hi....)

Anni Haryati MAKANYA...BADAN KITA INI JUGA

PUNYA HAK LHO YAA...mereka akan menagihnya...kelak...

Riffa Hany pengalaman pribadi:..., emang kadang

dibutuhkan suatu kebijaksanaan, example ada anak dari suatu

keluarga yang tidak termasuk kriteria miskin tapi tidak kaya juga

semua hasil warisan, sakit butuh cuci darah 1 minggu sekali,

rumah tidak ikut punya... sepeda motor kreditan, pekerjaan tidak

tetap, apakah kita tegaaaaa, tidak kasih dia.., please dong ah...

Page 20: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Lingkaran Setan

11

Lingkaran Setan!

Monday, July 5, 2010 at 1:38am

Dear all,

Pengertian Kesehatan dalam Undang-undang nomor 36 tahun

2009 tentang kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Jadi… sehat bukan hanya sekedar terbebas dari penyakit, baik

penyakit fisik maupun mental. Definisi sehat menjadi lebih luas

lagi pada keadaan yang produktif dan mampu hidup

bersosialisasi.

Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi disabilitas atau

ketidakmampuan di Indonesia mencapai angka 21,3% pada

penduduk 15 tahun ke atas.

Page 21: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

12

Tujuan pengukuran ini adalah untuk mendapatkan informasi

mengenai kesulitan/ketidakmampuan yang dihadapi oleh

penduduk terkait dengan fungsi tubuh, baik dalam kehidupan

individu maupun sosial.

Status disabilitas dikumpulkan dari kelompok penduduk umur 15

tahun ke atas berdasarkan pertanyaan yang dikembangkan oleh

WHO dalam International Classification of Functioning,

Disability and Health (ICF).

Responden diajak untuk menilai kondisi dirinya dalam satu bulan

terakhir dengan menggunakan 20 pertanyaan inti dan 3

pertanyaan tambahan untuk mengetahui seberapa bermasalah

disabilitas yang dialami responden, sehingga memerlukan

bantuan orang lain.

Sebelas pertanyaan pada kelompok pertama terkait dengan fungsi

tubuh bermasalah, sembilan pertanyaan terkait dengan fungsi

individu dan sosial dan tiga pertanyaan tambahan terkait dengan

kemampuan responden untuk merawat diri, melakukan

aktivitas/gerak atau berkomunikasi.

Prevalensi Disabilitas Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Berdasarkan

Tingkat Pendidikan Responden, Riskesdas 2007

Page 22: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Lingkaran Setan

13

Pada gambar diatas jelas terlihat bahwa pada tingkat pendidikan

yang semakin rendah maka prevalensi disabilitas semakin tinggi.

Hal yang sama juga berlaku pada tingkat sosial ekonomi, yang

dalam hal ini diwakili oleh kuintil tingkat pengeluaran per kapita

per bulan. Semakin miskin (kuintil 1) semakin menunjukkan

peningkatan prevalensi disabilitas.

Prevalensi Disabilitas Penduduk Umur 15 Tahun Keatas Berdasarkan

Kuintil Tingkat Pengeluaran Per Kapita Per Bulan Responden,

Riskesdas 2007

Dan pada akhirnya... Sekali lagi terbukti betapa eratnya

hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi

dengan status kesehatan.

Kemiskinan dan kebodohan selalu dalam lingkaran setan yang

sama dengan kesakitan!

Page 23: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

14

Comment

Bambang Andriyono Jadi : Ability of Economy

influence to sebelas pertanyaan itu kesimpulane ya Mas?

Saya mengusulkan (H0) , Benarkah ada hubungan antara level of

economy vs Ketidaksehatan Sosial? (semangkin tidak

teposeliro)?

if H1=H0 seberapa besar level significancy-nya. If No, kira-kira

apa yang Contra persepsinya (bukan kontrasepsi lho).

Andi Leny Susyanty Numpang komen yo mas.

Sepertinya kalo dari hasil analisis RKD hampir semua yang

jelek-jelek ada pada kuintil yang terendah dan atau tingkat

pendidikan rendah ya... Status kesehatan masyarakat indonesia

masih bergantung pada status sosial ekonomi. Status sosek

rendah di indonesia menjadi faktor resiko, yang perlu

diperhatikan. Jadi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana

menyingkirkan barier sosek untuk meningkatkan status

kesehatan masyarakat. Apakah jamkes semesta solusinya...

wallahu alam bishawab.

Agung Dwi Laksono @Bambang; Analisis lebih lanjut

bisa sampean lakukan sendiri mas! bahkan sampean bisa

mengakses data dasar (mentah) dari Riskesdas...

@Leny; Apakah jamkes semesta bisa menjadi solusi??? mari kita

wujudkan dulu jamkes semesta! baru bisa kita liat bagaimana

efeknya...

Page 24: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Lingkaran Setan

15

Bambang Andriyono Terkadang pandangan sementara

warga yang diskriminatif ikut andil dalam mengabadikan

inferioritas sos-ek. Bahkan tak jarang sambil memanipulasi

menjadi seperti Robinhood.. piye jal?

Rifmi Utami ‘note’ ini makin menunjukkan bahwa

yang paling ‘urgent’ diperbaiki adalah kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM) yang menjadi penyokong segala di atasnya...

Kualitas SDM yang sebagian besar dibentuk oleh Growth

(bagaimana dia tumbuh sejak kecil) and Learning (bagaimana

dia belajar sedari kecil) adalah tanggung jawab semua komponen

bangsa yang seharusnya menyadari bahwa semua itu kunci

kesinambungan suatu generasi... Seharusnyalah kita semua

berpikir secara komprehensif dalam semua perspektif, sehingga

akhirnya tidak terjebak dalam ‘satanic circle’...

Bambang Andriyono Tambahan : Kalo demikian,

sesegera mungkin berantas tuntas Buta Huruf (melalui

pendidikan), tanamkan nilai-nila berbasis norma & budaya

setempat dst dst dst, tantangannya adalah implikasi negatif dari

teknologi..."mengingatkanku pada jaman Generasi Budeg,

Hedonis, lupa akar budaya bangsa..seperti saat ini !!

Agung Dwi Laksono @Bambang; Hmm... miskin ato

kaya, pinter ato bodo... sebuah pilihan ato takdir semata?

Tambah ruwet ki..

@Mimi; Banyak kemungkinan langkah alternatif yang bisa

Page 25: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

16

dikembangkan untuk memutus satanic circle. Dalam media

seperti ini justru ide liar dari teman-teman di luar bidang

kesehatan malah bisa jadi langkah cespleng untuk kemungkinan

solusinya.

Rifmi Utami Dalam Growth >> kitalah yang paling

berperan : bagaimana meng-100% semua indikator KIA, meng-

aktifkan Posyandu agar bisa deteksi dini tumbuh kembangnya,

dll... sedangkan Learning>> teman-teman kita dari bidang

pendidikan berperan penting dalam hal memasukkan materi

kesehatan secara berjenjang pada kurikulum pendidikan. Dan

semua komponen lain turut berperan dalam menciptakan Sistem

Kesehatan Daerah/Nasional yang komprehensif...

Oh alangkah senengnya, jika semua bidang pembangunan

berwawasan kesehatan...(hoping from the bottom of my heart...

mode on).

Tya Mico Sebenarnya suku-suku pedalaman banyak

yang masuk kategori miskin tapi tidak menganggap dirinya

miskin. Masuknya pengusaha kedalam hutan untuk menguras

Sumber Daya Alam lah yang membuat mereka kesulitan

menghidupi dirinya. Saya rasa perlu pengawasan ketat dalam

melaksanakan proyek apapun. Amdal harus benar-benar

dijalankan. Jangan membangun tapi mengakibatkan pemiskinan

masyarakat.. dimana saja. Kembali pemerintah yang harus

bertanggung jawab mengontrol.

Ratna Itu Wulan Bukan hanya pemerintah semata, kita

juga musti berpartisipasi mengeliminir keterbatasan sosek

Page 26: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Lingkaran Setan

17

masyarakat. Tapi sekedar bertanya: Kemanakah larinya pajak

yang kita bayarkan?

Tumijan Skm Sebetulnya setannya masyarakat miskin

atau pembuat kebijakan?

Mbak kalo larinya pajak tanyakan gayus dkk?

Rachmad Pg Iyan, dlm konteks kebijakan publik,

lingkàran setannya ada di decision maker, iya legislatif, iya

eksekutif... bayangkan aja dalam membuat UU/kebijakan selalu

ada insentif duit besar disitu, jadi konten kebijakan selalu

disesuaikan dengan para pemodal, jangan harap rakyat miskin

dalam posisi subyek....

Tumijan Skm @Mad; Jadi yang harus diputus lingkaran

setan di pembuat kebijakan (di hulu dulu = konsepnya Kang

Dahlan)?

@Mbak; Itu larinya pajak disebutkan rahmat untuk insentif DPR.

Tite Kabul Oleh sebab itu dikembangkan program

Jamkesmas untuk orang miskin yang mau tidak mau, suka tidak

suka masih membutuhkan kuratif dan rehabilitatif... tapi banyak

orsng yang nggak suka, karena dana kuratif >>> ...

Page 27: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

18

Ade Ayu Sorry um... Otak masih blank gara-gara setan

semalem tu...!!! Emang setan di mana-mana selalu meracuni

manusia... hulllfff

Femmy Skotia Well, selama si miskin dan si bodoh ini

sendiri gak mau merubah nasibnya, apa boleh buat, gak bakalan

berubah lingkaran setannya. Apapun yang dilakukn orang lain

buat mereka sama aja kayak membuang garam ke laut. So aku

bantu doa aja deh Gung agar mereka diberi hidayah agar mau

berubah. hehehehehehe.....

Sulistyawati Itheng Berarti ladangku pendidikan dan

ladangmu kesehatan ki saling menunjang ya Nang? mulane aja

sok salah nunjang... hahaaa... diakehi wae le njaluk tunjangan...

hehh maca datamu sesek utegku...

Lestari Sudaryanti He he he... pertanyaan yang sama

dengan duluan mana telur atau ayam, tapi jawabannya seperti

mengelola basic life support (ABC = airway, breathing,

circulation). Kesemuanya dikerjakan simultan dan terkoordinasi,

kalo tidak, ya gagal.

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Kemiskinan-

Kebodohan-Ketidaksehatan---LINGKARAN SETAN. Nah,

permasalahannya: SETAN nya yang mau diintervensi biar nggak

ganggu, atau Kenapa terjadi LS ini. Papa AD en All: Sepertinya

Page 28: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Lingkaran Setan

19

orang-orang sudah pada tahu 3 benda ini saling berkaitan (+/-).

Namun, sebatas tahu aja, tidak paham bagaimana mengakitkan

sehingga jadi amunisi untuk perbaikan derajat kehidupan korban

dari 3 benda ini. Banyak yang nyalahin korban-korban, ‘tidak

mau berubahlah’, ‘sudah nyaman dengan kondisi jaminan

sekaranglah’. Kenapa tidak ada yang banyakan nengok di sisi

sistem/negara (pemerintah, provider dan masyarakat luas). Bila

kembali pada defenisi sehat, terutama unsur SOSIAL, cocokkan

bila ada yang sakit berarti lingkungan sosial (orang/masyarakat

di sekitar korban) menjadi penyebab juga (langsung atau tidak

langsung). Jadi bukan salahnya korban aja donk? Mari kita mulai

nengok dan bergerak secara komprehensif. Salam SEHAT.

Lidwina Yanuar Kemiskinan + kebodohan = tidak

sehat.

Mungkin rumus matematikanya jadi begitu ya? sedih mikirin

negara ini... tapi sekali lagi jangan berhenti di kesedihan, yang

bisa kerja baik, bekerjalah dengan baik, karena klo berharap orag

lain bekerja baik, seringkali kekecewaan yang kita dapat... siapa

tau, kerja baik kita menular ke orang lain... hiks..

Sutopo Patria Jati Sisi baiknya karena saling terkait...

seharusnya milih mana saja dari ketiga hal tersebut untuk jadi

entry point bagi upaya intervensinya jadi nggak masalah.. :)

Didik Supriyadi Siapa yang mau jadi bupati, gubernur

atau jadi presiden?

Page 29: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

20

Page 30: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

SPM Kesehatan

21

SPM Kesehatan

Monday, December 6, 2010 at 3:27am

Morning bro ‘n sist,

‘Standar Pelayanan Minimal(SPM) … pernah dengar nggak

siiih?

Klo dari ‘nama’nya pasti kita sudah bisa menduga2 artinya…

Klo berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005

tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan

Minimal pengertian SPM adalah ‘ketentuan mengenai jenis dan

mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang

berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal terutama

yang berkaitan dengan pelayanan dasar baik daerah provinsi

maupun daerah kabupaten/kota’.

Page 31: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

22

Untuk bidang kesehatan pun pada akhirnya dikeluarkan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial (Menkesos) Nomor

1747/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan

Minimal dalam Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang berisi

54 indikator SPM, yang kemudian kebijakan ini dianulir dengan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang

berisi indikator Kinerja dan Target Pelayanan Kesehatan pada

tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Untuk kebijakan SPM

Kesehatan terbaru ini indikator SPM Kesehatan yang lama (54

indikator) disederhanakan menjadi 18 indikator.

Untuk bidang kesehatan pun pada akhirnya dikeluarkan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial (Menkesos) Nomor

1747/2000 tentang Pedoman Penetapan Standar Pelayanan

am Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang berisi

54 indikator SPM, yang kemudian kebijakan ini dianulir dengan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/2008 tentang Standar

Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang

n Target Pelayanan Kesehatan pada

tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Untuk kebijakan SPM

Kesehatan terbaru ini indikator SPM Kesehatan yang lama (54

Page 32: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

SPM Kesehatan

23

Penetapan SPM Kesehatan sebagaimana SPM untuk bidang

lainnya menetapkan target yang sama untuk seluruh wilayah

Kabupaten/Kota se-Indonesia, ga peduli itu kabupaten/kota yang

ada di Papua maupun di Jawa, piye jal?

Target SPM Kesehatan kabupaten/kota ditetapkan dengan sama

sekali tidak memperhatikan variabilitas antar wilayah!

Mau kabupaten/kota itu SDM nya sedikit atau malah berlebihan

kek orang arisan, daerahnya miskin ato kaya, wilayahnya sempit

ato luas, penduduknya bejibun ato malah cuman sak uprit…

semuanya sama!

Menjadi pertanyaan besar pada akhirnya….

Seharusnya target SPM Kesehatan ditetapkan seragam untuk

seluruh wilayah?

Atau ditetapkan dengan memperhatikan variabilitas di setiap

wilayah?

Ada konsekuensi dari masing-masing pilihan…

Page 33: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

24

Comment

Feni Novikasari SPM oh SPM

Lidwina Yanuar Klo ditetapkan seragam, mungkin ada

baiknya juga... ada tantangan untuk berpikir kreatif bagaimana

cara mencapainya.. :)

Arman N Mila Endika Sebenarnya SPM nasional hanya

ancer-ancer (patokan, red.), dan ditindaklanjuti dengan SK

Gubernur dan SK Bupati untuk masing-masingnya, so

sebenarnya bisa variatif. Indikator yang akan dicapai disesuaikan

kemampuan keuangan daerah dan sumber daya pentahapan

pencapaiannya, yang penting 2015 sama dah. Dalam rangka

MDG's.

Anisa Riza Umnnn... iya juga si pak... tapi bagus juga

untuk motivasi kinerja petugas kesehatan, yang jadi masalah

menurut Ica mah... sistem pencatatannya itu pak, ’ngeri’ kalau

liat langsung ke lapangan, banyak data-data aneh.

Kalau dilihat di profil puskesmas yang berbentuk exel kaya gini

pak... ‘#DIV/0!#’

hehehe...

Rifmi Utami Kepanjangannya kan Standart Pelayanan

Minimal... jadi itu bukan target... Target haruslah melebihi itu,

Page 34: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

SPM Kesehatan

25

tapi nyatanya kami menetapkannya sebagai target, sehingga

terkadang malah menjadi sesuatu yang biasa jika tidak tercapai.

Tentu kontradiktif dengan kepanjangannya bukan.... Sedangkan

di puskesmas sendiri, boro-boro meningkatkan kinerja, yang ada

malah kita dibuat bingung dengan begitu banyaknya indikator

kinerja... PKP, SPM, MDG's, SPP dan entah apa lagi... Mbok

yaooo...bikin yang runtut, sistematis, ben aku seng kerjo nang

garis depan isok fokus... Ngono mas, kok dadi curhat maliyan...

hehehe...

Yuliastuti Saripawan Selamat berdiskusi... Hasilnya

ditunggu selain faktor SDM, akses ... Tambahan masalah

perioritas masing-masing puskesmas dapat mungkin jadi

pertimbangan. Terima kasih.

Anisa Riza Kalau diganti Standar Pelayanan

Maksilmal, lebih aneh lagi bu... hehe;

Jadi targetnya itu harus melebihi SPM, mungkin gitu bu... hehe...

Umm... iya juga yaa... banyak bgt indikatornya jadi bingung...

Apalagi kalau nulis karya ilmiah, bingung pilih yang mana?

Hehe...

Sulistyawati Itheng Ternyata sama peliknya dengan

SKM (Standart Ketuntasan Minimal) di bidangku... hmm negeri

ini penuh Pe Er....!

Page 35: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

26

Djoen Cavalera Biar nggak bingung disingkatnya

Standard Pelayanan (SP).. tidak usah pakai kata minimal. Kalau

sudah standard khan berarti harus dipenuhi, kalau tidak dipenuhi

yach tidak sesuai standard namanya ..*Usul orang iseng *

Dwee Why Dilema, kang. Semoga direvisi di tahun

mendatang.

Ilham Akhsanu Ridlo Standar Pelayanan Minimal... ya

minimal... heheheh.. Penetapannya sebaiknya sesuai kekuatan

minimal daerah... karena standart minimal.. Kalau target okelah

kita berlakukan nasional... gitu deh.

Ella Sofa Kalo mengacu pada SPM daerah

dikhawatirkan malah terjadi kesenjangan antara satu daerah

dengan lainnya.

Jika mungkin diusahakan untuk SPM yang sama dengan daerah

lain, why not?

Tite Kabul Namanya saja Standar Pelayanan Minimal,

kalau daerah yang lebih mampu yaaa harus ada tambahannya...

variabilitas antar daerah yaa terletak pada tambahannya itu... kita

bisa melakukan penilaian sebenarnya pada daerah yang minim

sumberdaya mampu melaksanakan SPM berarti dia sukses... tapi

pada daerah yang kaya sumberdayanya hanya melaksanakan

SPM yaaa nilainya jelek... harusnya..

Page 36: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

SPM Kesehatan

27

Rachmad Pg Indonesia emang suka yang minimalis... ai

luv u pull....

Purwani Pujiastuti Setuju sama Arman...

Page 37: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

28

Page 38: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

29

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

Monday, December 13, 2010 at 3:13am

Morning dear…

Menyambung diskusi kita Senin minggu kemaren soal formulasi

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan tingkat

Puskesmas, berdasarkan komentar hasil diskusi… ada beberapa

opsi (pilihan) kebijakan yang ber’keadilan’ yang bisa dipilih,

dengan konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan.

Upaya membuat turunan target SPM Kesehatan Kabupaten/Kota

menjadi SPM Kesehatan Puskesmas bisa dilakukan dengan 3

(tiga) pilihan kebijakan.

Pilihan pertama, membuat turunan target dengan

memperhatikan input puskesmas dan sasarannya. Input meliputi

sarana & prasarana, sumber daya tenaga kesehatan, dan besaran

anggaran kesehatan setiap Puskesmas. Sasaran meliputi jumlah

Page 39: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

30

penduduk, jumlah ibu hamil, jumlah ibu bersalin, jumlah bayi,

jumlah balita, Dsb.

Jadi formulasi target SPM Kesehatan di tingkat Puskesmas untuk

masing-masing Puskesmas menjadi berbeda dengan

mempertimbangkan input dan sasarannya.

Pilihan kedua, menetapkan target SPM Kesehatan yang sama

untuk masing-masing Puskesmas.

Lalu dimana rasa ber’keadilan’nya???

Bila opsi ini yang menjadi pilihan, maka untuk memenuhi rasa

ber’keadilan’ bisa dilakukan ‘re-distribusi’ input! Misalnya

dengan menyeimbangkan sumber daya tenaga kesehatan dan atau

besaran anggaran kesehatan di setiap Puskesmas.

Pilihan ketiga, bisa dilakukan dengan mengkombinasikan kedua

opsi tersebut.

***

Menurut saya… equity (keadilan) bukanlah ekslusif hanya untuk

sasaran masyarakat pengguna pelayanan kesehatan. Equity juga

harus berlaku pada petugas kesehatan, termasuk fasilitas

kesehatan yang setara di dalamnya.

Kados pundi?

Page 40: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

31

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Pertamax... hhmmm... kok kalau

aku lebih enakkan opsi yang pertama ya pa, atau kombinasi...

karena kalau opsi yang kedua, kayaknya re-distribusi input pasti

membutuhkan tenaga yg tidak sedikit... distribusi tenaga

kesehatan apalagi membutuhkan dorongan yang lumayan kesel.

Yang paling lama mungkin bikin kebijakan redistribusi

inputnya... pasti lebih kesel.. piye pap??

Agung Dwi Laksono Waaahhh... tugas saya pan cuman

memberikan pandangan untuk setiap opsi kebijakan! Sedang

untuk memilih mana yang paling cocok untuk sebuah wilayah...

ya ntu tugas para pengambil kebijakan.

*ngeles

Ilham Akhsanu Ridlo Heheheh..tapi gimana pap bener

kagak? Hehehe... kembalinya ya juga ke ranah yang atu itu yo

pap..*hihihi

Feni Novikasari Kesan pertama begitu menggoda... jadi

pilih nomor 1 aja dewh..

Rifmi Utami Aku pilih yang ke-3... jadi biar ada timbal

balik gitu... Puskesmas menilai kemampuan internalnya

Page 41: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

32

(inputnya), sedangkan target normatif tetap ditetapkan Dinkes,

dimana nanti disepakati bersama di suatu forum ‘apakah target

normatif bisa dipenuhi dengan kemampuan internal

puskesmas?’... gitu deh...(suara dari bawah neh... hehehe...).

Namun perlu diingat pula, bahwa menilai kemampuan internal

juga bukan hal mudah, SDM kesehatan yang kurang dari sisi

kuantitas dan kualitas, menjadi tanda tanya, apakah semua

individu akan ditetapkan di’samarata’kan kemampuan

melayaninya... belum-belum sarana prasarananya yang terkadang

sudah mengalami penyusutan dan tak pernah diperbaharui...

waddooooowww, tambah pusing dah diriku....

Arman N Mila Endika Pilihan opsi pertama lebih

realistis dan logis, tapi konsekwensinya si Puskesmas harus

menetapkan sendiri indikatornya, plus bisa dibayangkan

ragamnya se Indonesia Raya, pertanyaan berikutnya mampukah

menyusun mereka? Selanjutnya apakah suatu urgensi SPM di

Puskesmas? Telah ada PKP lho, isinya mirip kok. Cuman

pertajam indikator aja.

Ilham Akhsanu Ridlo @Pak Arman: PKP sama SPM

beda pak..

Arman N Mila Endika Penilaian Kinerja Puskesmas,

Standart Pelayanan Minimal, PKP mirip instrumen stratifikasi

Puskesmas.

Page 42: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

33

Anisa Riza Opsi 3..kayanya...

Dibikin formulasi rumus tertentu aja...

Di dalam formulasi SPM itu ada perhitungan tersendiri yang

menyertakan jumlah sarana dan prasarana yang ada di

puskesmas...

Kayak rumus pengambilan sampel minimal gitu... kan nilai

alpha, nilai z, proporsi kejadian setiap penelitian kan beda, tapi

formulasi rumus tersebut bisa menentukan sampel minimal yang

harus dipenuhi, gitu pak...

Jadi... Depkeslah yang menentukan formulasi rumusnya,,,

Kalau formulasi itu ditetapkan, lebih dari itu, ada nilai positif

yang bisa di ambil... pemberdayaan Puskesmas itu sendiri, agar

puskesmas itu mandiri. Kadang banyak puskesmas yang tidak

tahu... mengenai kondisi dirinya sendiri, seolah-olah mereka di

cekokin program dari Depkes saja, gitu pak... hehehe...

Maaf... kalau kurang ilmiah, hanya mencoba mengambil

alternatif dari analogi mata kuliah metode penelitian... hehehe...

Agung Dwi Laksono @Ica; Diskusi minggu depan yak

formulasinya di publish.

Anisa Riza yang DESI atau masih SPM pak?????

Didik Supriyadi Beda ndak dengan konsep reformasi

puskesmas yang dulu kita pernah bahas mas? Maksudku ada

yang public good, essential good dan private good? Kalo

Page 43: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

34

bertolak dari konsep itu kayaknya lebih enak untuk

diformulasikannya.....

Agung Dwi Laksono @Ica; SPM

@Didik; Baca note diskusi minggu lalu.

Purwani Pujiastuti Target ditetapkan di level

Kabupaten, variasi pencapaian di level Puskesmas adalah wajar

tapi tetap diupayakan secara Kabupaten sesuai target Kabupaten.

Yang penting Dinkes di level Kabupaten melakukan upaya

optimal untuk pencapaian SPM di Puskesmas, seperti dukungan

kebijakan, anggaran, bimbingan teknis, monitoring, dsb.

Ilham Akhsanu Ridlo Hhhmmm... artinya kembali ke

analisis dan formulasi kebijakan...

Dwee Why Waduh, ribet juga ya? (^,^)?

Anni Haryati Setuju... petugas juga tetap harus

diperhatikan dunk. Masak di kota besar dan pinggiran yang sulit

dicapai kakipun sama..?? Kasihan ya... ahai, validasi data juga

perlu. Jangan-jangan diberi kepercayaan untuk menulis data jadi

kesenengan tuh... wuah.. proses pelaksanaannya? evaluasi hasil

akhir? hm hm... SPM buat saya adalah suatu sistem, bukan

terkotak-kotak dan harus dikerjakan dengan sesungguhnya. Ojo

Page 44: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Opsi Kebijakan untuk SPM Kesehatan

35

dulinan....wis ora wayahe.... (jangan main-main, sudah bukan

waktunya, red).

Riffa Hany Kalau di wilayah Kabupaten Kediri... latar

belakang tiap Puskesmas hampir sama, nggak masalah kalau

target ditentukan oleh Dinkes, kayaknye pilihan kedua paling top

dweeh... karena bila dipacu... ternyata puskesmas mampu

mencapai target tuuuuh......

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Ngomongin SPM

dan Keadilan, dalam kesehatan, yang notabene menyangkut hak

hidup (HAM), sangat dalam Pak dan Buk. Idealnya jangan ngejar

pelayanan mulu dan sasaran hanya pihak di luar institusi layanan.

Soal kasus PKM yang target ditetapkan Dinkes dan bila dipacu

bisa tercapai, harus dilihat juga ‘suasana’ kerja/hubungan antar

manusia di PKM ini dan hubungannya dengan masyarakatnya,

apa sehat dan penuh kehidupan? Sedikit institusi yankes

pemerintah dan publik yang mau/butuh informasi kepuasaan

pelanggan (internal dan eksternal) sehingga kinerja bisa

ditingkatkan berdasarkan info tersebut (jangan kepuasaan

eksternal aja).... Sorry agak melenceng. Nah, soal turunan SPM

Kesehatan untuk Puskesmas... yah serahkan aja ke Puskesmas

dan masyarakatnya... wong Puskesmas adalah institusi layanan

kesmas kan? Yang diutamakan adalah promotif dan preventif...

jangan-jangan lebih relevan buatan Puskesmas dan

masyarakatnya daripada buat turunan dari SPM Kesehatan...

hehehehe... kan pemberdayaan masy... jadi kita berdayakan

masyarakat untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka

sendiri... gitu lho... temans. Lagian ribet bagi masyarakat untuk

baca %, proporsi, dan istilah matematika indikator lain...

Salam SEHAT.

Page 45: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

36

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Satu lagi,

mumpung lagi ngejreng....saatnya masyarakat yang atur

kesehatannya. SPM Kesehatan ini jangan top-down, SPM

Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas, balikkan aja

agar pemberdayaan masyarakat hidup dan tumbuh. Negara ada

kan karena ada masyarakat/penduduk toh... (selain merdeka,

wilayah dan pemerintahan yang diakui). Jadi profil

Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional ada karena masyarakat

terkecil (Desa/Kelurahan dan RT/RWnya) giat membangun dan

mengatur diri/institusi mereka. Jadi peran pemerintah yang

bangun masyarakat agar masyarakat membangun diri dan

lingkungan, yang akan berkontribusi untuk pembangunan negara

(Provinsi dan Kabupaten/Kota). Tambah ribeeettttt.

Salam SEHAT.

Vita Darmawati Pilihan pertama saja... gak mampu

kalau Puskesmas kecil disejajarkn dengan Puskesmas besar...

Page 46: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Formula SPM!

37

Formula SPM!

Monday, December 20, 2010 at 5:08am

dear all,

Kita lanjutin untuk sesi diskusi SPM yak!

Dalam diskusi minggu lalu saya paparkan 3 opsi yang bisa

menjadi pilihan, pada diskusi kali ini saya saya mencoba

memaparkan formula turunan target SPM Kesehatan di tingkat

Kabupaten/Kota menjadi target SPM Kesehatan di tingkat

Puskesmas dan atau kecamatan.

Proporsi Input Puskesmas A terhadap Input

Kabupaten;

Proporsi input Puskesmas merupakan input setiap Puskesmas

dibagi dengan input kabupaten. Sedang Input kabupaten sendiri

merupakan gabungan dari input-input di bawahnya, atau input

Page 47: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

38

Kecamatan/Puskesmas. Sehingga persamaannya seperti tertulis

pada persamaan (1).

Target Absolut Kabupaten;

Target absolute (angka mutlak) merupakan perkalian antara

target persentase Kabupaten/Kota (yang telah ditetapkan oleh

pusat /Kementerian Kesehatan) dengan sasaran. Sehingga

persamaannya terbentuk seperti persamaan (2).

Target absolut Puskesmas A berdasarkan proporsi

input;

Target absolut Puskesmas berdasarkan proporsi input merupakan

fungsi perkalian proporsi input Puskesmasdengan target absolute

Kabupaten. Sehingga persamaan yang terbentuk menjadi seperti

pada persamaan (3).

Page 48: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Target persen PuskesmasA berdasarkan proporsi input;

Target persen Puskesmas lebih merupakan fungsi pembagian

antara target absolut kecamatan dengan sasaran Puskesmas itu

sendiri, dikalikan dengan 100% (seratus persen). Sehingga

persamaan akhirnya seperti tertulis pada persamaan (4)

Semoga bisa dipahami dan bisa membantu…

Formula SPM!

39

Target persen PuskesmasA berdasarkan proporsi input;

lebih merupakan fungsi pembagian

antara target absolut kecamatan dengan sasaran Puskesmas itu

sendiri, dikalikan dengan 100% (seratus persen). Sehingga

persamaan akhirnya seperti tertulis pada persamaan (4)

Page 49: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

40

Page 50: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Formula SPM!

41

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Pertamax... hhmmm... cucok pap

kalo begini... mantab!

Rifmi Utami Hmm... good job, semoga bisa kita pake...

diujicobakan aja dulu, dicari kendala dalam pengaplikasiannya...

baru kemudian disosialisasikan ke seantero negeri...

InsyaAllah tak melok nyoba, mas...

Feni Novikasari Berhubung pake handphone jadi gak

keliatan rumuse. Tapi sepertinya keren pakde.. gud gud gud

Hanifa Denny Tolong teman-teman kita bersama

berjuan tidak hanya SPM ya... ini lho para pekerja sektor

informal dan pekerja industri yang belum terjamin K3nya.. sakit

karena bahaya pekerjaan dan lingkungan kerja, kecelakaan akibat

kerja.. siapa lagi kalo bukan kita yang turut berjuang!

Anisa Riza Untuk inputnya... di breakdown lagi pak.

input bagaimana yang di maksud?

Page 51: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

42

Agung Dwi Laksono Input sih terserah kita mau

memasukkan apa. Klo menurutku Ada 3 kelompok besar, yaitu

sarana-prasarana, sumber daya tenaga kesehatan, dan besaran

anggaran kesehatan.

Riffa Hany Pusiiiiiiaaaaaangggg..., wis manut Om

Agung wae lah....!!!! Nyerah deeeh

Dwee Why Kuliah lagi deeeehhhhhhhhhhhh... belajar

aljabar. hehehe....

mantebbbbb

Anni Haryati Ini rumus simple, tapi klo yang digarda

depan bisa mengaplikasikan bermacam input di dalamnya,

sepertinya yg terbaca jadi banyak... nah, kita cari apa capaiannya

dengan Renstra tingkat Puskesmas ya? Khan di Kabupaten harus

searah tho? Dapatlah gambaran yang sebenarnya. Dengan janji...

bikin input yang bener... capaiannya juga harus pas... jadi ngejar

ketinggalannya nggak terlalu ngos-ngosan. Begitukah???

Agung Dwi Laksono deal! :-)

Page 52: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Formula SPM!

43

Purwani Pujiastuti Hmmm... aplikasinya menjadi

tantangan tersendiri. Riilnya Puskesmas ngerti dan ngeh SPM

(trus berkomitmen) aja sudah syukur.

Vita Darmawati Persamaannya tetap pada hasil kerja di

lapangan... semakin pusing... semakin tidak jalan...

xixixixixixixixi

Page 53: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

44

Page 54: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

45

Barisan Sakit Hati!

Monday, April 26, 2010 at 6:26am

Pada suatu saat di tahun 1999, saya dan temen-temen yang

tergabung di Yayasan Kesuma (Kesehatan untuk Semua;

*nostalgia sejenak cuy…) sedang meng-entertaint Hilmar

Ruminsky, Direktur Friedrich Ebert Stiftung (FES; NGO Jerman

yang bergerak di bidang politik). Kami sedang terlibat kerjasama

dalam persiapan tenaga kesehatan menghadapi otonomi daerah

pada saat itu.

Ditengah perjalanan … Hilmar nyeletuk melontarkan pernyataan

yang menurut saya konyol pada saat itu…

“Saya heran.. di Indonesia itu sekolah dan berobat kok harus

mbayar ya?”

Pernyataan satu kalimat yang membuat kami saat itu terdiam

seribu bahasa. Suasana hati hanya bisa terwakili oleh warna kulit

muka yang merah padam macam kepiting rebus yang hampir

mateng.

*glodak!!!

Page 55: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

46

“Pertanyaan sialaaaaaaan!” sejuta gejolak menggoncang rasa

nasionalisme yang terobek ternistakan dengan sebuah pertanyaan

menghunjam jantung!

*jiahh… bahasa guwa hyperbola banged yak! Hihihi…

Tapi emang asli, pada saat itu saya merasa berada pada titik nol,

ato titik minus, pokoknya titik terendah dalam memegang harga

diri sebuah bangsa.

Saya… seorang yang sangad bangga menjadi ‘INDONESIA’

harus dihempaskan sedemikian berat sampai ke dasar paling

dalam. Sungguh… saya menangis untuk itu. Meski pernyataan

yang keluar cuman cengangas-cengenges wajah tolol tanpa dosa.

Diamput!

Tapi prens… rasa malu ternistakan macam ntu cuman fenomena

sesaat yang kudu dibarengi sebuah ato banyak upaya untuk

mewujudkannya. Saya yang sudah digariskan berkecimpung di

bidang kesehatan, mau gak mau kudu berusaha menambal rasa

sakit hati ini dengan mendorong mewujudkan kesehatan untuk

semua. Minimal berkoar-koar jadi provokator, menghasut insan

kesehatan lain untuk turut bergerak mewujudkannya.

***

Baiklah… kita agak serius dikit yak!

Keinginan untuk mewujudkan kesehatan untuk semua sebetulnya

sudah digembar-gemborkan sejak lama. Pada tahun 2004 sudah

dibikinkan monumen Undang-undang Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN), yang didalamnya sudah termasuk jaminan

kesehatan.

Kok monumen???

Lha memang ntu memang hanya sebuah monumen, sebuah

penanda, warisan DPR dan Pemerintah saat itu (Megawati), yang

Page 56: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

47

oleh pemerintah penerusnya tidak ditindaklanjuti… dijadikan

tidak lebih seperti ‘kekasih tak dianggap’nya Pinkan Mambo.

Saya bukan pengikut Megawati, tapi saya salut dengan upayanya

untuk memulai mewujudkan itu.

Meski kudu kandas pada akhirnya…

Lima tahun tersia-siakan, tertutupi oleh gebyar ‘Askeskin’ yang

sungguh menghambur-hamburkan uang yang berorientasi mutlak

pada pengobatan (kuratif), yang dengan bangga diakui oleh

penggagasnya sebagai produk pro rakyat!

Meski juga harus dipertanyakan ulang… rakyat yang mana?

***

Kementerian Kesehatan saat ini sedang berupaya mewujudkan

universal coverage, jaminan kesehatan untuk semua.

Tapi jangan serta merta terhasut dan menyederhanakan dengan

jargon ‘berobat gratis’.

Gratis pala lu peang!

Kesehatan itu mahal bro!

Meski pada akhirnya yang muncul di lapangan kita tidak

mengeluarkan biaya saat mendapat pelayanan kesehatan. Tetap

saja layanan itu pada akhirnya harus dibayar.

Naaaahhhh! mekanisme pembayaran dan siapa yang

membayar… Ntu yang sedang digodhog saat ini oleh

Kementerian Kesehatan. Pada prinsipnya mekanisme gaya

asuransi yang dipake sebagai landasan.

Bukan karena Menteri Kesehatan berasal dari spesies yang sama

dengan saya (peneliti) bila saya mendukung dan ikut mendorong

Page 57: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

48

kebijakan ini, tapi memang sudah waktunya bagi kita menambal

rasa sakit hati ternistakan oleh bangsa lain dengan berbuat!

Bukan hanya berdiam diri meratapi nasib… jiahh!

Page 58: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

49

Comment

Rachmad Pg Semisal si Hilmar datang lagi, dia pasti

bilang ; “Tolol banget ya orang Indonesia, sudah punya UU

SJSN sejak tahun 2004, belum di apa-apain...” kata si Hilmar

sambil cengar cengir.

Agung Dwi Laksono *glodhak!*

sigh...

Momo Sudarmo Kalo Mas Agung sebutin jaman Bu

Mega, kemudian jaman hingar bingar sebar pesona eh sebar duit

langsung pada rakyat ala SBY, so pasti itu semua kental nuansa

politiknya...

Kalo sudah politik, pasti politik praktis untuk jangka pendek

yang langsung kelihatan hasilnya (tinggal adu kuat duitnya).

Jangka panjang? Sebodo amat, buat 20 - 25 tahun ke depan buat

apa ? Keburu rakyatnya sudah muntah eh muak... Kesehatan

Preventive? Sebodo amat, ngapain capek tidak langsung keliatan

hasilnya...

Sorry apa urusannya kok gue ikut-ikutn masuk Barisan Sakit

Hati?

Agung Dwi Laksono hahahaha...

tidak semua orang bisa ditipu pak!

Page 59: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

50

Ilham Akhsanu Ridlo Eh si Hilmar kemarin main ke

kostku Pa, dia bilang : "Ham, SJSN bisa sukses kalau kamu jadi

Presiden"..wkwkwkw..hihihi..: p

Suatu tanda tanya ‘lagi’ Pa kalau sampai 2012 ternyata belum

jadi UU (kata WJP seh bikin UU paling cepet 2 tahun kalau

dimulai juga dari sekarang)... ya gak tahu lagi wong pada sibuk

sama Gayus dan Jupe... wkkwkw

Feni Novikasari Si Hilmar SMS kalau peraturan itu

dibuat tuk dilanggar! Kik kik kik

Rifmi Utami Selama ‘data base’ morat-marit, serasa

mimpi mau mewujudkan ‘universal coverage’... Mungkin perlu

‘step by step’ mewujudkannya, dan perlu pemahaman utuh

tentang SJSN, sehingga tidak teraplikasi parsial....

Diansanto Prayoga Kayaknya Hilmar sedang ngigauuu:

Indonesia kapan kayak negaraku ‘mimpi kali yeee’ melase

INDONESIA ku Tercinta, semua tergantung oleh komitmen dan

kesadaran kita semua untuk jalannya UU SJSN. (kemaren temen

saya baru nyadar kalo kesehatan mahal sejak memeriksakan

kandungan istrinya, sekarang dia mulai mencari asuransi

kesehatan yang cocok) apa nunggu sadar semua?

Page 60: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

51

Ratna Wati Kalo universal coverage, terlalu sulit di

wujudkan, (bertele-tele, atau ga tau kapan) lha buat apa ada SJSN

segala? Ya paling nggak kalo ga gratis-gratis amat ya mbok

pengobatan lebih murah kek! Semoga!

Agung Dwi Laksono @Ilham; Ada kemauan ada jalan!

Keep fight!

@Feni; Hmmm... prinsipmu yak? hihihi...

@Mimi; Yup! mari kita kawal upaya perwujudannya...

Arih Diyaning Intiasari tahun 19 99... Kesuma... Ibis...

hi... hi... jadi inget kenangan masa itu... Maybe I've been got

inspired that part...

Agung Dwi Laksono @Dian; Masyarakat sadar ato

tidak? Itu juga tanggung jawab kita!

@Ratna; Hahahaha... murahnya seberapa buk? Seribu tiga yak!

@Arih; Mari rapatkan barisan...

Ratna Wati Dasar tukang jemblem tauuk aja!

Evi Sulistyorini Barisan sakit hati ini seharusnya bukan

hanya rakyat pengguna fasilitas kesehatan dan nakesnya tok, tapi

yang mengetok palu di’sono’, lah kalo mereka ajah ga sakit ati...

Page 61: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

52

palu untuk kebijakan kesehatan yang update en real terhadap

keadaan lapangan ga akan terketok tho yo pa....

Femmy Skotia Kalo penduduk Indonesia sesedikit

jumlah penduduk Jerman mungkin bisa. Makanya punya anak

jangan banyak-banyak. Cukup dua aja jadi bisa di'hidupi' dengan

layak, Insya Allah. Tapi fenomena sekarang ini di negara kita

justru malah banyak anak-anak yamg membesarkan anak-anak

alias kawin muda akibat MBA (married by accident, red.), ato

malah anak-anak di luar nikah. Trus banyak yang gak mau KB

meski hidupnya morat marit. Belum lagi poligami, nikah siri dll.

Ribet deh. Akibatnya jadi tambah banyak aja penduduk

Indonesia. Banyak kayak buih di lautan. Sayang SDM nya gak

ngimbangi. Kebanyakan bangsa kita yang pinter-pinter dan

genius-genius lebih suka kerja di negeri orang. Hiks...

Indonesiaku. Kasian deh kamu.

Rima Tunjungsari Dimulai diri sendiri, dari sekarang....

Humpphh... menginspirasi juga om!!

Didik Supriyadi Sayang Kesuma... kalo mau,

sebenernya kita pasti bisa. Hanya sayangnya sudah pada waras

sih. Kalo belum tentu masuk RSJ. Wkwkwkwk...

Christine Indrawati Kalo belum ngerasakan mahalnya

ongkos jadi manusia sehat emang belum ngerasa butuh asuransi

Page 62: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

53

kesehatan deh, apapun bentuknya. Tapi begitu ketiban sakit

berlomba-lomba miskin ben dapet gratis. hehe..

Agung Dwi Laksono @Evi; Hahaha... efek politik gak

sehat!

@Femmy; Trus? Masak cuman bisa kasian gitu?

@Rima; Mari bersamaku.. jadi penghasut aktif yak!

Agung Dwi Laksono @Didik; Disela-sela kewarasan

kita, perlu juga suatu saat 'gila' beberapa saat! Bukan hanya

untuk memanjakan ego dan sekedar mengenang masa lalu, tapi

berbuat yang lebih untuk Republik! mau gila bersamaku???

@Mbakyu; Mental kere yang terlanjur dijadiin kebijakan dasar

kita...

Sutopo Patria Jati Benar mas, nggak ada yang

mengherankan jika perspektif politik yang mau dijadikan pisau

analisisnya :). Motif masing-masing politisi tersebut jelas kepada

kekuasaan, namun ‘ironi’ yang berulang bukan untuk kali ini saja

kelihatannya, UU Kesehatan 1992 yang lama (sudah berusia 17

tahun) sampai akhirnya dibuat UU Kesehatan terbaru di tahun

2009 kemarin apakah sudah diurusin secara ‘wajar dan

proporsional’ oleh Pemerintah dan wakil kita yang sudah

berganti-ganti berapa kali ya? Berapa PP yang dilahirkan dari

UU tersebut selama ini? Dan parahnya kita insan kesehatan

terkesan hanya ‘pasrah dan menyerah kalah’ yang akhirnya

sebagian kemudian frustasi menjadi Barisan Sakit Hati. he he

he...

Page 63: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

54

Mari kita berandai-andai... jika uang kita untuk bayar hutang dan

bunga akibat krisis moneter dan BLBI pasca tahun 1997/1998

(kontributor utamanya kita semua tahu itu terjadi di masa

pemerintahan siapa) yang katanya mencapai 60 triliun per tahun

dan harus dibayarkan sampai tahun 2020 (?) ...seandainya dana

itu sebagian saja bisa digunakan untuk universal coverage

pertahun yang diproyeksikan menelan ‘hanya’ sekitar 17 triliun

(asumsi saat ini) seharusnya sejak 13 tahun kita bisa dengan

kepala tegak bilang sama si Hilmar .. "Pertanyaan loe udah

basiiii bro!" :)

Agung Dwi Laksono Kweren Boss!

sigh... sungguh kangen 'berdiri dng kepala tegak' macam ntu..

Tite Kabul “Tapi jangan serta merta terhasut dan

menyederhanakan dengan jargon ‘berobat gratis’. Gratis pala lu

peang! Kesehatan itu mahal bro!”

Saya suka dengan kalimat diatas, ternyata pegawai saya harus

keluarkan kocek 5,5 juta untuk operasi kista disebuah RS yang

berlabel pemerintah juga, padahal di kelas 3.

Agung Dwi Laksono Hahahaha... Bu Tite kok suka

dengan kata-kata kasar saya sih? Jadi malu...

Didik Supriyadi Jika kita melihat kejadian mark up

alkes di Kemenkes tentang alkes kita bisa bertanya apa bedanya

rowing dan steering? obat aja harus drop-drop an dari pusat. Apa

Page 64: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Barisan Sakit Hati!

55

daerah ndak bisa itung kebutuhan? Biaya penelitian untuk

menjadikan kebijakan berapa banyak? Lha wong mesti nunggu

donor. Kayak Kesuma kan nunggu dari jerman. Seringkali pilot

project hanya berorientasi proyek, bukan program. Nah kalo gini

sebenernya siapa yang waras?

Agung Dwi Laksono Lha kamu maunya digolongkan

waras po gendheng? Nek aku manut wae...

Didik Supriyadi Aku manut sing tuo ae. Engko kualat...

Page 65: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

56

Page 66: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Berbicara pada Dewan...

57

Berbicara pada Dewan…

Monday, August 2, 2010 at 7:25am

Morning all,

Dalam konteks sebuah konsep komunikasi, seorang ‘health

advocate’ sebagai komunikator (sender) harus tau siapa yang

dihadapi? Harus paham bagaimana perspektif komunikan

(receiver? Apa yang paling krusial yang menjadi pertimbangan

sebuah keputusan lawan bicara? Termasuk didalamnya

bagaimana meyakinkan anggota dewan terhormat untuk mengerti

tentang pentingnya ‘kesehatan’?!!!

Bahasa Duit!

Berbicara tentang duit selalu saja menarik! Tidak saja bagi

seorang anggota dewan… tapi juga saya! Hehehe…

Page 67: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

58

Berbicara tentang men’duit’kan kesehatan memang susah-susah

gampang (‘susah’nya udah saya duluin daripada gampangnya

tuh!), meski juga bidang ‘ekonomi kesehatan’ sudah bukan

barang asing bagi kita.

Tapi… mau tidak mau kita harus memakai bahasa duit bila

berbicara dengan dewan, karena bahasa duit lebih mudah

dipahami sebagai konotasi ‘untung-rugi’ sebuah program, dalam

konteks keekonomian sebuah kegiatan.

Bila kita kesulitan menunjukkan ‘keuntungan’, mungkin bisa

dicoba dengan menghitung ‘potential lost’nya. Klo kita gak bisa

nunjukkin kelebihan imunisasi, tunjukkin kerugiannya bila kita

tidak melakukan imunisasi!

Tunjukkan bahwa jargon ‘kesehatan adalah investasi’ bukan

omong kosong!

Efisiensi Ekonomi…

Bicara untung-rugi dan duit… maka kembar identik dengan

efisiensi secara ekonomi!

***

Suatu saat… pada waktu kuliah ketika ditanyai guru saya

tentang pengertian ‘efisien’, maka sesuai yang saya tau ketika

dulu dapet pelajaran ekonomi bahwa efisien adalah

‘memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan modal

seminim-minimnya’. Dan betapa saya didamprat guru saya

ketika itu! ‘kamu itu materialis! Tidak lebih lintah darat

kapitalis!’

Laaahhhhhh…! Saya pan cuman mengulang kata guru saya

terdahulu…

Ternyata… menurut beliau, efisien adalah ‘memperoleh

keuntungan sebesar2nya dengan seluruh sumber daya yang ada’,

Page 68: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Berbicara pada Dewan...

bukan dengan sumber daya yang minim!

Perasaan gak beda2 amat ya… hihihi…

***

Balik maniiiing…

Efisiensi dalam perspektif provider kesehatan, baik swasta

maupun milik pemerintah mungkin penting dalam upaya

efisiensi sosial, tapi tetap saja belum cukup! Perlu perspektif

lebih luas untuk memahami konteks sosial dalam masyarakat.

Beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk penguk

efisiensi bidang kesehatan bisa dipelototin pada matriks berikut;

Baiklah… untuk teknis secara detail… karena hari sudah siang,

nti bisa ditelusur lebih jauh contoh penerapannya dalam kondisi

lapangan.

(see 'Identifying, Categorizing, and Evaluating Health Care

Efficiency Measures' by Elizabeth A. McGlynn, et al., 2008

Berbicara pada Dewan...

59

der kesehatan, baik swasta

maupun milik pemerintah mungkin penting dalam upaya

erlu perspektif

ial dalam masyarakat.

Beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk pengukuran

efisiensi bidang kesehatan bisa dipelototin pada matriks berikut;

Baiklah… untuk teknis secara detail… karena hari sudah siang,

nti bisa ditelusur lebih jauh contoh penerapannya dalam kondisi

Evaluating Health Care

Efficiency Measures' by Elizabeth A. McGlynn, et al., 2008)

Page 69: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

60

Comment

Rachmad Pg Jadi mikir, masih efektifkah menggunakan

bahasa ekonomi, apa yang dilakukan Pong tempo hari menurutku

jauh lebih efektif, meski dia dianggap alami gangguan jiwa....

Agung Dwi Laksono Hahaha...

'kegilaan Pong' merupakan sebuah moment! Naaahhh...

bagaimana kita menyikapi dan melanjutkan moment tsb! jangan

sampe ketinggalan moment...

Sutopo Patria Jati Dengan model pemilu kemarin

menghasilkan karakter anggota dewan yang selain harus populer

juga berkantung tebal sekali... jika menghadapi ‘lawan’ seperti

ini teknik komunikasi bahasa akademis termasuk dengan model

itungan ekonomi yang cetho melo melo... tetap aja nggak

digubris (nggak mau dan mungkin nggak mampu

mencernanya)...

Fenonema Pong cukup bisa membuktikan bhw pendekatan ‘cara

jalanan/cow boy’ mungkin jauh lebih efektif... soale dewan e wis

samin yo kudu diladeni dengan coro ‘nyamin’ :)

Meskipun ini juga gak semuanya tepat karena tergantung dengan

kondisi daerah masing-masing bahkan bisa jadi yang samin

bukan dewannya tetapi malah bupati/walikotanya sebagai

dampak dari desentralisasi yang kebablasan...

Page 70: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Berbicara pada Dewan...

61

Ilham Akhsanu Ridlo Pa, ini sepertinya pas dibuat

thesis... ajarin dunk... ada deadline judul nih... hehehe.., datanya

juga : P

Dyah Yusuf Kesehatan harus disesuaikan dengan UUD,

Ujung Ujungnya Duit... ;) kalau ngomongin investasi kesehatan

ya lebih pas lagi dikaitkan dengan JPKM... sedikit banyak JPKM

pasti ada korelasinya dengan derajat kesehatan... Riskesdas ada

data gak neh...?!?

Agung Dwi Laksono @Sutopo; *sedang berpikir

bagaimana membawa arus opini yg juaoh lebih 'nyamin' lagi*

@Ilham; Besok pagi tak upload deh bukunya...

@Dyah; Riskesdas cuman nampilin data dasar non! Perlu kajian

tersendiri yang mengkhususkan hanya pada pembiayaan

kesehatan. Keknya 2012 ada plan untuk itu...

Dfc Surabaya Tiidak mungkin sebuah program bisa

terlaksana tanpa ‘duit’. Berbicara dengan Dewan memang tidak

bisa dipisahkan dari ‘duit’ karena memang salah satu tugas

mereka adalah bersama-sama eksekutif menyusun anggaran

pembangunan (program). Kalau bicara dengan Dewan tanpa

menyebut nominal pasti keuntungan ya namanya demo... ha ha

ha ha ha...

Berapapun nominal sebuah program entah karena iklim politik,

birokrasi, dan LSM-LSM kita yang masih mencari celah

keuntungan, yang pasti implementasi ke rakyat tidak

Page 71: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

62

meninggalkan substansi dari program itu sendiri. Bila konteksnya

kesehatan maka substansinya tentu berkaitan dengan peningkatan

kualitas kesehatan rakyat.

maaf kalau sok teuu.... he he he he....

Ilham Akhsanu Ridlo Iya Pa... butuh inspirasi buat

thesis Pa... deadline nih..

Sulistyawati Itheng Sejatinya duwit tu akeh di negri ini,

cuma susah cairnya... karena tingkat kekentalannya aneh...

efisiensi??? heh basi...

Rifmi Utami Thesisku tentang CEA, mas...

membandingkan 2 cara penemuan penderita kusta...

Semestinya bisa dipakai untuk advokasi ke dewan...

Tapi sayang, perlu eksekutif yang ‘dong’ (ngerti, red.), bahwa

metode-metode itu bisa dipake untuk membantu advokasinya...

Malah untuk nge-gol-kan pake bahasa duit yang konkret sambil

bisik-bisik alias ng*mpl*p....

oh... poorly my country... hix hix...

Rachmat Hargono Wah wis uakeh sing komen... kabeh

bener...

Emang di Indonesia tercinta ini gak ada yang salah kug...

termasuk menerima amplopan ternyata bisa gak salah....

Page 72: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Berbicara pada Dewan...

63

Buat Ilham ini bisa bwt judul thesis... efektivitas amplop dalam

upaya advokasi kesehatan......

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Membuat agar

Senators melek arti penting Kesehatan? Wah udah melek

mereka. Kalo soal kepentingan, bila terganggu baru bereaksi

(individualistis). Nah, kalo menjadi kebutuhan, ini yang susah,...

banyak konstituennya yang terlantar (tidak sesuai UUD, ada

kewajiban negara), namun tidak banyak upaya yang signifikan

dan menjadi rujukan utk pengembangan. Semua butuh kesehatan,

namun yang punya POWER dan AMANAH, tidak semua

memenuhi kebutuhan. Soal membawa opini tentang kesehatan

agar senator mendukung dan care, yah...nanti dulu. Harus lihat

apa yang lagi HOT dan SEXY di NKRI ini, ekstrimnya yang bisa

melanggengkan POWER... hehehehe. Namun, selamat

berjuanglah buat rekans Advokator Kesehatan. Selamat mendidik

dan memberi contoh yang benar tentang Kesehatan. Salam

SEHAT.

Dfc Surabaya Kayaknya ga cuma Dewan juga deh yang

mau amplop... Ekskutif dan LSM juga mau... jadi karena sama-

sama mau maka sama-sama tahu maka sama-sama kolusi maka

sama-sama korupsi... maka rakyat tetaplah angka-angka statistik

yang bisa datangkan angka-angka duit... he he he he....

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Gung, moga-

moga dari diskusi mu ini, bisa muncul Pong-Pong lain... hehe...

Page 73: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

64

Didik Supriyadi Kebetulan saya selalu terlibat

pembicaraan anggaran kesehatan dengan anggota dewan. Dan

kebetulan di Bojonegoro keadaanya tidak selalu berujung pada

duit. Efektifitas program dengan mempertimbangkan RPJMD

menjadi salah satu syarat mengembil keputusan. Memang tidak

semua anggota dewan bisa berpikir seperti itu. Namun secara

kebetulan lagi saya bisa berbicara secara informal dengan

anggota dewan yang memiliki ‘pengaruh’. Dari yang informal

inilah menjadi suatu yang keputusan yang formal. Menurut saya

advokator tidak melulu melalui meja formal.

Evie Sopacua Actions adalah kegiatan yang merupakan

pengejawantahan pikiran untuk menjawab needs... gitu ya mas

don? ..hehehe... masalahnya, ketika kita mau membuat para

senators aware that there's something wrong dengan kesehatan di

Indonesia and specially di wilayah yang menjadi

tanggungjawabnya di wilayah yang mendukung dia menjadi

senator adalah ketika kita bisa mengalihkan perhatiannya kesitu..

But first (eh... nulisnya nih nyonto gaya Cinta Laura gicu...)

nuruti teori advokasi, we have to understand their needs, and

fulfill it sesuai dengan kemampuan kita to get their attention...

and as they focused on us, baru deh kita bicara apa yang kita

pingin dia fahami dengan mendorongnya untuk

menindaklanjutinya dengan apa yang dia bisa lakukan sebagai

senator... gitu ya mas didik in Bojonegoro...

Didik Supriyadi Betul Oma... Hari ini pun saya akan

mencoba lagi membuat anggota legislatif akan percaya bahwa

kesehatan merupakan hal yang tidak boleh dipandang sebelah

Page 74: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Berbicara pada Dewan...

65

mata. Hari ini saya dan istri tercinta (mewakili 2 instansi yang

berbeda) akan mengikuti pembahasan KUA PPAS. Doakan ya

konsep kami bisa diterima....

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan ep...ACTION(S),

agar Senator, yang notabene udah melek, mau komit dan paham

apa yang HARUS dia lakukan untuk konstituen/negaranya. Di

sini peran semua (termasuk advokator, mobilisator, peer group,

masyarakat) mengawal implementasi komit dan paham tadi.

Salam SEHAT.

Page 75: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

66

Page 76: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

67

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

Monday, April 12, 2010 at 6:19am

My dear friends…

Kemaren sempet diskusi dengan orang Balitbangda Provinsi

Jawa Timur. Membahas topik beberapa program unggulan

provinsi jatim dalam bidang kesehatan untuk tahun 2010. Salah

satunya adalah upaya untuk ‘menaikkan status puskesmas

rawat jalan menjadi rawat inap???’ .

Upaya ini oleh Gubernur Jawa Timur, Pakde Karwo,

dimaksudkan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan

bagi masyarakat. Upaya ini juga merupakan salah satu

penjabaran slogan gubernur jatim ‘APBD untuk rakyat’.

Entah rakyat yang mana? Hihihi…

Agak geli juga dengan slogan itu…‘APBD untuk rakyat!’.

Apakah selama ini APBD tidak diperuntukkan untuk rakyat?

Page 77: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

68

Pakde Gubernur tau dong kemana saja aliran dana APBD

Provinsi selama ini? Pakde Gubernur kan seorang birokrat tulen

sebelumnya, dengan jabatan terakhir Sekdaprov. Ato sebenarnya

Pakde Gubernur tau banyak ‘gayus’ di provinsi ini sebelumnya!

Bwakakak…

Eh... balik maning ke topik diskusi… ‘menaikkan status

puskesmas rawat jalan menjadi rawat inap???’ Seperti biasa saya tidak serta merta setuju dengan upaya yang

satu ini!!

Tapi tetap juga, ini versi saya!

Sampeyan boleh tidak sependapat, dan klo bisa juga jangan serta

merta setuju dengan pendapat saya. Cuman semata biar

diskusinya bisa rame. Hihihi…

Bagaimana bisa?

Dengan trend perkembangan kesehatan yang lebih berorientasi

pada preventif-kuratif,

Pakde malah berusa

membawa bidang

kesehatan di Jatim ke arah

kuratif-rehabilitatif.

Pakde tidak berusaha pro

aktif untuk membuat dan

meningkatkan jumlah

rakyat sehat dengan

memperbanyak upaya

pencegahan supaya

rakyatnya tidak sakit, tapi

Pakde malah hanya

berusaha menyediakan tempat pengobatan.

Padahal kita sudah sama-sama tau, bahwa upaya pencegahan

jauh lebih cost effective dibanding upaya pengobatan. Jadi…

sangat perlu untuh jauh lebih berorientasi pada upaya

rovinsi selama ini? Pakde Gubernur kan seorang birokrat tulen

hir Sekdaprov. Ato sebenarnya

ernur tau banyak ‘gayus’ di provinsi ini sebelumnya!

‘menaikkan status

upaya yang

ampeyan boleh tidak sependapat, dan klo bisa juga jangan serta

perkembangan kesehatan yang lebih berorientasi

kuratif,

Pakde malah berusaha

atim ke arah

rehabilitatif.

Pakde tidak berusaha pro

aktif untuk membuat dan

meningkatkan jumlah

rakyat sehat dengan

memperbanyak upaya

pencegahan supaya

rakyatnya tidak sakit, tapi

de malah hanya

sama tau, bahwa upaya pencegahan

dibanding upaya pengobatan. Jadi…

Page 78: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

69

pencegahan, tanpa juga meupakan upaya pengobatan.

Setuju, asal…

Saya bisa saja sepakat dengan upaya ini!

Dengan syarat… upaya ini dilakukan di daerah terpencil yang

akses pada tempat pelayanan kesehatan rawat inapnya sangat

jauh ato bahkan tidak tersedia. Daerah yang untuk mengakses

layanan rawat inap membutuhkan waktu lebih dari lima jam

perjalanan.

Tapi lagi-lagi saya agak kurang yakin kriteria ini ada di wilayah

Provinsi sekaliber Jawa Timur.

Ato rekan-rekan bisa menunjukkan pada saya, biar bisa

membuka mata dan wawasan saya lebih lebar…

Kebijakan untuk ‘merawatinapkan puskesmas rawat jalan’

bisa jadi membawa dampak kebijakan yang sangad jauh dari

harapan. Petugas puskesmas akan menjadi sangad berorientasi

pada kuratif!

Bagaimanapun…

Di puskesmas upaya kuratif ato pengobatan lebih menghasilkan

duit ketimbang upaya prenventif ato pencegahan. Dan tentu saja

petugas puskesmas juga manusia, yang matanya ijo klo liat duit!

Hihihi… saya juga termasuk sih…

Udah ahh… udah siang neh! Ntar telat lagi ngantornya…

Bye… prens…

Page 79: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

70

Comment

Rifmi Utami Klo Puskesmas yang jauh dari RS di

Sumenep banyak mas... tuh di hamparan pulau-pulau sebelah

Utara dan Timur...

Klo toh harus merawatinapkan semua Puskesmas, ya... harus

dipenuhi semua syaratnya, termasuk dokter dan paramedis yang

memadai, serta peralatannya...

Tapi yang namanya promotif-preventif... wajib juga

dilaksanakan... keempatnya harus tetap sinergi (promotif-

preventif-kuratif-rehabilitatif).

Curie Kharisma Yap betul, puskesmas itu kan melayani

pelayanan kesehatan primer (promotif dan preventif), dan kuratif

dasar, jika pasien memang harus MRS ya rujuk ke RS.

Untungnya Bu Menkes kita udah mulai menggalakkan kembali

upaya promotif dan preventif, salah satunya dengan vaksin

filariasis (tapi sayangnya belum disadari kalo strain orang

Indonesia beda dengan strain orang negeri asal vaksin).

Dari Puskesmas sampe nyasar ke vaksin nih.. hehehe...

Yang jelas ini jadi PR kita rame-rame... hufff.. (PR lagi Papa).

Filaili Mauludiani Terus rawat inapnya pake program

gratisan lagi bagi seluruh masyarakatnya alias pengobatan gratis.

Berapa lagi anggaran yang harus tersedot untuk upaya kuratif

alias pengobatan????? banyak KEPENTINGAN sih memang,

sekarang malah pemerintah daerah berlomba-lomba membuat RS

meskipun itu cuma tipe D. di Kabupaten X jumlah penduduknya

Page 80: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

71

cuma 200 ribu lebih sekian, udah punya 1 RS tipe C, 2 RS

Swasta, masih mau meningkatkan Puskesmas Rawat Inap

menjadi RS tipe D. Mbok ya duit daripada buat RS lebih baik

buat operasional program. Lha wong untuk menuju RS yang ada

baik pemerintah maupun swasta cuma membutuhkan waktu

paling lama 2 jam lho, alasannya sering banjir, jalur perairan

(tapi bukan pulau sih). Kalo alasan infrastruktur kan bisa bangun

jembatan, jalan, dll, banyak pihak lagi yang bisa memanfaatkan

hasilnya.

Sujud M Raharja He... he... jadi ingat waktu nanyai

adik-adik magang... beda Puskesmas dengan RS. Ups...ternyata

mereka gak tau (bahkan teorinya) duh... capek deh. gimana bisa

mengkritisi kalo udah begini.

Feni Novikasari Kalau 5 jam kelamaan Pakde.

Paradigma sehat kurang greng karena program pemerintah masih

paradigma sakit.

Curie Kharisma @Pak Sujud: Emang yang magang

mahasiswa informatika apa akuntasi? Hehehe...

Evi Sulistyorini Terlepas dari kebijakan itu pas ato

belum, pasti sebelumnya ada masukan ato fakta bhwa 'rakyat

kecil' menginginkan fasilitas rawat inap di dekat rumahnya..

*positive thingking*

Cuma kebijakan itu bisa diterapkn pada daerah yang berkriteria

Page 81: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

72

khusus (jauh dari RS) dan dirasa administrasi di Puskesmas lebih

mudah dan murah dibanding RS.

Itu pendapat saya mas...

Diansanto Prayoga Memang untuk mendekatkan

pelayanan kesehatan, tapi Puskesmas lebih baek digenjot untuk

promotif dan preventif, pelayanan di luar puskesmas yang harus

dikejar,

paradigma sehat selalu harus ada pada setiap nakes d puskesmas.

Salam sehat dan salam ikhlas

Rachmad Pg ..Diskusi kaum pinggiran nih yee.....

Emy Widyastuti Kalo menurut aku sih.... peningkatan

lingkungan sehat, PHBS dulu baru Puskesmas dengan Rawat

Inap khusus buat wilayah sulit...

Rachmat Hargono Bahan bagus untuk diskusi.....

Kalee kita perlu redifinisi Puskesmas itu apa yha, termasuk

tupoksinya. Dalam menyusun tupoksi ini kayaknya (mau gak

mau) kita harus mengacu pada paradigma sehat... tapi...

Selama ketersediaan dan akses pelayanan kuratif (yang memang

masih dibutuhkan, terutama untuk daerah terpencil) belum bisa

dipenuhi, maka Puskesmas bisa menyediakan tempat perawatan.

Jadi... harus dibedakan tupoksi Puskesmas daerah 'terpencil' dan

perkotaan... (kayaknya ini sesuai dengan kuliah bahwa

sebenarnya penyediaan pelayanan itu harus mengikuti

Page 82: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

73

kebutuhan). Tinggal kita menetukan kriteria daerah terpencil atau

tidak.

Tambahan catatan : Siapa bilang pelayanan promotif dan

preventif tidak bisa mendatangkan uang....? Banyak tuch temen-

temen Kepala Puskesmas yang sangat kreatif sehingga mereka

bisa dapat banyak uang justru dari kegiatan promotif dan

preventif... ini yang harus dipakai sebagai pembelajaran....

Agung Dwi Laksono @Mimi; Hahaha... kok bisa pas

gini ya?

Madura... daerah yang menitiskan seperempat nyawa saya. Saya

punya komitmen khusus dengan daerah ini!

Realitas saat ini... madura dalam indikator IPKM (Indeks

Pembangunan Kesehatan Masyarakat) menempati urutan bontot

di Jawa Timur, dan bahkan di Indonesia. Ini terjadi di 4

kabupaten yang ada!

Saya berkolaborasi dangan Mas Pranata (peneliti pribumi

Madura) dan juga Balitbangprov (kebetulan Kabidnya juga

pribumi Madura) akan mewujudkan komitmen kami... (ato lebih

tepat obsesi ya?) atas daerah khusus ini. Mohon do'anya saja agar

komitmen ini bukan hanya lip service...

Agung Dwi Laksono Yang jelas kebijakan ini juga

seiring dengan kebijakan 'kesehatan gratis' yang dibesut Pemprov

dalam jamkesdanya.

Kebijakan ini menjadi salah ato tidak memang tidak bisa dilihat

secara parsial, tapi perlu dilihat secara global menyeluruh.

Page 83: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

74

Kita yang akan mengawal agar kebijakan itu tidak salah momen

maupun salah tempat! Perlu banyak kritik membangun, kritik yg

sekaligus memberi jalan keluar!

Mungkin kita juga tidak bisa berpatok pada definisi operasional

(DO) puskesmas klasik. Kalau perlu kita bikin DO puskesmas

sendiri yang mengacu pada spesifik lokal daerah!

Ilham Akhsanu Ridlo Ini juga yang membuat saya

gelisah... semua pelayanan Puskesmas di dorong ke arah ISO,

terutama untuk upaya-upaya UKP. Secara tidak langsung

konsentrasi Puskesmas berganti karena ini lebih menguntungkan

buat kantong... Apalagi sekarang khususnya di Surabaya semua

didorong ke arah pelayanan spesialis... Duh Gusti gimana ini?

Didik Supriyadi Ketika kita berharap bahwa

masyarakat sehat merupakan suatu investasi yang tak

terbantahkan, apakah pantas pendekatan medis (baik umum

maupun spesialistis) tetap dikedepankan dengan

mengatasnamakan kedekatan akses? Apakah dengan dalih ‘untuk

kesehatan masyarakat’ dana yang sedemikian banyaknya hanya

untuk orang sakit saja? Apakah ketika mereka telah ‘sehat’

mereka akan menjadi produktif bila kesempatan kerja, kreatifitas,

inovasi ketersediaan sarana penunjang pertumbuhan ekonomi

masih berjalan ditempat?

Rachmad Pg ...berpikir imajiner, mungkin situasi

umum ini (puskesmas yang kuratif oriented) berlaku karena tidak

ada yang berani tampil beda dengan menempatkan Puskesmas

Page 84: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

75

murni sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

di Kecamatan & menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dan

keluarga di bidang kesehatan masyarakat...

...pernah suatu ketika, saat diskusi dengan petinggi kota, mereka

membayangkan Puskesmas yang seperti itu aja sulit, apalagi

diimplementasikan...

...sebetulnya ada upaya ‘mission impossible’ yang bisa kita

lakukan, kita bikin pilot project ‘puskesmas’ yang kita maui...

yang sulit (karena mission impossible, red.) adalah nyari orang-

orang GILA yang mau ngelakuin itu bersama...

...dulu sempet punya beberapa teman GILA, eh belum sempet

dilakuin uda WARAS duluan...

Agung Dwi Laksono Bwakakak... dwogol lo!

Lo masuk yang udah waras yak???

Rachmad Pg Me? Just pretending to be normal...

wakakakaka...

...tergantung pergaulan Cak... nek ngumpul karo wong waras yo

melu waras... tapi nek ngumpul nang lampu merah pucang yo

dadi GILA maneh...

Sing jelas waras yo sing komen nang dhuwurku pas iki...

wakakakaka...

Agung Dwi Laksono Kalau udah nemu yang gila

barangkali bisa buat project try out di Sumenep!

Page 85: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

76

Asli pengen buat project gila juga!

Rachmad Pg Sumenep? Serius nih.......

Okay, kabar kabari, siap bantu, saiki tak persiapan sek mlebu

RSJ Menur...ben dapat lagi feelnya......

Ilham Akhsanu Ridlo Eh ehe... aku melu proyek gila

dunk... pan saya juga kaum ‘pinggiran’ yang rada

gila...wkkwwk...

Rachmad Pg ...bukan proyek seperti yang di situ loh

Ham... hahaha...

Nih namanya, mission impossible, butuh belajar banyak ama

Ethan Hawk... wkwkwk...

Bila gagal, pemerintah tidak tanggung jawab, resiko ditanggung

pelaksana... hehehe...

Mamik Hidayah Pagerwojo sekarang jadi rawat inap

lho Mas. Mmg jauh dari RS, jadi diharapkan dengan ada rawat

inap di Gunung, masyarakat ga perlu jauh-jauh turun ke kota.

Ilham Akhsanu Ridlo @Mas Rahmad: Iyo wes... gak

apa-apa... ayo mas... aku yo gemezzz... hehehe...

Page 86: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Merawatinapkan Puskesmas Rawat Jalan!

77

Didik Supriyadi Sing dhuwurmu gak abot tha?

Rachmad Pg Wakakaka... wes waras tah Dik? Ndang

sukuran rek...

Ratna Wati Menurutku bagus juga merawat inapkan

Puskesmas, sebagai pelayanan masyarakat, khususnya daerah

terpencil, asalkan tersedia sarana obat-obatan, dan tenaga

medisnya! Masalahnya siapkah pemerintah mengupayakan

ini?!...

Page 87: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

78

Page 88: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

79

Kebijakan ini-itu!

Sunday, January 16, 2011 at 11:06pm

Dear all,

Kebanyakan dari kita... saya dan sampeyan-sampeyan semua,

yang bisa berkutat dengan Facebook adalah jenis yang paparan

terhadap informasi dan pelayanan kesehatan sudah bisa dibilang

cukup! dan bahkan mungkin berlebih...

Meski untuk mengaksesnya tetep juga dibutuhkan duit! hehehe...

Akses pelayanan kesehatan di negeri kepulauan terbesar di dunia

ini, sampai saat ini bukan hanya akses soal duit, ntu mah udah

advance! yang lebih mendasar, yang dari jaman baheula nyampe

saat ini masih tetep jadi masalah adalah ketersediaannya, baik

fasilitas pelayanannya maupun soal ketersediaan tenaganya.

Page 89: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

80

Siapapun yang jadi menteri kesehatannya... saya jamin masih

akan mumet tujuh turunan!

Pertiwi kita sangat luas, dengan disparitas antar wilayah masih

juga sangat lebar.

Teknologi kedokteran paling mutakhir bisa jadi kita sudah

memilikinya! Singapura ato Malaysia sih lewaaaat...

Tapi tetep aja masih ada daerah yang bahkan untuk mencapai

Puskesmas Pembantu ato Polindes kesulitan, dan ato bahkan

tidak ada akses!

Bukan isapan jempol, saya.. dengan mata kepala sendiri pernah

menjumpainya…

Terlalu luasnya wilayah yang harus dijangkau, terlalu banyaknya

komunitas yang harus dilayani, terlalu bervariasinya ekonomi

dan pendidikan menjadi tantangan tersendiri untuk semua jenis

pelayanan publik di negeri ini, terlebih bidang kesehatan.

Page 90: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

81

Kita betul2 kekurangan tenaga! …sudah tenaganya dikit,

ngumpul di kota besar pula!

Diam-diam kita menyimpan bara api yang cukup laten.

Untuk perluasan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan,

pemerintah seperti kebingungan dalam mengambil kebijakan.

banyak kebijakan yang dibuat dalam kenyataan di lapangan

justru ditabrak sendiri.

Pemerintah membesut Undang-undang Praktek Kedokteran yang

melarang praktek tindakan medis dilakukan oleh profesi selain

dokter, tapi di sisi lain juga dikeluarkan kebijakan soal

Poskesdes, yang notabene digawangi oleh paramedis, yang jelas-

jelas bukan dokter. Belum lagi bidan pun boleh melayani

pengobatan, meski katanya terbatas pada penyakit yang

menyangkut kebidanan, tapi siapa yang tau praktek di

lapangan…

*saya tau lahhh! hehehe…

Ketegangan dengan organisasi profesi pun tidak bisa

dihindarkan...

dalam catatan saya… Organisasi profesi kumpulan dokter

spesialis obgyn pun protes terhadap kebijakan Kementerian

Kesehatan yang memperbolehkan bidan berpraktek mandiri,

meski juga dengan dalih menolong persalinan normal.

Organisasi profesi dokter pun keberatan dengan keberadaan

paramedik (perawat & bidan) yang berpraktek mandiri, yang

bukannya berpraktek asuhan keperawatan, tapi lebih pada

kuratif, yang bahkan sudah sangat invasif.

Klo sampeyan yang jadi Menteri Kesehatannya piye jal? Mumet

po ora?

Page 91: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

82

Pemerintah dihadapkan dengan Angka Kematian Ibu yang meski

turun, tapi tetap saja memprihatinkan. Sedang cakupan

persalinan ke tenaga kesehatan pun juga mengecewakan.

Untuk itu maka pemerintah mengambil beberapa kebijakan soal

kebidanan, mulai dari dokter plus (dokter yg diberi tambahan

kursus gynecology) sampai pada menggenjot jumlah lulusan

bidan.

Bukan hanya lulusan bidan, lulusan tenaga kesehatan yang lain

pun ikut-ikutan digenjot demi memenuhi ketersediaan dan

aksesibilitas pelayanan kesehatan. Maka tumbuh suburlah

akademi dan sekolah tinggi kesehatan di negeri garuda ini.

Eitsss… masalah belon selesai…

Tumbuh suburnya akademi dan sekolah tinggi kesehatan

bukannya lepas dari masalah! Sekolahan yang lulusannya banyak

bekerja dengan urusan terkait nyawa manusia ini pun cukup

banyak yang begajulan…

Yang cuman sekedar lulus pun tak sedikit!

Belon lagi soal dualisme penyelenggaraan pendidikan kesehatan

ini! antara besutan Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan

Nasional dengan PPSDM Kementerian Kesehatan. Wis tambah

mumeeet…

***

Pemerintah bukannya tidak tau dan tidak mau tau soal standar

yang ngotot dijadikan landasan oleh organisasi profesi dalam

memprotes setiap kebijakan.

Page 92: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

83

Tapi pemerintah juga dihadapkan dengan masalah ketersediaan

dan akses yang harus dengan cepat diselesaikan, sementara

organisasi profesi belum bisa memberi solusi manjur.

So... kebijakan kebanyakan bukan soal salah ato benar...

tergantung kita mau memilih kebijakan yg mana... yang

terpenting adalah konsekuensi dari setiap pilihan... bisakah kita

mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?

*sorry mumet!

Page 93: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

84

Comment

Aditya Tetra Firdaussyah Betul pak, beberapa

Puskesmas sulit dan bahkan tidak dapat dijangkau jika musim

penghujan seperti ini, akses komunikasi yang terputus kadang

menjadi penghambat pertukaran info.

Dessy Inggrina Lahh kalau bidan ga boleh buka praktek

sendiri, kasihan iparku dong yang dah syusyah payah

mewujudkan cita-citanya buat jadi bidan desa...

dah kuliahnya mahal, pake biaya ini itu, harus begini begitu...

Mosok seh mau nunut terus sama dokter puskesmas, mbok yo

biarin aja mandiri dengan buka praktek dirumah...

Iparku pengen juga jadi PNS, tapi ujung-ujungnya pake duit lagi,

ga tanggung-tanggung bergepok-gepok tuh! trus gimana

dong?!...

Agung Dwi Laksono @Tetra; Kondisi di kepulauan dan

perbatasan lebih parah dari itu...

@Dessy; Kok jadi curhat ke diriku sih??? hihihi...

Rafael Soe Jien Jadi ingat waktu tourney di Putusibau

Kalimantan Barat dan di Woja Asmat Papua... telegram dikirim

jam empat... kami dateng 2 hari kemudian... baru besoknya

telegram sampai... tenaga medis bingung... semua orang

kampung pergi ke hutan... siapa yg mau diobati? Kikikikiki...

Page 94: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

85

Bunda Sejatiku Kalo kebijakan Menkes diterapkan di

Kabupatenku, jelas-jelas ga bisa, kecuali kalo dokter-dokter itu

mau ditempatkan di daerah terpencil? Buktinya... dan tidak ada

yg bisa merubah & memaksa kepercayaan masyarakat (daerah

terpencil) tuk berobat di tempat yang sesuai dengan

kemampuannya (secara ekonomi). Ini ada lagi yang lucu (waktu

aku kunjungan untuk akreditasi instansi Pendidikan) Depkes

secara jelas dan tegas melarang sekolah SPK, tapi karena alasan

kebutuhan nakes... Dinas pendidikan memberikan ijin dengan

catatan : ada lokasi sekolah dan ada muridnya... walaupun jumlah

biaya pendidikan harus ditanggung ber-16 siswa... ck ck ck...

seperti sekolah-sekolahan saja...

Aditya Tetra Firdaussyah Betul pak, hehe, ingat di

Keerom, Papua, begitu dekatnya sampai-sampai saya lihat ada

warga Papuan New Guinea yang berobat di Puskesmas

Indonesia. Kesehatan memang tidak boleh memandang suku,

bangsa, agama dan politik.

Dessy Inggrina Yaa maksudnya menyimak diskusi

sekalian curhat gitu dehh...

by the way tanya dong, vit c dan kolagen bagus ga sih

sebenernya? hihi...

Ratih Wirapuspita Ojo mumet yo... dikerjakan saja

tugas masing-masing sebagai warga negara yang baik...

Page 95: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

86

Nita FreezeDudulz Setahu saya sebagai orang yang

awam dalam ‘dunia ini’ pelayanan seorang bidan baik yg praktek

mandiri ataupun yang praktek di RS lebih friendly dan lebih

welcome dari seorang dokter spesialis. Ibu bidan bisa lebih sabar

dan telaten nungguin si ibu yang mau melahirkan, sementara

seorang dokter spesialis cenderung menyerahkan dukungan

moral bagi si pasien kepada seorang perawat, beliau baru datang

ketika si janin sudah mendesak banget pengen melihat dunia,

sangat ironis untuk ukuran seseorang dengan level yang lebih

tinggi.

Jadi kenapa harus ada keberatan untuk praktek mandiri bagi

seorang bidan? Jika sebatas melahirkan secara normal kan bidan

juga bisa menangani, dan menurut pengamatan saya, bidan juga

akan cepat melakukan tindakan jika pasiennya ada kelainan dan

hrs diCesar misalnya, dengan segera membawa pasien ke RS

terdekat.

Makin ngelantur kan saya? Harap maklum, otak lagi stuck,

mohon maap yaa... wassalam :|

Yuliastuti Saripawan Suatu kebijakan belum tentu

sesuatu yang bijak untuk diterapkan disemua tempat. Untuk

pelayanan kesehatan.. Saat ini cukup kita lihat apa yang

dibutuhkan masyarakat segera oleh masyarakat itu. Kalau

masyarakat itu butuhnya pelayanan bidan... Ya sediakan tenaga

bidan tapi kalau butuhnya masyarakat obgyn. Yaa sediakan

obgyn sehingga tidak terlalu mumet... Untuk aturan yang timbul

itu.. Bidan atau yang lain ndak boleh ini itu karena ada rasa...

Karena ketakutan tertentu... (jumlah pengguna lebih dikit dari

penyedia layanan) biasanya di kota, tapi kalau di daerah mungkin

suara itu ndak ada... malah didukung. Jadi masalah luasnya

Page 96: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

87

wilayah dan sulitnya akses adalah sesuatu anugrah untuk

dipikirkan bersama...

Sorry telat ikutan diskusinya.

Anisa Riza Wah... pagi-pagi sudah rame..

Diskusi Senin yang sangat pagi... hehehe...

Anisa Riza Profesi SKM ko nda dibahas ya?

Baiklah... mungkin SKM lah yang nantinya diharapkan bisa

mengkaji kebijakan-kebijakan kesehatan secara lebih

mendalam... biar ga/tmbah mumet... hehe...

*berpikir positi(P) and ngarep.com

Heu...

Ilham Akhsanu Ridlo Kita punya ratusan kebijakan tapi

beum punya komitmen dan kebajikan untuk melakukannya..: (

Tumijan Skm Betul-betul mumet Mas, apa lagi di

tempatku & tempat Mbak Nurul. Dan sudah ada perawat yang

diproses hukum & divonis 3 bulan, di tempatnya Mbak Nurul.

Anni Haryati Akses selalu menjadi urutan pertama,

betapa luas negeri tercinta. Kedua sepertinya balik ke niatan kita

utk jadi garda depan pelayanan kesehatan (nuranimu, bukaen

Page 97: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

88

dunk..). Kok di Papua... wong setingkat daerahku aja nyari

dokter spesialis angel (susah, red.). Setiap kali tak tawarin ke

sini... selalu ditanya... “ono pasene ora..?" pertanyaan gak mutu..

itu batinku... wong rezeki kok tanya sama manusia..

yee... lali karo sumpahe.. betul kata Papa Gung, Indonesia tidak

kalah dengan negeri-negeri itu dalam pelayanan. Sumprit

deh...masyarakatnya mau pake nggak??? doktere... mau nyambut

gawe nggak... perawate mau bantu nggak..???

Agung Dwi Laksono Bwakakak... Sompe deh luuuuu!

Diskusi Senin jadi ajang curhat lintas wilayah...

Agung Dwi Laksono Kita terlalu sering berdiri dengan

egoisme kita dalam memandang suatu masalah, baik secara

individu, profesi maupun kepemilikan wilayah... Kita kadang

terlupa puyengnya penyelenggara Negara dengan beban yang

maha berad di Republik ini. Mengatur banyak wilayah dengan

banyak kepentingan. Membuat satu kebijakan tidak akan bisa

memuaskan semua pihak. Satu kebijakan di buat dan belum

dilaksanakan, kondisi antar wilayah bisa memaksa untuk

membuat kebijakan baru...

Meski kadang pembuat kebijakan juga lupa kondisi riil lapangan

saat menyusun kebijakan...

Rachmad Pg Masih ada gak ya yang datang jam 8

pulang jam 11 *kekurangan tenaga.com*

Page 98: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

89

Rifmi Utami Hmm... andai semuanya bisa dikaitkan

seperti ‘balance score card’...mungkin takkan sampe mumet, dan

pembagian serta pendelegasian tugasnya jelas...

Tapi yang ada sekarang... berjalan sendiri-sendiri tanpa arah

yang jelas...

Berbicara masalah konsekuensi, sekarang malah manusia ‘risk

lover’ sangat banyak... iya klo hanya resiko bangkrut, tapi klo

resiko menghilangkan nyawa manusia... sepertinya sebagian

besar dari kita belum memprioritaskan ‘nilai mulia’ yang lebih

ke arah spiritual, sehingga hanya akuntabel secara duniawi yang

dikejar...

Feni Novikasari @Rachmad : Saking akihe sampe gak

bisa diitung..

@Pakde : Kemenkes di-tag gak neh biar antenane tambah

panjang..

Ade Ayu Hemm... gak usah pusing-pusing komen ini

itu yang penting pemerintahnya mau memperbaiki diri dan ingin

memajukan bangsanya itu sudah cukup..

Bukan pemerintahan yang melempem dan suka maling teriak

maling bahkan melindungi para orang-orang korup yang duduk

di pemerintahan dan membodohi masyarakat dengan berbagai

istilah yang gak di mengerti orang awam...

Sungguh ironis buat negeri terkaya di dunia...

heheheeeee..

Page 99: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

90

Endah Nuning Rahayu Setiap orang punya

alasan/pertimbangan sendiri baik dokter ato bidan ato dukun

sebagai penyedia layanan kesehatan dan masyarakat sebagai

pengguna layanan kesehatan. Walau ada dokter ato penyedia

layanan kesehatan punya alasan ‘profit oriented’ tapi saya yakin

in the deepest heart mereka masih ada ‘ghiroh’ untuk

menyelamatkan nyawa manusia. Sedangkan masyarakat sebagai

pengguna layanan kesehatan punya alasan memilih dokter

spesialis, dokter, bidan atopun dukun. Pertimbangan psikologis,

tempat, waktu, dan yang paling mendominasi adalah kemampuan

materiil tentunya membuat hal ini tidak bisa diseragamkan di

wilayah Indonesia tercinta ini. Alangkah bijaksananya jika

pemerintah tidak membuat suatu aturan yang tidak mengebiri

orang lain yang notabene dapat memberikan layanan setulus hati

untuk kepentingan kesehatan orang lain ataupun menyelamatkan

nyawa orang lain. Toh masyarakat akan memilih mana yang

paling baik dan cocok buat kondisi masing-masing. Saya

membayangkan jika di kalangan pendidikan ada akreditasi untuk

lembaganya dan sertifikasi untuk kalangan pendidiknya,

mungkinkan sertifikasi bisa diterapkan di kalangan penyedia

layanan kesehatan. (Ato sudah ada ya... Maaf saya bukan orang

kesehatan). Kebijakan dan penentuan poin A,B, C, dst... Menurut

saya lebih fair kalau tidak hanya dirumuskan oleh orang

kesehatan saja. Soal pilihan biar masyarakat yang

menentukannya.

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Kebijakan publik

adalah ‘apa yang dilakukan/dipilih atau apa yang tidak

dilakukan/tidak dipilih oleh pemerintah?’. Ini arti sederhana.

Namun yang utama adalah komitmen dan ketegasan. Kalo

komitmen pada kesejahteraan publik, yah idealnya kebijakan

didorong untuk itu dan tegas untuk hal-hal atau upaya-upaya

menjegal kesejahteraan ini.

Page 100: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

91

Nah, untuk buat sejahtera kan tidak harus pemerintah aja, ada

bisnis, akademis dan komunitas. Ini harus difasilitasi dan

diakomodasi dengan kemitraan yang benar. Satu hal,

pembangunan suatu peradaban/negara/bangsa, yah harus oleh,

dari, dan untuk peradaban/negara/bangsa itu sendiri.

Seperti yang mulai banyak disadari bahwa NKRI adalah

laboratorium Iptek terbesar dan terpopuler di jagad ini. Bukan

hanya pihak non NKRI aja yang mumet dan suka dengan kondisi

ini, pihak NKRI masih mumet dan suka juga dengan kondisi ini,

bahkan binggggggunggggg!

Bukan tidak simpati dengan kerepotan pemerintah, namun,

simpati dan empati dari masyarakat dan pribadi dijawab dengan

apa? Kebijakan yang pro rakyat kah? Egoisme sektoral, egoisme

partisan.....

Satu hal lagi, modal sosial dalam pembangunan di NKRI ini

tidak berkembang dan tumbuh positif untuk kesejahteraan.

Banyak nilai-nilai positif dari kearifan lokal, adat istiadat dan

agama, namun dicuekin dan dilanggar atau disalahfungsikan.

Masih ada potensi kepercayaan terhadap kepemimpinan

Republik yang amanah dan legal demokrasi ini, namun dijawab

dengan kelambanan, keraguan dan kebohongan dan ketakutan

pada isu-isu Republik berguncang. Lalu, jejaring... yah... taulah...

tidak ada kawan dalam berpolitik... malah ini yang lebih digauli

bukan komunitas dan rakyatnya.

Kalo kita dan mereka sadar bahwa NKRI adalah negeri

kepulauan... dan tidak bisa sentralistik dan harus desentralisasi,

yah bangunlah kemitraan dengan ‘penguasa-penguasa di pulau-

pulau (rakyat, tokoh adat, budaya, ...bukan hanya pejabat

eksekutif dan legislatif dan partai/tokoh politik).

Bila kita sudah masuk/bicara tentang kelembagaan profesional,

banyakan sudah ranah kapitalisme (mau neo atau proto ato...)

Page 101: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

92

semua-mua nyontek gaya negara-negara demokrasi yang tidak

sesuai adat dan budaya NKRI ini. Misal, organisasi profesi

kesehatan/kedokteran, budaya kita punya pengetahuan, ilmu dan

teknologi untuk upaya-upaya kesehatan... namun ini malah

digerus karena tidak sesuai dengan cita-cita (baca aturan). Sistem

kemasyarakatan kita... adalah contoh paling jelas di depan mata...

gotong royong dan tepa selira atau toleransi... kemana mereka?

Nah... inilah yang mungkin sudah dilihat oleh tokoh-tokoh

umat/agama, dengan seruan agar tidak ada kebohongan lagi!

Dari seruan itu, sedikit banyak kita kaum intelektual, ilmuwan

dan akademisi ditanya?? Benarkah data-data yang ada selama ini

dan dipakai oleh pemerintah? Kenapa anda diam-diam aja?

Hanya diskusi di Facebook doang... info ke masyarakat luas juga

donkkkkk... hehehehee... peace Gung en all. Salam SEHAT

Rifmi Utami @Dessy : Hmm... emang sekarang marak

pake vitamin C dan colagen sebagai salah satu produk

kecantikan... Sebenarnyalah vitamin C salah satu antioksidan,

baik untuk metabolisme tubuh termasuk kulit... colagen juga baik

untuk regenerasi kulit, cuman sekarang yang perlu diperhatikan :

apakah diberikan aman apa tidak...?? Klo diberikan secara

injeksi, harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, karena apapun

yang disuntikkan tetap akan mempunyai resiko, resiko tertinggi

adalah ‘syok anafilaktik’ yang dapat menimbulkan kematian jika

tidak tertangani dengan benar.

Saya sarankan jika memakai produk tersebut, paling tidak harus

hati-hati, lebih baik jika vitamin C-nya yang diminum saja,

colagen-nya yang dioleskan saja...

Namun jika hal tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

kompeten, itu bisa mengurangi resiko terjadinya hal-hal yang

tidak diinginkan...

Page 102: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

93

Waduuhhh, sorry... yang ini tentang ‘kebijakan menggunakan

produk kecantikan’... qiqiqiqi... piiissss, everybody!!!

Ella Sofa Makasih di-tag. Ga komen apa-apa. Tapi dari

sini saya dapat banyak masukan dan wawasan. Diskusi yang

‘cuaakep’

Jangan bosan-bosan Pa nge-tag saya.

Met berjuang semuanya...

Sulistyawati Itheng Hhmmm...begitu banyak wawasan

dapat aku serap... ayo terus semangat berbagi ya...

Agung Dwi Laksono Hmm... Semoga bukan hanya

omong kosong doang! Keep fight!

Anni Haryati Yo wis...aku tak ndunga wae... semoga

amanah dalam track yang good pelayanan... yang setia... senyum

manis dulu ah... cheeerrsss.

Christine Indrawati Tempatku sama dengan Jeng Anni,

jarang ada dokter spesialis yang mau praktek disini. Padahal ini

masih di Jawa dan dekat kota besar hehe... Susah deh kalo tenaga

medis banyak yang orientasine duit... Gak bisa komen banyak,

karena emang jadi benang ruwet hehe...

Page 103: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

94

Agung Dwi Laksono Udeeehhh... Makan siang aje

duluuu...

Purwani Pujiastuti Podho mumet-e ruwet...!

Rachmad Pg Perlu banyak kegiatan ruwatan Cak...

soale lewat jalan normal uda agak sulit diatasi. Piye Indrapura

dadi sponsore? Qiqiqi...

Riffa Hany Kalau semua kebijakan dari satu orang yang

sangat pintar... bijaksana... hanya memihak masyarakat... bekerja

tidak atas nama uang dan kepentingan sepihak... semua tidak

akan mumet seperti ini..., ada nggak ya di Indonesia...????

Tite Kabul Masalahnya dalam membuat kebijakan tidak

ada kordinasi yang berkualitas antar Kementerian, masing-

masing mau membawa kewenangan sendiri.

Dwee Why Waduh, thu dilema banget. Semoga orang-

orang di Kemenkes selalu diberi ketabahan & kewarasan pikiran

slalu. :)

Page 104: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Kebijakan Ini-Itu!

95

Biar gak nambah mumet para pelaksana di lapangan dengan

peraturan-peraturan yang gak bisa diubah dalam 1 malam tentang

ketenagaan yang sesuai dengan porsinya itu.

Page 105: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

96

Page 106: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Catatan Diskusi AKI

97

Catatan Diskusi AKI

Monday, March 1, 2010 at 4:49am

Dear all,

beberapa waktu lalu, saya diajak Bu Evie (ato lebih tepat

dipaksa) untuk rapat dengan Dinas Kesehatan Propinsi Antah

Berantah (saya samarkan untuk menghindari terjerat pasal

pencemaran nama baik), membahas Angka Kematian Ibu.

Undangan selain berasal dari Litbangkes, ada dari internal Dinas

Kesehatan Provinsi, dari BPS dan ada juga Pak Harsono

Sumanteri (mbah e angka kematian ibu, jare orang BPS).

Lumayan sih buat nambah wawasan metode mendapatkan Angka

Kematian Ibu.

Bla.. bla.. bla.. Pak Harsono prensentasi sampai berbusa tentang

metode mendapatkan AKI. Mulai dari survey rumah tangga

(SDKI, SKRT, Susenas, SUPAS) sampai pada pendekatan

Page 107: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

98

estimasi (direct sisterhood method, PMDF based estimation).

Bapak-bapak dari BPS menjelaskan rencana survey Susenasnya

yang rencananya akan diboncengi oleh survey AKI dari dinas ini.

Bu Mawar (samaran juga neh!) dari Sie Kesga juga memaparkan

apa yang telah dilakukan Dinas Kesehatan dengan PWS KIA

nya. Bu Mawar mengungkapkan betapa dongkolnya dia karena

angka yang dihitung oleh Dinas Kesehatan sama sekali tidak

dipercaya oleh orang Propinsi. Propinsi hanya mau percaya

angka dari BPS. Weleh..weleh..

Usut punya usut... tanya ke BPS, darimana angka yang dimiliki

oleh BPS, yang disampaikan ke Gubernur itu..

Jawabannya apa?

Konyol... sama sekali konyol...

Dari Dinas Kesehatan… halahhhh!!!

Yang konyol siapa? (*menertawakan diri sendiri mode on*)

***

Lanjuuut…

Setelah diskusi panjang... Dinas memutuskan (atau ngeyel)

bahwa akan dilakukan survey dengan nebeng susenas.

Pak Harsono berargumen, lebih baik memperbaiki system

pencatatan-pelaporan (RR; reporting, recording) di Dinas

Kesehatan supaya lebih efisien daripada melakukan survey.

Dinas tetep pada pendirian..’survey’ (*ngeyel mode on*)

Saya, Bu Evie, dan akhirnya orang BPS juga sepakat bahwa

sebaiknya yang dilakukan adalah perbaikan sistem RR dari pada

Page 108: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Catatan Diskusi AKI

99

survey yang membutuhkan dana besar, dan setiap kali

membutuhkan data AKI harus survey lagi, dana besar lagi...

Bukankah lebih baik

memperbaiki sistem RR yang

investasinya cuman sekali,

selanjutnya tinggal maintenance

saja..

SDKI dengan sampel 40.000

rumah tangga hanya berhasil

mendapatkan 63 kasus kematian

ibu, PWS KIA (meski masih

dianggap under reporting)

malah memiliki report 4.500

kematian ibu. Bukankah modal

yang layak diperhitungkan?

Tapi mesti ditambah dengan

pembobotan-pembobotan lagi.

Bagaimana dengan rencana

Susenas yang hanya dengan sampel 29.500 rumah tangga?

Prediksi BPS hanya akan mampu mendapatkan 50 kematian

ibu… itu klo lagi beruntung.

Pilih yang mana friend? Logika rasional apa saja boleh dijadikan

landasan…

Hasilnya…?

Tetap saja dinas (*ngeyel mode on semakin mantab*)

‘surveeeeeeeey........!!!!!!!!!!!!!!!!!’

Usut punya usut ternyata…

Anggaran sudah kadung di dok (DIP) sebagai biaya perjalanan…

halahhh!

Page 109: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

100

Tidak ada pilihan lain... survey!

(ngapain juga ngundang diskusi, kalo kesimpulan sudah ada).

Friend terkasih sebening kristal (*gaya pak Mario mode on*,

salam super pak!)

Itu adalah sebuah proses pengambilan kebijakan..

Seringkali para pembuat keputusan (decision maker) membuat

keputusan jangka panjang dalam waktu yang singkat. Kadang

tanpa pertimbangan ilmiah, rasional, apalagi sense kerakyatan...

Keputusan Dinas Kesehatan yang tegesa-gesa lebih merupakan

menyelesaikan masalah dengan masalah, harusnya Dinas

Kesehatan bisa meniru pegadaian.. yang 'menyelesaikan

masalah tanpa masalah'.

Mengundang pakar (Pak Harsono, bukannya saya) hanyalah

sebuah ‘bemper’, bemper bahwa kebijakan yang diputuskan

sudah dikonsultasikan, sudah didiskusikan dengan profesional.

Meski sebenarnya keputusan sudah diambil tanpa

memperhatikan sama sekali masukan dan wacana yang

berkembang…

Whatever will be…will be… (*lemes mode on*).

Page 110: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Catatan Diskusi AKI

101

Comment

Erna Waty Hua ha ha ha ha... lucu..., thanks cerita pagi

nya

Agung Dwi Laksono Weeww... yang ini bukan sejenis

dagelan buuuukk!

Erna Waty Lho... iya ta..?? Kok lucu ya...

Agung Dwi Laksono Bwakakak...

Erna Waty Ehh, by the way... barusan kita baru

mentertawai siapa ya...? Jangan-jangan diri sendiri yah?

Ilham Akhsanu Ridlo Keputusannya sudah ada ngapain

diskusi?? Ya karena diskusinya buat tameng biar kalau ditanyain

‘ini sudah melalui mekanisme?’ yang bersangkitan bilang,

“inggih bos...”

Ngotot karena biar dapat ceperan... kan lumayan survey dapat

uang... hihihihihi...

Kebijakan or kebijaksanaan kalau dah kayak gini???

Page 111: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

102

Kebijaksanaan untuk survey karena anggaran sudah di dok untuk

survey... yang salah siapa?? gak ngerti ahhhh....

Feni Novikasari SPPD oriented... itulah yang terjadi

pada program-program yang lagi disayang. Jika RR kita ciamik

data apa saja bisa dapat... tinggal comot... rebez deh. Survey?

gawe repot dewe..

Ilham Akhsanu Ridlo @Feni: repot tapi ceperannya

akehhh...

Erna Waty Bahwa perencanaan itu bersifat flexible...

hanyalah teori, yang terjadi adalah teori yang satu lagi:

perencanaan adalah pedoman yang kaku..., penerapan teori yang

hanya sebagian.

Minda Syam Perekayasaan dengan memlokoto

(mempedayai, red.) rakyat. Inilah cermin birokrasi kita yang

lebih mementingkan bagaimana bisa menguras dana dengan

alibi-alibi yang bener bener nista. Sehingga tetep aja yang kita

dapatkan penistaan dan pengelabuhan buat seluruh rakyat

Indonesia. Ya...bisa nggak sih rakyat untuk tidak diam saja?

Badrijah Djoerban Sediiih sekali... ya, kalau sampai

saat ini konsultan/tenaga ahli masih hanya dipakai sebatas

sebagai 'bemper' suatu kegiatan yang kemungkinan besar beliau-

Page 112: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Catatan Diskusi AKI

103

beliau juga sadar hal tersebut tidak layak untuk

dikerjakan..............???

Filaili Mauludiani Thanks discuss-nya. Tp kalo mau

gak dilaksanakan surveinya bisa aja meskipun anggaran dah di

dok. Anggaran yang disediakan kan gak harus dihabiskan, alias

bisa aja gak dipake. Tapi mungkin itu salah satu cara untuk

meningkatkan kesejahteraan petugas kali ya...

Agung Dwi Laksono Hihihi... huhuhu... hohoho...

hahaha... hahihuhohahahaha...

*kicep*

Evi Sulistyorini Fiuwh... Melu menghela nafas...

Semoga ini jadi kasus terakhir dalam pengambilan keputusan

yang tergesa-gesa...

Agung Dwi Laksono @Evi; Ah becanda kamu..

Anik Setiyarini Dananya memang sebaiknya

dikembalikan aja kalo survey nya cuma formalitas SPPD. Tapi

dilema juga ya... biasanya kalo dana yang diusulkan gak diserap

untuk tahun berikutnya gak akan dikucuri dana lagi. Memble

kan... Salah siapa? Bagian perencanaan anggarankah???

Page 113: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

104

Agung Dwi Laksono Iyakah? Haruskah ada yang salah?

Ato kita bersepakat saja, ada yang harus dikambinghitamkan

untuk kebijakan yang satu ini! Asal kambingnya bukan saya...

Marzy Rubiana Betul RR-nya yang harus diperbaiki.

Survey hanya pelengkap mungkin bila ada data yang

menimbulkan tanda tanya & perlu ditelaah lebih jauh. Data

Puskesmas supaya valid dan konsisten perlu verifikasi data, tidak

hanya sekedar laporan rutin tiap bulan.

Rachmad Pg By the way, mungkin itu penyakit lama

kita kali ya... kalo bisa dipersulit kenapa harus dipermudah...

Arih Diyaning Intiasari Mas Anis ndi ki... ra komen...

perbaikan sistem RR yang diajukan dari aktor akademik mungkin

lebih punya bargaining power untuk dipertimbangkan... di

tingkat pusat... didasari dengan wacana sistem perencanaan

anggaran kesehatan yang lebih rasional dan pastinya lebih baik...

Agung Dwi Laksono @Marzy; Berminat gantiin

pejabatnye non?

@Arih; Pelajaran untuk yang ngajar kebijakan...

Page 114: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Catatan Diskusi AKI

105

Tumijan Skm Perencanaan berbasis selera, bukan

perencanaan berdasarkan akar masalah untuk intervensi masalah.

Di mana-mana sama kayak gitu. Kapan berubahnya?

Prihatin bangsa kita.

Abihan El Muhammad Ada-ada saja, kebijakan

aparatus kok koyo gini ini yo, sukanya menelikung wae,

kepentingan diri, kelompok selalu saja dasar pertimbangan

proses pengambilan kebijakan... duhh Gusti...

Dinda Galabo Bangsa kita tak kan pernah berubah,

that’s why kita selalu kalah dengan bangsa lain. For example

with malaysia...

Christa Dewi Itu mah sosialisasi kebijakan yang

berkedok diskusi... hehehe...

Dyah Yusuf Tidak perlu survey...!!! data PWS KIA

valid kok... aku aja bukan petugas KIA ngerti berapa kasus AKI

di wilayahku... sak kronologisnya! Karena AKI merupakan nilai

merah pada raport kinerja kita... daripada buat SPPD mending

buat kasih PMT bumil dan edukasi bumil beresiko dan bumil

risti... Bukalah hatimu wahai pembuat kebijakan..!!!

Page 115: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

106

Didik Budijanto Komentar saya: Maju terus pantang

mundur, ngapain diurus koyok wong nganggur?

Marzy Rubiana @Agung: Terimakasih gak perlu repot-

repot. Tau nggak survey di Tuban anggarannya (APBD) selalu

ditolak. Enakan survey tempat jajan waelah...

Didik Supriyadi Gak salah kalo masyarakat pada

nggrundel. Lha wong uangnya dipake jalan-jalan thok. Ato

memang kita cuman bisa jalan-jalan aja ya.

Monica Fajarain Ngomong masalah AKI, AKB,

AKABA, dan seterusnya yang tentang kematian itu harusnya

fokus pada bagaimana strategi angka-angka itu bisa diturunkan,

okelah data dasar perlu dan menentukan, tapi apa ya harus habis-

habisin dana gede hanya untuk baseline survey? balik lagi

mindset para programer kita yang harus berubah.

Aisy Nabila Firdausi Tulisan berbobot yang dibawakan

ringan (mudah dipahami, diselipi kalimat yang mengundang

tawa, beberapa sudut kalimat adalah gaya facebooker, funky)

pokoke ala Pak Agung banget...! thumps up :)

Page 116: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Indonesia... Negeri para Smokers!

107

Indonesia... Negeri para Smokers!

Monday, October 18, 2010 at 4:52am

Dear all my best friends...

Indonesia masih tetap saja menjadi surga bagi para ahli hisap...

Dalam paparan hasil survey Riset Kesehatan Dasar pada tahun

2007 terjaring 29,2% orang Indonesia saat ini adalah perokok ,

dan 81,2% diantaranya adalah perokok aktif! kweren kaaaan???

Salah satu alasan rokok diharamkan! Ppersentase terbesar ada di

Propinsi Lampung sebesar 34,4% dan terrendah ada di Propinsi

Kalimantan Selatan sebesar 24,2%.

Sebuah bentangan variasi yang tidak terlalu besar! Artinya

persentase antar wilayah cenderung merata.

Page 117: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

108

Dalam semua karakteristik, keberadaan ahli hisap ini hampir

merata. Baik berdasarkan pendidikan, tingkat sosial ekonomi,

kelompok umur, maupun tipe perdesaan-perkotaan. Hanya

karakteristik jenis kelamin saja yang lebih dominan pada laki-

laki.

Artinya bahwa

kebiasaan ini sudah

mendarah daging dalam

masyarakat kita!

Secara harian... rata-

rata mereka menghisap

12 batang perhari. Ini

setara dengan satu

bungkus rokok perhari!

Bayangkan! 29,2% dari 235 juta penduduk (versi BPS tahun

2010)...

68.620.000 bungkus rokok setiap harinya... SETIAP HARI!!!

*pantes aja pabrik rokok begitu makmur di pertiwi ini...

***

Keinginan para peduli bahaya rokok untuk merubah perilaku

masyarakat yang tergolong masif ini keknya seperti membentur

tembok beton. Karena melawan korporasi yang sungguh kuat.

Hal ini terbukti dengan kasus pelenyapan pasal 'rokok' dalam

Undang-undang Kesehatan yang terbaru. sebuah bukti tentang

kekuatan keberadaan mereka!

Terus... bijimane dooong???!

Page 118: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Indonesia... Negeri para Smokers!

109

Sejatinya sasaran yang bisa digarap ada pada kelompok umur

sekolah sebelum masuk perguruan tinggi (10-14 tahun). Khusus

pada kelompok umur ini frekuensinya hanya sebesar 2%,

melonjak tajam pada kelompok umur selanjutnya melebihi

jumlah rata-rata perokok nasional. Persentase ini sama dengan

hasil survey yang saya dilakukan bersama tim di 6 sekolah SLTP

di Kota Jogja dan Malang.

Pada kelompok umur ini adalah masa-masa pancaroba... masa-

masa peralihan menjadi dewasa. Masa-masa 'coba-coba'.

Termasuk coba-coba perilaku baru...

So... intervensi perilaku lebih memungkinkan di moment ini!

Golden moment sebelum mereka benar-benar memilih merokok

sebagai sebuah atribut dari perilaku mereka.

Yang dewasa??? Mungkin pilihannya dicuekin aja! Toh mereka

akan habis pada masanya...

*tapi tetep aja kudu dibatasi ruang geraknya

Udah dulu yak! Aku tak shubuhan dulu....

Page 119: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

110

Comment

Dian Sastro Weiiiiii... yang nulis smoker sejati juga

kaaan? Hehehe...

Ratna Wati Seperti nafas perokok, kebijakan di negeri

kita sepertinya kembang kempis, fatwa, maupun pasal mengenai

rokok, teteub aja kan, mentok pada kekuatan 'pengusaha polutan',

belum lagi mikirin solusi apa yang tepat buat mengganti tanaman

pengganti tembakau..

Cuma kesadaran individu yang kudu kerap ditekankan kayaknya

mah!

Dari smoker... jadi biker ajalah!

Sutopo Patria Jati Lebih bagus lagi kalau dilengkapi

data trend berapa % dari pengeluaran rutin bulanan untuk belanja

rokok dari survey rumah tangga dan biaya kerugian akibat

penyakit yang berhubungan dengan rokok, ada yang punya

nggak? Kalau ada mohon share-nya juga. Terima kasih.

Mujiyanto Sadali Dan tidak sedikit orang yang tau

tentang kesehatan dan parahnya orang yang kerja di Instansi

Kesehatan juga Perokok Aktif... yo kan Mas Agung.

Feni Novikasari Nyang nulis dulu ikut jadi responden

Riskesdas gak tuh...

Page 120: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Indonesia... Negeri para Smokers!

111

*secara perokok aktip bukan?

Ilham Akhsanu Ridlo Papa sudah berhenti merokok

kan??

Rifmi Utami Bagus sekali mas... sampeyan telah

memfokuskan target marketnya, sehingga program edukasi

perilaku anti rokok-nya bisa mengerucut. Sekarang tinggal

mencari metode pembelajaran yang tepat, melalui kurikulum

sekolah, beberapa multimedia, dll...

Sedangkan yang telanjur menjadi active smoker, mungkin

pertama kali aku doakan untuk insyaf, bahwa dirinya sedang

dholim sama dirinya sendiri dan orang lain, pemberadaan

ruangan bebas asap rokok di tempat-tempat umum harus segera

diwujudkan, dan sangsi tegas terhadap hal-hal yang potensi

merugikan karena asap rokok di perokok aktif harus ditegakkan.

saka'dhinto pamator Mas Agung, mator sakalangkong...

Agung Dwi Laksono @Dian; Demen banged neh

nyerang secara pribadi...

@Ratna; Tetep semangad dooong!

@P Topo; Data trend kajian eko-kes untuk representasi nasional

saya lom pernah baca Pak. Tapi dari Riskesdas kita punya data

trend tahun 2007 & 2010 (in progress) hanya khusus seperti

paparan saya di atas. Mungkin kita bisa simulasikan

pembiayaannya dengan banyak asumsi.

Page 121: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

112

Sedang untuk 'burden of desease' penyakit akibat rokok saya

pernah baca sudah dikaji temen-temen dari UI.

Agung Dwi Laksono @Muji; Yo'i!

@Feni; Nyang nulis cuman supervisornya...

Agung Dwi Laksono @Ilham; Ini sesi diskusi kan?

@Mimi; Target dah jelas! Metode? Kita tunggu para pakar

perilaku komentar tentang 'cara'nya...

Dian Sastro Gak nyerang koq, cuman ngingetin aje, kali

bisa apa yang papa tulis, bisa dijalani sendiri... gak cuman nulis

doangan, hehehe... *piisss*

Sulistyawati Itheng Bicara rokok ibarat menimang buah

simalakama....!!

Evie Sopacua Dearest all... saya yang paling cerewet

ngingetin Agung en friends kalau mereka mulai cari waktu untuk

mengeluarkan bakatnya sebagai ahli hisap. Walau selalu ada

alasannya.."mbuk...cuman satu koq... pan untuk inspirasi."

Karena yang dapat penyakit akibat nikotin justru passif smokers

or secondhand smokers juga disebut sebagai environment

tobacco smoke. Bayangkan : asap yang dihisap... masuk ke paru-

paru si ahli hisap yang entah apa kondisinya... terus dikeluarkan,

Page 122: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Indonesia... Negeri para Smokers!

113

bercampur dengan racun nikotin... en itu yang dihisap oleh passif

smokers (kita semua yang ga merokok)!!! Saya lagi cari

artikelnya, lupa dimana, tetapi Indonesia merupakan negara yang

terbanyak pabrik rokoknya, dan setiap hari menyediakan sekian

milyar batang rokok. Pokoknya angkanya mengerikan. So

bagaimana melawan industri rokok yang jangkauannya anak

remaja melalui concert, live band, dst.,dll..? Ada sebuah release

di detik.com, kalau Indonesia belum mau jadi anggota anti

tembakau karena ya itu tadi, industri rokoknya ikutan politik.

Pusing ya... en untuk para ahli hisap, yang tertulis di bungkus

rokok 'mild', 'strong', etc. it's bullshit! Karena isinya sami

mawon, podo wae, cuman dilabelin keyen.. en ada alasan... “ini

mild koq mbuk..." OMG!!

Mujiyanto Sadali Harusnya semua orang

mengumpamakan begini : Ketika disuruh mencium bau mulut

orang ajah gak mau, naaaah ketika kita dapat asap rokok, malah

merupakan campuran nikotin dengan ‘apa-apa yang ada dimulut

perokok’... Fantastis bukan? Maka TAU DIRILAH wahai...

SMOKERs

Ratih Wirapuspita Yang paling menyebalkan adalah

ketika perokok merokok di tempat umum, mereka enak merokok,

tapi sebagian racunnya dibagi ke kita yang tidak merokok.

Aturan inilah yang perlu, peraturan yang tegas untuk adanya

kawasan bebas asap rokok, aturan iklan dan berbagai kegiatan

yang disponsori rokok, pajak rokok yang harus naik jadi

beberapa kali lipat dan yang penting tidak adanya ‘toleransi’

dengan para perokok.

Page 123: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

114

Riffa Hany Wah wah... bagaimanapun efeknya rokok...

tapi saya berterimakasih kepada pabrik rokok Gudang Garam di

Kediri, berkat mereka, masyarakat Kediri, banyaaaaak yang bisa

bekerja, aku no comment dweh

Vita Darmawati Sedih banget kalau lihat anak secara

fisik masih jelas di bawah umur sudah nggebbus... seseorang

merokok ada bayi ato anak kecil di dekatnya dan parahnya

merokok terkadang sudah dianggap budaya. By the way penulis

diskusi ini perokok/bukan ya????

Tite Kabul Ketua DPR demi rokok saja, melakukan

pembangkangan kok, masa bilangnya peraturan itu berlaku di

gedung DPR asal di Istana juga... kekanak-kanakan yaaa!

Teladan yang buruk.

Page 124: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

115

Pengungsi Eks Timor

Monday, January 10, 2011 at 3:24am

dear all,

Akhir tahun kemaren saya sempet diminta juragan Puslit untuk

mendampingi pak Bambang Sulistomo (staf khusus menteri

kesehatan bidang politik kebijakan kesehatan) untuk melihat

kondisi kesehatan pengungsi eks penduduk Timor Timur (Timor

Leste) di daerah perbatasan.

Tujuan utamanya sih bahasa kerennya untuk ‘health need

assessment’, karena kabar burung yang sampai ke pusat

menghembuskan berita tak sedap tentang kondisi kehidupan para

pengungsi ini.

Berikut adalah sekilas laporan pandangan mata…

***

Page 125: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

116

Saat ini ada beberapa pengungsian yang menampung pengungsi

eks penduduk Timor Timur yang menyebar ke seluruh wilayah

Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan bahkan sudah menyebar ke

Provinsi lainnya di Indonesia melalui program transmigrasi.

Kebanyakan pengungsi eks Timor Timur sudah mulai berbaur

dengan masyarakat setempat, sehingga batasan antara penduduk

lokal dengan penduduk pengungsi mulai menjadi kabur.

Di Kabupaten

Belu, keberadaan

eks pengungsi

Timor Timur ada

sekitar 40.000 jiwa

yang tersebar di

beberapa daerah.

Daerah sebaran

mereka antara lain

terdapat di

Lakafehan,

Kenabibi,

Halibada, Silawan, Tulakadi, Haliwen yang secara geografis

terletak di bagian utara wilayah Kabupaten Belu. Selain itu

mereka juga menempati beberapa daerah di bagian selatan seperti

di daerah Alas, Laktutus, Haekesak dan Nualain. Disetiap daerah

terdapat beberapa kelompok/koloni pengungsian.

Secara umum di beberapa wilayah, mereka sudah bertempat

tinggal di lingkungan yang relatif tertata rapi. Satu keluarga

menempati satu rumah dengan tanah berukuran sekitar 15 x 20

meter. Selain bangunan rumah ada juga tempat mandi, kandang

babi atau kambing. Sisa lahan yang ada digunakan untuk

ditanami jagung dan ketela pohon untuk dikonsumsi dan

terkadang dijual di pasar.

Satu komplek pemukiman yang dihuni oleh paling tidak 40

rumah tangga dengan anggota rumah tangga antara 4 – 6 orang.

Page 126: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

117

Beberapa kelompok/koloni pengungsian ada yang sudah

mempunyai tempat ibadah dan balai pertemuan.

Jalan yang menghubungkan lingkungan tempat tinggal mereka

dengan jalan raya kabupaten yang memungkinkan mereka

melakukan kegiatan sosial dan ekonomi sudah bisa dilalui oleh

motor dan mobil walau masih belum diaspal. Tapi masih tersisa

beberapa kelompok/koloni pengungsian, karena lokasinya yang

jauh di pedalaman, tidak bisa dilalui dengan mobil ataupun

motor, hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Tim assessment

menemukan di daerah Haliwen ada 3 kelompok/koloni

pengungsian yang seperti ini.

Mata pencaharian

mereka bermacam-

macam. Sebagian

besar adalah

mengolah lahan dan

tanah tegal untuk

ditanami. Banyak

kepala keluarga

diantara mereka

yang bekerja

sebagai tukang ojek.

Ada yang berjualan

kebutuhan sehari-

hari dan ada pula

yang menjadi PNS

atau TNI.

Secara umum

kondisi kesehatan

pengungsi dalam

beberapa titik yang didatangi tim rapid assessment cukup baik.

Kendati kondisi hidup sehari-hari cukup memprihatinkan, tapi

pengalaman selama sebelas tahun mengungsi cukup membuat

penduduk baru ini strugle dalam menjalani hidup. Dalam satu

Page 127: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

118

bulan terakhir tidak ditemukan satu pun penduduk pengungsi di

lokasi wawancara yang sakit dan atau berobat ke pelayanan

kesehatan. Ibu-ibu ditemukan dengan kondisi lingkar lengan atas

(LILA) yang sangat memadai (melebihi 23 centimeter). Anak-

anak yang meski terlihat lusuh, tertawa lepas pada saat

wawancara berlangsung. Sorot matanya sangat tajam dan cerdas

dalam menjawab beberapa tes pertanyaan yang diajukan oleh

salah seorang tim pewawancara.

Kondisi kesehatan lingkungan di pengungsian bisa dibedakan

menjadi dua kondisi yang cukup ekstrem. Kondisi pertama

adalah pengungsi yang berhasil menempati rumah yang dibangun

oleh pemerintah, dengan syarat pengungsi mampu menyediakan

lahan/tanah sendiri, dengan kata lain pengungsi mampu membeli

sebidang tanah secara mandiri. Untuk kondisi ini pemerintah

membangun rumah dengan dinding separuh tembok, atap seng,

dan di-plester (lantai semen).

Sedang kondisi kedua, pengungsi yang tidak mampu

menyediakan dan atau membeli lahan/tanah untuk membangun

rumah, maka pemerintah hanya menyediakan bahan bangunan

berupa semen, seng, dan kayu. Sementara pembangunan

dilakukan oleh warga sendiri.

Secara umum, kondisi rumah yang dibangun langsung oleh

pemerintah memiliki sanitasi lingkungan yang lebih baik

dibanding dengan yang dibangun sendiri oleh para

pengungsi.assessment, fasilitas pelayanan kesehatan telah cukup

tersedia dengan jarak yang relatif dekat dan menjangkau ke

seluruh daerah pemukiman pengungsian. Kecuali untuk beberapa

kelompok pemukiman pengungsi yang sebenarnya tidak terlalu

jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, tapi akses jalan sama

sekali tidak tersedia. Pemukiman pengungsi jenis ini hanya

tersedia jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.

Sedang mobil dan bahkan motor pun tidak bisa melewati. Dalam

beberapa kondisi hujan bahkan harus melewati genangan air

(banjir) setinggi bahu orang dewasa.

Page 128: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

119

Kodisi ini dijumpai tim di daerah pemukiman pengungsi di

wilayah Haliwen, dimana seluruh anak di lokasi tersebut bahkan

tidak bersekolah disebabkan akses jalan yang tidak tersedia.

Hampir semua

pengungsi

memang telah

mendapatkan

KTP setempat,

hal ini juga

yang

menyebabkan

beberapa

pengungsi

telah

memegang

kartu

Jamkesmas.

Meski

demikian tidak semua bisa mendapatkan fasilitas pembiayaan

kesehatan ini.

Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan seorang ibu rumah

tangga pengungsi yang berjualan bensin eceran untuk membantu

suaminya yang berprofesi pengojek mendapatkan fakta harus

melahirkan dua kali dengan kedua-duanya melahirkan di rumah

sakit, karena anak lahir kembar, dengan biaya sendiri sebesar

lebih dari lima ratus ribu untuk setiap kelahirannya. Dalam

pengamatan, kondisi rumah tangga ini tidaklah jauh lebih baik

dibanding rumah tangga pemegang kartu Jamkesmas yang

tinggal persis di sebelahnya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten Belu didapatkan fakta bahwa Kabupaten Belu hanya

sanggup menanggung 7.000 keluarga non kuota (di luar listing

keluarga miskin dari BPS) untuk Jamkesmas. Artinya bahwa

Page 129: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

120

masih tersisa cukup banyak keluarga miskin di wilayah ini yang

belum terjangkau Jamkesmas.

Dalam akhir laporan, tim assessment merekomendasikan…

Perlu kerja sama lintas sektor dengan penanggung jawab masalah

sarana/prasarana wilayah untuk memecahkan masalah

aksesibilitas fasilitas pelayanan kesehatan yang terbentur pada

tidak adanyan akses jalan.

Perlunya pembiayaan kesehatan yang menyeluruh yang

mencakup seluruh pengungsi eks Timor Timur, dikarenakan

kondisi yang memang layak masuk dalam kategori miskin dan

sangat miskin.

Dalam upaya memberikan bantuan dan atau pengentasan pada

para pengungsi juga perlu diperhatikan kondisi penduduk

setempat yang kondisinya juga seringkali tidak jauh berbeda

dengan para pengungsi.

demikian selayang pandang perjalanan akhir taon kemaren,

semoga sedikit memperkaya pandangan kita tentang keberadaan

sodara2 kita di perbatasan.

Page 130: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

121

Comment

Ilham Akhsanu Ridlo Bertahan dalam satu pilihan

‘nasionalisme’ yang terlupa... hallahh...

Rifmi Utami Menurut saya, perlu didefinisikan secara

detil tentang ‘pembangunan yang berwawasan kesehatan’. Jika

hal tersebut menjadi prioritas, niscaya segala bentuk

pembangunan dari yang makro sampe mikro akan selalu

memerhatikan ‘kesehatan’ sebagai salah satu indikatornya.

Misalnya : (1) Membangun rumah, harus ada minimal desain

rumah sehat, (2) Desain tata kota, harus mempertimbangkan

adanya sarana kesehatan yang akses-nya dipermudah, (3)

‘universal coverage’ sudah menjadi harus, sehingga dimanapun

kita berada di Nusantara ini, tak perlu takut ‘tak bisa berobat’

karena sakit. (4) Cara menanam yg baik tanpa menggunakan

terlalu berlebihan bahan kimia, sehingga yang dihasilkan petani

adalah bahan organik yang menyehatkan, dan sebagainya...

Mungkin hal demikian, perlu keberanian ‘penentu kebijakan’

agar kesehatan selalu menjadi orientasi utama dalam

pembangunan, selain bidang lainnya yg terkadang seperti

berlomba-lomba untuk menjadi prioritas anggaran pemerintah...

Sudah saatnya kita berpikir bahwa ‘semua adalah penting’, dan

‘tidak ada yang tidak penting’, yaitu : adalah bekerja sebagai ‘tim

yang solid’ untuk kesejahteraan bersama di seluruh negeri...

Agung Dwi Laksono Cita-cita ideal normatif di antara

hiruk pikuk pembangunan yang sangat sektoral dengan penentu

kebijakan yang sarat kepentingan politik!

Page 131: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

122

Anisa Riza Iyaa ica setuju... rekomendasinya lebih

aplicable, kan udah need assesment langsung...

Dessy Inggrina Bertahan satu C I N T A...

INDONESIA...

Anita Tursia Thanks udah di-tag..

Perhatian lebih sangat dibutuhkan saudara kita di bagian Timur..

Pemerataan pembangunan untuk seluruh wilayah Indonesia..

Anisa Riza Betul sekali... disparitas memang tantangan

pemerataan pembangunan Indonesia,

tantangan yang juga merupakan potensi negara kita dengan

keragamannya.

Indonesia = miniatur dunia. Hehehe...

Sulistyawati Itheng Diskusi untuk level tinggi aku

cuman ikut mengapresiasi.

Momo Sudarmo Sayangnya Mas Agung tidak

menjelaskan, mereka ini orang Indonesia yg dulu merantau dan

berniaga di jaman Timor Timur (banyakan orang Bugis dan

Padang) atau orang Timor yang pro Indonesia sehingga Harus

mengungsi.

Page 132: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

123

Kalau untuk perantau Bugis/Padang, gambaran kondisi

dilapangan sekarang cukup menyedihkan, karena mereka

dulunya sejahtera. Tapi untuk orang Timor pro Indonesia

gambaran di pengungsian cukup memadai meski perlu

peningkatan.

Saya tahu kondisi mereka jaman perang dulu, saya telah

memasuki hampir seluruh pelosok Timor Timur (sekarang Timor

Leste), mereka sangat miskin, makanan pokok adalah ubi dan

jagung, kenal beras sejak dari kami... Keadaan kesehatannya

sangat memprihatinkan, justru membaik setelah bekerja

membantu kami (TBO : tenaga bantuan operasi). Dalam kondisi

miskin, minuman keras jalan terus karena budaya mereka pesta-

pesta minuman keras dengan menari ‘tebe-tebe’ semalam

suntuk...

Uly Giznawati Nasionalisme melahirkan Patriotisme.

Semua tumbuh dari sebuah rasa kebersamaan yang satu. Sesuai

dengan cita cita yang berujud pada Sumpah Pemuda. Kita adalah

satu bangsa.

Sutopo Patria Jati Rekomendasi yang berdimensi

preventif dan promotif kok belum ada ya pak?

Agung Dwi Laksono Karena hampir semua upaya yang

dilakukan temen-temen bidang kesehatan sudah berjalan

optimum! Baik yang preventif, promotif, kuratif maupun

rehabilitatif.

Page 133: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

124

Sutopo Patria Jati Oo... begitu, maaf karena sekilas

belum nampak kesimpulan tentang sudah optimal dan

komprehensifnya upaya kesehatan disana. Sedangkan untuk

pembiayaan kesehatan yang direkomendasikan mungkin

nantinya lebih pada program Jamkesmas yang notabene

cenderung berdimensi kuratif (mohon saya dikoreksi jika salah).

Satu lagi kalau boleh tahu apakah need assesment-nya juga

diarahkan untuk memetakan tentang kebutuhan nakes pak? Disisi

lain apakah status pengungsi yang mungkin masih melekat pada

mereka juga memiliki konsekuensi lain dibidang kebijakan

kesehatan terutama pelayanan kesehatan?

Agung Dwi Laksono Untuk saat ini kebijakan

Jamkesmas sudah tidak melulu kuratif pak!

Untuk status pengungsi dulu memang ada pembedaan, tapi saat

ini sudah dianggap sama seperti penduduk lokal.

Assessmentnya tidak sampai ke SDM pak, meski juga sekilas

dilihat. Teman-teman di sana sudah mulai jemput bola, terutama

untuk sweeping gizi buruk dan gizi kurang.

Sutopo Patria Jati OK... maturnuwun sharingnya,

pokoke selamat berjuang untuk Indonesia lebih sehat dan

bermartabat! :)

Nike Goenawan Untuk selingan... tanya sama Raul nya

KD ajaa yukk qiqiqiqiqi...

Page 134: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

125

Dwee Why Petugas kesehatan sepertinya perlu pro aktif

untuk Pusling ke daerah-daerah itu.

Bambang Andriyono Kok le adoh temen to Mas... Mas.

Hari-hari ini banyak orang yang jadi kere mendadak. Tuh lahar

dingin Merapi juga menambah orang yang tiba-tiba jadi kere,

karena alam, bukan karena konflik manusia, walaupun sama-

sama menyedihkan diujungnya.

Anni Haryati Hhm... sip untuk turbanya, hal seperti ini

tak pernah menipu. Asal berbekal mata dan hati... saaalluutteee...

Vita Darmawati Luar biasa... pengen ikut kesana,

hehe... kapan-kapan kunjungn ke tempatku yuuukkk... beberapa

hari lalu ambrol lagi & menunggu area yg lain.

Riffa Hany Semoga pilihan mereka untuk tetep menjadi

WNI, merupakan pilihan yang tepat dalam arti kehidupan mereka

lebih baik bila ikut negara Indonesia... semoga!

Tite Kabul Dilema yaaa... anak kandung masih banyak

yang tidak terurus tapi harus memelihara anak angkat. Asal

jangan anak kandung menetes air liurnya melihat anak angkat

makan dan hidup disuapi.

Page 135: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

126

Nagiot Cansalony Salomo Tambunan Salut atas upaya

klarifikasi isu pengungsi.

Ada banyak poin dalam diskusi ini, antara lain (1) Wawasan ato

paradigma pembangunan. (2) Opsi yang direkomendasikan,

kebijakan ato teknis kesehatan. (3) Klaim upaya bidang

kesehatan yang dah optimal.

Kalo kita lebih jernih, tentu kita akan memperhatikan determinan

sosekbud dan modal sosial. Abis tu baru masuk pada opsi

rekomendasi. Kenapa? Karena melayani manusia bukan bidang

kesehatan aja. Harus utuh dan paripurna.

Kita bedah aja paradigma pembangunan berwawasan kesehatan,

kenapa tidak diterima semua pihak dan efektif? Mungkin

paradigma ini maju dengan ego sektoral?

Satu isu baru, apa dan bagaimana IPKM bisa menilai status

kesmas dengan hanya indikator-indikator sektor kes aja? Apa

terpikirkan bila ada kasus IPKM tinggi dan IPM rendah di suatu

daerah ato sebaliknya? Prof. Blum aja udah menyatakan status

kesehatan dipengaruhi unsur lingkungan bio, kimia dan sosbud,

di samping 3 faktor lain yang pure kesehatan.

Lalu organisasi kemenkes dan dinkes, apa ada ruang lingkup utk

akomodasi faktor lingkungan sosekbud tadi? Kita, SDM

Kesehatan mungkin terlalu asyik dengan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif. Juga dah ada paliatif yang merawat

pasien sebagai manusia seutuhnya, tapi ini bila manusia itu dah

jadi pasien.

Udah ada muncul asa dengan adanya Pusat Humaniora dan

laboratorium soskesnya, yang satu masa bisa dikelola Papa

Agung, amin.

Page 136: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Pengungsi Eks Timor

127

Yang asyik, hot dan sexy, bila melayani manusia, kita mampu

memanfaatkan semua input, seperti tadi di atas determinan

kesehatan dan sosekbud. Juga ada modal sosial, yaitu nilai,

kepercayaan dan jejaring. Untuk pengungsi bagaimana modal

sosial mereka? Bisa jadi akan drop pada satu masa karena apa

yang mereka yakini dengan modal sosialnya terhadap NKRI,

tidak berbalas positif.

Dampaknya mengerikan! Bisa punah itu masyarakat ato anarki.

Ini memang sharing baru dalam tahap awal, butuh riset dan

pengembangan dan intervensi multidisiplin dan multisektor.

Namun oke dan tetap berpengharapan. Salam SEHAT.

Page 137: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

128

Page 138: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

Profil Health Advocacy

129

Health Advocacy

adalah wadah terbuka bagi setiap orang/lembaga yang

bersedia menjadi provokator untuk mewujudkan

kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas

Visi yang dikembangkan oleh Health Advocacy ini adalah

mampu memberikan pencerahan pada pembangunan

kesehatan secara holistik dalam berbagai sudut pandang

keilmuan.

Sedang misi yang diemban oleh Health Advocacy adalah :

• Memacu pengembangan kebijakan sistem kesehatan daerah

• Memberikan overview dan advokasi pengembangan dan pelaksanaan manajemen kesehatan daerah

• Melakukan upaya pelaksanaan capacity building stake holder pengelola pembangunan kesehatan daerah

• Melakukan upaya pemberdayaan masyarakat grass root dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah.

Visi dan Misi

Page 139: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan

130

Page 140: Jebakan Kebijaksanaan; Serial Diskusi Masalah Kesehatan