jaya makalah danau-toba_2013

20
DANAU TOBA, KONDISI KEKINIAN, PERMASALAHAN DAN PENGELOLAANNYA Jaya Arjuna I. KONDISI KEKINIAN 1. Pendahuluan Salah satu kekayaan alam Sumatera Utara yang paling luar biasa adalah Danau Toba. Danau Toba merupakan danau volkano tektonik. Letusan gunung Toba terjadi sekitar 75.000 tahun lalu mengakibatkan terjadinya luncuran magma sebanyak 2.800 Km 3 , sehingga perut bumi menjadi kosong. Kulit bumi yang tidak mampu menahan beban akibat beratnya sendiri, akhirnya patah dalam beberapa potongan. Potongan terbesar menjadi Pulau Samosir. Berdasarkan kejadian ini, maka Pulau Samosir adalah pulau bentukan yang kemungkinan besar belum sepenuhnya menyatu dengan bumi. Rongga yang terdapat di bawah Pulau Samosir akan dapat berpindah sehingga terjadi gempa runtuhan sekala ringan hingga sedang secara terus menerus sampai sekarang. Bahagian lain dari patahan ini terisi air, maka terbentuklah Danau Toba sebagai danau terluas di dunia. Danau ini terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98 0 30′ BT; 3 0 05′ LS dan 99 0 20 BT’; 2 0 40′ LS. Luas permukaan air danau adalah 1.130 Km 2 , daerah tangkapan air 3.698 Km 2 , kedalaman 505 m, panjang 110 km dan lebar 30 km. Volume air Danau Toba diperkirakan 1,18 triliyun meter kubik. Pulau Samosir yang merupakan pulau dalam pulau terluas di dunia memiliki luas 630 km 2 . Luas seluruh daratan yang ada dalam wilayah DTA adalah 4.311,58 Km2. Letusan Gunung Toba dinyatakan sebagai letusan gunung berapi terdahsyat selama 25 juta tahun terakhir. Debu yang disemburkan pada kejadian letusan menyebar ke seluruh bumi. Ketebalan debu yang jatuh di India mencapai 15 cm dan di sebahagian Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 meter. Bumi mengalami penurunan temperature ±3,5 0 C akibat bertahun-tahun tertutup debu, sehingga dinyatakan sebagai penyebab terjadinya zaman es. Selain Pulau Samosir, dalam perairan Danau Toba terdapat Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas area 7 km2. Di atas pulau Samosir bahkan masih terdapat sebuah danau kecil yang diberi nama Danau Sidihoni. Kejadian pembentukannya yang maha dahsyat menciptakan Danau Toba sebagai bentang alam yang maha indah. Potensi Danau Toba sebagai tujuan wisata alam sangat besar. Hampir seluruh wilayah memiliki nilai keindahan yang luar biasa. Banyak misteri dari berbagai sisi Danau Toba yang masih belum terungkap, atau bahkan sudah musnah sebelum diketahui rahasianya. Daratan Samosir yang terbentuk dan awalnya tidak terpisah dari daratan pulau Sumatera pasti memiliki keunikan fauna flora tersendiri. Kita bahkan belum banyak mendapatkan data flora fauna endemik tersebut, padahal sebagian besar wilayah hutan di daratan Samosir sudah rusak. Karena potensi unik yang dimilikinya, Kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, yaitu sebagai kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan. Kawasan Danau Toba juga sudah diusulkan untuk masuk menjadi salah satu anggota Global Geopark Network (GGN) yang didirikan pada 1998 oleh UNESCO. Komitmen yang harus dipenuhi sebagai anggota geopark adalah melakukan konservasi atas warisan taman geologi (geopark) sekaligus mendorong penelitian dan pengembangan berkelanjutan oleh pemerintah dan dari masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba. Sampai tahun 2012, tercatat ada 91

Upload: bill-asbi

Post on 14-Jun-2015

587 views

Category:

Environment


14 download

DESCRIPTION

Makalah tentang Danau Toba oleh Jaya Arjuna

TRANSCRIPT

DANAU TOBA, KONDISI KEKINIAN, PERMASALAHAN DAN PENGELOLAANNYA Jaya Arjuna

I. KONDISI KEKINIAN

1. Pendahuluan

Salah satu kekayaan alam Sumatera Utara yang paling luar biasa adalah Danau Toba. Danau Toba merupakan danau volkano tektonik. Letusan gunung Toba terjadi sekitar 75.000 tahun lalu mengakibatkan terjadinya luncuran magma sebanyak 2.800 Km3, sehingga perut bumi menjadi kosong. Kulit bumi yang tidak mampu menahan beban akibat beratnya sendiri, akhirnya patah dalam beberapa potongan. Potongan terbesar menjadi Pulau Samosir. Berdasarkan kejadian ini, maka Pulau Samosir adalah pulau bentukan yang kemungkinan besar belum sepenuhnya menyatu dengan bumi. Rongga yang terdapat di bawah Pulau Samosir akan dapat berpindah sehingga terjadi gempa runtuhan sekala ringan hingga sedang secara terus menerus sampai sekarang. Bahagian lain dari patahan ini terisi air, maka terbentuklah Danau Toba sebagai danau terluas di dunia. Danau ini terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT’; 2040′ LS. Luas permukaan air danau adalah 1.130 Km2, daerah tangkapan air 3.698 Km2, kedalaman 505 m, panjang 110 km dan lebar 30 km. Volume air Danau Toba diperkirakan 1,18 triliyun meter kubik. Pulau Samosir yang merupakan pulau dalam pulau terluas di dunia memiliki luas 630 km2. Luas seluruh daratan yang ada dalam wilayah DTA adalah 4.311,58 Km2.

Letusan Gunung Toba dinyatakan sebagai letusan gunung berapi terdahsyat selama 25 juta tahun terakhir. Debu yang disemburkan pada kejadian letusan menyebar ke seluruh bumi. Ketebalan debu yang jatuh di India mencapai 15 cm dan di sebahagian Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 meter. Bumi mengalami penurunan temperature ±3,50C akibat bertahun-tahun tertutup debu, sehingga dinyatakan sebagai penyebab terjadinya zaman es. Selain Pulau Samosir, dalam perairan Danau Toba terdapat Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas area 7 km2. Di atas pulau Samosir bahkan masih terdapat sebuah danau kecil yang diberi nama Danau Sidihoni.

Kejadian pembentukannya yang maha dahsyat menciptakan Danau Toba sebagai bentang alam yang maha indah. Potensi Danau Toba sebagai tujuan wisata alam sangat besar. Hampir seluruh wilayah memiliki nilai keindahan yang luar biasa. Banyak misteri dari berbagai sisi Danau Toba yang masih belum terungkap, atau bahkan sudah musnah sebelum diketahui rahasianya. Daratan Samosir yang terbentuk dan awalnya tidak terpisah dari daratan pulau Sumatera pasti memiliki keunikan fauna flora tersendiri. Kita bahkan belum banyak mendapatkan data flora fauna endemik tersebut, padahal sebagian besar wilayah hutan di daratan Samosir sudah rusak. Karena potensi unik yang dimilikinya, Kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional, yaitu sebagai kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan. Kawasan Danau Toba juga sudah diusulkan untuk masuk menjadi salah satu anggota Global Geopark Network (GGN) yang didirikan pada 1998 oleh UNESCO. Komitmen yang harus dipenuhi sebagai anggota geopark adalah melakukan konservasi atas warisan taman geologi (geopark) sekaligus mendorong penelitian dan pengembangan berkelanjutan oleh pemerintah dan dari masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba. Sampai tahun 2012, tercatat ada 91

geopark yang terletak di 27 negara menjadi anggota dari GGN. Untuk menjadikan kawasan Danau Toba bisa masuk menjadi salah anggota GNN, maka diperlukan keseriusan dan komitmen dari pemerintah Pusat, Propinsi hingga Kabupaten dan seluruh masyarakat untuk mengelolanya secara lestari. Kelestarian Danau Toba setelah dilakukan pemulihannya tentu akan mendatangkan dampak positif ganda dari berbagai aspek fisik, kimia dan biologi, terutama aspek sosial ekonomi.

2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi, Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) mencakup tujuh wilayah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang tediri atas 43 wilayah kecamatan. Wilayah administrasi dari 43 kecamatan tersebut masuk dalam Kawasan Danau Toba dengan luas masing-masing desa dan jumlah penduduk adalah seperti terlihat pada Tabel 1. Wilayah Kab. Samosir dan Toba Samosir hampir secara keseluruhan masuk ke dalam wilayah DTA. Pembagian wilayah administrasi yang terdapat dalam Kawasan Ekosistem Danau Toba dapat dilihat pada Gambar 1. Secara lengkap nama-nama Kecamatan dan luas wilayah yang masuk KDT dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1: Peta Wilayah Administrasi Sebaran Tujuh Kabupaten yang masuk dalam Kawasan Danau Toba

Tabel 1: Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di DTA Danau

Sumber : Kecamatan Dalam Angka (2007), BLHSU, Daya Tampung Pencemaran Danau Toba 2012

3. Topografi

Topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan (0 – 8 %), landai (8 – 15 %), agak curam (15 – 25 %), curam (25 – 45 %), sangat curam sampai dengan terjal (> 45 %). Berdasarkan hasil kajian Teknis Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kawasan Danau Toba (KTPSDA & PLHDT) oleh Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung (LPITB) tahun 2001, kondisi kelerengan lapangan pada DTA Danau Toba ini dapat digambarkan sebagai berikut : a. Pada bagian utara Kawasan Danau Toba merupakan bagian dari Tanah Karo, DTA

relatif sempit dan memiliki relief bergunung dengan lereng terjal, sedangkan arah tepi danau memiliki relief berombak hingga berbukit yang sebagian digunakan untuk budidaya pertanian. Pada wilayah yang terjal, kemiringannya mencapai > 75% sedangkan pada daratan yang sempit, kemiringannya < 3%.

b. Daerah Timur dan Tenggara di Parapat-Porsea-Balige memiliki relief datar hingga bergunung. Di sisi Timur dan Tenggara ke arah batas DTA terdapat dataran relatif luas yang digarap masyarakat setempat sebagai lahan sawah. Tepi batas DTA merupakan wilayah berbukit hingga bergunung dengan kemiringan lahan mencapai > 75%.

c. Bagian Selatan Kawasan Danau Toba merupakan dataran hingga wilayah berbukit ke arah batas DTA. Pada daerah yang datar dengan kemiringan lahan < 3%, diusahakan oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian, sedangkan ke arah batas DTA memiliki kontur relief berbukit hingga bergunung.

d. Di bagian Barat hingga Utara merupakan dataran dan perbukitan hingga bergunung, dengan lereng terjal ke arah tepi danau, seperti di sekitar Tele, Silalahi dan Tongging. Lereng terjal di wilayah ini mencapai kelerengan > 75%.

e. Pulau Samosir memiliki dataran yang relatif luas disekeliling tepian Danau Toba dengan kemiringan < 3%. Ke tengah pulau reliefnya bergunung dan berlereng terjal dengan kemiringan lahan antara 30,5 hingga > 75%. Dataran yang terdapat di bagian Barat dan Selatan pulau ini yang relatif lebih luas dibanding di sisi Utara dan Timur. Pada bagian sebelah Barat terdapat Danau Sidihoni.

Kondisi topografi di Kawasan Danau Toba mengakibatkan kawasan ini kurang

dapat menyimpan air hujan karena aliran permukaan cenderung tinggi, laju erosi tinggi dan potensi longsor juga tinggi, terutama daerah-daerah yang sangat curam sampai terjal pada tebing-tebing pinggiran danau. Rendahnya potensi resapan/menyimpan air kawasan ini telah diindikasikan oleh banyaknya sungai-sungai kecil yang mengalir pada kawasan yang bersifat intermitten, dimana sungai-sungai ini mengalir pada waktu hujan dan mengering ketika tidak turun hujan.

Indikasi dari tingginya laju erosi pada kawasan ini adalah dengan banyaknya lahan yang mempunyai lapisan yang sangat tipis terutama pada daerah-daerah perbukitan dengan lereng yang curam, bahkan di beberapa lokasi yang muncul di permukaan hanya berupa batuan pembentuk tanah tanpa adanya lapisan tanah. Keberadaan semak belukar dan alang-alang/padang rumput yang cukup luas pada kawasan ini juga merupakan indikasi dari tingginya laju erosi sehingga lahan yang telah terbuka sulit untuk dapat membentuk formasi hutan alam kembali karena lapisan tanahnya relatif tipis. Proses

pembentukan lapisan tanah secara alamiah yang terjadi tidak mampu mengimbangi proses penipisan lapisan tanah karena proses erosi.

Berdasarkan hasil kajian LP-ITB (2001) diketahui bahwa lahan yang berupa semak belukar dan padang alang-alang/rumput ini mencapai 27 % dari luas total daratan pada Kawasan Danau Toba. Selain kondisi topografi yang berat maka laju erosi yang cukup tinggi pada kawasan ini juga disebabkan karena jenis tanah yang terbentuk pada kawasan ini sebagian besar merupakan jenis tanah Litosol dan Regosol yang sangat peka terhadap erosi. Luas jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi ini mencapai lebih kurang 40 % dari total luas daratan Kawasan Danau Toba.

Kondisi topografi pada Kawasan Danau Toba ini relatif tidak berubah, sehingga pengaruhnya terhadap KDT juga tetap, namun kondisi topografi semacam ini akan rentan terhadap perubahan penggunaan lahan/penutupan maupun kegiatan manusia lainnya yang dapat berpengaruh nyata terhadap kuantitas dan kualitas perairan Danau Toba.

4. Jenis Tanah dan Tingkat Bahaya Erosi

Berdasarkan Klasifikasi Tanah menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah I, Medan 1987, DTA Danau Toba di bagian timur merupakan jenis tanah Kompleks Litosol dan Regosol yang sangat peka terhadap erosi, bagian tenggara jenis Podsilik Coklat (peka erosi), sedangkan di Pulau Samosir jenis tanahnya sebagian besar merupakan jenis tanah Brown Forest (agak peka erosi). Tanah di Kawasan Danau Toba terdiri dari (tujuh) jenis dan 96,8% didominiasi oleh tanah yang peka hingga sangat peka terhadap erosi.

Tabel 2. Jenis-jenis Tanah di Daerah Tangkapan Air Danau Toba No. Jenis Tanah

% terhadap Luas DTA

Variasi Bentuk Lahan

Kepekaan Terhadap Erosi

1. Litosol 36,4 Daerah Curam Sangat Peka 2. Padsolik coklat kelabu,

Padsol, Tanah diatomea

13,8 Datar dan Berombak

Peka – Sangat Peka

3. Litosol/Podsolik/Regosol 3,5 Daerah Curam Peka –Sangat Peka 4. Padsolik Coklat, Regosol

18,7 Bergelombang, Curam

Peka – Sangat Peka

5. Alluvial Regosol, Orga-nosol

3,2 Datar Tidak peka

6. Podsilik Coklat Kekuningan 2,7

Datar dan bergelombang

Peka

7. Podsolik Coklat Kelabu, Podsolik Coklat

21,6 Datar dan bergelombang

Peka

Sumber : Ditjen RRL Departemen Kehutanan – LP, IPB, 1990.

Masalah erosi merupakan kajian penting untuk dijadikan masukan dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba karena merupakan hambatan dalam pembentukan hutan. Erosi menyebabkan tanah lapisan atas selalu terkikis secara terus menerus sehingga tidak mendukung pertumbuhan pohon. Rendahnya tingkat pertumbuhan pohon akan menyulitkan program penghijauan di Ka wasan Danau Toba. Danau Toba terdiri atas 26 daerah Sub DAS yang secara keseluruhan bermuara ke Sungai Asahan. Sebagian

besar (46,95%) daerah Sub DAS Daerah Tangkapan Air Danau Toba memiliki tingkat erosi yang berat hingga sangat berat. Hanya 22,70% yang tingkat erosinya sedang, dan 30,34% tingkat erosi ringan dan sangat ringan. Pada Tabel 3 di tampilkan tingkat bahaya erosi masing-masing Sub DAS serta besare persentasenya terhadap luas DAS Asahan. Tabel.3 Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Per Satuan Sub DAS DTA Danau Toba

Sub DAS Tingkat Bahaya Erosi (Ha)

Total (Ha)

% dari Sub DAS Asahan

Sangat Ringan

Ringan Sedang Berat Sangat Berat

A. Sigumbang 2.462 374 2.626 1.595 2.102 9.159 3,52 A. Haranggaol 3.391 601 1.028 1.096 2.059 8.175 3,14 Situnggaling 407 - - 1.382 1.764 3.553 1,37 Naborsahon 2.606 1.571 374 2.876 3.377 10.804 4,15 Tongguran 1.260 567 135 2.662 2.606 7.230 2,78 Gopgopan 1.409 531 680 2.354 2.882 7.856 3,02 Mandosi 1.941 2.165 1.307 1.582 4.064 21.059 8,10 A. Bolon 5.020 533 1.843 1.762 1.802 10.960 4,21 Simare 3.463 - 1.285 3.708 938 9.394 3,61 Halian 2.687 95 2.664 4.466 4.066 13.978 5,37 Sitobu 344 11 785 2.822 3.017 6.979 2,68 Siparbue 2 - 1.607 3.049 1.580 6.238 2,40 Pulau Kecil - - - 171 524 695 0,27 Silang 538 38 5.349 8.726 3.454 38.105 14,65 Bodang 340 137 1.031 1.859 6.048 9.415 3,62 Perembakan 331 74 5.193 1.870 2.208 9.676 3,72 Tulas 803 180 5.533 2.891 5.364 14.771 5,68 A. Ringgo 338 378 2.990 999 2.849 7.554 2,90 Simala 1.469 412 745 1.636 1.260 5.522 2,12 B. Sigumbang 2.680 358 90 2.365 1.960 7.453 2,87 B. Bolon 2.554 412 252 790 1.382 5.390 2,07 Silabung 3.589 331 342 765 1.184 6.211 2,39 Guluan 5.803 2.275 1.370 1.672 761 11.881 4,57 Arun 4.592 3.058 1.328 1.465 779 11.222 4,31 Simaratuang 1.883 2.255 257 2.198 2.077 8.670 3,33 Sitiung-tiung 2.144 518 243 1.521 3.755 8.181 3,14

Total 62.056 16.874 59.057 58.282 63.862 260.131 100,00 Sumber : Review Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub DAS Asahan

5. Sumber Air Danau Toba

Danau Toba merupakan genangan air dalam cekungan dengan sumber air berasal dari sungai-sungai yang mengalir dari daratan Pulau Sumatera dan Daratan Pulau Samosir. Berdasarkan hasil survey Bapedalda Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, terdapat 205 sungai yang bermuara ke Danau Toba dengan perincian 63 sungai berasal dari Pulau Samosir dan 142 sungai berasal dari daratan Pulau Sumatera. Sebagian besar sungai yang bermuara ke Danau Toba adalah sungai yang bersifat intermitten, yaitu

sungai yang hanya berair pada saat hujan saja. Karena banyaknya sungai yang hanya bersir pada saat hujan, maka data yang lain menyebutkan bahwa jumlah sungai yang masuk ke Danau Toba adalah 289 sungai. Dari Pulau Samosir adalah 112 sungai dan dari Daerah Tangkapan Air lainnya adalah 177 sungai.

Dari 289 sungai itu, 57 diantaranya mengalirkan air secara tetap dan sisa 232 sungai lagi adalah sungai musiman (intermitten). Pada kondisi hujan normal masukan air dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 41,613 m3/detik pada bulan Juli (puncak musim kemarau) sampai dengan 124,914 m3/detik pada bulan Nopember (puncak musim hujan). Pada tahun kering 1997 debit aliran masuk kedalam danau dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 8,56 m3/detik pada bulan Januari sampai dengan 62,39 m3/detik pada bulan April. Sedangkan pada tahun basah 1999, debit aliran masuk kedalam danau dari sungai-sungai tersebut, berkisar antara 83,535 m3/detik pada bulan Agustus sampai dengan 493,812 m3/detik pada bulan Mei. Pada kondisi hujan normal tahun 1991 masukan air yang berasal dari curah hujan langsung kedalam danau berkisar antara 1,1 mm pada bulan Pebruari sampai dengan 8,2 mm pada bulan Mei. Pada tahun kering 1997 jumlah air masuk kedalam danau dari curah hujan langsung berkisar antara 1,1 mm pada bulan April sampai dengan 5,5 mm pada bulan Desember. Sedangkan pada tahun basah 1999 jumlah jumlah air masuk kedalam danau dari curah hujan langsung berkisar antara 1,0 mm pada bulan Pebruari sampai dengan 2,9 mm pada bulan September dan Nopember. Dari 57 buah sungai yang mengalirkan air secara tetap terdapat 19 buah sungai besar yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigubang, (2) Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guluan, (4) (5) Sungai Arun, (6) Sungai Tomok, (7) Sungai Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10)Sungai Aek Bolon, (11) Sungai Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai Silabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda dan (19) Sungai Silang.

Rekayasa dilakukan terhadap Lau Renun dengan 11 anak sungainya yang semula mengalir ke pantai Barat Sumatera, sekarang dialihkan masuk ke Danau Toba. Aliran air Lau Renun digunakan untuk memutar turbin pembangkit listrik. Dengan masuknya Lau Renun, maka debit air rmasuk Danau Toba mengalami perubahan dari kondisi alaminya. Penambahan ini mencapai 10-13 m3/detik. Selain dari aliran sungai, Danau Toba juga menampung secara langsung air hujan yang jatuh pada wilayah perairannya. Kawasan Danau Toba mengalami 2 (dua) puncak hujan sepanjang tahun yaitu bulan April dan Nopember. Komponen iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban) sangat mempengaruhi neraca air danau yang tergantung kepada aliran debit sungai dan curah hujan yang langsung ke permukaan danau. Debit aliran sungai ditentukan oleh kondisi penggunaan dan bukaan lahan pada Daerah Tangkapan Air. Makin tinggi bukaan lahan, makin sedikit curah hujan yang meresap ke tanah, dan alirannya akan langsung masuk ke sungai yang bermuara ke Danau Toba. Aliran air ini membawa sedimen dan bahan organic lain yang dapat menurunkan kualitas dan fungsi danau.

6. Debit Aliran Masuk dan Keluar Danau Toba

Debit aliran masuk dari seluruh kawasan tiap bulan diketahui dari debit aliran masuk, ditambah hujan yang langsung ke danau dan dikurangi defisit air karena penguapan. Pelepasan air (outflow) melalui Sungai Asahan rata-rata tahunan 98,9

m3/detik. Rata-rata debit pelepasan air bulanan dari Danau Toba berkisar antara 85,47 m3/det (bulan November) sampai dengan 94,59 m3/det (bulan April). Sedangkan debit pelepasan air maksimum bulanannya berkisar antara 107,6 m3/det (bulan November) sampai dengan 183,1 m3/det (bulan April). Debit pelepasan air minimum bulannya berkisar antara 21,1 m3/det (bulan Agustus) sampai dengan 41,7 m3/det (bulan September). Sebelum tahun 1982 tinggi muka air Danau Toba berada diatas angka 904,3 meter, bahkan pada tahun 1977 dan 1978 pernah mencapai lebih besar dari 906 meter diatas muka laut. Pada bulan Juli 1998 permukaan air Danau Toba mengalami penurunan sampai dengan 902,28 m. Dari data tinggi muka air rata-rata bulanan Danau Toba, terlihat bahwa angka terendah terjadi mulai dari pertengahan tahun 1997 hingga awal tahun 1999 yang pada saat bersamaan secara umum di Indonesia terjadi musim kering panjang sebagai akibat dari Anomali Elnino. Setelah tahun 1999 permukaan air Danau Toba kembali naik diatas 904 meter pada bulan Oktober 1999. Debit air yang diambil pada periode tengah tahun kedua 1997 sebesar lebih dari 100 m3/detik secara tetap tanpa mengenal musim untuk keperluan memutar turbin, berakibat muka air Danau Toba menurun. Pelepasan air bahkan dilakukan pada periode masukan air terendah sebesar 21 hingga 47 m3/detik. Pada kondisi ini neraca air Danau Toba menjadi minus, sehingga terjadi pengurangan volume air secara terus menerus hingga mencapai titik terendah 902,28 m dpl. Tahun 1999 muka air berangsur-angsur meningkat dan debit yang dilepas meningkat lebih dari 50 m3 / detik.

7. Tinggi Muka Air Danau Toba

Tinggi muka air Danau Toba dipengaruhi oleh debit air masuk dari sungai, curah hujan langsung ke permukaan danau, penguapan yang terjadi akibat sinar matahari serta air yang mengalir keluar Danau Toba melalui Sungai Asahan. Tahun 1977 dan 1978, tinggi muka air Danau Toba adalah 906 m. Tahun 1983 Danau Toba berubah statusnya menjadi bendungan alami terluas di dunia dengan dioperasikannya bendungan pengatur

Sumber : LTEMP tahun 2013

Tabel 4 : Debit Air Sungai dan Debit Air dari Curah Hujan sepanjang tahun yang masuk Danau Toba.

di Siruar, sehingga tinggi muka air Danau Toba dapat dikontrol secara mekanis. Bendungan pengatur di Siruar dapat mengatur efektif tinggi muka air Danau Toba mulai dari 901 m dpl hingga hingga ketinggian 905,8m dpl. Upaya menjaga kestabilan debit air masuk ke turbin dilakukan dengan mengeruk Sungai Asahan sepanjang 13,6 km mulai dari Porsea hingga ke bendungan Siruar. Pengerukan dasar sungai Asahan menyebabkan terjadinya perubahan luas penampang laluan air, sehingga kapasitas aliran air semula 75 m3/detik (905 m) dapat menjadi 153 m3/det (902,4 m).

Pada waktu bendungan Siruar dioperasikan tinggi muka air Danau Toba adalah 904,3 m dpl. Pada tahun 1987, terjadi curah hujan di bawah normal, sementara operasional turbin menghendaki aliran air masuk harus stabil. Muka air Danau Toba menurun hingga 902,66. Muka air dibawah 903 m terjadi pada tahun 1990 (902,91m), 1998 ( 902,28m) dan 1999 (902,87m). Pada tahun 2009, curah hujan kembali normal dan bahkan di atas normal karena adanya fenomena La Nina. Muka air Danau Toba sudah mencapai 905,3 m. Dengan masuknya Lae Renun ke Danau Toba (debit minimum 10 m3/detik), maka kesetimbangan alami Danau Toba sudah terganggu. Tidak akan terjadi lagi penurunan muka air Danau Toba karena selalu berada di atas masukan alaminya. Kondisi ini berdampak terhadap pengendalian bendungan sebagai pengatur jumlah air yang bisa dilepas, dan muka air maksimal yang mampu ditahan agar tidak menenggelamkan tanah-tanah di pinggiran Danau Toba. Pertimbangan utama lainnya adalah terhadap dampak peningkatan secara tetap tekanan yang diterima bendungan. Fluktuasi muka air Danau Toba selama sepuluh tahun terakhir adalah seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tinggi Rata-rata Muka Air Danau Toba

Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tinggi Muka Air (m. dpl.)

903,99 904,88 904,71 904,16 903,69 904,19 904,9 905,3 904,03 903,85 904,32

Sumber : Otorita Asahan 2013

8. Saluran Keluar Air Danau Toba

Bila aliran masuk Danau Toba mencapai 205 sungai, maka saluran keluarnya hanya satu yaitu Sungai Asahan yang hulunya di Porsea dan mengalir serta bermuara ke Pantai Timur Sumatera Utara. Sungai Asahan sebagai satu-satunya outlet Danau Toba memiliki debit air alami 87,9 m/detik s.d. 105.4 m/detik. Dengan beda ketinggian yang cukup besar, aliran sungai Asahan memiliki kandungan energi yang sangat potensial untuk membangkitkan tenaga listrik. Total potensi perkiraan listrik yang bisa dibangkitkan dari aliran Sungai Asahan adalah 1.202 MW. Saat ini aliran Sungai Asahan sudah efektif termanfaatkan untuk pembangkit listrik dengan kapasitas terpasang 4 x 71,5 MW (Si Gura-Gura) dan 4 x 79,2 MW (Tangga). Seluruh listrik ini dipergunakan untuk peleburan aluminium yang pabriknya dioperasikan PT Inalum di Kuala Ranjung.

9. Iklim

Kondisi iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan evaporasi) sangat mempengaruhi neraca air danau. Suhu udara dan kelembaban akan menentukan besarnya laju evaporasi dari permukaan danau. Laju evapotranspirasi dari kawasan Danau Toba akan mempengaruhi jumlah air yang mampu disimpan di dalam tanah dan merupakan cadangan pasokan air ke dalam danau selama musim kemarau (periode tidak hujan). Kondisi iklim dapat berubah sebagai akibat perubahan penutupan lahan dan penggunaan lahan pada Kawasan. Peningkatan suhu pada Kawasan dapat meningkatkan suhu udara dan menurunkan kelembaban udara yang akhirnya akan meningkatkan laju evapotranspirasi dari daratan dalam kawasan maupun evaporasi dari permukaan danau. Kondisi iklim jugaberpengaruh terhadap upaya pemanfaatan lahan, terutama untuk usaha pertanian, perikanan dan kehutanan. Peningkatan suhu akibat perubahan penggunaan lahan akan dapat merubah pola hujan sehingga akan mempengaruhi masukan air ke dalam danau. a. Type Iklim

Menurut Klasifikasi lklim Oldeman maka Ekssistem Kawasan Danau Tsba termasuk ke dalam tipe Bl , C1, C2, D2, dan E2. Dengan demikian bulan basah (curah hujan ≥ 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini bervariasi antara kurang dari 3 bulan sampai dengan 7-9 bulan, sedangkan bulan kering (curah hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2-3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Scmidth dan Ferguson maka Ekosistem Kawasan Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim A, B dan B.

b. Curah Hujan

Dari tujuh stasiun penakar hujan yang terdapat di Ekosistem Kawasan Danau Toba Parapat, Sidamanik, Situnggaling, Balige, Siborong-borong, Dolok Sanggul dan Pangururan) diketahui bahwa curah hujan tahunan di Kawasan Danau Toba berkisar antara 2.200 sampai dengan 3.000 mm/tahun. Puncak musim hujan terjadi pada bulan Nopember-Desember dengan curah hujan antara 190-320 mm/bulan. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni-Juli dengan curah hujan berkisar antara 54-151mm/bulan.

c. Suhu, Kelembaban Udara dan Evaporasi

Suhu udara bulanan di Ekosistem Kawasan Danau Toba berkisar antara 18-19,7oC di Balige dan antara 20-210 C di Sidamanik. Suhu udara selama musim kemarau cenderung agak lebih tinggi dibandingkan dengan selama musim hujan. Sedangkan angka kelembaban tahunannya berkisar antara 79-95%. Pada bulan-bulan musim kemarau kelembaban udara cenderung agak rendah dibandingkan pada bulan-bulan musim hujan. Evaporasi bulanan di Ekosistem Kawasan Danau Toba berkisar antara 74 – 88 mm/bulan. Angka Evaporasi selama musim-musim kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan.

10. Pengunaan Lahan

Penggunaan lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba terdiri atas tanah sawah, tanah kering dan tanah terbuka. Tanah sawah berada pada daerah yang relative datar dan sebagian besar berada di Kabupaten Toba Samosir. Lahan kering umumnya dimanfaatkan untuk tanaman semusim yaitu tanaman budidaya seperti palawija, jagung, singkong dan sayur-sayuran seperti cabai, terong, bawang, tomat, bayam dll. Lahan kering yang dimanfaatkan sebagian besar pada daerah datar dan sebagian kecil pada lereng yang curam. Lahan Terbuka dimanfaatkan untuk pemukiman, bangunan seperti hotel, rumah, pasar dan sebagian berbentuk padang alang dan hamnparan rumput.

Tabel 6: Jenis Penggunaan Lahan di DTA Danau Toba

No

Kabupaten

Jenis Penggunaan Tanah (Ha)

Tanah Sawah Tanah Kering

Bangunan/ Pekarangan

Lainnya

1 Samosir 5.011,60 63.820 2.037 56.424,3 2 Toba Samosir 12.267 20.232,3 2.623,4 24.866,9 3 Simalungun 1.258,25 31.368,75 2.348,50 8.021,50 4 Tapanuli Utara 860 4.308 184 2.623,00 5 Humbang Hasundutan 1.071 60 75 0 6 Dairi 239 1.465 252 5.040,00 7 Karo 827 5.801 63 5.860,00

Jumlah 21.533,85 127.055,05 7.582,90 107.374,40 Sumber : Kecamatan dalam angka Tahun 2007

II. TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN

Danau Toba sebagai Danau terbesar dan proses pembentukannya sangat dahsyat memiliki potensi yang sangat menguntungkan bila dikelola dengan baik. Fakta lapangan menunjukkan bahwa saat ini terdapat 123 pemukiman masyarakat di pinggir danau daratan Pulau Sumatera dan 71 lokasi pemukiman di daratan Pulau Samosir yang terkait langsung dengan perubahan muka air Danau Toba. Sebagai danau terluas dan terdalam di dunia, Danau Toba mengalami berbagai tekanan baik secara permanen maupun tidak. Sebagian dampak dari tekanan kegiatan terhadap Danau Toba belum dapat diketahui, dan sebagian lain dampaknya sudah permanen dan sulit untuk dipulihkan. Berbagai masalah yang diterima Danau Toba sebagai akibat dari pemanfaatannya yang tidak memiliki perencanaan baik terutama dari aspek kelestarian lingkungannya adalah:

1. Perubahan Fluktuasi Muka Air Danau yang Ekstrim.

Catatan tentang tinggi muka air Danau Toba menunjukkan tahun 1977 tinggi muka air Danau Toba adalah 906 m. Tahun 1983 sebagai tahun perubahan status danau menjadi dam alami, tinggi muka air Danau Toba adalah 904,3 m dpl. Pada tahun 1987, muka air Danau Toba menurun hingga 902,66. Penurunan muka air dibawah 903 m sampai pada titik terendah tahun 1998 ( 902,28m) dan 1999 (902,87m). Penurunan ini bukan terjadi secara alami, karena sudah mengalami rekayasa dengan pengerukan yang membuka penampang danau yang lebih luas oleh pihak PT Inalum. Pada saat debit air masuk menurun, proses air keluar dari Danau Toba tetap dijaga stabil, sehingga volume air Danau Toba terus berkurang dan tinggi muka airnya menurun. Penurunan sedalam ± 2 meter ini berlangsung kurang lebih selama dua tahun yang menyebabkan terjadinya perubahan ekologis danau dan keseimbangan hidrologis danau. Pada kondisi ini Danau Toba diduga telah kehilangan puluhan spesies hayatinya. Sejak tahun 2003, tinggi muka air danau relatif stabil pada ± 904 meter. Kembali terjadi perubahan ekologis danau. Sayang sekali perubahan ini tidak diamati, terutama yang menimbulkan dampak terhadap biota air.

2. Perubahan Keseimbangan Hidrologis.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik Sumatera Utara, PLN telah membangun PLTA Lae Renun dengan mengalihkan aliran air sebelas anak sungai Singkil dari Pantai Barat Sumatera ke Danau Toba. Perubahan aliran air sungai ini menyebabkan terjadinya penambahan debit air masuk Danau Toba sebanyak 10 -13 m3/detik. Dampak perubahan masuknya aliran air Lae Renun ini mulai terlihat dengan ketidakmampuan PT Inalum mengatur debit air yang dikeluarkan dari bendungan Siruar. Agar tinggi muka air Danau Toba bisa stabil, volume air yang masuk ke Danau Toba harus harus diimbangi dengan pengeluaran air dengan volume yang sama dari bendungan Siruar. Ketidakseimbangan ini telah menyebabkan muka air Danau Toba makin lama makin tinggi sehingga dapat menenggelamkan daerah pertanian rakyat pada dataran sempadan danau. Hal yang paling perlu dicermati adalah makin tingginya muka air danau akan menyebabkan bertambahnya tekanan air pada bendungan. Lemahnya pengelolaan Sei Asahan oleh PT Inalum menyebabkan daerah hilir Sei Asahan mengalami sedimentasi yang cukup parah. Pada saat muka air Danau Toba makin tinggi, sebenarnya dapat dikurangi dengan membuka katup

bendungan Siruar. Namun bila hal ini dilakukan, akan terjadi banjir pada bahagian hilir Sei Asahan. Bagaimanapun masalah ini harus segera diatasi kerena muka air Danau Toba akan terus naik.

3. Sempadan Danau

Pada saat ini terdapat 194 pemukiman di pinggiran Danau Toba baik di daratan Pulau Sumatera maupun Daratan Pulau Samosir. Pemerintah Daerah Sumatera Utara melalui Perda No. 1 tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba telah melarang berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan gangguan berupa pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan. Bila diamati perilaku para leluhur di Danau Toba, mereka tidak pernah membangun pemukiman di sempadan danau. Kearifan ini coba ditangkap oleh Pemerintah Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat dengan menerbitkan aturan tentang pemanfaatan sempadan danau dan larangan yang tidak boleh dilakukan untuk mejaga kelestarian danau. Pasal 7 ayat 1 Perda No. 1 tahun 1990 menyatakan larangan bagi masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah, merambah dan membakar hutan, membuang limbah padat, cair maupun gas ke danau, menangkap ikan dengan peledak, listrik dan zat kimia, penguasaan tanah timbul dan mengganggu lokasi pembiakan ikan. Bahkan Perda ini juga mengatur agar pemilik lahan tepi danau tidak membiarkan pertumbuhan enceng gondok serta tidak boleh membiarkan tanahnya terlantar. Secara tegas Pasal 9 ayat 1 Perda melarang mendirikan bangunan 50 meter dari tepi pantai ke arah darat termasuk membeton, memagar, menimbun dan mengeruk perairan danau. Hampir secara keseluruhan pasal-pasal yang mengatur penggunaan sempadan danau ini tidak dipatuhi oleh masyarakat, dan juga terjadi pembiaran oleh pemerintah daerah atas pelanggarannnya. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional juga melakukan penguatan bahwa pada sempadan danau tidak dibenarkan adanmya bangunan. Bangunan yang didirikan di sempadan sungai selain akan merusak pemandangan keindahan danau juga dapat jadi sumber pencemaran.

4. Keramba Jaring Apung

Teknologi Keramba Jaring Apung berasal dari Vietnam. Pengembangannya dilakukan oleh para peneliti dari ITB dan memanfaatkan fasilitas laboratorium perikanan air tawar di Bogor. Uji coba pembudidayaan ikan menggunakan Keramba Jaring Apung dilakukan di Danau Lido pada 1979. .Penemuan Keramba Jaring Apung pada awalnya dianggap suatu keberuntungan karena teknologinya sederhana, mudah dibuat, dan berbiaya murah namun menghasilkan panen yang menguntungkan. Sekarang, hampir semua danau di Indonesia permukaannya dipenuhi sebaran Keramba Jaring Apung. Investor terbesar dalam dunia usaha pembudidayaan KJA DI Danau Toba dilakukan oleh perusahaan dari Swiss yang memasarkan produknya ke Amerika dan Eropa. Air yang bersih dari danau yang dikatagorikan sebagai danau sangat dalam merupakan penentu bagi kualitas ikan yang dibesarkan dalam Keramba Jaring Apung di perairan Danau Toba. KJA mulai diperkenalkan pada masyarakat Danau Toba tahun 1996 di Desa Haranggaol. Saat ini booming KJA telah berbalik menjadi boomerang karena mnulai disadari bahwa keberadaannya menurunkan kualitas lingkungan. Selain merusak kualitas air sehingga fungsinya menurun, dari

segi estetika keberadaan Keramba Jaring Apung juga sangat merugikan. Daerah wisata yang tadinya diminati pengunjung akhirnya menjadi sepi karena airnya berubah menjadi amis. Pertumbuhan sangat pesat dari KJA di Danau Toba dapat dilihat pada Tabel .

Tabel 7 : Pertumbuhan Unit Usaha KJA di Danau Toba tahun 2005 dan 2007

No. Kabupaten 2005*) 2007**)

Unit Unit 1 Toba Samosir 878 1,732 2 Samosir 1,105 2,180 3 Tapanuli Utara 24 47 4 Humbahas 45 89 5 Dairi 65 128 6 Karo 75 148 7 Simalungun 653 1,288

Jumlah 2,845 5,612 Sumber : *) BPS Kabupaten di EKDT, 2006

**) Laporan Survey Bapedaldasu, 2007

Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam waktu dua tahun, pertumbuhan unit Keramba Jaring Apung di Danau Toba telah mencapai dua kali lipat. Tahun 2009 jumlah Keramba Jaring Apung di kawasan Danau Toba telah berjumlah 6.269 unit dengan luasan 6.169 Ha, tersebar pada 51. Data Bapedalda Sumut (2008) mencatat di kecamatan Pangunguran, Desa Parsaoran terdapat lebih kurang 600 unit jala apung milik rakyat, di kecamatan Simanindo, desa Cintadame terdapat 450 unit milik rakyat, sedangkan di desa Tomok terdapat 150 unit milik rakyat dan 85 unit milik perusahaan (PT. Aqua Farm Nusantara). Sedangkan di kecamatan Dolok Pardamean terdapat 200 unit keramba jala apung milik rakyat dan 360 unit milik perusahaan (PT. Sentral Windu Pertala). Di Kecamatan Girsang terdapat 100 unit milik masyarakat dan 180 unit milik PT. Aqua Farm Nusantara dan 78 Unit milik PT. S. Batubara. Dalam laporan kajian Daya Tampung Beban Pencemaran Danau Toba Tahun 2012 oleh BLH Provinsi Sumatera Utara dinyatakan bahwa Keramba Jaring Apung milik masyarakat secara pribadi maupun perusahaan sudah mencapai 8.428 unit, dan milik PT Aqua Farm sebanyak 484 unit dengan total produksi ikan sebanyak 54.935,5 ton/tahun. Makin luasnya ekspansi KJA di permukaan Danau Toba menyebabkan masyarakat mulai merasa resah, karena walaupun keramba mampu memberikan keuntungan dari segi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja tetapi disisi lain juga memberikan dampak negative dari segi kenyamanan, kebersihan dan kesehatan lingkungan.

Konsentrasi keberadaan keramba jaring apung di Dolok Pardamean berada di Desa Tigaras. Panjang pantai pada desa ini lebih kurang 15 km. Jika lebar pinggiran danau yang dipergunakan untuk budidaya rata-rata 50 meter maka luas lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk pemasangan keramba jaring apung ini lebih kurang 750.000 m2 atau 75 ha. Karena perairan danau ini merupakan perairan yang tenang sehingga pencemaran limbah yang diakibatkan oleh penggunaan pakan dan obat-obatan pada keramba-keramba ini terkonsentrasi pada kawasan perairan selebar lebih

kurang 50 meter sepanjang pantai yang digunakan untuk penempatan keramba. Jika daya dukung perairan yang dapat digunakan untuk keramba adalah 1 % dari luas kawasan perairan dan limbah terkonsentrasi hanya pada daerah keramba ditempatkan, maka setara dengan 0,75 ha atau 7.500 m2. Jumlah keramba apung masyarakat di desa ini tercatat 200 unit dengan luas masing-masing keramba 1 m2, jadi luas total keramba milik masyarakat di desa ini 200 m2. Di perairan desa ini juga terdapat keramba jaring apung milik perusahaan PT. Sentral Windu Pertala sebanyak 360 unit, dengan luas masing-masing keramba 25 m2, sehingga luas total keramba milik perusahaan ini 9.000 m2. Luas total keramba milik masyarakat dan perusahaan ini adalah 9.200 m2. Luasan keberadaan keramba ini telah melebihi daya dukung perairannya.

Dengan cara pendekatan yang sama, maka keberadaan keramba jaring apung di desa Parsaroan, kecamatan Pangunguran, desa Cintadame dan Tomok, kecamatan Simanindo juga telah mendekati daya dukung perairannya. Limbah pakan ikan yang digunakan pada daerah-daerah konsentrasi keramba jaring apung ini dapat menimbulkan pencemaran perairan setempat dengan bahan organik dengan hasil rombakannya terutama unsur N, P dan K yang dapat menimbulkan penyuburan perairan danau terutama di kawasan perairan di sekitar lokasi keramba jaring apung. Penyuburan perairan oleh limbah pakan ikan ini mendorong terjadinya proses eutrofikasi dan menambah beban pencemaran karena adanya sisa-sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi ikan. Proses eutrofikasi yang terjadi di sekitar lokasi-lokasi budidaya keramba jaring apung, mendorong tumbuh berkembangnya tumbuhan air eceng gondok dan ganggang. Walaupun kualitas air Danau Toba saat ini masih tergolong baik, namun pengembangan keramba jaring apung akan menambah beban perairan danau oleh karena sisa pakan ikan, akan mencemari perairan.

Masyarakat yang tinggal pada permukiman-permukiman di sekitar lokasi keramba juga memanfaatkan air danau sebagai air bersih. Pencemaran perairan danau oleh limbah pakan ikan ini akan menyebabkan air danau kurang atau tidak layak lagi dikonsumsi untuk air minum, karena beberapa sifat kimia seperti pH, kandungan nitrat, nitrit, pospat, sulfat, kalium, sifat fisik seperti bau dan rasa telah melebihi ambang batas baku mutu air untuk air minum. Dimasukkannya berbagai jenis ikan budidaya seperti mujair, nila sebagai bibit pada perairan terbuka Danau Toba yang disiapkan untuk cadangan produksi perikanan tangkap maupun perikanan budidaya telah menyebabkan semakin langkanya berbagai jenis ikan endemik pada Danau Toba ini, terutama jenis Ikan Batak (Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus soro).

Berbagai jenis ikan yang didatangkan dari luar (jenis eksotik) ini mempunyai sifat adaptasi yang tinggi, cepat tumbuh dan berkembang sehingga secara ekspansif menguasai habitat yang ada. Pada tahun 2004, pemerintah memasukkan ikan bilih yang berasal dari Danau Singkarak ke Danau Toba Masuknya ikan eksotik ini mengakibatkan jenis-jenis endemik tertekan pertumbuhan dan perkembangannya. Di Danau Toba Ikan Bilih dikenal dengan sebutan ikan Pora-pora. Ikan Pora-pora saat ini berkembang menjadi sumber mata pencaharian baru oleh masyarakat nelayan tangkap. Produksi ikan pora-pora yang terbanyak adalah di Desa Bakara Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang Hasundutan dan Desa silalahi Kecamatan Silahi

Sabungan Kabupaten Dairi. Dari desa tersebut rata-rata dihasilkan empat ton ikan pora-pora perhari.

5. Penebangan Hutan

Walaupun sudah dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Nasional dan bahkan diajukan sebagai Anggota Geopark Global, penjarahan hutan di Kawasan Danau Toba terus terjadi. Para penjarah hutan telah membuat penegak hukum tidak berdaya dan bahkan seakan melindungi perbuatan menghancurkan tegakan pohon. Kasus terbaru adalah pengembalian hadiah Kalpataru dan penghargaan lainnya oleh para penerima karena kecewa atas ketidakmampuan pemerintah mengentikan penjarahan hutan di Tele. Pemerintah Kabupaten Samosir telah memberikan Izin lokasi dan IPK seluas 800 Ha kepada PT Gorga Duma Sari (GDS). Padahal hanya pada areal hutan itulah tegakan pohon alami yang masih tersisa di Kabupaten Samosir. Penjarahan hutan ini dilakukan tanpa memiliki izin lingkungan. Hutan ini merupakan induk sungai dan anak sungai ke Lae Renun, Lae Combi, Lae Ordi yang seharusnya dijaga dan dilestarikan karena terkait dengan keberadaan PLTA Lae Renun yang memakan biaya puluhan milyar rupiah. Sementara hasilnya adalah berupa pemasukan ke kas Negara sebesar Rp. 973.593.764,-. Modus sama dilakukan para penjarah hutan pada areal Kawasan Strategis Nasional yang diharuskan agar luas hutan tidak boleh di bawah 30% luas wilayah dan bagi wilayah yang hutannya di atas 30% harus tetap mempertahankan luasan hutan tersebut.

Gambar 2: Peta sebaran lokasi Keramba Jaring Apung dan Pelabuhan Ferry serta

Tabel 7: Jenis Lahan dan Luas Penutupan Lahan DTA Danau Toba tahun 2012

Saat ini, ±1500 Ha kawasan hutan Sicil.e-Cike yang merupakan Taman Wisata Alam di Hutan Lindung Adian Tinjoan telah dirusak. Demikian juga dengan kawasan hutan milik negara yang dikelola BKSDA Provinsi Sumatera Utara seluas 575 Ha dirusak. Di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban ]ulu Kabupaten Toba Samosir terdapat hutan-hutan reboisasi milik negara yang beralih fungsi menjadi lahan milik perorangan Penjarahan kayu juga terjadi di Hutan Register 9L, Desa Aek Natolu ]aya, Kecamatan Lumban Julu. Kasus lainnya adalah penebangan pohon kawasan areal reboisasi di Desa Hutapining, Kecamatan Ajibata, yang dilaporkan oleh masyarakat, namun pihak yang berwajib datang setelah kawasan tersebut sudah habis. Kasus lain adalah Penebangan pohon pinus secara illegal seluas ± 60 Ha di Desa Ujung Bawang Kabupaten Simalungun. Pengrusakan kawasan hutan register dan berbagai kawasan hutan lindung lainnya terjadi tanpa dapat dicegah yang akan berdampak terhadap kelestarian Danau Toba.

Menurut Laporan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara tahun 2012, luas hutan di DTA Danau Toba tahun 1985 adalah 78.558,18 Ha (28,14% dari luas DTA). Tahun 1997 dan tahun 2001, luas hutan ini menyusut menjadi 22,15% dan 13,47%. Suatu penyusutan yang luar biasa hanya dalam selang waktu 15 tahun. Walaupun sudah diketahui, namun penjarahan hutan dalam DTA Danau Toba terus berlangsung mulus tanpa ada hambatan. Berdasarkan hasil analisa satelit tahun 2012 luas hutan di DTA Danau Toba hanya tinggal 12,6%. Dari jenis lahan dan luas tutupannya di DTA Danau Toba dapat diklasifikasi atas 22% (57.604,88 Ha) sebagai status hutan walaupun saat ini faktanya hanya 12,6%. Pertanian 31,2 % (81.918,23 Ha), Padanag Rumput 38,4% (100.590,47 Ha) dan sawah 8,4% (22.100,03 Ha. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, luas hutan DTA Danau Toba minimal harus 30% dari luas area. Kondisi Tutupan lahan dalam DTA Danau Toba tahun 2012 dapat dlihat pada Tabel 7.

6. Limbah rumah tangga, pariwisata dan transportasi air, perikanan budi daya, perternakan dan pertanian.

Hasil survey BLH Sumut tahun 2007, pada pinggiran Danau Toba baik di sisi Pulau Sumatera maupun di sisi Pulau Samosir terdapat 147 pemukiman dengan jumlah penduduk sebanyak 390.251 jiwa. Hampir secara keseluruhan menggunakan air Danau Toba sebagai sumber air baku minuman. Sesuai dengan peruntukkannya berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah menetapkan Baku Mutu Air Danau Toba sebagai sumber air Kelas Satu (Pergub No. 1 tahun 2009). Tiga PDAM beroperasi mengolah air Danau Toba untuk disalurkan ke masyarakat yaitu PDAM Balige, PDAM Laguboti dan PDAM Pangururan. Selain mengambil air Danau Toba sebagai air baku, semua masyarakat membuang limbah cairnya kembali ke Danau Toba tanpa diolah. Termasuk dalam limbah ini adalah yang berasal dari rumah tangga, hotel, dan restauran seperti tinja, sampah dan limbah tin jau. Limbah transportasi air mencemari Danau Toba dengan ceceran oli, minyak, bahan bakar, limbah padat dan cair dari toilet di kapal. Sumber pencemaran kegiatan perikanan berasal dari kegiatan pemeliharaan keramba jaring apung yang sampai saat ini sudah berjumlah sebanyak 8.428 unit milik masyarakat dan 484 unit milik perusahaan Aqua Farm. Potensi pencemar yang sangat potensial merusak Danau Toba adalah limbah perternakan babi PT Alegrindo Nusantara di Tiga Runggu, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun. PT Alegrindo Nusantara memelihara 30 s.d 40 ribu ekor babi. Kotoran babi yang dapat menjadi media perantara pembawa virus hepatitis E. Volume limbah ternak babi ini baik dalam bentuk padat maupun cair mencapai 1200 ton, dibuang ke Sungai Silali yang melalui Desa Urung Pane dan akhirnya masuk ke Danau Toba. Kegiatan perternakan babi PT Alegrindo Nusantara sudah beroperasi selama ± 16 tahun pada lahan seluas 46,8 Ha yang masuk pada register 44. Kegiatan pertanian yang secara tidak langsung menimbulkan pencemaran dan beban kerusakan adalah residu pupuk dan pestisida yang terbawa air hujan ke perairan. Pupuk dan berbagai limbah perternakan dan perikanan menyebabkan perairan danau semakin kaya dengan nutrient atau phospat yang belebihan. Dampaknya dapat dilihat dari air yang berbau tidak sedap dan kekeruhannya meningkat. Indikator biologis peningkatan kandungan phospat dalam air antara lain dari penurunan kandungan Oksigen dalam air dan makin meluasnya tutupan enceng gondok di perairan. Absennya oksigen dalam air mengakibatkan gangguan terhadap kehidupan biota air sehingga ekosistem air jadi terganggu.

III. RESPON PENGELOLAAN KAWASAN DANAU TOBA

1. Pemerintah Daerah Sumatera Utara bersama dengan pihak swasta telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan kerusakan dan pemulihan kualitas serta pelestarian Danau Toba. Menyadari bahwa pengelolaan Danau Toba harus dilakukan secara bersama dan terpadu pada arah yang tepat, maka pemerintah merangkul semua pihak yang berkepentingan dan terkait dengan pelestarian Danau Toba. Pemerintah mengembangkan pendekatan pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba dengan menyusun dokumen Pedoman Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (LTEMP) sebagai pedoman bagi para Pemangku Amanah dalam mengelola ekosistem kawasan Danau Toba. Lake Toba Ecosystem Management Plan merupakan

upaya kolaboratif untuk mengembangkan pendekatan pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba secara berkelanjutan dan komprehensif. LTEMP juga sudah membentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba (BKPEKDT) yang melibatkan berbagai pihak melalui pertemuan dan menyerap partisipasi publik. Sampai saat ini BPEKDT telah melakukan inventarisasi berbagai aspek menyangkut komponen dan indikator serta Parameter lingkungan Danau Toba. Seharusnya data dan informasi yang diperoleh sudah dapat dijadikan masukan bagi penyusun kebijakan serta pengambil keputusan bagi pelaksana pencegahan kerusakan maupun pemulihan untuk kelestarian Danau Toba. Berdasarkan kenyataan lapangan, diperlukan perbenahan yang cukup mendasar terutama bila melihat pencapaian target yang sudah dipatok pada pedoman pengelolaan ekosistem Danau Toba.

2. Dari beberapa kegiatan atau dampak kegiatan yang berpotensi besar memberi tekanan atau ancaman terhadap kelestarian Danau Toba adalah masalah keseimbangan hidrologis. Besar kecilnya volume aliran air masuk Danau Toba akan mempengaruhi tinggi muka air danau. Termasuk faktor penentu tingginya muka air ini adalah volume air yang keluar melalui Sungai Asahan dan proses evapotranspirasi pada wilayah DTA. Penebangan hutan akan meningkatkan erosi dan juga air larian masuk ke Danau Toba. Kasus terakhir adalah penjarahan hutan Tele seluas 800 Ha yang belum dihentikan oleh berbagai kebijakan dan keputusan setingkat provinsi. Makin meningkatnya luasan tutupan Danau Toba oleh Enceng Gondok juga merupakan penyebab tingginya proses penguapan air dari permukaan Danau Toba. Hal lain yang jadi jadi pertimbangan adalah masuknya aliran air Lae Renun ke Danau Toba memang menyebab volume air yang masuk lebih tinggi dari kondisi alaminya. Masalah keseimbangan hidrologis ini belum dapat dicarikan program penyelesaiannya, baik dari perubahan tinggi muka air danau maupun dari dampaknya terhadap kehidupan biota air.

3. Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan duri dalam daging bagi upaya pengelolaan Danau Toba. Di satu sisi ada yang mengklaim bahwa KJA menghasilkan PAD dan menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan. Di sisi lain ternyata KJA telah mendatangkan masalah bagi lingkungan baik estetika maupun fisika dan kimia. Kegiatan KJA telah merampas wilayah wisata seperti Haranggaol dan juga berbagai tempat lain yang berubah menjadi konsentrasi usaha KJA. Sampai saat ini belum ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kehadiran KJA yang menutup permukaan air Danau Toba serta menurunkan kualitas airnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan BOD, COD dan Phospor pada sebagian besar lokasi sudah melewati baku mutu. Penataan kehadiran KJA ini baik dari segi distribusi, beban bagi lingkungan yang dapat meminimalisir dampak negatifnya terhadap lingkungan belum dapat dilakukan. Belum ada keputusan dan bahkan kebijakan yang menentukan posisi keberadaan KJA di Danau Toba. Perlu pertimbangan matang dalam penentuan Danau Toba sebagai pusat tujuan wisata dan warisan kekayaan dunia dengan kegiatan usaha ekonomi yang berasal dari pemeliharaan ikan dengan dampak negatif penurunan kualitas air Danau Toba. Berbagai pertimbangan sudah teridentifikasi sebagai masukan bagi pengambilan keputusan seperti pembatasan jumlah dan zona distribusi, pertimbangan ekonomi dan ekologi, pelet dan obat-obatan yang akrab lingkungan dan juga alternatif murni menjadi objek wisata alam. Perlu keberanian pemerintah dalam menetapkan pilihan akapah akan

mengembangkan KJA atau menjadikan danau kembalisebagai kawasan konservasi atau wisata alam.

4. Isu terakhir upaya pengelolaan Danau Toba adalah dengan menempatkan sebagai Taman Dunia. Bila konsep ini diterima, maka semua kegiatan di seluruh kawasan DTA Danau Toba harus mengacu pada kegiatan yang akrab lingkungan. Diperlukan komitmen pemerintah dan juga partisipasi masyarakat untuk menwujudkannya. Pemerintah dan masyarakat dalam kawasan danau harus bersatu tekad dan usaha menjadikan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata yang bersih, nyaman dimata, nyaman di hati nyaman di perasaan baik bagi masyarakat lokal, terutama bagi pengunjung regional dan global. Fakta menunjukkan bahwa dengan kebijakan dan sistem pengelolaan yang diberlakukan sekarang, ternyata Danau Toba tidak mampu memberikan manfaat banyak bagi masyarakatnya, sementara kualitasnya terus menurun tanpa berdaya untuk dihentikan.

5. Faktor budaya yang dikenal dengan Poda Na Lima atau pesan yang lima mencakup bersihkan hatimu, bersihkan badanmu, bersihkan pakaianmu, bersihkan rumahmu dan bersihkan lingkunganmu ternyata hanya menjadi kata tanpa makna di berbagai dinding tanpa merubah perilaku. Mungkin pemahamannya perlu disosialisaikan hingga efektif mendukung program menjadikan Danau Toba sebagai Taman Dunia yang menarik kunjungan wisatawan karena lingkungan fisik-kimia yang baik dan lingkungan biologi yang kaya spesies endemik yang lestari, serta budaya masyarakat yang kaya dan bermartabat.

Medan, 2013