eutrofikasi waduk dan danau

90

Upload: hardiyanti-nani

Post on 23-Jul-2015

2.131 views

Category:

Documents


66 download

TRANSCRIPT

Page 1: Eutrofikasi Waduk Dan Danau
Page 2: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan,

Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Disusun Oleh:

Eko Winar Irianto

R. W. Triweko

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

Page 3: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

i

SAMBUTAN

MENTERI PEKERJAAN UMUM

Diiringi dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT, saya menyambut baik atas penerbitan buku

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Melalui

buku ini dapat diperoleh informasi bagi masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan

waduk dan danau, sehinggan waduk dan danau yang merupakan bagian dari pengelolaan

sumber daya air terpadu di Indonesia dapat tetap dijaga kelestarian dan kelangsungan fungsi-

fungsinya. Karena itu, pembangunan infrastruktur SDA untuk mengelola waduk dan danau

tersebut, sebaiknya merupakan suatu konsep pengembangan wilayah yang berwawasan dan

terpadu.

Saya berharap kiranya buku ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan pedoman atau

acuan bagi masyarakat pemakai dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam melaksanakan

pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air yang ramah lingkungan. Dengan informasi

ini diharapkan masyarakat pemakai dapat ikut berperan serta dalam upaya-upaya pengelolaan

SDA serta pengamanan infrastruktur tersebut dengan baik agar dapat meningkatkan manfaat

pengelolaan sumber daya air untuk kesejahteraan rakyat.

Jakarta, April 2011

Menteri Pekerjaan Umum

Djoko Kirmanto

Page 4: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

ii

1-ii

Page 5: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

iii

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG

Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan kerja keras para Peneliti Balai Lingkungan Keairan –

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air bekerja sama dengan staf pengajar Pasca

Sarjana Universitas Parahyangan dan Jurusan Teknik Lingkungan ITB, telah diterbitkan buku

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Buku Ini

memberikan informasi, data teknis dan upaya pengendalian pemasalahan eutrofikasi pada

waduk dan danau, yang merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air secara terpadu.

Waduk dan Danau memiliki fungsi-fungsi yang penting diantaranya, sebagai sumber penyedia

air baku, pengendalian banjir, pembangkit energi, dan merupakan bagian dari daur hidrologi

yang harus dijaga kelestariannya.

Semoga dengan terbit dan disebarluaskannya buku Eutrofikasi Waduk dan Danau:

Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian ini, Badan Litbang PU dapat memberikan

andil penting dalam pembangunan infrastruktur bidang sumber daya air di Indonesia. Kepada

Pusat Litbang Sumber Daya Air, kami sampaikan ucapan terima kasih atas upaya penelitian ini

sehingga menjadi buku acuan yang dapat dimanfaatkan secara luas demi kesejahteraan rakyat

dan pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Jakarta, April 2011

Badan Litbang Pekerjaan Umum,

Ir. Mohamad Hasan, Dipl. HE

NIP. : 19530509 197811 1 001

Page 6: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

iv

Page 7: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

v

SAMBUTAN

KEPALA PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR

Pembangunan bidang sumber daya air, merupakan salah satu tugas Kementerian Pekerjaan

Umum, termasuk di dalamnya pengelolaan dan pengembangan sumber daya air sebagai salah

satu komponen yang hakiki. Oleh karena itu, pola pengembangan sumber daya air terkait pada

strategi yang berlingkup nasional maupun regional. Dalam program pemerintah diperlukan

perhatian khusus tentang pengelolaan sumber daya air dan potensi lahan dan lingkungannya

serta sumber daya manusia yang terkait dengan kuantitas dan kualitas air itu sendiri.

Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan air serta untuk berbagai sektor dalam suatu tata

ruang, masih menjadi masalah nasional dan menjadi tugas serta tanggung jawab kita bersama

baik secara inter-Kementerian maupun antar-Kementerian. Dalam rangka menunjang program

pemerintah dalam bidang IPTEK penyediaan air baku, PUSAT LITBANG SUMBER DAYA AIR,

BADAN LITBANG PEKERJAAN UMUM, KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM telah berpartisipasi

dalam kegiatan penelitian dan menerbitkan buku berjudul :

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian

Sebagaimana diketahui, waduk dan danau adalah bagian penting dari system sumber daya air

yang kita miliki, yang harus dijaga kelestariannya, baik secara ekosistem maupun fungsi-fungsi

teknis lainnya. Karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan wawasan dan

pengetahuan tentang penyebab, model-model pengelola, dan upaya pengendalian eutrofikasi

yang telah terjadi pada waduk dan danau di Indonesia. Diharapkan dengan adanya buku ini

dapat dihasilkan usulan kebijakan maupun program kegiatan yang menunjang keberlanjutan

fungsi-fungsi waduk dan danau.

Page 8: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

vi

Atas segala bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak, diucapkan banyak terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya khusus bagi penulis, Ir. Eko Winar Irianto, MT, Peneliti

Balai Lingkungan Keairan Puslitbang SDA, Prof. Ir. R. W. Triweko, M.Eng, PhD. Selain itu, ucapan

terima kasih kami sampaikan pula kepada Dr. Doddi Yudianto, MSc, sebagai Pengajar Pasca

Sarjana Universitas Parahyangan, dan Dr. Ir. Priana Soedjono, M.Sc, Pengajar Jurusan Teknik

Lingkungan ITB yang telah menjadi mitra bestari buku ini. Mudah-mudahan buku ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi bahan masukan dalam menunjang program

pemerintah dalam pengembangan potensi sumber daya air dan pengendalian daya rusak

sumber daya air.

Bandung, April 2011

Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air,

Dr. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc.

NIP. 19580125 198603 1 001

Page 9: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

vii

PRAKATA

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis telah

menyelesaikan Tulisan tentang Permasalahan Waduk dan Danau. Waduk dan danau merupakan

bagian dari sumber daya alam yang harus dilestarikan keberadaannya, agar kehidupan di alam

termasuk manusia tetap dapat menjalankan fungsinya dan memenuhi kebutuhannya secara

wajar. Namun demikian, akibat tingginya kerusakan pada DAS termasuk tingginya beban

pencemaran pada badan air yang menyebabkan timbulnya kerusakan ekosistem waduk dan

danau, terutama permasalahan eutrofikasi.

Terkait dengan permasalahan tersebut, penulis berupaya menyampaikan gagasan untuk

mengidentifikasi permasalahan-permsalahan dan upaya untuk mengurangi dampak terjadinya

eutrofikasi melalui langkah pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, mulai dari

ekosistem DAS, ekosistem sempadan maupun ekosistem pada perairan waduk dan danau.

Karena itu, tulisan ini diberi judul “Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan, Pemodelan dan

Upaya Penanganan”, Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca dapat lebih memahami

konsep-konsep pengelolaan ekosistem waduk dan danau secara terpadu, sehingga dampak

permasalahan eutrofikasi yang timbul pada badan air dapat dikurangi.

Penulis menyadari bahwa, tulisan ini tidak mungkin diselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

pihak-pihak yang telah memberikan bantuan berupa wawancara, data-data maupun makalah-

makalah hasil kajian yang bermanfaat dalam penyusunan tulisan ini. Karena itu, pada

kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima-kasih kepada pihak-pihak yang membantu

penulisan ini, terutama kepada:

a. Dr.Ir.Arie Setiadi Moerwanto,MSc., selaku Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air beserta

jajarannya yang telah mengizinkan penulis untuk menggunakan data-data dan kajian-kajian

yang ada di Puslitbang SDA;

b. Dr.Ir Badruddin Machbub, Dipl.HE., profesional dan Ahli Peneliti Utama Bidang Lingkungan

Keairan yang telah memberikan waktunya untuk berdiskusi dan membagi pengalamannya

dengan penulis;

c. Dr. Simon Brahmana,CES., Peneliti Utama Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya Air yang

bersedia berbagi data dan makalah hasil kajian untuk melengkapi tulisan ini;

Page 10: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

viii

d. Ir. Ratna Hidayat, Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Sumber Daya Air yang juga

bersedia berbagi data serta hasil kajian untuk mengembangkan tulisan ini; dan

e. Berbagai pihak yang telah membantu, namun belum disebutkan dalam tulisan ini;

Semoga bermanfaat, dan Selamat Membaca.

Bandung, April 2011

Penulis

Page 11: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

ix

DAFTAR ISI

Halaman

KATA SAMBUTAN

- Sambutan Menteri Pekerjaan Umum .......................................................................................... i

- Sambutan Kepala Badan Litbang Pekerjaan Umum ............................................................... iii

- Sambutan Kepala Pusat Litbang Sumber Daya Air .................................................................. v

PRAKATA. .............................................................................................................................................. vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................. xiv

DAFTAR KOTAK..................................................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1-1

1.1 Latar belakang ....................................................................................................................... 1-1

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................................................... 1-3

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ............................................................................................ 1-4

1.4 Sistematika Pembahasan ................................................................................................... 1-4

BAB II KONDISI DANAU DAN WADUK DI INDONESIA ............................................................... 2-1

2.1 Kondisi danau dan waduk ............................................................................................... 2-1

2.1.1 Kondisi Fisik .............................................................................................................. 2-1

2.1.2 Kondisi Kualitas Air ................................................................................................. 2-5

2.2 Manfaat danau dan waduk ............................................................................................... 2-6

2.3 Permasalahan danau dan waduk .................................................................................. 2-7

2.4 Peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air .................................. 2-13

2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air ........................................................................... 2-13

2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan .................................................................................. 2-22

Page 12: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

x

BAB III KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI ............................................... 3-1

3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan waduk. ................................................................. 3-1

3.2 Penerapan SMED pada Waduk ........................................................................................ 3-7

3.3 Klarifikasi Eutrofikasi ........................................................................................................... 3-12

3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol .................................................................... 3-16

3.4.1 Parameter Fisika ...................................................................................................... 3-17

3.4.2 Parameter Kimia ..................................................................................................... 3-18

BAB IV PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU ..................................................... 4-1

4.1 Kelimpahan plankton ......................................................................................................... 4-1

4.2 Peningkatan Zat Hara ........................................................................................................ 4-3

4.2.1 Senyawa Nitrogen ................................................................................................. 4-3

4.2.2 Senyawa Fosfor ....................................................................................................... 4-5

4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung...................................................................................... 4-7

4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai................................................................................. 4-10

BAB V PEMODELAN EUTROFIKASI ................................................................................................... 5-1

5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi ......................................................................................... 5-1

5.2 Penentuan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) .......................................... 5-3

5.2.1 Penentuan DTBP Pada Danau dan aduk .......................................................... 5-3

5.2.2 DTBP Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung ....................................... 5-5

5.3 Model Aplikasi Pengelolaan Danau dan Waduk......................................................... 5-8

5.3.1 Model CE-Qual-W2 ................................................................................................. 5-8

5.3.2 Model Aplikasi Water Quality Simulation Program......................................... 5-10

5.4 Pemodelan Dinamik Eutrofikasi ...................................................................................... 5-13

5.5 Pemodelan Tunak Senyawa Nutrien dan Organik ..................................................... 5-14

5.6 Pemodelan Penginderaan Jauh ...................................................................................... 5-17

BAB VI DAMPAK DAN UPAYA PENGENDALIAN EUTROFIKASI ................................................. 6-1

6.1 Dampak Eutrofikasi ............................................................................................................. 6-1

6.1.1 Pencemaran Air Baku ............................................................................................ 6-1

6.1.2 Penurunan Produksi Perikanan .......................................................................... 6-1

Page 13: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

xi

6.1.3 Penurunan Kualitas Sumber Air Minum .......................................................... 6-3

6.1.4 Gangguan Ekosistem dan Estetika Perairan.................................................... 6-4

6.1.5 Gangguan Transportasi dan Operasi dan Pemeliharaan Waduk .............. 6-5

6.2 Upaya Pengendalian Eutrofikasi .................................................................................... 6-6

6.2.1 Upaya Alami ............................................................................................................. 6-6

6.2.2 Upaya Fisika-Kimia-Biologi................................................................................... 6-7

6.2.3 Peningkatan Peran Masyarakat Dalam Pengelolaan Waduk ..................... 6-13

6.3 Pengendalian Pencemaran DAS Terpadu .................................................................... 6-15

BAB VII STRATEGI PENGELOLAAN TERPADU EKOSISTEM DANAU DAN WADUK ............... 7-1

7.1 Strategi Nasional Terpadu Pengelolaan Waduk dan Danau ................................... 7-1

7.2 Pengendalian Pencemaran Terpadu Daerah Tangkapan Air Waduk/Dana…. 7-5

7.3 Analisis SWOT Pengendalian Pencemaran DAS dan Waduk/Danau

Terpadu .................................................................................................................................... 7-11

7.3.1 Identifikasi Analisis SWOT .................................................................................... 7-11

7.3.2 Strategi Hasil Analisis SWOT ............................................................................... 7-13

7.3.3 Indikator Kinerja Komponn Hasil SWOT ........................................................... 7-16

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................. 8-1

8.1 Kesimpulan ........................................................................................................................... 8-1

8.2 Saran-saran ........................................................................................................................... 8-3

Page 14: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

xii

DAFTAR TABEL

No Tabel Keterangan Halaman

Tabel 1-1 Perbandingan karakteristik antara danau dan waduk .................................... 1-1

Tabel 2-1 Klasifikasi danau dan waduk berdasarkan luas dan volume ......................... 2-2

Tabel 2-2 Hubungan antara tipe danau dan karakteristik pencampuran Air .............. 2-3

Tabel 2-3 Kondisi kualitas air di Sungai Citarum bagian hulu sebagai input Waduk

Saguling di Musim kering, 2001 .............................................................................

2-8

Tabel 2-4 Rentang konsentrasi minimum-maksimum tiap parameter pada

epilimion dan hipolimnion pada danau dan waduk di Indonesia ............... 2-9

Tabel 2-5 Karakteristik fisik dan kualitas air danau di Indonesia ...................................... 2-10

Tabel 2-6 Karakteristik fisik dan kualitas air waduk di Indonesia ..................................... 2-11

Tabel 3-1 Nilai skor parameter yang tidak memenuhi standar ........................................ 3-2

Tabel 3-2 Penentuan status mutu air berdasarkan Metode Storet ................................. 3-2

Tabel 3-3 Parameter kualitas air untuk penentuan status korosifitas perairan ........... 3-4

Tabel 3-4 Kriteria Status Ekosistem Akuatik ........................................................................... 3-4

Tabel 3-5 Kriteria Status Ekosistem Sempadan ..................................................................... 3-6

Tabel 3-6 Kriteria Status Ekosistem Daerah Tangkapan ..................................................... 3-7

Tabel 3-7 Penerapan Kriteria Status Ekosistem pada Waduk Saguling dan Waduk

Sutami ............................................................................................................................ 3-8

Tabel 3-8 Kategori Status Trofik Wetzel’s ............................................................................... 3-13

Tabel 3-9 Kriteria klasifikasi status trofik untuk perairan danau dan waduk ................ 3-13

Tabel 3-10 Kategori Status Trofik Danau Metode UNEP-ILEC ............................................. 3-14

Tabel 3-11 Kategori Status Trofik Danau Metode Carlson ................................................... 3-15

Tabel 3-12

Tabel 5-1

Hasil pengukuran kualitas air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur .....

Aplikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Air (DTBPA) Waduk Untuk

Budidaya Perikanan KJA (Machbub,2007) ...........................................................

3-22

5-6

Tabel 7-1 Program dan Kegiatan pengelolaan Danau Berkelanjutan masing-

masing Kementerian .................................................................................................

7-2

Page 15: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

xiii

Tabel 7-2 Kondisi danau dan kebutuhan rencana aksi ...................................................... 7-5

Tabel 7-3 Sumber Pencemaran Tersebar pada DAS dan Permasalahan

Lingkungan dan Upaya Pengendalian ................................................................ 7-6

Tabel 7-4 Sumber pencemaran dan zat pencemar pada ekossistem DAS,

sempadan dan waduk/danau ................................................................................ 7-9

Page 16: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor gambar Keterangan Halaman

Gambar 2-1 Skema pelapisan sempurna pada Waduk atau Danau ................................... 2-3

Gambar 2-2 Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas Waduk Sutami

Bulan Juni 2003 ..........................................................................................................

2-4

Gambar 2-3 Kondisi marak alga di Waduk Sutami ................................................................... 2-6

Gambar 2-4 Diagram permasalahan external dan internal yang berpengaruh

terhadap kondisi waduk dan danau di Indonesia ...........................................

2-12

Gambar 2-5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan lokasi pengambilan sampel ............. 2-14

Gambar 2-6 Skema profil longitudinal waduk kaskade Citarum ......................................... 2-15

Gambar 2-7 Profil kadar organik, fecal coli dan logam berat sepanjang S.Citarum ....... 2-16

Gambar 2-8 Profil kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien dan Partikel

Tersuspensi Sepanjang S.Citarum .........................................................................

2-17

Gambar 2-9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum ................................................................... 2-19

Gambar 2-10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan pH sebelum dan

sesudah Waduk Kaskade .........................................................................................

2-20

Gambar 2-11 Variasi bulanan senyawa nutrien (nitrogen dan phosphor) sebelum dan

sesudah Waduk Kaskade .........................................................................................

2-21

Gambar 2-12 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Saguling................... 2-23

Gambar 2-13 Kondisi kualitas air di sekitar intake Waduk Cirata ........................................... 2-23

Gambar 2-14 Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur .................. 2-24

Gambar 4-1 Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa plankton .................................... 4-3

Gambar 4-2 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ....................................................... 4-5

Gambar 4-3 Diagram senyawa nitrogen pada badan air ....................................................... 4-7

Gambar 4-4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola

waduk ............................................................................................................................

4-10

Gambar 5-1 Korelasi antara fosfor dan klorofil-a ...................................................................... 5-1

Gambar 5-2 Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan klorofil-a .................................. 5-2

Gambar 5-3 Pendekatan skematik untuk memprediksi variable status trofik

berdasarkan prediksi model beban fosfor ..........................................................

5-2

Gambar 5-4 Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau

Page 17: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

xv

dan Waduk ................................................................................................................... 5-5

Gambar 5-5 Model penghitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau

untuk Limbah Budidaya Perikanan.......................................................................

5-7

Gambar 5-6 Contoh pembuatan grid dan segmentasi model aplikasi CE-QUAL-W2

pada Danau Wako, Amerika Serikat .....................................................................

5-9

Gambar 5-7 Contoh potongan vertikal grid dan segmentasi model aplikasi CE-

QUAL-W2 pada Danau Wako, Amerika Serikat .................................................

5-10

Gambar 5-8 Hubungan parameter kualitas air pada model WASP ..................................... 5-12

Gambar 5-9 Kerangka kerja model aplikasi WASP ................................................................... 5-12

Gambar 5-10 Diagram model dinamik pengelolaan waduk ................................................... 5-13

Gambar 5-11 Model kinetika interaksi pada siklus alga, senyawa Nitrogen (N) dan

Fosfor (P) pada model aliran tunak Waduk dan Danau ..................................

5-15

Gambar 5-12 Perbandingan hasil sebelum proses dan setelah proses dengan kanal

Band-5 untuk menentukan wilayah interes .......................................................

5-18

Gambar 5-13 Penentuan wilayah interes (a) Hasil rasio antara kanal biru dan Infra-

merah Tengah pada Waduk Cirata .......................................................................

5-18

Gambar 5-14 Estimasi dan zonasi kandungan klorofil-a di Waduk Cirata (a), Waduk

Saguling (b), Waduk Jatiluhur (c), and Waduk Wonogiri reservoir ..............

5-19

Gambar 5-15 Estimasi dan zonasi klorofil-a pada Waduk Sutami.......................................... 5-19

Gambar 5-16 Korelasi antara “angka digital” dan konsentrasi klorofil ................................. 5-20

Gambar 6-1 Skema kejadian kematian ikan secara masal pada perairan waduk dan

danau hipereutrofik ..................................................................................................

6-2

Gambar 6-2 Mikrostrainer untuk pra pengolahan air baku tercemar akibat

eutrofikasi ....................................................................................................................

6-4

Gambar 6-3 Gangguan ekowisata dan estetika perairan akibat eutrofikasi pada

Waduk Sutami pada tahun 2003 ...........................................................................

6-5

Gambar 6-4 Gangguan transportasi akibat eutrofikasi pada Inlet Waduk Saguling ..... 6-6

Gambar 6-5 Skema penghambatan zona epilimnion dengan sirkulasi air....................... 6-9

Gambar 6-6 Pelaksanaan pengendalian eutrofikasi dengan Alum .................................... 6-11

Gambar 6-7 Pengelolaan IPAL penduduk bersama dengan masyarakat

di sekitar Waduk Sutami ........................................................................................

6-14

Gambar 6-8 Kerjasama penghijauan lahan kritis dan pemanfaatan sabuk hijau di

DAS Brantas .................................................................................................................

6-15

Page 18: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

xvi

Gambar 6-9 Pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu untuk perlindungan

badan air.......................................................................................................................

6-16

Gambar 6-10 Aplikasi proses biodigester, sederhana untuk energi alternatif ................... 6-17

Gambar 6-11 Pemanfaatan proses anaerobic dan filter tetes untuk pengendalian

pencemaran peternakan rakyat ............................................................................

6-18

Gambar 7-1 Kondisi Danau Tempe saat musim kering dan musim hujan........................ 7-3

Gambar 7-2 Danau Limboto yang makin dangkal ................................................................... 7-4

Gambar 7-3 Identifikasi sumber-sumber pencemar dan permasalahan yang terjadi

pada ekosistem DAS, eksosistem sempadan dan ekosistem waduk ..........

7-8

Gambar 7-4 Sasaran pengendalian pecemaran DAS terpadu untuk perbaikan

ekosistem waduk/danau dan pemangku kepentingan terkait ....................

7-10

Gambar 7-5 Komponen dan indikator pendukung keberhasilan program

pengendalian pencemaran DAS dan waduk/danau secara terpadu .........

7-15

DAFTAR KOTAK

Nomor gambar Keterangan Halaman

Kotak 2-1 Permasalahan Waduk DAS Citarum............................................................... 2-12

Kotak 3-1 Contoh aplikasi kriteria STORET untuk menetapkan status mutu

perairan waduk ...................................................................................................

3-3

Kotak 3-2 Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata ........................................ 3-4

Kotak 7-1 Permasalahan dan penanganan Danau Tempe ......................................... 7-4

Kotak 7-2 Permasalahan dan Penanganan Danau Limboto pada DAS Limboto 7-5

Page 19: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

1-1

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Danau dan waduk merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

berpotensi sangat besar serta dapat dikembangkan dan didayagunakan bagi pemenuhan

berbagai kepentingan. Secara prinsip, danau dan waduk adalah sebagai habitat air tergenang

yang merupakan cekungan yang berfungsi menampung air dan menyimpan air yang berasal

dari air hujan, air tanah, mata air ataupun air sungai.

Perbedaan antara danau dan waduk adalah bentuk kejadiannya, yaitu danau karena

peristiwa alam, sedangkan waduk merupakan buatan manusia. Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1 menyatakan bahwa danau adalah wadah air dan ekosistemnya

yang terbentuk secara alamiah termasuk situ dan wadah air yang sejenis dengan sebutan istilah

lokal. Waduk adalah wadah air yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk

pelebaran alur atau badan atau palung sungai. Adapun perbedaan selengkapanya antara waduk

dan danau adalah terlihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Perbandingan karakteristik antara danau dan waduk (Hartoto, 2001)

Karakteristik Danau Waduk atau Bendungan

Proses pembentukan

Alamiah

Oleh Manusia

Usia geologis Tua Relatif muda (=40 tahun)

Terbentuk akibat pengisian Cekungan Lembah-lembah sungai

Posisi di Daerah Aliran Sungai Sentral atau di tengah Marjinal (di pinggiran)

Bentuk Teratur Dendritik

Kedalaman maksimum Dekat bagian tengah Di dekat bendungan

Waktu tinggal teoritis (R) Lebih lama Lebih singkat

Sedimen dasar Otohtonus Alohtonus

Gradien longitudinal Dipicu oleh angin Dipicu oleh aliran sungai

Saluran outlet Permukaan Di tempat dalam

Fluktuasi tinggi permukaan air Lebih kecil Lebih besar

Hidrodinamika Lebih teratur Sangat bervariasi

Penyebab perubahan muka air Alamiah Dikendalikan manusia

Page 20: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

1-2

Tabel 1 menunjukkan proses pembentukan danau yang lebih lama daripada waduk,

sehingga ekosistem danau terutama bagian dalam yang lebih stabil daripada ekosistem waduk.

Hal tersebut disebabkan saluran outlet danau yang berada di permukaan, sedangkan outlet

waduk berada di tempat dalam. Berdasarkan fluktuasi muka air, danau memiliki fluktuasi muka

air yang lebih kecil daripada fluktuasi muka air waduk. Perubahan muka air danau terjadi secara

alami, sedangkan muka air waduk dikendalikan oleh manusia, yang menyebabkan

hidrodinamika waduk lebih bervariasi daripada danau.

Meskipun demikian, danau dan waduk mempunyai potensi strategis dan manfaatnya

bersifat serbaguna, baik secara ekologis maupun ekonomis (Lehmusluto, dkk,1995). Waduk

memiliki fungsi utama untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), irigasi dan pencegah banjir.

Selain itu, perairan waduk dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah-tangga atau domestik,

industri, transportasi, perikanan dan pariwisata (Machbub dkk, 2003). Sebagai bagian dari

lingkungan dan sebagai sumber air, waduk merupakan tempat berkumpulnya air secara alami

melalui aliran permukaan maupun air tanah (Straskaba dan Tundisi, 1999).

Di negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya daerah aliran sungai (DAS) telah

mengalami degradasi lingkungan yang serius akibat kegiatan manusia atau anthropogenic,

terutama pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, industri dan pariwisata (Mukerjee, 2009).

Pada saat yang sama, International Council for the Exploration of the Sea atau ICES (2009)

menyatakan bahwa pada DAS terdapat berbagai kegiatan yang membuang limbah secara

langsung maupun tidak langsung masuk kedalam perairan waduk, sehingga berbagai unsur

pencemaran air dari DAS serta sempadan waduk yang terbawa aliran permukaan maupun tanah

akan masuk ke dalam perairannya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mukerjee (2009) menyarankan perlunya dilakukan

upaya pengelolaan DAS secara terpadu melalui program aksi yang melibatkan partisipasi

masyarakat untuk mengurangi beban pencemaran yang masuk ke dalam waduk atau danau.

Upaya terpadu khususnya pengendalian pencemaran pada DAS diperlukan agar tidak makin

mencemari badan air penerima. Upaya terpadu tersebut diperlukan, karena beban pencemaran

dari berbagai sektor pada DAS cenderung terus meningkat bila tidak segera dilakukan upaya

penanganan (Bukit, 1995).

Machbub, dkk (2003) juga mengingatkan bahwa pencemaran yang cenderung makin

meningkat dapat mengakibatkan kelestarian fungsi ekosistem perairan waduk di Indonesia

terganggu. Masalah pendangkalan atau sedimentasi serta permasalahan pencemaran air dari air

Page 21: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

1-3

limbah akibat aktivitas manusia, yaitu domestik, industri, pertambangan, pertanian dan

peternakan akan mengakibatkan timbulnya eutrofikasi maupun perubahan fungsi lainnya.

Permasalahan eutrofikasi danau dan waduk terjadi akibat pencemaran limbah penduduk

dan juga sedimentasi yang mengandung senyawa nutrient atau zat hara. Proses penyuburan

perairan waduk dan danau dapat terjadi secara alamiah maupun kultural. Brahmana, dkk (1993)

menjelaskan bahwa eutrofikasi alamiah adalah terjadi secara alamiah atau tanpa pengaruh

aktifitas manusia. Sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang dipengaruhi oleh

limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan sebagainya. Karena itu, permasalahan

penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada danau dan waduk menjadi perhatian secara

global.

Perhatian global terhadap persoalan waduk dan danau ini dijelaskan oleh Jorgensen (2001)

yang menyatakan bahwa permasalahan utama waduk dan danau di seluruh dunia diantaranya:

(a) terjadinya sedimentasi yang tinggi pada danau dan waduk yang disebabkan oleh erosi tanah

akibat perubahan atau penggunaan lahan yang tidak terkendali pada DAS; (b) terdeteksinya

proses asidifikasi danau akibat adanya hujan asam yang dapat mengganggu perikanan dan

degradasi ekosistem; (c) terdegradasinya kualitas perairan waduk dan danau akibat pencemaran

air limbah, organisme dengan zat pencemar beracun atau toksik yang berasal dari limbah

pertanian dan limbah industri; (d) timbulnya proses eutrofikasi akibat masuknya senyawa

nitrogen dan/atau fosfor hasil dari kegiatan industri, pertanian, domestik, limpasan permukaan

dan-lainnya, dan menimbulkan marak atau “bloom” pada fitoplankton, pencemaran air dan

penurunan biodiversitas; dan (e) terjadi perubahan total (completetly collapse) pada ekosistem

akuatik pada kasus ekstrim

Karena itu, diperlukan kerjasama yang baik antara pemangku kepentingan dan kajian yang

menyeluruh mengenai permasalahan dan penanganan eutrofikasi di kawasan danau dan waduk

sebagai implementasi pelaksanaan pengelolaan SDA secara terpadu dan kemudian

dimanifestasikan menjadi pedoman-pedoman pengelolaan kawasan danau atau waduk. Dengan

demikian, kelestarian lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam tetap

terjamin.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi tentang permasalahan eutrofikasi yang

sering terjadi pada danau dan waduk, yang menjadi perhatian secara global. Tulisan ini juga

dapat dijadikan acuan upaya pengelolaan danau dan waduk yang terintegrasi dalam

pengelolaan DAS, sebagaimana konsep pengelolaan sumber daya air secara terpadu, seperti

Page 22: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

1-4

yang telah diamanatkan dalam UU Nomor: 4 Tahun 2004. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat

menjadi rujukan dalam pengelolaan ekosistem di sekitar kawasan danau dan waduk, dan

menjadi pedoman terwujudnya langkah-langkah pengelolaan danau dan waduk secara efisien

untuk mencegah timbulnya penyuburan yang berlebihan dengan mempertimbangkan aspek

lingkungan serta keterpaduan antar sektor.

Tulisan ini diharapkan juga memberi manfaat antara lain: (1) teridentifikasinya potensi dan

permasalahan terjadinya proses eutrofikasi atau penyuburan di kawasan danau dan waduk; (2)

terwujudnya strategi pengelolaan danau dan waduk yang berwawasan lingkungan terutama

untuk mencegah timbulnya penyuburan berlebihan; (3) terumuskannya kebutuhan sarana dan

prasarana yang mendukung pengembangan dan pengelolaan danau dan waduk; serta (4)

terbentuknya acuan pengelolaan waduk dan danau secara ramah lingkungan dan berkelanjutan.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk,

pemodelan serta upaya pengendaliannya, yang mencakup:

a. Kondisi danau dan waduk di Indonesia;

b. Manfaat, peranan dan permasalahan danau dan waduk di Indonesia;

c. Kriteria, indikator serta parameter timbulnya eutrofikasi;

d. Fenomena penyebab, pemodelan dan langkah penanganan eutrofikasi; serta

e. Strategi pengelolaan waduk dan danau yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan.

1.4 Sistematika Pembahasan

Tulisan dimulai dengan Bab Pendahuluan yang menjelaskan latar belakang permasalahan,

tujuan dan manfaat kajian, ruang lingkup pembahasan, serta sistematika isi. Pada Bab II

dijelaskan kondisi danau dan waduk di Indonesia, manfaat danau dan waduk, permasalahan

yang sering terjadi pada danau dan waduk. Pada bab ini juga dijelaskan tentang peranan danau

dan waduk sebagai pengendali kualitas air serta kondisi kualitas air danau dan waduk.

Untuk mengidentifikasi permasalahan pada danau dan waduk diperlukan pengetahuan

tentang kriteria, indikator dan parameter eutrofikasi. Pada Bab III ini dijelaskan kriteria status

ekosistem danau, indikator potensial timbulnya eutrofikasi, serta klasifikasi eutrofikasi

berdasarkan standar yang telah ditetapkan, baik secara nasional maupun internasional.

Penyebab timbulnya eutrofikasi dibahas pada Bab IV. Dalam bab ini dibahas beberapa

penyebab timbulnya eutrofikasi, antara lain meningkatnya kelimpahan plankton yaitu

Page 23: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

1-5

fitoplankton dan zooplankton, meningkatnya zat hara yang terdiri dari konsentrasi senyawa

nitrogen terlarut serta senyawa fosfor sebagai faktor pembatas. Selain itu, pada bab ini juga

dibahas sumber pencemaran dari kolam jaring apung (KJA) dan pencemaran DAS yang terdiri

dari berbagai sumber, yaitu sumber alami, perkotaan, pertanian dan peternakan.

Untuk dapat melakukan pengelolaan dengan baik diperlukan pengetahuan tentang proses

terjadinya eutrofikasi, yang dijelaskan dengan pemodelan secara matematik. Masalah tersebut

dibahas dalam Bab V yang membahas korelasi antara parameter eutrofikasi, penentuan daya

tampung beban pencemaran, contoh model aplikasi seperti CE-Qual-2E dan WASP (Water

Analysis Simulation Programs) juga pemodelan dinamik untuk pengambilan keputusan dan

pemodelan kualitas air waduk melalui teknologi penginderaan jauh.

Timbulnya permasalahan eutrofikasi pada danau dan waduk menyebabkan berbagai

dampak terhadap estetika, ekologi, kesehatan manusia serta dampak secara fisik dan ekonomi.

Dengan teridentifikasinya dampak permasalahan eutrofikasi, maka dapat dilakukan upaya-upaya

pengendaliannya. Upaya-upaya yang dibahas dalam penulisan ini adalah upaya secara alami,

secara fisika-kimia dan upaya terpadu melalui pengelolaan DAS. Permasalahan dan upaya

pengendalian eutrofikasi tersebut dibahas dalam Bab VI pada laporan ini. Pada Bab VI ini juga

dibahas mengenai pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan untuk menghindarkan waduk

dan danau dari ancaman eutrofikasi. Sedangkan strategi untuk pengelolaan terpadu ekosistem

waduk dan danau, baik dalam lingkup nasional maupun dalam skala DAS, dibahas pada Bab VII.

Pada Bab VII tersebut dibahas pula analisis SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan,

peluang dan ancaman pada tiap komponen pendukung keberhasilan pengendalian

pencemaran DAS dan waduk atau danau secara terpadu.

Penulisan ini diakhiri pada Bab VIII dengan bab penutup yang berisi kesimpulan-

kesimpulan yang bermanfaat untuk pengembangan pengelolaan danau dan waduk yang

berwawasan lingkungan terutama dalam rangka mencegah atau bahkan mengatasi timbulnya

permasalahan eutrofikasi.

Page 24: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

1-6

DAFTAR PUSTAKA

Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal litbang Pengairan. 8

(28). Puslitbang Pengairan, Bandung

Bukit, N.T., 1995. “Water Quality Conservation for The Citarum River in West Java”. Water Science

Technology Vol.31(9), Pergamon, London, pp.1-10.

ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse Effect”. Final Report,

European Commision Jorgensen (2001)

Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.

“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau

Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)

Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and

Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang

Pengairan, Bandung.

Mukerjee,A,2009. ”Lake watershed management in developing countries through community

participation: a model”. Proseding Konferensi Danau Berkelanjutan,13-15 Agustus. Bali

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 28/2009 Pasal 1

Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9: Reservoir Water

Quality Management”, ILEC,1999

Hartoto,D.I., 2001. “Dinamika Populasi Plankton Sebagai Indikator Pencemaran pada Perairan

Waduk”, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong

Undang-undang Nomor: 24 tahun 2007 tentang Sumber Daya Air

Page 25: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-1

BAB II

KONDISI WADUK DAN DANAU DI INDONESIA

2.1 Kondisi Umum Danau dan Waduk

2.1.1 Kondisi Fisik

Bemmelen (1949) dalam (Lehmusloto dkk, 1995) menggambarkan bahwa di Indonesia

terdapat kurang lebih danau kategori besar dengan luas lebih dari 50 hektar sebanyak 500 buah.

Danau tersebut tersebar pada beberapa pulau besar yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan Sulawesi,

Papua serta Pulau Bali. Namun demikian, lokasi waduk sebagian besar berlokasi di Pulau Jawa.

Selain danau dengan kategori besar juga terdapat danau-danau kecil yang jumlahnya ribuan

dan waduk kecil yang dikenal dengan sebutan embung. Danau kecil sering disebut sebagai situ

yang berukuran besar. Di Provinsi Jawa Barat terdapat 354 buah situ, di Provinsi Jawa Timur 438

buah situ. Danau terbesar di Indonesia adalah Danau Toba yang terletak 905 meter di atas

permukaan laut (dpl), panjang 275 km, lebar 150 km dengan luas 1.130 km2, dengan kedalaman

maksimum 529 m di bagian utara dan 429 m di bagian selatan. Danau Toba merupakan danau

terdalam ke sembilan di dunia dan merupakan danau tipe vulkanik kaldera yang terbesar di

dunia. Danau yang terdalam di Indonesia adalah danau Montana di Sulawesi Tengah dengan

kedalaman maksimum 590 m dan merupakan danau terdalam ketujuh di dunia

Kedalaman danau di Indonesia bervariasi antara 50 – 200 meter, namun banyak juga yang

berkedalaman kurang dari 50 meter. Sebagaian besar danau-danau tersebut belum diketahui

volumenya dengan pasti sampai saat ini. Demikian juga halnya presipitasi, evaporasinya serta

debit aliran masuk dan aliran keluar. Sebab itu, waktu tinggal air danau secara pasti tidak

diketahui, sehingga daya tampung beban pencemaran sebenarnya juga tidak diketahui. Hal

tersebut berakibat pemanfaatan bagi danau untuk berbagai keperluan sulit untuk

diprogramkan.

Lain halnya dengan waduk, pembangunan waduk jelas diprogramkan untuk berbagai

keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber air baku air minum,

air industri, penggelontoran, air perikanan, atau tempat pariwisata. Jumlah tenaga listrik yang

dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total dari

kebutuhan nasional (Machbub,dkk.,2003).

Waduk sering juga disebut danau buatan yang besar. Peraturan Pemerintah Nomor 37

tahun 2010 tentang Bendungan menyatakan bahwa bendungan atau waduk besar adalah bila

tinggi bendungan lebih dari 15 meter dengan daya tampung minimal 500.000 m3. Sedangkan

Page 26: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-2

embung merupakan waduk kecil dan tinggi bendungannya kurang dari 15 m. Embung banyak

dibangun di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Pembangunan waduk besar di Indonesia sampai tahun 1995 kurang lebih 100 buah, yang

sekitar 80% nya berlokasi di Pulau Jawa. Sejak terjadi krisis moneter pada tahun 1998,

pembangunan waduk besar di Indonesia belum dilakukan lagi, kecuali perencanaan Waduk

Jatigede di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Sistem tata air waduk berbeda dengan

sistem tata-air danau alami. Pada waduk, komponen tata airnya telah direncanakan sedemikian

rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow, serta waktu tinggal air

diketahui dengan pasti. Sedangkan pada danau masih diperlukan penelitian yang lebih

mendalam tentang dimensi danau sebenarnya yang dilakukan melalui suatu upaya pemeruman

(echo sounding).

Tabel 2.1 Klasifikasi Danau dan Waduk Berdasarkan Luas dan Volume (ILEC, 1999)

Klasifikasi Luas (Km2) Volume (Juta m3)

Besar 10.000 – 1.000.000 10.000 – 100.000

Medium 100-10.000 100-10.000

Kecil 1-100 1-100

Sangat Kecil < 1 < 1

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008

Berdasarkan luas dan volume nya danau dan waduk dapat diklasifikasikan menjadi danau

atau waduk besar, medium, kecil dan sangat kecil sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1. Luas dan

volume waduk dan danau tersebut sangat berpengaruh dengan kondisi hidraulik aliran. Kondisi

hidraulik aliran tersebut berpengaruh pada waktu tinggal aliran serta tingkat pencampuran air

yang pada akhirnya juga berpengaruh pada kondisi trofik waduk atau danau, seperti terlihat

pada Tabel 2.2.

Pada Tabel 2.2 diperlihatkan danau atau waduk dengan waktu tinggal kurang dari 20 hari,

yang dikategorikan sebagai danau atau waduk berarus cepat, yang sekaligus memiliki sifat

pencampuran yang sempurna. Kondisi tersebut dapat menghambat pertumbuhan plankton.

Sedangkan pada danau atau waduk yang memiliki waktu tinggal 20 sampai dengan 300 hari

cenderung terjadi stratifikasi atau pelapisan dan mulai terjadi proses eutrofikasi. Sedangkan

Page 27: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-3

waduk yang memiliki waktu tinggal lebih dari 300 hari, cenderung terjadinya stratifikasi

sempurna seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Skema Pelapisan Sempurna pada Waduk atau Danau (Chapra, 1997)

Tabel 2.2. Hubungan Antara Tipe Danau dan Karakteristik Pencampuran Air (ILEC,1999)

Karakteristik Arus Arus Arus

Air Cepat Air Sedang Air Lambat

Waktu tinggal R <= 20 hari 20 < R <= 300 hari R > 300 hari

Tingkat Pencampuran

Pencampuran Air Mulai terjadi Stratifikasi terjadi

Air Sempurna Stratifikasi Sempurna

Tingkat trofik Aliran air menghambat pertumbuhan plankton

Pengaruh arus air tidak dominan, mulai terjadi proses trofik

Terjadi tingkat trofik

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008; R : Waktu tinggal air (Hari)

Adanya pelapisan sempurna pada badan air sangat berpotensi menimbulkan proses

eutrofikasi atau penyuburan. Sedangkan Gambar 2.2 merupakan contoh terjadinya proses

pelapisan di Waduk Sutami. Pada Gambar 2.2 tersebut ditunjukkan adanya perubahan yang

cukup signifikan pada parameter-parameter suhu, Oksigen Terlarut, Turbiditas (kekeruhan), dan

Daya Hantar Listrik (konduktifitas) terhadap kedalaman, sehingga terlihat seperti terbentuk

Page 28: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-4

lapisan. Kondisi tersebut sangat mendukung timbulnya eutrofikasi. Untuk mencegah terjadinya

kondisi tersebut, maka pengelolaan badan air dengan waktu retensi yang tinggi seperti danau

dan waduk memerlukan pengelolaan yang terintegrasi dengan daerah aliran sungai (DAS)

badan air tersebut.

Gambar 2.2. Distribusi Suhu, DO, pH, Konduktivitas dan Turbiditas

Waduk Sutami Bulan Juni 2003 (Sulastri, dkk, 2004)

Karena itu, perlu dikembangkan kolam-kolam retensi dengan waktu tinggal aliran kurang

dari 20 hari untuk mencegah timbulnya eutrofikasi. Kolam-kolam retensi tersebut selain

membantu mengurangi potensi terjadinya banjir, juga sebagai sarana konservasi sumber air

sekaligus sebagai fasilitas umum atau sosial di lingkungan permukiman maupun perkotaan.

0

5

10

15

20

25

30

24 26 28 30

Suhu (oC)

Ked

ala

man (

m)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

0

5

10

15

20

25

30

0 5 10 15

DO (mg/L)K

ed

ala

man (

m)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

0

5

10

15

20

25

30

7,5 8 8,5 9 9,5

Kedalaman (m)

pH

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

0

5

10

15

20

25

30

260 280 300 320 340

Konduktivitas (uS/cm)

Ked

ala

ma

n (

m)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

0

5

10

15

20

25

30

0 50 100 150

Kedalaman (m)

Turbiditas (NTU)

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Page 29: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-5

2.1.2 Kondisi Kualitas Air

Machbub, dkk (2003) melaporkan bahwa penelitian kualitas air waduk dan danau telah

dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air bekerjama dengan Pemerintah Finlandia, yaitu

Universitas Finlandia sejak tahun 1990 yang hasilnya menunjukkan bahwa kualitas air waduk

dan danau sudah banyak menurun. Penurunan kualitas air waduk dan danau tersebut

disebabkan oleh pencemaran organik, terutama senyawa nitrogen dan fosfor yang berasal dari

air limbah industri, penduduk, pertanian dan aktifitas perikanan kolam jaring apung (KJA).

Tingkat pencemaran waduk yang diakibatkan senyawa nitrogen, fosfor, dan zat organik dapat

dibagi menjadi 3 kategori, yaitu penyuburan amat sangat berat (hypereutrofic), penyuburan

berat (eutrofic), dan penyuburan sedang (oligotrofic), dan mesotrofic atau belum mengalami

penyuburan .

Dari penelitian tersebut diketahui bahwa waduk yang masuk tingkat eutrofik adalah Waduk

Saguling, Cirata, Karangkates, dan Sengguruh. Kategori oligotrofik adalah Waduk Lahor,

Jatiluhur, Muara Nusa Dua, Mrica, Kedungombo, dan yang termasuk mesotrophic adalah Waduk

Palasari, Wlingi, Malahayu, dan lain-lain (Machbub, dkk., 2003).

Lehmusluto (2006) menyatakan bahwa pada tahun 2004-2005 telah dilaksanakan

penelitian pada 10 waduk di Pulau Jawa, terutama waduk yang mengalami pencemaran dan

penyuburan yang sangat berat dan berat, menunjukkan bahwa pencemaran waduk makin berat

dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sebagai contoh Waduk Saguling, kadar oksigen

pada lapisan hypolimnion-nya sangat rendah yaitu kurang dari 3 mg/L. Padahal secara umum

kadar oksigen pada lapisan tersebut mendekati kadar oksigen pada lapisan epilimnion (lapisan

dengan sinar-matahari dapat tembus sampai kedalaman tersebut). Selain itu kualitas airnya telah

tidak memenuhi baku mutu untuk keperluan sebagai sumber air baku, air perikanan, air industri,

air irigasi.

Contoh waduk lain yang mengalami pencemaran berat adalah Waduk Sutami di Malang

yang sering mengalami marak alga (alga bloom). Akibat marak alga tersebut, air Waduk Sutami

mulai berwarna hijau pekat yang berubah menjadi coklat, ikan mati,timbul bau busuk, mesin-

mesin PLTA makin cepat mengalami korosi atau berkarat, sebagaimana terlihat pada Gambar

2.3. Pencemaran air Waduk Sutami yang menyebabkan terjadinya alga bloom adalah limbah

penduduk, peternakan dan pertanian. Brahmana, dkk (2002) menyatakan bahwa dampak yang

paling serius dari alga bloom pada waduk adalah produksi toksin oleh ganggang Microcystis

yang disebut Mycrocystein yang dapat menyerang syaraf dan mengakibatkan kematian.

Page 30: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-6

Gambar 2.3 Kondisi Marak Alga di Waduk Sutami (Sukistiyono, 2004)

2.2 Manfaat Waduk dan Danau

Danau dan waduk secara teknis berfungsi sebagai sumber air baku, tempat hidup berbagai

biota air, pengatur dan penyeimbang tata air, pengendali banjir dan sungai pembangkit tenaga

listrik dan lainnya. Selain itu, danau dan waduk juga bersifat multi fungsi, yaitu fungsi ekologi,

ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, dan keagamaan. Karena itu, melalui Kesepakatan Bali

tentang Pengelolaan Danau Berkelanjutan adalah mempertahankan, melestarikan dan

memulihkan fungsi danau dan waduk berdasarkan prinsip keseimbangan ekosistem dan daya

dukung lingkungannya. Komitmen sembilan departemen terkait melalui tujuh butir program

strategis danau ditandatangani oleh empat menteri pada acara Konferensi Nasional Danau

Indonesia I dengan tema “Pengelolaan Danau dan Antisipasi Perubahan Iklim” di Denpasar,

Provinsi Bali, pada tanggal 13–15 Agustus 2009.

International Lake Environment Committee atau ILEC menegaskan kembali tentang prinsip

visi danau, yaitu: (1) hubungan yang harmoni antara manusia dan alam atau lingkungan; (2)

daerah tangkapan danau adalah starting point pengelolaan DAS; (3) pendekatan jangka panjang

untuk pencegahan kerusakan danau; (4) penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

pengembangan dan pengambilan kebijakan; (5) prinsip keberlanjutan untuk menghindari

konflik; (6) partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan; serta (7) tata-kelola berdasarkan

keadilan, transparansi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan

Ke tujuh visi tersebut memberikan gambaran bahwa keberadaan ekosistem danau dan

waduk memberikan fungsi yang mensejahterakan kehidupan manusia, yaitu terjadinya kegiatan

Page 31: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-7

domestik, industri, dan pertanian. Meskipun, jika dibandingkan dengan habitat laut dan daratan,

danau dan waduk merupakan salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif

kecil pada permukaan bumi..

Fungsi danau secara ekosistem, sebagaimana dinyatakan oleh Cornel dan Miller (1995)

diantaranya adalah: (a) sebagai sumber plasma nutfah yang berpotensi sebagai penyumbang

bahan genetik; (b) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora dan fauna yang

penting; (c) sebagai sumber air yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitarnya

(rumahtangga, industri dan pertanian); (d) sebagai tempat menampung kelebihan air yang

berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah

tanah; (e) sebagai pemelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat

mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat; (f) sebagai sarana tranportasi

dari tempat satu ke tempat lainnya; (g) sebagai penghasil energi melalui PLTA; dan (h) sebagai

sarana rekreasi dan objek pariwisata.

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007, Pasal 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan sumber air ialah semua wadah alamiah dan yang telah dibuat oleh orang, seperti sungai,

danau, waduk, mata air, dan sebagainya. Sebab itu, pengelolaan DAS secara terpadu harus

memasukkan danau dan waduk sebagai salah satu unsur sumber air yang harus dikelola secara

terintegrasi, termasuk pula langkah-langkah pemanfaatannya.

Pemanfaatan waduk dan danau sebagai sumber air menurut Pasal 29 ayat (3) pada UU

Nomor 4/2007, memiliki tiga prioritas. Prioritas pertama digunakan untuk air minum, rumah

tangga, pertahanan dan keamanan nasional, peribadatan dan usaha perkotaan, misalnya

mencegah kebakaran, penggelontoran, menyiram tanaman, dan lain sebagainya. Prioritas kedua

dimanfaatkan untuk pertanian, pertanian rakyat, dan usaha pertanian lainnya, peternakan,

perkebunan dan perikanan. Prioritas ketiga dimanfaatkan untuk ketenagaan, industri,

pertambangan, lalu lintas air dan rekreasi.

2.3 Permasalahan Waduk dan Danau

Hasil penelitian Machbub, dkk (2003) menjelaskan bahwa beberapa danau mengalami

permasalahan antara lain terjadinya sedimentasi yang mengakibatkan berkurangnya kedalaman,

berkurangnya volume, berkurangnya luas genangan; timbulnya masalah eutrofikasi, yaitu

tingginya kadar nitrogen dan fosfor akibat limbah domestik maupun pertanian dan sisa pakan

ikan; terjadinya pencemaran limbah cair dan limbah padat pada perairan waduk, dan

meningkatnya laju erosi dari sungai tinggi, sehingga mengurangi masa layan waduk .

Page 32: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-8

Contoh hasil penelitian kualitas air dari waduk tercemar yang mengalami proses eutrofikasi

adalah 3 waduk tercemar berat yaitu: Saguling, Cirata, Jatiluhur dengan total beban 80 ton

BOD per hari dan sampah 1000 m3/ hari. Adapun contoh penurunan kualitas air akibat

pencemaran dari DAS Citarum bagian hulu adalah pada Waduk Saguling sebagaimana

diperlihatkan pada Tabel 2.3 (Machbub, dkk., 2003). Sementara itu, rentang konsentrasi

minimum dan maksimum tiap parameter pada lapisan epilimnion dan hipolimnion pada danau

dan waduk di Indonesia adalah terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.3 menunjukkan bahwa Waduk Saguling mendapat input beban pencemar zat

organik sebesar 71,1 Ton BOD/hari dan 161,16 Ton COD/hari. Sedangkan beban limbah senyawa

nutrien yang mencemari waduk tersebut adalah masing-masing 5,74 Ton Nitrogen/hari dan 0,5

Ton Fosfor/hari. Kondisi tersebut menyebabkan Waduk Saguling mengalami pencemaran yang

amat sangat berat, sekaligus penyuburan yang berlebihan.

Tabel 2.4 menunjukkan rentang konsentrasi, minimum dan maksimum, kualitas air waduk

dan danau. Hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut dibandingkan dengan kategori

UNEP (United Nation of Environmental Protection) menunjukkan bahwa parameter transparansi

berada pada rentang mesotrofik-hipereutrofik, meskipun terdapat danau yang masih oligotrofik.

Parameter khlorofil-a juga menunjukkan bahwa status trofik waduk dan danau di Indonesia

berada dalam rentang mesotrofik-eutrofik. Sedangkan kadar oksigen terlarut pada hipolimnion

cenderung dalam kondisi anaerobik atau anoksik, baik pada waduk maupun danau. Kandungan

senyawa nutrien diukur sebagai total nitrogen dan total fosfor menunjukkan kategori

mesotrofik-eutrofik. Parameter zat organik dan partikel tersuspensi pada waduk dan danau di

Indonesia berada dalam kategori klas I sampai III. Tingkat keasaman yang terukur pada perairan

waduk dan danau di Indonesia umumnya berada pada kondisi normal, meskipun cenderung

basa terutama pada lapisan hipolimnion.

Page 33: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-9

Tabel 2.3 Kondisi Kualitas Air di S Citarum Bagian Hulu Sebagai Input Waduk Saguling

di Musim Kering, 2001

Tabel 2.4 Rentang Konsentrasi Minimum-Maksimum Tiap Parameter pada Epilimion

dan Hipolimnion pada Danau dan Waduk di Indonesia

Sumber: Lehmusluto, dkk. 1997. National Inventory of Major Lakes and reservoir in Indonesia, 1997; tt : tidak terdeteksi

No. Parameter Satuan Konsentrasi Input Sungai

(Ton/hari) 1 Padatan terlarut mg/l 232 -

2 Padatan tersuspensi mg/l 284 -

3 Kekeruhan NTU 52 -

4 pH - 7,8 -

5 DO mg/l 0,55 -

6 BOD mg/l 30,0 71,099

7 COD mg/l 68,0 161,157

8 Total Nitrogen (T-N) mg/l 2,42 5,735

9 Total Fosfor (T-P) mg/l 0,21 0,498

10 Kesadahan (CaC03) mg/l 346 -

11 Deterjent (MBAS) mg/l 0,40 -

12 E.Coli Bakteri per 1OO ml 9,6.105 -

13 Debit aliran m3/s 27,43 Sumber : Machbub, dkk., 2003

Parameter Kualitas Air Satuan

<100m >100m

Tranparansi (Kedalaman Secchi) m 0,4-20,0 - - 0,5-5,0 -

Klorofil-a ( Chl-a) mg/m3 0,15-7,33 - - 0,46-6,08 -

Temperatur (t)0C 21,42-30,20 20,11-28,80 24,03-26,80 25,89-30,80 22,62-29,21

Oksigen terlarut (O2) mg/L 5,40-10,34 0-5,00 0-0,97 5,00-14,2 0-8,41

Karbon Dioksida (CO2) mg/L 0-33,0 0-43,1 3,5-18,0 0-15,1 0-21,8

Alkalinitas meq/L 0,19-3,70 0,19-3,70 1,00-2,60 1,02-3,20 1,00-3,10

pH - 6,8-8,8 6,8-8,9 6,1-7,6 7,6-9,0 6,5-8,7

Daya Hantar Listrik (EC) umho/cm 22-1811 26-1797 198-314 97-386 131-1570

Amonia (NH4+ dan NH3-N) mg/L 0-1,117 0,0002-0,929 0,019-1,450 0-0,100 0-0,420

Nitrit nitrogen (NO2-N) mg/L 0-0,018 0-0,037 0-0,027 0-0,007 0-0,043

Nitrat nitrogen (NO2-N) mg/L 0-0,270 0,010-0,890 0-0,760 0-1,500 0-1,500

Organik nitrogen (Org-N) mg/L 0,020-1,042 0-0,360 0,100-0,828 0-0,620 0-1,180

Total nitrogen (Tot-N) mg/L 0,116-1,310 0,212-1,010 0,160-1,724 0,020-1,560 0,050.-1,780

Fosfat fosfor (PO4-P) mg/L 0-0,080 0-0,060 0-0,110 0-0,002 0-0,015

Total Fosfor (Tot-P) mg/L 0-0,085 0-0,080 0-1,411 0-0,006 0-0,018

N/P-ratio (Total) 1,9-49,5 2,7-485 3,2-27,3 3,3-665 8,3-610

Chemical oxygen demand (COD) mg/L 1.8-18 5.0-17 2,2-10 4,0-10 4,0-36

Padatan Terlarut mg/L 16-1540 18-1530 90-166 62,178 100-485

Padatan Tersuspensi mg/L 3.0-36 4.0-40 3 - 30 3 - 12 4,0 - 210

Turbiditi NTU 0.9-22 2.0-22 1,6-18 1,5- 7,9 2,0-150

Potensial Oksidasi-Reduksi mV -209 -323 -413 -147 -282

Silicat (SiO2) mg/L 3.6-68 7,7-68 Agust-40 tt tt

Kalsium (Ca) mg/L 1.9-32 1,8-35 13-33 8,1-35 9,4 - 36

Klorida (CI) mg/L 1.0-225 1,5-323 1,3-8,5 4 - 26 5,4 - 27

Kalium (K) mg/L 0.45-22 0,50-20 0,2-2,4 1,1 - 3,7 1,0 - 4,1

Natrium (Na) mg/L 1,3-350 1,3-340 0,9-18,5 2,3 - 25 2,3- 44

Magnesium (Mg) mg/L 0,87-61 0,85-66 2,4-21 2,2 - 14 2,3 - 14

Sulfat (SO4) mg/L 0,35-650 0,35-650 0.40.18.9 1,2 - 35 1,2 - 30

Hidrogen Sulfida (H2S) mg/L tt tt 0-1,5 tt tt

Cadmium (Cd) mg/L tt tt tt tt tt

Chromium (Cr) mg/L tt tt tt tt tt

Tembaga (Cu) mg/L tt tt tt tt tt

Besi (Fe) mg/L 0,08- 0,82 0,1 - 2,5 0,18 - 4,59 0,1 - 0,9 0,15 -130

Manganese (Mn) mg/L 0-0.14 0 - 0,3 0.05-0.34 0,01 - 0,12 0,01 - 0,19

Nikel (Ni) mg/L tt tt tt tt tt

Timbal (Pb) mg/L tt tt tt tt tt

Seng (Zn) mg/L 0,03 0 - 0,34 0,05 - 0,14 0 - 0,25 0 - 0,30

Danau

Hypolimnion

Waduk

Epilimnion Epilimnion Hypolimnion

Page 34: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-10

Sumber : Lehmusluoto, dkk.(1995) ; TD : tidak diketahui

Data pada Tabel 2.5 dan 2.6 menggunakan pengukuran transparansi kedalaman minimum

yang terukur dengan cakram sechi. Keasamann waduk dan danau diukur pada lapisan

epilimnion dengan pH meter dan dicatat nilai pH maksimumnya. Parameter nitrogen diukur

sebagai Total Nitrogen, yaitu pada konsentrasi L= 0-0,250 mg/l, M= 0.250-0.500 mg/l dan H=

>0.500 mg/l. Parameter fosfor diukur sebagai Total P yaitu dinyatakan dengan tingkat

konsentrasi pada: L= 0 – 0,025 mg/l, M= 0,025-0,050 mg/l dan H= >0,050 mg/l. Sedangkan status

trofik (ST) dinyatakan dengan klasifikasi Status Trofik: O = oligotrofik, M = mesotrofik, E =

eutrofik dan H= Hipereutrofik.

Tabel 2.5 Karakteristik Fisik dan Kualitas Air Danau di Indonesia

Luas Dalam Volume DHL pH Trans

Danau (A) Zmax (V) Min/max

N P Max Min

ST

km2 M Km3

Batur 15,9 88 0,82 780 M L 8,8 3 O

Bratan 3,8 22 0,049 25 H L 8 1,8 O

Buyan 3,9 87 0,16 280/750 M L 7,8 2,3 O

Diatas 12,3 44 TD 90 M L 7,5 5,5 O

Dibawah 11,2 309 TD 90 L M 8,5 6,5 O

Kerinci 46 97 TD 77 M M 6,8 1,5 M

Limboto 56 2.5 TD 550 H M 8,8 0,4 E

Maninjau 97,9 169 10,4 120/200 M L 8,4 9,6 O

Matano 164,1 590 TD 200/305 M L, 8,5 15,5 O

Poso 323,2 450 TD 135/200 M L 8 7,5 O

Ranau 125,9 229 21,95 200 L H 8,5 8,8 O

Rawa Pening 25 14 0,052 260/500 H L 7,5 0,7 M

Sentani 93,6 42 TD 250 L L 8,3 2,6 M

Singkarak 107,8 268 16,1 160 M L 8,7 2,1 M

Tamblingan 1,9 90 0,027 165/250 H L 8,7 2,7 O

Tempe 350 5 TD 220 H M 7,4 0,6 E

Toba 1130 529 240 180 L L 8,2 15 O

Tondano 50 20 TD 250/730 M .. L 8,3 2.5 M

Towuti 561,1 203 TD 175/400 M L 8,2 20 O

Data-data yang tercantum pada Tabel 2.5 dan 2.6 memberikan gambaran bahwa waduk

maupun danau di Indonesia memiliki kecenderungan mesotrofik dan eutrofik dan beberapa

hipereutrofik. Dengan demikian, dapat diketahui status mutu perairan waduk maupun danau,

sehingga dapat ditentukan program prioritas penanganan kualitas perairan serta penentuan

Page 35: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-11

peruntukan air waduk dan danau. Brahmana, dkk (1993) menyarankan pemanfaatan air waduk

dan danau agar disesuaikan dengan status mutu airnya, yaitu:

a. Waduk Oligotrofik, adalah waduk yang kandungan nutrien dan produktivitasnya sedang.

Waduk dengan status trofik tersebut sangat cocok untuk perikanan dan pemanfaatan

lainnya;

b. Waduk eutrofik, adalah waduk yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi,

sedangkan kandungan oksigen pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk dengan status

trofik tersebut cocok untuk perikanan dan irigasi; serta

c. Waduk hipereutrofik, adalah waduk yang mengandung banyak material humus,

kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies ganggang sedikit. Waduk dengan

status trofik tersebut hanya cocok untuk irigasi;

Tabel 2.6. Karakteristik Fisik dan Kualitas Air Waduk di Indonesia

Luas Dalam Volume DHL pH Trans

Danau (A) (Z) max (V) Min/max

N P Max Min

ST

km2 M Km3

Cacaban TD TD 0,086 TD TD TD TD TD TD

Cirata 62 6 2,16 200 . L L 8,7 1,5 M

Darma 4 4 0,004 95/770 M L 9 1,5 M

Jatiluhur 83 90 2,97 190 M L 8,4 2.6 H

Kedung Ombo 46 90 0,72 310/720 M L 8,2 5 M

Lahor 2.6 30 0,037 220 H L 8,9 1,5 E

Mrica 70 100 TD 230/580 H L 8,8 3,6 M

Palasari 3 36 0,006 270 H L TD 0.8 M

Riam Kanan 92 TD 1,2 TD TD TD TD TD TD

Saguling 53,4 90 0,93 200 M L 8,7 0,5 M

Selorejo 4 32 0,062 260 L L 9 0,8 E

Sempor ND 42 0,052 180/270 M L 8,5 1,9 M

Sutami . 15 50 0,34 380 H L 8,7 1,9 M

Wlingi 3.8 6 0,024 360 H L 7,9 1,3 E

W onogiri 90 TD 0,74 TD TD TD TD TD TD Sumber : Lehmusluoto, dkk.(1995)

Karena itu, perairan waduk yang status trofiknya termasuk kategori eutrofik atau hypereu-

trofik, maka perairan tersebut tidak layak digunakan untuk sumber baku air minum, perikanan,

tempat berkreasi, transportasi air dan peruntukan lainnya. Hal ini disebabkan kualitas fisika,

kimia dan biologi dari air waduk tersebut sudah sangat jelek

Sukimin (2004) menjelaskan bahwa permasalahan eutrofikasi waduk atau danau

disebabkan adanya pencemaran dari sumber eksternal dan internal. Pencemararan eksternal

Page 36: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-12

berasal dari DAS yang disebabkan oleh adanya kegiatan manusia, yaitu permsalahan urbanisasi,

pertambahan penduduk dan industri (Gambar 2.4). Permasalahan eksternal tersebut

menyebabkan penggunaan air yang berlebihan, pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan

peningkatan laju erosi. Gambar 2.4 juga menunjukkan permasalahan yang menyebabkan

timbulnya beban pencemaran internal pada waduk atau danau yaitu berkembangnya budidaya

keramba jaring apung (KJA). Beban pencemaran dari eksternal maupun internal sangat

berpengaruh terhadap kualitas air waduk. Permasalahan utama kualitas air adalah timbulnya

eutrofikasi, terjadinya siltasi ke dasar waduk, terlarutnya zat-zat yang bersifat racun atau toksik,

turunnya keanekaragaman hayati, serta turunnya elevasi air akibat evapotranspirasi yang

berlebihan.

Total

Bahan

Organik

Kualitas

Air

Urbanisasi

Pertambahan Penduduk

Industri

PenggunaanAir

Berlebih

Pemanfaatan Lahan

Berlebih

Peningkatan

Erosi

Eutofikasi

Bahan Toksik

Siltasi

Biodiversiti

Elevasi Air

Budidaya

Keramba

Jaring

Apung

Terlarut

Dimakan Ikan

Tidak Dimakan

Asimilasi

Sisa Metabolisme

Jenis Ikan

Pakan

Unit KJA

Gambar 2.4. Diagram Permasalahan Eksternal dan Internal yang Berpengaruh Terhadap Kondisi Waduk dan Danau di Indonesia (Sukimin, 2004)

Page 37: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-13

Kotak 2.1 : Permasalahan Waduk DAS Citarum

Daerah aliran sungai (DAS) yang telah mengalami degradasi lingkungan. mengakibatkan penyuburan Waduk Saguling yang sangat cepat, karena banyaknya limbah penduduk dan industri yang masuk ke Sungai Citarum. Di DAS Saguling dihuni sebanyak 6 juta orang, dan terdapat 300 buah industri (75% tekstil) dan sisanya adalah industri kulit, makanan kertas, obat-obatan dan sebagainya. Limbah penduduk dibuang secara langsung sebanyak 50% ke Sungai Citarum. Demikian juga, hampir 50 % air limbah industri air buangannya belum diolah atau belum diolah secara sempurna

Sumber: Macbub (1987) pada Brahmana (1993), Eutrofikasi Waduk Saguling, Jurnal Litbang Pengairan No. 28 Th. 8 , Puslitbang Pengairan, Bandung

2.4. Peranan Danau dan Waduk Sebagai Pengendali Kualitas Air

Peranan danau dan waduk sebagai pengendali kualitas air adalah memperbaiki kualitas

air melalui proses alami sedimentasi maupun dekomposisi yang terjadi akibat waktu tinggal

yang relatif lama pada tampungan tersebut. Parameter-parameter kualitas air yang dipengaruhi

bahkan dapat diperbaiki serta fenomena-fenomena yang menyertai dapat dilihat pada contoh

kasus pada waduk kaskade di DAS Citarum. Tinjauan fenomena-fenomena tiap parameter

kualitas air pada contoh kasus tersebut, dilihat berdasarkan tinjauan secara longitudinal kulitas

air maupun variasi bulanan.

2.4.1 Profil Longitudinal Kualitas Air

a. Fenomena Perubahan Kualitas Air

Data kualitas air S.Citarum pada bagian hulu (sebelum Waduk Saguling) menunjukkan telah

terjadi pencemaran berat oleh paramater organik (BOD dan COD), amonium dan bakteri

patogen (Eschericia coli). Selain itu juga terjadi pencemaran oleh deterjen dan logam berat.

Perbandingan kadar parameter air sepanjang sungai dan waduk-waduk dari hulu sampai

hilir, menunjukkan adanya perbaikan kualitas air oleh waduk, karena terjadinya proses

penguraian dan pengendapan. Kadar zat pencemar yang menurun karena proses penguraian

adalah senyawa organik (BOD dan COD), senyawa nutrien (N dan P), dan bakteri. Sedangkan

parameter zat pencemar yang menurun karena proses pengendapan adalah parameter besi,

mangan dan seng.

Page 38: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-14

Citarum R.

Cikundul R.

5 4

6

7

8

9

3

2 1

Ci

sangk

uy

R

. Citarik R.Ci k

eru

h R

.

C

i kap

undung R.

Cim

ahi R

.C

ibeu

reum

R.

C

ve

it

aru

m R

ir

SAMPLING LOCATION

CATCHMENT BOUNDARY

CITY

RESERVOIR

RIVER

1 0 1

SCALA

2 3 4 Km

N

LEGEND :

West Java

INDONESIA

10

Gambar 2.5 Skema Waduk Kaskade Citarum dan Lokasi Pengambilan Sampel

(Irianto, 2006)

Page 39: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-15

Gambar 2.6 Skema Profil Longitudinal Waduk Kaskade Citarum (Irianto,2006)

b. Dekomposisi Polutan Organik dan Deterjen

Gambar 2.6 menunjukkan bahwa parameter organik (sebagai BOD dan COD) mengalami

perbaikan yang cukup berarti setelah melewati waduk kaskade. Sedangkan Gambar 2.7 juga

menunjukkan menurunnya kadar detergen. Perbaikan kadar parameter organik dan detergen

tersebut akibat adanya penguraian oleh bakteri dan pengenceran selama berada didalam waduk

mengingat waktu retensi di dalam waduk yang berlangsung selama beberapa bulan.

Gambar 2.6 dan 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar organik dan detergen

pada tahun 2000. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya pencemaran organik

dan detergen pada sebelah hulu, sejalan dengan bertambahnya penduduk di wilayah tersebut.

Kondisi tersebut dapat menyebabkan beban pencemaran organik dan detergen yang makin

tinggi, terutama di Waduk Saguling.

Page 40: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-16

Page 41: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutro

fikasi W

aduk d

an D

an

au: P

erm

asa

lahan…

2-1

7

Gambar 2.8 Profil Kadar Oksigen Terlarut (DO), Senyawa Nutrien dan Partikel Tersuspensi Sepanjang S. Citarum (Irianto, 2006)

Page 42: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-18

c. Penguraian Senyawa Nutrien

Pada penelitian ini, penguraian senyawa nutrien diwakili oleh amonium, nitrit dan fosfor.

Gambar 2.7, menunjukkan bahwa kandungan amonium, nitrit dan fosfor mengalami

peningkatan pada tahun 2000. Amonium, nitrit dan fosfor pada bagian hulu. Bahkan pada tahun

2000 telah terjadi akumulasi amonium di ketiga waduk tersebut. Namun demikian, kadar nutrien

secara umum mengalami penurunan yang cukup berarti setelah melewati ketiga waduk

tersebut. Gambar 2.7 juga menunjukkan adanya peningkatan kadar amonium pada titik 9 dan 10

yang diduga sebagai akibat beroperasinya industri pupuk di sekitar lokasi tersebut.

d. Pengendapan Pencemar Logam Berat

Gambar 2.6 memperlihatkan bahwa kadar Mn dan Zn di sepanjang Citarum Hulu cenderung

meningkat dalam 10 tahun terakhir, sedangkan kadar Fe relatif hampir sama. Ketiga paramater

tersebut cenderung mengalami akumulasi di ketiga waduk tersebut. Hal ini dapat dilihat pada

titik 8 yang mana kadar ketiga parameter tersebut menurun drastis. Peningkatan pada titik

selanjutnya adalah diduga sebagai akibat adanya industri logam yang ber operasi disekitar titik-

titik tersebut.

e. Pengurangan Bakteri Pencemar

Kadar bakteri coli cenderung menurun pada waduk. Kadar fecal coli pada S.Citarum bagian

hulu semula 0,9.104 – 1,8104 per 100 ml (tahun 2000) dan 0,9.106-1,2,106 per 100 ml (1990)

menurun menjadi 1.104 – 1.105 (1990) dan 0,9.102-0,8.103 per 100 ml (2000). Hal ini disebabkan

oleh desinfeksi sinar matahari pada permukaan air waduk (lihat Gambar 2.6).

Kadar Fecal Coli pada Sungai Citarum mengalami perbaikan yang cukup berarti pada tahun

2000 yang diduga karena adanya fasilitas sanitasi, terutama pemakaian septik tank dan

beroperasinya IPAL Domestik Bojongsoang. Sedangkan masih tingginya kadar Fecal Coli di

ketiga waduk tersebut sebagai akibat adanya penduduk yang tinggal di sekitar waduk, serta

tingginya kepadatan ikan yang dipelihara pada kolam jaring apung. Setelah melewati ketiga

waduk tersebut, kadar bakteri meningkat kembali oleh limbah penduduk di hilir S.Citarum.

f. Penurunan pH

Gambar 2.9 menunjukkan profil pH sepanjang Sungai Citarum yang cenderung basa tahun

1990 dan makin meningkat kebasaannya pada tahun 2000 terutama pada bagian hulu. Hal ini

kemungkinan disebabkan meningkatnya pencemaran limbah industri tekstil di sepanjang

Sungai Citarum bagian hulu. Kondisi cenderung basa juga terlihat pada ketiga waduk tersebut

Page 43: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-19

pada tahun 1990, karena ketiga waduk tersebut mempunyai daerah tangkapan yang secara

geologis berlokasi pada daerah yang berkapur. Sedangkan pada tahun 2000, pH pada ketiga

waduk cenderung menuju netral, kemungkinan telah terjadi pengenceran.

Kondisi pH cenderung menuju netral juga terlihat setelah melewati waduk kaskade tersebut,

baik pada tahun 1990 dan 2000.

Gambar 2.9 Profil pH Sepanjang Sungai Citarum (Irianto,dkk.,2006)

Reaksi yang cenderung mengasamkan air waduk sehingga pH air waduk menjadi netral

pada tahun 2000, disebabkan oleh peruraian pakan organik dari kolam jaring apung. Tepung

pakan ikan cenderung menurunkan pH air menjadi asam, karena proses penguraian zat organik

(Machbub, 2003). Namun, apabila perkembangan jaring apung tidak terkendali dan pH air

sungai netral, maka dikhawatirkan akan terjadi pengasaman air waduk dan bersifat korosif pada

PLTA.

6

6.5

7

7.5

8

8.5

9

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

pH

Sampling Locations

1990 2000

Page 44: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusa

t Pen

elitia

n d

an P

engem

bangan S

um

ber D

aya

Air

2-2

0

Gambar 2.10 Variasi bulanan kadar organik, oksigen terlarut dan pH sebelum dan sesudah Waduk Kaskade (Irianto, 2006)

Page 45: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutro

fikasi W

aduk d

an D

an

au: P

erm

asa

lahan…

2-2

1

Gambar 2.11 Variasi Bulanan Senyawa Nutrien (Nitrogen dan Fosfor) Sebelum dan Sesudah Waduk Kaskade (Irianto, 2006)

Page 46: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-22

g. Erosi dan Sedimentasi

Hasil monitoring parameter partikel tersuspensi atau suspended solid yang tercantum pada

Gambar 2.9 menunjukkan adanya sedikit perbaikan pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1990.

Hal ini kemungkinan sebagai akibat adanya perbaikan alur Sungai Citarum bagian hulu,

sehingga, tingkat erosi dari sungai berkurang. Sedangkan pada lokasi 8 (sesudah waduk

kaskade) terdapat perubahan kadar sedimen oleh adanya waduk, yaitu menunjukkan adanya

penurunan kadar suspended solid dibandingkan sebelum memasuki waduk kaskade yang

disebabkan oleh pengendapan partikel lumpur di ketiga waduk.

Gambar 2.9 juga menunjukkan bahwa pada pada titik 9 dan 10 (lokasi Tanjungpura dan

Rengasdengklok) terlihat adanya kenaikan yang sangat tinggi dari partikel tersuspensi terutama

pada tahun 1990, yang dimungkinkan karena adanya penambangan pasir rakyat. Sedangkan

pada tahun 2000, kadar partikel tersuspensi terlihat adanya perbaikan daripada sebelumnya.

2.4.2 Variasi Kualitas Air Bulanan

a. Kapasitas Penyangga pH

Perubahan pH air berasal dari air limbah dan air hujan yang secara tidak langsung

dipengaruhi juga oleh pencemaran udara. Dari hasil monitoring yang terlihat pada Gambar 2.10

menunjukkan bahwa waduk kaskade tersebut ternyata memiliki peranan untuk menstabilkan

pH. Pada lokasi Nanjung terlihat bahwa pH berfuktuasi namun rata-ratanya adalah 7,4 (1990)

menjadi 7,5 pada tahun 2000. Sedangkan pada lokasi Bendung Curug cenderung stabil dengan

rata-rata 7,6 pada tahun 1990 menjadi 7,4 pada tahun 2000.

Gambar 2.9 juga memperlihatkan bahwa kestabilan pH waduk-waduk tersebut bahkan

berlangsung sepanjang musim dan berlangsung selama 10 tahun (1990-2000), meskipun pH di

sungai sangat bervariasi oleh fluktuasi beban pencemaran dan musim.

Data pH di kedua lokasi tersebut juga menunjukkan bahwa fenomena hujan asam yang

diakibatkan oleh kegiatan industri, lalu-lintas (kendaraan bermotor) yang berada di sekitar DPS

Citarum belum berpengaruh pada kualitas air waduk, mengingat daerah tangkapan waduk

sebagian adalah pada daerah yang berbukit kapur.

b. Kenaikan Beban Polutan Organik

Hasil penelitian kualitas air pada lokasi Nanjung, yang terlihat pada Gambar 2.10

memperlihatkan bahwa sepanjang tahun kualitas air waduk tersebut rata-rata 11 mg/L BOD

pada tahun 1990. Sedangkan pada tahun 2000 terlihat bahwa kadar organik cenderung

mengalami peningkatan dibandingkan tahun 1999 pada bulan yang sama, yaitu 20 mg/L BOD

Page 47: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-23

pada tahun 2000. Kondisi ini menunjukkan bahwa beban pencemaran organik di Citarum

terutama bagian hulu, mengalami peningkatan. Namun, bila dilihat pada Gambar 2.10 lokasi

Bendung Curug menunjukkan adanya perbaikan kandungan zat organik S.Citarum setelah

melewati waduk kaskade, yaitu rata-rata 2 mg/L (1990) menjadi 5 mg/L BOD pada tahun 2000.

Gambar 2.10 juga memperlihatkan bahwa pengaruh musim kurang menunjukkan

perubahan yang berarti, yang dapat dilihat bahwa pada musim kemarau kadar pencemaran

organik tinggi. Demikian juga pada musim hujan, tingkat pencemaran juga tetap tinggi atau

tidak terjadi pengenceran. Hal ini kemungkinan akibat adanya pencemaran dari sumber tersebar

atau non point source dari limbah domestik, pertanian, peternakan, dan terutama limbah pakan

ikan dari jaring apung.

Gambar 2.12 Kondisi Kualitas Air di Sekitar Tubuh Bendungan Waduk Saguling

Gambar 2.13 Kondisi kualitas air di sekitar intake Waduk Cirata

Page 48: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-24

c. Kandungan Oksigen Terlarut

Parameter DO pada tahun 2000 di lokasi Nanjung rata-rata 2 mg/l juga terlihat makin

memburuk dibandingkan pada tahun 1990 sepanjang tahun, terutama pada musim kemarau,

yaitu 1 mg/l, seperti terlihat pada Gambar 2.8. Walaupun sebenarnya kadar DO pada tahun 1990

juga dalam kondisi stabil buruk, namun lebih tinggi yaitu rata-rata 3,7 mg/L. Pada lokasi

Bendung Curug dapat dilihat bahwa ketiga waduk tersebut ternyata berfungsi untuk

menyeimbangkan dan sekaligus memperbaiki kadar oksigen terlarut atau meningkatkan

kesegaran air, sehingga kadar DO pada tahun 1990 rata-rata 6,6 mg/L, sedangkan pada tahun

2000 relatif stabil rata-rata 5,2 mg/L.

d. Senyawa Nutrien

Gambar 2.9 pada lokasi Nanjung menunjukkan bahwa kandungan amonium menurun pada

tahun 2000, yaitu rata-rata 0,4 mg/L dibandingkan tahun 1990 yaitu rata-rata 1,28 mg/L.

Sedangkan bila ditinjau di lokasi B.Curug menunjukkan bahwa kandungan amonium meningkat,

yaitu dari rata-rata 0,06 mg/l pada tahun 1990 rata-rata 0,09 mg/L pada tahun 2000. Kondisi

tersebut diakibatkan oleh perikanan jaring apung yang jumlahnya meningkat pada saat level

muka air waduk meningkat pada musim hujan.

Gambar 2.14. Kondisi kualitas air di sekitar tubuh bendung Waduk Jatiluhur (Perum Jasa Tirta II, 2004)

Kandungan nitrit pada lokasi Nanjung berfluktuasi dengan rata-rata 0,093 mg/L pada tahun

1990 menjadi 0,065 mg/L pada tahun 2000. Namun pada B.Curug terjadi peningkatan, yaitu rata-

rata 0,008 mg/L pada tahun 1990 yang menjadi 0,014 mg/L pada tahun 2000. Hal tersebut juga

diduga karena adanya penguraian organik dari limbah pakan ikan dan sisa ekskreta ikan yang

dikelola dengan cara jaring apung.

Page 49: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

2-25

Kandungan fosfor berhubungan dengan efisiensi pemakaian pupuk. Namun terjadi

peningkatan kandungan fosfor juga diduga adanya perikanan jaring apung sepanjang musim.

Dari data kualitas air pada 3 waduk di S.Citarum, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan

Waduk Jatiluhur berpotensi perbaikan kualitas air permukaan khususnya Sungai Citarum yang

telah tercemar berat sejak dari bagian hulu. Pada umumnya, kualitas air yang dapat diperbaiki

terutama adalah kadar organik (sebagai BOD dan COD), deterjen, pH, partikel tersuspensi dan

logam berat. Namun demikian, terjadi penurunan kualitas air pada ketiga waduk, terutama

akibat sisa pakan ikan yang dipelihara melalui sistem perikanan jaring apung dan sisa

metabolisma dari ikan.

Mengingat pada Sungai Citarum terdapat waduk-waduk dan parameter N dan P adalah

parameter pencemaran penting pada waduk, disarankan kadar N dan P dicantumkan dalam

standar air limbah pada semua jenis industri di Citarum selain parameter lainnya.

Dengan demikian, agar beban pencemaran yang akan memasuki waduk kaskade Citarum

tidak semakin berat, maka diperlukan langkah-langkah pengendalian pencemaran terutama

pada bagian hulu dari S.Citarum yang merupakan input dari Waduk Saguling. Selain itu,

perikanan kolam jaring apung hendaknya dikendalikan untuk tidak melebihi kuota yang telah

ditetapkan.

Page 50: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

2-26

DAFTAR PUSTAKA

Brahmana, Moelyo,M, Rahayu,S.1993. “Eutrofikasi Waduk Saguling”, Jurnal litbang Pengairan. 8

(28). Puslitbang Pengairan, Bandung

Irianto, E.W., Yuasa. A, Machbub,B., Sudjono,P., 2006. “The Influence of Cascade Reservoirs in The

Citarum Watershed to The Water Quality of Citarum River”. Dipresentasikan pada The fourth

Southeast Asian Water Environment, 6-8 Desember,AIT Bangkok-Thailand,

Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.

“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau

Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)

Lehmusluto,P., B.Machbub, Bukit,.N.T., Rusmiputro. S., F.Achmad., L.Boer., Brahmana, S., 1995.

“National Inventory of The Major Lakes and Reservoir in Indonesia”, Expedition Indodanau

Technical Report, In Cooperation RIWRD and University of Helsinky (direvisi 1997)

Lehmusluto,P.,2006. “From Assumptions to Knowledge-Based Water Resources Management

Ecological and Environmental Issues of Lakes as Examples”. Proceeding on International

Seminar Celebration the 70th Anniversary of the Research Center for Water Resources,

Bandung

Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and

Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang

Pengairan, Bandung.

Sukimin, S. 2004. Pengelolaan Waduk Kaskade Sungai Citarum: Tinjauan Aspek Ekologi Perairan.

Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata Ceratium hirudinella

di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur., Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung

Page 51: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-1

BAB III

KRITERIA, INDIKATOR DAN PARAMETER EUTROFIKASI

3.1 Kriteria Status Mutu Air Danau dan Waduk

Pengelolaan lingkungan perairan danau diperlukan sebagai suatu petunjuk untuk menilai

perairan tersebut apakah masih layak digunakan sesuai dengan peruntukannya atau tidak,

mengingat kebutuhan akan air bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitas

harus baik. Selain itu, usaha pengendalian pencemaran perairan danau sangat diperlukan data,

informasi dan masukan mengenai tingkat pencemaran yang terjadi di perairan tersebut.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 28/2009 Tentang Daya Tampung

Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk, Pasal 1 menyatakan bahwa status mutu air

adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu

sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air atau kelas air yang

ditetapkan. Sedangkan status trofik adalah status kualitas air danau berdasarkan kadar zat hara

dan kandungan biomasa fitoplankton atau produktivitasnya.

Salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan status kelas air dan status mutu

air danau dan waduk adalah kedalaman waduk dan danau. Danau sangat dangkal yang memiliki

kedalaman kurang dari 10 meter cukup ditentukan satu baku mutu air pada semua kedalaman

danau. Danau yang memiliki kedalaman 10-50 meter harus ditentukan dua baku mutu air, yaitu

status baku mutu lapisan epilimnion dan hipolimnion. Sedangkan danau dalam yang memiliki

kedalaman lebih dari 50 meter harus ditentukan satu baku mutu air pada lapisan epilimnion dan

dua baku mutu air untuk lapisan hipolimnion, yaitu pada bagian tengah danau dan pada bawah

danau yang contoh airnya diambil pada kedalaman 2 meter di atas dasar danau.

Penentuan status mutu air danau atau waduk ditentukan setelah diketahui jumlah

kebutuhan status mutu air yang ditetapkan berdasarkan kedalaman air danau atau waduk.

Setelah jumlah status mutu perairan diketahui, selanjutnya dilakukan pengukuran parameter-

parameter kualitas air. Hasil dari pengukuran kualitas air, pada titik-titik lokasi yang telah

ditentukan tersebut dibandingkan dengan parameter standar. Hasil perbandingan tersebut

digunakan untuk perhitungan skor pada kriteria STORET (Store and Retrieval), sesuai Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 114/2003 tentang Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan

Kelas Air.

Page 52: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-2

a. Kriteria STORET

Kriteria STORET dibutuhkan untuk menentukan status mutu air berdasarkan hasil

pengukuran parameter-parameter kualitas air. Nilai yang terukur tersebut dibandingkan dengan

standar baku mutu kualitas air sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air. Hasil perhitungan menggunakan Tabel 3.1

selanjutnya dibandingkan dengan kriteria STORET seperti tercantum pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Nilai Skor Parameter yang Tidak Memenuhi Standar

No. Jumlah

Contoh Air Nilai Parameter

Faktor Bobot tiap Kelompok

Parameter

Fisika Kimia Biologi

1 < 10

Maksimal -1 -2 -3

Minimal -1 -2 -3

Rata-rata -3 -6 -9

2 > 10

Maksimal -2 -4 -6

Minimal -2 -4 -6

Rata-rata -6 -12 -18 Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008

Keterangan:

- Nilai negatif. bila angka parameter melampui standar

- Nilai nol, bila angka parameter memenuhi standar

- Nilai parameter biologi = 3 x nilai parameter fisik

Tabel 3.2 Penentuan Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet

No Status Mutu Perairan Jumlah Skor

1 Baik sekali 0

2 Baik - 1 s.d. – 10

3 Sedang -11 s.d. – 30

4 Buruk > - 31

Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup , 2008

Page 53: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-3

Kotak 3.1 :

Contoh aplikasi kriteria STORET untuk menetapkan status mutu perairan waduk

Data pengukuran kualitas air dengan 8 contoh air (kurang dari 10 contoh air) sebagai berikut:

Nilai skor Nilai skor Nilai skor Nilai skor

a. Fisika

Residu Tersuspensi mg/ l -3 60 50 -3 50 -3 400 0 400 0

Residu Terlarut mg/ l -3 600 1000 0 1000 0 1000 0 2000 0

b. Kimia

pH -6 7,5 6 - 9 0 6 - 9 0 6 - 9 0 5 - 9 0

BOD mg/ l -6 8 2 -6 3 -6 6 -6 12 0

COD mg/ l -6 15 10 -6 25 0 50 0 100 0

DO mg/ l -6 5 6 -6 4 0 3 0 0 0

Total Fosfat mg/ l -6 0,5 0,2 -6 0,2 -6 1 0 5 0

NO3 mg/ l -6 4 10 0 10 0 20 0 20 0

H2S mg/ l -6 0,003 0,002 -6 0,002 -6 0,002 -6 0,002 -6

Deterjen mg/ l -6 0,22 0,2 -6 0,2 -6 0,2 -6 0,2 -6

c. Biologi

Total coliform Jml/100 ml -9 7500 1000 -9 5000 -9 10000 0 10000 0

Jumlah Skor -48 -36 -18 -12

SatuanParameterStandar klas 2 Standar klas 3 Standar klas 4Konsentrasi

terukur

Skor sampel

rata-rata

Standar klas 2

Kesimpulan: Hasil perhitungan skor dibandingkan dengan kriteria STORET menunjukkan bahwa status mutu perairan tersebut tidak sesuai untuk peruntukan baku mutu Klas 1 dan Klas 2 atau tercemar berat, namun masih cukup baik untuk peruntukan Klas 3 dan 4 atau tercemar sedang.

b. Kriteria Korosivitas

Kriteria korosivitas secara resmi memang belum ditetapkan. Namun kriteria ini perlu

diperhitungkan, mengingat banyak bangunan operasional waduk yang telah mengalami

permasalahan korosi. Karena itu, sebelum kriteria korosivitas ditetapkan untuk status mutu

perairan waduk, maka digunakan standar DIN 1969 seperti yang digunakan oleh Brahmana dan

Achmad (2001) untuk penelitian di Waduk Saguling dan Cirata sebagaimana diperlihatkan pada

Kotak

3.2. Adapun parameter kualitas air yang harus diukur untuk menentukan tingkat korosivitas

perairan waduk diperlihatkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Parameter Kualitas Air untuk Penentuan Status Korosifitas Perairan

Kriteria Korosifitas pH CO2 Agresif NH4 Mg SO4

Merusak Sedikit 6.5 - 5.5 15 – 30 15 – 30 100 – 300 300 – 600

Merusak Banyak 5.5 - 4.5 30 – 60 30 – 60 300 - 1500 600 - 3000

Merusak Hebat > 4.5 > 60 > 60 > 1500 > 3000 Sumber: Standar DIN 1969 pada Brahmana dan Achmad, 2001.

Page 54: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-4

Kotak 3.2: Evaluasi korosifitas Waduk Saguling dan Cirata

Hasil pemantauan kualitas air menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dan Waduk Cirata berpotensi terjadinya korosivitas, berdasarkan evaluasi korosivitas air dengan standar DIN 1969. Evaluasi air waduk terhadap beton menunjukkan bahwa perairan Waduk Saguling dan Waduk Cirata bersifat korosif rendah. Namun air pada dasar dan outlet Waduk Saguling dan Waduk

Cirata berpotensi korosivitas yang kuat. Karena itu, pelestarian kualitas air waduk dengan melakukan pengendalian pencemara air waduk harus dilakukan, agar keamanan bendungan dan termasuk bangunan operasional lainnya misalnya turbin pembangkit listrik bangunan operasional lainnya dapat terjamin keberlangsungan operasionalnya.

Sumber: Brahmana, S dan Firdaus Achmad, 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan Waduk Cirata Terhadap Turbin Dan Beton”, Jurnal Litbang Pengairan 15 (46), Puslitbang Pengairan, Bandung

c. Kriteria Status Ekosistem Akuatik

Untuk menentukan status ekosistem akuatik atau ekosistem perairan, yaitu dalam kondisi

ekosisten yang baik, terancam dan rusak perlu ditetapkan lebih dahulu kelas air dan baku mutu

air danau, penentuan status mutu air serta penentuan status trofik danau. Adapun parameter

lainnya adalah keanekaragaman hayati, jejaring makan, alga/ganggang biru (microcystis) dan

limbah pakan perikanan budidaya, seperti terlihat pada Tabel 3.4. Pada tabel tersebut juga

ditunjukkan indikator-indikator status pada tiap-tiap parameter. Sebagai contoh, status trofik

perairan hasil pengukuran adalah eutrofik berarti status eksosistem perairan danau maupun

waduk dalam kondisi “terancam”

Page 55: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-5

Tabel 3.4 Kriteria Status Ekosistem Akuatik

Parameter Danau Status Ekosistem Danau

Baik Terancam Rusak

Ekosistem Akuatik

Status Trofik Oligotrof – Mesotrof

Eutrof Hypereutrof

Status Mutu Air Tidak tercemar Tercemar sedang Tercemar berat

Keanekaragaman

Hayati

Masih terdapat

jenis fauna/flora endemik dan asli

Berkurangnya jenis

fauna/flora endemik dan asli (indigenous)

Hilangnya jenis fauna/flora

endemik dan asli; banyak dan ditemukan jenis introduksi/ invasive

Jejaring Makan (food web)

Tingkat trofik seimbang (produsen primer/ sekunder, konsumer/ tersier)

Tingkat trofik tidak seimbang

Tidak terjadi tingkat trofik

Tutupan Tumbuhan Air

Terkendali tidak menyebar dan tidak mengganggu fungsi danau

Kurang terkendali dan mengganggu fungsi danau

Menyebar tidak terkendali sangat menganggu fungsi danau

Alga/ganggang biru (Microcystis)

Sedikit Sedang Marak (blooming)

Limbah Pakan Perikanan Budidaya

Jumlah produksi ikan dan penggunaan

pakan sesuai dengan daya tampung danau dan perizinan

Jumlah produksi ikan dan penggunaan

pakan melebihi daya tampung danau akan tetapi memenuhi perizinan

Kegiatan budidaya dan pemakaian pakan tidak terkendali, tidak memenuhi

perizinan dan tidak memenuhi daya tampung danau.

Sumber: Kementerrian Lingkungan Hidup, 2008

Penentuan status ekosistem sempadan ditentukan dengan menggunakan kriteria status

ekosistem sempadan, seperti diperlihatkan pada Tabel 3.5. Parameter-parameter yang

digunakan untuk penentuan status mutu ekosistem sempadan danau adalah kondisi sempadan,

kondisi pasang surut, pembuangan limbah dan pemanfaatan air danau. Tabel 3.6 menunjukkan

parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan status ekosistem danau yang berasal

Page 56: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-6

dari daerah tangkapan atau daerah aliran sungai (DAS) yang berpengaruh terhadap kondisi

ekosistem danau.

Tabel 3.5 Kriteria Status Ekosistem Sempadan

Parameter Danau Status Ekosistem Danau

Baik Terancam Rusak

Ekosistem Sempadan

Sempadan Danau Tidak ada bangunan Mulai ada sedikit bangunan

Banyak bangunan

Sempadan Pasang Surut

a).Tidak ada bangunan b).Tidak ada

pengolahan tidak ada lahan, dan perkebunan dan sawah dengan pemupukan

Ada pengolahan

lahan untuk perkebunan dan sawah serta pemupukan.

a). Ada bangunan b).

Ada pengolahan lahan dan ada perkebunan dan sawah dengan pemupukan

Pembuangan Limbah Tidak ada pembungan

limbah

Ada pembuangan limbah, dan tidak ada sistem pengendalian pencernaran air,

akan tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau

Ada pembuangan limbah, dan sistem pengendalian pencemaran air tidak ada atau kurang

baik, serta telah melampaui daya tampung pencemaran air danau

Pemanfaatan Air Danau

Pemanfaatan Tenaga Air PLTA

Tidak mengubah karakteristik pasang-surut karakteristik pasang-surut muka air dan tidak mengganggu ekosistem akuatik

Mengubah karakteristik pasang-surut muka air akan tetapi tidak mengganggu ekosistem akuatik

Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan mengganggu ekosistem akuatik

Pengambilan Air Baku

Tidak mengubah karakteristik pasang-surut muka air dan

tidak menggangu ekosistem akuatik

Mengubah karakteristik pasang-surut muka air akan tetapi

tidak mengganggu ekosistem akuatik

Mengubah hidrologi dan neraca air sehingga air danau surut drastis dan

mengganggu ekosistem akuatik

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2008

Ke tiga kriteria status mutu ekosistem tersebut telah menunjukkan kajian yang cukup

lengkap status mutu suatu perairan danau. Meskipun terdapat kesamaan karakteristik antara

Page 57: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-7

danau dan waduk, namun demikian karena ada beberapa perbedaan karakteristik antara

ekosistem danau dan waduk, maka penerapan kriteria SMED untuk penentuan status mutu

ekosistem waduk, masih memerlukan kajian lebih lanjut.

Tabel 3.6 Kriteria Status Ekosistem Daerah Tangkapan

Parameter

Danau

Status Mutu Ekosistem Danau (SMED)

Baik Terancam Rusak

Ekosistem Terestrial Daerah Tangkapan Air Danau

Penutupan vegetasi pada DAS atau lahan DTA

>75% 30-75% <30%

Koefisien regim sungai (Qmax/Qmin) masuk danau

<50 50-120 >120

Erosi lahan DAS atau DTA

Tingkat erosi masih dibawah toleransi

Tingkat erosi telah menyamai batas

toleransi

Tingkat erosi telah melebihi batas

toleransi

Dampak Pendangkalan

Tidak terjadi pendangkalan

Pendangkalan rata-rata <2% tahun dari

kedalaman danau

Pendangkalan rata-rata > 2% tahun dari kedalaman danau

Pembuangan Limbah

Ada pembuangan limbah dan ada sistem penegendalian pencemaran air, serta sesuai dengan daya tampung pencemaran air danau

Ada pembuangan limbah dan tidak ada sistem pengendalian pencemaran air, tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau

Ada pembuangan limbah dan tidak ada sistem pengendalian pencemaran air, tetapi tidak melampaui daya tampung pencemaran air danau

Sumber: Pedoman pengelolaan ekosistem danau, Kementerian LH, 2008

3.2 Penerapan SMED pada Waduk

Berdasarkan hasil analisis data sekunder, diketahui bahwa Waduk Saguling dan Waduk

Sutami memiliki status eutrofik-hipereutrofik yang artinya telah terjadi proses penyuburan

marak alga yang sangat berat sebagaimana dinyatakan oleh Brahmana (1999) dan

Sulastri,dkk.(2004). Dari segi keanekaragaman hayati di kedua waduk telah mengalami

gangguan komposisi ikan serta kematian masal ikan (Sukimin,2004).

Page 58: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-8

Pencemaran kedua waduk tersebut cenderung meningkat. Tingginya konsentrasi zat hara

serta terdeteksinya senyawa H2S dan ammonia menunjukkan bahwa proses pembusukan di

dalam waduk telah terjadi (Brahmana, dkk., 2002). Permasalahan kualitas air pada kedua waduk

tersebut menyebabkan maraknya tumbuhan enceng gondok yang telah menggangu

operasional waduk. Bukit (2001) dan Brahmana, dkk (2002) melaporkan bahwa maraknya

tumbuhan enceng gondok terutama disebabkan pencemaran limbah domestik dan industri

yang melebihi daya tampung badan air penerima.

Permasalahan rezim aliran sungai pada kedua waduk tersebut telah dilaporkan oleh Pawitan

(2007), yaitu rasio aliran maksimum dan minimum input Waduk Saguling adalah 84 yang berarti

termasuk dalam kategori terancam, karena luas kawasan lindung yang sehat pada DAS Citarum

bagian hulu adalah 19,5% (Sobirin, 2008). Sedangkan rezim aliran sungai pada Waduk Sutami

adalah 18,5 atau kondisi ekosistem DAS masih baik, karena luas tutupan vegetasi lahan sekitar

33% dari daerah tangkapan air (Soekistijono.,2004). Machbub, dkk (2003) dan Sukistijono (2004)

melaporkan bahwa laju sedimentasi pada kedua waduk telah melampaui kapasitas rencana

waduk. Kondisi tersebut menyebabkan persentase volume terisi tampungan mati (dead storage)

Waduk Saguling dan Waduk Sutami masing-masing telah mencapai 72% dan 93,3%. Hasil kajian

dan uji-coba penerapan status ekosistem waduk disajikan pada Tabel 3.7.

Berdasarkan hasil kajian penerapan status mutu ekosistem danau (SMED) di atas, ditinjau

berdasarkan kriteria ekosistem akuatik, sempadan dan daerah tangkapan, diketahui bahwa

kedua waduk tersebut umumnya dalam kondisi terancam. Karena itu, komitmen untuk

mengelola DAS secara benar memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin

keberlanjutan fungsi waduk.

Kriteria SMED umumnya dapat diterapkan untuk penentuan kondisi ekosistem waduk.

Namun demikian, perlu dilakukan penyempurnaan agar kriteria-kriteria tersebut dapat

diterapkan dengan lebih baik. Kriteria-kriteria tersebut menjadi indikator keberhasilan

pengelolaan DAS, karena beberapa kriteria berkaitan erat dengan pengelolaan DAS. Sebagai

contoh, koefisien rezim sungai, tutupan vegetasi, erosi lahan serta sistem pengelolaan limbah

pada DAS merupakan indikator-indikator utama dalam pengelolaan DAS secara terpadu.

Page 59: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-9

Tabel 3-7. Penerapan Kriteria Status Ekosistem pada Waduk Saguling dan Waduk Sutami

Kriteria Waduk Saguling Waduk Sutami

Kondisi Status Kondisi Status

Status Trofik Eutrofik-Hipereutrofik

Terancam – rusak

Eutrofik- Hipereutrofik

Terancam-Rusak

Status Mutu Air Terdeteksi H2S dan Amonia

Terancam Terdeteksi H2S dan Amonia

Terancam

Keanekaragaman Hayati

Komposisi ikan terganggu dan

terjadi kematian masal

Terancam Gangguan ekosistem

perairan dan kematian masal

Terancam

Jejaring Makanan

(Food web)

Mengganggu

keseimbangan trofik

Terancam Mengganggu

keseimbangan trofik

Terancam

Tutupan Tumbuhan Air

Eceng-gondok dominan dan ganggu fungsi waduk

Terancam Eceng-gondok dominan dan mengganggu fungsi waduk

Terancam

Alga/Ganggang Biru (Microcistis)

Marak(Blooming) alga dan Microcystis

Rusak Marak (Blooming) algae dan Microcystis

Rusak

Limbah pakan

budidaya perikanan

Melebihi daya

tampung

Rusak Perikanan

Tangkap, sesuai daya tampung

Baik

Sempadan waduk Tidak ada bangunan Baik Tidak ada bangunan

Baik

Sempadan pasang surut

Tidak ada bangunan dan ada pengolahan lahan sawah ada pemupukan

Terancam Tidak ada bangunan dan ada pengolahan lahan sawah ada pemupukan

Terancam

Pembuangan Limbah

di sempadan

Ada pembuangan

limbah dan tidak ada pengolahan limbah, belum melampaui daya tampung

Terancam Ada pembuangan

limbah dan tidak ada pengolahan limbah, masih sesuai daya tampung

Terancam

Pemanfaatan Air Danau

Pemanfaatan PLTA Sesuai rencana desain, tidak mengubah karakteristik pasang surut

Baik Sesuai rencana desain, tidak mengubah karakteristik pasang surut

Baik

Pengambilan Air Baku Sesuai rencana desain, tidak mengubah

karakteristik pasang surut

Baik Sesuai rencana desain, tidak mengubah

karakteristik pasang surut

Baik

Page 60: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-10

Tutupan vegetasi

pada DAS

<30% Rusak Tinggal 33% Terancam

Koefisien rezim sungai (Qmax/Qmin) masuk waduk

50<(455/5,4) <120 Terancam (866/46,6) <50 Baik

Erosi lahan pada DAS 5,4 Juta m3/th melebihi disain

rencana 4 Juta m3/th

Rusak 5,4 Juta m3/th melebihi disain rencana 0,95 Juta m3/th

Rusak

Dampak pendangkalan waduk

Mengurangi dead storage s/d 72%

Rusak Mengurangi kapasitas tampungan 43% dan dead storage efektif tinggal 6,7%

Rusak

Pembuangan Limbah pada DAS

Ada pembuangan limbah domestic dan industry, tetapi sangat sedikit pengolahan

limbah,melampaui beban tampungan limbah

Rusak Ada pembuangan limbah domestik dan industry dan efisiensi pengolahan

rendah,sehingga melampaui beban tampungan limbah

Rusak

Usulan indikator untuk penyempurnaan kriteria yang terdapat pada SMED untuk

pengelolaan ekosistem waduk antara lain : (a) Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau

rantai makanan (food web) dan keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman

hayati; (b) Penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal

tingkat erosi waduk; (c) Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator

dampak pendangkalan waduk; (d) Penggabungan indikator pengambilan air untuk PLTA dan air

baku menjadi indikator pemanfaatan air waduk; (e) Penyesuaian perhitungan jumlah kolam

jaring apung yang diperbolehkan pada perairan waduk; (f) Penyesuaian indikator status mutu air

dikaitkan dengan baku-mutu air yang telah ditetapkan; (g) Penambahan indikator korosivitas; (h)

Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk; (i) Penambahan indikator kualitas

sedimen dasar waduk.

Penggabungan indikator alga biru, jejaring atau rantai makanan (food web) dan

keanekaragaman hayati menjadi indikator keanekaragaman hayati atau biodiversitas karena

keterkaitan ketiganya sangat erat. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas yang rendah

berarti telah terjadi dominasi salah satu jenis mikroalga, misalny kelompok Cyanophita pada

rantai makanan (Haarcoryati, 2008). Dominasi salah satu jenis mikroorganisme berakibat

Page 61: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-11

terganggunya keseimbangan rantai makanan pada waduk. Indeks keanekaragaman plankton

yang makin tinggi menunjukkan kualitas perairan waduk yang makin baik, karena indeks

keanekaragaman plankton menunjukkan fluktuasi dari makroinvertibrata bentos (Macbub,

1982). Salah satu indek keanekaragaman hayati yaitu Indeks Shanon-Wienner yang digunakan

oleh Brahmana (1999) untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati di Waduk Saguling dan

Waduk Jatiluhur.

Penyesuaian kriteria pada indikator erosi lahan dikaitkan dengan perkiraan awal tingkat

erosi waduk. Penyesuaian kriteria tersebut diperlukan, karena besarnya erosi dan sedimentasi

yang tertampung pada waduk sangat menentukan masa layan waduk. Ilyas (1995) juga

menyimpulkan bahwa laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan umur layanan waduk menjadi

pendek. Kondisi tersebut perlu diantisipasi dengan membandingkan antara laju sedimentasi

rencana yang diperbolehkan masuk ke dalam waduk dengan laju sedimentasi aktual (Lubis dan

Ilyas, 1989).

Penggantian indikator dampak pendangkalan danau dengan indikator dampak

pendangkalan waduk yang dikaitkan dengan prosentase volume terisi tampungan mati waduk.

Kapasitas operasional tampungan waduk akan berkurang, apabila kapasitas tampungan mati

waduk lebih cepat terisi akibat laju erosi-sedimentasi yang melebihi kapasitas rencana.

Sukistyono, dkk (2005) menyatakan bahwa untuk mempertahankan kapasitas tampungan

efektif, pengelola waduk di DAS Brantas harus melakukan penggelontoran sedimen sebanyak

dua kali setahun. Hal tersebut tentunya dapat membawa dampak pada ekosistem sebelah hilir

waduk. Dampak yang terjadi pada ekosistem sebelah hilir waduk tersebut diantaranya adalah

kekeruhan yang tinggi dan perubahan warna selama penggelontoran, sehingga menyebabkan

kematian ikan. Kapasitas tampungan mati yang telah penuh menyebabkan berkurangnya

volume efektif waduk, sehingga ada volume air yang termanfaatkan (Pangesti dan

Isnugroho,1989)

Penggabungan indikator pengambilan air untuk PLTA dan air baku menjadi indikator

pemanfaatan air waduk yang dikaitkan dengan desain rencana hidrologi, neraca air dan tinggi

muka air waduk, karena dalam mendesain waduk telah memperhitungkan neraca air waduk.

Selain itu, penggabungan indikator juga dimaksudkan agar penentuan status ekosistem waduk

dapat lebih efektif, karena memiliki kesamaan dalam hal debit keluar air waduk.

Penyesuaian perhitungan jumlah kolam jaring apung yang diperbolehkan pada perairan

waduk, mengingat pada beberapa waduk telah terjadi pertumbuhan kolam jaring apung (KJA)

Page 62: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-12

secara berlebihan. Soemarwoto (2004) menyarankan jumlah KJA yang diperbolehkan sebesar

maksimum 1% dari luas perairan waduk dan lokasi KJA tersebut menyebar.

Penyesuaian indikator status mutu air dikaitkan dengan baku-mutu air yang telah

ditetapkan, sehingga status mutu air waduk dapat dievaluasi. Pusat Penelitian Sumber Daya

Alam dan Lingkungan (PPSDAL) UNPAD (2002) menggunakan metoda STORET untuk

mengevaluasi status mutu air Waduk Saguling sesuai Kepmen LH 115/2003 tentang penentuan

status mutu air. Pada waduk terstratifikasi, penentuan status mutu air disesuaikan dengan

stratifikasi waduk, yaitu status mutu lapisan epilimnion dan status mutu lapisan hipolimnion.

Penambahan indikator korosivitas, mengingat banyaknya bangunan operasional waduk

yang mengalami korosi. Untuk mengukur tingkat korosivitas perairan waduk diusulkan

menggunakan Indeks Korosivitas Langilier. Indeks korosivitas tersebut telah digunakan oleh

Brahmana dan Ahmad (2001) untuk penentuan korosivitas perairan Waduk Saguling dan Cirata .

Penambahan indikator kualitas sedimen dasar waduk, mengingat logam berat dan senyawa

fosfor dapat terikat secara mudah dengan partikel tererosi dari DAS dan selanjutnya

terakumulasi di dalam waduk. Senyawa-senyawa yang terikat pada sedimen tersebut

berpengaruh pada ekosistem waduk bila terlepas pada perairan. Untuk itu diusulkan, agar

parameter yang diukur untuk penentuan kualitas sedimen adalah senyawa fosfor, karena dapat

memicu eutrofikasi (Lerman, 1974), sedangkan kandungan logam berat yang dianalisis pada

sedimen dasar waduk meliputi Cr, Cu, Pb, Cd dan Hg. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan

oleh Sutrisno, dkk (2002) diketahui bahwa akumulasi kandungan logam berat pada sedimen

dasar di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur terdeteksi lebih besar daripada kandungan logam

berat dalam tubuh ikan.

Agar usulan-usulan tersebut di atas dapat digunakan sebagai tolok ukur pengelolaan

ekosistem waduk dan pengambilan keputusan, maka diperlukan sejumlah kajian lebih lanjut.

Pengkajian yang dilakukan meliputi indikator-indikator serta dampak yang ditimbulkan secara

kuantitatif. Dengan demikian, penentuan status mutu ekosistem waduk secara lebih terukur

dapat dilakukan melalui suatu pemantauan kualitas air.

3.3 Klasifikasi Eutrofikasi

Eutrofikasi berasal dari bahasa Junani yang terdiri dari dua kata yakni Eu = baik dan

Trophe=makanan. Kedua kata tersebut bila disatukan diartikan sebagai pemberi makanan yang

baik atau penyuburan.Proses penyuburan perairan waduk dandanau dapat terjadi secara

.alamiah atau kultural. Eutrofikasi alamiah adalah eutrofikasi yang terjadi secara alamiah alau

Page 63: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-13

tanpa pengaruh aktifitas manusia, sedangkan eutrofikasi kultural adalah eutrofikasi yang

dipengaruhi oleh limbah penduduk, limbah pertanian, limbah industri dan sebagainya.

Tabel 3.8 Kategori Status Trofik Wetzel’s

Tingkat Trofik Fosfat Total mg/l

Nitrogen Total mg/l

PP mg C/m3/hr

Klorofil-a mg/l

Ultrotrofi k 0,001-0,005 0,01-0,25 0,01-0,5

Oligotrofik 50-300 0,3-3

Oligomesotrofik 0,005-0,01 0,25-0,60 250-1000

Mesoeutrofik 0,01 - 0,03 0,50-1,1 2-15

Eutrofik > 1000 10-500

Hypertrofik 0,03-5 0,5-15

Sumber: Brahmana, dkk; PP: Produktifitas Primer. JLP. No. 28 Th. 8 - KW.II, 1993

Eutrofikasi disebabkan oleh proses meningkatnya kadar zat hara, terutama parameter

nitrogen dan fosfor, pada air danau dan atau waduk. Wetzel (1975) pada Brahmana,dkk (1993)

membagi tingkat eutrofikasi waduk atau danau dalam beberapa tingkatan yaitu : mesotrofik,

oligotrofik, eutrofik dan hypereutrofik (dystrofik). Waduk mesotrofik adalah waduk yang

kandungan nutrien dan produktivitasnya rendah. Umumnya waduk yang umurnya masih muda

termasuk kategori tersebut. Waduk. oligotrofik adalah waduk yang kandungan nutrien dan

produktivitasnya sedang. Jenis waduk tersebut sangat cocok untuk perikanan dan pemanfaatan

lainnya. Waduk eutroflk adalah waduk yang kandungan nutrient dan produktivitasnya tinggi dan

kandungan oksigen pada lapisan hipolimnion rendah. Waduk hypereutrofik adalah waduk yang

mengandung banyak material humus, kandungan oksigennya rendah, dan jumlah spesies

ganggang sedikit atau keanekaragaman hayati rendah. Sedangkan parameter dan tingkat trofik

kategori Wetzel’s selengkapnya terlihat pada Tabel 3.8.

Sedangkan Sulastri, dkk (2004) menggunakan metoda Riding dan Rast (1989) untuk

menentukan trofik Waduk Sutami di Malang, seperti terlihat pada Tabel 3.9.

Page 64: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-14

Tabel 3.9 Kriteria Klasifikasi Status Trofik untuk Perairan Danau dan Waduk

(Ryding & Rast, 1989).

Parameter

Status Trofik

Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik

Total Fosfor (ug/L)

Rata-rata 8,0 26,7 84,4 -

Kisaran 3,0 – 17,7 10,9 – 95,6 16,2 - 386 750 - 1200

Jumlah contoh (n) 21 21 71 -

Total Nitrogen (ug/L)

Rata-rata 661 753 1875 -

Kisaran 307- 1630 361 – 1387 393 - 6100 -

Jumlah contoh (n) 22 8 37 -

Kedalaman Secchi (m)

Rata-rata 9,9 4,2 2,45 -

Kisaran 5,4 – 28,3 1,5 – 8,1 1,5 – 7,0 0,4 – 0,5

Jumlah contoh (n) 13 20 70 - Sumber: Sulastri, dkk. (2004)

Dari berbagai kategori status trofik tersebut diatas, Kementerian Lingkunga Hidup

menetapkan Pedoman Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), yang terdiri empat

kategori status trofik dari UNEP (Tabel 3.9) berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan

biomasa atau produktivitasnya yaitu:

a. Oligotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara

dengan kadar rendah. Status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah belum

tercemar dari sumber unsur hara nitrogen dan fosfor.

b. Mesotrofik, adalah status trofik air danau dan atau waduk yang mengandung unsur hara

dengan kadar sedang. Status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan

Fosphor namun masih dalam batas toleransi, karena belum menunjukkan adanya indikasi

pencemaran air.

c. Eutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara dengan

kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar nitrogen

dan fosfor.

d. Hipereutrofik, adalah status trofik air danau atau waduk yang mengandung unsur hara

dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar berat oleh

peningkatan kadar nitrogen dan fosfor.

Page 65: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-15

Tabel 3.10 Kategori Status Trofik Danau menurut Metode UNEP-ILEC

Status Trofik

Kadar Rata-rata

Total N (pg/1)

Kadar Rata-rata

Total P (pg/1)

Kadar Rata-rata

Khiorofil-a

(pg/1)

Kecerahan

Rata-rata

(m)

Oligotrofik <650 <10 < 2.0 >10

Mesotrofik <750 < 30 < 5.0 >4

Eutrofik >1900 < 100 < 15 >2.5

Hyperetrofik > 1900 >100 > 200 <2.5

Menurut UNEP-IETC/ILEC (2001), fosfor membatasi proses eutrofikasi jika kadar nitrogen

lebih dari delapan kali kadar fosfor, sementara nitrogen membatasi proses eutrofikasi jika

kadarnya kurang dari delapan kali kadar fosfor. Sedangkan Goldman & Horne (1983) menyatakan

bahwa bila rasio N dan P lebih besar dari 12, maka sebagai faktor pembatas adalah unsur Fosfor,

sedangkan rasio N dan P lebih kecil dari 7, maka sebagai pembatas adalah senyawa N. Rasio N

dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P bukan sebagai faktor pembatas

(non-limiting factor).

Pedoman pengelolaan danau juga memberikan alternatif lain penentuan status trofik dari

beban limbah yang mengandung unsur hara yang masuk air waduk atau danau, yaitu melalui

Metoda Carlson, seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan persamaan sebagai berikut:

TSI-TP = 14,42 x Ln[TP] + 4,15 (3.1)

TSI-Klorofil-a = 30,6 + 9,81 x Ln[Khlorofil-a] (3.2)

TSI-SD = 60 – 14,41 x Ln[Secchi] (3.3)

Rata-rata TSI = (TSI-P + TSI-Cl-a + TSI-SD)/3 (3.4)

Dimana :

TSI-TP : trofik Status Indeks untuk Total Fosfor, dalam ug/L

TSI-Klorofil-a : nilai Trofik Status Indeks untuk klorofil-a, dalam ug/L

TSI-SD : nilai Trofik Status Indeks untuk kedalaman cakram Sechi, dalam meter.

Sumber: Pedoman pengelolaan ekosistem danau, KLH 2009, Modifikasi OECD 1982,

Page 66: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-16

Hasil perhitungan rata-rata nilai Trofik Status Indeks dibandingkan dengan status trofik

seperti terlihat pada Tabel 3.11, sehingga diketahui tingkat status trofik danau atau waduk .

Tabel 3.11 Kategori Status Trofik Danau menurut Metode Carlson

TSI rata-rata

Status Trofik Keterangan

< 30 Ultraoligotrof Air jernih, kadar unsur hara sangat rendah

30-40 Oligotrof Air jernih, kadar unsur hara rendah

40-50 Mesotrof Kecerahan air sedang, kadar unsur hara sedang

50-60 Eutrof ringan Penurunan kecerahan air, kadar unsur hara.

Meningkat

60-70 Eutrof sedang Marak alga (Microcystis) kandungan unsur hara

tinggi

70-80

Eutrof berat Marak alga dan pertumbuhan gulma air secara cepat, kadar unsur hara sangat tinggi

> 80

Hypereutrof Marak alga, keadaan perairan dalam kondisi anoxia yang menyebabkan kematian ikan secara massal, kadar unsur hara amat sangat tinggi

Sumber: Carlson's (1977), Kementerian Lingkungan Hidup (2009)

3.4 Indikator Potensial yang Harus Dikontrol

Menurut Goldmen and Horne (1983) pada Brahmana (1993) eutrofikasi perairan danau dapat

terjadi secara alami atau natural eutrophication dan secara kultural atau cultural eutrophication.

Eutrofikasi alami terjadi karena adanya proses alami yang menimbulkan proses eutrofikasi

perairan. Sedangkan aktivitas manusia menyebabkan terjadinya proses peningkatan unsur hara

di perairan, sehingga terjadi eutrofikasi kultural. Sedangkan proses masuknya zat hara ke

perairan waduk dan danau dapat melalui input sungai yang tercemar oleh zat hara maupun dari

lapisan tanah yang mengandung unsur hara dan tererosi masuk ke perairan waduk dan danau.

Pencemaran tersebar (diffuse source) adalah zat pencemar yang terbawa akibat limpasan

hujan juga menjadi penyebab terjadinya pencemaran waduk dan danau. Novotny,dkk (2004)

menjelaskan bahwa sumber pencemaran tersebar di antaranya berasal dari : (1) emisi zat

pencemar tersebar yang masuk ke badan air akibat peristiwa meterologi; (2) emisi timbulan

limbah yang tersebar pada suatu lahan dan masuk ke air permukaan maupun terinfiltrasi ke air

tanah; (3) emisi pencemar tersebar yang sulit dimonitor dan dikendalikan dari sumber asal; (4)

emisi zat pencemar akibat kondisi geologis lahan yang tergerus; (5) emisi zat pencemar tersebar

Page 67: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-17

dari suatu kegiatan yang menghasilkan partikel tersuspensi, zat hara, bakteri patogen dan

senyawa beracun.

Machbub, dkk (2003) mengemukakan bahwa terjadinya eutrofikasi di suatu perairan danau

dan waduk dapat dideteksi melalui berbagai indikator, yaitu: (1) menurunnya konsentrasi

oksigen terlarut di zona hipolimninion; (2) meningkatnya zat hara yaitu nitrogen dan fosfor

badan air; (3) menurunnya transparansi perairan, serta (4) meningkatnya padatan tersuspensi,

terutama yang mengandung bahan organik. Indikator-indikator tersebut merupakan tanda

umum, namun pemantauan paramater kualitas air tetap harus dilakukan, terutama parameter

terkait dengan proses eutrofikasi.

3.4.1 Parameter Fisika

a. Suhu

Adanya penyerapan cahaya oleh air danau akan menyebabkan terjadinya lapisan air yang

mempunyai suhu yang berbeda. Bagian lapisan yang lebih hangat biasanya berada pada daerah

eufotik (bagian atas), sedangkan lapisan yang lebih dingin biasanya berada di bagian afotik

(bagian bawah). Menurut Goldman & Horne (1989), bila danau tersebut tidak mengalami

pengadukan oleh angin, maka kolam air danau terbagi menjadi beberapa lapisan, yaitu lapisan

epilimnion, lapisan hipolimnion dan metalimnion. Lapisan epilimnion adalah yang hangat

dengan kerapatan jenis air kurang. Lapisan hipolimnion adalah lapisan yang lebih dingin

dengan kerapatan air kurang, dan lapisan metalimnion adalah lapisan yang berada antara

lapisan epilimnion dan hipolimnion. Pada daerah metalimnion terdapat lapisan termoklin, yaitu

lapisan dimana suhu akan turun sekurang-kurangnya 10C dalam setiap 1 meter kedalaman

(Jorgensen & Volleweider, 1989).

b. Padatan Tersuspensi (Suspended Solid) dan Padatan Terlarut (Dissolved Solid)

Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini

menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer

perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai

makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan, karena

menghalangi penetrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga menghambat proses fotosintesis

oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen

terlarut dalam badan air. Sedangkan padatan terlarut pada badan air berhubungan dengan

kadar salinitas perairan.

Page 68: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-18

c. Kekeruhan dan Transparansi

Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi seperti

tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya.

Kekeruhan yang tinggi menyebabkan penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga

aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, yang berakibatn produktivitas perairan

menjadi turun.

Transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram Sechi.

Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut,

partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai

dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau menjadi rendah, sehingga dapat

menurunkan nilai produktivitas perairan.

d. Warna Perairan

Warna perairan dikelompokkan menjadi warna sesungguhnya (true Color) dan warna

tampak (apparent color). Warna sesungguhnya dari perairan adalah warna yang hanya

disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, sedangkan warna tampak adalah warna yang disebabkan

oleh bahan tersuspensi dan juga disebabkan oleh bahan organik dan anorganik yang sulit

terlarut. Warna tampak umumnya dapat di turunkan melalui proses koagulasi (Sawyer, dkk.,

2003).

Bahan-bahan organik seperti tanin, lignin dan asam humus dapat menimbulkan warna

kecoklatan di perairan. Perairan yang berwarna dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam

air, sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 warna air sebaiknya tidak melebihi 15 unit PtCo. Sedangkan

pada PP Nomor 82/2001 tidak mengatur tingkat warna air baku.

3.4.2 Parameter Kimia

a. Derajat Keasaman (pH)

Sawyer (2003) menyatakan bahwa derajat keasaman merupakan gambaran jumlah atau

aktivitas ion hidrogen dalam perairan. Nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat

keasaman atau kebasaan suatu perairan. Tingkat keasaman merupakan faktor yang penting

dalam proses pengolahan air untuk perbaikan kualitas air. Kondisi perairan bersifat netral

apabila nilai pH sama dengan 7, kondisi perairan bersifat asam bila pH kurang dari 7, sedangkan

pH lebih dari 7 kondisi perairan bersifat basa Menurut Benjamin (2002) tingkat keasaman

mempengaruhi nilai BOD5, fosfat, nitrogen dan nutrien lainnya. Adanya karbonat, bikarbonat

Page 69: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-19

dan hidroksida juga menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan

asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan (Canter, 1992).

Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik

yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan

tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Karena itu, nilai pH maksimum untuk air minum

adalah 6,5 – 8,5 sesuai Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002. Pada air baku untuk klas 1

sampai 3 nilai pH adalah 6-9, sedangkan klas IV adalah 5-9, seperti terlihat pada PP Nomor:

82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

b. Karbondioksida (CO2) Agresif

Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO2 yang terlarut di dalam

air. CO2 agresif dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan,

dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO2

agresif pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan dan

cenderung bersifat korosif. Oleh karena itu, CO2 agresif menjadi salah satu senyawa indikator

timbulnya proses korosivitas perairan (Brahmana, 2001)

c. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO)

Sawyer (2003) menjelaskan bahwa oksigen terlarut dalam perairan merupakan faktor

penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak.

Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran

air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Adanya

pergolakan massa air akibat adanya angin atau gelombang membantu meningkatkan

kandungan oksigen terlarut karena meningkatnya proses difusi oksigen dari atmosfer ke badan

air.

Sebagian besar oksigen pada perairan danau dan waduk merupakan hasil sampingan

aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbondioksida direduksi menjadi karbohidrat

dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

6 CO2 + 6 H2Os C6H12O6 + 6 O2

Pada perairan danau ataupun waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh proses

fotosintesis alga yang banyak terdapat pada zona epilimnion, sedangkan pada perairan

tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zone litoral, keberadaaan

oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air. Keberadaan oksigen

Page 70: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-20

terlarut di perairan sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer

(Sawyer,2003).

Berdasarkan PP Nomor 82 tahun 2001, badan air dengan kadar oksigen terlarut lebih besar

dari 6 mg/l masuk dalam kategori Klas 1, kadar oksigen terlarut antara 4-6 termasuk dalam

kategori Klas 2, kadar oksigen terlarut 3-4 mg/l berkategori Klas 3, sedangkan kadar oksigen

terlarut kurang dari 3 termasuk dalam kategori Klas 4.

d. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) dan Kebutuhan

Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand, COD)

Adanya pencemaran pada badan air yang berasal dari bahan organik dapat diindikasikan

dengan parameter BOD5.. Bahan pencemar organik yang tinggi akan distabilkan secara biologik

dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik, sehingga

meningkatkan nilai BOD5

Kondisi anaerob atau tidak adanya oksigen pada perairan dapat mengakibatkan kematian

organisme akuatik. Hal tersebut disebabkan berlangsungnya proses oksidasi secara aerobik yang

melibatkan mikroorganisme pengurai, sehingga menyebabkan penurunan kandungan oksigen

terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah. Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001

menegaskan bahwa kadar pencemar organik BOD pada badan air dengan Kategori klas 1 adalah

maksimum 2 mg/l, kategori Klas 2 yaitu 3-6 mg/l, Klas 3 yaitu dari 6-12 mg/l, sedangkan Klas 4

atau tercemar berat bila kadar BOD lebih dari 12 mg/l.

Kadar pencemar organik dalam badan air juga dapat diketahui dari nilai indikator COD atau

Chemical Oxygen Demand. Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai

COD. Sawyer, dkk (2003) menjelaskan bahwa COD adalah jumlah total oksigen yang dibutuhkan

untuk mengoksidasi bahan pencemar organik secara kimiawi, baik yang dapat maupun sukar

didegradasi secara biologi menjadi CO2 dan H2O. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa

indikator COD paling baik dalam menggambarkan kandungan zat organic, baik yang dapat

didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.

e. Senyawa-senyawa Nitrogen

Nitrogen di perairan terdapat dalam bentuk gas N2, NO2 -, NO3

-, NH3 dan NH4 + serta

sejumlah N yang berikatan dalam organik kompleks (Sawyer, 2003). Sumber nitrogen terbesar

berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi

biologis dalam kondisi aerobik. Menurut Chester (1990), keberadaan nitrogen di perairan dapat

berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ion nitrit (NO2-), ion

Page 71: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-21

nitrat (NO3-), ammonia (NH3), ion ammonium (NH4

+) dan molekul N2 yang larut dalam air,

sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea akan mengendap dalam air.

Proses reduksi nitrat berjalan optimal pada kondisi anoksik (tak ada oksigen). Dinitrogen

oksida (N2O) adalah produk utama dari denitrifikasi pada perairan dengan kadar oksigen sangat

rendah, sedangkan molekul nitrogen (N2) adalah produk utama dari proses denitrifikasi pada

kondisi anaerob. Proses denitrifikasi akan berkurang atau lambat pada kondisi pH dan suhu

rendah, tetapi akan berjalan optimum pada suhu rata-rata danau pada umumnya. Kondisi

anaerob pada lapisan sedimen membuat proses denitrifikasi lebih besar, yaitu dengan laju rata-

rata 1 mg/L per hari (Jorgensen, 1980).

Kadar nitrogen yang tinggi dalam perairan dapat merangsang pertumbuhan algae secara

tak terkendali (blooming). Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan zat hara persenyawaan

nitrogen dalam perairan adalah maksimum kadar senyawa nitrat (NO3-) adalah 10 mg/l untuk

Klas 1 dan 2, sedangkan untuk Klas 3 dan 4 maksimum adalah 20 mg/l. Parameter nitrit (NO2-)

kandungan maksimum pada badan air adalah 0,06 mg/l, lebih dari angka tersebut masuk

kategori klas 4. Sedangkan kandungan amonia (NH3-N) maksimum adalah 0,5 mg/l, untuk

perikanan tidak lebih dari 0,02 mg/l. Sedangkan standar kualitas air untuk air minum, menurut

Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 menegaskan bahwa kadar maksimum amonia dan

amonium masing-masing adalah 1,5 mg/l dan 0,2 mg/l.

e. Fosfat

Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya dalam bentuk fosfat, yaitu

ortofosfat, fosfat terkondensasi seperti pirofosfat (P2O7), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat (P4O13

6-

dan P3O105-) serta fosfat yang terikat secara organik. Senyawa ini berada sebagai larutan, partikel

atau detritus atau berada di dalam tubuh organisme akuatik (AWWA, 1995). Fosfat dalam

perairan yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah dalam

bentuk ortofosfat, yaitu hasil hidrolisis dari polifosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai

sumber fosfor.

Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal

organisme akuatik akan menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi. Berdasarkan PP Nomor

21/2008, kandungan zat hara Total Fosfat dalam perairan maksimum adalah 0,2 mg/l untuk klas

1 dan 2, sedangkan untuk klas 3 dan 4 masing-masing maksimum 1 mg/l dan 5 mg/l. Sedangkan

standar kualitas air untuk air minum parameter fosfor tidak diatur.

Page 72: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-22

f. Pestisida

Limpasan dari daerah pertanian, aliran dari persawahan, buangan limbah domestik, limbah

perkotaan dan industri merupakan sumber Pestisida yang masuk ke badan air Pada umumnya

pestisida dalam badan air terserap pada partikel tersuspensi dan partikel yang diam atau

terpisah ke dalam subtrat organik. Penggunaan dampak negatif yang berlebihan terutama pada

bidang pertanian dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, baik lingkungan

perairan, tanah dan udara maupun mahluk hidup yang bukan sasaran. Pestisida cenderung sulit

mengalami degradasi atau persisten, dan akan terakumulasi, meskipun ada yang bersifat

terdegradasi secara alami.

Kadar pestisida yang tinggi dapat menimbulkan kematian organisme akuatik secara

langsung (keracunan akut), yaitu kontak langsung atau melalui jasad lainnya seperti plankton,

perifiton dan bentos, sedangkan kadar rendah dalam badan air kemungkinan besar

menyebabkan kematian organisme dalam waktu yang lama, yaitu akibat akumulasi pestisida

dalam organ tubuhnya (Soemarwoto et al., 1979). Pada umumnya, pestisida memperlihatkan

sifat lebih toksik terhadap zooplankton dan bentos dengan tingkat toksik yang bervariasi,

tergantung jenis pestisida dan tingkat stadia komunitas yang bersangkutan.

g. Parameter Mikrobiologi

Keberadaan parameter mikrobiologi terutama bakteri digunakan sebagai indikator untuk

menilai tingkat higienisitas suatu perairan. Mikroorganisme pathogen atau mikroorganisme

yang bersifat berbahaya dari berbagai sumber, seperti permukiman, pertanian dan peternakan

mudah, masuk dan mencemari perairan. Bakteri coli merupakan kelompok bakteri yang sangat

sering digunakan sebagai indikator pencemaran badan air. Sedangkan Escherichia coli, yang

tergolong bakteri koli yang hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan, sehingga

kehadirannya dalam perairan menjadi petunjuk adanya pencemaran dari manusia atau hewan.

Pencemaran bakteri sangat tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan,

sanitasi maupun kemungkinan terjadinya infeksi berbahaya.

Berdasarkan PP Nomor 21/2008, kandungan Total coliform dan Fecal coliform dalam

perairan adalah maksimum masing-masing 1000/100 ml dan 100/100 ml untuk klas 1, untuk klas

2 masing-masing maksimum 5000/100ml dan 1000/100 ml, sedangkan untuk klas 3 dan 4

masing-masing maksimum adalah 10000/ml dan 5000/100 ml. Sedangkan standar kualitas air

untuk air minum menurut Permenkes Nomor: 907/Menkes/SK/VII/2002 dikatakan bahwa

kandungan Total coli maupun Fecal Coli adalah 0.

Page 73: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

3-23

Table 3.12. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur

Saguling Cirata Jatiluhur

No Parameter Unit Permukaan 20m Permukaan 20m Permukaan 20 m

Air Dalam air Dalam air Dalam

1 Padatan Terlarut mg/L 74 92 99 129 126 132

2 Padatan Tersuspensi mg/L 10 ..

12 6 10 6 7

3 Kekeruhan NTU 6,0 6,5 2,9 5,6 2,2 4

4 pH 7,.2 6,6 7,8 7,7 8,4 8.1

5 DO mg/L 4,9 0 5,5 0 8 0

6 BOD mg/L 3,0 3,4 3,6 2,4 4 2.6

7 COD mg/L 8,5 9,7 9,5 7,5 10 8

8 Total N mg/L 0,244 1,47 0,103 0,852 0,222 1,026

9 Total P mg/L 0,198 0,222 0,172 0,240 0,178 0.20

10 Kesadahan mg/L 31 37 42 56 62 61

11 Deterjen mg/L 0,048 0,042 0,057 0,050 0,025 0,016

12 Sulfida (S2-) mg/L 0 0,58 0 0,85 0 0,80

13 Ammonia bebas mg/L

0 0 0,003 0,017 0,012 0,046 (NH3-N) Sumber : Machbub, dkk.., 2003.

Page 74: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

3-24

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Lingkungan Hidup, 2009. Peraturan Meneter Lingkungan Hidup Nomor : 8/2009

Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk

Kementerian Lingkungan Hidup, 2003. Keputusan Men LH Nomor 114/2003 tentang Pedoman

Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air

Brahmana, S. dan Achmad,F., 2001. “Korosifitas Air Waduk Saguling dan waduk Cirata terhadap

Turbin dan Beton”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.15(46), Bandung

Brahmana, dkk,1993, PP: Produktifitas Primer. Jurnal Litbnag Pengairan. 28( 8), Puslitbang

Pengairan, Bandung

Brahmana,S. Moelyo,M dan Rahayu, S (1993). Eutrofikasi Waduk Saguling. Jurnal Litbang

Pengairan, 8(28), Puslitbang Pengairan, Bandung

Sulastri, Ami A Meutia dan Tri Suryono, 2004. Blooming Algae Dinoflagelata Ceratium hirudinella

di Waduk Karangkates, Malang Jawa Timur., Proseding Kolokium Puslitbang SDA, Bandung

UNEP-IETC-ILEC, 2001. Lakes and Reservoir Water Quality: The Impact of Eutrophication, Shiga-

Japan. Vol.3, ISBN: 4-906356-31-1

Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and

Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang

Pengairan, Bandung.

Novotny, V.,Campbell,N., D’Arcy,B., Frost,A dan Sansom,A.,2004., Diffuse Pollution, An

Introduction to The Problems and Sollutions. IWA Publishing, UK.

Page 75: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-1

BAB IV

PEMICU EUTROFIKASI PADA WADUK DAN DANAU

4.1 Kelimpahan Plankton

Di alam ini termasuk pada badan air terdapat suatu mata rantai makanan atau biasa disebut

dengan siklus makanan. Fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan atau biasa disebut

dengan produsen primer pada badan air. Meningkatnya biomassa jenis organisme primer

merupakan gejala terjadinya eutrofikasi pada perairan danau atau waduk. Gejala tersebut

biasanya juga ditunjukkan dengan menurunnya jenis konsumer akibat melimpahnya

konsentrasi unsur hara dan perubahan parameter kimia lainnya seperti oksigen terlarut (OT),

kadar klorofil-a, turbiditas serta produktivitas primer (Vesjak,dkk,1997).

Meningkatnya konsentrasi biomasa di bagian epilimnion dan tingginya laju pengendapan

alga pada dalam kolom air, menyebabkan timbulnya kondisi anaerobik pada daerah hipolimnion

danau. Pertumbuhan populasi fitoplankton yang terdiri dari karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen

dan fosfor merupakan salah satu indikator utama terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.

Pengaruh dari eutrofikasi pada danau dan waduk selain pertumbuhan fitoplankton dan alga

yang berlebihan, juga kekeruhan, penurunan kadar oksigen badan air. Komposisi fitoplankton

pada badan air tidak konstan tapi dapat menggambarkan konsentrasinya dalam badan air

(Vesjak,dkk,1997)

Pada fitoplankton terdapat klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis untuk

menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air yang digunakan sebagai dasar kehidupan.

Populasi fitoplankton yang berlebih, terutama yang bersifat toksik yang berada pada ekosistem

perairan, dapat menyebabkan berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan

kematian berbagai makhluk air lainnya. Fakta menunjukkan bahwa beberapa jenis fitoplankton

yang mempunyai potensi marak adalah yang bersifat toksik (Wiadnyana, 1996).

Mengingat dampak kerugian ledakan fitoplankton yang tinggi, di beberapa negara maju

permasalahan tersebut mendapat prioritas penanganan yang serius. Dampak utama dari

ledakan populasi fitoplankton adalah timbulnya Harmful Algae Blooms (HABs), yaitu fenomena

marak fitoplankton toksik pada suatu badan air yang menyebabkan kematian biota lain

(Anderson, dkk, 2008). Semua jenis fitoplankton yang beracun di atas dijumpai pada beberapa

perairan pesisir Indonesia. Racun-racun tersebut sangat berbahaya, karena di antaranya

menyerang sistem saraf manusia, pernapasan, dan pencernaan (Praseno dan Sugestiningsih,

2000). Faktor yang dapat memicu ledakan populasi fitoplankton berbahaya antara lain adanya

Page 76: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-2

upwelling yang mengangkat massa air kaya unsur-unsur hara; adanya hujan lebat, dan masuknya

air ke badan air dalam jumlah yang besar (Wiadnyana, 1996).

Fitoplankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang, mengapung di dalam

air serta memiliki kemampuan gerak yang terbatas (Horne dan Goldman, 1994). Fitoplankton

berperan sebagai salah satu bio indikator yang mampu menggambarkan kondisi suatu perairan,

kosmopolit dan perkembangannya bersifat dinamis, karena dominasi satu spesies dapat diganti

dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas perairan yang tertentu pula.

Perubahan kondisi lingkungan perairan akan menyebabkan perubahan pula pada struktur

komunitas komponen biologi, khususnya fitoplankton.

Zat hara, yaitu nitrogen dan fosfor, merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

fitoplankton. Oleh karena itu, ketersediaan zat hara di perairan waduk, menjadi faktor pembatas

yang mengontrol keberadaan kelimpahan dan biomasa fitoplankton dari zona inlet atau muara

sungai sampai zona waduk. Klorofil-a merupakan pigmen yang hampir ditemukan pada semua

jenis fitoplankton dan merupakan pigmen yang paling maksimal dalam menyerap cahaya

matahari untuk proses fotosintesis.

Respon fitoplankton sebagai produsen utama perairan, terhadap unsur hara terjadi pada

lapisan perairan eufotik menentukan eksistensi fitoplankton. Pengaruh biologi juga terjadi

apabila terdapat perbedaan laju pertumbuhan spesies fitoplankton dan zooplankton yang

memangsa (grazing) fitoplankton, yang akhirnya akan mempengaruhi pengelompokan

fitoplankton di perairan.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu kajian ekologi mengenai komposisi dari

kelimpahan dan dominasi fitoplankton terkait dengan kondisi fisika-kimia perairan di perairan

tergenang untuk menentukan kualitas perairan pada kondisi muka air waduk yang minimum,

sehingga dapat digunakan untuk menentukan daya dukung serta upaya pengelolaan yang

tepat. Pengaruh biomasa plankton terhadap timbulnya eutrofikasi dapat dilihat pada Gambar

4.1

Page 77: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-3

Gambar 4.1. Model dinamik Eutrofikasi akibat biomassa plankton (Anderson pada Gunawan, 2005)

4.2 Peningkatan Zat Hara

4.2.1 Senyawa Nitrogen

Senyawa nitrogen yang dialirkan ke badan air terutama berasal dari kegiatan manusia.

Manusia dan binatang menghasilkan unsur-unsur nitrogen. Sedangkan dari sumber pencemar

tersebar (non point sources) berasal dari pertanian atau pengolahan lahan dengan pemupukan

dan lahan permukiman yang menimbulkan senyawa nitrogen yang berlebihan. Dalam bentuk

anorganik, senyawa nitrogen berperan penting dalam kehidupan akuatik. Senyawa tersebut

dibutuhkan dalam jumlah besar untuk perkembang-biakan sel dan dikenal sebagai Makro-

nutrien bersama dengan senyawa karbon, fosfor, oksigen, sulfur, silika dan besi. Sedangkan

Page 78: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-4

senyawa yang dibutuhkan dengan jumlah yang kecil untuk pengembangan sel adalah mangan,

tembaga dan seng yang dikenal sebagai Mikronutrien.

Bentuk utama senyawa nitrogen di alam adalah nitrogen bebas (N2), amonium (NH4+) atau

amonia (NH3), nitrit (NO2) atau nitrat (NO3) dan organik nitrogen. Seperti terlihat pada Gambar

4.2, senyawa nitrogen dapat terbagi menjadi komponen partikulat maupun terlarut. Pada

gambar tersebut diperlihatkan dinamika proses senyawa nitrogen pada badan air, yang meliputi

(Chapra, 1997) :

Asimilasi Amonia dan Nitrat: termasuk dalam ini adalah pengambilan dari nitrogen

anorganik oleh fitoplankton, meskipun fitoplankton juga memanfaatkan amonia dan

nitrat.

Ammonifikasi: Proses transformasi dari nitrogen organik menjadi amonia. Ini adalah

proses yang komplek mencakup beberapa mekanisme proses. Termasuk dalam proses

ini adalah dekomposisi bakteri, eksresi zooplankton, dan autolisis langsung sesudah

kematian sel.

Nitrifikasi: yaitu proses oksidasi dari amonia menjadi nitrit, selanjutnya nitrit menjadi

nitrat. Proses ini dibantu oleh kelompok bakteri aerobik, digambarkan melalui proses

kimia orde satu. Pada kenyataannya trasnformasi dari nitrit menjadi nitrat merupakan

proses yang sangat cepat pada suatu model rantai makanan.

Denitrifikasi: Proses ini terjadi pada kondisi anaerobik, misalnya terjadi pada sedimen

dan lapisan hipolimnion anoksik (tidak ada oksigen). Akhir proses ini adalah Nitrogen

bebas (N2).

Fiksasi Nitrogen: Sejumlah organisme dapat memfiksasi unsur nitrogen. Kelompok

mikroorganisme ini adalah kelompok alge biru-hijau (blue-green algae). Adanya

kelompok bakteri ini menyebabkan fitoplankton atau mikroorganisme non fiksasi

nitrogen akan tersingkir karena rendahnya kadar nitrogen. Sedangkan alge biru-hijau

dapat menggunakan nitrogen dari udara, sehingga beban pencemar fosfor yang tinggi

pada waduk atau danau menyebabkan pertumbuhan alga hijau-biru yang dominan

atau marak alga. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya kualitas air waduk dan danau,

bahkan dapat terbentuk gumpalan-gumpalan (scum).

Meskipun senyawa nitrogen sama pentingnya dengan fosfor dalam siklus kehidupan

perairan termasuk menjadi pemicu timbulnya eutrofikasi, namun ada perbedaan pada

keduanya yaitu (Chapra,1997):

Page 79: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-5

Nitrogen memiliki fase gas, sedangkan alga hijau-biru mampu memfiksasi nitrogen

dari udara, sehingga alga hijau-biru menjadi dominan di badan air.

Nitrogen anorganik tidak menyerap kuat nitrogen yang terikat pada zat partikulat

seperti senyawa fosfor. Kondisi tersebut menyebabkan nitrogen dalam bentuk

partikulat tetap terbawa sedimen melalui proses pengendapan. Bentuk nitrogen

anorganik (khususnya nitrat) bersifat lebih mudah tersebar terutama pada air tanah.

Denitrifikasi hanya terjadi pada senyawa nitrogen atau tidak terjadi pada fosfor.

Karena proses ini hanya terjadi pada kondisi anaerobik, hal tersebut berakibat

terjadinya kondisi anoksik pada sedimen.

Gambar 4.2. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)

4.2.2 Senyawa Fosfor

Senyawa fosfor sangat penting untuk kehidupan. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya

berperan pada sistem genetis dan sebagai penyimpan dan transfer energi pada sel

mikroorganisme. Dalam tinjauan kualitas air, senyawa fosfor adalah penting, karena selalu dalam

jumlah yang kecil dibandingkan senyawa makronutrien lainnya. Kelangkaan ini adalah akibat

beberapa faktor, antara lain:

Page 80: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-6

Senyawa fosfat tidak banyak di kulit bumi, dan fosfat mineral tidak dalam kondisi

terlarut;

Senyawa fosfat tidak dalam bentuk gas atau tidak ada di atmosfer, berbeda dengan

nitrogen dan karbon; serta

Senyawa fosfat cenderung terserap kuat pada partikel halus. Fosfat dapat terikat kuat

secara kimiawi pada partikel sedimen yang mengandung oksigen.

Meskipun secara alami senyawa fosfat langka, tetapi banyak aktifitas manusia yang

menghasilkan fosfat dan dibuang ke lingkungan. Manusia dan hewan secara substansial juga

menghasikan limbah yang mengandung senyawa fosfat. Deterjen yang digunakan untuk

kebutuhan domestik juga mengandung senyawa fosfor. Pertanian dan permukiman juga

berkontribusi sebagai sumber pencemar tersebar senyawa fosfor termasuk dari aktifitas

pemupukan terkait dengan penggunaan bahan kimia untuk pengolahan lahan. Erosi lahan juga

berpotensi meningkatkan tranport fosfor ke badan air.

Senyawa fosfat dalam badan air alami terdapat dalam berbagai bentuk (Chapra, 1997):

Soluble Reactive Phosphorous (SRP) atau Fosfor Reaktif yang Berguna (FRB) atau biasa

disebut dengan ortofosfat atau senyawa P anorganik, yaitu bentuk fosfor yang langsung

dapat digunakan pada tanaman. Senyawa ini terdiri dari H2PO4-, HPO4

2- dan PO43- ;

Particulat organic P atau P organik partikulat, partikel ini terbentuk terutama dari

tanaman hidup, hewan dan bakteri juga detritus organik;

Non-particulat organic P. Senyawa ini terdiri zat terlarut dan koloid organik yang

mengandung fosfor. Senyawa ini berasal dari dekomposisi organik P partikulat;

Particulat inorganic P atau P anorganik partikulat yang terdiri mineral fosfat, ortofosfat

terjerap dan fosfat komplek pada zat padat; serta

Nonparticulat inorganic. Kelompok ini adalah termasuk fosfat terkondensasi seperti yang

ditemukan pada deterjen.

Diagram senyawa fosfor dalam badan air seperti terlihat pada Gambar 4.3. Pengukuran

senyawa fosfat dalam badan air terutama diukur sebagai ortofosfat atau fosfat terlarut dan

sebagai Total Fosfat yang sering digunakan untuk mengetahui kondisi eutrofikasi badan air.

Page 81: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-7

Gambar 4.3. Diagram senyawa nitrogen pada badan air (Chapra, 1997)

4.3 Fenomena Kolam Jaring Apung

Soemarwoto (2004) menyatakan bahwa jaring apung bermula dari analisis dampak

lingkungan (ADL) rencana pembangunan Bendungan Saguling tahun 1979-1980. ADL

menggunakan empat prinsip, yaitu ekosistem, pembatasan daerah dan bidang studi

(pelingkupan), identifikasi dampak dengan bagan alir dan pembangunan adalah untuk

masyarakat. Soemarwoto (2004 juga menyatakan bahwa hanya 3,8% penduduk yang mau

transmigrasi 96,2% tidak mau, sehingga perlu diberikan mata pencaharian. Selanjutnya

diperkenalkan teknologi jaring apung dapat diterima penduduk dan berkembang amat pesat

melalui penelitian bersama dengan Lembaga Penelitian Perikanan Darat di Danau Lido, Bogor

dan penyuluhan dilakukan di Waduk Saguling.

Jaring apung sangat produktif dan memiliki keuntungan yang besar, namun menimbulkan

dampak sosial-ekonomi dan biogeofisik. Dampak sosial-ekonomi KJA meliputi: (a)

ketergantungan pada benih dan pakan; (b) petani ikan tidak menguasai pasar; dan (c) masuknya

modal besar dari luar daerah dan berakibat marjinalisasi pengusaha lokal. Sedangkan dampak

biogeofisik adalah pencemaran oleh sisa makanan dan kotoran ikan, terjadinya kematian massal

ikan pada waktu terjadi pembalikan dan terjadinya eutrofikasi, pertumbuhan masal ganggang

Page 82: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-8

microcystis, masukan zat pencemar dari DAS hulu dan kandungan zat racun dalam pakan

(Soemarwoto, 2004)

Eutrofikasi yang sangat cepat pada waduk dan danau di Indonesia tersebut diyakini oleh

banyak peneliti dipicu dan dipacu oleh aktivitas manusia yang memanfaatkan badan air tersebut

sebagai areal produksi ikan dalam KJA yang berlebihan. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lainnya

pada daerah aliran sungai yang membuang limbah yang pada akhirnya masuk ke dalam waduk.

Sisa pakan yang terakumulasi di dasar perairan akan terdekomposisi menjadi nitrogen.

Zahidah (2007) pada penelitiannya di Waduk Cirata menyatakan bahwa bahwa indeks

keanekaragaman fitoplankton pada semua stasiun di semua kedalaman menunjukkan angka

yang sangat rendah, yaitu kurang dari 0,5 bahkan angka rata-ratanya untuk semua stasiun

kurang dari 0,3. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman menunjukkan ekosistem berada dalam

kondisi yang tidak stabil sebagaimana yang dilaporkan oleh Odum (1992) pada Zahidah (2007).

Keanekaragaman yang rendah menunjukkan di ekosistem tersebut terdapat jenis tertentu yang

memiliki kelimpahan sangat tinggi, atau dengan kata lain terdapat kecenderungan dominasi.

Adanya kecenderungan dominasi terlihat dari tingginya kelimpahan genus Microcystis pada

seluruh stasiun dengan nilai persen dominansi berkisar antara (60 – 99).

Haarcoryati, (2008) juga menyatakan bahwa terdapat kaitan yang erat antara rasio nitrogen

dan fosfor dengan dominasi kelompok mikroalga pada waduk dan danau di Indonesia. Rasio N/P

kurang dari 10 maka pertumbuhan kelompok Cyanophyta dengan spesies Microcystis sp akan

mendominasi perairan (Ryding dan Rast, 1989 ).

Zahidah (2007) menjelaskan bahwa kualitas air Waduk Cirata berada dalam status eutrofik,

diperkuat juga dengan banyaknya fitoplankton dari kelas Cyanophyceae (terutama Microcystis

sp) memiliki rasio antara N (dalam bentuk NO3) dan P (dalam bentuk PO4) dengan nilai rendah,

Hal ini sesuai dengan pendapat Reynold (1990) yang menyatakan bahwa Cyanophyceae adalah

kelompok fitoplankton yang mampu bertahan dan berkembang dengan baik pada kondisi N/P

yang rendah.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kemampuan kelas ini untuk bertahan dan memenangkan

persaingan serta berkembang biak lebih cepat didukung oleh kemampuan fiksasi nitrogen dari

atmosfir pada sebagian jenis Cyanophyceae serta adanya fenomena Luxury consumption of

Phosphorous pada hampir semua jenis Cyanophyceae. Zahidah (2007) menyatakan bahwa

kondisi kualitas air yang buruk tidak hanya ditemukan pada zona KJA, tapi juga pada zone non

KJA. Hal ini terutama ditunjukkan oleh melimpahnya fitoplankton dari kelas Cyanophyceae,

terutama Microcystis.

Page 83: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-9

Untuk mencegah timbulnya eutrofikasi berlebihan akibat fenomena jaring apung ini adalah

pengaturan KJA yaitu maksimum hanya 1% luas permukaan dan jarak antara jaring minimum 50

meter. Sedangkan Sukimin (2004) mengusulkan adanya penentuan daya tampung waduk dan

danau terhadap pencemaran pakan untuk mencegah timbulnya pencemaran badan air tersebut

sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Danau yang telah ditetapkan pada tahun

2009.

Langkah yang dapat dilakukan oleh petani jaring apung adalah menggunakan teknologi

aerasi, terutama pada saat tengah malam sampai menjelang fajar dan terutama sekali setelah

terjadi umbalan (upwelling). Selain itu, dengan pengaturan pola makan ikan, pemakaian jaring

yang mengurangi pengendapan sisa pakan dan metabolit ikan, pengaturan kepadatan benih

dan tidak menggunakan rumah jaga sebagai hunian keluarga adalah tindakan yang baik demi

terjaganya kualitas air waduk (Irianto, dkk, 2001). Sedangkan Fahmijani, dkk (2009) mengusulkan

menggunakan pola KJA berlapis, untuk mengurangi pakan ikan yang terbuang agar dimakan

ikan pada lapis bawahnya.

Pengelola waduk berkewajiban sebagai regulator, terutama dalam hal menetapkan lokasi

termasuk jarak antar jaring apung, pemantauan kualitas air secara kontinyu, dan pengelolaan

lingkungan di sekitar waduk. Selain itu, pengelola waduk dapat berperan sebagai fasilitator

dalam hal pengembangan pemasaran, sehingga pendapatan petani meningkat, maka para

petani jaring apung tersebut akan lebih mudah untuk diajak peduli dan menjaga kualitas

lingkungan di sekitar waduk. Koordinasi dengan instasi terkait juga sangat diperlukan dalam hal

pengelolaan waduk/danau setingkat DAS (Irianto, dkk., 2001). Sedangkan pola hubungan antara

petani jaring apung dan pengelola waduk adalah terlihat pada Gambar 4.4.

Page 84: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-10

- Penempatan dan pengaturan lokasi

- Pengelolaan DPS dan lingkungan waduk

- Pemantauan rutin kualitas air

- Penanggulangan gulma

- Memfasilitasi usaha jaring apung

yang berwawasan lingkungan

- Managemen pakan yang teratur

- Pengaturan kerapatan benih

- Pemakaian jaring dia (0,5-1)"

- Memakai teknologi aerasi

- Membantu menanggulangi gulma

- Tidak untuk rumah hunian

Pengelola Waduk

Sebagai Regulator

Petani Jaring Apung

Sebagai Produsen

Kualitas Air TerjagaOperasional Waduk

Berjalan Lancar

Hasil Memuaskan

Gambar 4.4 Diagram pola hubungan antara petani jaring apung dan pengelola waduk (Irianto, dkk, 2001)

4.4 Pencemaran Daerah Aliran Sungai

Straskaba dan Tundisi (1999) ekosistem perairan waduk dan danau cenderung mengalami

degradasi, karena kurang kepedulian dan kesungguhan profesional dalam pengelolaannya.

Banyak diantaranya terancam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas airnya, termasuk juga

dari kelangsungan hidup biotanya. Hal ini disebabkan terutama oleh meningkatnya kegiatan

manusia di perairan maupun daerah tangkapan. Kondisi tersebut menyebabkan waduk akan

sulit sekali dipulihkan kondisinya apabila tercemar dan rusak, perlu waktu yang lama untuk

pemulihannya dengan biaya yang tidak sedikit.

ICES (2009) menyatakan bahwa keterkaitan antara badan air waduk dengan DAS sedemikian

eratnya, sehingga kerusakan ekosistem DAS akan berdampak negatif pada ekosistem danau dan

waduk. Oleh karena itu, danau dan waduk sebagai unit ekologis tidak dapat dipisahkan

pengelolaannya berdasarkan batasan administratif serta diperlukan satu dasar pengetahuan

yang komprehensif untuk dapat mengelola danau secara baik dan benar, sehingga pemanfaatan

danau dapat berlangsung secara berkelanjutan

Sebagaimana dinyatakan oleh Rees (2009), aktifitas-aktifitas manusia pada DAS yang dapat

berdampak pada sistem sumber daya air diantaranya (a) deforestasi dan urbanisasi akan

Page 85: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-11

merubah limpasan permukaan dan rejim aliran yang mempengaruhi penggunaan air, resiko

banjir dan kelongsoran; (b) kuantitas, waktu dan lokasi pengambilan air baik permukaan

maupun tanah berdampak pada penggunaan sumber daya air pada sebelah hilir; (c) perubahan

tata-guna lahan dapat merubah laju evapotranspirasi, laju sedimentasi dan pengambilan air

dapat mempengaruhi kestersediaan dan biaya suplai air bersih; (d) produk air limbah pertanian,

air limbah industri dan rumah-tangga akan berpengaruh pada kualitas air pada air tanah dan air

di hilir. Hal tersebut berpengaruh pada pengolahan air limbah, menurunkan produksi pertanian,

ekonomi, lingkungan dan penggunaan rekreasi.

Berdasarkan pedoman pengelolaan danau (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008),

ekosistem danau terdiri dari ekosistem perairan (akuatik), ekosistem sempadan (sebagai

ekosistem peralihan) dan ekosistem daratan (terestrial). Ketiga ekosistem tersebut menghadapi

berbagai kerusakan lingkungan yang berdampak pada keberlanjutan dan fungsi waduk sebagai

sumber daya air. Berbagai sumber dan dampak permasalahan tersebut telah merusak ekosistem

waduk juga berpotensi dan telah terjadi pada beberapa waduk di Indonesia.

Machbub, dkk (2003) menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada danau dan waduk di

Indonesia antara lain (a) pendangkalan dan penyempitan sempadan, yang dapat merusak

ekosistem; (b) pencemaran kualitas air yang menggangu pemanfaatan air dan pertumbuhan

biota akuatik; (c) kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity); (d) pertumbuhan gulma air

dan marak alga disebabkan proses penyuburan air waduk sebagai akibat pencemaran limbah

organik dan zat hara (unsur nitrogen dan fosfor) dan zat penyubur; (e) perubahan fluktuasi muka

air danau, yang disebabkan oleh kerusakan DAS serta pengambilan air dan tenaga air tanpa

memperhatikan keseimbangan hidrologi dapat mengganggu keseimbangan ekologis daerah

sempadan. Karena itu pengelolaan lingkungan daerah aliran sungai menjadi penting dalam

ramgka perlindungan waduk dan danau dari permasalahan tersebut diatas.

Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa sumber-sumber zat hara yang masuk ke

perairan waduk atau danau terutama adalah bersumber dari kegiatan manusia meliputi kegiatan

domestik, industri, pertanian dan peternakan yang limbahnya tidak terkelola dengan baik,

sehingga memicu timbulnya permasalahan eutrofikasi. Sumber-sumber pencemar tersebut

dapat berupa sumber pencemar titik maupun sumber pencemar tersebar. Selain itu, kegiatan

perikanan budidaya atau kolam jaring apung pada perairan waduk dan danau juga menjadi

pemicu kelimpahan plankton karena limbah pakan berlebihan yang terakumulasi pada sedimen

dasar. Pengendalian pencemaran untuk mencegah masuknya zat hara secara berlebihan pada

waduk atau danau memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan memperhatikan

Page 86: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-12

karakteristik masing-masing waduk atau danau, yang selanjutnya diimplementasikan secara

benar dalam suatu kerangka kebijakan.

Page 87: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

4-13

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A, Heil., R,M, Kudela.,

M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A, Vargo., 2008, “Harmful

Algall Blooms And Eutrophication: Examining Linkages From Selected Coastalregion Of The

United Stated”, Harmful Algae., 8, 39-53.

Astuti, Bambang.1992. Sistem Terpadu Dalam Pengelolaan Lingkungan Waduk/Situ

Saguling/Cirata. Puslitbang Perikanan, Jakarta

Chapra, Steven.C., 1997. Surface Water Quality Modelling. Mc Graw Hill Book Inc, NewYork

Fahmijani,Trijanto, A.Lukman, dan.Meutia,A., 2009. Keramba Jaring Apung Ramah Lingkungan,

Konferensi Danau Berkelanjutan. Denpasar-Bali

Gunawan,W., Zahidah dan Mulyanti,W., 2006. “Model Eutrofikasi untuk Merancang Kebijakan

Pengelolaan Waduk yang Berkelanjutan melalui Sistem Dinamik”. Laporan Riset DIKTI.

Haarcoryati, A.,2008. Hubungan Rasio N/P dengan kecenderungan dominasi komunitas

mikroalga pada waduk-waduk di DAS Citarum., Buletin Keairan Vol.1(1), Puslitbang SDA,

Bandung

Goldman,C.R dan Horn, A.J.,1994. Limnology. 2nd. Mc Graw Hill.Inc

ICES.2009. “Human Induced Eutrophication is Minimized Especially Adverse Effect”. Final Report,

European Commision

Irianto,E.W., Machbub,B,. Ilyas, M.T. dan Sudarna.,A.,2001 . Konsep pengelolaan jaring apung

peduli lingkungan dalam Rangka menjaga kualitas air waduk” Buletin Keairan 2001,

M.Vesjak, T.Savsek, dan E.A. Stuhler.1997. System Dynamik of Eutrophication process in Lakes.

European Journal of Operational research. Elsevier Science, London, hal.442-451.

Machbub,B., Fulazzaky, M.A., Brahmana, S. dan.Yusuf, I.A., 2003. “Eutrophication of Lakes and

Reservoir and Its Restoration in Indonesia”. Jurnal Litbang Pengairan Vol.17(50) , Puslitbang

Pengairan, Bandung.

Praseno, D,P. dan Sugestiningsih., 2000, Red tide di perairan Indonesia, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseanologi – LIPI, Jakarta

Rees, J.A.,2008. “Urban Water and Sanitation Services; An IWRM Approach”. Global Water

partnership Technical Committee.

Straskraba,M and Tundisi, J.G. “Guidelines of Lake Management Volume 9: Reservoir Water

Quality Management”, ILEC,1999

Page 88: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

4-14

Sumarwoto,O.2004. “Pengelolaan Jaring Apung. Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau”.

Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau, 12 Oktober, Puslitbang SDA

Wiadnyana, N,N., 1996, Mikroalga berbahaya di Indonesia. Oseanology dan Limnology di

Indonesia, 29, 15 – 28.

Zahidah , 2007. “Komunitas Fitoplankton di Zona Karamba Jaring Apung (KJA) dan Non KJA di

Waduk Cirata”, Laporan Teknis Fakultas Perikanan dan Kelautan UNPAD, Bandung.

Page 89: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Eutrofikasi Waduk dan Danau: Permasalahan…

5-1

BAB V

PEMODELAN EUTROFIKASI

5.1 Korelasi Parameter Eutrofikasi

Tingkat kesuburan perairan danau atau waduk dapat dihitung berdasarkan beberapa

parameter yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan danau sesuai dengan perhitungan

Indeks Status Trofik atau Trofik Status Index (TSI), yaitu Total Fosfor, klorofil-a, dan kecerahan

menggunakan pengukuran cakram sechi (Sechi Disk).

Penentuan ketiga parameter tersebut berdasarkan adanya keterkaitan yang erat dari

masing-masing parameter, dimana unsur pencemar yang masuk ke perairan danau yang berupa

fosfor akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan fitoplankton pada perairan tersebut, yang

ditandai dengan adanya konsentrasi klorofil-a. Kepadatan klorofil-a tersebut akan menyebabkan

terhambatnya cahaya yang masuk kedalam perairan danau yang ditandai dengan makin

rendahnya kecerahan perairan. Hubungan antara kadar Total Fosfor (TP) dengan konsentrasi

klorofil-a memiliki korelasi positif seperti ditunjukkan pada Gambar 5.1, sedangkan korelasi

antara kosnentrasi klorofil-a dengan transparansi terlihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.1 Korelasi antara fosfor dan klorofil-a (Bartsch &Gaksleter,1978 pada Chapra, 1997)

Page 90: Eutrofikasi Waduk Dan Danau

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air

5-2

Gambar 5.2 Korelasi transparansi (kedalaman Sechi) dan klorofil-a (Rast & Lee,1978 pada Chapra, 1997)

Gambar 5.3 Pendekatan skematik untuk memprediksi variable status trofik berdasarkan prediksi model beban fosfor (Chapra,1997)

Gambar 5.3 menunjukkan skema penentuan status eutrofik melalui suatu model korelasi

antara konsentrasi senyawa fosphor, transparansi dan klorofil-a.