jaipongan
DESCRIPTION
ragam seni tariTRANSCRIPT
JAIPONGAN
Kemunculan tari jaipongan 1980 an yang lahir dari kekreatifitasan para seniman Bandung yang
dikenal dengan Gugum Gumbira, pada awalnya tarian tersebut pengembangan dari ketuk tilu
apabila dilihat dari perkembangannya dan dasar koreografernya. Kata jaipong bersal dari
masyarakat Karawang yang bersal dari bunyi kendang sebagai iringan tari rakyat yang menurut
mereka berbunyi jaipong yang secara onomotofe. tepak kendang tersebut sebagai iringan tari
pergaulan dalam kesenian banjidoran yang berasal dari Subang dan Karawang yang akhirnya
menjadi populer dengan istilah jaipongan.
Karya jaipongan pertama yang diciptakan oleh Gugum Gumbira adalah tari daun pulus keser
bojong dan tari Raden Bojong yang berpasangan putra- putri. Tarian tersebut sangat digemari dan
populer di seluruh Jawa Barat termasuk Kabupaten Bandung karya lain yang diciptakan oleh
Gugum diantaranya toka-toka, setra sari, sonteng, pencug, kuntul mangut, iring-iring daun
puring, rawayan, kaum anten dll. juga para penari yang populer diantaranya seperti Iceu Efendi,
Yumiati Mandiri, Mimin Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Diar, Asep Safat.
Daya tarik tarian tersebut bagi kaum muda selain gerak dari tari yang dinamis dan tabuhan
kendang membawa mereka untuk menggerakan tubuhnya untuk menari sehingga tari jaipongan
sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat yang oadasetiap tampil pada acara- acara khusus
dan besar samapai kenegaraan. Pengaruh tarian jaipongan merambah sampai Jawa Tengan dan
Timur, Bali bahkan Sumatra yang dikembangkan para seniman luar Jawa Barat.
Penari jaipongan terdiri dari Tunggal, rampak / kolosal
a. rampak sejenis
b. Rampak berpasangan
c. Tunggal laki-laki dan tunggal perempuan
d. Berpasangan laki- laki / perempuan
Karawitan jaipongan terdiri dari karawitan sederhana yang biasa digunakan pertunjukan
ketuk tilu yaitu
1. kendang
2. ketuk
3. rebab
4. goong
5. kecrek
6. sinden
Untuk karawitan lengkap memakai gamelan yang biasa dipakai pada karawitan wayang
golek seperti
1. kendang
2. sarin I, II
3. bonang
4. rincik
5. demung
6. rebab
7. kecrek
8. sinden
9. goong
10. juru alok
b. Tata busana tari jaipongan untuk kreasi baru biasanya berbeda dengan busana ketuk tilu
untuk yang kreasi biasanya lebih glamor dengan tetap memakai pola tradisional seperti
sinjang / celana panjang, kebaya / apok yang busananya lebih banyak ornamen sehingga
terlihat megah tetapi lebih bebas bergerak . Seiring dengan perkembangan jaman dan
tarian tersebut tari jaipongan banyak ditampilkan pada arena terbuka secara kolosal juga
tampil di Hotel berbintang dan penyambutan tamu-tamu asing dari berbagai belahan
dunia.
TARI KANCET LEDO / TARI GONG
Jika tari kancet pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria
dayak kenyah, sebaliknya kesenian tarian kancet ledo menggambarkan
kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk
lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan
memakai pakaian tradisionil suku dayak kenyah dan pada kedua tangannya
memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung enggang. Biasanya tari ini
ditarikan diatas sebuah gong, sehingga kancet ledo disebut juga tari gong.
JAIPONGAN
Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang
senimanasal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat
yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas
cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini
dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari
pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam
pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan
pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng
dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum
pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh
masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916.
Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-
unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah
kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak
tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang
sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran
(penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk
Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan,
yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta,
Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang
pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan
dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu,
eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di
Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam
Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola
tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi
dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan
selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan
Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu
perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan
pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih
sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi
maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan
sebutan Jaipongan.
BerkembangKarya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari
"Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya
merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian
itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh,
Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian
tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan
yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama
Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan
pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari
kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di
media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan
oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para
penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang
sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan,
dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-
kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam
sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang
usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha
pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di
beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan
gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat,
spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin
dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing
Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian
yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan
Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama
di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai
berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari
Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden
Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu
sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan
ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel.
Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan
penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an,
di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra
Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan
Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari
Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming
Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa
Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas
keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting
yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat,
maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan
misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari
Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain
yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang,
degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan
rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan
Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr.
Nur & Leni.
Tari Guel
Tari Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD. Guel berarti membunyikan.
Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para
peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan
gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama
dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkkungan
kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah
media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak
memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan
pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya.
Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek peneilitian sejumlah survesor dalam dan luar negeri.
Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah koodinasi
Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli Kesuma,
Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan survey yang
kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman, budayawan untuk menemukan
suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya
coba kemukakan, apalagi memang dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.
Mimpi Sengeda
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tanah Gayo. tari Guel berawal dari mimpi seorang
pemuda bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara
kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena pengkhianatan. Mimpi itu
menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat
mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut untuk dibawa dan
dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang putri Sultan sangat berhasrat
memiliki Gajah Putih tersebut.
Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke
XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh). Memenuhi hajatan
sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal dekat dengan Serule ikut dibawa
serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai Gading
sambil menikmati keagungan Istana Sultan.
Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk saudara
kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun
(Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak
disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja
Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih
dalam wujud asli.
Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada
dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah
kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih dan paduan tari Guel
berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri dengan meembakar
kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja
yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian
untuk memancing sang Gajah.
Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya. Ketika
berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari tempatnya.
Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang menjadi pawang
pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah.
Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus
dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan niat
tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah: indah dan santun.
Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu meluluhkan hati sang
Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan
rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak
hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan
Aceh Darussalam.
Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa
dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang cerita unik
Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali sejarah yang
menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja.
Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat upacara
perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah dengan bahasa
dan tari yang indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah tersebut, dalam tari Guel, Sengeda
kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau
Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih
diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak
diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.
Penari
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung
Kutelintang-Pengasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweran.
Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-
Kampung Kutelintang, Umer-Bebesan, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-
Pengasing, Item Majid-Bebesan. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah
meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan serius.
Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan
praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para
pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka,
apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesan.
Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak
III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah
(Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan.
Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita
berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil
sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru
Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan
Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan
karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai
tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan
ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya mempengaruhi antara
Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain
kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang
taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan
seperti tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan orang tuanya. idak ada yang menang dan
kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah
perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah
sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboar pada setiap pesta
perkawinan di daerah itu.
Tari GandrungSimbolisasi Budaya Masyarakat Sasak di Lombok
Tari Gandrung
1. Asal-usul
Tari Gandrung merupakan sebuah tarian yang kini berkembang di tiga daerah, yaitu Banyuwangi,
Bali, dan Lombok. Meskipun memiliki kemiripan, Tari Gandrung ketiga daerah ini memiliki ciri
khas tersendiri yang tidak dimiliki di daerah yang lain. Demikian pula dengan yang terjadi pada
Tari Gandrung yang ada di Lombok. Meskipun Lombok dan Bali memiliki kemiripan budaya,
tetapi Tari Gandrung di Lombok memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan Tari
Gandrung yang ada di Bali. Inilah ciri khas dari Lombok yang tidak dimiliki di Pulau Bali.
”Lombok sering digambarkan oleh orang luar sebagai versi kecil Bali. Tetapi penduduk Lombok
sendiri akan mengatakan bahwa, `Anda akan melihat Bali di Lombok, tetapi tidak akan melihat
Lombok di Bali`.” (Sepora Nawadi, 1995:14). Tulisan berikut ini secara khusus akan berbicara
tentang Tari Gandrung yang berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat beserta unsur simbolis
yang tersaji dalam sebuah pertunjukkan Tari Gandrung.
Gandrung dalam pemahaman masyarakat Lombok, khususnya masyarakat Sasak adalah nama
sebuah pertunjukan yang dilakukan seorang penari wanita yang diiringi seperangkat gamelan
(sabarungan dalam istilah suku Sasak), puisi, dan nyanyian (dalam bahasa suku Sasak disebut
lelakaq, sandaran) (R. Diyah Larasati, 1996:16). Pertunjukan Gandrung ini dilakukan dalam
perayaan desa setelah masa panen padi. Gandrung menunjukkan suka cita dan harapan bersama
masyarakat Sasak. Gandrung sekaligus juga merupakan ekspresi simbolis masyarakat Sasak di
Lombok (R. Diyah Larasati, 1996:16).
Ekspresi simbolis lewat Gandrung bagi masyarakat Sasak diwujudkan melalui dunia makna yang
secara signifikan berada dalam sistem ideasional yang juga terefleksikan dalam interaksi sosial.
Ditambah lagi adanya artefak yang melegitimasi keberadaan pertunjukan itu di tengah-tengah
para penikmatnya (R. Diyah Larasati, 1996:17). Menurut R. Diyah Larasati, sistem ideasional
yang dimaksud adalah konteks berfikir serta gagasan-gagasan para pelaku pertunjukan Gandrung.
Dalam perspektif ini, Gandrung dipakai sebagai media untuk melepaskan harapan dan suka cita.
Alam yang terefleksi melalui harapan akan melimpahnya panen padi, berusaha untuk dapat
dikuasai dengan sebuah keharmonisasian melalui ungkapan suka cita dalam seni pertunjukan ini.
Dalam pemikiran ini, alam dan manusia sebagai elemen kebudayaan mampu membentuk suatu
harmoni (R. Diyah Larasati, 1996:17).
Dilihat dari asal-usul, Tari Gandrung yang terdapat di Lombok kemungkinan bukan berasal dari
kebudayaan asli Lombok (masyarakat Sasak). Hal ini bisa dilihat dari adanya Tari Gandrung
yang juga terdapat di beberapa daerah lainnya, misalnya saja di Banyuwangi dan Bali. Beberapa
budayawan atau peneliti akhirnya mencoba menelusuri dan menafsirkan asal-usul Tari Gandrung
sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang cukup sakral bagi masyarakat Sasak di Lombok.
Seperti tertulis dalam Tari Gandrung Lombok (1993/1994), I Wayan Kartawirya menyatakan
bahwa Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi, kemudian menyebar lewat Bali dan akhirnya
sampai di Lombok. Alasannya didasarkan pada Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852
yang mengatur tentang Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam Staatsblad tersebut disebutkan
bahwa Pulau Lombok, termasuk ke dalam Keresidenan Bali dan Lombok dengan ibukota mula-
mula Banyuwangi, kemudian pindah ke Singaraja di Bali. Asal-usul Tari Gandrung di Lombok
juga terdapat dalam buku Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (1977:133). Di dalam
buku tersebut dituliskan bahwa Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi (Jawa Timur) kemudian
berkembang di Lombok melalui Bali, pada masa Bali dan Lombok Barat (Karangasem)
merupakan kesatuan daerah kultural. Dari pendapat ini jelas tergambar bahwa Tari Gandrung
mulai masuk dan berkembang di Lombok sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir
jatuh pada 1894. Pendapat berikutnya datang dari David Harnish dalam Thesisnya yang berjudul
Musical Traditions of the Lombok Balinese (1985:105). Disebutkan dalam tulisan beliau bahwa
bentuk Tari Gandrung di Lombok diperkirakan sebagai suatu adaptasi dari model Banyuwangi
yang berkembang lewat Bali. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya di Lombok, Tari
Gandrung ini menyerap pula bentuk-bentuk atau karakter lokal (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:14-15).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Tari Gandrung yang ada di Lombok
awalnya berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak kapan dan bagaimana sehingga Tari
Gandrung bisa masuk ke Lombok, secara spesifik belum diketahui secara pasti. Hanya saja
terdapat beberapa pendapat yang bisa dijadikan keterangan tentang kapan Tari Gandrung tersebut
masuk ke Lombok. Misalnya saja pendapat dari I Wayan Kartawirya yang mendasarkan
pendapatnya dari Indische Staatsbald, Nomor: 123 tahun 1852. Dari pendapat ini setidaknya
terdapat sedikit keterangan bahwa Tari Gandrung telah masuk ke Lombok setelah tahun 1852.
Ukuran waktu juga dapat dilihat dari pendapat yang tertulis dalam buku Monografi Daerah Nusa
Tenggara Barat Jilid I (1977). Pendapat yang mendasarkan tentang kesatuan kultural yang terjadi
antara Bali dan Lombok Barat (Karangasem), menyisakan sedikit keterangan bahwa peristiwa
kesatuan kultural tersebut terjadi sebelum Kerajaan Lombok (Karangasem) terakhir jatuh pada
1894. Agak berbeda dengan dua pendapat di atas, I Wayan Kartawirya berpendapat bahwa Tari
Gandrung mulai masuk ke Lombok seiring dengan diangkatnya I Gusti Putu Geria sebagai
Pepatih untuk mengepalai orang-orang suku Bali di Lombok sebagai pengganti kedudukan raja
Lombok (Raja Agung Ngurah) yang ditaklukan oleh Belanda pada 18 November 1894 (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:13). Pada waktu I Gusti Putu Geria ini memerintah, beliau sempat
mendatangkan rombongan kesenian dari Bali Utara (Singaraja) ke Mataram. Di antara
rombongan kesenian tersebut, salah satunya adalah Tari Gandrung. I Wayan Kartawirya tidak
menyebutkan secara pasti kapan peristiwa itu terjadi. Beliau hanya memperkirakan bahwa
kejadian itu berlangsung antara 1907-1910. Menurut beliau, sejak I Gusti Putu Geria
mengundang rombongan kesenian dari Bali Utara ini, maka mulai berdatanganlah berbagai jenis
tari lainnya dari Bali Utara ke Lombok (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:13-14). Dari ketiga
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemungkinan, Tari Gandrung mulai masuk ke
Lombok setelah tahun 1852 sampai 1910. Setelah tahun 1910 Tari Gandrung telah berkembang
di Lombok. Jadi kemungkinan terdapat interval 58 tahun proses masuknya Tari Gandrung ke
Lombok.
2. Penyebaran dan Perkembangan Tari Gandrung di Lombok
Penyebaran dan perkembangan Tari Gandrung dipengaruhi pula oleh akulturasi budaya,
khususnya antara kebudayaan Bali dan Lombok. Faktor yang memungkinkan terjadinya
akulturasi antara lain karena semakin terbukanya sistem kekerabatan masyarakat Sasak dalam
menerima anggota keluarga dari etnis lain dan semakin banyaknya terjadi mobilitas penduduk (R.
Diyah Larasati, 1996:15). Faktor ini bertambah dengan adanya hubungan yang erat antara
penduduk Lombok, khususnya masyarakat Sasak dengan penduduk di Bali, Nusa Tenggara
Timur, dan Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan. Dalam praktek keseharian, orang-orang yang
tinggal di Lombok Barat mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dengan orang-orang yang
bermukim di Bali, khususnya Bali bagian Timur. Kekeluargaan inilah yang kini dikenal dengan
istilah “sidikara” (Ahmad Amin et.al., 1977/1978:22). Melalui ikatan kekeluargaan yang erat
inilah, maka tidak jarang beberapa unsur kebudayaan turut serta terbawa, misalnya dalam bentuk
bahasa, kesenian, dan kerajinan.
Dari sini dapat dilihat bahwa metode penyebaran Tari Gandrung dimungkinkan terjadi karena
adanya ikatan kekeluargaan yang kuat antara masyarakat Sasak dan Bali. Ikatan kekeluargaan ini
yang kemudian memungkinkan terjadinya proses akulturasi. Jika dilihat dari asal-usul masuknya
Tari Gandrung ke Lombok, maka hanya pendapat dari I Wayan Kartawirya yang secara langsung
menunjukkan tentang siapa orang yang berjasa di balik terjadinya akulturasi sehingga membawa
kebudayaan Tari Gandrung ke Lombok. Dalam perspektif ini orang yang berjasa untuk
memperkenalkan Tari Gandrung ke Lombok adalah I Putu Geria sewaktu beliau menjabat
sebagai Pepatih di Mataram (Lombok). Bagai gayung bersambut, inisiatif dari I Putu Geria
mendapat dukungan dari seorang kaya raya di Cakranegara, Mataram, bernama I Gde Ketur (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:14).
I Gde Ketur merupakan seorang hartawan yang sangat menyukai Tari Gandrung. Kesenangan
beliau diwujudkan dengan mendukung perkembangan Tari Gandrung di Lombok dengan
menyediakan gamelan dan rumahnya sebagai tempat latihan bagi para penari Gandrung. I Gde
Ketur ini pula yang kemudian mengubah tradisi Tari Gandrung yang semula dimainkan oleh
penari pria, kemudian diubah menjadi dimainkan oleh penari wanita (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:16). Pada awalnya proses pengubahan ini mengalami sejumlah kendala. Salah satunya
adalah sulitnya mencari penari wanita yang berasal dari Bali. Kesulitan ini kemudian berhasil
diatasi dengan cara menggantikan penari Gandrung yang berasal dari Bali dengan menjadikan
seorang wanita dari suku Sasak bernama Tinggen untuk menjadi penari Gandrung wanita (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:16). Mulai dari sinilah terjadi perubahan ciri Tari Gandrung
dibandingkan dengan daerah asalnya, baik Banyuwangi maupun Bali. Perubahan tersebut
meliputi penari, yaitu pergantian antara penari pria yang digantikan dengan wanita. Kedua, penari
tidak lagi berasal dari Bali melainkan dari suku Sasak. Perubahan ini menimbulkan ciri khas
tersendiri dari Tari Gandrung Lombok yang mulai mendapat pengaruh dari masyarakat Sasak.
Di Lombok sendiri penyebaran Tari Gandrung tercatat di beberapa tempat, seperti di Suweta,
Bertais, Batuaya, Narmada, kemudian ke arah Lombok bagian Timur seperti Sukadana, Kilang,
Suradadi, Kutaraja, Lendang Nangka, Sukarara, sebagian Mantang, Rarang, dan sebagian Sakra
(Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:16-21). Seperti ditulis dalam buku Tari Gandrung Lombok
(1993/1994), lewat penyebaran ini kemudian timbul organisasi-organisasi dan berbagai tokoh
kebudayaan tari yang berusaha melestarikan eksistensi Tari Gandrung di Lombok. Organisasi-
organisasi dan para tokoh tersebut misalnya Organisasi “Panti Karya Tari” pada 1963 di Batuaya
yang dipimpin oleh I Dewa Kompyang dengan penari utama seorang wanita Bali bernama Ni
Tengah Tengkuk. Organisasi ini kemudian bersulih nama menjadi “Sad Guna Gita” pada 1971;
Amaq Banun seorang penari pria yang bernama asli Ratnadi yang aktif di Dasan Tereng,
Kecamatan Narada (meninggal pada 1957); Inaq Bilin, seorang penari wanita dari suku Sasak
yang merupakan keponakan dari Amaq Banun; Sahari, ketua dari Organisasi Gandrung “Sekar
Wangi” di Dasan Tereng, Kecamatan Narada; Organisasi “Dana Bakti” di Dasan Palung, Desa
Suwangi, Kecamatan Sakra, yang dipimpin oleh Amaq Sinalam dengan penari Gandrung wanita
bernama Inaq Semi, istri dari Amaq Sinalam; Dane Rahil, seorang tokoh Tari Gandrung yang
berasal dari Desa Lenek, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:16-22). Dari penyebaran Tari Gandrung ini pula akhirnya dikenal berbagai “aliran”
dalam Tari Gandrung, seperti Gandrung Bertais dari daerah Bertais; kemudian di Dasan Tereng
yang masih mempertahankan keaslian tradisi Tari Gandrung dengan bagian yang dinamakan
Tangis (semacam intro sebelum Bapangan, dibawakan sambil menari dan menyanyi), dan Rereng
Manis (merupakan bagian dari Bapangan yang dibawakan dengan cara duduk sambil menari dan
menyanyi (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:16-18). Bapangan adalah sebuah babak dalam Tari
Gandrung di mana penari memperkenalkan diri kepada para penonton
(http://64.203.71.11/kompas-cetak/).
Penyebaran dan perkembangan Tari Gandrung di Lombok kini dinilai telah mulai mengalami
pergeseran. Maraknya dunia hiburan di abad ke-20 menjadikan terjadinya pergeseran makna
yang mulai menepiskan esensi sebuah ritus (R. Diyah Larasati, 1996:21). Dari sinilah mulai
bermunculan kelompok-kelompok di luar dunia tradisi yang mengambil Tari Gandrung sebagai
indentitasnya. Kini Tari Gandrung tidak semata-mata dilakukan sebagai ucapan syukur maupun
harapan yang diwujudkan dengan beragam makna simbolisasi. Tari Gandrung telah mengalami
beberapa pergeseran bentuk, seperti tidak harus dimainkan setelah panen saja, tetapi dimainkan
pula dalam berbagai acara. Penari wanita sebagai sentral Tari Gandrung menjadi penarik kaum
Adam untuk maju ke gelanggang dan mengibing bersama. Acara kesakralan kini telah bergeser
menjadi sekadar hiburan. Di sinilah mulai tergambar pendapat Bakker, “Perkembangan
perikehidupan seni menunjukkan aspek lain lagi pada pergulatan antara tradisi dan inovasi”
(Bakker, J.W.M., 1979:23).
Inovasi terkadang memang meminggirkan tradisi. Berbagai tuntutan dan kepentingan yang harus
terpenuhi, tampaknya menjadikan sisi tradisi menempati urutan nomor dua. Hiburan, kebutuhan
dapur bagi para penari, dan dalih pelestarian kebudayaan, ternyata menjadikan Tari Gandrung
yang kini banyak ditampilkan di Lombok mulai keluar dari pakem yang telah digariskan. Inovasi
memang membawa konsekuensi, dalam hal ini terjadi pergeseran tradisi.
3. Peralatan dan Pemain
A. Peralatan
Peralatan dalam Tari Gandrung disebut dengan gamelan. Ragam gamelan yang dimainkan dalam
Tari Gandrung ternyata telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada saat sekarang Tari
Gandrung dimainkan dengan Gamelan Oncer. Sebelum dimainkan dengan Gamelan Oncer,
pertunjukan Tari Gandrung diiringi dengan Gamelan Tawaq-Tawaq (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:20). Harnis, David (1998:130-131) dalam Tari Gandrung Lombok (1993/1994),
membuat semacam periodisasi hasil penelitian tentang gamelan di Lombok, yaitu:
1. Periode I, awal tahun 1700
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah Gamelan Oncer, Gamelan Tawaq-tawaq,
Gamelan Barong Tengkong, Gamelan Grantang, dan ensambel Gamelan Wayang .
2. Periode II yang disebut dengan Periode atau Masa Pertengahan antara tahun 1700-1900
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah Gamelan Pereret, Gamelan Kamput,
Gamelan Rebana, dan Gamelan Klentang.
3. Periode III yang disebut Periode atau Masa Modern, yaitu sesudah tahun 1900
Gamelan yang termasuk ke dalam periode ini adalah Kecimol, Silokan, Gamelan Gong Sasak,
dan Burdah (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:20-21).
Dari kiri ke kanan: Barungan Gamelan Gandrung Desa Dasan Tereng, Barungan Gamelan
Gandrung Desa Lenek (memakai cungklik dan suling belo), dan Barungan Gamelan Gandrung
Desa Suwangi
Pada dasarnya dalam mengiringi Tari Gandrung, ensambel tradisional yang utama adalah
Gamelan Oncer. Akan tetapi pada perkembangannya terjadi perubahan ensambel pengiring Tari
Gandrung. Sebagaimana ditulis dalam buku Tari Gandrung Lombok (1993/1994),
“Peralatan/ensambel gamelan yang dipakai sekarang adalah pemugih, saron, kantil, calung,
jegogan, suling biasa, pereret, dan rincik. Sedang peralatan yang dipakai dulu adalah ensambel
gamelan yang terdiri dari, cungklik (dengan dilengkapi alat musik gesek yang disebut redep atau
rebab), gender/calung, gong, gendang, petuk, rincik, pereret, suling biasa, dan ketipuk” (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994: 21).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa perubahan gamelan pengiring dalam Tari Gandrung
tempo dulu dan sekarang terdapat pada penambahan saron, kantil, calung, dan jegogan.
B. Pemain
Pada awal dipentaskan, Tari Gandrung dimainkan oleh penari pria. Tetapi pada perkembangan
kemudian, Tari Gandrung dimainkan oleh penari wanita. Perubahan yang terjadi sehubungan
penggantian peran penari pria dengan penari wanita dalam Tari Gandrung di Lombok, tidak bisa
dipisahkan dari peran I Gde Ketur. Beliau merupakan pemerhati Tari Gandrung di Lombok yang
berperan besar dalam mengubah tradisi Tari Gandrung yang semula dimainkan oleh penari pria,
kemudian diubah menjadi dimainkan oleh penari wanita (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:16).
Menurut buku Tari Gandrung Lombok (1993/1994), peran penari wanita sebagai pengganti
penari pria di Banyuwangi telah dikenal pada 1895. Di Lombok sendiri, penggantian peran penari
pria dengan wanita bisa dilihat ketika I Gde Ketur mulai mengubah tradisi tersebut. Minimal ada
dua pendapat tentang perubahan peran penari ini. Pertama, perubahan ini terjadi kira-kira pada
1935. Alasan pengambilan tahun 1935 berdasarkan penuturan seorang masyarakat dari Suku
Sasak bernama Mamiq Rumita. Beliau menyatakan bahwa ketika beliau berumur 10 tahun, Tari
Gandrung di Lombok sudah ditarikan oleh wanita. Mamiq Rumita merupakan seseorang dari
suku Sasak yang lahir pada 1925. Ketika beliau berumur 10 tahun, beliau telah melihat bahwa
Tari Gandrung telah ditarikan oleh penari wanita. Dari penuturan ini, dapat diartikan bahwa
kisaran waktu penggantian penari pria ke wanita dalam Tari Gandrung diperkirakan terjadi pada
1935. Kedua, dilihat dari mulai tampilnya Inaq Bilin sejak 1920 atau 1922. Inaq Bilin merupakan
penari Gandrung wanita yang merupakan keponakan dari Amaq Banun, seorang penari Gandrung
pria. Dilihat dari angka tahun ini, kemungkinan perubahan penari pria ke penari wanita terjadi
antara 1920-1935. Sehingga di Lombok sendiri membutuhkan waktu sekitar 25-40 tahun untuk
membuat sebuah perubahan dari penari Gandrung pria ke penari wanita (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:17 dan 22-23).
C. Pertunjukan Tari Gandrung
Pertunjukan Tari gandrung dilakukan oleh satu atau dua orang wanita. Biasanya digelar pada
malam hari yang bertepatan dengan pasca panen padi (R. Diyah Larasati, 1996:16). Dalam setiap
pertunjukan, para penari Gandrung memakai busana atau pakaian khas penari. Busana penari
Gandrung terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
1. Gelung/Gegelung, yaitu hiasan penutup kepala yang seluruh permukaan luar bagian
belakang dihiasi dengan bunga Kamboja yang diikatkan/disangkutkan pada permukaan
gelung.
2. Gempolan, hiasan di atas telinga yang terbuat dari rangkaian bunga Kamboja.
3. Bapang, yaitu hiasan yang melingkar di sekitar leher, yang menutupi pundak, dada bagian
atas dan punggung bagian atas
4. Stagen dan Seret, Stagen merupakan kain yang melilit dipinggang yang berfungsi sebagai
sabuk (ikat pinggang). Sedang Seret adalah tali kecil yang terbuat dari kain yang dililitkan
di Stagen putih.
5. Elaq-elaq, yaitu lidah-lidah yang tergantung pada Bapang sampai ke perut, terbuat dari
kain.
6. Gonjer/Gegonjer, yaitu sejenis selendang warni-warni sebagai hiasan pinggang.
7. Ampok-ampok depan, yaitu hiasan pinggul bagian depan
8. Ampok-ampok belakang, yaitu hiasan pinggul bagian belakang.
9. Kain panjang
10. Properti yang dibawa seorang penari Gandrung adalah kipas (Sri Yaningsih et.al.,
1993/1994:48-49).
Busana penari Gandrung
1. Keterangan:
2. Gegelung
3. Gempolan
4. Bapang
5. Stagen dan Seret
6. Elaq-elaq
7. Gonjer/Gegonjer
Seperti ditulis dalam Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan (1996), R. Diyah Larasati dalam artikel
berjudul “Gandrung di Lombok Barat: Ekspresi Simbolis Komunitas Sasak”, menjelaskan bahwa
sebelum digelar pertunjukan Tari Gandrung, terlebih dahulu diadakan prosesi andang-andang,
yaitu berupa sesaji yang terdiri dari beras, uang logam (244 keping), benang satu ikat, sirih
pinang, serta sebutir kepala. Sesaji ini digunakan sebagai awalan sebelum pertunjukan Tari
Gandrung. Prosesi ini disebut dengan pemeras pati. Upacara pemeras pati ditujukan untuk
menghilangkan gangguan selama pertunjukan. Pemeras pati dilakukan dengan urutan sebagai
berikut :
1. Seorang pemimpin pertunjukan bersama para pemain instrumen, tetua desa, pemilik
tempat (halaman rumah-rumah Sasak) membakar kemenyan.
2. Asap kemenyan didekatkan dengan beras dan peralatan lain (mengasapi).
3. Mengusap mata gong dengan benang sebanyak tiga kali.
4. Memukul gong tiga kali dengan selang pukul selama satu kali bernafas.
5. Menebarkan beras bersama uang logam ke seluruh peralatan.
6. Memukul instrumen dengan bebas bersamaan dengan jatuhnya uang dan beras (lindur)
(R. Diyah Larasati, 1996:20-21).
Setelah prosesi pemeras pati selesai dilakukan, maka pertunjukan Tari Gandrung siap untuk
dimulai. Pertama kali dimainkan Gending Kabor, kemudian disusul dengan Gending Bapangan
(Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:31). Seperi dikutip dalam artikel Khaerul Anwar yang berjudul
“Semangat Seni Tradisi Bangkit di Lombok”, Tari Gandrung terdiri dari tiga babak, yaitu babak
Bapangan (memperkenalkan diri), kemudian menari sambil menyanyi (besandaran atau bedede).
Selajutnya adalah babak Gandrungan, yaitu mengibas-ngibas kipas dan menari mengitari arena.
Pada saat tertentu, penari menyentuhkan kipas (tepekan)pada penonton yang serta-merta maju ke
arena untuk menari (mengibing) atau disebut babak Parianom. Penonton diberikan waktu untuk
mengibing sekitar 10 menit, dan sebelum meninggalkan arena ia harus menyerahkan uang
(http://melayuonline.com/).
Pengibingan
Lalu Ma`as dalam makalahnya berjudul “Ngibing Bersama Gandrung dan Jangger (1977:12)
menyatakan bahwa uang yang ditinggalkan para pengibing sebelum meninggalkan arena tidak
dimaknai sebagai upah bagi para wanita penari Gandrung. Uang tersebut biasa disebut dengan
salaran. Esensi salaran dalam pertunjukan Gandrung di Lombok adalah ucapan terimakasih
bahwa sang pengibing diberikan kesempatan untuk turut bersuka cita dengan menari bersama
sang Gandrung. Kesempatan ini bagi masyarakat Sasak dinilai sebagai sebuah penghargaan (Sri
Yaningsih et.al., 1993/1994:33).
Masih dalam makalah Lalu Ma`as yang berjudul “Ngibing Bersama Gandrung dan Jangger
(1977:13), disebutkan pula aturan yang harus dipatuhi bagi para pengibing ketika menari bersama
sang Gandrung (penari wanita). Pengibing harus bertindak sopan dan mematuhi norma kesusilaan
yang berlaku di dalam masyarakat Sasak. Pengibing yang mencoba berbuat tidak senonoh atau
asusila terhadap penari Gandrung, maka akan mendapatkan hukuman yang dilaksanakan sendiri
oleh sang penari Gandrung. Jalannya hukuman tersebut adalah:
“Untuk sang Gandrung dilengkapi dengan alat penghukum khusus, yaitu rambun/tangkai
sesumping yang terbuat dari bambu yang tajam/runcing, mencuat ke arah belakang kepala atas
dari pangkal telinga di kiri dan kanan gelung. Kalau ada pengibing yang bertindak asusila, maka
dengan sekali memutar badan disertai dengan lenggokan kepala saja sudah cukup membuat muka
pengibing luka-luka, yang dengan sendirinya memaksanya untuk mundur teratur, membawa luka
serta malu yang sangat” (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:33).
Denah tempat menari
Keterangan:
1. Petak tempat peralatan (gamelan)
2. dan 3. Petak tempat penari Gandrung
3. Petak tempat pengibing
L. Lampu
Pengibing tidak boleh melewati garis batas GLH. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan
dihukum:
1. Berupa teguran
2. Peringatan keras
3. Pengusiran dari tempat arena/pertunjukan (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:32).
Secara spesifik, dijelaskan dalam buku Tari Gandrung Lombok (1993/1994), bahwa dari ketiga
babak di atas (Bapangan, Gandrungan, dan Parianom), terdapat juga detail lain dalam sebuah
pertunjukan Tari Gandung. Adegan pertama adalah Tangis, kemudian disusul dengan adegan
Bapangan. Dalam adegan Bapangan ini terdapat beberapa gerakan seperti: Gerah, Gabor Seriak,
Nyatang, Bedeser, Ngindang, Jelek Gendang, Nyede Duduk, Surut Udang, Ngembat, Tindak
Baring kiri Ngeluhluh kiri-kanan, Betetenggaq, Belemesan, dan Ngecok. Adegan ketiga adalah
Rereng Manis, kemudian adegan keempat adalah Penepekan. Dalam adegan Penepekan ini
terdapat sebuah gerak yang disebut Keleangnginte. Terakhir adalah adegan Pengibingan dengan
gerakan antara lain: Narung (Sri Yaningsih et.al., 1993/1994:83-92).
Nyede
4. Nilai Budaya
Tari Gandrung bagi masyarakat Sasak memuat berbagai makna, seperti ungkapan syukur, suka
cita, harapan, sampai dengan kesakralan yang tercermin lewat berbagai sesaji sebelum
pertunjukan Tari Gandrung ditampilkan. Lewat Tari Gandrung inilah, simbolisasi tentang
harmonisasi antara alam dan manusia dicoba utuk digambarkan oleh para penarinya. Ajaran
untuk memanusiakan alam memang akrab bagi masyarakat Sasak di Lombok. Ajaran untuk
memanusiakan alam inilah yang mengiringi kehidupan sehingga membentuk kebudayaan Sasak.
Mengutip pendapat Bakker, “Kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik manusia,
sebagai ruang lingkup realisasi diri. Dalam kebudayaan manusia memanusiakan alam, termasuk
dirinya sendiri” (Bakker, J.W.M., 1979:4).
Simbolisasi yang sangat erat dalam Tari Gandrung dapat dipahami pula sebagai sebuah nilai
kebudayaan. Karena dengan melestarikan nilai simbolis ini, berarti pula telah melestarikan tradisi
yang merupakan bagian penting dari sebuah kebudayaan. Beragam nilai simbolis yang berada
dalam Tari Gandrung antara lain: penari utama dan pengibing. Sebagai sebuah dunia simbolis
tentang kesuburan (dimainkan pasca panen padi), pelaku utama dalam Tari Gandrung adalah
wanita yang sekaligus merupakan jalinan penyusun makna yang secara inderawi hanya bisa
tertangkap visualnya, tetapi dari sisi ini pelaku yang dalam hal ini penari Gandrung adalah makna
itu sendiri yang disimbolkan dengan penari (R. Diyah Larasati, 1996:17). Wanita dalam hal ini
lebih dimaknai sebagai media pengucapan syukur atas panen padi kepada dewi kesuburan.
Wanita dalam konteks ini pula berperan sebagai tokoh sentral dalam sebuah tarian yang
memegang peran penting dan sangat dihormati. Kehormatan untuk bisa mengibing dengan penari
Gandrung merupakan penghargaan bagi masyarakat Sasak. Demikian pula dengan beberapa
aturan yang harus dipatuhi dalam prosesi mengibing. Hal ini secara tersirat menggambarkan
bahwa di lingkungan masyarakat Sasak, sosok wanita mendapat kedudukan yang tidak rendah.
Kaum wanita dihormati karena memiliki nilai tersendiri yang tidak dimiliki oleh kaum pria.
Makna simbolis lainnya tergambar dalam penepekan, yaitu gerak menyentuhkan kipas antara
penari Gandrung kepada salah satu penonton (R. Diyah Larasati, 1996:20). Makna simbolis yang
tersirat dalam bagian ini adalah penyatuan gerak dua dunia, yaitu penari dan penonton dalam satu
adegan dan arena yang dikenal dengan adegan pengibingan (R. Diyah Larasati, 1996:20). Dari
adegan pengibingan ini pula terkandung makna susila yang diwujudkan dengan rambun/tangkai
sesumping yang terbuat dari bambu yang tajam/runcing. Fungsi dari rambun ini sebagai
pengendali apabila pengibing melakukan tindakan asusila. Di sini tergambar adanya norma
kebebasan tetapi tetap menjaga kewaspadaan dan saling menghormati antara pelaku pertunjukan.
Hal ini merupakan refleksi sistem sosial (kebudayaan) yang melingkupi komunitas Sasak (R.
Diyah Larasati, 1996:20).
Selain makna simbolis di atas, dalam tradisi masyarakat Sasak, seorang penari Gandrung
merupakan seorang perempuan yang masih gadis atau remaja. Seperti ditulis dalam artikel R.
Diyah Larasati, “Gandrung di Lombok Barat: Ekspresi Simbolis Komunitas Sasak”, penari yang
dipilih biasanya masih memiliki hubungan darah dengan penari sebelumnya. Para penari ini terus
bergantian melakukan proses transmisi (pewarisan) kepada para gadis yang lebih muda. Biasanya
pergantian ini terjadi karena seorang penari menikah atau pergi ke luar desa. Apabila sampai pada
suatu saat tidak ada seorang gadispun yang bisa menggantikan kedudukan penari sebelumnya,
maka penari tersebut akan memilih melajang (tidak kawin) dan memenuhi tugas simbolis
masyarakat pendukungnya (R. Diyah Larasati, 1996 :22-23). Di sinilah pengorbanan menjadi
sebuah konsekuensi bagi para wanita penari Gandrung. Pengorban yang harus dilakukan demi
melestarikan nilai-nilai simbolisasi budaya yang terdapat pada masyarakat Sasak di Lombok.