jadi
DESCRIPTION
cedera kepala sekunderTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Statistik negara-negara maju menunjukan bahwa cedera kepala mencakup
26% dari jumlah segala macam kecelakaan. Cedera kepala pada laki-laki muda
usia 15-24 tahun paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera
kepala menempati urutan ketiga penyebab seseorang kehilangan pekerjaan setelah
keganasan dan penyakit jantung koroner.1 Akibat cedera kepala dan berbagai
macam kemungkinan, pasien bisa pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak
menunjukan kelainan apapun, pingsan beberapa jam kemudian menunjukan
gejala-gejala “organic brain syndrome” untuk sementara waktu, atau pingsan
lama lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik, bahkan meninggal
langsung pada saat mendapat cedera kepala atau beberapa saat kecelakan tanpa
mendapatkan pertolongan.2
Berdasarkan prosesnya, cedera kepala dibagi menjadi dua yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer terjadi pada saat
benturan. Efek klinis yang terjadi segera setelah trauma. Sementara itu, cedera
kepala sekunder, yaitu cedera yang berlanjut setelah benturan primer, harus
dicegah dan ditangani dengan baik. Cedera kepala sekunder merupakan reaksi
autodestruktif akibat stimulasi senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh cedera
kepala primer seperti radikal bebas, asam amino eksitatoris (Excitatory Amino
Acids-EAA), produk degradasi lipid, kation-kation, molekul reaksi inflamasi, dan
1
2
reaksi immunologis. Senyawa-senyawa ini dapat memicu proses kematian sel
melalui beragam jalur alternatif. Dengan kata lain bahwa cidera kepala primer
yang tidak ditangani dengan baik akan berlanjut menjadi cedera kepala sekunder.
Derajat keparahan cedera kepala sekunder dipengaruhi oleh usia penderita, berat
ringannya cedera, lokasi cedera dan jenis sel yang terlibat. 1
Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis,
seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa
saat setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer). Cedera otak sekunder
sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah. Setengah angka
kematian pada cedera otak traumatik terjadi pada 2 jam pertama setelah trauma.
Beberapa data juga menunjukkan bahwa kerusakan neurologis tidak terjadi saat
trauma (cedera primer), tetapi terjadi dalam beberapa menit, jam, dan hari. Hal ini
menunjukkan bahwa akibat sekunder dari cedera menyebabkan peningkatan
angka mortalitas dan kecacatan. Oleh karena itu, penanganan awal yang tepat
merupakan hal yang sangat penting pada cedera otak traumatik untuk mencegah
cedera sekunder, sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan kecacatan.3
3
BAB II
ANATOMI KEPALA
2.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan yang disebut Scalp yaitu kulit (skin),
jaringan penyambung (connective tissue), aponeurosis (galea aponeurotika),
jaringan penujang longgar (loss conective tissue) dari perikranium.4
Gambar 2.1 Anatomi Scalp
2.2 Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang
yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.
Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
3
4
rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi
lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum.4
Gambar 2.2 Anatomi Tengkorak
2.3 Meningens
Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3
lapisan yaitu:
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
5
ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan
dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus
ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.4
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang
menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan
5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea
terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural.
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri Meningea Media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.4
b. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,
6
disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.4
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.4
2.4 Otak
Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain
yaitu:
a. Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri
kanan dan kiri. Setiap hemispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus
frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki
fungsi yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan
gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian,
kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa
secara umum.
7
Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak
menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar dan kejam.4
2) Lobus parietalis
Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan
seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Sejumlah kecil kemampuan matematika
dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya
kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia
dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya
atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal
dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan
pekerjaan sehari-hari lainnya.4
3) Lobus temporalis
8
Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus
temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya
sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan
gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan
jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan
terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan,
akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.4
4) Lobus Oksipital
Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi
terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. Fungsinya untuk visual center.
Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri
yaitu penglihatan.
b. Cereblum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi
9
dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.4
c. Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah
midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah
dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara
medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula
oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat
otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,
pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.4
4. Saraf-Saraf Otak
Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.4
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.4
10
c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan
otot iris.4
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.4
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.4
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,
batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.4
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot
pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah
temporal dan dagu.4
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.4
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
11
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-
serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya
sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.4
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.4
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.4
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum
minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf
perasa.4
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.4
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.4
12
Gambar 2.3 Anatomi Otak
2.5 Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.4
BAB III
13
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Cidera Kepala Sekunder
3.1.1 Definisi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).5
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.5
13
14
3.1.2 Patofisiologi
Tahap pertama cedera serebral pasca trauma ditandai dengan kerusakan
jaringan langsung, terganggunya regulasi aliran darah serebral (cerebral blood
flow/ CBF), dan terganggunya metabolisme. Hal tersebut memicu terjadinya
akumulasi asam laktat akibat glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas
membran, dan terbentuknya edema. Saat metabolisme anaerob tidak mampu
memenuhi kebutuhan energi seluler, terjadilah penurunan simpanan Adenosin
Triphosphate (ATP) dan kegagalan pompa ion.3
Autoregulasi serebral dan reaktivitas-CO2 merupakan mekanisme penting
menjaga aliran CBF tetap konstan dengan cara menjaga tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressure/ CPP) dan tekanan intrakranial (TIK). Gangguan
pada mekanisme regulasi tersebut meningkatkan resiko cedera otak sekunder.3
Setelah terjadinya cedera otak traumatik, autoregulasi CBF (respon konstriksi
dan dilatasi cerebrovaskuler untuk meningkatkan atau menurunkan CPP) pada
sebagian besar pasien, terganggu atau hilang. Gangguan autoregulasi CBF dapat
muncul segera setelah trauma atau beberapa saat setelah trauma, bersifat
sementara atau menetap, dan menyebabkan kerusakan ringan, sedang, atau berat.
Autoregulasi vasokonstriksi cenderung lebih resisten terhadap kerusakan
dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi. Hal ini menunjukkan bahwa CPP
yang rendah lebih rentan menyebabkan kerusakan otak dibandingkan dengan CPP
tinggi.3
Jika dibandingkan dengan autoregulasi CBF, reaktivitas CO2 serebrovaskuler
(konstriksi atau dilatasi serebrovaskuler sebagai respon terhadap hipokapni dan
15
hiperkapni) memiliki pengaruh lebih kuat. Pada pasien dengan cedera otak berat
dan prognosis buruk, gangguan reaktivitas serebrovaskuler terjadi pada tahap awal
setelah terjadi trauma. Sebaliknya, reaktivitas CO2 masih intak atau bahkan
meningkat pada sebagian besar pasien. Hal ini merupakan prinsip fisiologis yang
digunakan sebagai target dalam manajemen TIK pada keadaan hiperemis.3
Serebral vasospasme pasca trauma menentukan prognosis pasien. Vasospasme
terjadi pada lebih dari satu per tiga pasien cedera otak traumatik dan
mengindikasikan kerusakan otak berat. Onsetnya bervariasi dari hari ke-2 hingga
hari ke-15 post trauma. Hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami
vasospasme. Vasospasme terjadi karena depolarisasi kronis otot polos vaskuler
yang disebabkan oleh penurunan aktivitas kanal potasium, pelepasan endotelin
bersama dengan penurunan nitrit oksida, penurunan siklik Guanosin
Monophosphate (GMP) otot polos vaskular, potensiasi prostaglandin memicu
vasokonstriksi, dan pembentukan radikal bebas.3
Metabolisme serebral dan energi serebral menurun setelah cedera otak.
Derajat kegagalan metabolik berhubungan dengan keparahan cedera primer dan
prognosisnya buruk pada pasien dengan angka metabolik yang rendah
dibandingkan pada pasien dengan penurunan angka metabolik minimal atau tanpa
disfungsi metabolik. Penurunan serebral metabolik pasca trauma berhubungan
dengan cedera primer yang memicu disfungsi mitokondria dengan penurunan
kecepatan respirasi dan produksi ATP, penurunan availibilitas ko-enzim, dan
berlebihnya Ca2+ di intra mitokondria. Penurunan kebutuhan metabolisme serebral
tidak berhubungan dengan penurunan CBF.3
16
Cedera otak ditandai dengan ketidakseimbangan hantaran dan konsumsi
oksigen serebral. Meskipun ketidakseimbangan ini ditandai dengan gangguan
pada hemodinamik dan vaskuler, hasil akhirnya adalah hipoksia jaringan otak.
Pengukuran tekanan oksigen jaringan otak pada pasien cedera otak teridentifikasi
pada ambang batas kritis di bawah 15-10 mmHg pada kondisi terjadinya infark
jaringan neuronal. Akibatnya, insiden, durasi, dan perluasan jaringan hipoksia
berhubungan dengan prognosis yang buruk.3
Cedera otak primer dan sekunder berhubungan dengan pelepasan berlebih
neurotransmiter asam amino eksitasi, khususnya glutamat. Kelebihan glutamat
ekstraseluler mempengaruhi neuron dan astrosit. Hal ini menyebabkan stimulasi
berlebih ionotropik dan reseptor metabotropik glutamat dengan aliran Ca2+, Na+,
dan K+. Meskipun proses tersebut memicu proses katabolik melalui perusakan
sawar darah otak, kompensasi selular terhadap gradien ion adalah peningkatan
aktivitas Na+/K+ ATPase dan mengubah kebutuhan metabolik.3
Stres oksidatif berhubungan dengan jenis oksigen reaktif (oksigen radikal
bebas, superoksida, hidrogen peroksida, nitrit oksida, dan peroksinitrit) sebagai
respon terhadap cedera otak. Kelebihan produksi jenis oksigen reaktif karena
eksitotoksisitas dan kelelahan sistem endogen antioksidan menginduksi
peroksidase selular dan struktur vaskuler, oksidasi protein, pembelahan DNA, dan
inhibisi rantai transport elektron mitokondria. Meskipun mekanisme ini cukup
menyebabkan kematian sel mendadak, proses inflamasi dan apoptosis diinduksi
oleh stres oksidatif. 3
17
Pembentukan edema sering terjadi pada cedera otak. Klasifikasi edema otak
berhubungan dengan kerusakan struktural atau ketidakseimbangan air dan
osmotik yang diinduksi oleh cedera primer atau sekunder. Edema otak vasogenik
disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestif, atau perusakan fungsional
lapisan sel endotel pembuluh darah otak. Disintegrasi dinding endotel serebral
vaskuler memungkinkan transfer ion dan protein yang tidak terkontrol dari
intravaskuler ke ekstravaskuler (interstisial) kompartmen otak dan menyebabkan
akumulasi air. Secara anatomis, proses patologi ini meningkatkan volume ruang
ekstravaskuler. Edema otak sitotoksik ditandai dengan akumulasi cairan di
intraseluler sel-sel neuron, astrosit, dan mikroglia terlepas dari integritas dinding
endotel vaskuler.3
Proses patologi ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran sel
terhadap ion, kegagalan pompa ionik karena kekurangan energi, dan reabsorpsi
selular terhadap zat terlarut aktif osmotik. Meskipun edema sitotoksik terlihat
lebih sering dibandingkan dengan edema vasogenik setelah cedera otak, keduanya
berhubungan dengan peningkatan TIK dan proses iskemik sekunder. Cedera
kepala menginduksi susunan kompleks respon inflamasi jaringan, mirip dengan
cedera iskemik karena reperfusi. Cedera primer dan sekunder memicu pelepasan
mediator seluler, meliputi sitokin proinflamasi, prostaglandin, radikal bebas, dan
komplemen. Proses ini menginduksi chemokine dan molekul adhesi serta
mengaktifkan pergerakan imun dan sel glial. Polimorfonuklear leukosit yang
teraktivasi berikatan pada defek dan pada lapisan sel endotel yang masih intak.
Hal ini dimediasi melalui adhesi molekul. Sel-sel tersebut menginfiltrasi jaringan
18
cedera bersama dengan makrofag dan sel T limfosit. Infiltrasi jaringan oleh
limfosit terjadi melalui upregulasi adhesi molekul seluler, seperti P-selektin,
intercellular adhesion molecules (ICAM-1), dan vascular adhesion molecules
(VAM-1). Respon terhadap proses inflamasi, cedera dan jaringan sekitarnya akan
dieliminasi dalam hitungan jam, hari, dan minggu.3
Astrosit menghasilkan mikrofilamen dan neutropin untuk mensintesis jaringan
parut. Enzim proinflamasi, seperti tumor nekrosis faktor, interleukin-1-β, dan
interleukin-6 mengalami upregulasi dalam hitungan jam setelah cedera. Progresi
kerusakan jaringan berhubungan dengan pelepasan langsung mediator neurotoksik
atau pelepasan tidak langsung nitrit oksida dan sitokin. Pelepasan vasokonstriktor
tambahan (prostaglandin dan leukotrin), adhesi leukosit dan platelet, lesi sawar
darah otak, dan pembentukan edema, menurunkan perfusi jaringan dan
memperburuk kerusakan otak sekunder.3
Dua tipe kematian sel yang mungkin terjadi setelah cedera otak adalah
nekrosis dan apoptosis. Nekrosis terjadi sebagai respon terhadap keparahan
mekanik atau iskemik atau kerusakan jaringan hipoksik dengan kelebihan
pelepasan neurotransmiter asam amino dan kegagalan metabolik. Akibatnya,
fosfolipase, protease, dan lipid peroksidase menyebabkan autolisis membran.
Hasilnya, sel detritus dikenali sebagai antigen dan akan hilang dengan proses
inflamasi serta meninggalkan jaringan scar. Sebaliknya, neuron mengalami
apoptosis secara morfologis. Neuron tetap intak selama periode pasca traumatik
segera, dengan produksi ATP yang cukup. Apoptosis terjadi dalam hitungan jam
hingga hari setelah cedera primer. Selanjutnya terjadi penghancuran disintegrasi
19
membran secara progresif melalui lisisnya membran nuklear, kondensasi
kromatin, dan fragmentasi DNA.3
3.1.3 Gambaran Klinik
Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi
serebral dan terganggunya persediaan energi serebral. Manifestasinya antara lain
peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan
hiperkarbi, serta terganggunya autoregulasi serebral.3
Tengkorak merupakan ruangan tertutup, sehingga jika terjadi peningkatan
volume intrakranial, tekanan di dalamnya akan meningkat dan cenderung
menyebabkan penurunan perfusi serebral. Penyebab utama peningkatan TIK pada
cedera kepala adalah edema otak dan pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi
karena cairan berpindah ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang
rusak. Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural, subdural,
ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak atau di dalam sistem
ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan pendarahan intraventrikel menyebabkan
gangguan pada sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat
menyebabkan hidrosefalus.3
Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio fokal dengan infark yang
menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak.
Manifestasi klinis yang muncul tergantung dari lokasi iskemik.3
Hipoksia serebral dan hiperkarbi berhubungan dengan gangguan pada
pertukaran gas di paru-paru atau gangguan ventilasi. Hal ini merupakan faktor
tambahan yang penting pada pasien dengan infeksi dada, edema paru,
20
pneumotorak, dan pada flail chest atau fraktur iga multipel. Efek hipoksia dan
atau hiperkarbi dapat diperburuk oleh hipotensi sistemik yang menyebabkan
gangguan aliran darah serebral.3
Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk kebutuhan
metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pembuluh darah serebral.
Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan regulasi pasokan darah,
dan aliran darah serebral menjadi lebih pasif terhadap perubahan tekanan darah
sistemik.3
3.1.4 Epidermiologi
Cedera otak traumatik masih merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di dunia pada individu dengan umur dibawah 45 tahun. Di Amerika
Serikat selama tahun 1997 hingga 2007, jumlah kunjungan ke emergency
departement dan didiagnosis dengan cedera otak traumatik tiap tahunnya rata-rata
1.365.000 orang, 275.000 diantaranya memerlukan perawatan inap di rumah sakit,
dan angka kematian rata-rata karena cedera otak traumatik mencapai angka
52.000 orang (18,4 tiap 100.000 populasi). Menurut Ontario Brain Injury
Assosiation, pevalensi cedera otak setiap tahunnya di Ontario diperkirakan 18.000
dengan 4.000 kejadian pada populasi pediatri (0-14 tahun).2 Di kawasan eropa,
insiden cedera otak traumatik sebesar 235 kasus tiap 100.000 penduduk per
tahun.3
Angka kematian pada laki-laki tercatat tiga kali lebih tinggi (28,8 tiap 100.000
penduduk) dibandingkan angka kematian pada perempuan (9,1 tiap 100.000
penduduk). Tingginya insiden pada laki-laki disebabkan karena laki-laki dominan
21
melakukan aktivitas beresiko tinggi, resiko kerja, dan cedera yang berhubungan
dengan kekerasan, jika dibandingkan dengan perempuan. Perkiraan insiden cedera
otak meningkat dua kali lipat pada umur 5 hingga 14 tahun. Puncak insiden pada
laki-laki dan perempuan dewasa dan dewasa muda mencapai 250 kasus tiap
100.000 populasi, 20% diantaranya mengalami cedera otak sedang hingga berat.3
3.1.5 Etiologi
Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi berturut-
turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral. Klasifikasi etiologi
cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan intrakranial.
Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi, hipertermia,
hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi perdarahan
ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu
cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi.
Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik,
edema sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak
sekunder antara lain meningitis dan abses otak.3
Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak
sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik. Faktor
lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya cedera otak sekunder adalah
hiperglikemi, hiperkapni, dan hipokapni.
Masalah ekstrakranial menghasilkan kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia
ataupun oligemia/iskemia. Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam
ketersediaan energi tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini
22
menyebabkan kegagalan pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel
menjadi bengkak (edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia
primer dan iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary
zones). Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas
yaitu neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih
fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang persisten
(persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih masih
adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek kortek.3
Cedera otak sekunder dapat terjadi karena hipoksemia sistemik. Hipoksemia
terjadi pada 22,4% pasien cedera otak traumatik parah dan secara signifikan
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Jones et al pada
inhospital study terhadap 124 pasien dengan cedera otak dengan tingkat
keparahan yang berfariasi, menunjukkan subgrup analisis terhadap 71 pasien
dengan data yang dikumpulkan untuk delapan tipe efek sekunder yang berbeda
(termasuk hipoksemia dan hipotensi). Durasi hipoksemi (ditandai dengan SaO2 ≤
90%; median durasi berkisar dari 11,5 hingga 20 menit) dinyatakan sebagai
prediktor mortalitas (p=0,024) tetapi tidak terhadap morbiditas.3
Sebagian besar studi observasional terhadap cedera otak traumatik
menunjukkan hubungan antara hipoksia awal (SpO2 <90% atau <7,9 kPa
(60mmHg)) dengan perburukan prognosis. Tetapi hubungan ini tidak sekuat
hubungan hipotensi dan tidak terlalu penting pada anak-anak. Hipoksia
merupakan tanda keparahan cedera otak atau cedera sistemik. Ini juga merupakan
23
tanda pengganti untuk menandai hiperkapni, yang terjadi jika tekanan perfusi otak
rendah.3
Beberapa studi observasional menunjukan hubungan antara hipotensi yang
terjadi setelah cedera primer dengan buruknya prognosis. Pada studi yang
dilakukan oleh Traumatic Coma Data Bank (TCDB), hipotensi (tekanan sistolik <
90mmHg) termasuk dalam lima hal yang paling mempengaruhi prognosis.
Prediktor lainnya yang juga sangat berperan adalah usia, skor Glasgow Coma
Scale (GCS), skor motorik GCS, diagnosis intrakranial, dan status pupil. Satu kali
episode hipotensi berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan dua kali
peningkatan mortalitas jika dibandingkan dengan pasien tanpa hipotensi.3
Sebuah studi prospektif yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa
hipotensi yang terjadi awal (saat resusitasi) dan hipotensi yang terjadi saat
perawatan definitif merupakan kejadian yang terpisah dan berhubungan dengan
peningkatan mortalitas. Hiponatremia setelah cedera kepala sering disebabkan
karena sekresi Antidiuretik hormon (ADH) berlebih sehingga terjadi hipovolemia
akibat restriksi cairan karena perdarahan atau cedera lain. Sekresi ADH berlebih
sesuai untuk kondisi hipovolemia tetapi tidak sesuai untuk kondisi hiponatremia.
Restriksi cairan dapat memperburuk kondisi dengan terus meningkatkan produksi
ADH. Hiponatremia yang tidak terkoreksi dapat memicu penurunan kesadaran
dan kejang. Hiponatremia juga dapat terjadi karena kelebihan penggunaan solusi
dekstrosa tanpa pemberian suplementasi sodium.3
Cedera kepala berat memicu terjadinya respon simpatik dan hormonal dengan
level katekolamin yang berbanding terbalik dengan tingkat keparahan cedera.
24
Hiperglikemia umum terjadi setelah cedera primer dan berhubungan dengan
keparahan cedera dan buruknya prognosis mortalitas dan perbaikan fungsional
pada orang dewasa dan anak-anak. Sekitar 50% pasien menunjukkan kadar
glukosa darah > 11,1 mmol-1 (200mg dl-1), dan level puncak yang lebih tinggi
dari angka tersebut pada 24 jam pertama setelah masuk rumah sakit berhubungan
dengan peningkatan resiko mortalitas dan status fungsional hingga 1 tahun pasca
trauma.3
Hiperkapni menyebabkan peningkatan volume dan aliran darah serebral
dengan menyebabkan vasodilatasi serebral. Pada penurunan regulasi intrakranial,
hiperkapni menyebabkan peningkatan TIK secara signifikan dan penurunan
perfusi serebral. Pada keadaan penurunan aliran darah dan hantaran oksigen,
hiperkapni menyebabkan peningkatan aliran darah serebral.3
Proses terjadinya cedera otak sekunder tergantung dari penyebabnya.
Perdarahan harus dievakuasi secepatnya. Mekanisme kerusakan otak sekunder
pada perdarahan intrakranial adalah kompresi korteks disekitarnya sehingga
menyebabkan iskemik lokal dan brain shift yang menyebabkan iskemik di batang
otak dan struktur basal serta di girus cingulate. Kerusakan iskemik pada otak
cenderung fokal, tetapi jika peningkatan TIK terjadi terus menerus akan memicu
terjadinya penurunan aliran darah serebral, selanjutnya akan terjadi kerusakan
otak yang luas.3
Menurut penelitian, SAH dikaitkan dengan keterlambatan kerusakan pada
sawar darah otak yang disebabkan karena ion metabolik di darah yang berpotensi
mengkatalisasi radikal bebas. Secara klinis SAH traumatik memberikan hasil yang
25
lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa SAH pada CT scan dan
berhubungan dengan tingginya insiden iskemik sekunder. Keparahan kerusakan
cedera primer dengan subdural akut dan perdarahan intraserebral dibandingkan
dengan perdarahan ekstradural yang bermanifestasi cedera primer yang lebih
kecil.3
3.1.6 Klasifikasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya cidera kepala berdasarkan
patologinya antara lain sifat, derajat, lokasi dan arah beban mekanis serta respon
kepala terhadap adanya beban tersebut yang menentukan struktur mana yang
terlihat dan perluasan dari cidera.6
Cidera kepala sekunder berdasarkan patologinya dapat berupa:
1. Gangguan sistemik antara lain akibat hipoksia, hipotensi, gangguan
metabolisme energi dan kegagalan autoregulasi.
2. Hematom traumatik antara lain terjadi perdarahan pada epidural, subdural
(akut dan kronik) atau intraserebral.
3.1.6.1 Hematoma Epidural
Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak
dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma kapitis.
Perdarahan ini terjadi akibar robeknya salah satu cabang arteria meningea media,
robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya arteria diploika. Gejala-gejala
yang dapat dijumpai yaitu :
26
a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya
trauma kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran
penderita adalah baik.
b. Tensi yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan
hemiplegi di sisi kontralateral dari garis fraktur.
e. Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian)
f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri
Meningea Media atau salah satu cabangnya.
3.1.6.2 Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan
arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada “bridging veins”.
Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 3
jenis :
a. Hematoma subdural akut
Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan
dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma subdural sub-akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
c. Hematoma subdural kronik
27
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang
baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea.
Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula
ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi
durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat
pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subdural arakhnoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma
subdural ditemukan pada pasien berusia diatas 50 tahun. Seringkali trauma kapitis
yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi pada jaringan otak
berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusio serebri yang menyebabkan
keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih tinggi. Gejala-
gejala hematoma subdural akut sama dengan gejala-gejala hematoma epidural,
yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. Mungkin dapat juga
dijumpai defisit neurologis lainnya. Pada perdarahan campuran keadaan umum
dapat lebih buruk dan defisit neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit
neurologis yang terjadi mungkin disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan
oleh penekanan hematomanya. Pada hematoma subdural sub-akut gejala-gejala
berkembang lebih lambat.
28
Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala tumor
serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang dapat
diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya kecil
dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah
nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori pupil
(pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia, perubahan
kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap orang lain
atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.
3.1.6.3 Hematoma Intraserebra
Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara
umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam
terjadianya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang
hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.
Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah mengalami
trauma kapitis akan memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem
(pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang
meningkat, dan artreiografi karotis dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari
arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri
media yang tidak normal.
3.1.7 Pemeriksaan Penunjang
3.1.7.1 Foto Rontgen Polos
29
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis
servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di
daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di
daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah
temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan
dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka
dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto
kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat
adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi
mungkin menimbulkan impressions digitae.
3.1.7.2 Computer Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-
potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan
jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis :
a. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
b. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d. Adanya kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal
f. Sakit kepala yang menetap.
30
3.1.7.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih
jelas.Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik
dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural
hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan
hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa
posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian
MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan
lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis
berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian
fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.
3.1.8 Penatalaksanaan
Prioritas pertama pada pasien cedera adalah menstabilkan cervical spine,
membebaskan dan menjaga airway, memastikan ventilasi yang adekuat
(breathing), dan membuat akses vena untuk jalur resusitasi cairan (circulation).
Langkah selanjutnya adalah menilai level kesadaran dan pemeriksaan pupil
(disability). Langkah tersebut sangat krusial pada pasien cedera kepala untuk
mencegah terjadinya hipoksia dan hipotensi, yang merupakan sebab utama
terjadinya cedera otak sekunder.3
Selanjutnya dilakukan survei sekunder setelah pasien stabil. Pemeriksaannya
meliputi pemeriksaan neurologis lengkap. Keparahan cedera diklasifikasikan
secara klinis dengan GCS. Skor GCS 13-15 diklasifikasikan sebagai cedera kepala
31
ringan, skor 9-12 sebagai cedera kepala sedang, dan skor 3-8 dikatakan termasuk
cedera kepala berat.3
Prinsip umum penanganan awal cedera kepala adalah perfusi serebral yang
stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat, mencegah hiperkapni dan hipokapni,
mencegah hipoglikemi dan hiperglikemia, serta mencegah cedera iatrogenik.
Meskipun hubungan statistik antara tekanan arteri dan prognosis yang terbaik
dinyatakan dengan tekanan sistolik ≥ 90 mmHg pada manajemen awal dan
resusitasi, bukti pada pasien dengan monitor TIK di ICU menyatakan bahwa
ambang tersebut cukup rendah. Selain itu, meskipun tekanan darah sistolik paling
mudah dan akurat diukur, tetapi hal tersebut tidak dapat memprediksi mean
arterial pressure (MAP) dengan baik. MAP merupakan hal penting yang dapat
menunjukkan CPP.3
Target tekanan arteri sistemik berfariasi pada beberapa guideline. Brain
Trauma Foundation (BTF) menyarankan agar menjaga tekanan darah sistolik
pada batas normal (di atas ambang sistolik hipotensi, yaitu > 90mmHg) dan
mencegah terjadinya hipotensi, serta menyarankan MAP ≥ 90mmHg.9 European
Brain Injury Consortium (EBIC) menyatakan target tekanan arteri sistemik ≥ 120
mmHg dan MAP ≥ 90mmHg.11 Sedangkan Assosiation of Anaesthetists of Great
Britain and Ireland menyarankan MAP ≥ 80mmHg.3
Beberapa evidence menyatakan bahwa salin hipertonik berguna sebagai cairan
resusitasi pada cedera otak traumatik.3 Vassar et al menyatakan bahwa salin
hipertonik tidak menyebabkan peningkatan pendarahan.3
32
The Cochrane review tidak menemukan evidence untuk mendukung
penggunaan mannitol pada pasien cedera kepala. Beberapa studi menunjukkan
pemberian mannitol dosis tinggi (1,4 g/kg) berhubungan dengan perbaikan
prognosis dibandingkan dengan pemberian dosis normal (0,7 g/kg) setelah cedera
otak traumatik.3
Pemberian ventilatory support dapat diberikan pada pasien. BTF menyarankan
SaO2 ≥ 90% atau PaO2 ≥ 60mmHg (8 kPa), sedangkan EBIC lebih agresif dengan
ambang 95% and 10kPa. AAGBI menyatakan standar sebesar 13 kPa. Pada
pasien yang dapat menjaga airway tetap paten, terapi oksigen tambahan
direkomendasikan. Tetapi pada pasien yang tidak mampu menjaga airway,
diperlukan intubasi trakeal. Pasien yang tidak mampu berkomunikasi, dengan
GCS ≤ 8, tidak mampu menjaga airway, atau untuk mencapai target respirasi,
memerlukan tindakan intubasi trakea dan kontrol ventilasi.3
Hiperkapni dan hipokapni merupakan akibat sekunder yang dapat dicegah,
tetapi batasan PaCO2 berfariasi pada beberapa guidelines. BTF menyatakan batas
bawah PaCO2 adalah 4,6 kPa, AAGBI menyatakan batas bawah PaCO2 4,5-5,0
kPa, dan EBIC menyarankan batas bawah PaCO2 sebesar 4,0-5,0 kPa.3
Imaging Computed Tomography Scan (CT-scan) merupakan modalitas yang
dipilih sebagai assessment awal pada pasien cedera otak traumatik.3 Dua studi
yang paling komprehensif mengenai indikasi CT-scan pada cedera kepala yaitu
studi di Kanada dan New Orleans menunjukan sedikit perbedaan. Semakin parah
cedera otak traumatik yang terjadi, merupakan indikasi yang jelas untuk
dilakukannya CT-scan kepala.3
33
Cedera kepala merupakan penyebab kematian pada satu per tiga kasus dan
cedera ekstrakranial mayor ditemukan pada 50% pasien dengan cedera otak
traumatik berat.6 Setelah diperkenalkan dan diaplikasikannya Advance Trauma
Life Support (ATLS) dan guidelines penanganan cedera kepala, insiden cedera
kepala sekunder akibat trauma sistemik menurun.6 Sekitar 5% pasien dengan
cedera otak traumatik sedang maupun berat, disertai dengan cedera servikal.
Setengah diantaranya disertai dengan cord injury di antara occiput dan C3.3
Kejang relatif sering terjadi setelah cedera otak traumatik dengan insiden
kejang 4-25% pada awal cedera (<1 minggu). Beberapa faktor yang berhubungan
dengan peningkatan resiko kejang antara lain, GCS < 10, kontusio kortikal,
fraktur depresitengkorak, epidural, subdural, atau hematoma intrakranial, luka
tusuk pada kepala, atau riwayat kejang dalam 24 jam setelah cedera. Kejang
meningkatkan kecepatan metabolik serebral, pelepasan neurotransmitter, dan
berhubungan dengan peningkatan TIK. Studi meta-analisis terhadap penggunaan
obat anti epilepsi (fenitoin atau karbamazepin) menunjukkan keefektifan dalam
mencegah kejang, tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas atau insiden
kejang dalam jangka waktu yang lama.3
3.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999)
pada cedera kepala meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi
ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini
34
penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife
state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang
sembuh.6
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun
demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsi.6
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf
yang lain.6
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
35
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.6
3.1.10 Pencegahan
Upaya pencegahan trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya
yang dilakukan yaitu:
3.1.10.1 Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orang-orang
yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor (sidewalk),
jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan (traffic signal); dan
peraturan (law enforcement).
3.1.10.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma,
seperti :
a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt)
c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan
d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti :
meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan
pada kedua sisi tangga.
36
3.1.10.3 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi.
Dengan terapi yang sesuai dan tidak berlebihan.
3.1.10.4 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis
yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus
konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu
lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses
pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kapitis
yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya
di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.
Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan penderita untuk
berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma kapitis untuk
beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi lingkungan tempat
tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah.
Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita yang mengalami gangguan
psikologis, selain itu dukungan keluarga juga membantu proses penyembuhan
psikis penderita.
3.2 Tekanan Intrakranial (TIK)
Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan Kellie pada
tahun 1820. Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa, otak berada dalam
37
tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang intrakranial terdiri atas
parenkim otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan serebrospinal (LCS) 11%.
Peningkatan volume salah satu komponen akan dikompensasi oleh penurunan
volume komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan yang konstan.
Jaringan otak pada dasarnya tidak dapat dimampatkan, jadi peningkatan TIK
karena pembengkakan otak akan mengakibatkan ekstrusi LCS dan darah
(terutama vena) dari ruang intrakranial, fenomena ini disebut kompensasi spasial.
LCS memegang peranan pada kompensasi ini karena LCS dapat dibuang dari
ruang intrakranial ke rongga spinalis.
Peningkatan TIK pada cedera kepala dapat berkaitan dengan lesi massa
intrakranial, cedera kontusio, pembengkakan pembuluh darah, dan edema otak.
Pada pasien dengan pembengkakan otak yang signifikan, edema seluler atau
sitotoksik terjadi karena akumulasi air intraseluler. Bila autoregulasi serebral tidak
ada, peningkatan tekanan darah arteri menyebabkan peningkatan volume darah
otak (Cerebral Blood Volume/CBV) dan TIK. Peningkatan CBV dan TIK juga
bisa terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sistemik seperti tekanan
CO2 arterial, temperatur dan tekanan intrathorakal maupun intraabdominal, atau
karena peristiwa intrakranial seperti kejang. Hipertensi intrakranial juga bisa
terjadi karena gangguan aliran LCS baik akut maupun kronik (hidrosefalus),
seringkali difus, atau proses patologi seperti edema serebri akibat gagal hati. TIK
normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal
adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak,
dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur.
38
Definisi hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia,
walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg
memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera
kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi
pada anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya
dimulai selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18
mmHg pada anak<8 tahun, dan 20 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.
3.2.1 Peningkatan TIK
3.2.1.1 Etiologi peningkatan TIK
Klinis yang paling umum di mana peningkatan TIK ditemui dan dipantau
adalah pada cedera kepala, dimana beberapa mekanisme menyebabkan perubahan
volume intrakranial. Hematoma traumatik dapat terkumpul dalam intraserebral,
ruang subarakhnoid, ruang subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan
gradien dalam tengkorak dan mengakibatkan pergeseran otak. Edema serebral
baik sitotoksik (karena kegagalan pompa membran sel) atau vasogenik (karena
cedera pembuluh darah) menambah volume ekstra dalam bentuk air.
3.2.1.2 Gejala Peningkatan TIK
Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK:
1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala
terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan
gejala yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat,
bersin.
2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
39
3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus
yang berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan
indikator klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.
4. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran;
gelisah, iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik.
5. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan
penggeseran jaringan otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda
umum Cushing’s triad (hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul.
3.2.1.3 Pemantauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK
harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8
setelah resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma,
kontusio, pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis). TIK juga
sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala
normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik,
dan tekanan darah sistolik <90 mmHg.
Pemantauan status klinis beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada
peningkatan TIK yaitu
1. Tingkat kesadaran (GCS)
2. Pemeriksaan pupil
3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
5. Adanya mual atau muntah
40
6. Keluhan nyeri kepala
7. Vital sign saat itu
Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan
TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.
Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema
dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit. Neuroimaging
pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT
scan kepala. Beberapa temuan pada neuroimaging yang dicurigai kondisi
patologis yang menyebabkan peningkatan TIK. Adanya lebih dari satu kelainan
ini sangat mungkin suatu peningkatan TIK, sedangkan adanya salah satu temuan
diatas menunjukkan potensi peningkatan TIK. Bila diperlukan dapat diteruskan
dengan pemeriksaan MRI atau CT scan kontras untuk menggambarkan patologi
intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan keputusan awal, meskipun CT
scan tanpa kontras pun seringkali cukup.
41
3.3 Kerangka Teori
42
BAB IV
KESIMPULAN
Cedera otak sekunder merupakan konsekuensi gangguan fisiologis, seperti
iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat
setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer). Tipe cedera otak sekunder
sensitif terhadap intervensi terapi medikamentosa sehingga dapat dicegah. Cedera
otak traumatik masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
dunia pada individu dengan umur dibawah 45 tahun. Etiologi cedera otak
sekunder meliputi penyebab ekstrakranial dan intrakranial.
Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi
serebral dan terganggunya persediaan energi serebral. Manifestasinya antara lain
peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan
hiperkarbi, serta terganggunya autoregulasi serebral.
Penanganan awal yang tepat dan cepat merupakan hal yang sangat penting
pada cedera otak traumatik untuk mencegah cedera sekunder, sehingga dapat
menurunkan angka mortalitas dan kecacatan. Prinsip umum penanganan awal
cedera kepala adalah perfusi serebral yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang
adekuat, mencegah hiperkapni dan hipokapni, mencegah hipoglikemi dan
hiperglikemia, serta mencegah cedera iatrogenik.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Indharty R. Cedera Kepala. 2013. Diakses dari http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35070/5/Chapter%20I.pdf, 15 April 2014
2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologis Klinik Dasar. Jakarta:Dian rakyat. 248-260.
3. Basmatika IA. Cidera Kepala Sekunder. Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/SMF Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2013. Diakses dari http:// portalgaruda.org/download_article.php?article=14478&val=970, 15 April 2014.
4. Purnama E. Cidera Kepala. Diakses dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf, 15 April 2014
5. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi iv. Tangerang:Gramedia Pustaka utama.77-260.
6. Unimus. Cidera Kepala. Diakses dari http:// jtptunimus-gdl-trimanings-6499-3-babii.pdf, 26 Mei 2014.
42
43