jadi

67
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Statistik negara-negara maju menunjukan bahwa cedera kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan. Cedera kepala pada laki-laki muda usia 15- 24 tahun paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala menempati urutan ketiga penyebab seseorang kehilangan pekerjaan setelah keganasan dan penyakit jantung koroner. 1 Akibat cedera kepala dan berbagai macam kemungkinan, pasien bisa pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak menunjukan kelainan apapun, pingsan beberapa jam kemudian menunjukan gejala-gejala “organic brain syndrome” untuk sementara waktu, atau pingsan lama lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik, bahkan meninggal langsung pada saat mendapat cedera kepala atau beberapa saat kecelakan tanpa mendapatkan pertolongan. 2

Upload: yhogen-maulanda-putra-chaniago

Post on 05-Feb-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cedera kepala sekunder

TRANSCRIPT

Page 1: jadi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Statistik negara-negara maju menunjukan bahwa cedera kepala mencakup

26% dari jumlah segala macam kecelakaan. Cedera kepala pada laki-laki muda

usia 15-24 tahun paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera

kepala menempati urutan ketiga penyebab seseorang kehilangan pekerjaan setelah

keganasan dan penyakit jantung koroner.1 Akibat cedera kepala dan berbagai

macam kemungkinan, pasien bisa pingsan sejenak lalu sadar kembali dan tidak

menunjukan kelainan apapun, pingsan beberapa jam kemudian menunjukan

gejala-gejala “organic brain syndrome” untuk sementara waktu, atau pingsan

lama lalu sadar namun menunjukkan defisit neurologik, bahkan meninggal

langsung pada saat mendapat cedera kepala atau beberapa saat kecelakan tanpa

mendapatkan pertolongan.2

Berdasarkan prosesnya, cedera kepala dibagi menjadi dua yaitu cedera kepala

primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer terjadi pada saat

benturan. Efek klinis yang terjadi segera setelah trauma. Sementara itu, cedera

kepala sekunder, yaitu cedera yang berlanjut setelah benturan primer, harus

dicegah dan ditangani dengan baik. Cedera kepala sekunder merupakan reaksi

autodestruktif akibat stimulasi senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh cedera

kepala primer seperti radikal bebas, asam amino eksitatoris (Excitatory Amino

Acids-EAA), produk degradasi lipid, kation-kation, molekul reaksi inflamasi, dan

1

Page 2: jadi

2

reaksi immunologis. Senyawa-senyawa ini dapat memicu proses kematian sel

melalui beragam jalur alternatif. Dengan kata lain bahwa cidera kepala primer

yang tidak ditangani dengan baik akan berlanjut menjadi cedera kepala sekunder.

Derajat keparahan cedera kepala sekunder dipengaruhi oleh usia penderita, berat

ringannya cedera, lokasi cedera dan jenis sel yang terlibat. 1

Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai konsekuensi gangguan fisiologis,

seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa

saat setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer). Cedera otak sekunder

sensitif terhadap terapi dan proses terjadinya dapat dicegah. Setengah angka

kematian pada cedera otak traumatik terjadi pada 2 jam pertama setelah trauma.

Beberapa data juga menunjukkan bahwa kerusakan neurologis tidak terjadi saat

trauma (cedera primer), tetapi terjadi dalam beberapa menit, jam, dan hari. Hal ini

menunjukkan bahwa akibat sekunder dari cedera menyebabkan peningkatan

angka mortalitas dan kecacatan. Oleh karena itu, penanganan awal yang tepat

merupakan hal yang sangat penting pada cedera otak traumatik untuk mencegah

cedera sekunder, sehingga dapat menurunkan angka mortalitas dan kecacatan.3

Page 3: jadi

3

BAB II

ANATOMI KEPALA

2.1 Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan yang disebut Scalp yaitu kulit (skin),

jaringan penyambung (connective tissue), aponeurosis (galea aponeurotika),

jaringan penujang longgar (loss conective tissue) dari perikranium.4

Gambar 2.1 Anatomi Scalp

2.2 Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak menurut, Evelyn C Pearce (2008) merupakan struktur tulang

yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.

Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.

Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid

merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk

3

Page 4: jadi

4

rongga/fosa; fosa anterior didalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi

lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan

sereblum.4

Gambar 2.2 Anatomi Tengkorak

2.3 Meningens

Pearce, Evelyn C. (2008) otak dan sumsum tulang belakang diselimuti

meningia yang melindungi syruktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh

darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang

memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3

lapisan yaitu:

a. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

Page 5: jadi

5

ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus

ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma subdural yang besar, yang

menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui

pembedahan.4

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang

menetap 2) rasa mengantuk yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan

5) kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea

terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural.

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri

ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera

adalah arteri Meningea Media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam

tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian

dan penyumbatan sumber perdarahan.4

b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,

Page 6: jadi

6

disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang

terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya

disebabkan akibat cedera kepala.4

c. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater.4

2.4 Otak

Menurut Ganong, (2002); price, (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain

yaitu:

a. Cerebrum

Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri

kanan dan kiri. Setiap hemispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus

frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki

fungsi yang berbeda, yaitu:

1) Lobus frontalis

Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak

Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan

gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian,

kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa

secara umum.

Page 7: jadi

7

Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak

menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan

kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas

yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan

perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka

menentang, kasar dan kejam.4

2) Lobus parietalis

Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan

seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Sejumlah kecil kemampuan matematika

dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan

posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi

tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia

dan untuk menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi

kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya

atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal

dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding. Penderita bisa menjadi

linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan

pekerjaan sehari-hari lainnya.4

3) Lobus temporalis

Page 8: jadi

8

Lobus temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan

pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus

temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya

sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan

gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan

jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan

terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis

sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar

maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang nondominan,

akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.4

4) Lobus Oksipital

Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan

rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi

terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. Fungsinya untuk visual center.

Kerusakan pada lobus ini otomatis akan kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri

yaitu penglihatan.

b. Cereblum

Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri posterior dibawah

lapisan durameter. Cereblum mempunyai aski yaitu; merangsang dan

menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi

Page 9: jadi

9

dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan

posisi dan mengintegrasikan input sensori.4

c. Brainstem

Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata. Otak tengah

midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer

sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek

pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan sereblum antara otak tengah

dan medula, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan juga antara

medula dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik. Medula

oblomata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusatpusat

otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi jantung,

pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.4

4. Saraf-Saraf Otak

Suzanne C Smeltzer, (2001) Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma

kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.

Kerusakan nervus yaitu:

a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)

Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan

aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.4

b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)

Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.4

Page 10: jadi

10

c. Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)

menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris dan

otot iris.4

d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)

Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang

pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.4

e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)

Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.

Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,

sarafnya yaitu:

1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan

kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata.4

2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas, palatum,

batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.4

3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-otot

pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit daerah

temporal dan dagu.4

f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)

Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf

penggoyang sisi mata.4

g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)

Page 11: jadi

11

Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi

otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-

serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya

sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.4

h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)

Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari

pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.4

i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)

Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,

saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.4

j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)

Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,

sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster intestinum

minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf

perasa.4

k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),

Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,

fungsinya sebagai saraf tambahan.4

l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini

terdapat di dalam sumsum penyambung.4

Page 12: jadi

12

Gambar 2.3 Anatomi Otak

2.5 Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS

dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.4

BAB III

Page 13: jadi

13

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Cidera Kepala Sekunder

3.1.1 Definisi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera

primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-

deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa

coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada

tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.

Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang

tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan

tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi

dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).5

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses

patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa

perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan

tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.5

13

Page 14: jadi

14

3.1.2 Patofisiologi

Tahap pertama cedera serebral pasca trauma ditandai dengan kerusakan

jaringan langsung, terganggunya regulasi aliran darah serebral (cerebral blood

flow/ CBF), dan terganggunya metabolisme. Hal tersebut memicu terjadinya

akumulasi asam laktat akibat glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas

membran, dan terbentuknya edema. Saat metabolisme anaerob tidak mampu

memenuhi kebutuhan energi seluler, terjadilah penurunan simpanan Adenosin

Triphosphate (ATP) dan kegagalan pompa ion.3

Autoregulasi serebral dan reaktivitas-CO2 merupakan mekanisme penting

menjaga aliran CBF tetap konstan dengan cara menjaga tekanan perfusi serebral

(cerebral perfusion pressure/ CPP) dan tekanan intrakranial (TIK). Gangguan

pada mekanisme regulasi tersebut meningkatkan resiko cedera otak sekunder.3

Setelah terjadinya cedera otak traumatik, autoregulasi CBF (respon konstriksi

dan dilatasi cerebrovaskuler untuk meningkatkan atau menurunkan CPP) pada

sebagian besar pasien, terganggu atau hilang. Gangguan autoregulasi CBF dapat

muncul segera setelah trauma atau beberapa saat setelah trauma, bersifat

sementara atau menetap, dan menyebabkan kerusakan ringan, sedang, atau berat.

Autoregulasi vasokonstriksi cenderung lebih resisten terhadap kerusakan

dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi. Hal ini menunjukkan bahwa CPP

yang rendah lebih rentan menyebabkan kerusakan otak dibandingkan dengan CPP

tinggi.3

Jika dibandingkan dengan autoregulasi CBF, reaktivitas CO2 serebrovaskuler

(konstriksi atau dilatasi serebrovaskuler sebagai respon terhadap hipokapni dan

Page 15: jadi

15

hiperkapni) memiliki pengaruh lebih kuat. Pada pasien dengan cedera otak berat

dan prognosis buruk, gangguan reaktivitas serebrovaskuler terjadi pada tahap awal

setelah terjadi trauma. Sebaliknya, reaktivitas CO2 masih intak atau bahkan

meningkat pada sebagian besar pasien. Hal ini merupakan prinsip fisiologis yang

digunakan sebagai target dalam manajemen TIK pada keadaan hiperemis.3

Serebral vasospasme pasca trauma menentukan prognosis pasien. Vasospasme

terjadi pada lebih dari satu per tiga pasien cedera otak traumatik dan

mengindikasikan kerusakan otak berat. Onsetnya bervariasi dari hari ke-2 hingga

hari ke-15 post trauma. Hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami

vasospasme. Vasospasme terjadi karena depolarisasi kronis otot polos vaskuler

yang disebabkan oleh penurunan aktivitas kanal potasium, pelepasan endotelin

bersama dengan penurunan nitrit oksida, penurunan siklik Guanosin

Monophosphate (GMP) otot polos vaskular, potensiasi prostaglandin memicu

vasokonstriksi, dan pembentukan radikal bebas.3

Metabolisme serebral dan energi serebral menurun setelah cedera otak.

Derajat kegagalan metabolik berhubungan dengan keparahan cedera primer dan

prognosisnya buruk pada pasien dengan angka metabolik yang rendah

dibandingkan pada pasien dengan penurunan angka metabolik minimal atau tanpa

disfungsi metabolik. Penurunan serebral metabolik pasca trauma berhubungan

dengan cedera primer yang memicu disfungsi mitokondria dengan penurunan

kecepatan respirasi dan produksi ATP, penurunan availibilitas ko-enzim, dan

berlebihnya Ca2+ di intra mitokondria. Penurunan kebutuhan metabolisme serebral

tidak berhubungan dengan penurunan CBF.3

Page 16: jadi

16

Cedera otak ditandai dengan ketidakseimbangan hantaran dan konsumsi

oksigen serebral. Meskipun ketidakseimbangan ini ditandai dengan gangguan

pada hemodinamik dan vaskuler, hasil akhirnya adalah hipoksia jaringan otak.

Pengukuran tekanan oksigen jaringan otak pada pasien cedera otak teridentifikasi

pada ambang batas kritis di bawah 15-10 mmHg pada kondisi terjadinya infark

jaringan neuronal. Akibatnya, insiden, durasi, dan perluasan jaringan hipoksia

berhubungan dengan prognosis yang buruk.3

Cedera otak primer dan sekunder berhubungan dengan pelepasan berlebih

neurotransmiter asam amino eksitasi, khususnya glutamat. Kelebihan glutamat

ekstraseluler mempengaruhi neuron dan astrosit. Hal ini menyebabkan stimulasi

berlebih ionotropik dan reseptor metabotropik glutamat dengan aliran Ca2+, Na+,

dan K+. Meskipun proses tersebut memicu proses katabolik melalui perusakan

sawar darah otak, kompensasi selular terhadap gradien ion adalah peningkatan

aktivitas Na+/K+ ATPase dan mengubah kebutuhan metabolik.3

Stres oksidatif berhubungan dengan jenis oksigen reaktif (oksigen radikal

bebas, superoksida, hidrogen peroksida, nitrit oksida, dan peroksinitrit) sebagai

respon terhadap cedera otak. Kelebihan produksi jenis oksigen reaktif karena

eksitotoksisitas dan kelelahan sistem endogen antioksidan menginduksi

peroksidase selular dan struktur vaskuler, oksidasi protein, pembelahan DNA, dan

inhibisi rantai transport elektron mitokondria. Meskipun mekanisme ini cukup

menyebabkan kematian sel mendadak, proses inflamasi dan apoptosis diinduksi

oleh stres oksidatif. 3

Page 17: jadi

17

Pembentukan edema sering terjadi pada cedera otak. Klasifikasi edema otak

berhubungan dengan kerusakan struktural atau ketidakseimbangan air dan

osmotik yang diinduksi oleh cedera primer atau sekunder. Edema otak vasogenik

disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestif, atau perusakan fungsional

lapisan sel endotel pembuluh darah otak. Disintegrasi dinding endotel serebral

vaskuler memungkinkan transfer ion dan protein yang tidak terkontrol dari

intravaskuler ke ekstravaskuler (interstisial) kompartmen otak dan menyebabkan

akumulasi air. Secara anatomis, proses patologi ini meningkatkan volume ruang

ekstravaskuler. Edema otak sitotoksik ditandai dengan akumulasi cairan di

intraseluler sel-sel neuron, astrosit, dan mikroglia terlepas dari integritas dinding

endotel vaskuler.3

Proses patologi ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran sel

terhadap ion, kegagalan pompa ionik karena kekurangan energi, dan reabsorpsi

selular terhadap zat terlarut aktif osmotik. Meskipun edema sitotoksik terlihat

lebih sering dibandingkan dengan edema vasogenik setelah cedera otak, keduanya

berhubungan dengan peningkatan TIK dan proses iskemik sekunder. Cedera

kepala menginduksi susunan kompleks respon inflamasi jaringan, mirip dengan

cedera iskemik karena reperfusi. Cedera primer dan sekunder memicu pelepasan

mediator seluler, meliputi sitokin proinflamasi, prostaglandin, radikal bebas, dan

komplemen. Proses ini menginduksi chemokine dan molekul adhesi serta

mengaktifkan pergerakan imun dan sel glial. Polimorfonuklear leukosit yang

teraktivasi berikatan pada defek dan pada lapisan sel endotel yang masih intak.

Hal ini dimediasi melalui adhesi molekul. Sel-sel tersebut menginfiltrasi jaringan

Page 18: jadi

18

cedera bersama dengan makrofag dan sel T limfosit. Infiltrasi jaringan oleh

limfosit terjadi melalui upregulasi adhesi molekul seluler, seperti P-selektin,

intercellular adhesion molecules (ICAM-1), dan vascular adhesion molecules

(VAM-1). Respon terhadap proses inflamasi, cedera dan jaringan sekitarnya akan

dieliminasi dalam hitungan jam, hari, dan minggu.3

Astrosit menghasilkan mikrofilamen dan neutropin untuk mensintesis jaringan

parut. Enzim proinflamasi, seperti tumor nekrosis faktor, interleukin-1-β, dan

interleukin-6 mengalami upregulasi dalam hitungan jam setelah cedera. Progresi

kerusakan jaringan berhubungan dengan pelepasan langsung mediator neurotoksik

atau pelepasan tidak langsung nitrit oksida dan sitokin. Pelepasan vasokonstriktor

tambahan (prostaglandin dan leukotrin), adhesi leukosit dan platelet, lesi sawar

darah otak, dan pembentukan edema, menurunkan perfusi jaringan dan

memperburuk kerusakan otak sekunder.3

Dua tipe kematian sel yang mungkin terjadi setelah cedera otak adalah

nekrosis dan apoptosis. Nekrosis terjadi sebagai respon terhadap keparahan

mekanik atau iskemik atau kerusakan jaringan hipoksik dengan kelebihan

pelepasan neurotransmiter asam amino dan kegagalan metabolik. Akibatnya,

fosfolipase, protease, dan lipid peroksidase menyebabkan autolisis membran.

Hasilnya, sel detritus dikenali sebagai antigen dan akan hilang dengan proses

inflamasi serta meninggalkan jaringan scar. Sebaliknya, neuron mengalami

apoptosis secara morfologis. Neuron tetap intak selama periode pasca traumatik

segera, dengan produksi ATP yang cukup. Apoptosis terjadi dalam hitungan jam

hingga hari setelah cedera primer. Selanjutnya terjadi penghancuran disintegrasi

Page 19: jadi

19

membran secara progresif melalui lisisnya membran nuklear, kondensasi

kromatin, dan fragmentasi DNA.3

3.1.3 Gambaran Klinik

Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi

serebral dan terganggunya persediaan energi serebral. Manifestasinya antara lain

peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan

hiperkarbi, serta terganggunya autoregulasi serebral.3

Tengkorak merupakan ruangan tertutup, sehingga jika terjadi peningkatan

volume intrakranial, tekanan di dalamnya akan meningkat dan cenderung

menyebabkan penurunan perfusi serebral. Penyebab utama peningkatan TIK pada

cedera kepala adalah edema otak dan pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi

karena cairan berpindah ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang

rusak. Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural, subdural,

ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak atau di dalam sistem

ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan pendarahan intraventrikel menyebabkan

gangguan pada sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat

menyebabkan hidrosefalus.3

Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio fokal dengan infark yang

menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak.

Manifestasi klinis yang muncul tergantung dari lokasi iskemik.3

Hipoksia serebral dan hiperkarbi berhubungan dengan gangguan pada

pertukaran gas di paru-paru atau gangguan ventilasi. Hal ini merupakan faktor

tambahan yang penting pada pasien dengan infeksi dada, edema paru,

Page 20: jadi

20

pneumotorak, dan pada flail chest atau fraktur iga multipel. Efek hipoksia dan

atau hiperkarbi dapat diperburuk oleh hipotensi sistemik yang menyebabkan

gangguan aliran darah serebral.3

Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk kebutuhan

metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pembuluh darah serebral.

Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan regulasi pasokan darah,

dan aliran darah serebral menjadi lebih pasif terhadap perubahan tekanan darah

sistemik.3

3.1.4 Epidermiologi

Cedera otak traumatik masih merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas di dunia pada individu dengan umur dibawah 45 tahun. Di Amerika

Serikat selama tahun 1997 hingga 2007, jumlah kunjungan ke emergency

departement dan didiagnosis dengan cedera otak traumatik tiap tahunnya rata-rata

1.365.000 orang, 275.000 diantaranya memerlukan perawatan inap di rumah sakit,

dan angka kematian rata-rata karena cedera otak traumatik mencapai angka

52.000 orang (18,4 tiap 100.000 populasi). Menurut Ontario Brain Injury

Assosiation, pevalensi cedera otak setiap tahunnya di Ontario diperkirakan 18.000

dengan 4.000 kejadian pada populasi pediatri (0-14 tahun).2 Di kawasan eropa,

insiden cedera otak traumatik sebesar 235 kasus tiap 100.000 penduduk per

tahun.3

Angka kematian pada laki-laki tercatat tiga kali lebih tinggi (28,8 tiap 100.000

penduduk) dibandingkan angka kematian pada perempuan (9,1 tiap 100.000

penduduk). Tingginya insiden pada laki-laki disebabkan karena laki-laki dominan

Page 21: jadi

21

melakukan aktivitas beresiko tinggi, resiko kerja, dan cedera yang berhubungan

dengan kekerasan, jika dibandingkan dengan perempuan. Perkiraan insiden cedera

otak meningkat dua kali lipat pada umur 5 hingga 14 tahun. Puncak insiden pada

laki-laki dan perempuan dewasa dan dewasa muda mencapai 250 kasus tiap

100.000 populasi, 20% diantaranya mengalami cedera otak sedang hingga berat.3

3.1.5 Etiologi

Setelah terjadinya cedera otak primer, satu atau lebih kejadian terjadi berturut-

turut dan memicu terjadinya perburukan fungsi serebral. Klasifikasi etiologi

cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab ekstrakranial dan intrakranial.

Penyebab ekstrakranial meliputi hipoksia, hipotensi, hiponatremi, hipertermia,

hipoglikemia atau hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi perdarahan

ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan subarachnoid. Selain itu

cedera sekunder juga dapat disebabkan karena pembengkakan dan infeksi.

Pembengkakan intrakranial meliputi kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik,

edema sitotoksik, dan edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak

sekunder antara lain meningitis dan abses otak.3

Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya cedera otak

sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik post traumatik. Faktor

lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya cedera otak sekunder adalah

hiperglikemi, hiperkapni, dan hipokapni.

Masalah ekstrakranial menghasilkan kerusakan otak sekunder baik oleh hipoksia

ataupun oligemia/iskemia. Konsekuensi utamanya adalah pengurangan dalam

ketersediaan energi tinggi fosfat (adenosin triphosphat, ATP). Hal ini

Page 22: jadi

22

menyebabkan kegagalan pompa membran sehingga memicu kematian sel atau sel

menjadi bengkak (edema sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia

primer dan iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary

zones). Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih luas

yaitu neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada pasien. Akibat lebih

fatal dari hipoksia yang berat dan panjang adalah keadaan vegetatif yang persisten

(persistent vegetatif state PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih masih

adanya refleks batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek kortek.3

Cedera otak sekunder dapat terjadi karena hipoksemia sistemik. Hipoksemia

terjadi pada 22,4% pasien cedera otak traumatik parah dan secara signifikan

berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Jones et al pada

inhospital study terhadap 124 pasien dengan cedera otak dengan tingkat

keparahan yang berfariasi, menunjukkan subgrup analisis terhadap 71 pasien

dengan data yang dikumpulkan untuk delapan tipe efek sekunder yang berbeda

(termasuk hipoksemia dan hipotensi). Durasi hipoksemi (ditandai dengan SaO2 ≤

90%; median durasi berkisar dari 11,5 hingga 20 menit) dinyatakan sebagai

prediktor mortalitas (p=0,024) tetapi tidak terhadap morbiditas.3

Sebagian besar studi observasional terhadap cedera otak traumatik

menunjukkan hubungan antara hipoksia awal (SpO2 <90% atau <7,9 kPa

(60mmHg)) dengan perburukan prognosis. Tetapi hubungan ini tidak sekuat

hubungan hipotensi dan tidak terlalu penting pada anak-anak. Hipoksia

merupakan tanda keparahan cedera otak atau cedera sistemik. Ini juga merupakan

Page 23: jadi

23

tanda pengganti untuk menandai hiperkapni, yang terjadi jika tekanan perfusi otak

rendah.3

Beberapa studi observasional menunjukan hubungan antara hipotensi yang

terjadi setelah cedera primer dengan buruknya prognosis. Pada studi yang

dilakukan oleh Traumatic Coma Data Bank (TCDB), hipotensi (tekanan sistolik <

90mmHg) termasuk dalam lima hal yang paling mempengaruhi prognosis.

Prediktor lainnya yang juga sangat berperan adalah usia, skor Glasgow Coma

Scale (GCS), skor motorik GCS, diagnosis intrakranial, dan status pupil. Satu kali

episode hipotensi berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan dua kali

peningkatan mortalitas jika dibandingkan dengan pasien tanpa hipotensi.3

Sebuah studi prospektif yang dilakukan di Australia menunjukkan bahwa

hipotensi yang terjadi awal (saat resusitasi) dan hipotensi yang terjadi saat

perawatan definitif merupakan kejadian yang terpisah dan berhubungan dengan

peningkatan mortalitas. Hiponatremia setelah cedera kepala sering disebabkan

karena sekresi Antidiuretik hormon (ADH) berlebih sehingga terjadi hipovolemia

akibat restriksi cairan karena perdarahan atau cedera lain. Sekresi ADH berlebih

sesuai untuk kondisi hipovolemia tetapi tidak sesuai untuk kondisi hiponatremia.

Restriksi cairan dapat memperburuk kondisi dengan terus meningkatkan produksi

ADH. Hiponatremia yang tidak terkoreksi dapat memicu penurunan kesadaran

dan kejang. Hiponatremia juga dapat terjadi karena kelebihan penggunaan solusi

dekstrosa tanpa pemberian suplementasi sodium.3

Cedera kepala berat memicu terjadinya respon simpatik dan hormonal dengan

level katekolamin yang berbanding terbalik dengan tingkat keparahan cedera.

Page 24: jadi

24

Hiperglikemia umum terjadi setelah cedera primer dan berhubungan dengan

keparahan cedera dan buruknya prognosis mortalitas dan perbaikan fungsional

pada orang dewasa dan anak-anak. Sekitar 50% pasien menunjukkan kadar

glukosa darah > 11,1 mmol-1 (200mg dl-1), dan level puncak yang lebih tinggi

dari angka tersebut pada 24 jam pertama setelah masuk rumah sakit berhubungan

dengan peningkatan resiko mortalitas dan status fungsional hingga 1 tahun pasca

trauma.3

Hiperkapni menyebabkan peningkatan volume dan aliran darah serebral

dengan menyebabkan vasodilatasi serebral. Pada penurunan regulasi intrakranial,

hiperkapni menyebabkan peningkatan TIK secara signifikan dan penurunan

perfusi serebral. Pada keadaan penurunan aliran darah dan hantaran oksigen,

hiperkapni menyebabkan peningkatan aliran darah serebral.3

Proses terjadinya cedera otak sekunder tergantung dari penyebabnya.

Perdarahan harus dievakuasi secepatnya. Mekanisme kerusakan otak sekunder

pada perdarahan intrakranial adalah kompresi korteks disekitarnya sehingga

menyebabkan iskemik lokal dan brain shift yang menyebabkan iskemik di batang

otak dan struktur basal serta di girus cingulate. Kerusakan iskemik pada otak

cenderung fokal, tetapi jika peningkatan TIK terjadi terus menerus akan memicu

terjadinya penurunan aliran darah serebral, selanjutnya akan terjadi kerusakan

otak yang luas.3

Menurut penelitian, SAH dikaitkan dengan keterlambatan kerusakan pada

sawar darah otak yang disebabkan karena ion metabolik di darah yang berpotensi

mengkatalisasi radikal bebas. Secara klinis SAH traumatik memberikan hasil yang

Page 25: jadi

25

lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa SAH pada CT scan dan

berhubungan dengan tingginya insiden iskemik sekunder. Keparahan kerusakan

cedera primer dengan subdural akut dan perdarahan intraserebral dibandingkan

dengan perdarahan ekstradural yang bermanifestasi cedera primer yang lebih

kecil.3

3.1.6 Klasifikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya cidera kepala berdasarkan

patologinya antara lain sifat, derajat, lokasi dan arah beban mekanis serta respon

kepala terhadap adanya beban tersebut yang menentukan struktur mana yang

terlihat dan perluasan dari cidera.6

Cidera kepala sekunder berdasarkan patologinya dapat berupa:

1. Gangguan sistemik antara lain akibat hipoksia, hipotensi, gangguan

metabolisme energi dan kegagalan autoregulasi.

2. Hematom traumatik antara lain terjadi perdarahan pada epidural, subdural

(akut dan kronik) atau intraserebral.

3.1.6.1 Hematoma Epidural

Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak

dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma kapitis.

Perdarahan ini terjadi akibar robeknya salah satu cabang arteria meningea media,

robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya arteria diploika. Gejala-gejala

yang dapat dijumpai yaitu :

Page 26: jadi

26

a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya

trauma kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran

penderita adalah baik.

b. Tensi yang semakin bertambah tinggi

c. Nadi yang semakin bertambah lambat

d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan

hemiplegi di sisi kontralateral dari garis fraktur.

e. Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian)

f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri

Meningea Media atau salah satu cabangnya.

3.1.6.2 Hematoma Subdural

Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan

arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada “bridging veins”.

Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 3

jenis :

a. Hematoma subdural akut

Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan

dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma subdural sub-akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan

dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.

c. Hematoma subdural kronik

Page 27: jadi

27

Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.

Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang

baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea.

Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula

ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi

durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat

menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat

pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan

menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat

menghisap cairan dari ruangan subdural arakhnoidea. Hematoma akan membesar

dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma

subdural ditemukan pada pasien berusia diatas 50 tahun. Seringkali trauma kapitis

yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi pada jaringan otak

berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusio serebri yang menyebabkan

keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih tinggi. Gejala-

gejala hematoma subdural akut sama dengan gejala-gejala hematoma epidural,

yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. Mungkin dapat juga

dijumpai defisit neurologis lainnya. Pada perdarahan campuran keadaan umum

dapat lebih buruk dan defisit neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit

neurologis yang terjadi mungkin disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan

oleh penekanan hematomanya. Pada hematoma subdural sub-akut gejala-gejala

berkembang lebih lambat.

Page 28: jadi

28

Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala tumor

serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang dapat

diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya kecil

dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah

nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori pupil

(pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia, perubahan

kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap orang lain

atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.

3.1.6.3 Hematoma Intraserebra

Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara

umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam

terjadianya herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang

hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.

Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah mengalami

trauma kapitis akan memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem

(pembengkakan pada mata) serta gejala-gejala lain dari tekanan intrakranium yang

meningkat, dan artreiografi karotis dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari

arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri

media yang tidak normal.

3.1.7 Pemeriksaan Penunjang

3.1.7.1 Foto Rontgen Polos

Page 29: jadi

29

Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis

servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di

daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di

daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah

temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan

dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka

dibuatkan foto basis kranii dengan kepala menggantung dan sinar rontgen terarah

tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto

kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat

adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat

ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi

mungkin menimbulkan impressions digitae.

3.1.7.2 Computer Tomografik Scan (CT-Scan)

CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan

pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-

potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan

jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis :

a. SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran

b. Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak

c. Adanya tanda klinis fraktur basis kranii

d. Adanya kejang

e. Adanya tanda neurologis fokal

f. Sakit kepala yang menetap.

Page 30: jadi

30

3.1.7.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih

jelas.Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik

dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural

hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan

hematoma secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa

posisi, dan lebih baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian

MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan

lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis

berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam penilaian

fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.

3.1.8 Penatalaksanaan

Prioritas pertama pada pasien cedera adalah menstabilkan cervical spine,

membebaskan dan menjaga airway, memastikan ventilasi yang adekuat

(breathing), dan membuat akses vena untuk jalur resusitasi cairan (circulation).

Langkah selanjutnya adalah menilai level kesadaran dan pemeriksaan pupil

(disability). Langkah tersebut sangat krusial pada pasien cedera kepala untuk

mencegah terjadinya hipoksia dan hipotensi, yang merupakan sebab utama

terjadinya cedera otak sekunder.3

Selanjutnya dilakukan survei sekunder setelah pasien stabil. Pemeriksaannya

meliputi pemeriksaan neurologis lengkap. Keparahan cedera diklasifikasikan

secara klinis dengan GCS. Skor GCS 13-15 diklasifikasikan sebagai cedera kepala

Page 31: jadi

31

ringan, skor 9-12 sebagai cedera kepala sedang, dan skor 3-8 dikatakan termasuk

cedera kepala berat.3

Prinsip umum penanganan awal cedera kepala adalah perfusi serebral yang

stabil dan adekuat, oksigenasi yang adekuat, mencegah hiperkapni dan hipokapni,

mencegah hipoglikemi dan hiperglikemia, serta mencegah cedera iatrogenik.

Meskipun hubungan statistik antara tekanan arteri dan prognosis yang terbaik

dinyatakan dengan tekanan sistolik ≥ 90 mmHg pada manajemen awal dan

resusitasi, bukti pada pasien dengan monitor TIK di ICU menyatakan bahwa

ambang tersebut cukup rendah. Selain itu, meskipun tekanan darah sistolik paling

mudah dan akurat diukur, tetapi hal tersebut tidak dapat memprediksi mean

arterial pressure (MAP) dengan baik. MAP merupakan hal penting yang dapat

menunjukkan CPP.3

Target tekanan arteri sistemik berfariasi pada beberapa guideline. Brain

Trauma Foundation (BTF) menyarankan agar menjaga tekanan darah sistolik

pada batas normal (di atas ambang sistolik hipotensi, yaitu > 90mmHg) dan

mencegah terjadinya hipotensi, serta menyarankan MAP ≥ 90mmHg.9 European

Brain Injury Consortium (EBIC) menyatakan target tekanan arteri sistemik ≥ 120

mmHg dan MAP ≥ 90mmHg.11 Sedangkan Assosiation of Anaesthetists of Great

Britain and Ireland menyarankan MAP ≥ 80mmHg.3

Beberapa evidence menyatakan bahwa salin hipertonik berguna sebagai cairan

resusitasi pada cedera otak traumatik.3 Vassar et al menyatakan bahwa salin

hipertonik tidak menyebabkan peningkatan pendarahan.3

Page 32: jadi

32

The Cochrane review tidak menemukan evidence untuk mendukung

penggunaan mannitol pada pasien cedera kepala. Beberapa studi menunjukkan

pemberian mannitol dosis tinggi (1,4 g/kg) berhubungan dengan perbaikan

prognosis dibandingkan dengan pemberian dosis normal (0,7 g/kg) setelah cedera

otak traumatik.3

Pemberian ventilatory support dapat diberikan pada pasien. BTF menyarankan

SaO2 ≥ 90% atau PaO2 ≥ 60mmHg (8 kPa), sedangkan EBIC lebih agresif dengan

ambang 95% and 10kPa. AAGBI menyatakan standar sebesar 13 kPa. Pada

pasien yang dapat menjaga airway tetap paten, terapi oksigen tambahan

direkomendasikan. Tetapi pada pasien yang tidak mampu menjaga airway,

diperlukan intubasi trakeal. Pasien yang tidak mampu berkomunikasi, dengan

GCS ≤ 8, tidak mampu menjaga airway, atau untuk mencapai target respirasi,

memerlukan tindakan intubasi trakea dan kontrol ventilasi.3

Hiperkapni dan hipokapni merupakan akibat sekunder yang dapat dicegah,

tetapi batasan PaCO2 berfariasi pada beberapa guidelines. BTF menyatakan batas

bawah PaCO2 adalah 4,6 kPa, AAGBI menyatakan batas bawah PaCO2 4,5-5,0

kPa, dan EBIC menyarankan batas bawah PaCO2 sebesar 4,0-5,0 kPa.3

Imaging Computed Tomography Scan (CT-scan) merupakan modalitas yang

dipilih sebagai assessment awal pada pasien cedera otak traumatik.3 Dua studi

yang paling komprehensif mengenai indikasi CT-scan pada cedera kepala yaitu

studi di Kanada dan New Orleans menunjukan sedikit perbedaan. Semakin parah

cedera otak traumatik yang terjadi, merupakan indikasi yang jelas untuk

dilakukannya CT-scan kepala.3

Page 33: jadi

33

Cedera kepala merupakan penyebab kematian pada satu per tiga kasus dan

cedera ekstrakranial mayor ditemukan pada 50% pasien dengan cedera otak

traumatik berat.6 Setelah diperkenalkan dan diaplikasikannya Advance Trauma

Life Support (ATLS) dan guidelines penanganan cedera kepala, insiden cedera

kepala sekunder akibat trauma sistemik menurun.6 Sekitar 5% pasien dengan

cedera otak traumatik sedang maupun berat, disertai dengan cedera servikal.

Setengah diantaranya disertai dengan cord injury di antara occiput dan C3.3

Kejang relatif sering terjadi setelah cedera otak traumatik dengan insiden

kejang 4-25% pada awal cedera (<1 minggu). Beberapa faktor yang berhubungan

dengan peningkatan resiko kejang antara lain, GCS < 10, kontusio kortikal,

fraktur depresitengkorak, epidural, subdural, atau hematoma intrakranial, luka

tusuk pada kepala, atau riwayat kejang dalam 24 jam setelah cedera. Kejang

meningkatkan kecepatan metabolik serebral, pelepasan neurotransmitter, dan

berhubungan dengan peningkatan TIK. Studi meta-analisis terhadap penggunaan

obat anti epilepsi (fenitoin atau karbamazepin) menunjukkan keefektifan dalam

mencegah kejang, tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas atau insiden

kejang dalam jangka waktu yang lama.3

3.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999)

pada cedera kepala meliputi:

a. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi

ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini

Page 34: jadi

34

penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife

state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari

lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang

sembuh.6

b. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-

kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun

demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsi.6

c. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran

(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya

berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf

yang lain.6

d. Hilangnya kemampuan kognitif.

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori

merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala

mengalami masalah kesadaran.

e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Page 35: jadi

35

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit

Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi

tergantung frekuensi dan keparahan cedera.6

3.1.10 Pencegahan

Upaya pencegahan trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan

pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya

yang dilakukan yaitu:

3.1.10.1 Pencegahan Primordial

Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orang-orang

yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor (sidewalk),

jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan (traffic signal); dan

peraturan (law enforcement).

3.1.10.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang

dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma,

seperti :

a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.

b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt)

c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan

d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti :

meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan

pada kedua sisi tangga.

Page 36: jadi

36

3.1.10.3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang

dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi.

Dengan terapi yang sesuai dan tidak berlebihan.

3.1.10.4 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis

yang lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan

melakukan rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus

konseling yang bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu

lintas) dan gaya hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses

pemulihan penderita trauma kapitis. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kapitis

yaitu untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya

di dalam keluarga dan di dalam masyarakat.

Contoh dari rehabilitasi yaitu terapi peningkatan kemampuan penderita untuk

berjalan dan membantu penderita yang cacat akibat trauma kapitis untuk

beradaptasi terhadap lingkungannya dengan cara memodifikasi lingkungan tempat

tinggal sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan mudah.

Terapi kejiwaan juga diberikan kepada penderita yang mengalami gangguan

psikologis, selain itu dukungan keluarga juga membantu proses penyembuhan

psikis penderita.

3.2 Tekanan Intrakranial (TIK)

Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Munroe dan Kellie pada

tahun 1820. Mereka menyatakan bahwa pada orang dewasa, otak berada dalam

Page 37: jadi

37

tengkorak yang volumenya selalu konstan. Ruang intrakranial terdiri atas

parenkim otak sekitar 83%, darah 6%, dan cairan serebrospinal (LCS) 11%.

Peningkatan volume salah satu komponen akan dikompensasi oleh penurunan

volume komponen lainnya untuk mempertahankan tekanan yang konstan.

Jaringan otak pada dasarnya tidak dapat dimampatkan, jadi peningkatan TIK

karena pembengkakan otak akan mengakibatkan ekstrusi LCS dan darah

(terutama vena) dari ruang intrakranial, fenomena ini disebut kompensasi spasial.

LCS memegang peranan pada kompensasi ini karena LCS dapat dibuang dari

ruang intrakranial ke rongga spinalis.

Peningkatan TIK pada cedera kepala dapat berkaitan dengan lesi massa

intrakranial, cedera kontusio, pembengkakan pembuluh darah, dan edema otak.

Pada pasien dengan pembengkakan otak yang signifikan, edema seluler atau

sitotoksik terjadi karena akumulasi air intraseluler. Bila autoregulasi serebral tidak

ada, peningkatan tekanan darah arteri menyebabkan peningkatan volume darah

otak (Cerebral Blood Volume/CBV) dan TIK. Peningkatan CBV dan TIK juga

bisa terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sistemik seperti tekanan

CO2 arterial, temperatur dan tekanan intrathorakal maupun intraabdominal, atau

karena peristiwa intrakranial seperti kejang. Hipertensi intrakranial juga bisa

terjadi karena gangguan aliran LCS baik akut maupun kronik (hidrosefalus),

seringkali difus, atau proses patologi seperti edema serebri akibat gagal hati. TIK

normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK normal

adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-anak,

dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur.

Page 38: jadi

38

Definisi hipertensi intracranial tergantung pada patologi spesifik dan usia,

walaupun TIK>15 mmHg umumnya abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg

memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah cedera

kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK bervariasi

pada anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan sebaiknya

dimulai selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada bayi, 18

mmHg pada anak<8 tahun, dan 20 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.

3.2.1 Peningkatan TIK

3.2.1.1 Etiologi peningkatan TIK

Klinis yang paling umum di mana peningkatan TIK ditemui dan dipantau

adalah pada cedera kepala, dimana beberapa mekanisme menyebabkan perubahan

volume intrakranial. Hematoma traumatik dapat terkumpul dalam intraserebral,

ruang subarakhnoid, ruang subdural, atau ekstradural, menciptakan tekanan

gradien dalam tengkorak dan mengakibatkan pergeseran otak. Edema serebral

baik sitotoksik (karena kegagalan pompa membran sel) atau vasogenik (karena

cedera pembuluh darah) menambah volume ekstra dalam bentuk air.

3.2.1.2 Gejala Peningkatan TIK

Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK:

1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala

terjadi karena traksi atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan

gejala yang berat pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat,

bersin.

2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.

Page 39: jadi

39

3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus

yang berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan

indikator klinis yang baik untuk hipertensi intrakranial.

4. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran;

gelisah, iritabilitas, letargi; dan penurunan fungsi motorik.

5. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan

penggeseran jaringan otak maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda

umum Cushing’s triad (hipertensi, bradikardi, respirasi ireguler) muncul.

3.2.1.3 Pemantauan TIK

Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK

harus dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8

setelah resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma,

kontusio, pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis). TIK juga

sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala

normal jika diikuti dua atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik,

dan tekanan darah sistolik <90 mmHg.

Pemantauan status klinis beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada

peningkatan TIK yaitu

1. Tingkat kesadaran (GCS)

2. Pemeriksaan pupil

3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)

4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis

5. Adanya mual atau muntah

Page 40: jadi

40

6. Keluhan nyeri kepala

7. Vital sign saat itu

Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan

TIK. Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.

Tapi sebaiknya tetap dinilai pada evaluasi awal, ada atau tidak ada papil edema

dapat memberikan informasi mengenai proses perjalanan penyakit. Neuroimaging

pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT

scan kepala. Beberapa temuan pada neuroimaging yang dicurigai kondisi

patologis yang menyebabkan peningkatan TIK. Adanya lebih dari satu kelainan

ini sangat mungkin suatu peningkatan TIK, sedangkan adanya salah satu temuan

diatas menunjukkan potensi peningkatan TIK. Bila diperlukan dapat diteruskan

dengan pemeriksaan MRI atau CT scan kontras untuk menggambarkan patologi

intrakranial dengan lebih baik, untuk pengambilan keputusan awal, meskipun CT

scan tanpa kontras pun seringkali cukup.

Page 41: jadi

41

3.3 Kerangka Teori

Page 42: jadi

42

BAB IV

KESIMPULAN

Cedera otak sekunder merupakan konsekuensi gangguan fisiologis, seperti

iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada area otak yang beresiko, beberapa saat

setelah terjadinya cedera awal (cedera otak primer). Tipe cedera otak sekunder

sensitif terhadap intervensi terapi medikamentosa sehingga dapat dicegah. Cedera

otak traumatik masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di

dunia pada individu dengan umur dibawah 45 tahun. Etiologi cedera otak

sekunder meliputi penyebab ekstrakranial dan intrakranial.

Manifestasi cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi

serebral dan terganggunya persediaan energi serebral. Manifestasinya antara lain

peningkatan tekanan intrakranial, kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan

hiperkarbi, serta terganggunya autoregulasi serebral.

Penanganan awal yang tepat dan cepat merupakan hal yang sangat penting

pada cedera otak traumatik untuk mencegah cedera sekunder, sehingga dapat

menurunkan angka mortalitas dan kecacatan. Prinsip umum penanganan awal

cedera kepala adalah perfusi serebral yang stabil dan adekuat, oksigenasi yang

adekuat, mencegah hiperkapni dan hipokapni, mencegah hipoglikemi dan

hiperglikemia, serta mencegah cedera iatrogenik.

Page 43: jadi

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Indharty R. Cedera Kepala. 2013. Diakses dari http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35070/5/Chapter%20I.pdf, 15 April 2014

2. Mardjono M, Sidharta P. Neurologis Klinik Dasar. Jakarta:Dian rakyat. 248-260.

3. Basmatika IA. Cidera Kepala Sekunder. Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/SMF Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2013. Diakses dari http:// portalgaruda.org/download_article.php?article=14478&val=970, 15 April 2014.

4. Purnama E. Cidera Kepala. Diakses dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf, 15 April 2014

5. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi iv. Tangerang:Gramedia Pustaka utama.77-260.

6. Unimus. Cidera Kepala. Diakses dari http:// jtptunimus-gdl-trimanings-6499-3-babii.pdf, 26 Mei 2014.

42

43