iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · indeks luas daun nilainya sangat dipengaruhi...

28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keragaan Tanaman Kelapa Hasil pengamatan diperoleh bahwa jumlah daun, lingkar batang dan produksi buah per tandan antar umur kelapa tidak berbeda. Luas daun kelapa 5 tahun lebih besar dibanding kelapa 20 dan 50 tahun, selengkapnya disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Karakter vegetatif dan produksi tanaman kelapa. Umur kelapa (tahun) Jumlah daun (pelepah. phn -1 ) Luas daun (m 2 . phn -1 ) ILD Tinggi pohon (m) lingkar batang (m) Produksi (buah. tandan -1 . bln -1 ) 5 20 50 28 31 29 339 301 192 4 4 2 3 12 15 - 1 1 - 6 5 Kelapa umur 5 tahun mempunyai luas daun terbesar karena kontribusi luas anak-daun ( leaflet ) lebih luas dibandingkan dengan kelapa umur 20 dan 50 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa luas daun makin mengecil bersamaan dengan semakin bertambahnya umur kelapa sebagaimana dikemukakan oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya (Ohler 2006; Lamanda et al . 2004; Darwis 1988). Luas proyeksi tajuk kelapa umur 5, 20 dan 50 tahun berturut-turut adalah 39.57, 92.24, dan 50.24 m 2 . Luas proyeksi menunjukkan tingkat penutupan terhadap lahan dalam pertanaman, dan terbukti dengan makin tingginya nilai tersebut naungan di bawah kelapa pada kelapa umur 20 tahun adalah yang tertinggi dan diperparah dengan sistem tanam segitiga yang rapat. Indeks luas daun nilainya sangat dipengaruhi oleh luas tajuk, karena luasan lahan konstan, hal itu terbukti dari nilai ILD pada kelapa umur 5 tahun. Pada umur tertentu tajuk akan mencapai ukuran maksimum dan bisa mencapai ILD maksimum juga kemudian berangsur-angsur nilai tersebut menurun sejalan dengan berkurangnya ukuran daun karena

Upload: lythuy

Post on 06-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keragaan Tanaman Kelapa

Hasil pengamatan diperoleh bahwa jumlah daun, lingkar batang

dan produksi buah per tandan antar umur kelapa tidak berbeda. Luas

daun kelapa 5 tahun lebih besar dibanding kelapa 20 dan 50 tahun,

selengkapnya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Karakter vegetatif dan produksi tanaman kelapa.

Umur

kelapa

(tahun)

Jumlah daun

(pelepah.

phn -1)

Luas

daun (m2.

phn -1)

ILD

Tinggi

pohon

(m)

lingkar

batang

(m)

Produksi

(buah.

tandan -1.

bln -1)

5

20

50

28

31

29

339

301

192

4

4

2

3

12

15

-

1

1

-

6

5

Kelapa umur 5 tahun mempunyai luas daun terbesar karena

kontribusi luas anak-daun (leaflet) lebih luas dibandingkan dengan

kelapa umur 20 dan 50 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa

luas daun makin mengecil bersamaan dengan semakin bertambahnya

umur kelapa sebagaimana dikemukakan oleh beberapa hasil penelitian

sebelumnya (Ohler 2006; Lamanda et al. 2004; Darwis 1988).

Luas proyeksi tajuk kelapa umur 5, 20 dan 50 tahun berturut -turut

adalah 39.57, 92.24, dan 50.24 m2. Luas proyeksi menunjukkan tingkat

penutupan terhadap lahan dalam pertanaman, dan terbukti dengan makin

tingginya nilai tersebut naungan di bawah kelapa pada kelapa umur 20

tahun adalah yang tertinggi dan diperparah dengan sistem tanam segitiga

yang rapat. Indeks luas daun nilainya sangat dipengaruhi oleh luas tajuk,

karena luasan lahan konstan, hal itu terbukti dari nilai ILD pada kelapa

umur 5 tahun. Pada umur tertentu tajuk akan mencapai ukuran maksimum

dan bisa mencapai ILD maksimum juga kemudian berangsur-angsur nilai

tersebut menurun sejalan dengan berkurangnya ukuran daun karena

29

bertambahnya umur kelapa. Jadi mengapa pada umur tertentu produksi

tanaman kelapa mulai menurun, dipastikan salah satunya karena pola

perkembangan ukuran tajuk tersebut yang dikaitkan dengan proses

fotosintesis. Jika dihubungkan dengan umur kelapa, maka ukuran tajuk

dan produksi maksimum terjadi antara 45-55 tahun.

Berdasarkan pengamatan visual di lapang, menunjukkan bahwa

tingkat naungan pada kelapa 20 tahun adalah yang paling tinggi

dibandingkan dengan 50 tahun (Lampiran 2). Sistem tanam kelapa turut

memberikan sumbangan yang besar pada hal tersebut . Dengan demikian,

karakter tanaman dan sistem tanam kelapa akan memberikan ruang yang

berbeda untuk transmisi radiasi matahari melewati tajuk. Dalam

penelitian ini belum dikaji lebih detail pengaruh dari pergerakan tajuk

karena angin. Hal ini sebenarnya menarik untuk dikaji karena pergerakan

bayangan tajuk juga berpengaruh pada total transmisi radiasi matahari di

pertanaman kelapa.

4.2 Radiasi Matahari

4.2.1 Intensitas dan lama penyinaran matahari

Kegiatan penelitian dilakukan selama Juni hingga Oktober 2007

(periode pertama) dan Maret hingga Juli 2008 (periode kedua). Selama

penelitian periode pertama, total intensitas radiasi matahari yang

diterima 48 957 gcal.cm-2

dengan rata-rata harian 3 221 gcal.cm-2

. Pada

periode kedua penelitian (Maret 2008 hingga Juli 2008) intensitas radiasi

matahari yang terukur sebanyak 42 571 gcal.cm-2

dan rata-rata harian

sebesar 282 gcal.cm-2

. Selama delapan bulan kegiatan penelitian

intensitas radiasi matahari bulanan tersebar merata dengan nilai antara

250-358 gcal.cm-2

. Distribusi intensitas radiasi matahari dan lama

penyinaran harian disajikan dalam Tabel 2.

Intensitas radiasi matahari harian tidak berfluktuasi tinggi selama

penelitian berlangsung. Lama penyinaran harian sebesar 21-40% dan

rata-rata terjadi selama 4-9 hari. Lama penyinaran >50% terjadi selama

10-23 hari tiap bulannya. Lama penyinaran matahari harian tertinggi

terjadi pada bulan Mei dan terendah bulan Maret.

30

Tabel 2 Intensitas radiasi matahari dan lama penyinaran harian periode

tanam Juni-Oktober 2007 dan Maret-Juli 2008

Bulan Intensitas

gcal.cm-2

Lama penyinaran (%)

0-2 21-40 41-50 >50

Periode I

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Periode II

Maret

April

Mei

Juni

Juli

293

314

332

358

315

255

286

325

294

250

7

6

6

2

1

10

8

4

6

8

4

7

5

8

9

9

9

4

7

8

8

4

4

2

4

2

2

-

2

3

11

14

16

18

17

10

11

23

15

12

Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi

Utara.

4.2.2 Transmisi radiasi matahari

Pada tanaman tunggal, hubungan antara besarnya radiasi yang

diintersep umumnya berbanding lurus dengan bentuk dan luas daun,

tetapi pada sistem pertanaman tidak demikian, karena populasi,

pola/sistem tanam, dan umur tanaman lebih menentukan. Sebaran spasial

transmisi radiasi pada pertanaman kelapa atau palma lainnya ditentukan

oleh beberapa hal, seperti (i) jarak tanam pohon (spasi lorong), (ii) tinggi

pohon, (iii) lebar tajuk, dan (iv) kepadatan tajuk (Sitompul 1998).

Beberapa kajian tentang hal tersebut sebagian telah dikerjakan dalam

penelitian ini. Berdasarkan analisis data radiasi matahari pada

pertanaman kelapa, maka diperoleh rata-rata persentase transmisi radiasi

matahari terbesar terdapat di pertanaman kelapa umur 50 tahun (49%)

dan terendah pada kelapa umur 20 tahun (22%) (perhatikan Gambar 2).

Besarnya nilai transmisi radiasi matahari pada kelapa umur 50 tahun

disebabkan oleh makin tingginya tanaman, dimana batang kelapa yang

lurus dan ukuran tajuk yang makin kecil memungkinkan radiasi yang

diteruskan ke permukaan lahan di antara kelapa lebih banyak.

31

Gambar 2 Transmisi radiasi matahari pada beberapa umur kelapa di

Kebun Percobaan Kima Atas Manado-Sulawesi Utara.

Pola transmisi radiasi matahari temporal dapat dilihat pada

Gambar 3. Berdasarkan hasil analisis ternyata pada kelapa umur 5 dan

50 tahun jumlah radiasi tertinggi yang mencapai permukaan lahan di

bawah pertanaman kelapa terjadi pada saat mid-day. Tapi, pola tersebut

tidak terjadi pada tanaman kelapa umur 20 tahun yang mempunyai

tingkat naungan tinggi (Gambar 3).

Pola distribusi radiasi pada sistem tanam segitiga selain umur 20

tahun mirip dengan sistem segiempat (garis merah di Gambar 3) tapi,

kuantitas radiasi masih lebih rendah dibanding pada sistem tanam

segiempat. Itulah sebabnya, ketersediaan radiasi matahari harian yang

minim pada pertanaman kelapa sistem tanam segitiga menjadi kendala

yang berarti jika usaha tani kelapa polikultur akan diterapkan.

Hasil simulasi untuk menunjukkan pola distribusi temporal radiasi

matahari harian juga telah dibuat (Gambar 4). Animasi tanaman kelapa

3D dibuat persis menyerupai tanaman kelapa di lokasi, terutama ukuran

tinggi dan garis tengah tajuk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa

pertanaman kelapa sistem tanam segitiga menerima radiasi lebih rendah

dibanding pertanaman kelapa sistem tanam segiempat.

32

Gambar 3 Distribusi temporal harian radiasi matahari pada beberapa

umur kelapa berdasarkan waktu pengamatan (hasil observasi)

di Kebun Percobaan Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.

Berdasarkan hasil tersebut, maka program ekstensifikasi atau

peremajaan kelapa sebaiknya menerapkan sistem tanam kelapa

segiempat. Pengaturan jarak dan sistem tanam seperti ini akan

menguntungkan jika diterapkan sistem polikultur.

Gambar 4 Distribusi temporal radiasi matahari pada beberapa umur

kelapa berdasarkan waktu pengamatan (hasil simulasi)

33

Pola distribusi spasial radiasi matahari pada penelitian ini dikaji

dengan menggunakan teknik simulasi. Animasi kelapa 3D dibuat

menjadi dua model seperti kelapa umur 20 tahun dan 50 tahun dan diatur

jarak dan sistem tanam sesuai dengan yang ada di lokasi penelitian.

Untuk mendapatkan visual yang jelas, maka simulasi dilakukan pada 21

Maret pukul 12.00. Hasil simulasi disajikan dalam Gambar 5 dan 6.

Gambar 5 Simulasi tanaman kelapa umur 50 tahun dengan tinggi 15 m

dan ditanam segiempat. (a) posisi bayangan tajuk dan (b)

distribusi spasial radiasi matahari.

a

a

b

34

Gambar 6 Simulasi tanaman kelapa umur 20 tahun dengan tinggi 12 m

dan ditanam segitiga. (a) posisi bayangan tajuk dan (b)

distribusi spasial radiasi matahari

Distribusi spasial radiasi matahari pada pertanaman kelapa

segitiga menempati kawasan yang sempit pada lahan di antara barisan

kelapa sedangkan pada sistem segiempat lahan yang kena paparan radiasi

langsung relatif lebih luas dan hampir menempati seluruh kawasan pada

lahan di bawah (understorey) tajuk kelapa. Gambar visual dan sebaran

data berupa grafik kontour memperkuat hasil observasi mengenai

distribusi spasial radiasi matahari di pertanaman kelapa.

a

b

a

35

Data distribusi spasial radiasi matahari pada pertanaman kelapa

hasil simulasi dapat divisualisasi berupa skater grafik . Titik pengamatan

diberi kode angka 1-30 yang merupakan light meter helpers. Pada saat

simulasi setiap titik pengamatan tersebut akan terlihat data radiasi

(dalam satuan lux). Hasil analisis data dengan excel disajikan dalam

Gambar 7. Pola distribusi spasial radiasi matahari menunjukkan bahwa

lahan dalam barisan kelapa sistem tanam segiempat mendapatkan

paparan yang tinggi di bagian tengah, namun tidak demikian yang terjadi

pada pertanaman kelapa sistem segiempat. Pola distribusi pada sistem

segiempat menyerupai pola pada pertanaman kelapa sawit yaitu jumlah

radiasi makin membesar ke arah tengah barisan antar tanaman (Wilson

& Ludlow 1991) dan pada sistem agroforestri lorong tanaman pohon

(Suryanto et al. 2005).

Gambar 7 Distribusi radiasi matahari berdasarkan posisi pengamatan

pada sistem tanam kelapa segitiga dan segiempat (simulasi

21 Maret pukul 12.00 pada kordinat 1.32 LU dan 124.54 BT)

Variasi sebaran radiasi yang diperlihatkan kelapa umur 20 tahun,

akan menambah kesulitan dalam praktek pemanfaatan lahan di antara

kelapa. Bagi tanaman-tanaman yang memerlukan naungan, maka sistem

36

tanam segitiga adalah lokasi yang lebih cocok dibanding pada sistem

tanam kelapa segiempat. Itulah sebabnya, pemilihan jenis tanaman sela

sangat menentukan keberhasilan usaha tani kelapa polikultur.

Dasar yang umum digunakan untuk mengetahui pola distribusi

radiasi berdasarkan umur kelapa adalah yang dikemukakan oleh Nelliat

et.al (1974) yang dikembangkan dari sistem tanam segiempat 7.5x7.5 m.

Hasil tersebut sepenuhnya dapat digunakan karena ada sistem tanam

lainnya. Oleh karena itu, dengan menggunakan teknik animasi telah

dibuat model 3D kelapa sistem tanam segitiga dan segiempat dengan

tujuh tingkatan umur berbeda. Simulasi dilakukan pada 21 Maret pukul

10.00-14.00 (lima jam tiap hari) supaya didapatkan data yang

representatif mewakili setiap karakter umur dan sistem tanam (hasilnya

disajikan di Gambar 8).

Gambar 8 Distribusi radiasi matahari di pertanaman kelapa sistem tanam

segitiga dan segiempat hasil simulasi dengan 3Ds Max

Design versi 2011.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata radiasi matahari yang

mencapai permukaan lahan di pertanaman kelapa sistem segitiga sebesar

31 384lux lebih rendah dibanding sistem segiempat yaitu 57 205lux.

37

Nilai radiasi terendah untuk kedua sistem tanam terjadi pada kelapa umur

20 tahun. Radiasi matahari pada sistem tanam segitiga dan segiempat

masing-masing adalah 23 394 dan 42 689lux (Gambar 8). Pola yang

disajikan pada Gambar 8 „mirip‟ dengan yang dikemukakan oleh Nelliat.

Perbedaannya bahwa dalam model yang lama tersebut tidak disajikan

pola radiasi matahari sistem tanam kelapa segitiga.

4.3 Suhu dan Kelembaban Udara

Profil suhu rata-rata harian di pertanaman kelapa berumur 5, 20,

dan 50 tahun bervariasi antara 25-290C. Rataan suhu lebih tinggi terukur

pada pertanaman kelapa berumur 5 dan 50 tahun dan terendah pada

pertanaman kelapa umur 20 tahun. Rataan suhu udara harian di lahan

terbuka berkisar antara 27-300C dan lebih tinggi 1-2

0C dibanding suhu di

bawah pertanaman kelapa (Gambar 9).

Energi radiasi matahari yang berbeda yang diterima di se tiap

pertanaman kelapa menyebabkan perbedaan profil suhu dan kelembaban

udara, meskipun tidak berfluktuasi terlalu tinggi Baldy & Stighter (1997)

mengemukakan bahwa suhu rata-rata di kawasan agroforestri lebih

rendah dibanding kawasan terbuka, dan karena efek naungan juga, maka

variasi suhu di bawah pertanaman tidak terlalu besar. Copeland (1931)

mendapatkan variasi suhu di pertanaman kelapa sebesar 270C dan di

lahan terbuka 300C.

Di kawasan hutan suhu udara akan lebih rendah di banding lahan

terbuka, dan variasi diurnal suhu tidak terlalu besar. Pengurangan

fluktuasi suhu yang terlalu ekstrim, baik suhu tanah maupun suhu udara

biasa dilakukan dengan menggunakan pohon pelindung seperti pada

pertanaman kopi (Beer et al. 1998). Suhu udara juga dipengaruhi oleh

fluktuasi jumlah energi radiasi matahari yang diterima permukaan bumi.

Besaran radiasi matahari yang diterima secara langsung mempengaruhi

proses perpindahan massa, kapasitas panas udara serta kerapatan udara

(Lakitan 2002) dan flutkutasi suhu di dekat permukaan bumi akan

38

Gambar 9 Profil suhu dan kelembaban udara di pertanaman kelapa dan

lahan terbuka di Kebun Percobaan Kima Atas, Manado-

Sulawesi Utara.

berbanding lurus dengan besarnya energi radiasi matahari yang diterima

(Handoko 1993; Jumin 2002).

Pengukuran kelembaban memperlihatkan rata-rata kelembaban

udara di lahan terbuka dan pertanaman kelapa umur 5 tahun lebih rendah

39

namun lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan di pertanaman kelapa

umur 20 dan 50 tahun. Rata-rata fluktuasi harian kelembaban udara tidak

begitu besar dan berkisar 75-80%. Kelembaban menyatakan seberapa

besar kandungan air yang ada pada satuan kolom udara dan berhubungan

dengan laju evapotranspirasi. Kedua unsur iklim mikro ini (suhu dan

kelembaban) secara simultan berperan dalam proses transpirasi. Di alam

nilai kelembaban udara biasanya berbanding terbalik dengan besaran

nilai suhu.(Handoko 1993).

Berdasarkan data kelembaban yang terukur menunjukkan bahwa

kisaran kelembaban udara masih berada level optimum yang diperlukan

tanaman, sehingga diasumsikan bahwa proses metabolisme tidak

mendapat pengaruh negatif. Suhu yang rendah dan kelembaban yang

tinggi akan memperkecil laju evaporasi dan laju transpirasi tanaman,

sekaligus mempertahankan ketersediaan air lebih lama bagi tanaman

kelapa maupun tanaman sela (Proud 2005). Namun, kondisi lembab yang

berlangsung lama akan bisa mendukung berkembangnya penyakit

tanaman yang disebabkan oleh jamur, seperti jamur Phythopthora sp.

4.4 Kadar Air Tanah

Kadar air tanah (Kat) pada tiga lokasi pertanaman kelapa berkisar

antara 5-80% di area terbuka antara 5-32%. Kat pada pertanaman kelapa

umur 20 tahun bervariasi antara 15-80% dengan rata-rata 41% merupakan

kadar air tertinggi dibandingkan dengan dua umur kelapa la innya yang

berkisar antara 21-24%. Tingkat naungan yang tinggi menyebabkan

besaran evaporasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan lahan yang

banyak mendapat paparan radiasi matahari. Meskipun nantinya terjadi

kondisi cekaman air akibat suplai hujan yang kurang, tapi antara tanaman

sela dan kelapa tidak akan saling berkompetisi. Sistem perakaran kelapa

aktif hanya tersebar 2 m dari pangkal batang dan tanaman sela ditanam

pada posisi diluar kawasan perakaran tersebut.

40

4.5 Sifat Hujan

4.5.1 Curah hujan bulanan dan hari hujan

Menurut WMO (World Meterogical Organization), batasan hari

hujan adalah hari dengan curah hujan ≥ 0.5 mm. Berdasarkan kriteria

tersebut, maka jumlah hari hujan (HH) selama penelitian periode pertama

(Juni 2007 hingga Oktober 2007) adalah 92 hari atau rata-rata 18 HH per

bulan. Jumlah curah hujan selama periode tersebut adalah 1 166 mm atau

rata-rata 233 mm per bulan. Selama penelit ian, curah hujan bulanan

tertinggi terjadi pada bulan Juni 2007 yakni 366 mm dan hari hujan

terbanyak yakni 25. Sebaliknya curah hujan terendah adalah 67 mm

dengan jumlah HH 9 terjadi pada bulan September 2007. Kebutuhan air

tanaman pangan selama penelitian tetap terpenuhi jika melihat sifat curah

hujan dan jumlah hari hujan selama periode tanam pertama maupun

kedua. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi hari hujan (HH), jumlah hujan bulanan, dan jumlah

harian selama penelitian (Juni 2007– Oktober 2007).

Bulan Hari hujan

(HH.bln-1

)

Curah hujan

(mm.bln-1

)

Curah hujan

(mm.hari-1

)

Maksimum Ratarata

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

25

17

18

9

23

366

143

336

67

254

65

36

72

22

46

12

5

11

2

8

Total

Rata-rata

92

18

1 166

233

48

8

Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi

Utara.

Jumlah hari hujan periode kedua penelitian (Maret 2008 hingga

Juli 2008) adalah 122 hari dengan total hujan 1 599 mm. Total curah

hujan tertinggi terjadi pada bulan April yaitu 522 mm dan HH terjadi

selama 27 hari. Hujan yang paling rendah terjadi di bulan Mei yaitu 84

mm dan HH 15 hari. Berdasarkan sebaran hujan tersebut dapat dikatakan

41

bahwa air tidak menjadi kendala bagi tanaman sela pada penelitian tahap

pertama dan kedua. Data selengkapnya disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Distribusi hujan bulanan dan jumlah hari hujan selama

penelitian tahap pertama (Maret 2008–Juli 2008).

Bulan Hari hujan

(HH.bln-1

)

Curah hujan

(mm.bln-1

)

Curah hujan

(mm.hari-1

)

Maksimum Rata-rata

Maret

April

Mei

Juni

Juli

28

27

15

24

28

413

522

84

161

419

101

138

28

36

144

13

17

3

5

14

Total

Rata-rata

122

24

1 599

320

89

11

Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi

Utara.

4.5.2 Jeluk hujan

Jeluk hujan menggambarkan sebaran jumlah hujan tertentu yang

terjadi setiap hari, dan berdasarkan pengukuran langsung di lapang, telah

diklasifikasi empat jeluk hujan, 0-20, 20–40, 40–60, dan >60mm

Berdasarkan perhitungan, maka sebaran jeluk hujan dominan terjadi

pada kisaran 0-20 mm yang terjadi selama 26 HH, tapi intensitas

terbanyak pada hujan >60 mm meskipun hanya 11 HH tapi total curah

hujan sebanyak 1 155 mm. Jeluk hujan terendah pada kisaran 0-20 mm

dengan total hujan sebanyak 272 mm dan berlangsung selama 26 HH.

Data hujan yang dianalisis seperti ini baik untuk informasi pertanian,

karena dapat digunakan untuk menentukan jadual tanam. Jeluk hujan 20

harian ini memberikan gambaran distribusi intensitas hujan yang terjadi

selama periode tertentu, tergantuing sumber data yang digunakan. Data

tersebut juga memberikan gambaran bahwa hujan cukup merata

sepanjang penelitian dilaksanakan. Intensitas tinggi (>60 mm) jarang

terjadi, sehingga pemeliharaan tanaman bisa dilakukan dengan baik.

Rincian jeluk hujan dan besaran komponen distribusi hujan selama dua

periode penelitian (2007 dan 2008) disajikan dalam Tabel 5.

42

Tabel 5 Jeluk hujan pada setiap hari hujan di lokasi penelitian .

Komponen Jeluk (mm hari

-1)

0-20 >20-40 >40-60 >60 Jumlah

Jumlah HH

%

Curah hujan

%

26

47

272

13

11

20

340

16

7

13

364

17

11

20

1 155

54

55

100

2 131

100

Sumber: Data hujan harian dari Stasiun Klimatologi Kayuwatu Manado-Sulawesi

Utara.

.

4.6 Distribusi Hujan

4.6.1 Curahan tajuk

Curahan tajuk pada masing-masing umur kelapa tidak sama

besarnya, tapi umumnya mempunyai pola hubungan yang sama dengan

total curah hujan, yaitu linear positif Artinya semakin besar curah hujan

total, nilai curahan tajuk juga makin besar (Gambar 10).

Gambar 10 Hubungan antara curah hujan total dengan curahan tajuk (Tf)

pada beberapa umur tanaman kelapa di Kebun Percobaan

Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.

.

Persentase curahan tajuk pada kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun

berturut-turut 72, 60, dan 60% dari rata-rata total curah hujan yang

terjadi di tiap lokasi. Posisi pelepah daun pada t ajuk kelapa umur 5

43

tahun umumnya tegak dan berbentuk sepert “sapu”,sehingga

memudahkan air hujan melewatinya dibanding pada kelapa umur 20 dan

50 tahun. Pada kelapa dewasa bentuk tajuk seperi bundar (cone), dan

karena pilotaksis daun yang unik, maka pelepah satu deng an yang

lainnnya saling silang menyilang dan membuat daun saling menutup.

4.6.2 Aliran batang

Kendala pengukuran aliran batang karena adanya tonjolon bekas

pelepah daun dan “takikan” yaitu pelukaan yang dibuat pemanjat untuk

tempat pijakan kaki saat memanjat kelapa. Aliran air hujan melalaui

batang banyak terdispersi (splashed) sehingga tidak semuanya dapat

terukur. Itulah sebabnya pengukuran aliran batang pada penelitian ini

sangat bias sebagaimana yang digambarkan melalui model linear pada

Gambar 11 dengan nilai koefisien determinasi yang rendah.

Gambar 11 Hubungan antara curah hujan total dengan aliran batang (S f)

pada beberapa umur tanaman kelapa di Kebun Percobaan

Kima Atas, Manado-Sulawesi Utara.

Berdasarkan hasil analisis maka persentase aliran batang umur 50

tahun sebesar 11% dan kelapa umur 20 tahun sebesar 3% dari rata-rata

total curah hujan yang terjadi di tiap lokasi. Hasil yang didapatkan pada

44

beberapa penelitian, khususnya pada kelapa sawit dan tanaman kelapa

juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu rata-rata kurang dari

20% (Ridwan 2009; Pelawi 2009; Japar 2000).

Model empiris hubungan antara curah hujan total dengan aliran

batang menunjukkan hubungan yang yang tidak berarti, karena koefisien

determinasi sangat rendah (Gambar 11). Selain faktor morfologi batang

kelapa, maka jarak (distance) tempuh air hujan menuju ke alat pengukur

yang jauh menyebabkan bias pengukuran tersebut . Jadi, model yang

memadai untuk menyajikan hubungan antara curah hujan total dengan

aliran batang tidak dapat diandalkan.

4.6.3 Hujan efektif

Hujan efektif atau hujan neto (Pn) adalah hujan yang dapat

mencapai lahan di bawah suatu pertanaman, dan besarnya Pn tergantung

pada nilai curahan tajuk (T f) dan aliran batang (S f). Model empiris yang

menghubungkan antara besarnya curah hujan (P) dengan hujan efektif

(Pn) menunjukkan bahwa makin besar curah hujan total, maka air yang

mencapai lahan di bawah kelapa juga akan makin banyak, dan pola ini

sama untuk semua umur kelapa yang diteliti (Gambar 12).

Gambar 12 Hubungan total curah hujan dengan hujan efektif (Pn) kelapa

umur 5, 20, dan 50 tahun di Kebun Percobaan Kima Atas,

Manado-Sulawesi Utara.

45

Hubungan curah hujan total dengan hujan efektif pada tanaman

kelapa sawit umur 8 tahun bersifat kuadratik dengan model empiris

Pn=11.244 e0.0077X

(Suharto 2007). Pola hubungan antara hujan total

dengan hujan efektif pada semua umur tanaman kelapa bersifat linear

positif dengan nilai koefisien determinasi (R2) lebih besar dari 0.80.

Artinya, besaran hujan efektif fluktuasinya cukup kuat dipengaruhi oleh

curah hujan total. Persentase hujan efektif yang diterima di pertanaman

kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun berturut-turut adalah 71, 63, dan 71%

dari rata-ratra total curah hujan di masing-masing lokasi. Lahan di

pertamanan kelapa umur 5 tahun mendapatkan hujan efektif tertinggi di

banding umur kelapa 20 dan 50 tahun karena dimungkinkan oleh bentuk

tajuk. Hujan efektif pada sawit sebesar 47% (Suharto 2007).

Bentuk dan struktur tajuk kelapa sebenarnya tidak terlalu baik

untuk mencegah proses erosi permukaan. Anak daun kelapa bisa

berfungsi memperbesar butiran air yang jatuh ke tanah, sehingga

mempunyai energi kinetik besar saat menerpa permukaan tanah . Energi

tersebut bisa mempunyai daya dispersi atau penguraian yang besar

terhadap butiran/agregat tanah.

4.6.4 Intersepsi tajuk

Intersepsi tajuk tanaman menyatakan besaran dari kemampuan

tanaman menahan air hujan. Sebagaimana hujan efektif, maka intersepsi

tajuk juga besarannya ditentukan oleh arsitek tajuk setiap tanaman.

Intersepsi tajuk adalah selisih antara total curah hujan dengan hujan

efektif. Hubungan antara intersepsi hujan dengan curah hujan total tidak

mempunyai pola yang jelas tapi pada kelapa sawit, model empiris

hubungan curah hujan dengan intersepsi tajuk bersifat kuadratik, dengan

persamaan P int=12.122e0.0083X

(R2=0.6792) (Suharto 2007). Intersepsi

tajuk tertinggi terjadi pada kelapa umur 20 tahun (38%) dan terendah

pada kelapa 5 tahun (27%) dari rata-rata total curah hujan yang terjadi.

Nilai intersepsi tajuk termasuk unik, karena pada curah hujan

<10mm persentase intersepsi tajuk bisa mencapai >70%. Artinya, setiap

tajuk hanya efektif hanya akan mempunyai kapasitas optimum menahan

46

air pada jumlah tertentu (intensitas rendah), selebihnya fungsi tajuk tidak

lagi efektif. Intersepsi pada sawit umur 8 tahun maksimum bisa

mencapai 65% dari hujan yang terjadi. Intersepsi tajuk kelapa Dalam,

Genjah, dan Hibrida berturut-turut sebesar 12, 9, dan 31% (Japar 2000).

Pelawi (2009) mendapatkan nilai intersepsi untuk kelapa sawit umur 10,

25 dan 35 tahun berturut-turut sebesar 52, 58, dan 71% dari total hujan

yang terjadi.

Hasil penelitian, khususnya nilai intersepsi tajuk yang tidak

berpola diduga karena karakter tanaman kelapa yang mempunyai pola

batang tunggal. Dicurigai banyak hujan yang jatuh kealat penampung

tanpa melalui tajuk dan itu terjadi pada kelapa umur 5 tahun dan 50.

Analisis distribusi hujan lengkapnya disajikan pada Lampiran 8.

4.6.5 Hubungan karakter kelapa dengan distribusi hujan

Karakter fisik tanaman kelapa, baik karakter daun atau tajuk

maupun batang sangat mempengaruhi kemampuan tanaman untuk

meneruskan atau menahan air hujan yang masuk pada sistem pertanaman.

Hubungan antara karakter tajuk dengan distribusi hujan dapat ditunjukan

dengan nilai kapasitas dan porositas tajuk. Pendekatan ini biasanya

digunakan pada sistem tanaman/pohon dan telah diaplikasi pada tanaman

kelapa. Nilai karakter tersebut disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Karakter tajuk dan batang kelapa dihubungkan dengan variabel

distributribusi hujan (rata-rata hujan.hari-1

adalah 9 mm).

Umur kelapa

(tahun)

Kapasitas

tajuk(Kc)

(mm)

Porositas

tajuk (Pc)

Kapasitas

batang (Ks)

(mm)

Koefisien

input batang,

(Is)

(mm)

5

20

50

5

11

6

0.7

0.4

0.5

0.0

0.2

-0.7

0.00

0.02

0.11

Kapasitas tajuk (Kc) adalah nilai yang memberikan petunjuk

mengenai kemampuan maksimum tajuk menampung air hujan. Nilai ini

adalah fungsi dari curah hujan total dan curahan tajuk. Nilai Kc kelapa

umur 20 tahun adalah yang tertinggi dibandingkan umur kelapa lainnya.

47

Berdasarkan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa tajuk kelapa

tersebut mampu menyimpan hujan untuk setiap kejadian hujan lebih

banyak. Hal ini terjadi ditunjang oleh karakter tajuk antara lain luas

daun, jumlah daun, dan jenis kelapa, yaitu Hibrida. Hibrida persilangan

Dalam x Dalam yang terpilih pada penelitian ini memiliki daun lebih

rapat dan lebih panjang dibandingkan kelapa Dalam.

Porositas tajuk (Pc) adalah sifat dari tajuk untuk bisa ditembus

oleh air hujan. Porositas tajuk kelapa umur 5 tahun adalah yang tertinggi,

dikarenakan bentuk (shape) tajuk seperti “sapu” artinya sebagian besar

pelepah daun hampir tegak, sehingga meloloskan air lebih banyak

dibanding tajuk kelapa lainnya pada penelitian ini. Kapasitas tajuk

dengan nilai yang tinggi akan diikuti oleh sifat porositas yang rendah,

artinya tajuk yang dapat menampung hujan lebih banyak , mempunyai

sifat untuk meneruskan hujan sebagai curahan tajuk lebih sedikit, begitu

juga sebaliknya.

Nilai kapasitas batang dan koefisien input batang tidak

memberikan gambaran atau pola yang jelas, karena nilai yang diperoleh

terlalu minim. Hal ini terjadi karena data pengukuran aliran batang tidak

mempunyai nilai korelasi yang kuat dengan besarnya curah hujan.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa bentuk batang kelapa yang

lebih panjang dengan permukaan yang kasar menjadi salah satu

penyebabnya. Data analisis distribusi hujan selengkapnya disajikan pada

Lampiran 8.

4.7 Parameter Tanaman Sela

4.7.1 Pertumbuhan dan produksi jagung

Tanaman jagung yang digunakan pada dasarnya hanya sebagai

tanaman indikator, untuk melihat seberapa besar perbedaan radiasi

matahari, perbedaan profil suhu dan kelembaban serta distribusi hujan

mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman sela di antara kelapa.

Hasil pengamatan memperlihatkan perbedaan rata-rata tinggi tanaman

dan jumlah daun tanaman jagung pada empat lokasi penanaman.

48

Analisis statistik menunjukkan nilai variabel vegetatif tidak

berbeda nyata, tapi jumlah daun dan tinggi tanaman jagung tertinggi

didapatkan pada jagung yang ditanam pada lahan terbuka. Itulah

sebabnya, jika dihubungkan dengan fungsi daun untuk mengintersep dan

tempat terjadinya proses fotosint esa, maka logis jika produksi jagung

tertinggi diperoleh pada lahan terbuka. Hasil analisis disajikan dalam

Tabel 7 dan analisis ragam di Lampiran 9.

Tabel 7 Parameter vegetatif jagung di pertanaman kelapa dan di lahan

terbuka.

Lokasi

Jumlah daun Tinggi

(cm)

Kelapa 5 tahun

Kelapa 20 tahun

Kelapa 50 tahun

Lahan terbuka

8.9b

8.5a

9.8b

10.1b

221.6a

155.3b

187.7b

252.9a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf

uji 5%(uji F)

Komponen vegetatif pada jagung yang ditanam pada pertanaman

kelapa 20 tahun, terutama tinggi tanaman lebih rendah dibanding lokasi

lainnya, gejala etiolasi (pemanjangan) tidak terjadi karena pertumbuhan

jagung sangat tidak baik. Jumlah daun tidak berbeda, karena dianggap

sifat genetis jagung sampai pada taraf naungan seperti ini tidak

menyebabkan gangguan genetis yang parah, sehingga laju pembentukan

daun tetap sama meskipun dengan karakter morfologi yang berbeda.

Perbedaan radiasi matahari yang diterima akan berpengaruh pada

keseluruhan proses metabolisme, sehingga terjadi perbedaan

pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara keseluruhan.

Pertumbuhan yang terganggu menyebabkan produksi tanaman

tidak mencapai angka potensial. Squire (1990) mengemukakan bahwa

produksi bahan kering tanaman berbanding lurus dengan besarnya

intersepsi radiasi matahari oleh tanaman. Tanaman jagung yang

tergolong kelompok C4 merupakan contoh tanaman yang memerlukan

energi radiasi yang besar. Hal itu terbukti pada jagung yang di

49

pertanaman kelapa umur 20 tahun, karena transmisi radiasi hanya 22 %.

Akibatnya pertumbuhan tanaman tidak sebaik jagung di pertanaman

kelapa umur 5 dan 50 tahun atau di lahan terbuka.

Rukmana (1997) mengemukakan bahwa jagung yang mendapat

naungan berat akan terhambat pertumbuhannya, batang menjadi kurus

dan tongkolnya ringan bahkan tidak terbentuk buah sehingga

produksinya cenderung menurun. Hasil penelitian Musa (2007)

mendapatkan nilai parameter vegetatif lebih baik pada jagung di

lahan terbuka dan di tanaman kelapa berumur lebih dari 15 tahun

dibandingkan dengan nilai pada pertanaman kelapa berumur kurang dari

15 tahun.

Jika dinamika suhu dihubungkan dengan produksi bahan kering,

maka secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kenaikan suhu 100C

produksi bahan kering akan meningkat sebesar dua kali (Q 10), dengan

catatan tanaman tumbuh dalam kisaran suhu optimum (Chang 1974).

Suhu udara sangat menentukan pembentukan jaringan baru melalui

pengaruhnya terhadap pembelahan dan pemanjangan jaringan meristem.

Suhu berperanan pada metabolisme tanaman ditunjukkan dengan

pengaruhnya yang besar terhadap proses respirasi (Baharsyah 1982).

Pada penelitian ini, rata-rata suhu udara pada berbagai umur tanaman

kelapa tidak berbeda dan tidak juga melampaui kebutuhan dasar suhu

tanaman jagung, sehingga unsur iklim mikro ini bukan penyebab utama

perbedaan produksi bahan kering, tapi lebih dominan karena perbedaan

penerimaan radiasi matahari.

Pada tanaman semusim, produksi adalah indikator baik tidaknya

masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman selama fase vegetatif.

Produksi tanaman jagung yang diperoleh pada penelitian ini

membuktikan hal tersebut. Tanaman jagung dengan parameter vegetatif

yang tidak baik pada pertanaman kelapa umur 20 tahun menghasilkan

jagung lebih rendah dibandingkan dengan yang ditanam pada pertanaman

kelapa 5, 50 tahun, dan lahan terbuka.

50

Secara umum, produksi jagung yang ditanam di bawah kelapa

lebih rendah dibanding dengan produksi jagung pada lahan terbuka

(perlakuan kontrol). Produksi jagung di lahan terbuka 5.4 t.ha-1

di

pertanaman kelapa umur 5, 20, dan 50 tahun berturut-turut 3.2, 1.9, dan

3.9 t.ha-1

.

Rochette et al. (1996) mendapatkan bahwa efisiensi penggunaan

radiasi matahari oleh tanaman pada saat berawan bisa berkurang 66%

dibanding saat cuaca cerah. Selanjutnya Braconnier (1998) dengan

membuat empat level naungan buatan dengan tingkat transmisi sebesar

31, 41, 72, dan 100% (x) mendapatkan hubungan linear positif antara

besarnya tingkat naungan buatan dengan produksi pipilan kering (Y) yang

digambarkan dengan persamaan empiris Y=0.0837x + 0.2921

(R2=0.99).Berdasarkan model tersebut bisa disimpulkan bahwa produksi

jagung akan bertambah sejalan dengan meningkatnya penerimaan radiasi

radiasi atau akan makin rendah dengan semakin meningkatnya tingkat

naungan.

Pada penelitian ini telah dibuat model empiris yang

menghubungkan besarnya transmisi radiasi matahari (R t) dengan

produksi tanaman sela. Asumsi yang dibuat untuk membangun model

empiris adalah (1) air dan hara tersedia selama masa pertumbuhan dan

perkembangan tanaman, (2) suhu dan kelembaban antar blok kelapa

tidak berbeda ekstrim (sesuai hasil penelitian), (3) gangguan hama dan

penyakit minimal, dan (4) pengelolaan dan pemeliharaan dilakukan

sesuai standar untuk tiap jenis tanaman sela. Asumsi-asumsi tersebut

yang digunakan sebagai unsur pendukung model empiris yang diperolah.

Adapun model empiris untuk jagung yaitu Y(jgg) =2.28ln(R t)-5.42,

[R2=0.99], analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 10. Jika

dihubungkan dengan variabel iklim mikro lainnya seperti suhu, maka

kebutuhan suhu optimal untuk masa pertumbuhan tanaman jagung antara

27-300C (Irfan 1999 diacu dalam Musa 2007). Rataan suhu harian antar

lokasi tidak berfluktuasi secara ekstrim dan masih memenuhi kebutuhan

optimum bagi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung.

51

Dengan demikian, dapat dianggap bahwa bervariasinya pertumbuhan dan

produksi jagung pada percobaan ini lebih ditentukan oleh keragaman

penerimaan radiasi matahari karena perbedaan umur tanaman dan sistem

tanam kelapa.

4.7.2 Pertumbuhan dan produksi padi

Tanaman indikator kedua yang dicobakan pada penelitian ini

adalah padi gogo varietas Limboto yang dipesan langsung dari Balai

Penelitian Padi (Balit Padi) Badan Litbang Pertanian-Sukamandi, Jawa

Barat. Meskipun padi jenis ini dilaporkan resisten terhadap naungan,

namun indikator vegetatif dan produksinya memberikan gambaran bahwa

perbedaan penerimaan radiasi matahari yang ditransmisikan akibat

perbedaan umur tanaman tetap menyebabkan perbedaan nyata pada

parameter yang diamati. Hasil pengamatan karakter vegetatif dan

produksi tanaman padi yang ditanam pada tiga umur kelapa dan lahan

terbuka disajikan dalam Tabel 8 dan analisis di Lampiran 9.

Tabel 8 Parameter vegetatif dan produksi padi di pertanaman kelapa dan

lahan terbuka.

Lokasi Tinggi padi

(cm)

Anakan padi

Per rumpun

Produksi

(t.ha-1

)

Kelapa 5 thn

Kelapa 20 thn

Kelapa 50 thn

Lahan terbuka

80.9a

87.8b

81.2a

79.8a

8.4a

7.5a

10.5b

11.3b

2.9a

1.4b

3.5c

4.7d

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji F)

Tanaman padi gogo yang paling tinggi ditemukan pada

pertanaman kelapa umur 20 tahun, hal ini terjadi karena adanya proses

etiolasi. Jumlah radiasi matahari yang mencapai tanaman padi hanya

22% dari total yang diterima di lahan terbuka atau di atas tajuk kelapa

sehingga tidak cukup juga bagi pembentukan jumlah anakan yang rata -

rata hanya 7 per rumpun. Akibatnya, produksi padi Gabah Kering Giling

(GKG) di lokasi ini paling rendah dibanding padi gogo yang ditanam di

pertanaman kelapa umur 5, 50, dan lahan terbuka.

52

Potensi produksi padi ini tidak tercapai pada penelitian ini, tapi

dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa penanaman padi gogo

dipertanaman kelapa dengan tingkat transmisi radiasi hanya 38% (kelapa

umur 5 tahun) atau 49% (umur 50 tahun) masih memungkinkan untuk

dilakukan. Hubungan antara besarnya transmisi radiasi matahari (Rt)

dengan produksi padi gogo (Ypadi) dimodelkan dengan Y(padi) =2.17ln(R t)-

4.85 [R2=0.98] (selengkapnya di Lampiran 10).

4.7.3 Pertumbuhan dan produksi kacang tanah

Kacang tanah memberikan respon yang tidak terpola terhadap

perbedaan transmisi radiasi matahari dibanding tanaman jagung dan

kacang tanah. Berdasarkan analisis ragam, produksi bahan kering antar

lokasi berbeda nyata, dan produksi terbesar diperoleh pada lahan terbuka

dan terendah pada kelapa berumur 20 tahun. Produksi polong total dan

polong berisi terbanyak juga diperoleh dari lahan terbuka dan terendah di

kelapa umur 20 tahun. Informasi selengkapnya disajikan dalam Tabel 9

(analisis di Lampiran 9).

Tabel 9 Parameter vegetatif dan produksi kacang tanah di pertanaman

kelapa dan lahan terbuka.

Lokasi

Berat kering

(g.tan-1

)

Total polong

(polong.tan-1

)

Polong berisi

(polong.tan-1

)

Kelapa 5 thn

Kelapa 20 thn

Kelapa 50 thn

Lahan terbuka

26.5a

25.6a

28.5b

30.0c

9.4a

9.1b

9.5c

9.6c

6.4a

6.0b

6.4a

6.5a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama di tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf

uji 5% (uji F)

Produksi kacang tanah sangat dipengaruhi oleh selain kondisi

tanah dan pemeliharaan, juga ketersediaan faktor lingkungan fisik

lainnya seperti air, radiasi matahari, suhu. Melalui indikator curah hujan,

maka jumlah yang optimal untuk kacang tanah antara 800-1 300 mm per

tahun, kondisi ini terpenuhi selama masa tanam. Hasil pengamatan suhu

dan kelembaban udara di lokasi penelitian menunjukkan angka yang

tidak menjadi penghalang tanaman bertumbuh dan berproduksi dengan

53

baik. Jadi adanya perbedaan produksi kemungkinan besar lebih

diakibatkan oleh level radiasi yang tidak sesuai, karena kacang tanah

umumnya memerlukan cahaya penuh (Anonim 2010).

Produksi kacang tanah tertinggi diperoleh di lahan terbuka yaitu

1.9 t.ha-1

. Produksi kacang tanah yang ditanam di bawah kelapa

umumnya lebih rendah dibanding lahan terbuka (kontrol). Rata-rata

produksi kacang tanah pada pertanaman kelapa umur 5, 20 dan 50 tahun

berturut-turut 1.6, 0.9, dan 1.6 t.ha-1

. Rataan Potensi produksi kacang

tanah varietas Kelinci menurut deskripsi yang dikeluarkan Pusat

Penelitian Tanaman Pangan adalah 1-2 ton.ha-1

[Puslibangtan 2012).

Persentase produksi yang ditanam di bawah kelapa dibanding potensi

produksi kacang tanah berkisar antara 59.33-88.30%, sedangkan pada

lahan terbuka presentase produksi 94% dari potensi produksi tertinggi.

Konversi rata-rata produksi kacang tanah dalam penelitian ini

tidak mencapai potensi produksi yang lebih dari 2 t.ha-1

. Apalagi pada

tanaman kelapa yang berumur 20 tahun produk kacang tanah sangat

kurang dibanding lokasi lainnya. Tanpa menyebutkan berapa persentasi

tingkat naungan Suparman & Abdurahman (2003) mendapatkan bahwa

produksi 14 galur kacang tanah di pertanaman kelapa rata 1.4 t.ha-1

dan

di lahan terbuka 2.7 t.ha-1

. Hal ini menunjukkan bahwa memang kacang

tanah lebih sesuai diusahakan di lahan terbuka, namun dengan tingkat

naungan yang rendah kacang tanah masih dapat berproduksi dengan baik,

sebagaimana diperlihatkan hasil kacang tanah pada pertanaman kelapa

umur lebih dari 5 dan 50 tahun.

Hubungan antara transmisi radiasi matahari (R t) dengan

keragaman produksi kacang tanah (Ykcg) telah digunakan untuk membuat

model empiris produksi kacang tanah. Model empiris mempunyai pola

logaritmik dengan persamaan matematik Ykcg=0.63ln(R t)-2.01, [R2=0.84]

(Lampiran 10).

4.8. Produktivitas Lahan

Indikator Parameter produktivitas lahan adalah indeks land

equiavalent ratio (LER). Indeks ini merupakan indikator adanya

54

perubahan tingkat produktivitas lahan setelah diusahakan, baik dengan

sistem tanam monokultur maupun polikultur. LER pada penelitian ini

dihitung dengan basis usaha tani kelapa polikultur. Nilai LER polikultur

kelapa+jagung pada umur kelapa 20 dan 50 tahun berturut-turut sebesar

1.9 dan 1.75, kelapa+padi bernilai 1.8 dan 1.9, dan kelapa+kacang

tanah adalah 1.9 dan 1.8. Semua kombinasi usaha tani kelapa polikultur

meningkatkan produktivitas lahan sebesar 75-99%. Hasil penelitian

Koesmaryono & Sabaruddin (2005) mendapatkan LER pada kombinasi

tanaman jagung dan kacang tanah pada musim hujan dan kemarau

sebesar 1.63 dan 1.62. Artinya sistim tanam antar tanaman pangan juga

dapat meningkatkan produktivitas lahan >60%.

Kesimpulan umumnya, bahwa pemanfaatan lahan di antara kelapa

atau sistem tanam polikultur dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Artinya, petani akan mendapatkan nilai tambah dengan sistem tanam

polikultur. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat

sekaligus efisiensi penggunaan lahan juga makin bertambah (Analisis

lengkap di Lampiran 11)

4.9 Analisis Usaha Tani

Produksi jagung, padi, dan kacang tanah pada penelitian ini

umumnya tidak mencapai produksi potensial, apalagi yang diusahakan di

bawah pertanaman kelapa. Penghitungan nilai manfaat model usaha tani

polikultur dilakukan dengan memasukkan pendapatan antara produk

kelapa dengan tanaman sela. Produk kelapa dalam analisis usaha tani

dibagi menjadi dua macam produk, yaitu kopra dan kelapa segar

(butiran). Di beberapa sentra pabrik tepung kelapa atau pabrik minyak ,

produk kelapa butiran lebih banyak digunakan dibanding kopra.

Hasil analisis BC ratio pada usaha tani kelapa monokultur

menunjukkan bahwa pada kelapa umur 20 dan 50 tahun sebaiknya produk

kelapa diarahkan pada kelapa segar (BC ratio 4.1 dan 3.1), karena produk

kopra merugikan dengan (BC ratio 0.4 dan 0.12). Kelapa umur 5 tahun

belum dilakukan analisis karena kelapa belum berproduksi. Jika semua

produk kelapa butiran dikombinasikan dengan produk tanaman sela,

55

maka nilai BC ratio berkisar antara 1.3-3.6. BC ratio tertinggi ada pada

kombinasi kelapa-50+jagung (3.6) dan terendah pada kombinasi kelapa-

20+padi (1.3). Jika petani mengandalkan produk kopra, maka hanya

kombinasi kelapa (umur 20 dan 50 tahun) dengan kacang tanah yang nilai

BC rationya antara 2.4-3.6, kombinasi kelapa-50+jagung dan kombinasi-

50+padi bernilai 1.9 dan 1.5, dan kombinasi yang sama pada kelapa

umur 20 tahun bernilai 0.7 dan 0.1.

Pengusahaan padi dan jagung yang tidak ekonomis pada

pertanaman kelapa umur 20 tahun, selain disumbang oleh produktivitas

tanaman sela yang rendah juga diperparah dengan besarnya biaya

produksi (kopra). Jika tanaman jagung, padi, dan kacang tanah

merupakan usaha tani monokultur seperti di lahan terbuka, maka Nilai

BC ratio yang diperoleh adalah 2.5-4.2.

Nilai BC ratio >1 menunjukkan bahwa usaha tani tersebut layak

secara ekonomi untuk dilakukan. Berdasarkan kajian yang dilakukan

dapat dikatakan bahwa nilai kelayakan usaha tani dipengaruhi oleh

kuantitas dan harga produk yang dihasilkan. Produk kopra dengan

rendemen hasil yang kecil terhadap berat buah dibandingkan dengan

produk butiran juga berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani.

Biaya memproduksi kopra dan waktu yang diperlukan untuk proses kopra

juga berkontribusi terhadap menurunnya pendapatan atau keuntungan

petani. Jadi, Keuntungan yang diperoleh dari usaha tani kelapa

polikultur akibat kontribusi silang dari kedua komoditi yang ada (hasil

analisis di Lampiran 12-15).