iv. hasil dan pembahasan a. kondisi umum lokasi penelitian · dari lahan sawah akan berpindah ke...
TRANSCRIPT
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada lahan sawah padi di Desa Demakan, Kecamatan
Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dengan letak koordinat 07035’16” LS dan
110052’39” BT dan ketinggian 125 mdpl dengan rata-rata curah hujan 1500-2000
mm/tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo (2015) lahan
sawah di kecamatan Mojolaban merupakan lahan sawah irigasi dengan
produktivitas padi rata-rata per tahun sebesar 6,5 ton/ha. Hasil tersebut adalah hasil
panen tertinggi dibandingan dengan produktivitas padi dari wilayah kecamatan
lainnya.
Nilai produktivitas yang tinggi diperoleh dari jumlah lahan sawah yang cukup
luas dan mayoritas petani di kecamatan Mojolaban menanam padi sawah. Lahan
sawah yang digunakan untuk penelitian ini tergolong tanah yang kurang subur.
Kurang subur yang dimaksud adalah hilangnya kemampuan tanah dalam
menyediakan hara bagi tanaman. Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan petani yang
menggunakan pupuk anorganik dengan dosis yang melebihi anjuran untuk tanaman
padi guna meningkatkan produksi padi. Menurut petani setempat penggunaan
pupuk Urea untuk tanaman padi bisa mencapai 160 kg/ha padahal dosis yang
dianjurankan oleh pemerintah adalah 100 kg/ha (Permentan No. 40 Th. 2007).
Penggunaan pupuk anorganik secara berlebih dapat berdampak negatif pada tanah
sawah dan lingkungannya, karena unsur N dan P yang tidak diserap oleh tanaman
dari lahan sawah akan berpindah ke perairan yang memicu terjadinya eutrofikasi
(Simpson et al. 2011).
Lahan sawah yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian merupakan lahan
sawah irigasi teknis dengan memanfaatkan air sungai sebagai sumber pengairan.
Kebiasaan pola tanam petani setempat menanam padi untuk setiap musim tanam
tanpa adanya rotasi jenis tanaman. Artinya selama tiga kali masa tanam dalam
setahun, lahan selalu dimanfaatkan untuk budidaya padi.
20
21
B. Analisis Tanah Awal
Mengetahui karakteristik fisika, kimia, dan biologi tanah pada awal penelitian
penting untuk mengetahui kebutuhan pupuk bagi tanaman dan sebagai
pembanding hasil akhir penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh perlakuan
terhadap kesuburan tanah. Oleh karena itu dilakukan analisis tanah awal di
laboratorium. Hasil analisis ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Tanah Awal
No Sifat Tanah Satuan Hasil Pengharkatan*)
1 pH H2O - 7,3 Netral
2 pH KCl - 6,0 -
3 C-Organik % 2,28 Sedang
4 N-Total % 0,41 Sedang
5 P Tersedia mg.kg-1 3,49 Sangat rendah
6 K Tertukar cmol.kg-1 0,65 Tinggi
7 BV g.cm-3 1,25 -
8 BJ g.cm-3 1,12 -
9 Tekstur (%Pasir:%Debu:%Klei) 22:51:26 Lempung berdebu
10 KTK cmol.kg-1 27,32 Tinggi
11 Total Populasi Bakteri cfu.g-1 1x106 -
12 Total Populasi Fungi spora.g-1 9,5x104 -
Sumber: Data Primer *) Pengharkatan menurut Balai Penelitian Tanah (Balittanah 2005).
Berdasarkan Tabel 3. nilai pH aktual tanah netral yaitu 7,3. Tanah sawah
merupakan jenis tanah sebagai akibat penggenangan untuk waktu yang lama. Hal
ini menyebabkan terjadinya konversi pH tanah menjadi netral dan kondisi landscape
tanah sawah memungkinkan hara yang tercuci lebih cenderung tertampung ke
lahan di bawahnya daripada keluar dari sistem tanah sawah.
Kandungan C-organik dalam tanah tersebut tergolong sedang, yaitu 2,28%.
Sementara ketersediaan hara makro tanah seperti N tergolong sedang dengan nilai
0,41%, P tersedia tanah 3,49 mg.kg-1 yang tergolong sangat rendah dan K tertukar
0,65 cmol/kg tergolong sangat tinggi. Nilai KTK tergolong tinggi yang diduga
dikarenakan kandungan liat yang tinggi sehingga semakin banyak kation yang
dapat ditukarkan.
Hasil analisa tanah awal pada Tabel 3. menunjukkan tekstur tanah tergolong
lempung berdebu, ketersediaan hara berada pada kelas rendah hingga sedang,
tanah bereaksi netral, dan kadar bahan organik sedang. Berdasarkan karakteristik
tersebut lahan sawah penelitian termasuk dalam jenis tanah Inceptisols menurut
USDA (United States Departement of Agriculture) atau tanah Aluvial menurut sistem
klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (PPT Bogor) (1957-1961).
22
C. Karakteristik Pupuk Organik Diperkaya Mikroorganisme Fungsional
Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pupuk kompos
yang diperkaya dengan konsorsium isolat mikroorganisme fungsional. Sebelum
diaplikasikan, dilakukan analisis karakteristik kimia-biologi dari pupuk organik. Tabel
4. menunjukkan hasil analisa kualitas pupuk organik.
Tabel 4. Karakteristik Pupuk Organik
No. Variabel Satuan Hasil Standar *)
1 Kadar Lengas % 33,17 15-28
2 pH - 7,2 4-9
3 C-Organik % 17,65 15-25
4 C/N - 15,75 Min. 15
5 N Total % 1,12
Min. 4 6 P2O5 % 7,18
7 K2O % 4,14
8 Total Populasi BPN cfu.g-1 5,3x109 Min. 103
9 Total Populasi BPF cfu.g-1 7,1x109 Min. 103
10 Total Populasi Fungi spora.g-1 8,3x106
Sumber: Data Primer *) Standar menurut Peraturan Menteri Pertanian No.70 Tahun 2011
Pada Tabel 4. dapat dilihat pH dari pupuk organik dalam penelian ini tergolong
netral, sehingga baik bagi pertumbuhan mikroorganisme fungsional yang
ditambahkan ke dalam pupuk organik. Sesuai dengan pernyataan Hasyimi (2010)
pH optimum bagi pertumbuhan mikroorganisme berkisar antara 6,5-7,5.
Kadar C-organik merupakan hal yang penting bagi pupuk organik, karena
berperan untuk menambah bahan organik tanah. Hasil analisis laboratorium
menunjukkan kadar C-Organik pupuk sebesar 17,65% yang sesuai dengan standar
syarat teknis minimal Pupuk Organik Padat Permentan Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 15-25%.
C/N rasio pupuk menggambarkan tingkat kematangan dari kompos tersebut,
semakin tinggi C/N rasio berarti kompos belum terurai dengan sempurna atau
belum matang. Kompos yang digunakan dalam penelitian sebesar 15,75, artinya
kompos sudah matang dan siap diaplikasikan, sesuai dengan Permentan Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 15-25.
Salah satu peran pupuk organik/kompos adalah sebagai sumber hara bagi
tanaman. Sehingga pemerintah mensyaratkan pupuk organik memiliki kandungan
hara N, P, dan K sebesar 4% (Permentan Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011).
Hasil analasis laboratorium pupuk organik yang digunakan memiliki kandungan
hara N, P, dan K sebesar 12,44% yang telah memenuhi standar dari kementrian
pertanian.
23
Tabel 4. menunjukkan bahwa pupuk kompos mengandung Bakteri Penambat
Nitrogen (BPN) sebesar 5,3x109 cfu.g-1, Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) 7,1x109
cfu.g-1, dan fungi 8,3x106 spora.g-1. Populasi mikroorganisme fungsional dari pupuk
organik telah memenuhi teknis minimal Pupuk Organik Padat Permentan Nomor
70/Permentan/SR.140/10/2011 yaitu minimal 103 cfu.g-1 untuk BPN dan BPF.
Populasi mikroorganisme yang tinggi menandakan bahwa kompos merupakan
carrier yang tepat bagi konsorsium pupuk hayati yang ditambahkan.
D. Pengaruh Perlakuan terhadap Karakteristik Kimia dan Biologi Tanah Sawah
1. pH Tanah
Derajat kemasaman tanah merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
kesuburan tanah. Pengaruh perlakuan terhadap pH tanah disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap pH Tanah Sawah
Berdasarkan pengukuran hasil pH tanah dari setiap perlakuan termasuk
pengharkatan tanah netral (Balittanah 2005). Nilai pH tanah pada saat sebelum
dan sesudah perlakuan tidak memiliki perbedaan, yaitu masih tergolong netral.
Kisaran pH tanah netral diduga akibat dari proses penggenangan lahan sawah.
Karena menurut Prasetyo et al. (2004) penggenangan pada tanah mineral
masam mengakibatkan nilai pH tanah akan meningkat dan pada tanah basa
akan mengakibatkan nilai pH tanah menurun mendekati netral. Keuntungan lain
dari penggenangan juga memungkinkan tersedianya hara secara optimum
terutama P dan Fe, menguntungkan penambatan N2, menekan timbulnya
penyakit terbawa tanah, memasok hara melalui air irigasi, menghambat
pertumbuhan gulma tipe C4 dan mencegah erosi tanah.
7.3
7.1
7.3
7.07.0
6.9
7.1
7.2
7.0 7.0 7.0
6.5
6.7
6.9
7.1
7.3
7.5
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
pH
Tan
ah
Perlakuan
24
Gambar 1. menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P0K1
dengan nilai 7,3. Sementara nilai pH terendah adalah perlakuan P0K4 yaitu
sebesar 6,9. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5.) dapat diketahui interaksi
perlakuan pupuk anorganik dengan berbagai taraf dosis pupuk organik
berpengaruh tidak nyata (P>0,05), akan tetapi perlakuan dosis pupuk organik
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH tanah. Pengaruh perlakuan
pupuk organik terhadap pH tanah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh Perlakuan Berbagai Taraf Dosis Pupuk Organik terhadap pH Tanah Sawah
Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Berdasarkan Gambar 2. perlakuan K1 yaitu dosis pupuk organik 450 kg/ha
memiliki rata-rata pH aktual tanah tertinggi sebesar 7,2. Menurut hasil analisis
uji DMR 5% K1 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Karena K1 merupakan
perlakuan dengan pemberian dosis pupuk hayati terendah, maka K1 memiliki
pH yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dosis pupuk organik lain. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Sudirja et al. (2007) bahwa pupuk hayati
mempengaruhi secara bermakna terhadap pH tanah. Tanah dengan pemberian
pupuk hayati menunjukkan kecenderungan pH menjadi lebih rendah karena
tanah memiliki kapasitas sangga yang berupa campuran asam lemah dan
garamnya, apabila dilakukan penambahan pupuk hayati maka hidrogen akan
lebih banyak tersuspensi dalam larutan tanah sehingga pH menjadi rendah.
Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6) pH tanah berkorelasi positif dengan
populasi mikroba fungsional tanah. Hal ini berarti setiap peningkatan pH tanah
akan diikuti peningkatan populasi mikroorganisme fungsional tanah. Akan
7.1 a
7.2 b
7.0 a 7.0 a7.0 a
6.6
6.8
7.0
7.2
7.4
K0 K1 K2 K3 K4
pH
Tan
ah
Perlakuan
25
tetapi, terdapat batasan sesuai dengan pernyataan Hasyimi (2010) pH optimum
bagi pertumbuhan mikroba berkisar antara 6,5-7,5.
2. C-Organik Tanah
Kesuburan tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah.
Komponen bahan organik yang penting adalah C dan N. kadar C sering
digunakan untuk mengetahui kadar bahan organik dalam tanah. Gambar 3.
menunjukkan pengaruh perlakuan terhadap kadar C-organik.
Gambar 3. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Kadar C-Organik Tanah Sawah
Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Kadar C-organik berdasarkan Gambar 3. diketahui termasuk dalam harkat
sedang menurut pengharkatan Balittanah (2005). Nilai rata-rata C-organik
tertinggi adalah perlakuan P0K1 2,98% dan rata-rata terendah adalah kontrol
sebesar 2,15%. Apabila dibandingkan dengan tanah awal sebelum percobaan,
tanah sawah dengan perlakuan mengalami peningkatan kadar C-organik. Hal
ini terjadi karena adanya pemberian pupuk organik yang merupakan masukan
bahan organik bagi tanah. Sesuai dengan pernyataan Hanafiah (2005),
pemberian pupuk organik sebagai tambahan bahan organik akan meningkatkan
C-organik tanah, karena bahan organik mengandung karbohidrat, protein, lignin,
dan selulosa yang didominasi oleh C, H, dan O. Rata-rata kadar C dalam bahan
organik kurang lebih 58%, sehingga pemberian bahan organik akan
meningkatkan kadar C-organik dalam tanah.
2.282.15
a
2.98e
2.54c
2.95e
2.95e 2.66
cd
2.79d
2.31b
2.33b
2.77d
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
C-O
rga
nik
Ta
na
h (
%)
Perlakuan
26
Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) terhadap C-organik tanah pupuk
anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata
(P<0,01). Hasil uji DMR pada taraf 5% dapat diketahui kombinasi perlakuan
pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik lebih tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan kontrol. Nilai rata-rata C-organik tertinggi adalah perlakuan P0K1
akan tetapi, tidak berbeda nyata dengan P0K3 dan P0K4. Perlakuan P0K3 dan
P0K4 mendapatkan masukan bahan organik yang tinggi sehingga kadar C-
organiknya juga lebih tinggi.
Berdasarkan hasil uji kolerasi (Lampiran 6) kadar C-organik tanah
berkolerasi positif terhadap pH tanah, P-tersedia tanah, populasi mikroba
fungsional, dan KTK tanah. Hal ini sejalan dengan pernyataan berikut,
penambahan bahan organik dapat meningkatkan atau malah menurunkan pH
tanah, hal ini bergantung pada jenis tanah dan bahan organik yang
ditambahkan. Penurunan pH tanah akibat penambahan bahan organik dapat
terjadi karena dekomposisi bahan organik yang banyak menghasilkan asam-
asam dominan. Sedangkan kenaikan pH akibat penambahan bahan organik
yang terjadi pada tanah masam dimana kandungan aluminium tanah tinggi,
terjadi karena bahan organik mengikat Al sebagai senyawa kompleks sehingga
tidak terhidrolisis lagi (Tisdale et al. 1993; Dobermann dan Fairhurst 2000). Al dan
Fe merupakan unsur yang dominan pada pH rendah dan berdampak pada
pengikatan unsur P menjadi Al-P dan Fe-P yang bentuknya tidak tersedia bagi
tanaman. Bahan organik yang bermuatan negatif mampu mengikat Al dan Fe
sehingga menurunkan fiksasi P (Soepardi 1983; Benito et al. 1997; Chairani
2003). Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroba dalam tanah,
ketika dilakukan penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan
aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik
(Tisdale et al.1993; Dobermann dan Fairhurst 2000).
27
3. Kapasitas Tukar Kation Tanah
Besarnya Kapasitas Tukar Kation (KTK) dapat ditentukan dengan
menjenuhkan kompleks jerapan atau misel dengan kation tertentu. Pengaruh
perlakuan terhadap KTK tanah disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Kapasitas Tukar Kation Tanah Sawah
Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Berdasarkan Gambar 4. nilai KTK tergolong tinggi menurut pengharkatan
Balittanah (2005). KTK tertinggi adalah perlakuan P0K3 sebesar 32,52 cmol/kg,
sementara perlakuan kontrol memiliki nilai KTK terendah sebesar 21,55
cmol/kg. Apabila dibandingkan dengan tanah awal, terdapat perlakuan yang
mengalami penurunan dan peningkatan KTK tanah, namun penurunan yang
terjadi tidak lebih dari 25%. Penurunan terjadi diduga karena terdapat dimensi
waktu antara pengambilan sampel tanah awal dan setelah perlakuan yang
memungkinkan terjadinya pelapukan bahan organik tanah, sehingga koloid
tanah berkurang dan KTK menurun.
Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk
organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap KTK
tanah. Kemudian dari uji DMR pada taraf 5% perlakuan dengan nilai rata-rata
tertinggi yaitu P0K3 berbeda nyata dengan perlakuan dengan KTK terendah
yaitu kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0K2. Perlakuan
P0K2 dan P0K3 merupakan perlakuan dengan dosis pupuk organik yang cukup
tinggi, artinya lahan pada perlakuan tersebut mendapatkan masukan bahan
organik yang tinggi sehingga KTK tanah juga meningkat. Karena penambahan
pupuk organik mampu meningkatkan KTK tanah. Sesuai dengan pernyataan
27.32
21.55a
25.12b
32.52c 35.27c
23.27ab25.12b
22.65ab
22.80ab24.53ab
22.95ab
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
KT
K T
an
ah
(cm
ol/
kg
)
Perlakuan
28
Pramono (2004) yang menyatakan bahwa bahan organik mampu meningkatkan
ketersediaan hara dan mampu memperbaiki KTK. Peningkatan KTK akibat
penambahan bahan organik dikarenakan pelapukan bahan organik akan
menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan yang luas
yang mampu menahan unsur hara dan air. Permukaan koloid yang luas
meningkatan kation dalam tanah yang dapat ditukarkan. Dibuktikan dengan
hasil uji korelasi (Lampiran 6) KTK tanah juga berkorelasi positif dengan C-
organik tanah. Artinya kenaikan C-organik tanah akan diikuti kenaikan KTK
tanah, dan sebaliknya.
Shiddieq dan Partoyo (2000) juga menyatakan peningkatan KTK
menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara. Berdasarkan
uji korelasi (Lampiran 6), KTK berkorelasi postif dengan P-tersedia tanah.
Sesuai dengan pernyataan Hsieh (1990) bahan organik meningkatkan
ketersediaan unsur hara P dan efisiensi penyerapannya.
4. Populasi Mikroorganisme Fungsional Tanah
Aktivitas mikroorganisme fungsional tanah memberikan banyak dampak
positif bagi kesuburan tanah, sehingga perlu diketahui populasi dari
mikroorganisme fungsional dalam tanah. Pengaruh perlakuan terhadap
populasi mikroorganisme fungsional dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Mikroorganisme Fungsional Tanah Sawah
Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Gambar 5. menunjukkan total populasi mikroorganisme fungsional
merupakan jumlah dari populasi Bakteri Penambat Nitrogen (BPN), Bakteri
Pelarut Fosfat (BPF) dan Fungi. Dibandingkan pada tanah awal sebelum
6.04
6.64a
7.24de
7.38f
7.21de
7.32ef 6.87
ab
7.50g
7.11cd
7.21de
7.05bc
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
Po
pu
las
i M
ikro
org
an
ism
e
Fu
ng
sio
na
l (l
og
10
cfu
/g)
Perlakuan
29
dengan sesudah percobaan terjadi peningkatan populasi mikroba fungsional.
Perlakuan yang tidak mendapatkan masukan pupuk organik, yaitu P0K0 dan
P1K0 populasi mikrobanya lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang
mendapatkan masukan pupuk organik. Hal ini terjadi karena pupuk organik
mengandung mikroba fungsional sehingga ketika diaplikasikan ke tanah mampu
meningkatkan populasi mikroba tanah. Sejalan dengan pernyataan dari Sutanto
(2000) dengan ditambahkannya kompos didalam tanah, tidak hanya jutaan
mikroorganisme yang ditambahkan kedalam tanah, akan tetapi mikroorganisme
yang ada didalam tanah (indigenous) juga terpacu untuk berkembang biak.
Perlakuan dengan rata-rata logaritma total populasi mikroorganisme
fungsional tertinggi adalah P1K1 sebesar 7,5 log 10 cfu/g, dan rata-rata
terendah adalah perlakuan kontrol dengan jumlah koloni 6,64 log 10 cfu/g.
Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) dosis pupuk organik dan interaksinya
dengam pupuk anorganik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
populasi mikroba fungsional tanah, namun pupuk anorganik secara mandiri
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap populasi mikroba fungsional tanah.
Berdasarkan uji DMR pada taraf 5% perlakuan P1K1 memiliki populasi mikroba
yang berbeda nyata dengan perlakuan lain. Hal ini menunjukkan walaupun
dikombinasikan dengan pupuk anorganik, mikroba tetap dapat tumbuh dengan
baik dalam tanah. Waktu aplikasi pupuk juga mempengaruhi viabilitas mikroba
dari pupuk organik. Pada saat tanah diaplikasikan pupuk anorganik maka hara
tersedia melimpah bagi tanaman, ini merupakan keadaan yang kurang
menguntungkan bagi mikroba. Oleh karena itu antara aplikasi pupuk anorganik
dan pupuk organik harus diberikan jeda, sehingga mikroba dari pupuk organik
tetap mampu hidup di dalam tanah. Menurut Setyorini et al. (2010) pemberian
pupuk organik terus menerus setiap musim tanam dapat mengefisiensikan
pupuk anorganik sehingga dosisnya dapat berkurang. Selain itu, dosis pupuk
organik juga mampu meningkatkan populasi, aktivitas dan keragaman mikroba
dalam tanah.
Populasi mikroba fungsional berkorelasi positif (Lampiran 6) terhadap
kadar C-organik tanah, KTK, P-tersedia tanah, serapan N dan K tanaman, berat
kering brangkasan serta pH tanah. Artinya kenaikan total koloni mikiroba
fungsional akan diikuti dengan peningkatan variabel tersebut. Hasil tersebut
sejalan dengan beberapa pernyataan berikut, menurut Dobermann dan Fairhurst
(2000) kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah mendorong pertumbuhan
30
mikroba secara cepat sehingga dapat memperbaiki aerasi tanah, menyediakan
energi bagi kehidupan mikroba tanah, meningkatkan aktivitas jasad renik (mikroba
tanah), dan meningkatkan kesehatan biologis tanah. Shiddieq dan Partoyo (2000)
juga menyatakan bahwa dalam aktivitasnya mikroorganisme di dalam tanah juga
menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin, giberellin dan
sitokinin yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar
rambut sehingga daerah pencarian unsur-unsur hara semakin luas.
E. Pengaruh Perlakuan terhadap Ketersediaan Hara dalam Tanah
1. N-Total Tanah
Nitrogen dalam tanah dibagi dalam dua bentuk, yaitu organik dan
anorganik. Bentuk organik merupakan bagian terbesar, sementara bentuk
anorganik dapat berupa NH4+, NO3
-, NO2-, N2O dan NO. Pengaruh perlakuan
terhadap N-total tanah dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap N Total Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Menurut pengharkatan Balittanah (2005) nilai N total tanah pada Gambar
6. tergolong rendah hingga sedang. Dibandingkan dengan tanah awal sebelum
dengan sesudah percobaan terjadi penurunan N total tanah pada beberapa
perlakuan seperti P0K0, P0K1, P0K2, P1K0 dan P1K1. Hal ini dimungkinkan
karena N total dalam tanah telah diserap oleh tanaman.
Nilai rata-rata tertinggi dari N total tanah adalah perlakuan P1K2 sebesar
0,44%, sementara rata-rata terendah adalah perlakuan P0K1 sebesar 0,23%.
Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk organik
serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap
N total dalam tanah. Hasil uji DMR perlakuan pupuk anorganik yang
0.420.36bc
0.23a
0.24a
0.43d
0.37c
0.32b
0.35bc
0.44d
0.42d
0.43d
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
N T
ota
l T
an
ah
(%
)
Perlakuan
31
dikombinasikan dengan berbagai dosis pupuk organik (P1K2, P1K3 dan P1K4)
mampu menyediakan N lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk anorganik
saja (P1K0). Sejalan dengan pernayataan Roesmarkam dan Yuwono (2002),
pupuk anorganik mengandung hara (termasuk N) dalam jumlah yang cukup
banyak dan sifatnya cepat tersedia bagi tanaman, sedangkan pupuk organik
akan melepaskan hara secara lengkap (makro dan mikro) dalam jumlah yang
lebih kecil namun berlangsung lama, sehingga dengan menambah pupuk
organik tersebut mampu mendukung pupuk anorganik dalam menyediakan hara
bagi tanaman.
Lebih lengkapnya disampaikan oleh Chaves et al. (2007) ketika bahan
organik terdekomposisi, nitrogen biasanya mengalami dua tahap yang berbeda
yaitu, mineralisasi dan imobilisasi. Mineralisasi nitrogen berarti nitrogen
terdekomposisi menjadi bentuk yang dapat diakses tanaman seperti NH4+
(melalui ammonifikasi) dan NO3- (melalui nitrifikasi). Imobilisasi nitrogen terjadi
ketika N bebas diambil oleh mikroorganisme sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Imobilisasi ini tidak merugikan karena ketika mikroorganisme
penambat nitogen mati maka nitrogen akan menjadi tersedia bagi tanaman, dan
umur mikroorganisme kurang lebih 48 jam.
Hubungan antara ketersediaan hara N, P dan K dalam tanah dapat dilihat
dengan uji korelasi. Hasil uji korelasi (Lampiran 6) menunjukkan bahwa
peningkatan hara N berkorelasi positif dengan peningkatan hara P dan K
dengan nilai r masing-masing adalah 0,276 dan 0,496. Artinya peningkatan hara
N dalam tanah akan diikuti oleh peningkatan ketersediaan hara P dan K. Hal ini
dimungkinkan karena proses penggenangan yang dilakukan pada lahan sawah.
Sejalan dengan pernyataan Setyorini dan Abdulrachman (2004) bahwa
ketersediaan nitrogen dalam keadaan tergenang lebih tinggi daripada tidak
tergenang. Pada saat lahan sawah tergenang kadar NH4+ akan lebih tinggi
dibandingkan NO3- karena nitrat dalam keadaan tergenang cepat hilang karena
denitrifikasi, pencucian ataupun diserap oleh tanaman. Ketersediaan fosfat
meningkat setelah penggenangan, terutama karena reduksi Fe3+ yeng
merupakan ion pemfiksasi P menjadi Fe2+ sehingga terjadi peningkatan
kelarutan P. Penggenangan lahan sawah menurunkan potensial redoks (Eh)
tanah sehingga meningkatkan kelarutan Fe2+ dan Mn2+. Kation-kation ini dapat
menggantikan K yang diadsorpsi liat sehingga K dilepaskan ke dalam larutan
tanah. Oleh karena itu, proses penggenangan mampu meningkatkan
32
ketersediaan hara N, P, dan K dalam tanah secara bersamaan. Berdasarkan uji
korelasi (Lampiran 6), N-total tanah berkorelasi positif terhadap serapan N,
tinggi, dan berat kering brangkasan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan De
Datta (1981) bahwa nitrogen berperan penting dalam pertumbuhan tanaman
salah satunya yaitu bertambahnya tinggi tinggi tanaman.
2. P-Tersedia Tanah
P-tersedia adalah P tanah yang dapat larut dalam air dan asam sitrat. P
yang dapat larut dalam air adalah bentuk P yang mampu diserap bagi tanaman.
Pengaruh perlakuan terhadap P-tersedia tanah dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap P-Tersedia Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Berdasarkan pengukuran hasil P-tersedia tanah tergolong sangat rendah
hingga ke rendah menurut pengharkatan Balittanah (2005). Dibandingkan
dengan tanah awal sebelum dengan sesudah percobaan terjadi penurunan P-
tersedia tanah pada beberapa perlakuan yaitu P1K0. Hal ini dimungkinkan
karena terjadinya penurunan pH tanah pada perlakuan tersebut sehingga
mempengaruhi kadar P-tersedia dalam tanah. Karena menurut Subba Rao
(1994) dalam pH rendah P akan cenderung terikat oleh Al dan Fe.
Gambar 7. menunjukkan nilai rerata tertinggi adalah perlakuan P0K4
sebesar 7,4 mg/kg, dan nilai terendah adalah perlakuan P1K0 sebesar 2,5
mg/kg. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) dapat diketahui pupuk
anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap P-tersedia tanah. Hasil dari uji DMR 5% perlakuan dengan
kadar P tertinggi P0K4 sangat berbeda nyata dengan perlakuan yang memiliki
kadar P terendah P1K0. Perbedaan yang signifikan ini diduga karena
3.4
3.9bc
4.4bc 3.4
ab
5.4c
7.4d
2.5a
4.1bc
3.6ab
4.8bc 3.9
bc
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
9.0
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
P-T
ers
ed
ia T
an
ah
(m
g/k
g)
Perlakuan
33
penambahan pupuk organik, karena P diikat dalam bentuk organik atau dalam
tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari pencucian, kemudian tersedia
kembali. Berbeda dengan perlakuan pupuk anorganik P1K0, karena sifatnya
yang sangat larut air sehingga pada periode hujan terjadi kehilangan yang
sangat tinggi. Sementara P yang tersimpan dalam residu organik tidak larut
dalam air sehingga dilepaskan oleh proses mikrobiologis. Kehilangan karena
pencucian pada perlakuan pupuk organik tidak akan seserius seperti yang
terjadi pada perlakuan pupuk anorganik. Sebagai hasilnya kandungan P
tersedia stabil pada level intermediet dan mengurangi bahaya kekurangan dan
kelebihan.
Peningkatan ketersediaan P juga dimungkinkan karena pupuk organik yang
diberikan mengandung konsorsium mikroba pelarut P yaitu Pseudomonas sp.,
Bacillus sp., dan Aspergillus nigger. Fosfor relatif tidak mudah tercuci, tetapi
karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang
tersedia menjadi tidak tersedia dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau
Occluded-P. Dalam aktivitasnya, mikroba pelarut P akan menghasilkan asam-
asam organik diantara adalah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat,
glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan α-ketobutirat (Alexander 1978; Subba
Rao 1994; Illmer et al. 1995; Beaucamp dan Hume 1997). Meningkatnya asam-
asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga
mengakibatkan terjadinya pelarutan P yang terikat oleh Ca. Asam organik juga
mampu meningkatkan ketersedian P dengan cara menutupi daerah absorpsi P
pada partikel tanah atau dengan cara membentuk kompleks dengan kation pada
permukaan mineral tanah (Alexander 1978).
Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6) P-tersedia tanah berkorlasi positif
terhadap kadar C-organik tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Halvin et al.
(1999) bahwa peningkatan aktivitas enzim fosfatase yang biasa dihasilkan
mikroba pelarut fosfat dalam tanah akan diikuti peningkatan C-organik pula
dalam tanah. Dalam kebanyakan tanah total P-organik sangat berkorelasi
dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan
meningkatnya total C-organik. Fosfat anorganik dapat diimobilisasi menjadi P-
organik oleh mikroba dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100%. pH tanah
juga berkorelasi postif terhadap P tersedia karena menurut Efiati (2005)
ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Peneliti yang berbeda-beda
mengemukakan pendapat yang berlainan tentang kisaran pH tanah yang
34
mendukung ketersediaan P paling tinggi, yaitu 6,5-7,0 (Olsen et al. 1962), 6,0-
6,5 (Lindsay 1979) dan 5,5-7,0 (Halvin et al. 1999).
3. K-Tertukar Tanah
Unsur hara K tidak menjadi komponen struktur dalam senyawa organik,
tetapi dalam bentuk ion. Pengaruh perlakuan terhadap K-tertukar tanah dapat
dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap K-Tertukar Tanah Sawah Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Berdasarkan Gambar 8. pengharkatan nilai K tertukar semua perlakuan
termasuk kategori sangat rendah hingga sangat tinggi menurut Balittanah
(2005). Apabila dibandingkan dengan tanah awal, nilai K-tertukar pada sebagian
besar mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan karena waktu pengambilan
sampel tanah sawah dalam keadaan bebas dari tanaman, sementara sampel
tanah setelah percobaan diambil saat tanaman belum dipanen, sehingga K-
tertukar dalam tanah diserap oleh tanaman. Nilai K tertukar dalam tanah
tertinggi adalah P1K4 sebesar 1,22 cmol/kg dan terendah adalah perlakuan
kontrol, P0K1, P0K4 dan P1K0 senilai 0,04 cmol/kg.
Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pupuk anorganik, dosis pupuk
organik serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap
kandungan K-tertukar dalam tanah. Hasil uji DMR 5% menunjukkan perlakuan
P1K4 yang memiliki nilai K-tertukar tertinggi berbeda sangat nyata dengan
perlakuan terendah yaitu kontrol. Rendahnya nilai K-tertukar pada perlakuan
tanpa pupuk anorganik diduga karena sedikitnya K-tertukar yang dihasilkan oleh
pupuk organik. Sementara perlakuan pupuk anorganik saja (P1K0) ternyata
juga memiliki nilai K-tertukar yang sangat rendah, tidak berbeda nyata dengan
0.65
0.04a
0.04a
0.05a
0.05a
0.04a
0.04a
0.19b
0.23c
0.84d
1.22e
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
Awal P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
K-T
ert
uk
ar
Ta
na
h (
cm
ol/
kg
)
Perlakuan
35
kontrol berdasarkan uji DMR 5%. Sedangkan perlakuan pupuk anorganik yang
dikombinasikan dengan pupuk organik dosis tinggi yaitu P1K3 dan P1K4
memiliki nilai K-tertukar yang tinggi. Hal ini diduga karena bahan organik
mengandung koloid humus yang bermuatan negatif sehingga mampu mengikat
K yang bersumber dari pupuk KCl agar tidak terbawa pencucian. Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh Goeswono (1983), bahwa humus merupakan
koloid organik bermuatan negatif sehingga daya jerap kation humus jauh
melebihi liat.
Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 6), K-tertukar berkorelasi postif serapan
K oleh tanaman. Apabila nilai K-tertukar tinggi maka nilai serapan K tanaman
juga akan tinggi. Kalium mempunyai peranan penting terhadap enzim baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada saat tanaman kekurangan K,
maka banyak proses yang tidak berjalan dengan baik, misalnya terjadinya
akumulasi karbohidrat, menurunnya kadar pati, dan akumulasi senyawa
nitrogen dalam tanaman. Kebanyakan tanaman yang kekurangan kalium
memperlihatkan gejala lemahnya batang tanaman sehingga tanaman mudah
roboh (Roesmarkam Yuwono 2002).
F. Pengaruh Perlakuan terhadap Serapan Hara oleh Tanaman
1. Serapan N Tanaman
Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk NH4+ dan NO3
-. Pengaruh
perlakuan terhadap serapan N tanaman dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Serapan N Tanaman Padi Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
0.32a
0.37ab
0.42b
0.43b
0.45b
0.60c
0.57ab
0.81d
0.60b
0.43ab
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
Se
rap
an
N T
an
am
an
(g
/ta
na
ma
n)
Perlakuan
36
Berdasarkan Gambar 9. dapat diketahui pemberian pupuk anorganik dan
pupuk organik dapat meningkatkan serapan N pada tanaman padi, terlihat nilai
rerata tertinggi serapan N tanaman terdapat pada perlakuan P1K2 sebesar 0,81
g/tanaman dan terendah adalah kontrol sebesar 0,32 g/tanaman. Hasil ANOVA
(Lampiran 5) menunjukkan pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta
interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap serapan N oleh
tanaman padi.
Berdasarkan uji DMR 5% serapan N perlakuan tertinggi P1K2 berbeda
sangat nyata dengan serapan N terendah (kontrol), karena serapan N lebih
tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Hal ini membuktikan bahwa
penambahan kedua jenis pupuk mampu meningkatkan serapan N bagi tanaman
padi. N yang diserap tanaman dimungkinkan berasal dari pemberian pupuk
anorganik dan organik, ketika dilakukan penambahan pupuk maka ketersedian
hara dalam tanah akan meningkat. Pupuk organik mengandung konsorsium
bakteri penambat nitrogen yang membantu penyediaan hara N bagi tanaman
apabila N dari pupuk urea mengalami leaching, sehingga kebutuhan N bagi
tanaman tetap terpenuhi. Menurut Sutanto (2006) semakin tinggi kandungan
bahan organik maka akan mempengaruhi kandungan N total tanah menjadi
meningkat.
Serapan N tanaman berkorelasi positif (Lampiran 6) terhadap N total tanah,
populasi mikrob, berat kering brangkasan (r= 0,903), dan tinggi tanaman.
Serapan N oleh tanaman tinggi apabila kadar N total tanah juga tinggi, dan
didukung pemberian pupuk organik yang mengandung mikroorganisme
penambat nitrogen, sehingga penyerapan hara N menjadi lebih efisien bagi
tanaman. Menurut Tisdale (1965), N merupakan unsur penting dalam
pertumbuhan tanaman. Peningkatan ketersediaan unsur N dengan
meningkatnya dosis pupuk N berpengaruh baik terhadap pertumbuhan vegetatif
tanaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif, tanaman membutuhkan banyak N
terutama untuk pembentukan batang dan daun, yang akan mempengaruhi berat
kering brangkasan.
Tanaman padi memperoleh zat hara untuk pertumbuhannya bersumber
dari dalam tanah atau penambahan pupuk. Berdasarkan hasil uji korelasi
(Lampiran 6.) serapan hara N, P, dan K saling berkorelasi positif satu sama lain.
Artinya peningkatan serapan hara N sejalan dengan peningkatan serapan hara
P maupun K. serapan hara N, P, dan K juga berkorelasi positif terhadap berat
37
kering brangkasan yang merupakan indikator hasil produksi tanaman. Sesuai
dengan pernyataan Mengel dan Kirby (1987) bahwa tingkat produksi tanaman
ditentukan oleh salah satu faktor yang tersedia dalam jumlah paling minimum
yang disebut sebagai faktor pembatas oleh hukum minimum Liebig (1855).
2. Serapan P Tanaman
Unsur hara P diserap oleh tanaman dalam bentuk ion anorganik orthofosfat
HPO42- atau H2PO4
-. Pengaruh perlakuan terhadap serapan P tanaman dapat
dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Serapan P Tanaman Padi Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik mampu meningkatkan
serapan P pada tanaman padi. Dapat dilihat dari Gambar 10. serapan P
pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan kontrol yang senilai 0,07 g/tanaman, sementara hasil
tertinggi terdapat pada perlakuan P0K3 dengan nilai rerata sebesar 0,39
g/tanaman. Hasil ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan dosis pupuk organik dan
interaksinya dengan pupuk anorganik berpengaruh sangat nyata (P<0,01)
terhadap serapan P tanaman. Berdasarkan uji DMR 5% perlakuan dengan
rerata tertinggi yaitu P0K3 memeiliki nilai serapan P yang sangat berbeda nyata
apabila dibandingkan dengan kontrol, akan tetapi P0K3 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan P0K4 dan P1K2.
Fosfor merupakan salah satu unsur hara yang paling penting untuk
konversi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan energi di dalam tanaman.
P yang cukup dalam tanah akan membantu penyerapan unsur hara lain yang
sangat penting bagi proses metabolisme tanaman (Nartea 1990). Kekurangan
0.07a
0.09ab
0.12ab
0.39d
0.38d
0.22c
0.11ab
0.38d
0.14b 0.09
ab
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
Se
rap
an
P T
an
am
an
(g
/ta
na
ma
n)
Perlakuan
38
P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme,
diantaranya proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi
karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen (Elfiati 2005).
Hasil uji korelasi variabel serapan P tanaman berkorelasi positif (Lampiran
6) dengan beberapa variabel lain seperti, KTK, C-Organik tanah, P-tersedia
tanah, tinggi tanaman maupun berat kering brangksan. Artinya peningkatan
serapan P dimungkinkan karena adanya peningkatan KTK, C-organik dan P-
tersedia tanah. Dapat juga diartikan bahwa peningkatan serapan P mampu
meningkatkan tinggi dan berat kering brangkasan tanaman. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Sutanto (2005) bahwa bahan organik disamping dapat
menyumbangkan fosfor juga menghasilkan bahan-bahan terhumifikasi yang
berperan untuk memperbesar ketersediaan fosfor dari mineral karena
membentuk P humat yang lebih mudah diserap tanaman.
3. Serapan K Tanaman
Unsur hara K diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Pengaruh
perlakuan terhadap serapan K tanaman dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Serapan K Tanaman Padi Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Hasil analisis serapan K oleh tanaman padi berdasarkan Gambar 11.
perlakuan pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik mampu
meningkatkan serapan hara K karena semua perlakuan memiliki nilai yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kontrol, dan nilai serapan K tertinggi adalah
perlakuan P1K2 sebesar 1,37 g/tanaman. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran
5) dapat diketahui pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap serapan K tanaman padi.
0.58a
0.66ab
0.84cd 0.74
bc
0.79bcd
1.13f
1.12f
1.37g
1.01ef
0.93de
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
Se
rap
an
K T
an
am
an
(g
/ta
na
ma
n)
Perlakuan
39
Gambar 12. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman Padi
Berdasarkan uji DMR 5% perlakuan dengan nilai rerata tertinggi P1K2 berbeda
sangat nyata dengan kontrol.
P1K2 mampu menyerap K lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
yang lain, karena hasil tanaman padinya lebih tinggi yang dapat dilihat dari
biomasa segar dan kering tanaman. Dibuktikan dengan hasil uji korelasi
(Lampiran 6), serapan K berkorelasi positif dengan dan berat kering brangksan
(r= 0,953) tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rachman et al. (2008),
bahwa serapan hara tanaman dipengaruhi oleh produksi dari tanaman. Serapan
K tanaman juga berkorelasi positif terhadap beberapa variabel lainnya seperti
K-tertukar tanah, populasi mikroba tanah, dan tinggi tanaman. Pada saat K-
tertukar dalam tanah tinggi, tanaman akan lebih mudah menyerap K. Didukung
dengan pemberian pupuk organik juga mampu meningkatkan populasi
mikroorganisme fungsional dalam tanah, terutama mikroorganisme pelarut
kalium.
Kalium termasuk unsur hara makro yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, berperan dalam mengaktifkan enzim, memelihara
turgor sel, membantu dalam transportasi gula dan pati. Selain untuk
metabolisme tanaman, kalium juga berperan dalam meningkatkan ketahanan
tanaman terhadap hama dan penyakit, serta membantu tanaman pada kondisi
cekaman (Archana 2007).
G. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi
1. Tinggi Tanaman
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap minggu hingga masa vegetatif
maksimum. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada
Gambar 12.
0
20
40
60
80
Minggu Ke -3 Minggu Ke-4 Minggu Ke -5 Minggu Ke -6 Minggu Ke -7
Tin
gg
i T
an
am
an
(C
m)
Umur Tanaman
P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4
P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
40
Perlakuan dengan nilai tinggi tanaman terbesar pada 7 MST adalah
perlakuan P0K3 dan P1K0 sebesar 74 cm. Sementara perlakuan dengan nilai
tinggi tanaman terendah pada 7 MST adalah perlakuan P0K1 dan P1K4 sebesar
66 cm. Berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 5) pemberian pupuk anorganik,
dosis pupuk organik serta interaksinya berpengaruh tidak nyata (P>0,05)
terhadap tinggi tanaman padi. Akan tetapi dapat dilihat dari Gambar 12.
pertumbuhan tanaman secara signifikan terjadi pada minggu ke-4 menuju
minggu ke-5 hampir pada seluruh perlakuan.
Perlakuan dengan tinggi tanaman tertinggi dimungkinkan mampu
menyerap N dengan baik dari pemberian dosis pupuk organik yang tepat dan
pemberian pupuk anorganik, karena kedua pupuk mengandung unsur N yang
berperan dalam penyusunan protein sebagai bahan pembentukan sel tanaman.
Semakin cepatnya laju pembelahan sel, pemanjangan sel, dan pembentukan
sel baru maka pertumbuhan tanaman juga akan berjalan cepat (Sutardi 2004).
Peran pupuk hayati yang mengandung mikroorganisme penambat nitrogen
diduga membantu mensubstitusi dan menyediakan unsur hara N untuk
pertumbuhan tinggi tanaman dalam fase vegetatif
(Gentili dan Jumpponen 2005).
Respon tanaman padi terhadap N dipengaruhi oleh kandungan C-organik
tanah, KTK tanah dan N-total (Arafah dan Sirappa 2003). Berdasarkan uji
korelasi, tinggi tanaman berkorelasi positif dengan KTK, N-total tanah, Serapan
N tanaman, dan berat kering brangkasan tanaman.
2. Berat Kering Brangkasan Tanaman
Berat kering brangkasan merupakan parameter yang baik untuk mengukur
pertumbuhan tanaman. Karena perbedaan berat kering brangkasan merupakan
hasil dari perbedaan kemampuan tanaman dalam menghasilkan karbon.
Pengaruh perlakuan terhadap berat kering brangkasan dapat dilihat pada
Gambar 13.
41
Gambar 13. Pengaruh Interaksi Perlakuan terhadap Berat Kering Brangkasan Tanaman Padi
Keterangan: Angka pada histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMR pada taraf 5%.
Bedasarkan Gambar 13. berat kering tanaman terendah adalah kontrol
sebesar 26,3 g dan tertinggi adalah perlakuan P1K2 sebesar 45,5 g. Hasil
ANOVA (Lampiran 5) menunjukkan pupuk anorganik, dosis pupuk organik serta
interaksinya berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap berat kering
brangkasan. Perlakuan P1K2 memiliki berat yang lebih tinggi dibandingkan
kontrol dan perlakuan pupuk anorganik saja. Hal tersebut dimungkinkan karena
penyerapan unsur hara seperti nitrogen, fosfor dan kalium berlangsung dengan
baik. Unsur-unsur tersebut diserap tanaman sebagai nutrisi dan digunakan
untuk menyusun jaringan tanaman. Sejalan dengan pernyataan Rosmarkam
dan Yuwono (2002) unsur nitrogen akan memacu pertumbuhan vegetatif dan
unsur kalium akan menyusun jaringan yang dapat menguatkan batang
tanaman. Serapan P yang tinggi akan meningkatkan berat brangkasan karena
fungsi P untuk membentuk jaringan tanaman seperti asam nukkleat, fosfolipida
dan fitin.
Unsur hara yang berpengaruh terhadap berat kering brangkasan adalah N.
Dibuktikan dengan hasil uji korelasi, Serapan N berkorelasi postif (r = 0,903)
dengan berat kering brangkasan. Peningkatan penyerapan N akan
meningkatkan penyerapan unsur hara lain. Semakin tinggi serapan unsur hara
tanaman maka akan meningkatkan berat kering brangkasan tanaman
(Winarso 2005).
26.30a
26.73ab
31.20bc 27.00
ab 28.47 ab
38.60d
38.30d
45.50e
33.10c 28.67
abc
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
P0K0 P0K1 P0K2 P0K3 P0K4 P1K0 P1K1 P1K2 P1K3 P1K4
Be
rat
Ke
rin
g B
ran
gk
as
an
(g
)
Perlakuan
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pemberian pupuk anorganik dan pupuk organik diperkaya mikroorganisme
fungsional dalam berbagai taraf dosis mampu meningkatkan ketersediaan hara
N, P, dan K di lahan sawah, serapan N, P dan K oleh tanaman padi, dan berat
kering brangkasan tanaman padi
2. Perlakuan terbaik adalah kombinasi pupuk anorganik (NPK: 100;100;50) dan
pupuk organik dosis 900 kg.ha-1 (P1K2), dengan peningkatan N-Total tanah
sebesar 22%, serapan N sebesar 153%, serapan P sebesar 442%, serapan K
sebesar 136%, dan berat kering brangkasan sebesar 73% dibandingkan
dengan kontrol.
B. SARAN
Pemanfaatan pupuk organik yang diperkaya konsorsium mikroorganisme
merupakan salah satu teknologi terapan pertanian yang disarankan untuk menekan
penggunaan pupuk anorganik secara berlebih yang dapat berdampak menurunnya
kualitas lahan tanam. Tidak dianjurkan menggunakan pupuk organik saja tanpa
menggunakan pupuk anorganik. Dibutuhkan penelitian lanjutan mengenai
efektivitas dosis pupuk hayati yang selain dapat menekan penggunaan pupuk
anorganik, tetapi juga dapat menekan biaya pengeluaran untuk pupuk organik.
42
43
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S. J., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A. M. Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah. p. 63-89.
Agus, D. dan Setyorini. 2007. Pelestarian lahan sawah. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Alexander M. 1978. Introduction to soil microbiology. 2nd ed. Willey Eastern Limited. New
Delhi.
Anas, I., E. Premono, dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.
Andoko, A. 2006. Budidaya padi secara organik. penebar swadaya. Jakarta.
Apricio, V., J. L. Costa, and M. Zamora. 2008. Nitrate Leaching Assessment in a Long-term Experiment under Supplemantary Irrigation in Humid Argentina.Agricultural Water Management Vol. 95, pp. 361-1372
Arafah dan M. P. Sirappa. 2003. Kajian Penggunaan Jerami dan Pupuk N, P, dan K Pada Lahan Sawah Irigasi. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 4 (1):15- 24.
Archana, D. S. 2007. Studied on potassium solubilizing bacteria [thesis]. Dharwad (IN): University of Agricultural Sciences.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian [BPPP], Departemen Pertanian. 2006. Policy brief: Pemulihan kesuburan tanah pada lahan sawah berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Badan Pusat Statiskik [BPS] Kabupaten Sukaharjo. 2015. Sukaharjo dalam angka. Katalog BPS: 1102001.3311
Baharyjah, S. 1990. Penghapusan subsidi pupuk suatu tinjauan ekonomi. p. 1-7. Pros. Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 Nopember 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Balai Penelitian Tanah [Balittanah]. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Barber, S. A. 1984. Soil nutrient bioavailability. John Wiley & Son, Inc. United States of America. Hlm. 162.
Beauchamp, E. G. and D. J. Hume. 1997. Agricultural soil manipulation: the use of bacteria, manuring, and powling. In J.D. van Elsas, J T Trevos and E M H Welington (eds). Modern soil microbiology. Marcel Dekker, New York. p 643-664.
Benito, H., Purwanto dan R. Sutanto. 1997. Gugus fungsional bahan organik berperan aktif di dalam penekanan Al3+ dan peningkatan ketersediaan P didalam
tanah. Prosiding Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian. Jakarta.
Bhattacharjee, R. and U. Dey. 2014. Biofertilizer, a way towards organic agriculture: a review. Afr J Microbiol Res 8:2232e342.
Buckman, H. dan N. C. Brady. 1982. Ilmu tanah. Terjamahan Soegiman. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
43
44
Buntan, A. 1992. Efektivitas bakteri pelarut fosfat dalam kompos terhadap peningkatan serapan P dan efisiensi pemupukan P pada tanaman jagung. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Cai, F., W. Chen, Z. Wei, G. Pang, R. Li, W. Ran, and Q. Shen. 2015. Colonization of Trichoderma harzianum strain SQR-T037 on tomato roots and its relationship to growth, nutrient availability and soil microflora. Plant and Soil, 388, 337–350.
Cerezine, P. C., E. Nahas, and D. A. Banzatto. 1988. Phosphate accumulation by Aspergillus niger from fluorapatite. Appl. Microbiol. Biotechnol. 29(5): 501–505. doi: 10.1007/BF00269076.
Chaerun, S. K., dan C. Anwar. 2008. Dampak lingkungan penggunaan pupuk urea pada pembebanan n dan hilangnya kandungan n di sawah. Jurnal Pendidikan IPA 4: 1-8.
Chairani. 2003. Pengaruh organisme pelarut P, VAM, dan beberapa sumber P terhadap ketersediaan P tanah, serapan P tanaman, dan pertumbuhan tanaman lamtoro (Leucaena diversifolia) pada tanah Typie Paleudult. Kongres Nasional HITI VIII. Padang.
Chaves, B., S. De Neve, P. Boeckx, O. Van Cleemput and G. Hofman. 2007. Manipulating nitrogen release from nitrogen-rich crop residues using organic wastesunder field conditions. Soil Science Society of America Journal, 71(4), 1240.
Chonkar, P. K. and N. S. R. Subba. 1967. Phosphate solubilizing by fungi associated with legume root nodules. Canadian J. Microbiol. 13: 749-752.
Damanik, M. M. B., B. E. Hasibuan, Fauzi, Sarifuddin, dan H. Hanum. 2010. Kesuburan tanah dan pemupukkan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Danapriatna, N., R. Hindersah, dan Y. Sastro. 2010. Pengembangan pupuk hayati Azotobacter dan Azospirillum untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pupuk N di atas 15 % pada tanaman padi. (Laporan penelitian KKP3T Deptan TA 2010, Nomor : 1148/LB.602/I.1/4/2010). Universitas Islam “45” Bekasi Kerjasama dengan Badan litbang Departemen pertanian. Bekasi.
Das, A. C. 1963. Ultilization of insoluble phosphate by soil fungi. J. Indian Soc. Soil Sci. 11: 203-207.
De data, S. K. 1981. Principle and practices rice production. John Wiley and Sons, Inc USA. 618 hal.
Departemen Pertanian, 2007. Rekomendasi Pemupukan N, P dan K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/OT. 140/04/2007. Departemen Pertanian, Jakarta.
Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash & Phosphate Institute (PPI), Potash & Phosphate Institute of Canada (PPIC) and IRRI. p. 2- 37.
Elfiati, D. 2005. Peranan mikroba pelarut fosfat terhadap pertumbuhan tanaman. Jurusan Kehutanan. Univeristas Sumatera Utara.
Ervina, Y. V. 2012. Pengaruh Psudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis terhadap pertumbuhan jamur Phytophthora palmivora penyebab penyakit busuk buah kakao. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember. Jember.
45
Fagi, A. M. 2005. Menyikapi gagasan dan pengembangan pertanian organik di Indonesia. Seri AKTP No. 1/2005. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Fitriatin, N. B., M. R. Setiawati, dan R. Hindersah. 2008. Kolonisasi mikoriza, serapan P, pertumbuhan, dan hasil tanaman jagung yang dipengaruhi oleh inokulasi ganda mikroorganisme pelarut fosfat dan mikoriza pada ultisol asal jatinangor. J. Agrikultura. 19 (2). 1-12.
Gardner, F. P., Pearce RB, dan Mitchell RL. 1991. Fisiologi tanaman budidaya. UI Press, Jakarta.
Gentili, F. and A. Jumpponen. 2005. Handbook of microbial frtilizers. Rai MK, editor. New York (US): The Hawort Press, Inc.
Geretsen, F. C. 1948. The influence of microorganism on the phosphorus uptake by the plant. Plant Soil 1:51-81.
Goeswono, S. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Hal. 591.
Grist, D. H. 1959. Rice, formerly agricultural economist, longsmans, green and co. Ltd, London.
Halvin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W. L. Nelson. 1999. Soil fertility and fertilizers. An introduction to nutrient management. Sixth ed. Prentice Hall, New Jersey.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Granfindo Persada. Jakarta.
Haque, M. M., M. A. Haque, G. N. M. Ilias, and A. H. Molla. 2010. Trichoderma-enriched biofertilizer: A prospective substitute of inorganic fertilizer for mustard (Brassica campestris) production. The Agriculturists, 8: 66–73.
Hardjowigeno, S., H. Subagyo, dan R. M. Lutfi. 2004. Morfologi dan klasifikasi tanah dalam tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Harman, G. E. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma sp. Phytopathology, 96: 190–194.
Hasyimi, H. M. 2010. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Info Media.
Hedley, M. J, A. Hussin, and N. S. Bolan. 1990. New approaches to phospho-rus fertilization. Phosphorus require-ments for sustainable agriculture in Asia and Oceania. pp. 125-142.
Hermosa, R., A. Viterbo, I. Chet, and E. Monte. 2012. Plant-beneficial effects of Trichoderma and of its genes. Microbiology, 158: 17–25.
Hindersah, R., D. H. Arief, L. S. Soemitro, and Gunarto. 2006. Exopolysaccharide Extraction from Rhizobacteria Azotobacter sp. Proc. International Seminar IMTGT. Medan, 22-23 Juni 2006. Hal 50-55
Hsieh, S. C. and C. F. Hsieh. 1990. The use of organic matter in crop production. Paper presented at Seminar on the Use of Organic Fertilizers in Crop Production Suweon, South Korea, 18-24 June 1990.
Illmer, P. and F. Schinner. 1992. Solubilization of inorganic phosphate by microorganisms isolated from forest soil. Soil Biol. Biochem. 24(4): 389–395. doi: 10.1016/0038-0717(92)90199-8.
46
Ilmer, P., A. Barbato, and F. Schinner. 1995. Solubilizing of hardly soluble AlPO4 with P-solubilizing microorganism. Soil Biol. Biochem 27: 265-270.
Jones, U. S., J. C. Cattail, C. P. Mamaril, and C. S. Park. 1982. Woodland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. p: 327-378. In: Rice Research Strategies for the Future. Inter. Rice Res. Inst. Los Banos, Philippines.
Kandeel, A. M., S. A. T. Naglaa, and A. A. Sadek. 2002. Effect of biofertilizers on the growth, volatile oil yield and chemical composition of Ocimum basilicum L. plant. Annals Agric. Sci., Ain Shams Univ., Cairo, 47(1), 351–371.
Karaffa, L. and C. P. Kubicek. 2003. Aspergillus niger citric acid accumulation: Appl. Microbiol. Biotechnol. 61(3): 189–196. PMID: 12698275.
Karama, A. S., J. S. Adiningsih, M. Supartini, M. Sediarso, A. Kasno, dan T. Prihatini. 1992. Peranan pupuk kalium dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian di Indonesia. p. 9-48. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.
Kaveh, H., S. Vatandoost, H. Aroiee, and M. Mazhabi. 2011. Would Trichoderma affect seed germination and seedling quality of two muskmelon cultivars, Khatooni and Qasri and increase their transplanting success? Journal of Biology and Environmental Science, 5, 169–175.
Kementeri Pertanian [Kementan]. 2006. Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 02/pert/hk.060/2/2006. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SUP4-3.pdf. [Diakses tanggal 26 April 2017].
Kementerian Pertanian [Kementan]. 2006. Pupuk organik dan pembenah tanah. Permentan No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Pupuk organik dan pembenah tanah. 17 hal.
Kementrian Pertanian [Kementan]. 2011. Peraturan menteri pertanian nomor 70/PERMENTAN/SR.140/10/2011 tentang pupuk organik, pupuk hayati dan pembenah tanah. Sekretariat Negara. Jakarta.
Khan, Md. Y., Md. H. Manjurul, H. M. Abdul, Md. R. Mizanur, and Z. A. Mohammad. 2017. Antioxidant compounds and minerals in tomatoes by Trichoderma-enriched biofertilizer and their relationship with soil environments. Intergrativer Agriculture. 16(3): 691-703.
Kyuma, K. 2004. Paddy soil science. Kyoto University Press and Trans Pacific Press. 280 p.
Lindsay, W. L. 1979. Chemical equilibria in soils. Wiley Interscience. New York.
Maningsih, G. dan I. Anas. 1996. Peranan Aspergillus niger dan bahan organik dalam transfprmasi P anorganik tanah. Dalam pemberitaan penelitian tanah dan pupuk. Badan Litbang Pertanian Puslittanak. 14: 31-36.
Meena, V. S., B. R. Maurya, and I. Bahrudur. 2014. Potassium solubilization by bacterial strain in waste mica. Bangladesh J. Bot, 43 (2) : 235-237
Mengel, K., and E. A. Kirby. 1987. Principles of Plant Nutrition. Inter. Potash Ins. Bern. Switzerland. 687p.
Mondal, T., J. K. Datta, and N. K. Mondal. 2015. Influence of indigenous inputs on the properties of old alluvial soil in a mustard cropping system. Arch. Agron. Soil Sci.
47
Nartea, R. N. 1990. Basic soil fertility. Printed by Up Printery Diliman, Quezon City. P. 72-96.
Novizan. 2003. Petunjuk pemupukan yang efektif. Agro Media Pustaka. Tangerang.
Odjak, M. 1992. Effect of potassium fertilizer in increasing quality and quantity of crop yield. p. 94-104. dalam Peranan kalium dalam pemupukan berimbang untuk mempercepat swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.
Oliveira, C. N. D., P. M. O. J. Neves, and L. S. Kawazoe. 2003. Compatibility between the entomopathogenic fungus beauveria bassiana and insecticides used in coffee plantations Scientia Agricola 60:663-667.
Olsen, S. R., W. D. Kemper and R. D. Jackson. 1962. Phosphate diffusion to plant growth. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 26:222-227.
Park, K. H., C. Y. Lee, and H. J. Son. 2009. Mechanism of insoluble phosphate solubilization by Pseudomonas fluorescens RAF15 isolated from ginseng rhizosphere and its plant growth-promoting activities. Applied Microbiology 49:222–228
Parmar, P. and S. S. Sindhu. 2013. Potassium solubilization by rhizosphere bacteria: influence of nutritional and environmental conditions. Microbiology Research 3 (1): 25-31.
Peraturan Pemerintah. 2001. Pupuk budidaya tanaman. PP. No. 8/Pupukbudidayatanaman/15 Hal/2001.
Pramono, J. 2004. Kajian penggunaan bahan organik pada padi sawah. Jurnal agrosains 6 (1) 11-14.
Prasetyo, B. H. S., K. Adiningsih, Subagtono, dan Simanungkalit. 2004. Mineralogi, kimia, fisika dan biologi tanah sawah. Buku : Tanah Sawah. 35-100.
Premono, E. M. 1994. Jasad renik pelarut fosfat, pengaruhnya terhadap P tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Purwono dam H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 jenis tanaman pangan unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat [Puslittanak]. 2000. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. hlm 169-172.
Rachman, I. A., D. Sri, and I. Komarudin. 2008. The effects of organic matter and N, P, K fertilizer on nutrient uptake an yield of corn in inceptisols ternate. J. Tanah dan lingkungan, 10; 7-13.
Republika. 2017. Pemerintah Tegaskan tak Impor Beras Medium. www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 23 Mei 2017
Ristiati, N. P., S. Muliadihardja, dan F. Nurlita. 2008. Isolasi dan identifikasi bakteri penambat nitrogen non simbiosis dari dalam tanah. J. Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora. 2:68-80.
Roesmarkam, A. dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius. Yogyakarta.
Ruijter, G. J. G., P. J. van de Vondervoort, and J. Visser. 1999. Oxalic acid production by Aspergillus niger: an oxalate-non-producing mutant produces citric acid at pH 5
48
and in the presence of manganese. Microbiology, 145(Pt 9): 2569–2576. PMID: 10517610.
Saraswati, R., T. Prihatini, dan R. D. Hastuti. 2004. Teknologi pupuk mikroba untuk meningkatkan efisiensi pemupukan dan keberlanjutan sistem produksi padi sawah. P. 169-189.
Setyorini, D. dan Abdulrachman. 2004. Pengelolaan hara mineral tanaman padi. Hlm. 110-136 dalam Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Ed.: F. Agus, A. Adimihardja., S. Hardjowigeno, a.M. Fagi, W. Hartatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depertemen Pertanian.
Setyorini, D., S. Rochayati, dan I. Las. 2010. Pertanian pada ekosistem lahan sawah. Hlm. 27-45 dalam Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber daya Lahan dan Air. Balitbang Pertanian. Kementerian Pertanian. IPB PRESS.
Setyorini, D., L. R. Widowati, dan Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara tanah sawah intensifikasi. Hlm. 137-168 dalam Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya. Ed.: F. Agus, A. Adimihardja., S. Hardjowigeno, a.M. Fagi, W. Hartatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depertemen Pertanian.
Shiddieq, J. dan Partoyo. 2000. Suatu pemikiran mencari pradigma baru dalam pengelolaan tanah yang ramah lingkungan. Prosiding. Kongres Nasional VII. HITI. Bandung.
Silva, F. G. N., C. Narloch, and R. Scharf. 2002. Solubilizac¸a˜o de fosfatos naturais por microrganismos isolados de cultivos de Pinus e Eucalyptus de Santa Catarina. Pesq. Agropec. Brasil. 37(6): 847–854. [In Portuguese.]
Simarmata, T., B. Joy, E. T. Sofyan, A. Citraresmini, T. Turmuktini, and B. Sudjana. 2015. Innovation of biofertilisers-organic based nutrients management and water saving technology to secure rice productivity. In: Proceeding of Tropentag 2015. Berlin. Germany.
Simpson, R. J., A. Oberson, M. H. Ryan, E. J. Veneklaas, H. Lambers, J. P. Lynch, P. R. Ryan, E. Delhaize, F. A. Smith, S. E. Smith, P. R. Harvey, and A. E. Richardson. 2011. Strategies and agronomic interventions to improve the phosphorus-use efficiency of farming systems. Plant and Soil, 349: 89–120.
Singh, S. M., S. Y. Lal, K. S. Sanjay, S. Purnima, N. S. Paras, and R. Rasik. 2011. Phosphate solubilizing ability of two Arctic Aspergillus niger strains. Polar 30: 72-83
Singh, T. and S. S. Purohit. 2011. Biofertilizers Technology. India: Agrobios.
Siswono, W.H. 2006. Swasembada pangan dan pertanian berkelanjutan tantangan abad dua satu: Pendekatan ilmu tanah, tanaman dan pemanfaatan iptek nuklir. Dalam A. Hanafiah WS, Mugiono, dan E.L. Sisworo. Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta. 207 hlm
Sitompul, S.M. dan S. Setijono. 1990. Bahan organik dan efisiensi pemupukan nitrogen. Lokakarya Nasional, Efisiensi Pemupukan V. Cisarua 12-13 Nopember 1990. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. jurusan tanah. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Sperber, J.I. 1958. The incidence of apatite-solubilizing organisms in the rhizosphere and soil. Aust. J. Agric. Res. 9(6): 778–781. doi:10.1071/AR9580778
49
Subba Rao, N. S. 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi kedua. Terjemahan Herawati Susilo. UI Press.
Sudirja, R. 2007. Standar mutu pupuk organik dan pembenah tanah. Modul Pelatihan Pembuatan Kompos. Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi RI. Balai Besar Pengembangan dan Perluasan Kerja. Lembang.
Supyandi, D., Y. Sukayat, dan M. A. Heryanto. 2014. Beras organik: upaya meningkatkan daya saing produk pertanian (studi kasus di Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat). Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Padjadjaran
Suriadikarta, D. A., dan R. D. M. Simanungkalit. 2006. Pupuk organik dan pupuk hayati. Balai besar litbang sumberdaya lahan pertanian badan penelitian dan pengembangan pertanian.
Sutanto, R. 2006. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius. Yogyakarta.
Sutardi. 2004. Kombinasi takaran pupuk organik-anorganik terhadap sistem perakaran, pertumbuhan dan hasil tanaman padi organik. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi sumber daya tanah dan ilkim 14-15 September 2004. Bogor.
Swastika, D. K. S., J. Wargiono, dan A. Hasanuddin. 2007. Analisis kebijakan peningkatan produksi padi melalui efisiensi pemanfaatan lahan sawah di Indonesia. J. Analisis Kebijakan Pertanian 5:36-52.
Syekhfani. 1997. Hara air tanah dan tanaman. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brahwijaya. Malang.
Tisdale, S. L., W. L. Nelson, J. D. Beaton, and J. L. Halvlin. 1993. Soil fertility and fertilizers. Fifth Edition. Macmillan Pub. Co. New York, Canada, Toronto, Singapore, Sidney. p. 462-607.
Triyono A., Purwanto, dan Budiyono. 2013. Efisiensi penggunaan pupuk-N untuk pengurangan kehilangan nitrat pada lahan pertanian. Prosiding seminar nasional pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. ISBN 978-602-17001-1-2.
Utami, D. P. 2011. Analisis pilihan konsumen dalam mengkonsumsi beras organik di Kabupaten Sragen. J Ilmu Pertanian. Vol. 7. No. 1, 2011:41-58
Vassilev, N., M. T. Baca, M. Vassileva, I. Franco, and R. Azcon. 1995. Rock phosphate solubilization by Aspergillus niger grown on sugar-beet waste medium. Appl. Microbiol. Biotechnol. 44(3-4): 546–549. doi: 10.1007/BF00169958.
Waksman, S. A. and R. C. Starkey.1931. The soil and the microbe. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York.
Whitelaw, M. A. 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate-solubilizing fungi. Adv. Agron. 69: 99–151. doi:10.1016/S0065-2113(08)60948-7.
Widawati, S. dan A. Muharam. 2012. Uji laboratorium Azospirillum sp. yang diisolasi dari beberapa ekosistem. Journal Hortikultura 22 (3): 258-267.
Widawati, S., Suliasih, H. J. D. Latupuapua, and A. Sugiharto. 2005. Biodiversity of soil microbes from rhizospore at Wamena Biological Garden (WBiG), Jayawijaya, Papua. Biodiversitas 6 (1): 6-11.
Winarso. 2005. Kesuburan tanah. Gava Media, Yogyakarta.
Witteveen, F. B., P. J. van de Vondervoort, H. C. van den Broeck, A. C. van Engelenburg, L. H. de Graaff, and M. H. Hillebrand. 1993. Induction of glucose oxidase, catalase,
50
and lactonase in Aspergillus niger. Curr. Genet. 24(5): 408–416. doi:10.1007/BF00351849. PMID: 8299156.
Wu, S. C., Z. H. Cao, Z. G. Li, K. C. Cheung, and W. H. Wong. 2005. Effects of biofertilizer containing N-fixer, P and K solubilizers and AM fungi on maize growth: a greenhouse trial. Geoderma 125:155–166
Yedidia, I., A. K. Srivastva, Y. Kapulnik, and I. Chet. 2001. Effects of Trichoderma harzianum on microelement concentrations and increased growth of cucumber plants. Plant and Soil, 235, 235–242.
Yuliana. 2010. Bioteknologi Mikroba. http://yuliana.student.umm.ac.id /2010/01/22/bioteknologi-mikroba/difiksasi/. Diakses pada April 2017.
Zarjani, J. K., N. Aliasgharzad, and S. Oustan. 2013. Isolation a characterizasion of potassium solubilizing bacteria in some Irianian soils. Archive agronomy and soil, 59 (12): 1716-1717.