ittiba' dan taqlid
DESCRIPTION
Jangan lupa tinggalin comment...Lebih lanjut, hubungi alamat berikut:[email protected]TRANSCRIPT
MAKALAH
ITTIBA’ DAN TAQLID
Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen: Muhammad Sar’an, M.Ag.
Disusun Oleh:
Eka Lusiandani Koncara
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DR. KHEZ. MUTTAQIEN
PURWAKARTA
2008
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT,
akhirnya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “ITTIBA’ DAN
TAQLID” ini, guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa makalah ini penulis
berusha mengupas tentang pengertian Ittiba’ dan Taqlid serta syarat-
syaratnya.
Diakui bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
kekhilafan . karena itu, diharapkan pembetulannya untuk perbaikan
makalah berikutnya.
Terima kasih banya kami haturkan kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi hingga rampungnya penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiiin…
Purwakarta, Mei 2008
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
ITTIBA’ ............................................................................................................. 2
TAQLID ............................................................................................................ 3
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 7
1
PENDAHULUAN
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
yang telah mengutus Nabi Muhammad SAW, untuk menyampaikan
agama yang hak, memberi petunjuk kepada segenap manusia ke jalan
kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Syari’at Islam yang datang kepada kita dasarnya ialah Al-Qur’an.
Kemudian Qur’an itu dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW baik dengan
kata-kata maupun dengan perbuatannya. Kata-kata dan perbuatan inilah
yang dikatakan Sunnah.
Ittiba’ artinya mengikut, sedang menurut istilah ialah menerima
perkataan orang lain dan kamu mengetahui dari mana sumber alasan
tersebut. Dan ittiba menurut syara’ diperintah sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Araf ayat 3 yang berbunyi “Ikutilah keterangan yang
diturunkan kepadamu, dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selainNya”. Serta Nabi SAW bersabda “Wajib kamu mengikuti
sunnatku dan perjalanan/cara-cara Khulafaurrasyidin sesudahku”.
2
ITTIBA’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui
sumber atau alasan perkataan tersebut. Ittiba’ dalam agama
diperintahkan.
Allah berfirman :
“Tanyakan kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Yakni tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari Al-
Qur’an dan hadits bukan dari pendapat mereka semata-mata. Zikir ialah
kitabullah dan hadits, bukan lain-lainnya. Syari’at Islam yang suci ini
adakalanya dari Allah, yaitu Qur’an, atau dari Rasulullah yaitu hadits.
Maka yang dimaksud dengan akhli zikir, ialah ahli Qur’an dan ahli hadits.
Apabila mereka ditanya maka jawabnya : “Allah berfirman atau dalam
hadits tersebut begitu” dan sebagainya.
3
TAQLID
TA’RIF
Taqlid ialah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber
atau alasannya.
SYARAT-SYARAT TAQLID
Syarat-syarat taqlid dapat dibagi dua, yaitu:
A. Syarat pada orang yang bertaqlid
Yang diperbolehkan bertaqlid ialah orang yang awam (orang biasa)
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’at. Ia boleh
mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum-
hukum syari’at, maka harus berijtihad sendiri, bila waktunya masih
cukup. Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan
ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain (dalam soal-soal
ibadat) maka menurut suatu pendapat orang pandai lainnya.
B. Syarat pada soal-soal yang ditaqlidi
Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti
mengetahui adanya zat yang menjadikan lam serta sifat-sifatNya dan
hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut
ialah akal, sedang setiap orang mempunyai akal. Karena itu tidak ada
gunanya bertaqlid kepada orang lain.
4
Allah mencela keras taqlid dalam soal tersebut dengan firman-Nya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang
Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al-Baqarah : 170)
HUKUM SYARA’
Hukum syara’ dapat dibagi dua:
a. Yang diketahui dengan pasti dari agama, seperti wajibnya shalat
lima waktu, puasa, zakat dan haji. Juga tentang haramnya zina dan
minuman keras. Dalam soal-soal tersebut tidak boleh taqlid, karena
semua orang dapat mengetahui.
b. Yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti
soal-soal ibadah yang kecil. Dalam soal-soal semacam ini
dibolehkan taqlid.
Alasan-alasan :
1. “Tanyakan kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. An Nahl : 43)
Yang bertanya, ialah orang yang tidak tahu tentang sesuatu yang
tidak diketahuinya, karena perintah disini dihubungkan dengan
ketidaktahuan.
2. Para sahabat memberikan fatwa kepada orang-orang biasa (awam)
dan tidak menyuruh mereka untuk mendapatkan tingkatan ijtihad.
3. Sudah disepakati ulama, setiap orang diharuskan mengetahui
hukum, termasuk juga orang awam. Kalau mereka diharuskan
berijtihad sendiri, tentu dunia ini akan sepi, tak ada perniagaan,
5
pertanian dan lain-lain, karena menghadapi ijtihadnya sendiri-
sendiri. Satu-satunya jalan ialah bertanya kepada orang-orang
pandai.
Taqlid yang diharamkan
1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Qur’an dn
hadits.
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk
ditaqlidi.
Pesan Imam Yang Empat dan Lain-lain
Imam Abu Hanifah berkata:
“Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan hadist Rasul, maka
tinggalkanlah perkataan saya ini”.
“Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum
mengetahui dari mana saya berkata”.
Imam Malik berkata:
“Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan kadang-
kadang benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan Qur’an dn
hadits, maka ambillah. Yang menyalahi hendaklah tinggalkan”.
Imam Syafi’i berkata:
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti
orang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu
sedang di dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
6
“Jangan mengikuti (taqlid) saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i,
tetapi ambillah dari mana mereka mengambil”.
Ibnu Mas’ud berkata:
“Kamu jangan menaqdili orang. Kalau ia iman, maka kamu beriman.
Kalau ia kafir, maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal-hal
yang buruk”.