its-undergraduate-14075-3405100030-chapter1.pdf

Upload: alam-widha-andryan-dsinzzie

Post on 08-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang 1.1.1. Program Tribute to East Java Heritage

    Kesenian tradisional merupakan suatu kerja kreatif yang tidak sekedar

    mengedepankan unsur hiburan atau kepentingan industri semata, namun lebih

    diartikan sebagai suatu penanda atau produk fisik kebudayaan suatu daerah.

    Sebagai penanda kebudayaan, dapat dikatakan kesenian tradisional merupakan

    suatu totalitas yang merangkum segala aspek kognisi atau sistem gagasan

    (dimensi ide) terkait dengan realitas suatu masyarakat yang dikemas secara

    artistik dan memiliki fungsi-fungsi sosial dan kultural tertentu. Fungsi sosial

    kesenian tradisional dapat diidentifikasi dari peran kesenian tersebut pada

    perkembangan masyarakat tempat kesenian tersebut berada. Kesenian tradisional

    merekam dan mengartikulasikan ulang problem-problem sosial sesuai dengan

    warna lokal (local color) dan cirinya masing-masing dan berujung pada suatu

    upaya penggalian nilai-nilai etis atau kearifan lokal (local wisdom) sebagai salah

    satu tawaran solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial kekinian.

    Dari hasil konvensi pengembangan ekonomi kreatif pada Pekan Produk

    Budaya Indonesia 2009-2015, kesenian dan kebudayaan Jawa Timur memiliki

    peluang untuk mengarah pada bidang industri1. Berdasarkan hasil konvensi

    tersebut, Dewan kesenian Jawa Timur sebagai salah satu pihak yang

    berkepentingan terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Timur,

    melalui komite-komite dibawahnya mempunyai program untuk

    mentranformasikan kesenian dan kebudayaan Jawa Timur kearah industri kreatif

    Indonesia sesuai dengan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025.

    Dewan kesenian Jawa Timur menjalankan beberapa rangkaian program

    budaya sesuai dengan komite-komite dalam struktur organisasi sesuai bidangnya

    masing-masing. Yaitu penelaahan dan pengumpulan data-data terbaru mengenai 1 Dewan Kesenian Jawa Timur, 2008

  • 2kebudayaan dan kesenian di Jawa Timur, termasuk di dalamnya komite film yang

    memiliki program Tribute to East Java Heritage, yang merupakan rangkaian

    program pendokumentasian kebudayaan melalui media film sebagai sebuah

    kelanjutan dari program yang telah dijalankan untuk diarahkan menuju

    pengembangan industri kreatif di Jawa Timur. Dipilihnya media film dokumenter

    didasari oleh kekuatan film dokumenter sendiri dan masih banyaknya minat

    medium tersebut di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.

    Kebudayaan serta Kesenian tradisional (rakyat) di Jawa Timur sangat

    beragam. Secara garis besar, menurut Ayu Sutarto, seorang antropolog

    Universitas Negeri Jember, menganggap wilayah Jawa Timur secara kultural bisa

    dibagi menjadi 10 sub-wilayah kebudayaan2

    Untuk memudahkan pengorganisasian pendokumentasian kebudayaan

    Jawa Timur yang multikultur, maka program pendokumentasian kebudayaan

    Tribute to East Java Heritage dibagi menurut pembagian kebudayaan berdasarkan

    penelitian Ayu Sutarto yang membagi kebudayaan Jawa Timur menjadi 10

    wilayah kebudayaan.

    Gambar 1.1: Peta Pembagian Kebudayaan Jawa Timur

    2 Penelitian/Tesis Ayu Sutarto mengenai 10 pembagian wilayah kebudayaan Jawa Timur, 2006

  • 3

    Tabel 1.1: Pembagian 10 Wilayah Kebudayaan

    1. Jawa Mataraman 6. Tengger

    2. Panaragan 7. Osing

    3. Samin 8. Madura Pulau

    4. Arek 9. Madura Bawean

    5. Pandalungan 10. Madura Kangean

    1.1.2. Kebudaya Jawa Timur Kebudayaan Jawa sangat identik dengan kebudayaan yang diusung oleh

    kekeratonan Yogyakarta dan kesuhunan Surakarta. Dominasi kedua kebudayaan

    tersebut berkembang seiring dengan perkembangan kerajaan Mataram Jawa pada

    saat itu. Sehingga dapat dikatakan, secara keseluruhan masyarakat Jawa telah

    terbentuk dari sebuah kebudayaan dengan identitasnya yang unggah-ungguh

    (sopan santun) dan ramah. Namun budaya tersebut terbagi karena adanya

    benturan antara kehidupan sosial kekeratonan-masyarakat di sekitar kerajaan

    dengan kehidupan sosial masyarakat pesisir (pinggiran). Dengan adanya

    perbedaan tersebut, berkembanglah istilah budaya tengahan yang lekat pada

    masyarakat Jawa Tengah dan budaya pesisir yang dijalankan oleh sebagian besar

    masyarakat Jawa Timur.

    Berbeda dari dua propinsi tetangga dekatnya, yaitu Jawa Tengah dan Bali

    yang monokultur, Jawa Timur adalah propinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri

    pusaka budaya (cultural heritage) yang dimilikinya, baik yang tangibles

    (bendawi) maupun intangibles (non-bendawi).3

    Dalam perancangan tugas akhir ini, pembahasan ditujukan kepada

    kebudayaan suku Osing. Beberapa hal yang menjadi dasar pemilihan kebudayaan

    Osing sebagai tema dalam tugas akhir ini adalah:

    3 Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2008

  • 41. Program pemerintah kabupaten Banyuwangi yang menjadikan budaya Osing

    sebagai salah satu produk utama tujuan wisata di kabupaten Banyuwangi.

    2. Sebagai sebuah suku yang menempati satu kabupaten secara penuh, suku

    Osing memiliki karakteristik yang berbeda dibanding suku lainnya di Jawa

    Timur, dibandingkan dengan 9 wilayah kebudayaan lainnya, suku Osing

    memiliki percampuran antara budaya Jawa kuno dan Bali sebagai akar

    budayanya.

    Letak geografis yang berdekatan dengan pulau Bali menimbulkan peluang

    sekaligus tantangan bagi kebudayaan Osing. Pulau Bali sebagai pusat pariwisata

    internasional memunculkan peluang bagi pertumbuhan wisata kebudayaan dimana

    suku Osing menjadi sentral dalam wisata kebudayaan tersebut. Namun, letak

    geografis itu juga menimbulkan suatu efek negatif yang merupakan dampak dari

    masuknya pengaruh pengaruh yang dibawa bersama masuknya budaya luar.

    kemungkinan persentuhan budaya Banyuwangi dengan budaya luar ini tentunya

    merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, masuknya budaya luar suku Osing

    ke dalam budaya Osing melalui modifikasi, adaptasi, dll juga menjadi sebuah hal

    yang pasti terjadi, untuk itu perlu dibuat sebuah media yang bisa menjadi alat

    promosi sekaligus dokumentasi sebuah kebudayaan pada suatu masa atau periode

    tertentu, yang nantinya bisa menjadi sebuah referensi untuk budaya Osing.

    1.1.3. Suku Osing

    Secara geografis, suku Osing mendiami daerah yang termasuk dalam

    kabupaten Banyuwangi. Oleh beberapa kalangan komunitas Osing dianggap

    komunitas yang paling lama mendiami wilayah Banyuwangi karenanya dianggap

    sebagai komunitas asli Banyuwangi. Kehadiran suku-suku yang lain seperti Jawa,

    Madura, Bugis tidak merubah pandangan umum termasuk orang Osing sendiri

    bahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat Osing

    Kota yang dulunya bernama Blambangan ini juga kaya akan seni tradisi, sebut

    saja kebo-keboan di Alas Malang, seblang di Oleh Sari, endog-endogan, janger,

    kuntulan, angklung, damarulan, barong, mocoan pacul goang, jaranan buto,

    patrol hingga gandrung yang lebih populer dari yang lainnya

  • 5Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai "Lare Osing"

    ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa dan secara otomatis menjadi pendukung

    tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di

    wilayah tengah kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan sebagai

    berikut :

    Tabel 1.2: Persebaran Penutur Bahasa Jawa-Osing.

    1. Kabat

    2. Rogojampi

    3. Glagah

    4. Kalipuro

    5. Srono

    6. Songgon

    7. Cluring

    8. Giri

    9. Sebagian kota Banyuwangi

    10. Gambiran

    11. Singojuruh

    12. Sebagian Genteng

    13. Licin

    Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran baik Bahasa Jawa

    ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat

    dijumpai di wilayah kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa

    Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah

    Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura disamping karena

    keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.

    1.1.3.1. Sejarah Suku Osing

    Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Majapahit sejak awal

    abad 12. Majapahit menguasai Blambangan sejak tahun 1295 hingga tahun 1527.

    Namun sejak pemerintahan Aria Nambi sampai Bhre Wrabumi kerajaan

    Blambangan terlibat permusuhan dengan kerajaan Majapahit. Setelah periode

    Majapahit, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang berdiri sendiri.

    Namun hal ini tidak membuat kerajaan Blambangan terlepas dari perebutan

    kekuasaan. Dalam kurun waktu dua abad lebih, antara tahun 1546 sampai tahun

    1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.

    kerajaan Mataram di Jawa tengah, kerajaan di Bali (kerajaan Gel-gel, Buleleng

    dan kerajaan Mengwi) secara bergantian mencoba untuk menguasai kerajan

  • 6Blambangan. Perebutan kekuasaan ini berdampak pada terjadinya migrasi

    penduduk, perpindahan ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru.

    1.1.3.2. Kebudayaan suku Osing

    Beberapa seni tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Osing diantaranya

    adalah kuntulan, janger, angklung, idher bumi, barong, seblang dan gandrung

    penuh dengan syair dan iringan musik. Kelahiran seni tradisi ini tidak bisa

    dipisahkan begitu saja dengan masyarakat setempat. Seni-seni itu hadir tidak jauh

    dari keseharian hidup mereka. Sebagai daerah yang banyak dialiri sungai-sungai

    Banyuwangi sangat diuntungkan, karena dengan demikian sumber utama

    penghasilan penduduknya berasal dari hasil-hasil pertanian. Bahkan pernah

    kabupaten ini manjadi salah satu yang masuk kategori penghasil padi terbesar di

    propinsi Jawa Timur. Dan seni tradisi itu juga lahir tidak jauh dari hal-hal yang

    bersifat pertanian.

    Sebagai contoh adalah kesenian angklung yakni musik tradisi yang

    perlatannya menggunakan bilah-bilah bambu yang diatur dalam pangkan dengan

    nada slendro (Jawa) ditambah dengan kendang, gong dan saron. Kesenian ini

    muncul ketika pesta panen. Angklung digunakan untuk mengiringi gerak ani-

    anian padi. Sekarang Angklung berkembang sangat pesat dan mengalami banyak

    varian seperti Angklung Paglak (gubuk sawah) yang merupakan cikal bakal

    kesenian angklung, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras dan Angklung

    Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat

    musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung

    khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.

    Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan urat nadi mereka. Ia tidak

    hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian adalah nafas mereka, ritual

    yang mengandung makna spiritual yang selalu dekat dengan kehidupan mereka.

    Dalam upacara ritual seperti merayakan dewi kesuburan dan mohon keselamatan

    semacam Seblang, Kebo-Keboan dan Idher Bumi, lagu nampak menjadi bagian

    dari mantra ritual. Sama halnya dengan penganut agama Islam yang melakukan

    ibadah sholat sebagai ritual sehari-hari, atau penganut agama Hindu yang setiap

  • 7harinya selalu berdoa ke Pura4. Dalam buku Gandrung Banyuwangi, disebutkan

    bahwa lingkungan alam pedesaan agraris masyarakat Banyuwangi atau Wong

    Osing itu pula yang kemudian melahirkan kesenian gandrung. Kesenian yang

    melibatkan unsur tari, musik, termasuk olah vokal dan lagu, merupakan induk dari

    kesenian yang kemudian muncul di Banyuwangi.

    Karakter yang diwarisi melalui proses imitasi dan menjadi kebiasaan yang

    paling nampak pada masyarakat etnik tersebut antara lain adalah penggunaan

    bahasa dan dialek Osing. Jika kebiasaan tutur ini telah mengalami penyusutan

    pada konsentrasi masyarakat Osing lainnya, maka pada kelompok masyarakat

    Osing yang berdiam di desa Kemiren, bahasa dan dialek ini masih sangat kental

    penggunaannya. Komunitas bahasa merupakan tipe komunitas yang membawa

    nilai budaya masyarakat tertentu sekaligus mempermudah kemungkinan akan

    terciptanya suatu pemahaman bersama.

    1.1.3.3. Budaya Osing dan Mistis

    Masih dipegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal

    mistis ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya

    mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar

    tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya

    sebelum islam. Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan

    dunia mistis antara lain:

    1. Selametan setiap hari senin dan kemis di makam Buyut Cili yang dilakukan

    oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu

    acara

    2. Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/Jaran Goyang.

    Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang

    terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang

    menyukainya. Image bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal

    dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. padahal mitos ini

    4 Hasnan Singodimayan, Koordinator Forum Komunikasi Seniman Tradisional Banyuwangi, 2009.

  • 8hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka. (wawancara dengan Bapak

    Timbul, Modin desa Kemiren)

    3. Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan

    dan hari baik dan buruk. Serta tanda tanda alam yang terbaca.

    4. Tata cara selamatan yang sering sekali dilaksanakan setiap hari tertentu dan

    pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada

    daerah lain.

    5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap

    menyakiti orang yang berasal dari suku Osing. Image tentang santet dan

    keterkaitannya dengan suku Osing ini diperparah dengan pemberitaan besar

    besaran media pada saat kekacauan politik tahun 1998 dan isu tentang

    penculikan dan pembunuhan yang terjadi di wilayah kabupaten Banyuwangi.

    Fenomena tentang Persepsi negatif terhadap suku Osing yang bertahan di

    masyarakat ini salah satunya terjadi karena tidak adanya media yang mengangkat

    tentang suku Osing dan kebudayaanya secara berimbang.

    Nilai nilai budaya yang masih dianut suku Osing ini memiliki keunikan dan

    karakter yang berbeda dari daerah lain di Jawa Timur. Kuatnya budaya dan tradisi

    yang dipegang teguh oleh masyarakat Osing ini menjadi daya tarik utama yang

    diandalkan oleh pemerintah Banyuwangi untuk menarik wisatawan. Namun,

    minimnya informasi atau pengetahuan yang diperoleh masyarakat tentang budaya

    Osing ini menyebabkan hanya sedikit masyarakat yang tahu tentang kebudaya

    Osing5.

    Beberapa fenomena yang dimunculkan dalam uraian diatas tentunya menjadi

    sebuah objek menarik untuk diangkat menjadi salah satu tema dalam seri

    kebudayaan Banyuwangi untuk film dokumenter seri Tribute to East Java

    Heritage ini. Benturan antara kebudayaan tradisi lokal dengan kompromi

    masuknya arus global merupakan sesuatu yang sulit untuk terelakkan. Signifikasi

    fungsi sosial tersebut pada gilirannya turut mempengaruhi fungsi kultural oleh 5 Kuisioner hasil penelitian tentang Kebudayaan Osing, 2009.

  • 9karena kesenian tradisional merupakan salah satu sarana penyeimbang derasnya

    arus kebudayaan global. Dengan kata lain, kesenian tradisional merupakan entitas

    yang memiliki peran penting dalam suatu kebudayaan. Arus globalisasi yang

    membuka medan kontestasi antar kebudayaan telah meletakkan kesenian

    tradisional dalam posisi dilematis: di satu sisi kesenian tradisional dipandang

    sebagai penanda otentik suatu kebudayaan yang harus dibina kelanjutannya, di

    sisi lain, produk-produk kebudayaan asing yang lebih menawarkan ragam hiburan

    tak dapat disangkal semakin mendapat tempat di hati masyarakat.

    1.1.4. Film Dokumenter. Layaknya sebuah fakta, bentuk-bentuk kejadian yang menggambarkan

    dramatisasi, ironis, serta tragis adalah problematika yang harusnya tidak

    ditinggalkan. Adanya fenomena dimana nilai-nilai kultural yang dapat dijadikan

    sebagai kearifan lokal (local wisdom) ini dapat terus bertahan sebagai identitas

    sebuah kebudayaan lokal, mengingat begitu beranekaragamnya budaya nasional,

    khususnya Jawa Timur. Pengungkapan sebuah fakta sekiranya dapat

    mengingatkan kembali atau mungkin dampak yang lebih ekstrim yaitu dapat

    merangsang para generasi penerus untuk dapat mengenal identitasnya yang dapat

    dibanggakan.

    Dalam hal ini, sebuah rekonstruksi keadaan budaya Jawa Timur sekarang

    dapat direpresentasikan kembali melalui media-media yang dapat diterima oleh

    masyarakat modern. Nilai-nilai kebudayaan ini menjadi penting saat fungsi sosial

    kebudayaan itu dilaksanakan namun terbentur pada permasalahan kemasan yang

    dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Sesuai dengan sifat media sekarang yang

    mampu disetarakan dengan sebuah rekonstruksi adalah film dokumenter.

    Film dokumenter saat ini telah menjadi sebuah tren tersendiri dalam

    perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang

    banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tidak hanya itu, film

    dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup

    memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita

    saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan

  • 10Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap

    memproklamirkan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program

    dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi televisi,

    film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam

    dan luar negeri. Sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film

    Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter.

    Pada permasalahan budaya khususnya, kekuatan film dokumenter memiliki

    cara tersendiri untuk mengkomunikasikan pada audiens melalui medium audio

    visual. Serupa dengan wujud yang dhasilkan oleh sebuah kebudayaan, yaitu

    bahasa, sistem religi, mata pencaharian hingga kesenian, film dokumenter

    memiliki bargaining of power terhadap sebuah realitas. Seperti yang diungkapkan

    oleh pakar dokumenter, John F Giersen menyebutkan bahwa kekuatan film

    dokumenter hampir sebanding dengan sebuah rekonstruksi. Maksudnya adalah

    untuk menangkap sebuah problematika pada kebudayaan Osing perlu adanya

    sebuah dimensi untuk menggambarkan realitas secara komprehensif.

    Secara garis besar, film dokumenter ini mampu merepresentasikan ulang

    segala problematika pada kebudayaan Osing dengan menggunakan dimensi-

    dimensi yang mendekati realita.

    1.2. Identifikasi Masalah 1. Secara garis besar, permasalahan yang dialami kebudayaan Indonesia

    khususnya Jawa Timur memiliki kesamaan, yaitu benturan kesenian

    tradisional untuk tetap bertahan di tengah derasnya arus globalisasi yang

    membuka kebudayaan dan kesenian asing untuk masuk ke Indonesia.

    2. Kesenian Jawa Timur memiliki peluang untuk mengarah pada bidang

    industri6. Berdasarkan hasil konvensi tersebut, Dewan Kesenian Jawa Timur

    menjalankan beberapa rangkaian program budaya sesuai dengan komite-

    komite dalam struktur organisasi sesuai bidangnya masing-masing. Yaitu

    penelaahan dan pengumpulan data-data terbaru mengenai kebudayaan dan 6 Dewan Kesenian Jawa Timur, 2008

  • 11kesenian di Jawa Timur, termasuk di dalamnya Komite Film yang memiliki

    program Tribute to East Java Heritage, yang merupakan rangkaian program

    pendokumentasian kebudayaan melalui media film sebagai sebuah kelanjutan

    dari program yang telah dijalankan untuk diarahkan menuju pengembangan

    industri kreatif di Jawa Timur. Dipilihnya media film dokumenter didasari

    oleh kekuatan film dokumenter sendiri dan masih banyaknya minat medium

    tersebut di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.

    3. Adanya Image masyarakat terhadap suku Osing sebagai suku yang identik

    dengan ilmu hitam (santet)7. Hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat yang

    hanya sebagian saja tentang suku Osing. Hal ini disebabkan belum adanya

    sebuah media yang dapat menggambarkan suku Osing secara berimbang8.

    4. Belum adanya sebuah media yang dapat menggambarkan secara audio-visual

    tentang gagasan, aktifitas serta artefak kebudayaan sebagai identitas lokal

    masyarakat yang membedakan kebudayaan Osing dengan kebudayaan

    lainnya9.

    5. Tingkat persinggungan masyarakat Osing yang cukup tinggi dengan

    masyarakat imigran serta heterogenitas masyarakat sekitar suku Osing rentan

    menyebabkan pergeseran dan perubahan kebudayaan Osing serta bentuk

    keseniannya dari waktu ke waktu10.

    6. Karena sifat kebudayaan yang selalu rentan dengan perubahan. Diperlukan

    adanya sebuah media yang bersifat audio-visual tentang budaya Banyuwangi

    yang bisa mewakili dan mendokumentasikan budaya Banyuwangi ataupun

    produk kebudayaan Banyuwangi dari satu masa tertentu11.

    7 Kuisioner hasil penelitian tentang Kebudayaan Osing, 2009 8 Wawancara dgn Bapak Aekanu H, Budayawan Osing, September 2009 9 Wawancara dgn Bapak Aekanu H, Budayawan Osing, September 2009 10 Wawancara dengan Bapak Hasnan Singodimayan, koordinator Forum Komunikasi Seniman Tradisional Banyuwangi, September 2009. 11 Wawancara dengan Bapak Azhar Prasetyo, penasihat Dewan Kesenian Blambangan. September 2009.

  • 121.3. Batasan Masalah

    1. Perancangan ini difokuskan pada empat analisa sebagai pokok bahasan, yaitu:

    Analisa kebudayaan Osing sebagai content (isi), yakni tentang kebudayaan

    Suku Osing itu sendiri maupun kegiatan kebudayaan serta adat istiadat suku

    Osing yang meliputi keunikan dari segi penokohan, lakon hingga

    problematika kebudayaan suku Osing di zaman sekarang. analisa segmen

    target audience, analisa media dan analisa film dokumenter yang sesuai

    dengan segmen target audience dewasa aktif.

    2. Perancangan ini dibatasi pada perancangan film dokumenter tentang

    kebudayaan Osing, tidak menyeluruh hingga pendistribusiannya.

    1.4. Rumusan Masalah Bagaimana merancang sebuah film dokumenter yang mampu

    menggambarkan gagasan, aktivitas serta artefak kebudayaan Osing sebagai salah

    satu bagian dari program budaya Tribute to East Java Heritage

    1.5. Tujuan Penelitian

    Sebagai penciptaan media audio visual yang mampu menggambarkan

    gagasan, aktifitas serta artefak kebudayaan suku Osing serta mengingatkan

    kembali pada identitas kebudayaan, memperkenalkan kekayaan dan keragaman

    budaya Jawa Timur.

    1.6. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, film dokumenter sebagai media akan menstimulus

    (merangsang) audiens sebagai proses regenerasi kebudayaan Jawa Timur

    2. Secara praksis, film dokumenter ini akan didistribusikan ke beberapa instansi

    (stakeholder) kesenian dan kebudayaan terkait, antara lain: Pemerintahan,

    sekolah, pemerhati kesenian, masyarakat luas, maupun jaringan distributor

    film dokumenter independen.

    3. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak akademis sebagai kajian tentang

    penelitian sebuah perancangan media film dokumenter tentang kesenian

  • 13khususnya kebudayaan Osing sebagai salah satu identitas kebudayaan Jawa

    Timur

    4. Penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa Desain Komunikasi Visual dalam

    mencari acuan tugas penelitian dan perancangan berjudul tentang perancangan

    media film dokumenter tentang kesenian khususnya kebudayan Osing sebagai

    salah satu identitas kebudayaan Jawa Timur

    1.7. Ruang Lingkup Penelitian 1.7.1. Ruang Lingkup Studi

    Secara garis besar ruang lingkup kerja yang akan di lakukan adalah

    perancangan dan penyusunan proyek sebuah film dokumenter yang bertema

    kebudayaan Osing, meliputi perancangan konten serta proses produksinya. Dalam

    kasus ini studi yang perlu dilakukan adalah mengenai proses perancangan

    konseptual dan teknis pada media film dokumenter, antara lain berupa:

    1. Studi Literatur

    Pada studi literatur mencakup dua studi, yaitu studi budaya sebagai

    pembahasan tentang content (isi) dan studi teknis produksi film sebagai

    pembahasan untuk output visual film dokumenter.

    2. Studi Eksisting

    Meliputi studi perbandingan dengan beberapa media yang ada sebagai

    komparator media.

    3. Riset target audience

    Meliputi pendapat audience tentang wacana mengenai seni pertunjukan yang

    ada di Jawa Timur, khususnya kebudayaan Osing sebagai proses regenerasi

    kebudayaan tradisional. Dipelajari juga mengenai karakteristik target

    audience sebagai dasar style (gaya) pada perancangan film dokumenter ini.

    4. Studi komunikasi media

    Termasuk juga riset pemilihan dan penggunaan komunikasi media serta

    strategi yang digunakan dalam media yang dimaksud sehingga menghasilkan

    perencanaan media komunikasi yang optimal dan efisien.

  • 141.8. Output Penelitian

    Output media dalam perancangan ini adalah film dokumenter seri

    kebudayaan Osing dalam program budaya Tribute to East Java Heritage.

    1.9. Sistematika Penelitian

    BAB I : PENDAHULUAN

    Bab ini membahas tentang latar belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah,

    Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat dan Sistematika Penulisan.

    BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

    Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung

    penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan.

    BAB III : METODE PENELITIAN

    Bab ini membahas tentang gambaran atau wacana yang lebih detail mengenai

    subyek desain dan kaitannya dengan masalah dan tinjauan tentang produk

    eksisting, teknik sampling, Jenis dan sumber data, serta metode penelitian yang

    digunakan.

    BAB IV : KONSEP DESAIN

    Bab ini membahas tentang definisi konsep yang dikaitkan dengan masalah atau

    tujuan, penjelasan pentahapan pencapaian solusi serta metode pencapaian desain,

    mulai dari Penelusuran masalah, penetapan target audience, konsep desain, serta

    alternatif desain

    BAB V : IMPLEMENTASI DESAIN

    Bab ini menjelaskan hasil desain yang terpilih serta implementasinya pada tiap-

    tiap media yang telah ditentukan, lengkap dengan strategi dan perincian karakter

    medianya.

    BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

    Bab ini merupakan Jawaban atas permasalahan serta solusi baru yang ditemukan.