its-undergraduate-14075-3405100030-chapter1.pdf
TRANSCRIPT
-
1BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.1.1. Program Tribute to East Java Heritage
Kesenian tradisional merupakan suatu kerja kreatif yang tidak sekedar
mengedepankan unsur hiburan atau kepentingan industri semata, namun lebih
diartikan sebagai suatu penanda atau produk fisik kebudayaan suatu daerah.
Sebagai penanda kebudayaan, dapat dikatakan kesenian tradisional merupakan
suatu totalitas yang merangkum segala aspek kognisi atau sistem gagasan
(dimensi ide) terkait dengan realitas suatu masyarakat yang dikemas secara
artistik dan memiliki fungsi-fungsi sosial dan kultural tertentu. Fungsi sosial
kesenian tradisional dapat diidentifikasi dari peran kesenian tersebut pada
perkembangan masyarakat tempat kesenian tersebut berada. Kesenian tradisional
merekam dan mengartikulasikan ulang problem-problem sosial sesuai dengan
warna lokal (local color) dan cirinya masing-masing dan berujung pada suatu
upaya penggalian nilai-nilai etis atau kearifan lokal (local wisdom) sebagai salah
satu tawaran solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial kekinian.
Dari hasil konvensi pengembangan ekonomi kreatif pada Pekan Produk
Budaya Indonesia 2009-2015, kesenian dan kebudayaan Jawa Timur memiliki
peluang untuk mengarah pada bidang industri1. Berdasarkan hasil konvensi
tersebut, Dewan kesenian Jawa Timur sebagai salah satu pihak yang
berkepentingan terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Timur,
melalui komite-komite dibawahnya mempunyai program untuk
mentranformasikan kesenian dan kebudayaan Jawa Timur kearah industri kreatif
Indonesia sesuai dengan Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025.
Dewan kesenian Jawa Timur menjalankan beberapa rangkaian program
budaya sesuai dengan komite-komite dalam struktur organisasi sesuai bidangnya
masing-masing. Yaitu penelaahan dan pengumpulan data-data terbaru mengenai 1 Dewan Kesenian Jawa Timur, 2008
-
2kebudayaan dan kesenian di Jawa Timur, termasuk di dalamnya komite film yang
memiliki program Tribute to East Java Heritage, yang merupakan rangkaian
program pendokumentasian kebudayaan melalui media film sebagai sebuah
kelanjutan dari program yang telah dijalankan untuk diarahkan menuju
pengembangan industri kreatif di Jawa Timur. Dipilihnya media film dokumenter
didasari oleh kekuatan film dokumenter sendiri dan masih banyaknya minat
medium tersebut di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.
Kebudayaan serta Kesenian tradisional (rakyat) di Jawa Timur sangat
beragam. Secara garis besar, menurut Ayu Sutarto, seorang antropolog
Universitas Negeri Jember, menganggap wilayah Jawa Timur secara kultural bisa
dibagi menjadi 10 sub-wilayah kebudayaan2
Untuk memudahkan pengorganisasian pendokumentasian kebudayaan
Jawa Timur yang multikultur, maka program pendokumentasian kebudayaan
Tribute to East Java Heritage dibagi menurut pembagian kebudayaan berdasarkan
penelitian Ayu Sutarto yang membagi kebudayaan Jawa Timur menjadi 10
wilayah kebudayaan.
Gambar 1.1: Peta Pembagian Kebudayaan Jawa Timur
2 Penelitian/Tesis Ayu Sutarto mengenai 10 pembagian wilayah kebudayaan Jawa Timur, 2006
-
3
Tabel 1.1: Pembagian 10 Wilayah Kebudayaan
1. Jawa Mataraman 6. Tengger
2. Panaragan 7. Osing
3. Samin 8. Madura Pulau
4. Arek 9. Madura Bawean
5. Pandalungan 10. Madura Kangean
1.1.2. Kebudaya Jawa Timur Kebudayaan Jawa sangat identik dengan kebudayaan yang diusung oleh
kekeratonan Yogyakarta dan kesuhunan Surakarta. Dominasi kedua kebudayaan
tersebut berkembang seiring dengan perkembangan kerajaan Mataram Jawa pada
saat itu. Sehingga dapat dikatakan, secara keseluruhan masyarakat Jawa telah
terbentuk dari sebuah kebudayaan dengan identitasnya yang unggah-ungguh
(sopan santun) dan ramah. Namun budaya tersebut terbagi karena adanya
benturan antara kehidupan sosial kekeratonan-masyarakat di sekitar kerajaan
dengan kehidupan sosial masyarakat pesisir (pinggiran). Dengan adanya
perbedaan tersebut, berkembanglah istilah budaya tengahan yang lekat pada
masyarakat Jawa Tengah dan budaya pesisir yang dijalankan oleh sebagian besar
masyarakat Jawa Timur.
Berbeda dari dua propinsi tetangga dekatnya, yaitu Jawa Tengah dan Bali
yang monokultur, Jawa Timur adalah propinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri
pusaka budaya (cultural heritage) yang dimilikinya, baik yang tangibles
(bendawi) maupun intangibles (non-bendawi).3
Dalam perancangan tugas akhir ini, pembahasan ditujukan kepada
kebudayaan suku Osing. Beberapa hal yang menjadi dasar pemilihan kebudayaan
Osing sebagai tema dalam tugas akhir ini adalah:
3 Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2008
-
41. Program pemerintah kabupaten Banyuwangi yang menjadikan budaya Osing
sebagai salah satu produk utama tujuan wisata di kabupaten Banyuwangi.
2. Sebagai sebuah suku yang menempati satu kabupaten secara penuh, suku
Osing memiliki karakteristik yang berbeda dibanding suku lainnya di Jawa
Timur, dibandingkan dengan 9 wilayah kebudayaan lainnya, suku Osing
memiliki percampuran antara budaya Jawa kuno dan Bali sebagai akar
budayanya.
Letak geografis yang berdekatan dengan pulau Bali menimbulkan peluang
sekaligus tantangan bagi kebudayaan Osing. Pulau Bali sebagai pusat pariwisata
internasional memunculkan peluang bagi pertumbuhan wisata kebudayaan dimana
suku Osing menjadi sentral dalam wisata kebudayaan tersebut. Namun, letak
geografis itu juga menimbulkan suatu efek negatif yang merupakan dampak dari
masuknya pengaruh pengaruh yang dibawa bersama masuknya budaya luar.
kemungkinan persentuhan budaya Banyuwangi dengan budaya luar ini tentunya
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, masuknya budaya luar suku Osing
ke dalam budaya Osing melalui modifikasi, adaptasi, dll juga menjadi sebuah hal
yang pasti terjadi, untuk itu perlu dibuat sebuah media yang bisa menjadi alat
promosi sekaligus dokumentasi sebuah kebudayaan pada suatu masa atau periode
tertentu, yang nantinya bisa menjadi sebuah referensi untuk budaya Osing.
1.1.3. Suku Osing
Secara geografis, suku Osing mendiami daerah yang termasuk dalam
kabupaten Banyuwangi. Oleh beberapa kalangan komunitas Osing dianggap
komunitas yang paling lama mendiami wilayah Banyuwangi karenanya dianggap
sebagai komunitas asli Banyuwangi. Kehadiran suku-suku yang lain seperti Jawa,
Madura, Bugis tidak merubah pandangan umum termasuk orang Osing sendiri
bahwa yang disebut sebagai masyarakat Banyuwangi adalah masyarakat Osing
Kota yang dulunya bernama Blambangan ini juga kaya akan seni tradisi, sebut
saja kebo-keboan di Alas Malang, seblang di Oleh Sari, endog-endogan, janger,
kuntulan, angklung, damarulan, barong, mocoan pacul goang, jaranan buto,
patrol hingga gandrung yang lebih populer dari yang lainnya
-
5Jumlah penduduk asli Banyuwangi yang acap disebut sebagai "Lare Osing"
ini diperkirakan mencapai 500 ribu jiwa dan secara otomatis menjadi pendukung
tutur Bahasa Jawa Osing ini. Penutur Bahasa Jawa-Osing ini tersebar terutama di
wilayah tengah kabupaten Banyuwangi, terutama kecamatan-kecamatan sebagai
berikut :
Tabel 1.2: Persebaran Penutur Bahasa Jawa-Osing.
1. Kabat
2. Rogojampi
3. Glagah
4. Kalipuro
5. Srono
6. Songgon
7. Cluring
8. Giri
9. Sebagian kota Banyuwangi
10. Gambiran
11. Singojuruh
12. Sebagian Genteng
13. Licin
Sedangkan wilayah lainnya adalah wilayah tutur campuran baik Bahasa Jawa
ataupun Bahasa Madura. Selain di Banyuwangi, penutur bahasa ini juga dapat
dijumpai di wilayah kabupaten Jember, terutama di Dusun Krajan Timur, Desa
Glundengan, Kecamatan Wuluhan, Jember. Namun dialek Osing di wilayah
Jember ini telah banyak terpengaruh bahasa Jawa dan Madura disamping karena
keterisolasiannya dari daerah Osing di Banyuwangi.
1.1.3.1. Sejarah Suku Osing
Kerajaan Blambangan menjadi bagian dari kerajaan Majapahit sejak awal
abad 12. Majapahit menguasai Blambangan sejak tahun 1295 hingga tahun 1527.
Namun sejak pemerintahan Aria Nambi sampai Bhre Wrabumi kerajaan
Blambangan terlibat permusuhan dengan kerajaan Majapahit. Setelah periode
Majapahit, kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang berdiri sendiri.
Namun hal ini tidak membuat kerajaan Blambangan terlepas dari perebutan
kekuasaan. Dalam kurun waktu dua abad lebih, antara tahun 1546 sampai tahun
1764, kerajaan Blambangan menjadi sasaran penaklukan kerajaan di sekitarnya.
kerajaan Mataram di Jawa tengah, kerajaan di Bali (kerajaan Gel-gel, Buleleng
dan kerajaan Mengwi) secara bergantian mencoba untuk menguasai kerajan
-
6Blambangan. Perebutan kekuasaan ini berdampak pada terjadinya migrasi
penduduk, perpindahan ibukota kerajaan dan timbulnya permukiman baru.
1.1.3.2. Kebudayaan suku Osing
Beberapa seni tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Osing diantaranya
adalah kuntulan, janger, angklung, idher bumi, barong, seblang dan gandrung
penuh dengan syair dan iringan musik. Kelahiran seni tradisi ini tidak bisa
dipisahkan begitu saja dengan masyarakat setempat. Seni-seni itu hadir tidak jauh
dari keseharian hidup mereka. Sebagai daerah yang banyak dialiri sungai-sungai
Banyuwangi sangat diuntungkan, karena dengan demikian sumber utama
penghasilan penduduknya berasal dari hasil-hasil pertanian. Bahkan pernah
kabupaten ini manjadi salah satu yang masuk kategori penghasil padi terbesar di
propinsi Jawa Timur. Dan seni tradisi itu juga lahir tidak jauh dari hal-hal yang
bersifat pertanian.
Sebagai contoh adalah kesenian angklung yakni musik tradisi yang
perlatannya menggunakan bilah-bilah bambu yang diatur dalam pangkan dengan
nada slendro (Jawa) ditambah dengan kendang, gong dan saron. Kesenian ini
muncul ketika pesta panen. Angklung digunakan untuk mengiringi gerak ani-
anian padi. Sekarang Angklung berkembang sangat pesat dan mengalami banyak
varian seperti Angklung Paglak (gubuk sawah) yang merupakan cikal bakal
kesenian angklung, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras dan Angklung
Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat
musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung
khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.
Kesenian bagi masyarakat Banyuwangi bagaikan urat nadi mereka. Ia tidak
hanya sebagai hiburan semata, jauh dari itu kesenian adalah nafas mereka, ritual
yang mengandung makna spiritual yang selalu dekat dengan kehidupan mereka.
Dalam upacara ritual seperti merayakan dewi kesuburan dan mohon keselamatan
semacam Seblang, Kebo-Keboan dan Idher Bumi, lagu nampak menjadi bagian
dari mantra ritual. Sama halnya dengan penganut agama Islam yang melakukan
ibadah sholat sebagai ritual sehari-hari, atau penganut agama Hindu yang setiap
-
7harinya selalu berdoa ke Pura4. Dalam buku Gandrung Banyuwangi, disebutkan
bahwa lingkungan alam pedesaan agraris masyarakat Banyuwangi atau Wong
Osing itu pula yang kemudian melahirkan kesenian gandrung. Kesenian yang
melibatkan unsur tari, musik, termasuk olah vokal dan lagu, merupakan induk dari
kesenian yang kemudian muncul di Banyuwangi.
Karakter yang diwarisi melalui proses imitasi dan menjadi kebiasaan yang
paling nampak pada masyarakat etnik tersebut antara lain adalah penggunaan
bahasa dan dialek Osing. Jika kebiasaan tutur ini telah mengalami penyusutan
pada konsentrasi masyarakat Osing lainnya, maka pada kelompok masyarakat
Osing yang berdiam di desa Kemiren, bahasa dan dialek ini masih sangat kental
penggunaannya. Komunitas bahasa merupakan tipe komunitas yang membawa
nilai budaya masyarakat tertentu sekaligus mempermudah kemungkinan akan
terciptanya suatu pemahaman bersama.
1.1.3.3. Budaya Osing dan Mistis
Masih dipegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal
mistis ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya
mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar
tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya
sebelum islam. Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan
dunia mistis antara lain:
1. Selametan setiap hari senin dan kemis di makam Buyut Cili yang dilakukan
oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu
acara
2. Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/Jaran Goyang.
Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang
terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang
menyukainya. Image bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal
dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. padahal mitos ini
4 Hasnan Singodimayan, Koordinator Forum Komunikasi Seniman Tradisional Banyuwangi, 2009.
-
8hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka. (wawancara dengan Bapak
Timbul, Modin desa Kemiren)
3. Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan
dan hari baik dan buruk. Serta tanda tanda alam yang terbaca.
4. Tata cara selamatan yang sering sekali dilaksanakan setiap hari tertentu dan
pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada
daerah lain.
5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap
menyakiti orang yang berasal dari suku Osing. Image tentang santet dan
keterkaitannya dengan suku Osing ini diperparah dengan pemberitaan besar
besaran media pada saat kekacauan politik tahun 1998 dan isu tentang
penculikan dan pembunuhan yang terjadi di wilayah kabupaten Banyuwangi.
Fenomena tentang Persepsi negatif terhadap suku Osing yang bertahan di
masyarakat ini salah satunya terjadi karena tidak adanya media yang mengangkat
tentang suku Osing dan kebudayaanya secara berimbang.
Nilai nilai budaya yang masih dianut suku Osing ini memiliki keunikan dan
karakter yang berbeda dari daerah lain di Jawa Timur. Kuatnya budaya dan tradisi
yang dipegang teguh oleh masyarakat Osing ini menjadi daya tarik utama yang
diandalkan oleh pemerintah Banyuwangi untuk menarik wisatawan. Namun,
minimnya informasi atau pengetahuan yang diperoleh masyarakat tentang budaya
Osing ini menyebabkan hanya sedikit masyarakat yang tahu tentang kebudaya
Osing5.
Beberapa fenomena yang dimunculkan dalam uraian diatas tentunya menjadi
sebuah objek menarik untuk diangkat menjadi salah satu tema dalam seri
kebudayaan Banyuwangi untuk film dokumenter seri Tribute to East Java
Heritage ini. Benturan antara kebudayaan tradisi lokal dengan kompromi
masuknya arus global merupakan sesuatu yang sulit untuk terelakkan. Signifikasi
fungsi sosial tersebut pada gilirannya turut mempengaruhi fungsi kultural oleh 5 Kuisioner hasil penelitian tentang Kebudayaan Osing, 2009.
-
9karena kesenian tradisional merupakan salah satu sarana penyeimbang derasnya
arus kebudayaan global. Dengan kata lain, kesenian tradisional merupakan entitas
yang memiliki peran penting dalam suatu kebudayaan. Arus globalisasi yang
membuka medan kontestasi antar kebudayaan telah meletakkan kesenian
tradisional dalam posisi dilematis: di satu sisi kesenian tradisional dipandang
sebagai penanda otentik suatu kebudayaan yang harus dibina kelanjutannya, di
sisi lain, produk-produk kebudayaan asing yang lebih menawarkan ragam hiburan
tak dapat disangkal semakin mendapat tempat di hati masyarakat.
1.1.4. Film Dokumenter. Layaknya sebuah fakta, bentuk-bentuk kejadian yang menggambarkan
dramatisasi, ironis, serta tragis adalah problematika yang harusnya tidak
ditinggalkan. Adanya fenomena dimana nilai-nilai kultural yang dapat dijadikan
sebagai kearifan lokal (local wisdom) ini dapat terus bertahan sebagai identitas
sebuah kebudayaan lokal, mengingat begitu beranekaragamnya budaya nasional,
khususnya Jawa Timur. Pengungkapan sebuah fakta sekiranya dapat
mengingatkan kembali atau mungkin dampak yang lebih ekstrim yaitu dapat
merangsang para generasi penerus untuk dapat mengenal identitasnya yang dapat
dibanggakan.
Dalam hal ini, sebuah rekonstruksi keadaan budaya Jawa Timur sekarang
dapat direpresentasikan kembali melalui media-media yang dapat diterima oleh
masyarakat modern. Nilai-nilai kebudayaan ini menjadi penting saat fungsi sosial
kebudayaan itu dilaksanakan namun terbentur pada permasalahan kemasan yang
dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Sesuai dengan sifat media sekarang yang
mampu disetarakan dengan sebuah rekonstruksi adalah film dokumenter.
Film dokumenter saat ini telah menjadi sebuah tren tersendiri dalam
perfilman dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang
banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tidak hanya itu, film
dokumenter juga dapat membawa keuntungan dalam jumlah yang cukup
memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita
saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan
-
10Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap
memproklamirkan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program
dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi televisi,
film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam
dan luar negeri. Sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film
Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter.
Pada permasalahan budaya khususnya, kekuatan film dokumenter memiliki
cara tersendiri untuk mengkomunikasikan pada audiens melalui medium audio
visual. Serupa dengan wujud yang dhasilkan oleh sebuah kebudayaan, yaitu
bahasa, sistem religi, mata pencaharian hingga kesenian, film dokumenter
memiliki bargaining of power terhadap sebuah realitas. Seperti yang diungkapkan
oleh pakar dokumenter, John F Giersen menyebutkan bahwa kekuatan film
dokumenter hampir sebanding dengan sebuah rekonstruksi. Maksudnya adalah
untuk menangkap sebuah problematika pada kebudayaan Osing perlu adanya
sebuah dimensi untuk menggambarkan realitas secara komprehensif.
Secara garis besar, film dokumenter ini mampu merepresentasikan ulang
segala problematika pada kebudayaan Osing dengan menggunakan dimensi-
dimensi yang mendekati realita.
1.2. Identifikasi Masalah 1. Secara garis besar, permasalahan yang dialami kebudayaan Indonesia
khususnya Jawa Timur memiliki kesamaan, yaitu benturan kesenian
tradisional untuk tetap bertahan di tengah derasnya arus globalisasi yang
membuka kebudayaan dan kesenian asing untuk masuk ke Indonesia.
2. Kesenian Jawa Timur memiliki peluang untuk mengarah pada bidang
industri6. Berdasarkan hasil konvensi tersebut, Dewan Kesenian Jawa Timur
menjalankan beberapa rangkaian program budaya sesuai dengan komite-
komite dalam struktur organisasi sesuai bidangnya masing-masing. Yaitu
penelaahan dan pengumpulan data-data terbaru mengenai kebudayaan dan 6 Dewan Kesenian Jawa Timur, 2008
-
11kesenian di Jawa Timur, termasuk di dalamnya Komite Film yang memiliki
program Tribute to East Java Heritage, yang merupakan rangkaian program
pendokumentasian kebudayaan melalui media film sebagai sebuah kelanjutan
dari program yang telah dijalankan untuk diarahkan menuju pengembangan
industri kreatif di Jawa Timur. Dipilihnya media film dokumenter didasari
oleh kekuatan film dokumenter sendiri dan masih banyaknya minat medium
tersebut di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.
3. Adanya Image masyarakat terhadap suku Osing sebagai suku yang identik
dengan ilmu hitam (santet)7. Hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat yang
hanya sebagian saja tentang suku Osing. Hal ini disebabkan belum adanya
sebuah media yang dapat menggambarkan suku Osing secara berimbang8.
4. Belum adanya sebuah media yang dapat menggambarkan secara audio-visual
tentang gagasan, aktifitas serta artefak kebudayaan sebagai identitas lokal
masyarakat yang membedakan kebudayaan Osing dengan kebudayaan
lainnya9.
5. Tingkat persinggungan masyarakat Osing yang cukup tinggi dengan
masyarakat imigran serta heterogenitas masyarakat sekitar suku Osing rentan
menyebabkan pergeseran dan perubahan kebudayaan Osing serta bentuk
keseniannya dari waktu ke waktu10.
6. Karena sifat kebudayaan yang selalu rentan dengan perubahan. Diperlukan
adanya sebuah media yang bersifat audio-visual tentang budaya Banyuwangi
yang bisa mewakili dan mendokumentasikan budaya Banyuwangi ataupun
produk kebudayaan Banyuwangi dari satu masa tertentu11.
7 Kuisioner hasil penelitian tentang Kebudayaan Osing, 2009 8 Wawancara dgn Bapak Aekanu H, Budayawan Osing, September 2009 9 Wawancara dgn Bapak Aekanu H, Budayawan Osing, September 2009 10 Wawancara dengan Bapak Hasnan Singodimayan, koordinator Forum Komunikasi Seniman Tradisional Banyuwangi, September 2009. 11 Wawancara dengan Bapak Azhar Prasetyo, penasihat Dewan Kesenian Blambangan. September 2009.
-
121.3. Batasan Masalah
1. Perancangan ini difokuskan pada empat analisa sebagai pokok bahasan, yaitu:
Analisa kebudayaan Osing sebagai content (isi), yakni tentang kebudayaan
Suku Osing itu sendiri maupun kegiatan kebudayaan serta adat istiadat suku
Osing yang meliputi keunikan dari segi penokohan, lakon hingga
problematika kebudayaan suku Osing di zaman sekarang. analisa segmen
target audience, analisa media dan analisa film dokumenter yang sesuai
dengan segmen target audience dewasa aktif.
2. Perancangan ini dibatasi pada perancangan film dokumenter tentang
kebudayaan Osing, tidak menyeluruh hingga pendistribusiannya.
1.4. Rumusan Masalah Bagaimana merancang sebuah film dokumenter yang mampu
menggambarkan gagasan, aktivitas serta artefak kebudayaan Osing sebagai salah
satu bagian dari program budaya Tribute to East Java Heritage
1.5. Tujuan Penelitian
Sebagai penciptaan media audio visual yang mampu menggambarkan
gagasan, aktifitas serta artefak kebudayaan suku Osing serta mengingatkan
kembali pada identitas kebudayaan, memperkenalkan kekayaan dan keragaman
budaya Jawa Timur.
1.6. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, film dokumenter sebagai media akan menstimulus
(merangsang) audiens sebagai proses regenerasi kebudayaan Jawa Timur
2. Secara praksis, film dokumenter ini akan didistribusikan ke beberapa instansi
(stakeholder) kesenian dan kebudayaan terkait, antara lain: Pemerintahan,
sekolah, pemerhati kesenian, masyarakat luas, maupun jaringan distributor
film dokumenter independen.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak akademis sebagai kajian tentang
penelitian sebuah perancangan media film dokumenter tentang kesenian
-
13khususnya kebudayaan Osing sebagai salah satu identitas kebudayaan Jawa
Timur
4. Penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa Desain Komunikasi Visual dalam
mencari acuan tugas penelitian dan perancangan berjudul tentang perancangan
media film dokumenter tentang kesenian khususnya kebudayan Osing sebagai
salah satu identitas kebudayaan Jawa Timur
1.7. Ruang Lingkup Penelitian 1.7.1. Ruang Lingkup Studi
Secara garis besar ruang lingkup kerja yang akan di lakukan adalah
perancangan dan penyusunan proyek sebuah film dokumenter yang bertema
kebudayaan Osing, meliputi perancangan konten serta proses produksinya. Dalam
kasus ini studi yang perlu dilakukan adalah mengenai proses perancangan
konseptual dan teknis pada media film dokumenter, antara lain berupa:
1. Studi Literatur
Pada studi literatur mencakup dua studi, yaitu studi budaya sebagai
pembahasan tentang content (isi) dan studi teknis produksi film sebagai
pembahasan untuk output visual film dokumenter.
2. Studi Eksisting
Meliputi studi perbandingan dengan beberapa media yang ada sebagai
komparator media.
3. Riset target audience
Meliputi pendapat audience tentang wacana mengenai seni pertunjukan yang
ada di Jawa Timur, khususnya kebudayaan Osing sebagai proses regenerasi
kebudayaan tradisional. Dipelajari juga mengenai karakteristik target
audience sebagai dasar style (gaya) pada perancangan film dokumenter ini.
4. Studi komunikasi media
Termasuk juga riset pemilihan dan penggunaan komunikasi media serta
strategi yang digunakan dalam media yang dimaksud sehingga menghasilkan
perencanaan media komunikasi yang optimal dan efisien.
-
141.8. Output Penelitian
Output media dalam perancangan ini adalah film dokumenter seri
kebudayaan Osing dalam program budaya Tribute to East Java Heritage.
1.9. Sistematika Penelitian
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung
penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang gambaran atau wacana yang lebih detail mengenai
subyek desain dan kaitannya dengan masalah dan tinjauan tentang produk
eksisting, teknik sampling, Jenis dan sumber data, serta metode penelitian yang
digunakan.
BAB IV : KONSEP DESAIN
Bab ini membahas tentang definisi konsep yang dikaitkan dengan masalah atau
tujuan, penjelasan pentahapan pencapaian solusi serta metode pencapaian desain,
mulai dari Penelusuran masalah, penetapan target audience, konsep desain, serta
alternatif desain
BAB V : IMPLEMENTASI DESAIN
Bab ini menjelaskan hasil desain yang terpilih serta implementasinya pada tiap-
tiap media yang telah ditentukan, lengkap dengan strategi dan perincian karakter
medianya.
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan Jawaban atas permasalahan serta solusi baru yang ditemukan.