istihsan sebagai suatu metode istinbath hukum …

11
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print) JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 138 ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM Mustamam Fakultas Hukum UISU ABSTRACT Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan kias, istihsan, istishlah, dan lain-lain merupakan cara-cara yang ditempuh oleh para mujtahid dalam menetapkan hukum untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan kehendak al-Qur’an dan sunnah. Barangkali lebih tepat kalau al-Qur’an dan sunnah dinamakan sumber hukum, sedangkan kias, istihsan, istishlah, dan lain-lain disebut metode istinbath hukum. Key word : istihsan, istinbath Hukum A. Pendahuluan Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sumber ajaran Islam yang pertama dan utama adalah al- Qur’an. Al -Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, melalui Malaikat Jibril. Atas dasar wahyu inilah Nabi Muhammad saw menyelesaikan persoalan- persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu. Dalam kenyataannya tidak semua persoalan yang terjadi pada masyarakat ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti itu, Nabi menyelesaikannya dengan pemikiran dan pendapat beliau dan bahkan terkadang tidak jarang pula melalui musyawarah dengan para sahabat. Al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya, khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadis. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah saw diserahkan kepada umat untuk mengaturnya. Dalam bidang muamalat, di luar prinsip-prinsip dasar al- Qur’an dan penjelasan rasul, diberikan kebebasan kepada hamba untuk mengaturnya secara baik dan dapat merealisasi tujuan syariat. Karena bidang muamalat itu menyangkut hubungan manusia dengan manusia. Pada periode sahabat, manakala daerah yang dikuasai Islam bertambah luas sementara masalah-masalah yang dihadapi juga bertambah kompleks, sedang Nabi tempat bertanya tidak ada lagi, umatpun menyelesaikan sendiri persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadis Nabi. Namun, dalam kenyataannya tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber itu, para ulama melakukan

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 138

ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM

Mustamam

Fakultas Hukum UISU

ABSTRACT

Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan kias, istihsan,

istishlah, dan lain-lain merupakan cara-cara yang ditempuh oleh para mujtahid dalam

menetapkan hukum untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan kehendak al-Qur’an

dan sunnah. Barangkali lebih tepat kalau al-Qur’an dan sunnah dinamakan sumber hukum,

sedangkan kias, istihsan, istishlah, dan lain-lain disebut metode istinbath hukum.

Key word : istihsan, istinbath Hukum

A. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri lagi

bahwa sumber ajaran Islam yang

pertama dan utama adalah al-

Qur’an. Al-Qur’an adalah wahyu

Allah yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad saw, melalui

Malaikat Jibril. Atas dasar wahyu

inilah Nabi Muhammad saw

menyelesaikan persoalan-

persoalan yang timbul dalam

masyarakat Islam ketika itu.

Dalam kenyataannya tidak semua

persoalan yang terjadi pada

masyarakat ketika itu dapat

diselesaikan dengan wahyu. Dalam

keadaan seperti itu, Nabi

menyelesaikannya dengan

pemikiran dan pendapat beliau dan

bahkan terkadang tidak jarang pula

melalui musyawarah dengan para

sahabat. Al-Qur’an hanya memuat

prinsip-prinsip dasar dan tidak

menjelaskan segala sesuatu secara

rinci. Perinciannya, khusus dalam

masalah ibadat, diberikan oleh

hadis. Sedangkan dalam bidang

muamalat, prinsip-prinsip dasar

itu, yang belum dijelaskan oleh

Rasulullah saw diserahkan kepada

umat untuk mengaturnya.

Dalam bidang muamalat, di

luar prinsip-prinsip dasar al-

Qur’an dan penjelasan rasul,

diberikan kebebasan kepada

hamba untuk mengaturnya secara

baik dan dapat merealisasi tujuan

syariat. Karena bidang muamalat

itu menyangkut hubungan manusia

dengan manusia.

Pada periode sahabat,

manakala daerah yang dikuasai

Islam bertambah luas sementara

masalah-masalah yang dihadapi

juga bertambah kompleks, sedang

Nabi tempat bertanya tidak ada

lagi, umatpun menyelesaikan

sendiri persoalannya berdasarkan

al-Qur’an dan hadis Nabi. Namun,

dalam kenyataannya tidak semua

persoalan yang timbul dapat

dikembalikan kepada al-Qur’an

dan Sunnah Nabi secara eksplisit.

Untuk menyelesaikan persoalan

yang tidak dijumpai dalam kedua

sumber itu, para ulama melakukan

Page 2: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 139

ijtihad pula. Namun oleh karena

wahyu tidak turun lagi dan Nabi

sebagai tempat bertanyapun sudah

wafat, maka tidak ada suatu batu

penguji yang kuat untuk

menyatakan benar atau tidaknya

hasil ijtihad itu. Untuk mengatasi

masalah ini dipakailah ijmak.

Dengan demikian putusan hukum

yang diambil secara suara bulat

bersama, lebih kuat daripada

putusan hukum yang dibuat oleh

satu orang atau beberapa orang.45

Dengan terpencar-

pencarnya para ulama, ijmak tidak

mungkin lagi dilakukan. Akhirnya

masing-masing ulama melakukan

istinbath hukum sendiri. Maka

lahirlah bermacam-macam metode

Istinbath hukum seperti kias,

istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab,

dan syar’ man qablana. Dan

metode-metode istinbath hukum

itu selanjutnya menjadi obyek

kajian ilmu ushul Fikih.

Al-Qur’an dan sunnah

merupakan sumber hukum,

sedangkan kias, istihsan, istishlah,

dan lain-lain merupakan cara-cara

yang ditempuh oleh para mujtahid

dalam menetapkan hukum untuk

mendapatkan hukum yang sesuai

dengan kehendak al-Qur’an dan

sunnah. Barangkali lebih tepat

kalau al-Qur’an dan sunnah

dinamakan sumber hukum,

sedangkan kias, istihsan, istishlah,

dan lain-lain disebut metode

istinbath hukum.

Berdasarkan uraian di atas

maka di antara masalah pokok

45 Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 4.

yang ingin disampaikan pada

makalah ini adalah apa dan

bagaimana pengertian istihsan

yang sebenarnya, dan yang paling

mendasar bagaimana kehujjahan

istihsan sebagai suatu metode

istinbath hukum dalam hukum

islam.

B. Pengertian Istihsan.

Istihsan termasuk salah

satu metode ijtihad yang

diperselisihkan oleh para ulama,

meskipun dalam kenyataannya,

semua ulama menggunakannya

secara praktis. Pada dasarnya, para

ulama menggunakan istihsan

dalam arti lughawi (bahasa), yaitu

berbuat sesuatu yang lebih baik.

Tetapi dalam pengertian istilahnya

(yang biasa berlaku), para ulama

berbeda pendapat disebabkan oleh

perbedaan dalam memahami dan

mendefinisikan istihsan itu. Ulama

yang menggunakan metode

istihsan dalam berijtihad

mendefinisikan istihsan dengan

pengertian yang berlainan dengan

definisi dari orang yang menolak

cara istihsan. Sebaliknya ulama

yang menolak penggunaan istihsan

mendefinisikan istihsan dengan

pengertian tidak seperti yang

didefinisikan pihak yang

menggunakannya. Seandainya

mereka sepakat dalam

mengartikan (mendefinisikan)

istihsan itu, maka mereka tidak

akan berbeda pendapat dalam

menggunakannya sebagai suatu

metode ijtihad.

Secara etimologis istihsan

berarti memperhitungkan sesuatu

lebih baik, atau adanya sesuatu itu

Page 3: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 140

lebih baik, atau mengikuti sesuatu

yang lebih baik, atau mencari yang

lebih baik untuk diikuti, krena

memang disuruh untuk itu.46

Dari arti lughawi di atas tergambar

adanya seseorang yang

menghadapi dua hal yang

keduanya baik. Namun ada hal

yang mendorongnya untuk

meninggalkan satu di antaranya

dan menetapkan untuk mengambil

yang satunya lagi, karena itulah

yang dianggapnya lebih baik untuk

diamalkan.

Abdul Wahhab Khallaf,

mengemukakan pengertian istihsan

itu sebagai berikut bahwa secara

bahasa, istihsan berarti

menganggap baik terhadap

sesuatu. Menurut istilah ulama

ushul, istihsan ini dimaksudkan

pindahnya seorang mujtahid dari

tuntutan kias jail kepada kias

khafi, atau dari dalil kully kepada

hukum takhshish lantaran terdapat

dalil yang menyebabkan mujtahid

menyalahkan berpikirnya, dan

mementingkan perpindahan. 47

Karenanya, jika terdapat

suatu kejadian yang tidak ada nash

hukumnya, maka di dalam rangka

membahasnya ada dua segi yang

saling berlawanan, yaitu segi

zhahir yang berkehendak adanya

suatu hukum, dan segi khafi (tak

tampak) yang menghendaki

adanya hukum lain.

Dalam hal ini, pada diri

mujtahid sudah terdapat dalil yang 46 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld. 2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 325. 47 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Risalah, Bandung, 1985, h. 118.

lebih mendahulukan pandangan

khafi. Kemudian, karena

pindahnya kepada pandangan yang

zhahir (nyata) ini, menurut syarak

disebut sebagai Al-Istihsan. Begitu

pula jika ada hukum kully pada

diri mujtahid, kemudian

didapatinya dalil yang

menghendaki adanya pengecualian

juz’iyah dari hukum kully, dan

memberikan tetapnya hukum lain

kepada juz’iyah, menurut syara’

juga disebut sebagai istihsan.48

Lebih lanjut Satria Effendi,

mengemukakan bahwa istihsan

qiyasi terjadi pada suatu kasus

yang mungkin dilakukan padanya

salah satu dari dua bentuk qiyas,

yaitu qiyas jail atau qiyas khafi.

Seperti telah dijelaskan kedua

istilah tersebut pada pembagian

qiyas, dan pada dasarnya bila

dilihat dari segi kejelasan illat-nya

maka qiyas jail lebih pantas

didahulukan atas qiyas khafi.

Namun, menurut mazhab Hanafi,

bilamana mujtahid memandang

bahwa qiyas khafi lebih besar

kemaslahatan yang dikandungnya

dibandingkan dengan qiyas jail,

maka qiyas jail itu boleh

ditinggalkan dan yang dipakai

adalah hasil qiyas khafi. Praktik

seperti itulah yang dikenal dengan

istihsan qiyasi. Contohnya,

menurut kesimpulan qiyas jail, hak

pengairan yang berada di atas

tanah pertanian yang diwakafkan,

tidak dianggap ikut diwakafkan

kecuali jika ditegaskan dalam ikrar

wakaf, disamakan (di-qiyas-kan)

48 Ibid.

Page 4: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 141

dengan praktik jual beli karena

sama-sama menghilangkan milik.

Dalam jual beli, hak

pengairan yang berada di atas

sebidang tanah yang dijual tidak

dianggap termasuk kepada yang

dijual kecuali jika ditegaskan

dalam akad jual beli. Namun

berdasarkan istihsan yang

berorientasi kepada kemaslahatan,

hak untuk mengairi itu termasuk

ke dalam tanah wakaf meskipun

tidak ditegaskan pada waktu

berikrar wakaf, karena di – qiyas-

kan kepada sewa menyewa dengan

persamaan ‘illat sama-sama untuk

diambil manfaatnya. Dilihat dari

segi manfaatnya, qiyas yang

disebut terakhir ini lebih kuat

pengaruh hukumnya karena

sejalan dengan tujuan

disyariatkannya wakaf, yaitu untuk

diambil manfaatnya.49

Adapun pengertian istihsan

secara istilahi, ada beberapa

definisi istihsan yang dirumuskan

ulama ushul. Di antara definisi itu

ada yang berbeda akibat adanya

perbedaan titik pandang. Ada juga

definisi yang disepakati semua

pihak, namun di antaranya ada

yang diperselisihkan dalam

pengamalannya.

Ibnu Subki mengajukan dua

rumusan definisi, yaitu:

Beralih dari penggunaan

suatu qiyas kepada qiyas lain yang

lebih kuat daripadanya dan beralih

dari penggunaan sebuah dalil

49 Satria Effendi, Uhul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 144.

kepada adat kebiasaan karena

suatu kemaslahatan.50

Sementara itu menurut

Imam al-Bazdawi, ahli ushul fikih

Mazhab Hanafi, mendefinisikan

istihsan dengan, berpaling dari

kehendak kias (biasa) kepada kias

yang lebih kuat atau pengkhususan

kias berdasarkan dalil yang lebih

kuat. Menurutnya, dalam kasus-

kasus tertentu metode kias sulit

untuk diterapkan, karena illat

(motivasi hukum) yang ada pada

kias amat lemah. Oleh sebab itu,

perlu dicarikan metode lain yang

mengandung motivasi hukum yang

lebih kuat, sehingga hukum yang

diterapkan pada kasus tersebut

lebih tepat dan sejalan dengan

tujuan syarak.51

Dengan redaksi yang

sedikit berbeda, Imam as-Sarakhsi

(ahli ushul fikih Mazhab Hanafi)

mengatakan istihsan itu berarti

meninggalkan (metode) kias dan

mengamalkan (metode) yang lebih

kuat dari itu, karena adanya dalil

yang menghendakinya serta lebih

sesuai dengan kemaslahatan umat

manusia. 52

Sementara itu Imam asy-

Syatibi (ahli ushul fikih Mazhab

Maliki) mendefinisikan istihsan

dengan, memberlakukan

kemaslahatan parsial ketika

berhadapan dengan kaidah umum.

Kemudian ia menambahkan bahwa

hakikat istihsan adalah

mendahulukan al-maslahah al-

50 Ibid, 51 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jld.3, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, h. 770 52 Ibid.

Page 5: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 142

mursalah (maslahat) dari kias.

Oleh sebab itu, bagi ulama mazhab

Maliki teori istihsan merupakan

salah satu teori dalam mencapai

kemaslahatan yang merupakan

tujuan syarak dalam menetapkan

hukum. Imam asy-Syatibi

selanjutnya mengatakan bahwa

istihsan tidak semata-mata

didasarkan pada logika dan hawa

nafsu, tetapi didasarkan pada dalil

yang lebih kuat. Dalil yang

menyebabkan pemalingan ini

adalah nas (ayat atau hadis),

Ijmak, urf (adat kebiasaan yang

berlaku umum), dan adakalanya

melalui kaidah-kaidah yang

berkaitan dengan menghilangkan

kesulitan. Dengan demikian,

menurut Imam asy-Syatibi, kaidah

istihsan merupakan penerapan

kaidah al-maslahah (kemaslahatan)

yang didukung oleh syarak melalui

induksi sejumlah nash; bukan oleh

nash yang parsial.53

C. Macam-macam Istihsan

Dari definisi yang

dikemukakan di atas tampak

bahwa Ibn al- Arabi memberikan

pengertian yang lebih luas

terhadap istihsan dengan

memasukkan ke dalamnya

berpegang kepada dalil apapun

yang bertentangan dengan umum

nas atau kias yang umum. Sesuai

dengan pengertian itu ia membagi

istihsan kepada empat macam,

yaitu:

1. Istihsan dengan ‘urf.

Imam Malik mengatakan

bahwa mazhabnya

53 Ibid, h. 771

meninggalkan dalil umum

karena ada ‘urf. Ia menolak

sumpah karena ‘urf. Kalau

seseorang bersumpah tidak

akan memasuki rumah, maka

qiyas lafzhi, menurut bahasa,

memasuki setiap tempat yang

bernama rumah seperti mesjid

berarti melanggar sumpah.

Akan tetapi Malik melakukan

istihsan dengan

mentakhshishkan umum lafazh

dengan ‘urf dan kebiasaan

dalam praktek. Menurut Malik,

masuk mesjid tidaklah

melanggar sumpah karena

mesjid tidak dinamakan rumah

dalam ‘urf pembicaraan.54

2. Istihsan dengan maslahat.

Adapun meninggalkan dalil

umum karena maslahat

dicontohkan dengan jaminan

buruh yang berserikat. Buruh

yang berserikat itu pada

asalnya orang yang terpercaya.

Dan orang yang terpercaya

tidak perlu dijamin kecuali

karena telah tampak

kecurangannya. Akan tetapi

Malik menetapkan hukum lain

dengan istihsan dan

meninggalkan kaidah asal ini

karena kurangnya tanggung

jawab dan seringnya terjadi

keterlaluan dan khianat pada

para buruh. Kebiasaanlah yang

menyebabkan Malik

menempatkan buruh pada

posisi penggugat yang tidak

diterima gugatannya tentang

adanya suatu kerusakan tanpa

keterangan, padahal pada

54 Iskandar Usman, op.cit., hlm. 26.

Page 6: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 143

asalnya pekerja adalah

terdakwa (tergugat) karena

lahir nas menunjukkan

demikian.55

3. Istihsan dengan ijmak.

Adapun meninggalkan kaidah

umum atau dalil umum karena

ada ijmak, dicontohkan dengan

kewajiban orang yang

memotong ekor keledai

tunggangan untuk membayar

seluruh harga keledai itu.

Hukum itu dianggap

pengecualian dari kaidah

umum, karena kaidah umum

menetapkan kewajiban

membayar kerugian sebesar

harga yang berkurang dari

benda yang rusak yang

disebabkan oleh perbuatannya.

Kalau seseorang memukul

binatang sampai pincang,

kaidah umum hanya

menetapkan kewajiban

membayar suatu harga yang

berkurang akibat pukulannya

itu. Segi istihsan yang

sandarannya ijmak dari

ketentuan yang mewajibkan

atas orang yang memotong

ekor keledai tunggangan untuk

membayar seluruh harga

keledai itu adalah bahwa

keledai tunggangan itu

digunakan untuk kenderaan,

bukan untuk kepentingan lain.

Maka dengan terpotongnya

ekor keledai itu akan hilanglah

seluruh kemaslahatannya

ditinjau dari penggunaan

khusus ini, karena bila

dihubungkan dengan

55 Ibid.

kegunaannya , keledai itu

seperti seperti tidak ada sama

sekali, terpotongnya ekor

keledai itu seperti hilangnya

keledai itu sendiri. Dan

pembayaran kerugian

merupakan satu-satunya

pilihan, karena terpotongnya

ekor keledai tersebut telah

mengakibatkan pemiliknya

teraniaya. Kemelaratan yang

menimpa pemilik keledai

karena terpotongnya ekor

keledainya itu harus dibayar

dengan harga keledai

seluruhnya.56

4. Istihsan dengan kaidah raf al-

harj wa al- masyaqqat.

Kaidah raf al-harj wa al-

masyaqqat merupakan kaidah

yang qath’I dalam agama.

Contohnya adalah

meninggalkan kehendak dalil

pada masalah kecil untuk

menghilangkan kesukaran dan

memberikan kelapangan

kepada masyarakat. Golongan

Malikiyah membolehkan

pemakaian kamar mandi

umum tanpa ketentuan jumlah

sewa, lamanya masa

pemakaian, dan jumlah air

yang digunakan, padahal pada

asalnya yang demikian

dilarang, sebab mengandung

al-gharar (ketidakpastian). Dan

ketidakpastian biasanya dapat

menimbulkan pertentangan.

Akan tetapi mereka

mengatakan, semua itu jika

tidak ditentukan dengan ‘urf

akan mengakibatkan

56 Ibid., hlm. 27.

Page 7: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 144

kemudaratan. Pada hal ada

kaidah fikih yang mengatakan

tidak mungkin menghilangkan

al-gharar secara keseluruhan,

karena berarti menyempitkan

lapangan muamalat. Yang

mungkin dituntut adalah

penyempurnaan dan

menjauhkan hal-hal yang dapat

menimbulkan pertentangan,

dan hal itu berarti pelengkap

(tahsiniyyat). Apabila

mengutamakan pelengkap itu

dapat membawa kepada

batalnya kemaslahatan yang

pokok (daruriyyat) maka

pelengkap itu harus

digugurkan seluruhnya.57

5. Al- Istihsan bi an-nash

(istihsan berdasarkan ayat atau

hadis). Maksudnya, ada ayat

atau hadis tentang hukum

sesuatu kasus yang berbeda

dengan ketentuan kaidah

umum. Menurut ketentuan

umum atau kias, wasiat itu

tidak boleh, karena

pemindahan hak milik kepada

penerima wasiat dilakukan

ketika orang yang berwasiat

tidak cakap lagi, yaitu setelah

wafat. Tetapi, kaidah umum ini

dikecualikan melalui firman

Allah SWT dalam surah an-

Nisa’ (4) ayat 11 ;

(Pembagian-pembagian

tersebut di atas) sesudah

dipenuhi wasiat yang ia buat

atau (dan) sesudah dibayar

hutangnya.

Berdasarkan ayat ini, kaidah

umum itu tidak berlaku untuk

57 Ibid., hlm. 28.

masalah wasiat. Misal istihsan

dengan sunnah Rasulullah saw

adalah dalam kasus orang yang

makan dan minum karena lupa

ketika ia sedang puasa.

Menurut kaidah umum (kias),

puasa orang ini batal karena ia

telah memasukkan sesuatu ke

dalam kerongkongannya dan

tidak menahan puasanya

sampai berbuka. Akan tetapi,

hukum ini dikecualikan oleh

hadis Rasulullah saw yang

diriwayatkan oleh Imam at-

Tirmidzi :58

نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم من

صومه فإنما أطعمه الله وسقاه.

Siapa yang makan atau minum

karena lupa tidak batal

puasanya, karena hal itu

merupakan rezeki yang

diturunkan Allah kepadanya.59

6. Sementara itu Totok

Jumantoro dan Samsul Munir

Amin dalam Kamus Ilmu

Ushul Fikih mengemukakan

bahwa ada istihsan bi adh-

Dharurah, yaitu istihsan

berdasarkan darurat. Artinya

ada keadaan-keadaan darurat

yang menyebabkan seorang

mujtahid tidak memberlakukan

kaidah umum atau qiyas.

Contohnya dalam kasus sumur

yang kemasukan najis.

Menurut kaidah umum, sumur

58 Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 771. 59 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 6, No. riwayat 1952, hlm. 28. Lihat juga ; Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad (Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 19, No. riwayat 9125, hlm. 168. Lihat juga; Ad- Darimi, Sunan Ad-Darimi (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), Juz. 5, No. riwayat 1779, hlm. 232.

Page 8: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 145

itu sulit untuk dibersihkan

dengan mengeluarkan seluruh

air sumur tersebut, karena

sumur yang sumbernya dari

mata air sulit untuk

dikeringkan. Ulama Hanafiyah

mengatakan bahwa dalam

keadaan seperti ini, untuk

menghilangkan najis cukup

dengan memasukkan beberapa

gallon air ke dalam sumur,

karena keadaan darurat

menghendaki agar orang tidak

mendapatkan kesulitan dalam

mendapatkan air untuk

beribadah dan kebutuhan

lainnya.60

D. Kehujjahan Istihsan

Berdasarkan definisi dan

macam-macam istihsan, tampak

bahwa istihsan itu pada dasarnya

bukan merupakan sumber

pembentukan hukum yang berdiri

sendiri. Sebab, hukum-hukum

yang tersebut pada macam yang

pertama, berdasarkan dalil kias

khafi yang diutamakan dibanding

kias jail, lantaran hal-hal yang

dapat menenteramkan mujtahid

dengan jalan istihsan. Kemudian,

macam istihsan yang kedua,

hukum-hukum antara lain, dalil

maslahah yang menuntut

pengecualian pada bagian hukum

kully, atau yang dikemukakan

sebagai jalan istihsan.

Yang menggunakan hujjah

istihsan ini, kebanyakan adalah

ulama Hanafiyah. Alasan mereka

terhadap dipakainya istihsan

sebagai hujjah adalah bahwa

60 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 138.

istidlal dengan jalan istihsan hanya

merupakan istidlal dengan kias

khafi yang dimenangkan atau

diutamakan dari kias jail, atau

merupakan kemenangan kias

terhadap kias lainnya yang

berlawanan dengan dalil yang

menuntut adanya kemenangan,

atau merupakan istidlal dengan

jalan maslahah mursalah terhadap

pengecualian hukum kully. Dan

semua ini merupakan istidlal yang

benar.61

Sebagaimana telah

diuraikan di atas bahwa fikih

Maliki merupakan fikih yang

sangat memperhatikan kaidah-

kaidah umum dan dasar-dasar

yang universal karena kaidah-

kaidah dan dasar-dasar itu bersifat

qath’I (tegas, pasti). Dan karena

dalil-dalil ‘aqli (dalil-dalil yang

dihasilkan oleh akal manusia) yang

memberi faedah qath’i tidak qath’i

dengan sendirinya, maka cara

sampai kepada qath’I adalah

melalui induksi.

Dengan demikian maka kaidah

istihsan dalam hubungannya

dengan dalil fikih merupakan suatu

kaidah yang qath’I yang diambil

pengertiannya dari sejumlah dalil

nas yang saling dukung

mendukung kepada suatu

pengertian yang memberi faedah

qath’I .

Oleh karena itu kaidah

istihsan itu merupakan kaidah

umum yang ditarik secara induksi

pada tingkat umum yang dari

lafazh itu, diterapkan kepada

setiap peristiwa yang ada 61 Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hlm. 122.

Page 9: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 146

relevansinya dan ditetapkan

hukumnya dengan

memasukkannya ke dalam

kategori obyek yang umum itu,

jika peristiwa itu merupakan

msalah khusus.

Di antara ulama yang

sangat besar perhatiannya dalam

kajian istihsan sebagai metode

penetpan hukum Islam adalah al-

Syatibi. Ia mengungkapkan dalil-

dalil syara’ yang secara kolektif

memberi faedah qath’I yang

dijadikan sebagai kaidah istihsan

yang dibenarkan oleh al-Syar’i.

Contoh-contohnya menurut al-

Syatibi banyak terdapat di dalam

Islam. Seperti berutang

(meminjam uang), pada dasarnya

adalah riba, karena utang itu

adalah menukar uang dengan uang

sampai ajal (suatu tempo) yang

disepakati bersama. Akan tetapi

pinjaman itu dibolehkan karena

bermanfaat dan dapat membantu

orang yang membutuhkan. Kalau

pinjam-meminjam itu tetap

dilarang sesuai dengan hukum

dasarnya, hal itu menyusahkan

umat manusia dan menghalangi

asas tolong-menolong dengan cara

ini.

Demikian juga halnya

dengan jamak antara shalat

maghrib dan isya Karen ada

masyaqqat (kesukaran), seperti

ketika dalam perjalanan, jamak

shalat orang musafir, qashar

(pemendekan) shalat, berbuka

(tidak berpuasa) ketika dalam

perjalanan jauh, shalat khauf (

shalat dalam keadaan takut), dan

kelonggaran-kelonggaran lain

yang serupa. Semua itu pada

hakikatnya kembali kepada

pengutamaan tujuan pencapaian

kemaslahatan-kemaslahatan dan

menolak kerusakan secara khusus,

karena dalil umum menghendaki

tercegahnya kerusakan itu. Sebab

bila tetap diperlakukan dalil

umum, maka dapat mengakibatkan

hilangnya kemaslahatan yang

dikehendaki oleh dalil itu. Maka

dengan demikian memelihara

tujuan itu seoptimal mungkin

merupakan suatu kewajiban.

Termasuk dalam kategori

itu juga masalah melihat aurat

untuk kepentingan pengobatan,

masalah qirad (mnemberi modal

kepada orang lain untuk

diperdagangkan dengan perjanjian

bagi hasil), musaaqat (sistem bagi

hasil berkebun), dan salm (jual beli

pesanan).

Semua itu menurut al-Syatibi

menjadi semacam dalil yang

menunjukkan keabsahan

berpendapat dengan kaidah ini,

dan dasar itulah yang dijadikan

pegangan oleh Malik dan sahabat-

sahabatnya.62

Selanjutnya menurut al-

Syatibi bahwa beramal dengan

kaidah istihsan itu berarti beramal

dengan nas-nas syarak yang

dihasilkan secara induktif. Dan

seorang mujtahid apabila

mentakhshishkan umum nas

dengan maslahat atau

mengutamakan maslahat atas kias,

itu tidak lain daripada menerapkan

nas-nas syariat yang menjadikan

takhshish atau pengutamaan itu

sebagai suatu kaidah yang

62 Iskandar Usman, op.cit., hlm. 33.

Page 10: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 147

dibenarkan oleh al-syar’I dan

menetapkan hukum-hukum cabang

sesuai dengan kaidah itu dan

menjadikan pegangan dalam

pembuatan perundang-undangan.

Al-Syatibi mengatakan bahwa ada

berita dari Imam Malik yang

mengatakan bahwa istihsan adalah

90% dari ilmu. Ishbagh

meriwayatkan dari Ibn al-Qayyim

dari Malik, ia mengatakan bahwa

kadang-kadang Malik lebih sering

melakukan istihsan daripada kias.

Demikian juga ada berita dari

Malik yang menyebutkan bahwa

orang yang tenggelam dalam kias

nyaris menentang sunnah.63

Dalam msalah istihsan,

ulama Malikiyah mengakui bahwa

Imam Malik menganggap baik

mentakhshishkan dalil umum

dengan maslahat dan mereka

menjelaskan bahwa istihsan adalah

mengutamakan maslahat atas kias.

Artinya bahwa maslahat yang

diutamakan atas kias dan dalil

umum adalah maslahat yang sesuai

dengan kehendak syarak, tidak

menghilangkan salah satu dasar

dari dsar-dasar syarak.

Kehujjahan istihsan

menurut golongan Hanafiyah

dapat pula dikemukakan secara

sederhana, bahwa istihsan itu bisa

menjadi dalil syarak. Istihsan

dapat menetapkan hukum yang

berbeda dengan hukum yang

ditetapkan oleh kias atau umum

nas. Tegasnya menurut mereka,

istihsan dapat dijadikan dalil

(hujjat). Al-Taftazani mengatakan

bahwa istihsan adalah salah satu

63 Ibid., hlm. 39.

dari dalil-dalil yang disepakati

oleh para ulama, karena istihsan

didasarkan kepada nas, atau

kepada ijmmak, atau kepada

darurat, atau kepada kias khafi.

Untuk mendukung

kehujjahan istihsan, golongan

Hanafiah mengemukakan alasan

atau dalil dari al-Qur’an, sunnah,

dan ijmak.64

Dalil dari al-Quran yang

mereka kemukakan adalah:

1. Surat al-Zumar (39) ayat 18

yang berbunyi:

Yang mendengarkan

Perkataan lalu mengikuti apa

yang paling baik di antaranya.

mereka Itulah orang-orang

yang telah diberi Allah

petunjuk dan mereka Itulah

orang-orang yang mempunyai

akal.

2. Surat al- Zumar (39) ayat 55

yang berbunyi:

Dan ikutilah Sebaik-baik apa

yang telah diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu

sebelum datang azab

kepadamu dengan tiba-tiba,

sedang kamu tidak

menyadarinya.

E. Penutup

Dari uraian di atas tampak

bahwa terdapat perbedaan

pendapat ulama ushul fikih dalam

menetapkan istihsan sebagai salah

satu metode / dalil dalam

menetapkan hukum syarak. Ulama

mazhab Syafi’I, az-Zahiri, Syi’ah,

dan Mu’tazilah tidak menerima

64 Ibid., hlm. 62.

Page 11: ISTIHSAN SEBAGAI SUATU METODE ISTINBATH HUKUM …

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 148

istihsan sebagai salah satu dalil

dalam menetapkan hukum syarak.

Berdasarkan analisa Imam asy-

Syafi’i terhadap surat an-Nisa’

ayat 59 bahwa apabila boleh

meninggalkan kias dan mengambil

dalil lain, maka hal ini berarti

membolehkan seseorang

menetapkan hukum berdasarkan

akal dan hawa nafsunya semata.

Istihsan, menurut Imam asy-

Syafi’i, termasuk berdalil melalui

akal dan hawa nafsu saja.65

Sedangkan menurut ulama

Mazhab Hanafi, Maliki, dan

Hanbali, istihsan merupakan dalil

yang kuat dalam menetapkan

hukum syarak.

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jld.

2, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2009

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-

Kaidah Hukum Islam, Risalah,

Bandung, 1985

Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad

(Beirut: dar Jail, t.t.), Juz. 19, No.

riwayat 9125

Ad- Darimi, Sunan Ad-Darimi

(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,

t.t.), Juz. 5, No. riwayat 1779

Iskandar Usman, Istihsan dan

Pembaharuan Hukum Islam, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1994

65 Ensiklopedi Hukum Islam, op.cit., hlm. 772.

Muslim, Shahih Muslim (Beirut:

dar Jail, t.t.), Juz. 6, No. riwayat

1952

Satria Effendi, Uhul Fiqh,

Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, 2009

Tim Penyusun, Ensiklopedi

Hukum Islam, Jld.3, PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000

Totok Jumantoro, Samsul Munir

Amin, Kamus Ushul Fikih,

Amzah, Jakarta, 2009,