issn 0853- jurnal online westphalia, vol.12,no.1 (januari ... · jurnal online westphalia,...

23
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 204 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853- 2265 PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA : TRANSFER OF MANAGEMENT DITAFSIRKAN TRANSFER OF POWER Oleh Iwan B. Irawan Abstak Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia dimulai pada masa reformasi bertepatan dengan proses pergantian rezim, dari rezim orde baru yang memilii kecenderungan otoritarian ke rezim yang lebih demokratis. Wacana tentang desentralisasi menjadi sebuah agenda pada masa pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto, dimana pemerintah menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional. Kata Kunci: Otonomi Daerah, transfer of management, tranfer of power. Pendahuluan Pemikiran awal pemerintahan Habibi dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu: melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;pembentukan negara federal; ataumembuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat. Pada akhirnya, pilihan jatuh pada alternatif pertama, ketika pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebetulnya Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar- dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Upload: voxuyen

Post on 07-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 204

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA : TRANSFER OF

MANAGEMENT DITAFSIRKAN TRANSFER OF POWER

Oleh Iwan B. Irawan

Abstak Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia dimulai pada masa reformasi bertepatan dengan proses pergantian rezim, dari rezim orde baru yang memilii kecenderungan otoritarian ke rezim yang lebih demokratis. Wacana tentang desentralisasi menjadi sebuah agenda pada masa pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto, dimana pemerintah menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional. Kata Kunci: Otonomi Daerah, transfer of management, tranfer of power.

Pendahuluan

Pemikiran awal pemerintahan Habibi dihadapkan pada

beberapa pilihan yaitu: melakukan pembagian kekuasaan

dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi

peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada

daerah;pembentukan negara federal; ataumembuat

pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada akhirnya, pilihan jatuh pada alternatif pertama,

ketika pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum

desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,

yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sebetulnya Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-

dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat

atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya; Dekonsentrasi,

pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi

Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan Tugas Pembantuan

(medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan

yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah

Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 205

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Namun Undang-undang No. 5 Tahun 1974dalam pelaksanaannya lebih

mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan

daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui

prakarsanya sendiri.

Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama

dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom

diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara

proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber

daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di

samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi

yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.

Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi

daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya

pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara

aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh

karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada

daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini

berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua

kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan,

moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada

daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan

pemerintah.

Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk

dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang

yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi

daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah

administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi

kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 206

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau

otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat

dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah

kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah

propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan

pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan

mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pembahasan

Otonomi Daerah sebagai salah satu bentuk cara memerintah yang diterapkan

diberbagai wilayah di Indonesia yang diberikan Pemerintah Pusat ke Pemerintah

Daerah tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini ditujukan agar Pemerintah di

Daerah dapat mengambil keputusan dan mengelola berbagai kepentingan di

daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan secara tepat tanpa melalui

alur proses yang lama dan berbelit untuk mengembangkan daerahnya sesuai

potensi dan kekhasannya masing-masing. Pemerintah Daerah memiliki kebebasan

mengelola tersebut selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan

memiliki Prinsip Asas,Luas,Nyata serta bertanggung jawab.Terdapat dua nilai dasar

dalam pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ini. Yang pertama yaitu

asas Unitaris. (http://birokrasi.kompasiana.com/2013/04/09/evaluasi-pelaksanaan-

otonomi-daerah-549746.html)

Pengertian “otonom” secara bahasa adalah “berdiri sendiri” atau “dengan

pemerintahan sendiri”. Sedangkan “daerah” adalah suatu “wilayah” atau “lingkungan

pemerintah”. Dengan demikian pengertian secara istilah “otonomi daerah” adalah

“wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola

untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri.” Pengertian yang lebih

luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur

dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari

ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan

sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah

lingkungannya. (Wikipedia, akses : 24 Nopember 2009)

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan

dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:Nilai

Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 207

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang

berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik

Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; danNilai

dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar

1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa

Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi

di bidang ketatanegaraan.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan

desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan

penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke

pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan

dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah

pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:Dimensi

Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko

gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif

minim;Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat relatif dapat lebih efektif;Dati II adalah daerah "ujung tombak"

pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan

potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:Nyata, otonomi secara

nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;Bertanggung

jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar

pembangunan di seluruh pelosok tanah air; danDinamis, pelaksanaan otonomi

selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.

Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai

saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang – undangan

tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di

Indonesia berjalan secara dinamis.

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia tentunya tidak terlepas dari

perjalanan tatanan kehidupan berdemokrasi di tanah air. Tak heran, dalam

perjalanannya penerapan otonomi daerah tidak pernah sepi dari dinamika yang

menyertainya. Hal itu antara lain terlihat dari perubahan Undang-Undang Nomor 22

tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang digantikan oleh UU 32 tahun 2004.

Belakangan, perubahan ini juga berdampak berubahnya peraturan perundangan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 208

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

lainnya yang mengatur tentang otonomi daerah, yang merupakan pelengkap

pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, seperti, UU Nomor 23 Tahun 1999

Tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang selanjutnya digantikan

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004. Seperti diakui Ditjen Otda Kemendagri,

Johermansyah Djohan, Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 belakangan ternyata

belum sepenuhnya dianggap bisa menyelesaikan berbagai masalah hing-ga pada

dan pada akhirnya mendorong direvisinya UU Nomor 32 Tahun 2004. Sebut

misalnya beberapa aspek yang kerap menjadi sorotan adalah, terkait konsep

kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan. Ketidakjelasan pengaturan dalam

berbagai aspek penyelenggaraan pemerintah daerah, hubungan pemerintah daerah

dan masyarakat. Dari itu, pemerintah saat ini juga terus menata aspek regulasi

otonomi daerah, termasuk dengan merevisi UU No. 32 tahun 2004. Begitu pula

dalam rangka mengakomodasi isu-isu strategis dalam pemerintahan desa,

pemerintahan daerah maupun rekuitmen kepemimpinan daerah, saat ini juga tengah

dipersiapkan RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pemilihan Kepala Daerah dan RUU

Pemerintahan Desa, yang merupakan konversi terhadap kondisi kekinian

penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

(http://otda.kemendagri.go.id)

Semenjak awal kemerdekaan sampai sekarang telah terdapat beberapa

peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah.

UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948

memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah.

Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian

UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung.

(http://arnienuranisa.blogspot.com/2011/05/pelaksanaan-otonomi-daerah-di-

indonesia.html).

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pelaksanaan Otonomi Daerah:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah

4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 209

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia).

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas

daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah Administrasi adalah wilayah kerja

Gubernur selaku wakil pemerintah. Instansi Vertikal adalah perangkat departemen

dan/atau lembaga pemerintah non departemen di daerah.

Pejabat yang berwenang adalah pejabat pemerintah di tingkat pusat dan/atau

pejabat pemerintah di daerah propinsi yang berwenang membina dan mengawasi

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat

sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.Kelurahan adalah wilayah

kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah

kecamatan.Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal

usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional

dan berada di daerah kabupaten.

Pelaksanaan otonomi daerah, juga sebagai penerapan (implementasi)

tuntutan globalisasi yang sudah seharusnya lebih memberdayakan daerah dengan

cara diberikan kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab.

Terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi

yang ada di daerahnya masing-masing.

Desentralisasi merupakan simbol atau tanda adanya kepercayaan pemerintah

pusat kepada daerah. yang akan mengembalikan harga diri pemerintah dan

masyarakat daerah.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 210

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Diberlakukannya UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan

Pemerintah didesentralisasikan ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah

pusat tidak lagi mengurus kepentingan rumah tangga daerah-daerah. Kewenangan

mengurus, dan mengatur rumah tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di

daerah. Pemerintah pusat hanya berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas

dan penilai.

Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu :

Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya.

Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses untuk

membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara

demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang

responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme

pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Gejala

yang muncul dewasa ini partisipasi masyarkat begitu besar dalam pemilihan Kepala

Daerah, baik propinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari

membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam setiap pemilihan Kepala Daerah

baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota.

Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya

pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya

peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal

untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam

konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa

pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses

perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang

perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan

membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke

waktu.

Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi

menciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga memelihara nilai- nilai

lokal yang dipandang kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon

dinamika kehidupan di sekitarnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan,

bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna :

1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan

domestik kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 211

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa kebijakan

pemerintah pusat yang bersifat strategis nasional.

2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah;

menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.

3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur (budaya)

setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang

berkualifi kasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.

4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui

pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan

ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan.

5. Peningkatan efeisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang

lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara.

6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat

yang bersifat block grant.

7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang

bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial.

Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah

membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam

menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari,

memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat

daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu

berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan

mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi

daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa

dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam

mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.

2. Pengembangan kehidupan demokrasi.

3. Keadilan.

4. Pemerataan.

5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar

daerah dalam rangka keutuhan NKRI.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 212

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.

7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkat-kan peran serta

masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

tidak lepas dari prinsip otonomi daerah, sebagai implementasi dari UU No. 22 Tahun

1999. Berdasarkan prinsip otonomi daerah tersebut, daerah mempunyai

kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan pemerintahan. Wewenang

daerah dilaksanakan dalam rangka mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat di daerah sesuai aspirasi masyarakat.

Adapun hal yang sangat fundamental yang tersirat di dalam UU No. 22 Tahun

1999 tersebut adalah upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan partisipasi

masyarakat secara aktif serta peningkatan peran dan fungsi DPRD pada setiap

tingkatan. Di dalam otonomi, pemerintah daerah berkewajiban membangun interaksi

atau kompabilitas di antara komponen-komponen publik, private dan community

daripada hanya menfokuskan kepada otoritas. Kendatipun demikian, banyak orang

beranggapan bahwa perspektif tersebut masih jauh dalam realitasnya, otonomi

daerah masih lebih dirasakan sebagai harapan ketimbang kenyataan yang telah

terjadi.

Anggapan ini cukup beralasan mengingat, sudah tiga tahun otonomi daerah

diimplementasikan, namun dalam pelaksanaannya, penuh disesaki dengan tuduhan-

tuduhan pemerintah pusat terhadap daerah. Daerah dituduh tidak "becus"

menjalankan otonomi daerah sehingga otonomi menjadi kebablasan, atau otonomi

daerah memunculkan "raja-raja kecil". Nayaris seluruh energi pemerintah daerah

tertuju pada melawan tuduhan pemerintah pusat yang juga tidak kalah sengitnya.

Melihat kenyataan seperti ini, maka tidak heran jika ada orang yang

mengatakan bahwa otonomi daerah sebenarnya belumlah terwujud sebagaimana

yang diharapkan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk yang terdiri

dari tidak kurang 300 kelompok etnis suku dengan berbagai identitas kulturalnya

yang tersebar luas di berbagai pelosok daerah. Sementara itu, kesenjangan antara

daerah juga mewarnai kehidupan bangsa ini. Dari daerah yang kaya raya, yang

memiliki sumber daya melimpah, sampai daerah yang miskin yang sama sekali tidak

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 213

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

memiliki sumber daya alam. Sedangkan kompenen masyarakat yang hidup di

dalamnya juga memiliki keanekaragaman.

Fenomena tersebut merupakan gambaran dari pluralistiknya bangsa

Indonesia, Oleh karenanya adalah suatu anugerah yang tiada terkira jikalau

kemajemukan yang begitu kompleks dapat ditata dalam sebuah tatanan masyarakat

yang hidup dalam keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran, dalam sebuah tatanan

masyarakat yang bernama "masyarakat madani."

Dalam sebuah tatanan masyarakat madani, rakyat memiliki kedudukan yang

emansipatoris terhadap negara (pemerintah). Kedudukan yang emansipatoris ini

memberikan peluang bagi rakyat untuk memberikan peran yang sama sebagaimana

peran yang dilakukan oleh negara. Di lain pihak, kedudukan yang emansipatoris ini,

rakyat juga memiliki peluang untuk berbeda pendapat terhadap pemerintah. Dalam

perspektif masyarakat madani, demokrasi mengandaikan adanya civil yang

berkembang sedemikian rupa sehingga punya otonomi dan independensi terhadap

negara. Dalam perspektif masyarakat madani, peran civil yang pada masa orde baru

sebagian besar dikuasai oleh negara, harus kembali diposisikan segingga memiliki

peran menjadi sederajat.

Kondisi masyarakat seperti inilah yang diinginkan dan diperjuangkan oleh

para pejuang reformasi. Dalam perkembangannya , perspektif masyarakat madani

menginginkan adanya kesamaan dalam hal derajat, hak dan kewajiban, adanya

kebebasan dalam masyarakat yang pluralis baik ras, suku dan agama, adanya sikap

dan moral yang menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity), adanya

kedaulatan rakyat (populer sovereignity), dan adanya hukum yang dijunjung tinggi

(rule of law). Untuk mencapai kemandirian masyarakat dan kemandirian daerah

dibutuhkan dasar yang kuat di antaranya; kesadaran yang tinggi bahwa Indonesia

adalah masyarakat majemuk yang harus diakomodir kemajemukannya, kesadaran

dari pemerintah pusat bahwa formulasi dan implementasi demokrasi juga harus

ditempatkan dalam kerangka demokrasi di tingkat lokal, kesadaran dari pemerintah

pusat dan daerah bawah pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai melalui suatu

tahapan.

Dengan demikian pengimplementasian otonomi daerah merupakan tuntutan

dari masyarakat yang memiliki diversity (keragaman) untuk mewujudkan civi society

dan democratization. Otonomi tidak hanya sekedar penyerahan pelaksanaan urusan

tetapi lebih mendekati makna yang sesungguhnya ialah kewenangan pemerintah

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 214

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

untuk menerapkan lokal democrasy. Artinya, dengan melaksanakan otonomi daerah

maka pemerintah akan menjadi lebih demokratis.

Pelaksanaan otonomi daerah akan membawa efektifitas dalam pemerintahan,

sebab wilayah negara Indonesia terdiri dari berbagai satuan daerah yang masing-

masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor

geografi, adat istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan dan

sebagainya. Suatu harapan kita semua, bahwa otonomi daerah segera terwujud dan

berjalan baik. Otonomi daerah merupakan suatu tantangan dan kesempatan yang

baik bagi penyelenggara pemerintahan daerah dalam menampilkan kinerja

pelayanan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah

diharapkan lebih adil, demokratis, memberdayakan masyarakat di segala aspek dan

tingkatan.

Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat

mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.Dimana

untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya segala

persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk

mengidentifikasikan,merumuskan,dan memecahkannya,kecuali untuk persoalan-

persoalan yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam

perspektif keutuhan negara-bangsa. Prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam

pemberian otonomi daerah :

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman

daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertanggung jawab

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah

kabupaten dan daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi

yang terbatas.

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara.

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah

otonomi.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi

badan legislatif daerah.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 215

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam

kedudukannya sebagai daerah administrasi

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa

disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban

melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang menugaskan

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa

reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan

proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis).

Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus

menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan

pada beberapa pilihan yaitu: melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah

daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi

kepada daerah;pembentukan negara federal; atau membuat pemerintah provinsi

sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum

desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,

yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang

mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang

sebelumnya antara lain :

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah

lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang

dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting

kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

melalui prakarsanya sendiri.

Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama

dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom

diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara

proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber

daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 216

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi

yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.

Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi

daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya

pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara

aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh

karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada

daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini

berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut

Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua

kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan,

moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada

daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan

pemerintah.

Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk

membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi

masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat,

diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang

sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan

fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.

Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau

otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat

dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah

kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah

propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan

pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan

mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara

lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan

dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.

Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah

lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 217

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung

jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung

jawab kepada Presiden.

Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan

DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh

pejabat yang berwenang.

Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,

daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat

dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi

lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.

Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan

dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.

Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,

pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur

yang ditetapkan pemerintah.

Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada

propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah

otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan

yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar

Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan

umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu

lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu

ditangani Kabupaten dan Kota.

Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan

dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh

pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau

dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup

pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-

Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani

perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan

dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 218

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu

Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.

Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD

dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala

daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Pengelolaan berbagai aspek oleh Pemerintah Daerah ini memerlukan

pengawasan dari berbagai pihak terutama dari masyarakat di daerah sendiri yang

mengetahui kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan. Karena kebebasan dalam

pengambilan keputusan rawan terjadi penyimpangan sehingga perlu adanya kontrol

untuk mencegah adanya penyimpangan tersebut. Karena wewenang ini adalah

bagian dari amanah yang diberikan rakyat dan negara untuk mengurusi

wilayah.Juga karena adanya ketimpangan-ketimpangan. Kendala/ketimpangan-

ketimpangan yang sering terjadi dalam penerapan kebijakan otonomi daerah :

a. High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta.

Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”

b. High Cost Economic dalam bentuk KKN.

c. Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan.

d. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-

BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui

penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit

ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD.

e. Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria

pembuktian berkelanjutan.

f. Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya.

g. Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan.

h. Bangkitnya egosentrisme.

i. Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek

finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi

sebenarnya.

j. Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.

Sehingga dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak bisa mencapai

kesempurnaan. Artinya selama ini terdapat penyimpangan dalam memanfaatkan

kewenangannya. Dan di dalam kasus ini penyimpangan yang terjadi adalah dalam

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 219

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

hal pengelolaan Sumber Daya Alam. Contohnya adalah pemberian Izin Investasi

Kehutanan,Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan yang kerapkali diberikan

terkait kepentingan kelompok tertentu di Daerah dan ditambahkan pula bahwa

penyimpangan ini marak terjadi ketika menjelang Pemilihan Kepala Daerah atau

Pilkada. Jelas hal ini tidak adil dan harus dilakukan evaluasi karena SDA yang ada di

daerah harus digunakan sebaik mungkin untuk kemakmuran semua rakyat yang ada

di daerah.

Oleh karena adanya penyimpangan tersebut maka dilakukanlah evaluasi

melalui berbagai hal. Salah satunya adalah memberikan usul pada DPR RI yang

dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan di tingkat Pusat yang saat ini sedang

membahas Rancangan Undang Undang tentang Pemda. Usulan yang disampaikan

tersebut adalah mencabut kewenangan pemberian Izin investasi Kehutanan,

Pertambangan,Perkebunan dan Perikanan di Pemerintah Daerah tingkat

Kabupaten/Kota. Kemudian wewenang ini tidak hilang begitu saja,namun

ditambahkan ke kewenangan Pemerintah Propinsi,artinya ada pemindahan

wewenang ke atas dari tingkat Kabupaten/Kota ke tingkat Propinsi agar

meminimalisir penyimpangan yang terjadi di daerah dan pengontrolan oleh

pemerintah menjadi lebih mudah dilakukan.

Terjadinya penyimpangan dalam hal pengelolaan di daerah berarti juga terjadi

pengkhianatan atas amanah yang diberikan rakyat kepada pemerintah yang

bersangkutan. Sehingga bentuk penyimpangan semacam ini harus diwaspadai dan

dihindari dengan cara evaluasi dan pengawalan dari kita semua warga Indonesia.

Karena memang penerapan asas Desentralisasi di Indonesia dirasa belum efektif .

Sehingga sangat diperlukan penataaan ulang agar terjadi pola pemerintahan yang

baik dan sehat. Karena pembiaran atas penyimpangan yang terjadi terhadap

penerapan otonomi daerah ini akibatnya adalah kerugian rakyat dan pada kebijakan

nasional secara menyeluruh.

Pada dasarnya penerapan Desentralisasi dan Otonomi daerah adalah sebuah

cara yang bagus dalam pengelolaan suatu wilayah Karena rakyat dan masyarakat

setempat memiliki kewenangan yang cukup luas dalam mengatur wilayahnya sesuai

dengan kepentingan dan dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki tiap

daerah.

Namun apabila didalamnya terjadi pelanggaran dan penyalahgunaan maka

perlu dilakukan penindakan terhadap oknum yang menyalahgunakan wewenang

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 220

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

tersebut. Dan perlu juga dilakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah yang

melaksanakan otonomi daerah ini. Jangan sampai dengan dilakukannya

desentralisasi yang bertujuan baik ini justru membawa daerahnya tidak kepada

kemakmuran rakyatnya.

Ketidakefektifan pola pemerintahan yang seperti ini bukan pada sistemnya

namun pada pelaksanaannya yang tergantung dari orang-orang didalamnya apakah

memiliki integritas ataukah tidak melaksanakan amanah yang diberikan dengan baik.

Intinya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini tetap harus penuh pengawalan dari

masyarakat agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat dan tidak ada yang

dirugikan dalam pelaksanaannya.

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia sejauh ini tidak jarang dihadapkan

pada berbagai permasalahan krusial yang melingkupinya, sebut misalnya sejumlah

peristiwa kerusuhan yang sering mewarnai pemilihan kepala daerah di sejumlah

daerah di tanah air, sampai sampai Mendagri Gamawan Fauzi mengeluarkan

statemen keras, dengan menegaskan akan mengembalikan proses pemilihan kepala

daerah melalui pemilihan DPRD jika saja kesadaran politik masyarakat tidak kunjung

dewasa.

Kondisi ini tentunya membuat kita merasa miris, karena perjalanan penerapan

otonomi daerah tidak jarang melahirkan gesekan atau konflik di daerah seperti

halnya kasus kerusuhan saat pemilihan kepala daerah. Padahal, penerapan otonomi

daerah justru diharapkan mampu lebih memperkuat posisi Bangsa Indonesia

sebagai sebuah bangsa besar yang berdaulat, serta bukan sebaliknya. Dalam kaitan

ini daerah tak ubahnya bagaikan tiang penyangga bagi sebuah rumah besar

bernama Indonesia. Artinya, jika bangunan itu didukung oleh tiang yang kokoh maka

tentunya akan berdampak terhadap kontruksi kehidupan ber-bangsa secara

keseluruhan.

Permasalahan lain yang sering ditemui, terlihat dari kesenjangan keuangan

daerah akibat adanya sistem bagi hasil seiring diterapkannya perimbangan

keuangan pusat dan daerah. Persoalan ini tentunya bukan suatu kendala berarti

bagi daerah yang PAD nya cukup besar. Lain halnya bagi daerah-daerah yang

memiliki PAD atau sumber daya alam yang tergolong minus. Karena, untuk menjaga

kestabilan jalannya pemerintahannya, mereka tentu dituntut harus berfikir lebih

keras lagi, termasuk bagaimana mencari atau berupaya menarik dana dari pusat

atau sumber lainnya. Dalam kaitan ini, penerapan otonomi daerah jelas berimplikasi

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 221

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

secara luas terhadap kebijakan kebijakan di tingkat daerah yang berotonomi sesuai

dengan otonomi yang diberikan. Di pihak lain disadari, dalam perjalanannya

otonomi daerah telah berhasil melahirkan sejumlah pencapaian yang

menggembirakan, seperti lahirnya sejumlah kreatifitas dan inovasi dari masing

masing daerah, sehingga pada akhirnya mampu melahirkan berbagai prestasi yang

membanggakan. Hanya saja, dalam perkembangannya, sejumlah daerah juga

terlihat masih terjebak pada sikap egosentris yang lebih mengedepankan

kepentingan daerah masing-masing.

Kondisi ini tak jarang melahirkan kebijakan atau program yang bersifat

tumpang tindih, di mana-masing ma-sing daerah terkadang terjebak pada kompetisi

tanpa arah dan sasaran yang jelas. Akibat dari situasi ini, terkadang kebijakan antar

daerah kabupaten kota di tingkat provinsi tidak lagi sinkron antara satu sama lain.

Sebagai contoh, saat daerah A tengah bergiat mengembangkan sektor pariwisata

seperti membangun water bom, maka daerah B juga ikut-ikutan melakukan hal yang

sama. Begitu pula saat daerah tertentu tengah mengembangkan kawasan

pengembangan ekonomi, maka daerah lain juga ikut-ikutan latah mengembangkan

hal serupa.

Akibatnya, keunggulan dari masing-masing daerah tidak lagi terlihat dengan

jelas. Begitu pula, daerah mana yang seharusnya dijadikan kawasan pertumbuhan

ekonomi atau sebagai produsen dan daerah penyangga. Kondisi ini tentunya akan

sangat merugikan bagi masing-masing daerah yang ada. Karena, pola kebijakan

hanya bertumpu pada satu titik tertentu. Permasalahan lain, seperti ditegaskan

Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah, Dani Anwar, sekarang ini banyak kepala

daerah yang semena-mena melakukan mutasi pegawai karena pertimbangan politis.

Jadi, disinilah pentingnya posisi pemerintah provinsi, khususnya bagaimana

mengatur lalu lintas kebijakan itu menjadi lebih terarah. Dalam kaitan ini tidak

dinafikan lagi, kewenangan pemerintah provinsi dalam hal ini menjadi sangat

strategis, terutama bagaimana mengatur dan mengendalikan arah kebijakan dari

masing-masing daerah kabu-pa-ten/kota sehingga masing masing bisa berjalan

selaras antara satu sama lain.

Pemerintah provinsi juga harus lebih didorong mensinergikan, mensinkronkan

dan mengkoordinasikan setiap program dari masing-masing daerah sehingga pada

akhirnya akan lahir berbagai kebijakan strategis dan terarah yang diharapkan bisa

bermuara pada peningkatan dan pemberdayaan setiap daerah yang ada. Karena,

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 222

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

otonomi daerah juga idealnya menjadi bagian dari simbiosis mutualistis antara

ma-sing-masing daerah, sehingga pada akhirnya seluruh potensi unggulan dari

masing-masing daerah bisa lebih dieksplor sedemikian rupa termasuk potensi

sumber daya daerah yang ada. Pembagian hasil antara pemerintah pusat dan

daerah juga perlu lebih disinkronkan lagi, sehingga pada akhirnya bisa memberikan

ruang yang lebih luas dalam mendorong percepatan pembangunan di daerah.

Bagaimanapun, konsep dan penerapan otonomi daerah jelas merupakan sebuah

piranti penting dalam kerangka untuk lebih mendorong kemajuan pembangunan di

daerah yang merupakan bagian dari pembangunan bangsa secara keseluruhan.

Tidak kalah pentingnya, penerapan otonomi daerah mestinya jangan sampai

keluar dari koridor negara kesatuan RI, dalam arti lain, bagaimana masing- masing

daerah bisa lebih berdaya tanpa harus berjalan tanpa arah yang jelas. Sebab, jika

ini yang terjadi tentunya tujuan otonomi tidak akan bisa terwujud seperti diharapkan.

Untuk itu, otonomi daerah mestinya harus dipandang sebagai sebuah potret dengan

frame atau bingkai yang jelas yang bernama negara kesatuan Republik Indonesia.

Tanpa kesadaran itu, tentunya otonomi tidak akan mencapai harapan yang

diinginkan, seperti halnya mensejahterakan masya-rakat yang ada di dalamnya.

Konsep otonomi daerah juga harus mampu melahirkan spirit baru bagi

masing-masing daerah dalam melahirkan berbagai terobosan penting, termasuk

bagaimana mengoptimalkan berbagai keunggulan dan potensi yang dimilikinya. Hal

ini tentunya selaras dengan prinsip yang dianut dalam penerapan otonomi daerah,

yaitu bertanggungjawab, di mana dalam hal ini, masing masing daerah seyogyanya

harus bisa menselaraskan diri dalam pening-katan dan pemerataan pem-bangunan

di seluruh pelosok tanah air.

Dalam kaitan ini, pemerintah seperti diakui Ditjen Otda Kemendagri,

Djohermansyah Djohan agaknya menyadari sepenuhnya bahwa peraturan UU

otonomi daerah belum sepenuhnya mampu menyingkapi dinamika masyarakat,

kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari itu berbagai kekurangan yang ada masih

perlu terus disempurnakan. Karena itu kemendagri saat ini masih terus (mengaduk)

RUU pemda, guna menggantikan UU nomor 32 tahun 2004. Salah satu

pertimbangan mendasar sekaligus permasalahan utama, karena UU nomor 32 tahun

2004 dinilai masih kurang lengkap, kurang terperinci dan kurang memuat terkait

sanksi. Akibatnya, ada kecenderungan bahwa daerah sulit untuk di kontrol. Selain

itu, kepala daerah nantinya lebih di jamin (mendapat) dalam melakukan akan kreatif

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 223

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

tanpa harus takut di penjara Kabar ini tentunya bisa dijadikan solusi terbaik terkait

banyaknya kepala daerah yang tersangkut masalah hukum.

Memang ada beberapa langkah yang telah dilakukan oleh para pejabat

daerah untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi selama ini. Langkah-langkah

tersebut adalah:

a. Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang

berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah

b. Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan

melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat,

media massa dan lainnya.

c. Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur.

d. Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.

e. Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami

prinsip-prinsip otonomi daerah.

Otonomi Daerah dilaksanakan dalam wadah dan kerangka NKRI. Gejala-

gejala di atas secara langsung maupun tidak membangkitkan skeptisisme,

ketidakpercayaan dan antipati terhadap proses otonomi daerah sehingga proses

otonomi daerah ibarat menantang arus. Bila arus skeptisisme, ketidakpercayaan dan

antipati itu sedemikian kuat maka besar kemungkinan akan menghanyutkan proses

dan realisasi otonomi daerah itu sendiri.

Pertama-tama, pengguliran Undang-undang Otonomi Daerah itu sendiri

mengandung masalah yang cukup kompleks karena proses sosialisasi yang

demikian singkat. Sementara itu uji-uji coba yang dilakukan belum sempat dijadikan

sebagai “feed back” untuk melakukan revisi-revisi yang diperlukan. Harus diakui

bahwa Undang-undang Otonomi Daerah baru merupakan dokumen kesepakatan

politik antara Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara di tingkat Pusat sementara

harus pula di akui bahwa sistem politik dan kenegaraan kita masih memungkinkan

terjadinya kesenjangan aspirasi antara rakyat, pemerintah daerah dan pemerintah

pusat. Sebagai contoh, sementara pemerintah pusat mengartikan otonomi daerah

sebagai pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari

Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, timbul berbagai interpretasi.

Daerah-daerah yang kaya menginterpretasikan sebagai otonomi dan

desentralisasi yang menjurus kepada faham federalisme bahkan di daerah seperti

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 224

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya telah terlontar ide-ide untuk merdeka.

Di sisi lain, daerah-daerah yang miskin agak enggan menerima pelimpahan hak,

wewenang dan tanggungjawab dan tetap mempertanyakan sebarapa jauh

Pemerintah Pusat tetap bisa memberikan subsidi terhadap APBD-nya. Penerimaan

konsep otonomi daerah ini bisa diterima dalam ruang over dan under interpretation

tersebut dengan kata lain bisa saja diterima setengah-setengah atau dengan

berbagai catatan dan komfromi yang perlu dipertimbangkan.

Paradigma manajemen pembangunan di era otonomi daerah jauh berbeda

dengan di masa-masa sebelumnya. Di masa lalu pemerintah daerah hanya

memikirkan bagaimana distribusi proses pembangunan sampai kepada rakyat

berdasarkan alokasi anggaran dari pusat, sementara masalah kebutuhan anggaran

difikirkan oleh pusat. Sehingga paradigma yang terbentuk adalah pemerintah daerah

sebagai administrator dan mengabdi kepada otoritas pusat. Pusat yang menilai

benar-salahnya pemerintah daerah mengadministrasi pembangunan.

Di era otonomi daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menerima

otonomi yang luas, pemerintah daerah harus memfungsikan manajemen

pembangunan secara lengkap, mulai dari planning, staffing, directing, actuating,

control and evaluation. Hal ini diisyaratkan oleh Hilhorst (1980) sebagai mampu

merencanakan produksi barang dan jasa; mampu mengawasi dampak dari produksi

barang dan jasa; dan mampu mendorong pembangunan daerah sesuai dengan

sumber-sumber yang tersedia.

Di satu sisi pemerintah daerah dituntut kemampuannya untuk

mengembangkan sumberdaya ekonomi yang ada di daerahnya sehingga mampu

menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai, di sisi lain pemerintah

daerah juga di tuntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya meliputi

penyediaan lapangan kerja atau kesempatan berusaha, fasilitas pendidikan dan

kesehatan yang terjangkau oleh rakyat jelata, termasuk berbagai kemudahan dalam

pelayanan-pelayanan publik.

Jadi pemerintah daerah harus secara simultan menerapkan strategi

pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) dengan basis ekonomi

kerakyatan (peoples’ economy). Masalah yang dihadapi adalah mampukah

pemerintah daerah dalam waktu yang relatif singkat merubah paradigma

pemerintahan dan perilaku aparat yang government oriented menjadi public servant

oriented; dari paradigma government spending economy ke paradigma government

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 225

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

generating economy. Dengan kata lain mampu menerapkan kombinasi yang “pas”

antara konsep entrepreneurship (kewirausahaan) daerah dengan konsep sistem

kesejahteraan sosial (social welfare).

Penutup

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang

diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya

guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan

terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam

pelaksanaan otonomi daerah arahnya adalah transfer of management, namun ada

beberapa saerah yang mentafsirkan transfer of power, sehingga membuat penguasa

daerah bisa melakukan perlawanan pada pusat, diantaranya dengan banyaknya

kasus dimana banyak kebijakan nasional tidak diindahkan oleh pemerintah daerah.

Referensi

1. UUD 1945 pasal 18 ayat 2

2. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Kedua, Pasal 11

3. Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi,

Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga

4. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I,

Pasal 1, huruf c

5. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I,

Pasal 1, huruf e

6. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I,

Pasal 1, huruf b

7. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I,

Pasal 1, huruf f

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 226

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

8. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I,

Pasal 1, huruf d

9. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)

10. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17

11. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23

12. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29

13. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III,

Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30

14. Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi,

Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga

15. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)

16. Ian Nobi Purnama, Pelaksanaan Otonomi Daerah,

http://iannobipurnama.wordpress.com/2010/11/08/pelaksanaan-otonomi-

daerah/)

17. Ubaedillah dan Abdul Rozaq, 2010. Pendidikan kewarganegaraan, cetakan

ke-5, Jakarta:ICCE UIN Jakarta.

18. http://www.kewarganegaraan.com/order2.php

19. Kusumah, mulya W. Perspektif, teori dan kebijaksanaan hukum. Jakarta:

Rajawalu pers, 1986

20. http://khazanna032.wordpress.com/2009/07/16/kendalaotonomidaerah/

21. http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia

22. http://astriaoktadary.blogspot.com/2012/03/otonomi-daerah-dan-

permasalahan-yang.html