issn 0853- jurnal online westphalia, vol.12,no.1 … · program studi ilmu hubungan internasional...

45
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 4 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853- 2265 PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASI: PEMILU 2004 DAN 2009 Oleh Ade Priangani Abstrak Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia begitu majemuk, dan persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 lalu, adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni dan sebagainya. Kata Kunci: Pemilu, Transisi Demokrasi Pendahuluan Sampai saat sekarang, masih banyak tindakan yang irasional dipraktekan oleh elite- elite politik di Indonesia. Mereka memainkan lakon yang kerap membodohi dan mengkhianati perasaan rakyat, tak terkecuali dalam Pemilu 2004. Lakon yang dimainkan oleh para elite ibarat tayangan telenovela yang tak selesai-selesai, dari mulai pelengseran Gus Dur yang melanggar prinsip demokrasi presidential, kasus Bulog I dan II yang tak jelas akhirnya, Pengadilan Ad-hok, pelanggar HAM di Timor Leste, Kasus 27 Juli yang malah pelakunya didukung untuk berkuasa lagi, kasus Trisakti yang entah tercecer dimana, Peradilan Soeharto yang tidak jelas hingga meninggal sampai reformasi yang salah kaprah dan Pemilu yang masih penuh dengan kecurangan dan penggunaan money politics yang tak juga berhenti. Semua ini menandakan bahwa masyarakat dan terutama elite politik masih belum mau menegakkan demokrasi yang sesungguhnya, sebab banyak diantara elite yang antidemokrasi malah berkoar-koar tentang demokrasi, banyak pencuri berbaju priyayi, serta banyak politisi seperti si cepot jadi raja yang menambah keruwetan penyelesaian masalah daripada menyelesaikan masalah. Beda pendapat sedikit bikin partai, tak kebagian jabatan bikin partai, sehingga membuat partai jauh lebih mudah dibandingkan dengan pengurusan KTP. Hal ini membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintah, ditambah kinerja ekonomi pemerintah yang boleh dikatakan lebih jelek dibandingkan orde sebelumnya. Sehingga timbul anggapan bahwa pemerintah pasca reformasi jangankan ngurus demokrasi, ngurus ekonomi

Upload: dinhdung

Post on 08-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 4

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASI:

PEMILU 2004 DAN 2009

Oleh Ade Priangani

Abstrak Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia begitu majemuk, dan persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 lalu, adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni dan sebagainya. Kata Kunci: Pemilu, Transisi Demokrasi

Pendahuluan

Sampai saat sekarang, masih banyak tindakan yang irasional dipraktekan oleh elite-

elite politik di Indonesia. Mereka memainkan lakon yang kerap

membodohi dan mengkhianati perasaan rakyat, tak terkecuali

dalam Pemilu 2004. Lakon yang dimainkan oleh para elite ibarat

tayangan telenovela yang tak selesai-selesai, dari mulai

pelengseran Gus Dur yang melanggar prinsip demokrasi

presidential, kasus Bulog I dan II yang tak jelas akhirnya, Pengadilan Ad-hok,

pelanggar HAM di Timor Leste, Kasus 27 Juli yang malah pelakunya didukung untuk

berkuasa lagi, kasus Trisakti yang entah tercecer dimana, Peradilan Soeharto yang

tidak jelas hingga meninggal sampai reformasi yang salah kaprah dan Pemilu yang

masih penuh dengan kecurangan dan penggunaan money politics yang tak juga

berhenti.

Semua ini menandakan bahwa masyarakat dan terutama elite politik masih

belum mau menegakkan demokrasi yang sesungguhnya, sebab banyak diantara

elite yang antidemokrasi malah berkoar-koar tentang demokrasi, banyak pencuri

berbaju priyayi, serta banyak politisi seperti si cepot jadi raja yang menambah

keruwetan penyelesaian masalah daripada menyelesaikan masalah. Beda pendapat

sedikit bikin partai, tak kebagian jabatan bikin partai, sehingga membuat partai jauh

lebih mudah dibandingkan dengan pengurusan KTP.

Hal ini membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja demokratisasi yang

dilakukan oleh pemerintah, ditambah kinerja ekonomi pemerintah yang boleh

dikatakan lebih jelek dibandingkan orde sebelumnya. Sehingga timbul anggapan

bahwa pemerintah pasca reformasi jangankan ngurus demokrasi, ngurus ekonomi

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 5

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

saja tak tuntas-tuntas dan tidak mengarah pada peningkatan atau pemulihan yang

signifikan, belum terbangunnya infrastruktur ekonomi yang bisa dijadikan landasan

economic recovery.

Pengertian infrastruktur ekonomi dalam bahasan ini adalah infrastruktur yang

terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk

memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup. Peran infrastruktur dalam

pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan

kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro

ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity

of private capital, Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan

infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.1

Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan

oleh terciptanya amenities dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan

kesejahteraan, (peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja

dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata),

terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar

kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja).2

Pembahasan

Demokrasi dan demokratisasi adalah hal yang dewasa ini didambakan oleh

sebagian besar masyarakat Indonesia. Ada berbagai rumusan mengenai demokrasi,

namun terdapat satu masalah yang dihadapi oleh semua versi demokrasi, yaitu

bagaimana memberi kekuasaan untuk memerintah sekaligus menjaga agar

kekuasaan itu tidak disalahgunakan.

Kekuasaan dipandang perlu untuk dibatasi, biasanya melalui sistem negara

hukum atau rule of law agar tidak menjadi negara kekuasaan. Salah satu cara

pembatasan kekuasaan adalah konsep accountability. Sebagian masalah yang

sedang dihadapi Indonesia saat ini sebenarnya dapat dihindari seandainya

pengawasan serta kontrol oleh lembaga-lembaga yang berwenang diselenggarakan

dengan baik. Seandainya MPR dan DPR menyelenggarakan tugasnya meminta

1 Kwik Kian Gie, Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Indonesia dalam Stadium General, di Aula Fisip Unpas, Bandung, 2002. 2ibid

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 6

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

accountability secara lebih efektif, maka krisis ekonomi-politik, serta krisis

kepercayaan tidak perlu terjadi.

Accountability adalah pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat

memerintah kepada yang memberi mandat itu. Dalam teori politik tradisional,

rakyatlah yang memberi kekuasaan kepada pihak lain untuk memerintah dan

pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat. Accountability dapat ditafsirkan

sebagai pertanggungjawaban politik, dalam arti pertanggungjawaban dengan sanksi.

Dalam sistem parlementer, sanksi bersifat langsung –karena dapat

mengakibatkan jatuhnya eksekutif setiap waktu jika dianggap bahwa pihak yang

diberi mandat itu tidak menjalankan kewajiban melaksanakan kebijakan yang telah

ditetapkan-. Dalam sistem presidential, sanksi bersifat tidak langsung karena

pemerintah tidak dapat dijatuhkan. Namun, sanksi dapat dijatuhkan melalui Pemilu

berikutnya, yaitu setelah masa jabatannya berakhir, presiden tersebut tidak dipilih

lagi. Dalam kedua sistem tersebut, accountability merupakan syarat mutlak bagi

perwujudan konsep kedaulatan rakyat.

Berkaitan dengan keadaan bangsa yang belum sepenuhnya memiliki

pengalaman berdemokrasi, tidak dapat dihindari bahwa proses demokratisasi

selama ini mengandung unsur besar experimentasi, trial and error. Tetapi justru

hanya dengan keberanian menempuh proses-proses itu ada harapan akan

mengalami pendewasaan sosial-politik, sehingga demokrasi yang sebenarnya dapat

menjadi kenyataan.

Dinamika pergumulan kehidupan politik rakyat dalam segenap dimensi

gerakan demokrasinya, secara niscaya berada dalam suatu peralihan keyakinan

politiknya. Artinya, peralihan keyakinan politik rakyat, yang tadinya senantiasa

menunggu atau tergantung pada elite politik penguasa, justru di era reformasi

sebaliknya, rakyat berinisiatif merekonstruksi perubahan dan pembaharuan politik

negara.

Hal ini dapat kita cermati terutama dengan rentetan aspirasi dan tuntutan

politik rakyat yang makin terbuka dan kritis. Tuntutan politik dari sector infrastruktur

politik (social demond) tersebut, secara niscaya patut menjadi rujukan yang berarti

dalam dataran format kepolitikan Indonesia. Artinya, keterlibatan rakyat dalam

mengemas perubahan dan pembaharuan politik, tak ayal lagi mesti ditengok dalam

kacamata politik secara terbuka. Agar keanekaragaman kehidupan politik negara

bangsa ini merupakan identitas bersama yang tidak bisa dipinggirkan dalam tatanan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 7

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

politik nasionalnya. Sebab dalam pandangan David Beetham, demokratis atau

tidaknya suatu negara ini bisa dilihat dari hal yaitu : popular control dan political

equality.3

Itu sebabnya, baik yang berupa tuntutan, dukungan dan sekaligus partisipasi

politik rakyat, bukan lagi harus ditengok secara subyektif bergantung pada

kepentingan-kepentingan politiknya semata, melainkan hal itu merupakan

keniscayaan membangun interaksi politik dalam menggodok kedewasaan politiknya.

Keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik merupakan satu kesatuan yang tidak

bisa dimarginalisasikan dalam merumuskan persoalan kebangsaan dan

kenegaraannya.

Peran serta rakyat tidak bisa dibantah, pertama-tama dengan rangkaian

system sosialnya yang menggiring perilaku individu-individunya, terutama dengan

beralihnya keyakinan politik rakyat dari zaman orde baru yang terkerangkeng. Pada

pasca orde baru kerangkeng politik sudah tidak mampu lagi menampung

kegelisahan politik rakyat yang menghendaki perubahan politik secara kondusif. Dan

realitas politik yang terbuka mau tidak mau sangat membutuhkan interaksi politik

yang demokratis. Interaksi politik tersebut sesungguhnya merupakan bagian penting

dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa, agar proses diagnosis dialogis

persoalan kebangsaan berjalan dengan kekerasan politik, melainkan melakukan

dialog kritis dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, sehingga dialog

kritis tersebut mampu membuahkan kejernihan nurani dan kebeningan akal sehat

dalam melakoni aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemilu 2004

Pemilu ke-9 yang dilaksanakan pada bulan April 2004, telah terlaksana

dengan baik dan sesuai dengan harapan, meskipun masih banyak kekurangan.

Tujuan dari Pemilu yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan

kata lain terjadi perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang

terutama di legislatif.

Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah,

beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan

negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan

3 David Beetham, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press 65 Bridge Street, Cambridge CB2 1UR, UK.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 8

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional

yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur.

Pemilu 2004, memiliki keunikan tersendiri, dimana dipadukan dua sistem

pemilu sekaligus, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga dalam

pencoblosan anggota legislatif, masyarakat pemilih dihadapkan pada pilihan gambar

dan nama calon anggota legislatif. Disamping itu, Pemilu dibagi dua tahap, tahap

kedua ini adalah dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif).

Namun realitas di masyarakat, ada banyak anggapan bahwa dalam Pemilu

2004, golput cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya kekecewaan dari

masyarakat terhadap perilaku elite yang tidak mampu memegang amanah yang

telah diberikan oleh rakyat. Contoh paling kongkrit adalah, ada satu partai yang pada

Pemilu 1999 sangat kental dan bahkan mengidentikan dirinya sebagai partainya

wong cilik, namun kenyataannya, pasca Pemilu atau setelah mereka berkuasa

malah memelihara wong licik.

Dari sini saja masyarakat bisa menilai, sebab bagaimanapun juga masyarakat

Indonesia tidak sebodoh yang dibayangkan oleh elite politik. Mereka bisa menilai

kinerja baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka sangat kecewa dengan

perilaku elite, yang lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya

dibanding dengan ngurus rakyat.

Ada berbagai macam alasan kenapa mereka memilih golput, atau dengan

kata tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2004, yang secara garis besar Michael Rush

dan Phillip Althof membagi menjadi 4 (empat), yaitu :

1. Apatis, di teliti oleh Morris Rosenberg.Artinya masa bodoh, tidak punya

minat/tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi dan gejala-gejala

pada umumnya. Alasan: a. Konsekuensi yang di tanggung dari aktivitas

politik; b. Aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia saja; c. Tidak adanya

perangsang untuk beraktivitas dalam dunia politik.

2. Sinisme, di teliti oleh Robert Agger.Kecurigaan yang buruk dari sifat manusia.

Perasaan bahwa politik itu adalah sesuatu “urusan yang kotor”.

3. Alienasi,(terasing), di teliti oleh Robert Lane. Perasaan keterasingan dari

politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai

pemerintahan dan politik di lakukan oleh orang lain dan untuk orang lain,

mengikuti aturan yang tidak adil.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 9

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

4. Anomi(terpisah), di teliti oleh Durkheim. Perasaan kehilangan nilai dan

ketiadaan arah.4

Namun yang jelas bahwa alasan mereka tidak berpartisipasi, atau dengan

kata lain memilih golput tidak dapat digeneralisir. Paling tidak dalam pandangan

saya, ada beberapa kelompok yang menjadi golput:

Pertama, anggota dan simpatisan partai politik yang tidak lolos verifikasi;

Kedua, mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintahan sebelumnya dan

bahkan memiliki pengalaman yang pahit dengan penguasa;

Ketiga, pribadi atau kelompok yang terbuang dari partai;

Keempat, mereka yang menganggap partai politik yang ada tidak memiliki

platform yang baik, dan menganggap kemampuan calegnyapun tidak capable;

Kelima, masyarakat urban yang tidak memiliki identitas diri yang jelas;

Keenam, Pendukung setia Gus Dur, sebab Gus Dur menyatakan diri Golput

setelah pencalonannya di tolak oleh KPU;

Ketujuh, Partai dan pendukung Capres/Cawapres yang kalah dalam putaran

pertama Pemilu Presiden.

Dalam masyarakat baru Indonesia yang sedang tumbuh, golput hanyalah

satu fenomena yang belum bisa dikategorikan secara akademis. Dalam pandangan

Indra J Pilliang5 dapat dikategorikan: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis

penolakan atas apapun produk sistem ketatanegaraan saat ini; Kedua, golput

pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak

ada pemilu, ikut tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih; Ketiga

golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Seperti yang

dilakukan oleh Gus Dur dalam Pemilu Presiden tahap pertama, dan atau yang

dilakukan oleh PKS dan PAN dalam Pemilu Presiden tahap kedua.

Pentingnya Sosialisasi Politik

Dari permasalahan diatas, dimana dari tahun ke tahun fenomena golput

semakin besar, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya

4 Michael Rush and Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, cetakan lima, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. 5 Indra J. Pilliang, “Golput dan Masyarakat Baru Indonesia”, KOMPAS, 18 Juli 2004, hal 5.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 10

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Pemilu bagi terciptanya sistem pemerintahan yang lebih baik di masa yang akan

datang. Dalam upaya sosialisasi Pemilu di Indonesia, perlu kiranya Pemerintah

dalam hal ini KPU mempertimbangkan karakteristik masyarakat Indonesia. Ini akan

berpengaruh pada jenis, model dan strategi apa yang akan diterapkan dalam upaya

mensosialisasikan Pemilu kepada masyarakat. Apalagi khusus untuk Pemilu tahun

2004 ini ada keunikan tersendiri, dimana masyarakat belum terlalu banyak tahu

tentang model Pemilu.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah/KPU harus diimbangi secara

sinergis oleh partai-partai politik peserta Pemilu. Sebab bagaimanapun juga, peran

partai politik sangat besar bahkan yang paling utama. Namun kesulitan yang dialami

oleh parpol adalah waktu kampanye yang sempit dan adanya masa reses, sehingga

peran partai sebagai agen sosialisasi menjadi tidak optimal. Perlu kiranya disini

pemerintah dan parpol menyadari bahwa pelaksanaan Pemilu bukan hanya agenda

lima tahunan yang tidak bermakna apa-apa, hanya merupakan kewajiban temporer

yang harus dilakukan.

Pemilu pada hakekatnya adalah proses untuk mengevaluasi kinerja

pemerintahan sebelumnya. Kalau sukses maka mereka akan mendapat carrot dari

masyarakat berupa dipilihnya lagi untuk memimpin negara lima tahun kedepan.

Namun bagi pemerintahan yang jelek yang tidak aspiratif akan nurani rakyatnya

sendiri, Pemilu merupakan stick, berupa penarikan dukungan dengan cara tidak

memilihnya lagi untuk periode selanjutnya.

Disinilah butuh kerja yang sinergis antara pemerintah/KPU dengan political

society, dalam upaya menegakan civil society yang bermuara pada terciptanya clean

government dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap nurani rakyat.

Pemilu 2004 disebut oleh Herry Tjahjono6 “Pemilu Mabuk”. Dalam tinjauan

psikologi umum dan sederhana, mabuk dapat diartikan “proses turunnya kesadaran

akibat pengaruh minuman keras, sehingga aspek kognisi (pikiran), afeksi

(perasaan), konasi (psikomotorik), dan perilaku menjadi tidak normal, kacau dan

cenderung seenaknya sendiri. Kondisi seperti itulah yang sedang berlangsung

dalam Pemilu kali ini. Contoh perilaku mabuk dalam Pemilu 2004 ini antara lain:

Ketua PKPB menyatakan “Kalau merasa orang Jogja dan bangga dengan Jogjanya,

6 Herry Tjahjono, “Pemilu Mabuk”, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal. 5.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 11

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

marilah jadi antek Soeharto”7 Lalu Megawati, Hamzah Haz, Yusril Ihza, Yusuf Kalla

melanggar ketentuan cuti dan banyak menggunakan fasilitas negara.

Atau betapa tidak malunya (mabuk) dua Presiden terakhir yang telah

dianggap gagal, tidak merealisasikan program dalam kampanye 1999, tidak mampu

memperbaiki kondisi ekonomi dan politik bangsa, terlibat KKN, ketika kampanye

dalam Pemilu 2004 mengatakan “Peduli suara rakyat, ingin memperjuangkan rakyat

kecil, memberantas Korupsi” dan sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya merupakan

kedok untuk menutupi nafsu kekuasaan atau “mabuk kekuasaan”.

Sukses Pemilu

Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya

adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang

bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang

menghabiskan Trilyunan rupiah.

Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang sukses adalah menjadi pemilih

yang rasional, yang dalam melakukan pencoblosan mempertimbangkan program

partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai dan pribadi caleg/capresnya,

dan yang paling utama adalah pada track-record pribadi caleg/capres.

Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan

terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan

pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh

berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah,

tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi

idola.

Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat

dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik.

Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada

Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.

Modernisasi dan Kesadaran Politik

Mulai sekarang ke depan, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah perlu

melakukan upaya-upaya modernisasi sistem politik dan lembaga-lembaga politik

7 Antek bisa diartikan keset, ibarat barang buangan, sesuatu yang tak bernilai.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 12

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

yang mengarah pada penciptaan kesadaran politik tanpa paksaan. Hal ini penting

karena partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu terakhir (2004) belum menjadi

ukuran meningkatnya kesadaran politik masyarakat.

Masih banyak yang melakukan praktek money politics dan intimidasi

merupakan bukti bahwa partisipasi politik rakyat bukan dilandasi oleh kesadaran

politik melainkan oleh kepentingan di luar itu. Modernisasi adalah proses bersegi

jamak yang melibatkan perubahan di semua kerangka pemikiran dan aktivitas

manusia. Seperti yang dikatakan Daniel Lenner, “proses yang mengandung

beberapa ukuran tersendiri, yang akan menjelaskan mengapa modernitas

berlangsung secara konsisten dan terpadu dalam masyarakat yang hidup dalam

tertib hukum dan keteraturan.”

Secara psikologis, modernisasi melibatkan pergeseran mendasar dibidang

mental, nilai-nilai dan harapan. Manusia primitif mendambakan adanya kelestarian

alam dan lingkungan sosial serta tidak yakin akan kemampuan manusia untuk

mengubahnya. Manusia modern sebaliknya, menyetujui perubahan dan percaya

akan kapasitas mereka. Mereka adalah “pribadi-pribadi yang mobil” yang telah

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah pesat.

Pergeseran ini, secara tipikal menuntut loyalitas dan perubahan identifikasi

diri dari kelompok-kelompok kecil yang konkrit (keluarga, desa) kepada

pengelompokan yang lebih besar dan kompleks serta impersonal (bangsa).

Bersamaan dengan itu, terjadi pula peningkatan kepercayaan terhadap nilai-nilai

yang lebih universal ketimbang yang partikular serta lebih bersandar pada ukuran

prestasi ketimbang indeks askriptif dalam menilai pribadi.

Dari sudut tinjauan sosial, modernisasi cenderung melengkapi semua

keluarga dan kelompok-kelompok primer lainnya agar memiliki peranan-peranan

khusus serta dibarengi dengan munculnya kesadaran akan pentingnya

mengorganisir asosiasi skunder yang memiliki fungsi khusus yang lebih majemuk.

Mobilisasi sosial, seperti yang terjadi di Jerman pada masa NAZI, adalah

suatu proses dengan mana “komitmen-komitmen utama tradisional mengenai situasi

sosial ekonomi dan psikologi terkikis atau hancur dan masyarakat berkesempatan

mengembangkan pola baru sosialisasi dan tingkah laku.8 Semuanya itu

mengandung arti adanya perubahan sikap, nilai, serta tampilnya harapan baru

8 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, American Political Science Review, 55, September 1961, halaman 494.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 13

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

anggota masyarakat yang terikat dengan dunia masa silam menuju ukuran hidup

baru di dunia modern.

Efek modernisasi atas kehidupan politik adalah adanya modernisasi politik.

Modernisasi politik secara alamiah dimaksudkan untuk mengubah masyarakat

terbelakang menjadi maju. Modernisasi politik dapat dikristalkan kedalam 3 kategori

utama:

Sumber: Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a Freedom,

Westview Press Bolder, Colorado.

Pemilu 2004 Sukses atau Gagal

Banyak yang beranggapan bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilihan

Umum dapat diukur dari besarnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Sebagai

ilustrasi, Baskara T. Wardaya9 mengatakan bahwa Pemilu tahun 1955 dikategorikan

sukses, karena partisipasi rakyat dalam Pemilu cukup tinggi. Hal ini bisa terlihat

dalam pemilihan anggota DPR (29 September) masyarakat yang menyalurkan

suaranya ke TPS-TPS sebesar 91,4 persen dan dalam pemilihan anggota

Konstituante (15 Desember) sebesar 89,33 persen.

Pada Pemilu tahun 1955, partisipasi masyarakat sangat besar, padahal

sarana saat itu masih sederhana. Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik mampu

mensosialisasikan pentingnya Pemilu, aturan-aturan dalam Pemilu dan hakekat

9 Baskara T. Wardaya, “Pemilu, antara Gebyar dan Substansi, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal 4.

Pembangunan politik melibatkan diferensiasi fungsi

politik yang baru dan pengembangan struktur

khusus sebagai pelaksanaan seluruh fungsi tersebut;

Pembangunan politik ditandai oleh meningkatnya peran serta politik yang meliputi seluruh lapisan masyarakat.

Mendalamnya partisipasi dibidang politik

dapat meningkatkan kadar kontrol penguasa atas masyarakat.

Modersisasi politik melibatkan adanya rasionalisasi

kekuasaan, pergantian sejumlah besar pejabat-

pejabat politik tradisional, etnis, keagamaan,

kekeluargaan oleh kekuasaan nasional yang bersifat sekuler;

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 14

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

serta pentingnya Pemilu bagi masyarakat dan negara. Sehingga rakyat mencoblos

dipenuhi rasa lega, bangga dan puas.

Penyelenggara Pemilu mensosialisasikan penyelenggaran Pemilu dengan

efektif, yaitu dengan cara memberdayakan semua agen-agen sosialisasi politik

seperti: Keluarga, kelompok kerja, kelompok sebaya, kelompok keagamaan,

kelompok senggang dan media massa untuk memperkenalkan sistem Pemilu

kepada masyarakat.

Sedangkan partai politik juga mensosialisasikan selain kepentingan partai,

pentingnya Pemilu, juga para pemimpin parpol saat itu memiliki komitmen

kebangsaan yang tinggi dan kampanye tidak menekankan penampilan penuh

gebyar yang sifatnya hiburan sesaat, tapi kepada program demi rakyat. Para

pemimpin politik berlomba turun ke masyarakat, mereka berusaha menunjukan

partainya memiliki kepedulian kepada masyarakat, seperti pembangunan jembatan,

mendirikan sekolah dan memberantas buta huruf.

Namun sebenarnya Pemilu tahun 1955 dan Pemilu tahun 2004 ini sulit

diperbandingkan, sebab masa telah berbeda dan pola kehidupan masyarakatpun

sudah berbeda. Pemilu 2004 dibagi dalam tiga tahapan Pemilu secara berurutan.

Tahap Pertama adalah pemilihan anggota Legislatif yang telah diselenggarakan

pada tanggal 5 April 2004, Tahap Kedua adalah Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden yang diselenggarakan pada bulan Juli 2004, dengan ketentuan yang

berhak mencalonkan paket Capres/Cawapres adalah partai yang memenangkan

suara minimal 3 persen dalam Pemilu tahap pertama atau Capres didukung oleh

partai-partai minimal 3 persen (dapat diakumulasikan dari partai-partai kecil yang

mendapatkan suara dibawah 3 persen).

Apabila dalam Pemilu tahap pertama ini tidak terpilih Capres/Cawapres yang

didukung oleh rakyat 50 persen + 1, maka Pemilu dilanjutkan pada Tahap Ketiga.

Kendala yang dihadapi dalam Pemilu sekarang ini memang lebih banyak

dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 1955 dan 1999, diantaranya:

1. Penetapan Peserta Pemilu dan pengundian nomor peserta Pemilu terlalu

mepet dengan pelaksanaan kampanye dan pencoblosan, (padahal penetapan

anggota KPU sudah ditetapkan tak kurang dari 2 tahun yang lalu);

2. Pembuatan Kotak Suara dan Bilik Suara tidak mempertimbangkan waktu

pembuatan, sehingga kotak suara hampir tidak selesai dalam waktu yang

telah ditentukan (selayaknya dibuat 1-2 tahun yang lalu);

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 15

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

3. Kertas suara baik DPR, DPRD maupun DPD hampir terlambat dan masih

banyak kesalahan cetak, hal ini disebabkan oleh yang pertama;

4. Kurangnya sosialisasi Pemilu baik yang dilakukan oleh Pemerintah (KPU)

ataupun oleh Partai Politik, tentang aturan-aturan dalam Pemilu;

5. Tidak akuratnya data Pemilih yang dilakukan oleh BPS, banyak kartu suara

tak bertuan atau pemilih yang tak terdata (hal ini memberi peluang untuk

berbuat curang, seperti yang terjadi di Jawa Timur);

6. Masih adanya money politics dan serangan fajar yang dilakukan oleh partai-

partai besar beberapa saat menjelang pencoblosan;

7. Anggota KPU dan Panwaslu yang tidak responsif terhadap permasalahan,

sehingga banyak dugaan miring yang dialamatkan kepada mereka.

Sukses Pemilu

Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya

adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang

bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang

menghabiskan Trilyunan rupiah ini. Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang

sukses adalah menjadi pemilih yang rasional,yang dalam melakukan pencoblosan

mempertimbangkan program partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai

dan pribadi caleg/capresnya, dan yang paling utama adalah pada track-record

pribadi caleg/capres.

Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan

terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan

pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh

berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah,

tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi

idola.

Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat

dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik.

Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada

Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.

Dalam Pemilu tahun 2004 ini ada keyakinan bahwa masyarakat pemilih lebih

dari 40 persen belum tahu cara pencoblosan yang baik/sah. Padahal Pemilu 2004

memiliki makna amat strategis bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada satu sisi,

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 16

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Pemilu diharapkan lebih baik daripada Pemilu sebelumnya, dengan memperbaiki

sistem dan aturan pelaksanaan. Baik dalam sistem, aturan pelaksanaan, maupun

aturan permainan merupakan perubahan atau penyempurnaan untuk menjawab

berbagai kekurangan dan kelemahan sebelumnya.

Dengan sistem Pemilu yang baru diharapkan bisa lebih produktif. Hasil

Pemilu 2004 diharapkan dapat menjadi pintu masuk dalam mewujudkan Indonesia

baru yang demokratis. Pemilu merupakan ajang kompetisi politik dalam upaya

memperebutkan suara rakyat guna meraih kekuasaan politik. Meski demikian, dalam

Pemilu dan kampanye politik, persaingan politik harus tetap dalam koridor yang

santun dan terhormat, tidak curang apalagi saling mempecundangi lawan tanpa

etika.10

Kehadiran demokrasi mensyaratkan adanya dimensi kompetisi, partisipasi

politik yang luas, adanya tingkat kebebasan sipil secara substansial, dan adanya

jaminan atas pluralisme yang memungkinkan masyarakat menyatakan preferensi

politiknya secara terbuka.

Menurut Joseph Schumpeter, demokrasi merupakan suatu sistem untuk

mencapai keputusan politik, yakni perseorangan mendapat kekuasaan menentukan

melalui perjuangan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat.11

Dengan demikian, Pemilu dapat dikatakan sukses apabila tingkat partisipasi

politik masyarakat tinggi dan keterlibatan mereka (partisipasi) dilakukan dengan

pertimbangan yang rasional/pemilih rasional. Dalam pelaksanaannya setiap partai

politik melakukan persaingan dengan fair, sopan dan tidak anarkhis. Kondisi ini bisa

dicapai dengan terlebih dahulu perlu adanya sosialisasi yang kontinyu baik oleh KPU

maupun oleh Partai Politik, baik mekanisme Pemilu, tahapan Pemilu maupun aturan

pelaksanaan pencoblosan yang benar.

Kalau melihat iklan di televisi, setiap Partai hanya mengajak masyarakat

untuk mencoblos gambar partai, tak ada yang mengajak untuk mencoblos nama-

nama caleg dari partainya yang berderet dibawah gambar partainya. Hal ini

merupakan pembodohan masyarakat, karena mengajak masyarakat untuk memilih

partai (proporsional) tidak memilih orang-orang yang kapabel di partainya (distrik).

Dikatakan pembodohan karena dengan memilih partai saja, maka suara akan

dilimpahkan kepada caleg nomor 1 dan berurutan kebawah, tanpa terlalu siapa dia

10 Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23 Maret 2004, hal 4. 11ibid

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 17

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

dan bagaimana perilakunya, dan sebagian besar nomor 1-2 adalah droping dari

pusat. Seperti Taufik Kiemas (1) dan Marisa Haque (2) untuk daerah Pemilihan

Jabar II (Kabupaten Bandung). Sedangkan kalau dijelaskan atau mendorong untuk

menyebut nama caleg, bisa saja caleg nomor urut yang besar, namun dekat dan

dikenal oleh masyarakat di DP-nya akan terpilih.

Elaborasi Pasangan Capres-Cawapres Pemilu 2004

Sistem Pemilihan yang diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 ini adalah

sistem varian proporsional. Sistem varian proporsional adalah memadukan antara

sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga ada perbedaan yang signifikan

dengan apa yang terjadi di AS yang menerapkan sistem distrik murni dan Pemilu-

pemilu sebelumnya di Indonesia yang menerapkan sistem proporsional. Perbedaan

itu tampak jelas dalam pemilihan anggota legislatif, sedangkan dalam pemilihan

anggota DPD dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden memakai sistem distrik.

Yang menarik sekarang adalah tentang mekanisme dan tahapan dalam

pemilihan Presiden-Wapres. Ada perbedaan antara di AS dan Indonesia yang

menerapkan sistem yang sama. Di AS Pemilihan Presiden dilakukan duluan

dibanding pemilihan legislatif. Hal ini membuat masyarakat mampu

mengkomposisikan anggota legislatif dari partai non-pemerintah daripada anggota

legislatif dari partai pemerintah dalam upaya check and balances terhadap eksekutif

yang telah terpilih sebelumnya. Komposisi antara partai pendukung pemerintah dan

partai oposan di legislatif biasanya lebih besar dari partai oposan.

Namun di Indonesia, pemilihan Presiden-Wapres dilakukan setelah

dilakukannya pemilihan legislatif, sehingga peran masyarakat untuk menciptakan

check and balances dirasakan tidak signifikan. Sebab koalisi yang dibangun pada

akhirnya dilakukan pasca pemilihan anggota legislatif dengan mempertimbangkan

jumlah kursi dan perolehan suara dari pemilihan anggota legislatif.

Rakyat tidak dihadapkan untuk menciptakan sistem check and balances,

sebab sistem dan pemilihan mana partai pemerintah dan mana partai diluar

pemerintah (oposan) sangat ditentukan oleh kompromi elite politik, bahkan mungkin

tidak akan ada sistem check and balances sebab budaya oposan belum

berkembang di Indonesia. Semua partai politik senantiasa menginginkan ikut bagi-

bagi kueh kekuasaan daripada harus menjadi oposan, sebab dengan ikut dalam

sumbu kekuasaan mereka berharap akan meraup uang untuk modal Pemilu

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 18

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

berikutnya. Mekanisme seperti inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya KKN

dalam rezim-rezim yang ada di Indonesia.

Mudah-mudahan dalam Pemilu 2004 ini nantinya, budaya oposan akan

tumbuh dalam sistem politik di Indonesia. Sebab salah satu fungsi oposan adalah

untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, agar pemerintah sadar akan

kelemahannya dan hal apa saja yang harus diperbaiki. “Oposan diibaratkan seperti

setan yang terus mengganggu manusia agar manusia tidak berbuat salah”.

Lahirnya partai oposisi memungkinkan lahir ketika pemilihan Presiden sudah

mulai mengerucut pada dua pasang kandidat Presiden pada pemilihan Presiden

tahap kedua, sebab penulis yakin dari komposisi Capres-Wapres dalam tahap

pertama tidak akan menghasilkan Capres dan Wapres yang didukung oleh 50

persen + 1 dari rakyat Indonesia. Dengan demikian Pemilu akan dilanjutkan pada

tahap berikutnya, dan disinilah nanti yang menang jadi pemerintah dan yang kalah

jadi oposan.

Menimbang Pasangan Capres-Wapres

Kalau melihat polling-poliing yang dilakukan baik oleh Televisi maupun oleh

penyelenggara penelitian, tampak bahwa ada beberapa nama yang diharapkan oleh

masyarakat untuk menjadi Presiden di Republik ini (sayang tidak ada orang Sunda).

Mereka diantaranya Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Megawati

Soekarnoputri, Gus Dur, Nurkholis Madjid, Wiranto dan sebagainya.

Diantara nama-nama diatas yang menduduki urutan pertama adalah Susilo

Bambang Yudhoyono yang biasa dikenal dengan SBY. Namun persoalannya

seandainya Partai Demokrat mengajukan SBY sebagai Calon Presiden, siapa yang

kiranya dapat mendampingi beliau sebagai Wakil Presiden yang dapat

mengusungnya menduduki puncak kekuasaan di Republik ini. Diantara nama-nama

yang tersedia yang bisa dijadikan wakil Presiden adalah: Pertama, Yusuf Kalla.

Peluang Yusuf Kala untuk mendampingi SBY sangat besar apalagi setelah keluar

dari konvensi Partai Golkar.

Duet SBY-Yusuf Kala, selain perkawanan yang kental (orang pertama yang

mengunjungi kantor SBY setelah SBY mengundurkan diri dari Menkopolkam adalah

Yusuf Kala), juga bisa menyeimbangkan kekuatan Sipil-militer, Jawa-Luar Jawa dan

Kota-Desa. SBY banyak mendapat simpati dan dukungan di kota-kota besar di

Indonesia secara merata, sedangkan Yusuf Kala mendapat dukungan dari

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 19

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Komposisi ini dirasakan akan

menjadi magnet bagi kesuksesan mereka menjadi penguasa di negeri ini.

Kedua, Hidayat Nur Wahid. Peluang Hidayat Nur Wahid untuk mendampingi

SBY juga cukup besar. Namun dua nama yang sedang naik daun ini tidak akan

terlalu banyak mendapatkan suara, sebab nantinya akan berhadapan dengan calon

lain yang diusung oleh partai-partai besar.

Ketiga, Hasyim Muzadi. Peluang Hasyim Muzadi untuk menjadi Wapres SBY

sama dengan peluang yang dimiliki oleh Hidayat Nur Wahid. Cuma akan lebih kecil

apabila PKB tetap menginginkan Gus Dur sebagai Presiden, peluang menjadi besar

apabila PKB (NU), Muhamadiyah, PKS, PBB, PPP merestui pasangan ini, lawan

berat bagi mereka adalah mungkin Megawati Soekarnoputri-Yusuf Kala.

Calon kedua adalah Amien Rais, yang meskipun perolehan suara PAN dalam

pemilihan anggota legislatif ada penurunan bahkan dalam urutan dibawah Partai

Demokrat dan PKS tetap ngotot untuk mencalonkan diri. Sebab dalam pikiran pak

Amien dan kawan-kawannya di Amien Rais Center, perolehan suara PAN tidak

identik dengan suara dukungan terhadap Amien Rais.

Dalam memilih pasangan Amien Rais menginginkan di luar Partai Islam

(Nasionalis), sehingga peluang Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi sangat tipis.

Yang paling besar peluangnya adalah Agum Gumelar. Meskipun secara prospektif

akan lebih besar peluangnya bersama Yusuf Kala, namun peluang mendapatkan

Yusuf Kala kecil karena SBY lebih besar peluangnya seperti dinyatakan diatas.

Duet Amin Rais-Agum Gumelar, pilihan yang realistis bagi Amien Rais, sebab

bagaimanapun juga Agum Gumelar saat ini merupakan representasi orang Sunda.

Jika duet ini terwujud minimal masyarakat Jawa Barat dan Banten akan memberi

dukungan, disamping keluarga TNI bisa terpecah ke Agum, SBY dan Wiranto. Duet

lainnya adalah Amien Rais-Eros Djarot, Amien Rais-Siswono, Amien Rais-Sri Sultan

Hamengkubuono atau Amien Rais-Rahmawati Soekarnoputri.

Calon Ketiga adalah Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat ini.

Orang yang berpotensi untuk mendampingi Megawati, yang potensial adalah:

pertama, Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi dianggap merepresentasikan kaum

Nahdiyin yang merupakan organisasi keislaman terbesar, sedangkan PDI-P dan

Megawati merepresentasikan kekuatan nasionalis. Dukungan dari masyarakat akan

luas, asal Gus Dur rela juniornya (Hasyim Muzadi) bergandengan dengan sosok

yang dianggap oleh Gus Dur telah menohoknya dalam SI MPR 2001. Kalau Gus Dur

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 20

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

dan para Kyayi rela, maka dukungan akan besar, namun sebaliknya kalau tidak ada

dukungan kekuatan Nahdiyin akan terpecah.

Kedua, Syafii Ma’arif, peluangnya sama dengan Hasyim Muzadi, sebab Syafii

Ma’arif juga mendapat dukungan dari Muhamadiyah. Namun kesulitannya,

Muhamadiyah telah menyatakan sikap untuk mendukung Amien Rais sebagai

Presiden. Ketiga adalah Hamzah Haz, Duet Mega-Hamzah juga memiliki kans yang

sangat besar, bahkan jauh lebih besar dibanding dengan duet Mega-Hasyim Muzadi

dan Mega-Syafii Ma’arif. Duet lain yang disebut-sebut adalah Megawati-Malik

Fadjar, namun peluangnya kecil.

Calon Presiden lainnya adalah Wiranto, kemenangan dalam konvensi Partai

Golkar sedikit mempermulus jalan. Untuk memilih Wakil Presiden, Wiranto tidak

terlalu memiliki banyak pilihan, karena kandidat lain telah lebih jauh melakukan

negoisasi yang telah mengarah pada koalisi.

Diantara orang yang tersedia, adalah: pertama Hasyim Muzadi, peluangnya

sangat besar, dengan catatan Gus Dur memberikan restu kepada Hasyim untuk

menjadi Wapres, yang lain adalah Ginandjar Kartasasmita, kalau melihat hasil

pemilu untuk anggota DPD, suara yang diberikan rakyat Jawa Barat kepada

Ginandjar cukup besar dan menduduki rangking 1 di daerah pemilihan Jawa Barat,

minimal duet Wiranto-Ginandjar bisa bersaing di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI

Jogjakarta dan Jawa Barat serta beberapa daerah di luar Jawa. Atau Wiranto bisa

juga menggandeng Sri Sultan Hamengkubuwono, peluangnya sama besar dengan

duet Wiranto-Ginandjar, duet lainnya Wiranto-Siswono Yudho Husodo, namun

peluangnya kecil karena Siswono juga dicalonkan oleh partai-partai kecil untuk jadi

Presiden.

Berikutnya adalah Gus Dur (dengan catatan lolos tes kesehatan yang

dilakukan oleh KPU bersama IDI), siapa yang mendampingi Gus Dur ini sangat

menarik. Namun kalau kita menyaksikan dialog di salah satu TV Swasta pada

tanggal 15 April 2004, pukul 23.00 Wib, ada satu nama yang terselip dari

pembicaraan Gus Dur, yaitu Prabowo Subianto, disamping nama Surya Palloh dan

Aburizal Bakrie. Jadi besar kemungkinan Gus Dur akan didampingi oleh salah satu

dari ketiga nama tersebut.

Meskipun banyak yang lainnya, namun gerbong yang akan mengusungnya

tidak terlalu signifikan umpamanya Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra dan Hamzah

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 21

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Haz. Jadi dalam pembahasan ini sulit untuk memprediksi kearah mana koalisi yang

akan dibangun oleh mereka.

Pada tahap pertama akan banyak pasangan Capres dan Cawapres, namun

pada akhirnya pada tahap kedua akan muncul dua sampai tiga pasangan yang

memenuhi ketentuan minimal didukung oleh 20 persen suara pemilih. Dalam hemat

penulis akan muncul pasangan SBY-Yusuf Kala, Megawati-Hashim Muzadi atau

Wiranto-Hasyim Muzadi, serta mungkin Amien Rais-Agum Gumelar.

Terlepas dari itu semua, diharapkan dalam Pemilu 2004 ini terselenggara

secara lebih baik dibandingkan dengan pemilu legislatif yang banyak dikritik terdapat

bermacam-macam kekurangan dan kecurangan, sehingga pada akhirnya nanti akan

lahir pemimpin yang capable, yang mampu membawa bangsa Indonesia kearah

yang lebih baik, lebih beradab dan lebih terhormat dimata Internasional. Disamping

itu, pemilu ini juga diharapkan jauh dari tindakan anarkhis. Dan para Capres-

Cawapres lebih mempersiapkan diri lagi untuk menjadi pemenang dan untuk kalah.

Ketika menang langkah apa yang harus dilakukan dan ketika kalah langkah yang

harus dilakukan, dengan tidak mengganggu tatanan negara yang sama-sama

sedang kita perjuangkan untuk lebih demokratis dan manusiawi.

PEMILU 2009

Pemilihan umum dalam sebuah rezim demokratis adalah sarana untuk

melakukan rulling class baik dalam tataran eksekutif maupun legislative. Pemilu

juga merupakan sarana mengevaluasi kinerja pemerintahan, sebab kalau

pemerintahan disukai oleh rakyat maka dia akan terpilih lagi dalam pemilu

selanjutnya, begitu pula sebaliknya apabila pemerintahan tidak mampu

memuaskan keinginan rakyat, maka pemilu merupakan ajang yang tepat untuk

mengganti pemerintahan.

Sudah menjadi suatu kelaziman bahwa dua-satu tahun menjelang pemilihan

umum, situasi politik nasional akan diramaikan oleh persiapan partai-partai politik

dan juga elite-elite politik dalam memperjuangkan kepentingannya dalam aktivitas

politik regular lima tahunan.

Persiapan tidak hanya melakukan konsolidasi dalam tubuh partai, melainkan

juga mempersiapkan isyu politik yang akan diusung dalam pemilu, sehingga

menjadi sebuah kewajaran, partai dan elite politik kerap melakukan politisasi

terhadap masalah-masalah public. Disamping itu, elite partai juga mulai getol

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 22

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

mencari sumber-sumber keuangan untuk melancarkan program pemenangan

dalam pemilu. Sebagai sebuah contoh adalah aliran dana Departemen Kelautan

yang melibatkan hampir semua elite politik Indonesia pada pemilu 2004. Aliran

dana tersebut masuk kedalam kas partai dan juga tim sukses calon presiden yang

melibatkan Tim sukses SBY, Amien Rais, Mega Centre, PKS dan pribadi-pribadi

elite lainnya.

Terungkapnya aliran dana Departemen Kelautan, diyakini hanya merupakan

gelembung kecil dari realitas yang ada, tidak tertutup kemungkinan departemen-

departemen lain dan juga sumber-sumber keuangan lainnya melakukan langkah

serupa. Hal ini menarik disaat Indonesia sedang mencoba bangkit dari

keterpurukan dan mengharapkan elite-elite diatas menjadi lokomotor perubahan,

malah mempertontonkan perilaku yang berseberangan dengan semangat clean

government.

Kita memang menyadari bahwa perjuangan membutuhkan biaya, perubahan

yang ingin ditegakkan butuh sarana penunjang, namun tepatkah langkah-langkah

yang dilakukan tersebut ? Masyarakat berharap, menjelang pemilu tahun 2009,

perilaku elite yang seperti itu tidak lagi melakukan langkah-langkah yang

kontradiktif dengan keinginan rakyat tersebut. Oleh sebab itu, bagi elite nasional

yang memiliki keinginan untuk menjadi kompetiter dalam pemilu 2009, mampu

menggandeng sumber-sumber dana dari luar pemerintahan. Hal yang dilakukan di

AS adalah dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat dan dunia usaha

yang menjadi simpatisan elite tersebut. Hillary Clinton, Obama dan lain-lain telah

memiliki anggaran yang cukup besar yang didapatkan dari simpatisan, bisakah

dilakukan oleh elite politik Indonesia ?

Profesionalisme partai politik menjadi sebuah keharusan dalam upaya

meminimalisir kemungkinan penyelewengan uang negara. Partai tidak lagi mencari

penghidupan dari negara, melainkan menjadi sebuah kancah candradimuka dalam

melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap negara dan

masyarakatnya. Fungsi partai sebagai agen sosialisasi politik selayaknya menjadi

kerangka acuan. Sehingga dari partai politik tersebut lahir negarawan-negarawan

yang mampu menyelami hati nurani rakyat.

Selama ini yang dirasakan oleh masyarakat, partai politik adalah comprador

yang terorganisir dalam mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 23

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

golongannya. Hal ini diperkuat dengan terbukanya aliran dana dari departemen

kelautan untuk beberapa pribadi dan partai politik.

Selain masalah dana tersebut, daya tarik yang dapat dijadikan perkuatan

partai politik menjelang pemilu 2009 adalah regenerasi dalam tubuh partai, sebab

selama ini, perilaku elite politik yang ada telah mempertontonkan perilaku yang

jauh dari harapan rakyat. Elite politik yang selama ini berkecimpung dalam aktivitas

politik nasional diyakini telah melewati masa keemasannya, sehingga dibutuhkan

rising star yang masih cukup energik dalam mengemban amanat rakyat.

Generasi baru dalam partai politik Indonesia memang telah lahir. Sirkulasi

elite dalam tubuh parpol yang dilaksanakan melalui musyawarah nasional,

kongres, atau muktamar sepanjang tahun 2004 dan 2005 telah menghasilkan

generasi baru dalam politik Indonesia. Meskipun tidak semua partai melahirkan

pemimpin dari generasi muda, namun tersembul harapan dengan pergantian elite

akan membawa perubahan cakrawala berpikir dari para politisi dalam menatap

masa depan bangsa yang lebih baik.

Kehadiran Muhaimin Iskandar (PKB), Soetrisno Bachir (PAN), Tifatul

Sembiring (PKS) mewakili lahirnya generasi baru dari kelompok muda, dalam

kancah politik Indonesia. Disisi lain, meskipun Partai Golkar, Partai Demokrat dan

PDI-P masih dipimpin oleh “macan-macan” lama, namun dari rahim partai-partai

tersebut, telah lahir elite partai yang “belum” terkontaminasi nafas orde baru seperti

Andi Alvian, Anas Urbaningrum (PD), Budiman Soejatmiko (PDI-P) dan Yudi

Chrisnandi (PG).

Besar harapan, dari kelompok muda ini, lahir pemikiran-pemikiran yang

progresif dan ikut mewarnai partai dalam upaya memperjuangkan nasib rakyat.

Nasib rakyat seyogyanya bukan hanya sebatas komoditas politik menjelang

pemilu, lalu setelah kekuasaan didapat menjadi raib seiring berjalannya waktu.

Nasib rakyat Indonesia yang hampir 60 persen berkategori miskin (berpendapatan

dibawah 200 dollar AS) adalah tanggungjawab semua elite untuk diperjuangkan

mendekati kelayakan.

Seandainya kelompok muda ini kokoh dengan pendirian dan konsisten

dalam memperjuangkan nasib rakyat, maka partai-partai tersebut akan menjadi

daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menyalurkan suaranya lewat partai-

partai tersebut, sehingga menyebabkan kompetisi semakin sengit terutama dalam

memperebutkan kursi DPR dalam pemilu legislative 2009.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 24

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di masyarakat timbul kerinduan

kepada model pengelolaan negara yang berlangsung selama masa pemerintahan

orde baru, dengan beberapa perbaikan, seperti rule of law yang jelas, skala

prioritas pembangunan, tahapan-tahapan pembangunan yang jelas dan adanya

optimalisasi peran negara dalam memperjuangkan nasib rakyat.

Dengan demikian, skala prioritas partai-partai politik menjelang pemilu tahun

2009 adalah bagaimana menginventaris suara rakyat, lalu mewujudkannya dalam

tataran program kerja partai, sehingga apa yang dijual sesuai dengan selera

rakyat. Diharapkan dengan kehadiran generasi muda yang masih energik dalam

tubuh partai-partai politik yang, partai dapat menangkap hal-hal tersebut. Dan

diyakini, hal ini akan menyebabkan persaingan yang fair dalam meraih simpati

masyarakat.

Faktor lain yang menyebabkan persaingan sengit adalah terjadinya

perpecahan didalam tubuh partai-partai besar seperti PDI-Perjuangan, Partai

Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan juga Partai Golongan Karya. Hal ini

membuat kesempatan antar partai untuk memperoleh suara yang banyak, akan

semakin kompetitif.

Partai-partai baru, baik pecahan dari partai besar maupun partai yang sama

sekali baru, memiliki peluang untuk menangkap peluang dari kekecewaan

sebagian masyarakat atas kinerja partai besar yang mengalami perpecahan.

Dengan demikian kualitas pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2009

nanti akan lebih baik, baik dalam tataran konsep, etika dan juga perilaku.

Diharapkan dengan kondisi seperti itu, masyarakat akan menjadi pemilih rasional.

Perubahan perilaku pemilih dari tradisional ke rasional akan membawa

konsekuensi kepada kesiapan partai-partai politik, terutama tema-tema kampanye

yang lebih memiliki kualitas konsep dan pemikiran yang menjadi daya tarik

masyarakat. Banyak kalangan yang memiliki keyakinan apabila pemilih sudah

berperilaku rasional akan melahirkan pemimpin yang teruji dan memiliki visi

kedepan.

Terdapat pola hubungan korelasional antara perubahan pola pikir pemilih

dengan lahirnya kebaruan dalam tubuh elite nasional, sebab bagaimanapun juga

perilaku yang rasional yang akan dengan sendirinya menyeleksi calon elite yang

akan mengemban tugas kenegaraan berikutnya.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 25

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Realitas ini akan menyebabkan peta persaingan dalam pemilu 2009, diyakini

akan lebih kompetitif dan akan melahirkan elite yang lebih capable dibandingkan

dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Golput Dalam Pemilu 2009

Menjelang pelaksanaan Pemilu ke-10 yang dilaksanakan pada bulan April

2009, suhu politik semakin memanas. Berbagai upaya dilakukan agar pelaksanaan

Pemilu bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan harapan. Tujuan dari Pemilu

yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan kata lain terjadi

perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang terutama di

legislatif. Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah,

beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan

negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan

dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional

yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur.

Pemilu tahun 2009 ini, memiliki keunikan tersendiri, dimana kita memadukan

dua sistem pemilu sekaligus, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga

natinya dalam pencoblosan anggota legislatif, masyarakat pemilih dihadapkan pada

pilihan gambar dan nama calon anggota legislatif. Disamping itu, Pemilu nantinya

dibagi dua tahap, tahap kedua ini adalah dalam rangka memilih Presiden dan Wakil

Presiden (eksekutif).

Namun realitas di masyarakat, ada banyak anggapan bahwa dalam Pemilu

2009 ini, peluang golput cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya kekecewaan

dari masyarakat terhadap perilaku elite yang tidak mampu memegang amanah yang

telah diberikan oleh rakyat. Contoh paling kongkrit adalah, ada satu partai yang pada

Pemilu 1999 sangat kental dan bahkan mengidentikan dirinya sebagai partainya

wong cilik, namun kenyataannya, pasca Pemilu atau setelah mereka berkuasa

malah memelihara wong licik.

Namun yang jelas bahwa alasan mereka tidak berpartisipasi, atau dengan

kata lain memilih golput tidak dapat digeneralisir. Paling tidak ada beberapa

kelompok yang berpeluang menjadi golput. Pertama, anggota dan simpatisan partai

politik yang tidak lolos verifikasi; Kedua, mereka yang kecewa dengan kinerja

pemerintahan sebelumnya dan bahkan memiliki pengalaman yang pahit dengan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 26

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

penguasa; Ketiga, pribadi atau kelompok yang terbuang dari partai; Keempat,

mereka yang menganggap partai politik yang ada tidak memiliki platform yang baik,

dan menganggap kemampuan calegnyapun tidak capable; Kelima, masyarakat

urban yang tidak memiliki identitas diri yang jelas.

Optimalisasi Komunikasi Politik

Konsep komunikasi politik dalam ilmu politik telah mengalami perkembangan

dalam pengertiannya. Gabriel Almond pernah mengkategorikannya sebagai satu

dari 4 fungsi input sistem politik. Kemudian mereka yang memakai pendekatan

komunikasi politik terhadap sistem politik telah menjadikan komunikasi politik

sebagai penyebab bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik.

Ia diibaratkan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan darahnya, tapi apa

yang terkandung di dalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup.

Komunikasi politik, sebagaimana layaknya darah, mengalirkan pesan-penan politik

berupa tuntutan, protes, dukungan 9aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat)

pemprosesan sistem politik, dan hasil pemprosesan itu, yang tersimpul dalam

fungsi-fungsi out-put, dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya

menjadi feedback sistem politik. Komunikasi Politik -transmisi informasi yang

relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain,

dan antara sistem sosial dan sistem politik- merupakan unsur dinamis dari suatu

sistem politik, dan proses sosialisasi, partisipasi dan pengrekrutan politik tergantung

pada komunikasi.

Model Komunikasi Yang Sederhana

Unsur suatu sistem komunikasi di perlihatkan diatas, yang terdiri dari: Sumber

(pesan atau informasi), pesan, penerima informasi (audiens) dan suatu proses yang

di kenal sebagai umpan balik. Sebagai contoh (penjelasan), bisa kita lihat :

Sumber Audiens/

pendengar

Pesan

Umpan Balik

Saluran

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 27

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Bagi seorang pemegang jabatan politik, umpamanya, sumber informasinya meliputi:

Peranan media massa dalam komunikasi politik menggambarkan cara-cara

tertentu dalam mana seluruh proses politik terintegrasi dengan jaringan komunikasi

sosial yang lebih luas, dan pada umumnya media massa itu sendiri mutlak bersifat

politis ataupun padat dengan masalah-masalah politik. Setiap sistem politik

mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri, dan mengakui pentingnya

sumber-sumber khusus, sedang saluran-saluran dan para pendengar akan berbeda

menurut hal-hal yang kita sebutkan tadi.

Sumber yang tipikal mungkin adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik;

Pesannya akan merupakan serangkaian usul politik;

Salurannya berupa siaran TV;

Pendengarnya adalah anggota kelompok pemilih yang kebetulan memperhatikan siaran;

Umpan baliknya adalah persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap usul-usulnya.Umpan baliknya adalah persetujuan atau

ketidaksetujuan terhadap usul-usulnya.

Rekannya di Kantor;Para pemegang jabatan

administratif;Berbagai sekutu politik;

Pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan;

Media Massa;

Kontak periodik dengan anggota masyarakat,

melalui : Kampanye pemilu, pidato umum, kunjungan

kerja ke daerah).

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 28

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Kelompok kepentingan dan partai-partai politik, meskipun berbeda dari sistem

yang satu dengan yang lain sangat vital sekali bagi proses komunikasi, karena

menyajikan saluran yang dapat mengadakan kontak antara para pejabat politik dan

pejabat-pejabat administratif, serta rakyat pada umumnya.

Dalam upaya mensukseskan pemilupun demikian. Peran partai politik

terutama, bisa dijadikan alat untuk mengkomunikasikan program-program partai

kepada masyarakata pendukungnya secara periodik, baik secara antar personal

maupun dengan melalui bentuk media. Alangkah lebih cepat informasi yang di

terima konstituen, apabila seluruh partai punya koran, radio, bahkan televisi sendiri.

Efektivitas Komunikasi Politik saat ini banyak ditentukan oleh kemampuan para agen

komunikasi bermesraan dengan teknologi.

Alat komunikasi yang lebih modern akan mempercepat proses pembentukan

karakter dan keyakinan para kader partai terhadap partainya. Sebab bagaimanapun

juga kita akan sependapat dengan Lanedan Sears yang menyatakan bahwa: Suatu

sistem politik di bentuk dan di tuntut oleh dua hal, yaitu oleh apa yang diyakini para

anggotanya, dan oleh caranya mempelajari serta mengubah keyakinan-keyakinan

mereka itu.

Rekrutmen Politik

Dalam upaya mensukseskan Pemilu 2009 ini, partai-partai politik harus

mempertimbangkan model rekrutment yang dilakukan. Sebab dalam posisi Pemilu

sekarang, kapabilitas pengurus partai, caleg dan anggotanya (termasuk para-militer

partai) akan sangat menetukan diterima atau di tolaknya partai di masyarakat. Maka

dari selain membuat platform yang baik, yang masuk akal, partai-partai politik harus

memiliki model pengrekrutan pengurus dan anggota yang nantinya akan melahirkan

pemimpin yang qualifaid. Penataan kelembagaan setiap sistem politik merupakan

faktor relevan lain dalam pengrekrutan politik.

Sistem pengrekrutan politik tentu saja memiliki keragaman yang tiada

terbatas, walaupun begitu ada sedikitnya 2 cara yang dianggap paling penting, yaitu:

1. Seleksi pemilihan melalui ujian;

2. Seleksi pemilihan melalui latihan.

Kedua cara ini, tentu saja memiliki banyak keragaman dan banyak

diantaranya mempunyai implikasi penting bagi pengrekrutan politik. Salah satu

metode tertua yang di pergunakan untuk memperkokoh kedudukan pemimpin-

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 29

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

pemimpin politik adalah dengan penyortiran atau penarikan undian, metode ini di

gunakan di Yunani Kuno. Suatu metode yang sama, yang di buat untuk mencegah

dominasi jabatan dari posisi-posisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu

tertentu, adalah dengan giliran atau rotasi. Sistem pilih kasih di AS pada hakekatnya

adalah suatu sistem pengrekrutan bergilir. Sedangkan sejumlah negara lain

mempunyai kesatuan-kesatuan konstitusional, yang di buat untuk menjamin kadar

rotasi personil eksekutif.

Suatu metode pengrekrutan lain yang sudah berjalan lama, yang umum

terdapat pada banyak sistem politik, adalah perebutan kekuasaan dengan jalan

menggunakan atau mengancamkan kekerasan.

Penggulingan dengan kekerasan suatu rezim politik, apakah hal itu

berlangsung dengan coup d’etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan

atau kerusuhan rakyat, kerap kali bisa di jadikan sarana untuk mengefektifkan

perubahan radikal pada personil di tingkat-tingkat lebih tinggi dalam partisipasi

politiknya.

Yang lain adalah cara Patronage (kekeluargaan/kebapakan ?), merupakan

bagian dari suatu sistem penyuapan dan sistem korupsi yang rumit, yang merasuki

banyak bidang kehidupan masyarakat. Sistem ini sebagian merupakan metode yang

cukup mapan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan politik melalui pelbagai

taraf pengontrolan terhadap hasil-hasil dari Pemilu, dan merupakan dukungan dalam

parlemen yang berlangsung diantara beberapa pemilu. Sebagai suatu sistem

pengrekrutan, sistem tersebut tidak selalu dapat menjamin pengrekrutan pemegang-

pemegang jabatan yang cocok, baik secara politik maupun di ukur dari

kemampuannya.

Alat pengrekrutan politik yang lain, disebutkan sebagai mampu memunculkan

pemimpin-pemimpin alamiah. Di masa lampau peristiwa sedemikian ini lebih

merupakan pembenaran kasar terhadap kekuasaan aristokratis; dan hal ini tetap

merupakan suatu faktor kontekstual yang vital dari sebagian besar sistem-sistem

politik.

Suatu metode yang lebih terbatas dimana pemimpin-pemimpin yang ada

dapat membantu pelaksanaan pengrekrutan tipe-tipe pemimpin tertentu adalah

dengan jalan koopsi (co-option) itu meliputi pemilihan seseorang ke dalam suatu

badan oleh anggota-anggota yang ada, dan walaupun hal ini hampir umum terdapat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 30

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

dalam lembaga-lembaga politik seperti dewan-dewan Kotapraja lokal di Inggris dan

Wales.

Sejauh menyangkut negara-negara demokrasi modern, terdapat persetujuan

umum bahwa para pemegang jabatan politik dan administratif tanpa kecuali selalu

tidak mewakili kepentingan golongan rakyat umum. Suatu teori yang serupa namun

terpisah mengemukakan, bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan selalu

merupakan satu minoritas kecil atau satu oligarki, karena semua organisasi tersebut

terdiri atas suatu minoritas yang aktif dan satu mayoritas yang tidak aktif.

Dikemukakan, bahwa minoritas aktif tadi selalu dapat mengakali mayoritas

yang tidak aktif, karena ia mempunyai suatu kelebihan, yaitu terorganisasi dengan

baik. Dan mayoritas penguasa sedemikian itu hanya dapat di gantikan oleh minoritas

lain yang memiliki organisasi yang lebih unggul. Jadi inilah hukum besi oligarki dari

Robert Michels (Political Parties).

Gaetano Mosca (The Rulling Class, 1939) menyatakan bahwa posisi dominan

dari majoritas ini tidak hanya di sebabkan oleh keuntungan organisasinya saja tetapi

kelompok ini juga memiliki keuntungan lain, karena mereka itu terdiri dari individu

yang istimewa.

Baik Mosca maupun Vilgrado Pareto menyebutnya sebagai elite politik, dan

bahwa komposisi klas berkuasa atau elite politik itu dapat berubah pada suatu

periode waktu, yaitu melalui pengrekrutan pembentukan elite tandingan, suatu

proses yang di sebut Pareto sebagai sirkulasi elite.

Kenyataan yang menunjukan bahwa kelompok-kelompok khusus dalam

masyarakat itu di wakili secara tidak sebanding di kalangan para pemegang jabatan

politik dan administratif, sering di hubungkan dengan kekuatan permintaan. Harus

diakui, bahwa pengrekrutan politik adalah juga merupakan masalah pengadaan

seperti di kemukakan oleh model yang di lukiskan dibawah ini:

Penyediaan

agensi

kriteriakontrol

tuntutan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 31

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Daya penyediaan dan permintaan di pengaruhi oleh berbagai badan seperti

agensi pengrekrutan politik, kriteria yang mungkin di gunakan, dan oleh kadar sejauh

mana proses itu dapat di kontrol. Beberapa agensi ini sedikit atau banyak bekerja

“secara formal” (seperti komisi-komisi pengrekrutan administratif), yang lain-lain

seluruhnya bersifat informal (seperti keluarga-keluarga politik atau kelompok-

kelompok kepentingan tertentu).

Partai-partai politik jelas merupakan sarana yang paling penting dalam

kebanyakan sistem politik untuk merekrut sebagian besar pemegang jabatan politik,

walaupun seperti yang kita lihat, cara-cara mereka melakukannya berbeda sekali.

Pentingnya partai-partai tertentu merupakan wahana pengrekrutan para pemegang

jabatan klas pekerja.

Badan-badan agensi pengrekrutan politik biasanya akan menetapkan

beraneka ragam kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap

layak dan harus di kuasai oleh pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini, tentu saja

akan mencerminkan permintaan; tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem

pengadaan, dengan jalan mendorong atau dengan cara menakut-nakuti orang-orang

dengan karakteristik atau keterampilan khusus tadi. Mereka bukan tidak mungkin

para wanita di banyak negara menjadi pusat asa untuk mencari jabatan politik, dan

hal ini dengan sendirinya membatasi pengadaan calon politisi wanita.

Karena adanya banyak partai tentu saja akan menimbulkan politisi yang

berlatar berbeda-beda. Donald Matthews umpamanya menggarisbawahi bahwa para

Senator AS dapat di bagi dalam 4 tipe :

1. Kaum Ningrat,yang datang dari keluarga “politik” dengan status sosial cukup

tinggi, dan terdapat dalam kedua partai (7 %).

2. Kaum Amatir,yang biasanya berasal dari status sosial agak bawahan, namun

sering adalah hartawan, dan menampilkan lebih banyak anggota Republiken

daripada Demokrat (34 %).

3. Kaum Profesional,yang telah menempuh jalan naik melalui aneka ragam

jabatan politik, dan menyediakan lebih banyak anggota demokrat daripada

anggota Republiken (55 %).

4. Kaum Agitator,biasanya mempunyai asal sosial yang rendah, dan

memperoleh jabatan dengan usaha-usaha sendiri (4%).

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 32

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Pada masyarakat totaliter, karena pengrekrutan politik itu bidang yang penting

dan vital, maka ia memperoleh pengawasan yang ketat. Tentu saja, seperti yang

pernah kita lihat, perubahan ekstensif dalam personal biasanya makan waktu,

terutama dalam bidang administratif. Pokok permasalahan pengadaan adalah:

menemukan masalah apa yang mendesak bagi individu untuk mencari atau

menawarkan diri bagi jabatan politik dan jabatan administratif, terutama bagi mereka

yang masuk kategori terdahulu.

Dengan demikian perlu disiasati, kira-kira model pengrekrutan seperti apa

yang selayaknya dilakukan oleh partai-partai politik yang akan menghasilkan

anggota, pengurus dan caleg yang secara moral terjaga. Terjaganya moral anggota,

pengurus dan para caleg partai akan menimbulkan simpati dari masyarakat, kalau ini

bisa dilakukan, peluang untuk memenangkan Pemilu akan semakin besar.

Namun apabila hal-hal tersebut juga berjalan sebaliknya, maka besar

kemungkinan masyarakat akan mengambil langkah golput sebagai bentuk protes

kepada segenap masyarakat politik (political society), sebab tingkah laku mereka

tidak sejalan dengan harapan masyarakat yang menginginkan terwujudnya suatu

negara yang murah sandang, murah pangan, murah papan; gemah ripah loh jinawi

tata tentrem kerta raharja; adil dan makmur.

Perlu kiranya disini pemerintah menyadari bahwa pelaksanaan Pemilu bukan

hanya agenda lima tahunan yang tidak bermakna apa-apa, hanya merupakan

kewajiban temporer yang harus dilakukan. Pemilu pada hakekatnya adalah proses

untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya. Kalau sukses maka mereka

akan mendapat carrot dari masyarakat berupa dipilihnya lagi untuk memimpin

negara lima tahun kedepan. Namun bagi pemerintahan yang jelek yang tidak

aspiratif akan nurani rakyatnya sendiri, Pemilu merupakan stick, berupa penarikan

dukungan dengan cara tidak memilihnya lagi untuk periode selanjutnya.

Oleh karenanya perlu kiranya pemerintah baik pusat maupun daerah

mendorong dan mendukung KPU untuk bekerja lebih optimal dalam menjalankan

atau mensukseskan Pemilu 2009. Namun tentu saja upaya yang dilakukan

pemerintah melalui KPU tidak akan berjalan optimal tanpa keturutsertaan partai

politik untuk turut serta membantu memperlancar proses dan agenda Pemilu.

Buktinya mungkin dengan memperlancar kerja KPU, dalam hal ini persyaratan

administratif partai dan caleg yang lengkah dan rapih, tidak ada lagi ijazah palsu dan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 33

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

sebagainya. Sebab kalau masih demikian, masyarakat mungkin bertanya-tanya,

ngurus diri sendiri saja sulit, apalagi ngurus negara dan rakyat.

Disinilah butuh kerja yang sinergis antara pemerintah/KPU dengan political

society, dalam upaya menegakan civil society yang bermuara pada terciptanya clean

government dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap nurani rakyat.

Partai Politik Dalam Pemilu Legislatif 2009

Generasi baru dalam partai politik Indonesia telah lahir. Sirkulasi elite dalam

tubuh parpol yang dilaksanakan melalui musyawarah nasional, kongres, atau

muktamar sepanjang tahun 2004 dan 2005 telah menghasilkan generasi baru

dalam politik Indonesia. Hal ini dalam anggapan para pengamat politik akan

menyebabkan kompetisi yang semakin sengit terutama dalam memperebutkan

kursi DPR dalam pemilu legislative 2009.

Persaingan antar partai politik yang akan menjadi kontestan dalam pemilu

tahun 2009 akan semakin ramai dan kompetitif seiring dengan perubahan

kepemimpinan dalam tubuh partai politik. Faktor lain yang menyebabkan

persaingan sengit adalah terjadinya perpecahan didalam tubuh partai-partai besar

seperti PDI-Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan juga

Partai Golongan Karya. Hal ini membuat kesempatan antar partai untuk

memperoleh suara yang banyak, akan semakin kompetitif.

Meskipun demikian, persiapan pemilihan umum tahun 2009 bisa jadi tidak

sebaik pemilu 2004. Pusat reformasi Pemilu (Cetro) membuat perbandingan

persiapan kedua pemilu diatas. Misalnya, ketentuan mengenai pembentukan KPU

yang independent disahkan 3 tahun 10 bulan menjelang pemilu 2004. Sementara

untuk pemilu 2009, baru sebatas draft RUU Penyelenggara pemilu, dan

diperkirakan KPU terbentuk April 2007 atau 2 tahun sebelum pemilu.

Terlepas dari semua kendala dalam persiapan pemilu tahun 2009, tetap saja

persaingan dalam pemilu tersebut akan semakin kompetitif disbanding pemilu

sebelumnya. Hal ini bisa terlihat dalam persiapan yang dilakukan oleh partai-partai

politik menyambut pesta demokrasi tersebut.

Dalam bahasan ini, penulis akan mencoba memetakan persiapan yang

dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia menghadapi pemilu tahun 2009.

Data-data ini didapat dari pemberitaan media massa, terutama Koran KOMPAS,

yang penulis coba untuk perbandingkan antara satu dengan yang lain.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 34

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Partai Golkar

Terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar

sangat diluar perkiraan karena dalam aktivitas partai golkar sebelumnya, Yusuf

Kalla tidak terlalu aktif, bahkan untuk pemilihan Presiden-Wakil Presiden,

keberadaan YK untuk mendampingi SBY tidak didukung oleh partai Golkar, yang

lebih rela diberikan kepada Wiranto dan juga Megawati.

Namun dunia politik adalah grey area yang segala kemungkinan bisa

terjadi, termasuk menumbangkan Akbar Tanjung yang telah berjuang ketika

Golkar mendapat hujatan dan umpatan selama pasca orde baru. Dan akhirnya

politisi yang juga pengusaha ini berhasil meredam keinginan Akbar Tanjung untuk

memimpin kembali Golkar. Dalam posisinya sebagai wakil presiden, Kalla

mampu merebut simpati dan kepercayaan dari pengurus struktural Partai Golkar

dari berbagai daerah melalui Kongres Partai Golkar di Denpasar, Bali, akhir tahun

2004.

Kepada kader parpolnya di seluruh Indonesia, Kalla menekankan

pentingnya semakin besar serta banyak peran kenegaraan dan pemerintahan

diraih di setiap pemilihan umum. Diraihnya peran kenegaraan dan pemerintahan

itu yang membedakan parpol dengan lembaga swadaya masyarakat. Dalam

memasarkan partai sebagai langkah untuk kembali meraih kemenangan dalam

Pemilu 2009, Kalla mengemukakan tak perlu kampanye apabila sejak sekarang

rajin dan tertib membina organisasi. Hal itu yang dilakukannya di sela-sela tugas

kenegaraannya yang sangat padat.

Dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, Yusuf

Kalla memandang bahwa bangsa dan partai politik harus satu tujuan, yaitu untuk

mencapai kemakmuran bangsa, kesejahteraan bangsa, dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Itu tujuan akhir sebuah partai politik. Kalau dibaca

seluruh anggaran dasar partai politik pasti semuanya begitu. Partai politik jangan

hanya dianggap sebagai suatu pelengkap atau syarat suatu demokrasi. Untuk

melaksanakan fungsi itu dan melaksanakan tujuan itu, partai politik harus punya

peranan di pemerintahan. Itulah yang dilakukan dalam pemilihan umum pusat

maupun di daerah. Peranan partai politik harus meningkat pada peranan

kenegaraan dan pemerintahan bukan hanya upaya perebutan kekuasaan.

Menurut Kalla, ada tiga hal yang harus bansa Indonesia tuntaskan.

Pertama, perbaikan sistem. Yang sering masuk kategori korupsi umumnya

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 35

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

pembelian barang pemerintah. Kedua, pengawasan. BPKP akan berada langsung

di bawah presiden. Kemudian ketiga, kalau ada pelanggaran dan ada korupsi

dilakukan upaya penegakan hukum.

Hukum pun terbagi tiga tahap mulai polisi penyelidikan, jaksa penuntutan,

hakim pengadilan yang mengadili. Sekarang ini kalau kita lihat kecenderungannya

kan suasana dan nuansanya bagus. Yang ditangkap siapa saja sekarang mulai

dari gubernur, bupati, KPU, dan direksi bank. Yang dicapai pada dewasa ini di

samping diadili yang katakanlah kakap-kakap—walaupun harapan masyarakat

belum dapat dijawab semuanya—tetapi dengan upaya yang keras ini yang paling

tampak dicapai adalah pencegahan itu. Rasa takut untuk korupsi itu kan penting.

Dalam konteks ekonomi, secara parsial dikeluarkan kebijakan untuk

mempertahankan kepentingan ekonomi nasional ada dilaksanakan pembatasan,

pembatasan itu kita untuk hal-hal tertentu, misalnya beras berhenti impor pada

kondisi tertentu, gula juga demikian, juga rotan. Kita kembali membela dan

mempertahankan kepentingan nasional. Subsidi tetap ada jadi tidak seluruhnya

diserahkan kepada pasar.

Target Pemilu 2009 Partai Golkar menangkan pemilu dalam artian nomor

satu dengan angka yang lebih baik dari Pemilu 2004. membina organisasi partai

dengan baik sejak sekarang, tanpa kampanye pun kita akan menang. Persaingan

kita adalah menarik simpati rakyat dan itu harus dimenangkan dengan bekerja

untuk rakyat. Tingkat persaingannya di situ. Bukan dalam arti saling menjatuhkan.

Pemenangnya adalah siapa yang paling mengabdi kepada rakyat. Empat tahun

kita harus bekerja sama untuk membangun bangsa ini bersama-sama. Satu tahun

saja kita perlukan untuk betul-betul bersaing.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Partai yang berlambang banteng moncong putih ini, setiap menjelang pemilu

senantiasa dihadapkan pada permasalahan hengkangnya kader-kader partai dari

partai ini. Dalam pemilu tehun 2004, PDIP kehilangan Dimyati Hartono, Sofyan

Sofian dan kawan-kawan yang dalam pemikiran berseberangan dengan pengurus

partai yang nafsu dengan kekuasaan, sehingga lupa memperjuangkan nasib rakyat,

yang justru menjadi thema sentral kampanye tahun 1999.

Menjelang pemilu tahun 2009 pun PDI Perjuangan dihadapkan pada

persoalan yang klasik yaitu partai tidak mampu menampung kadernya yang masih

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 36

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

berpikiran idealis dalam memperjuangkan rakyat. Dalam persiapan menuju pentas

pemilu tahun 2009, PDIP dikejutkan oleh perpecahan didalam tubuh partai.setelah

Laksamana Soekardi, Arifin Panigoro dan kawan-kawan yang pada awalnya

merupakan tulang punggung dalam mengelola partai, memandang bahwa dalam

tubuh partai tidak lagi mencerminkan sebuah partai yang demokratis. Mereka keluar

dan mendirikan partai baru.

Namun pengalaman membuktikan bahwasanya PDI Perjuangan akan tetap

eksis meski banyak diantara kadernya yang meninggalkan partai. Hal ini

dikarenakan, masyarakat memilih partai ini bukan karena kader-kader partainya,

melainkan melihat sosok Soekarno yang berada dibalik Megawati Soekarnoputri.

Jadi dengan demikian selama masyarakat Indonesia memandang baik Soekarno,

maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan tetap bertahan, meski PDIP

bukan refresentasi dari ide-ide Bung Karno.

Partai Kebangkitan Bangsa

Besarnya kekuasaan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

tercermin dari tindakan Abdurrahman Wahid yang mengganti kepemimpinan Matori

Abdul Djalil pada tahun 2001 dan kemudian mengganti Alwi Shihab pada Oktober

2004. Meski tidak terlalu dominan, kedudukan ketua umum, yang disebut dengan

Ketua Dewan Tanfidz PKB, tetap dipandang penting dan diperebutkan. Bahkan,

perebutan posisi ini telah menyebabkan pecahnya PKB menjadi dua kubu, yaitu

kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Alwi Shihab. Sementara posisi Ketua Dewan

Syuro tampaknya tetap aman meski guncangan-guncangan politik terjadi di struktur

di bawahnya.12

Keberadaan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Abdurrahman Wahid di tubuh PKB memang menjadi fenomena tersendiri yang

mampu menyedot suara pemilih dari kalangan NU pada tahun 1999. Pada pemilu

yang dilaksanakan secara demokratis ini, PKB mengantongi 10,57 persen suara.

Meski kalah dari suara yang diperoleh oleh Partai Golkar dan Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan, jabatan Presiden RI dapat diraih oleh Abdurrahman Wahid.

Sayangnya, konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menjatuhkannya dari

12 Jajak Pendapat KOMPAS: PKB Bergelut di Kancah Kewenangan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 37

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

tampuk kekuasaan. Suara PKB pun merosot menjadi 9,45 persen pada Pemilu 2004

lalu.

Menjelang pemilu legislatif 2004, ekspektasi publik terhadap partai ini

memang tidak terlalu besar. Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Februari

2004, misalnya, hampir separuh bagian (49 persen) responden meragukan

kemampuan PKB dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Bahkan, dalam tiga kali

jajak pendapat yang diselenggarakan menjelang dan pasca-Muktamar II PKB,

apresiasi publik terhadap kinerja partai tidak mengalami peningkatan. Sekitar

separuh bagian responden menyatakan tidak puas dengan kinerja partai ini dalam

menjalankan fungsi-fungsi politiknya.

Naik turunnya apresiasi masyarakat terhadap PKB sangat dipengaruhi oleh

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh partai ini. Ketika Alwi Shihab disingkirkan

dari PKB, nada minor lebih nyaring disuarakan oleh masyarakat. Gaung perseteruan

ini membawa citra yang cenderung negatif terhadap partai ini, yang disuarakan oleh

30 persen responden jajak pendapat Kompas pada Februari 2005. Kemudian,

menjelang pelaksanaan Muktamar PKB pertengahan April 2005, adanya agenda

pemilihan ketua umum yang akan dilaksanakan secara lebih demokratis telah

membawa pandangan yang lebih positif terhadap citra partai. Ini terbukti dari

pendapat responden yang meningkat menjadi 54 persen dalam memandang citra

positif PKB.

Namun, citra PKB kembali merosot ke titik negatif ketika dalam Muktamar II

itu terjadi berbagai persoalan internal. Suara yang menganggap citra PKB positif

hanya dilantunkan oleh 34 persen responden. Kecenderungan menurunnya citra

PKB pascapemilihan ketua umum juga dirasakan oleh pemilih partai yang pada

Pemilu 2004 lalu memilih PKB.

Figur Muhaimin Iskandar sendiri sebagai ketua umum yang baru belum terlalu

banyak dikenal oleh masyarakat. Hal ini tercermin dari banyaknya responden jajak

pendapat ini, baik yang merupakan konstituen PKB maupun khalayak lainnya, yang

belum mengetahui bahwa PKB saat ini dipimpin oleh Muhaimin.

Suara bernada pesimistis bahkan tercermin dari pandangan sebagian

responden terhadap kepemimpinan Muhaimin ke depannya. Bahkan, sebagian dari

mereka yang pada pemilu lalu memilih PKB cenderung kurang yakin di bawah

kepemimpinannya, PKB akan meraih suara lebih banyak pada Pemilu 2009 nanti.

Meski demikian, sebagai konstituen tradisional yang setia, sebagian dari mereka

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 38

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

masih tertarik untuk memilih PKB. Bisa jadi, faktor keberadaan Abdurrahman Wahid-

lah yang masih menjadi kekuatan yang mampu memberi harapan. 13

Dalam pandangan Muhaimin, Parpol tidak mampu membangun citra yang

baik, produktif, dan bisa dipercaya. Fungsi-fungsi parpol tidak berjalan karena

internal parpol lebih sibuk dengan urusan bagi-bagi kekuasaan setelah mendapat

kekuasaan. Idealnya, parpol harus mampu melaksanakan tiga fungsi—fungsi

pendidikan politik, rekrutmen pemimpin, dan mengagregasi kepentingan

masyarakat.

Karena bangsa ini, belum memiliki tradisi keparpolan. Kehidupan kepartaian

di Indonesia baru kembali tumbuh setelah tahun 1998. Jadi, sampai sekarang baru

tujuh tahun. Inilah masa transisi kekuasaan dari otoritarian ke demokrasi.

Penyebab berikutnya adalah elite parpol belum bekerja maksimal. Mereka

lebih sibuk dengan urusan bagaimana mendapatkan kekuasaan, menjaga dan

melindunginya. Sikap sebagian besar kalangan elite inilah yang kemudian ikut

menghambat sirkulasi elite atau regenerasi kader parpol.

Penyebab ketiga atau terakhir adalah, parpol-parpol masih mencari bentuk.

Dalam prosesnya, tidak jarang parpol-parpol justru makin menjauh dari harapan

rakyat. Tahun 2004, dukungan rakyat yang meluap, mulai susut.

Untuk memulihkan citra publik, PKB akan segera me-recall kadernya di DPR

atau DPRD yang bercitra buruk, antara lain karena dugaan terlibat kasus korupsi,

politik uang, pemalsuan ijazah, penyalahgunaan wewenang, atau karena kinerjanya

yang rendah oleh ketidakmampuan mereka melaksanakan fungsi-fungsi parpol. PKB

ingin membangun tradisi baru keparpolan dengan memadukan kekuatan kader yang

profesional dan kader-kader kharismatik.

Itu sebabnya, bersama Parpol lainnya—PKS (Partai Keadilan Sejahtera),

PNBK (Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan), PAN (Partai Amanat Nasional),

PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan), PBR (Partai Bintang Reformasi), dan PDS (Partai Damai Sejahtera),

PKB secara berkala mengadakan pertemuan dalam rangka mengembalikan fungsi-

fungsi parpol. Pertemuan Reboan ini sudah kami lakukan sejak bulan lalu.

Target PKB dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, minimal harus mampu

meraih suara terbanyak kedua. Dalam pemilu sebelumnya, meski PKB masuk tiga

13 Wawancara wartawan KOMPAS Windoro Adi, dengan Ketua PKB Muhaimin Iskandar: Tradisi Kepartaian Memang Belum Terbangun, KOMPAS, 23 Juni 2005.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 39

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

besar, tetapi dalam perolehan kursi di DPR, PKB cuma mampu berada di peringkat

keenam. Untuk merealisasi harapan tersebut, PKB akan berusaha keras

menjadikaN diri sebagai parpol yang semakin terbuka dengan cara mengubah

strategi politik dan kewilayahan, antara lain dengan memusatkan kekuatan parpol di

luar Jawa untuk mendapatkan ”kursi” dengan harga murah.

PKB akan melakukan tiga langkah. Pertama, kaderisasi dan penguatan basis-

basis tradisional. Kedua, melakukan advokasi terhadap masyarakat atas kebijakan

publik. PKB akan memberdayakan cabang-cabangnya yang tidak mendapat ”kursi”

dengan melakukan banyak usaha advokasi.

Ketiga, penyebaran kader. PKB akan menyebar-ratakan kader-kadernya

sampai ke wilayah basis lewat pola pendekatan kulturalnya yang pluralis sembari

mempromosikan PKB yang bersih, terbuka, dan bersahabat bagi semua golongan.

Selain itu, PKB akan lebih ketat mengontrol seluruh kadernya terhadap

kemungkinan terlibat politik uang, yaitu dengan cara membentuk Tim Pengawas

Fraksi dari tingkat DPP sampai DPC. Yang berhak menjadi anggota tim ini adalah

pengurus dewan yang tidak duduk di lembaga legislatif. Tim ini berhak memberi

rekomendasi untuk me-recall kader PKB di DPR maupun DPRD. Fokus perhatian

tim adalah mengawasi kader-kader PKB yang kemungkinan akan berurusan dengan

kejaksaan. Sementara itu, kader PKB yang berada di DPR maupun DPRD

mendapat tugas mengontrol ketat kader PKB yang duduk di eksekutif.

Tuntaskan konsolidasi demokrasi dengan menata kembali institusi-institusi

demokrasi, dan menghidupkan fungsi-fungsi parpol. Membangun tradisi politik yang

terbuka, transparan, akuntabel, serta melakukan penguatan kehidupan masyarakat

madani terutama untuk mengontrol sepak terjang parpol. Menegakkan rule of law

dalam berdemokrasi.

Akhiri krisis ekonomi dengan memperbaiki struktur dan sistem produksi dan

mata rantai perdagangan nasional, mengakhiri impor gelap bahan pokok dan

sandang, mengakhiri praktik korupsi dan meningkatkan kepastian hukum, serta

mengikis konsumerisme dan pola hidup mewah yang kontra produktif. PKB ingin

melanjutkan cita-cita Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red) yang ingin mengubah pola

ekonomi nasional kita dari perekonomian yang berbasis pertanian, ke perekonomian

yang berbasis kelautan, termasuk membangun jaringan perdagangan dari pulau ke

pulau.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 40

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Lewat lembaga legislatif, PKB akan berusaha mendorong perubahan APBN

yang berbasis ekonomi pertanian ke APBN yang berbasis ekonomi kelautan. Soal

disintegrasi, Aceh sudah lewat, tinggal soal Papua. Tapi lebih dari itu PKB melihat,

otonomi daerah terutama dalam kegiatan pemilihan kepala daerah, bisa menjadi

sumber baru ancaman disintegrasi.

Partai Keadilan Sejahtera

Partai ini berbeda dengan partai politik lain yang secara terbuka menyebarkan

informasi, bahkan mempertontonkan bagaimana proses penggantian pemimpin

partai berlangsung. Di partai ini penggantian pemimpin seperti hanya menjadi

persoalan internal yang tidak begitu signifikan bagi masyarakat.14 Proses

penggantian pemimpin dimulai dengan melakukan pemilihan umum raya untuk

memilih anggota Majelis Syuro. Proses pemilihan pemimpin partai sudah dimulai

sejak Desember tahun lalu dan diikuti seluruh kader partai.

Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majelis Syuro merupakan lembaga

tertinggi partai. Setelah anggota Majelis Syuro terpilih, mereka memiliki tugas untuk

memilih ketua Majelis Syuro dan tiga wakil Majelis Syuro. Ketiga wakil Majelis Syuro

inilah yang nantinya menjadi Presiden PKS, Ketua Majelis Pertimbangan Partai, dan

Ketua Dewan Syariah. Selain itu, Majelis Syuro juga memilih dua orang lagi untuk

menjadi sekretaris jenderal dan bendahara.

Setelah bersyuro selama hampir tiga hari, pada pertengahan Mei, Majelis

Syuro memutuskan untuk memilih KH Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro,

Tifatul Sembiring sebagai presiden partai, Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan

Syariah Pusat, Suharna Supranata sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat,

Muhammad Anis Matta sebagai sekretaris jenderal, dan Mahfudz Abdurrahman

sebagai bendahara umum.

Melihat banyaknya persoalan internal yang melanda partai politik dan kader

partai, Presiden PKS Tifatul Sembiring harus serius menata pengaderan partai. Ia

mengakui tidak mudah menjaga stamina partai, pengurus, dan kader untuk tetap

punya semangat berpartai.

Namun, Tifatul meyakini PKS mempunyai strategi yang mungkin tidak dimiliki

partai lain, yaitu pertemuan rutin tiap minggu bagi pengurus dan kader partai.

14 Wawancara Imam Prihadiyoko, dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring:Tarbiyah, Menjaga Moral dan Semangat Berpartai, KOMPAS, 25 Juni 2005.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 41

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

”Taklim rutin setiap minggu ini penting untuk menjaga konsolidasi dan menjaga

voltase moral. Tanpa itu kami kehilangan segalanya. Itulah yang kami sebut sebagai

tarbiyah,” ujarnya ketika ditemui Kompas di Kantor Pusat PKS beberapa waktu lalu.

Berikut petikan pembicaraannya:

Tantangan untuk tidak pecah memang tantangan sejarah yang berat.

Komunikasi di tingkat pimpinan itu harus intensif. Kalau sudah tidak saling

berkomunikasi, sering muncul dugaan atau prasangka jelek, sehingga mana

mungkin bisa memunculkan rasa solidaritas jika ada prasangka buruk.

Secara praktis yang dilakukan untuk membangun solidaritas adalah di PKS

biasa bersikap egaliter sehingga tidak memunculkan sikap ewuh-pakewuh yang bisa

menimbulkan gerundelan yang menumpuk dan pecah menjadi amarah. Dengan

bersikap egaliter, maka tidak ada persoalan terpendam. PKS juga biasa saling

memberikan klarifikasi, bahkan untuk perbaiki paviliun rumah yang mau roboh saja,

misalnya, kami biasa bilang bahwa paviliun rumah kami sudah mau roboh jadi perlu

diperbaiki. Karena itulah, jika kemudian di luar muncul tuduhan negatif, maka di

antara pengurus sendiri sudah saling mengerti duduk soalnya.

Masalah paling besar yang dihadapi bangsa adalah soal moral. Moral yang

baik itu harus dimulai dari penyelenggara negara, kemudian diikuti elite-elite negara

yang lainnya, seperti pemimpin partai, pemimpin lembaga negara lainnya, dan

termasuk juga lembaga swadaya masyarakat. Jika moral para pemimpin baik, insya

Allah akan memengaruhi sikap dan tindakan mereka dalam mengambil tindakan dan

bermasyarakat.

Perekonomian secara teoretis memang sering dikatakan sebagai liberal

dengan logika kapitalisme, dan sering kali dilawankan dengan sosialisme. Namun,

kiblat ekonomi semacam ini dalam praktiknya mungkin tidak terlihat jelas batas-

batasnya. Termasuk di Indonesia, sebetulnya warna ekonomi kita itu tidak jelas dan

sering kali tertarik ke sana-kemari. Kalaupun kita melihat ekonomi kerakyatan, tidak

sepenuhnya juga memerhatikan rakyat, itulah kenyataan yang harus kita hadapi saat

ini.

Contoh konkret yang pernah diusulkan PKS kepada pemerintah adalah saran

agar pemerintah menyediakan supermarket pemerintah. Supermarket pemerintah itu

menjual delapan kebutuhan pokok. Jadi, begitu harga di tempat lain meningkat,

pemerintah bisa menurunkan harga melalui supermarketnya, sehingga masyarakat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 42

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

berbondong-bondong ke supermarket pemerintah, dan implikasinya supermarket

yang mahal itu sepi sehingga harga bisa turun lagi.

Contoh lain, pemerintah dapat mendirikan areal terbuka di kota besar yang

free tax dan charge. Lokasi usaha bebas pajak dan pungutan ini disediakan khusus

bagi pedagang kecil. Pasalnya, pedagang kecil ini modalnya kecil, dan untungnya

belum tentu. Namun, meskipun untung kecil, mereka sudah mampu membantu

kehidupannya sendiri dan keluarga.

Inti pokoknya, untuk mendorong rakyat mandiri. Karena itulah, program

ekonomi pemerintah harus konkret dan dapat langsung dirasakan, tidak usah yang

muluk-muluk. Pemerintah harus bisa memberikan rangsangan bagi masyarakat

untuk berusaha dan melakukan sesuatu untuk kemandiriannya. Bangsa ini jangan

dibiarkan berleha-leha sambil main domino atau duduk ngobrol di warung kopi.

PKS juga berpegang pada Piagam Madina yang memberikan kesamaan

hukum bagi semua warga negara, baik sipil maupun militer. Kita menghendaki militer

yang kuat dan profesional dan tidak lagi duduk di bidang politik sipil. Kalau dia ingin

ke politik, ya silakan, tetapi harus melepas baju. Jangan sampai power yang ada di

militer dipakai untuk menekan masyarakat sipil. Kalau masyarakat sipil berkelahi

paling bonyok-bonyok, kalau dengan militer kita bisa bolong-bolong tertembus

peluru.

Sejarah masa lalu dalam sistem yang dibuat Orba, militer memang dominan

dan meninggalkan trauma. Karena itu, kita tidak ingin situasi itu terulang. Tetapi kita

juga tidak menginginkan militer kita lemah bahkan tidak mempunyai persenjataan.

Kita tidak ingin mempunyai militer yang cuma bisa memajang pesawat F-16, tetapi

tidak bisa menembak karena tidak punya peluru.

Kalau target tahun 2009, PKS memperkirakan 20 persen suara, tepatnya

20,34 persen. Target politik keluar PKS ini sekitar 22 juta suara. Angka ini cukup

tawadhu karena komparasi hasil Pemilu 1999 ke 2004, suara PKS melompat dari

1,7 persen ke 7,34 persen atau hampir enam kali lipat. Kalau 2009, kami sedikit

mengerem menjadi 2,5 kali dari 7,34 jadi 22 persen.

Target internal kader, PKS berkembang dari 500 orang tahun 1999 menjadi

2,5 juta tahun 2004, artinya ada peningkatan lima kali lipat, sekarang targetnya

hanya 2,5 kalinya saja. Sedangkan target di kementerian dari sekarang tiga, ya

diharapkan nanti bisa sembilan di kementerian.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 43

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Melihat segenap pencapaian PKS selama ini, tidak berlebihan memang

penilaian dan harapan yang terbentuk. Namun, layaknya sebuah perkembangan

organisasi partai, semakin besar simpatisan yang diraih, semakin besar kiprah dan

pengaruh politik partai ini tentu berkonsekuensi semakin besarnya beban

pengelolaan partai, terlebih upaya mempertahankan apa yang telah mereka raih

selama ini. Bagaimanapun, hasil rangkaian Pemilu 2004 telah menempatkan partai

ini dalam lingkaran dalam kekuasaan penyelenggaraan negara. Dalam kondisi

seperti inilah justru ujian tersulit kini tengah dihadapi partai.

Partai Amanat Nasional

Hasil Pemilu 2004 sudah memberikan dukungan dan tingkat kepercayaan

pada Presiden Yudhoyono, bahkan dukungan dari luar negeri pun besar, karena

memang dipilih melalui pemilihan langsung. Namun, legitimasi kekuasaan yang kuat

ini tampaknya belum cukup mampu mengatasi berbagai persoalan politik

kebangsaan.

Di parlemen, ternyata dukungan yang dimiliki SBY-JK belum cukup kuat,

meski mereka merupakan presiden yang dipilih mayoritas rakyat. Itu sebabnya,

muncul sejumlah hambatan teknis dalam menjalankan pemerintahan. Menteri-

menteri juga terkadang terhambat di parlemen ketika berhadapan anggota legislatif.

Ini problem ketatanegaraan, tetapi pemerintahan kan harus tetap berjalan.

Karena banyak aspek kehidupan kebangsaan bisa terganjal jika pemerintah

dan DPR mengalami jalan buntu, maka harus ada solusi. Pemikiran itulah yang

kemudian diwujudkan dalam forum dialog nasional antar tokoh partai yang

kebanyakan generasi baru. Diskusi yang dilakukan secara rutin setiap Rabu ini,

efektif mencari berbagai solusi persoalan bangsa dan menghindari deadlock-nya

hubungan kelembagaan antara pemerintah dan DPR.

PAN sudah memposisikan untuk tidak sekadar asal beda atau menjadi pihak

oposisi tetap. Sikap oposisi tetap, hanya melanggengkan kemuakan dan antipati

rakyat pada partai politik. Kalau paradigma lama mungkin dianggap rugi, tetapi bagi

kita memberikan dukungan pada program pemerintah yang menguntungkan rakyat,

tidak akan tutup peluang PAN untuk dapat dukungan rakyat. Karena itulah, PAN

akan mendukung pemerintah, sejauh program yang dilakukan memang bertujuan

untuk kepentingan rakyat, jika tidak maka PAN bisa saja mengambil posisi sebagai

oposisi.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 44

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Kepada konstituen PAN dan masyarakat, PAN ingin hadir menjadi partai yang

memberi solusi. Rakyat jenuh dengan politiking antar parpol, rakyat mendambakan

ketenangan, dan sekarang ini kesempatan bagi parpol membuktikan bahwa mereka

ada dipihak rakyat, kesempatan parpol hadir untuk menyantuni dan memberikan

perlindungan bagi rakyat, dan kesempatan berpihak serta memperjuangkan

kepentingan mereka.

Berkaitan dengan pemberantasan korupsi sikap PAN terhadap korupsi adalah

yang namanya korupsi, mungkin di seluruh dunia ini tidak akan pernah ada

habisnya. Namun, yang lebih penting untuk kita wujudkan adalah bagaimana kita

mempunyai nawaitu dan bekerja serta untuk memberantas korupsi. Indonesia

mungkin saat ini masih berada di posisi teratas di Asia untuk persoalan korupsi ini.

Dan usaha pemberantasan korupsi itu memerlukan proses panjang, tidak seperti

membalik telapak tangan.

Memang yang baru terkena saat ini baru koruptor kelas UKM yang tidak bisa

lari ke luar negeri. Sedangkan koruptor besar, yang sudah menjadi warga dunia dan

dengan mudah pergi ke mana saja ke luar negeri dan jumlahnya mencapai ratusan

triliun, masih sulit terjamah. Kasus BLBI 140 triliun belum tersentuh. Namun, saya

harus optimistis dan saya kira pemerintah akan menuju ke sana juga pada akhirnya.

Saya selalu meyakini yang penting ada niat untuk menumpas korupsi.

Berkaitan dengan pandangan yang mengatakan bahwa ekonomi nasional

sudah mengarah pada neo-liberalisme, PAN berpandangan, saat ini, seolah-olah

ada benturan antara sosialisme dan kapitalisme. Padahal, bagi PAN keduanya

mungkin tidak bisa berjalan sepenuhnya di Indonesia. Kapitalisme yang

mementingkan pertumbuhan cepat, kemudian berharap ada trickle down effect,

ternyata juga tidak berjalan seperti yang direncanakan. Karena menetesnya kue

hasil pertumbuhan itu tidak merata ke seluruh rakyat tetapi hanya pada sebagian

kecil kroni penguasa.

Meski kapitalisme yang mementingkan pertumbuhan ekonomi sekarang ini

tetap akan ada, namun pemerintah juga mulai memerhatikan jumlah pengangguran.

Selain itu, hal-hal yang bersifat kerakyatan seperti perikanan, perkebunan,

pertanian, dan kehutanan juga sudah mulai mendapat perhatian pemerintah. Sikap

semacam ini memang penting dan harus dilakukan untuk kelangsungan

pemerintahan itu sendiri. Apalagi, kalau kita melihat portofolio kredit yang diberikan

bank, saat ini sudah berubah. Karena, sekarang sudah mulai berimbang antara

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 45

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

kelompok UKM dan ekonomi kuat. Tetapi karena penyakit ekonominya sudah kronis,

jadi tidak gampang untuk diobati.

Kebijakan pemerintah yang tetap menerima kapitalisme dengan ekonomi

yang liberal, harus diimbangi dengan program kerakyatan. PAN kira kondisi seperti

ini juga banyak dilakukan di negara lain, seperti di Malaysia meskipun konglomerasi

kuat, tetapi ekonomi bawah juga dibangun. Jadi teori yang secara ketat dipakai di

sebuah negara, misalnya kapitalisme saja, rasanya hampir tidak ada. Di Taiwan,

kapitalisme yang kuat juga mengembangkan kelas menengah yang kuat. Di Jepang

juga mirip, pengusaha juga dikaitkan dengan kepedulian pada rakyat. Misalnya,

perusahaan mobil besar Toyota, tidak memproduksi semua suku cadangnya sendiri,

tetapi membagi pekerjaan dengan masyarakat. Indonesia harusnya bisa melakukan

hal-hal seperti itu. Artinya, tidak menghalangi perkembangan konglomerat, namun

juga tidak meninggalkan rakyat miskin sebagai sapi perahan.

Mengenai target lima tahun ke depan, secara konkret PAN minimal

mendapat 100 kursi di DPR, Namun menargetkan 125 kursi di DPR. Dengan PAN

menjadi partai modern dan melakukan program yang menyentuh kepentingan

langsung rakyat, serta tampilan wajah sejuk dan damai dari PAN, maka diharapkan

target itu akan tercapai.

Paradigma baru PAN terhadap partai politik lain bukan dilihat sebagai

pesaing, tetapi sebagai partai yang masing-masing punya segmen. Di sinilah

bedanya politisi dan enterpreneur. Kan pemilih ada sekitar 150 juta, kalau

mendengar PKS sebagai partai yang relatif siap jalankan infrastruktur menargetkan

22 juta, maka PAN anggap saja itu terwujud. Kemudian, partai paling besar dengan

mesin politik dan uang, serta ketua umumnya wakil presiden menargetkan mendapat

40 persen suara atau sekitar 60 juta, maka ditambah suara PKS menjadi 88 juta.

Kan masih ada sisanya yang menjadi segmen PAN. Mudah-mudahan, dari segmen

yang tersisa ini PAN bisa mendapatkan suara 25 juta.

Berbicara 2009, saat ini belum tahu siapa yang menjadi tokoh populer, bisa

saja itu Amien Rais, Soetrisno Bachir, atau Bambang Soedibyo yang karena

program sekolah gratisnya tiba-tiba jadi popular.

Regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN)

sejauh ini tampaknya belum banyak membangkitkan sikap optimisme publik dalam

memandang masa depan partai ini. Kuatnya sosok maupun pamor kepemimpinan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 46

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

yang terbangun pada periode sebelumnya dan berbagai problema internal yang kini

tengah dihadapi, sedikit banyak memasung kiprah keorganisasian partai ini.

Kondisi semacam inilah yang tampak, sebagaimana tergambarkan dalam

berbagai penyelenggaraan jajak pendapat Kompas. Kongres ke-2 PAN di

Semarang, 9-11 April 2005 lalu, yang menghasilkan pemimpin baru tampaknya

belum menjadi titik balik kebangkitan citra PAN di mata publik. Citra partai yang

diharapkan semakin meningkat justru akhir-akhir ini mulai menunjukkan adanya

gejala penurunan. Sementara, komitmen dan daya juang yang diusung oleh jajaran

pengurus baru sejauh ini pun belum banyak terlihat buahnya. Parahnya, justru

potensi konflik internal yang kini lebih dominan terdengar.

Merunut masa sebelumnya, Pemilu 1999 bisa dibilang merupakan era

keemasan PAN, di mana sebagai partai politik baru mampu meraih delapan persen

suara (dipilih 7,5 juta pemilih). Namun, perjalanan selanjutnya tampak benar betapa

sulit partai ini menambah barisan pendukung. Bahkan, pada Pemilu Legislatif 2004

lalu, perolehan suara PAN mengalami penurunan, hanya mampu mengantongi 6,44

persen (7,3 juta pemilih). Padahal di era Pemilu 2004 terjadi penambahan total

sekitar 10 juta pemilih dan pengurangan jumlah partai yang berlaga dari 48 partai di

tahun 1999 menjadi 24 partai saat Pemilu 2004.

Kondisi yang agak berbeda justru dialami Amien Rais, ketua umum partai ini.

Meskipun di pemilu legislatif, PAN mengalami penurunan suara, Amien Rais

bersama pasangannya, Siswono Yudo Husodo, justru mampu meraih 15 persen

suara (17,4 juta pemilih) dalam pemilu presiden. Dari fakta ini sebenarnya dapat

disimpulkan bahwa kehadiran dan peran Amien Rais di dalam PAN begitu besar.

Kondisi ini sangat berbeda dengan berbagai upaya internal partai yang cenderung

kurang berhasil dalam menjadikan PAN sebagai partai politik yang terbuka bagi

semua kalangan, dan secara kelembagaan berupaya melepaskan diri dari persoalan

figur ataupun persoalan domestik partai lainnya.

Fakta seperti ini pun ditemui dalam berbagai jajak pendapat Kompas. Jajak

pendapat pascapemilu presiden yang diadakan Agustus 2004, misalnya. Meskipun

Amien Rais gagal menembus putaran kedua, citra Amien Rais sendiri di mata

sebagian besar konstituennya relatif positif. Hal yang sama juga diungkapkan oleh

hampir separuh publik yang memilih partai lainnya.

Citra yang terbangun sebenarnya masih bertahan hingga menjelang Munas

ke-2 di Semarang yang juga mengagendakan perubahan kepemimpinan partai. Saat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 47

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

itu, bayang-bayang PAN yang berada di balik Amien Rais rupanya masih terekam

kuat di benak publik. Terbukti, pernyataan 70 persen dari keseluruhan responden

menilai baiknya citra PAN. Bahkan, dalam jajak pendapat ini, tidak hanya publik

pemilih partai ini saja yang memandang positif citra partai. Mereka yang mengaku

bukan konstituen PAN pun menyatakan apresiasi yang tidak jauh berbeda (67,8

persen). Jajak pendapat yang dilakukan akhir April 2005, pun semakin menegaskan

kenyataan ini. Saat itu, misalnya, lebih dari 80 persen pemilih PAN beranggapan

citra partai masih tetap pada jalur yang mereka inginkan. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh hampir 70 persen yang tidak memilih PAN, mereka tetap

mengakui kemampuan PAN dalam menjaga kredibilitasnya.

Daftar Bacaan: Abdul Azis, Yaya Mulyana dan Ade Priangani (Editor), 2002, Titik Balik Demokrasi:

Pikiran-pikiran Kritis disaai Kritis, PT Pustaka Radja, Jogjakarta. Adicondro, George Junus, 2001, Cermin Retak Indonesia, Penerbit Cermin,

Jogjakarta. Baskara T. Wardaya, “Pemilu, antara Gebyar dan Substansi, KOMPAS, 27 Maret

2004. Budiardjo, Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta. Clark, Robert P, 1989, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, terj. RG.

Soekadijo, edisi ke-tiga, Erlangga, Jakarta. David Beetham, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press 65 Bridge Street,

Cambridge CB2 1UR, UK. Dhal, Robert, 1994, Analisis Politik Modern, terj. Mustafa Kamil Ridwan, Edisi ke-

lima, PT Bumi Aksara, Jakarta. Duverger, Maurice, 1996, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, cetakan ke-lima,

PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23

Maret 2004. Forum for Democratic Reform, 2000, Capacity-Building Series 8: Democratization in

Indonesia An Assessment, International IDEA, Stockholm, Sweden. Harrison, David, 1991, The Sociology of Modernization and Development,

Routledge, London.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 48

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Herry Tjahjono, “Pemilu Mabuk”, KOMPAS, 27 Maret 2004. Imawan, Riswandha, 1998, Membedah Politik Orde Baru, cetakan ke-dua, Pustaka

Pelajar, Jogjakarta. Indra J. Pilliang, “Golput dan Masyarakat Baru Indonesia”, KOMPAS, 18 Juli 2004. Juliantara, Dadang, 2002, Negara Demokrasi Untuk Indonesia, Pondok Edukasi,

Solo. Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, American Political

Science Review, 55, September 1961 Kwik Kian Gie, Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Indonesia dalam

Stadium General, di Aula Fisip Unpas, Bandung, 2002. Magnis Suseno, Franz, 1988, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, PT Gramedia, Jakarta. M. Sadli, Dilema Politik Pemerintahan Mega, dalam Koran Tempo, 13 Oktober 2001. Michael Rush and Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, cetakan lima, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta. Pilihan Artikel Prisma (Pengantar Farchan Bulkin), 1995, Analisa Kekuatan Politik di

Indonesia, LP3ES, Jakarta. Ramage, Douglas E, 2002, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam dan

Ideologi Toleransi, terj. Hartono Hadikusumo, Mata Bangsa, Jogjakarta. Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a

Freedom, Westview Press Bolder, Colorado. Rush, Michael & Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, terj. Kartini

Kartono, cetakan ke-lima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a Freedom, Westview Press Bolder, Colorado.

Rush, Michael & Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, terj. Kartini

Kartono, cetakan ke-lima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sulistyo, Hermawan dan A. Kadar (Komite Independen Pemantau Pemilu), 2000,

Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999, PT Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta.

Warsito, Tulus, 1999, Pembangunan Politik: Refleksi Kritis atas Krisis, BIGRAF

Publishing, Jogjakarta. Webster, Andrew, 1990, Introduction to the Sociology of Development, Second

Edition, MacMillan Education Ltd, London.