issn 0853- jurnal online westphalia, vol.12,no.1 … · program studi ilmu hubungan internasional...
TRANSCRIPT
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 4
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA PADA MASA TRANSISI DEMOKRASI:
PEMILU 2004 DAN 2009
Oleh Ade Priangani
Abstrak Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia begitu majemuk, dan persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 lalu, adalah mewujudkan tatanan hidup bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta irasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni dan sebagainya. Kata Kunci: Pemilu, Transisi Demokrasi
Pendahuluan
Sampai saat sekarang, masih banyak tindakan yang irasional dipraktekan oleh elite-
elite politik di Indonesia. Mereka memainkan lakon yang kerap
membodohi dan mengkhianati perasaan rakyat, tak terkecuali
dalam Pemilu 2004. Lakon yang dimainkan oleh para elite ibarat
tayangan telenovela yang tak selesai-selesai, dari mulai
pelengseran Gus Dur yang melanggar prinsip demokrasi
presidential, kasus Bulog I dan II yang tak jelas akhirnya, Pengadilan Ad-hok,
pelanggar HAM di Timor Leste, Kasus 27 Juli yang malah pelakunya didukung untuk
berkuasa lagi, kasus Trisakti yang entah tercecer dimana, Peradilan Soeharto yang
tidak jelas hingga meninggal sampai reformasi yang salah kaprah dan Pemilu yang
masih penuh dengan kecurangan dan penggunaan money politics yang tak juga
berhenti.
Semua ini menandakan bahwa masyarakat dan terutama elite politik masih
belum mau menegakkan demokrasi yang sesungguhnya, sebab banyak diantara
elite yang antidemokrasi malah berkoar-koar tentang demokrasi, banyak pencuri
berbaju priyayi, serta banyak politisi seperti si cepot jadi raja yang menambah
keruwetan penyelesaian masalah daripada menyelesaikan masalah. Beda pendapat
sedikit bikin partai, tak kebagian jabatan bikin partai, sehingga membuat partai jauh
lebih mudah dibandingkan dengan pengurusan KTP.
Hal ini membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja demokratisasi yang
dilakukan oleh pemerintah, ditambah kinerja ekonomi pemerintah yang boleh
dikatakan lebih jelek dibandingkan orde sebelumnya. Sehingga timbul anggapan
bahwa pemerintah pasca reformasi jangankan ngurus demokrasi, ngurus ekonomi
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 5
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
saja tak tuntas-tuntas dan tidak mengarah pada peningkatan atau pemulihan yang
signifikan, belum terbangunnya infrastruktur ekonomi yang bisa dijadikan landasan
economic recovery.
Pengertian infrastruktur ekonomi dalam bahasan ini adalah infrastruktur yang
terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk
memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup. Peran infrastruktur dalam
pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Secara ekonomi makro
ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity
of private capital, Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan
infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.1
Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan
oleh terciptanya amenities dalam lingkungan fisik, terjadinya peningkatan
kesejahteraan, (peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja
dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata),
terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar
kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja).2
Pembahasan
Demokrasi dan demokratisasi adalah hal yang dewasa ini didambakan oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Ada berbagai rumusan mengenai demokrasi,
namun terdapat satu masalah yang dihadapi oleh semua versi demokrasi, yaitu
bagaimana memberi kekuasaan untuk memerintah sekaligus menjaga agar
kekuasaan itu tidak disalahgunakan.
Kekuasaan dipandang perlu untuk dibatasi, biasanya melalui sistem negara
hukum atau rule of law agar tidak menjadi negara kekuasaan. Salah satu cara
pembatasan kekuasaan adalah konsep accountability. Sebagian masalah yang
sedang dihadapi Indonesia saat ini sebenarnya dapat dihindari seandainya
pengawasan serta kontrol oleh lembaga-lembaga yang berwenang diselenggarakan
dengan baik. Seandainya MPR dan DPR menyelenggarakan tugasnya meminta
1 Kwik Kian Gie, Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Indonesia dalam Stadium General, di Aula Fisip Unpas, Bandung, 2002. 2ibid
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 6
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
accountability secara lebih efektif, maka krisis ekonomi-politik, serta krisis
kepercayaan tidak perlu terjadi.
Accountability adalah pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat
memerintah kepada yang memberi mandat itu. Dalam teori politik tradisional,
rakyatlah yang memberi kekuasaan kepada pihak lain untuk memerintah dan
pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat. Accountability dapat ditafsirkan
sebagai pertanggungjawaban politik, dalam arti pertanggungjawaban dengan sanksi.
Dalam sistem parlementer, sanksi bersifat langsung –karena dapat
mengakibatkan jatuhnya eksekutif setiap waktu jika dianggap bahwa pihak yang
diberi mandat itu tidak menjalankan kewajiban melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan-. Dalam sistem presidential, sanksi bersifat tidak langsung karena
pemerintah tidak dapat dijatuhkan. Namun, sanksi dapat dijatuhkan melalui Pemilu
berikutnya, yaitu setelah masa jabatannya berakhir, presiden tersebut tidak dipilih
lagi. Dalam kedua sistem tersebut, accountability merupakan syarat mutlak bagi
perwujudan konsep kedaulatan rakyat.
Berkaitan dengan keadaan bangsa yang belum sepenuhnya memiliki
pengalaman berdemokrasi, tidak dapat dihindari bahwa proses demokratisasi
selama ini mengandung unsur besar experimentasi, trial and error. Tetapi justru
hanya dengan keberanian menempuh proses-proses itu ada harapan akan
mengalami pendewasaan sosial-politik, sehingga demokrasi yang sebenarnya dapat
menjadi kenyataan.
Dinamika pergumulan kehidupan politik rakyat dalam segenap dimensi
gerakan demokrasinya, secara niscaya berada dalam suatu peralihan keyakinan
politiknya. Artinya, peralihan keyakinan politik rakyat, yang tadinya senantiasa
menunggu atau tergantung pada elite politik penguasa, justru di era reformasi
sebaliknya, rakyat berinisiatif merekonstruksi perubahan dan pembaharuan politik
negara.
Hal ini dapat kita cermati terutama dengan rentetan aspirasi dan tuntutan
politik rakyat yang makin terbuka dan kritis. Tuntutan politik dari sector infrastruktur
politik (social demond) tersebut, secara niscaya patut menjadi rujukan yang berarti
dalam dataran format kepolitikan Indonesia. Artinya, keterlibatan rakyat dalam
mengemas perubahan dan pembaharuan politik, tak ayal lagi mesti ditengok dalam
kacamata politik secara terbuka. Agar keanekaragaman kehidupan politik negara
bangsa ini merupakan identitas bersama yang tidak bisa dipinggirkan dalam tatanan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 7
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
politik nasionalnya. Sebab dalam pandangan David Beetham, demokratis atau
tidaknya suatu negara ini bisa dilihat dari hal yaitu : popular control dan political
equality.3
Itu sebabnya, baik yang berupa tuntutan, dukungan dan sekaligus partisipasi
politik rakyat, bukan lagi harus ditengok secara subyektif bergantung pada
kepentingan-kepentingan politiknya semata, melainkan hal itu merupakan
keniscayaan membangun interaksi politik dalam menggodok kedewasaan politiknya.
Keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik merupakan satu kesatuan yang tidak
bisa dimarginalisasikan dalam merumuskan persoalan kebangsaan dan
kenegaraannya.
Peran serta rakyat tidak bisa dibantah, pertama-tama dengan rangkaian
system sosialnya yang menggiring perilaku individu-individunya, terutama dengan
beralihnya keyakinan politik rakyat dari zaman orde baru yang terkerangkeng. Pada
pasca orde baru kerangkeng politik sudah tidak mampu lagi menampung
kegelisahan politik rakyat yang menghendaki perubahan politik secara kondusif. Dan
realitas politik yang terbuka mau tidak mau sangat membutuhkan interaksi politik
yang demokratis. Interaksi politik tersebut sesungguhnya merupakan bagian penting
dalam pergumulan kehidupan politik negara bangsa, agar proses diagnosis dialogis
persoalan kebangsaan berjalan dengan kekerasan politik, melainkan melakukan
dialog kritis dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh bangsa, sehingga dialog
kritis tersebut mampu membuahkan kejernihan nurani dan kebeningan akal sehat
dalam melakoni aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemilu 2004
Pemilu ke-9 yang dilaksanakan pada bulan April 2004, telah terlaksana
dengan baik dan sesuai dengan harapan, meskipun masih banyak kekurangan.
Tujuan dari Pemilu yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan
kata lain terjadi perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang
terutama di legislatif.
Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah,
beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan
negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan
3 David Beetham, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press 65 Bridge Street, Cambridge CB2 1UR, UK.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 8
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional
yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
Pemilu 2004, memiliki keunikan tersendiri, dimana dipadukan dua sistem
pemilu sekaligus, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga dalam
pencoblosan anggota legislatif, masyarakat pemilih dihadapkan pada pilihan gambar
dan nama calon anggota legislatif. Disamping itu, Pemilu dibagi dua tahap, tahap
kedua ini adalah dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif).
Namun realitas di masyarakat, ada banyak anggapan bahwa dalam Pemilu
2004, golput cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya kekecewaan dari
masyarakat terhadap perilaku elite yang tidak mampu memegang amanah yang
telah diberikan oleh rakyat. Contoh paling kongkrit adalah, ada satu partai yang pada
Pemilu 1999 sangat kental dan bahkan mengidentikan dirinya sebagai partainya
wong cilik, namun kenyataannya, pasca Pemilu atau setelah mereka berkuasa
malah memelihara wong licik.
Dari sini saja masyarakat bisa menilai, sebab bagaimanapun juga masyarakat
Indonesia tidak sebodoh yang dibayangkan oleh elite politik. Mereka bisa menilai
kinerja baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka sangat kecewa dengan
perilaku elite, yang lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya
dibanding dengan ngurus rakyat.
Ada berbagai macam alasan kenapa mereka memilih golput, atau dengan
kata tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2004, yang secara garis besar Michael Rush
dan Phillip Althof membagi menjadi 4 (empat), yaitu :
1. Apatis, di teliti oleh Morris Rosenberg.Artinya masa bodoh, tidak punya
minat/tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi dan gejala-gejala
pada umumnya. Alasan: a. Konsekuensi yang di tanggung dari aktivitas
politik; b. Aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia saja; c. Tidak adanya
perangsang untuk beraktivitas dalam dunia politik.
2. Sinisme, di teliti oleh Robert Agger.Kecurigaan yang buruk dari sifat manusia.
Perasaan bahwa politik itu adalah sesuatu “urusan yang kotor”.
3. Alienasi,(terasing), di teliti oleh Robert Lane. Perasaan keterasingan dari
politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai
pemerintahan dan politik di lakukan oleh orang lain dan untuk orang lain,
mengikuti aturan yang tidak adil.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 9
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
4. Anomi(terpisah), di teliti oleh Durkheim. Perasaan kehilangan nilai dan
ketiadaan arah.4
Namun yang jelas bahwa alasan mereka tidak berpartisipasi, atau dengan
kata lain memilih golput tidak dapat digeneralisir. Paling tidak dalam pandangan
saya, ada beberapa kelompok yang menjadi golput:
Pertama, anggota dan simpatisan partai politik yang tidak lolos verifikasi;
Kedua, mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintahan sebelumnya dan
bahkan memiliki pengalaman yang pahit dengan penguasa;
Ketiga, pribadi atau kelompok yang terbuang dari partai;
Keempat, mereka yang menganggap partai politik yang ada tidak memiliki
platform yang baik, dan menganggap kemampuan calegnyapun tidak capable;
Kelima, masyarakat urban yang tidak memiliki identitas diri yang jelas;
Keenam, Pendukung setia Gus Dur, sebab Gus Dur menyatakan diri Golput
setelah pencalonannya di tolak oleh KPU;
Ketujuh, Partai dan pendukung Capres/Cawapres yang kalah dalam putaran
pertama Pemilu Presiden.
Dalam masyarakat baru Indonesia yang sedang tumbuh, golput hanyalah
satu fenomena yang belum bisa dikategorikan secara akademis. Dalam pandangan
Indra J Pilliang5 dapat dikategorikan: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis
penolakan atas apapun produk sistem ketatanegaraan saat ini; Kedua, golput
pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak
ada pemilu, ikut tidak ikut memilih, tidak akan berdampak atas diri si pemilih; Ketiga
golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Seperti yang
dilakukan oleh Gus Dur dalam Pemilu Presiden tahap pertama, dan atau yang
dilakukan oleh PKS dan PAN dalam Pemilu Presiden tahap kedua.
Pentingnya Sosialisasi Politik
Dari permasalahan diatas, dimana dari tahun ke tahun fenomena golput
semakin besar, dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya
4 Michael Rush and Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, cetakan lima, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. 5 Indra J. Pilliang, “Golput dan Masyarakat Baru Indonesia”, KOMPAS, 18 Juli 2004, hal 5.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 10
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Pemilu bagi terciptanya sistem pemerintahan yang lebih baik di masa yang akan
datang. Dalam upaya sosialisasi Pemilu di Indonesia, perlu kiranya Pemerintah
dalam hal ini KPU mempertimbangkan karakteristik masyarakat Indonesia. Ini akan
berpengaruh pada jenis, model dan strategi apa yang akan diterapkan dalam upaya
mensosialisasikan Pemilu kepada masyarakat. Apalagi khusus untuk Pemilu tahun
2004 ini ada keunikan tersendiri, dimana masyarakat belum terlalu banyak tahu
tentang model Pemilu.
Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah/KPU harus diimbangi secara
sinergis oleh partai-partai politik peserta Pemilu. Sebab bagaimanapun juga, peran
partai politik sangat besar bahkan yang paling utama. Namun kesulitan yang dialami
oleh parpol adalah waktu kampanye yang sempit dan adanya masa reses, sehingga
peran partai sebagai agen sosialisasi menjadi tidak optimal. Perlu kiranya disini
pemerintah dan parpol menyadari bahwa pelaksanaan Pemilu bukan hanya agenda
lima tahunan yang tidak bermakna apa-apa, hanya merupakan kewajiban temporer
yang harus dilakukan.
Pemilu pada hakekatnya adalah proses untuk mengevaluasi kinerja
pemerintahan sebelumnya. Kalau sukses maka mereka akan mendapat carrot dari
masyarakat berupa dipilihnya lagi untuk memimpin negara lima tahun kedepan.
Namun bagi pemerintahan yang jelek yang tidak aspiratif akan nurani rakyatnya
sendiri, Pemilu merupakan stick, berupa penarikan dukungan dengan cara tidak
memilihnya lagi untuk periode selanjutnya.
Disinilah butuh kerja yang sinergis antara pemerintah/KPU dengan political
society, dalam upaya menegakan civil society yang bermuara pada terciptanya clean
government dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap nurani rakyat.
Pemilu 2004 disebut oleh Herry Tjahjono6 “Pemilu Mabuk”. Dalam tinjauan
psikologi umum dan sederhana, mabuk dapat diartikan “proses turunnya kesadaran
akibat pengaruh minuman keras, sehingga aspek kognisi (pikiran), afeksi
(perasaan), konasi (psikomotorik), dan perilaku menjadi tidak normal, kacau dan
cenderung seenaknya sendiri. Kondisi seperti itulah yang sedang berlangsung
dalam Pemilu kali ini. Contoh perilaku mabuk dalam Pemilu 2004 ini antara lain:
Ketua PKPB menyatakan “Kalau merasa orang Jogja dan bangga dengan Jogjanya,
6 Herry Tjahjono, “Pemilu Mabuk”, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal. 5.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 11
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
marilah jadi antek Soeharto”7 Lalu Megawati, Hamzah Haz, Yusril Ihza, Yusuf Kalla
melanggar ketentuan cuti dan banyak menggunakan fasilitas negara.
Atau betapa tidak malunya (mabuk) dua Presiden terakhir yang telah
dianggap gagal, tidak merealisasikan program dalam kampanye 1999, tidak mampu
memperbaiki kondisi ekonomi dan politik bangsa, terlibat KKN, ketika kampanye
dalam Pemilu 2004 mengatakan “Peduli suara rakyat, ingin memperjuangkan rakyat
kecil, memberantas Korupsi” dan sebagainya. Hal-hal seperti ini hanya merupakan
kedok untuk menutupi nafsu kekuasaan atau “mabuk kekuasaan”.
Sukses Pemilu
Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya
adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang
bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang
menghabiskan Trilyunan rupiah.
Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang sukses adalah menjadi pemilih
yang rasional, yang dalam melakukan pencoblosan mempertimbangkan program
partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai dan pribadi caleg/capresnya,
dan yang paling utama adalah pada track-record pribadi caleg/capres.
Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan
terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan
pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh
berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah,
tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi
idola.
Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat
dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik.
Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada
Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.
Modernisasi dan Kesadaran Politik
Mulai sekarang ke depan, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah perlu
melakukan upaya-upaya modernisasi sistem politik dan lembaga-lembaga politik
7 Antek bisa diartikan keset, ibarat barang buangan, sesuatu yang tak bernilai.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 12
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
yang mengarah pada penciptaan kesadaran politik tanpa paksaan. Hal ini penting
karena partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu terakhir (2004) belum menjadi
ukuran meningkatnya kesadaran politik masyarakat.
Masih banyak yang melakukan praktek money politics dan intimidasi
merupakan bukti bahwa partisipasi politik rakyat bukan dilandasi oleh kesadaran
politik melainkan oleh kepentingan di luar itu. Modernisasi adalah proses bersegi
jamak yang melibatkan perubahan di semua kerangka pemikiran dan aktivitas
manusia. Seperti yang dikatakan Daniel Lenner, “proses yang mengandung
beberapa ukuran tersendiri, yang akan menjelaskan mengapa modernitas
berlangsung secara konsisten dan terpadu dalam masyarakat yang hidup dalam
tertib hukum dan keteraturan.”
Secara psikologis, modernisasi melibatkan pergeseran mendasar dibidang
mental, nilai-nilai dan harapan. Manusia primitif mendambakan adanya kelestarian
alam dan lingkungan sosial serta tidak yakin akan kemampuan manusia untuk
mengubahnya. Manusia modern sebaliknya, menyetujui perubahan dan percaya
akan kapasitas mereka. Mereka adalah “pribadi-pribadi yang mobil” yang telah
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah pesat.
Pergeseran ini, secara tipikal menuntut loyalitas dan perubahan identifikasi
diri dari kelompok-kelompok kecil yang konkrit (keluarga, desa) kepada
pengelompokan yang lebih besar dan kompleks serta impersonal (bangsa).
Bersamaan dengan itu, terjadi pula peningkatan kepercayaan terhadap nilai-nilai
yang lebih universal ketimbang yang partikular serta lebih bersandar pada ukuran
prestasi ketimbang indeks askriptif dalam menilai pribadi.
Dari sudut tinjauan sosial, modernisasi cenderung melengkapi semua
keluarga dan kelompok-kelompok primer lainnya agar memiliki peranan-peranan
khusus serta dibarengi dengan munculnya kesadaran akan pentingnya
mengorganisir asosiasi skunder yang memiliki fungsi khusus yang lebih majemuk.
Mobilisasi sosial, seperti yang terjadi di Jerman pada masa NAZI, adalah
suatu proses dengan mana “komitmen-komitmen utama tradisional mengenai situasi
sosial ekonomi dan psikologi terkikis atau hancur dan masyarakat berkesempatan
mengembangkan pola baru sosialisasi dan tingkah laku.8 Semuanya itu
mengandung arti adanya perubahan sikap, nilai, serta tampilnya harapan baru
8 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, American Political Science Review, 55, September 1961, halaman 494.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 13
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
anggota masyarakat yang terikat dengan dunia masa silam menuju ukuran hidup
baru di dunia modern.
Efek modernisasi atas kehidupan politik adalah adanya modernisasi politik.
Modernisasi politik secara alamiah dimaksudkan untuk mengubah masyarakat
terbelakang menjadi maju. Modernisasi politik dapat dikristalkan kedalam 3 kategori
utama:
Sumber: Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a Freedom,
Westview Press Bolder, Colorado.
Pemilu 2004 Sukses atau Gagal
Banyak yang beranggapan bahwa kesuksesan penyelenggaraan Pemilihan
Umum dapat diukur dari besarnya tingkat partisipasi politik masyarakat. Sebagai
ilustrasi, Baskara T. Wardaya9 mengatakan bahwa Pemilu tahun 1955 dikategorikan
sukses, karena partisipasi rakyat dalam Pemilu cukup tinggi. Hal ini bisa terlihat
dalam pemilihan anggota DPR (29 September) masyarakat yang menyalurkan
suaranya ke TPS-TPS sebesar 91,4 persen dan dalam pemilihan anggota
Konstituante (15 Desember) sebesar 89,33 persen.
Pada Pemilu tahun 1955, partisipasi masyarakat sangat besar, padahal
sarana saat itu masih sederhana. Penyelenggara Pemilu dan Partai Politik mampu
mensosialisasikan pentingnya Pemilu, aturan-aturan dalam Pemilu dan hakekat
9 Baskara T. Wardaya, “Pemilu, antara Gebyar dan Substansi, KOMPAS, 27 Maret 2004, hal 4.
Pembangunan politik melibatkan diferensiasi fungsi
politik yang baru dan pengembangan struktur
khusus sebagai pelaksanaan seluruh fungsi tersebut;
Pembangunan politik ditandai oleh meningkatnya peran serta politik yang meliputi seluruh lapisan masyarakat.
Mendalamnya partisipasi dibidang politik
dapat meningkatkan kadar kontrol penguasa atas masyarakat.
Modersisasi politik melibatkan adanya rasionalisasi
kekuasaan, pergantian sejumlah besar pejabat-
pejabat politik tradisional, etnis, keagamaan,
kekeluargaan oleh kekuasaan nasional yang bersifat sekuler;
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 14
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
serta pentingnya Pemilu bagi masyarakat dan negara. Sehingga rakyat mencoblos
dipenuhi rasa lega, bangga dan puas.
Penyelenggara Pemilu mensosialisasikan penyelenggaran Pemilu dengan
efektif, yaitu dengan cara memberdayakan semua agen-agen sosialisasi politik
seperti: Keluarga, kelompok kerja, kelompok sebaya, kelompok keagamaan,
kelompok senggang dan media massa untuk memperkenalkan sistem Pemilu
kepada masyarakat.
Sedangkan partai politik juga mensosialisasikan selain kepentingan partai,
pentingnya Pemilu, juga para pemimpin parpol saat itu memiliki komitmen
kebangsaan yang tinggi dan kampanye tidak menekankan penampilan penuh
gebyar yang sifatnya hiburan sesaat, tapi kepada program demi rakyat. Para
pemimpin politik berlomba turun ke masyarakat, mereka berusaha menunjukan
partainya memiliki kepedulian kepada masyarakat, seperti pembangunan jembatan,
mendirikan sekolah dan memberantas buta huruf.
Namun sebenarnya Pemilu tahun 1955 dan Pemilu tahun 2004 ini sulit
diperbandingkan, sebab masa telah berbeda dan pola kehidupan masyarakatpun
sudah berbeda. Pemilu 2004 dibagi dalam tiga tahapan Pemilu secara berurutan.
Tahap Pertama adalah pemilihan anggota Legislatif yang telah diselenggarakan
pada tanggal 5 April 2004, Tahap Kedua adalah Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang diselenggarakan pada bulan Juli 2004, dengan ketentuan yang
berhak mencalonkan paket Capres/Cawapres adalah partai yang memenangkan
suara minimal 3 persen dalam Pemilu tahap pertama atau Capres didukung oleh
partai-partai minimal 3 persen (dapat diakumulasikan dari partai-partai kecil yang
mendapatkan suara dibawah 3 persen).
Apabila dalam Pemilu tahap pertama ini tidak terpilih Capres/Cawapres yang
didukung oleh rakyat 50 persen + 1, maka Pemilu dilanjutkan pada Tahap Ketiga.
Kendala yang dihadapi dalam Pemilu sekarang ini memang lebih banyak
dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 1955 dan 1999, diantaranya:
1. Penetapan Peserta Pemilu dan pengundian nomor peserta Pemilu terlalu
mepet dengan pelaksanaan kampanye dan pencoblosan, (padahal penetapan
anggota KPU sudah ditetapkan tak kurang dari 2 tahun yang lalu);
2. Pembuatan Kotak Suara dan Bilik Suara tidak mempertimbangkan waktu
pembuatan, sehingga kotak suara hampir tidak selesai dalam waktu yang
telah ditentukan (selayaknya dibuat 1-2 tahun yang lalu);
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 15
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
3. Kertas suara baik DPR, DPRD maupun DPD hampir terlambat dan masih
banyak kesalahan cetak, hal ini disebabkan oleh yang pertama;
4. Kurangnya sosialisasi Pemilu baik yang dilakukan oleh Pemerintah (KPU)
ataupun oleh Partai Politik, tentang aturan-aturan dalam Pemilu;
5. Tidak akuratnya data Pemilih yang dilakukan oleh BPS, banyak kartu suara
tak bertuan atau pemilih yang tak terdata (hal ini memberi peluang untuk
berbuat curang, seperti yang terjadi di Jawa Timur);
6. Masih adanya money politics dan serangan fajar yang dilakukan oleh partai-
partai besar beberapa saat menjelang pencoblosan;
7. Anggota KPU dan Panwaslu yang tidak responsif terhadap permasalahan,
sehingga banyak dugaan miring yang dialamatkan kepada mereka.
Sukses Pemilu
Sebenarnya ukuran kesuksesan sebuah Pemilu memang salah satunya
adalah tingkat partisipasi politik masyarakat. Namun partisipasi politik yang
bagaimana yang dikatakan sebagai suksesnya penyelenggaraan Pemilu yang
menghabiskan Trilyunan rupiah ini. Keterlibatan masyarakat dalam Pemilu yang
sukses adalah menjadi pemilih yang rasional,yang dalam melakukan pencoblosan
mempertimbangkan program partai dan pribadi caleg/capresnya, track-record partai
dan pribadi caleg/capresnya, dan yang paling utama adalah pada track-record
pribadi caleg/capres.
Pemilih yang rasional tidak lagi memilih atas dasar pertimbangan kefanatikan
terhadap partai, kefanatikan kepada seorang tokoh. Pemilihan partai berdasarkan
pertimbangan kecocokan platform dan program kerja partai, sedang pemilihan tokoh
berdasarkan pertimbangan track record tokoh tersebut, kalau yang bermasalah,
tidak jujur, tidak bersih dan sebagai tidak usah dipertahankan untuk tetap menjadi
idola.
Untuk mensukseskan atau memperbesar tingkat partisipasi politik masyarakat
dalam Pemilu adalah dengan jalan terencara dan teraturnya sosialisasi politik.
Karena keberhasilan atau kegagalan dalam sosialisasi akan berpengaruh kepada
Pertisipasi Politik, Recruitment Politik dan Komunikasi Politik.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini ada keyakinan bahwa masyarakat pemilih lebih
dari 40 persen belum tahu cara pencoblosan yang baik/sah. Padahal Pemilu 2004
memiliki makna amat strategis bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada satu sisi,
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 16
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Pemilu diharapkan lebih baik daripada Pemilu sebelumnya, dengan memperbaiki
sistem dan aturan pelaksanaan. Baik dalam sistem, aturan pelaksanaan, maupun
aturan permainan merupakan perubahan atau penyempurnaan untuk menjawab
berbagai kekurangan dan kelemahan sebelumnya.
Dengan sistem Pemilu yang baru diharapkan bisa lebih produktif. Hasil
Pemilu 2004 diharapkan dapat menjadi pintu masuk dalam mewujudkan Indonesia
baru yang demokratis. Pemilu merupakan ajang kompetisi politik dalam upaya
memperebutkan suara rakyat guna meraih kekuasaan politik. Meski demikian, dalam
Pemilu dan kampanye politik, persaingan politik harus tetap dalam koridor yang
santun dan terhormat, tidak curang apalagi saling mempecundangi lawan tanpa
etika.10
Kehadiran demokrasi mensyaratkan adanya dimensi kompetisi, partisipasi
politik yang luas, adanya tingkat kebebasan sipil secara substansial, dan adanya
jaminan atas pluralisme yang memungkinkan masyarakat menyatakan preferensi
politiknya secara terbuka.
Menurut Joseph Schumpeter, demokrasi merupakan suatu sistem untuk
mencapai keputusan politik, yakni perseorangan mendapat kekuasaan menentukan
melalui perjuangan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat.11
Dengan demikian, Pemilu dapat dikatakan sukses apabila tingkat partisipasi
politik masyarakat tinggi dan keterlibatan mereka (partisipasi) dilakukan dengan
pertimbangan yang rasional/pemilih rasional. Dalam pelaksanaannya setiap partai
politik melakukan persaingan dengan fair, sopan dan tidak anarkhis. Kondisi ini bisa
dicapai dengan terlebih dahulu perlu adanya sosialisasi yang kontinyu baik oleh KPU
maupun oleh Partai Politik, baik mekanisme Pemilu, tahapan Pemilu maupun aturan
pelaksanaan pencoblosan yang benar.
Kalau melihat iklan di televisi, setiap Partai hanya mengajak masyarakat
untuk mencoblos gambar partai, tak ada yang mengajak untuk mencoblos nama-
nama caleg dari partainya yang berderet dibawah gambar partainya. Hal ini
merupakan pembodohan masyarakat, karena mengajak masyarakat untuk memilih
partai (proporsional) tidak memilih orang-orang yang kapabel di partainya (distrik).
Dikatakan pembodohan karena dengan memilih partai saja, maka suara akan
dilimpahkan kepada caleg nomor 1 dan berurutan kebawah, tanpa terlalu siapa dia
10 Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23 Maret 2004, hal 4. 11ibid
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 17
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
dan bagaimana perilakunya, dan sebagian besar nomor 1-2 adalah droping dari
pusat. Seperti Taufik Kiemas (1) dan Marisa Haque (2) untuk daerah Pemilihan
Jabar II (Kabupaten Bandung). Sedangkan kalau dijelaskan atau mendorong untuk
menyebut nama caleg, bisa saja caleg nomor urut yang besar, namun dekat dan
dikenal oleh masyarakat di DP-nya akan terpilih.
Elaborasi Pasangan Capres-Cawapres Pemilu 2004
Sistem Pemilihan yang diterapkan di Indonesia pada tahun 2004 ini adalah
sistem varian proporsional. Sistem varian proporsional adalah memadukan antara
sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga ada perbedaan yang signifikan
dengan apa yang terjadi di AS yang menerapkan sistem distrik murni dan Pemilu-
pemilu sebelumnya di Indonesia yang menerapkan sistem proporsional. Perbedaan
itu tampak jelas dalam pemilihan anggota legislatif, sedangkan dalam pemilihan
anggota DPD dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden memakai sistem distrik.
Yang menarik sekarang adalah tentang mekanisme dan tahapan dalam
pemilihan Presiden-Wapres. Ada perbedaan antara di AS dan Indonesia yang
menerapkan sistem yang sama. Di AS Pemilihan Presiden dilakukan duluan
dibanding pemilihan legislatif. Hal ini membuat masyarakat mampu
mengkomposisikan anggota legislatif dari partai non-pemerintah daripada anggota
legislatif dari partai pemerintah dalam upaya check and balances terhadap eksekutif
yang telah terpilih sebelumnya. Komposisi antara partai pendukung pemerintah dan
partai oposan di legislatif biasanya lebih besar dari partai oposan.
Namun di Indonesia, pemilihan Presiden-Wapres dilakukan setelah
dilakukannya pemilihan legislatif, sehingga peran masyarakat untuk menciptakan
check and balances dirasakan tidak signifikan. Sebab koalisi yang dibangun pada
akhirnya dilakukan pasca pemilihan anggota legislatif dengan mempertimbangkan
jumlah kursi dan perolehan suara dari pemilihan anggota legislatif.
Rakyat tidak dihadapkan untuk menciptakan sistem check and balances,
sebab sistem dan pemilihan mana partai pemerintah dan mana partai diluar
pemerintah (oposan) sangat ditentukan oleh kompromi elite politik, bahkan mungkin
tidak akan ada sistem check and balances sebab budaya oposan belum
berkembang di Indonesia. Semua partai politik senantiasa menginginkan ikut bagi-
bagi kueh kekuasaan daripada harus menjadi oposan, sebab dengan ikut dalam
sumbu kekuasaan mereka berharap akan meraup uang untuk modal Pemilu
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 18
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
berikutnya. Mekanisme seperti inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya KKN
dalam rezim-rezim yang ada di Indonesia.
Mudah-mudahan dalam Pemilu 2004 ini nantinya, budaya oposan akan
tumbuh dalam sistem politik di Indonesia. Sebab salah satu fungsi oposan adalah
untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah, agar pemerintah sadar akan
kelemahannya dan hal apa saja yang harus diperbaiki. “Oposan diibaratkan seperti
setan yang terus mengganggu manusia agar manusia tidak berbuat salah”.
Lahirnya partai oposisi memungkinkan lahir ketika pemilihan Presiden sudah
mulai mengerucut pada dua pasang kandidat Presiden pada pemilihan Presiden
tahap kedua, sebab penulis yakin dari komposisi Capres-Wapres dalam tahap
pertama tidak akan menghasilkan Capres dan Wapres yang didukung oleh 50
persen + 1 dari rakyat Indonesia. Dengan demikian Pemilu akan dilanjutkan pada
tahap berikutnya, dan disinilah nanti yang menang jadi pemerintah dan yang kalah
jadi oposan.
Menimbang Pasangan Capres-Wapres
Kalau melihat polling-poliing yang dilakukan baik oleh Televisi maupun oleh
penyelenggara penelitian, tampak bahwa ada beberapa nama yang diharapkan oleh
masyarakat untuk menjadi Presiden di Republik ini (sayang tidak ada orang Sunda).
Mereka diantaranya Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Megawati
Soekarnoputri, Gus Dur, Nurkholis Madjid, Wiranto dan sebagainya.
Diantara nama-nama diatas yang menduduki urutan pertama adalah Susilo
Bambang Yudhoyono yang biasa dikenal dengan SBY. Namun persoalannya
seandainya Partai Demokrat mengajukan SBY sebagai Calon Presiden, siapa yang
kiranya dapat mendampingi beliau sebagai Wakil Presiden yang dapat
mengusungnya menduduki puncak kekuasaan di Republik ini. Diantara nama-nama
yang tersedia yang bisa dijadikan wakil Presiden adalah: Pertama, Yusuf Kalla.
Peluang Yusuf Kala untuk mendampingi SBY sangat besar apalagi setelah keluar
dari konvensi Partai Golkar.
Duet SBY-Yusuf Kala, selain perkawanan yang kental (orang pertama yang
mengunjungi kantor SBY setelah SBY mengundurkan diri dari Menkopolkam adalah
Yusuf Kala), juga bisa menyeimbangkan kekuatan Sipil-militer, Jawa-Luar Jawa dan
Kota-Desa. SBY banyak mendapat simpati dan dukungan di kota-kota besar di
Indonesia secara merata, sedangkan Yusuf Kala mendapat dukungan dari
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 19
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Komposisi ini dirasakan akan
menjadi magnet bagi kesuksesan mereka menjadi penguasa di negeri ini.
Kedua, Hidayat Nur Wahid. Peluang Hidayat Nur Wahid untuk mendampingi
SBY juga cukup besar. Namun dua nama yang sedang naik daun ini tidak akan
terlalu banyak mendapatkan suara, sebab nantinya akan berhadapan dengan calon
lain yang diusung oleh partai-partai besar.
Ketiga, Hasyim Muzadi. Peluang Hasyim Muzadi untuk menjadi Wapres SBY
sama dengan peluang yang dimiliki oleh Hidayat Nur Wahid. Cuma akan lebih kecil
apabila PKB tetap menginginkan Gus Dur sebagai Presiden, peluang menjadi besar
apabila PKB (NU), Muhamadiyah, PKS, PBB, PPP merestui pasangan ini, lawan
berat bagi mereka adalah mungkin Megawati Soekarnoputri-Yusuf Kala.
Calon kedua adalah Amien Rais, yang meskipun perolehan suara PAN dalam
pemilihan anggota legislatif ada penurunan bahkan dalam urutan dibawah Partai
Demokrat dan PKS tetap ngotot untuk mencalonkan diri. Sebab dalam pikiran pak
Amien dan kawan-kawannya di Amien Rais Center, perolehan suara PAN tidak
identik dengan suara dukungan terhadap Amien Rais.
Dalam memilih pasangan Amien Rais menginginkan di luar Partai Islam
(Nasionalis), sehingga peluang Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi sangat tipis.
Yang paling besar peluangnya adalah Agum Gumelar. Meskipun secara prospektif
akan lebih besar peluangnya bersama Yusuf Kala, namun peluang mendapatkan
Yusuf Kala kecil karena SBY lebih besar peluangnya seperti dinyatakan diatas.
Duet Amin Rais-Agum Gumelar, pilihan yang realistis bagi Amien Rais, sebab
bagaimanapun juga Agum Gumelar saat ini merupakan representasi orang Sunda.
Jika duet ini terwujud minimal masyarakat Jawa Barat dan Banten akan memberi
dukungan, disamping keluarga TNI bisa terpecah ke Agum, SBY dan Wiranto. Duet
lainnya adalah Amien Rais-Eros Djarot, Amien Rais-Siswono, Amien Rais-Sri Sultan
Hamengkubuono atau Amien Rais-Rahmawati Soekarnoputri.
Calon Ketiga adalah Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat ini.
Orang yang berpotensi untuk mendampingi Megawati, yang potensial adalah:
pertama, Hasyim Muzadi. Hasyim Muzadi dianggap merepresentasikan kaum
Nahdiyin yang merupakan organisasi keislaman terbesar, sedangkan PDI-P dan
Megawati merepresentasikan kekuatan nasionalis. Dukungan dari masyarakat akan
luas, asal Gus Dur rela juniornya (Hasyim Muzadi) bergandengan dengan sosok
yang dianggap oleh Gus Dur telah menohoknya dalam SI MPR 2001. Kalau Gus Dur
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 20
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
dan para Kyayi rela, maka dukungan akan besar, namun sebaliknya kalau tidak ada
dukungan kekuatan Nahdiyin akan terpecah.
Kedua, Syafii Ma’arif, peluangnya sama dengan Hasyim Muzadi, sebab Syafii
Ma’arif juga mendapat dukungan dari Muhamadiyah. Namun kesulitannya,
Muhamadiyah telah menyatakan sikap untuk mendukung Amien Rais sebagai
Presiden. Ketiga adalah Hamzah Haz, Duet Mega-Hamzah juga memiliki kans yang
sangat besar, bahkan jauh lebih besar dibanding dengan duet Mega-Hasyim Muzadi
dan Mega-Syafii Ma’arif. Duet lain yang disebut-sebut adalah Megawati-Malik
Fadjar, namun peluangnya kecil.
Calon Presiden lainnya adalah Wiranto, kemenangan dalam konvensi Partai
Golkar sedikit mempermulus jalan. Untuk memilih Wakil Presiden, Wiranto tidak
terlalu memiliki banyak pilihan, karena kandidat lain telah lebih jauh melakukan
negoisasi yang telah mengarah pada koalisi.
Diantara orang yang tersedia, adalah: pertama Hasyim Muzadi, peluangnya
sangat besar, dengan catatan Gus Dur memberikan restu kepada Hasyim untuk
menjadi Wapres, yang lain adalah Ginandjar Kartasasmita, kalau melihat hasil
pemilu untuk anggota DPD, suara yang diberikan rakyat Jawa Barat kepada
Ginandjar cukup besar dan menduduki rangking 1 di daerah pemilihan Jawa Barat,
minimal duet Wiranto-Ginandjar bisa bersaing di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI
Jogjakarta dan Jawa Barat serta beberapa daerah di luar Jawa. Atau Wiranto bisa
juga menggandeng Sri Sultan Hamengkubuwono, peluangnya sama besar dengan
duet Wiranto-Ginandjar, duet lainnya Wiranto-Siswono Yudho Husodo, namun
peluangnya kecil karena Siswono juga dicalonkan oleh partai-partai kecil untuk jadi
Presiden.
Berikutnya adalah Gus Dur (dengan catatan lolos tes kesehatan yang
dilakukan oleh KPU bersama IDI), siapa yang mendampingi Gus Dur ini sangat
menarik. Namun kalau kita menyaksikan dialog di salah satu TV Swasta pada
tanggal 15 April 2004, pukul 23.00 Wib, ada satu nama yang terselip dari
pembicaraan Gus Dur, yaitu Prabowo Subianto, disamping nama Surya Palloh dan
Aburizal Bakrie. Jadi besar kemungkinan Gus Dur akan didampingi oleh salah satu
dari ketiga nama tersebut.
Meskipun banyak yang lainnya, namun gerbong yang akan mengusungnya
tidak terlalu signifikan umpamanya Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra dan Hamzah
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 21
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Haz. Jadi dalam pembahasan ini sulit untuk memprediksi kearah mana koalisi yang
akan dibangun oleh mereka.
Pada tahap pertama akan banyak pasangan Capres dan Cawapres, namun
pada akhirnya pada tahap kedua akan muncul dua sampai tiga pasangan yang
memenuhi ketentuan minimal didukung oleh 20 persen suara pemilih. Dalam hemat
penulis akan muncul pasangan SBY-Yusuf Kala, Megawati-Hashim Muzadi atau
Wiranto-Hasyim Muzadi, serta mungkin Amien Rais-Agum Gumelar.
Terlepas dari itu semua, diharapkan dalam Pemilu 2004 ini terselenggara
secara lebih baik dibandingkan dengan pemilu legislatif yang banyak dikritik terdapat
bermacam-macam kekurangan dan kecurangan, sehingga pada akhirnya nanti akan
lahir pemimpin yang capable, yang mampu membawa bangsa Indonesia kearah
yang lebih baik, lebih beradab dan lebih terhormat dimata Internasional. Disamping
itu, pemilu ini juga diharapkan jauh dari tindakan anarkhis. Dan para Capres-
Cawapres lebih mempersiapkan diri lagi untuk menjadi pemenang dan untuk kalah.
Ketika menang langkah apa yang harus dilakukan dan ketika kalah langkah yang
harus dilakukan, dengan tidak mengganggu tatanan negara yang sama-sama
sedang kita perjuangkan untuk lebih demokratis dan manusiawi.
PEMILU 2009
Pemilihan umum dalam sebuah rezim demokratis adalah sarana untuk
melakukan rulling class baik dalam tataran eksekutif maupun legislative. Pemilu
juga merupakan sarana mengevaluasi kinerja pemerintahan, sebab kalau
pemerintahan disukai oleh rakyat maka dia akan terpilih lagi dalam pemilu
selanjutnya, begitu pula sebaliknya apabila pemerintahan tidak mampu
memuaskan keinginan rakyat, maka pemilu merupakan ajang yang tepat untuk
mengganti pemerintahan.
Sudah menjadi suatu kelaziman bahwa dua-satu tahun menjelang pemilihan
umum, situasi politik nasional akan diramaikan oleh persiapan partai-partai politik
dan juga elite-elite politik dalam memperjuangkan kepentingannya dalam aktivitas
politik regular lima tahunan.
Persiapan tidak hanya melakukan konsolidasi dalam tubuh partai, melainkan
juga mempersiapkan isyu politik yang akan diusung dalam pemilu, sehingga
menjadi sebuah kewajaran, partai dan elite politik kerap melakukan politisasi
terhadap masalah-masalah public. Disamping itu, elite partai juga mulai getol
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 22
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
mencari sumber-sumber keuangan untuk melancarkan program pemenangan
dalam pemilu. Sebagai sebuah contoh adalah aliran dana Departemen Kelautan
yang melibatkan hampir semua elite politik Indonesia pada pemilu 2004. Aliran
dana tersebut masuk kedalam kas partai dan juga tim sukses calon presiden yang
melibatkan Tim sukses SBY, Amien Rais, Mega Centre, PKS dan pribadi-pribadi
elite lainnya.
Terungkapnya aliran dana Departemen Kelautan, diyakini hanya merupakan
gelembung kecil dari realitas yang ada, tidak tertutup kemungkinan departemen-
departemen lain dan juga sumber-sumber keuangan lainnya melakukan langkah
serupa. Hal ini menarik disaat Indonesia sedang mencoba bangkit dari
keterpurukan dan mengharapkan elite-elite diatas menjadi lokomotor perubahan,
malah mempertontonkan perilaku yang berseberangan dengan semangat clean
government.
Kita memang menyadari bahwa perjuangan membutuhkan biaya, perubahan
yang ingin ditegakkan butuh sarana penunjang, namun tepatkah langkah-langkah
yang dilakukan tersebut ? Masyarakat berharap, menjelang pemilu tahun 2009,
perilaku elite yang seperti itu tidak lagi melakukan langkah-langkah yang
kontradiktif dengan keinginan rakyat tersebut. Oleh sebab itu, bagi elite nasional
yang memiliki keinginan untuk menjadi kompetiter dalam pemilu 2009, mampu
menggandeng sumber-sumber dana dari luar pemerintahan. Hal yang dilakukan di
AS adalah dengan cara mengumpulkan dana dari masyarakat dan dunia usaha
yang menjadi simpatisan elite tersebut. Hillary Clinton, Obama dan lain-lain telah
memiliki anggaran yang cukup besar yang didapatkan dari simpatisan, bisakah
dilakukan oleh elite politik Indonesia ?
Profesionalisme partai politik menjadi sebuah keharusan dalam upaya
meminimalisir kemungkinan penyelewengan uang negara. Partai tidak lagi mencari
penghidupan dari negara, melainkan menjadi sebuah kancah candradimuka dalam
melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap negara dan
masyarakatnya. Fungsi partai sebagai agen sosialisasi politik selayaknya menjadi
kerangka acuan. Sehingga dari partai politik tersebut lahir negarawan-negarawan
yang mampu menyelami hati nurani rakyat.
Selama ini yang dirasakan oleh masyarakat, partai politik adalah comprador
yang terorganisir dalam mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 23
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
golongannya. Hal ini diperkuat dengan terbukanya aliran dana dari departemen
kelautan untuk beberapa pribadi dan partai politik.
Selain masalah dana tersebut, daya tarik yang dapat dijadikan perkuatan
partai politik menjelang pemilu 2009 adalah regenerasi dalam tubuh partai, sebab
selama ini, perilaku elite politik yang ada telah mempertontonkan perilaku yang
jauh dari harapan rakyat. Elite politik yang selama ini berkecimpung dalam aktivitas
politik nasional diyakini telah melewati masa keemasannya, sehingga dibutuhkan
rising star yang masih cukup energik dalam mengemban amanat rakyat.
Generasi baru dalam partai politik Indonesia memang telah lahir. Sirkulasi
elite dalam tubuh parpol yang dilaksanakan melalui musyawarah nasional,
kongres, atau muktamar sepanjang tahun 2004 dan 2005 telah menghasilkan
generasi baru dalam politik Indonesia. Meskipun tidak semua partai melahirkan
pemimpin dari generasi muda, namun tersembul harapan dengan pergantian elite
akan membawa perubahan cakrawala berpikir dari para politisi dalam menatap
masa depan bangsa yang lebih baik.
Kehadiran Muhaimin Iskandar (PKB), Soetrisno Bachir (PAN), Tifatul
Sembiring (PKS) mewakili lahirnya generasi baru dari kelompok muda, dalam
kancah politik Indonesia. Disisi lain, meskipun Partai Golkar, Partai Demokrat dan
PDI-P masih dipimpin oleh “macan-macan” lama, namun dari rahim partai-partai
tersebut, telah lahir elite partai yang “belum” terkontaminasi nafas orde baru seperti
Andi Alvian, Anas Urbaningrum (PD), Budiman Soejatmiko (PDI-P) dan Yudi
Chrisnandi (PG).
Besar harapan, dari kelompok muda ini, lahir pemikiran-pemikiran yang
progresif dan ikut mewarnai partai dalam upaya memperjuangkan nasib rakyat.
Nasib rakyat seyogyanya bukan hanya sebatas komoditas politik menjelang
pemilu, lalu setelah kekuasaan didapat menjadi raib seiring berjalannya waktu.
Nasib rakyat Indonesia yang hampir 60 persen berkategori miskin (berpendapatan
dibawah 200 dollar AS) adalah tanggungjawab semua elite untuk diperjuangkan
mendekati kelayakan.
Seandainya kelompok muda ini kokoh dengan pendirian dan konsisten
dalam memperjuangkan nasib rakyat, maka partai-partai tersebut akan menjadi
daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk menyalurkan suaranya lewat partai-
partai tersebut, sehingga menyebabkan kompetisi semakin sengit terutama dalam
memperebutkan kursi DPR dalam pemilu legislative 2009.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 24
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di masyarakat timbul kerinduan
kepada model pengelolaan negara yang berlangsung selama masa pemerintahan
orde baru, dengan beberapa perbaikan, seperti rule of law yang jelas, skala
prioritas pembangunan, tahapan-tahapan pembangunan yang jelas dan adanya
optimalisasi peran negara dalam memperjuangkan nasib rakyat.
Dengan demikian, skala prioritas partai-partai politik menjelang pemilu tahun
2009 adalah bagaimana menginventaris suara rakyat, lalu mewujudkannya dalam
tataran program kerja partai, sehingga apa yang dijual sesuai dengan selera
rakyat. Diharapkan dengan kehadiran generasi muda yang masih energik dalam
tubuh partai-partai politik yang, partai dapat menangkap hal-hal tersebut. Dan
diyakini, hal ini akan menyebabkan persaingan yang fair dalam meraih simpati
masyarakat.
Faktor lain yang menyebabkan persaingan sengit adalah terjadinya
perpecahan didalam tubuh partai-partai besar seperti PDI-Perjuangan, Partai
Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan juga Partai Golongan Karya. Hal ini
membuat kesempatan antar partai untuk memperoleh suara yang banyak, akan
semakin kompetitif.
Partai-partai baru, baik pecahan dari partai besar maupun partai yang sama
sekali baru, memiliki peluang untuk menangkap peluang dari kekecewaan
sebagian masyarakat atas kinerja partai besar yang mengalami perpecahan.
Dengan demikian kualitas pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2009
nanti akan lebih baik, baik dalam tataran konsep, etika dan juga perilaku.
Diharapkan dengan kondisi seperti itu, masyarakat akan menjadi pemilih rasional.
Perubahan perilaku pemilih dari tradisional ke rasional akan membawa
konsekuensi kepada kesiapan partai-partai politik, terutama tema-tema kampanye
yang lebih memiliki kualitas konsep dan pemikiran yang menjadi daya tarik
masyarakat. Banyak kalangan yang memiliki keyakinan apabila pemilih sudah
berperilaku rasional akan melahirkan pemimpin yang teruji dan memiliki visi
kedepan.
Terdapat pola hubungan korelasional antara perubahan pola pikir pemilih
dengan lahirnya kebaruan dalam tubuh elite nasional, sebab bagaimanapun juga
perilaku yang rasional yang akan dengan sendirinya menyeleksi calon elite yang
akan mengemban tugas kenegaraan berikutnya.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 25
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Realitas ini akan menyebabkan peta persaingan dalam pemilu 2009, diyakini
akan lebih kompetitif dan akan melahirkan elite yang lebih capable dibandingkan
dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Golput Dalam Pemilu 2009
Menjelang pelaksanaan Pemilu ke-10 yang dilaksanakan pada bulan April
2009, suhu politik semakin memanas. Berbagai upaya dilakukan agar pelaksanaan
Pemilu bisa terlaksana dengan baik dan sesuai dengan harapan. Tujuan dari Pemilu
yang paling urgen adalah adanya Sirkulasi elite, atau dengan kata lain terjadi
perubahan dalam kepemimpinan, baik di eksekutif maupun dan yang terutama di
legislatif. Pemilu di harapkan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang amanah,
beretika dan memiliki moral yang baik, sebab dalam pelaksanaan pengelolaan
negara dewasa ini, banyak praktek yang ditampilkan oleh para politisi berlawanan
dengan hal-hal tersebut. Pemilu juga diharapkan melahirkan para pemimpin nasional
yang mampu membumikan tujuan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur.
Pemilu tahun 2009 ini, memiliki keunikan tersendiri, dimana kita memadukan
dua sistem pemilu sekaligus, yaitu sistem proporsional dan sistem distrik, sehingga
natinya dalam pencoblosan anggota legislatif, masyarakat pemilih dihadapkan pada
pilihan gambar dan nama calon anggota legislatif. Disamping itu, Pemilu nantinya
dibagi dua tahap, tahap kedua ini adalah dalam rangka memilih Presiden dan Wakil
Presiden (eksekutif).
Namun realitas di masyarakat, ada banyak anggapan bahwa dalam Pemilu
2009 ini, peluang golput cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya kekecewaan
dari masyarakat terhadap perilaku elite yang tidak mampu memegang amanah yang
telah diberikan oleh rakyat. Contoh paling kongkrit adalah, ada satu partai yang pada
Pemilu 1999 sangat kental dan bahkan mengidentikan dirinya sebagai partainya
wong cilik, namun kenyataannya, pasca Pemilu atau setelah mereka berkuasa
malah memelihara wong licik.
Namun yang jelas bahwa alasan mereka tidak berpartisipasi, atau dengan
kata lain memilih golput tidak dapat digeneralisir. Paling tidak ada beberapa
kelompok yang berpeluang menjadi golput. Pertama, anggota dan simpatisan partai
politik yang tidak lolos verifikasi; Kedua, mereka yang kecewa dengan kinerja
pemerintahan sebelumnya dan bahkan memiliki pengalaman yang pahit dengan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 26
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
penguasa; Ketiga, pribadi atau kelompok yang terbuang dari partai; Keempat,
mereka yang menganggap partai politik yang ada tidak memiliki platform yang baik,
dan menganggap kemampuan calegnyapun tidak capable; Kelima, masyarakat
urban yang tidak memiliki identitas diri yang jelas.
Optimalisasi Komunikasi Politik
Konsep komunikasi politik dalam ilmu politik telah mengalami perkembangan
dalam pengertiannya. Gabriel Almond pernah mengkategorikannya sebagai satu
dari 4 fungsi input sistem politik. Kemudian mereka yang memakai pendekatan
komunikasi politik terhadap sistem politik telah menjadikan komunikasi politik
sebagai penyebab bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik.
Ia diibaratkan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan darahnya, tapi apa
yang terkandung di dalam darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup.
Komunikasi politik, sebagaimana layaknya darah, mengalirkan pesan-penan politik
berupa tuntutan, protes, dukungan 9aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat)
pemprosesan sistem politik, dan hasil pemprosesan itu, yang tersimpul dalam
fungsi-fungsi out-put, dialirkan kembali oleh komunikasi politik yang selanjutnya
menjadi feedback sistem politik. Komunikasi Politik -transmisi informasi yang
relevan secara politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain,
dan antara sistem sosial dan sistem politik- merupakan unsur dinamis dari suatu
sistem politik, dan proses sosialisasi, partisipasi dan pengrekrutan politik tergantung
pada komunikasi.
Model Komunikasi Yang Sederhana
Unsur suatu sistem komunikasi di perlihatkan diatas, yang terdiri dari: Sumber
(pesan atau informasi), pesan, penerima informasi (audiens) dan suatu proses yang
di kenal sebagai umpan balik. Sebagai contoh (penjelasan), bisa kita lihat :
Sumber Audiens/
pendengar
Pesan
Umpan Balik
Saluran
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 27
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Bagi seorang pemegang jabatan politik, umpamanya, sumber informasinya meliputi:
Peranan media massa dalam komunikasi politik menggambarkan cara-cara
tertentu dalam mana seluruh proses politik terintegrasi dengan jaringan komunikasi
sosial yang lebih luas, dan pada umumnya media massa itu sendiri mutlak bersifat
politis ataupun padat dengan masalah-masalah politik. Setiap sistem politik
mengembangkan jaringan komunikasi politiknya sendiri, dan mengakui pentingnya
sumber-sumber khusus, sedang saluran-saluran dan para pendengar akan berbeda
menurut hal-hal yang kita sebutkan tadi.
Sumber yang tipikal mungkin adalah seorang calon untuk pemilihan bagi suatu jabatan politik;
Pesannya akan merupakan serangkaian usul politik;
Salurannya berupa siaran TV;
Pendengarnya adalah anggota kelompok pemilih yang kebetulan memperhatikan siaran;
Umpan baliknya adalah persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap usul-usulnya.Umpan baliknya adalah persetujuan atau
ketidaksetujuan terhadap usul-usulnya.
Rekannya di Kantor;Para pemegang jabatan
administratif;Berbagai sekutu politik;
Pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan;
Media Massa;
Kontak periodik dengan anggota masyarakat,
melalui : Kampanye pemilu, pidato umum, kunjungan
kerja ke daerah).
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 28
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Kelompok kepentingan dan partai-partai politik, meskipun berbeda dari sistem
yang satu dengan yang lain sangat vital sekali bagi proses komunikasi, karena
menyajikan saluran yang dapat mengadakan kontak antara para pejabat politik dan
pejabat-pejabat administratif, serta rakyat pada umumnya.
Dalam upaya mensukseskan pemilupun demikian. Peran partai politik
terutama, bisa dijadikan alat untuk mengkomunikasikan program-program partai
kepada masyarakata pendukungnya secara periodik, baik secara antar personal
maupun dengan melalui bentuk media. Alangkah lebih cepat informasi yang di
terima konstituen, apabila seluruh partai punya koran, radio, bahkan televisi sendiri.
Efektivitas Komunikasi Politik saat ini banyak ditentukan oleh kemampuan para agen
komunikasi bermesraan dengan teknologi.
Alat komunikasi yang lebih modern akan mempercepat proses pembentukan
karakter dan keyakinan para kader partai terhadap partainya. Sebab bagaimanapun
juga kita akan sependapat dengan Lanedan Sears yang menyatakan bahwa: Suatu
sistem politik di bentuk dan di tuntut oleh dua hal, yaitu oleh apa yang diyakini para
anggotanya, dan oleh caranya mempelajari serta mengubah keyakinan-keyakinan
mereka itu.
Rekrutmen Politik
Dalam upaya mensukseskan Pemilu 2009 ini, partai-partai politik harus
mempertimbangkan model rekrutment yang dilakukan. Sebab dalam posisi Pemilu
sekarang, kapabilitas pengurus partai, caleg dan anggotanya (termasuk para-militer
partai) akan sangat menetukan diterima atau di tolaknya partai di masyarakat. Maka
dari selain membuat platform yang baik, yang masuk akal, partai-partai politik harus
memiliki model pengrekrutan pengurus dan anggota yang nantinya akan melahirkan
pemimpin yang qualifaid. Penataan kelembagaan setiap sistem politik merupakan
faktor relevan lain dalam pengrekrutan politik.
Sistem pengrekrutan politik tentu saja memiliki keragaman yang tiada
terbatas, walaupun begitu ada sedikitnya 2 cara yang dianggap paling penting, yaitu:
1. Seleksi pemilihan melalui ujian;
2. Seleksi pemilihan melalui latihan.
Kedua cara ini, tentu saja memiliki banyak keragaman dan banyak
diantaranya mempunyai implikasi penting bagi pengrekrutan politik. Salah satu
metode tertua yang di pergunakan untuk memperkokoh kedudukan pemimpin-
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 29
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
pemimpin politik adalah dengan penyortiran atau penarikan undian, metode ini di
gunakan di Yunani Kuno. Suatu metode yang sama, yang di buat untuk mencegah
dominasi jabatan dari posisi-posisi berkuasa oleh orang atau kelompok individu
tertentu, adalah dengan giliran atau rotasi. Sistem pilih kasih di AS pada hakekatnya
adalah suatu sistem pengrekrutan bergilir. Sedangkan sejumlah negara lain
mempunyai kesatuan-kesatuan konstitusional, yang di buat untuk menjamin kadar
rotasi personil eksekutif.
Suatu metode pengrekrutan lain yang sudah berjalan lama, yang umum
terdapat pada banyak sistem politik, adalah perebutan kekuasaan dengan jalan
menggunakan atau mengancamkan kekerasan.
Penggulingan dengan kekerasan suatu rezim politik, apakah hal itu
berlangsung dengan coup d’etat, revolusi, intervensi militer dari luar, pembunuhan
atau kerusuhan rakyat, kerap kali bisa di jadikan sarana untuk mengefektifkan
perubahan radikal pada personil di tingkat-tingkat lebih tinggi dalam partisipasi
politiknya.
Yang lain adalah cara Patronage (kekeluargaan/kebapakan ?), merupakan
bagian dari suatu sistem penyuapan dan sistem korupsi yang rumit, yang merasuki
banyak bidang kehidupan masyarakat. Sistem ini sebagian merupakan metode yang
cukup mapan untuk mempengaruhi pelaksanaan kekuasaan politik melalui pelbagai
taraf pengontrolan terhadap hasil-hasil dari Pemilu, dan merupakan dukungan dalam
parlemen yang berlangsung diantara beberapa pemilu. Sebagai suatu sistem
pengrekrutan, sistem tersebut tidak selalu dapat menjamin pengrekrutan pemegang-
pemegang jabatan yang cocok, baik secara politik maupun di ukur dari
kemampuannya.
Alat pengrekrutan politik yang lain, disebutkan sebagai mampu memunculkan
pemimpin-pemimpin alamiah. Di masa lampau peristiwa sedemikian ini lebih
merupakan pembenaran kasar terhadap kekuasaan aristokratis; dan hal ini tetap
merupakan suatu faktor kontekstual yang vital dari sebagian besar sistem-sistem
politik.
Suatu metode yang lebih terbatas dimana pemimpin-pemimpin yang ada
dapat membantu pelaksanaan pengrekrutan tipe-tipe pemimpin tertentu adalah
dengan jalan koopsi (co-option) itu meliputi pemilihan seseorang ke dalam suatu
badan oleh anggota-anggota yang ada, dan walaupun hal ini hampir umum terdapat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 30
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
dalam lembaga-lembaga politik seperti dewan-dewan Kotapraja lokal di Inggris dan
Wales.
Sejauh menyangkut negara-negara demokrasi modern, terdapat persetujuan
umum bahwa para pemegang jabatan politik dan administratif tanpa kecuali selalu
tidak mewakili kepentingan golongan rakyat umum. Suatu teori yang serupa namun
terpisah mengemukakan, bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan selalu
merupakan satu minoritas kecil atau satu oligarki, karena semua organisasi tersebut
terdiri atas suatu minoritas yang aktif dan satu mayoritas yang tidak aktif.
Dikemukakan, bahwa minoritas aktif tadi selalu dapat mengakali mayoritas
yang tidak aktif, karena ia mempunyai suatu kelebihan, yaitu terorganisasi dengan
baik. Dan mayoritas penguasa sedemikian itu hanya dapat di gantikan oleh minoritas
lain yang memiliki organisasi yang lebih unggul. Jadi inilah hukum besi oligarki dari
Robert Michels (Political Parties).
Gaetano Mosca (The Rulling Class, 1939) menyatakan bahwa posisi dominan
dari majoritas ini tidak hanya di sebabkan oleh keuntungan organisasinya saja tetapi
kelompok ini juga memiliki keuntungan lain, karena mereka itu terdiri dari individu
yang istimewa.
Baik Mosca maupun Vilgrado Pareto menyebutnya sebagai elite politik, dan
bahwa komposisi klas berkuasa atau elite politik itu dapat berubah pada suatu
periode waktu, yaitu melalui pengrekrutan pembentukan elite tandingan, suatu
proses yang di sebut Pareto sebagai sirkulasi elite.
Kenyataan yang menunjukan bahwa kelompok-kelompok khusus dalam
masyarakat itu di wakili secara tidak sebanding di kalangan para pemegang jabatan
politik dan administratif, sering di hubungkan dengan kekuatan permintaan. Harus
diakui, bahwa pengrekrutan politik adalah juga merupakan masalah pengadaan
seperti di kemukakan oleh model yang di lukiskan dibawah ini:
Penyediaan
agensi
kriteriakontrol
tuntutan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 31
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Daya penyediaan dan permintaan di pengaruhi oleh berbagai badan seperti
agensi pengrekrutan politik, kriteria yang mungkin di gunakan, dan oleh kadar sejauh
mana proses itu dapat di kontrol. Beberapa agensi ini sedikit atau banyak bekerja
“secara formal” (seperti komisi-komisi pengrekrutan administratif), yang lain-lain
seluruhnya bersifat informal (seperti keluarga-keluarga politik atau kelompok-
kelompok kepentingan tertentu).
Partai-partai politik jelas merupakan sarana yang paling penting dalam
kebanyakan sistem politik untuk merekrut sebagian besar pemegang jabatan politik,
walaupun seperti yang kita lihat, cara-cara mereka melakukannya berbeda sekali.
Pentingnya partai-partai tertentu merupakan wahana pengrekrutan para pemegang
jabatan klas pekerja.
Badan-badan agensi pengrekrutan politik biasanya akan menetapkan
beraneka ragam kriteria, meliputi ciri-ciri dan keterampilan yang mereka anggap
layak dan harus di kuasai oleh pejabat yang bersangkutan. Kriteria ini, tentu saja
akan mencerminkan permintaan; tetapi mereka juga akan mempengaruhi sistem
pengadaan, dengan jalan mendorong atau dengan cara menakut-nakuti orang-orang
dengan karakteristik atau keterampilan khusus tadi. Mereka bukan tidak mungkin
para wanita di banyak negara menjadi pusat asa untuk mencari jabatan politik, dan
hal ini dengan sendirinya membatasi pengadaan calon politisi wanita.
Karena adanya banyak partai tentu saja akan menimbulkan politisi yang
berlatar berbeda-beda. Donald Matthews umpamanya menggarisbawahi bahwa para
Senator AS dapat di bagi dalam 4 tipe :
1. Kaum Ningrat,yang datang dari keluarga “politik” dengan status sosial cukup
tinggi, dan terdapat dalam kedua partai (7 %).
2. Kaum Amatir,yang biasanya berasal dari status sosial agak bawahan, namun
sering adalah hartawan, dan menampilkan lebih banyak anggota Republiken
daripada Demokrat (34 %).
3. Kaum Profesional,yang telah menempuh jalan naik melalui aneka ragam
jabatan politik, dan menyediakan lebih banyak anggota demokrat daripada
anggota Republiken (55 %).
4. Kaum Agitator,biasanya mempunyai asal sosial yang rendah, dan
memperoleh jabatan dengan usaha-usaha sendiri (4%).
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 32
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Pada masyarakat totaliter, karena pengrekrutan politik itu bidang yang penting
dan vital, maka ia memperoleh pengawasan yang ketat. Tentu saja, seperti yang
pernah kita lihat, perubahan ekstensif dalam personal biasanya makan waktu,
terutama dalam bidang administratif. Pokok permasalahan pengadaan adalah:
menemukan masalah apa yang mendesak bagi individu untuk mencari atau
menawarkan diri bagi jabatan politik dan jabatan administratif, terutama bagi mereka
yang masuk kategori terdahulu.
Dengan demikian perlu disiasati, kira-kira model pengrekrutan seperti apa
yang selayaknya dilakukan oleh partai-partai politik yang akan menghasilkan
anggota, pengurus dan caleg yang secara moral terjaga. Terjaganya moral anggota,
pengurus dan para caleg partai akan menimbulkan simpati dari masyarakat, kalau ini
bisa dilakukan, peluang untuk memenangkan Pemilu akan semakin besar.
Namun apabila hal-hal tersebut juga berjalan sebaliknya, maka besar
kemungkinan masyarakat akan mengambil langkah golput sebagai bentuk protes
kepada segenap masyarakat politik (political society), sebab tingkah laku mereka
tidak sejalan dengan harapan masyarakat yang menginginkan terwujudnya suatu
negara yang murah sandang, murah pangan, murah papan; gemah ripah loh jinawi
tata tentrem kerta raharja; adil dan makmur.
Perlu kiranya disini pemerintah menyadari bahwa pelaksanaan Pemilu bukan
hanya agenda lima tahunan yang tidak bermakna apa-apa, hanya merupakan
kewajiban temporer yang harus dilakukan. Pemilu pada hakekatnya adalah proses
untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya. Kalau sukses maka mereka
akan mendapat carrot dari masyarakat berupa dipilihnya lagi untuk memimpin
negara lima tahun kedepan. Namun bagi pemerintahan yang jelek yang tidak
aspiratif akan nurani rakyatnya sendiri, Pemilu merupakan stick, berupa penarikan
dukungan dengan cara tidak memilihnya lagi untuk periode selanjutnya.
Oleh karenanya perlu kiranya pemerintah baik pusat maupun daerah
mendorong dan mendukung KPU untuk bekerja lebih optimal dalam menjalankan
atau mensukseskan Pemilu 2009. Namun tentu saja upaya yang dilakukan
pemerintah melalui KPU tidak akan berjalan optimal tanpa keturutsertaan partai
politik untuk turut serta membantu memperlancar proses dan agenda Pemilu.
Buktinya mungkin dengan memperlancar kerja KPU, dalam hal ini persyaratan
administratif partai dan caleg yang lengkah dan rapih, tidak ada lagi ijazah palsu dan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 33
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
sebagainya. Sebab kalau masih demikian, masyarakat mungkin bertanya-tanya,
ngurus diri sendiri saja sulit, apalagi ngurus negara dan rakyat.
Disinilah butuh kerja yang sinergis antara pemerintah/KPU dengan political
society, dalam upaya menegakan civil society yang bermuara pada terciptanya clean
government dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang amanah terhadap nurani rakyat.
Partai Politik Dalam Pemilu Legislatif 2009
Generasi baru dalam partai politik Indonesia telah lahir. Sirkulasi elite dalam
tubuh parpol yang dilaksanakan melalui musyawarah nasional, kongres, atau
muktamar sepanjang tahun 2004 dan 2005 telah menghasilkan generasi baru
dalam politik Indonesia. Hal ini dalam anggapan para pengamat politik akan
menyebabkan kompetisi yang semakin sengit terutama dalam memperebutkan
kursi DPR dalam pemilu legislative 2009.
Persaingan antar partai politik yang akan menjadi kontestan dalam pemilu
tahun 2009 akan semakin ramai dan kompetitif seiring dengan perubahan
kepemimpinan dalam tubuh partai politik. Faktor lain yang menyebabkan
persaingan sengit adalah terjadinya perpecahan didalam tubuh partai-partai besar
seperti PDI-Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat dan juga
Partai Golongan Karya. Hal ini membuat kesempatan antar partai untuk
memperoleh suara yang banyak, akan semakin kompetitif.
Meskipun demikian, persiapan pemilihan umum tahun 2009 bisa jadi tidak
sebaik pemilu 2004. Pusat reformasi Pemilu (Cetro) membuat perbandingan
persiapan kedua pemilu diatas. Misalnya, ketentuan mengenai pembentukan KPU
yang independent disahkan 3 tahun 10 bulan menjelang pemilu 2004. Sementara
untuk pemilu 2009, baru sebatas draft RUU Penyelenggara pemilu, dan
diperkirakan KPU terbentuk April 2007 atau 2 tahun sebelum pemilu.
Terlepas dari semua kendala dalam persiapan pemilu tahun 2009, tetap saja
persaingan dalam pemilu tersebut akan semakin kompetitif disbanding pemilu
sebelumnya. Hal ini bisa terlihat dalam persiapan yang dilakukan oleh partai-partai
politik menyambut pesta demokrasi tersebut.
Dalam bahasan ini, penulis akan mencoba memetakan persiapan yang
dilakukan oleh partai-partai politik di Indonesia menghadapi pemilu tahun 2009.
Data-data ini didapat dari pemberitaan media massa, terutama Koran KOMPAS,
yang penulis coba untuk perbandingkan antara satu dengan yang lain.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 34
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Partai Golkar
Terpilihnya Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar
sangat diluar perkiraan karena dalam aktivitas partai golkar sebelumnya, Yusuf
Kalla tidak terlalu aktif, bahkan untuk pemilihan Presiden-Wakil Presiden,
keberadaan YK untuk mendampingi SBY tidak didukung oleh partai Golkar, yang
lebih rela diberikan kepada Wiranto dan juga Megawati.
Namun dunia politik adalah grey area yang segala kemungkinan bisa
terjadi, termasuk menumbangkan Akbar Tanjung yang telah berjuang ketika
Golkar mendapat hujatan dan umpatan selama pasca orde baru. Dan akhirnya
politisi yang juga pengusaha ini berhasil meredam keinginan Akbar Tanjung untuk
memimpin kembali Golkar. Dalam posisinya sebagai wakil presiden, Kalla
mampu merebut simpati dan kepercayaan dari pengurus struktural Partai Golkar
dari berbagai daerah melalui Kongres Partai Golkar di Denpasar, Bali, akhir tahun
2004.
Kepada kader parpolnya di seluruh Indonesia, Kalla menekankan
pentingnya semakin besar serta banyak peran kenegaraan dan pemerintahan
diraih di setiap pemilihan umum. Diraihnya peran kenegaraan dan pemerintahan
itu yang membedakan parpol dengan lembaga swadaya masyarakat. Dalam
memasarkan partai sebagai langkah untuk kembali meraih kemenangan dalam
Pemilu 2009, Kalla mengemukakan tak perlu kampanye apabila sejak sekarang
rajin dan tertib membina organisasi. Hal itu yang dilakukannya di sela-sela tugas
kenegaraannya yang sangat padat.
Dalam melihat permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, Yusuf
Kalla memandang bahwa bangsa dan partai politik harus satu tujuan, yaitu untuk
mencapai kemakmuran bangsa, kesejahteraan bangsa, dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Itu tujuan akhir sebuah partai politik. Kalau dibaca
seluruh anggaran dasar partai politik pasti semuanya begitu. Partai politik jangan
hanya dianggap sebagai suatu pelengkap atau syarat suatu demokrasi. Untuk
melaksanakan fungsi itu dan melaksanakan tujuan itu, partai politik harus punya
peranan di pemerintahan. Itulah yang dilakukan dalam pemilihan umum pusat
maupun di daerah. Peranan partai politik harus meningkat pada peranan
kenegaraan dan pemerintahan bukan hanya upaya perebutan kekuasaan.
Menurut Kalla, ada tiga hal yang harus bansa Indonesia tuntaskan.
Pertama, perbaikan sistem. Yang sering masuk kategori korupsi umumnya
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 35
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
pembelian barang pemerintah. Kedua, pengawasan. BPKP akan berada langsung
di bawah presiden. Kemudian ketiga, kalau ada pelanggaran dan ada korupsi
dilakukan upaya penegakan hukum.
Hukum pun terbagi tiga tahap mulai polisi penyelidikan, jaksa penuntutan,
hakim pengadilan yang mengadili. Sekarang ini kalau kita lihat kecenderungannya
kan suasana dan nuansanya bagus. Yang ditangkap siapa saja sekarang mulai
dari gubernur, bupati, KPU, dan direksi bank. Yang dicapai pada dewasa ini di
samping diadili yang katakanlah kakap-kakap—walaupun harapan masyarakat
belum dapat dijawab semuanya—tetapi dengan upaya yang keras ini yang paling
tampak dicapai adalah pencegahan itu. Rasa takut untuk korupsi itu kan penting.
Dalam konteks ekonomi, secara parsial dikeluarkan kebijakan untuk
mempertahankan kepentingan ekonomi nasional ada dilaksanakan pembatasan,
pembatasan itu kita untuk hal-hal tertentu, misalnya beras berhenti impor pada
kondisi tertentu, gula juga demikian, juga rotan. Kita kembali membela dan
mempertahankan kepentingan nasional. Subsidi tetap ada jadi tidak seluruhnya
diserahkan kepada pasar.
Target Pemilu 2009 Partai Golkar menangkan pemilu dalam artian nomor
satu dengan angka yang lebih baik dari Pemilu 2004. membina organisasi partai
dengan baik sejak sekarang, tanpa kampanye pun kita akan menang. Persaingan
kita adalah menarik simpati rakyat dan itu harus dimenangkan dengan bekerja
untuk rakyat. Tingkat persaingannya di situ. Bukan dalam arti saling menjatuhkan.
Pemenangnya adalah siapa yang paling mengabdi kepada rakyat. Empat tahun
kita harus bekerja sama untuk membangun bangsa ini bersama-sama. Satu tahun
saja kita perlukan untuk betul-betul bersaing.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai yang berlambang banteng moncong putih ini, setiap menjelang pemilu
senantiasa dihadapkan pada permasalahan hengkangnya kader-kader partai dari
partai ini. Dalam pemilu tehun 2004, PDIP kehilangan Dimyati Hartono, Sofyan
Sofian dan kawan-kawan yang dalam pemikiran berseberangan dengan pengurus
partai yang nafsu dengan kekuasaan, sehingga lupa memperjuangkan nasib rakyat,
yang justru menjadi thema sentral kampanye tahun 1999.
Menjelang pemilu tahun 2009 pun PDI Perjuangan dihadapkan pada
persoalan yang klasik yaitu partai tidak mampu menampung kadernya yang masih
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 36
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
berpikiran idealis dalam memperjuangkan rakyat. Dalam persiapan menuju pentas
pemilu tahun 2009, PDIP dikejutkan oleh perpecahan didalam tubuh partai.setelah
Laksamana Soekardi, Arifin Panigoro dan kawan-kawan yang pada awalnya
merupakan tulang punggung dalam mengelola partai, memandang bahwa dalam
tubuh partai tidak lagi mencerminkan sebuah partai yang demokratis. Mereka keluar
dan mendirikan partai baru.
Namun pengalaman membuktikan bahwasanya PDI Perjuangan akan tetap
eksis meski banyak diantara kadernya yang meninggalkan partai. Hal ini
dikarenakan, masyarakat memilih partai ini bukan karena kader-kader partainya,
melainkan melihat sosok Soekarno yang berada dibalik Megawati Soekarnoputri.
Jadi dengan demikian selama masyarakat Indonesia memandang baik Soekarno,
maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan akan tetap bertahan, meski PDIP
bukan refresentasi dari ide-ide Bung Karno.
Partai Kebangkitan Bangsa
Besarnya kekuasaan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
tercermin dari tindakan Abdurrahman Wahid yang mengganti kepemimpinan Matori
Abdul Djalil pada tahun 2001 dan kemudian mengganti Alwi Shihab pada Oktober
2004. Meski tidak terlalu dominan, kedudukan ketua umum, yang disebut dengan
Ketua Dewan Tanfidz PKB, tetap dipandang penting dan diperebutkan. Bahkan,
perebutan posisi ini telah menyebabkan pecahnya PKB menjadi dua kubu, yaitu
kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Alwi Shihab. Sementara posisi Ketua Dewan
Syuro tampaknya tetap aman meski guncangan-guncangan politik terjadi di struktur
di bawahnya.12
Keberadaan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Abdurrahman Wahid di tubuh PKB memang menjadi fenomena tersendiri yang
mampu menyedot suara pemilih dari kalangan NU pada tahun 1999. Pada pemilu
yang dilaksanakan secara demokratis ini, PKB mengantongi 10,57 persen suara.
Meski kalah dari suara yang diperoleh oleh Partai Golkar dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, jabatan Presiden RI dapat diraih oleh Abdurrahman Wahid.
Sayangnya, konflik dengan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menjatuhkannya dari
12 Jajak Pendapat KOMPAS: PKB Bergelut di Kancah Kewenangan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 37
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
tampuk kekuasaan. Suara PKB pun merosot menjadi 9,45 persen pada Pemilu 2004
lalu.
Menjelang pemilu legislatif 2004, ekspektasi publik terhadap partai ini
memang tidak terlalu besar. Dalam jajak pendapat yang diselenggarakan Februari
2004, misalnya, hampir separuh bagian (49 persen) responden meragukan
kemampuan PKB dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Bahkan, dalam tiga kali
jajak pendapat yang diselenggarakan menjelang dan pasca-Muktamar II PKB,
apresiasi publik terhadap kinerja partai tidak mengalami peningkatan. Sekitar
separuh bagian responden menyatakan tidak puas dengan kinerja partai ini dalam
menjalankan fungsi-fungsi politiknya.
Naik turunnya apresiasi masyarakat terhadap PKB sangat dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh partai ini. Ketika Alwi Shihab disingkirkan
dari PKB, nada minor lebih nyaring disuarakan oleh masyarakat. Gaung perseteruan
ini membawa citra yang cenderung negatif terhadap partai ini, yang disuarakan oleh
30 persen responden jajak pendapat Kompas pada Februari 2005. Kemudian,
menjelang pelaksanaan Muktamar PKB pertengahan April 2005, adanya agenda
pemilihan ketua umum yang akan dilaksanakan secara lebih demokratis telah
membawa pandangan yang lebih positif terhadap citra partai. Ini terbukti dari
pendapat responden yang meningkat menjadi 54 persen dalam memandang citra
positif PKB.
Namun, citra PKB kembali merosot ke titik negatif ketika dalam Muktamar II
itu terjadi berbagai persoalan internal. Suara yang menganggap citra PKB positif
hanya dilantunkan oleh 34 persen responden. Kecenderungan menurunnya citra
PKB pascapemilihan ketua umum juga dirasakan oleh pemilih partai yang pada
Pemilu 2004 lalu memilih PKB.
Figur Muhaimin Iskandar sendiri sebagai ketua umum yang baru belum terlalu
banyak dikenal oleh masyarakat. Hal ini tercermin dari banyaknya responden jajak
pendapat ini, baik yang merupakan konstituen PKB maupun khalayak lainnya, yang
belum mengetahui bahwa PKB saat ini dipimpin oleh Muhaimin.
Suara bernada pesimistis bahkan tercermin dari pandangan sebagian
responden terhadap kepemimpinan Muhaimin ke depannya. Bahkan, sebagian dari
mereka yang pada pemilu lalu memilih PKB cenderung kurang yakin di bawah
kepemimpinannya, PKB akan meraih suara lebih banyak pada Pemilu 2009 nanti.
Meski demikian, sebagai konstituen tradisional yang setia, sebagian dari mereka
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 38
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
masih tertarik untuk memilih PKB. Bisa jadi, faktor keberadaan Abdurrahman Wahid-
lah yang masih menjadi kekuatan yang mampu memberi harapan. 13
Dalam pandangan Muhaimin, Parpol tidak mampu membangun citra yang
baik, produktif, dan bisa dipercaya. Fungsi-fungsi parpol tidak berjalan karena
internal parpol lebih sibuk dengan urusan bagi-bagi kekuasaan setelah mendapat
kekuasaan. Idealnya, parpol harus mampu melaksanakan tiga fungsi—fungsi
pendidikan politik, rekrutmen pemimpin, dan mengagregasi kepentingan
masyarakat.
Karena bangsa ini, belum memiliki tradisi keparpolan. Kehidupan kepartaian
di Indonesia baru kembali tumbuh setelah tahun 1998. Jadi, sampai sekarang baru
tujuh tahun. Inilah masa transisi kekuasaan dari otoritarian ke demokrasi.
Penyebab berikutnya adalah elite parpol belum bekerja maksimal. Mereka
lebih sibuk dengan urusan bagaimana mendapatkan kekuasaan, menjaga dan
melindunginya. Sikap sebagian besar kalangan elite inilah yang kemudian ikut
menghambat sirkulasi elite atau regenerasi kader parpol.
Penyebab ketiga atau terakhir adalah, parpol-parpol masih mencari bentuk.
Dalam prosesnya, tidak jarang parpol-parpol justru makin menjauh dari harapan
rakyat. Tahun 2004, dukungan rakyat yang meluap, mulai susut.
Untuk memulihkan citra publik, PKB akan segera me-recall kadernya di DPR
atau DPRD yang bercitra buruk, antara lain karena dugaan terlibat kasus korupsi,
politik uang, pemalsuan ijazah, penyalahgunaan wewenang, atau karena kinerjanya
yang rendah oleh ketidakmampuan mereka melaksanakan fungsi-fungsi parpol. PKB
ingin membangun tradisi baru keparpolan dengan memadukan kekuatan kader yang
profesional dan kader-kader kharismatik.
Itu sebabnya, bersama Parpol lainnya—PKS (Partai Keadilan Sejahtera),
PNBK (Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan), PAN (Partai Amanat Nasional),
PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan), PBR (Partai Bintang Reformasi), dan PDS (Partai Damai Sejahtera),
PKB secara berkala mengadakan pertemuan dalam rangka mengembalikan fungsi-
fungsi parpol. Pertemuan Reboan ini sudah kami lakukan sejak bulan lalu.
Target PKB dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, minimal harus mampu
meraih suara terbanyak kedua. Dalam pemilu sebelumnya, meski PKB masuk tiga
13 Wawancara wartawan KOMPAS Windoro Adi, dengan Ketua PKB Muhaimin Iskandar: Tradisi Kepartaian Memang Belum Terbangun, KOMPAS, 23 Juni 2005.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 39
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
besar, tetapi dalam perolehan kursi di DPR, PKB cuma mampu berada di peringkat
keenam. Untuk merealisasi harapan tersebut, PKB akan berusaha keras
menjadikaN diri sebagai parpol yang semakin terbuka dengan cara mengubah
strategi politik dan kewilayahan, antara lain dengan memusatkan kekuatan parpol di
luar Jawa untuk mendapatkan ”kursi” dengan harga murah.
PKB akan melakukan tiga langkah. Pertama, kaderisasi dan penguatan basis-
basis tradisional. Kedua, melakukan advokasi terhadap masyarakat atas kebijakan
publik. PKB akan memberdayakan cabang-cabangnya yang tidak mendapat ”kursi”
dengan melakukan banyak usaha advokasi.
Ketiga, penyebaran kader. PKB akan menyebar-ratakan kader-kadernya
sampai ke wilayah basis lewat pola pendekatan kulturalnya yang pluralis sembari
mempromosikan PKB yang bersih, terbuka, dan bersahabat bagi semua golongan.
Selain itu, PKB akan lebih ketat mengontrol seluruh kadernya terhadap
kemungkinan terlibat politik uang, yaitu dengan cara membentuk Tim Pengawas
Fraksi dari tingkat DPP sampai DPC. Yang berhak menjadi anggota tim ini adalah
pengurus dewan yang tidak duduk di lembaga legislatif. Tim ini berhak memberi
rekomendasi untuk me-recall kader PKB di DPR maupun DPRD. Fokus perhatian
tim adalah mengawasi kader-kader PKB yang kemungkinan akan berurusan dengan
kejaksaan. Sementara itu, kader PKB yang berada di DPR maupun DPRD
mendapat tugas mengontrol ketat kader PKB yang duduk di eksekutif.
Tuntaskan konsolidasi demokrasi dengan menata kembali institusi-institusi
demokrasi, dan menghidupkan fungsi-fungsi parpol. Membangun tradisi politik yang
terbuka, transparan, akuntabel, serta melakukan penguatan kehidupan masyarakat
madani terutama untuk mengontrol sepak terjang parpol. Menegakkan rule of law
dalam berdemokrasi.
Akhiri krisis ekonomi dengan memperbaiki struktur dan sistem produksi dan
mata rantai perdagangan nasional, mengakhiri impor gelap bahan pokok dan
sandang, mengakhiri praktik korupsi dan meningkatkan kepastian hukum, serta
mengikis konsumerisme dan pola hidup mewah yang kontra produktif. PKB ingin
melanjutkan cita-cita Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red) yang ingin mengubah pola
ekonomi nasional kita dari perekonomian yang berbasis pertanian, ke perekonomian
yang berbasis kelautan, termasuk membangun jaringan perdagangan dari pulau ke
pulau.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 40
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Lewat lembaga legislatif, PKB akan berusaha mendorong perubahan APBN
yang berbasis ekonomi pertanian ke APBN yang berbasis ekonomi kelautan. Soal
disintegrasi, Aceh sudah lewat, tinggal soal Papua. Tapi lebih dari itu PKB melihat,
otonomi daerah terutama dalam kegiatan pemilihan kepala daerah, bisa menjadi
sumber baru ancaman disintegrasi.
Partai Keadilan Sejahtera
Partai ini berbeda dengan partai politik lain yang secara terbuka menyebarkan
informasi, bahkan mempertontonkan bagaimana proses penggantian pemimpin
partai berlangsung. Di partai ini penggantian pemimpin seperti hanya menjadi
persoalan internal yang tidak begitu signifikan bagi masyarakat.14 Proses
penggantian pemimpin dimulai dengan melakukan pemilihan umum raya untuk
memilih anggota Majelis Syuro. Proses pemilihan pemimpin partai sudah dimulai
sejak Desember tahun lalu dan diikuti seluruh kader partai.
Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Majelis Syuro merupakan lembaga
tertinggi partai. Setelah anggota Majelis Syuro terpilih, mereka memiliki tugas untuk
memilih ketua Majelis Syuro dan tiga wakil Majelis Syuro. Ketiga wakil Majelis Syuro
inilah yang nantinya menjadi Presiden PKS, Ketua Majelis Pertimbangan Partai, dan
Ketua Dewan Syariah. Selain itu, Majelis Syuro juga memilih dua orang lagi untuk
menjadi sekretaris jenderal dan bendahara.
Setelah bersyuro selama hampir tiga hari, pada pertengahan Mei, Majelis
Syuro memutuskan untuk memilih KH Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro,
Tifatul Sembiring sebagai presiden partai, Surahman Hidayat sebagai Ketua Dewan
Syariah Pusat, Suharna Supranata sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat,
Muhammad Anis Matta sebagai sekretaris jenderal, dan Mahfudz Abdurrahman
sebagai bendahara umum.
Melihat banyaknya persoalan internal yang melanda partai politik dan kader
partai, Presiden PKS Tifatul Sembiring harus serius menata pengaderan partai. Ia
mengakui tidak mudah menjaga stamina partai, pengurus, dan kader untuk tetap
punya semangat berpartai.
Namun, Tifatul meyakini PKS mempunyai strategi yang mungkin tidak dimiliki
partai lain, yaitu pertemuan rutin tiap minggu bagi pengurus dan kader partai.
14 Wawancara Imam Prihadiyoko, dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring:Tarbiyah, Menjaga Moral dan Semangat Berpartai, KOMPAS, 25 Juni 2005.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 41
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
”Taklim rutin setiap minggu ini penting untuk menjaga konsolidasi dan menjaga
voltase moral. Tanpa itu kami kehilangan segalanya. Itulah yang kami sebut sebagai
tarbiyah,” ujarnya ketika ditemui Kompas di Kantor Pusat PKS beberapa waktu lalu.
Berikut petikan pembicaraannya:
Tantangan untuk tidak pecah memang tantangan sejarah yang berat.
Komunikasi di tingkat pimpinan itu harus intensif. Kalau sudah tidak saling
berkomunikasi, sering muncul dugaan atau prasangka jelek, sehingga mana
mungkin bisa memunculkan rasa solidaritas jika ada prasangka buruk.
Secara praktis yang dilakukan untuk membangun solidaritas adalah di PKS
biasa bersikap egaliter sehingga tidak memunculkan sikap ewuh-pakewuh yang bisa
menimbulkan gerundelan yang menumpuk dan pecah menjadi amarah. Dengan
bersikap egaliter, maka tidak ada persoalan terpendam. PKS juga biasa saling
memberikan klarifikasi, bahkan untuk perbaiki paviliun rumah yang mau roboh saja,
misalnya, kami biasa bilang bahwa paviliun rumah kami sudah mau roboh jadi perlu
diperbaiki. Karena itulah, jika kemudian di luar muncul tuduhan negatif, maka di
antara pengurus sendiri sudah saling mengerti duduk soalnya.
Masalah paling besar yang dihadapi bangsa adalah soal moral. Moral yang
baik itu harus dimulai dari penyelenggara negara, kemudian diikuti elite-elite negara
yang lainnya, seperti pemimpin partai, pemimpin lembaga negara lainnya, dan
termasuk juga lembaga swadaya masyarakat. Jika moral para pemimpin baik, insya
Allah akan memengaruhi sikap dan tindakan mereka dalam mengambil tindakan dan
bermasyarakat.
Perekonomian secara teoretis memang sering dikatakan sebagai liberal
dengan logika kapitalisme, dan sering kali dilawankan dengan sosialisme. Namun,
kiblat ekonomi semacam ini dalam praktiknya mungkin tidak terlihat jelas batas-
batasnya. Termasuk di Indonesia, sebetulnya warna ekonomi kita itu tidak jelas dan
sering kali tertarik ke sana-kemari. Kalaupun kita melihat ekonomi kerakyatan, tidak
sepenuhnya juga memerhatikan rakyat, itulah kenyataan yang harus kita hadapi saat
ini.
Contoh konkret yang pernah diusulkan PKS kepada pemerintah adalah saran
agar pemerintah menyediakan supermarket pemerintah. Supermarket pemerintah itu
menjual delapan kebutuhan pokok. Jadi, begitu harga di tempat lain meningkat,
pemerintah bisa menurunkan harga melalui supermarketnya, sehingga masyarakat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 42
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
berbondong-bondong ke supermarket pemerintah, dan implikasinya supermarket
yang mahal itu sepi sehingga harga bisa turun lagi.
Contoh lain, pemerintah dapat mendirikan areal terbuka di kota besar yang
free tax dan charge. Lokasi usaha bebas pajak dan pungutan ini disediakan khusus
bagi pedagang kecil. Pasalnya, pedagang kecil ini modalnya kecil, dan untungnya
belum tentu. Namun, meskipun untung kecil, mereka sudah mampu membantu
kehidupannya sendiri dan keluarga.
Inti pokoknya, untuk mendorong rakyat mandiri. Karena itulah, program
ekonomi pemerintah harus konkret dan dapat langsung dirasakan, tidak usah yang
muluk-muluk. Pemerintah harus bisa memberikan rangsangan bagi masyarakat
untuk berusaha dan melakukan sesuatu untuk kemandiriannya. Bangsa ini jangan
dibiarkan berleha-leha sambil main domino atau duduk ngobrol di warung kopi.
PKS juga berpegang pada Piagam Madina yang memberikan kesamaan
hukum bagi semua warga negara, baik sipil maupun militer. Kita menghendaki militer
yang kuat dan profesional dan tidak lagi duduk di bidang politik sipil. Kalau dia ingin
ke politik, ya silakan, tetapi harus melepas baju. Jangan sampai power yang ada di
militer dipakai untuk menekan masyarakat sipil. Kalau masyarakat sipil berkelahi
paling bonyok-bonyok, kalau dengan militer kita bisa bolong-bolong tertembus
peluru.
Sejarah masa lalu dalam sistem yang dibuat Orba, militer memang dominan
dan meninggalkan trauma. Karena itu, kita tidak ingin situasi itu terulang. Tetapi kita
juga tidak menginginkan militer kita lemah bahkan tidak mempunyai persenjataan.
Kita tidak ingin mempunyai militer yang cuma bisa memajang pesawat F-16, tetapi
tidak bisa menembak karena tidak punya peluru.
Kalau target tahun 2009, PKS memperkirakan 20 persen suara, tepatnya
20,34 persen. Target politik keluar PKS ini sekitar 22 juta suara. Angka ini cukup
tawadhu karena komparasi hasil Pemilu 1999 ke 2004, suara PKS melompat dari
1,7 persen ke 7,34 persen atau hampir enam kali lipat. Kalau 2009, kami sedikit
mengerem menjadi 2,5 kali dari 7,34 jadi 22 persen.
Target internal kader, PKS berkembang dari 500 orang tahun 1999 menjadi
2,5 juta tahun 2004, artinya ada peningkatan lima kali lipat, sekarang targetnya
hanya 2,5 kalinya saja. Sedangkan target di kementerian dari sekarang tiga, ya
diharapkan nanti bisa sembilan di kementerian.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 43
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Melihat segenap pencapaian PKS selama ini, tidak berlebihan memang
penilaian dan harapan yang terbentuk. Namun, layaknya sebuah perkembangan
organisasi partai, semakin besar simpatisan yang diraih, semakin besar kiprah dan
pengaruh politik partai ini tentu berkonsekuensi semakin besarnya beban
pengelolaan partai, terlebih upaya mempertahankan apa yang telah mereka raih
selama ini. Bagaimanapun, hasil rangkaian Pemilu 2004 telah menempatkan partai
ini dalam lingkaran dalam kekuasaan penyelenggaraan negara. Dalam kondisi
seperti inilah justru ujian tersulit kini tengah dihadapi partai.
Partai Amanat Nasional
Hasil Pemilu 2004 sudah memberikan dukungan dan tingkat kepercayaan
pada Presiden Yudhoyono, bahkan dukungan dari luar negeri pun besar, karena
memang dipilih melalui pemilihan langsung. Namun, legitimasi kekuasaan yang kuat
ini tampaknya belum cukup mampu mengatasi berbagai persoalan politik
kebangsaan.
Di parlemen, ternyata dukungan yang dimiliki SBY-JK belum cukup kuat,
meski mereka merupakan presiden yang dipilih mayoritas rakyat. Itu sebabnya,
muncul sejumlah hambatan teknis dalam menjalankan pemerintahan. Menteri-
menteri juga terkadang terhambat di parlemen ketika berhadapan anggota legislatif.
Ini problem ketatanegaraan, tetapi pemerintahan kan harus tetap berjalan.
Karena banyak aspek kehidupan kebangsaan bisa terganjal jika pemerintah
dan DPR mengalami jalan buntu, maka harus ada solusi. Pemikiran itulah yang
kemudian diwujudkan dalam forum dialog nasional antar tokoh partai yang
kebanyakan generasi baru. Diskusi yang dilakukan secara rutin setiap Rabu ini,
efektif mencari berbagai solusi persoalan bangsa dan menghindari deadlock-nya
hubungan kelembagaan antara pemerintah dan DPR.
PAN sudah memposisikan untuk tidak sekadar asal beda atau menjadi pihak
oposisi tetap. Sikap oposisi tetap, hanya melanggengkan kemuakan dan antipati
rakyat pada partai politik. Kalau paradigma lama mungkin dianggap rugi, tetapi bagi
kita memberikan dukungan pada program pemerintah yang menguntungkan rakyat,
tidak akan tutup peluang PAN untuk dapat dukungan rakyat. Karena itulah, PAN
akan mendukung pemerintah, sejauh program yang dilakukan memang bertujuan
untuk kepentingan rakyat, jika tidak maka PAN bisa saja mengambil posisi sebagai
oposisi.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 44
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Kepada konstituen PAN dan masyarakat, PAN ingin hadir menjadi partai yang
memberi solusi. Rakyat jenuh dengan politiking antar parpol, rakyat mendambakan
ketenangan, dan sekarang ini kesempatan bagi parpol membuktikan bahwa mereka
ada dipihak rakyat, kesempatan parpol hadir untuk menyantuni dan memberikan
perlindungan bagi rakyat, dan kesempatan berpihak serta memperjuangkan
kepentingan mereka.
Berkaitan dengan pemberantasan korupsi sikap PAN terhadap korupsi adalah
yang namanya korupsi, mungkin di seluruh dunia ini tidak akan pernah ada
habisnya. Namun, yang lebih penting untuk kita wujudkan adalah bagaimana kita
mempunyai nawaitu dan bekerja serta untuk memberantas korupsi. Indonesia
mungkin saat ini masih berada di posisi teratas di Asia untuk persoalan korupsi ini.
Dan usaha pemberantasan korupsi itu memerlukan proses panjang, tidak seperti
membalik telapak tangan.
Memang yang baru terkena saat ini baru koruptor kelas UKM yang tidak bisa
lari ke luar negeri. Sedangkan koruptor besar, yang sudah menjadi warga dunia dan
dengan mudah pergi ke mana saja ke luar negeri dan jumlahnya mencapai ratusan
triliun, masih sulit terjamah. Kasus BLBI 140 triliun belum tersentuh. Namun, saya
harus optimistis dan saya kira pemerintah akan menuju ke sana juga pada akhirnya.
Saya selalu meyakini yang penting ada niat untuk menumpas korupsi.
Berkaitan dengan pandangan yang mengatakan bahwa ekonomi nasional
sudah mengarah pada neo-liberalisme, PAN berpandangan, saat ini, seolah-olah
ada benturan antara sosialisme dan kapitalisme. Padahal, bagi PAN keduanya
mungkin tidak bisa berjalan sepenuhnya di Indonesia. Kapitalisme yang
mementingkan pertumbuhan cepat, kemudian berharap ada trickle down effect,
ternyata juga tidak berjalan seperti yang direncanakan. Karena menetesnya kue
hasil pertumbuhan itu tidak merata ke seluruh rakyat tetapi hanya pada sebagian
kecil kroni penguasa.
Meski kapitalisme yang mementingkan pertumbuhan ekonomi sekarang ini
tetap akan ada, namun pemerintah juga mulai memerhatikan jumlah pengangguran.
Selain itu, hal-hal yang bersifat kerakyatan seperti perikanan, perkebunan,
pertanian, dan kehutanan juga sudah mulai mendapat perhatian pemerintah. Sikap
semacam ini memang penting dan harus dilakukan untuk kelangsungan
pemerintahan itu sendiri. Apalagi, kalau kita melihat portofolio kredit yang diberikan
bank, saat ini sudah berubah. Karena, sekarang sudah mulai berimbang antara
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 45
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
kelompok UKM dan ekonomi kuat. Tetapi karena penyakit ekonominya sudah kronis,
jadi tidak gampang untuk diobati.
Kebijakan pemerintah yang tetap menerima kapitalisme dengan ekonomi
yang liberal, harus diimbangi dengan program kerakyatan. PAN kira kondisi seperti
ini juga banyak dilakukan di negara lain, seperti di Malaysia meskipun konglomerasi
kuat, tetapi ekonomi bawah juga dibangun. Jadi teori yang secara ketat dipakai di
sebuah negara, misalnya kapitalisme saja, rasanya hampir tidak ada. Di Taiwan,
kapitalisme yang kuat juga mengembangkan kelas menengah yang kuat. Di Jepang
juga mirip, pengusaha juga dikaitkan dengan kepedulian pada rakyat. Misalnya,
perusahaan mobil besar Toyota, tidak memproduksi semua suku cadangnya sendiri,
tetapi membagi pekerjaan dengan masyarakat. Indonesia harusnya bisa melakukan
hal-hal seperti itu. Artinya, tidak menghalangi perkembangan konglomerat, namun
juga tidak meninggalkan rakyat miskin sebagai sapi perahan.
Mengenai target lima tahun ke depan, secara konkret PAN minimal
mendapat 100 kursi di DPR, Namun menargetkan 125 kursi di DPR. Dengan PAN
menjadi partai modern dan melakukan program yang menyentuh kepentingan
langsung rakyat, serta tampilan wajah sejuk dan damai dari PAN, maka diharapkan
target itu akan tercapai.
Paradigma baru PAN terhadap partai politik lain bukan dilihat sebagai
pesaing, tetapi sebagai partai yang masing-masing punya segmen. Di sinilah
bedanya politisi dan enterpreneur. Kan pemilih ada sekitar 150 juta, kalau
mendengar PKS sebagai partai yang relatif siap jalankan infrastruktur menargetkan
22 juta, maka PAN anggap saja itu terwujud. Kemudian, partai paling besar dengan
mesin politik dan uang, serta ketua umumnya wakil presiden menargetkan mendapat
40 persen suara atau sekitar 60 juta, maka ditambah suara PKS menjadi 88 juta.
Kan masih ada sisanya yang menjadi segmen PAN. Mudah-mudahan, dari segmen
yang tersisa ini PAN bisa mendapatkan suara 25 juta.
Berbicara 2009, saat ini belum tahu siapa yang menjadi tokoh populer, bisa
saja itu Amien Rais, Soetrisno Bachir, atau Bambang Soedibyo yang karena
program sekolah gratisnya tiba-tiba jadi popular.
Regenerasi kepemimpinan dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN)
sejauh ini tampaknya belum banyak membangkitkan sikap optimisme publik dalam
memandang masa depan partai ini. Kuatnya sosok maupun pamor kepemimpinan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 46
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
yang terbangun pada periode sebelumnya dan berbagai problema internal yang kini
tengah dihadapi, sedikit banyak memasung kiprah keorganisasian partai ini.
Kondisi semacam inilah yang tampak, sebagaimana tergambarkan dalam
berbagai penyelenggaraan jajak pendapat Kompas. Kongres ke-2 PAN di
Semarang, 9-11 April 2005 lalu, yang menghasilkan pemimpin baru tampaknya
belum menjadi titik balik kebangkitan citra PAN di mata publik. Citra partai yang
diharapkan semakin meningkat justru akhir-akhir ini mulai menunjukkan adanya
gejala penurunan. Sementara, komitmen dan daya juang yang diusung oleh jajaran
pengurus baru sejauh ini pun belum banyak terlihat buahnya. Parahnya, justru
potensi konflik internal yang kini lebih dominan terdengar.
Merunut masa sebelumnya, Pemilu 1999 bisa dibilang merupakan era
keemasan PAN, di mana sebagai partai politik baru mampu meraih delapan persen
suara (dipilih 7,5 juta pemilih). Namun, perjalanan selanjutnya tampak benar betapa
sulit partai ini menambah barisan pendukung. Bahkan, pada Pemilu Legislatif 2004
lalu, perolehan suara PAN mengalami penurunan, hanya mampu mengantongi 6,44
persen (7,3 juta pemilih). Padahal di era Pemilu 2004 terjadi penambahan total
sekitar 10 juta pemilih dan pengurangan jumlah partai yang berlaga dari 48 partai di
tahun 1999 menjadi 24 partai saat Pemilu 2004.
Kondisi yang agak berbeda justru dialami Amien Rais, ketua umum partai ini.
Meskipun di pemilu legislatif, PAN mengalami penurunan suara, Amien Rais
bersama pasangannya, Siswono Yudo Husodo, justru mampu meraih 15 persen
suara (17,4 juta pemilih) dalam pemilu presiden. Dari fakta ini sebenarnya dapat
disimpulkan bahwa kehadiran dan peran Amien Rais di dalam PAN begitu besar.
Kondisi ini sangat berbeda dengan berbagai upaya internal partai yang cenderung
kurang berhasil dalam menjadikan PAN sebagai partai politik yang terbuka bagi
semua kalangan, dan secara kelembagaan berupaya melepaskan diri dari persoalan
figur ataupun persoalan domestik partai lainnya.
Fakta seperti ini pun ditemui dalam berbagai jajak pendapat Kompas. Jajak
pendapat pascapemilu presiden yang diadakan Agustus 2004, misalnya. Meskipun
Amien Rais gagal menembus putaran kedua, citra Amien Rais sendiri di mata
sebagian besar konstituennya relatif positif. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
hampir separuh publik yang memilih partai lainnya.
Citra yang terbangun sebenarnya masih bertahan hingga menjelang Munas
ke-2 di Semarang yang juga mengagendakan perubahan kepemimpinan partai. Saat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 47
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
itu, bayang-bayang PAN yang berada di balik Amien Rais rupanya masih terekam
kuat di benak publik. Terbukti, pernyataan 70 persen dari keseluruhan responden
menilai baiknya citra PAN. Bahkan, dalam jajak pendapat ini, tidak hanya publik
pemilih partai ini saja yang memandang positif citra partai. Mereka yang mengaku
bukan konstituen PAN pun menyatakan apresiasi yang tidak jauh berbeda (67,8
persen). Jajak pendapat yang dilakukan akhir April 2005, pun semakin menegaskan
kenyataan ini. Saat itu, misalnya, lebih dari 80 persen pemilih PAN beranggapan
citra partai masih tetap pada jalur yang mereka inginkan. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh hampir 70 persen yang tidak memilih PAN, mereka tetap
mengakui kemampuan PAN dalam menjaga kredibilitasnya.
Daftar Bacaan: Abdul Azis, Yaya Mulyana dan Ade Priangani (Editor), 2002, Titik Balik Demokrasi:
Pikiran-pikiran Kritis disaai Kritis, PT Pustaka Radja, Jogjakarta. Adicondro, George Junus, 2001, Cermin Retak Indonesia, Penerbit Cermin,
Jogjakarta. Baskara T. Wardaya, “Pemilu, antara Gebyar dan Substansi, KOMPAS, 27 Maret
2004. Budiardjo, Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta. Clark, Robert P, 1989, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, terj. RG.
Soekadijo, edisi ke-tiga, Erlangga, Jakarta. David Beetham, 1999, Democracy and Human Rights, Polity Press 65 Bridge Street,
Cambridge CB2 1UR, UK. Dhal, Robert, 1994, Analisis Politik Modern, terj. Mustafa Kamil Ridwan, Edisi ke-
lima, PT Bumi Aksara, Jakarta. Duverger, Maurice, 1996, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae, cetakan ke-lima,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Faisal Baasir, “Pemilu, Kompetisi Politik dan Kepentingan Nasional”, KOMPAS, 23
Maret 2004. Forum for Democratic Reform, 2000, Capacity-Building Series 8: Democratization in
Indonesia An Assessment, International IDEA, Stockholm, Sweden. Harrison, David, 1991, The Sociology of Modernization and Development,
Routledge, London.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 48
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Herry Tjahjono, “Pemilu Mabuk”, KOMPAS, 27 Maret 2004. Imawan, Riswandha, 1998, Membedah Politik Orde Baru, cetakan ke-dua, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta. Indra J. Pilliang, “Golput dan Masyarakat Baru Indonesia”, KOMPAS, 18 Juli 2004. Juliantara, Dadang, 2002, Negara Demokrasi Untuk Indonesia, Pondok Edukasi,
Solo. Karl W. Deutsch, Social Mobilization and Political Development, American Political
Science Review, 55, September 1961 Kwik Kian Gie, Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur Ekonomi Indonesia dalam
Stadium General, di Aula Fisip Unpas, Bandung, 2002. Magnis Suseno, Franz, 1988, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, PT Gramedia, Jakarta. M. Sadli, Dilema Politik Pemerintahan Mega, dalam Koran Tempo, 13 Oktober 2001. Michael Rush and Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, cetakan lima, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta. Pilihan Artikel Prisma (Pengantar Farchan Bulkin), 1995, Analisa Kekuatan Politik di
Indonesia, LP3ES, Jakarta. Ramage, Douglas E, 2002, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam dan
Ideologi Toleransi, terj. Hartono Hadikusumo, Mata Bangsa, Jogjakarta. Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a
Freedom, Westview Press Bolder, Colorado. Rush, Michael & Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, terj. Kartini
Kartono, cetakan ke-lima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ronald H. Chilcote, 1981, Theories of Comparative Politics The Search for a Freedom, Westview Press Bolder, Colorado.
Rush, Michael & Phillip Althoff, 1995, Pengantar Sosiologi Politik, terj. Kartini
Kartono, cetakan ke-lima, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sulistyo, Hermawan dan A. Kadar (Komite Independen Pemantau Pemilu), 2000,
Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999, PT Sembrani Aksara Nusantara, Jakarta.
Warsito, Tulus, 1999, Pembangunan Politik: Refleksi Kritis atas Krisis, BIGRAF
Publishing, Jogjakarta. Webster, Andrew, 1990, Introduction to the Sociology of Development, Second
Edition, MacMillan Education Ltd, London.