issn 0853- jurnal online westphalia, vol.12,no.1 … · menangkap kondisi dan aspirasi rakyat...
TRANSCRIPT
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 227
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
WARISAN POLITIK DAN DINAMIKA POLITIK INDONESIA KEKINIAN
Oleh Awang Munawar
Abstrak Satu gejala yang menarik dari sejarah perkembangan politik Indonesia modern, terutama dalam zaman pergerakan nasional, ialah keberhasilannya melahirkan sejumlah pemikir-pemikir politik yang berbobot. Lebih menarik lagi karena sebagian besar dari mereka telah mampu mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang relatif matang semenjak usia muda. Apakah dari seorang gadis remaja berbudi halus bernama Kartini ataukah seorang pemuda dinamis bernama Sukarno. Apakah dia seorang Mohammad Natsir yang alim ataukah Tan Malaka yang penuh misteri. Tidak diragukan lagi, semua mereka telah menyumbangkan perbendaharaan pemikiran yang amat berharga dan sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual masyarakat mereka. Kata Kunci: Warisan Politik, Dinamika Politik
Pendahuluan
Sebagai salah satu founding fathers Indonesia,
pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki
keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada
waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno
memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang
hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah
mempersatukannya ke dalam suatu “common
denominator”, apakah namanya Marhaenisme,
Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia
memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari
masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk
memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada.
Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan
Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran
fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat
manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan
menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya
untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno
adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan
yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 228
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
bimbingan dan acuan perjuangan bagi bangsa Indonesia serta umat manusia dalam
membangun peradaban dan kesejahteraan hidupnya.
Dalam mempelajari Soekarno, diperlukan sebuah kunci yang tepat untuk
dapat mengetahui dengan jelas bagaimana pola pemikirannya terbentuk. Seorang
peneliti Barat, Bernhard Dahm, menjelaskan panjang lebar bagaimana budaya Jawa
telah membentuk alur pemikirannya dimasa kanak-kanak. Menurut Dahm, untuk
mempelajari Soekarno, adalah dengan memahami ”Mitologi Jawa”, yaitu Konsep
kepercayaan masyarakat Jawa sebagaimana tercermin didalam cerita-cerita
wayang, ide Ratu Adil, dan Jayabaya.
Frustasi, harapan, dan juru selamat merupakan intisari dari konsep
kepercayaan ini. Frustasi yang dalam sebagai akibat penindasan, penjajahan,
kezaliman, dan ketidakadilan pada waktu yang sama menyuburkan tumbuhnya
harapan dan angan-angan yang tinggi tentang suatu perubahan zaman yang diidam-
idamkan. Perubahan zaman itu akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang
Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat mereka dari segala macam bentuk
kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan.
Pertemuannya dengan seorang petani miskin di Bandung telah ikut
menciptakan konsep ”Marhaenisme” yang kemudian menjadi alat perjuangannya
dalam melawan kolonialisme. Ia melihat perbedaan mendasar antara proletar
dengan kaum marhaen di Indonesia. Sehingga istilah proletar kurang cocok untuk
diterapkan di Indonesia. Marhaenisme akhirnya menjadi dasar perjuangan dari PNI
dan Partindo yang didirikan Soekarno kemudian. Konsep marhaen telah
memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Tahun
1921, dalam suatu kongres Jong Java di Bandung, ia membahas tentang tidak
terelakkannya perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah
merasa sesuai dengan pandangan ini, dan konsep marhaen memungkinkan ia lebih
menempatkan perjuangan itu kedalam pengertian kelas. Pandangan ini juga
menampilkan konsep teoritis bagi situasi Indonesia.
Soekarno meyakini bahwa sistem multipartai telah menyebabkan negara
menjadi lemah karena pada waktu itu telah terjadi konflik ideologis antar partai,
sehingga pemerintahan tidak stabil. Dalam keadaan dan krisis-krisis yang melanda
kabinet disusul dengan pergolakan-pergolakan di daerah-daerah, Soekarno tampil
dengan “konsepsinya” yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap kesulitan-
kesulitan politik yang dihadapi pada masa itu. Konsep Demokrasi Terpimpin yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 229
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
diajukan Soekarno pada Tanggal 21 Februari 1957 dihadapan para pemimpin partai
dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada pokoknya berisi: 1. Sistem
Demokrasi Parlementer secara barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,
oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. 2. Untuk pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet Gotong royong yang anggotanya
terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang
ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya
pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai
besar, yakni PNI, Masjumi, NU, dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan
kegotong-royongan nasional. 3 Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari
golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini tugas
utamanya adalah memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak
diminta.
Soekarno merupakan orang yang sangat lekat dengan budaya jawa karena
ayahnya sendiri adalah orang jawa yang sangat mengagumi dan memahami
budaya-budaya jawa terutama cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana.
Pemahaman ayahnya atas budaya jawa tersebut diturunkan kepada Soekarno
semenjak kecil. Karena pemahamannya yang kuat terhadap cerita-cerita wayang,
maka ayah Soekarno memberinya nama Karno. Karno adalah nama tokoh dalam
cerita Mahabharata yang berasal dari Kurawa. Dengan memberikan nama Soekarno
ini, ayahnya mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi seorang patriot,
seorang pejuang dan pahlawan besar bagi rakyatnya. Ayahnya juga mengharapkan
dan berdoa agar Soekarno menjadi “Karno yang kedua”.
Pembahasan
Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sangat menggemari tokoh Pandawa yang
bernama Bima. Bima adalah seorang ksatria yang mempunyai sifat-sifat tidak
mengenal kompromi dengan mereka yang datang diluar golongannya disatu pihak
dan pada waktu yang sama bersedia berkompromi dengan mereka yang segolongan
dengannya. Soekarno menyerap segi-segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di
Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani
miskin yang tinggal didekat Mojokerto. Dalam pidato-pidatonya kemudian, apabila ia
ingin menyampaikan pikiran yang lebih pelik kepada khalayak Jawa, ia akan
menggunakan kisah dan tokoh-tokoh pewayangan. Selain wayang, orang yang turut
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 230
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
membentuk karakternya di masa kanak-kanak adalah seorang perempuan tua yang
ikut tinggal bersama dengan keluarga Soekarno, bernama Sarinah. Sarinah adalah
orang yang ikut membentuk jiwa dan alam pemikirannya untuk mengenal rakyat
kecil dan cinta kasih terhadap rakyat kecil.
Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh
pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk
karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah.
Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar
Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan
Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka. Kegemarannya akan membaca
tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur
pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia
merdeka.
Soekarno-Megawati
Pemikiran politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926 dengan
judul ”Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah
Indonesia Muda dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan
kepada tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu yaitu Nasionalisme,
Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal
dari suku Jawa yang telah dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 231
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
tradisi kebudayaan Jawa, maka hakikat Jawaisme sangat jelas mewarnai pemikiran
Soekarno. Pola dasar pemikiran Soekarno adalah pola dasar tradisional Indonesia
yang selalu melihat dan mencari persatuan dan kesatuan yang lebih dalam dan lebih
tinggi antara unsur-unsur yang saling bertentangan. Pola dasar yang demikian itu
selalu berusaha mencari harmoni dan keseimbangan serta keserasian dalam diri
sendiri serta masyarakat sekitarnya sebagai pencerminan dari keserasian kosmos.
Menyoal nasionalisme, sejarawan Taufik Abdullah dalam sebuah seminar
(Kompas, 18 Agustus 2007, hal. 33) berkomentar bahwa nasionalisme yang
berintikan patriotisme itu, memang perwujudannya mengalami dialektika yang
dinamis di mana tiap generasi mempunyai tantangan (challenge) dan jawaban
(response) yang berbeda, namun esensi nasionalisme tetaplah sama yaitu rasa
cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Nasionalisme itu menjadi daya
dorong atau e’lan vital bangsa dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Ernest
Gellner (Kompas, 21 Mei 2008) dalam bukunya Nations and Nationalism (1983)
antara lain menulis bahwa ” nasionalisme melahirkan bangsa, sementara demokrasi
melahirkan negara dan pemerintahan”, maka nasionalisme bersama demokrasi
melahirkan negara bangsa (nation state) . Namun demokrasi bukan hanya sebagai
alat tetapi sekaligus merupakan tujuan dari negara bangsa itu sendiri, yaitu
mewujudkan masyarakat adil makmur material – spiritual bagi seluruh warga
bangsa.
Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor
(saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai
“sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people
born ini the same place) (Ritter, 1986: 286) . Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe
Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan
bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama,
sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan
cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295). Nasionalisme
pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa
dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat
patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.
Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme
mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat
beragam. Antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 232
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara
Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari
sejumlah pendapat berikut. Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai
gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas
bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk
membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa
potensi saja. Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu
emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan
rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu
gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan
sosial tertentu. Sementara itu Carlton Hayes, seperti dikutip Snyder (1964: 24)
membedakan empat arti nasionalisme: (1) Sebagai proses sejarah aktual, yaitu
proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan
suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern; (2) Sebagai suatu teori,
prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual; (3) Nasionalisme menaruh
kepedulian terhadap kegiatan-kegitan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu,
penggabungan proses historis dan satu teori politik; (4) Sebagai satu sentimen, yaitu
menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.
Sementara itu Benedict Anderson (1996: 6, dlm, Baskara Wardaya, 2002:
16) mendefinisikan nation (bangsa) sebagai “suatu komunitas politis yang
dibayangkan-dan dibayangkan sekaligus sebagai sesuatu yang secara inheren
terbatas dan berdaulat” (“an imagined political community and imagined as both
inherently limited and sovereign”). Istilah dibayangkan (imagined) ini penting,
menurut Anderson, mengingat bahwa anggotaanggota dari nasion itu kebanyakan
belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada
saat yang sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada
dalam suatu kesatuan komuniter tertentu. Karena terutama hidup dalam bayangan
(dalam arti positif) manusia yang juga hidup dan berdinamika, nasionalisme di sini
dimengerti sebagai sesuatu yang hidup, yang terus secara dinamis mengalami
proses pasang surut, naik turun. Pandangan yang demikian ini mengandaikan
bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang secara dinamis
berkembang serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan jaman.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 233
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal
tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh
sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah
rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini
nasionalisme sama dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan
akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme
adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-
kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya
lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang
mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu
sendiri. (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri
harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak
agresif. Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9)
menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu “a state of mind, in
which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap
mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada
negara bangsa).
Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja
tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido
Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata
nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai
untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad
Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di
universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika
Serikat sekarang). Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi
umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis
menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi
institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum
bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan
kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti
sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi
penduduk resmi suatu negara.
Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang
merepresentasikan sebuah politi bagaimanapun jauh lebih kompleks dari
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 234
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang
nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus
memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah
artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa
sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya
rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme
hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang
nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun
nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang
tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap
epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan
alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak
menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka
banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.
Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme
harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis.
Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para
sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa
dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi
yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak
mudah mengingat, seperti yang dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang
membentuk bangunan nasionalisme. Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap
upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda.
Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal
seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam
paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen.
Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan
fenomena di sekelilingnya.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena
nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis.
Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar
pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie
(Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural
meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 235
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang
memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Implikasi titik
pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya
daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern.
Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut
bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi
oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada
sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan
kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara
berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal
nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya
bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya
jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat
kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk
mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan
Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai
untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat,
Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa
multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu
menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan
nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh
ikatan-ikatan nonetnik.
Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui
jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya
relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di
Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi
kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang
demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang
lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat
egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek
kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa
karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan
dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 236
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa
Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam
masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme
memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan
teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi
Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu
untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata
lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa
perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik
ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan
bangsa, bukan sebaliknya.
Sebagai sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di
titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun,
nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di
mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan
nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif
tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan
juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika
asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap
ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara
kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa,
kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat
kekuatan nasionalisme.
Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat
nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined
communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan
bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa
tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa
hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial.
Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan
nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas
antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui
kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok
dominan.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 237
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan
kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika
konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah
perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya
seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang
ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam
merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000). Dalam
bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme
masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang
telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di
masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa
Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan
proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat
pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan
Eropa (Partha Chatterjee, 1993).
Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk
berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi
kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat
dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana,
walaupun Plamenatz cukup layak didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat
bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun,
mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan
sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas.
Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa
yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh
prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur,
dalam hal ini masyarakat pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi,
dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga
menolak dominasi Barat.
Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme
antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang
membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi
adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 238
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan
direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang
membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur
mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan
melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme
masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-
pengaruh dari Barat.
Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah
statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat
pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang
berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat
Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik
antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat
pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari
Barat.
Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan
Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga
dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam
masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian
dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba
mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan
berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa
bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur.
Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari
upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang
memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya
yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.
Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang
dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya,
melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang
terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya
menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat
Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 239
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
problematis dengan klaim Soekarno di atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun
adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003). Mitos ini menjadi strategi retorika untuk
membakar sentimen anti-Belanda saat itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah
Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous? Dalam pidato
Soekarno terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan
pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme,
dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur
Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya
rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.
Tentu saja tidak bisa tertutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari
prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya
seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah
bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain
kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk
mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional.
Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai
produk "alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep
Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya
lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh
Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang
merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986). Indikasi lain
dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu
budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim
demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang
menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya
bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa
selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang
dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung
bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang "autentik" untuk
mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai
sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan
ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat
maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 240
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya.
Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh
elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan
kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara "alami"
pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita
bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa
Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang
menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat
modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.
Di sinilah titik kritis karena nasionalisme, sebagai sebuah ideologi, memiliki
kapasitas mentransformasikan energi sosial ke dalam aksi-aksi politik
otoriterianisme. Dalam konteks ini, kacamata Anderson yang melihat nasionalisme
sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak lagi memadai untuk mengamati
bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam relasi kekuasaan. Dalam
perspektif ini, nasionalisme berada dalam sebuah relasi antara negara dan
masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam mengendalikan
negara (John Breuilly, 1994). Dalam kondisi demikian, nasionalisme tidak lagi
menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum elite nasionalis yang dengan
otoritas pengetahuan mendominasi wacana nasionalisme. Dengan kata lain,
nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi
kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis.
Senada dengan paparan sebelumnya perihal nasionalisme, adalah Iskandar
dan Uep Tatang Sontani yang menelaah nasionalisme dari sisi epistemologinya
dalam sebuah jurnal sejarah, kesimpulannya adalah untuk menghindari jebakan
ideologis, wacana nasionalisme harus dilepaskan dari dominasi institusi negara, baik
sipil maupun militer, dalam mendefinisikan nasionalisme. Wacana nasionalisme
harus diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat
dengan leluasa mengaji secara kritis dan memberi kontribusi kreatif terhadap
wacana nasionalisme. Dengan demikian, nasionalisme menjadi arena ekspresi
sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.
Dalam konteks yang sama, Sutardjo Adisusilo mengangkat juga ikhwal
nasionalisme. Simpulannya adalah Pertama, nasionalisme perlu dipahami dalam
kerangka ideologi yang di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value
orientation; (3) strategic, (4) affective. Sebagai ideologi, nasionalisme dapat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 241
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas warga bangsa, menyatukan
mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh pengaruh warga
bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Nasionalisme merupakan
salah satu alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi negara dan
bangsa. Semua negara dan bangsa membutuhkan nasionalisme sebagai faktor
integratif.
Dalam kerangka ini pemaknaan, perwujudan dan tujuan nasionalisme selalu
relevan dan dapat disesuaikan dengan tuntutan jamannya sebagai mana dikatakan
Sartono Kartodirdjo (1999: 13) bahwa nasionalisme masih relevan jika disertai
dengan prinsip utamanya, yakni: menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa,
menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin adanya
kesamaan (equality) bagi setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian
(personality), dan prestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa.
Selama kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap
relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan nasionalisme akan terus
berkembang sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang
bersangkutan. Jika semua prasarat di atas terpenuhi maka nasionalisme akan
merupakan ideologi yang mengusung terwujudnya masyarakat madani (civil society)
Kedua, negara bangsa yang demokratis harus menjamin terwujudnya: (1)
pembagian kekuasaan trias politika (legislatif, eksekutif dan yudikatif); (2)
diwujudkannya negara hukum, di mana negara menjamin equality / l’egalite’: (3)
persamaan hak setiap orang di hadapan hukum; yang menjamin freedom / liberte’:
(4) dijaminnya solidarity / fraternite’ dan (5) akhirnya negara harus mewujudkan
bonum publicum: negara wajib menjamin terwujudnya welfare state. Selanjutnya
John Schwarmantel menandaskan bahwa ciri utama negara yang demokratis adalah
adanya jaminan: 1. participation: negara menjamin setiap warga negara untuk ikut
serta dalam mengelola negara; 2. equality: negara menjamin perlakuan yang sama
bagi setiap warga negara; 3. accuntability: pemerintah wajib memberi
pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Dalam welfare state ynag demokratis
inilah masyarakat madani atau civil society akan terwujud.
Ketiga, masyarakat madani (Civil Society) adalah masyarakat di mana setiap
warga memiliki kebebasan yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, bebas
dari rasa takut, senantiasa mengembangkan kerjasama yang didasarkan atas
kepercayaan, sehingga muncul inisiatif dan partisipasi warga masyarakat dalam
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 242
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat seperti itu selain mendapat wadah
dalam negara bangsa yang demokratis, akan menjadi kenyataan jika pendidikan
berperan sebagai proses pengembangan semua modal (capital) yang ada dalam diri
setiap insan, yaitu modal intelektual (intellectual capital), modal sosial (social
capital), modal kultural (cultural capital) dan modal spiritual (spiritual capital), yang
bersama-sama akan menjadi modal mewujudkan masyarakat madani.
Relevan dengan nasionalisme acuan spiritualitas timur, ada beberapa segi
khas yang dapat ditandai dari pemikiran Soekarno. Pertama, adalah cita-citanya
tentang persatuan nasional seperti yang telah diuraikan. Ia menempatkan
kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok diantara berbagai aliran
pendirian dalam pemikiran kaum nasionalis. Kedua, desakannya untuk menjalankan
sikap nonkooperasi bukan hanya sebagai taktik, tetapi sebagai hal yang prinsip. Ia
menekankan tentang sia-sianya sikap lunak yang moderat, tentang
ketidakmungkinan suatu kompromi dengan imperialisme yang menjadi musuh itu,
dan menjelaskan tentang dua kubu yang saling berlawanan antara “sini” dan “sana”,
antara “pihak kita” dan “pihak mereka”. Ketiga adalah mengenai konsep
Marhaenismenya. Gagasan tentang “rakyat kecil”, si Marhaen mungkin tidak
merupakan suatu sumbangan besar yang khas dalam dunia pemikiran politik, tetapi
sesungguhnya konsep itu telah menampilkan suatu penilaian yang jujur tentang sifat
masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru
yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi
oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan
Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno
dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara
jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang
diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan
masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi
dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan
Soekarno. Asas Mahaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan
yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong,
hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak
untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 243
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sosio-demokrasi adalah faham yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap
demokrasi yang muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini.
Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat
liberalistis yang hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan
tidak berlaku di bidang ekonomi.
Oleh karena itu supaya tidak terjadi penindasan dan ada kebebasan di bidang
ekonomi maka sistem kapitalisme didalam masyarakat itu harus dihapus, karena
selama sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang
mengatur negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya supaya segala
sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan
orang yang lainnya. Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi social yaitu
terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ia mempunyai prinsip
utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan
demokrasinyapun harus breperikemanusiaan pula seperti yang dikatakan Gandhi.
Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan
kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-
nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu
isme atau ideologi yang menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan
rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang menindas dan memelaratkan
rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen,
teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun
kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan
sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang merupakan teori
politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya
sebagai filsafat dan dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai Pancasila.
Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua
pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan
perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari
akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep
dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”.
Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 244
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi juga sebagai dasar dan filsafat serta
pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila
mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan (humanisme), Kebangsaan
(persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun
masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis Indonesia.
Prinsip pertama yang menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan.
Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang
berjudul “San Min Chu I” atau “The Three People’s Prinsiples”. Kebangsaan
Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi yang
menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini
Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak
meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa
yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa
kebudayaan ataupun Agama tertentu.
Nation yang dimaksud juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu
kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le
desir d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham
persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik
salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang
kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah
tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan
Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT
mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang
menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera
sampai ke Irian. Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham
kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.
Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme.
Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak
menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan
prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno
dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun
nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk
membangun kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam era sekarang lebih tepat
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 245
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan
membangun perdamaian dunia.
Kemudian pada prinsip yang ketiga Soekarno menguraikan dasar Mufakat,
dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Dalam penjelasannya, Soekarno
mengatakan bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan, melainkan negara ”satu buat semua, semua buat
satu”. Soekarno yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia
ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara mufakat, membicarakan semua
permasalahan termasuk agama didalam Badan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya Soekarno menguraikan prinsip yang keempat yaitu
Kesejahteraan. Dengan prinsip ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka”. Soekarno menjelaskan bahwa Badan Perwakilan belum cukup untuk
menjamin kesejahteraan rakyat, karena yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire
democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno mengusulkan politik
economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Prinsip kelima yang diuraikan Soekarno adalah ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Prinsip sila keTuhanan YME tersebut dimaksudkan oleh Soekarno supaya bukan
saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia berTuhan
Tuhannya sendiri. Negara memberi kebebasan kepada setiap orang untuk
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan agama dan
keyakinannya. Soekarno telah berpikir kedepan bahwa negara harus memberi
kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya,
sebagaimana tuntutan hak-hak asasi manusia.
Meskipun Soekarno menawarkan lima prinsip dasar yang diberinya nama
Pancasila, tapi saat itu Soekarno juga menawarkan alternatif dari lima sila ini. Sifat
perdamaian dan kebersamaan hasil penggaliannya diungkapkan dalam kesimpulan
akhir bahwa kelima prinsip dasar Pancasila tersebut dapat diperas menjadi tiga dan
tiga ini dapat diperas menjadi satu prinsip kehidupan rakyat Indonesia, Gotong
Royong. Soekarno memeras lima sila tersebut menjadi tiga sila saja yang meliputi:
(1) Socio-Nationalisme (Kebangsaan dan Perikemanusiaan); (2) Socio-Demokrasi
(Demokrasi dan Kesejahteraan); (3) Ke-Tuhanan
Dari sini tampak jelas terlihat bahwa Soekarno menghidupkan kembali
pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana rumusan pemikiran Soekarno
dipakai sebagai asas dalam partai politik yang didirikannya. Menurut Soekarno
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 246
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
sendiri, pada 1920-an perkembangan pemikirannya telah mencapai fase yang
mantap, yang tidak lagi berubah-ubah. Pada tahun itulah diletakkan dasar-dasar
pemikiran politik Soekarno secara mantap, yakni sintesa atas tiga aliran seperti yang
telah dijelaskan diatas.
Pancasila merupakan puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang
selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam
masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya dan dapat diterima
oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai
pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada Declaration of
Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of Independence
tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis
tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pancasila mengandung keduanya
sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai nilai yang lebih tinggi
dari Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis.
Pancasila Soekarno versi pra kemerdekaan tersebut berkembang
“definisinya” ketika Soekarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi
Terpimpin. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato dengan judul
“Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of Our Revolution). Isi pidato
tersebut kemudian dianggap sebagai Manifesto Politik atau dikenal sebagai Manipol
yang kemudian berkembang menjadi Manipol USDEK (Undang-undang Dasar 1945,
Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Nasional). Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari
dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam rangka menyatukan seluruh kekuatan nasional yang
ada pada waktu itu, pada awal tahun 1960 Soekarno memperkenalkan pemikiran
baru untuk melengkapi doktrin revolusinya. Doktrin tersebut bernama NASAKOM
yang merupakan akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis. Nasakom adalah
lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat
Indonesia yang meliputi golongan nasionalis, agama, dan komunis.
Menurut John D. Legge, sebenarnya ia menghidupkan kembali pemikirannya
pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum nasionalis, islam, dan marxis dapat
sama dan cocok satu sama lain. Dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa
Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu persatuan nasional. Di masa
mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an cita-cita persatuan nasional
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 247
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
itu ditujukan untuk menggalang kekuatan dalam mengusir kolonialisme di Indonesia
dan di masa tuanya pada tahun 1950-an konsep persatuan dari golongan-golongan
utama di Indonesia ditujukan untuk melawan imperialisme, suatu bentuk dari
kolonialisme modern. Konsepsi-konsepsi seperti Pancasila, Nasakom, Manifesto
Politik/ USDEK, dikembangkan Soekarno untuk mendukung cita-cita persatuan
nasional yang diperjuangkannya sejak dahulu.
Bernhard Dahm, seorang penulis biografi Soekarno pun mendapat kesan
yang sama, bahwa pada pekan-pekan terakhir menjelang turunnya dari dunia politik
Indonesia, Soekarno tetap konsisten dengan apa yang diperjuangkannya pada era
1920-an. Dia tetap mengharapkan bahwa di tengah pluralitas yang ada, bangsa
Indonesia mampu membina persatuan, dan ia tetap teguh dalam perlawanannya
terhadap musuh lamanya, yakni “kolonialisme” dan “imperialisme”. Oleh karena itu
pesan pokok Soekarno tetap sama, yaitu disatu pihak melawan imperialisme sampai
keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan jalan
menyatukan berbagai ideologi yang berbeda kedalam suatu kesatuan yang
harmonis.
Menurut Soekarno, Pancasila selain menjadi Dasar Falsafah Negara juga
mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai landasan
perjuangan bangsa. PKI hanya menerima Pancasila sebagai kenyataan obyektif
yang harus dipakai sebagai landasan dan alat memperkuat diri, selama PKI belum
merasa kuat untuk memaksakan ideologi dan konsepsi politiknya. Dalam
pengamalan Dasar Falsafah Negara Pancasila untuk mencapai cita-cita revolusi
Indonesia ialah masyarakat adil makmur, Soekarno menggunakan konsepsi
Nasakom secara mental ideologi yang diharapkan dapat mempersatukan rakyat
Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan paham politik termasuk PKI, tetapi
bagi PKI, konsep Nasakom diterima sebagai pengertian fisik yang akan
dimanfaatkan sebagai legalitas dalam usaha menuju tujuan revolusi menurut
konsepsinya.
Pada gilirannya dapat dikonstantir bahwa pertama, arus sentral pemikiran
Soekarno adalah persatuan atau nasionalisme. Bersumber pada pemikiran tentang
persatuan ini, Soekarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran utama dari masyarakat
Indonesia waktu itu yakni Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran
nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah
baru bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia karena pada saat itu konsep
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 248
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme yang berdasarkan kedaerahan
atau kesukuan.
Kedua, pemikiran ini mulai terlihat dalam tulisan pertamanya “Nasionalisme,
Islam dan Marxisme. Kemudian berkembang menjadi sebuah paham Marhaenisme
yang tiada lain adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari
pemikiran yang berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final
pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam
perkembangannya, Pancasila diterjemahkan kedalam Manipol-USDEK yang berisi
pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari sini mulai terjadi penyimpangan
terhadap Pancasila, Soekarno mulai menggunakan Pancasila untuk tujuan-tujuan
politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto.
Ketiga, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Soekarno merupakan
pondasi yang kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan social masyarakat
Indonesia dan juga hasil dari pemikiran yang luar biasa dari seorang Soekarno yang
kaya akan pengetahuan.Dari banyak pemikiran Soekarno tersebut, John D. Legge
mencoba merangkum beberapa segi khas dari pemikiran Soekarno.
Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional. Soekarno sangat
menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok.
Ketika Soekarno untuk pertama kali merumuskan pikiran melalui tulisannya
“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926, Soekarno telah melihat
keadaan yang memungkinkan lahirnya perpecahan di antara kekuatan-kekuatan
pergerakan pada waktu itu. Soekarno menganalisis kekuatan-kekuatan yang ada
pada waktu itu, yaitu kekuatan nasionalis, Islam, dan Marxis. Maka Soekarno
sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiga kekuatan yang ada itu haruslah
bersatu.
Soekarno
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 249
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Pada masa berikutnya, setelah memperoleh kesempatan dengan
penampilannya sebagai pembentuk dan pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia)
sejak tahun 1927, Soekarno berusaha merealisasikan ide tersebut dengan berbagai
langkah yang diambilnya. Sebagai langkah awal, maka dimulainya dengan
menempatkan PNI sebagai suatu partai yang dapat menerima semua aliran di dalam
tubuhnya; semua orang dari aliran manapun dan agama apa pun dapat menjadi
anggota. PNI berasaskan nasionalisme Indonesia .
Setelah membentuk partai berasaskan nasionalisme, Soekarno melangkah
untuk menata kehidupan organisasi politik pergerakan pada waktu itu, karena usaha
tersebut merupakan bagian penting dari cita-citanya. Ketika usahanya berhasil
membentuk Permufakatan Perhimpunan Politik kebangsaan Indonesia (PPPKI),
nampaknya Soekarno mengandalkan organisasi tersebut sebagai suatu alat
perjuangan yang efektif untuk mempersatukan semua kekuatan baik yang non
koooperatif maupun yang kooperatif.
Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap non kooperatif bukan hanya
sebagai taktik, tetapi merupakan hal yang prinsipil. Soekarno menegaskan betapa
sia-sianya sikap lunak yang moderat, sebab tidak mungkin ditempuh dengan
imperialisme. Akibat wajar dari sikap tersebut adalah suatu rencana untuk
memobilisasi rakyat guna melaksanakan perjuangan tersebut. Pendirian PNI dan
sepak terjangnya setelah berdirinya partai tersebut merupakan realisasi dari rencana
Soekarno .
Ketiga, konsep mengenai Marhaenisme. Soekarno menegaskan bahwa
Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan sangatlah relevan
digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun dalam berbagai wujud masih bercokol di
bumi. Dalam konteks ini, Marxisme telah memberikan kepada Soekarno alat yang
paling sistematis dalam analisis sosial dalam dalam pengkajiannya tentang sifat
kekuasaan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
Keempat, pengungkapan pidato dan tulisan Soekarno sangat menarik bagi
para pendengar dan pembaca dari kalangan Jawa. Salah satu wujudnya yang khas
seperti pada tahun 1928 dan 1929 adalah ramalan Soekarno mengenai kebangkitan
Jepang dan pecahnya perang Pasifik, sehingga memungkinkan Indonesia
mendapatkan kemerdekaannya di kemudian hari. Ini merupakan ramalan yang
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 250
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
cerdik dengan daya tarik khusus karena langsung dikaitkan dengan harapan
tradisional yang diramalkan jayabaya .
Dalam konteks parpol, ajaran Soekarno diinternalisasi oleh partai politik
PDIP. Partai PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah
partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa
orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia
yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari
hasil fusi 5 (lima) partai politik. Lima partai tersebut adalah: (1) Partai Nasional
Indonesia (PNI), yang didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan
mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat
dalam waktu singkat. (2) Partai Kristen Indonesia (Parkindo), yang didirikan karena
ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18
November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan
dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut,
PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di
Pematang Siantar. (3) Partai Katolik, yang lahir kembali pada tanggal 12 Desember
1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan
dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik.
(4) IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, yang didirikan terutama
oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi
dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution,
Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun
1953 tentang Pemilu 1955. (5) Murba, yang didirikan pada tanggal 7 November 1948
setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat,
Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.Menurut data Kementrian
Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981,
istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak
mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri".
Selanjutnya, sosok idiosinkratik Megawati Soekarno Putri, secara role dan
habitus, merupakan pewaris nilai-nilai ajaran Soekarno. Megawati adalah anak
kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945 .
Dari semua hasil penelitian dan textbook di atas, belumlah menyentuh
secara spesifik ke arah studi warisan pemikiran politik soekarno, khususnya warisan
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 251
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
pemikiran politik Soekarno tentang nasionalisme dan ideologi parpol (PDIP). Tapi
semua hasil penelitian di atas, sangatlah relevan untuk dijadikan rujukan atau
sumber referensi pada rencana penelitian disertasi ini.
Atas dasar itulah, untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif, penulis
tertarik mengkaji fenomena warisan pemikiran politik (political heritage) Soekarno
tentang nasionalisme dan ideologi parpol, dan peran Megawati Soekarno Putri
ditinjau dari perspektif habitus-nya Bourdieu, yakni “It refers to something historical,
linked to the individual history, and that it belongs to a genetic mode of thought, as
opposed to an essentialist mode of thought”, dengan memusatkan perhatian pada
variabel-variabel dan dimensi- dimensi idiosinkratik elit parpol, parpol dan konstituen
parpol yang belum banyak dibahas penelitian sebelumnya, seperti dilansir oleh
Mainwaring dan Scully (1995) dalam “sistem kepartaian demokratik” melalui variabel
role dan nature berikut dimensinya yaitu; systemness, value infusion, decisional
autonomy, dan reification. Atau dimensi-dimensi institusionalisasi dan ideologi parpol
yang Huntington (1968), yaitu adaptability, complexicity, autonomy, dan coherence.
Bisa juga, nasionalisme Soekarno sebagai warisan pemikiran politik (political
heritage) ditelisik melalui dimensi-dimensi: nationality, religion, ethnicity, class,
wealth, gender, personal history, dan “insideness” (aneka dalam diri) (Brian Graham
dan Peter Howard, 2005).
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 252
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
Penutup
Dengan demikian warisan politik memberikan kontribusi untuk memperkaya
khasanah pengetahuan dalam ilmu politik, khususnya dalam memahami fenomena
pewarisan pemikiran politik (political herigate), politik dinasti (kinship politics),
idiosinratik elit, yang dalam kurun waktu akhir-akhir ini menjadi isu besar (the great
issues), dan menjadi sorotan yang tajam karena isu ini melawan arus yang gencar
sedang digulirkan yakni demokratisasi.
Selain untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang ilmu politik,
bahasan ini sekaligus dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauhmana efektivitas
teori pembangunan politik untuk menganalisis peristiwa-peristiwa politik indonesia
kontemporer. Seperti diketahui, bahwa teori-teori pembangunan politik relatif baru
dan masih diperdebatkan dalam paradigma studi ilmu politik yang validitasnya
masih perlu diuji terutam dalam realitas politik di Indonesia.
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 253
JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-
2265
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992.
2. Bernhard Dahm, Soekarno and the Struggle for Indonesia Independence,
Ithaca and London: Cornell University Press, 1969.
3. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta:
Gunung Agung, 1984.
4. H. Ernste, Pierre Bourdieu on Structure Agency Structuralism, Radboud
University of Nijmegen, 2006.
5. Herberth Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
Jakarta: LP3ES,1995.
6. http.www.repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 27 Maret 2012.
7. http.www.setneg.go.id/index. Diakses tanggal 25 Maret 2012.
8. Ign Gatut Saksono, Marhaenisme Bung karno: Marxisme Ala Indonesia,
Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2007.
9. John D. Legge, Soekarno: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1996.
10. Syamsuhadi Bambang Rahardjo, Garuda Emas Pancasila Sakti, Jakarta:
Yapeta Pusat, 1995.
11. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta:Panitya Penerbit Di Bawah
Bendera Revolusi, 1964.