issn 0853- jurnal online westphalia, vol.12,no.1 … · menangkap kondisi dan aspirasi rakyat...

27
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 227 JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853- 2265 WARISAN POLITIK DAN DINAMIKA POLITIK INDONESIA KEKINIAN Oleh Awang Munawar Abstrak Satu gejala yang menarik dari sejarah perkembangan politik Indonesia modern, terutama dalam zaman pergerakan nasional, ialah keberhasilannya melahirkan sejumlah pemikir-pemikir politik yang berbobot. Lebih menarik lagi karena sebagian besar dari mereka telah mampu mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang relatif matang semenjak usia muda. Apakah dari seorang gadis remaja berbudi halus bernama Kartini ataukah seorang pemuda dinamis bernama Sukarno. Apakah dia seorang Mohammad Natsir yang alim ataukah Tan Malaka yang penuh misteri. Tidak diragukan lagi, semua mereka telah menyumbangkan perbendaharaan pemikiran yang amat berharga dan sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual masyarakat mereka. Kata Kunci: Warisan Politik, Dinamika Politik Pendahuluan Sebagai salah satu founding fathers Indonesia, pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah mempersatukannya ke dalam suatu “common denominator”, apakah namanya Marhaenisme, Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada. Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan

Upload: duongthuy

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 227

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

WARISAN POLITIK DAN DINAMIKA POLITIK INDONESIA KEKINIAN

Oleh Awang Munawar

Abstrak Satu gejala yang menarik dari sejarah perkembangan politik Indonesia modern, terutama dalam zaman pergerakan nasional, ialah keberhasilannya melahirkan sejumlah pemikir-pemikir politik yang berbobot. Lebih menarik lagi karena sebagian besar dari mereka telah mampu mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang relatif matang semenjak usia muda. Apakah dari seorang gadis remaja berbudi halus bernama Kartini ataukah seorang pemuda dinamis bernama Sukarno. Apakah dia seorang Mohammad Natsir yang alim ataukah Tan Malaka yang penuh misteri. Tidak diragukan lagi, semua mereka telah menyumbangkan perbendaharaan pemikiran yang amat berharga dan sekaligus menunjukkan kemampuan intelektual masyarakat mereka. Kata Kunci: Warisan Politik, Dinamika Politik

Pendahuluan

Sebagai salah satu founding fathers Indonesia,

pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki

keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada

waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno

memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang

hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah

mempersatukannya ke dalam suatu “common

denominator”, apakah namanya Marhaenisme,

Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia

memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari

masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk

memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada.

Mahathir Mohammad mampu menangkap dengan baik dua kemampuan

Soekarno yang telah mengantarkannya untuk melahirkan pikiran-pikiran

fundamental berupa konsepsi yang cerdas bagi bangsa Indonesia dan umat

manusia. Pertama, Soekarno merupakan orang yang mampu menyelami dan

menangkap kondisi dan aspirasi rakyat Indonesia dengan segala kemajemukannya

untuk kemudian mempersatukannya sebagai sebuah bangsa. Kedua, Soekarno

adalah seorang visioner yang mampu melihat dan memberikan pandangan kedepan

yang jauh melampaui jamannya, sehingga dengan demikian mampu memberikan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 228

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

bimbingan dan acuan perjuangan bagi bangsa Indonesia serta umat manusia dalam

membangun peradaban dan kesejahteraan hidupnya.

Dalam mempelajari Soekarno, diperlukan sebuah kunci yang tepat untuk

dapat mengetahui dengan jelas bagaimana pola pemikirannya terbentuk. Seorang

peneliti Barat, Bernhard Dahm, menjelaskan panjang lebar bagaimana budaya Jawa

telah membentuk alur pemikirannya dimasa kanak-kanak. Menurut Dahm, untuk

mempelajari Soekarno, adalah dengan memahami ”Mitologi Jawa”, yaitu Konsep

kepercayaan masyarakat Jawa sebagaimana tercermin didalam cerita-cerita

wayang, ide Ratu Adil, dan Jayabaya.

Frustasi, harapan, dan juru selamat merupakan intisari dari konsep

kepercayaan ini. Frustasi yang dalam sebagai akibat penindasan, penjajahan,

kezaliman, dan ketidakadilan pada waktu yang sama menyuburkan tumbuhnya

harapan dan angan-angan yang tinggi tentang suatu perubahan zaman yang diidam-

idamkan. Perubahan zaman itu akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang

Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat mereka dari segala macam bentuk

kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan.

Pertemuannya dengan seorang petani miskin di Bandung telah ikut

menciptakan konsep ”Marhaenisme” yang kemudian menjadi alat perjuangannya

dalam melawan kolonialisme. Ia melihat perbedaan mendasar antara proletar

dengan kaum marhaen di Indonesia. Sehingga istilah proletar kurang cocok untuk

diterapkan di Indonesia. Marhaenisme akhirnya menjadi dasar perjuangan dari PNI

dan Partindo yang didirikan Soekarno kemudian. Konsep marhaen telah

memecahkan suatu masalah yang selama bertahun-tahun merisaukannya. Tahun

1921, dalam suatu kongres Jong Java di Bandung, ia membahas tentang tidak

terelakkannya perjuangan kelas dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah

merasa sesuai dengan pandangan ini, dan konsep marhaen memungkinkan ia lebih

menempatkan perjuangan itu kedalam pengertian kelas. Pandangan ini juga

menampilkan konsep teoritis bagi situasi Indonesia.

Soekarno meyakini bahwa sistem multipartai telah menyebabkan negara

menjadi lemah karena pada waktu itu telah terjadi konflik ideologis antar partai,

sehingga pemerintahan tidak stabil. Dalam keadaan dan krisis-krisis yang melanda

kabinet disusul dengan pergolakan-pergolakan di daerah-daerah, Soekarno tampil

dengan “konsepsinya” yang dimaksudkan sebagai alternatif terhadap kesulitan-

kesulitan politik yang dihadapi pada masa itu. Konsep Demokrasi Terpimpin yang

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 229

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

diajukan Soekarno pada Tanggal 21 Februari 1957 dihadapan para pemimpin partai

dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada pokoknya berisi: 1. Sistem

Demokrasi Parlementer secara barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia,

oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin. 2. Untuk pelaksanaan

Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet Gotong royong yang anggotanya

terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang

ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya

pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai

besar, yakni PNI, Masjumi, NU, dan PKI, turut serta didalamnya untuk menciptakan

kegotong-royongan nasional. 3 Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari

golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini tugas

utamanya adalah memberi nasihat kepada kabinet, baik diminta maupun tidak

diminta.

Soekarno merupakan orang yang sangat lekat dengan budaya jawa karena

ayahnya sendiri adalah orang jawa yang sangat mengagumi dan memahami

budaya-budaya jawa terutama cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana.

Pemahaman ayahnya atas budaya jawa tersebut diturunkan kepada Soekarno

semenjak kecil. Karena pemahamannya yang kuat terhadap cerita-cerita wayang,

maka ayah Soekarno memberinya nama Karno. Karno adalah nama tokoh dalam

cerita Mahabharata yang berasal dari Kurawa. Dengan memberikan nama Soekarno

ini, ayahnya mengharapkan dan berdoa agar Soekarno menjadi seorang patriot,

seorang pejuang dan pahlawan besar bagi rakyatnya. Ayahnya juga mengharapkan

dan berdoa agar Soekarno menjadi “Karno yang kedua”.

Pembahasan

Menurut Bernhard Dahm, Soekarno sangat menggemari tokoh Pandawa yang

bernama Bima. Bima adalah seorang ksatria yang mempunyai sifat-sifat tidak

mengenal kompromi dengan mereka yang datang diluar golongannya disatu pihak

dan pada waktu yang sama bersedia berkompromi dengan mereka yang segolongan

dengannya. Soekarno menyerap segi-segi filsafat Jawa ini dari kakek-neneknya di

Tulungagung, dari ayahnya di Mojokerto dan juga dari Wagiman, seorang petani

miskin yang tinggal didekat Mojokerto. Dalam pidato-pidatonya kemudian, apabila ia

ingin menyampaikan pikiran yang lebih pelik kepada khalayak Jawa, ia akan

menggunakan kisah dan tokoh-tokoh pewayangan. Selain wayang, orang yang turut

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 230

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

membentuk karakternya di masa kanak-kanak adalah seorang perempuan tua yang

ikut tinggal bersama dengan keluarga Soekarno, bernama Sarinah. Sarinah adalah

orang yang ikut membentuk jiwa dan alam pemikirannya untuk mengenal rakyat

kecil dan cinta kasih terhadap rakyat kecil.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh

pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk

karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah.

Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar

Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan

Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka. Kegemarannya akan membaca

tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur

pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia

merdeka.

Soekarno-Megawati

Pemikiran politik Soekarno diawali dari tulisannya pada bulan April 1926 dengan

judul ”Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” yang dimuat berturut-turut di majalah

Indonesia Muda dalam tiga penerbitannya. Dalam tulisan itu, Soekarno menyerukan

kepada tiga aliran dominan dalam pergerakan Indonesia saat itu yaitu Nasionalisme,

Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Sementara itu, sebagai seorang yang berasal

dari suku Jawa yang telah dibentuk oleh kebudayaan Jawa serta berakar dalam

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 231

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

tradisi kebudayaan Jawa, maka hakikat Jawaisme sangat jelas mewarnai pemikiran

Soekarno. Pola dasar pemikiran Soekarno adalah pola dasar tradisional Indonesia

yang selalu melihat dan mencari persatuan dan kesatuan yang lebih dalam dan lebih

tinggi antara unsur-unsur yang saling bertentangan. Pola dasar yang demikian itu

selalu berusaha mencari harmoni dan keseimbangan serta keserasian dalam diri

sendiri serta masyarakat sekitarnya sebagai pencerminan dari keserasian kosmos.

Menyoal nasionalisme, sejarawan Taufik Abdullah dalam sebuah seminar

(Kompas, 18 Agustus 2007, hal. 33) berkomentar bahwa nasionalisme yang

berintikan patriotisme itu, memang perwujudannya mengalami dialektika yang

dinamis di mana tiap generasi mempunyai tantangan (challenge) dan jawaban

(response) yang berbeda, namun esensi nasionalisme tetaplah sama yaitu rasa

cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya. Nasionalisme itu menjadi daya

dorong atau e’lan vital bangsa dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Ernest

Gellner (Kompas, 21 Mei 2008) dalam bukunya Nations and Nationalism (1983)

antara lain menulis bahwa ” nasionalisme melahirkan bangsa, sementara demokrasi

melahirkan negara dan pemerintahan”, maka nasionalisme bersama demokrasi

melahirkan negara bangsa (nation state) . Namun demokrasi bukan hanya sebagai

alat tetapi sekaligus merupakan tujuan dari negara bangsa itu sendiri, yaitu

mewujudkan masyarakat adil makmur material – spiritual bagi seluruh warga

bangsa.

Nation berasal dari bahasa Latin natio, yang dikembangkan dari kata nascor

(saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai

“sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama” (group of people

born ini the same place) (Ritter, 1986: 286) . Kata ‘nasionalisme’ menurut Abbe

Barruel untuk pertama kali dipakai di Jerman pada abad ke-15, yang diperuntukan

bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama,

sehingga mereka itu (di kampus yang baru dan daerah baru) tetap menunjukkan

cinta mereka terhadap bangsa/suku asal mereka (Ritter, 1986: 295). Nasionalisme

pada mulanya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa

dan daerah asal usul semula. Rasa cinta seperti itu dewasa ini disebut semangat

patriotisme. Jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya.

Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme

mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat

beragam. Antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 232

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara

Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari

sejumlah pendapat berikut. Smith (1979: 1) memaknai nasionalisme sebagai

gerakan ideologis untuk meraih dan memelihara otonomi, kohesi dan individualitas

bagi satu kelompok sosial tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untuk

membentuk atau menentukan satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa

potensi saja. Snyder (1964: 23) sementara itu memaknai nasionalisme sebagai satu

emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan tindakan politik kebanyakan

rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat alamiah, melainkan merupakan satu

gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan terhadap kondisi politik, ekonomi dan

sosial tertentu. Sementara itu Carlton Hayes, seperti dikutip Snyder (1964: 24)

membedakan empat arti nasionalisme: (1) Sebagai proses sejarah aktual, yaitu

proses sejarah pembentukan nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan

suku dan imperium kelembagaan negara nasional modern; (2) Sebagai suatu teori,

prinsip atau implikasi ideal dalam proses sejarah aktual; (3) Nasionalisme menaruh

kepedulian terhadap kegiatan-kegitan politik, seperti kegiatan partai politik tertentu,

penggabungan proses historis dan satu teori politik; (4) Sebagai satu sentimen, yaitu

menunjukkan keadaan pikiran di antara satu nasionalitas.

Sementara itu Benedict Anderson (1996: 6, dlm, Baskara Wardaya, 2002:

16) mendefinisikan nation (bangsa) sebagai “suatu komunitas politis yang

dibayangkan-dan dibayangkan sekaligus sebagai sesuatu yang secara inheren

terbatas dan berdaulat” (“an imagined political community and imagined as both

inherently limited and sovereign”). Istilah dibayangkan (imagined) ini penting,

menurut Anderson, mengingat bahwa anggotaanggota dari nasion itu kebanyakan

belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada

saat yang sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada

dalam suatu kesatuan komuniter tertentu. Karena terutama hidup dalam bayangan

(dalam arti positif) manusia yang juga hidup dan berdinamika, nasionalisme di sini

dimengerti sebagai sesuatu yang hidup, yang terus secara dinamis mengalami

proses pasang surut, naik turun. Pandangan yang demikian ini mengandaikan

bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang secara dinamis

berkembang serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan dan

tuntutan jaman.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 233

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Boyd Shafer (1955: 6) mengatakan bahwa nasionalisme itu multi makna, hal

tersebut tergantung pada kondisi objektif dan subjektif dari setiap bangsa. Oleh

sebab itu nasionalisme dapat bermakna sebagai berikut: (1) Nasionalisme adalah

rasa cinta pada tanah air, ras, bahasa atau budaya yang sama, maka dalam hal ini

nasionalisme sama dengan patriotisme. (2) Nasionalisme adalah suatu keinginan

akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa. (3) Nasionalisme

adalah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial yang kabur, kadang-

kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa atau Volk yang kesatuannya

lebih unggul daripada bagian-bagiannya. (4) Nasionalisme adalah dogma yang

mengajarkan bahwa individu hanya hidup untuk bangsa dan bangsa demi bangsa itu

sendiri. (5) Nasionalisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa bangsanya sendiri

harus dominan atau tertinggi di antara bangsa-bangsa lain dan harus bertindak

agresif. Kendati ada beragam definisi tentang nasionalisme, Hans Kohn (1971: 9)

menggarisbawahi bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu “a state of mind, in

which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state” (sikap

mental, di mana kesetiaan tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada

negara bangsa).

Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul dengan begitu saja

tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa. Dalam studi semantik Guido

Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata

nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai

untuk mengolok-olok orang asing. Beberapa ratus tahun kemudian pada Abad

Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di

universitas-universitas (seperti Permias untuk mahasiswa Indonesia di Amerika

Serikat sekarang). Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi

umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis

menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi

institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum

bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan

kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti

sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi

penduduk resmi suatu negara.

Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang

merepresentasikan sebuah politi bagaimanapun jauh lebih kompleks dari

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 234

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

transformasi semantik yang mewakilinya. Begitu rumitnya pemahaman tentang

nasionalisme membuat ilmuwan sekaliber Max Weber nyaris frustrasi ketika harus

memberikan penjelasan sosiologis tentang fenomena nasionalisme. Dalam sebuah

artikel pendek yang ditulis pada 1948, Weber menunjukkan sikap pesimistis bahwa

sebuah teori yang konsisten tentang nasionalisme dapat dibangun. Tidak adanya

rujukan mapan yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami nasionalisme

hanya akan menghasilkan kesia-siaan. Apa pun bentuk penjelasan tentang

nasionalisme, baik itu dari dimensi kekerabatan biologis, etnisitas, bahasa, maupun

nilai-nilai budaya, menurut Weber, hanya akan berujung pada pemahaman yang

tidak komprehensif. Kekhawatiran Weber ini wajar mengingat komitmennya terhadap

epistemologi modernisme yang mencari pengetahuan universal. Mungkin dengan

alasan yang sama, dua bapak ilmu sosial-Karl Marx dan Emile Durkheim-tidak

menaruh perhatian serius pada isu nasionalisme walau tentu saja pemikiran mereka

banyak mengilhami penjelasan tentang fenomena nasionalisme.

Pesimisme Weber mungkin benar. Namun, itu tak berarti nasionalisme

harus disikapi secara taken for granted dan diletakkan jauh-jauh dari telaah teoretis.

Besarnya implikasi nasionalisme dalam berbagai dimensi sosial mengundang para

sarjana mencoba memahami dan sekaligus mencermati secara kritis konsep bangsa

dan kebangsaan (nasionalisme), seberapa pun besarnya paradoks dan ambivalensi

yang dikandungnya. Tentu saja upaya memecahkan teka-teki nasionalisme tidak

mudah mengingat, seperti yang dikatakan Weber, begitu beragam faktor yang

membentuk bangunan nasionalisme. Andaikan nasionalisme sebuah gedung, setiap

upaya mencari esensi nasionalisme berada di lantai yang berbeda-beda.

Konsekuensinya, teorisasi nasionalisme sering bersifat partikular, tidak universal

seperti yang diinginkan Weber. Namun, ini tidak menjadi masalah, khususnya dalam

paradigma pascamodernisme ketika pengetahuan tak lagi monolitik dan homogen.

Beragamnya pandangan justru akan memperkaya pemahaman manusia akan

fenomena di sekelilingnya.

Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena

nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis.

Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar

pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie

(Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural

meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith, ethnie

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 235

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

merupakan sumber inspirasi yang mendefinisikan batas-batas budaya yang

memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Implikasi titik

pandang ini adalah bahwa nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya

daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern.

Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut

bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi

oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada

sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan

kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara

berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).

Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal

nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya

bagaimanapun tak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan, khususnya

jika kita mengamati batas-batas bangsa yang terbentuk dalam masyarakat

kontemporer. Yang ditawarkan oleh pendekatan etnonasionalis dapat dipakai untuk

mengamati fenomena nasionalisme di negara "monokultur" seperti Jerman, Itali, dan

Jepang. Namun, penjelasan yang sama tidak berlaku sepenuhnya ketika dipakai

untuk menjelaskan nasionalisme bangsa multikultural seperti Amerika Serikat,

Perancis, Singapura, dan Indonesia untuk menyebut beberapa. Tentu saja di bangsa

multikultural ini ada dominasi etnik atau ras tertentu yang pada tingkat tertentu

menjadi sumber utama inspirasi nasionalisme. Namun, itu tak berarti bangunan

nasionalisme menjadi homogen karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh

ikatan-ikatan nonetnik.

Lepas dari konundrum tersebut, melacak genealogi nasionalisme melalui

jejak-jejak etnik mungkin terlalu jauh mengingat fenomena nasionalisme sebenarnya

relatif baru. Ini bisa ditelusuri dari sejarah munculnya konsep bangsa-negara di

Eropa sekitar abad ke-18 yang merupakan bagian dari gelombang revolusi

kerakyatan dalam meruntuhkan hegemoni kelas aristokrat. Pembacaan sejarah yang

demikian memberi indikasi asal-muasal nasionalisme sebagai anak modernitas yang

lahir dari rahim Pencerahan, suatu revolusi berpikir yang membawa semangat

egaliterianisme. Namun, konsep nasionalisme tidak hanya meliputi aspek-aspek

kegemilangan dari gagasan modernitas yang ditawarkan oleh Pencerahan Eropa

karena dia merupakan akibat (by-product) dari pengondisian modernitas bersamaan

dengan transformasi sosial masyarakat Eropa pada saat itu.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 236

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Dari situ dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa

Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam

masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Sebagai sebuah ideologi, nasionalisme

memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan

teleologi modernitas. Kondisi-kondisi yang terbentuk ini tak lepas dari Revolusi

Industri ketika urbanisasi dalam skala besar memaksa masyarakat pada saat itu

untuk membentuk sebuah identitas bersama (Ernest Gellner, 1983). Dengan kata

lain, nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa

perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Dari sudut pandang deterministik

ini Gellner sampai pada satu argumen bahwa nasionalismelah yang melahirkan

bangsa, bukan sebaliknya.

Sebagai sebuah produk modernitas, perkembangan nasionalisme berada di

titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial. Namun,

nasionalisme tidak hanya dapat dilihat sebagai sebuah proses dari atas ke bawah di

mana kelas dominan memiliki peranan lebih penting dalam pembentukan

nasionalisme daripada kelas yang terdominasi. Artinya, pemahaman komprehensif

tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan

juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika

asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap

ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara

kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Pada level inilah elemen-elemen sosial seperti bahasa,

kesamaan sejarah, identitas masa lalu, dan solidaritas sosial menjadi pengikat erat

kekuatan nasionalisme.

Dalam perspektif melihat dari bawah ini Benedict Anderson (1991) melihat

nasionalisme sebagai sebuah ide atas komunitas yang dibayangkan, imagined

communities. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan

bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa

tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa

hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial.

Pandangan konstruktivis yang dianut Anderson menarik karena meletakkan

nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas

antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui

kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok

dominan.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 237

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Keunikan konsep Anderson dapat ditarik lebih jauh untuk menjelaskan

kemunculan nasionalisme di negara-negara pascakolonial. Bukan kebetulan jika

konsep Anderson sebagian besar didasarkan pada pengamatan terhadap sejarah

perkembangan nasionalisme di Indonesia. Namun, ada satu hal dalam karya

seminal Anderson yang dapat menjadi subyek kritik orientalisme seperti yang

ditengarai oleh Edward Said terhadap cara pandang ilmuwan Barat dalam

merepresentasikan masyarakat non-Barat (lihat Simon Philpott, 2000). Dalam

bukunya, Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme

masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang

telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di

masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular nasionalisme bangsa

Eropa. Di sini letak problematika dari pandangan Anderson karena menafikan

proses-proses apropriasi dan imajinasi itu sendiri yang dilakukan oleh masyarakat

pascakolonial dalam menciptakan bangunan nasionalisme yang berbeda dengan

Eropa (Partha Chatterjee, 1993).

Secara esensial nasionalisme masyarakat pascakolonial dibentuk

berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi

kolonialisme. John Plamenatz (1976) membuat dikotomi antara nasionalisme Barat

dan nasionalisme Timur. Kategorisasi ini mungkin kedengaran terlalu sederhana,

walaupun Plamenatz cukup layak didengar. Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat

bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun,

mereka beruntung karena budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan

sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas.

Sebaliknya, nasionalisme Timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa

yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh

prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Karena itu, nasionalisme Timur,

dalam hal ini masyarakat pascakolonial, penuh dengan ambivalensi. Pada satu sisi,

dia merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi lain dia juga

menolak dominasi Barat.

Partha Chatterjee mencoba memecahkan dilema nasionalisme

antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang

membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi

adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Dalam

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 238

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

domain ini superioritas Barat harus diakui dan mau tidak mau harus dipelajari dan

direplikasi oleh Timur. Dunia spirit, pada sisi lain, adalah sebuah "dunia dalam" yang

membawa tanda esensial dari identitas budaya. Semakin besar kemampuan Timur

mengimitasi kemampuan Barat dalam dunia materi, semakin besar pula keharusan

melestarikan perbedaan budaya spiritnya. Di domain spiritual inilah nasionalisme

masyarakat pascakolonial mengklaim kedaulatan sepenuhnya terhadap pengaruh-

pengaruh dari Barat.

Walaupun demikian, Chatterjee menambahkan bahwa dunia spirit tidaklah

statis, melainkan terus mengalami transformasi karena lewat media ini masyarakat

pascakolonial dengan kreatif menghasilkan imajinasi tentang diri mereka yang

berbeda dengan apa yang telah dibentuk oleh modernitas terhadap masyarakat

Barat. Hasil dari pendaulatan dunia spiritual ini membentuk sebuah kombinasi unik

antara spiritualitas Timur dengan materialitas Barat yang mendorong masyarakat

pascakolonial memproklamasikan budaya "modern" mereka yang berbeda dari

Barat.

Dikotomi antara dunia spirit dan dunia material seperti yang dijelaskan

Chatterjee pada satu sisi mengikuti paradigma Cartesian tentang terpisahnya raga

dan jiwa. Namun, di sisi lain ia menunjukkan bahwa penekanan dunia spirit dalam

masyarakat pascakolonial adalah bentuk respons mereka terhadap penganaktirian

dunia spirit oleh peradaban Barat. Karena itu, masyarakat pascakolonial mencoba

mengambil peluang tersebut untuk membangun sebuah jati diri yang autentik dan

berakar pada apa yang telah mereka miliki jauh sebelumnya. Hasilnya berupa

bangunan materi modernitas yang dibungkus oleh semangat spiritualitas Timur.

Implikasi strategi ini dalam bangunan nasionalisme pascakolonial dapat dilihat dari

upaya-upaya kaum elite nasionalis membangun sebuah ideologi nasionalisme yang

memiliki kandungan spiritual yang tinggi sebagai representasi kekayaan budaya

yang tidak dimiliki oleh peradaban Barat.

Orientasi spiritualitas Timur mengilhami lahirnya konsep Pancasila yang

dilontarkan oleh Soekarno kali pertama dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.

Dalam pidatonya, Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya,

melainkan sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang

terkubur selama 350 tahun masa penjajahan. Bagi Soekarno, tugasnya hanya

menggali Pancasila dari bumi pertiwi dan mempersembahkannya untuk masyarakat

Indonesia (Soekarno, 1955). Jika dicermati secara kritis, ada beberapa poin yang

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 239

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

problematis dengan klaim Soekarno di atas. Pertama, masa penjajahan 350 tahun

adalah sebuah mitos (Onghokham, 2003). Mitos ini menjadi strategi retorika untuk

membakar sentimen anti-Belanda saat itu. Kedua dan yang lebih penting, apakah

Pancasila merupakan konsep yang benar-benar produk indigenous? Dalam pidato

Soekarno terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil kombinasi dari gagasan

pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme,

dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur

Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai upaya

rekonsiliasi antara kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islamis.

Tentu saja tidak bisa tertutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari

prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya

seperti yang diklaim Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pengamatan ini adalah

bahwa penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur yang menjadi domain

kedaulatan masyarakat pascakolonial menjadi problematis ketika dipakai untuk

mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional.

Problematis karena ketika kita mencari akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai

produk "alamiah", yang kita temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep

Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya

lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh

Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang

merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (John Bowen, 1986). Indikasi lain

dapat ditemui pada salah satu elemen pembentuk nasionalisme Indonesia, yaitu

budaya (aristokrat) Jawa yang diklaim sebagai akar budaya bangsa Indonesia. Klaim

demikian menjadi goyah setelah kita membaca John Pemberton (1994) yang

menunjukkan bagaimana budaya aristokrat Jawa itu sendiri tidak sepenuhnya

bersifat lokal, melainkan terbentuk dari proses asimilasi dengan budaya Eropa

selama masa kolonialisme beberapa abad. Tentu saja kita bisa mengkritik apa yang

dikatakan oleh Bowen maupun Pemberton sebagai pengamatan yang mengandung

bias orientalisme. Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang "autentik" untuk

mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal.

Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai

sebuah model nasionalisme masyarakat pascakolonial jauh lebih kompleks dan

ambivalen baik dari kategorisasi Plamenatz tentang nasionalisme Timur dan Barat

maupun penjelasan Chatterjee tentang spiritualitas Timur sebagai satu-satunya

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 240

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

wilayah di mana masyarakat pascakolonial mampu membangun autentitasnya.

Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh

elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan

kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara "alami"

pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita

bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan, bahwa

Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang

menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat

modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber inspirasi utama.

Di sinilah titik kritis karena nasionalisme, sebagai sebuah ideologi, memiliki

kapasitas mentransformasikan energi sosial ke dalam aksi-aksi politik

otoriterianisme. Dalam konteks ini, kacamata Anderson yang melihat nasionalisme

sebagai imajinasi kolektif menjadi kabur dan tidak lagi memadai untuk mengamati

bagaimana wacana nasionalisme beroperasi dalam relasi kekuasaan. Dalam

perspektif ini, nasionalisme berada dalam sebuah relasi antara negara dan

masyarakat yang menyediakan kekuasaan yang begitu besar dalam mengendalikan

negara (John Breuilly, 1994). Dalam kondisi demikian, nasionalisme tidak lagi

menjadi milik publik, melainkan hak eksklusif kaum elite nasionalis yang dengan

otoritas pengetahuan mendominasi wacana nasionalisme. Dengan kata lain,

nasionalisme berevolusi menjadi alat manufacturing consent untuk melegitimasi

kepentingan-kepentingan ekonomi politik kelompok elite nasionalis.

Senada dengan paparan sebelumnya perihal nasionalisme, adalah Iskandar

dan Uep Tatang Sontani yang menelaah nasionalisme dari sisi epistemologinya

dalam sebuah jurnal sejarah, kesimpulannya adalah untuk menghindari jebakan

ideologis, wacana nasionalisme harus dilepaskan dari dominasi institusi negara, baik

sipil maupun militer, dalam mendefinisikan nasionalisme. Wacana nasionalisme

harus diletakkan dalam ruang publik di mana setiap kelompok masyarakat dapat

dengan leluasa mengaji secara kritis dan memberi kontribusi kreatif terhadap

wacana nasionalisme. Dengan demikian, nasionalisme menjadi arena ekspresi

sosial dan budaya masyarakat yang demokratis.

Dalam konteks yang sama, Sutardjo Adisusilo mengangkat juga ikhwal

nasionalisme. Simpulannya adalah Pertama, nasionalisme perlu dipahami dalam

kerangka ideologi yang di dalamnya terkandung aspek: (1) cognitive; (2) goal/value

orientation; (3) strategic, (4) affective. Sebagai ideologi, nasionalisme dapat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 241

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas warga bangsa, menyatukan

mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh pengaruh warga

bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Nasionalisme merupakan

salah satu alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi negara dan

bangsa. Semua negara dan bangsa membutuhkan nasionalisme sebagai faktor

integratif.

Dalam kerangka ini pemaknaan, perwujudan dan tujuan nasionalisme selalu

relevan dan dapat disesuaikan dengan tuntutan jamannya sebagai mana dikatakan

Sartono Kartodirdjo (1999: 13) bahwa nasionalisme masih relevan jika disertai

dengan prinsip utamanya, yakni: menjamin kesatuan (unity) dan persatuan bangsa,

menjamin kebebasan (liberty) individu ataupun kelompok, menjamin adanya

kesamaan (equality) bagi setiap individu, menjamin terwujudnya kepribadian

(personality), dan prestasi (performance) atau keunggulan bagi masa depan bangsa.

Selama kelima pilar nasionalisme tersebut masih ada maka nasionalisme akan tetap

relevan dan terus dibutuhkan oleh setiap bangsa, dan nasionalisme akan terus

berkembang sesuai dengan tuntutan jaman serta kebutuhan bangsa yang

bersangkutan. Jika semua prasarat di atas terpenuhi maka nasionalisme akan

merupakan ideologi yang mengusung terwujudnya masyarakat madani (civil society)

Kedua, negara bangsa yang demokratis harus menjamin terwujudnya: (1)

pembagian kekuasaan trias politika (legislatif, eksekutif dan yudikatif); (2)

diwujudkannya negara hukum, di mana negara menjamin equality / l’egalite’: (3)

persamaan hak setiap orang di hadapan hukum; yang menjamin freedom / liberte’:

(4) dijaminnya solidarity / fraternite’ dan (5) akhirnya negara harus mewujudkan

bonum publicum: negara wajib menjamin terwujudnya welfare state. Selanjutnya

John Schwarmantel menandaskan bahwa ciri utama negara yang demokratis adalah

adanya jaminan: 1. participation: negara menjamin setiap warga negara untuk ikut

serta dalam mengelola negara; 2. equality: negara menjamin perlakuan yang sama

bagi setiap warga negara; 3. accuntability: pemerintah wajib memberi

pertanggungjawaban terhadap rakyatnya. Dalam welfare state ynag demokratis

inilah masyarakat madani atau civil society akan terwujud.

Ketiga, masyarakat madani (Civil Society) adalah masyarakat di mana setiap

warga memiliki kebebasan yang dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab, bebas

dari rasa takut, senantiasa mengembangkan kerjasama yang didasarkan atas

kepercayaan, sehingga muncul inisiatif dan partisipasi warga masyarakat dalam

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 242

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat seperti itu selain mendapat wadah

dalam negara bangsa yang demokratis, akan menjadi kenyataan jika pendidikan

berperan sebagai proses pengembangan semua modal (capital) yang ada dalam diri

setiap insan, yaitu modal intelektual (intellectual capital), modal sosial (social

capital), modal kultural (cultural capital) dan modal spiritual (spiritual capital), yang

bersama-sama akan menjadi modal mewujudkan masyarakat madani.

Relevan dengan nasionalisme acuan spiritualitas timur, ada beberapa segi

khas yang dapat ditandai dari pemikiran Soekarno. Pertama, adalah cita-citanya

tentang persatuan nasional seperti yang telah diuraikan. Ia menempatkan

kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok diantara berbagai aliran

pendirian dalam pemikiran kaum nasionalis. Kedua, desakannya untuk menjalankan

sikap nonkooperasi bukan hanya sebagai taktik, tetapi sebagai hal yang prinsip. Ia

menekankan tentang sia-sianya sikap lunak yang moderat, tentang

ketidakmungkinan suatu kompromi dengan imperialisme yang menjadi musuh itu,

dan menjelaskan tentang dua kubu yang saling berlawanan antara “sini” dan “sana”,

antara “pihak kita” dan “pihak mereka”. Ketiga adalah mengenai konsep

Marhaenismenya. Gagasan tentang “rakyat kecil”, si Marhaen mungkin tidak

merupakan suatu sumbangan besar yang khas dalam dunia pemikiran politik, tetapi

sesungguhnya konsep itu telah menampilkan suatu penilaian yang jujur tentang sifat

masyarakat Indonesia.

Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru

yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi

oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan

Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno

dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara

jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang

diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan

masyarakat Indonesia. Dalam perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi

dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan

Soekarno. Asas Mahaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan

yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong,

hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak

untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 243

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa

Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sosio-demokrasi adalah faham yang

menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap

demokrasi yang muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini.

Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat

liberalistis yang hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan

tidak berlaku di bidang ekonomi.

Oleh karena itu supaya tidak terjadi penindasan dan ada kebebasan di bidang

ekonomi maka sistem kapitalisme didalam masyarakat itu harus dihapus, karena

selama sistem itu masih ada tidak mungkin terjadi kebebasan ekonomi. Rakyat yang

mengatur negaranya, perekonomiannya dan kemajuannya supaya segala

sesuatunya bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang satu dengan

orang yang lainnya. Rakyat menginginkan berlakunya demokrasi social yaitu

terlaksananya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Ia mempunyai prinsip

utama yaitu, perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan

demokrasinyapun harus breperikemanusiaan pula seperti yang dikatakan Gandhi.

Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan

kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme seperti yang dimaksudkan dalam sosio-

nasionalisme dan sosio demokrasi tersebut, kemudian dinamakan sebagai suatu

isme atau ideologi yang menggunakan kata Marhaen sebagai simbol kekuatan

rakyat yang berjuang melawan segala sistem yang menindas dan memelaratkan

rakyat. Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen,

teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun

kekuasaan, dan teori untuk menggunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan

sistem yang menyengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme yang merupakan teori

politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya

sebagai filsafat dan dasar negara Republik Indonesia yaitu sebagai Pancasila.

Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua

pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan

perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa

kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari

akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep

dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”.

Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 244

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi juga sebagai dasar dan filsafat serta

pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila

mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan (humanisme), Kebangsaan

(persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun

masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis Indonesia.

Prinsip pertama yang menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan.

Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang

berjudul “San Min Chu I” atau “The Three People’s Prinsiples”. Kebangsaan

Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi yang

menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini

Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak

meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa

yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa

kebudayaan ataupun Agama tertentu.

Nation yang dimaksud juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu

kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le

desir d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham

persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik

salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang

kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah

tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan

Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT

mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang

menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera

sampai ke Irian. Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham

kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.

Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme.

Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak

menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan

prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno

dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun

nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk

membangun kekeluargaan bangsa-bangsa. Dalam era sekarang lebih tepat

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 245

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan

membangun perdamaian dunia.

Kemudian pada prinsip yang ketiga Soekarno menguraikan dasar Mufakat,

dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Dalam penjelasannya, Soekarno

mengatakan bahwa negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan

satu negara untuk satu golongan, melainkan negara ”satu buat semua, semua buat

satu”. Soekarno yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia

ialah permusyawaratan, perwakilan. Dengan cara mufakat, membicarakan semua

permasalahan termasuk agama didalam Badan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya Soekarno menguraikan prinsip yang keempat yaitu

Kesejahteraan. Dengan prinsip ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia

Merdeka”. Soekarno menjelaskan bahwa Badan Perwakilan belum cukup untuk

menjamin kesejahteraan rakyat, karena yang terjadi di Eropa dengan Parlementaire

democratie-nya, kaum kapitalis merajalela. Sehingga Soekarno mengusulkan politik

economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Prinsip kelima yang diuraikan Soekarno adalah ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Prinsip sila keTuhanan YME tersebut dimaksudkan oleh Soekarno supaya bukan

saja bangsa Indonesia berTuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia berTuhan

Tuhannya sendiri. Negara memberi kebebasan kepada setiap orang untuk

menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa sesuai dengan agama dan

keyakinannya. Soekarno telah berpikir kedepan bahwa negara harus memberi

kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama dan keyakinannya,

sebagaimana tuntutan hak-hak asasi manusia.

Meskipun Soekarno menawarkan lima prinsip dasar yang diberinya nama

Pancasila, tapi saat itu Soekarno juga menawarkan alternatif dari lima sila ini. Sifat

perdamaian dan kebersamaan hasil penggaliannya diungkapkan dalam kesimpulan

akhir bahwa kelima prinsip dasar Pancasila tersebut dapat diperas menjadi tiga dan

tiga ini dapat diperas menjadi satu prinsip kehidupan rakyat Indonesia, Gotong

Royong. Soekarno memeras lima sila tersebut menjadi tiga sila saja yang meliputi:

(1) Socio-Nationalisme (Kebangsaan dan Perikemanusiaan); (2) Socio-Demokrasi

(Demokrasi dan Kesejahteraan); (3) Ke-Tuhanan

Dari sini tampak jelas terlihat bahwa Soekarno menghidupkan kembali

pemikirannya pada akhir tahun 1920-an dimana rumusan pemikiran Soekarno

dipakai sebagai asas dalam partai politik yang didirikannya. Menurut Soekarno

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 246

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

sendiri, pada 1920-an perkembangan pemikirannya telah mencapai fase yang

mantap, yang tidak lagi berubah-ubah. Pada tahun itulah diletakkan dasar-dasar

pemikiran politik Soekarno secara mantap, yakni sintesa atas tiga aliran seperti yang

telah dijelaskan diatas.

Pancasila merupakan puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang

selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam

masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya dan dapat diterima

oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai

pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada Declaration of

Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of Independence

tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis

tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pancasila mengandung keduanya

sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai nilai yang lebih tinggi

dari Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis.

Pancasila Soekarno versi pra kemerdekaan tersebut berkembang

“definisinya” ketika Soekarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi

Terpimpin. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno berpidato dengan judul

“Penemuan Kembali Revolusi Kita” (The Rediscovery of Our Revolution). Isi pidato

tersebut kemudian dianggap sebagai Manifesto Politik atau dikenal sebagai Manipol

yang kemudian berkembang menjadi Manipol USDEK (Undang-undang Dasar 1945,

Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan

Kepribadian Nasional). Menurut Soekarno, Manipol USDEK ini merupakan intisari

dari Pancasila yang berisi arah dan tujuan revolusi Indonesia.

Tidak hanya itu, dalam rangka menyatukan seluruh kekuatan nasional yang

ada pada waktu itu, pada awal tahun 1960 Soekarno memperkenalkan pemikiran

baru untuk melengkapi doktrin revolusinya. Doktrin tersebut bernama NASAKOM

yang merupakan akronim dari Nasionalis, Agama, Komunis. Nasakom adalah

lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat

Indonesia yang meliputi golongan nasionalis, agama, dan komunis.

Menurut John D. Legge, sebenarnya ia menghidupkan kembali pemikirannya

pada tahun 1926 bahwa kepentingan kaum nasionalis, islam, dan marxis dapat

sama dan cocok satu sama lain. Dari sini sebenarnya dapat diketahui bahwa

Soekarno tetap konsisten akan tujuannya, yaitu persatuan nasional. Di masa

mudanya, pada tahun-tahun 1920-an sampai 1940-an cita-cita persatuan nasional

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 247

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

itu ditujukan untuk menggalang kekuatan dalam mengusir kolonialisme di Indonesia

dan di masa tuanya pada tahun 1950-an konsep persatuan dari golongan-golongan

utama di Indonesia ditujukan untuk melawan imperialisme, suatu bentuk dari

kolonialisme modern. Konsepsi-konsepsi seperti Pancasila, Nasakom, Manifesto

Politik/ USDEK, dikembangkan Soekarno untuk mendukung cita-cita persatuan

nasional yang diperjuangkannya sejak dahulu.

Bernhard Dahm, seorang penulis biografi Soekarno pun mendapat kesan

yang sama, bahwa pada pekan-pekan terakhir menjelang turunnya dari dunia politik

Indonesia, Soekarno tetap konsisten dengan apa yang diperjuangkannya pada era

1920-an. Dia tetap mengharapkan bahwa di tengah pluralitas yang ada, bangsa

Indonesia mampu membina persatuan, dan ia tetap teguh dalam perlawanannya

terhadap musuh lamanya, yakni “kolonialisme” dan “imperialisme”. Oleh karena itu

pesan pokok Soekarno tetap sama, yaitu disatu pihak melawan imperialisme sampai

keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan jalan

menyatukan berbagai ideologi yang berbeda kedalam suatu kesatuan yang

harmonis.

Menurut Soekarno, Pancasila selain menjadi Dasar Falsafah Negara juga

mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu dan sekaligus sebagai landasan

perjuangan bangsa. PKI hanya menerima Pancasila sebagai kenyataan obyektif

yang harus dipakai sebagai landasan dan alat memperkuat diri, selama PKI belum

merasa kuat untuk memaksakan ideologi dan konsepsi politiknya. Dalam

pengamalan Dasar Falsafah Negara Pancasila untuk mencapai cita-cita revolusi

Indonesia ialah masyarakat adil makmur, Soekarno menggunakan konsepsi

Nasakom secara mental ideologi yang diharapkan dapat mempersatukan rakyat

Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan paham politik termasuk PKI, tetapi

bagi PKI, konsep Nasakom diterima sebagai pengertian fisik yang akan

dimanfaatkan sebagai legalitas dalam usaha menuju tujuan revolusi menurut

konsepsinya.

Pada gilirannya dapat dikonstantir bahwa pertama, arus sentral pemikiran

Soekarno adalah persatuan atau nasionalisme. Bersumber pada pemikiran tentang

persatuan ini, Soekarno menciptakan Sintesis dari tiga aliran utama dari masyarakat

Indonesia waktu itu yakni Nasionalisme, Islam dan Marxisme. pemikiran

nasionalisme yang dikembangkan Soekarno pada waktu itu memberikan suatu arah

baru bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia karena pada saat itu konsep

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 248

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

nasionalisme yang berkembang adalah nasionalisme yang berdasarkan kedaerahan

atau kesukuan.

Kedua, pemikiran ini mulai terlihat dalam tulisan pertamanya “Nasionalisme,

Islam dan Marxisme. Kemudian berkembang menjadi sebuah paham Marhaenisme

yang tiada lain adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Puncak dari

pemikiran yang berkembang sejak tahun 1920-an mencapai bentuknya yang final

pada tanggal 1 Juni 1945 yaitu dalam bentuk rumusan Pancasila. Dalam

perkembangannya, Pancasila diterjemahkan kedalam Manipol-USDEK yang berisi

pokok-pokok dan tujuan Revolusi Indonesia. Dari sini mulai terjadi penyimpangan

terhadap Pancasila, Soekarno mulai menggunakan Pancasila untuk tujuan-tujuan

politiknya begitu juga masa pemerintahan Soeharto.

Ketiga, lima prinsip dasar Pancasila yang dirumuskan Soekarno merupakan

pondasi yang kokoh yang tercipta berdasarkan keadaan social masyarakat

Indonesia dan juga hasil dari pemikiran yang luar biasa dari seorang Soekarno yang

kaya akan pengetahuan.Dari banyak pemikiran Soekarno tersebut, John D. Legge

mencoba merangkum beberapa segi khas dari pemikiran Soekarno.

Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional. Soekarno sangat

menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok.

Ketika Soekarno untuk pertama kali merumuskan pikiran melalui tulisannya

“Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926, Soekarno telah melihat

keadaan yang memungkinkan lahirnya perpecahan di antara kekuatan-kekuatan

pergerakan pada waktu itu. Soekarno menganalisis kekuatan-kekuatan yang ada

pada waktu itu, yaitu kekuatan nasionalis, Islam, dan Marxis. Maka Soekarno

sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiga kekuatan yang ada itu haruslah

bersatu.

Soekarno

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 249

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Pada masa berikutnya, setelah memperoleh kesempatan dengan

penampilannya sebagai pembentuk dan pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia)

sejak tahun 1927, Soekarno berusaha merealisasikan ide tersebut dengan berbagai

langkah yang diambilnya. Sebagai langkah awal, maka dimulainya dengan

menempatkan PNI sebagai suatu partai yang dapat menerima semua aliran di dalam

tubuhnya; semua orang dari aliran manapun dan agama apa pun dapat menjadi

anggota. PNI berasaskan nasionalisme Indonesia .

Setelah membentuk partai berasaskan nasionalisme, Soekarno melangkah

untuk menata kehidupan organisasi politik pergerakan pada waktu itu, karena usaha

tersebut merupakan bagian penting dari cita-citanya. Ketika usahanya berhasil

membentuk Permufakatan Perhimpunan Politik kebangsaan Indonesia (PPPKI),

nampaknya Soekarno mengandalkan organisasi tersebut sebagai suatu alat

perjuangan yang efektif untuk mempersatukan semua kekuatan baik yang non

koooperatif maupun yang kooperatif.

Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap non kooperatif bukan hanya

sebagai taktik, tetapi merupakan hal yang prinsipil. Soekarno menegaskan betapa

sia-sianya sikap lunak yang moderat, sebab tidak mungkin ditempuh dengan

imperialisme. Akibat wajar dari sikap tersebut adalah suatu rencana untuk

memobilisasi rakyat guna melaksanakan perjuangan tersebut. Pendirian PNI dan

sepak terjangnya setelah berdirinya partai tersebut merupakan realisasi dari rencana

Soekarno .

Ketiga, konsep mengenai Marhaenisme. Soekarno menegaskan bahwa

Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan sangatlah relevan

digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun dalam berbagai wujud masih bercokol di

bumi. Dalam konteks ini, Marxisme telah memberikan kepada Soekarno alat yang

paling sistematis dalam analisis sosial dalam dalam pengkajiannya tentang sifat

kekuasaan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.

Keempat, pengungkapan pidato dan tulisan Soekarno sangat menarik bagi

para pendengar dan pembaca dari kalangan Jawa. Salah satu wujudnya yang khas

seperti pada tahun 1928 dan 1929 adalah ramalan Soekarno mengenai kebangkitan

Jepang dan pecahnya perang Pasifik, sehingga memungkinkan Indonesia

mendapatkan kemerdekaannya di kemudian hari. Ini merupakan ramalan yang

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 250

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

cerdik dengan daya tarik khusus karena langsung dikaitkan dengan harapan

tradisional yang diramalkan jayabaya .

Dalam konteks parpol, ajaran Soekarno diinternalisasi oleh partai politik

PDIP. Partai PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah

partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa

orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia

yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari

hasil fusi 5 (lima) partai politik. Lima partai tersebut adalah: (1) Partai Nasional

Indonesia (PNI), yang didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan

mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat

dalam waktu singkat. (2) Partai Kristen Indonesia (Parkindo), yang didirikan karena

ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18

November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan

dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut,

PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di

Pematang Siantar. (3) Partai Katolik, yang lahir kembali pada tanggal 12 Desember

1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan

dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik.

(4) IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, yang didirikan terutama

oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi

dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution,

Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun

1953 tentang Pemilu 1955. (5) Murba, yang didirikan pada tanggal 7 November 1948

setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat,

Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.Menurut data Kementrian

Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981,

istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak

mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri".

Selanjutnya, sosok idiosinkratik Megawati Soekarno Putri, secara role dan

habitus, merupakan pewaris nilai-nilai ajaran Soekarno. Megawati adalah anak

kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia

pada 17 Agustus 1945 .

Dari semua hasil penelitian dan textbook di atas, belumlah menyentuh

secara spesifik ke arah studi warisan pemikiran politik soekarno, khususnya warisan

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 251

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

pemikiran politik Soekarno tentang nasionalisme dan ideologi parpol (PDIP). Tapi

semua hasil penelitian di atas, sangatlah relevan untuk dijadikan rujukan atau

sumber referensi pada rencana penelitian disertasi ini.

Atas dasar itulah, untuk mendapatkan penjelasan yang komprehensif, penulis

tertarik mengkaji fenomena warisan pemikiran politik (political heritage) Soekarno

tentang nasionalisme dan ideologi parpol, dan peran Megawati Soekarno Putri

ditinjau dari perspektif habitus-nya Bourdieu, yakni “It refers to something historical,

linked to the individual history, and that it belongs to a genetic mode of thought, as

opposed to an essentialist mode of thought”, dengan memusatkan perhatian pada

variabel-variabel dan dimensi- dimensi idiosinkratik elit parpol, parpol dan konstituen

parpol yang belum banyak dibahas penelitian sebelumnya, seperti dilansir oleh

Mainwaring dan Scully (1995) dalam “sistem kepartaian demokratik” melalui variabel

role dan nature berikut dimensinya yaitu; systemness, value infusion, decisional

autonomy, dan reification. Atau dimensi-dimensi institusionalisasi dan ideologi parpol

yang Huntington (1968), yaitu adaptability, complexicity, autonomy, dan coherence.

Bisa juga, nasionalisme Soekarno sebagai warisan pemikiran politik (political

heritage) ditelisik melalui dimensi-dimensi: nationality, religion, ethnicity, class,

wealth, gender, personal history, dan “insideness” (aneka dalam diri) (Brian Graham

dan Peter Howard, 2005).

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 252

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

Penutup

Dengan demikian warisan politik memberikan kontribusi untuk memperkaya

khasanah pengetahuan dalam ilmu politik, khususnya dalam memahami fenomena

pewarisan pemikiran politik (political herigate), politik dinasti (kinship politics),

idiosinratik elit, yang dalam kurun waktu akhir-akhir ini menjadi isu besar (the great

issues), dan menjadi sorotan yang tajam karena isu ini melawan arus yang gencar

sedang digulirkan yakni demokratisasi.

Selain untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang ilmu politik,

bahasan ini sekaligus dapat digunakan untuk mengevaluasi sejauhmana efektivitas

teori pembangunan politik untuk menganalisis peristiwa-peristiwa politik indonesia

kontemporer. Seperti diketahui, bahwa teori-teori pembangunan politik relatif baru

dan masih diperdebatkan dalam paradigma studi ilmu politik yang validitasnya

masih perlu diuji terutam dalam realitas politik di Indonesia.

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP-UNPAS Page 253

JURNAL ONLINE WESTPHALIA, VOL.12,NO.1 (JANUARI-JUNI 2013) ISSN 0853-

2265

DAFTAR PUSTAKA

1. Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992.

2. Bernhard Dahm, Soekarno and the Struggle for Indonesia Independence,

Ithaca and London: Cornell University Press, 1969.

3. Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta:

Gunung Agung, 1984.

4. H. Ernste, Pierre Bourdieu on Structure Agency Structuralism, Radboud

University of Nijmegen, 2006.

5. Herberth Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,

Jakarta: LP3ES,1995.

6. http.www.repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 27 Maret 2012.

7. http.www.setneg.go.id/index. Diakses tanggal 25 Maret 2012.

8. Ign Gatut Saksono, Marhaenisme Bung karno: Marxisme Ala Indonesia,

Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2007.

9. John D. Legge, Soekarno: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1996.

10. Syamsuhadi Bambang Rahardjo, Garuda Emas Pancasila Sakti, Jakarta:

Yapeta Pusat, 1995.

11. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta:Panitya Penerbit Di Bawah

Bendera Revolusi, 1964.