islamic social reporting
DESCRIPTION
ISRTRANSCRIPT
ISLAMIC SOCIAL REPORTING (ISR) Oleh Usmar, Dani.
Social reporting adalah perluasan dari sistem pelaporan keuangan yang merefleksikan perkiraan
yang baru dan yang lebih luas dari masyarakat sehubungan dengan peran komunitas bisnis dalam
perekonomian (Hannifa, 2002). Sedangkan menurut Gray et al (1987) Social reporting adalah
suatu proses untuk mengkomunikasikan efek sosial dan lingkungan akibat dari tindakan ekonomi
yang dilakukan oleh suatu perusahaan kepada masyarakat.
Banyak pendapat yang menjelaskan mengenai pengungkapan Social reporting. Lewis dan
Unerman (1999) menyatakan bahwa kode etik dalam social reporting dapat diterima oleh beberapa
kelompok namun tidak dapat diterima oleh kelompok yang lainnya. Tidak ada cara yang paling
tepat untuk menentukan yang mana kode etik yang paling tepat. Selain itu Gray, at al (dalam Mali,
2006) mengatakan bahwa mengidentifikasi tanggung jawab sebuah organisasi merupakan suatu
masalah karena tanggung jawab terus berubah-ubah setiap waktu.
Islam telah menjelaskan dengan cukup jelas mengenai hak dan kewajiban baik itu bagi individu
maupun bagi organisasi berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu masalah mengenai
perbedaan tanggung jawab akibat berbeda tempat atau pun waktu menjadi tidak relevan dalam
Islam (Maali, 2006). Syariah Islam telah menjelaskan norma hubungan antara manusia dan juga
bagaimana suatu bisnis itu dijalankan (muamalah). Oleh sebab itu suatu bisnis yang berdasarkan
syariah seharusnya memiliki peran yang lebih jelas di dalam masyarakat.
Islam adalah agama yang secara lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia di muka
bumi. Siwar dan Hossain (2009) menyatakan bahwa landasan dasar dari agama Islam adalah
aqidah (belief and faith), ibadah (worship), dan akhlaq (morality and ethics). Selain itu, ada
prinsip lain yang sangat mendasar bagi setiap Muslim yakni tauhid (mengesakan Allah
Subhanallahu wa Ta‟ala) dalam beribadah dan tidak menyekutukannya yang sesuai dengan firman
Allah Subhanaahu wa Ta‟ala dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 64 mengenai orang yang
berhak menyandang gelar seorang Muslim:
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat
(pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada
Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak
menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka
katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa kami adalah orang Muslim.
Allah Subhanaahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia sebagai sebaik-baiknya makhluk di muka
bumi. Sebagai makhluk yang paling sempurna yang Allah Subhanaahu wa Ta’ala ciptakan sudah
sepatutnya manusia selalu menjalani segala perintah dan menjauhi larangan-Nya dimana yang
berhubungan dengan hal ini adalah merusak lingkungan.
Menurut konsep etika dalam Islam tersebut terbentuk akuntabilitas dalam perspektif ekonomi
Islam yaitu pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan prinsip syariah. Dalam
ekonomi konvensional, pelaporan tanggung jawab sosial dikenal sebagai perpanjangan dari sistem
pelaporan keuangan yang merefleksikan ekspektasi sosial yang lebih luas sehubungan dengan
peran masyarakat dalam ekonomi atau kegiatan bisnis perusahaan. Terkait dengan hal tersebut,
Haniffa (2002) berpendapat bahwa pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan pada sistem
konvensional hanya berfokus pada aspek material dan moral. Ia menambahkan bahwa seharusnya
aspek spiritual juga dijadikan sebagai fokus utama dalam pelaporan tanggung jawab sosial
perusahaan karena para pembuat keputusan Muslim memiliki ekspektasi agar perusahaan
mengungkapkan informasi-informasi terbaru secara sukarela guna membantu dalam pemenuhan
kebutuhan spiritual mereka. Oleh karena itu, ia memandang bahwa perlu adanya kerangka khusus
untuk pelaporan pertanggungjawaban sosial yang sesuai dengan prinsip Islam.
Kerangka tersebut tidak hanya berguna bagi para pembuat keputusan Muslim, tetapi juga berguna
bagi perusahaan Islam dalam memenuhi pertanggungjawabannya terhadap Allah Subhanaahu Wa
Ta’Ala dan masyarakat. Kerangka ini dikenal dengan sebutan Islamic Social Reporting (ISR).
Islamic Social Reporting (ISR) menggunakan prinsip syariah sebagai landasan dasarnya. Prinsip
syariah dalam ISR menghasilkan aspek-aspek material, moral, dan spiritual yang menjadi fokus
utama dari pelaporan sosial perusahaan. Islamic Social Reporting (ISR) merupakan perluasan dari
pelaporan sosial yang tidak hanya berupa keinginan besar dari seluruh masyarakat terhadap
peranan perusahaan dalam ekonomi melainkan berkaitan dengan perspektif spiritual
(Haniffa,2002). Indeks ISR diyakini dapat menjadi pijakan awal dalam hal standar pengungkapan
CSR yang sesuai dengan perspektif Islam. Penerapan ISR pada perbankan syariah telah dilakukan
oleh penelitian sebelumnya. Gray, Owen dan Adams (1996)
ISR lebih menekanan terhadap keadilan sosial dalam pelaporannya selain pelaporan terhadap
lingkungan, kepentingan minoritas dan karyawan. Hal ini menyangkut masalah yang berkaitan
dengan kesejahteraan masyarakat dalam praktik perdagangan yang tidak merata (Sulaiman, 2005)
seperti pendistribusian pendapatan (dikenal sebagai zakat). Faktor penting yang menjadi dasar
syariah dalam pembentukan Islamic Social Reporting (ISR) adalah Tauhid (Tuhan Yang Esa) dan
tidak menyekutukan-Nya, menyerahkan segala urusan kepada Allah dan tunduk terhadap segala
perintah-Nya, meyakini bahwa kepunyaan Allah-lah Kerajaan langit dan bumi (Qur’an 57:5), dan
kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan (Qur’an 2:28). Hal tersebut mengarahkan
pandangan seorang Muslim untuk mau menerima segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Syariat Islam berdasarkan dua sumber utama yaitu Qur’an dan Hadist. Syariah menjadi dasar
dalam setiap aspek kehidupan seorang muslim dan sangat berpengaruh dalam kemakmuran seluruh
umat (masyarakat).
Beberapa hasil penelitian mengenai Islamic Social Reporting selalu dihubungkan dengan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Othman et al. (2009) menemukan bahwa ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan komposisi komisaris. Penelitian terdahulu lainnya pernah dilakukan oleh Rifki
(2013) dan Widiawati (2012), penelitian Rifki (2013) merupakan pengembangan dari penelitian
Othman et al. Sementara Widiawati (2012) dalam penelitiannya menggunakan ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Tipe Industri, Jenis Bank. Penelitian lain tentang faktor-faktor Islamic Social
Reporting Indeks diantaranya Amalia Nurul Raditya (2012) menggunakan faktor Penerbitan
Sukuk, Ukuran perusahaan, Propitabilitas, Jenis Industri, dan umur perusahaan sebagai faktor-
faktor yang memengaruhi ISR. Arum Siti Demayanti Putranto (2013) menggunakan faktor sharia
board report, perusahaan yang memiliki keanggotaan di AAOIFI, sharia governance sharia board,
tekanan sosial dan politik, rasio penduduk Muslim, variabel kontrol ukuran perusahaan. Rifki
Nurman (2013) menggunakan faktor Porsi Kepemilikan, Ukuran Dewan Komisaris, Status
Perusahaan, Tipe Perusahaan, Ukuran Perusahaan , Tingkat laba, sebagai faktor-faktor yang
memengaruhi ISR.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ISR merupakan indek pertangungjawaban
sosial berbasis syariah dari entitas perusahaan dengan penekanan pada pendistribusian keadilan
sosial dan kemakmuran kepada seluruh komponen stakeholder dalam pengungkapannya
menyangkut aspek-aspek material, moral dan spiritual. Adapun faktor-faktor Islamic Social
Reporting yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya perusahaaan
menurut berbagai cara antara lain dengan ukuran pendapatan, total aset, dan total modal (Brigham
dan Houston, 2001). Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu
perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size) dan perusahaan kecil (small
firm). Penentuan ukuran perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan (Machfoedz,
1994).
Ukuran perusahaan bisa diukur dengan menggunakan total aktiva, penjualan, atau modal dari
perusahaan tersebut. Salah satu tolok ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah
ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan
bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas
perusahaan positif dan dianggap memilki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama,
selain itu juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan
laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil (Daniati dan Suhairi, 2003).
Aktiva merupakan tolok ukur besaran atau skala suatu perusahaan. Biasanya perusahaan besar
mempunyai aktiva yang besar pula nilainya. Secara teoritis perusahaan yang lebih besar
mempunyai kepastian (certainty) yang lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan
mengurangi tingkat ketidakpastian mengenai prospek perusahaan ke depan, hal tersebut membantu
investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika berinvestasi pada perusahaan tersebut
(Yolana dan Martini, 2005).
Suatu perusahaan yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah menuju pasar modal,
sementara perusahaan baru dan masih kecil akan mengalami banyak kesulitan untuk melakukan
akses ke pasar modal. Selain itu, ukuran perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan
investor, semakin besar perusahaan semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah
untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan (Hartono, 2003).
Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam
pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam perusahaan tersebut semakin banyak
(Siregar dan Utama, 2005). Pengungkapan sosial yang lebih besar merupakan pengurangan biaya
politis bagi perusahaan (Hasibuan, 2001). Dengan mengungkapkan kepedulian pada lingkungan
melalui pelaporan keuangan, maka perusahaan dalam jangka waktu panjang bisa terhindar dari
biaya yang sangat besar akibat dari tuntutan masyarakat. Selain itu, perusahaan yang berukuran
lebih besar cenderung memiliki public demand terhadap informasi yang lebih tinggi dibanding
perusahaan yang berukuran lebih kecil. Banyaknya pemegang saham menandakan jika perusahaan
tersebut memerlukan lebih banyak pengungkapan yang dikarenakan adanya tuntutan dari para
pemegang saham dan para analisis pasar modal (Gunawan, 2001). Cowen et al (1987) dalam
Sembiring (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang lebih besar mungkin akan memiliki
pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan dalam laporan
tahunan, yang merupakan media untuk menyebarkan informasi tentang tanggung jawab sosial
keuangan perusahaan. Ayu (2010) menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak hanya memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengungkapan sukarela, melainkan juga terhadap
tingkat pengungkapan wajib.
Adanya dugaan bahwa perusahaan yang kecil akan mengungkapkan lebih rendah kualitasnya
dibandingkan dengan perusahaan besar, menurut Buzby (dalam Hasibuan, 2001). Hal ini karena
perusahaan ketiadaan sumber daya dan dana yang cukup besar dalam laporan tahunan. Seorang
menajeman khawatir apabila dengan adanya pengungkapan yang lebih banyak akan
membahayakan posisi perusahaan terhadap kompetitor lain. Ketersediaan sumber daya dan dana
membuat perusahaan merasa perlu membiayai penyediaan informasi untuk pertanggungjawaban
sosialnya.
Ukuran perusahaan adalah rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai
beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar daripada biaya variabel dan biaya tetap, maka
akan diperoleh jumlah pendapatan sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil daripada
biaya variabel dan biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston
2001).
Selanjutnya definisi lain terkait perusahaan ukuran perusahaan adalah proksi volatilitas
operasional dan inventory cotrolability yang seharusnya dalam skala ekonomis besarnya
perusahaan menunjukkan pencapaian operasi lancar dan pengendalian persediaan (Mukhlasin,
2002). Selain itu terdapat juga definisi tentang ukuran perusahaan yang dinyatakan sebagai
karakteristik suatu perusahaan dalam hubungannya dengan stuktur perusahaan (Lang dan
Lundholm, 1996).
Sedangkan menurut Ferry dan Jones (dalam Sujianto, 2001), ukuran perusahaan menggambarkan
besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah penjualan, rata–rata
total penjualan dan rata–rata total aktiva. Jadi, ukuran perusahaan merupakan ukuran atau besarnya
asset yang dimiliki oleh perusahaan.
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya (ukuran) perusahaan
akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin
besar suatu perusahaan mempunyai tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga
perusahaan tersebut akan lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk
menggunakan jumlah pinjaman juga semakin besar pula
Tingkat Laba
Pengungkapan mengenai pertanggungjawaban sosial perusahaan mencerminkan suatu pendekatan
perusahaan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan yang dinamis dan bersifat multidimensi.
Hubungan antara pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan profitabilitas perusahaan
telah diyakini mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial yang
dilakukan oleh pihak manajemen untuk membuat suatu perusahaan memperoleh keuntungan
(Bowman dan Haire, 1976 dalam Sembiring, 2003).
Tingkat laba (rate of profit) dikenal juga sebagai ROI. ROI adalah hasil di suatu investasi saat ini
atau masa lampau, atau hasil yang diperkirakan di suatu investasi masa depan. ROI pada umumnya
dinyatakan sebagai persentase dibanding/bukannya nilai sistim desimal.
ROI tidak mengindikasikan berapa lama suatu investasi dikelola. Bagaimanapun, ROI paling
sering dinyatakan sebagai suatu tingkat pengembalian tahunan, dan paling sering dinyatakan untuk
suatu tahun fiskal atau penanggalan.
Menurut Munawir (1195:89) ROI (Return On Investment) adalah salah satu bentuk dari rasio
profitabilitas yang dimaksudkan dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan
dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasinya perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan.
Sedangkan menurut Abdullah Faisal (2002:49) ROI ini sering disebut Return On Total Assets
dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan
menggunakan keseluruhan aktiva yang dimilikinya.
Terkait pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan bahwa profitabilitas merupakan faktor
yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk mengungkapkan
pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Hal ini merupakan cerminan dari pendekatan
manajerial dalam mengahadapi lingkungan yang dinamis dan multidimensional serta kemampuan
untuk mempertemukan tekanan sosial dengan reaksi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian,
ketrampilan manajemen perlu dipertimbangkan untuk survive dalam lingkungan perusahaan masa
kini (Cowen et al. 1987 dalam Hasibuan, 2001). Heinze (1976) dalam Gray et al. (1995). Hal ini
berarti semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan
informasi sosial.
Dari berbagai pendapat di atas tingkat laba merupakan pengembalian keuntungan atas investasi.
Pencapaian tingkat laba (rate of profit) yang tinggi adalah tujuan dari suatu perusahaan untuk
kelangsungan kegiatan usahanya, laba yang diperoleh merupakan selisih dari pendapatan dengan
semua biaya. Tingkat laba biasa orang mengatakan dengan istilah ROI yang dinyatakan dalam
bentuk persentase dan bukan dalam nilai decimal serta tidak memberikan indikasi berapa lamanya
suatu investasi. Kaitan dengan pengungkapan informasi sosial semakin tinggi rate of profit maka
semakin tinggi pengungkapan informasi sosialnya.
Tipe Perusahaan
Profil perusahaan telah diidentifikasi sebagai faktor potensial yang mempengaruhi praktek
pengungkapan sosial perusahaan. Berikut beberapa penelitian yang telah membuktikan secara
empiris bahwa tipe industri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pengungkapan perusahaan kepada masyarakat. Cooke (dalam Gunawan, 2002) menyatakan bahwa
luas pengungkapan dalam laporan tahunan mungkin tidak sama untuk semua sektor ekonomi.
Menurut Verreccia (dalam Suripto, 2000) biaya proprietary (politik dan competitive disadvantage)
berbeda antar industri. Disamping itu, menurut Meek, Robert dan Gray (dalam Suripto, 2000)
relevansi item pengungkapan tertentu berbeda-beda antar industri. Dalam penelitian Suripto
(2000) menggunakan variabel industri yang dikelompokkan ke dalam perusahaan bank dan non
bank, tetapi hasilnya tidak signifikan.
Gunawan (2002) mengatakan bahwa perusahaan jasa mempunyai kualitas pengungkapan sukarela
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan non jasa. Dalam penelitian lainnya, para
peneliti mengelompokkan perusahaan-perusahaan ke dalam jenis industri tertentu.
Pengelompokkam jenis industri dilakukan sesuai dengan tujuan masing-masing penelitian. Ho dan
Wong (2001) mengelompokkan menjadi industri konglomerasi, perbankan dan keuangan,
manufaktur, dan lain-lain, Akhtaruddin (2005) memgelompokkan menjadi perusahaan tradisional
dan modern, Haniffa dan Cooke (2005) mengelompokkan menjadi sektor perbankan, asuransi
industrial, dan jasa.
Penulis dalam pelitian ini mengelompokkan tipe industri menjadi perusahaan yang masuk ke
dalam industri manufaktur dan non-manufaktur yang serupa dengan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Cook (1989), Cooke (1992), Hossain et al. (2006), dan Omar dan Simon (2011)
yang membuktikan bahwa perusahaan pada industri manufaktur melakukan pengungkapan yang
lebih luas dibandingkan dengan perusahaan pada industri non manufaktur.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa profil perusahaan merupakan
karakteristik suatu perusahaan yang dapat mengakibatkan perbedaan luas dan kualitas
pengungkapan informasi yang disajikan oleh perusahaan termasuk yang berkaitan dengan
pengungkapan sosial perusahaan.
Jenis Bank Mitra Perusahaan
Dilarangnya praktik riba dalam bank syariah diharapkan dapat meningkatkan tata kelola
perusahaan yang meliputi pertanggungjawaban sosial perusahaan, sebagai pembanding antar
lembaga keuangan lainnya hal ini akan tercermin pada pengungkapan risiko yang diterima,
instrumen keuangan yang bebas bunga dan kontrak pembagian hasil akan diperlakukan sama besar
oleh setiap nasabah maupun bank itu sendiri.
Bank syariah bersifat akuntabilitas terhadap beberapa stakeholders yaitu investor, kreditur,
pemilik dan pemegang saham, manajemen, panitia amil zakat, pemerintah, masyarakat, karyawan,
konsumen dan para pembayar zakat. Adanya pengaturan yang kuat dan pengungkapan yang
meningkat di dalam bank syariah dapat mempertinggi kepercayaan stakeholder.
Salah satu perbedaan yang signifikan antara struktur tata kelola lembaga keuangan konvensional
dengan lembaga keuangan syariah adalah adanya Dewan Pengawas Syariah dan Unit Peninjau
Syariah (Grais dan Pellegrini, 2006) yang memiliki tugas utama untuk meningkatkan tata kelola
perusahaan pada bank syariah agar senantiasa syar’i.
Meningkatkan kesejahteraan sosial dan akuntabilitas merupakan tujuan dari lembaga keuangan
syariah yang berdasarkan prinsip Islam (Farook dan Lanis, 2005). Menurut konsep Islam, sasaran
terhadap moral masyarakat harus diintegrasikan ke dalam strategi dan tujuan bisnis lembaga
keuangan syariah. Oleh karena itu, bagi lembaga keuangan syariah, pengungkapan
pertanggungjawaban sosial adalah tujuan utama mereka dibandingkan dengan aktifitas bisnisnya
(Hassan dan Abdul Latif, 2009) dalam Widiawati (2012).
Berkembangnya lembaga keuangan syariah di Indonesia menjadikan beberapa perusahaan
maupun tiap individu mempercayakan dana keuangannya untuk disimpan dan dikelola dalam
lembaga keuangan syariah yang telah dipilihnya. Berbagai syarat dan tujuan yang dimiliki oleh
bank syariah yang sesuai dengan prinsip Islam menjadikan faktor yang selalu diperhitungkan bagi
perusahaan maupun individu yang akan menggunakan pelayanan lembaga keuangan syariah. Bank
syariah dirasa memiliki tujuan yang lebih besar terhadap masyarakat dibandingkan dengan bank
konvesional yang dirasa hanya manguntungkan dari segi finansialnya saja kepada para
nasabahnya.
Dari perspektif Islam, perusahaan harus bersedia untuk memberikan pengungkapan penuh tanpa
melihat apakah perusahaan memberikan keuntungan atau tidak (Haniffa, 2002). Namun, Janggu
(2004) berpendapat bahwa perusahaan dengan profiatabilitas yang lebih tinggi kemungkinan akan
mengungkapkan informasi yang lebih dibandingkan perusahaan dengan profitabilitas yang kurang.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mitra perusahaan dalam bidang keuangan
dapat berupa lembaga keuangan bank dan non bank berpola konvensional maupun syariah.
Keputusan pemilihan bank mitra perusahaan akan berimbas kepada luas pengungkapan informasi
dan instrumen laporan keuangan termasuk juga pada pengakuan dan perlakuan resiko dan imbal
balik dari hubungan kemitraan tersebut.
Kepemilikan Saham Publik Perusahaan
Kepemilikan saham oleh publik maksudnya adalah jumlah saham yang dimiliki oleh publik.
Pengertian publik disini adalah pihak individu di luar manajemen dan tidak memiliki hubungan
istimewa dengan perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan saham publik, semakin banyak
pihak yang membutuhkan informasi tentang perusahaan, sehingga banyak pula butir-butir
informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan. Semakin besar saham yang dimiliki oleh
publik, akan semakin banyak informasi yang diiungkapkan dalam laporan tahunan, investor ingin
memperoleh informasi seluas-luasnya tentang tempat berinvestasi serta dapat mengawasi kegiatan
manajemen, sehingga kepentingan dalam perusahaan terpenuhi (A’inun Na’im dan Fuad Rakhman
2000).
Kepemilikan saham oleh publik umumnya dapat bertindak sebagai pihak yang memonitor
perusahaan. Perusahaan dengan kepemilikan publik yang besar mengindikasikan kemampuannya
untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan publik maka semakin efisien
pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap
pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faizal, 2004 dalam Arif, 2006).
Perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh publik akan melakukan pengungkapan tanggung jawab
sosial yang lebih besar daripada perusahaan yang sahamnya tidak dikuasai oleh publik. Perusahaan
yang sudah lama berdiri akan memiliki tanggung jawab sosial yang semakin besar, karena semakin
tingginya kepercayaan investor dan masyarakat luas. Akibatnya, perusahaan harus memberikan
informasi yang seluas-luasnya kepada investor dan masyarakat luas, tidak hanya berupa laporan
keuangan tetapi juga berupa pengungkapan tanggung jawab sosial.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kepemilikan saham publik
merupakan jumlah saham beredar dan dimiliki masyarakat yang jumlah besarannya dapat
berimbas pada jenis informasi, luas dan kualitas pengungkapan informasi yang harus disediakan
oleh perusahaan.
Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan
terhadap aktivitas pengawasan. Vafeas (2000) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial,
peranan dewan komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi tingkat
manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Fungsi monitoring yang
dilakukan oleh dewan komisaris dipengaruhi oleh jumlah atau ukuran dewan komisaris.
Chtourou et al (2001) menginvestigasi apakah praktek tata kelola perusahaan (corporate governance)
memiliki pengaruh kepada kualitas informasi keuangan yang dipublikasikan. Mereka menemukan
bahwa earnings management secara signifikan berhubungan dengan beberapa praktik governance oleh
dewan komisaris dan komite audit. Untuk komite audit, income increasing earning management secara
negatif berasosiasi dengan proporsi anggota (member) yang besar dari luar yang bukan merupakan
manejer pada perusahaan lain. Untuk dewan komisaris, income increasing earning management yang
rendah pada perusahaan yang memiliki outside board members yang berpengalaman sebagai board
members pada perusahaan dan pada perusahaan yang lain.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor ukuran dewan komisaris
merupakan tata kelola perusahaan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba melalui
pembatasan manajemen laba sehingga akhirnya dapat berdampak juga pada luas dan kualitas
pengungkapan informasi yang harus disediakan perusahaan.
Status Perusahaan
Afiliasi dapat diartikan sebagai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai
derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; hubungan antara dua perusahaan dimana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama hubungan; hubungan
antara dua perusahaan yang dikendalikan, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh pihak
yang sama; atau hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama.
Menurut De George secara khusus membedakan dua macam mengenai status perusahaan yaitu
merupakan Legal-creator, yaitu sepenuhnya perusahaan sebagai ciptaan hukum, dan karena itu
hanya berdasarkan hukum. Menurut pandangan ini, perusahaan diciptakan oleh negara dan tidak
mungkin ada tanpa negara. Selanjutnya pandangan Legal-recognition, yaitu perusahaan sebagai
suatu usaha bebas dan produktif tidak dibentuk oleh negara. Menurut pandangan ini, perusahaan
terbentuk oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu dengan cara
tertentu secara bebas demi kepentingan orang atau orang-orang tadi.
Menurut Susanto (1992) dalam Fitriani (2001), Afiliasi perusahaan dengan perusahaan asing
(multinasional) mungkin akan melakukan pengungkapan yang lebih luas. Terdapat beberapa
alasan mengenai dugaan ini. Pertama, perusahaan berbasis asing mendapatkan pelatihan yang lebih
baik, misalnya dalam bidang akuntansi, dari perusahaan induknya diluar negeri. Kedua,
perusahaan berbasis asing mungkin mempunyai sistem informasi manajemen yang lebih efisien
untuk memenuhi kebutuhan pengendalian internal dan kebutuhan informasi perusahaan induknya.
Ketiga, kemungkinan juga terdapat permintaan informasi yang lebih besar kepada perusahaan
berbasis asing dari pelanggan, pemasok, analisis dan masyarakat pada umumnya. Perusahaan
dengan status yang berbeda akan memiliki stakeholders yang berbeda, sehingga tingkat
kelengkapan pengungkapan yang harus dilakukan pun berbeda.
Perusahaan dengan status PMA akan memberikan pengungkapan yang lebih luas dibanding
perusahaan domestik. Perusahaan besar dianggap mempunyai informasi yang lebih banyak
dibandingkan perusahaan kecil
Dapat disimpulkan bahwa status perusahaan merupakan identitas dari perusahaan yang dapat
dilihat dari proses pembentukannya secara yuridis dan hubungan parentalnya dengan mayoritas
para pemilik modal, yang akan berimbas kepada luas dan kualitas pengungkapan informasi.
Pustaka
Abdulhamid, M. 2005. Islamic Banking. Departement of Economics Carleton University
Ottawa, Ontario
Abdullah V, Daud & Keon Chee (20120. Buku Pintar Keuangan Syariah; Cara mudah
Memahami Prinsip, Praktik, Prospek dan Keunggulan Keuangan Islam di Zaman
Kita. Zaman.
Abdurrachman, Yusuf dan Unti Ludigdo. 2004. Dekonstruksi Nilai-nilai Agency Theory
dengan Nilai-nilai Syariah: Suatu Upaya Membangun Prinsip-Prinsip Akuntansi
Bernafaskan Islam. Prosiding Simposium Nasional Ekonomi Islami II, PPBEI
FE Universitas Brawijaya, Malang
Abu-Tapanjeh, A. M. (2009). Corporate Governance from the Islamic Perspective: A
Comparative Analysis With OECD Principles. Critical Perspective on
Accounting, 20. 556-567.
Achmad. (2011). Faktor-Faktor Fundamental, Mekanisme Corporate Governance,
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Manufaktur
Dan Sumber Daya Alam Di Indonesia. Dinamika Keuangan dan Perbankan. pg.
38-54.
Adams, Carol., Hill W and Clare B. Roberts. 1998. Corporate Social Reporting Practices in
Western Europe: Legitimating Corporate Behavior?, The Accounting Review, 30:
121.
Baydoun, Nabil and Roger Willett. 2000. Islamic Corporate Report. Abacus. 36 (1):71-90
Beekun, Rafik Issa. 1996. Islamic Business Ethics. Herndon. USA. The International Institute
of Islamic Thought
Chapra. Muhammad Umer. 2008.The Islamic Vision of Development in the Light of the
Maqāsid AlSharī‘ah. The Islamic Foundation. Leicester, UK
Cheng, Megawati dan Yulius Jogi Christiawan. 2010. Pengaruh Pengungkapan Corporate
Social Responsibility Terhadap Abnormal Return. Jurnal Akuntansi dan
Keuangan, Vol. 13, No. 1, Mei 2011: 24-36
Othman et al. (2009). Determinants of Islamic Social Reporting Among Top Sharia-
Approved Companies in Bursa Malaysia. Research Journal of International
Studies.
Othman, R., & Thani, A. M. (2010). Islamic Social Reporting of Listed Companies in
Malaysia. The International Business & Economics Research Journal. 9, 4. Pg.
135.
Peraturan BAPEPAM-LK Nomor II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek
Syariah.
Peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah. Peraturan
BAPEPAM-LK Nomor X.K.6 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan
Tahunan Bagi Emiten atau Perusahaan Publik.
Rahayu, Sovi Ismawati. 2007. Pengaruh Tingkat Pengungkapan Wajib dan Luas
Pengungkapan Sukarela Terhadap Kualitas Laba. Fakultas Ekonomi Universitas
YARSI.