islam dan negara telaah pemikiran bahtiar...

91
i KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta. Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis dengan judul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Idris Thaha M. Si Selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki.

Upload: vuongtram

Post on 28-Apr-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta.

Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis

dengan judul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak

kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Penulis

menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai

pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan

bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam,

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan

AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai

sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar

di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Idris Thaha M. Si Selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan

bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk

menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki.

Page 2: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

ii

3. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pak Amsal Bahtiar, Hamid

Nasuhi, Ibu Hermawati, Masri Mansur, Chaider S Bamualim, dan Bakir

Ihsan, atas motivasinya akhirnya saya bersemangat untuk menyelesaikan

skripsi ini.

4. Ayahanda Alimuddin (Almarhum) dan Ibunda Durryiha, terimakasih

atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari

mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang

layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terimakasih, penulis

persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Do’a ibu khususnya,

senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.

Untuk mendiang ayah, semoga para malaikat tuhan sampaikan akan

kabar bahagia ini. Trima kasih juga untuk K Harto dan adik semata

wayangku Litfi Imam, teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan.

5. Terima kasih kepada kepada orang-orang yang pernah mewarnai

kehidupanku, Aliyah, Nuri, Ratu Monesa, Devi, dan Icha. Semua orang

ini sangat berpengaruh dalam mewarnai kehidupanku. Meski semua

harus seperti ini, tapi paling tidak skripsi ini lahir atas inspirasimu.

Untuk Nuri, teruslah berjuang di IKOHI untuk membela kaum

perempuan tertindas. Untuk Icha, soga kau cepat berubah semoga sifat

ABG-mu cepat hilang. Untuk Ratu Monesa, aku tunggu novelmu

diluncurkan.

6. Terima kasih kepada kawan-kawan Madura terutama Om Idris dan Bang

Nabil, dua orang ini sangat banyak membantu dalam penyelesaian

skripsi ini. Bang Katib yang jadi tim sukses Jazuli-Atut, thanks juga

Page 3: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

iii

motivasinya, cepat cari istri dan yang penting kecilin perutnya. Teman-

taman Formad, Mohang, Erik, rosi, hayat, Majdi, Anis, Ojan, Robet,

dan lain sebagainya, jangan pernah menyerah menghadapi kerasnya

kehidupan Jalarta.

7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Forsa,

Inay, Aang, Oji, dan itay. Teman PST Tarbiyah, Ayu, Tika, Tuhfah,

Wieji, Reni, Alimah, dan Ivah. Semuanya kau adalah bagian inspirasiku.

Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya,

dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang

dapat penulis mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa

membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Amin.

Jakarta, 20 Desember 2007

Penulis

Page 4: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... iv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1

A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………...5

C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………..6

D. Metodologi Penelitian …………………………………………………….6

E. Sistematika Penyususnan …………………………………………………7

BAB II BIORAFI BAHTIAR EFFENDY……………………………………....9

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan ………………………….9

B. Karya Tulis Ilmiyah ……………………………………………………..12

C. Bahtiar Effendy dan Pemikirannya ……………………………………...20

BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA ………………24

A. Pertautan antara Islam dan Negara……………………………………….24

B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara………………………………..27

C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia…………………..35

D. “Penjinakan” Islam oleh Negara…………………………………………43

1. Zaman Orde Lama …………………………………………….. 44

2. Zaman Orde Baru ………………………………………………..46

BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN

ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA …………………………………… 50

A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara ……………………50

1. Generasi Baru Intelegensia Muslim ..................................................... 51

2. Keterlibatan Dalam Birokrasi ………………………………………...59

3. Gerakan Transformasi Sosial …………………………………………61

B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam ………………………..64

Page 5: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

v

1. Panggung Politik Umat Islam ………………………………………...65

C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara ………………………………….67

1. Penerimaan terhadap Demokrasi …………………………………….. 68

2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif ………………..73

D. Catatan Kritis ……………………………………………………………. 75

BAB V PENUTUP ……………………………………………………………...76

A. Kesimpulan ……………………………………………………………...76

B. Saran-saran ………………………………………………………………77

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..79

Page 6: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Hubungan antara Islam dan Negara merupakan persoalan yang hingga kini

masih menjadi perdebatan aktual sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia.

Perdebatan ini sebenarnya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar

tentang dimana posisi agama dalam Negara. Dalam hal ini, Islam sebagai agama

yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan lebih besar

ketimbang agama-agama lainnya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan

karena Islam terlanjur dipercaya pemeluknya sebagai petunjuk bagi seluruh

kehidupan sosial maupun politik.

Di samping itu, pembahasan dan perdebatan di seputar hubungan agama

dan negara tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan

manusia. Banyak peneliti, baik dari kalangan Indonesianis maupun dari Indonesia

yang telah melakukan kajian dan studi serius mengenai keterkaitan agama dan

negara. Secara garis besar, perbincangan tentang hubugan antara agama dan

negara telah melahirkan tiga ‘blok’ besar dalam kalangan peneliti.

Pertama, ‘blok’ kontra yang dengan tegas menolak adanya hubungan

antara agama dan negara. Aliran ini beranggapan bahwa agama dan negara

merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak

membicarakan persoalan negara dengan jelas. Kelompok ini disebut sebagai

kalangan sekuler. Kedua, ‘blok’ yang mengatakan agama dan negara mempunyai

kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan. Golongan blok ini sering disebut kaum

Page 7: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

vii

formalis. Ketiga, ‘blok’ yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik

temu antara kedua blok di atas.1

Terlepas dari perdebatan blok-blok di atas, Islam sebagai agama yang

sejak awalnya menekankan bahwa wahyu Allah itu memiliki keterkaitan yang erat

dengan berbagai persoalan kehidupan, maka dalam perjalanan sejarah masyarakat

muslim tidak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini juga akan semakin rumit

ketika dalam kenyataannya mendudukkan antara Islam dan negara dalam

kehidupan sosial tidaklah gampang.

Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan antara Islam

dan negara tidak mudah. Pernah dalam tahapan sejarah, faktor tersebut

dirumuskan dalam istilah-istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh;

sekuler; ketakutan terhadap Islam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada

sebagian orang Islam berpandangan bahwa beberapa faktor yang turut

mempersulit terwujudnya hubunga Islam dan Negara yang harmonis berasal dari

sisi ‘dalam’ masyarakat Islam itu sendiri.

Meskipun kecenderungan seperti itu banyak mendapat dukungan dari

berbagai kalangan, namun tidak sedikit pula yang menganggap faktor ‘dalam’

tersebut bukan sebagai persoalan. Harus diakui, hampir semua orang Islam

sepakat bahwa Islam itu satu, tetapi penafsiran terhadap semua dimensi ajaran

Islam tidaklah tunggal. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal

fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti

1Idris Thaha, Mendamaikan Agama dan Negara dalam Azyumardi Azra, Reposisi

Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Cet. I, h. viii.

Page 8: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

viii

bahwa Islam tidaklah monolitis.2 Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu faktor

kunci sulitnya mengurai hubungan antara Islam dan Negara.

Kompleksitas penafsiran terhadap hubungan antara keduanya akan terus

menajadi perdebatan mengingat kenyataan bahwa Islam tidak mungkin bisa

diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Meskipun ada benang merah yang

menghubungkan penafsiran antara keduanya, namun dalam mempraktikkan dalam

kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi.

Dengan kata lain, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi

sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Hal

inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lain seperti agama kristen

yang mengenal sistem kependetaan. Dalam Islam, setiap muslim memiliki hak

dan otoritas dalam memahami agamanya. Karena kebenaran absolut hanya milik

Allah, maka tak seorangpun berhak mengklaim bahwa pemahamannya paling

benar dan otoritatif dibanding yang lain.

Demikian lenturnya Islam, sehingga seringkali menimbulkan dilema

termasuk dalam munculnya bebagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam

yang tidak saja berbeda, namun juga bertolak belakang bahkan berbenturan.

Dalam konteks penafsiran hubungan antara Islam dan politik misalnya,

terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam umat Islam. Ada yang

mengatakan Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Gagasan lainnya

mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus

dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderatpun juga ada. Pandangan

moderat menegaskan, meski Islam dan politik merupakan persoalan yang berbeda,

2 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Uhsul Press, 2005), h. 21.

Page 9: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

ix

namun keduanya mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu

ada.3 Tiga tipologi pemikiran inilah yang sampai saat ini menjadi patokan untuk

menjelaskan dimana seharusnya posisi agama (Islam) dalam negara.

Bahtiar Effendy, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan

perdebatan relasi Islam dan negara. Banyak karya dan buku telah diterbitkannya

sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari

kebuntuan perdebatan yang sudah memakan waktu ratusan tahun itu. Buku-buku

Bahtiar Effendy yang secara tegas mengupas hubungan antara Islam dan Negara

bisa dilihat dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia.

Buku Islam dan negara ini merupakan buku yang secara lugas membahas

hubungan politik Islam dan negara di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy,

hubungan politik Islam dengan negara mengalami jalan buntu. Baik ketika

Suekarno mapun rezim Sueharto berkuasa. Kedua rezim tersebut memandang

Islam politik maupun partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai

pesaing potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasar negara, Pancasila.4

Buku lain Bahtiar Effendy yang tegas menyajikan kekurang harmonisan

hubungan Islam dan Negara yaitu, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,

Negara, dan Demokrasi. Buku yang bertebal 294 itu memaparkan ketegangan

yang terjadi antara politik Islam dan negara sepanjang Soekarno dan Soeharto

menjadi Presiden. Tidak hanya itu, buku ini juga menyajikan berbagai pandangan

Islam kaum muda reformis yang mencoba meredam aura Islam ideologis. Salah

3 Effendy, Jalan Tengah Politk Islam, h. 6. 4 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), cet I, h. 2.

Page 10: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

x

satu tokoh muda itu adalah Nurcholis Madjid dengan gagasan segarnya Islam Yes,

Partai Islam, No.

Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang

Tidak Mudah juga merupakan buku lain Bahtiar Effendy yang membahas secara

jelas dan tajam tentang pemikiran politik Islam di Indonesia. Buku ini juga

mengkaji dan mengangkat tema politik yang tidak akan pernah berhenti dan habis

dibahas para pemikir dan praktisi politik seputar hubungan Islam dan dunia

politik. Selain itu, buku ini juga merekam berbagai peristiwa politik di Indonesia

yang berkaitan dengan masalah agama dan politik. Misalnya tentang proses

transisi demokrasi, pembentukan partai politk, pemilihan umum, etika politk, dan

lain sebagainya.

Selain itu, masih banyak buku lain Bahtiar Effendy yang mengupas secara

tegas pasang surutnya hubungan Islam dan Negara. Di antar buku tersebut yaitu,

Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya hubungan NU, Presiden, dan

Negara, Repolitisasi Islam: Pernahkan Islam Berhenti berpolitik? dan Islam in

Contemporary Indonesian Politics.

Pandangan kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk memahami

lebih tajam hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy. Di samping itu,

penulis juga akan mencoba mencari letak berdirinya Bahtiar Effendy dalam tiga

aras besar pemikiran tentang hubungan Islam dan negara. Untuk itu, penulis

tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Hubungan Islam dan Negara:

Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy.”

Page 11: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xi

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

Agar pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara tidak terlalu

melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep Hubungan Islam

dan negara yang ditawarkan Bahtiar Effendy dengan mengurai beberapa teori dan

perspektif yang diajuakannya.

Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan

menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana hubungan Islam dan

Negara menurut Bahtiar Effendy.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas

rumusan ideal yang ditawarkan Bahtiar Effendy soal hubungan Islam dan Negara.

Serta melakukan alisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini

adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Mengetahui latar belakang Bahtiar Effendy dalam merumuskan

hubungan antara Islam dan Negara.

2. Mengetahui faktor penyebab ketegangan antara Islam dan Negara

3. Mengetahui fluktuasi hubungan Islam dan Negara baik saat orde

lama maupun orde baru.

4. Mengetahui konsep ideal tentang hubungan Islam dan Negara.

Selain itu, tujuan penulisan skripsi Hubungan Islam dan Negara ini juga

sebagai upaya menghargai karya intelektual tokoh muda yang lahir dari kalangan

internal Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan

bisa dibilang, Bahtiar merupakan salah satu sosok yang layak dikategorikan

sebagai intelektual muda yang konsen terhadap pembahasan Islam dan Negara.

Page 12: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xii

D. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodologi

penelitian. Yaitu studi kepustakaan.

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui

sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Bahtiar

Effendy. Selain itu, studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan

sejumlah data yang ada di media massa seperti koran, majalah, dan

jurnal yang berkaitan dengan pemikiran Bahtiar Effendy soal Islam

dan Negara.

2. Wawancara Tokoh

Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis

juga akan melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar Effendy

selaku tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini

diharapkan mampu menemukan pemikiran orosinil Bahtiar

Effendy terkait dengan relasi Islam dan Negara.

Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis

data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan

deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep ideal

hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy.

Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan

penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar penulisan

karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan Center

Page 13: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xiii

for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok

masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis

mencoba untuk memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang

pendidikan, karya tulis ilmiyah, serta Bahtiar Effendy dan pemikirannya

Pada BAB III, penulis akan menyajikan beberapa studi kasus soal

dinamika hubungan Islam dan negara yang meliputi pertautan Islam dan negara

serta ketegangan di sepurat hubungan Islam dan Negara di sejumlah negara Islam.

Di BAB III ini juga, penulis sudah mulai masuk pada salah satu topik inti skripsi

yaitu, Islam sebagai kekuatan ideologi politik di Indonesia, dan “Penjinakan”

Islam oleh Negara baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Sedangkan Bab

IV, penulis sudah masuk pada pokok inti tulisan ini yaitu, pemaparan Bahtiar

Effendy dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Negara di Indonesia. Serta

bagaimana solusi yang ditawarkan dalam mengurai ketegangan di antara

keduanya.

Bab IV diawali dengan Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan

Negara. Pada sub pokok bahasan selanjutnya, akan dipaparkan munculnya

generasi baru intelegensia Muslim, keterlibatan dalam birokrasi, dan gerakan

transformasi sosial yang dilakukan umat Islam.

Selain itu, di bab IV ini juga akan dijelaskan tentang melemahnya kooptasi

negara atas Politik Islam yang mengantarkan pada perubahan panggung utama

politik Islam. Juga akan dibahas tentang arah baru hubungan Islam dan negara.

Page 14: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xiv

Bab IV ini akan diakhiri dengan catatan kritis terhadap pemikiran politik Bahtiar

Effendy. Terutama catatan kritis tentang definisi Islam dan Negara menurut

Bahtiar serta relevasnsi Islam dan Negara dalam konteks kehidupan bernegara

saat ini di Indonesia.

Sementara pada bab V, penulis menyimpulkan dari seluruh bahasan dan

masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran

terkait dengan hubungan seharusnya Islam dan negara.

Page 15: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xv

BAB II

BIOGRAFI BAHTIAR EFFENDY

A. RIWAYAT HIDUP DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

Bahtiar Effendy adalah dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat pada

Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN

Jakarta. Selain itu, dia juga dosen Program Pascasarjana UIN Jakarta, Program

Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Muhammadiyah Jakarta

(UMJ). Bahtiar dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 10 Desember 1958.

Bahtiar memulai pendidikannya dari Sekolah Dasar (SD) dan Ibtidaiyah di

kampung kelahirannya. Setelah lulus SD dan Ibtidaiyah pada tahun 1970, dia

kemudian melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Pondok

Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Ketika masih duduk di

kelas enam – setingkat kelas tiga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)- di

Pesantren Pabelan, pada tahun 1976 hingga 1977 Bahtiar memperoleh beasiswa

American Field Service (AFS) untuk belajar di Columbia Falls High School,

Columbia Falls, Montana, Amerika Serikat. Yang menarik, Bahtiar adalah sedikit

di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti

program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika di sebuah SLTA di

Columbia Falls, Montana.

Sekembalinya dari AS, dia mengajar di Pesantren Pabelan hingga tahun

1979. Pada tahun itu juga, dia melanjutkan studi ke Fakultas Ushuluddin, IAIN

Jakarta, kini UIN Jakarta, dan menyelesaikan S-1 tahun 1985. Dengan biaya dari

Page 16: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xvi

Asia Foundation, antara tahun 1986-1988, dia meneruskan sekolah S-2 pada

program studi Asia Tenggara di Ohio University, Athens, Ohio, AS. Atas anjuran

Prof. R. William Liddle dan beasiswa dari Midwest University Consortium for

Internastional Activities (MUCIA), Asia Foundation, dan Departement of Political

Science OSU, dia melanjutkan pendidikannya ke Ohio State University,

Columbus, Ohio, AS. Dari Universitas inilah, Pada tahun 1994, ia meraih gelar

Doktor di bidang ilmu politik dengan menulis disertasi yang berjudul Islam and

the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in

Indonesia. Disertasi yang berbahasa Inggris ini kemudian diterjemakah ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan

Praktik Politik Islam di Indonesia yang diterjemahkan Ihsan Ali-Fauzi dan

diterbirkan oleh Paramadina tahun 1998.

Selain itu, tahun 1998 Bahtiar menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga

Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia),1 juga dipercaya

menjadi Ketua Dewan Akademi Program Pascasarjana UIN Jakarta dari tahun

1999 hingga sekarang, dan Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 2001-2004. Tidak hanya itu, dia juga

menjabat Deputy Director of the Institute for the Study and Advancement of

Business Ethic, 1996-sekarang.2 Di penghujung tahun 2006, Bahtiar meraih gelar

Profesornya di bidang pemikiran politik Islam dari Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Jakarta.

Selain aktif menjadi narasumber talkshow mengenai politik di beberapa

stasiun televisi, aktif menulis artikel di berbagai surat kabar dan majalah, dia juga

1Biorafi Bahtiar Effendy yang ditulis dalam bukunya Islam dan Negara. 2”Islam dan Demokrasi”, artikel diakses pada tanggal 11 November dari:

www.tokohindonesia.com.

Page 17: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xvii

telah mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, di antaranya yaitu: (1)

Merambah jalan baru Islam. Buku ini ditulis Bahtiar bersama Fachry Ali

(Bandung: Mizan, 1968); (2) Islam and the State: Transformation of Islamic

Political Ideas and Practices in Indonesia. Buku ini merupakan disertasi Bahtiar

untuk meraih gelar doktornya di Ohio State University yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran

dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998); (3) Re-

politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik?; (Bandung: Mizan, 2000);

(4) Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi

(Yogyakarta: Galang Press, 2001); (5) Masyarakat Agama dan Pluralisme

Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001; (6) Jalan Tengah Politik Islam;

Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press,

2005); (7) Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU,

Presiden, dan Negara (Jakarta: Ushul Press, 2005) (8) Islam in Contemporary

Indonesian Politic (Jakarta: Ushul Press, 2005).

Hampir semua buku yang ditulis Bahtiar cakupan bahasannya tidak jauh dari

isu seputar kaitan politik antara Islam dan negara di Indonesia. Dalam buku-

bukunya itu, dengan gamblang Bahtiar menjelaskan fluktuasi hubungan antara

Islam dan negara sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga munculnya

kekuasaan rezim orde baru di pentas politik nasional. Tidak berhenti di situ,

Bahtiar juga menyinggung munculnya beragam partai Islam di pentas nasional

pasca jatuhnya rezim Soeharto. Ia menilai, menjamurnya partai Islam di era

reformasi menimbulkan kontroversi mengenai keterlibatan Islam dalam politik.

Sebuah pertanyaan patut diajukan terkait menjamurnya partai Islam tersebut,

Page 18: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xviii

apakah fenomena maraknya partai Islam merupakan perwujudan dari hadirnya

kembali Islam di pentas politik atau hanya sekedar repolitisasi Islam? Dalam

bukunya Re-politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik? Bahtiar

dengan lugas membahas munculnya partai Islam sebagai kekuatan politik Islam di

era reformasi.

B. KARYA TULIS ILMIYAH

Sebagai seorang intelektual, Bahtiar tergolong sebagai tokoh yang produktif

menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk

artikel yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional.

Karya-karya tulis ilmiah Bahtiar pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia

dan sedikit saja yang menggunakan bahasa asing, khususunya bahasa Inggris.

Sampai saat ini, Bahtiar sedikitnya telah mempublikasikan delapan buku karya

ilmiahnya dalam bahasa Indonesia dan satu buku berbahasa Inggris yang diberi

judul Islam in Contemporary Indonesian Politic yang baru-baru ini diterbitkan

Ushul Press, Jakarta. Ketujuh buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian

besarnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan Bahtiar yang dimuat di sejumlah

media massa nasional maupun internasional. Hanya beberapa buku saja yang

bukan merupakan kumpulan tulisan seperti Islam dan Negara: Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Teologi Baru Politik Islam,

Merambah Jalan Baru Islam, dan Masyarakat Agama dan Pluralisme

keagamamaan.

Pada tahun 1986 Bahtiar Effendy bersama Fachry Ali menulis buku

berjudul Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia

Page 19: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xix

Masa Orde Baru. Buku setebal 336 ini merupakan analisis sosial-historis

mengenai kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya

Islam hingga munculnya dinamika pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan

dilakukan secara hati-hati mulai awal pertautan antara Islam dengan kultur dan

kepercayaan masyarakat pribumi sampai perkembangan selanjutnya di mana

muncul pemikiran keagamaan yang menempati mainstream modernis-

tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup lama mewarnai

perjalanan Islam Indonesia - disertai konflik dan pertentangannya di bidang sosial,

budaya, dan politik - baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya

kemerdekaan.

Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia

dengan melihat pandangan para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam

Raharjo, Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang

dinilai telah memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini

disebabkan kesamaan substansial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek

kecabangan (furu’iyyah) ajaran keislaman tetapi masalah universal kemanusiaan.3

Walaupun pengelompokan pemikiran konvensional seperti di atas masih

cukup terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa orde baru

menunjukkan kecenderungan yang sama terhadap pertautan pemikiran

kemanusiaan universal yang sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia.

Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi,

industrialisasi, dan demokratisasi yang menuntut agar melihat kembali nilai-nilai

lama untuk dinyatakan urgensi dan relevansinya.

3 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 297

Page 20: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xx

Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah

pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan

kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang

profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban

mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut?

Melalui pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari formulasi

pemikiran yang tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia.

Tahun berikutnya 1998, Bahtiar menerbitkan sebuah buku yang berjudul

Islam dan negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasi doktor yang

dipertahankannya tahun 1994 pada departemen Ilmu Politik, Ohio State

University, Amerika Serikat. Judul asli buku ini yaitu, Islam and the State: the

Transformation of Islamic Polical Ideas and Practice in Indonesia. Secara

khusus buku ini membahas hubungan antara Islam dan negara di Indonesia yang

sudah lama mengalami Jalan buntu baik ketika Seokarno berkuasa dengan

demokrasi terpimpinnya maupun saat Soekarno menjadi presiden dengan

demokrai pancasila. Dalam buku itu Bahtiar menjelaskan akar ketegangan

hubungan Islam dan negara. Menurutnya, akar ketegangan itu bersumber dari

artikulasi politik umat Islam yang lebih menonjolkan aspek legal formal ajaran

Islam dengan agenda utamanya menjadikan Islam sebagai agama negara.

Akibatnya, partai politik yang berasas Islam dianggap sebagai ancaman potensial

yang dapat merongrong ideologi nengara yang nasionalis. Karena alasan ini,

sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan tersebut mencoba

melemahkan dan menjinakkan partai Islam.

Page 21: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxi

Dua tahun berikutnya (2000), Bahtiar menerbitkan tulisan-tulisannya yang

sebagian besar dimuat di media massa sejak 1995 hingga 1999. Buku yang

diterbitkan Mizan ini diberi judul Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti

Berpolitik? Dari empat bab yang ada dalam buku ini, salah satu bab terpentingnya

terdapat di bab pertama yang mengkaji tentang peran agama yang bukan saja

berkutat pada wilayah privat, melainkan agama yang mampu memberikan

jawaban atas semua persoalan yang ada. Menurut Bahtiar, berbicara tentang apa

yang terjadi pada umat Islam di Indonesia, mau tidak mau harus berbicara tentang

ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama demokrasi terpimpin

hingga tampilnya rezim orde baru kedua ormas tersebut berada di bawah tekanan.

Selain NU dan Muhammadiyah, ICMI juga merupakan ormas Islam yang kerap

dibicarakan publik. Dalam bab ini dengan jernih Bahtiar memaparkan bagaimana

ormas Islam tersebut memainkan peran penting dalam himpitan ekonomi dan

politik orde baru yang beringas. Dan menjelaskan strategi apa yang digunakan

ormas tersebut hingga pada detik-detik terakhir keberadaannya Islam tidak lagi

dimusuhi.

Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yang secara

jelas mengupas munculnya partai-partai Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru.

Dalam pandangan sebagian kalangan, fenomena ini bisa dimaknai sebagai

reingkarnasi politik Islam atau yang lumrah disebut repolitisasi Islam. Penilaian

seperti itu sah saja disampaikan mengingat Islam sedari awal kelahirannya

memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik.

Belum diketahui secara pasti apa yang dimaksud sejumlah kalangan

dengan fenomena repolitisasi Islam. Jika indikator yang digunakan untuk

Page 22: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxii

menjelaskan repolitiasi Islam adalah munculnya sejumlah partai yang

menggunakan simbol Islam, maka tidak menutup kemungkian yang dimaksudkan

adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Akan tetapi, membandingkan

apa yang muncul setelah jatuhnya Soeharto dengan apa yang pernah berkembang

pada tahun 1950-an hingga 1960-an merupakan sesuatu hal yang tergesa-gesa.

Bisa saja menjamurnya partai Islam sebagai bentuk perayaan euforia reforasmi

semata.

Sementara di tahun 2001, Bahtiar kembali menerbitkan dua buku dengan

tema yang hampir serupa: yaitu Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama,

Negara, dan Demokrasi dan Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan.

Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel serius Bahtiar yang disampaikan di

forum ilmiah tingkat nasional, dan semuanya berbahasa Indonesia.

Dalam buku ini, Bahtiar mengawali pembahasannya hampir sama dengan

buku sebelumnya, Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, setelah berakhirnya

kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara Islam seperti Turki,

Malaysia, Pakistan, Maroko, Aljazair, dan Sudan mengalami kesulitan dalam

mengembangkan tesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di negara-

negara tersebut, relasi Islam dan negara selalu diwarnai dengan cerita

antagonisme. Sementara di Indonesia, hubungan Islam dan negara tidak jauh

berbeda dengan sejumlah negara Islam tersebut. Untuk waktu yang cukup lama,

hubungan keduanya mandeg bahkan bersitegang.4

Dalam konteks seperti itu, buku ini hadir untuk menjelaskan mengapa

perseteruan antara Islam dan negara terjadi dalam sebuah negara yang mayoritas

4 Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi

(Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 3-4.

Page 23: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxiii

penduduknya Islam. Adakah jalan keluar yang menghubungkan politik antara

Islam dan negara yang lebih harmonis dan integratif? Pertanyaan-pertanyaan

seperti itu dijawab secara lugas dalam buku ini. Salah satu penjelasan yang paling

mungkin dicerna adalah munculnya generasi baru Islam di era 1970-an dan 1980-

an yang lebih mengedepankan agenda substantif Islam dan menolak pandangan

yang legal formaslistik. Sebagai sebuah generasi baru, gerakan pemikiran baru ini

dianggap potensial untuk membangun jembatan dan sintesis yang memungkinkan

antar keduanya. Dengan kata lain, lahirnya generasi baru Islam ini merupakan

harapan besar untuk membangun komunikasi yang mesra antara Islam dan negara.

Menunjukkan bahwa politik Islam telah menemukan bentuknya yang baru dalam

memperjuangkan agenda Islam.

Sementara dalam buku Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan

Bahtiar mengeksplorasi posisi dan peran agama dalam menghadapi persoalan

kemasyarakatan pada akhir abad ke-20. Sebuah abad yang ditandai dengan

perubahan-perubahan mencengangkan di seluruh ranah kehidupan yang lebih

dekenal dengan istilah globalisasi.

Pada posisi itu, agama tidak diletakkan sebagai sistem yang terkucilkan

yang menjadi mitos menakutkan karena mengutuk arus globalisasi, tetapi dapat

mengambil peran strategis sebagai instrumen dalam memandang dunia. Agama

secara substansial harus memberi inspirasi dalam menyelesaikan persoalan

kehidupan walaupun tidak bersifat formalistik-institusional. Keharusan ini muncul

mengingat sistem nilai agama yang tidak hanya menuntut untuk diikuti melainkan

juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur budaya, nilai, dan norma sosial.

Artinya, pandangan dunia seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama

Page 24: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxiv

sehingga secara inheren berperan dalam setiap pembuatan keputusan baik politik

maupun ekonomi.

Oleh sebab itu, pandangan keagamaan tidak bisa dianggap hanya

beroperasi pada wilayah privat semata melainkan harus disosialisasikan guna

mengoptimalkan peran dan fungsi agama (deprivatisasi agama).5 Akibatnya,

agama perlu dikaji secara kontekstual melalui berbagai pendekatan sehingga

mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Di sini agama mempunyai bentuk

praksis dan dinamis dengan tetap berdiri tegak di tengah arus perubahan besar dan

radikal. Globalisasi kemudian diyakini tidak serta-merta mencerabut peran dan

posisi agama dalam masyarakat mengingat agama merupakan domain nilai yang

selalu berdialog dengan kenyataan sosial.

Dua buku lainnya - yang tentu dengan tema yang hampir sama- terbit dua

tahun kemudian (2005). Kedua buku tersebut yaitu, Gus Dur dan Pupusnya Dwi

Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara serta buku Jalan

Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah,

terdiri dari sejumlah tulisan-tulisan kolom yang dimuat di media massa nasional.

Buku Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal ini mengkaji secara khusus

sepak terjang politik Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur

yang pernah menjadi presiden RI. Gus Dur dalam beberapa performa politiknya

sangat kontroversial menarik untuk dikaji dalam perspektif politik dan kaitannya

5 Deprivatize merupakan istilah yang dipinjam Bahtiar dari Jose Cassanova untuk

menunjukkan peran penting agama dalam kehidupan sosial politik seperti yang terjadi di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika. Lihat Bahtiar Effendy, Masayarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 6.

Page 25: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxv

dengan Islam. Apalagi, Gus Dur dianggap sebagai representasi kemenangan

politik Islam di jagad politik nasional.

Dalam buku yang terdiri dari tiga bab ini, Bahtiar memulai

pembahasannya terutama soal hubungan Gus Dur dengan kyai, dan kalangan

Nahdliyin yang selama ini menjadi basis dukungannya saat bertarung dalam dunia

politik. Selain itu, Bahtiar juga membahas kebingungan politisi Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa

Gus Dur harus dilengserkan di tengah jalan oleh koalisi poros tengah.

Dalam bab lainnya juga dijelaskan mengenai pertikaian Gus Dur dengan

elit politik di legislatif tentang hak interpelasi, memorandum, sidang istimewa,

dan kesukannya jalan-jalan ke luar negeri. Semua ketegangan itu dengan baik di

jelaskan dalam buku ini.

Sementara dalam buku Jalan Tengah Politik Islam, Bahtiar mencoba

menampilkan rekam jejak peristiwa politik yang berkaitan dengan masalah agama

dan politik mulai dari masalah HAM, Islam dan demokrasi, pemilihan umum,

transisi demokrasi, politisasi agama, Islam dan ekstrimisme, Islam dan kekuasaan,

dan tema-tama lainnya yang tidak kalah menarik juga dibahas dengan baik oleh

Bahtiar. Dalam buku ini, Bahtiar sekali lagi ingin menegaskan bahwa

perbincangan mengenai hubungan politik dengan agama tidak akan pernah selesai

dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa. Tema kaitan agama dan politik

inilah yang selama ini menjadi fokus utama kajian dan pemikiran Bahtiar.

Setahun berikutnya (2006), Bahtiar menerbitkan buku yang diberi judul

Islam in Contemporary Indonesian Politic. Buku ini bisa dikategorikan sebagai

buku ilmiah pertama Bahtiar yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, karena enam

Page 26: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxvi

buku yang ditulis sebelumnya semuanya berbahasa Indonesia. Di lihat dari semua

judul yang ada dalam buku ini, tema yang dibahas Bahtiar tidak jauh dari apa

yang ditulisnya selama ini, yaitu tentang kaitan politik antara Islam dan negara

dalam konteks keindonesiaa. Seperti diulang-ulang dalam buku sebelumnya, buku

ini juga membahas kembali hubungan Islam dan politik bisa jadi merupakan

prsoalan yang membosankan. Bukan hanya karena alasannya yang tidak menarik,

melainkan juga karena artikulasi yang dibahasnya sekedar mengulang-ngulang

dari wacana yang sering dibicarakan kalangan ilmuan politik Islam.

Diawali dengan judul artikel What is Polical Islam?: An examanation of its

theoretical mapping in Modern Indonesia seolah bisa ditebak apa yang akan

disampaikan dalam tulisan ini. Tulisan yang ada dalam artikel ini sebenarnya

merupakan salah satu bab dari disertasi yang ditulisnya guna meraih gelar doktor

ilmu politik di Ohio State University. Dalam judul ini, Bahtiar memberi

penjelasan tentang beberapa garis utama teori para ilmuan politik barat yang

digunakan untuk melihat fenomena politik Islam kontemporer di Indonesia. Teori-

teori tersebut meliputi teori dekonfessionalisasi Islam, domestikasi Islam,

skismatik dan aliran, trikhotomi dan Islam kultural, dan teori Islam kultural.6

C. BAHTIAR EFFENDY DAN PEMIKIRANNYA

Secara umum buku yang ditulis Bahtiar Effendy membahas tema yang

selama ini menjadi konsentrasi keilmuannya dalam bidang politik khususnya

tentang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks Keislaman dan

Keindonesiaa. Seperti diakuinya, berbicara tentang kaitan Islam dan negara bisa

6 Idris Thaha, Book Review Bahtiar Effendi dalam Jurnal Studia Islamika Pusat

Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, 2006, h. 333-336.

Page 27: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxvii

saja merupakan sesuatu yang membosankan. Bukan karena masalahnya yang

kurang menarik, melainkan karena artikulasi yang disampaikan dalam perdebatan

ini hanya akan mengulang apa yang telah dibahas para ilmuwan politik

sebelumnya. Meski membosankan, Bahtiar mengakui bahwa pembahasan

hubungan antara Islam dan negara merupakan sesuatu yang sangat menarik, dan

hal ini akan menjadi objek bahasan yang tidak akan kering dibahas dan tak akan

berhenti dibicarakan banyak orang. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan

negara akan terus menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Dengan demikian,

topik kajian Islam dan negara akan selalu muncul di tengah masyarakat yang

mayoritas penduduknya beragama Islam.

a. Islam dan Negara

Salah satu ciri khas yang menonjol dari pemikiran Bahtiar Effendy adalah

konsistensinya dalam membahas hubungan antara Islam dan negara. Sejumlah

buku telah ditulisya secara khusus mengkaji kaitan Islam dan negara. Di antara

buku yang sudah diterbitkannya dan fokus bicara kaitan Islam dan negara dan

menjadi rujukan utama penulisan skripsi ini yaitu, Islam dan Negara:

Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia dan Teologi Baru Politik

Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi. Kedua buku ini secara

jalas mengupas hubungan politik antara Islam dan negara sepanjang rezim

Soekarno dan Soeharto. Dalam buku ini Bahtiar dengan baik menjelaskan

hubungan antagonisme antara Islam dan negara. Menurutnya, baik Soekarno

maupun Soeharto melihat politik Islam sebagai kekuatan utama yang potensial

dapat merobohkan kepentingan nasional. Akibat dari pandangan seperti itu maka,

Page 28: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxviii

dalam setiap kebijakannya kedua kepala negara tersebut seringkali

mendiskreditkan kelompokkan Islam. Bahkan, tidak jarang politik Islam sering

dijadikan sasaran kecurigaan negara.

Bahtiar mengatakan, ketegangan antara Islam dan negara terjadi karena

para aktivis politik Islam lebih mengedepankan aspek formal legalistik dalam

memperjuangkan agenda politik mereka seperti keinginan menjadikan Islam

sebagai dasar negara. Waktu itu, kedua rezim ini memandang politik Islam sedang

dalam performa terbaiknya yang dapat mengancam landasan negara yang

nasionalis. Implikasinya, banyak partai-partai yang berlandaskan Islam sering

mendapat perlakuan tidak adil dari negara.

Ketegangan antara Islam dan negara terjadi sejak periode awal

kemerdekaan Indoneisa dimana para aktivis politik Islam saat itu dalam artikulasi

politiknya lebih mengedepankan faktor legal formalistiknya ketimbang substansi

dari ajaran Islam. Akibat dari itu semua, sepanjang sejarah orde lama dan orde

baru, politik Islam selalu menjadi sasaran kecurigaan dan peminggiran.

Ketegangan itu mereda ketika para aktivis politik Islam merubah strategi

perjuangannya dengan lebih mendahulan dimensi substasni ajaran Islam.

Akibatnya, negara perlahan mulai mengakomodasi kepentingan Islam. Tidak

hanya itu, Islam juga dianggap sebagai kekuatan yang potensial untuk memajukan

bangsa yang tidak selamanya harus dipinggirkan. Periode akomodatif ini terjadi

pada tahun 70-an bersamaan dengan munculnya generasi baru aktivis pemikiran

Islam seperti Munawir Sadjali, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, Ahmad

Wahib, dan lain sebagainya.

Page 29: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxix

Bahtiar tergolong penulis yang sangat selektif dan tidak menulis tema apa

saja. Meski ada tulisan yang sedikit keluar dari mainstream Bahtiar sebagai

ilmuan politik Islam seperti tentang ekonomi dan budaya, namun kajian tersebut

selalu terkait dengan pandangannya sebagai ilmuwan politik.

Page 30: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxx

BAB III

DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

A. Pertautan Antara Islam dan Negara

Pertautan antara Islam dan negara akan terus menjadi sorotan sekaligus

perdebatan pada level akademik maupun dalam wilayah praktis. Kompleksitas

hubungan Islam dan negara bukan satu-satunya dasar penyebab perdebatan ini,

melainkan lebih pada kenyataan bahwa Islam tidak mungkin dapat diterjemahkan

dalam bentuk yang tunggal. Perdebatan di seputar apakah Islam itu hanya sebatas

agama (din) atau Islam merupakan Negara (dawlah) sekaligus merupakan pokok

inti perdebatan dalam hubungan Islam dan negara.

Dari segi doktrin, seringkali disebutkan bahwa ajaran Islam telah

terumuskan sedemikina rupa sehingga akan selalu sesuai dengan perkembangan

zaman dan selalu “hadir di mana-mana” (omnipresence). Hal ini merupakan

sebuah pandangan yang mengakui bahwa dimanapun, kehadiran Islam akan

senantiasa memberikan pandangan moral bagi tindakan manusia. Dalam

perkembangannya, ternyata pandangan semacam ini telah mendorong sebagian

pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.1

Sementara jika dipotret dari sudut pandang pemahaman pemeluknya, umat

Islam mempunyai latar belakang sosial yang beragam. Secara sosiologis, dapat

1 Bahkan tidak sedikit di kalangan umat Islam yang melangkah lebih jauh dan

menekankan bahwa, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Tak diragukan lagi, mereka meyakini bahwa Islam mempunyai sifat yang sempurna dan menyeluruh sehingga Islam mencakup din, dunya, dan dawlah. Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan Antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii

Page 31: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxi

dirumuskan secara sederhana bahwa latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan

geografis akan berpengaruh dalam membentuk pandangan seseorang tentang

bagaimana agama dan negara seharunsya berada. Dengan kata lain, situasi

sosiologis, kultural, dan intelektual yang berbeda atau apa yang disebut

Mohammed Arkoun2 sebagai “estetika penerimaan” sangat berpengaruh dalam

menentukan bentuk dan isi pemahaman pemeluknya. Kecenderungan intelektual

yang berbeda dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu

doktrin. Manifestasi dari multiinterpretasi terhadap Islam tersebut yaitu

munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam yang juga beragam.

Singkatnya, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang

tidak bisa dihindari bahkan telah menjadi keniscayaan dalam sejarah Islam.

Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan

yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul

Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan

mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak

canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak.

Setelah Perang Dunia II, lanjutnya, masyarakat di berbagai penjuru dunia,

khususnya masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung

antara Islam dan negara atau politik pada umumnya.3

2 Mohammed Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan

pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Salah satu pokok penting pemikiran Arkoun adalah pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Bagi Arkoun, umat Islam masih belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Untuk itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Quran yang tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) cet, I Juni 2001, h. v-ix.

3 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina) cet. I Mei 1996, h. 1.

Page 32: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxii

Kecanggungan hubungan Islam dan negara di atas bersumber dari

kenyataan bahwa agama dalam pengertian terbatas hanya berkaitan dengan unsur

ilahiah, sakral, dan suci. Sementara negara pada umumnya berkaitan dengan

bidang yang lebih profan atau keduniaan. Lebih jauh lagi, Islam dipandang tidak

pernah memberikan panduan praktis tentang ketatanegaraan.

Tentang hubungan Islam dan negara, Munawir Sjadzali menyebutkan

sedikitnya ada tiga aliran yang menanggapinya.4 Pertama, aliran yang

berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik

(rahmatan lil’alamin) yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Penganut aliran ini meyakini Islam sebagai suatu agama serba lengkap yang di

dalamnya mencakup antara lain sistem ketatanegaraan.

Pandangan holistik terhadap Islam mempunyai implikasi yang sangat luas.

Salah satu di antaranya yaitu kecenderungan untuk memahami Islam dalam

pengertian yang literal yang hanya menekankan dimensi luarnya. Dalam

contohnya yang paling ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi

kaum muslimin untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran

sebagai instrumen ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan

etis yang benar bagi kehidupan manusia.5

Aliran kedua beranggapan bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan

negara karena Islam tidak mengatur aspek kehidupan bernegara dan tata

pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Nabi

4 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:

UI Press) edisi ke-5, h. 1-3 5 Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara

Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii

Page 33: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxiii

pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan

yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara.

Sedangkan aliran ketiga merupakan kelompok yang mencoba

mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan

bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan

kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur

hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan

sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan

bernegara.

B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara

Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy

mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh

fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara muslim seperti Turki, Mesir,

Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak harmonisnya

hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya kolonialisme barat

pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam

upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik dan

pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di

negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan politik antara Islam dan

Negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam. 6

Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama

Islam mengalami jalan buntu baik saat Soekarno maupun ketika Soeharto

6 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998) cet. I, h. 2.

Page 34: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxiv

berkuasa. Kedua pemimpin itu memandang partai-partai politik yang

berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat

merobohkan landasan negara yang nasionalis. Degan alasan ini, selama empat

dekade, kedua pemerintahan tersebut berupaya untuk melemahkan dan

menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis

Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara

pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam

perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi

Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut

‘kelompok luar’ atau kelompok minoritas. Pendek kata, Islam politik telah

dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum

maupun secara simbolik. Yang lebih menyakitkan lagi, Islam politik seringkali

menjadi sasaran ketidak percayaan dan dicurigai sebagai anti ideologi pancasila.7

Dalam situasi seperti itu, banyak pemikir dan aktivis politik Islam

memandang negara dengan rasa curiga. Bagi mereka, negara telah menerapkan

kebijakan ganda terhadap Islam. Di satu pihak Islam dibiarkan bahkan didorong

untuk menumbuh kembangkan dimensi ritualnya, namun pada saat yang

bersamaan negara tidak membiarkan Islam berkembang secara politik.8

Banyak tokoh dan analis yang memprediksi akar terjadinya ketegangan

hubungan antara Islam dan Negara. Salah satu akar persoalan yang sering

dikemukakan yaitu tentang watak Islam yang holistik. Sudah menjadi rahasia

umum jika umat Islam percaya akan sifat Islam yang holisitk. Ada yang melihat

agama sebagai sistem peradaban yang menyeluruh. Bahkan, ada yang

7 Effendy, Islam dan Negara, h. 2-3. 8 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan

Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 5.

Page 35: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxv

mempercayainya sebagai agama dan negara. Pandangan semcam ini

mengindikasikan bahwa Islam tidak sekedar sistem ritus belaka. Bahkan lebih

tegas lagi, Islam tidak mengenal pemisahan antara nilai spritual dan temporal. 9

Cara pandang terhadap Islam yang holisitk semacam ini menghasilkan

dampak pemahaman keagamaan yang cenderung memahami Islam secara ‘literal’

yang hanya menekankan dimensi luarnya saja serta melupakan dimensi

kontekstual ajaran Islam tersebut. Dengan kata lain, hubungan Islam dengan

segala aspek kehidupan manusia harus dalam bentuk legal-formalistik yang

ditandai keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi

negara.

Sementara di pihak lain ada yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya

yang lebih substantif. Pandangan substantif ini lebih mengedepankan isi dari pada

bentuk dalam melihat kehidupan sosial masyarakat Islam. Karena wataknya yang

substansialis itu kecenderungan pandangan ini menganggap syari’ah tidak perlu

diformalkan menjadi undang-undang dasar negara, yang terpenting semua aspek

hukum positif yang dijalankan negara berkesesuaian dengan prinsip ajaran Islam

yang holistik.

Menanggapi ketegangan ini Bahtiar Effendy mengatakan, pertama,

masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari

pandangan-pandangan yang berbeda dari kalangan pendiri Republik ini tentang

cita-cita Indonesia. Kedua, antagonisme politik antara Islam dan negara yang

tidak mesra tersebut tidak hanya muncul dari doktrin Islam itu sendiri, melainkan

juga dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis, dan

9 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 7-8.

Page 36: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxvi

politis. Menurut Bahtiar, adanya pandangan mengenai Islam yang legal

formalistik, memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah

masyarakat yang secara sosial-keagamaan sangat plural. Pada sisi lain, pandangan

Islam yang substansialistik dapat memberi landasan yang penting bagi

pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan Negara, dalam rangka

membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.10

Di Indonesia, lanjut Bahtiar Effendy, akar ketegangan hubungan politik

antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan

pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini

dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional

terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di Indonesia menjelang

kemerdekaannya.11 Setelah berjuang selama empat dasawarsa merebut

kemerdekaannya, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami masalah yang

sangat substansial seputar dasar negara. Pertanyaan yang kerap muncul yaitu, atas

dasar apakah negara yang baru merdeka ini didasarkan? Saat itu, para wakil rakyat

Indonesia terbelah atas dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganjurkan

agar negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan

tertentu. Kedua, kelompok yang menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Dalam

perkembangannya, kelompok pertama disebut sebagai kaum nasionalis sekuler

sedangkan kelompok kedua dikenal dengan kelompok nasionalis Islami.12

10 Effendy, Islam dan Negara, h. 15-16. 11 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 9. 12 Nasionalis Islami menunjuk pada kalangan nasionalis yang berkomitmen pada

pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam dalam cakupannya yang sangat luas. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur soal hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan nasionalis sekuler didekatkan kepada mereka yang Islam, Kristen, dan lainnya yang menginginkan pemisahan agama dari negara. H. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Piagam Jakarta; 22 Juni 1945

Page 37: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxvii

Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam

sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama

abad ini. Kalangan nasionalis sekuler berpandangan bahwa perjuangan

kemerdekaan Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei

1908. Organisasi kepemudaan ini dianggap sebagai organisasi pertama di antara

bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan mempunyai makna

yang cukup besar. Dari gerakan Boedi Oetomo inilah, gerakan-gerakan nasionalis

sekuler lainnya muncul. Sebut saja seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai

Indonesia (Parindo), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), Partai Indonesia

Raya (Parindra), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerakan-gerakan ini

lahir sebagai respons atas kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka

berdasarkan faham kebangsaan (nasionalisme).13

Dengan faham kebangsaan sebagai sentimen dan kekuatan utama,

kelompok nasionalis sekuler dengan dipelopori Soekarno, kemudian mendominasi

dan mengarahkan gerakan nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari

penjajah. Yang terjadi kemudian, dalam kadarnya yang lebih besar, ternyata

kelompok ini membangun panggung konfrontasi ideologi dengan kelompok

nasionalis Islami terutama dalam soal hubungan agama (Islam) dan negara dalam

sebuah negara Indonesia yang akan merdeka.

Sedangkan kelompok nasionalis Islami meyakini berdirinya Sarekat Islam

(SI) pada 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional Indonesia.

Berbeda dengan Boedi Oetomo yang ruang lingkup gerakan awalnya tidak

mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia, SI sejak awal Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cet. I, h. 8-9.

13 Saifuddin Anshari, M.A. h. 4.

Page 38: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxviii

berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia. Pada

tahun 1923 SI berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), kemudian pada

tahun 1927 dirubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Belanda (PSIHT),

dan akhirnya pada tahun 1930 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Menyusul gerakan ini, pada tahun 1932 di Sumatera didirikan Persatuan Muslimin

Indonesia (Permi) dan pada tahun 1938 berdiri juga Partai Islam Indonesia (PII) di

Jawa.14 Semua partai ini berdasarkan Islam.

Menurut M. Natsir yang menjadi tokoh kunci kaum nasionalis Islami, bagi

pergerakan-pergerakan Islam seperti PSII, Permi, dan PII, kemerdekaan tidak

sekedar kemerdekaan Indonesia, melainkan juga kemerdekaan kaum muslim di

seluruh Indonesia dan sekaligus kemerdekaan Islam. Bagi Natsir, cita-cita kaum

muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah untuk kemerdekaan

Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan

kesempurnaan kaum muslimin serta segenap ciptaan Allah.15

Bahkan dalam banyak kesempatan, Natsir menegaskan bahwa tanpa Islam,

maka nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Menurutnya, Islam pertama-tama

telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia dan telah menghapus

isolasionis pulau-pulau yang beragam. Sejalan dengan itu, ia juga menyatakan

bahwa orang Islam tidak akan berhenti berjuang hingga kemerdekaan diperoleh,

melainkan akan terus melanjutkan perjuangannya selama negara belum

didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.16

14 Saifuddin Anshari, M.A. h. 6. 15 Saifuddin Anshari, M.A. h.7-8.

Page 39: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xxxix

Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar

masalah watak nasionalisme dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk

mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun pada awal 1940-an, polemik di atas

berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu

menyentuh masalah yang lebih penting yakni mengenai hubungan politik antara

Islam dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak

ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Suekarno

dan Natsir.16

Dari tulisan-tulisan awalnya mengenai Islam di tahun 1940-an, dapat

diketahui bahwa Suekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Dengan

tegas ia menentang pandangan mengenai hubungan legal formal antara Islam dan

Negara, khususnya dalam sebuah negara yang semua penduduknya tidak

beragama Islam. Baginya, model negara semacam itu akan menimbulkan perasaan

diskriminatif terhadap kelompok minoritas non Islam di negara tersebut.17

Kontan saja gagasan pemisahan Islam dan negara mendapat respon keras

dari aktivis dan pemikir Islam, khususnya M. Natsir. Bertolak belakang dengan

sikap Soekarno, Natsir menjadi corong utama paham penyatuan Islam dan negara.

Seperti mayoritas umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Islam yang

holisitik dan hadir dalam setiap keadaan dan zaman. Natsir percaya,

16 Effendy, Islam dan Negara, h. 75. 17 Meski Soekarno beragama Islam, ia menganut faham substansialistik dengan keyakinan

bahwa, lewat perwakilan yang demokratis-karena posisinya sebagai umat yang mayoritas- Islam akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, otentisitas ‘negara Islam’ tidak pertama-pertama diditunjukkan oleh penerimaan legal formal Islam sebagai dasar ideologi dan konstitusi negara, melainkan melalui ‘api’ dan semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara. Soekarno menyatakan kembali argumen pemisahan Islam dan negara pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam badan itu, bersama kelompok nasionalis lainnya, ia terlibat dalam perdebatan resmi dengan kelompok Islam untuk menemukan kompromi mengenai rumusan ideologis dan pengaturan konstitusional Indonesia merdeka. Effendy, Islam dan Negara, h. 76-77.

Page 40: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xl

sesungguhnya Islam lebih dari satu sistem agama saja dan merupakan kebudayaan

yang lengkap. Baginya, Islam tidak sekedar memuat praktik-praktik ibadah,

melainkan juga mengandung prinsip-prisip umum yang relevan untuk mengatur

hubungan antara individu dan masyarakat bahkan negara.

Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara dua kelompok tersebut

dalam merumuskan dasar negara untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia,

dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad

Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus

Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah

kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Intinya, piagam ini

mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, bahwa sila

ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi kalimat “Percaya kepada Tuhan dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lahirnya

Piagam Jakarta ini dapat dipahami sebagai bentuk kompromi antar kedua kubu

yang berseberangan guna menyongsong kemerdekaan Indonesia meski sehari

setelah kemerdekaan diproklamirkan, teks dalam sila ketuhanan “Dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” terus diperdebatkan yang

mengarah pada kecenderungan untuk dihapuskan.18

Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, selama hampir lima tahun

Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan

Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah kepulauan

18 Dikisahkan seorang angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bawha orang-orang kristen yang berdomisili di wilayah timur Nusantara tidak akan bergabung dengan Indonesia jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta yaitu kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya tidak dihapuskan. Menanggapi hal itu, kelompok Islam bersepakat untuk mencabut kalimat sakral tersebut digantikan dengan kalimat “Ketuhan Yang Maha Esa”. Ada beberapa alasan mengapa tokoh Islam bersedia menghapus tujuh kata tersebut. Di antara alasan yang penting karena alasan situasi yang berlangsung menyusul diproklamirkannya kemerdekaan mengharuskan para pendiri bangsa ini untuk bersatu, khususnya untuk mengusir Belanda.

Page 41: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xli

Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis

Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar

hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan

perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada

masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh

tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru

merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa.

Akibat tidak adanya pertikaian, kedua kelompok ini mampu

mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok

nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada

Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia,

kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik

nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok

Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.

C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia

Berbicara tentang Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia,

penelusurannya tidak akan terlepas dari kiprah awal umat Islam dalam upaya

merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Saat itu, Islam sangat efektif dan

mampu mengkonsolidasikan kekuatan perlawanan di daerah-daerah menjadi

sebuah kekuatan nasional yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Setelah

merdeka, Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan politik yang tidak bisa

dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan dalam Majelis

Konstituante tentang perumusan dasar dan falsafah negara dimana kelompok

Page 42: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlii

Islam menjadi sorotan utama karena menuntut disahkannya kembali tujuh kata

dalam piagam Jakarta. Bahkan di masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi

sampai pada masa transisi demokrasi pun, Islam tetap dianggap sebagai kekuatan

politik yang cukup dominan yang memberikan aroma tersendiri dalam upaya

melakukan pembaharuan.

Sementara itu, adanya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis

dalam perpolitikan nasional, secara tidak sengaja menempatkan Islam sebagai

kekuatan politik tersendiri yang cukup signifikan di luar kekuatan politik lainnya.

Dalam sub ini, penulis tidak akan mengulas secara detail mengenai kekuatan

Islam sepanjang sejarah perjuangan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Melainkan

hanya sebatas memberikan cuplikan babakan sejarah tentang Islam yang cukup

memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia.

Dalam potret sejarah, bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade

pertama abad 20, memancing munculnya gerakan-gerakan masyarakat pribumi

untuk menentang penjajahan Belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, sebagai agama mayoritas

yang dianut penduduk Indonesia, Islam memainkan peran yang cukup signifikan.

Seperti yang telah ada, Islam berfungsi sebagai mata rantai yang mampu

menyatukan rasa persatuan nasional melawan penjajahan Belanda. Dalam fase ini,

Islam bukan saja menjelma sebagai kekuatan politik yang mampu mengikat tali

persatuan nasional, melainkan juga Islam tampil sebagai simbol persamaan nasib

keterjajahan dari agama lain (Belanda yang kristen). Menurut Natsir, tanpa Islam

nasionalisme Indonesia tidak akan pernah ada karena Islam pertama-tama telah

Page 43: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xliii

menanamkan benih persatuan Indonesia dan telah menghapuskan sikap-sikap

isolasionis pulau-pulau yang beragam.

Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, umat Islam menjadikan Sarekat

Islam (SI) sebagai satu-satunya perwujudan dan perjuangan politik umat Islam.

Bermula dari sebuah organisasi dagang Sarekat Dagang Indonesia (SDI),19 SI

berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional yang pertama di Indonesia.

Perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, melainkan juga

perubahan orientasi dari komersial ke politik. Salah seorang tokoh Muslim lulusan

Barat, Tjokroaminoto merupakan tokoh muslim petama yang menyatakan bahwa

Islam merupakan faktor pengikat simbol nasional menuju kemerdekaan yang

sempurna bagi rakyat Indonesia. SI mempunyai tujuan jangka panjang yaitu

Islamisasi bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih cita-cita jangka jauh ini, bagi

Tjokroaminoto kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak.20

Selama periode awal, SI dengan cepat mendapat respon positif dari

kalangan masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tempo, SI telah

berkembang dengan cepat. Salah satu ciri yang menonjol dari kemajuan SI bukan

saja agenda politiknya yang berskala nasional, melainkan juga disebabkan

kemampuan SI dalam menghimpun dukungan basis massa yang memutus

dikotomi pengelompokan-pengelompokan sosial di masyarakat yang lokalistik.

Dengan agenda politiknya yang berskala nasional itulah, SI mampu meraup

dukungan dari semua kelas dan struktur sosial baik yang berada di pedesaan

19 SDI didirikan pada 11 November 1911 oleh Saman Hudi, salah seorang pedagang Muslim kaya asal Sura Karta, Jawa Tengah. Semula SDI diarahkan untuk melawan dominasi perdagangan Cina dengan mengorbankan penduduk pribumi. Sisi lain perjuangan SDI itu adalah- meski tidak secara langsung- ditujukan kepada Belanda yang memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagandan dan Industri. Pada 1922 SDI berganti nama menjadi SI dengan pemimpin baru H.O.S Tjokroaminoto.

20 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, edisi revisi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006) cet. I, h. 80.

Page 44: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xliv

maupun di kota. Mulai dari pedagang Islam, kalangan priyai hingga petani

bergabung dalam gerakan politik nasional SI untuk merebut kemerdekaan

Indonesia. Dengan kata lain, SI merupakan pusat kebangkitan nasional Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Islam tetap saja menjadi

kekuatan politik yang cukup dominan bahkan sangat menonjol. Proklamasi

kemerdekaan pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada

berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai

politik sebagai sarana demokrasi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh

kelompok Islam. Maka pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres

umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama

Masyumi. Akan tetapi, Masyumi yang dideklarasikan pada November ini bukan

Masyumi buatan Jepang karena dibentuk oleh ummat Islam sendiri tanpa

intervensi dari pihak luar.

Sebagaimana telah diprediksikan semula, kehadiran Masyumi mendapat

sambutan hampir dari semua gerakan Islam nasional maupun lokal, yang

berhaluan politik maupun keagamaan. Banyak kalangan yang memprediksi, jika

pemilu dilaksanakan saat itu juga maka, bukan hal mustahil bagi Masyumi – yang

saat itu merupakan gabungan dari kelompok muslim modernis seperti

Muhammadiyah dan kelompok Islam tradisional seperti NU – akan keluar sebagai

pemenang dalam pemilu tersebut.

Menurut Natsir, Masyumi pada periode awal pembentukannya benar-benar

merupakan jumlah massa yang sangat konkret. Bila dihubungakan dengan setting

politik tahun 1945, bisa difahami bahwa pembentukan Masyumi dalam rangka

menyalurkan aspirasi politik uamt Islam sebagai cerminan dari potensi mereka

Page 45: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlv

sebagai penduduk yang mayoritas. Sementara jika dilihat dari sisi lain, Munculnya

Masyumi pada 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif ummat

terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tanggal 1 November 1945 yang

mendorong pembentukan partai-partai.

Setidaknya ada dua hal penting yang dihasilkan dalam kongres November

1945 tersebut. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi.

Kedua, selain Masyumi umat Islam tidak memiliki partai politik lain. Hasil

kongres ini mendapat respon yang baik dari kalangan ulama baik yang modernis

maupun yang tradisionalis, disamping juga dukungan dari pemimpin umat

nonulama jawa-madura.21

Salah satu kekuatan Masyumi terletak pada organisasinya yang federatif

yang di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan) dan anggota luar biasa

(kolektif) seperti NU dan Muhammadiyah. Karena wataknya yang federatif itulah,

Masyumi berhasil merangkul organisasi dan kelompok-kelompok muslim lainnya.

Namun, bentuknya yang federatif ini juga merupakan kekurangan Masyumi.

Dalam beberapa kesempatan, semangat lebih nononjolkan golongan mengalahkan

semangat persatuan dalam partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini begitu

dominan sehingga menyulitkan partai dalam melakukan konsolidasi. Kegagalan

dalam mempersatukan antar golongan tersebut ternyata telah menghadapkan

Masyumi pada persoalan-persoalan yang serius, yaitu perpecahan partai. Pada

1947 PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepada partai

yang independen disusul NU yang juga keluar dari Masyumi pada 1952 dan

mengubah dirinya dari gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Tentu

21 Syafii Maarif, Islam dan Pancasila, h.113.

Page 46: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlvi

saja peristiwa itu sangat mengguncang Masyumi terutama setelah NU keluar dari

Masyumi.

Meski di penghujung babak perjuangannya Masyumi melemah karena

konflik internal di kalangan pemimpinnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa

Masyumi merupakan salah satu kekuatan politik di Indonesia yang

merepresentasikan kepentingan politik umat Islam secara keseluruhan. Untuk

memberikan gambaran lebih jauh mengenai posisi politik Islam (Masyumi) pada

masa pascarevolusi, beberapa catatan historis berikut tampaknya sangat relevan

dikemukakan di sini.

Pertama, pada tahun 1950 partai partai politik di Indonesia mengalami

penyegaran setalah sekian lama mengalami kelesuan pada 1949. Dalam parlemen

yang baru dibentuk, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki

49 kursi dari 236 kursi. Kedua, dalam beberapa kesempatan Masyumi diminta

untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di

bawah sistem demokrasi konstitusional (1950-1957) tiga kabinet

kepemimpinannya dipercayakan kepada Masyumi; kabinet Natsir pada 1950-

1951, kabiner Sukiman pada 1951-1952, dan kabinet Burhanuddin Harahap pada

1955-1956. Selain itu, ketika PNI diberi mandat untuk membentuk pemerintahan,

Masyumi dan NU berperan sebagai pasangan koalisi utama. Yang terakhir, dalam

pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 golongan Islam yang terdiri dari

Masyumi, NU, PSII, dan Perti menguasai 114 suara dari 257 kursi.22

Memasuki rezim orde baru pada 1965, banyak pemimpin Islam yang

menaruh harapan besar terhadap rezim yang dipimpin Soeharto ini. Harapan itu

22 Effendy, Islam dan negara, h.94.

Page 47: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlvii

terpatri jelas dari para aktivis Islam karena selama masa demokrasi terpimpin

politik Islam benar-benar dipojokkan. Tidak hanya itu, harapan besar itu juga

didasarkan pada kenyataan keterlibtan aktivis politik Islam bersama militer,

kelompok keagamaan, pelajar, dan mahasiswa yang berhasil mengganyang PKI

dan meruntuhkan kekuasaan rezim orde lama. Meski Orde Baru membebaskan

para aktivis Islam dari tahanan, khusunya dari kalangan Masyumi, namun umat

Islam tidak bisa menaruh harapan besar terhadap rezim ini. Orde Baru

menerapkan sistem dan kebijakan kembali ke UUD 45 dengan tegas dan kosekuen

serta menindak tegas kelompok manapun tak terkecuali Islam, yang mencoba

melawan Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sayap politiknya,

kelompok Islam mulai merumuskan ulang srategi politiknya yang selama dua

dasawarwa awal kemerdekaan lebih mengedepankan aspek legal formal terutama

keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Mengacu pada perjuangan yang legal formal itulah, arus utama politik

Islam pada masa orde baru lebih bersifat substansialistik. Dengan kata lain, para

aktivis Islam mulai merubah strategi perjuangannya dengan mengedepankan

aspek nilai, makna dan isi, daripada bentuk dan simbol. Perubahan stategi ini

tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Melainkan kesadaran ini lahir dari

sebuah refleksi perjuangan dimana ekspresi politik Islam yang lebih

mengedepankan aspek legal formalistik sering menemui kendala-kendala yang

bersifat kultural maupun struktural. Bahkan, dalam beberapa periode awal

kemerdekaan politik Islam diperlakukan secara diskriminatif dan dimarjinalkan.

Akibat dari perubahan strategi perjuangan itu, setidaknya sepanjang akhir

tahun 1980-an hingga pertengagan 1990-an, negara membuat sejumlah kebijakan

Page 48: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlviii

yang menguntungkan kelompok Islam. Di antara kebijakan tersebut yaitu,

disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), disahkannya

Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), pembentukan ICMI, dibuatnya

Kompilasi Hukum Islam, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri

mengenai BAZIS, dan dihapuskannya SDSB merupakan contoh kebijakan lain

negara yang sangat menguntungkan politik Islam.26

Menurut Bahtiar, lahirnya ICMI pada Desember 1990, menunjukkan

bahwa situasi politik nasional tengah berpihak pada Islam. Pada masa itu, bulan

madu antara Islam dan negara dimulai. Kendatipun dalam waktu yang cukup lama

Islam menjadi sasaran kecurigaan negara, namun dengan bulan madu yang sedang

dirajut itu, lambat laun ketegangan antara Islam dan negara mulai terkikis. Sejak

saat itu, satu persatu kepentingan Islam mulai diakomodir oleh negara, baik yang

menyangkut hal-hal yang bersifat struktural maupun kultural.27

Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan lengsernya Sueharto, era

ini membawa perubahan yang cukup besar terhadap iklim politik di Indonesia.

Sueharto yang selama 32 tahun mengangkangi kebebasan berekspresi akhirnya

dipaksa meletakkan jabatannya oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kepeloporan

gerakan mahasiswa. Tentu saja, rontoknya rezim diktator ini membawa berkah

kebebasan dan euforia politik yang sangat luar biasa. Salah satu berkahnya yaitu,

terbukanya pintu liberalisasi dan relaksasi politik. Dengan demikian, rakyat

Indonesia merasa terbebas dari belenggu kultural maupun struktural yang selama

ini menyulitkan mereka melakukan adaptasi terhadap politik nasional serta

melakukan kontrol peneyelenggaraan negara.

26 Effendy, Teologi Baru Politik Islamh, h. 45. 27 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara

yang Tidak Mudah. (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2005) cet. I, h. 254.

Page 49: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xlix

Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang

tak terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah

dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang

tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah

itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari

mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan

partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap

kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih

mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan

masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik

setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi

kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka

dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim

dirinya sebagai partai Islam.

D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara

Pada sebagian besar babakan sejarahnya, relasi politik antara Islam dan

negara di Indonesia diwarnai dengan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama

lain. Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, hubungan antara Islam dan

negara di Indonesia sudah lama mengalami jalan buntu. Baik saat presiden

Suekarno maupun Sueharto berkuasa. Keduanya memandang partai-partai yang

berlandaskan Islam sebagai pesaing tangguh kekuasaan yang potensial dapat

merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan ini, sepanjang lebih

Page 50: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

l

dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan

menjinakkan kekuatan Islam dengan serangkaian kebijakan yang diskriminatif.

A. Zaman Orde lama

Sesuai dengan watak pemikirannya yang nasionalis, Soekarno sebagai

penguasa rezim Orde Lama (Orla) ingin memisahkan Islam dari negara. Menurut

Soekarno, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda yang harus

dipisahkan dari kehidupan politik bernegara. Islam harus berdiri sendiri dan

negara berada jauh bahkan sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Islam.

Meskipun konsep Soekarno ini mengharuskan pemisahan agama dari negara,

namun pada dasarnya ia tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan

negara. Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam bisa

berlaku jika seluruh masyarakatnya seratus persen beragama Islam dan secara

murni menjalankan ajaran-ajaran Islam. Dengan kondisi masyarakat yang tidak

seratus persen Islam, ia meyakini, gagasan penyatuan Islam dan negara pasti

ditolak penganut agama lain.

Pandangan pemisahan agama dan negara Soekarno itu diilhami oleh

pengalaman Mustafa kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekularisasinya.

Menurut Suekarno alasan Mustafa kamal memisahkan agama dari negara

disebabkan karena pada masa awal khalifah-khalifah Usmaniah di Turki, sudah

terdapat dualisme hukum. Yang pertama hukum Islam dan yang kedua hukum

yang difirmankan oleh sultan dan parlemen. Akibat dualisme hukum inilah, Turki

Page 51: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

li

mengalami kemunduran karena pengaruh syaikhul Islam yang sangat dominan,

sementara mereka berpandangan kolot yang cenderung menghambat kemajuan.28

Selain itu, di masa Orde Lama terjadi perdebatan-perdebatan yang sangat

sengit antara kubu Suekarno yang nasionalis dengan kubu M. Natsir yang agamis.

Kelompok Natsir berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam

bernegara. Negara dalam bentuk apapun harus menjalankan nilai-nilai agama.

Natsir berkali-kali menegaskan bahwa, Islam tidak megenal pemisahan agama

dengan negara. Sementara itu, kubu Soekarno berpendirian, demi kemajuan

negara agama harus terpisah dari negara. Dengan pemisahan itu, bukan saja

negara yang akan semakin maju melainkan juga agama pun akan menjadi lebih

maju dan merdeka. Lebih penting lagi, Soekarno beranggapan bahwa yang

dikatannnya itu tidak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan apa yang

difahami, baginya Islam memiliki hukum-hukum yang luwes yang selalu dapat

disesuaikan dengan zaman

Perdebatan yang dimulai sebelum pra-kemerdekaan itu memasuki babak

yang tidak menemukan pangkal penyelesaiannya. Setelah Indonesia merdeka,

kalagan agamis tetap mendesakkan supaya Islam dijadikan dasar negara. Yang

paling krusial, perdebatan dijadikannya Islam sebagai dasar negara dibuka

kembali dalam Majelis konstituante. Dalam sidang tersebut, umat Islam tetap

menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun sekali lagi, keinginan kalangan

agamis ini ditolak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ini,

sekali lagi kekuatan politik Islam dapat dijinakkan dalam perdebatan di

konstituante.

28 Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. (Jakarta: Penerbit PT Logos

Wacana Ilmu. 1999) cet. I, h. 140-141.

Page 52: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lii

B. Zaman Orde Baru

Di masa orde baru, hubungan Islam dan negara mengalami perubahan dan

perkembangan yang signifakan. Pada awalnya, pemerintah orde baru menaruh

kecurigaan terhadap kelompok Islam karena kemampuan Islam dalam

menggerakann massa yang dalam waktu singkat dapat melawan kekuasaan orde

baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orde baru lebih suka

memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan saja, ketimbang

sebagai ideologi politik. Inilah yang disebut Bahtiar Effendy sebagai penjinakan

idealisme dan aktivitas politik Islam .

Di antara kebijakan mencolok orde baru yang dapat menjinakkan kekuatan

politik Islam adalah penetapan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan Ormas.

Kebijakan orde baru ini menandai puncak atau selesainya program de-Islamisasi

politik pada masa orde baru. Pada saat itu, partai politik Islam seolah-olah sudah

tamat. Setidaknya, dengan kebijakan itu secara formal semua partai politik hanya

mempunyai asas tunggal tunggal pancasila dan tidak ada yang mempunyai asas

agama tertentu, termasuk Islam.

Kondisi penjinakan politik Islam seperti di atas, pada tahun 1990-an

berangsur berubah. Pada saat itu, sebagai bentuk kebijakan orde baru yang

berubah maka, dibentuklah ICMI, Bank Muamalat, Pelaksanaan Festival Istiqlal,

sistem pendidikan nasional, UU peradilan agama, dan lain sebagainya. Kondisi

inilah yang menurut banyak kalangan menunjukkan bahwa, umat Islam justeru

diakomodasi oleh negara saat tidak ada lagi partai politik Islam. Kondisi seperti

ini menurut Bahtiar Effendy sebagai masa bulan madu antara Islam dan negara.

Page 53: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

liii

Setidaknya ada tiga pola hubungan yang terjadi antara Islam dan orde baru

yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, di tahun 70-an hubungan Islam dan

orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Dalam kurun waktu

tersebut, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang,

bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai dengan kuatnya negara

yang secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di

kalangan masyarakat. Hubungan tidak akur ini dimuali ketika orde baru

mengandaskan harapan-harapan politik Islam agar politik Islam bisa bermain di

kancah nasional. Salah satu upaya orde baru untuk mengandaskan harapan politik

Islam yaitu dengan menolak merehabilitasi Masyumi dan hanya membebaskan

para aktivisnya yang pernah dipenjaran Soekarno. Di dalam fase ini juga, orde

baru hanya memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan

menentang politisasi agama.29

Kedua, hubungan Islam dan orde baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal,

yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal

balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Dalam periode yang

berlangsung antara 1980-an hingga periode 1990-an ini, mulai timbul kesadaran

pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa

dikesampingkan. Pada periode ini, orde baru mulai memandang Islam sebagai

yang mayoritas sebagai faktor dan modal yang tidak bisa diabaikan.

Sedangkan pola ketiga bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola

hubungan saling mengerti ini berlangsung antara awal hingga akhir 1990-an yang

ditandai dengan responsifnya pemerintah yang antara lain ditandai dengan

29 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien

Rais. (Jakarta:Penerbit Teraju, 2005) cet. I, h. 168-190

Page 54: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

liv

lahirnya sejumlah kebijakan yang akomdatif terhadap kelompok Islam. Bukti

akomodasi itu bisa dikategorkan dalam empat jenis yaitu akomodasi struktural,

akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.

Page 55: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lv

BAB IV

PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN

ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA

A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara

Selama hampir tiga dekade, (sejak 1940-an sampai akhir tahun 1960-an),

sebagaiman disinggung dalam bab III, ketegangan ideologis antara Islam dan

negara tak kunjung menemukan titik temu. Namun, memasuki gerbang tahun

1970-an mulai tumbuh benih-benih intelegensia muslim yang mempunyai

pandangan baru mengenai hubungan Islam dan negara. Jika generasi

kemerdekaan, terutama epos Mohamad Natsir dan Wahid Hasyim1—untuk

menyebut beberapa saja—lebih menempatkan negara adalah agama; agama

adalah negara (al-din wa al-daulah), maka generasi yang muncul kemudian,

menempatkan agama sebagai inspirasi atau nilai-nilai untuk mengatur negara,

tanpa harus menerapkan hukum agama dalam negara secara legalistik.

Para generasi baru ini, terutama yang lahir pada tahun-tahun 1930-an dan

1940-an, memberikan respon terhadap tantangan modernisasi dan rasa frustasi

politik Muslim dengan penuh energi dan kreativitas. Generasi ini, dalam

pembentukannya mengalami eksposur yang intens terhadap radikalisasi ideologis

(Islam), yang dikondisikan oleh adanya perdebatan-perdebatan politik dalam

medan nasional yang memicu konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan antara

1Pada pembahasan ini pemikir dan aktivis (politik) Islam generasi pertama atau generasi

awal merujuk pada generasi yang terlibat sengit dalam pembentukan ideologi negara (Indonesia), yaitu Mohamad Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman, Wahid Hasyim, dan lain sebagainya, yang mempunyai aspirasi menjadikan Islam sebagai ideologi negara.

Page 56: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lvi

Islam dan negara. Sebagaimana diakui Bahtiar, geneologi intelegensia generasi ini

diawali oleh “sistuasi” krisis. Situasi yang terkondisikan oleh adanya urgensi

untuk membangun sebuah blok historis yang sama-sama menguat: antara ideologi

kebangsaan dan Islamisme. Situasi yang tidak mengembirakan ini, demikian

Bahtiar, muncul terutama—meskipun tidak secara keseluruhan—karena hubungan

politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sinergi sosio-

kultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat.

Meski demikian, lahirnya para generasi baru ini memberikan secercah

harapan bagi penyelesaian ketegangan antara Islam dan negara dengan

menekankan keterpautan yang erat antara Islam dan negara, dan tetap

mempertahankan batas yang tepat antara keduanya, serta terhindar dari kehidupan

keagamaan (Islam) yang dikontrol negara. Kendati tidak menjadi faktor satu-

satunya yang menjadi katalisator keharmonisan hubungan Islam dan negara,

namun Bahtiar mengakui, bahwa gagasan-gagasan generasi baru intelegensia

Muslim ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendamaikan

hubungan Islam dan negara.

Oleh karena itu, pembahasan berikutnya akan spesifik pada pandangan-

pandangan inti Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Agar lebih

terstruktur, pembahasan akan mengikuti kronologi ide Bahtiar Effendy tentang

hubungan Islam dan negara dengan susunan berikut. Pertama, akan

mengeskplorasi lahirnya generasi baru intelegensia Muslim yang menurut Bahtiar

memberikan pengaruh besar terhadap pergeseran paradigma dalam memandang

hubungan Islam dan negara. Selain itu, karena ia tidak menjadi faktor satu-

Page 57: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lvii

satunya, maka ide tentang reformasi birokrasi dan gerakan transformasi sosial

juga akan disertakan.

Kedua, pembahasan akan masuk pada melemahnya kooptasi negara atas

peran politik kaum Muslim. Pada moment ini, kecenderungan negara yang lebih

akomodatif terhadap aspirasi politik Islam akan didedahkan dengan mengungkap

beberapa bukti. Ketiga, ingin melihat orisinilitas gagasan Bahtiar Effendy tentang

hubungan Islam dan negara. Pada pembahasan ini akan diurai arah baru hubungan

yang tepat antara Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar. Selain itu, perlu

ditambahkan, bahwa apakah ide tersebut bisa disebut ”baru” dalam spektrum

hubungan Islam dan negara pada umumnya; serta mampukah ia mempertahankan

hubungan tersebut secara ajek. Keempat, catatan kritis yang ingin melihat

beberapa ruang yang tidak diisi oleh Bahtiar mengenai hubungan Islam dan

negara, serta menguji kekuatan dan kelemahan gagasan-gagasannya.

1. Generasi Baru Intelegensia Muslim

Periode tahun 1980-an dan 1990-an, sebagaimana ditengarai oleh Yudi

Latif,2 merupakan masa “panen raya” bagi intelegensia Muslim Indonesia dari

berbagai gerakan. Hal itu dibuktikan bukan hanya karena jumlah intelegensia

Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai

tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka

yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari universitas-

universitas di Barat (khususnya Amerika Serikat), juga lebih besar dibandingkan

dengan periode manapun dalam sejarah Indonesia.

2Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia

Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 580.

Page 58: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lviii

Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama, yang

didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukan oleh Biro Pusat

Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976 sampai 1995, kelompok penduduk

Muslim mengalami peningkatan pendidikan secara ajek, terutama setalah akhir

1980-an.3 Akses terhadap pendidikan Barat ini, pada gilirannya, memberikan

kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma hubungan Islam dan negara

karena ide-ide mereka lebih inklusif.

Selain akses terhadap pendidikan Barat, transformasi ide-ide pemikir Barat

tentang tema-tema pembaharuan, khususnya hubungan Islam dan negara, bagi

mahasiswa Islam di Indonesia juga cukup memberi pencerahan. Bahtiar

menengarai, pertukaran ide yang begitu intens dengan beberapa pemikir sekular

Barat,4 membuat generasi intelegensia Muslim ini mendiagnosa bahwa

permusuhan akut antara Islam dan negara berkaitan erat dengan dimensi-dimensi

teologi atau filosofis filsafat politik Islam. Landasan-landasan teologis atau

filosofis tersebut, membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan praktik para

politisi Muslim generasi awal.

Aktivis dan pemikir Muslim pertama ini memahami Islam secara

komprehensif (tetapi literal) yang menganggap Islam sebagai agama yang

sempurna; mengurusi segala urusan di dunia, termasuk masalah-masalah kecil

(seperti makan dan minum), apalagi masalah besar, seperti masalah kenegaraan.

3Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 580. 4Beberapa buku yang cukup berpengaruh di kalangan generasi intelgensia Muslim baru

ini adalah karangan seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama, Harvey Cox. Judul bukunya adalah: “The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. Selain itu, buku berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Socialist Democratic Party. Buku ini merupakan buku pedoman ideologi Partai Demokrat Sosial di Jerman Barat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 139; Djohan Effendi & Ismet Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 162.

Page 59: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lix

Pandangan yang demikian, berimplikasi pada aspirasi mereka yang berpretensi

untuk mengatur negara menurut Islam, menerapkan hukum agama (Islam) dalam

negara secara formal dan legal, dan tidak memberi kebebasan kepada warga

negara untuk berkeyakinan sesuai agama (madzhab) yang dianutnya.

Dengan demikian, menurut Bahtiar, intelgensia Muslim baru ini melihat

bahwa komunitas politik Islam sebelumnya mengalami kesulitan besar dalam

mencari titik temu pandangan teologis-filosofis mereka dengan realitas politik

Nusantara. Berbagai epos sejarah sebelumnya menunjukkan bahwa ikhtiar

membangun sebuah hubungan yang kaku, formalistik dan legalistik, antara Islam

dan negara berujung pada kegagalan; mengalami pertengkaran yang akut; bahkan

pada level tertentu menjurus pada kekerasan. Kegagalan ini, demikian Bahtiar,

disadari betul oleh intelegensia Muslim berikutnya dengan mempertanyakan

seluruh rumusan dasar perjuangan politik Islam generasi Natsir: baik menyangkut

ketepatan strategi, efektifitas taktik, dan cita-cita politik Islam.

Tokoh-tokoh terkemuka dari generasi baru intelegensia Muslim, seperti

Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Nurcholish Madjid

keberatan dengan gagasan pemikir dan aktivis Islam sebelumnya yang ingin

menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi atau pemikiran: bahwa negara

merupakan perpanjangan (atau bagian integral) dari Islam. Dikatakan, ”Meskipun

Islam, sebagai agama, mempunyai ajaran-ajaran sosial-politik, ia bukanlah sebuah

ideologi. Ideolog Islam itu tidak ada.”5 Pernyataan salah satu eksponen generasi

intelegensia Muslim baru ini, yaitu Dawam Rahardjo, membuktikan bahwa

mereka betul-betul mempunyai perspektif baru dalam melihat hubungan Islam,

5Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi,

(Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 12-13.

Page 60: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lx

dan sama sekali tidak berpretensi unuk menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi

apapun.

Bahtiar Effendy mencatat, bahwa semua eksponen dari intelegensia

Muslim baru ini mempunyai pemahaman kurang lebih sama dengan Dawam.

Djohan Effendy dan Ahmad Wahib misalnya, ia menegaskan bahwa Nabi

Muhammad tidak pernah memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam.6

Dengan gagasan ini, Djohan dan Wahib sepertinya berikhtiar dengan gigih

melakukan terobosan-terobosan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka

(inklusif) menyangkut hubungan Islam dan negara. Keterbukaan mereka

setidaknya bisa mempertemukan antara Islam dan negara yang sebelumnya

bermusuhan. Lebih dari itu, dengan pemahaman yang demikian, mereka lebih

berpretensi menempatkan seluruh warga negara pada status yang sama, baik

dalam haknya maupun dalam kewajibannya.

Sebagai intelegensia Muslim baru yang bernaung di bawah organisasi

HMI Yogyakarta, Dawam, Djohan, dan Wahib—tanpa menafikan yang lain—

menyerukan perlunya penyegaran pemahaman terhadap Islam. Perlu diakui, pada

tahun 1970-an, bahwa di tubuh HMI tumbuh subur ide-ide pembaharuan yang

dimotori oleh para aktivis-aktivis di atas. Selain di HMI, punggawa-punggawa di

atas adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah

asuhan Mukti Ali. Menurut Bahtiar, melalui diskusi-diskusi yang intens, baik

dalam lingkungan HMI ataupun di Limited Group, mereka melakukan terobosan

penting dalam penyegaran pemahaman keagamaan sehingga sampai pada poin-

poin berikut.7

6Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 13. 7Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.

Page 61: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxi

Pertama, generasi intelegensia Muslim baru ini berpandangan bahwa tidak

ada bukti yang valid bahwa al-Qur’an dan Sunnah meniscayakan kaum Muslim

untuk mendirikan negara Islam. Sejarah politik Nabi Muhammad bagi mereka

tidak memberi eksemplar tentang proklamasi negara Islam. Dengan demikian,

para punggawa tersebut tidak sependapat dengan agenda politik para pemimpin

dan aktivis Islam generasi awal yang berpretensi untuk menjadikan Islam sebagai

dasar negara, dan ingin menerapkan hukum Islam secara legal formal.

Kedua, eksponen intelegensia Muslim baru ini mengakui bahwa Islam

memiliki nilai-nilai etis atau prinsip-prinsip sosial-politik. Namun demikian,

mereka tidak beranggapan bahwa Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam,

demikian kata mereka, tidak ada. Lebih dari itu, mereka berkesimpulan bahwa

menjadikan Islam sebagai ideologi berujung pada reduksionisme Islam.

Ketiga,Islam itu bersifat permanen dan universal sehingga tafsir

terhadapnya tak dapat dibatasi hanya pada aspek formal dan legal. Sebaliknya,

tafsir terhadap ajaran Islam harus didasarakan pada pemahaman yang paripurna

atas teks dan semangan al-Qur’an dan Sunnah.

Keempat, mereka mempercayai hanya Allah yang memiliki kebenaran

mutlak. Karenanya pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat terbatas dan

relatif. Karena doktrin Islam itu multitafsir dan Islam sendiri tidak mengenal

struktur kependetaan dalam beragama, maka tak ada seorangpun yang berhak

mengklaim bahwa pemahamannya mengenai Islam lebih benar daripada

pemahaman orang lain.

Dalam kacamata Bahtiar, ide-ide di atas merupakan torobosan baru bagi

perkembangan format politik Islam. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa generasi

Page 62: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxii

intelegensia Muslim baru ini menganjurkan perlunya perumusan agenda politik

Islam secara baru, yang lebih berorientasi pada isi ketimbang simbol. Oleh karena

itu, mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima

Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dengan kata lain, mereka meneguhkan

bahwa keterikatan komunitas Muslim haruslah pada nilai-nilai Islam, daripada ke

lembaga sosial-politik, kendati memakai simbol-sismbol Islam.8

Klimaks dari terobosan intelegensia Muslim baru ini, menurut Bahtiar,

terletak pada gagasan mendiang Nurcholish Madjid—sapaan akrabnya Cak Nur—

yang dituangkan dalam sebua paper berjudul, ”Keharusan Pembaruan Pemikian

dan Masalah Integrasi Umat,” yang disampaikan pada awal tahun 1970-an.

Analisanya yang tajam dan mengena pada kondisi umat Islam yang sedang

mandeg, ia menawarkan sebuah pembaharuan bagi umat Islam, karena komunitas

Muslim kehilangan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Poin

penting dari analisis-analisisnya dalam paper tersebut, menyangkut hubungan

Islam dan negara adalah jargon ”Islam Yes, Partai Islam, No”, serta keharusan

”sekularisasi.”

Bahtiar menempatkan gagasan Cak Nur, tentang ”Islam Yes, Partai Islam,

No,” sebagai ikhtiar untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen

mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada partai-partai Islam, kendati

menggunakan simbol Islam. Sementara terminologi kontroversial Cak Nur,

mengenai ”sekularisasi,” lebih ditujukn untuk menempatakan sesuatu secara

proporsional. Karena ia menganggap bahwa para penanggap dan pengkritiknya

8Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.

Page 63: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxiii

ahistoris dalam menafsirkan terhadap ide yang digagasanya, berulangkali

Nurcholish Madjid membedakan sekularisasi dengan sekularisme.

Menurutnya, sekularisasi tidak dimaksudkan untuk menerapkan

sekularisme, karena “Secularism is the name for an ideology, a new closed word

view which funtion very much like a new religion” (sekularisme adalah nama

untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya

sangat mirip dengan sebuah agama baru).9

Para pengkritiknya menganggap bahwa sekularisasi tanpa sekularisme

adalah mustahil. Sekularisasi tidak lain adalah penerapan sekularisme. Kritik itu

kemudian disambut oleh Cak Nur dengan menjelaskan secara lebih detail dan

hati-hati terhadap istilah yang menjadi polemik itu. Cak Nur tetap konsisten pada

pendiriannya bahwa sekularisasi bukanlah bertujuan untuk menerapkan

sekularisme. Ia mencoba menempatkan istilah sekularisasi secara tepat melalui

analogi istilah: sekularisasi dan “sosialisasi.” Menurutnya, istilah sosialisasi yang

dalam bahasa Inggrisnya socialised medicine (pengobatan yang

disosialisasikan),10 belum tentu merupakan penerapan sosialisme. Di negara-

negara kapatalis justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali.

Demikian juga dengan istilah sekularisasi, belum tentu merupakan penerapan

sekularisme. Dengan menganalogikan istilah sekularisasi dan sosialisasi seperti di

atas Cak Nur berharap agar para pengkritiknya bisa membedakan apa yang

dimaksud dengan sekularisasi dan sekularisme.

Lebih jauh, Cak Nur mengakui bahwa sekularisasi bisa saja dimengerti

sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling

9Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 207.

10Madjid, Islam Kemodernan, h. 221.

Page 64: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxiv

ekstrimnya adalah pemisahan secara total agama dari negara. Namun, pengertian

seperti ini bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa dijadikan rujukan.

Pengertian lain dari sekularisasi yang bisa dijadikan rujukan adalah yang bersifat

sosiologis, bukan filosofis. Misalnya Talcot Parson dan Robert N. Bellah, yang

menegaskan bahwa sekularisasi, dalam pengertian sosiologis, adalah pembebasan

masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan

tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai

kemasyarakatan. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu semata-mata

terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk

orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.11 Sekularisasi dalam pengertian ini,

berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat pada penurunan nilai

pranata-pranata sosial (baik kesukuan, kekeluargaan dan, lainnya) dan menjadikan

pusat kesucian hanya kepada Tuhan.

Dengan demikian, kata sekularisasi dalam pengertian sosiologis

mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak

pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna “desakralisasi,” yaitu

pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu

dan tidak sakral. Namun, kendati pengertian sosiologis sekularisasi itu relatif

banyak digunakan oleh para ilmuan sosial, harus diakui bahwa masih tetap ada

kontroversi di sekitar istilah itu. Sebagaimana diakui Cak Nur, hal itu terjadi

karena sekularisme sendiri lahir pada zaman Pencerahan Eropa yang mempunyai

semangat anti-agama. Sehingga cukup sulit untuk menentukan kapan proses

11Madjid, Islam Kemodernan, h. 258.

Page 65: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxv

sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi

penerapan sekularisme secara filosofis.12

Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun

Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar,

juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang ”kurang lebih

sama.” Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi (substance) daripada

bentuk (form) dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara.

Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar, tidak harus mengartikulasikan

aspirasi politiknya secara formalistik-legalistik, namun harus berkomitmen kepada

nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik.

2. Keterlibatan Dalam Birokrasi

Selain munculnya generasi baru intelegensia Muslim yang memberi

pengaruh besar terhadap paradigma baru hubungan Islam dan negara, Bahtiar

mengakui bahwa reformasi birokrasi menjadi salah satu pilar yang meneguhkan

pergeseran pandangan tentang hubungan Islam dan negara. Arus besar gerakan

ini, demikian Bahtiar, meyakini bahwa ketegangan hubungan Islam dan negara

akan menghilang jika para pemikir dan aktivis Muslim melibatkan diri dan

berpartisipasi dalam proses kehidupan birokrasi negara. Islam tidak seharusnya

diposisikan vis-a-vis dalam kaitannya dengan negara; serta tidak perlu

menempatkan Islam sebagai entitas yang bertentangan dengan Pancasila.13

Menurut penganut aliran ini, hubungan antara Islam dan negara bersifat

komplementer, yaitu dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Islam. Dengan

12Madjid, Islam Kemodernan, h. 207. 13Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 21.

Page 66: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxvi

demikian, dilihat dari perspektif keagamaan tidak ada keharusan bagi komunitas

Islam untuk mempermasalahkan bangunan negara Indonesia yang berdasarkan

Pancasila. Selain itu, Bahtiar mengemukakan bahwa mereka yang menganut

gerakan ini beranggapan, sepanjang sejarah politik Islam modern, para pemimpin

dan aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan sebuah tradisi

pemerintahan yang kuat. Ketika tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Muslim

diberi kesempatan untuk mendudukan jabatan birokrasi dalam pemerintahan,

komunitas Islam politik tidak mempunyai peran yang dominan dalam mengemban

jabatan-jabatan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa aktivis politik Islam

tidak hanya marjinal dalam negara, tetapi juga tidak-dekat dengan negara.

Hal penting lain, menurut Bahtiar, aktivis gerakan ini mempercayai bahwa

pendekatan seperti ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik

komunitas Muslim, yang sering diperlakukan sebagai kaum marjinal dalam

panggung politik di Indonesia. Di samping itu, strategi ini dipandang penting

untuk menghidupkan kembali perhatian komunitas politik Islam terhadap

masalah-masalah kenegaraan.

Sang pemula dari gerakan ini adalah Dahlan Ranuwihardja, mantan ketua

umum HMI dan GPII tahun 1960-an. Ia berpendapat, demikian menurut Bahtiar,

dalam bingkai negara yang berasap pada Pancasila, terdapat banyak peluang dan

ruang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu,

komunitas politik Muslim tidak mempunyai alasan yang kokoh untuk menolak

negara Indonesia yang berdasarkan Pancasilah. Bahkan, ketika masalah “negara

Page 67: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxvii

Islam” versus “ negara nasional” mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur

berpikir ini mendukung “negara nasional”.14

Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini

diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar

Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan

oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil

Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Sya’dillah

Mursyid, Mar’ie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para

eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena

memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun

mereka memberikan kontribusi besar pada proses “Islamisasi birokrasi.”15

3. Gerakan Transformasi Sosial

Gerakan transformasi sosial memang tidak secara spesifik memberikan

perhatian pada hubungan Islam dan negara. Seperti diakui Bahtiar, gerakan ini

adalah salah satu gerakan yang paling sulit dideskripsikan karena lebih

memberikan prioritas pada penguatan masyarakat sipil (civil society) vis-a-vis

negara. Namun demikian, Bahtiar melihat kaitan ide-ide madzhab transormasi

sosial ini dalam ikhtiarnya untuk menciptakan hubungan yang sinergis dan

integratif antara Islam dan negara terletak pada beberapa poin berikut.16

Pertama, madzhab gerakan transformasi sosial ini memberikan perhatian

secara spesifik pada berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan

emansipatif. Bagi Bahtiar, agenda yang demikian hendak menempatkan

14Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 23. 15Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 24. 16Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 25.

Page 68: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxviii

pendekatan yang lebih integratif atau tidak partisan sifatnya. Mereka menyadari

bahwa untuk mewujudkan ide-ide transformatifnya diperlukan serangkaian

strategi dan garapan yang lebih diversifikatif. Strategi dan langkah-langkah yang

diambil oleh madzhab ini biasanya berujung pada penguatan civil society dengan

membangun lembaga-lembaga sipil, seperti LSM, lembaga riset, ormas-ormas,

dan lain sebagainya.

Kedua, penganut alur berfikir ini beranggapan, dan memang begitu

kenyataannya, bahwa rezim Orde Baru telah membuat negara sedemikian kuat,

dan bahkan cenderung otoriter. Karena demikian, negara berfungsi sebagai

institusi yang paling dominan dalam pembangunan sosial dan politik masyarakat.

Menyadari kondisi dan situasi ini, penganut gerakan transformasi sosial megambil

langkah uutama ntuk bekerjasama dengan berbagai lembaga/aktor, atau institusi

demi terwujudnya masyarakat yang transformatif, kuat, mandiri, dan tidak

mempunyai ketergantungan pada negara.

Oleh karena itu, Bahtiar berkesimpulan, bahwa melalui strategi yang

demikian, gerakan transformasi sosial ini, mendorong komunitas Muslim untuk

memaknai politik secara lebih luas, tidak hanya terjebak pada satu panggung

perjuangan politik yaitu melalui parlemen. Dengan kata lain, perjuangan politik

kaum Muslim bisa seluas ranah kemasyarakatan dan kenegaraan pada umumnya.

Selain itu, komunitas politik umat Islam juga diajak untuk merumuskan hubungan

yang secara esensial lebih penting antara kekuatan politik Islam dengan negara

serta lembaga-lembaga yang ada, utamanya dengan institusi yang mempunyai

Page 69: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxix

aspirasi sama. Pada tahap berikutnya, madzhab ini juga mengajak umat Islam

untuk merumuskan kembali tujuan politik Islam yang lebih terbuka.17

Dalam tilikan Bahtiar, eksponen utama dari gerakan transformasi sosial ini

adalah Sudjoko Prasojo dan Dawam Raharjdo. Meski Dawam Rahardjo juga

termasuk pada generasi intelegensia Muslim baru yang punya perhatian terhadap

pembaruan dan penyegaran pemahaman keislaman, namun ia juga masuk dalam

katagori ini. Sudjoko Prasojo menggunakan—salah satunya—Perguruan Tinggi

Dakwah Islam (PTDI) sebagai institusi untuk menerjemahkan gagasan-

gagasannya; sementara Dawam Rahardjo berjuang di atas lembaga bernama

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eekonomi dan Sosial (LP3ES).

Dalam perkembangan berikutnya, gerakan ini deteruskan oleh Adi sasono

dengan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) sebagai medan utamnya.18 Ia

menggawangi lembaga ini dengan merumuskan gerakan transformasi sosialnya

melalui berbagai studi kebijakan, seperti sosial, ekonomi, dan politik untuk

membela kaum tertindas dan mengkampanyekan kesetaraan, keadilan sosial

ekonomi, dan demokratisasi politik.

Untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa tiga aras utama gerakan di atas

sangat berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh aktivis dan pemikir Muslim

generasi awal. Jika eksponen generasi awal lebih menekankan pada keterpautan

Islam dan negara secara kaku—karena pengaruh pemahaman keagamaan

mereka—maka generasi setelahnya lebih terbuka dengan medan perjuangan yang

mereka pilih sendiri.

17Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 26. 18Effendy, Islam dan Negara, h. 169-170.

Page 70: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxx

Oleh karena itu, jika diringkas, sebagaimana sering diungkapkan oleh

Bahtiar dalam beberapa tulisannya, paradima hubungan Islam dan negara telah

bergesar: pada awalnya menekankan legal-formal menuju komitmen pada

substansi dan nilai-nilia. Dan, berkat gerakan ini pula, negara kemudian

memperlunak cengkramannya terhadap komunitas politik umat Islam.

B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam

Pengaruh gagasan baru intelegensia Muslim dengan tiga arus utama

artikulasinya dalam memperbaiki hubungan Islam dan negara memberi kontribusi

besar terhadap peran negara untuk menurunkan tensinya mendesak peran politik

Islam ke pinggiran. Selain itu, ketegangan internal rezim Orde Baru, khususnya

Soeharto dengan militer juga turut memberi keuntungan tersendiri bagi komunitas

politik Islam. Ketidakpuasan militer terhadap Soeharto, membuat Soeharto

menoleh pada komunitas politik kaum Muslim untuk dijadikan patner dalam

menjalankan proses-proses kenegaraan dan kebangsaan.

Seperti yang diamati oleh Yudi Latif, “Sikap-sikap bersahabat yang

ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi (ortodoksi)

negara mendorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasi Muslim

dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.”19 Proposisi Yudi Latif di

atas menggambarkan pergeseran paradigma komunitas Muslim dalam melihat

hubungan Islam dan negara yang semakin nyata.

Hal ini yang menyebabkan negara punya ”iktikad baik” untuk

mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum Muslim. Kebijakan ”iktikad baik”

19Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 576.

Page 71: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxi

yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga

tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun

kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi

pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya

beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat

Islam.

Implikasinya, arus ”urbanisasi” komunitas Muslim untuk melebur ke

dalam negara meledak. Ledakan terbesar arus ”urbanisasi” komunitas Muslim dari

pinggiran ke panggung ”kekuasaan,” baik dalam birokrasi maupun dalam partai

(Golkar), terjadi di pertengahan tahun 1980-an (utamanya, tahun 1983-1988).

Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih

akomodatif terhadap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas

politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu ”tindakan sejarah” (historical

action) dan menemukan kembali sejarah (historical self-invention) mereka yang

telah terputus (ruptures)—untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan

langgam yang berbeda.

1. Panggung Politik Umat Islam

Setelah hampir empat dekade umat Islam kehilangan medan aktualisasi

dirinya untuk bisa bersuara melawan proses marginalisasi politik dan ekonomi,

memasuki penghujung tahun 1970-an kalangan Muslim mulai menemukan

kembali ranah perjuangannya dalam menyuarakan kepentingan mereka. Seperti

dikatakan oleh Bahtiar Effendy: “Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi

bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih

akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya

Page 72: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxii

wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap

positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu

berspektrum luas, ada yang bersifat (1) struktural, (2) legislatif, (3) infrastruktural,

dan (4) kultural.”20

Dalam matra yang pertama, Bahtiar berpandangan bahwa negara semakin

membuka ruang kepada aktivis-aktivis Islam untuk terlibat dalam proses

kenegaraan, baik melalui jalur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka ini

ditampung baik di birokrasi pemerintahan, maupun dalam partai Golkar. Bahkan,

seiring dengan kian membaiknya hubungan antara komunitas Muslim dengan

pemerintah, komposisi Kabinet Pembangunan Kelima Presiden Soeharto (1988-

1993) mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum

pernah terjadi sebelumnya. Sikap akomodatif pemerintah terhadap intelektual

Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish

Madjid, dan beberapa tokoh terkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR

dari utusan golongan di bawah bendera Golkar.21 Klimaks dari ini semua, menurut

Bahtiar, adalah keterbukaan pemerintah dalam mendukung pembentukan Ikatan

Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990.

Pada matra yang kedua, Bahtiar menengarai, sikap akomodasi negara

terhadap komunitas Islam ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah undang-

undang yang memihak pada kepentingan komunitas Muslim. Misalnya,

disahkannya Undang-Unang Pendidikan Nasional (UUPN) pada 1989;

disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989; kompilasi

20Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 21Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 577-578.

Page 73: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxiii

hukum Islam pada 1991; kebijakan baru tentang jilbab pada 1991; SKB tentang

BAZIS pada 1991; dan kebijakan SDSB pada 1993.22

Matra yang ketiga, menurut Bahtiar berhubungan dengan semakin

tersedianya berbagai infrastruktur yang diperlukan oleh komunitas Muslim untuk

menjalankan kewajiban kegamaannya. Melalui Yayasan Amal Bakti Muslim

Pancasila, Soeharto membangun ratusan masjid dan—atas permintaan Majelis

Ulama Indonesia (MUI)—memotori pengiriman para juru dakwah ke daerah-

daerah terpencil. Yang paling fenomenal adalah kesediaan negara membantu

mendirikan sebuah bank yang beroperasi menurut tuntunan ajaran Islam, yaitu

Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991.23

Matra yang keempat, demikian Bahtiar, menyangkut akomodasi kultural

negara terhadap Islam. Hal ini ditunjukkan dari iktikad baik negara untuk tidak

melarang idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan bahasa pranata ideologis

komunitas Muslim, baik dalam organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan,

maupun politik kenegaraan. Menurut Bahtiar, hal ini merupakan bentuk

akomodasi negara secara kultural yang paling dini dibanding yang lain.24

Dalam konteks ini, kemudian Bahtiar Effendy melakukan abstraksi dari

hasil-hasil studinya yang panjang untuk memberikan temuan baru menyangkut

hubungan Islam dan negara. Selain itu, ia mencoba merumuskan dan meramalkan

apakah perkembangan hubungan Islam dan negara yang semakin adekuat itu bisa

bertahan lama (bergerak maju) atau sebaliknya (bergerak surut).

C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara

22Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 23Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 36. 24Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35.

Page 74: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxiv

Sebagaimana seorang pemikir terkemuka, setelah mendiskripsikan

berbagai perkembangan politik Islam kaitannya dengan negara, Bahtiar Effendy

mencoba memecah kebuntuan akut dengan memberi arah baru hubungan antara

Islam dan negara yang ideal. Menurutnya, dalam dua puluh tahun terakhir,

perkembangan hubungan Islam dan negara semakin ditemukan titik-temunya,

terutama, berkat lahirnya generasi intelgensia Muslim baru dengan berbagai

agenda dan cita-cita politiknya yang lebih mengedepankan nilai-nilai daripada

simbol-simbol.

Dalam perkembangannya, gerakan dan formulasi baru tersebut

berimplikasi pada pencarian yang memungkinkan antara Islam dengan sistem

yang dianut negara-bangsa modern pada umumnya, yaitu demokrasi. Dalam

tilikan Bahtiar, Islam dan demokrasi bisa dipertemukan melalui prasarat-prasarat

tertentu, dan negara-negara Muslim, khususnya di Indonesia, tidak terlalu sulit

untuk menerima demokrasi dengan prasarat-prasarat tertentu pula. Oleh karena

itu, dengan adanya penerimaan terhadap demokrasi—karena keduanya memang

bisa dipertemukan—akan berimplikasi pada hubungan Islam dan negara yang

lebih ”integratif.”

1. Penerimaan terhadap Demokrasi

Bahtiar mengakui, bahwa bergulirnya demokrasi yang dianut dalam sistem

negara-bangsa dunia Islam, termasuk di Indonesia, tidak serta merta diterima

begitu saja. Ia selalu melalui pergulatan panjang karena demokrasi hadir secara

tidak ramah; ia berbarengan dengan serbuan kolonialisme yang notabene rekayasa

kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan

Page 75: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxv

terpenting Bumiputra. Dalam konteks ini, demokrasi sedari awalnya telah saling

berhadapan dengan Islamisasi.

Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun

panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen

perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari

pelbagai latar geografis, bahasa, budaya, dan sejarah. Sejarah pra-kolonial

Indonesia, sebagaimana banyak dikatakan para ahli, tidak memiliki pengalaman

persatuan nasional. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling

efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen

kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam.

Basis afirmasi dari nasionalisme relegius seperti itu adalah bahwa

perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak

terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen

Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam

tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal

perjuangan kebangsaan Indonesia, dan menjadi agen utama yang memproduksi

“bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan

kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya

untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik (political sphere).

Dampak dari semua itu, adalah terseretnya sebagian komunitas politik

Muslim Nusantara untuk memposisikan diri berlawanan dengan demokrasi yang

diwariskan oleh kolonial Belanda. Posisi yang demikian, kemudian dianggap

menjadi salah satu—jika tidak semuanya—penyebab bahwa Islam seakan-akan

tidak ditemukan unsur-unsur kesamaannya dengan demokrasi. Hal itu bisa

Page 76: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxvi

dibuktikan, misalnya, dari karya-karya para ahli yang membahas tentang

demokrasi, sedikit sekali—jika tidak ingin dikatakan tidak ada—yang

memasukkan dunia Islam sebagai tema bahasannya.

Menurut Bahtiar, hasrat untuk meminggirkan sebagian besar dunia Islam,

dan seluruh negara Arab, dari survei demokrasi ini berpijak di atas argumentasi

bahwa negara-negara ini secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman yang

memadai tentang demokrasi, dan lebih dari itu, menurut mereka, dunia Islam tidak

mempunyai prospek untuk melakukan proses transisi menuju demokrasi, atau

paling minimal transisi ke semi-demokrasi. Bahkan, pemikir seperti Huntington

dan Fukuyama, demikian Bahtiar, sampai pada kesimpulan yang agak gegabah:

bahwa Islam secara inherent tidaklah sesuai dengan demokrasi dan malah menjadi

ancaman besar terhadap kegiatan-kigiatan demokrasi (liberal).25

Persepsi yang demikian, bagi Bahtiar, terbentuk karena adanya pandangan

yang tunggal terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada

kegiatan sementara aktivis Muslim militan dan radikal, khususnya yang

berkecambah di Timur Tengah. Fatalnya, istilah seperti Islam militan, radikal

Islam, Islam extrimis, dan sejenisnya digunakan secara serampangan, dan

dianggap mencakup seluruh pemimpin, negara, dan organisasi yang berada di

dunia Islam.26 Anggapan sebagian besar pengamat Barat tentang Islam yang

bersifat tunggal itu, berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifat

dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an

25Bahtiar Effendy, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,”

dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h, 155-172.

26Akbar S. Ahmed, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, (Bandung: Mizan, 1997), h.

Page 77: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxvii

dan Sunnah) ataupun historis (sebagaiamana tergambarkan dalam pengalaman

kesejarahan komunitas Muslim).

Bahtiar melihat, bahwa kesalahan para pengamat Barat terletak pada

ketidakmampuan mereka untuk memahami Islam sebagai agama yang multitafsir.

Bahwa dalam mozaik gerakan Islam, tidak hanya semata-mata gerakan Islam

fundamentalis—yang ingin menerapkan hukum agama dalam negara—yang

tumbuh, tetapi juga gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan nilai-nilai dan

substansi juga mulai berkecambah di hampir deretan dunia-dunia Islam. Oleh

karena itu, seharusnya para pengamat Barat jangan menerapkan standar ganda

dengan mengekspos secara besar-besaran, misalnya fundamentalime Islam, tetapi

mereka juga harus menoleh terhadap gerakan-gerakan Islam yang relatif “liberal.”

Dalam konteks Indonesia, seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu,

terdapat dua mainstream dalam melihat Islam dan demokrasi. Mainstream

pertama, khususnya generasi Natsir, menurut Bahtiar, sesungguhnya melihat

kesesuaian Islam dan demokrasi. Namun, pola tafsir yang dikembangkan oleh

Natsir ambigu, dan mengatasi pemikirannya tentang demokrasi, sehingga

berpretensi mengharuskan pemeluknya untuk mengkaitkan Islam secara legalistik

dan formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek

politik kenegaraan. Ia melihat bahwa esensi dari doktrin Islam adalah bahwa

setiap pemeluknya harus mendasarkan diri dengan nilai-nilai Islam sehingga

berimplikasi pada sebuah pemahaman bahwa seluruh kebijakan yang dirumuskan

tidak boleh bertentangan dengan Islam.27

27Effendy, “Demokrasi dan Agama,” h. 155-172.

Page 78: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxviii

Pandangan yang demikian, mengganggu berkembangnya sebuah sistem

politik yang pluralistik, khususnya di sebuah negara di mana konstruk sosial dan

keagamaannya sangat beragam. Lebih dari itu, Bahtiar meyakini, tidaklah

berlebihan jika dikatakan bahwa model pemikiran seperti itu telah mempunyai

andil—meskipun tidak harus dianggap sebagai faktor penyebab—dalam

runtuhnya sistem demokrasi konstitusional di Indonensia pada tahun 19950-an,28

di mana perdebatan di Konstituante untuk merumuskan undang-undang dasar

tidak bisa dipertemukan antara golongan agama dan nasionalis.

Mainstream kedua melihat, khususnya generasi intelgensia Muslim baru,

bahwa al-Qura’an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas dan detil

tentang model hubungan Islam dan sistem politik modern. Eksponen ini hanya

meyakini bahwa Islam memiliki prinsip etis (dalam nilai-nilai universal Islam)

yang relevan bagi pengelolaan sistem politik modern. Para penganut paham ini

selalu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan ide-ide normatif

tentang musyawarah (syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar

dengan prinsip-prinsip demokrasi.29

Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa hubungan Islam dan politik

tidak harus bersifat kaku yang harus legalistik-formalistik, tetapi harus bersifat

substansialistik, yaitu melalui nilai-nilai. Selama sistem politik negara berdiri di

atas prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, dan persamaaan, maka sudah absah

untuk dikatakan bahwa dasar negara tersebut sudah sesuai dengan semangat

Islam. Dalam konteks normatif, prinsip-prinsip politik Islam sama sekali tidak

bertentangan dengan demokrasi, dan bahkan nsesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

28Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 119. 29Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 120.

Page 79: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxix

Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia

Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistik—sebuah posisi yang

menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol—dapat

mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu,

sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada

prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai

demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan,

dan persamaan.

Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman

keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis,

inspirasi, atau substansilah—dalam istilah Bahtiar tertransformasikan—yang

mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara

pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit

dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini

ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih

menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua.

2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif

Hubungan yang integratif antara Islam dan negara jangan dimengerti

seperti gagasan Supomo tentang negara integralistik yang memposisikan negara

menyatu dengan masyarakat, sehingga berimplikasi pada munculnya

pemerintahan yang otoriter. Ia juga jangan dimengerti sebagai penyatuan agama

dan negara yang berimplikasi pada negara adalah agama; dan agama adalah

negara (al-din wa al-daulah). Tetapi, gagasan ini merupakan temuan Bahtiar

dalam melihat perkembangan hubungan yang tepat antara Islam dan negara dalam

Page 80: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxx

dua puluh tahun terakhir. Meskipun gagasan tentang hubungan yang integratif

antara Islam dan negara ini merupakan kelanjutan-kelanjutan—dan dalam tingkat

tertentu tidak jauh berbeda—dari temuan-temuan sebelumnya, namun penting

dikemukakan untuk mendedahkan tingkat orisinalitas gagasannya.

Dalam konteks yang lebih detail, ia menegaskan bahwa terjalinnya

hubungan yang integratif itu ditandai dengan lahirnya generasi intelengesia

Muslim baru yang tidak memposisikan Islam sebagai musuh dari negara, tetapi

terintegrasi atau menyatu dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Perlu

dijelaskan, kata “integrasi” di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara

legal-formal (al-din wa al-daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana

nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai

ideologi negara.

Bahtiar mencatat, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditandai

oleh tiga ciri utama. Pertama, landasan teologis; kedua, tujuan; dan ketiga,

pendekatan Islam politik.30 Dalam konteks teologisnya, format baru politik Islam

tidak lagi berhubungan secara legalistik dan formalistik antara Islam dan negara,

atau politik pada umumnya. Selama negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai

universal Islam, baik secara ideologis maupun politis, maka komunitas Muslim

tidak perlu menggugat idiom-idiom tersebut, dan malah harus mendukungnya.

Pada matra tujuannya, sudah begitu nyata bahwa komunitas politik Islam

tidak lagi memperjuangkan pembentukan sebuah negara Islam. Pada umumnya,

mereka sudah memperjuangkan aspirasi politiknya berdasarkan pemahaman

mereka tentang Islam yang lebih kontekstual dengan pluralitas masyarakat

30Effendy, Islam dan Negara, h. 333.

Page 81: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxi

Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang

mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universal nilai-nilai politik

Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi.31

Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan di

atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan

parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format

yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya32 melalui medan

masing-masing, baik itu organisasi sosial-keagamaan (seperti Muhammadiyah dan

NU), lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai

politik (seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya), di birokrasi, dan lain sebagainya.

Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik,

tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan.

D. Catatan Kritis

Pandangan-pandangan Bahtiar Effendy cukup memberikan harapan bagi

bersemainya hubungan Islam dan negara secara tepat. Yaitu hubungan yang tidak

memposisikan Islam besebrangan dengan negara, tetapi terintegrasi melalui nilai-

nilai universal Islam, dan bukan melalui legal-formalnya (hukum Islam).

Gagasannya-gagasanya dengan analisis yang tajam dan didukung dengan data

yang akurat membuat ia layak ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri

ini mengenai hubungan Islam dan negara.

Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti

gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada pembedaan yang

31Effendy, Islam dan Negara, h. 334. 32Effendy, Islam dan Negara, h. 334.

Page 82: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxii

kurang tegas antara “negara” dan “politik.” Di hampir semua kesempatan dalam

karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi keduanya secara tegas, terutama

menyangkut definisi, dan bahkan sering menempatkan “negara” dan “politik”

sebagai entitas yang sama. Padahal, keduanya mempunyai fungsi dan peran yang

berbeda. Negara adalah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi,

dan proses-proses yang semestinya menerapkan kebijkan-kebijakan yang diambil

melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Sedangkan ‘politik’ adalah proses

dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling

bertentangan. Di atas semua itu, Bahtiar telah memberikan pijakan baru bagi

hubungan Islam dan negara yang lebih visibel.

Selain itu, terdapat sejumlah kelamahan lainnya yang juga tidak dijelaskan

secara tegas dalam banyak buku yang ditulis Bahtiar. Kelemahan itu mencakup,

pertama tiadanya definisi Islam dan Negara. Karena ketiadaan definisi tersebut,

seringkali membuat pemerhati Islam politik kesulitan menangkap bagaimana

sebenarnya Bahtiar mendefinisikan Islam dan Negara. Kedua, relevansi hubungan

Islam dan Negara dalam konteks kekinian. Dari delapan buku yang sudah

ditulisnya, tak satupun terdapat pembahasan komprehensif yang menjelaskan

bagaimana relevansi perdebatan Islam dan Negara saat ini. Relevasi Islam dan

Negara dianggap penting untuk diungkapkan dalam skripsi ini mengingat topik

tersebut belum pernah dibahas dalam sejumlah bukunya. Untuk memenuhi

kebutuhan itu, penulis melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar guna

menjelaskan kelemahan-kelemahan di atas.

Pertama menyangkut definis Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, Islam

adalah panduan yang digariskan Tuhan melalui utusan-NYA. Sebagai panduan,

Page 83: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxiii

tentu saja nilai-nilai Islam menjadi pedoman kehidupan bagi para pemeluknya.

Penegasan Islam sebagai panduan ini tidak ada bedanya dengan agama-agama

samawi lainnya seperti Hindu, Budha, dan Kristen yang juga menjadikan agama

sebagai panduan bagi pemeluknya. Dalam panduan itu, Tuhan menerapkan

seperangkat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi para

pengikutnya. Dalam Islam, sudah jelas disebutkan bahwa seseorang dapat

dikatakan muslim jika ia mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan

shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.

Sementara negara dimaknai sebagai wilayah teritori dengan batas wilayah

tertentu yang dihuni sejumlah komunitas masyarakat dengan beragam

kepentingan. Karena ragamnya kepentingan itu maka, negara diatur oleh sebuah

sistem pemerintahan dengan seperangkat aturan-aturan yang mengikat demi

kepentingan bersama. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara tegas bahwa Islam

dan Negara merupakan entitas berbeda yang bisa saling melengkapi. Yang

menjadi persoalan kemudian ketika multi tafsir terhadap ajaran Islam dipraktikkan

dalam kehidupan bernegara yang masyarakatnya sangat majemuk.33 Sebagai

implikasi atas keberagaman tafsir terhadap Islam dalam kehidupan bernegara,

beragam alternatif pun juga telah ditawarkan guna memberikan solusi dalam

memposisikan Islam dalam kehidupan bernegara. Ada perspektif yang

menginginkan Islam dan Negara harus disatukan (teokrasi). Sementara satu

perspektif lainnya menegaskan pentingnya pemisahan keduanya (sekuler). Dalam

perjalanannya, tak jarang dua pandangan berbeda ini saling bergesekan bahkan

bertabrakan.

33 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.

Page 84: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxiv

Dari dua perspektif di atas, Bahtiar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan

kritis. Apa mungkin Islam dan Negara bisa dipisahkan dalam masyarakat yang

mayoritas Islam? Pertanyaan selanjutnya, apa mungkin Islam dan negara

disatukan – dalam pengertian Islam dijadikan dasar negara – sementara

penduduknya tidak semuanya beragama Islam? Dari pertanyaan itu, Bahtiar

memberikan penjelasan yang sangat lugas. Menurutnya, di Indonesia Islam tidak

mungkin sama sekali dipisahkan dari Negara mengingat dominasi pendudukanya

menjadikan Islam sebagai agama. Meski begitu, Indonesia juga tidak mungkin

didasarkan pada perundang-undangan Islam (syariat Islam) mengingat potret

masyarakatnya cukup majemuk. Oleh karena itu, kata Bahtiar, sebenarnya tidak

ada hubungan ideal antara Islam dan Negara untuk mendamaikan keduanya. Yang

ada hanyalah hubungan fungsional, realistis pragmatis, masuk akal, dan aplikatif

yang dapat meminimkan ketegangan antar keduanya. Bahtiar mencontohkan

adanya Departemen Agama (Depag) merupakan hasil kompromi politik antara

kelompok yang pro negara teokrasi dan pro negara sekuler.34 Kompromi politik

tersebut didasarkan pada keinginan untuk mendamaikan masing-masing kelompk

yang berada di dua kutub ekstrim yang saling berjauhan. Tidak ada pilihan lain,

kecuali menegoisasikan kedua kutub tersebut guna menciptakan stabilitas. Hal

inilah yang disebut Bahtiar dengan akomodasi parsial. Sampai saat ini, akomodasi

parsial dinilai sebagai bentuk akomodasi yang paling aplikatif dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Kedua, menyangkut relevansi hubungan Islam dan Negara saat ini. Bahtiar

meyakini, perdebatan seputar Islam dan Negara akan terus menjadi polemik yang

34 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.

Page 85: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxv

tetap akan dibicarakan sepanjang masa baik di kalangan pemerhati maupun

praktisi Islam politik. Meski perdebatan ini sudah memakan waktu yang cukup

lama, namun sampai saat ini persoalan meletakkan keduanya dalam posisi ideal

masih terus diperbincangkan. Bahtiar mengakui, banyak pihak yang tidak terlalu

nyaman dengan pilihan menjadi teokrasi maupun sekuler. Saat ini, katanya, secara

de facto yang berjalan di Indonesia adalah hubungan akomodasi parsial antar

keduanya. Dalam hubungan akomodasi parsial ini, negara pada titik-titik tertentu

diperbolehkan mengatur dan mengelola kehidupan penduduknya seperti

kebebasan memilih agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya

masing-masing. Akan tetapi, hak pengelolaan itu harus dibatasi apalagi

menyangkut persoalan hukum pidana. Hal itu sangatlah problematis dan

membutuhkan penafsiran mendalam sehingga negara bisa mengaturnya dengan

baik.35

Tidak hanya itu, Bahtiar juga menengarai adanya tuntutan menjadikan

syariat Islam sebagai dasar negara sebagai implikasi dari perdebatan Islam dan

Negara yang tidak kunjung selesai. Menurutnya, lahirnya kelompok-kelompok

masyarakat yang menyuarakan pentingnya Islam sebagai dasar negara bisa

difahami sebagai respon terhadap kegagalan Pancasila (dasar negara yang sekuler)

dalam menjalankan amanahnya dalam menjamin stabilitas bernegara. Untuk itu,

adanya desakan menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan sangat bisa

dimengerti sebagai salah satu upaya untuk menjawab persoalan bangsa yang kian

carut marut. Oleh karena itu, di sinilah sebenarnya letak relevansi perdebatan

Islam dan Negara terus dibicarakan.

35 Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.

Page 86: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxvi

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan penjelajahan secara singkat dan padat terhadap

pemikiran Bahtiar Effendy di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saatnya

untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Bahtiar menyangkut hubungan

Islam dan negara. Dari eksplorasi yang cukup jauh, namun ringkas itu, memang

tidak secara “eksplitis” ditemukan pemikiran Bahtiar Effendi tentang hubungan

yang ideal antara Islam dan negara. Bahkan, di hampir semua gagasan-gasannya

dalam karyanya, Bahtiar memang tidak menegaskan posisi pemikirannya terkait

hubungan Islam dan negara. Tetapi, basis afirmasinya terhadap beberapa

perkembangan hubungan Islam dan negara sudah cukup menunjukkan posisinya

dalam spektrum gerakan dan pemikiran Islam tentang pertautan Islam dan negara.

Ada dua hal penting yang bisa disimpulkan dari pemikiran Bahtiar tentang

hubungan Islam dan negara, dan keduanya saling terkait satu sama lain. Pertama,

gagasan pemikirannya tentang kesesuaian Islam dan demokrasi. Kedua, ide

briliannya mengenai hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Menyangkut

yang pertama, ia menunjukkan bahwa Islam (khususnya dalam al-Qur’an dan

Sunnah sebagai sumber utama) sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah

(syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip

demokrasi.

Dengan demikian, ia menempatkan hubungan Islam dan negara tidak

harus bersifat rigid dengan menerapkan hukum (syariah) Islam dalam negara,

Page 87: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxvii

tetapi hubungan keduanya harus melalui nilai-nilai Islam. Hal itu dilakukan

karena demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa modern, khususnya di

Indonesia, sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam; dan

sebaliknya, keduanya mempunyai kesamaan yang bisa dipertemukan.

Pada dimensi yang kedua, menyangkut hubungan Islam dan negara yang

terintegratif. Hubungan yang integratif itu dibuktikan dengan gagasan generasi

intelengesia Muslim baru yang memposisikan Islam sebagai satu medan

perjuangan dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Satu medan di sini

bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa al-

daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak

bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara.

Sejauh praktek-praktek kenegaraan masih berbasis pada nilai-nilai politik Islam,

maka selayaknya kaum Muslim untuk tetap setia menerimanya.

Dalam konteks yang lebih spesifik, hubungan yang mulai integratif itu

setidaknya ditunjukkan oleh landasan teologis politik Islam; tujuan politik Islam;

dan pendekatan politik Islam yang sudah diformat secara baru dengan

memperluas basis perjuanggannya. Basis perjuangannya tidak hanya

diprioritaskan pada parlemen sebagai panggung artikulasi, tetapi mulai diperluar

ke seluruh ranah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

B. Saran-Saran

Di penguhujung studi ini, sepertinya perlu juga untuk melampirkan

sekelumit sara-saran dalam rangka memperbaiki hubungan Islam dan negara di

masa depan. Saran yang utama adalah untuk konteks hubungan kengaraan dan

kebangsaan di masa yang akan datang, komunitas politik Islam tidak perlu

Page 88: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxviii

mengembangkan hubungan Islam dan negara yang legalistik-formalistik. Hal ini

penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam dan negara—

yang tentu hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif.

Sebaliknya, kini dan nanti, komunitas politik Islam perlu memelihara dan

mengembangkan hubungan Islam dan negara yang integratif. Agar komunitas

politik Islam bisa berkontribusi secara menyeluruh dalam menyelesaikan

persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang sekarang sedang dipertaruhkan.

Wallahu ‘alam.

Page 89: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

lxxxix

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. Akbar, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, Bandung: Mizan, 1997

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi

Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, Cet. I

Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-partai Islam Versus Partai-partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan

Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Cet. I

Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3S

Indonesia, 2003. Cet. I Anwar, M. Syafi’I, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik

tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Cet. I

Asfar, Muhammad, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya:

kerjasama Pustaka Eureka dengan PusDeHam, 2006. Cet. I Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme

hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Cet. I Badri, Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1999. Cet. I Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama & Negara Sepanjang

Sejarah Umat, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2003, Cet. I Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan

Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden,

dan Negara, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Islam dan Negara: Trasformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998. Cet. I -------, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai

Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001

Page 90: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xc

-------, (Re) politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Bandung:

Mizan, 2000. Cet. I -------, Teologi Baru Politik Islam: Pergulatan Agama, Negara, dan Demokrasi,

Yogyakarta: Galang Press, 2001 -------, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2005.

-------, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005 Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad, ed. Islam, Negara & Civil Society,

Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. I Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1999. Cet. I Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim

Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang

Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 2006 Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam,

Jakarta: Paramadina, 1999. Cet. I Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993. Natsir, M, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Da’wah,

2001. Cet. I Natsir, Ismet dan Djohan Effendi (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam:

Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 2003 Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, tej. Deliar Noer,

Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996. Cet. VIII -------, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan

Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000. Cet. II Sirry, Mun’im A., Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim

dalam Transisi Indonesia, Jakarta: Gugus Press, 2002. Cet. I Sjadzali, H. Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

Jakarta: UI-Press, 1993, Cet. V

Page 91: Islam dan Negara Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”.repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19685/1/ADI... · AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. ... Aliran ini beranggapan

xci

Sofyan, Ahmad A. dan Madjid, M. Roychan, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003. Cet. I

Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1997. Cet. I Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001.

Cet.I Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.

Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005. Cet. I