islam dan globalisasi

6
Islam dan Globalisasi (Upaya Membangun Optimisme Umat ) Fenomena kehidupan saat ini menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya seperti dunia di dalam rumah; semua sudah tidak mengenal jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk dunia belahan Barat, begitu pula sebaliknya. Tak heran muncul sebuah adagium “dunia ini sudah menjadi desa buana”. Sudah tak ada yang tersimpan. Semua serba transparan. Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorûri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia. Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma “globalisasi” berasal dari bahasa Inggris “globalization” yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan. Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan “ajakan” untuk mengadopsi paradigma tertentu (baca: Barat). Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan “amerikanisasi”. Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap “penghalang” terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. “Drama” tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Irak, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bâthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.

Upload: novianri

Post on 07-Sep-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PAI

TRANSCRIPT

Islam dan Globalisasi (Upaya Membangun Optimisme Umat )

Fenomena kehidupan saat ini menarik untuk dicermati. Realita kehidupan tak ubahnya seperti dunia di dalam rumah; semua sudah tidak mengenal jarak dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia timur bisa disaksikan dengan cepat oleh penduduk dunia belahan Barat, begitu pula sebaliknya. Tak heran muncul sebuah adagium dunia ini sudah menjadi desa buana. Sudah tak ada yang tersimpan. Semua serba transparan.

Fakta tersebut telah menunjukan adanya sebuah bukti bahwa manusia telah menampilkan keberhasilannya dalam bidang sains dan teknologi, terutama dalam mengakses informasi. Dari sini tentu kita akan sepakat bahwa informasi adalah kebutuhan dhorri (primer) bagi setiap manusia. Siapa yang mampu menguasai informasi, maka ia akan menguasai dunia. Sesungguhnya fenomena globalisasi sudah lama muncul. Hanya saja istilah ini baru muncul ke permukaan. Terma globalisasi berasal dari bahasa Inggris globalization yang berarti menyebar luaskan serta memperluas jangkauan sesuatu agar menyentuh semua lapisan.

Globalisasi tidak hanya digunakan dalam bidang ekonomi saja, namun merupakan ajakan untuk mengadopsi paradigma tertentu (baca: Barat). Hal inilah yang kemudian banyak disoroti oleh para pengamat bahwa globalisasi sebenarnya tidak jauh beda dengan amerikanisasi.Hal tersebut sangat jelas kita lihat dalam fakta yang terjadi di akhir-akhir ini; globalisasi hanyalah usaha Amerika untuk memperkuat hegemoni terhadap dunia. Banyak cara untuk melegitimasi hegemoni tersebut. Melalui lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan bank dunia, mereka berusaha menguasai roda perekonomian dunia. Negara yang dianggap penghalang terpaksa harus disingkirkan dan harus diberi pelajaran. Drama tersebut bisa kita lihat dalam tragedi kemanusiaan di Afganistan, Palestina, Irak, Iran, Sudan dan selanjutnya entah negara mana lagi yang akan menjadi mangsa selanjutnya. Menyadari penyimpangan yang terjadi pada arti hakiki globalisasi tersebut, maka kita sebagai seorang muslim dituntut untuk bisa bersikap obyektif yaitu mampu melakukan pemilahan antara nilai-nilai positif (haq) dan nilai-nilai negatif (bthil), agar sebagai umat Islam, kita tidak terjebak dalam jaring-jaring hegemoni Barat.

Kita menyadari bahwa globalisasi adalah trend sekaligus produk sejarah yang sedang terjadi dan kita alami. Kita tidak punya kekuatan untuk menolak apalagi lari dari kenyataan sejarah ini. Yang mesti kita lakukan adalah melakukan gerakan dinamis bersama arus ini yaitu dengan menjaga diri agar tidak kehilangan kendali serta jati diri. Menghadapi era globalisasi, sikap kaum muslimin bisa dikatakan terbagi menjadi beberapa macam: Pertama, mengikutinya secara mutlak. Mereka meyakini bahwa apa yang ada di balik globalisasi dan semua hal yang berbau westernisasi adalah sebuah standar ideal yang perlu untuk ditiru. Sikap semacam inilah yang hanya akan menenggelamkan umat islam dari peredaranya. Kedua, mereka yang menolak secara keseluruhan. Golongan inilah yang diistilahkan oleh Prof. Dr. Yusuf Qordhowi sebagai kelompok penakut. Mereka takut untuk berhadapan secara langsung dengan peradaban Barat. Hal itu dinilai tidak fair karena dianggap lari dari kenyataan yang ada. Mereka menutup pintu rapat-rapat terhadap hembusan angin globalisasi karena takut terkena debu dan polusi peradaban. Padahal sejatinya mereka membutuhkan udara. Ketiga, golongan moderat (berada ditengah-tengah). Golongan inilah yang menjadi cerminan sikap ideal seorang muslim. Mereka sadar bahwa menutup diri serta mengisolasi diri dari dunia luar hanyalah usaha yang sia-sia belaka dan tak berguna. Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan zaman. Allah Swt. berfirman : Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk sekalian manusia

Pertanyaan selanjutnya yang mengemuka adalah tentang masa depan umat islam. Setidaknya ada dua prediksi; Pertama, pesimistik. Sikap ini muncul karena melihat realita yang ada dalam tubuh umat islam sekarang, dimana untuk ukuran perkembangan sains dan teknologi umat islam berada dalam posisi yang paling bawah dan sangat termarjinalkan. Permasalahan umat islam saat ini semakin kompleks. Terjadinya dekadensi moral, kesenjangan sosial, keterbelakangan, serta pelanggaran HAM telah begitu memprihatinkan. Inilah masalah-masalah yang sedang dihadapi umat islam. Untuk memperbaikinya umat membutuhkan waktu yang lama. Kedua, optimistik. Sikap ini didasarkan pada pengamatan sejarah, dimana kita pernah mengukir kejayaan di masa lampau. Dengan sikap yang seperti itu, mereka meyakini bahwa kemajuan peradaban akan terus berputar dan bergantian di antara manusia.

Sebagai umat islam, kita berkewajiban untuk berjuang dan menjunjung tinggi agama Islam. Ada beberapa tawaran alternatif: (1). Mengembalikan kesadaran umat islam yang selama ini tertidur. Ajaran islam harus disampaikan untuk kemaslahatan dan pencerahan manusia. (2). Bersikap inklusif terhadap budaya luar, karena sikap mengisolasi diri adalah sikap yang bertentangan dengan ajaran islam ( Al-hujrat 13). (3). Berpegang teguh pada ajaran Islam sebagai sumber inspirasi peradaban. Dan yang terpenting adalah merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. WalLhu alam bishowb.

Islam dan GlobalisasiOleh Saeful RokhmanGlobalisasi adalah sebuah era global/modern dimana dunia ini terasa seperti sebuah kampung kecil. Interaksi antar negara, peradaban dan budaya semakin mudah dilakukan. Proses saling mempengaruhi antar satu budaya dengan budaya yang lain semakin intens dan dengan proses yang cepat, baik budaya itu bersifat positif atau pun negatif. Sehingga pada akhirnya globalisasi menjadi alat untuk saling mempengaruhi antara peradaban, budaya, ideologi bahkan agama.Proses saling mempengaruhi tersebut menjadikan suatu peradaban, budaya dan agama terkontaminasi dengan unsur-unsur yang lain. Dengan senjata yang bernama media, sebuah ideologi atau budaya bisa memasuki wilayah ideologi dan budaya lain. Hal ini menimbulkan kegoncangan bagi ideologi dan budaya lain itu yang tidak sesuai karateristik sosial kulturalnya. Karena itu, era globalisasi adalah sebuah era bebas hambatan yang menghajatkan persaingan satu sama lain..Sebagai contoh, masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan budaya, tepatnya dekadensi moral karena kuatnya pengaruh westernisasi melanda bangsa Indonesia. Terutama kaum remaja yang telah terpengaruh oleh budaya Barat yang serba bebas. Senjata yang digunakan untuk menyebarkan budayanya adalah media, terutama televisi yang menyajikan tayangan-tayangan pergaulan bebas. Walhasil, budaya bangsa Indonesia saat ini semakin mendekati budaya barat.Dari sisi ideologi, ia sudah mulai merangsek masuk ke dalam ideologi yang lainnya. Ideologi liberalisme dan kapitalisme sudah hampir menguasai negara-negara di dunia. Sehingga perkonomian dunia saat ini sangat dipengaruhi oleh negara tertentu. Ideologi-ideologi yang merusak keutuhan agama juga sudah mulai merongrong agama-agama, bahkan Islam sekali pun. Ideologi sekularisme yang meniadakan peran agama dalam negara, Pluralisme yang meyakini bahwa semua agama sama dan benar, dan ideologi liberalisme agama yang mengkaji agama secara liberal (bebas) tanpa kaidah-kaidah yang dilakukan oleh para pakarnya, yaitu ulama.Dalam menghadapi era globalisasi, Islam tidak pernah menutup diri. Islam adalah sebuah doktrin agama yang menghendaki pemeluknya untuk dapat hidup lebih baik dan lebih maju. Apalagi di era globalisasi, tentu Islam membuka pintu selebar-lebarnya agar pemeluknya dapat hidup dalam kemudahan dan kemodernan.Menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, ada tiga sikap manusia terhadap globalisasi. Dua sikap sangat ekstrim dan satu sikap moderat. Pertama, mereka yang demikian bergairah dan semangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka adalah orang-orang yang berenang di atas gelombangnya yang berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan tanpa reserve. Sedangkan pada sisi lain yang terjadi adalah kebalikan yang pertama. Mereka adalah kaum yang melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang berkembang. Sikap ini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Golongan ini adalah golongan orang-orang yang berpegang teguh dengan semua yang berbau klasik dan tradisional dan sangat anti terhadap segala yang baru.Sedangkan kelompok moderat, dan ini yang dipilih Qardhawi, adalah kelompok yang mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dengan pandangan jeli dan kritis. Satu sikap seorang mukmin dan kuat yang terbuka, yang bangga dengan identitas dirinya, yang sadar akan misinya yang berpegang teguh dengan orisinilitas ajaran agamanya, yang yakin akan keuniversalannya dan yakin akan peradaban umatnya.Demikianlah Islam, ia tidak kaku dalam menghadapi fenomena globalisasi. Ia juga tidak menerima seluruhnya tanpa adanya reserve. Islam akan menerima globalisasi apabila ia menimbulkan kemaslahatan bagi manusia. Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk maju, makanya Rasulullah SAW mengatakan, antum alamu bi umuri dunyakum, artinya kalian lebih tahu dalam urusan dunia kalian. Hadits ini mengindikasikan bahwa Rasulullah memberikan kebebasan kepada umatnya untuk berkembang dalam urusan dunia. Pada sisi lain, Islam akan menolak globalisasi jika ia memberikan kerusakan bagi peradaban manusia dan tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Ringkasnya Islam akan mengantisipasi globalisasi dari segi konten, bukan dalam bentuk media/alat globalisasi seperti teknologi komunikasi dan transportasi. Dr. Yusuf al-Qardhawi, Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1, hal. Ibid.