islam dan budaya jawae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/islam... · islam merespon...

56
i

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

i

Page 2: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

ISLAM DAN BUDAYA JAWA

Penulis :Imam Subqi, M.S.I., M.Pd

Sutrisno, M.Pd.IReza Ahmadiansah, M.Si

Editor :Rasimin

Layout :IVORIE

ISBN :978-602-52161-8-3

Diterbitkan oleh:Penerbit TaujihJl. Merak 51 Gonilan Kartosuro 57162Email : [email protected] I, Desember 2018

Dicetak oleh :Percetakan IVORIE, Soloisi di luar tanggungjawab percetakan.

ii

Page 3: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena

berkat rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, buku yang berjudul

Islam dan Budaya Jawa ini dapat hadir ke tengah-tengah para

pembaca yang budiman. Shalawat dan salam semoga senantiasa

tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW beserta keluarga dan

para sahabatnya dan para pengikutnya yang telah memberikan jalan

pencerahan bagi umat manusia melalui keikhlasan memperjuangkan

agama, dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Buku ini mencoba menelusuri lebih jauh bagaimana hubungan

Islam dan budaya Jawa yang sudah terjadi berabad-abad sejak Islam

datang di Jawa. Islam masuk di Jawa melalui jalur Selat Malaka dan

selanjutnya ke Pulau Jawa pada abad ke-7 Masehi didasarkan pada

berita dari China masa pemerintahan Dinasti Tang. Berita itu

menyatakan tentang adanya orang-orang Ta’shih (Arab dan Persia)

yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Kaling di bawah

pemerintahan Ratu Sima pada tahun 674 Masehi. Namun pendapat

lain menjelaskan bahwa masuknya Islam di Jawa pada abad ke-11

Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti adanya sebuah batu nisan

Fatimah binti Maimun yang berada di dekat Gresik Jawa Timur. Batu

nisan ini berangka tahun 1082 Masehi.

Masuknya Islam di Jawa membawa perubahan-perubahan

termasuk budaya, dalam perkembangannya terjadi akulturasi budaya

antara Islam dan budaya Jawa, sehingga masyarakat Jawa memiliki

pandangan bahwa memaknai Islam dan budaya memiliki relasi yang

tak terpisahkan. Islam sendiri ada nilai universal dan absolut sepanjang

zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma berjalan tidak kaku

(rigid) dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu

tampil dalam bentuk yang luwes ketika berhadapan

iii

Page 4: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

dengan masyarakat yang beraneka ragam budaya, adat kebiasaan

atau tradisi. Sebagai sebuah fakta sejarah, agama dan kebudayaan

dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan

simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan

kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol

supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan

sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan

agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu

yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal

perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular,

relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat

berkembang sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan,

agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat. Islam

merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan

kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal, adat

atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak

bertentangan dengan spirit nash al-Quran dan as-Sunnah.

Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di

masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budaya.

Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya

memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia,

tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek

keberagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya

yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan

kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga

sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau

agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau lainnya.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga

sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya,

meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan

iv

Page 5: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya

Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus

berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi ada juga yang bertentangan

dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran

Islam dengan kuat tentunya dapat memilih dan memilah budaya

Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus bertentangan

dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak

memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak

menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam

kehidupan sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran

agama Islam. Fenomena ini terus berjalan hingga sekarang.

Melalui buku ini, mudah-mudahan bisa memberikan

sumbangsih gambaran bagaimana relasi Islam dan budaya Jawa.

Selanjutnya penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang membantu dan men-support

dalam penyelesaian penulisan buku ini. Khusus pada penerbit yang

telah membantu menerbitkan buku ini, penulis ucapkan terimakasih

dan penghargaan setinggi-tingginya. Akhirnya, segala urusan

ending-nya penulis serahkan kepada Allah SWT sebagai penentu

kehidupan hamba-Nya. Semoga buku yang ada di tangan pembaca

bermanfaat dan menjadi amal ibadah kita bersama. Amin.

Salatiga, 30 Agustus 2018

Penulis,

v

Page 6: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................2A.. Islam Dan Tradisi Jawa..............................................................2B.. Ruang Lingkup..............................................................................6

BAB II MANUSIA DAN KEBUTUHAN DASAR............................12A.. Hakikat Manusia.........................................................................12B.. Kebutuhan Dasar Manusia.....................................................19C.. Kebutuhan Ekonomi.................................................................23D.. Manusia Indonesia Seutuhnya..............................................24

BAB III MAKNA DAN TRANSMISI KEBUDAYAAN....................26A.. Makna Kebudayaan..................................................................26B.. Pewarisan Budaya.....................................................................39C.. Pendidikan dan Kebudayaan.................................................43D.. Transmisi Kebudayaan...........................................................52

BAB IV MASYARAKAT DAN DINAMIKA KEBUDAYAAN........56A.. Dinamika Kebudayaan.............................................................56B.. Konsep Dinamika Kebudayaan.............................................59

BAB V ISLAM DAN BUDAYA JAWA................................................70A.. Makna Agama.............................................................................74B.. Agama Islam................................................................................82C.. Sumber Ajaran Islam................................................................93

BAB VI SEJARAH ISLAM DI JAWA..............................................102A.. Islam Masuk di Indonesia.....................................................102B.. Islam Masuk di Jawa..............................................................107

BAB VII BUDAYA DALAM PANDANGAN ORANG JAWA.. . .113A.. Budaya dalam Pandangan Islam.......................................118B.. Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa.........................126C.. Budaya Jawa Pra Hindu-Budha..........................................127D.. Budaya Jawa Masa Hindu Budha......................................128E.. Budaya Jawa Masa Kerajaan Islam..................................130

BAB VIII AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA............133A.. Akulturasi Budaya Jawa........................................................133

vi

Page 7: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

B.. Interaksi dan Bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa. 139

C.. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa.........................................143

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................160

TENTANG PENULIS............................................................................166

CATATAN :...............................................................................................170

1

Page 8: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

1.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Islam Dan Tradisi Jawa

Dalam sejarahnya Islam dan budaya Jawa memiliki hubungan

yang tak terpisahkan. Dalam Islam sendiri, ada nilai universal dan

absolut sepanjang zaman. Namun demikian, Islam sebagai dogma tidak

kaku (rigid) dalam menghadapi zaman dan perubahannya. Islam selalu

tampil dalam bentuk yang luwes pada saat berhadapan dengan

masyarakat yang beraneka ragam dalam budaya, adat kebiasaan atau

tradisi. Sebagai sebuah fakta sejarah, agama dan kebudayaan dapat

saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol.

Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah

SWT. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia

bisa hidup di dalamnya secara baik, damai, dan bahagia. Agama

memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan

kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah

sesuatu yang final, universal, abadi dan tidak mengenal perubahan

(absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan

temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang

sebagai agama pribadi. Tetapi tanpa kebudayaan, agama sebagai

kolektivitas tidak akan mendapat tempat.

Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan

manusia semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara

bertindak manusia dalam kehidupannya. Perkembangan budaya ada

yang berlangsung cepat (revolusi kebudayaan) dan ada pula yang

berkembang perlahan (evolusi kebudayaan). Perkembangan budaya

2

Page 9: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

jenis yang kedua ini (bersifat evolutif) hampir tidak bisa dirasakan

gerak pertumbuhannya sebab berlangsung lama. Ia seakan-akan

hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh

yang bersangkutan, baik secara individu maupun kelompok

(kolektif). Meski demikian, satu kenyataan yang pasti adalah

kebudayaan terus dan akan menggiring atau digiring oleh

manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.

Di Indonesia mayoritas yang penduduknya beragama Islam,

dengan komunitas muslim terbesar di dunia bila dibandingkan

dengan negara-negara lainnya. Sebelum Islam masuk di Indonesia,

khususnya pulau Jawa, ada kepercayaan lama yang telah

berkembang lebih dulu, yaitu agama Hindu-Budha yang pada masa

itu banyak dipeluk oleh kalangan kerajaan-kerajaan, sedangkan

kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kaum

awam. Walaupun ketiga kepercayan lama itu berbeda namun

bertumpu pada satu titik yang sama yaitu kental dengan nuansa

mistik dan berusaha mencari sangkan paraning dumadi (kemana

tujuan nantinya setelah hidup manusia berakhir) dan mendambakan

manunggaling kawula gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan).

Salah satu akulturasi Islam dan budaya Jawa yaitu ritual

adat atau kebudayaan lama yang masih berjalan hingga

sekarang, misalnya Nyadran, sampai sekarang masih menjadi

rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada

bulan dan hari yang telah ditentukan.

Agama identik dengan kebudayaan. Karena keduanya merupakan

pedoman petunjuk dalam kehidupan. Bedanya, petunjuk agama dari

Tuhan dan petunjuk budaya dari kesepakatan manusia. Ketika agama

Islam datang pada masyarakat, sebenarnya masyarakat sudah memiliki

petunjuk yang menjadi pedoman yang sifatnya masih lokal. Ada atau

tidak adanya agama, masyarakat akan

3

Page 10: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

terus hidup dengan pedoman yang mereka miliki itu. Jadi,

datangnya agama besar tersebut identik dengan datangnya

kebudayaan baru yang akan berinteraksi dengan kebudayaan

lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan lama.

Hubungan agama dengan kebudayaan dapat digambarkan

sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal balik. Agama

secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman

masyarakat berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya. Sedang

kebudayaan selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh

masyarakat. Jadi hubungan agama dan kebudayaan bersifat dialogis.

Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun

dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal,

adat atau tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan spirit

nash al-Quran dan al-Sunnah.

Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat

Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan

budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan

budaya nasional di Indonesia. Dalam konteks ini yang menjadi nama-

nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu juga

jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan

budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan

bangsa dan negara di Indonesia.

Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya

memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia,

tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-praktik

keberagamaan. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya

yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan

kepercayaan Hindu-Budha dan terus bertahan hingga sekarang,

meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang

berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

4

Page 11: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga

sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya,

meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan

ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa

yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan

dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga yang bertentangan dengan

ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam dengan

kuat tentunya dapat memilih dan memilah budaya Jawa yang masih

dapat dipertahankan tanpa harus bertentangan dengan ajaran Islam.

Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama

Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu

dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun

bertentangan dengan ajaran agama Islam. Fenomena ini terus berjalan

hingga sekarang.

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, umumnya

berbagai aspek kehidupan dan peradaban manusia terus menerus

mengalami perkembangan. Agama merupakan salah satu unsur

yang mendominasi kehidupan sosial suatu masyarakat. Di

Indonesia mempunyai beberapa jenis agama yang dianut oleh

masyarakatnya. Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh

mayoritas masyarakat Indonesia dan sangat mempengaruhi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama Islam dan agama-

agama lain di Indonesia telah disahkan untuk dijadikan pedoman

hidup yang berisi norma-norma atau kaidah-kaidah dalam

bermasyarakat sehingga tercipta kehidupan yang selaras, serasi

dan seimbang. Kemunculan berbagai ritual kebudayaan di berbagai

daerah mempunyai karakteristik tersendiri di tiap daerahnya. Hal ini

disebabkan adanya perbedaan keadaan lingkungan dan sebagian

besar lahir atas peninggalan nenek moyang di daerahnya, sehingga

budaya merupakan harta yang tak ternilai bagi pelaku budaya,

karena budaya merupakan pencipta peradaban yang kuat.

5

Page 12: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Dalam pandangan masyarakat Jawa bahwa akulturasi Islam dan

budaya Jawa merupakan sebuah proses sosial yang timbul bila suatu

kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan

dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian

rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun

diterima dan kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan

hilangnya kepribadian budaya itu sendiri. Bentuk dari akulturasi budaya

Jawa sebagai bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa

sebagai warisan leluhur yang secara turun-temurun dari generasi-ke

generasi yang lain terus di jaga. Adapun bentuk akulturasi budaya Jawa

yaitu tradsi Nyadran, meronan, dandangan, besaran, sekaten, grebeg,

labuhan, slametan, ruwatan, tirakat, ziarah ke makam, wayang dan lain-

lain yang dilakukan secara turun-temurun.

B. Ruang Lingkup

Selaras dengan dasar pemikiran di atas, maka ruang

lingkup kajian dalam buku ini penulis buat menjadi delapan bab,

yang masing-masing isinya dapat dijabarkan sebagai berikut.

Bab satu, Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang

gambaran umum bagaimana relasi Islam dan budaya Jawa tidak

hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan

Indonesia, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktik-

praktik keberagamaan, ruang lingkup. Melalui pendahuluan ini,

para pembaca diharapkan tertarik dan mampu memahami

secara sepintas tentang isi buku sehingga akan memudahkan

dalam mengkaji buku ini secara mendalam.

Bab dua, dalam bab ini menjelaskan manusia dan kebutuhannya,

yang di dalamnya berisi tentang kebutuhan dasar manusia,

kebudayaan, dan peradaban manusia. Manusia sebagai khalifah

6

Page 13: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya,

yaitu kebutuhan rohani (ilmu, seni, budaya, sastra), kebutuhan

jasmani atau fisik (sandang, pangan, perumahan, peralatan

teknologi, dan kebutuhan sosial (sarana ibadah, sarana

pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum). Maka

dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa

ini, manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan

akal budinya mampu mengubah nature menjadi culture, mampu

mengubah alam menjadi kebudayaan. Manusia tidak hanya

semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, namun mereka

justru mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut

kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan

Bab tiga, dalam bab ini akan menjelaskan Makna dan Transmisi

Kebudayaan; tiga hal yang penting yaitu makna budaya, diartikan

sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa,

karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya

dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat. Hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi menjadi dua

macam: (1) Kebudayaan jasmaniah (kebudayaan fisik) yang meliputi

benda-benda ciptaan maanusia, missal alat-alat perlengkapan hidup.,

dan (2) Kebudayaan rohaniah (nonmaterial) yaitu semua hasil ciptaan

manusia yang tidak dapat dilihat dan diraba seperti: agama, ilmu

pengetahuan, bahasa, dan seni. Pewarisan budaya; Segala sesuatu

yang ada di muka bumi Indonesia ini kelak akan diberikan kepada

generasi penerus bangsa, termasuk kebudayaan. Namun demikian,

pewarisan tidak dapat berlanjut jika hal yang diwariskan telah tidak ada,

seperti suatu kebudayaan. Pendidikan dan Kebudayaan; Dalam

konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk

“memanusiakan manusia” tepatnya “memanusiakan manusia muda”

(meminjam istilah Dick Hartoko). Sejalan dengan itu, kalangan

7

Page 14: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan

merupakan upaya untuk membudayakan dan mensosialisasikan

manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi

(pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan

perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak

tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang bersangkutan).

Bab empat, Masyarakat dan Dinamika Kebudayaan. Bab ini

menjelaskan tentang bagaimana Dinamika Kebudayaan;

Mengapa kebudayaan berubah, karena berubah merupakan sifat

yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa adanya

kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri

dengan keadaan yang berubah. Konsep Dinamika Kebudayaan;

proses-proses pergeseran masyarakat dan kebudayaan disebut

sebagai dinamika sosial. Beberapa konsep tersebut antara lain

sebagai berikut. (1) Proses belajar kebudayaan sendiri, yang

terdiri dari internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi; (2) Evolusi

kebudayaan dan difusi; (3) Proses pengenalan unsur-unsur

kebudayaan asing, yang meliputi akulturasi dan asimilasi; dan (4)

Proses pembauran atau inovasi atau penemuan baru.

Bab lima, Islam dan Budaya Jawa; bab ini menjelaskan

bagaimana Makna Agama; Orang Jawa mendefinisikan agama sebagai

satu pegangan hidup yang mengatur bagamaina cara hidup bertuhan

dan berkemanusiaan. Dan Agama itulah yang akan menunjukkan,

menuntun dan mengarahkan hidup manusia dalam kehidupan agar

tidak tersesat dalam melangkah didalam kehidupan ini. Agama Islam;

Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan

kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai

Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan

hanya mengenal satu segi, tetapi mengenal berbagai segi dari

kehidupan manusia. Sumber Ajaran Islam; Agama Islam bersumber

8

Page 15: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

dari al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang

memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam

atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan

akhlak) dikembangkan dengan ra’yu atau akal pikiran manusia

yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya.

Bab enam, Sejarah Islam di Jawa; menjelaskan bagaimana

Sejarah Islam Masuk di Jawa; Islam masuk di Indonesia pada sekitar

abad ke-7 atau abad ke-8 M dan di bawa oleh para pedagang dari Arab

dan Gujarat. Penyebaran ke seluruh Nusantara menggunakan jalan

damai, yaitu perdagangan dan perkawinan. Perkembangan Islam di

Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan para wali Wali sanga.

Bab tujuh, akan menjelaskan Budaya dalam Pandangan Orang

Jawa; Budaya dalam Islam; Sikap Islam yang akomodatif dalam

menerima unsur budaya lokal di Jawa telah mengantarkan umat Islam

sebagai komunitas terbesar di Jawa. Tanpa sikap akomodatif seperti ini

gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Jawa akan terasakan

begitu kuat. Sikap kontradiktif terhadap budaya lokal akan bertentangan

dengan watak geografis, iklim, dan kesejukan udara Jawa yang lebih

memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap

yang akomodatif. Fase-fase Perkembangan Budaya Jawa; fase-fase

pertumbuhan kebudayaan Jawa adalah untuk melihat sejauhmana

pergumulan budaya Jawa sebelum dan sesudah Islam datang. Hal ini

penting dikaji untuk menguak sistem nilai dan karakteristik budaya

Jawa. Berikut ini penulis paparkan pertumbuhan budaya Jawa masa

pra Hindu-Budha, masa Hindu-Budha, dan kebudayaan Jawa masa

kerajaan Islam. Budaya Jawa Pra-Hindu Budha; sebelum datangnya

pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal

secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila

nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti

kebudayaan yang mewarnai seluruh

9

Page 16: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut

orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang

paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

Budaya Jawa Masa Hindu Budha; Kebudayaan Jawa pada masa Hindu

dan Buddha mendapat pengaruh yang kuat dari kepercayaan yang

dianut masyarakat dan kondisi sosialnya. Agama Hindu dan Buddha

yang berkembang pesat pada saat itu terinterpretasikan melalui

kegiatan keagamaan. Misalnya upacara-upacara, ritual-ritual, dan

tradisi-tradisi dalam masyarakat Jawa. Upacara-upacara tersebut

dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa. Pada

masa Kerajaan Majapahit, para agamawan melaksanakan ritual

kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang kebanyakan

merupakan tempat pemujaan leluhur. Budaya Jawa Masa Kerajaan

Islam; Kerajaan Islam di Jawa dalam hal ini dimulai dengan berakhirnya

kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini

tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat gelar

para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah

yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal

yang masih bersahaja (animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak

diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa.

Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat

Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf

kesadaran ke-Islaman mereka.

Bab delapan, mengungkap bagaimana Akulturasi Islam dan

Budaya Jawa yaitu Akulturasi Budaya Jawa; sebuah proses sosial

yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu

kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur

kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam

kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian

10

Page 17: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

budaya itu sendiri. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa; Dalam

bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa

merupakan warisan leluhur yang secara turun-temurun dari

generasi-ke generasi yang lain terus di jaga. Adapun bentuk

akulturasi budaya Jawa yaitu tradsi Nyadran, sekaten, grebeg,

labuhan, slametan, ruwatan, tirakat, ziarah ke makam, wayang

dan lain-lain yang dilakukan secara turun-temurun.

11

Page 18: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima
Page 19: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

8.

BAB VIII

AKULTURASI ISLAM DAN BUDAYA JAWA

A. Akulturasi Budaya Jawa

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1989), istilah akulturasi

diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seorang individu

atau sekelompok masyarakat, terhadap beberapa sifat tertentu dari

kebudayaan kelompok lain sebagai akibat dari kontak atau interaksi

dari kedua kelompok kebudayaan tersebut, sedangkan akulturasi

budaya diartikan sebagai hasil interaksi manusia berupa

pencampuran dari beberapa macam kebudayaan secara perlahan

menuju bentuk budaya baru. Dari definisi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan kontak budaya yaitu

bertemunya dua kebudayaan yang berbeda dan melebur menjadi

satu, sehingga menghasilkan adanya kontak kebudayaan baru atau

sebuah akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan

baru dan tidak melenyapkan kebudayaan aslinya. Mengenai

pengertian tentang akulturasi, Koentjaraningrat dalam bukunya

Pengantar Ilmu Antropologi (1990: 253-254) juga mengemukakan

bahwa:

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu

kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan

dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan

sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut

lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa

menyebabkan hilangnya kepribadian budaya itu sendiri.

Perhatian terhadap saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-

133

Page 20: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

unsur kebudayaan asing untuk masuk kedalam kebudayaan

penerima, akan memberikan suatu gambaran yang konkret tentang

jalannya suatu proses akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 253-254).

Proses dari wujud akulturasi kebudayaan, terjadi ketika

beberapa kebudayaan saling berhubungan secara intensif dalam

jangka waktu yang cukup lama, kemudian masing-masing dari

kebudayaan tersebut berubah saling menyesuaikan diri menjadi

satu kebudayaan. Hasil dari proses wujud akulturasi kebudayaan

tersebut, dapat dilihat pada bahasa, religi dan kepercayaan,

organisasi sosial kemasyarakatan, sistem pengetahuan,

kesenian dan bentuk bangunan. Bentuk dari perwujudan

akulturasi budaya, merupakan salah satu hasil aktivitas manusia

dalam menjalankan proses perpaduan budaya.

Gambaran dari adanya akulturasi unsur Islam dan Jawa

pada akhirnya melahirkan budaya sintesis. Berikut ini sebuah

sintesis yang terdapat dalam kitab Babad Tanah Djawi (Sejarah

Tanah Jawa) sebagai berikut:

Inilah sejarah kerajaan tanah Jawa, mulai dengan Nabi Adam yang

berputrakan Sis. Sis berputrakan Nur-Cahyo, Nur-Cahyo berputrakan

Nur-Rasa, Nur-Rasa berputrakan Sang Hyang Tunggal Istana Batara

Guru disebut Sura laya (nama taman Firdaus Hindu). Dari kutipan

naskah Babad Tanah Djawi di atas, tampak jelas adanya akulturasi

timbal-balik antara Islam dengan budaya Jawa dengan mengakomodir

kepentingan masing-masing. Dalam proses interaksi ini, masuknya

Islam di Jawa tidaklah membentuk komunitas baru yang sama sekali

berbeda dengan masyarakat sebelumnya. Sebaliknya, Islam mencoba

untuk masuk ke dalam struktur budaya Jawa dan mengadakan infiltrasi

ajaran-ajaran kejawen dengan nuansa Islami.

Pementasan wayang, sering disimbolkan sebagai gambaran

134

Page 21: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

kehidupan manusia dalam menemukan Tuhannya. Lakon-lakon

yang ditampilkan merupakan ajaran-ajaran syari’at untuk

membawa penonton pada nuansa yang religius. Oleh karena itu,

wayang dianggap sebagai bagian dari acara religius untuk

mengajarkan ajaran-ajaran ilahi. Seorang dalang

dipersonifikasikan sebagai ‘Tuhan’ yang dapat memainkan peran

dan nasib orang (wayang). Pelukisan ini ditafsirkan secara

ortodoks sebagai deskripsi puitis mengenai taqdir.

Dilihat dari intensitas pengamalan ajaran-ajaran agama,

masyarakat Jawa terbagai menjadi dua, yaitu kelompok santri dan

kelompok abangan. Kelompok santri adalah kelompok masyarakat

yang selalu mendasarkan perbuatannya pada ajaran-ajaran agama;

sedangkan kelompok abangan masih mendasarkan pandangan

dunianya pada tradisi Hindu-Budha atau kebudayaan Jawa. Di

Jawa Tengah bagian selatan misalnya, pergulatan santri dan

abangan justru didominasi oleh kelompok abangan.

Setelah kerajaan Hindu Jawa Majapahit kehilangan

kekuasaannya pada seperempat abad kelimabelas. Pada jaman ini

pula menandai berkuasanya sejumlah tokoh-tokoh muslim di bidang

politik, khususnya di kota-kota pantai utara seperti Ampel

(Surabaya), Gresik, Tuban, Demak, Jepara, dan Cirebon. Mereka

adalah pemimpin pertama “religius politik” Jawa Islam. Para tokoh

agama/ wali dalam proses dakwahnya melalui proses pembauran

dengan keluarga istana melalui perkawinan atau keturunan.

Dari paparan di atas, tampak jelas karakteristik yang menonjol dari

budaya Jawa adalah keraton sentris yang masih lengket dengan tradisi

animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya

Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai

bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi konkrit.

Karena yang ada hanya bahasa simbolik, maka segala

135

Page 22: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

sesuatunya tidak jelas sebab pemaknaan simbol-simbol tersebut

bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yang

tampak di permukaan adalah pemahaman keagamaan yang

bercorak mistik.

Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama

secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya

suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan

religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk

halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya

di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan

hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh

dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat

Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang)

ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon

dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam

melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh

keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai

budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam

pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa

terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan

pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.

Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan

keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah.

Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur

untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang

kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.

Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan

sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial

136

Page 23: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan

yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika

pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-

upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial

yang sarat dengan nuansa keagamaan.

Dalam proses penyebaran Islam di Jawa ada dua pendekatan

yang digunakan agar nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya

Jawa. Pendekatan yang pertama yaitu Islamisasi Kultur Jawa.

Upaya ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-

nama Islam dan pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai

cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-

norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan

yang kedua yaitu Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya

penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara pertama, asimilasi

dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol

ke-Islaman Nampak secara nyata dalam budaya Jawa, sedangkan

pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa

tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nila-nilai

Islam sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan

menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang

beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam

keJawaab atau Jawa yang keIslaman sehingga timbul istilah Islam

Jawa atau Islam Kejawen. Sebagai contoh sebutan Jawa narimo

ing pandum yang pada hakikatnya adalah penerjemahan dari

tawakkal sebagai konsep sufistik. Dalam fiqih terdapat konsep

sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris dari

konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan

perempuan, dan masih banyak contoh lainnya.

Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek

fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama

137

Page 24: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang

gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan

dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapat rukun

iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai

atau diimani oleh muslim. Sementara itu dalam budaya Jawa pra

Islam yang bersumber dari ajaran agama Hindu terdapat

kepercayaan tentang adanya para dewata.

Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha,

maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang

menjadi proses perkembangan Islam berinterelasi dengan

kepercayaan-kepercayaan dalam Islam. Pada aspek ketuhanan,

prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai

unsur Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah

dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ul husna

telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi

(al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qodir), dan lain-lain.

Kaitannya dengan ketentuan takdir baik ataupun buruk dari

Tuhan, dalam budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh

teologi Jabariyah sehingga terdapat kecenderungan orang lebih

bersikap pasrah, sumarah, dan narimo ing pandum terhadap

ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Meskipun

demikian manusia juga berpeluang untuk berikhtiar dengan

kemampuan yang dimiliki, setidaknya dengan berdoa, memohon

pertolongan kepada-Nya, ada juga ikhtiar yang lebih diwarnai

oleh nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan primitif atau

bersumber dari agama Hindu.

Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan

kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Yang dimaksud kegiatan

ritualistik tersebut adalah meliputi berbagai bentuk ibadah

sebagaimana yang tertulis dalam rukun Islam, yakni syahadat,

138

Page 25: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

shalat, puasa, zakat, dan haji. Dalam aspek doa dan puasa

tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai

berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.

Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik

upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia

sejak dari keberadaannya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak,

remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga

upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-

hari. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka untuk

menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak

dikehendaki yang akan membahayakan bagi kelangsungan

kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan

dengan menggunakan sesaji atau semacam korban yang disajikan

kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, mahluk-mahluk halus,

dewa-dewa) tertentu. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku

upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.

B. Interaksi dan Bentuk Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu

agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral

dengan mendasarkan pada konsep “humanisme teosentrik”,

yaitu poros Islam adalah tauhidullah yang diarahkan untuk

menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat

manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan

ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan

dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme

teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena

proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.

Menurut Akbar S. Ahmed, agama termasuk Islam harus

dipandang dari perspektif sosiologis sebagaimana yang dilakukan

139

Page 26: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

oleh Marx Weber, Emile Durkheim dan Freud. Oleh karena itu,konsep “ilmu al-‘umran” atau ilmu kemasyarakatan dalamperspektif Islam adalah suatu pandangan dunia (world view)bahwa manusia merupakan sentralitas pribadi bermoral (moralperson). Selama visi tentang moral diderivasi dari konsepsi al-Qur’an dan Sunnah, maka diskursus antropologis Islam mulaimeneliti orisinalitas konsep-konsep al-Qur’an.

Kebudayaan humanisme teosentris dalam Islam bermuara

pada konsep pembebasan (liberasi) dan emansipasi dalam

konteks pergumulan dengan budaya Jawa melahirkan format

kebudayaan baru yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi

keabadian (transendental), dan dimensi temporal. Format

kebudayaan Jawa baru tersebut pada akhirnya akan sarat

dengan muatan-muatan yang bernapaskan Islam walaupun

bentuk fisiknya masih mempertahankan budaya Jawa asli.

Dakwah Islam dilihat dari interaksinya dengan lingkungan

sosial budaya setempat, berkembang dua pendekatan, yaitu

pendekatan yang non-kompromis, dan pendekatan yang

kompromis. Pendekatan non-kompromis, yaitu dakwah Islam

dengan mempertahankan identitas-identitas agama, serta tidak mau

menerima budaya luar kecuali budaya tersebut seirama dengan

ajaran Islam; sedangkan pendekatan kompromis (akomodatif), yaitu

suatu pendekatan yang berusaha menciptakan suasana damai,

penuh toleransi, sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama

dan tradisi lain yang berbeda tanpa mengorbankan agama dan

tradisi agama masing-masing (cultural approach).

Tampaknya para wali di Jawa dalam berdakwah lebih memilih

pendekatan kompromistik mengingat latar-belakang sosiologis masyarakat

Jawa yang lengket tradisi nenek-moyang mereka. Para wali menyusupkan

dakwah Islam di kalangan masyarakat bawah melalui

140

Page 27: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

daerah pesisir yang jauh dari pengawasan kerajaan Majapahit.

Para wali dan segenap masyarakat pedesaan membangun

tradisi budaya baru melalui pesantren sebagai basis kekuatan.

Kekuatan-kekuatan yang digalang para wali pada akhirnya

menandingi kekuatan wibawa kebesaran kerajaan Jawa Hindu

yang makin lama makin surut dan akhirnya runtuh.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik

budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif,

dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan

kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut:

1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning

Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis,

percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan)

dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke

arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal

dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok

hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung

bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal;

7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9)

cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10)

kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto,1990:

144).

Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu.

Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya

agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan

kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat

Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan

keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik

dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama

141

Page 28: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi

timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang

masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta.

Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila

berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti

KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui

Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran

Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat,

dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).

Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal

banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya

orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa

pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran

agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah

benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para

leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang

dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain

sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari

kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan

Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya.

Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda

keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan

berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan

benda-benda keramat tersebut.

Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus

yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar

manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang

menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu,

mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus

142

Page 29: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai

ritus atau upacara.

Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya

dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya

penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu

Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan

sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut

Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram

(Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka

terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1994: 347).

Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan

mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang

keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan

tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya

otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-

tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat

menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.

C. Bentuk Akulturasi Budaya Jawa

Dalam bentuk akulturasi Islam dan budaya masyarakat Jawa

merupakan warisan leluhur yang secara turun-temurun dari generasi-ke

generasi yang lain terus di jaga. Oleh karena itu, tradisi ini dapat

digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja (2002: 2), folklor

adalah sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan

turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional

dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh

yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.

Menurut John Harold Bruvant (dalam Danandjaja, 2002: 3),

berdasarkan tipenya, folklor dapat digolongkan

143

Page 30: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

dalam tiga kelompok: (1) folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya

murni lisan, misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional,

cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; (2) folklor sebagian lisan,

yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan

unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat,

adat-istiadat, upacara dan pesta rakyat; (3) folklor bukan lisan, yaitu

folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya

diajarkan secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan

non-material. Yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat,

kerajinan tangan, pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat

musik, dan senjata.

Menurut Koentjaraningrat sistem upacara religi mengandung

empat komponen pokok atau utama yang harus ada dalam

rangkaian upacara, yaitu (1) tempat pelaksanaan upacara, (2) saat

atau waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda pusaka dan

perlengkapan upacara, dan (4) orang-orang yang bertindak sebagai

pelaksana upacara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain empat

komponen utama tersebut dalam upacara adat terdapat juga

kombinasi dari berbagai unsur, seperti berdoa, bersujud, bersaji,

berkorban, makan bersama, menari, menyanyi, berprosesi, berseni,

berpuasa, bertapa, dan bersemedi (Koentjaraningrat, 1985: 240).

Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan

masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari

kebudayaan itu. Salah satu wujud kebudayaan yang seringkali dikenal

oleh masyarakat Jawa adalah tradisi Nyadran. Tradisi Nyadran ini

dilakukan secara turun-temurun. Sebagaimana ritual dalam

penanggalan Jawa lainnya, seperti Suranan, Muludan, dan Syawalan.

Esensi Nyadran adalah memanjatkan doa kepada Tuhan agar diberi

keselamatan dan kesejahteraan. Tradisi ini merupakan salah satu

warisan budaya nenek moyang kita, yang patut untuk dilestarikan.

144

Page 31: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Budaya masyarakat yang senantiasa dilestarikan dan dijaga

keberlangsungannya akan membentuk sebuah tradisi. Dimana tradisi

tersebut merupakan ciri khusus yang mereka jaga eksistensinya.

Namun, dengan munculnya masa modernisasi yang ditandai dengan

perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang kian tak

terbatas telah banyak mempengaruhi perilaku individu dalam

masyarakat. Hingga berdampak pula pada budaya-budaya yang sejak

awal telah dibentuk oleh masyarakat sendiri. Adapun faktor yang dapat

mempengaruhi tradisi Nyadran, antara lain: untuk menghormati leluhur

yang telah menciptakan tradisi Nyadran, misalnya sebagai salah satu

bentuk penghormatan kepada sesepuh Dusun yang sangat ditokohkan

dan disebut-sebut sebagai orang pertama yang mendirikan Dusun itu.

Dan masih banyak lagi.

Dalam perkembanganya, di antara nilai-nilai budaya lokal

yang masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat Jawa

sampai saat ini antara lain:

1. Tradisi Sekaten

Menurut sejarah, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan

Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan

Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten

yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi

tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji

kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus

untuk menghormati arwah para leluhur.

Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri

kerajaan Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama)

dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut

selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta

menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para

wali dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati

145

Page 32: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari

kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian

disebut Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya

menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu

syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat (Fredy

Heryanto, 2009: 27). Inti dari acara perayaan ini adalah berupa

peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai

wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.

2. Tradisi Grebeg

Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang

diselenggarakan tiga kali dalam setahun untuk memperingati

hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari

bahasa Jawa ‘grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’.

Karena perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu

diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebeg. Pengertian

Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu

diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.

Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari

besar Islam seperti: (1) Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari

pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri;

(2) Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar

(Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya Idul Adha (Qurban);

(3) Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari kedua belas bulan

Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi

Muhammad SAW.

Pada setiap upacara Grebeg, Sultan berkenan memberi

sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut

berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan,

serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng

besar) sehingga disebut gunungan. Gunungan

146

Page 33: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan

Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju

halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu

oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan

tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin

mendapatkan berkah dari gunungan itu (Fredy Heryanto: 29).

3. Tradisi Labuhan

Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama

dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air

(sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan

adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus

yang berkuasa di suatu tempat (Purwadi, 2006: 36).

Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan

benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan

kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul,

dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang

Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan

kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta

berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari

dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera.

Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja

mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh

halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai

peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja

sebelumnya terutama raja pendiri dinasti Mataram

(Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap

membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan.

Dengan demikian, maksud dan tujuan diadakannya upacara

labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton

Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta (Purwadi, 2006: 38).

147

Page 34: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

4. Tradisi Slametan

Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang

berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai

sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak

dikehendaki. Menurut Clifford Geertz, slamet berarti gak ana apa-

apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-

apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui

praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan

komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer

sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa,

bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti

(upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan),

hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan

demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan

dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga

untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak bala’). Dalam tradisi

slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si

empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang

diyakini sebagai makanan “bertuah.” (Anonim, 2011)

Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka

mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun

rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan,

kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati

keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga

yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari,

100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk

memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca

dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa

juga disebut tahlilan ( Marwan Salahudin, 2008: 55).

148

Page 35: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Pernyataan senada juga dilontarkan oleh Nurcholish Madjid

yang mengatakan bahwa kaum santri menolak banyak sekali

unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan sebagian lain

yang kemudian diberi warna Islam. Adat Jawa yang masih

dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi target

kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan

selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoakan

orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya,

seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun

(pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-

selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang

meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu

biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang

intinya adalah membaca kalimat ‘laa ilaaha illallah,’ dengan

maksud berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang

lebih kontroversial lagi (dimata kaum reformis) adalah

‘mengirimkan pahala wirid’ itu kepada arwah yang meninggal

(Nurcholish Madjid,1997: 35).

Tetap lestarinya slametan ini memberikan makna bahwa

hubungan sosial masyarakat tetap kokoh. Masyarakat merasa

diperlakukan sama satu dengan lainnya. Kalau mereka sudah

duduk bersama, tidak dibedakan satu dengan lainnya, tidak

ada yang lebih rendah dan tidak ada yang lebih tinggi.

Slametan menimbulkan efek psikologi dalam bentuk

keseimbangan emosional dan mereka meyakini bakal selamat,

tidak terkena musibah atau tertimpa malapetaka setelah

mereka melakukan kegiatan ini (Marwan Salahudin: 67).

5. Tradisi Ruwatan

Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan

membebaskan seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman

bahaya. Inti upacara ini sebenarnya adalah doa, memohon

149

Page 36: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam, juga

doa memohon pengampunan, dosa-dosa dan kesalahan yang

telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini

berasal dari ajaran budaya Jawa kuno yang bersifat sinkretis,

namun sekarang diadaptasikan dengan ajaran agama. Ruwatan

bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya

keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan

sebelumnya yang baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan

orang atau barang atau desa dari ancaman bencana yang

kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini

sebenarnya untuk tolak bala’. Upacara ini berasal dari cerita

Batara Kala, yaitu raksasa yang suka makan manusia. Menurut

kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi gabungan

dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku

Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat.

Lebih lanjut menurut Baedhowi, dalam ruwatan harus

dilengkapi dengan berbagai sesajen yang dulunya masih

sederhana dan hanya terdiri dari beberapa macam sesajen

saja, namun sekarang sesajen itu sudah banyak macamnya.

Sesajen-sesajen ini terdiri dari berbagai macam makanan, lauk

pauk kemasan hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan

digantungkan sepanjang batang bambu melintang di atas

panggung bagian depan dan dengan layar di sisi atas. Sesajen

ini sebenarnya merupakan perlambang antara harapan dan

rasa syukur. Dari berbagai ragam ruwatan yang dilakukan

orang Jawa tampak sekali pusaran tradisi pada pembebasan

Sukerta dari mangsa Batara Kala (Baedhowi: 28).

6. Tradisi Nyadran

Istilah tradisi berasal dari kata bahasa latin “tradition “ yang

artinya diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling

sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk

150

Page 37: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok

masyarakat Jawa, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,

waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari

tradisi adalah adanya sebuah informasi yang diteruskan dari

generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,

karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah (https://

id.wikipedia.org/wiki/Tradisi).

Tradisi merupakan perbuatan yang dilakukan berulang-

ulang dalam bentuk yang sama (Soerjono Soekanto, 1987: 13).

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tradisi adalah adat

kebiasaan turun- temurun (dari nenek moyang) yang masih

dijalankan dalam masyarakat (Pusat Bahasa, 2005: 1208).

Jadi, tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara terus

menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan secara turun-

temurun. Sedangkan etimologi bahwa kata “Nyadran” berasal

dari bahasa Arab yaitu “sodrun” yang artinya dada atau hati.

Makna Nyadran dalam masyarakat Jawa diartikan sebagai

membersihkan hati menjelang bulan Ramadhan. Makna

lainnya Nyadran adalah sadran yang berasal dari kata sudra

sehingga Nyadran berarti menyudra menjadi sudra atau

berkumpul dengan orang-orang awam. Ini mencerminkan nilai-

nilai bahwa pada hakikatnya manusia adalah sama.

Sementara Purwadi menyampaikan dalam bukunya bahwa

kata Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa sansekerta

artinya tradisi mengunjungi makam leluhur atau sanak saudara

menjelang datangnya bulan Ramadhan (Purwadi, 2006: 12).

Karena lidah orang Jawa maka kata sadra kemudian berubah

menjadi kata Nyadran yang memiliki arti ziarah kubur, tradisi

Nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan

kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang

dimaksud tradisi Nyadran adalah kebiasaan masyarakat

151

Page 38: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang

dengan memanjatkan doa selamat melalui ziarah kubur

yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan dengan tujuan

untuk membersihkan hati.

Menurut catatan sejarah, tradisi Nyadran memilikikesamaan dengan tradisi Craddha yang ada pada zamankerajaan Majapahit (1284 M). Kesamaannya terletak padakegiatan manusia berkaitan dengan leluhur yang sudahmeninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritualsesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatanterhadap yang sudah meninggal.

Secara etimologis, kata Craddha berasal dari bahasa

Sansekerta “sraddha” yang artinya keyakinan, percaya atau

kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur

yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi

kehidupan anak cucu atau keturunannya. Oleh karena itu,

mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan

tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu,

mereka yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa

kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya,

sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan

diberi penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi, 1989).

Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak

tradisi Hindu-Buddha yang terakulturasi dengan ajaran Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan

dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengIslaman

atau pribumisasi ajaran Islam berlangsung sukses dan

membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya adalah

tradisi sraddha yang menjadi Nyadran.

Karena pengaruh agama Islam pula makna Nyadran

mengalami pergeseran, dari sekadar berdoa kepada Tuhan,

menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada

152

Page 39: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran

Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan,

merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Oleh

karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana

introspeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya

yang telah dilakukan selama setahun. Saat itu, Nyadran dimaknai

sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah

nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama

Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam

Nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi

dengan nilai-nilai Islam.

Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan

dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi

ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah

satunya budaya Nyadran. Oleh karena itu, Nyadran bisa jadi

merupakan “modifikasi’ dari para wali ketika memperkenalkan

agama Islam di tanah Jawa. Langkah itu ditempuh para wali,

karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang

Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun

menjadi media syiar agama Islam. Selain ritual Nyadran, salah

satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam Islam

berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.

Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah,

agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa

mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-

waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik

terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka

menyongsong lebaran, atau Idul Fitri. Sedangkan arus kedua

terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para

perantau kerap memposisikan Nyadran lebih tinggi dibanding Hari

Raya Idul Fitri. Setidaknya, para keluarga

153

Page 40: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada

lebaran. Apalagi ketika tradisi mudik lebaran juga berarti masa

perjuangan penuh risiko, seperti transportasi yang semakin mahal,

jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik Nyadran,

biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha

mengalokasikan anggaran untuk perbaikan batu nisan atau

kompleks makam keluarga, makam para leluhur yang dihormati.

Sejarah munculnya tradisi Nyadran tidak dapat dilacak

kapan sebenarnya tradisi Nyadran bagi orang Jawa itu

dilakukan. Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam

ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan

merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.

Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang

maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang

telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia

berintrospeksi. Dalam masyarakat Jawa, tradisi atau ritual

Nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh

sebelum agama Islam masuk. Saat itu, Nyadran dimaknai

sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada

arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan.

Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13,

ritual semacam Nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat

laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.

Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa

dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat

pedesaan Jawa umumnya menyelenggarakan upacara Nyadran

secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari

hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang

kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama

mengadakan doa dan makan bersama (kenduri). Ada

154

Page 41: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan

doa bersama di makam.

Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi

gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu

ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya

memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan

(khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem

sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa,

makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam

setiap upacara atau slametan yang terkait dengan kematian.

Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah

mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.

7. Tradisi Tirakat

Salah satu tradisi atau budaya yang begitu popular di

kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa

pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat

dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami

Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak

melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat

adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk

mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual

keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran,

kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya

bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih

keteguhan pribadi (Konetjaraningrat, 1984: 371).

Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih,

siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti

seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari

Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan

Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama

155

Page 42: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel

artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak

lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari.

Ngebleng berarti berpuasa dan menyendiri dalam ruangan

tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang

waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti

berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang

tak dapat ditembus cahaya (Konetjaraningrat, 1984: 371).

Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga

dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi

kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata,

seperti disebut di atas, merupakan bentuk pendisiplinan diri

secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit

seperti puasa. Sedangkan semedi merupakan cara pemusatan

konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai

penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin

bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-

kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap

semakin dekat pada Tuhan.

8. Ziarah makam

Kebiasaan datang ke makam-makam tertentu adalah umum

sekali di kalangan Islam Santri yang masih terpengaruh dengan

kejawen. Hanya saja menurut Nurcholish Madjid, hal ini tidak jelas,

apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme

atau Jawanisme. Sebab, sebelum Islam datang, agama yang ada

adalah Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan

makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah

makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang

keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu

memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha dan lain-

lain. Di Jombang, makam yang

156

Page 43: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10

KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam

Jum’at beratus orang berziarah, dan pada malam Jum’at Legi

jumlah itu dapat mencapai ribuan (Nurcholish Madjid: 36).

9. Wayang

Wayang merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia

yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sementara

pembuatan wayang dari kulit kerbau, dimulai oleh Sunan

Kalijaga pada zaman Raden Patah. Sebelumnya lukisan

wayang yang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang

terdapat pada relief Candi Panataran di daerah Blitar. Lukisan

yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan

dengan syara. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian

menyiasatinya dengan mengubah lukisan yang menghadap

(Jawa: methok) menjadi miring. Selain itu, atas saran para wali

yang lain, Sunan Kalijaga juga membuat tokoh Semar, Petruk,

Gareng, dan Bagong sebagai tokoh punakawan yang lucu

(Purwadi, 2004: 176).

Menurut Endraswara seperti yang dikutip oleh Purwadi,

bahwa penamaan punakawan tersebut memiliki makna filosofis.

Semar dari kata bahasa Arab “Simaar” atau “ismarun” artinya

paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak,

kuat, tidak goyah. Semar juga memiliki nama lain, yakni ismaya,

yang memiliki makna kemantapan dan keteguhan. Karena itu

ibadah harus didasari keyakinan kuat agar ajarannya tertancap

sampai mengakar. Tokoh punakawan lain, yakni anak Semar,

Nala Gareng dari kata naala qorin yang artinya memperoleh

banyak teman. Sesuai dengan tujuan dakwah yaitu

memperbanyak teman dan sahabat dalam beribadah kepada Allah

SWT. Sedangkan Petruk berasal dari kata “fatruk” yang artinya

tinggalkan yang jelek. Dan Bagong berasal dari

157

Page 44: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

kata “bagho” yang berarti pertimbangan makna dan rasa, antara

rasa yang baik dan buruk, benar dan salah (Purwadi, 2004: 178).

Lebih lanjut, sebagai sarana dakwah, dalam wayng terdapat lakon

Jimat Kalimasada yang merupakan lambang dari dua kalimah

syahadat. Cerita Jimat Kalimasada tidak ada dalam epos asli

Mahabarata. Lakon tersebut yang paling sering dipentaskan oleh

Sunan Kalijaga. Haparannya untuk mengajak orang-orang Jawa di

pedesaan maupun di kota Kaprajan daerah mana pun untuk

mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk masuk agama

Islam (Purwadi, 2004: 178).

Masih banyak lagi nilai-nilai budaya lokal di Jawa yang

tidak dicantumkan dalam makalah ini, namun dari contoh di

atas semoga dapat mewakili nilai-nilai budaya lokal yang

lain. Keragaman budaya tersebut merupakan bukti bahwa

Jawa memiliki banyak budaya lokal. Sebagian tetap

bertahan keasliannya dan sebagian telah berintegrasi

dengan nilai-nilai keIslaman.

10. Saparan

Tradisi saparan adalah ritual untuk menolak bala’, suatu

tradisi yang sudah menjadi kebiasaan rutin di masyarakat akan

sulit dihilangkan. Khususnya pada masyarakat Jawa, suatu

tradisi dianggap sangat penting karena menurut mereka

warisan itu dari nenek moyang. Selagi tradisi tersebut tidak

menyimpang dari syariat Islam khususnya bagi masyarakat

pemeluk agama Islam maka tidak masalah tradisi tersebut

dijalankan. Tradisi tersebut juga mengandung adanya

pendidikan yang Islami. Karena tradisi ini suatu adat kebiasaan

yang sudah mendarah daging di masyarakat yang bisa dipikir

dengan akal sehat tidak logis kenyataannya.

Pelaksanaan tradisi tersebut ada yang rutin setiap satu

158

Page 45: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

tahun sekali. Tradisi ini dilakukan di bulan Sapar (bulan Jawa),

yang menurut sejarah tradisi ini untuk mensyukuri desa supaya

tetap makmur dan sejahtera serta untuk mengirim doa dan dzikir

bersama masyarakat. Tradisi Saparan ini hampir mirip dengan

tradisi Nyadran yang biasa terjadi di bulan Suro (Muharram).

Tradisi Saparan ini hampir dilakukan oleh setiap warga desa.

Biasanya, warga desa Batur dilaksanakan tradisi saparan dengan

mengadakan pentas seni berupa pentas kesenian wayang,

dangdutan, campur sari, reog. Untuk kalangan menengah ke

bawah biasanya tradisi ini menghabiskan biaya sebesar 1 – 3 juta

rupiah dan untuk kalangan menengah ke atas menghabiskan

biaya sebesar 3-5 juta rupiah bahkan lebih.

159

Page 46: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2002. Simbul, Makna dan Pandangan Hidup Jawa:Analisis Gunungan pada Upacara Garebeg. Yogyakarta:Balai Kajian Seajarah dan Nilai Tradisional.

______________. 2006 Konstruksi dan Reproduksi Budaya. Yoyakarta:Pustaka Pelajar.

______________. 2006. Konstruksi danReproduksi Kebudayaan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Afdillah, Muhammad. 2010. Jurnal Kajian KeIslaman. Al-Afkar. Vol 3.No 2.

Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:Gama Media.

Ana, P. A. t.t. Komunikasi Ritual Natoni Masyarakat Adat BotiDalam di Nusa Tenggara Timur.

Arwani, M. 2008. Memaknai Tradisi Berkat Mauludan di Krajen Purworejodalam Irwan Abdullah dkk (ed.), Agama dan kearifan Lokaldalam Tantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baedhowi. 2008. Kearifan Lokal Kosmologi Kejawen dalamAgama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta:Kreasi Wacana.

Beare, Hedley, et.al. 1994. Creating an Excellent School, Some New

Management Techniques. London and New York: Routledge.

Carey, J. W. 1992. Communication as Culture Essays on Mediaand Society. New York: Routledge.

Coleman, Simon dan Helen Watson. 2005. Pengantar Antropologi.Jakarta: Nuansa.

Damami, Muhammad. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa.Yogyakarta: LESFI.

Dewey, John. 1974. The Child and The Curriculum, and TheSchool and Society. Chicago and London: TheUniversity of Chicago Press.

160

Page 47: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Dortier, Jeans-Francois. 2005. Talcott Parsons dan Teori Besarnyadalam Anthony Giddens at.al. (ed)., Sejarah dan Berbagaipemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Effendi, Abdurrahman Riesdam, dan Gina Puspita. 2007.Membangun Sains & Teknologi Menurut KehendakTuhan. Jakarta: Giliran Timur

Faisal Ismail. 1996. Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis danRefleksi Historis. Yogyakarta: Tiara Ilahi Press.

Fedyani, Achmad Saifudin. 2006. Antropologi Kontemporer. Jakarta:Kencana.

Fredy Heryanto. 2009. Nengenal Keraton Yogayakarta Hadiningrat.Yogyakarta: Warna Grafika.

Gidden’s, Anthony. 1989. Sosiology. Cambridge: Polity Press.

Gregorio, C. Herman. Introduction to Education in Philipine Setting.Manila: Garotech.

Griffits, Morwenna and Barry Troyne (ed). 1995. Antiracism,Culture, and Social Justice in Education. London:Trentham books limited.

Hamid, Endy Suandi. 1999. Pemerintahan yang Bersih Prespektif Politik,

Hukum, Ekomomi, Budaya dan Agama.Yogyakarta: UII Pres.

Handayani, T. 1995. Tradisi Nyadran dan Perubahan.

Harris, Marvin. 1988. Culture, People, Nature; An Introduction to General

Anthropology. New York: Harper and Row Publishers.

Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda, Tinjauan Pendidikan

Humaniora. Yogyakarta: Kanisius.

Hasymy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangya Islam diIndonesia, Medan: Pt almaarif.

Heryanto, Fredy. 2009. Mengenal Keraton Yogyakarta Hadiningrat.Yogyakarta: Warna Grafika.

Hoffman, Lois et.al. 1994. Developmental Psychology Today.New York:McGraw-Hill INC.

Hutagaol, R. 2013. Penerapan Tradisi Batak Toba. Yogyakarta: Skripsi.

161

Page 48: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Ihromi, TO. 1986. Konsep Kebudayaan: Pokok-Pokok AntropologiBudaya. Jakarta: PT. Gramedia.

IsJawara, F. 1964. Pengantar ilmu politik. Bandung: Dhewantara.

Isyanti. 2007. Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris.Jantra : Jurnal Sejarah dan Budaya.

J. Havighust, Robert. 1984. Perkembangan Manusia dan Pendidikan.Jakarta: Jemmars.

Joesoef, Daoed. 1982. Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus DikuasaiGuru, dalam Majalah Kebudayaan, no. 1 tahun 1981/1982.

Karnaji, 2006. Pranata Ekonomi dalam J. Dwi Narwoko danBagong Suyanto (ed.), Sosilogi: Teks Pengantar &Terapan, Jakarta: Kencana.

Khalil, Ahmad. 2008. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika danTradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press.

Koentjaraningrat, 1964. Kebudayaan, Mentalitet danPembangunan. Yogyakarta: Tiara Ilahi Press

_______________. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: AksaraBaru.

_______________. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: AksaraBaru.

_______________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

_______________. 1990. Pengantar ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

_______________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

_______________. 1996. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

_______________. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RinekaCipta.

Kriyantono, R. 2012. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta:Kencana Prenada Media Grup.

Kurniawan, Beni. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.Jakarta: Grasindo.

162

Page 49: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

M.B. Rohimsyah. AR, Siti Jenar Cikal Bakal Paham KejawenPergumulan Tasawuf Versi Jawa, (Surabaya: PustakaAgung Harapan, 2006), hlm. 163. dalam Ridwan,“Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa”, P3MSTAIN Purwokerto Ibda’, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun, 2008)

Madjid, Nurcholish. 2008. Tradisi Islam: Peran dan Fungsinyadalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: DianRakyat dan Paramadina.

________________. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Dian Rakyat dan

Paramadina.

Mark R. Woordwark. 2008. Islam Jawa, Kesalehan NormatifVersus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.

Masinambow, EKM. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia.Jakarta: AAI dan Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosdakarya.

Mulyono. 1970. Sejarah & Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya.Jakarta: Gramedia.

Mumfanganti, T. 2007. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada MasyarakatJawa. Jantra : Jurnal Sejarah dan Budaya. Hal. 152-158.

Muqoyyidin, Andik Wahyun. 2013. Jurnal Kebudayaan Islam. Hal 8-10.No 1. Vol 11.

Nash, M. 1966. Primitive and PeasentEconomic System. San Fransisco:

Chandler Publishing Company.

Ndraha, Taliduhu, 2003. Ilmu Pemerintahan Baru. Jakarta:Rineka Cipta.

Nugroho, Widodo dan Achmad Muchji. 1993. Ilmu Budaya Dasar.Jakarta: Universitas Gunadarma.

Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa, danPerpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI.

Prawiranegara, RM Yunani. “Ruwahan”, Tradisi Menjelang Ramadhan.http://www.kompas.comlipsus082008lebaran_read (27Oktober 2008).

163

Page 50: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Purwadi. 2004. Dakwah Sunan Kalijaga, Penyebaran Agama Islamdi Jawa Berbasis Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwadi. 2006. Adat Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta: BudayaJawa.com

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. 1983.Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusbinbangsa.

Qasim A. Ibrahim, Muhammad A. Saleh, Buku Pintar SejarahIslam, Yogyakarta: Zaman.RG Soekarjo. 1988.Antroplogi. Jilid I & II. Alih bahasa. Jakarta: Erlangga.

Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” AmericanEthnologist, 2, no.3 (August 1975).

Ridwan, Mistisisme Simbolik dalam Tradisi Islam Jawa, P3MSTAIN Purwokerto Ibda’, Vol.6 No. 1 (Jan-Jun, 2008).

Rowntree, Derek. 1978. Educational Technology in Curriculum

Development. A. Wheaton & Co. Ltd., Exeter, Great Britain.

Ruslani. 2005. Tabir Mistik Ilmu Ghaib dan Perdukunan. Yogyakarta:Tinta.

Sadjijoko. 2005. Fungsi Kepolisian dalm Pelaksanaan Good Governance.

Yogyakarta. LaksBang Yogyakarta.

Salahudin, Marwan. 2008. Mengenal Kearifan Lokal di Klepu-Ponorogo dalam Agama dan Kearifan Lokal dalamTantangan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semuel, Hatane. 2003. Pengaruh Kebutuhan Terhadap MotifPenggunaan Kartu Debet Bank Central Asia (BCA) diKalangan Mahasiswa Aktif Fakultas Ekonomi UniversitasKristen Petra Surabaya dalam Jurnal Manajemen &Kewirausahaan Vol. 5, No. 2, September 2003.

Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta :Kencana.

Simuh. 1996. Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Soekanto, Sorjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RaJawali Pers.

164

Page 51: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Soeprato, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik: Perspektif SosiologiModern. Malang: Averroes Press bekerja sama denganYogakarta: Pustaka Pelajar.

Solomon, Pearl. G. 1998. The Curriculum Bridge; FromStandards to Actual Classroom Practice. California,USA: Corwin Press. Inc.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudirman, Adi. Sejarah Lengkap Indonesia, Jogjakarta: Diva Pres.

Sulaiman, Fathiyyah Hasan. 1991. Ibnu Khaldun tentang Pendidikan.Jakarta: Minaret.

Surbakti, A. Ramlan. 2006. Pranata Politik dalam J. Dwi Narwokodan Bagong Suyanto (ed.), Sosiologi: Teks Pengantar& Terapi. Jakarta: Kencana.

Sutardi, Tedi. 2007. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya.Bandung: PT. Setia Purna Inves.

Suyanto. 1990. Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.

Syam, Nur. 2007. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.

Tahes Ike Nurjana, Suwarno Winarno, Yuniastuti, Tradisi NyadranSebagai Wujud Pelestarian Nilai Gotong-Royong ParaPetani Di Dam Bagong Kelurahanngantru KecamatanTrenggalek Kabupaten Trenggalek, Jurnal Ilmiah.

Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta: Balai Pustaka.

Veeger, K.J. 1993. Relitas Sosial: Refleksi filsafat sosial atashubungan individu-masyarakat dalam cakrawalasejarah sosiologi. Jakarta: Gramedia.

Wahid Saiful Umam. Tradisi Nyadran Lintas Agama Di DusunKemiri Desa Getas Kaloran Temanggung. FakultasSosial dan Humaniora UIN Sunan

Williams, Marion, and, Burden, Robert. 1998. Thinking Throughthe Curriculum. London, Britain: Routlege.

165

Page 52: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

TENTANG PENULIS

Imam Subqi, lahir di Pati Jawa Tengah

30 Agustus 1978, dari pasangan Bapak

Kasnan (alm.) dengan Ibu Umiyati.

Jenjang pendidikan formalnya diawali di

SDN Kaliyoso II Undaan Kudus lulus

tahun 1992, Madrasah Tsanawiyah

(MTs) Tamrinut Thullab Undaan Kudus

lulus tahun 1995, Madrasah Aliyah (MA)

Nahdlotul Muslimin Undaan Kudus

lulus tahun 1998, selanjutnya menyelesaikan Strata satu (S.1) di STAIN

Kudus lulus tahun 2004, kemudian menyelesaikan Magister Studi Islam

(S.2) di Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (sekarang UIN

Walisongo) lulus tahun 2008. Kemudian tahun 2013 menyelesaikan

Magister Teknologi Pendidikan di Pascasarjana Universitas Negeri

Jakarta (UNJ). Sejak tahun 2016 adalah Dosen Tetap IAIN Salatiga.

Aktif menulis diantaranya adalah Usia Dini Perlu Ganjaran dan

Hukuman (Rindang; 2005). Belajar Pe De; Kontekstualisasi Reward dan

Punishment dalam Pembelajaran, (Buku; 2009). Permainan Edukatif

dalam PAUD (Rindang; 2012), Metodologi Penelitian; Pendekatan

Praktis Kualitatif (Editor Buku; 2011). Media Pembelajaran; Teori dan

Aplikasi (Buku; 2012). Inovasi Pembelajaran dalam Mengembangkan

Kecerdasan Intrapersonal (Proseding; 2012). Pengaruh Kecerdasan

Intrapersonal dan strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar PAI

Siswa SMP Ampelgading Pemalang (Tesis; 2013). Pentingnya

Kecerdasan Intrapersonal dalam Pembelajaran PAI (Jurnal at-Tajdid;

2015). Membentuk Kepribadian Anak dalam Pendidikan Islam (Jurnal

Mudarisa). Hutang Piutang dalam Islam;

166

Page 53: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Sebuah Kontroversi Fenomena Riba (editor buku; 2015). Pola

Komunikasi Keagamaan dalam Membentuk Kepribadian Anak (Jurnal

Inject: 2016). Metodologi Penelitian; Pendekatan Praktis kualitatif

(Editor Buku; 2017). Pendidikan Moral Anak Jalanan (Editor Buku;

2018). Selain sebagai Editor Jurnal Inject, aktif juga sebagai peserta

seminar, FGD, Workshop tingkat nasional dan internasional.

167

Page 54: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Sutrisno, lahir di Kudus Jawa Tengah 22

September 1980, dari pasangan Bapak

Wagiran (alm.) dengan Ibu Maslikhah (alm).

Jenjang pendidikan formal diawali di SDN 2

Golantepus Mejobo Kudus lulus tahun 1991,

Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahut Tholibin

Mejobo Kudus lulus tahun 1995, Madrasah

Aliyah (MA) Miftahut Tholobin Mejobo Kudus

lulus tahun 1998, selanjutnya

menyelesaikan Strata satu (S.1) di STAIN Kudus lulus tahun 2003,

kemudian menyelesaikan Magister (S.2) di Pascasarjana STAIN

Salatiga (sekarang IAIN Salatiga) lulus tahun 2014. Sejak tahun 2015

menjadi Dosen di IAIN Salatiga. Karya tulis dan Journal diantaranya

adalah “Peran Polotik Umat Islam dalam Perpolitikan Indonesia”,

“Dimensi Afektif dalam Perspektif Pendidikan”, Efektivitas Asesmen

Sertifikasi Guru Melalui PLPG”, “Perpustakaan Penyelamat Umat

Sebagai Dakwah Sosial”, dan lain-lain. seminar dan pelatihan yang

pernah diikuti penulis antara lain: Seminar Nasional “Peran dan

Tantangan Pengelola Media Penyiaran di Era Teknologi Informasi”,

Semiloka “ Institution Visibility Based on Open Journal System and

Online Academic Writing Skill”, “Workshop Penyusunan Kurikulum

Berbasis KKNI”, Seminar “Islamic Based Enterpreneurship”, “Seminar

Internasional Pertama Literatur Nusantara (SILiN2017)”.

168

Page 55: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

Reza Ahmadiansah, lahir di Suka Banjar

Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu 06 April

1985, dari pasangan Bapak Lukman dengan

Ibu Raka’ataini. Jenjang pendidikan

formalnya diawali di SDN Suka Banjar 1 lulus

tahun 1997, Madrasah Tsanawiyah Negeri

(MTsN) Bintuhan lulus tahun 2000, Madrasah

Aliyah Negeri (MA) Bintuhan lulus tahun

2003, selanjutnya menyelesaikan

Strata satu (S.1) di STAIN Salatiga lulus tahun 2010 (sekarang IAIN

Salatiga), kemudian menyelesaikan Magister Psikologi (S.2) di

Pascasarjana UKSW Salatiga lulus tahun 2014. Disela menyelasaikan

S2 nya, penulis juga menjadi wartawan Jawa Pos Radar Semarang dan

pernah juga menjadi staf di Panwaslu Kota Salatiga dan pada tahun

2015 sampai dengan sekarang menjadi staf pengajar di IAIN Salatiga.

Jurnal yang pernah ditulisnya; Pengaruh Motivasi Kerja dan Kepuasan

Kerja Terhadap Kinerja Guru SMK Muhammadiyah Salatiga (jurnal

inject, vol 1, no. 2 tahun 2016. Sedangkan Diklat yang pernah diikuti,

antara lain: Workshop Pembelajaran Dosen (2016). The Exclusive one

Day Workhshop Become A Successsfull Entrepreneur (2016).

Workshop Penguatan Program Studi PTKIS di lingkungan Kopertais X

Jawa Tengah (2017). Semiloka Institution Visibility Based on Open

Journal System and Online Academic Writing Skill (FPPTI Jawa

Tengah; 2017). Workshop Penyusunan Kurikulum Berbasis KKNI

Program Studi Psikologi Islam Fakultas Dakwah IAIN Salatiga (2017).

Pelatihan Kader Dakwah; Membumikan Dakwah Profetik Melalui Seni

dan Teknologi (IAIN Salatiga; 2017). Peserta seminar tingkat nasional

dan internasional di berbagai forum ilmiah. Disela kesibukan

mengajarnya, penulis juga menjadi editor pada Jurnal Inject sejak 2016

sampai dengan sekarang.

169

Page 56: ISLAM DAN BUDAYA JAWAe-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8777/1/ISLAM... · Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima

CATATAN :

170