isi tesis dini

116
107 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit (Elaeis guineensis J.) merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Barlow et al., 2003; Ditjenbun, 2004; Depperin, 2007). Indonesia bahkan secara mengejutkan berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia sejak 2006, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam dari 40,5 persen pada 2004 menjadi 44,3 persen pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 45,3 persen menjadi 40,9 persen pada periode yang sama (Nuryanti, 2008; Miranti, 2010). Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp. 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63% pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari 10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit. (Susila, 2004a; Oladipo, 2008; World Growth, 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton) (GAPKI, 2010).

Upload: andreas-tarigan

Post on 27-Nov-2015

125 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Tesis Dini

107

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan,

kelapa sawit (Elaeis guineensis J.) merupakan salah satu komoditas yang

pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an

sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang

sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per

tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4%

per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju

masing-masing 10% dan 13% per tahun (Barlow et al., 2003; Ditjenbun, 2004;

Depperin, 2007). Indonesia bahkan secara mengejutkan berhasil menggeser posisi

Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia sejak 2006, lebih cepat dari yang

diproyeksikan semula. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai

produsen CPO dunia meningkat tajam dari 40,5 persen pada 2004 menjadi 44,3

persen pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh

rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari

45,3 persen menjadi 40,9 persen pada periode yang sama (Nuryanti, 2008;

Miranti, 2010).

Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan

ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa.

Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan

dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp. 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63%

pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam

pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari

10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit. (Susila, 2004a; Oladipo,

2008; World Growth, 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan

kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan

bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton)

(GAPKI, 2010).

Page 2: Isi Tesis Dini

108

Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia

dengan produksi mencapai 19,8 ton pada tahun 2010. Luas lahan kelapa sawit

pada tahun 2010 diperkirakan 7,85 hektar dengan rincian 42,4% perkebunan

rakyat, 7,9% Perkebunan Besar Nasional dan 49.8% Perkebunan Besar Swasta

(Ditjenbun, 2010). Pada tahun 2009, kontribusi devisa dari CPO dan produk

kelapa sawit lainnya adalah USD 12.3 milyar (GAPKI, 2010). Kontribusi

produksi CPO Indonesia adalah 44.5% dari produksi CPO dunia, disusul Malaysia

(41.3%), Nigeria 3.0%, Thailand, 2.7%, Kolumbia 1.9% dan selebihnya (7.4%)

diproduksi Pantai Gading Ekuador dan Papua Nugini (USDA, 2009).

Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 85% pangsa pasar CPO

dunia. Indonesia mampu mengekspor 40,34 %dalam bentuk CPO dan 59,66 %

dalam bentuk produk olahan CPO, sedangkan Malaysia mengekspor 16,38 %

dalam bentuk CPO dan 83,62 % dalam bentuk produk olahan CPO. Indonesia

lebih unggul dari Malaysia dalam hal ekspor bahan bakunya (CPO) tetapi

Malaysia unggul dalam hal produk turunannya yang mempunyai nilai tambah jauh

lebih tinggi daripada CPO nya (Depperin, 2009). Kedepan diperkirakan peran

Malaysia baik sebagai eksportir maupun produsen CPO dunia akan terus menurun

mengingat sudah semakin terbatasnya lahan untuk pengembangan kebun kelapa

sawit di negara tersebut (Miranti, 2010).

Pada tahun 2010/2011 diperkirakan bahwa bahwa minyak sawit (termasuk

PKO) akan memasok 36% total edible oil dengan penggunaan 74% untuk

konsumsi dan 26% untuk industri. Adapun total permintaan minyak makan dunia

pada tahun 2010/2011 diperkirakan sebagai berikut: minyak sawit (52,3 juta ton),

minyak kedelai (41,3 juta ton), rapeseed oil (22,3 juta ton), sunflower oil (11,3

juta ton), dan minyak lainnya (16,6 juta ton) (USDA, 2010). Konsumsi CPO

dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada

2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan

produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi

CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta

ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-

negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (Miranti, 2010).

Page 3: Isi Tesis Dini

109

Sejumlah kajian (Arisman, 2002; Basiron, 2002; Barlow et al., 2003; Susila,

2004b; Tryfino, 2006; Abidin, 2008; Nuryanti, 2008; Dou, 2009; Gumbira-Sa’id,

2010; Teoh, 2010) menyimpulkan bahwa peluang pengembangan industri minyak

sawit Indonesia masih sangat terbuka terutama karena ketersediaan dan

kesesuaian lahan serta didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat.

Walaupun industri CPO Indonesia memiliki prospek yang sangat baik di

tahun-tahun mendatang, industri ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah

dilalui. Tantangan tersebut antara lain (Didu, 2001; Arisman, 2002; Susila, 2004a;

Miranti, 2004; Tambunan, 2006; Tadjoeddin, 2007; Gumbira-Sa’id, 2010;

Miranti, 2010; Syaukat, 2010):

1. Adanya tuntutan yang semakin tinggi terhadap produk olahan CPO yang

memenuhi standar mutu terkait dengan isu lingkungan dan kesehatan produk.

2. Peningkatan produktivitas, efisiensi usaha serta dukungan kebijakan

pemerintah terhadap industri ini, terutama jika dibandingkan dengan negara

pengekspor CPO lainnya.

3. Masih kurangnya inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah oleh

pelaku bisnis karena tidak ada koordinasi aktivitas produksi dan pemasaran

dari lembaga riset serta lemahnya dukungan lembaga penelitian.

4. Kebijakan pemerintah yang tidak mendorong pengembangan sawit seperti

penerapan pajak ekspor sebesar 5,5 USD/ton CPO sejak Desember 2005,

ditambah dengan pajak progresif, sementara Malaysia malah membebaskan

pajak ekspor CPO. Sejumlah peraturan yang ada banyak yang membebani

industri minyak sawit maupun menghambat investasi di industri minyak sawit.

5. Struktur pasar dalam negeri yang belum efisien mulai dari penyediaan bahan

baku TBS (Tandan Buah Segar), pergudangan, transportasi dan pasar produk

akhir dari industri ini dan harga CPO dan produk olahannya yang cenderung

fluktuatif.

6. Belum adanya kebijakan yang jelas mengenai pengembangan industri hilir

serta keterkaitan industri hulu-hilir kelapa sawit serta arah pengembangan

yang belum sepenuhnya difahami oleh para pemangku kepentingan di

Page 4: Isi Tesis Dini

110

samping sejumlah kebijakan yang dianggap belum mengakomodir

kepentingan semua pihak terkait.

7. Belum sepenuhnya terjalin kemitraan antara perusahaan inti dengan plasma

sehingga sering menimbulkan konflik terutama pada pemilikan lahan.

8. Dukungan infrastruktur berupa jalan serta pelabuhan laut yang belum

memadai untuk perdagangan antar pulau.

9. Isu kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembebasan

lahan kelapa sawit.

Di bidang lingkungan, CPO Indonesia menghadapi tantangan berat di

pasar ekspor terutama di pasar Uni Eropa (UE) yang sangat ketat. Saat ini di UE

terdapat aturan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca yang akan

diberlakukan pada 2011. Dalam aturan tersebut negara UE tidak bisa mengimpor

CPO karena dianggap komoditas tersebut tidak memenuhi ketentuan mengenai

pembatasan emisi mereka. Akibatnya, CPO tidak bisa masuk ke pasar UE. UE

menerapkan aturan tersebut karena penguasaan pasar CPO lebih besar daripada

minyak nabati lainnya seperti seperti rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak

bunga matahari (Susila, 2004a; ICN, 2009a; Syaukat, 2010).

Areal perkebunan sawit di Sumatera pada tahun 2005 mencapai 4.280.094

ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Provinsi Riau

tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 ha diikuti provinsi Sumatera Utara

seluas 964.257 ha (ICN, 2009a). Data dari PTPN IV (2009) menyebutkan bahwa

luas lahan sawit di Sumaatera Utara adalah 1,9 juta ha dengan rincian satu juta ha

perkebunan rakyat, 500 ribu ha PBN dan 400 ribu ha dikelola oleh PTPN,

sementara luas areal di propinsi Riau adalah 1.611.361 ha (BPS Provinsi Riau,

2008). Sumatera Utara sendiri meski memiliki perkebunan sawit cukup luas,

namun hanya bisa menghasilkan CPO, sehingga yang mendapatkan nilai tambah

justru daerah lain, sementara propinsi ini sendiri sering kekurangan minyak sayur

yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari (ICN, 2009b).

Kajian terhadap sejumlah kebijakan dan strategi pemerintah terkait

pengembangan industri kelapa sawit dengan melibatkan berbagai pihak

Page 5: Isi Tesis Dini

111

diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kebijakan pemerintah di masa-

masa mendatang.

2. Perumusan Masalah

Dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan, Indonesia masih memiliki peluang

untuk mengembangkan industri kelapa sawit jika didukung oleh kebijakan dan

strategi yang tepat, jaminan keamanan berusaha, penyediaan sumber dana yang

memamdai serta kejelasan tataniaga TBS dan CPO. Sejauh ini, kebijakan yang

ada dirasa belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan

semua pemangku kepentingan yang ditandai oleh adanya sejumlah masalah

bahkan konflik antar pelaku. Untuk itu diperlukan perbaikan sejumlah kebijakan

dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan terkena dampak

langsung maupun tidak langsung kebijakan yang dibuat pemerintah melalui kajian

yang komprehensif.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan

industri kelapa sawit nasional khususnya di PTPN IV Sumatera Utara.

2) Mengetahui strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam

pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara.

3) Menganalisis pengaruh strategi kebijakan pemerintah serta menentukan

pengaruh masing-masing strategi terhadap pengembangan industri kelapa

sawit di PTPN IV Sumatera Utara.

4) Merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis kinerja perusahaan dan

wilayah.

Page 6: Isi Tesis Dini

112

4. Manfaat Penelitian

1) Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan

pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam

pengembangan industri kelapa sawit

2) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau

pertimbangan dalam pembuatan strategi kebijakan pemerintah untuk

pengembangan industri kelapa sawit nasional.

3) Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.

5. Ruang Lingkup Penelitian

1) Kajian yang dilakukan adalah menganalisis strategi kebijakan pemerintah

terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional dengan studi kasus di

PTPN IV Medan Sumatera Utara

2) Analisis difokuskan pada perkebunan dan industri pengolahan TBS

dengan menganalisis seluruh faktor yang mempengaruhi pengembangan

industri kelapa sawit, namun yang dijadikan peubah dalam rancangan

kebijakan dibatasi pada faktor yang berpengaruh langsung.

3) Pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian adalah pihak direksi PTPN IV,

para petani plasma, koperasi/kelompok tani, serta dinas/instansi terkait.

Page 7: Isi Tesis Dini

113

II. NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT

1. Pendahuluan

Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor

Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan merupakan salah satu industri

pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang

sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu

dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar

internasional (Manurung, 2001; Susila, 2004b; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008;

Gumbira-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Daya saing di

pasar internasional ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative

advantage) sebesar 14,8 (INDEF, 2007). Nilai RCA merupakan gambaran

dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu)

dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik (Arisman, 2002).

Sejak tahun 2006, Indonesia juga telah menggeser Malaysia sebagai

produsen CPO terbesar di dunia (ICN, 2009a; Miranti, 2010). Bahkan tahun 2007

saja, produksi Indonesia telah lebih unggul sekitar satu juta ton dibandingkan

Malaysia dan menyumbang devisa sebesar 7,9 milyar USD. (Purwantoro, 2008;

Teoh, 2008). Namun secara fundamental agroindustri sawit Indonesia tertinggal

sangat jauh dari Malaysia akibat produktivitas yang relatif lebih rendah. Minat

untuk terus membuka kebun sawit baru, pada tahun-tahun mendatang ini masih

akan sangat besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan

terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional

(Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO

akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tan

et al., 2009).

Meskipun memiliki industri bahan baku yang melimpah, namun

perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang

kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran,

Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical dunia yang

Page 8: Isi Tesis Dini

114

mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6

persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120

jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk.

Industri oleokimia merupakan industri yang strategis karena selain keunggulan

komparatif yakni ketersediaan bahan baku yang melimpah juga memberikan nilai

tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan

bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa

sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat

dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku

bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Diantara

kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar

(fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk

tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan

kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ).

Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi

produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk

level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar

30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing

nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam

lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 –

400%), dan kosmetik (600 – 1000%).

Page 9: Isi Tesis Dini

115

2. Perkembangan Industri Sawit Nasional

Bisnis CPO Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990 – 2000an

dengan daya saing yang relatif bagus. Areal kelapa sawit tumbuh dengan laju

sekitar 11% dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001

(Susila, 2004b), meski nilai RCA-nya jauh di bawah Malaysia yang menunjukkan

dayasaing CPO Malaysia jauh di atas Indonesia (Arisman, 2002) seperti disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai RCA CPO Indonesia dan Malaysia 1990 – 1998

Tahun Indonesia Malaysia

1990 13.85 65.72

1991 17.11 66.08

1992 17.03 77.86

1993 12.41 33.31

1994 11.95 30.78

1995 10.72 30.08

1996 10.87 27.65

1997 16.29 27.26

1998 9.53 48.29

Sumber: Arisman (2002)

Perkembangan berikutnya (2000 – 2005) pertumbuhan ekspor CPO

Indonesia dan dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih

dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa

ekspor CPO Malaysia rata-rata mencapai lebih dari 50% ekspor CPO dunia,

sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008)

Page 10: Isi Tesis Dini

116

seperti disajikan pada Tabel 2. Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian

INDEF (2007) menunjukkan bahwa:

1) Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir

kelapa sawit yang tidak berkembang.

2) Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan dari produk

turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO)

yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk

memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi.

3) Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan

industri hilir dan sumber energi alternalif (biodiesel).

Tabel 2. Volume, Persentase dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit 2000 –

2005

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Dunia

Ekspor (000 ton)

Persentase (%)

Pertumbuhan (%)

13.977,01

100

2,88

16.921,40

100

21,07

18.658,11

100

10,26

21.011,33

100

12,61

23,337,73

100

11,07

26.494,16

100

13,53

Indonesia

Ekspor (000 ton)

Persentase (%)

Pertumbuhan (%)

4.110,03

29,41

24,58

4.903,22

28,98

19,30

6.333.71

33,95

29,17

6.386,41

30,40

0,83

8.661,65

37,11

35,63

10.376,19

39,16

19,79

Page 11: Isi Tesis Dini

117

Malaysia

Ekspor (000 ton)

Persentase (%)

Pertumbuhan (%)

8.140,72

58,24

-5,17

10.002,49

59,1

22,87

1.448,74

56,00

4,46

12.079,13

57,49

15,60

11.793,59

50,53

-2,36

13.197,21

49,81

11,90

Lainnya

Ekspor (000 ton)

Persentase (%)

Pertumbuhan (%)

1.726,26

12,35

1,44

2.01,69

11,91

16,77

1.875,66

10,05

-6,95

2.545,79

12,12

35,73

2.882,49

12,35

13,23

2.920,76

11,02

1,33

Sumber: Nuryanti (2008)

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai

produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan

semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai

produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi 44,3% pada 2008, sejalan dengan

pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun.

Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8 % pada tahun 2005

menjadi 40,9 % pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Menurut Widodo et al.(2010)

hal ini juga bisa berdampak negatif yaitu kelangkaan minyak goreng dalam negeri

akibat pertumbuhan ekspor serta kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan

baru kelapa sawit.

3. Revitalisasi Perkebunan

Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan

perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman

perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh

pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai

mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran

Page 12: Isi Tesis Dini

118

hasil. Komoditi yang dikembangkan adalah kelapa sawit, karet dan kakao dengan

kegiatan mencakup perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman, seluas 2 juta

ha. Untuk pelaksanaan Program Revitalisasi tersebut telah terbit Peraturan

Menteri Pertanian No. 33/Permentan/05/06 dan Peraturan Menteri Keuangan No.

117/PMK/12/06 serta penunjukan 5 bank pelaksana oleh Menteri Keuangan,

yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Sumut dan Bank Nagari.

Untuk menjalankan program ini, pemerintah telah mensubsidi bunga kredit

perbankan sehingga petani “hanya” dikenakan bunga maksimal 10% (Ditjenbun,

2007; Nuryanti, 2008).

Dalam revitalisasi perkebunan, pemerintah menyediakan kemudahan pada

hal-hal yang berkaitan dengan (Dradjat, 2007):

(1) Investasi dan pembiayaan, seperti penyediaan kredit investasi dan subsidi

bunga oleh pemerintah untuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan kebun

kelapa sawit, karet, dan kakao.

(2) Manajemen pertanahan dan tata ruang, seperti penetapan dan pemanfaatan

lahan produktif untuk pembangunan kebun kelapa sawit di kawasan

perbatasan Kalimantan.

(3) Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, seperti pengembangan dan

pengelolaan sumber daya alam partisipatif.

(4) Infrastruktur pertanian.

(5) Pengembangan SDM dan pemberdayaan petani.

(6) Insentif dan pendanaan riset dan pengembangan teknologi.

(7) Penyusunan kebijakan perdagangan yang mengedepankan kepentingan

bangsa

(8) Promosi dan pemasaran hasil, dan

(9) Insentif perpajakan dan retribusi berupa keringanan hingga penghapusan

beban bagi komoditas pertanian.

Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang

memanfaatkan dana perbankan untuk mendorong pemberdayaan para petani yang

memiliki lahan namun pemanfaatannya belum maksimal. Target pengembangan

secara nasional, seluas 2 juta hektar sampai tahun 2010 untuk program perluasan,

Page 13: Isi Tesis Dini

119

peremajaan dan rehabilitasi. Pembiayaan yang diberikan kepada petani adalah

mulai dari pembelian bibit sampai dengan pasca panen, termasuk biaya

pengurusan sertifikat lahan. Subsidi bunga dari pemerintah sebesar 3 s.d 4%,

dimana petani hanya membayar bunga kredit 10% selama masa grace period.

Besarnya bunga setelah masa tenggang adalah sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di bank (BI, 2009). Sasaran dari setiap komoditi secara nasional disajikan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas sasaran revitalisasi pertanian untuk kelapa sawit, karet dan kakao

Komoditas Perluasan

(ha)

Peremajaan

(ha)

Rehabilitasi

(ha)

Jumlah

(ha)

Kelapa sawit 1.375.000 125.000 - 1.500.000

Karet 50.000 250.000 - 300.000

Kakao 110.000 54.000 36.000 200.000

Jumlah 1.535.000 42.000 36.000 2.000.000

Sumber: BI (2009)

Di Sumut, program revitalisasi perkebunan melibatkan 4 bank, yaitu Bank

Sumut, BPD Aceh, BNI dan Bank Mandiri. Komoditi yang dikembangkan Kelapa

Sawit dengan sistem kemitraan serta Karet dan Kakao dengan sistem non mitra.

Realisasi program sampai dengan Mei 2009 disajikan pada Tabel 4.

Page 14: Isi Tesis Dini

120

Tabel 4. Realisasi kemitraan sawit di Sumatera Utara

Luas Areal (Ha)

Mitra Usaha KUD Inti Plasma Total

Jumlah

peserta

(KK)

PTPN IV 4 15.900 9.000 24.900 4.500

PT Perkebunan

Sumut

2 2.600 900 3.500 450

PT Langkat

Anugerah Makmur

7 12.200 7.800 20.000 2.600

Total 13 30.700 17.700 48.400 7.550

Sumber: BI (2009)

4. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup

mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004

menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 6,63 persen per tahun.

Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan produksi CPO Indonesia yang

meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni dari 13,6 juta ton menjadi

19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia

diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton pada

2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya

permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar dunia (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan.

Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati dunia mencapai 160

juta ton, dimana 48 juta ton (30%) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit,

disusul oleh minyak kedelai (23%). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit

ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan

Page 15: Isi Tesis Dini

121

baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih

murah hingga mencapai 200 USD/ton ketimbang rapeseed oil (Tan et al., 2009).

Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004

menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun,

jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World

memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton

pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya

permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni

Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan

konsumsi CPO dunia disajikan pada Tabel 5.

Page 16: Isi Tesis Dini

122

Tabel 5. Produksi, Konsumsi dan Produsen CPO Dunia 2004 – 2010

Kontribusi Negara Produsen

Tahun Produksi

(juta ton)

Konsumsi

(juta ton) Malaysia

(%)

Indonesia

(%)

Lainnya

(%)

2004 33.5 29.2 45.4 40.6 14.0

2005 36.0 32.5 43.1 43.3 13.6

2006 37.3 35.5 41.0 44.5 14.5

2007 41.0 37.8 42.9 43.9 13.2

2008 42.8 42.6 40.9 44.3 14.8

2009 45.1 45.3 38.9 46.3 14.7

2010 47.1 47.5 38.2 47.0 14.8

Sumber: Miranti (2010) diolah.

5. Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional

Perekonomian Sumatera sangat didominasi oleh Provonsi Sumatra

Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Peran industri dan perkebunan kelapa

sawit di Sumatera Utara sangat dominan demikian pula di beberapa propinsi

di Sumatera lainnya. Di Jambi, misalnya, peran industri kelapa sawit

diperkirakan sekitar 28% dari perekonomian di provinsi tersebut. Di Provinsi

Riau dan Bengkulu, peran kelapa sawit dalam perekonomian juga sangat

dominan. Kenaikan permintaan terhadap komoditi kelapa sawit dan

komoditi hasil perkebunan lainnya, seperti karet, akan sangat mendorong

pertumbuhan ekonomi di wilayah ini (Kadin, 2009).

Hingga tahun 2009, perkembangan perkebunan kelapa sawit Sumatera

Utara terus meningkat dengan luas perkebunan sawit mencapai 1,9 juta hektar

dengan rincian satu juta ha merupakan perkebunan inti rakyat (PIR) dan 400.000

Page 17: Isi Tesis Dini

123

ha dikelola oleh PTPN dan perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha. Bahkan

untuk menjadikan Sumut sebagai barometer perkelapasawitan nasional, pihak

PTPN II sudah menyiapkan sedikitnya 8.171,54 ha lahan untuk menambah

pengembangan perkebunan kelapa sawit (PTPN IV, 2009). Sebagai salah satu

wilayah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, Sumut

juga menjadikan produk-produk berbasis kelapa sawit sebagai salah satu

komoditas andalan ekspor. Pangsa ekspor CPO terus mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Jika pada tahun 2006, pangsanya mencapai 34,75%, maka pada

triwulan I-2009 ekspor CPO kembali mendominasi, dengan pangsa sebesar

47,36% (BI, 2009).

Berdasarkan data Ditjenbun (2010) hingga tahun 2008 luas lahan yang

telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit di Sumut adalah 1.255.810 ha dengan

produksi 2.738.279 ton. Rincian daerah yang telah dikembangkan disajikan pada

Tabel 6.

Tabel 6. Luas penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2008

Nama Daerah (Kabupaten) Luas Lahan

(Hektar)

Asahan 157.857

Deliserdang 42.950

Karo 1.710

Labuhanbatu 773.404

Langkat 123.131

Mandailingnatal 24.991

Page 18: Isi Tesis Dini

124

Pakpakbharat 1.650

Serdang Bedagai 53.629

Simalungun 24.983

Tapanuli Selatan 36.905

Tapanuli Tengah 13.765

Tapanuli Utara 49

Tobasamosir 786

Jumlah 1.255.810

Sumber: Ditjenbun (2010)

Berdasarkan data BI (2010) kendala yang dihadapi dalam pengembangan

komoditas kelapa sawit di Sumatera Utara terutama adalah ketersediaan

infrastruktur (50,00%), diikuti perpajakan (11,11%), distribusi (11,11%), pasokan

energi (11,11%) dan kendala lainnya (16,67%). Ke depan, pengembangan areal

direncanakan ke arah Pantai Timur Sumatera. Kawasan ini merupakan wilayah

yang sangat strategis karena membujur melewati 8 (delapan) provinsi dari Aceh

sampai Lampung. Keunggulan letak geografis jalur timur Sumatera antara lain

tercermin dari fakta bahwa lebih dari 25% jalur kontainer dunia melewati Selat

Malaka yang berada di wilayah ini.

Terkait kebijakan pengembangan, Afifuddin dan Kusuma (2007)

merekomendasikan agar Pemerintah Daerah memberikan kemudahan-kemudahan

dengan memperhatikan minat investor agribisnis yang berkehendak

menggalakkan investasi di bidang down stream dari kelapa sawit di Sumatera

Utara dengan mengajak investor lokal maupun asing untuk membangun pabrik-

pabrik produk turunan dari CPO di Sumatera Utara dengan tidak mempersulit

dalam hal perizinan. Sehingga penanganan investasi pada bidang pengolahan

Page 19: Isi Tesis Dini

125

produk turunan CPO dipandang perlu untuk segera dimulai. Dengan banyaknya

pabrik produk turunan CPO di Sumatera Utara akan berdampak kepada

penyerapan tenaga kerja, PAD, GDP Sumatera Utara dan kesejahteraan

masyarakat.

6. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan

Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara

terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan usaha sektor hulu dan

hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor

bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana

dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED)

tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan sekarang tanpa

mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya”

(Plummer, 2005).

Selain memiliki posisi tawar yang kuat di pasar CPO internasional,

peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi

Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja,

teknologi maupun tenaga ahli. Namun industri minyak dalam negeri belum

memiliki kerangka pengembangan yang padu dan menyeluruh (Susila 2004b;

Deptan, 2007; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Miranti, 2010). Potensi dan

kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Potensi dan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit

Kelas kesesuaian lahan Uraian Luas (Ha)

Berpotensi tinggi

S

S/C

Sesuai

Sesuai/sesuai bersyarat

22.914.479

1.964.100

Berpotensi sedang

S/N

Sesuai/tidak sesuai

2.530.500

Page 20: Isi Tesis Dini

126

CS/S

CS/N

Sesuai bersyarat/sesuai

Sesuai bersyarat/tidak sesuai

142.600

704.006

Berpotensi rendah

CS

CS/N

N/S

Sesuai bersyarat

Sesuai bersyarat/tidak sesuai

Tidak sesuai/sesuai

7.670.100

10.857.106

121.225

Jumlah 46.904.116

Sumber: Dradjat (2007)

Perbedaan nyata kondisi pengelolaan antara Malaysia dan Indonesia

tercermin dari rendahnya daya saing Indonesia dalam bentuk produksi, ekspor,

dan fenomena berdirinya pabrik pengolah minyak sawit tanpa kebun sawit.

Kondisi ini mengakibatkan produksi CPO, kualitas dan harga tidak bisa dikontrol

dengan baik (Nuryanti, 2008; Dou, 2009).

Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional terutama

infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya dengan pengangkutan di

pelabuhan untuk mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang

dihadapi adalah tidak selaras dengan pertumbuhan industri turunannya.

Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti

pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine,

methyl esther. Sampai saat ini CPO belum dimanfaatkan secara optimal untuk

pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang

pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk

kimia dasar organik. Padahal dengan mengembangkan industri hilir, maka nilai

mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk

turunan CPO mempunyai hubungan dengan sektor usaha dan kebutuhan

masyarakat di bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan,

pengawet makanan, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma,

2007; Dou, 2009; ICN, 2009a).

Page 21: Isi Tesis Dini

127

Pengembangan industri minyak kelapa sawit telah menimbulkan

kontroversi di masyarakat internasional. Di satu pihak, pengembangan kelapa

sawit dan industri kelapa sawit memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan

negara; di lain pihak ia menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak

dapat diabaikan. Beberapa negara Eropa dan Amerika telah memboikot produk

kelapa sawit sebagai protes atas dampak negatif sosial dan lingkungan yang

ditimbulkannya. Isu yang mengemuka adalah produksi kelapa sawit yang terus

mengalami peningkatan di Indonesia (dan Malaysia) telah menimbulkan berbagai

dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain forest conversion, habitat loss,

endanger species, serta greenhouse effect and climate change. Isu-isu ini

berdampak pada tidak stabilnya harga CPO dunia (Tryfina, 2006; Syaukat, 2010;

Widodo et al., 2010). Mulai tahun 2011, Uni Eropa telah memberlakukan EU

Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca. Dalam aturan ini disebutkan

bahwa EU tidak boleh mengimpor CPO karena komoditas ini dianggap tidak

memenuhi ketentuan pembatasan emisi, akibatnya CPO tidak bisa masuk ke

pasar Uni Eropa (ICN, 2009a).

Permasalahan utama pengembangan kelapa sawit sebenarnya tidaklah

melulu isu lingkungan. Pada mulanya negara-negara Barat (terutama Eropa dan

Amerika) membuat kampanye negatif (negative campaign) dengan menyatakan

bahwa minyak kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan. Misalnya, Center for

Science in the Public Interest (CSPI) di Amerika Serikat pada tahun 2005

mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit dapat menimbulkan serangan

jantung. Demikian pula dengan World Health Organization yang telah

menyarankan untuk mengurangi konsumsi minyak kelapa sawit karena berpotensi

menimbulkan cardiovascular diseases. Kampanye negatif ini sebenarnya

merupakan ‘perang dagang’ karena terjadinya pergeseran penggunaan sumber

minyak nabati: dari minyak jagung, minyak kedelai, minyak biji matahari, dan

minyak canola ke minyak kelapa sawit. Peningkatan produksi dan konsumsi

minyak kelapa sawit di seluruh dunia telah mengurangi permintaan terhadap

minyak nabati konvensional yang selama ini dihasilkan sebagian besar oleh

negara-negara barat. Dari aspek produksi, minyak kelapa sawit memiliki biaya

produksi yang paling rendah, mengingat tingginya produktivitas kelapa sawit per

Page 22: Isi Tesis Dini

128

satuan luas serta rendahnya biaya pemeliharaan tanaman (Tan et al., 2009;

Syaukat, 2010; Sulaiman et al., 2010). Teoh (2010) menyenarai tantangan dan

peluang industri CPO dengan ringkasan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tantangan dan peluang industri CPO

Aspek Tantangan Peluang

Ekonomi • Kesenjangan pendapatan

• Penurunan harga &

kenaikan Biaya

• Pemahaman buruk

tentang CPO

berkelanjutan yang

sudah memperoleh

sertifikasi

• Menutup kesenjangan hasil

• Meningkatkan produktivitas

petani kecil

Lingkungan

hidup

• Penebangan hutan

• Hilangnya

keanekaragaman hayati

• Perubahan iklim

• Penggunaan pestisida

dan pupuk

• Moratorium (penghentian

sementara) penebangan

hutan

• Penggunaan lahan

terdegradasi untuk

pemeliharaan kelapa sawit

• Mekanisme pengurangan

emisi gas rumah kaca

• Reducing Emissions from

Deforestation and

Degradation (REDD)

• Transformasi pasar

Sosial • Konflik hak atas tanah,

penggunaan tanah dan

akuisisi tanah

• Konflik dengan

• Reformasi tanah

berdasarkan hukum

• Mekanisme penyelesaian

konflik

Page 23: Isi Tesis Dini

129

Aspek Tantangan Peluang

masyarakat setempat

• Petani kecil yang tersisih

• Tenaga kerja murah dan

tenaga kerja anak-anak

• Masalah keamanan

• Dukungan kelembagaan

untuk petani kecil

• Membantu petani kecil

memperoleh sertifikasi

• Penggunaan pabrik lebih

kecil untuk kelompok tani

• Mempromosikan pertanian

terpadu

Tata kelola • Pemerintah

• Lembaga Internasional

• Platform Multi-

stakeholder

• Organisasi Masyarakat

Madani

• Korporasi

• Kemitraan Publik- Swasta-

CSO keberlanjutan

• Kebutuhan akan kemitraan

swasta

Sumber: Teoh (2010)

Dalam rangka memenuhi tuntutan internasional agar kelapa sawit dapat

diproduksi secara berkelanjutan, maka pada tahun 2004 telah dikembangkan the

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diikuti oleh tujuh kelompok

kepentingan, yaitu produsen kelapa sawit, pengolah atau pedagang kelapa sawit,

konsumen produk olahan kelapa sawit, pengecer, bank dan investor, NGO bidang

lingkungan atau konservasi alam, serta NGO bidang sosial atau pembangunan.

Tujuan RSPO adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan

produk minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui standard global yang kredibel

dan keterlibatan para pihak. Pada saat ini, anggota-anggota RSPO telah

menghasilkan 1.4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2006; Jelsma

et al., 2009; Paoli et al., 2010; Gumbir-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010).

Menurut Weng (2005) pengembangan industri kelapa sawit yang

berkelanjutan perlu menerapkan best-developed practice (BDP) dengan

karakteristik sebagai berikut:

Page 24: Isi Tesis Dini

130

(1) Melindungi lingkungan fisik seperti udara, tanah dan air

(2) Memperhatikan dampak lingkungan kimia seperti penggunaan pestisida,

keseimbangan nutrisi dan materi organik pada lahan sawit.

(3) Memelihara lingkungan biologis seperti keragaman hayati, mereduksi gulma,

hama dan penyakit, perlindungan ekosistem, keamanan dan kelangsungan

pangan, memperlambat perubahan iklim melalui stabilisasi konsentrasi gas

rumah kaca (greenhouse gas). Hal ini juga berimplikasi pada input energi

yang rendah pada sumberdaya seperti pestisida dan pupuk.

Page 25: Isi Tesis Dini

131

III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT

1. Pendahuluan

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja

dalam arti government yang menyangkut aparatur negara, tapi juga governance

yang menyentuk berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, hingga

masyrakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-

keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur

pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi

kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga

negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan

kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan-kepentingan

yang mewakili sistem politik suatu negara (Ellis, 1994; Suharto, 2007).

Definisi yang lebih sederhana menyebutkan kebijakan publik tidak lebih

dari pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; whatever

government choose to do or not to do (Bridgman and Davis, 2004). Setiap

peraturan atau perundang-undangan adalah kebijakan, tapi tidak semua kebijakan

menjadi peraturan atau menjadi undang-undang. Secara garis besar, kebijakan

publik dapat dimaknai sebagai 1) proses pengambilan keputusan, 2) proses

manajerial dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan, 3) intervensi

pemerintah dan 4) interaksi antara negara dengan rakyat (Nogi, 2003). Dengan

dasar klasifikasi di atas, maka efisiensi kebijakan publik dapat dilihat di ranah

mana formula kebijakan dibuat (pemerintah, pelaku, masyarakat) sehingga

kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan.

2. Pola Pengembangan Perkebunan

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.357 tahun 2002 tentang Pedoman

Perizinan Usaha Perkebunan, pengembangan usaha perkebunan harus

menyertakan masyarakat petani perkebunan dengan pola:

Page 26: Isi Tesis Dini

132

a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; modal usaha 100% dimiliki oleh Koperasi

Usaha Perkebunan.

b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor; saham 65% dimiliki koperasi dan

35% dimiliki investor/perusahaan.

c. Pola Patungan Investor Koperasi; saham 80% dimiliki investor/perusahaan

dan minimal 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer); pembangunan dan pengoperasian

dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu

seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

e. Pola BTN (Bank Tabungan Negara); investor/perusahaan membangun kebun

dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan

kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

f. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat,

membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.

Selanjutnya, pada UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan

Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan,

kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai

fungsi: a). ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat

serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b). ekologi, yaitu

peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan

penyangga kawasan lindung; dan c). sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan

pemersatu bangsa” (Pasal 4).

Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai

dengan undang-undang tersebut dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini

menurut Tryfino (2008) adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC).

Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma

sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan

tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini

perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2

ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja

dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya

akan menguntungkan perusahaan juga. Pola ini juga mengadopsi kepentingan

Page 27: Isi Tesis Dini

133

pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena

perusahaan wajib memberikan 10% sahamnya ke pemerintah daerah. Selain itu di

dalam pola ini perusahaan juga memberikan 10% sahamnya ke pemerintah pusat.

(Tryfino, 2006).

Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan

telah diatur secara operasional melalui Permentan

No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

Di dalam peraturan tersebut (Pasal 5 dan Pasal 6) disebutkan bahwa untuk usaha

budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB

memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), sedangkan untuk

luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda

Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati/Walikota.

Menurut Fadjar (2006), pola kemitraan saat ini merupakan perubahan

struktur yang belum lengkap dan butuh perbaikan. Struktur kemitraan yang

diharapkan adalah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha

sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi

kepada petani kecil. Bahkan menurut Syam (2006), bentuk kemitraan usaha yang

diarahkan pemerintah untuk memberdayakan UKM tidak efektif karena UKM

selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak

dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari

pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan. Oleh karena itu diperlukan

alternatif pola pengembangan berupa Jejaring Usaha.

Didu (2001) dengan model agrosawit dengan pendekatan sistem

menyebutkan bahwa prioritas utama pengembangan agroindustri kelapa sawit

adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan pendapatan petani. Peran

pemerintah daerah masih sangat diharapkan dalam menciptakan kebijakan yang

kondusif terutama dalam hal penetapan harga TBS, gaji/upah dan perpajakan.

Basdabela (2001) mengajukan pola Perusahaan Agroindustri Rakyat

(PAR) sebagai kelembagaan alternatif lain dari lima pola yang ditawarkan oleh

pemerintah yang pada intinya mengupayakan pengembangan kebun dan PKS oleh

Page 28: Isi Tesis Dini

134

koperasi baik seluruhnya atau sebagian melalui patungan dengan investor.

Analisis terhadap kelembagaan pola PAR menunjukkan bahwa pola ini mampu

menetralisir dikotomi yang terjadi antara plasma dan inti, memberdayakan dan

meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan kredibilitas petani di mata

perbankan.

Syahza (2010) mengembangkan model agroestate berbasis kelapa sawit

(ABK) untuk percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam

model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama. Pertama, kegiatan bisnis

membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani

peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang, Kedua, bisnis

mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang

dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani

peserta itu sendiri. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di

pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan

perusahaan pengembang.

Wigena et al. (2010) merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit

plasma berkelanjutan berbasis pendekatan sistem dinamis. Model ini diklaim

mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, sosial dan lingkungan serta

peningkata kualitas SDM yang menjamin keberlangsungan usaha industri kelapa

sawit..

Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan

untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan

komprehensif yang menyatukan pengembangan desa-kota dengan mengaitkan

perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Bahkan Douglass (1998)

merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di

Indonesia. Tacoli (1998) menggunakan pendekatan serupa dengan istilah urban-

agriculture dan non-agricultural rural development. Di Indonesia, konsep

agropolitan ini kemudian dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang meski sebenarnya sudah diintroduksi pada tahun 2002. Menurut

Nugroho (2008), salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah

jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk

Page 29: Isi Tesis Dini

135

antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik

agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk

daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua.

3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional

Deptan (2007) telah merumuskan kebijakan, strategi dan program

pengembangan agribisnis kelapa sawit untuk tahun 2006 – 2005. Dalam

kebijakan jangka menengah (2006 – 2010) disebutkan bahwa kebijakan

pengembangan yang akan dilakukan adalah:

1) Peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit; meningkatkan produktivitas

tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh

petani pekebun maupun perkebunan besar.

2) Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit;

ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi

dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri

dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru.

3) Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu; kebijakan ini diperlukan

mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya

ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan

goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.

4) Dukungan penyediaan dana; tersedianya berbagai kemungkinan sumber

pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal

dari lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera

dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk

pengembangan agribisnis kelapa sawit.

Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia disajikan pada

Tabel 9.

Page 30: Isi Tesis Dini

136

Tabel 9. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia.

Tujuan Strategi

Meningkatkan ketahanan pangan

masyarakat

• Integrasi vertikal perkebunan kelapa

sawit dan agroindustri yang

menghasilkan produk turunan jenis

pangan, seperti minyak goreng dan

mentega

• Integrasi horizontal perkebunan kelapa

sawit dengan peternakan dan atau

tanaman pangan

Menumbuhkembangkan usaha

perkebunan di perdesaan

• Pemberdayaan masyarakat dalam

pengembangan usaha pengolahan

minyak sawit

• Mendorong penyediaan sarana dan

prasarana pengolahan minyak sawit

Meningkatkan pemanfaatan sumber

daya perkebunan

• Peningkatan produksi dan produktivitas

kebun kelapa sawit melalui inovasi

teknologi

• Penyediaan sarana dan prasarana

pendukung, terutama infrastruktur

transportasi di dan ke perkebunan

kelapa sawit dan infrastruktur

pengolahan

• Pengembangan diversifikasi usaha

• Pemberantasan Organisme Pengganggu

Tanaman (OPT) dan perlindungan

sumber daya perkebunan kelapa sawit

Membangun kelembagaan

perkebunan yang kokoh dan

mandiri

• Revitalisasi dan mengembangkan

organisasi pelaku usaha pada agribisnis

kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi

petani dan gabungan asosiasi petani

Page 31: Isi Tesis Dini

137

Tujuan Strategi

kelapa sawit, koperasi petani kelapa

sawit dan dewan minyak sawit, serta

organisasi lain) melalui inovasi

kelembagaan

• Pengembangan aturan (UU dan aturan

pelaksanaannya) untuk diterapkan di

agribisnis kelapa sawit melalui

harmonisasi regulasi

• Pengembangan sumber daya manusia

sebagai pelaku yang handal pada

agribisnis kelapa sawit

Meningkatkan kontribusi sub

sektor perkebunan dalam

perekonomian nasional

• Peningkatan produksi dan kualitas

tandan buah segar dan minyak kelapa

sawit serta produk turunannya

• Pengembangan agroindustri yang

mengolah minyak dan limbah kelapa

sawit

• Pengembangan pasar minyak kelapa

sawit dan produk turunannya

• Perlindungan usaha dan produk minyak

sawit dan turunannya di pasar domestik

• Menjalin sinergi kebijakan antara

lembaga pemerintah dan lembaga

legislatif dan antara pemerintah pusat

dan daerah untuk menjadikan

perkebunan kelapa sawit sebagai motor

penggerak ekonomi nasional dan daerah

Meningkatkan peran birokrasi • Peningkatan kualitas, moral dan etos

kerja aparat yang bertugas pada

pengembangan agribisnis kelapa sawit

Page 32: Isi Tesis Dini

138

Tujuan Strategi

• Menciptakan lingkungan kerja yang

kondusif

• Membangun sistem pengawasan yang

efektif

Sumber: Deptan (2007).

Ke depan (2010 – 2014) industri sawit akan diarahkan ke klaster (cluster)

industri berbasis CPO dengan tujuan memperkuat keterkaitan pada semua

tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan

nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras

sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya

yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-

sumber daya terbarukan (green product) (Deptan, 2009).

Menurut Hambali (2005), roadmap pengembangan klaster tersebut dibagi

dalam empat tahap, yaitu:

1) Industri produk primer difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan

baku.

2) Industri produk antara difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan

baku.

3) Industri produk akhir tumbuh di daerah penghasil bahan baku.

4) Produk turunan CPO difasilitasi agar dapat diekspor oleh daerah penghasil

bahan baku.

Salah satu provinsi yang saat ini dibangun klaster industri kelapa sawit

adalah Provinsi Riau. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau

mencapai 1,68 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di

Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan

dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektar (BI, 2009a) dengan

skema seperti disajikan pada Gambar 2.

Page 33: Isi Tesis Dini

139

Gambar 2. Skema Model Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (BI, 2009a)

4. Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS)

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di

Kuala Lumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan

situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi

penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan

gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga

minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO

merupakan acuan utama bagi harga TBS (Mulyana, 2007).

Berdasarkan peraturan sebelumnya (Keputusan Menhutbun No. 627Kpts-

11/1998, penetapan harga TBS adalah sebagai berikut:

Htbs = K [(Hcpo x Rcpo)+ (Hpko x Rpko)]

Page 34: Isi Tesis Dini

140

Keterangan:

Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)

K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh

petani (%)

Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang

realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing

perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)

Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)

Hpko = Harga inti sawit/PKO ( Rp/Kg)

Ris = Rendemen inti sawit/PKO (%)

Menurut Didu (2001), dalam penerapannya, harga TBS yang diterirna

petani dikurangi dengan margin yang diterima oleh PKS yang umumnya berkisar

5%. Penentuan harga TBS berdasarkan persamaan tersebut rnengandung

berbagai kelemahan yang merugikan petani, yaitu : (1) PKS mendapatkan

keuntungan yang pasti, sementara petani akan rnenanggung berbagai resiko;

(2) terdapat berbagai komponen biaya yang tidak dapat dikontrol oleh pemilik

TBS (petani), sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani; (3)

penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui oleh

petani; dan (4) penentuan nilai K (proporsi yang diterima petani) oleh suatu tim

di daerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik kenyataanya harga TBS

yang berlaku rnasih lebih rendah dari yang seharusnya diterima oleh petani.

Kebijakan Penetapan harga TBS berlaku sejak tahun 1998 terakhir direvisi

dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 tentang Pedoman

Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi

Kebun. Tujuan penetapan harga TBS Kelapa sawit ini adalah untuk memberikan

jaminan harga TBS kelapa sawit produksi kebun yang wajar serta menghindari

adanya persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit meskipun

Page 35: Isi Tesis Dini

141

substansinya tidak berubah secara signifikan (Mulyana, 2007; KPPU, 2008;

Pasaribu, 2010).

Harga pembelian dari perusahaan inti ini diperbaharui berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 627/Kpts.II/1998, dan

Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT. 140/11/2005. Rumus Harga

pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

Htbs = K (Hcpo x Rcpo + His x Ris)

Keterangan:

Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)

K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh

petani (%)

Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang

realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing

perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)

Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)

His = Harga rerata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor

(FOB) dan lokal dari masing-masing perusahaan pada tahun

Sebelumnya ( Rp/Kg)

Ris = Rendemen inti sawit (%)

Kebijakan penetapan harga TBS tersebut pada dasarnya merupakan

kebijakan dalam rangka memberikan kesempatan bagi pekebun dalam

memperoleh informasi mengenai tingkat harga yang wajar di pasar. Namun fakta

di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan

tujuan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan pola PIR-kelapa sawit terdapat

ketidakserasian hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti. Penetapan

harga dan rendemen Tandan Buah Segar (TBS) menjadi masalah pokok yang

Page 36: Isi Tesis Dini

142

dipertentangkan dan diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan

sangat dipengaruhi oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada

peraturan Menteri Pertanian Nomor 395 tahun 2005 (Mulyana, 2007; KPPU,

2008; Pasaribu, 2010).

Mengingat harga CPO dunia yang cenderung fluktuatif, maka Didu (2001)

mengajukan agar penetapan harga disesuaikan dengan pasar dunia melalui

mekanisme forecasting dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dijadikan

input situasional yang berubah menurut waktu. Hasil kajian Mulyana (2007)

tentang penetapan harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan dari

perspektif pasar monopoli bilateral juga menunjukkan bahwa harga TBS di

tingkat petani berdasarkan kebijakan penetapan harga oleh pemerintah lebih

rendah 15,23 – 41,73% dibandingkan dengan harga bersaing sempurna.

5. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO

Arisman (2002), Susila (2004c), Dradjat (2007a), Abidin (2008), Chalil (2008),

Obado et al. (2009) telah melakukan analisis terhadap sejumlah kebijakan

pemerintah terkait industri minyak kelapa sawit Indonesia terutama yang terkait

dengan pajak ekspor (PE). Karena merupakan komoditas strategis, maka

pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit

beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah

terdiri dari 1) pengaturan alokasi CPO, 2) pembentukan sistem pengawasan

secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, 3) pembatasan dan

pelarangan ekspor CPO. Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit

khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978

dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-

kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap

stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.

Arisman (2002), Susila (2004c), dan Dradjat (2007) menyatakan penetapan PE

sejak Agustus 2004 hingga penetapan pajak ekspor tambahan (PET) sebesar 40%

- 70% berdasarkan harga ekspor dan harga dasar berpengaruh besar terhadap

berbagai aspek industri seperti investasi, produksi, perdagangan, pendapatan

Page 37: Isi Tesis Dini

143

petani dan distribusi kesejahteraan. Pada tahun 1998 PE-CPO naik dari 40%

menjadi 60% sebelum akhirnya berturut-turut turun menjadi 40%, 30% dan 10%

pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 5% pada akhir tahun 2000. Dari tahun

2002 – 2007 terjadi fluktuasi nilai PE CPO yaitu 3% (2002), 1,5% (2004) dan

6,5% (2007). Obado et al. (2009) menyatakan kebijakan pajak ekspor CPO selain

menurunkan dayasaing industri CPO Indonesia juga memberatkan bagi produsen

CPO dan menguntungkan bagi Malaysia yang dapat mengambil alih pangsa pasar

dalam negeri Indonesia. Meski demikian, Susila (2004c) dan Obado et al. (2009)

merekomendasikan nilai pajak ekspor CPO yang efektif adalah berkisar antara

10,98% – 11,13% guna mencegah larinya CPO ke luar negeri yang

mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dalam negeri.

Menurut kajian Abidin (2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor

CPO Indonesia secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Harga CPO domestik berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia yaitu,

dengan koefisien sebesar -3,549 yang artinya jika harga CPO domestik naik

sebesar Rp l maka ekspor CPO Indonesia akan turun sebesar 3,549 ton.

2) Harga internasional CPO berpengaruh positif terhadap ekspor CPO

Indonesia dengan koefisien regresi sebesar 6,117 yang artinya jika harga

internasional minyak sawit (CPO) naik sebesar 1 Dollar maka ekspor

CPOIndonesia akan naik sebesar 6,117 ton konstan dengan koefisisen

regresi sebesar -1.578,48 yang artinya jika tidak ada variabel seperti harga

CPO domestik, harga CPO internasional, nilai tukar dan harga subsitusi

(minyak kelapa) maka Indonesia masih dapat mengekspor CPO meski turun

sebesar l.578,48 ton.

Page 38: Isi Tesis Dini

144

IV. METODOLOGI PENELITIAN

1. Kerangka Pemikiran Konseptual

Pengembangan agroindustri kelapa sawit sebagai strategi pembangunan

nasional merupakan suatu keniscayaan guna memperkecil kesenjangan

pembangunan antara kota dan desa serta menjembatani atara pembangunan

pertanian dan industri. Perhatian utama agroindustri sawit adalah daya saing dan

kesejahteraan pelaku usaha. Integrasi vertikal ke hulu (petani) dan hilir (pasar)

sangat membantu kelangsungan usaha dengann adanya jaminan supply bahan

baku dan kepastian penyerapan produk akhir. Penyediaan lapangan kerja dan

reduksi kemiskinan lebih merupakan efek ganda dari pengembangan agroindusri.

Indonesia dengan luas lahan sawit terbesar di dunia dan pengasil minyak

kelapa sawit terbesar masih memiliki peluang meningkatkan produksi karena

ketersediaan lahan serta kesesuaian iklim, asal didukung oleh kebijakan

pemerintah yang berpihak kepada para petani. Kelangsungan produksi sangat

ditentukan oleh para petani sebagai pemilik lahan terbanyak. Karena itu, perlu

insentif dan kompensasi yang memadai bagi petani sawit agar bergairah dalam

meningkatkan produksi dan mutu bahan baku (TBS) guna meningkatkan

kesejahteraan para petani sawit. Mengingat kualitas dan kuantitas produk sangat

ditentukan oleh supply bahan baku, maka perlu mengintegrasikan kepentingan

semua pemangku kepentingan (pemerintah, petani, pengusaha) dalam

pengembangan agroindustri sawit.

Pengembangan agroindustri baik pada skala apapun tidak bisa lepas dari

pengembangan ekonomi lokal yang bercirikan endogenous development dengan

memanfaatkan potensi SDM, institusi, kondisi fisik serta memperhatikan konteks

sosio-ekonomi dan budaya setempat. Oleh karena itu, pengembangan agroindustri

di tiap daerah selalu memiliki ciri khas, baik keunggulan maupun keterbatasan.

Tidak semua teori, konsep dan model yang sudah ada bisa berlaku di setiap

tempat dan waktu dengan kerangka pemikiran yang mengacu pada kondisi aktual

di tengah masyarakat petani sawit. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ini

disajikan pada Gambar 3.

Page 39: Isi Tesis Dini

145

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual

Visi dan Misi

Perkebunan Sumatera Utara

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam

Pengembangan Industri Kelapa Sawit

Pengembangan Industri Kelapa Sawit di Medan

Sumatera Utara

Identifikasi Variabel Penyusunan Hierakhir

Kebijakan

Survey Pakar,MPE dan

FGD

Penyusunan Hierakhir Kebijakan

Strategi Kebijakan Pemerintah terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit di

PTPN IV Sumatera Utara

Pola kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri

Kelapa Sawit

AHP

Deskriptif

Implikasi Manajerial bagi Pemerintah dalam Penerapan Kebaijakan Strategi Pengembangan Kelapa Sawit di PTPN

IV Sumatera Utara

Page 40: Isi Tesis Dini

146

2. Tata Laksana

2.1. Tahapan Penelitian

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian adalah metode

AHP(Analytical Hierarchy Process) yang dimodifikasi untuk memenuhi fungsi

tujuan penelitian. Metode AHP terdiri dari lima tahap, yaitu tahap identifikasi

sistem, tahap penerapan hirarki, tahap pengumpulan data primer yaitu dengan

wawancara pakar, tahap pengambilan keputusan berdasarkan pakar dan tahap

sistesis atau analisis rasio.

a. Persiapan

Tahap persiapan adalah tahap pendugaan awal pada variabel-variabel yang

diduga mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit. Pada tahap ini

dilakukan kegiatan pengumpulan data sekunder yang terkait dengan industri

kelapa sawit dan telaah pustaka relevan serta, penyebaran kuesioner awal untuk

mengakumulasikan variabel utama yang mempengaruhi perkembangan industri

kelapa sawit dengan metode MPE. Hasil pembobotan dengan metode MPE

selanjutnya dijadikan bahan dalam Focus Groups Dicussion (FGD) sebagai

bahan penyusunan struktur hirarki kebijakan. Sesuai dengan tujuan penelitian

yang difokuskan pada analisis kebijakan, maka telaah pustaka banyak diarahkan

ke proses tersebut. Selain itu, mengacu pada metode AHP, beberapa tahapan yang

dilakukan adalah menyiapkan tim audit dan sumber daya, membagi proses ke

dalam bagian-bagian operasi, dan menyusun diagram alir penelitian sesuai

konseptual pemikiran penelitian.

b. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer diperlukan sebagai input dalam komparasi berpasangan

yang diperoleh dari para pelaku (aktor) dalam industri minyak kelapa sawit

sehubungan dengan sasaran utamanya (ultimate goal), data primer ini dilakukan

melalui wawancara langsung dengan unsur Pimpinan di PTPN IV Medan

Sumatera Utara, Departemen Perindustrian, petani, unsur koperasi dan stakeholder

lainnya yang terkait langsung dengan pengembangan industri kelapa sawit dan

Page 41: Isi Tesis Dini

147

kuesioner terhadap para pelaku sebagai responden. Data sekunder diperoleh dan

dikumpulkan melalui studi kepustakaan, literatur, buku , jurnal, kajian penelitian

dan data dari Internet.

c. Metode Penentuan Sampel

Penentuan sampel dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi

pustaka. Observasi lapangan (kebun dan perusahaan) dilakukan di PTPN IV

Medan Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

pengambilan contoh secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria

mewakili setiap bidang keahlian dan diperioritaskan kepada pakar yang memiliki

tingkat kepakaran yang telah diakui. Jumlah pakar yang disyaratkan untuk

menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) cukup beberapa orang (Saaty,

1992).

Data diolah dengan menggunakan Metode AHP (Analytical Hierarchy

Process) dengan langkah langkah analisis sebagaimana diuraikan pada

metodologi.

d. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Tahap awal yang dilakukan adalah menentukan prioritas faktor-faktor

penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit setelah mengkonfirmasi

kepada pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara terlebih dahulu. Tahap

selanjutnya adalah pembuatan hirarki yang juga disusun berdasarkan wawancara

dengan pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara, terkait kegiatan

pengembangan industri kelapa sawit yang dilakukan. Struktur hirarki ini

merupakan dasar dalam pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden

pemilihan strategi. Kuesioner diberikan untuk mengetahui pembobotan setiap

elemen pada seluruh tingkat pada struktur hirarki. Validitas kuesioner untuk

pemilihan strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Medan

Sumatera Utara dilihat melalui konsistensi setiap matriks baik itu individu

maupun gabungan dan juga konfirmasi yang dilakukan dengan pakar.

Setelah hasil kuesioner didapat dan diketahui pembobotan setiap elemen

pada seluruh tingkat hirarki, data ini akan diolah dengan menggunakan AHP.

Page 42: Isi Tesis Dini

148

Hasil pengolahan data primer ini dimulai dengan memeriksa terlebih dahulu

kekonsistenan pembobotan yang diberikan responden. Pengolahan kekonsistenan

pembobotan dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 2000. Dimana dalam

penelitian ini batas tingkat inkonsitensi ditetapkan 10%. Kemudian setelah

masing–masing pembobotan per individu terbukti konsisten, keseluruhan

pembobotan oleh masing–masing individu akan digabungkan dalam satu matriks

gabungan. Setelah itu matriks gabungan inilah yang akan diukur kembali

pembobotannya lewat mekanisme perhitungan AHP dengan menggunakan

software expert choice 2000 yang akan menghasilkan pengolahan data horizontal

dan pengolahan data vertikal.

Hasil pengolahan horizontal akan memperlihatkan keterkaitan dan tingkat

pengaruh antara satu faktor dalam satu tingkat hirarki dengan elemen lain dalam

tingkat hirarki di atasnya. Hasil pengolahan vertikal akan menunjukkan data

pemilihan alternatif strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV

Medan Sumatera Utara.

3. Pendekatan Sistem

Pendekatan Sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian

masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan

tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat

digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).

Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan

alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain

sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan

secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama

(Eriyatno, 2002). Menurut Manetech dan Park (1997), suatu pendekatan sistem

akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini :

(1) Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat

dikuantifikasikan, (2) Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah

tersentralisasi atau cukup jelas batasannya dan (3) Dalam perencanaan jangka

panjang memungkinkan untuk dilakukan.

Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen-komponen

Page 43: Isi Tesis Dini

149

dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar

komponen. Sistem harus di pandang secara keseluruhan (holistik) dan akan

bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking), sehingga terjadi sebuah

keseimbangan untuk mencapai tujuan. Sebuah sistem mempunyai masukan

(input) yang akan berproses untuk menghasilkan keluaran (output). Pada sebuah

sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen

sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sistem yang lebih besar

dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu

hirarki.

1. Metode Perbandingan Eksponensial

Metode Perbandingan Eksponensial (Exponential Comparative Methode,

ECM) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang

mengkuantitasikan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Metode

ini pada prinsipnya merupakan metode skoring terhadap beberapa pilihan yang

ada. Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari

kriteria yang ada. Selain itu kemampuan orang yang memberikan judgement

sangat berpengaruh terhadap validnya hasil dari metode keputusan.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan

menggunakan metode MPE, adalah penentuan alternatif keputusan, penyusunan

kriteria keputusan yang akan dikaji, penentuan derajat kepentingan relatif setiap

kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan

keinginan pengambil keputusan, penentuan derajat kepentingan relatif setiap

pilihan keputusan pada setiap alternatif keputusan, dan peningkatan nilai yang

diperoleh dari setiap alternatif keputusan.

Hal yang sangat penting dalam penerapan Metode Perbandingan

Eksponensial (MPE) dalam pengambilan keputusan adalah penentuan derajat

kepentingan relatif atau bobot dari setiap kriteria yang ditetapkan. Penentuan

bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai total akhir dari

setiap pilihan keputusan. Metode dalam penentuan bobot adalah pemberian bobot

secara langsung kepada setiap kriteria tanpa melakukan perbandingan relatif yang

lainnya dan penentuan bobot dengan metode Eckenrode.

Page 44: Isi Tesis Dini

150

2. Model Analytical Hierarchy Process

Dalam melakukan analisis terhadap penentuan kebijakan strategi promosi

dari para pembuat keputusan, alat analisis yang digunakan untuk menganalisa

pembuatan keputusan tersebut adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP

adalah suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel, yang

menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Model AHP

pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, ahli matematika dari

University of Pitsburgh, Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Analisis

AHP ditujukan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan

biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah–masalah terukur maupun

masalah–masalah yang memerlukan pendapat (judgement).

AHP memasukan aspek kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia

(Saaty,1993). Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek

kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat.

Proses itu sendiri dirancang untuk mengintegrasikan dwi sifat ini. Proses ini

dengan jelas menunjukan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam

situasi yang kompleks, sehingga diperlukan menetapkan prioritas dan melakukan

pertimbangan.

Pada penerapan metode AHP yang diutamakan adalah kualitas data dari

responden, dan tidak tergantung pada kuantitasnya (Saaty, 1993). Oleh karena itu,

penilaian AHP memerlukan para pakar sebagai responden dalam pengambilan

keputusan dalam pemilihan alternatif. Para pakar disini merupakan orang-orang

kompeten yang benar-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan kebijakan

atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Untuk jumlah responden

dalam metode AHP tidak memiliki perumusan tertentu, namun hanya ada batas

minimum yaitu dua orang responden.

AHP telah banyak digunakan oleh para pengambil keputusan untuk

membantu memecahkan masalah yang kompleks. Menurut Saaty (1993) AHP

dapat digunakan untuk pengambilan keputusan seperti : menetapkan prioritas,

menghasilkan seperangkat alternatif, memilih alternatif, memilih alternatif

kebijakan yang terbaik, menetapkan berbagai persyaratan, mengalokasikan

sumber daya, meramalkan hasil dan menaksir risiko, mengukur prestasi,

Page 45: Isi Tesis Dini

151

merancang sistem, merencanakan dan memecahkan konflik.

A. Langkah–Langkah Penggunaan AHP

Saaty (1993) menjelaskan terdapat beberapa langkah dalam penggunaan

metode AHP sebagai suatu alat untuk memecahkan persoalan. Adapun langkah-

langkah yang dimaksud adalah :

1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.

Hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengidentifikasi persoalan

dengan melakukan analisa atau pemahaman yang mendalam terhadap persoalan

yang dihadapi dan ingin dipecahkan. Setelah itu dapat dilakukan

pengidentifikasian dan pemilihan elemen-elemen yang akan masuk komponen

sistem, seperti focus, forces, actors, objecitives dan scenario dalam struktur AHP

nantinya. Dalam AHP sendiri tidak terdapat prosedur yang pasti untuk

mengidentifikasi komponen-komponen sistem. Komponen-komponen sistem

dapat diidentifikasikan berdasarkan kemampuan pada analisa untuk menemukan

unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem.

2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh.

Hirarki merupakan suatu abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari

fungsi interaksi antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Abstraksi ini

mempunyai bentuk yang saling berkaitan. Struktur hirarki disusun berdasarkan

jenis keputusan yang akan diambil berdasarkan sudut pandang dari tingkat puncak

sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan

persoalan tersebut. Hirarki yang dapat terbentuk dalam metode AHP sendiri dapat

berupa hiraki lengkap dan hirarki tak lengkap. Dalam struktur hirarki lengkap,

semua elemen pada satu elemen pada satu tingkat memiliki hubungan dengan

semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Pada struktur hirarki lengkap,

jumlah tingkatan komponen sistem yang terdapat dalam hirarki tergantung pada

pilihan peneliti.

Page 46: Isi Tesis Dini

152

Gambar 4. Struktur Hirarki Lengkap

3. Menyusun matriks banding berpasangan.

Matriks perbandingan berpasangan ini berfungsi untuk mengetahui

kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang

berpengaruh yang berada setingkat diatasnya. Pada matriks ini, pasangan–

pasangan elemen dibandingkan berkenaan suatu kriteria di tingkat yang lebih

tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, biasanya memberi suatu

pertimbangan yang menunjukan dominasi sebagai bilangan bulat. Matriks ini

memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk

memasukan nilai resiprokalnya.

4. Mendapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan

perangkat matriks dilangkah 3.

Setelah matriks pembanding berpasangan antar elemen dibuat, dilakukan

pembandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap

elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar elemen tersebut

dilakukan dengan pertanyaan “seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau

dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hirarki, dibandingkan

dengan kolom ke-j?”. Apabila elemen-elemen yang dipertimbangkan merupakan

sebuah peluang atau waktu, maka pertanyaannya adalah “seberapa lebih mungkin

suatu elemen baris ke-i dibandingkan dengan elemen dipuncak hirarki?”. Untuk

F

A1

A2

A3

An

A11

A12

A13

A14

A1n

T1

T2

T3

T4

Tn

Page 47: Isi Tesis Dini

153

mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada

Tabel 10. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu

elemen dibandingkan dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat kriteria

tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian diatas garis diagonal

dari kiri ke kanan bawah.

Tabel 10. Nilai Skala Banding Berpasangan

Intensitas

Pentingn

ya

Definisi

Penjelasan

1 Kedua elemen sama

pentingnya

Dua elemen menyumbang sama

besar pada sifat itu.

3 Elemen yang satu

sedikit lebih penting

daripada elemen yang

lainnya

Pengalaman dan pertimbangan

sedikit menyokong satu elemen atas

elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu

sangat penting daripada

elemen yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan

dengan kuat menyokong satu

elemen atas elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih

penting daripada

elemen yang lainnya

Bukti yang menyokong elemen

yang satu atas yang lainnya

memiliki tinkat penegasan yang

tertinggi yang mungkin

menguatkan

9 Satu elemen mutlak

lebih penting daripada

elemen yang lainnya

Bukti yang menyokong elemen

yang satu atas yang lainya

memiliki tingkat penegasan yang

tertinggi yang mungkin

menguatkan

2,4,6,8 Nilai–nilai diantara dua

pertimbangan yang

berdekatan

Kompromi diperhatikan di antara

dua pertimbangan

Page 48: Isi Tesis Dini

154

Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan

dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila

dibandingkan dengan i.

Sumber: Saaty (1993)

5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal

utama.

Angka 1 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi atau

mempengaruhi sifat fokus puncak hirarki (x) dibandingkan dengan Fj, namun bila

Fi kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X dibandingkan Fj, maka

digunakan angka kebalikannya. Matriks dibawah garis diagonal utama diisi

dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh, bila elemen F24 memiliki nilai 7, maka

nilai elemen F24 adalah 1/7.

6. Melaksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam

hirarki tersebut.

Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat

keputusan yang terdapat pada hirarki, berkenaan dengan kriteria elemen di

atasnya. Matriks perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi dua yaitu : Matriks

Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapat Gabungan (MGP).

• Matriks Pendapat Individu (MPI)

MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu. MPI

memiliki elemen yang disimbolkan dengan aij, yaitu elemen matriks pada baris

kolom ke-i dan kolom ke-j. MPI dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11. Matriks Pendapat Individu

X A1 A2 A3 … An

Page 49: Isi Tesis Dini

155

A1 a11 a12 a13 … a1n

A2 a21 a22 a23 … a2n

A3 a31 a32 a33 … a3n

… … … … … …

An an1 an2 an3 … ann

• Matriks Pendapat Gabungan (MPG)

MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata

geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil

atau sama dengan 10% dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari

MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. MPG dapat dilihat dari

tabel 12.

Tabel 12. Matriks Pendapat Gabungan

X G1 G2 G3 … Gn

G1 g11 g12 g13 … G1n

G2 g21 g22 g23 … G2n

G3 g31 g32 g33 … G3n

… … … … … …

Gn gn1 gn2 gn3 … gnn

Rumus rataan geometrik adalah sebagai berikut :

gij = n

n

k

kija!=1

)(

…….…………………..…….…………..............(1)

dengan : n = jumlah responden (pakar)

aij(k) = sel penilaian setiap pakar

7. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor–vektor

prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai

prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat

bawah berikutnya dan seterusnya.

Adapun vektor prioritas dapat dihitung dengan rumus :

Page 50: Isi Tesis Dini

156

VP (Vektor Prioritas) = ! "

=

n

n

i

ija

VE

1 …..….....……….…..…….(2)

dimana : VE (Vektor Eigen ) = n

n

i

ija!

=1 .…..…......…...……..….(3)

dengan : aij = Elemen MPI pada baris ke-i dan kolom ke-j

n = Jumlah elemen yang diperbandingkan

8. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki.

Pengukuran konsistensi ini diperlukan untuk mengetahui konsistensi

jawaban yang berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Langkah yang digunakan

yaitu dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria

bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan

sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi

masing–masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak

dibobot berdasarkan prioritas kriteria bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.

Rasio konsistensi hirarki harus 10% atau kurang. Jika tidak, mutu informasi harus

diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki pertanyaan ketika melakukan

pengisian ulang kuesioner atau lebih baik dalam mengarahkan responden yang

mengisi kuesioner. Namun batasan diterima atau tidaknya konsistensi suatu

matriks sebenarnya tidak ada yang baku, seperti Fewidarto (1996) menjelaskan

bahwa jika tingkat inkonsistensi sebesar 10% kebawah tidak dicapai maka dapat

digunakan batas yang lebih besar atau bahkan rataan CR penilaian pakar.

Rumus untuk perhitungan uji konsistensi adalah sebagai berikut :

• CI (Indeks Konsistensi)

Page 51: Isi Tesis Dini

157

CI = 1

max

!

!

n

n"

…………………...………..……............……....….(4)

dengan : CI = Indeks Konsistensi

max! = eigen value maksimum

n = jumlah elemen yang diperbandingkan

dimana: max! = n

VB!

……………….....……….......................…(5)

• VB (Nilai Eigen) = VPVA

……….........….……....(6)

• VA (Vektor Antara) = aij x VP ……..….......…......(7)

Lebih lanjut ingin diketahui apakah CI dengan besaran cukup baik atau tidak,

maka perlu diketahui rasio konsistensinya (CR) yaitu :

• CR (Rasio Konsistensi)

CR = RICI

……………….………………..………………………..(8)

RI adalah indeks acak yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory, dari

matrik berorde 1 sampai 15 dengan menggunakan sample berukuran 100. Tabel

RI tersebut seperti pada Tabel 13.

Tabel 13. Indeks Acak

n 1 2 3 4 5 6 7

RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32

n 8 9 10 11 12 13 14

RI 1,41 1,45 1,49 1,51 1.48 1.56 1.57

Sumber : Fewidarto (1996)

B. Keuntungan AHP

Page 52: Isi Tesis Dini

158

Secara umum, keuntungan penggunaan metode AHP dapat diikhtisarkan

sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung, 2003) :

a. Kesatuan: AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti dan

luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur.

b. Kompleksitas: AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan

berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan.

c. Saling ketergantungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-

elemen dalam suatu sistem dan tak memaksakan pemikiran linier.

d. Penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk

memilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan

mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

e. Pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur objek dalam wujud

suatu metode untuk menetapkan prioritas.

f. Konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan

yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

g. Sintesis: AHP menuntun pada suatu taksiran yang menyeluruh tentang

kebaikan setiap alternatif.

h. Tawar–menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari

berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik

berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

i. Penilaian dan consensus: AHP tak memaksakan konsensus, tetapi mensintesis

suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda.

j. Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka

pada suatu persoalan dan memperbaiki.

V. PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PTPN IV)

Page 53: Isi Tesis Dini

159

1. Kondisi Umum PTPN IV Medan Sumatera Utara

Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) merupakan salah

satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penggabungan (merger) dari PTPN

IV,dan PTPN VII yang berlokasi di Provinsi Sumatra Utara. Jenis tanaman

perkebunan yang diusahakan adalah kelapa sawit, kakao dan teh. Penggabungan

tersebut dilandasi oleh Akte Notaris Harun Kamil SH No. 37 tangal 11 Maret

1996 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. C2.8335.HT.01.01 tahun 1996

tanggal 8 Agustus 1996 yang dicantumkan dalam Tambahan Berita Negara No.81

tanggal 8 Agustus 1996. Visi PTPN IV adalah menjadi perusahaan agribisnis

perkebunan yang tangguh dan mampu bersaing baik di sektor hulu dan hilir di

tingkat nasional dan regional. Untuk mewujudkan visi tersebut, PTPN IV

mengemban misi sebagai berikut:

1. Menjalankan usaha agribisnis di bidang perkebunan kelapa sawit (komoditas

utama), teh dan kakao serta menghasilkan produk minyak sawit, teh jadi, biji

kakao kering serta produk turunannya yang berkualitas untuk memberikan

kepuasan bagi pelanggan.

2. Meningkatkan daya saing produk serta terus menerus yang didukung oleh

sistem, cara kerja dan lingkungan kerja yang mendorong munculnya kreativitas

dan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi.

3. Menghasilkan laba yang berkesinambungan untuk menjamin pertumbuhan,

perkembangan dan kesehatan perusahaan serta memberikan manfaat dan nilai

tambah yang optimal bagi pemegang saham, karyawan dan stakeholder

lainnya.

4. Mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan

dengan berpegang teguh pada nilai-nilai etika bisnis dan senantiasa

berpedoman pada tata kelola perusahan secara sehat.

5. Memberikan perhatian dan peran yang sungguh-sungguh dalam membangun

kemitraan dan mengembangkan masyarakat lingkungan serta kelestarian

lingkungan hidup.

Maksud dan tujuan pendirian PTPN IV adalah turut melaksanakan dan

Page 54: Isi Tesis Dini

160

menunjang kebijakan dan program pemerintah dalam pembangunan nasional di

bidang ekonomi, khususnya pembangunan di bidang perkebunan. Maksud dan

tujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengusahaan budidaya

perkebunan berupa tanaman kelapa sawit, teh dan kakao. Luas areal yang

diusahakan pada saat ini berupa : (1) Tanaman kelapa sawit seluas 126.343.85 ha,

terdiri atas tanaman menghasilkan seluas 96.777 ha dan tanaman belum

menghasilkan seluas 10.459 ha, Tahun Tanam yang Akan Datang (TTAD) seluas

4.087 ha, dan tanaman ulang /baru/konversi seluas 15.020,85 ha; (2) Tanaman teh

seluas 5.396,11 ha, yang terdiri dari tanaman menghasilkan seluas 5.341,07 ha,

tanaman belum menghasilkan seluas 55.04 ha; dan (3) Tanaman kakao seluas

4.135 ha yang semuanya merupakan tanaman menghasilkan.

Area Tanaman yang Menghasilkan (TM) kelapa sawit pada tahun 2005

adalah 96.777 ha, berkurang 2.732 ha bila dibandingkan dengan tahun 2004.

Berkurangnya areal ini disebabkan adanya mutasi areal 7.219 ha yang terdiri atas

areal Tanaman Ulangan (TU) 1.126 ha, TTAD 3.887 ha, areal percobaan PPKS 65

ha, pabrik kompos 8 ha, pengeboran minyak oleh Pertamina 1 ha dan realisasi

penanaman TU 2003 sebesar 10 ha dan penambahan areal tanaman belum

menghasilkan menjadi tanaman yang menghasilkan adalah 2.365 ha.

Tanaman kakao memiliki luas areal lahan yang menghasilkan 4.135 ha.

Luas areal ini berkurang setelah sebagian areal dikonversi menjadi perkebunan

kelapa sawit seluas 3.281 ha pada tahun 2004 dan 2005. Untuk tanaman teh, pada

tahun 2005 luas areal TM yaitu 5.341,07 ha, dan areal TBM 55,04 ha. Luas areal

ini sama untuk tahun 2004. Luas areal tanaman yang menghasilkan dicapai setelah

dikurangi dengan areal yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas

3.179,85 ha pada tahun 2004 dan 2005.

PTPN IV memiliki peralatan produksi untuk operasional dengan kapasitas

terpasang dan kapasitas terpakai disajikan pada Table 14. Selain itu perusahaan

juga memiliki pabrik perakitan mesin 1 unit da pabrik kompos 1 unit yang

terdapat pada PKS Dolok Sinumbah. Perusahaan tidak memiliki load faktor.

Tabel 14. Alat produksi ,kapasitas terpasang , dan kapasitas terpakai PTPN IV

Page 55: Isi Tesis Dini

161

Alat Produksi Kapasitas terpasang Kapasitas

terpakai

Pabrik Kelapa Sawit 15 unit

560 ton TBS/Jam 474 ton TBS/Jam

Pabrik Fraksionasi dan Rafinasi

1 unit

300 ton CPO/hari 310 CPO/hari

Pabrik Pengolahan Inti Sawit 1

unit

Pabrik Teh 4 unit

400 ton IS/hari

266 ton DTB/hari

350 ton IS/hari

254 ton DTB/hari

Selain bergerak pada sub sistem hulu (budidaya), PTPV IV juga bergerak

pada sub sistem hilir (industri pengelolahan). Industri pengolahan yang beroperasi

paad saat ini berupa pabrik fraksionasi dan rafinasi yang berlokasi di Belawan

dengan kapasitas 300 ton Crud Palm Oil (CPO)/hari. Produk yang dihasilkan

dalam bentuk RDB olien, crude stearin dan fatty acid. Industri hilir ini pada tahun

2005 sudah di spin off dengan dengan PT. Pamina yang merupakan anak

perusahaan PTPN IV yang mengusahakan produk sejenis. Pabrik Pengolahaan Inti

Sawit (PPIS) yang berlokasi di kebun pabatu dengan kapasitas 400 ton inti

sawit/hari menghasilkan produk berupa Palm Kernel (PKO) dan Palm Kernel

Meal (PKM)

Pihak manajemen PTPN IV merupakan budaya kerja perusahaan

(corporate culture) yang bersifat aktif agar para karyawan memiliki motivasi dan

kinerja yang optimal. Setiap karyawan diberi bimbingan dan dorongan agar

memiliki perilaku sebagai berikut : (1) Berfikir positif untuk dapat menangkap

setiap peluang, (2) Proaktif dalam menghasilkan inovasi dan prestasi, (3) Kerja

sama tim untuk membangun kekuatan, (4) Menempatkan kepentingan perusahaan

sebagai pertimbangan utama bagi setiap keputusan yang diambil oleh setiap

keputusan yang diambil setiap jajaran perusahaan dan (5) menempatkan

peningkatan kesejahteraan karyawan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

pencapaian sasaran perusahaan.

Page 56: Isi Tesis Dini

162

Sasaran PTPN IV adalah menjaga kesinambungan perusahaan dengan

mengupayakan pencapaian laba yang optimal agar dapat tumbuh dan

perkembangan di masa yang akan datang. Pada tahun 2005 ditetapkan beberapa

indikator sasaran yang perlu dicapai perusaan seperti : tingkat produksi dan

produktivitas, pendemen, harga pokok produksi termasuk pembelian, harga pokok

penjualan, volume penjualan, pengadaan barang, pendapatan penjualan, kinerja

keuangan, laba sebelum pajak, jumlah tenaga kerja, peningkatan kompetensi

karyawan, dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) 11 unit kebun yang sudah

habis masa berlakunya dan penerbitan HGU baru untuk 6 unit kebun yang belum

ada.

Untuk mencapai sasaran perusahaan yang telah ditetapkan dilandasi oleh

kebijakan-kebijakan dasar sesuai bidang masing-masing. Selanjutnya setiap

kebijakan tersebut dilengkapi dengan strategi dan program guna dan memudahkan

pencapaian sasaran. Strategi yang dirumuskan pihak perusahaan secara umum

adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui upaya peningkatan pengendalian

biaya dan produktivitas sumber-sumber yang bersedia.

2. Kebijakan Berbasis Industri

Kebijakan PTPN IV dalam rangka mencapai sasaran yang sudah

ditetapkan dikelompokkan ke dalam 13 bidang. Kebijakan, strategi, dan program

pada masing-masing bidang tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut :

1. Bidang Tanaman

Kebijakan bidang tanaman adalah pemeliharaan tanaman yang sesuai

dengan baku teknis yang telah disesuaikan dengan kondisi tiap blok serta

pemupukan berpedoman pada rekomendasi yang disusun oleh balai penelitian.

Peremajaan tanaman kelapa sawit didasarkan bukan hanya kepada umur tanaman

tetapi juga mempertimbangkan kondisi blok, kualitas produksi harus tetap

dipertahankan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan upaya

peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (LCKS,

tangkos dan kompos).

Strategi bidang tanaman adalah menyempurnakan system panen,

Page 57: Isi Tesis Dini

163

mengintensifkan pemeliharaan tanaman dengan melaksanakan pemupukanm,

tempat waktu dan dosis sesuai rekomendasi balai penelitian dan memperbaiki

komposisi umur khususnya kelapa sawit, kakao dan teh yang dilakukan sesuai

jadwal yang ditetapkan. Pemupukan dua kali setahun dan peremajaan tanaman

kelapa sawit, konversi kakao ke kelapa sawit seluas 15.020,85 ha, pemeliharaan

tanaman belum menghasilkan kelapa sawit seluas 10.459 ha dan teh seluas

55,04 ha.

2. Bidang Pengolahan

Kebijakan bidang pengolahan adalah semua hasil produksi kebun yang

dipanen setiap hari harus dapat diolah pada hari itu juga dan pabrik hanya

mengolah hasil produksi yang kualitasnya memenuhi persyaratan. Strateginya

adalah melaksanakan pembelian TBS pihak ketiga (masyarakat) dalam rangka

mengoptimalkan kapasitas pabrik kelapa sawit dan meningkatkan mutu produk

yang dihasilkan.

Program kerja bidang pengolahan adalah melakukan pengaturan jam olah,

melakukan sortasi TBS yang akan diolah, mengatur pengolahan TBS plasma dan

pihak ketiga, menganalisa hasil olahan produksi secara teratur.

3. Bidang Teknik

Kebijakan bidang teknik adalah penggantian mesin-mesin dan peralatan

pabrik agar disesuaikan dengan jadwal dan memperhatikan masa manfaat dan

rehabilitasi/penggantian sarana dan prasarana produksi lainya harus

memperhatikan tingkat kepentingannya.

Strategi bidang teknik adalah melaksanakan pemeliharaan (maintenance)

mesin-mesin dan instalasi pabrik, meningkatkan pemeliharaan sarana dan

prasarana produksi dan melaksanakan penggantian (replacement) atas mesin dan

sarana pabrik. Program kerja bidang teknik adalah melaksanakan

pemeliharaan/penggantian mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal, mengatur

alat transport untuk mengangkut hasil produksi, dan membangun sarana dan

prasarana sesuai jadwal.

4. Bidang Perencanaan, Pengkajian dan Pengembangan

Page 58: Isi Tesis Dini

164

Kebijakan adalah membuat perencaan, pengembangan usaha, pengkajian

dan peningkatan informasi manajemen, harus berpedoman pada rencana kerja

jangka pendek dan rencana jangka panjang.

Srategi bidang perencanaan, pengkajian dan pengembangan adalah

melaksanakan pengkajian dan pengembangan usaha mengenai industri hilir teh

dan kelapa sawit, pemanfaatan limbah menjadi pupuk dan pemanfaatan pupuk

organik, melaksanakan aplikasi lahan (land application) atas limbah pabrik kelapa

sawit dan membangun sarana teknologi informasi dan sistem informasi

manajemen. Program kerjanya meningkatkan teknologi informasi dan sistem

informasi manajemen resiko dan meningkatkan sarana local area network.

5. Bidang Dalam Pemasaran Hasil

Kebijakan pemasaran hasil adalah semua pesanan harus dapat dipenuhi

tempat waktu dengan mutu sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak

kerja. Strateginya adalah mempertahankan pasar yang telah ada dan mencari

peluang pasar baru,meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, pengujian dan

sertifikasi, melakukan kordinasi dengan lembaga pemasaran dalam rangka

memperluas pasar, meningkatkan komunikasi dengan pembelian dalam rangka

mempercepat pengapalan dan pembayaran atas kontrak penjualan.

Program kerja pemasaran hasil adalah melakukan penjualan sesuai jadwal

dan produksi yang dihasilkan, mengatur alat pengangkutan sesuai jadwal

pengiriman yang ditetapkan, memonitor produksi di gudang, kebun atau tempat

penimbunan untuk mendukung rencana penjualan, melakukan penagihan sesuai

jadwal dan melaksanakan pengadaan bahan/barang tempat waktu.

6. Bidang Pengadaan

Kebijakan pengadaan adalah pengadaan barang dan bahan sesuai

kebutuhan dan levering tempat waktu. Strateginya adalah berupaya mendapatkan

harga beli yang wajar dan bersaing dengan mutu yang terjamin, melaksanakan

system dan prosedur yang berlaku serta memonitor persedian barang/bahan di

Gudang Penimbunan Umum (GPU) kantor pusat, membina dan mensosialisasikan

system dan prosedur pengadaan yang berlaku di PTPN IV kepada seluruh mitra

Page 59: Isi Tesis Dini

165

kerja.

7. Bidang Keuangan

Kebijakan bidang keuangan adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan

disesuaikan dengan rencana kerja operasional yang dibahas setiap tiga bulan dan

pelaksaan investasi hanya dilakukan jika kondisi keuangan mendukung.

Strategi bidang keuangan adalah mengendalikan arus kas (cash flow)

perusahaan, meningkatkan pengendalian pelaksaan anggaran sesuai RKAP,

pengendalian biaya melalui Rencana Kerja Operasional (RKO) dan meningkatkan

sosialisasi, manajemen perpajakan dan asuransi.

8. Bidang Akuntansi

Kebijakan akuntansi adalah mengoptimalkan penggunaan komputer,

mengolah data dan penyusunan laporan. Strategi akuntansi adalah meningkatkan

kegiatan ferivikasi agar pencatatan lebih akurat dan penyelesaian laporan tepat

waktu. Program kerja akuntansi adalah mengadakan pengecekan semua dokumen

pengeluaran secara cermat dan melaksanakan ferivikasi secara berkala sesuai

kebutuhan.

9. Bidang Sumber Daya Manusia

Kebijakan sumber daya manusia adalah pendidikan dan latihan dilakukan

sesuai kebutuhan perusahaan dan penerimaan (recruitment) karyawan dilakukan

sesuai standar formasi. Strategi sumber daya manusia adalah penyempurnaan

struktur organisasi perusahaan sesuai dengan kebutuhan agar dapat dicapai

efisiensi dan efektifitas kerja yang tinggi, menyempurnakan system imbal jasa

yang lebih kompetitif dan mengarah pada prestasi kerja, meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia dan disiplin kerja agar mampu melaksanakan tugas sesuai

dengan ketentuan perusahaan, menyusun man power planning untuk

mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan meningkatkan

hubungan industrial, kesehatan dan K3.

Program kerja sumberdaya manusia adalah menyusun struktur organisasi

Page 60: Isi Tesis Dini

166

dan pembagian kerja (job ceiling), agar ada kejelasan masing-masing fungsi,

menyusun peraturan jenjang karier, menyusun dan menentukan karyawan untuk

melaksanakan pelatihan sesuai jadwal dan kebutuhan, menyempurnakan sistem

imbal jasa dan menyusun rencana pensiun dan pensiun dini.

10. Bidang Umum

Kebijakan bidang umum adalah pengamanan aset perusahaan dilakukan

dengan biaya paling efisien. Strategisnya adalah meningkatkan koordinasi dengan

instansi terkait dalam upaya mengamankan aset perusahaan, meningkatkan

koordinasi dengan instansi terkait untuk penyelesaian HGU perusahaan, dan

meningkatkan koordinasi pelayanan kerumahtanggaan, keamanan dan sarana

komunikasi.

Program kerja bidang umum adalah menginventariskan areal HGU

perusahaan yang akan habis masa berlakunya, melakukan perpanjangan HGU

sesuai jadwal yang di tetepkan dan melaksanakan pengamanan aset.

11. Bidang Pembinaan Usaha Kecil Dan Koperasi.

Kebijakan bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah penyaluran

dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan masyarakat

harus berdasarkan pada kebutuhan sesuai sasaran agar memberikan manfaat

paling besar bagi perusahaan, dan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB)

dengan BUMN lain dalam rangka pengalihan mitra binaan di luar Provinsi

Sumatera Utara.

Strategi bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi meningkatkan

koordinasi dengan instansi terkait dan kebun unit untuk penyaluran, penagihan

dana pengembangan usaha kecil dan koperasi, pemberdayaan masyarakat,

mengalihkan mitra binaan yang berada di luar Provinsi Sumatera Utara ke BUMN

lain, meningkatkan pelaksanaan evaluasi dan monitoring kepada mitra kerja,

menggambarkan tindakan hukum kepada mitra binaan yang tidak mempunyai

itikad baik dalam membayar kembali pinjamannya.

Program kerja bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah

menyalurkan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan

Page 61: Isi Tesis Dini

167

masyarakat, melaksanakan evaluasi dan monitoring secara efektif dan efisien,

melakukan penjadwalan terhadap mitra binaan yang akan dialihkan pembinaannya

ke BUMN lain dan meminta persetujuan kemitraan BUMN untuk penagihan mitra

binaan di luar Provinsi Sumatera Utara.

12. Bidang Kesehatan

Kebijakan bidang kesehatan adalah pengiriman pasien ke rumah sakit

rujukan diupayakan seminimal mungkin dan pemakaian obat diupayakan

seoptimal mungkin obat generik. Strateginya adalah meningkatkan kemampuan

rumah sakit perusahaan. Program kerja bidang kesehatan adalah melaksanakan

pemeriksaan umum (general check up) bagi karyawan, melaksanakan program

imunisasi bagi karyawan dan melaksanakan penyuluhan program keluarga

berencana dan gizi sehat.

13. Bidang Pabrik Mesin Tenera

Kebijakan bidang pabrik mesin tenera adalah pemeliharaan mesin dan

peralatan-peralatan pabrik diupayakan seoptimal mungkin oleh petugas di bagian

pabrik mesin tenera sendiri. Strategi bidang pabrik mesin tenera adalah

meningkatkan keahlian dan keterampilan karyawan, meningkatkan kualitas hasil

pekerjaan dengan biaya yang bersaing, dan meningkatkan mutu pelayanan

terhadap kebun/unit kebun. Program kerja pabrik mesin tenera adalah

melaksanakan pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal yang

ditetapkan dan membuat peralatan mesin sesuai pesanan.

VI. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Page 62: Isi Tesis Dini

168

PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT

Tujuan utama dari pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah untuk

peningkatan pendapatan masyarakat, perekonomian daerah dan perekonomian

nasional. Hasil survei pakar pada penelitian ini menunjukkan bahwa

pengembangan industri kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor penting

yakni :

1. Keamanan Berusaha

Faktor keamanan berusaha sangat dominan pada pengembangan industri

kelapa sawit, ini disebabkan antara lain oleh periode tanaman mulai menghasilkan

cukup lama (5 tahun sejak pembukaan lahan), merupakan investasi jangka

panjang (sampai tanaman berusia 25 tahun) dan melibatkan masyarakat dalam

jumlah banyak yang berpotensi timbulnya gangguan sosial. Gangguan sosial

yang dimaksud disini adalah bagaimana penerimaan masyarakat artinya setiap

rencana pengembangan industri kelapa sawit hendaknya mengutamakan sejauh

mana tingkat penerimaan masyarakat setempat terhadap pengembangan industri

kelapa sawit. Faktor lain yang menyangkut sosial adalah keadilan dalam

pembagian keuntungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat menganggap lebih penting masalah keadilan

dibanding peningkatan pendapatan. Keadilan dapat terwujud apabila adanya

transparansi dalam pengolahan usaha dimana masyarakat ikut berpartisipasi

didalamnya sehingga kemanan berusaha dapat terwujud.

2. Teknologi Produktivitas

Teknologi pengembangan industri kelapa sawit dapat dikelompokkan

menjadi teknologi pembibitan, budidaya, dan teknologi pengolahan. Teknologi

pembibitan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memperpanjang umur

tanaman menghasilkan, meningkatkan rendemen dan meningkatkan kualitas

minyak yang dihasilkan. Dominannya faktor teknologi produktifitas tanaman

kelapa sawit disebabkan karena produktivitas tanaman kelapa sawit secara

signifikan mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan TBS.

Page 63: Isi Tesis Dini

169

Pemilihan teknologi pembibitan yang tepat mempengaruhi peningkatan

pendapatan perkebunan dan PKS. Perbedaan yang nyata antar setiap teknologi

pembibitan menyebabkan perlunya kebijakan pembibitan untuk pengembangan

industri kelapa sawit di Indonesia.

Pada teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, limbah yang dihasilkan

oleh PKS terdiri dari limbah cair dan limbah padat.Limbah padat yang dihasilkan

berupa tandan kosong, sabut, dan cangkang. Limbah juga dapat berasal dari

perkebunan, terutama limbah pelepah dan batang sawit. Pelepah dapat digunakan

sebagai pupuk dan bahan baku pulp, sedangkan batang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan meubel dan papan partikel.

3. Investasi Dan Pendanaan

Agroindustri kelapa sawit merupakan industri padat modal karena

tingginya investasi untuk membangun satu unit PKS yang lengkap dengan kebun.

Untuk mensuplai bahan baku PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam dibutuhkan

kebun sawit seluas 6.000 ha. Untuk membangun satu unit agroindustri kelapa

sawit dibutuhkan investasi sebesar Rp. 130 milyar terdiri dari investasi pabrik

Rp. 40 milyar dan investasi kebun Rp. 90 milyar (investasi per ha 15 juta).

Besarnya investasi tersebut menjadi hambatan bagi petani atau organisasi petani

untuk memiliki unit agroindustri kelapa sawit.

Walaupun investasi kebun lebih tinggi dari pabrik, karena perkebunan

dapat diusahakan dalam skala kecil maka perkebunan rakyat dapat berkembang

dengan baik. Dampak dari ketidak mampuan memiliki pabrik tersebut

menyebabkan banyak dari petani sawit yang mengelola perkebunan rakyat saat

ini masih sangat tergantung pada pemilik pabrik. Ketergantungan rakyat pekebun

terhadap pabrik sangat tinggi disebabkan karena waktu panen buah tidak dapat

ditunda karena buah yang sudah dipanen harus diolah paling lambat 24 jam.

Bagi perserta plasma ketergantungan mereka smakin tinggi karena mereka tidak

memiliki pilihan untuk menjual TBS-nya kecuali pada pemilik kebun inti

sebagai penjamin hutang dari pinjaman untuk investasi perkebunan. Kondisi ini

menyebabkan posisi tawar petani sawit menjadi sangat rendah. Transaksi yang

kurang adil menyebabkan terjadinya ketidak efisienan sumber daya. Karena

Page 64: Isi Tesis Dini

170

jumlah rakyat pekebun yang bergerak dalam industri kelapa sawit cukup besar

maka selayaknya kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada kelompok

petani agar aspirasi dan kepentingan mereka diakomodir oleh kebijakan

Pemerintah.

Distribusi pendapatan pemerintah ditunjukkan oleh besarnya penerimaan

yang diperoleh dari pajak. Sumber penerimaan pajak pemerintah terhadap

agroindustri kelapa sawit terdiri dari pajak PPh, pajak PPn, pajak ekspor CPO dan

PK. Pada tingkat propinsi terdapat (3) tiga faktor yang hendaknya menjadi

perhatian propinsi, diantaranya adalah pengaturan kepemilikan saham atau bentuk

pola usaha. Peran yang diterapkan dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam

pengembangan industri kelapa sawit yang terpenting adalah penetuan tingkat

upah, dan pengaturan pengendalian lingkungan.

4. Pemberdayaan Masyarakat Kebun (SDM)

Pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku pertanian

berkebudayaan industi hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun

sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu

menjalin kerjasama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan,

produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam

mengelola sumber daya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam

transaksi produk dan jasa. Menurut Nasoetion (1999) bahwa strategi

pengembangan agroindustri, selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi

juga harus diarahkan pada: (1) Peningkatan kapasitas masyarakat dan

kelembagan, (2) Peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya,

(3) Pemberdayaan setiap komponen yang terlibat dalam pengembangan

agroindustri, (4) Pendistribusian aset produktif dan hasil pembangunan secara

berkeadilan dan (5) Pembangunan yang berkelanjutan dan tahan akan pengaruh

eksternal. Strategi tersebut dapat terwujud melalui peningkatan kapasitas dan

kemampuan masyarakat.

Oleh karena itu maka pengembangan agroindustri kelapa sawit seharusnya

dikembangkan sesuai dengan kebudayaan industri yang dilandaskan kepada

pengetahuan, kemajuan teknologi, mekanisme pasar sebagai media utama

Page 65: Isi Tesis Dini

171

transaksi dikaitkan dengan kemandirian daerah bukan kemandirian masyarakat.

Karakteristik agroindustri kelapa sawit di Indonesia berupa padat modal sekaligus

padat karya, berbasis pada pendayagunaan sumberdaya lokal dan produknya

sebagian besar dipasarkan di pasar global, dengan karakteristik demikian maka

pemberdayaan masyarakat kebun, khususnya masyarakat kebun kelapa sawit

berarti memberdayakan sebagian besar mesyarakat Indonesia memasuki era

globalisasi.

5. Daya Saing

Kelapa sawit telah menjadi komoditi unggulan yang menghasilkan banyak

devisa kepada negara. Walaupun menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia,

tetapi komoditi ini belum memiliki rantai industri yang kuat. Contohnya saja,

pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional seperti biodiesel maupun

oleokimia, dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dibandingkan Cina dan

Malaysia, produksi Indonesia untuk kedua produk tersebut masih dibawah 1 juta

ton.

Di sektor hulu, permasalahan juga kerap terjadi antara lain rendahnya

produktifitas terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Masalah lain tentang

kendala terkait masalah lingkungan dimana kelapa sawit dituding menjadi biang

keladi kerusakan lingkungan, semisal pembakaran hutan, peningkatan GHG, dan

perusakan habitat orang hutan. Di produk minyak sawit, isu kesehatan juga perlu

mendapat perhatian yang cukup serius oleh karena itu sebagai upaya memperkuat

daya saing industri kelapa sawit nasional, dibutuhkan suatu pengembangan system

penelitian nasional yang bersifat komperhensif yang disinergikan dengan kegiatan

bisnis.

Sampai saat ini banyak penelitian dan makalah yang mengkaji kelapa

sawit. Kajian itu tersebar disemua lini kelapa sawit, mulai dari hulu hingga ke

hilir. Beberapa penelitian yang dapat berkontribusi pada pengembangan industri

sawit antara lain : pengembangan bibit sawit tahan ganoderma, pemuliaan

tanaman sawit kaya PUFA di sektor hulu. Sedangkan di Hilir dihasilkannya

teknologi pengolahan biosurfaktan, Cocoa Butter Equivalen (CBE) dan pekatan

karoten, untuk sektor lingkungan.

Page 66: Isi Tesis Dini

172

Berbagai hasil analisis dan kajian yang berkaitan sosial ekonomi

(kelembagaan, selera konsumen, peluang pasar), kebijakan, dan lingkungan

merupakan salah satu pilar dalam meningkatkan daya saing, termasuk industri

kelapa sawit. Dukungan kebijakan dan kelembagaan merupakan salah satu elemen

penting dalam peningkatan daya saing. direspon dengan teknologi-teknologi

ramah lingkungan, karena aspek lingkungan juga termasuk salah satu atribut

dalam menentukan daya saing. Isu pengelolaan kelapa sawit di Indonesia,

khususnya yang dicurigai merusak hutan memperlemah daya saing industri sawit

Indonesia, baik pada sisi investasi (kredit dari luar negeri untuk membangun

kebun kelapa sawit) dan pasar CPO Indonesia di Eropa.

6. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pengembangan industri kelapa sawit meliputi

ketersediaan pupuk yang cukup, pestisida, insetisida dan herbisida serta

penyediaan dan pembangunan infrastruktur bagi industri kelapa sawit.

Penyediaan infrastruktur meliputi pembangunan pelabuhan yang layak,

pembangunan jembatan, jalan, transportasi yang memadai. Infrastruktur di

Indonesia masih dirasakan sangat kurang dibandingkan dengan Malaysia,

akibatnya produktivitas kelapa sawit tidak maksimal. Dengan luas lahan produksi

di Indonesia mencapai 7,5 juta ha produtivitas kelapa sawitnya hanya mencapai

19 juta ton setahun. Padahal Malaysia yang hanya memiliki lahan produksi 4 juta

ha sanggup menghasilkan 16 juta ton kelapa sawit setahun.

7. Politik Ekonomi Industri Kelapa Sawit

Pengembangan industri kelapa sawit di masyarakat saat ini merupakan

hasil proses evolusi yang sudah berlangsung 1,5 abad yang lau sehingga pola

perkebunan sudah memiliki cirri khas hubungan sosial dan budaya yang masih

dipengaruhi oleh hubungan sosial yang dibangun pada zaman kolonialisme.

Pengembangan industri kelapa sawit sangat terkait dengan aspek sosial,

karena selain membutuhkan lahan yang luas dan membutuhkan tenaga kerja yang

banyak, juga investasi dalam industri kelapa sawit juga membutuhkan waktu yang

lama (minimum 25 tahun).

Page 67: Isi Tesis Dini

173

Keterkaitan politik ekonomi dalam pengembangan industri kelapa sawit

terutama disebabkan karena produk yang dihasilkan yaitu minyak goreng

merupakan salah satu kebutuhan pokok yang stabilitas harganya terus dipantau

oleh pemerintah. Setiap ada gejolak harga minyak goreng pemerintah

mengeluarkan kebijakan seperti pajak ekspor untuk menstabilkan harga.

Terdapat dua faktor yang menunjukkan bahwa eratnya kaitan antara

perkembangan politik-ekonomi dengan pengembangan industri kelapa sawit

yaitu : faktor keamanan berusaha dan tingkat penerimaan masyarakat. Karenanya

untuk mewujudkan kondisi yang stabil dibutuhkan dukungan politik karena salah

satu prasyarat masuknya investor adalah terjaminnya keamanan berusaha dalam

arti luas, terutama kepastian hukum. Dan kondisi tersebut ditentukan oleh

keberhasilan menciptakan harga TBS dan keberhasilan mengantisipasi harga

CPO.

Untuk mewujudkan pengembangan industri kelapa sawit sebagai

agroindustri unggulan, strategi pengembangan hendaknya diarahkan menjadi satu

pilar pembangunan pertanian dalam menunjang perekonomian masyarakat. Kunci

pokok yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) Peningkatan kualitas SDM,

(2) Peningkatan penguasaan IPTEK, (3) Pengembangan kelembagaan dan

(4) Pengembangan sarana dan prasarana. Keempat kunci tersebut dikaitkan

dengan peningkatan daya saing, kemandirian dan berkelanjutan. Dukungan

kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat umum juga sangat

diperlukan guna pengembangan industri kelapa sawit.

VII. ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN BERBASIS INDUSTRI

Page 68: Isi Tesis Dini

174

1. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Pengembangan

Industri kelapa Sawit dengan AHP

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, aktor yang berkepentingan serta

tujuan yang ingin dicapai maka disusun struktur hirarki yang terdiri dari lima

tingkat seperti yang dapat dilihat di Gambar 5, dimana pada tingkat satu yaitu

fokus atau goal, tingkat dua adalah faktor yang mempengaruhi penyusunan

strategi kebijakan, tingkat tiga adalah aktor yang berkepentingan dan memiliki

peranan dalam menyusun strategi kebijakan, tingkat empat adalah tujuan yang

ingin dicapai, dan tingkat lima adalah alternatif-alternatif yang dapat dipilih oleh

perusahaan dan pemerintah untuk mencapai tujuan pengmbangan industri kelapa

sawit.

Gambar 5. Struktur Hirarki Pemilihan Strategi Kebijakan Pemerintah

Keterangan :

Page 69: Isi Tesis Dini

175

A. Tingkat 1 : Goal yang menjadi inti atau fokus dari permasalahan yang

ingin dipecahkan dengan metode AHP (Fokus)

B. Tingkat 2 : Hal-hal yang menjadi faktor penyusun strategi promosi

(Faktor)

1. SP : Sarana Prasarana (infrastruktur)

2. SDA : Sumber Daya Alam

3. Inv : Investasi

4. Tekprod : Tekhnologi dan produktivitas

5. SDM : Sumber Daya Manusia

C. Tingkat 3 : Aktor-aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan

strategi promosi (Aktor)

1. DRU : Direktur PTPN IV

2. Depdag : Departemen Perdagangan

3. Deprin : Departemen Perindustrian

4. Dirbun : Dirjen Perkebunan

5. Kelembagaan

6. Petani

7. Pengusaha

D. Tingkat 4 : Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan strategi

promosi (Tujuan)

• Meningkatkan pendapatan pemerintah di bidang pertanian.

• Meningkatkan pendapatan pengusaha perkebunan dan usaha perkebunan.

• Meningkatkan kinerja pabrik pengolahan kelapa sawit.

• Miningkatkan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pabrik CPO/PKO

dan PKS.Meningkatkan kualitas lingkungan yg lebih baik.

E. Tingkat 5 : Hal-hal yang dirumuskan sebagai pilihan yang akan

direkomendasikan sebagai hasil untuk mencapai tujuan

penelitian (Alternatif)

1. Pemerintah menetapakan kebijakan tetentang pajak ekspor secara berkala

agar pelaku usaha dan pemerintah sama-sama mendapat keuntungan guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Penetapan kebijakan tentang harga TBS.

Page 70: Isi Tesis Dini

176

3. Ditetapkannya kebijakan tentang pemupukan cadangan penyangga minyak

kelapa sawit.

4. Kebijakan tentang distribusi lahan.

5. Menetapkan pola usaha dan tata cara pemasaran produk berbasis kelapa

sawit agar merata.

Pengolahan data dilakukan pada setiap tingkat terhadap faktor pada tingkat

diatasnya. Dari hasil pengolahan AHP didapatkan dua sudut pandang pengolahan,

yaitu pengolahan vertikal dan pengolahan horizontal.

1. Hasil Pengolahan Data secara Horizontal dalam AHP

Hasil pengolahan horizontal menunjukan hubungan antara elemen-elemen

dalam satu hirarki dengan elemen-elemen lainnya di tingkat hirarki yang berbeda.

Dari pengolahan horizontal akan terlihat tingkat pengaruh antara satu faktor

terhadap sejumlah faktor lainnya pada tingkat hirarki dibawahnya.

a. Aktor

Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa aktor yang paling dominan

pengaruhnya terhadap keberhasilan pengambangan industri kelapa sawit adalah

Direktur PTPN (0,456) dan departemen perdagangan (0,192). Kepentingan

seorang Direktur PTPN sangat tinggi karena kedua elamen ini merupakan

manajemen tertinggi dalam PTPN IV. Oleh karena itu, beliau merupakan pihak

yang berkepentingan langsung dalam mengarahkan, mengkoordinasikan dan

menyetujui kebijakan apa yg akan di tetapkan dan dijalankan oleh PTPN IV.

Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap anggaran promosi yaitu

Dirjen Perkebunan (0,090), Kelembagaan (0,102), petani (0,093) dan pengusaha

(0,067).

Tabel 15. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar

Page 71: Isi Tesis Dini

177

Elemen pada Tingkat 3 (Elemen Aktor Penyusun Strategi kebijakan

pengembangan industri kelapa sawit).

AKTOR URAIAN F1 F2 F3 F4 F5

1 Direktur PTPN 0,456 0,457 0,45

9

0,31

0

0,43

0

2 Deperindag 0,192 0,174 0,22

4

0,17

5

0,19

6

3 Dirjen Perkebunan 0,090 0,108 0,12

9

0,27

4

0,15

4

4 Kelembagaan 0,102 0,074 0,07

2

0,04

9

0,08

0

5 Petani 0,093 0,083 0,05

3

0,05

1

0,05

0

6 Pengusaha 0,067 0,104 0,06

3

0,10

1

0,08

9

Dalam hal Sumber Daya Alam, pihak yang memiliki tingkat kepentingan

terbesar juga masih dipegang oleh Direktur Utama (0,457). Seorang Direktur

PTPN memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh Sumber Daya Alam

yang berada dalam kepemilikan perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur PTPN

diharapkan mampu mengatur SDA yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya

dengan tingkat pengaruh terhadap Sumber Daya Alam yaitu Deperindag (0,174),

Dirjen Perkebunan (0,108), Pengusaha (0,104), Petani (0,083) dan

Kelembagaan (0.074).

Aktor yang memiliki tingkat kepentingan terbesar pada karakteristik

investasi adalah Direktur PTPN (0,459). Direktur PTPN IV merupakan jajaran

manajemen atas yang banyak memiliki peran terhadap kebijakan lapangan.

Oleh karena itu, Direktur dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan

yang tepat. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap karakteristik

Investasi yaitu Deperindag (0,224), Disbun (0,129), Kelembagaan (0,072),

Pengusaha (0,063) dan Petani (0,053).

Page 72: Isi Tesis Dini

178

Berkaitan dengan karakteristik teknologi dan produktivitas PTPN IV,

pihak yang memiliki kepentingan tertinggi adalah Direktur PTPN (0,310).

Hal ini dikarenakan seorang Direktur Utama merupakan pembuat kebijakan

strategis, diantaranya kebijakan tersebut menjadi penting dikarenakan seorang

Direktur PTPN merupakan orang yang memiliki kapabilitas mengenai spesifikasi

produk pembiayaan PTPN IV. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh

terhadap karakteristik teknologi dan produktivitas yaitu Dirjen Perkebunan

(0,274), Deperindag (0,175), Pengusaha (0,101), Petani (0,051) dan Kelembagaan

(0,049).

Dalam hal sumber daya manusia, pihak yang memiliki tingkat kepentingan

terbesar juga masih dipegang oleh Direktur PTPN (0,430). Seorang Direktur

Utama memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh sumber daya

manusia yang berada dalam perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur Utama

diharapkan mampu mengatur SDM yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya

dengan tingkat pengaruh terhadap sumber daya manusia yaitu Deperindag (0,196),

Dirjen Perkebunan (0,154), Pengusaha (0,089), Kelembagaan (0,080) dan Petani

(0,050).

b. Tujuan

Berdasarkan Tabel 16 tujuan untuk meningkatkan pendapatan pelaku

usaha perkebunan dalam rangka pengembangan industri pertanian berbasis kelapa

sawit dipegang oleh Direktur PTPN (0,505). Sebagai jajaran lini atas perusahaan,

Direktur PTPN bertanggung jawab langsung kepada pemilik saham PTPN IV.

Volume penjualan yang baik merupakan ukuran kinerja yang paling utama dari

seorang Direktur PTPN IV. Dengan begitu meningkatkan volume penjualan dan

peningkatan produksi menjadi sangat penting untuk menjadi tujuan

pengembangan industri kelapa sawit. Sedangkan prioritas ke dua untuk tujuan

peningkatan pendapatan tenaga kerja (0,219). Prioritas ke tiga untuk tujuan

pendapatan pemerintah (0,010), prioritas tujuan ke empat dan ke lima masing-

masing yaitu meningkatkan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan kinerja

pabrik kelapa sawit (0,086).

Tabel 16. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar

Page 73: Isi Tesis Dini

179

Elemen pada Tingkat 4 (Elemen Tujuan analisis strategi kebijakan

pemerintah terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit)

Tuju

an Uraian A1 A2 A3 A4 A5 A6

1 Pendapatan

Pemerintah

0,101

0

0,085

0

0,0930 0,071

0

0,060

0

0,054

0

2 Pendapatan

PK/USABUN

0,505

0

0,429

0

0,4220 0,330

0

0,441

0

0,438

0

3 Peningkatan PAB PKS 0,086

0

0,103

0

0,1280 0,121

0

0,118

0

0,163

0

4 Peningkatan

Pendapatan TK

0,219

0

0,292

0

0,2010 0,248

0

0,219

0

0,166

0

5 Kualitas Lingkungan 0,089

0

0,091

0

0,1560 0,229

0

0,162

0

0,178

0

Dalam prioritas tujuan utama meningkatkan pendapatan usaha perkebunan

kelapa sawit aktor lain yg berperan penting selain Direktur PTPN dalam jajaran

pemerintahan yaitu Deperindag (0,429) dimana aktor ini berperan dalam

penetapan kebijakan, peraturan dan memberikan fasilitas dalam pengambangan

industri kelapa sawit, sedangkan prioritas ke dua dari tujuan adalah untuk

peningkatan pendapatan tenaga kerja yg di pekerjakan kebun seperti pekerja

untuk pemupukan, pembersihan gulma, dan pemanenan (0,219), dan prioritas

tujuan ketiga peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,103), prioritas keempat

untuk tujuan peningkatan kualitas lingkungan (0,091) dan pendapatan pemerintah

(0,085)

Bagi aktor Dirjen Perkebunan, tujuan untuk meningkatkan pendapatan

pelaku usaha perkebunan besar merupakan hal utama (0,422). Hal ini menjadi

penting bagi Dirjen Perkebunan, sehubungan dengan tanggung jawabnya

terhadap pencapaian dari target bisnis dan pembuat kebijakan, peraturan

pemanfaatan lahan serta mengeluarkan ijin usaha dalam bidang perkebunan

kelapa sawit. Dengan tercapainya tujuan tersebut dapat mengindikasikan kinerja

Page 74: Isi Tesis Dini

180

cukup baik dari jajaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan

menurut Dirjen Perkebunan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan

pendapatan tenaga kerja yang di pekerjakan perusahaan perkebunan (0,201).

Prioritas ketiga untuk tujuan meningkatkan kualitas lingkungan sekitar usaha

perkebunan kelapa sawit (0,156), dan prioritas ke empat yakni meningkatkan

kinerja pabrik kelapa sawit (0,128).

Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program

pelaksanaan kegiatan di lapangan, kelembagaan merupakan suatu organisasi yang

bertujuan mewadahi organisasi pekerja dan pelaku usaha perkebunan dilapangan

dan kelembagaan ini menjadikan tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha

baik negeri (PTPN) maupun swasta menjadi hal utama dalam rangka

meningkatkan pengembangan industri kelapa sawit (0,330). Sedangkan menurut

kelembagaan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan pendapatan

tenaga kerja di PTPN IV (0,248). Prioritas ke tiga untuk tujuan meningkatkan

kualitas lingkungan, baik dari lingkungan masyarakat sekitar usaha perkebunan

maupun pemanfaatan limbah kelapa sawit (0,229), dan tujuan ke empat untuk

tujuan peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,121) dan prioritas ke lima untuk

tujuan pendapatan pemerintah (0,071).

c. Alternatif

Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa untuk mencapai tujuan meningkatkan

pendapatan pemerintah, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah

strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) (0,482). Melalui penetapan

harga Tandan Buah Segar (TBS) diharapkan petani dapat meningkatkan taraf

hidupnya dan menjaga kualitas kalapa sawit yg dihasilkan dan pemerintah dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan manaikkan upah dan gaji

karyawan yg bekerja di bidang perkebunan .

Dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha

dan perkebunan PTPN IV, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah

strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Alternatif ini menjadi

penting mengingat strategi ini merupakan strategi yang baik guna meningkatkan

produktifitas pengolahan kelapa sawit di tengah terbatasnya lahan yang dapat di

Page 75: Isi Tesis Dini

181

gunakan .

Tabel 17. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar

Elemen pada Tingkat 5 (Elemen Alternatif Strategi kebijakan)

AL

T

URAIAN T1 T2 T3 T4 T5

1 Penetapan Pajak Ekspor secara

berkala

0,20

2

0,19

7

0,18

3

0,18

9

0,20

4

2 Penetapan Harga TBS 0,48

2

0,48

6

0,46

0

0,40

0

0,37

9

3 Diversivikasi produk olahan

Minyak sawit

0,12

8

0,11

1

0,13

0

0,18

4

0,17

2

4 Distribusi Lahan 0,11

2

0,07

2

0,04

0

0,09

2

0,12

1

5 Pola Usaha dan Pemasaran Produk

yang Merata

0,07

6

0,13

4

0,13

4

0,13

5

0,12

4

Alternatif 3 (0,184) yaitu diversivikasi produk olahan minyak sawit

merupakan alternatif prioritas utama untuk mencapai tujuan meningkatkan

pendapatan tenaga kerja perkebunan. Alternatif ini menjadi penting karena

semakin banyak cabang industri pengolahan kelapa sawit menjadi berbagai

macam produk olahan selain minyak sawit menjadikan pendapatan pekerja di

bidang perkebunan kelapa sawit semakin bertambah karena semakin banyak

memerlukan tenaga kerja.

Distribusi lahan sebagai alternatif 4 (0,112) dipilih sebagai prioritas utama

dari tujuan meningkatkan pendapatan pemerintah karena distribusi lahan yang

tepat akan mendapatkan keutungan bagi pemerintah berupa pajak dan penyerapan

tenaga kerja agar tercipta masyarakat yang lebih sejahtera dan pemanfaatan lahan

yang tepat guna serta meningkatnya pertumbuhan industri khususnya industri

Page 76: Isi Tesis Dini

182

minyak kelapa sawit dan olahan lain dari kelapa sawit.

Pola usaha dan pemasaran produk yang merata menjadi alternatif

5 (0,135) yang menjadi prioritas tujuan peningkatan pendapatan tenaga kerja.

Alternatif ini menjadi penting karena dengan diaturnya pola usaha dan pemasaran

produk yang merata memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta

berusaha di bidang perkebunan dengan pola usaha yg telah di tetapkan pemerintah

yang pastinya menguntungkan bagi masyarakat dan pengusaha yang bergerak

dibidang perkebunan.

2. Hasil Pengolahan Data secara Vertikal dalam AHP

Page 77: Isi Tesis Dini

183

Goal

Aktor

Faktor

Tujuan

Alternatif

Dari pengolahan data secara vertikal akan menunjukan besarnya tingkat

alternatif dari strategi kebijakan yang dapat dipilih disertai dengan bobot yang

dikandung oleh masing-masing elemen dalam hirarki. Hirarki pemilihan alternatif

strategi kebijakan terkait pengembangan industri kelapa sawit studi kasus

PTPN IV disertai dengan hasil dari pengolahan secara vertikal dapat dilihat pada

Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6. Hasil pengolahan vertikal struktur hirarki pemilihan alternatif strategi

kebijakan pemerintah terkait pengembanagan industri kelapa sawit

(Studi Kasus PTPN IV)

Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa faktor yang paling berpengaruh

Penentuan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan USAHA Besar Industri Kelapa Sawit

(Studi Kasus di PTPN IV Sumatera Utara)

Teknologi Produktifitas

0,840

Sarana Prasarana

0,242

Daya Saing 0,117

SDM 0,083

Infestasi 0840

Pendapatan PK/USAB UN

0,449

Peningkatan Tenaga Kerja

0,226

Kualitas Lingkungan

0,120

Peningkatan PAB PKS

0,105

Pendapatan Pemerintah

0,087

Penetapan harga TBS

0,445

Penetapan Pajak Ekspor

0,193

Divervikasi olahan kelapa sawit 0,137

Pola Usaha dan Pemerataan

produk 0,127

Distribusi Lahan 0,082

Deperindag 0,202

Dirjendbud 0,160

Kelembagaan 0,071

Pengusaha 0,066

Petani 0,059

Direktur PTPN 0,420

Page 78: Isi Tesis Dini

184

terhadap analisis strategi kebijakan pemerintah (Studi Kasus di PTPN IV) adalah

Teknologi dan Produktivitas (0,480). Dominannya faktor teknologi baik teknologi

pembibitan maupun teknologi yang di gunakan pabrik pengolahan kelapa sawit

dan produktivitas tanaman kelapa sawit karena secara signifikan dapat

mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan Tandan Buah Segar

(TBS).

Tabel 18. Bobot dan prioritas faktor-faktor penyusun strategi pengembangan

industri kelapa sawit

FAKTOR URAIAN BOBOT FAKTOR RANGKING

1 Daya Saing 0,117 3

2 Investasi 0,077 5

3 Produktivitas 0,480 1

4 Sarana Prasarana 0,242 2

5 Sumber Daya Manusia 0,083 4

Sarana prasarana (0,242) menjadi faktor kedua dari analisis AHP diatas

yang di anggap dominan karena dengan tersedianya sarana dan prasarana produk

pertanian seperti pupuk, bibit yang baik serta mendukungnya infrastruktur seperti

jalan, pengangkutan akan sangant membantu peningkatan kualitas dari tandan

buah segar yang dihasilkan dan ketersediaan bahan baku kelapa sawit yang tepat

waktu dan dapat menguntungkan semua pihak.

Daya saing (0,117) menjadi faktor dengan prioritas ketiga yang

berpengaruh dalam analisis strategi kebijakan di PTPN IV. Daya saing sangat

penting karena hal ini di kaitkan dengan pengembangan kualitas SDM,

peningkatan penguasaan IPTEK sehingga tercipta kemandirian usaha sehingga

dapat tercapai nilai ekspor dan peluang ekspor yang tingi, dan daya saing nilai

produk yang tingi. Peran pemerintah dalam hal daya saing ini selain sebagai

birokrasi juga berperan sebagai fasilitator yang yang memfasilitasi perkembangan

produk serta menjamin kaamanan berusaha sehingga mendorong para pelaku

usaha perkebunan kelapa sawit meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan

sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Faktor yang menjadi prioritas

Page 79: Isi Tesis Dini

185

selanjutnya yaitu sumber daya manusia (0,083) dan investasi (0,077).

Kedua faktor ini juga sangat mendukung pengembangan industri kelapa sawit,

dengan pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku pertanian

berkebudayaan industri hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun

sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu

menjalin kerja sama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan,

produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam

mengelola sumberdaya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam

transaksi produk dan jasa, sama halnya dengan sumberdaya manusia investasi

juga merupakan faktor penting. Kelayakan usaha perkebunan dan PKS terhadap

harga TBS merupakan tolak ukur bagi pengembangan industri kelapa sawit.

Pada jenjang aktor, menunjukkan bahwa pemerintah pusat yang diwakili

direktur PTPN, Deperindag dan Dirjen Perkebunan masih dominan pengaruhnya

terhadap keberhasilan pengembangan industri kelapa sawit, sedangkan Pengusaha,

Kelembagaan dan Petani perannya masih dianggap rendah.

Peran pemerintah yang masih dominan dalam pengembangan industri

kelapa sawit desebabkan faktor-faktor mempengaruhi agroindustri kelapa sawit

(teknologi dan produktivitas, sarana dan prasarana (infrastruktur), daya saing,

sumberdaya manusia dan ketersediaan modal) sebagian besar dalam penguasaan

atau minimal sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Aktor lain belum

mampu mengimbangi pengaruh pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor

tersebut. Mulai diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang

Kewenangan Pusat dan Daerah, maka strategi yang penting di laksanakan adalah

mentransformasikan berbagai kewenangan yang sesuai dengan peraturan

pemerintah tersebut untuk dilaksanakan di daerah agar pengembangan

agroindustri di daerah lebih sesuai dengan kondisi yang diinginkan masyarakat di

sekitar perkebunan kelapa sawit.

Tabel 19 . Bobot dan prioritas aktor yang berperan dalam pengambilan

Page 80: Isi Tesis Dini

186

keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan

industri kelapa sawit

AKTOR URAIAN BOBOT

AKTOR

RANGKING

1 Direktur PTPN 0,420 1

2 Deperindag 0,202 2

3 Dirjen Perkebunan 0,160 3

4 Kelembagaan 0,071 5

5 Petani 0,059 6

6 Pengusaha 0,078 4

Tujuan untuk peningkatan pendapatan perkebunan dan tenaga kerja

sebagai perioritas dalam analisis strategi dan kebijakan pengembangan

agroindustri kelapa sawit hendaknya dijadikan faktor utama setiap perumusan

strategi dan kebijakan agroindustri kelapa sawit (Tabel 20). Perkebunan sudah

sewajarnya menerima tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari PKS karena

resiko usaha perkebunan lebih besar dari PKS karena produksinya tergantung oleh

kondisi alam seperti hama dan penyakit tanaman dan TBS yang dihasilkan hanya

dapat disimpan selama 24 jam. Sementara tenaga kerja di perkebunan dan PKS

perlu di perioritaskan karena hingga saat ini gaji/upah yang diterima sebesar Upah

Minimum Regoinal (UMR) masih belum menukupi untuk memenuhi Kebutuhan

Hidup Minimum (KHM).

Tabel 20 . Bobot dan prioritas tujuan yang berperan dalam pengambilan

Page 81: Isi Tesis Dini

187

keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan

industri kelapa sawit

TUJUAN URAIAN BOBOT

TUJUAN

RANGKING

1 Pendapatan Pemerintah 0,0872 5

2 Pendapatan PK/USABUN 0,4496 1

3 Peningkatan PAB PKS 0,1056 4

4 Peningkatan Pendapatan

TK

0,2264 2

5 Kualitas Lingkungan 0,1203 3

Sementara strategi yang dominan untuk pengembangan agroindustri

kelapa sawit yaitu harga Tandan Buah Segar (TBS), kemudian gaji/upah tenaga

kerja, dan perpajakan merupakan kebijakan yang terbaik bagi semua pihak yang

berkepentingan dalam industri kelapa sawit. Sedangakan aktor yang masih

memerlukan penataan yakni peran aktor yang dominan yaitu kelembagaan, dan

pemerintah pusat, serta upaya pemberdayaan rakyat pekebun agar peranannya

dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit dapat setara dengan peran aktor

lainnya.

Tabel 21. Bobot dan prioritas alternatif kebijakan yang berperan dalam

Page 82: Isi Tesis Dini

188

pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait

pengambangan industri kelapa sawit

Alternat

if

Uraian

Bobot

Alternat

if

Rangkin

g

1 Penetapan Pajak Ekspor secara berkala

0,193

2

2 Penetapan Harga TBS 0,445 1

3 Diversivikasi produk olahan Minyak sawit

0,137

3

4 Distribusi Lahan 0,082 5

5 Pola Usaha dan Pemasaran Produk yang

Merata

0,127 4

Pendalaman terhadap tujuan pengembangan agroindustri kelapa sawit

selanjutnya dilakukan dengan mengidentifikasikan output atau dampak yang

diharapkan dari sistem agroindustri kelapa sawit. Hasil survey pakar menunjukkan

bahwa terdapat 10 jenis dampak kebijakan yang diharapkan dari pengembangan

agroindustri kelapa sawit. Tiga jenis dampak diantaranya memiliki peringkat

tinggi yaitu : Peningkatan pendapatan perkebunan rakyat, peningkatan

kesejahteraaan rakyat dan peningkatan pendapatan tenaga kerja. Selengkapnya

jenis dampak dan peringkatnya dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Bobot Peringkat Dampak dalam Pengembangan Industri Kelapa

Page 83: Isi Tesis Dini

189

Sawit (Studi Kasus PTPN IV).

No Jenis Dampak Bobot

Peringk

at

1 Peningkatan Pendapatan Pemerintah 3.400 5

2 Berkembangnya Produk yang dihasilkan 3.000 7

3 Peningkatan Pendapatan PK/USABUN 4.700 1

4 Pengaruh sosial budaya 2.400 8

5 Berkembangnya perekonomian daerah 3.100 6

6 Peningkatan PAB PKS 2.700 4

7 Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja 4.000 2

8

Jenis dan jumlah pajak yang layak bagi pelaku

usaha dan pemerintah 2.400 9

9 Peningkatan Kualitas Lingkungan 3.700 3

10 Peningkatan Pemerataan pembangunan 2.300 10

Pengambilan keputusan kebijakan pengembangan agroindustri kelapa

sawit akan dihadapkan pada banyaknya dampak hendak dicapai. Tujuan tersebut

dapat dicapai melalui berbagai kebijakan. Setiap jenis tujuan membutuhkan jenis

kebijakan yang berbeda. Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit, 10 jenis

output atau dampak yang disebutkan diatas menjadi kriteria dalam penentian jenis

kebijakan. Atas dasar 10 kriteria tersebut, hasil pendapat pakar dengan teknik

MPE menunjukkan instrumen kebijakan gaji/upah merupakan perioritas pertama,

disusul oleh kebijakan harga CPO, kuota ekspor, bentuk pola usaha, harga TBS,

dan kebijakan perpajakan, seperti dapat dilihat pada Gambar. Instrumen kebijakan

yang diperlukan dapat saling terkait satu sama lain, seperti untuk peningkatan

pendapatan tenaga kerja dapat dicapai melalui penataan kebijakan gaji/upah itu

sendiri dan kebijakan lainnya seperti harga CPO, penataan ekspor, teknologi

pengolahan TBS dan penataan pola usaha. Untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat setempat diperlukan penataan kebijakan gaji/upah, harga TBS dan

CPO, pola usaha dan kebijakan perpajakan. Peningkatan pendapatan daerah

sangat ditentukan oleh kebijakan perpajakan, harga CPO, dan kebijakan ekspor.

Seperti diuraikan sebelumnya bahwa pendapat pakar melalui teknik AHP

Page 84: Isi Tesis Dini

190

juga menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga TBS merupakan instrumen

yang memiliki bobot tertinggi untuk pengembangan agroindustri kelapa sawit,

yang disusul oleh instrumen kebijakan gaji/upah dan pajak. Dari hasil AHP dan

MPE dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor strategis didalam pengembangan

agroindustri kelapa sawit adalah faktor TBS (harga dan ketersediaan), keamanan

berusaha, dana (tingkat suku bunga, sumber dana dan ketersediaan dana), pasar

(suplai, permintaan dan harga CPO dan PKO).

Hasil dari AHP dan MPE (dapat dilihat pada lampiran) dalam

pengembangan agroindustri kelapa sawit juga berfungsi untuk penyelesaian

konflik kepentingan antar pihak berkepentingan, selain itu juga dapat digunakan

sebagai alat untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri kelapa sawit

nasional.

a. Analisis Sensitivitas AHP Strategi Kebijakan Pemerintah

Untuk melihat tingkat sensitivitas perubahan skala prioritas kebijakan

dilakukan uji sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dimaksudkan untuk melihat

kecendrungan perubahan suatu perioritas terhadap faktor lain yang

mempengaruhinya. Adapun hasil dari analisis sensitivitas selengkapnya diuraikan

dibawah ini :

Gambar 7. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level faktor

Kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10) menunjukkan bahwa

skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri

kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) pada level faktor secara berturut-

turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga TBS

Page 85: Isi Tesis Dini

191

(0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk

olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata

(0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama

didasarkan atas pertimbangan aspek peningkatan produktivitas (0,480), disusul

dengan pertimbangan aspek peningkatan sarana dan prasarana sebagai skala

prioritas kedua (0,242), dan aspek daya saing (0,117) sebagai prioritas ketiga serta

aspek SDM (0,083) dan investasi (0,077) sebagai prioritas keempat dan kelima.

Seandainya preferensi para stakeholder terhadap pertimbangan

produktivitas meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terhadap

diversifikasi produk olahan minyak sawit ataupun adanya peningkatan mutu

kelapa sawit yang dihasilkan meningkat, sehingga aspek produktivitas mencapai

skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan

masih tetap (Gambar 8).

Gambar 8. Preferensi terhadap aspek daya saing ditingkatkan 70,2%

Demikian pula jika preferensi para stakeholder terhadap produktivitas

meningkat mencapai skala proiritas utama (100%), maka urutan strategi kebijakan

masih tetap sama (Gambar 9).

Page 86: Isi Tesis Dini

192

Gambar 9. Preferensi terhadap daya saing ditingkatkan 100%

Kondisi yang sama juga berlaku apabila aspek daya saing, sarana dan

prasarana serta aspek Sumber Daya Manusia (SDM) mencapai skala prioritas

utama maka urutan strategi kebijakan masih tetap sama.

Pada level aktor kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10)

menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait

pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) secara

berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga

TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk

olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata

(0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama

didasarkan atas pertimbangan pembuat kebijakan yakni direktur PTPN (Studi

Kasus Direktur PTPN IV) (0,456), disusul dengan pertimbangan keputusan

Deperindag sebagai skala prioritas kedua (0,2192), dan Kelembagaan (0,117)

sebagai prioritas ketiga serta petani (0,093) dan Dirjen Perkebunan (0,090)

sebagai prioritas keempat dan kelima, Pengusaha (0,067) di prioritas keenam.

Page 87: Isi Tesis Dini

193

Gambar 10. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level aktor

Seandainya preferensi para stakeholder terhadap pelaku usaha perkebunan

yakni Direktur PTPN selaku pembuat keputusan meningkat, misalnya akibat

adanya kebijakan pemerintah terhadap Peraturan Perundang-undangan

Perkebunan ataupun adanya penetapan kebijakan baru yang berkaitan dengan

kelapa sawit, sehingga Direktur PTPN mencapai skala prioritas utama (70,2%),

maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap. Selengkapnya urutan

prioritas mulai dari prioritas utama hingga terakhir dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Prefensi terhadap aktor Direktur PTPN ditingkatkan 70,2%

Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor pengusaha

ditingkatkan menjadi 70,2% ataupun preferensi aktor lain yakni Petani

ditingkatkan 70,2%, dan kondisi ini juga berlaku pada aktor lain seperti

Deperindag, Dirjen Perkebunan, dan Kelembagaan. Selengkapnya dapat dilihat

pada Gambar 12 dan 13.

Page 88: Isi Tesis Dini

194

Gambar 12. Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 70,2%

Gambar 13. Preferensi terhadaap aktor Pengusaha ditingkatkan 70,2%

Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor direktur PTPN

ditingkatkan menjadi 100% ataupun preferensi aktor lain yakni Deperindag,

Dirjen Perkebunan, Kelembagaan, Petani serta Pengusaha ditingkatkan sampai

100% maka urutan skala prioritas masih tetap sama. Hal ini berlaku pada semua

level aktor dari peringkat paling utama sampai terakhir.

Page 89: Isi Tesis Dini

195

Gambar 14. Preferensi terhadap aktor Dirut PTPN ditingkatkan 100%

Gambar 15. Preferensi terhadap aktor petani ditingkatkan 100%

Gambar 16. Preferensi terhadap aktor pengusaha ditingkatkan 100%

Selanjutnya pada level tujuan kondisi awal pendapat para stakeholder

(Gambar 17) menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan

pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di

PTPN IV) secara berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir

Page 90: Isi Tesis Dini

196

adalah penetapan harga TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala

(0,195), diferifikasi produk olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan

pemerataan produk yang merata (0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan

skala prioritas tersebut terutama didasarkan atas tujuan yang hendak di capai

yakni direktur peningkatan pengusaha kelapa sawit dan usaha perkebunan (0,505),

disusul dengan peningkatan pendapatan tenaga kerja (petani) sebagai skala

prioritas kedua (0,219), dan peningkatan pendapatan pemerintah (0,101) sebagai

prioritas ketiga serta peningkatan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan

pendapatan pabrik kelapa sawit (0,086) sebagai prioritas keempat dan kelima.

Gambar 17. Diagram Batang Analisis Sensiitivitas (awal) pada level tujuan

Seandainya preferensi para stakeholder terhadap tujuan peningkatan

pendapatan pelaku usaha meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan

pemerintah terhadap izin usaha perkebunan ataupun adanya peningkatan jumlah

perkebunan swasta atau perkebunan inti plasma, sehingga pelaku usaha mencapai

skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan

masih tetap tetapi terjadi peningkatan nilai bobot. Selengkapnya urutan prioritas

mulai dari prioritas utama hingga terakhir sebagai berikut : Penetapan harga TBS

dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,465), terjadi peningkatan nilai bobot

sebesar 0,14% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128)

menjadi (0,130) atau naik sebesar 0,02%. Penurunan bobot terjadi pada penetapan

pajak ekspor secara berkala (0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%;

diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,128) atau turun

Page 91: Isi Tesis Dini

197

sebesar 0,11%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,081) atau turun sebesar

0,07%.

Gambar 18. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 70,2%

Apabila preferensi stakeholder ditingkatkan mencapai kondisi ekstrim

pada 100%, maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi

terjadi peningkatan nilai bobot. Peningkatan bobot terjadi pada penetapan harga

TBS dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,486), terjadi peningkatan nilai bobot

sebesar 0,34% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128)

menjadi (0,134) atau naik sebesar 0,06%, penetapan pajak ekspor secara berkala

(0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%. Penurunan nilai bobot terjadi pada

diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,111) atau turun

sebesar 0,28%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,072) atau turun sebesar

1,6%. Selengkapnya dapat diliah pada Gambar 19.

Page 92: Isi Tesis Dini

198

Gambar 19. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 100%

Jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas kedua yakni

peningkatan pendapatan tenaga kerja, misalnya akibat adanya kebijakan

pemerintah terhadap kenaikan UMR ataupun adanya peningkatan penetapan harga

TBS, sehingga peningkatan pendapatan tenaga kerja mencapai skala prioritas

utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama

tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada diversifikasi produk olahan minyak

sawit, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, dan distribusi lahan

sedangkan penurunan nilai bobot terlihat pada penetapan harga TBS, penetapan

ekspor secara berkala. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga

Kerja menjadi skala prioritas utama (70,2%)

Alternati Kebijakan

Nilai Bobot

Awal

Kondisi

70,2%

Keterangan

Penetapan harga TBS 0,451 0,420 Penurunan nilai bobot

3,1%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,191 Penurunan nilai bobot

0,4%

Diversifikasi produk olahan minyak sawit 0,139 0,167 Peningkatan nilai

bobot 2,8%

Pola usaha dan pemasaran produk yang

merata

0,128 0,132 Peningkatan nilai bobot

0,4%

Distribusi lahan 0,088 0,090 Peningkatan nilai bobot

0,2%

Kondisi yang sama terjadi apabila tujuan pada prioritas kedua yakni

peningkatan pendapatan tenaga kerja dinaikkan sampai mencapai kondisi ekstrim

100%, maka skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama (Tabel 24).

Page 93: Isi Tesis Dini

199

Table 24. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga

Kerja menjadi skala prioritas utama (100%)

Alternatif Kebijakan Nilai Bobot

Awal

Kondisi

100%

Keterangan

Penetapan harga TBS 0,451 0,400 Penurunan nilai bobot

5,1%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,189 Penurunan nilai bobot

0,6%

Diversifikasi produk olahan minyak

sawit

0,139 0,184 Peningkatan nilai bobot

4,5%

Pola usaha dan pemasaran produk yang

merata

0,128 0,135 Peningkatan nilai bobot

0,7%

Distribusi lahan 0,088 0,092 Peningkatan nilai bobot

0,4%

Selanjutnya jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas

ketiga yakni peningkatan pendapatan pemerintah, misalnya akibat adanya

kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan

pemerintah tentang pajak ekspor kelapa sawit sehingga peningkatan pendapatan

pemerintah mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai kepada kondisi

ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama

tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan harga TBS, penetapan

ekspor secara berkala, distribusi lahan , dan distribusi lahan sedangkan penurunan

nilai bobot terlihat pada diversifikasi produk olahan minyak sawit serta pola usaha

dan pemasaran produk yang merata (Tabel 25).

Table 25. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan pemerintah

menjadi skala prioritas utama (70,2%)

Alternatif kebijakan

Nilai

bobot

Kondisi

70,2%

Keterangan

Page 94: Isi Tesis Dini

200

awal

Penetapan Harga TBS 0,451 0,471 Peningkatan nilai

bobot 2,0%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,200 Peningkatan nilai

bobot 0,5%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,132 Penurunan nilai bobot

0,7%

Pola usaha dan pemasaran produk

yang merata

0,128 0,094 Penurunan nilai bobot

3,4%

Distribusi lahan 0,088 0,104 Peningkatan nilai

bobot 1,6%

Tabel 26. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapaatan

Pemerintah menjadi skala prioritas utama (100%).

Alternatif kebijakan

Nilai

bobot

awal

Kondisi

100%

Keterangan

Penetapan Harga TBS 0,451 0,482 Peningkatan nilai

bobot 3,1%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,202 Peningkatan nilai

bobot 0,7%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,128 Penurunan nilai bobot

1,1%

Pola usaha dan pemasaran produk

yang merata

0,128 0,077 Penurunan nilai bobot

5,1%

Distribusi lahan 0,088 0,112 Peningkatan nilai

bobot 2,4%

Apabila preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas keempat

yakni peningkatan kualitas lingkungan, misalnya akibat adanya kebijakan

pemerintah terkait penanganan limbah industri kelapa sawit ataupun adanya

kebijakan pemerintah tentang zero waste industri kelapa sawit sehingga

Page 95: Isi Tesis Dini

201

peningkatan kualitas lingkungan mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai

kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan

masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan ekspor

secara berkala, diversifikasi produk olahan minyak sawit, distribusi lahan.

Penurunan terjadi pada penetapan harga TBS dan pola usaha dan pemasaran

produk yang merata (Tabel 27).

Table 27. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala

prioritas utama 70,2%)

Alternatif kebijakan

Nilai

bobot

awal

Kondisi

70,2%

Keterangan

Penetapan Harga TBS 0,451 0,403 Penurunan nilai bobot

4,8%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,201 Peningkatan nilai

bobot 0,6%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,161 Peningkatan nilai

bobot 2,2%

Pola usaha dan pemasaran produk

yang merata

0,128 0,125 Penurunan nilai bobot

0,3%

Distribusi lahan 0,088 0,110 Peningkatan nilai

bobot 2,2%

Table 28. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala

prioritas utama (100%).

Alternatif kebijakan

Nilai

Bobot

Kondisi

Keterangan

Page 96: Isi Tesis Dini

202

Awal 100%

Penetapan Harga TBS 0,451 0,379 Penurunan nilai bobot

7,2%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,204 Peningkatan nilai bobot

0,9%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,172 Peningkatan nilai bobot

3,3%

Pola usaha dan pemasaran produk yang

merata

0,128 0,124 Penurunan nilai bobot

0,4%

Distribusi lahan 0,088 0,121 Peningkatan nilai bobot

3,3%

Uji sensitivitas pada tujuan perioritas kelima yakni peningkatan pabrik

pengolahan industri kelapa sawit, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah

terkait pengembangan industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan pemerintah

tentang perizinan pendirian industri kelapa sawit sehingga peningkatan kualitas

dan kuantitas pabrik pengolahan kelapa sawit meningkat mencapai skala prioritas

utama (70,2%) sampai kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala

prioritas masih tetep sama tetapi ada peningkatan nilai bobot pada penetapan

harga TBS, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, distribusi lahan.

Penurunan nilai bobot terjadi pada alternatif kebijakan penetapan pajak ekspor

secara berkala dan diversifikasi produk olahan minyak sawit (Tabel 29).

Tabel 29. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit

menjadi skala prioritas utama (70,2%).

Page 97: Isi Tesis Dini

203

Alternatif kebijakan

Nilai

bobot

awal

Kondisi

70,2%

Keterangan

Penetapan Harga TBS 0,451 0,457 Peningkatan nilai

bobot 0,6%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,187 Penurunan nilai bobot

0,8%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,133 Penurunan nilai bobot

2,6%

Pola usaha dan pemasaran produk

yang merata

0,128 0,132 Peningkatan nilai

bobot 0,4%

Distribusi lahan 0,088 0,092 Peningkatan nilai

bobot 0,4%

Tabel 30. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit

menjadi skala prioritas utama (100%).

Alternatif kebijakan

Nilai

bobot

awal

Kondisi

100%

Keterangan

Penetapan Harga TBS 0,451 0,460 Peningkatan nilai bobot

0,9%

Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,183 Penurunan nilai bobot

0,9%

Diversifikasi Produk olahan minyak

sawit

0,139 0,130 Penurunan nilai bobot

0,9%

Pola usaha dan pemasaran produk yang

merata

0,128 0,134 Peningkatan nilai bobot

0,6%

Distribusi lahan 0,088 0,094 Peningkatan nilai bobot

0,6%

3. Implikasi Manajerial Analisis dan Strategi Kebijakan Pemerintah

Terkait Pengembangan Industri kelapa Sawit.

Page 98: Isi Tesis Dini

204

Dari uraian uji sensitivitas AHP yang diperoleh dari stakeholder dan

pendapat pakar sepakat dapat disimpulkan bahwa strategi kebijakan pemerintah

yang paling efektif yakni penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), selanjutnya

penetapan pajak ekspor secara berkala oleh pemerintah pusat, diversifikasi produk

turunan minyak sawit, pengaturan pola usaha dan pemasaran produk yang merata

baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah serta di perlukannya

kebijakan daerah tentang distribuusi lahan perkebunan agar pemanfaatan lahan

menjadi lebih efektif lagi dan kualitas lingkungan dapat terjaga.

Pada uji sensitifitas AHP ini telah dilakukan perningkatan skala prioritas

pada masing-masing level baik dari level faktor, aktor, maupun tujuan dan

kesimpulan dari peningkatan skala prioritas tersebut tidak mengubah skala

prioritas alternatif kebijakan yang disarankan walaupun ada kenaikan bobot pada

level tujuan tapi tidak mempengaruhi skala prioritas alternatif.

Alternatif kebijakan ini dapat berubah nilai bobotnya apabila pada level

masing-masing tujuan ditingkatkan skala prioritasnya tetapi hal ini tidak

mengubah tingkat skala prioritas pada alternatif yakni pertama penetapan harga

TBS, kedua penetapan pajak ekspor secara berkala, ketiga diversifikasi produk

olahan minyak sawit, keempat pola usaha dan pemasaran produk yang merata dan

kelima distribusi lahan.

Secara keseluruhan dapat ditarik benang merah bahwasanya penetapan

harga TBS yang transparan merupakan hal utama dan pokok yang harus dilakukan

pemerintah karena aspek ini sangat berpengaruh kepada aspek yang lain seperti

peningkatan pendapatan pelaku usaha perkebunan disusul oleh peningkatan

pendapatan petani kelapa sawit dan pendapatan pemerintah juga secara otomatis

akan ikut meningkat. Selain itu juga pemerintah diharapkan segera menetapkan

kkebijakan tentang diversifikasi produk hilir minyak kelapa sawit sehingga

merangsang pertumbuhan industri dalam negeri dan dapat miningkatkan jumlah

penyerapan tenaga kerja.

Industri ini sangat mempunyai prospek yang cerah apabila dibarengi

dengan kebijakan pemerintah yang memperhatikan kepentingan banyak pihak

guna menyelesaikan konflik yang selama ini blom mampu diatasi agar

pertumbuhan perekonomian dalam negeri dapat meningkat.

Page 99: Isi Tesis Dini

205

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA TANDAN BUAH

SEGAR (TBS) BERBASIS INDUSTRI

Page 100: Isi Tesis Dini

206

Dari hasil Pengolahan data dengan metode AHP dan uji sensitivitas yang

dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penetapan harga Tandan

Buah Segar (TBS) sangat menentukan pengembangan indusrti kelapa sawit

kedepannya. Hal ini ditandai dengan tidak maksimalnya kebijakan pemerintah

yang diterapkan dilapangan. Masih dijumpai terjadinya ketidak adilan yang

diterima oleh petani kelapa sawit yakni adanya ketimpangan harga TBS.

Kecendrungan terjadinya ketimpangan harga oleh perusahaan inti terhadap petani

plasma akan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani dan

akhirnya akan menurunkan produktifitas petani

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di

Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan

situasi permintaaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan subsitusi

penting minyak goring asal kelapa sawit. Produk akhir yang menentukan gejolah

harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goring. Harga minyak

goring merupakan acuan utama bagi harga TBS.

Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah

mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat

melindungi petani. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan

mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Harga TBS

ditentukan berdasarkan hrga ekspor (FOB) minyak kelapa sawit. Hal ini berarti

kemampuan petani kelapa sawit dalam berproduksi sangat tergantung pada

perekonomian dunia.

Harga pembelian dari perusahaan inti (studi kasus di PTPN IV) ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan No.

627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Mentri Pertanian No. 395/Kpts/OT.140/11/2005.

Dimana rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

Htbs = K (Hcpo x Rcpo +His x Ris)………………………….(1)

Angka-angka untuk perhitungan komponen rumus tersebut seluruhnya

dikalkulasi oleh manajeman perusahaan (studi kasus di PTPN IV). Harga TBS

yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K. Untuk komponen K

Page 101: Isi Tesis Dini

207

merujuk kepada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan

Menteri Pertanian pada dasarnya merupakan persetase besarnya hak petani

tersebut terhadap harga TBS. Dalam proses penentuan indeks proporsi K,

diperhitungkan beban biaya yang harus ditanggung oleh petani mulai dari proses

pengolahan TBS sampai dengan pemasaran CPO. Biaya-biaya tersebut terdiri

dari:

1. Biaya pengurusan di pelabuhan dan penjualan;

2. Biaya pengangkutan ke pelabuhan;

3. Biaya pengolahan yang terdiri dari (a) biaya langsung, (b) biaya

pemliharaan pabrik, (c) biaya pengemasan, (d) asuransi pabrik, (e) gaji dan

tunjangan staf dan (f) gaji da tunjangan non staf.

4. Biaya penyusutan pabrik

5. Biaya administrasi.

Penentuan harga TBS berdasarkan rumus yang ditetapkan pemerintah tersebut

diduga memiliki beberapa kelemahan yaitu:

1. Pembebanan Biaya yang tidak proporsional. Komponen biaya trsebut di

atas dapat berubah atau variable sesuai dengan jumlah produksi TBS.

Artinya, biaya yang dibebankan kepada petani dalam satuan Rp/kg TBS

yang disalurkan ke pabrik akan semakin besar mengikuti jumlah TBS yang

dijual petani ke pabrik. Selain itu tidak semua bersifat variable terhadap

jumlah TBS. Dengan demikian terjadi pembebanan yang kurang

proporsional atas biaya pengolahan dan pemasaran yang diperhitungkan

pada indeks K. Dengan kata lain perolehan indeks K yang kecil akan

mempengaruhi pendapatan petani.

2. Distribusi Keuntungan dan Resiko. Petani kelapa sawit menghadapi tiga

sumber resiko yaitu: (1) Penurunan harga CPO, (2) Kenaikan harga input

produksi TBs, dan (3) Kenaikan biaya pengolahan di pabrik. Sementara

perusahaan inti cendrung mendapatkan margin yang stabil.

3. Transportasi Biaya. Terdapat bebrapa komponen biaya yang itdak dapat

dikontrol oleh petani plasma, sementara biaya tersebut harus ditanggung

oleh petani plasma yaitu biaya pemasaran, biaya engangkutan ke

Page 102: Isi Tesis Dini

208

pelabuhan, biaya pengolahan, dan biaya penyusutan. Ketidakmampuan

petani dalam mengontrol biaya pengeluaran pabrik tersebut menjadikan

perusahaan inti sangat bebas menentukan besarnya biaya tersebut.

4. Rendemen. Penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilan K sulit

diketahui petani. Rendemen yang rendah akan ditanggung oleh petani,

padahal kemungkinan besar adalah kesalahan pabrik.

5. Penentuan nilai K. Penentuan nilai K (proporsi yang dditerima petani) oleh

suatu tim didaerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik

kenyataannya harga TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang

seharusnya diterima petani dan pengusaha perkebunan.

Selain harga TBS yang diterima petani masih rendah dan berbeda-beda antar

perusahaan perkebunan, petani plasma juga dihadapkan pada dilema dimana

mereka diberi kewajiban untuk menjual seluruh hasil panen kepada perusahaan

dan membayar cicilan kredit yang telah diberikan pemodal kepada mereka. Selain

itu TBS merupakan produk yang cepat rusak, sehingga petani plasma tidak dapat

menyimpan hasil produksi dan menjual pada saat situasi harga sedang baik.

Kebijakan yang ditawarkan pada penelitian ini adalah penentuan harga TBS

berdasarkan kesepakatan antara perusahaan perkebunan, pengusaha dan petani

kelapa sawit. Pada penelitian ini studi kasus di PTPN IV, berdasarkan ketentuan

penetapan harga TBS oleh tim penentuan harga pambelian TBS produksi petani,

petani sebagai plasma dari perusahaan inti rakyat harus menjual TBS mereka

kepada perusahan (PTPN IV) sesuai dengan surat perjanjian sebagai peserta dan

menandatangani kontrak kerjasama yang telah disepakati. Dengan kata lain bahwa

penentuan harga TBS ditentukan oleh perusahaan (studi kasus PTPN IV) kepada

organisasi yang menaungi petani kelapa sawit sehingga petani memiliki posisi

tawar yang baik dan menciptakan win win solution bagi semua pihak. Sehingga

tidak ada lagi kebijakan penentuan harga TBS dengan pendekatan “titip olah jual”

atau “titip jual” yang sudah seharusnya diganti dengan kebijakan win win solution

yang menguntungkan semua pihak sehingga tercipta tranformasi posisi petani dari

tingkat ketergantungannya tinggi menjadi pihak yang lebih mandiri yang

Page 103: Isi Tesis Dini

209

selanjutnya akan terjadi saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang

mewujudkan terjadinya pertanian yang berkebudayaan industri.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Page 104: Isi Tesis Dini

210

1. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan sistem dalam

pengembangan agroindustri kelapa sawit membutuhkan perumusan kebijakan

publik dengan pendekatan sistem untuk menyelesaikan konflik kepentingan demi

terwujudnya pemenuhan kebutuhan para pelaku agroindustri kelapa sawit.

Berdasarkan hasil analisis kebijakan, maka disajikan kesimpulan sebagai

berikut:

1. Terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mengatur

tata niaga minyak sawit antara lain (a) Pengendalian laju inflasi dan

mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, (b) Pengendalian pasokan

minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor dalam

rangka menjaga kestabilan harga minyak goreng sebagai salah satu

kebutuhan pokok masyarakat, dan (c) Mencegah terjadinya distorsi pasar

mengingat pasar minyak sawit kasar dan minyak goreng lebih cenderung

pada struktur pasar yang bersifat oligopoli dan oligopsoni. Dalam kebijakan

pemerintah tersebut digunakan beberapa instrumen kebijakan yang

digunakan oleh pemerintah antara lain adalah : (a) Penetapan pajak ekspor

secara berkala, (b) Penetapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa

pembatasan ekspor, (c) Pemupukan cadangan penyangga minyak sawit

kasar, (d) Pelarangan ekspor dan (e) Impor minyak goreng dalam upaya

menstabilkan harga minyak goreng melalui operasi pasar.

2. Keberhasilan pengembangan agroindustri kelapa sawit ditentukan oleh

kemampuan menciptakan keamanan berusaha, menyediakan sumber

pendanaan yang layak, serta menata sistem tataniaga produk perkebunan

(TBS) dan produk pengolahan (CPO). Setiap keputusan dalam

pengembangan agroindustri kelapa sawit hendaknya mengutamakan pada

tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan

pendapatan perkebunan rakyat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan

pendapatan. Selanjutnya kegiatan yang perlu diprioritaskan adalah

peningkatan pemerataan pembangunan, pelestarian lingkungan, peningkatan

pendapatan pelaku usaha, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Untuk

mewujudkan perioritas tersebut, terdapat 5 (lima) instrumen kebijakan

Page 105: Isi Tesis Dini

211

terpenting yang berpengaruh, yaitu kebijakan harga TBS, penetapan pajak

ekspor secara berkala, pemupukan penyangga minyak kelapa sawit, pola

usaha dan kelembagaan, dan distribusi lahan.

3. Peningkatan pengembangan industri kelapa sawit dilakukan dengan

melakukan berbagai survey untuk persiapan penetapan kebijakan

pemerintah yang bersifat peningkatan kualitas produk dan menjamin

kesejahteraan pelaku usaha dan pendapatan masyarakat perkebunan dan

menjamin kelestarian lingkungan serta peningkatan kualitas dan produksi

TBS melalui mekanisme pengembangan industri kelapa sawit yang

transparan efisien dan efektif sehingga memberi keuntungan ekonomi dan

sosial yang berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat.

4. Dalam penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit, faktor

utama yang menjadi bahan perhatiaan adalah ketersediaan modal/dana dan

kondisi pasar. Ditinjau dari segi aktor (pelaku), peran utama masih dipegang

oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tujuan yang seharusnya

mendapat perioritas adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan

peningkatan pendapatan tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut upaya

pokok yang menentukan adalah pengaturan dalam hal harga Tandan Buah

Segar (TBS) gaji dan upah dan perpajakan.

2. Saran

Berdasarkan analisis dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dapat

Page 106: Isi Tesis Dini

212

disampaikan sebagai berikut:

1. Kebijakan pemerintah tentang pengembangan industri kelapa sawit harus

disesuaikan dengan kondisi yang terjadi dilapangan dan kondisi spesifik

wilayah masing-masing. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah

geofisik, pendapatan masyarakat, dan faktor teknologi yang tersedia.

2. Model sistem pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dapat

direplikasi sesuai dengan wilayah dan daerah lain. Untuk replikasi kebijakan

di wilayah lain disarankan disesuaikan dengan aspek kebijakan perusahaan

guna mengantisipasi pasar global.

3. Sistem pengambilan keputusan guna pengembangan industri kelapa sawit

telah dilengkapi basis pengetahuan dari hasil survey pakar, namun untuk

meningkatkan ketepatan penggunaannya dalam penunjang keputusan

diperlukan adanya Sistem Manajemen Basis Pengetahuan yang terintegrasi

dengan Sistem Basis Model sehingga model tersebut menjadi satu kesatuan

sebagai sistem pakar.

4. Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut perlu diilakukan kajian dari aspek

sosial mengenai kebijakan yang diterapkan pemerintah maupun perusahaan

terhadap pendapatan masyarakat.

3. Rekomendasi

1. Untuk mengantisipasi pengembangan system agroindustri yang semakin

Page 107: Isi Tesis Dini

213

menghendaki terjadinya tranparansi dalam pengambilan kebijakan,

desentralisasi kewenangan pemerintah, dan mengantisipasi persaingan

global strategi yang dapat di tempuh adalah : (1) Menerapkan kebijakan

yang dapat memberikan solusi optimum bagi semua pihak, (2)

Melakukan penataan kewenangan kelembagaan pemerintah (Pusat dan

Daerah) dan fungsi kelembagaan rakyat pekebun, (3) Melakukan

debirokratisasi dan desentralisasi kewenangan penetapan kebijakan dan (4)

Meningkatkan posisi tawar rakyat pekebun melalui pembentukan kelompok

usaha bersama ekonomi sawit yang dalam memperjuangkan kepentingan

ekonomi anggota diwujudkan dalam bentuk koperasi.

2. Pengembangan indistri kelapa sawit hendaknya dilaksanakan dalam sistem

agroindustri yang terintegrasi antara perkebunan dan pabrik yang dikelola

oleh suatu system pertanian berbudayakan industri melalui transformasi

posisi petani menuju terwujudnya petani pekebun yang mandiri, melalui

pemberdayaan masyarakat pekebun, industrialisasi pertanian dan

pengembangan usaha bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Page 108: Isi Tesis Dini

214

Abidin, Z. 2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen 6(1): 139 – 144.

Afifuddin S. dan S.I. Kusuma. 2007. Analisis Struktur Pasar CPO: Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Ekonomi Wilayah Sumatera Utara. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, 2(3): 124 – 136.

Ardiansyah, F. 2006. Realising Sustainable Oil Palm Development in Indonesia – Challenges and Opportunities. WWF-Indonesia, Jakarta. Presented at the International Oil Palm Conference 2006, General Lecture Session, 20 June 2006. Bali, Indonesia

Arisman. 2002. Analisis Kebijakan: Daya Saing Cpo Indonesia. Jurnal Universitas Paramadina 2 (1) September 2002: 75-90

Bank Indonesia. 2009. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan III-2009. Kantor Bank Indonesia Medan.

Bank Indonesia. 2009a. Kajian Ekonomi Regional Riau Triwulan IV-2009. Kantor Bank Indonesia Riau.

Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan I-2010. Kantor Bank Indonesia Medan.

Barlow, C., Z. Zen and R. Gondowarsito. 2003. The Indonesian Oil Palm Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 3(1): 8 – 15.

Basdabella, S. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi. IPB, Bogor.

Basiron, Y. 2002. Palm Oil and It’s Global Supply and Demand Prospects. Oil Palm Industry Economic Journal 2 (1): 1 – 10.

Bridgman, P. and G. Davis. 2004. The Australian Policy Handbook, Crows Nest: Allen and Unwin, Sydney, Australia.

Chalil, D. 2008. Market power and subsidies in the Indonesian palm oil industry. Prepared for presentation in AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT.

Depperin. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kelapa Sawit. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian, Jakarta.

Page 109: Isi Tesis Dini

215

Depperin. 2009. Roadmap Industri Pengolahan CPO. Ditjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta.

Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Didu, M.S. 2001. Rancangbangun Strategi Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit (Agrosawit). Jurnal Teknologi Industri Pertanian 11(1): 20 – 26.

Didu, M.S. 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Agrimedia 8 (2) April 2003: 16 – 25.

Ditjenbun. 2010a. Statistik Perkebunan 2008-2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.

Ditjenbun. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet dan Kakao). Departemen Pertanian, Jakarta.

Ditjenbun. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004: 121 – 132.

Dou, H. 2009. Palm Oil Strategy – General Considerations and Strategic Patent Analysis. Asia Pacific Journal of Innovation and Entrepreneurship 3(2): 75 – 93.

Douglass, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Lin-kages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol 20, No. 1, 1998.

Dradjat, B. 2007. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Masih Berpotensi Dikembangkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (2): 6 – 7.

Drajat, B. 2007a. Stabilisasi Harga Minyak Goreng. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (6): 13 – 15.

Page 110: Isi Tesis Dini

216

Ellis, F. 1994. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, Melbourne.

Fadjar, U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur Yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (1): 46 – 60.

Friedmann, J. and M. Douglass. 1978. “Agropolitan Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia,” in Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. F. Lo and K. Salih (eds.) Oxford: Pergamon Press

GAPKI. 2010. Industri Kelapa Sawit Indonesia menghadapi Issu Perubahan Iklim. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta.

Gumbira-Sa’id, E. 2010. Review Kajian, Penelitian dan Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional: Kelapa Sawit, Kakao dan Gambir. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 19 (1): 45 – 55.

Hambali, E. 2005. Pengembangan Klaster Industri Turunan Minyak Kelapa Sawit. Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit Pada Berbagai Industri. Bogor, 24 November 2005.

ICN. 2009a. Laporan Market Intelligence Industri Palm Oil Di Indonesia. Indonesian Commercial Newsletter November 2009, Jakarta.

ICN. 2009b. Implication of Industrial Incentive. Indonesian Commercial Letter, Jakarta.

INDEF. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. The Institute for Development of Economics and Finance, Jakarta.

Jelsma, I., K. Giller and T. Fairhurst. 2009. Smallholder Oil Palm Production Systems in Indonesia: Lessons Learned from the NESP Ophir Project. Wageningen University. Shell Gobal Solutions International B.V.

Kadin. 2009. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014. Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jakarta.

KPPU. 2008. Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta.

Manurung, E.G.T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening dan BAPPENAS, Jakarta.

Page 111: Isi Tesis Dini

217

Miranti, E. 2004. Potensi Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Analisis Perbankan Indonesia, Jakarta.

Miranti, E. 2010. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit 2010. Economic Review No. 219 Maret 2010: 1 – 12.

Mulyana, A. 2007. Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral. Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang.

Nakashima, N. 2010. Oil Palm Development and Violence: A Case Study of Communal Land Struggle in Kapar, West Sumatra, Indonesia. Hosei University Repository.

Nugroho, P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. J. Tata Loka Vol 9 (2) Mei 2008: 201 – 212.

Nuryanti, S. 2008. Nilai Strategis Industri Sawit. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (4) Desember 2008: 378 – 392.

Nogi, H. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Lukman Offset, Yogyakarta.

Obado, J., Y. Syaukat and H. Siregar. 2009. The Impacts Of Export Tax Policy On The Indonesian Crude Palm Oil Industry. J. of International Society for Southeast Asian Agricultural Science ( ISSAAS) Vol. 15(2):107-119.

Oladipo, J.A. 2008. Agro-Industry as Strategy for Rural Development: An Impact Assessment of Nigeria Oil-Palm Industry. European Journal of Social Sciences 7 (1): 75 – 87.

Paoli, G.D., B. Yaap, P.L. Wells and A. Sileuw. 2010. CSR, Oil Palm and the RSPO: Translating boardroom philosophy into conservation action on the ground. Opinion Article. Tropical Conservation Science 3 (4): 438 – 446.

Pasaribu, W. 2010. Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu. Skripsi. Departeman Agribisnis, Fakultas Pertanian, USU, Medan.

Plummer, P. 2005. A Review of Sustainable Development Implementation Through Local Action From An Ecosystem Management Perspective. J. Rural and Tropical Public Health No. 4: 33-40.

Page 112: Isi Tesis Dini

218

PTPN IV. 2009. Sumut Jadi Barometer Industri Sawit Nasional. Berita dan Siaran Pers 10/12/2009. http://www.ptpn4.co.id [diakses 25 Januari 2011]

Purwantoro, R.N. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Rai, S. 2010. Agribusiness Development and Palm Oil Sector in Indonesia. Economia Vol 61 (1): 45 – 59.

RSPO. 2006. Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Jakarta.

Sachico, A.W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau: Sebuah Tafsiran Seputar Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol. 19: 1 – 16

Sulaiman, F., N. Abdullah, H. Gerhauser and A. Shariff. 2010. A Perspective of Oil Palm and Its Wastes. Journal of Physical Science 21(1): 67 – 77.

Susila, W.R. 2004a. Contribution of Oil Palm Industry To Economic Growth and Poverty Alleviation Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 23 (3): 107 – 114.

Susila, W.R. 2004b. Peluang Investasi Pada Rehabilitasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Agrimedia 9 (1) Maret 2004: 54 – 63.

Susila, W.R. 2004. Impact of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Economic Journal 4 (2): 1 – 13.

Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung.

Syahza, A. 2010. Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.

Syaukat, Y. 2010. Menciptakan Dayasaing Ekonomi dan Lingkungan Industri Kelapa Sawit Indonesia. Agrimedia 15 (1) Juni 2010: 16 – 19.

Tacoli, C. 1998. Rural-Urban Interactions: A Guide To The Literature. Environment and Urbanization, Vol. 10 (1) : 147 – 166.

Tadjoeddin, M.Z. 2007. A future resource curse in Indonesia: The political economy of natural resources, conflict and development. CRISE

Page 113: Isi Tesis Dini

219

Working Paper No. 35. Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE), University of Oxford, Mansfield Rd, OX1 3TB, UK

Tambunan, T. 2006. Indonesian Crude Palm Oil: Production, Export Performance And Competitiveness. Kadin-Jetro, Jakarta.

Tan, K.T., K.T. Lee, A.R. Mohameda and S. Bhatia. 2009. Palm oil: Addressing issues and towards sustainable development. Renewable and Sustainable Energy Reviews 13(2), February 2009: 420 – 427.

Teoh, C.H. 2010. Persoalan Keberlanjutan Kunci dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit. International Finance Corporation, The World Bank.

Tryfino. 2006. Potensi dan Prospek Industri Kelapa Sawit. Economic Review No. 206 Desember 2006: 1 – 7.

USAID. 2009. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil Untuk Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN).

USDA. 2009. Indonesia: Palm Oil Production Prospects Continue to Grow. Foreign Agricultural Service. United States Department of Agriculture, USA.

USDA. 2010. Indonesia: Rising Global Demand Fuels Palm Oil Expansion. Commodity Intellegence Report, 8 Oktober 2010.

Weng, C.K. 2005. Best-Developed Practices and Sustainable Development of The Oil Palm Industry. J. of Oil Palm Research No. 17: 124 – 35.

Widodo, K.H., A. Abdullah, K.P.D. Arbita. 2010. Sistem Supply Chain Crude-Palm-Oil Indonesia dengan Mempertimbangkan Aspek Economical Revenue, Social Welfare dan Environment. Jurnal Teknik Industri, Vol. 12 (1) Juni 2010: 47−54

Wigena, I.G.P., H. Siregar, Sudradjat dan S.R.P. Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Jurnal Agroekonomi 27 (1) Mei 2009: 81 – 108.

World Growth. 2009. Palm Oil - The Sustainable Oil. A Report by World Growth. September 2009.

Page 114: Isi Tesis Dini

220

Lampiran 1. Hasil Pembobotan dengan Metode MPE

No Faktor Bobot Peringkat

1 Sarana prasarana 4.750 1 2 SDA 4.000 5 3 Investasi 4.400 3

Page 115: Isi Tesis Dini

221

4 status kepemilikan lahan 2.250 13 5 SDM 4.650 2 6 sistem informasi 2.600 11 7 Teknologi dan Produktivitas 4.050 4 8 Ketersediaan lahan 3.400 8 9 Pengolahan limbah 3.150 9 10 Bentuk pola usaha 2.250 12 11 Sistem tataniaga TBS 3.050 10 12 Sistem tataniaga produk 3.550 7 13 Sistem tataniaga bibit 3.750 6

Lampiran 2. Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE

No Faktor Bobot Peringkat

1 Direktur PTPN 4.750 1

2 Deperindag 4.350 3

Page 116: Isi Tesis Dini

222

3 Dirjen Perkebunan 4.350 4

4 Tokoh Masyarakat 2.250 11

5 Petani 4.600 2

6 Pengusaha 4.000 6

7 Tengkulak 2.400 9

8 Kelembagaan 4.150 5

9 Perkebunan rakyat 2.750 8

10 Tenaga kerja Agroindustri 2.250 10

11 Tenaga kerja perkebunan 3.150 7

DATA MPE UNTUK BOBOT AKTOR

Direktur PTPN

Deperindag

Dirjen Perkebunan

Tokoh M asyarakat

PetaniPengusaha

Tengkulak

Kelembagaan

Perkebunan rakyat

Tenaga kerja Agroindus tri

Tenaga kerja perkebunan

DATA MPE UNTUK BOBOT AKTOR