Download - Isi Tesis Dini
107
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan,
kelapa sawit (Elaeis guineensis J.) merupakan salah satu komoditas yang
pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an
sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang
sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per
tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4%
per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju
masing-masing 10% dan 13% per tahun (Barlow et al., 2003; Ditjenbun, 2004;
Depperin, 2007). Indonesia bahkan secara mengejutkan berhasil menggeser posisi
Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia sejak 2006, lebih cepat dari yang
diproyeksikan semula. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai
produsen CPO dunia meningkat tajam dari 40,5 persen pada 2004 menjadi 44,3
persen pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh
rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari
45,3 persen menjadi 40,9 persen pada periode yang sama (Nuryanti, 2008;
Miranti, 2010).
Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa.
Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan
dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp. 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63%
pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam
pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari
10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit. (Susila, 2004a; Oladipo,
2008; World Growth, 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan
kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan
bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton)
(GAPKI, 2010).
108
Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia
dengan produksi mencapai 19,8 ton pada tahun 2010. Luas lahan kelapa sawit
pada tahun 2010 diperkirakan 7,85 hektar dengan rincian 42,4% perkebunan
rakyat, 7,9% Perkebunan Besar Nasional dan 49.8% Perkebunan Besar Swasta
(Ditjenbun, 2010). Pada tahun 2009, kontribusi devisa dari CPO dan produk
kelapa sawit lainnya adalah USD 12.3 milyar (GAPKI, 2010). Kontribusi
produksi CPO Indonesia adalah 44.5% dari produksi CPO dunia, disusul Malaysia
(41.3%), Nigeria 3.0%, Thailand, 2.7%, Kolumbia 1.9% dan selebihnya (7.4%)
diproduksi Pantai Gading Ekuador dan Papua Nugini (USDA, 2009).
Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 85% pangsa pasar CPO
dunia. Indonesia mampu mengekspor 40,34 %dalam bentuk CPO dan 59,66 %
dalam bentuk produk olahan CPO, sedangkan Malaysia mengekspor 16,38 %
dalam bentuk CPO dan 83,62 % dalam bentuk produk olahan CPO. Indonesia
lebih unggul dari Malaysia dalam hal ekspor bahan bakunya (CPO) tetapi
Malaysia unggul dalam hal produk turunannya yang mempunyai nilai tambah jauh
lebih tinggi daripada CPO nya (Depperin, 2009). Kedepan diperkirakan peran
Malaysia baik sebagai eksportir maupun produsen CPO dunia akan terus menurun
mengingat sudah semakin terbatasnya lahan untuk pengembangan kebun kelapa
sawit di negara tersebut (Miranti, 2010).
Pada tahun 2010/2011 diperkirakan bahwa bahwa minyak sawit (termasuk
PKO) akan memasok 36% total edible oil dengan penggunaan 74% untuk
konsumsi dan 26% untuk industri. Adapun total permintaan minyak makan dunia
pada tahun 2010/2011 diperkirakan sebagai berikut: minyak sawit (52,3 juta ton),
minyak kedelai (41,3 juta ton), rapeseed oil (22,3 juta ton), sunflower oil (11,3
juta ton), dan minyak lainnya (16,6 juta ton) (USDA, 2010). Konsumsi CPO
dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada
2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan
produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi
CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta
ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-
negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (Miranti, 2010).
109
Sejumlah kajian (Arisman, 2002; Basiron, 2002; Barlow et al., 2003; Susila,
2004b; Tryfino, 2006; Abidin, 2008; Nuryanti, 2008; Dou, 2009; Gumbira-Sa’id,
2010; Teoh, 2010) menyimpulkan bahwa peluang pengembangan industri minyak
sawit Indonesia masih sangat terbuka terutama karena ketersediaan dan
kesesuaian lahan serta didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat.
Walaupun industri CPO Indonesia memiliki prospek yang sangat baik di
tahun-tahun mendatang, industri ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah
dilalui. Tantangan tersebut antara lain (Didu, 2001; Arisman, 2002; Susila, 2004a;
Miranti, 2004; Tambunan, 2006; Tadjoeddin, 2007; Gumbira-Sa’id, 2010;
Miranti, 2010; Syaukat, 2010):
1. Adanya tuntutan yang semakin tinggi terhadap produk olahan CPO yang
memenuhi standar mutu terkait dengan isu lingkungan dan kesehatan produk.
2. Peningkatan produktivitas, efisiensi usaha serta dukungan kebijakan
pemerintah terhadap industri ini, terutama jika dibandingkan dengan negara
pengekspor CPO lainnya.
3. Masih kurangnya inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah oleh
pelaku bisnis karena tidak ada koordinasi aktivitas produksi dan pemasaran
dari lembaga riset serta lemahnya dukungan lembaga penelitian.
4. Kebijakan pemerintah yang tidak mendorong pengembangan sawit seperti
penerapan pajak ekspor sebesar 5,5 USD/ton CPO sejak Desember 2005,
ditambah dengan pajak progresif, sementara Malaysia malah membebaskan
pajak ekspor CPO. Sejumlah peraturan yang ada banyak yang membebani
industri minyak sawit maupun menghambat investasi di industri minyak sawit.
5. Struktur pasar dalam negeri yang belum efisien mulai dari penyediaan bahan
baku TBS (Tandan Buah Segar), pergudangan, transportasi dan pasar produk
akhir dari industri ini dan harga CPO dan produk olahannya yang cenderung
fluktuatif.
6. Belum adanya kebijakan yang jelas mengenai pengembangan industri hilir
serta keterkaitan industri hulu-hilir kelapa sawit serta arah pengembangan
yang belum sepenuhnya difahami oleh para pemangku kepentingan di
110
samping sejumlah kebijakan yang dianggap belum mengakomodir
kepentingan semua pihak terkait.
7. Belum sepenuhnya terjalin kemitraan antara perusahaan inti dengan plasma
sehingga sering menimbulkan konflik terutama pada pemilikan lahan.
8. Dukungan infrastruktur berupa jalan serta pelabuhan laut yang belum
memadai untuk perdagangan antar pulau.
9. Isu kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembebasan
lahan kelapa sawit.
Di bidang lingkungan, CPO Indonesia menghadapi tantangan berat di
pasar ekspor terutama di pasar Uni Eropa (UE) yang sangat ketat. Saat ini di UE
terdapat aturan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca yang akan
diberlakukan pada 2011. Dalam aturan tersebut negara UE tidak bisa mengimpor
CPO karena dianggap komoditas tersebut tidak memenuhi ketentuan mengenai
pembatasan emisi mereka. Akibatnya, CPO tidak bisa masuk ke pasar UE. UE
menerapkan aturan tersebut karena penguasaan pasar CPO lebih besar daripada
minyak nabati lainnya seperti seperti rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak
bunga matahari (Susila, 2004a; ICN, 2009a; Syaukat, 2010).
Areal perkebunan sawit di Sumatera pada tahun 2005 mencapai 4.280.094
ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Provinsi Riau
tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 ha diikuti provinsi Sumatera Utara
seluas 964.257 ha (ICN, 2009a). Data dari PTPN IV (2009) menyebutkan bahwa
luas lahan sawit di Sumaatera Utara adalah 1,9 juta ha dengan rincian satu juta ha
perkebunan rakyat, 500 ribu ha PBN dan 400 ribu ha dikelola oleh PTPN,
sementara luas areal di propinsi Riau adalah 1.611.361 ha (BPS Provinsi Riau,
2008). Sumatera Utara sendiri meski memiliki perkebunan sawit cukup luas,
namun hanya bisa menghasilkan CPO, sehingga yang mendapatkan nilai tambah
justru daerah lain, sementara propinsi ini sendiri sering kekurangan minyak sayur
yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari (ICN, 2009b).
Kajian terhadap sejumlah kebijakan dan strategi pemerintah terkait
pengembangan industri kelapa sawit dengan melibatkan berbagai pihak
111
diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kebijakan pemerintah di masa-
masa mendatang.
2. Perumusan Masalah
Dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan, Indonesia masih memiliki peluang
untuk mengembangkan industri kelapa sawit jika didukung oleh kebijakan dan
strategi yang tepat, jaminan keamanan berusaha, penyediaan sumber dana yang
memamdai serta kejelasan tataniaga TBS dan CPO. Sejauh ini, kebijakan yang
ada dirasa belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan
semua pemangku kepentingan yang ditandai oleh adanya sejumlah masalah
bahkan konflik antar pelaku. Untuk itu diperlukan perbaikan sejumlah kebijakan
dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan terkena dampak
langsung maupun tidak langsung kebijakan yang dibuat pemerintah melalui kajian
yang komprehensif.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
industri kelapa sawit nasional khususnya di PTPN IV Sumatera Utara.
2) Mengetahui strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam
pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara.
3) Menganalisis pengaruh strategi kebijakan pemerintah serta menentukan
pengaruh masing-masing strategi terhadap pengembangan industri kelapa
sawit di PTPN IV Sumatera Utara.
4) Merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis kinerja perusahaan dan
wilayah.
112
4. Manfaat Penelitian
1) Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan
pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam
pengembangan industri kelapa sawit
2) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau
pertimbangan dalam pembuatan strategi kebijakan pemerintah untuk
pengembangan industri kelapa sawit nasional.
3) Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.
5. Ruang Lingkup Penelitian
1) Kajian yang dilakukan adalah menganalisis strategi kebijakan pemerintah
terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional dengan studi kasus di
PTPN IV Medan Sumatera Utara
2) Analisis difokuskan pada perkebunan dan industri pengolahan TBS
dengan menganalisis seluruh faktor yang mempengaruhi pengembangan
industri kelapa sawit, namun yang dijadikan peubah dalam rancangan
kebijakan dibatasi pada faktor yang berpengaruh langsung.
3) Pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian adalah pihak direksi PTPN IV,
para petani plasma, koperasi/kelompok tani, serta dinas/instansi terkait.
113
II. NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT
1. Pendahuluan
Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor
Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan merupakan salah satu industri
pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang
sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu
dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar
internasional (Manurung, 2001; Susila, 2004b; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008;
Gumbira-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Daya saing di
pasar internasional ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative
advantage) sebesar 14,8 (INDEF, 2007). Nilai RCA merupakan gambaran
dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu)
dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik (Arisman, 2002).
Sejak tahun 2006, Indonesia juga telah menggeser Malaysia sebagai
produsen CPO terbesar di dunia (ICN, 2009a; Miranti, 2010). Bahkan tahun 2007
saja, produksi Indonesia telah lebih unggul sekitar satu juta ton dibandingkan
Malaysia dan menyumbang devisa sebesar 7,9 milyar USD. (Purwantoro, 2008;
Teoh, 2008). Namun secara fundamental agroindustri sawit Indonesia tertinggal
sangat jauh dari Malaysia akibat produktivitas yang relatif lebih rendah. Minat
untuk terus membuka kebun sawit baru, pada tahun-tahun mendatang ini masih
akan sangat besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan
terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional
(Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO
akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tan
et al., 2009).
Meskipun memiliki industri bahan baku yang melimpah, namun
perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang
kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran,
Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical dunia yang
114
mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6
persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120
jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk.
Industri oleokimia merupakan industri yang strategis karena selain keunggulan
komparatif yakni ketersediaan bahan baku yang melimpah juga memberikan nilai
tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan
bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).
Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa
sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat
dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku
bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Diantara
kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar
(fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk
tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan
kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ).
Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi
produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk
level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar
30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing
nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam
lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 –
400%), dan kosmetik (600 – 1000%).
115
2. Perkembangan Industri Sawit Nasional
Bisnis CPO Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990 – 2000an
dengan daya saing yang relatif bagus. Areal kelapa sawit tumbuh dengan laju
sekitar 11% dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001
(Susila, 2004b), meski nilai RCA-nya jauh di bawah Malaysia yang menunjukkan
dayasaing CPO Malaysia jauh di atas Indonesia (Arisman, 2002) seperti disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai RCA CPO Indonesia dan Malaysia 1990 – 1998
Tahun Indonesia Malaysia
1990 13.85 65.72
1991 17.11 66.08
1992 17.03 77.86
1993 12.41 33.31
1994 11.95 30.78
1995 10.72 30.08
1996 10.87 27.65
1997 16.29 27.26
1998 9.53 48.29
Sumber: Arisman (2002)
Perkembangan berikutnya (2000 – 2005) pertumbuhan ekspor CPO
Indonesia dan dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih
dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa
ekspor CPO Malaysia rata-rata mencapai lebih dari 50% ekspor CPO dunia,
sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008)
116
seperti disajikan pada Tabel 2. Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian
INDEF (2007) menunjukkan bahwa:
1) Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir
kelapa sawit yang tidak berkembang.
2) Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan dari produk
turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO)
yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk
memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi.
3) Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan
industri hilir dan sumber energi alternalif (biodiesel).
Tabel 2. Volume, Persentase dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit 2000 –
2005
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Dunia
Ekspor (000 ton)
Persentase (%)
Pertumbuhan (%)
13.977,01
100
2,88
16.921,40
100
21,07
18.658,11
100
10,26
21.011,33
100
12,61
23,337,73
100
11,07
26.494,16
100
13,53
Indonesia
Ekspor (000 ton)
Persentase (%)
Pertumbuhan (%)
4.110,03
29,41
24,58
4.903,22
28,98
19,30
6.333.71
33,95
29,17
6.386,41
30,40
0,83
8.661,65
37,11
35,63
10.376,19
39,16
19,79
117
Malaysia
Ekspor (000 ton)
Persentase (%)
Pertumbuhan (%)
8.140,72
58,24
-5,17
10.002,49
59,1
22,87
1.448,74
56,00
4,46
12.079,13
57,49
15,60
11.793,59
50,53
-2,36
13.197,21
49,81
11,90
Lainnya
Ekspor (000 ton)
Persentase (%)
Pertumbuhan (%)
1.726,26
12,35
1,44
2.01,69
11,91
16,77
1.875,66
10,05
-6,95
2.545,79
12,12
35,73
2.882,49
12,35
13,23
2.920,76
11,02
1,33
Sumber: Nuryanti (2008)
Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai
produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan
semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai
produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi 44,3% pada 2008, sejalan dengan
pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun.
Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8 % pada tahun 2005
menjadi 40,9 % pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Menurut Widodo et al.(2010)
hal ini juga bisa berdampak negatif yaitu kelangkaan minyak goreng dalam negeri
akibat pertumbuhan ekspor serta kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan
baru kelapa sawit.
3. Revitalisasi Perkebunan
Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan
perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman
perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh
pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai
mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran
118
hasil. Komoditi yang dikembangkan adalah kelapa sawit, karet dan kakao dengan
kegiatan mencakup perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman, seluas 2 juta
ha. Untuk pelaksanaan Program Revitalisasi tersebut telah terbit Peraturan
Menteri Pertanian No. 33/Permentan/05/06 dan Peraturan Menteri Keuangan No.
117/PMK/12/06 serta penunjukan 5 bank pelaksana oleh Menteri Keuangan,
yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Sumut dan Bank Nagari.
Untuk menjalankan program ini, pemerintah telah mensubsidi bunga kredit
perbankan sehingga petani “hanya” dikenakan bunga maksimal 10% (Ditjenbun,
2007; Nuryanti, 2008).
Dalam revitalisasi perkebunan, pemerintah menyediakan kemudahan pada
hal-hal yang berkaitan dengan (Dradjat, 2007):
(1) Investasi dan pembiayaan, seperti penyediaan kredit investasi dan subsidi
bunga oleh pemerintah untuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan kebun
kelapa sawit, karet, dan kakao.
(2) Manajemen pertanahan dan tata ruang, seperti penetapan dan pemanfaatan
lahan produktif untuk pembangunan kebun kelapa sawit di kawasan
perbatasan Kalimantan.
(3) Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, seperti pengembangan dan
pengelolaan sumber daya alam partisipatif.
(4) Infrastruktur pertanian.
(5) Pengembangan SDM dan pemberdayaan petani.
(6) Insentif dan pendanaan riset dan pengembangan teknologi.
(7) Penyusunan kebijakan perdagangan yang mengedepankan kepentingan
bangsa
(8) Promosi dan pemasaran hasil, dan
(9) Insentif perpajakan dan retribusi berupa keringanan hingga penghapusan
beban bagi komoditas pertanian.
Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang
memanfaatkan dana perbankan untuk mendorong pemberdayaan para petani yang
memiliki lahan namun pemanfaatannya belum maksimal. Target pengembangan
secara nasional, seluas 2 juta hektar sampai tahun 2010 untuk program perluasan,
119
peremajaan dan rehabilitasi. Pembiayaan yang diberikan kepada petani adalah
mulai dari pembelian bibit sampai dengan pasca panen, termasuk biaya
pengurusan sertifikat lahan. Subsidi bunga dari pemerintah sebesar 3 s.d 4%,
dimana petani hanya membayar bunga kredit 10% selama masa grace period.
Besarnya bunga setelah masa tenggang adalah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di bank (BI, 2009). Sasaran dari setiap komoditi secara nasional disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Luas sasaran revitalisasi pertanian untuk kelapa sawit, karet dan kakao
Komoditas Perluasan
(ha)
Peremajaan
(ha)
Rehabilitasi
(ha)
Jumlah
(ha)
Kelapa sawit 1.375.000 125.000 - 1.500.000
Karet 50.000 250.000 - 300.000
Kakao 110.000 54.000 36.000 200.000
Jumlah 1.535.000 42.000 36.000 2.000.000
Sumber: BI (2009)
Di Sumut, program revitalisasi perkebunan melibatkan 4 bank, yaitu Bank
Sumut, BPD Aceh, BNI dan Bank Mandiri. Komoditi yang dikembangkan Kelapa
Sawit dengan sistem kemitraan serta Karet dan Kakao dengan sistem non mitra.
Realisasi program sampai dengan Mei 2009 disajikan pada Tabel 4.
120
Tabel 4. Realisasi kemitraan sawit di Sumatera Utara
Luas Areal (Ha)
Mitra Usaha KUD Inti Plasma Total
Jumlah
peserta
(KK)
PTPN IV 4 15.900 9.000 24.900 4.500
PT Perkebunan
Sumut
2 2.600 900 3.500 450
PT Langkat
Anugerah Makmur
7 12.200 7.800 20.000 2.600
Total 13 30.700 17.700 48.400 7.550
Sumber: BI (2009)
4. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup
mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004
menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 6,63 persen per tahun.
Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan produksi CPO Indonesia yang
meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni dari 13,6 juta ton menjadi
19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia
diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton pada
2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya
permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar dunia (Miranti, 2010).
Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati dunia mencapai 160
juta ton, dimana 48 juta ton (30%) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit,
disusul oleh minyak kedelai (23%). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit
ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan
121
baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih
murah hingga mencapai 200 USD/ton ketimbang rapeseed oil (Tan et al., 2009).
Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004
menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun,
jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World
memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton
pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya
permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni
Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan
konsumsi CPO dunia disajikan pada Tabel 5.
122
Tabel 5. Produksi, Konsumsi dan Produsen CPO Dunia 2004 – 2010
Kontribusi Negara Produsen
Tahun Produksi
(juta ton)
Konsumsi
(juta ton) Malaysia
(%)
Indonesia
(%)
Lainnya
(%)
2004 33.5 29.2 45.4 40.6 14.0
2005 36.0 32.5 43.1 43.3 13.6
2006 37.3 35.5 41.0 44.5 14.5
2007 41.0 37.8 42.9 43.9 13.2
2008 42.8 42.6 40.9 44.3 14.8
2009 45.1 45.3 38.9 46.3 14.7
2010 47.1 47.5 38.2 47.0 14.8
Sumber: Miranti (2010) diolah.
5. Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional
Perekonomian Sumatera sangat didominasi oleh Provonsi Sumatra
Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Peran industri dan perkebunan kelapa
sawit di Sumatera Utara sangat dominan demikian pula di beberapa propinsi
di Sumatera lainnya. Di Jambi, misalnya, peran industri kelapa sawit
diperkirakan sekitar 28% dari perekonomian di provinsi tersebut. Di Provinsi
Riau dan Bengkulu, peran kelapa sawit dalam perekonomian juga sangat
dominan. Kenaikan permintaan terhadap komoditi kelapa sawit dan
komoditi hasil perkebunan lainnya, seperti karet, akan sangat mendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah ini (Kadin, 2009).
Hingga tahun 2009, perkembangan perkebunan kelapa sawit Sumatera
Utara terus meningkat dengan luas perkebunan sawit mencapai 1,9 juta hektar
dengan rincian satu juta ha merupakan perkebunan inti rakyat (PIR) dan 400.000
123
ha dikelola oleh PTPN dan perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha. Bahkan
untuk menjadikan Sumut sebagai barometer perkelapasawitan nasional, pihak
PTPN II sudah menyiapkan sedikitnya 8.171,54 ha lahan untuk menambah
pengembangan perkebunan kelapa sawit (PTPN IV, 2009). Sebagai salah satu
wilayah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, Sumut
juga menjadikan produk-produk berbasis kelapa sawit sebagai salah satu
komoditas andalan ekspor. Pangsa ekspor CPO terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Jika pada tahun 2006, pangsanya mencapai 34,75%, maka pada
triwulan I-2009 ekspor CPO kembali mendominasi, dengan pangsa sebesar
47,36% (BI, 2009).
Berdasarkan data Ditjenbun (2010) hingga tahun 2008 luas lahan yang
telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit di Sumut adalah 1.255.810 ha dengan
produksi 2.738.279 ton. Rincian daerah yang telah dikembangkan disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Luas penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2008
Nama Daerah (Kabupaten) Luas Lahan
(Hektar)
Asahan 157.857
Deliserdang 42.950
Karo 1.710
Labuhanbatu 773.404
Langkat 123.131
Mandailingnatal 24.991
124
Pakpakbharat 1.650
Serdang Bedagai 53.629
Simalungun 24.983
Tapanuli Selatan 36.905
Tapanuli Tengah 13.765
Tapanuli Utara 49
Tobasamosir 786
Jumlah 1.255.810
Sumber: Ditjenbun (2010)
Berdasarkan data BI (2010) kendala yang dihadapi dalam pengembangan
komoditas kelapa sawit di Sumatera Utara terutama adalah ketersediaan
infrastruktur (50,00%), diikuti perpajakan (11,11%), distribusi (11,11%), pasokan
energi (11,11%) dan kendala lainnya (16,67%). Ke depan, pengembangan areal
direncanakan ke arah Pantai Timur Sumatera. Kawasan ini merupakan wilayah
yang sangat strategis karena membujur melewati 8 (delapan) provinsi dari Aceh
sampai Lampung. Keunggulan letak geografis jalur timur Sumatera antara lain
tercermin dari fakta bahwa lebih dari 25% jalur kontainer dunia melewati Selat
Malaka yang berada di wilayah ini.
Terkait kebijakan pengembangan, Afifuddin dan Kusuma (2007)
merekomendasikan agar Pemerintah Daerah memberikan kemudahan-kemudahan
dengan memperhatikan minat investor agribisnis yang berkehendak
menggalakkan investasi di bidang down stream dari kelapa sawit di Sumatera
Utara dengan mengajak investor lokal maupun asing untuk membangun pabrik-
pabrik produk turunan dari CPO di Sumatera Utara dengan tidak mempersulit
dalam hal perizinan. Sehingga penanganan investasi pada bidang pengolahan
125
produk turunan CPO dipandang perlu untuk segera dimulai. Dengan banyaknya
pabrik produk turunan CPO di Sumatera Utara akan berdampak kepada
penyerapan tenaga kerja, PAD, GDP Sumatera Utara dan kesejahteraan
masyarakat.
6. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan
Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara
terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan usaha sektor hulu dan
hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor
bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana
dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED)
tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya”
(Plummer, 2005).
Selain memiliki posisi tawar yang kuat di pasar CPO internasional,
peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi
Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja,
teknologi maupun tenaga ahli. Namun industri minyak dalam negeri belum
memiliki kerangka pengembangan yang padu dan menyeluruh (Susila 2004b;
Deptan, 2007; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Miranti, 2010). Potensi dan
kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Potensi dan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit
Kelas kesesuaian lahan Uraian Luas (Ha)
Berpotensi tinggi
S
S/C
Sesuai
Sesuai/sesuai bersyarat
22.914.479
1.964.100
Berpotensi sedang
S/N
Sesuai/tidak sesuai
2.530.500
126
CS/S
CS/N
Sesuai bersyarat/sesuai
Sesuai bersyarat/tidak sesuai
142.600
704.006
Berpotensi rendah
CS
CS/N
N/S
Sesuai bersyarat
Sesuai bersyarat/tidak sesuai
Tidak sesuai/sesuai
7.670.100
10.857.106
121.225
Jumlah 46.904.116
Sumber: Dradjat (2007)
Perbedaan nyata kondisi pengelolaan antara Malaysia dan Indonesia
tercermin dari rendahnya daya saing Indonesia dalam bentuk produksi, ekspor,
dan fenomena berdirinya pabrik pengolah minyak sawit tanpa kebun sawit.
Kondisi ini mengakibatkan produksi CPO, kualitas dan harga tidak bisa dikontrol
dengan baik (Nuryanti, 2008; Dou, 2009).
Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional terutama
infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya dengan pengangkutan di
pelabuhan untuk mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang
dihadapi adalah tidak selaras dengan pertumbuhan industri turunannya.
Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti
pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine,
methyl esther. Sampai saat ini CPO belum dimanfaatkan secara optimal untuk
pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang
pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk
kimia dasar organik. Padahal dengan mengembangkan industri hilir, maka nilai
mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk
turunan CPO mempunyai hubungan dengan sektor usaha dan kebutuhan
masyarakat di bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan,
pengawet makanan, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma,
2007; Dou, 2009; ICN, 2009a).
127
Pengembangan industri minyak kelapa sawit telah menimbulkan
kontroversi di masyarakat internasional. Di satu pihak, pengembangan kelapa
sawit dan industri kelapa sawit memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan
negara; di lain pihak ia menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak
dapat diabaikan. Beberapa negara Eropa dan Amerika telah memboikot produk
kelapa sawit sebagai protes atas dampak negatif sosial dan lingkungan yang
ditimbulkannya. Isu yang mengemuka adalah produksi kelapa sawit yang terus
mengalami peningkatan di Indonesia (dan Malaysia) telah menimbulkan berbagai
dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain forest conversion, habitat loss,
endanger species, serta greenhouse effect and climate change. Isu-isu ini
berdampak pada tidak stabilnya harga CPO dunia (Tryfina, 2006; Syaukat, 2010;
Widodo et al., 2010). Mulai tahun 2011, Uni Eropa telah memberlakukan EU
Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca. Dalam aturan ini disebutkan
bahwa EU tidak boleh mengimpor CPO karena komoditas ini dianggap tidak
memenuhi ketentuan pembatasan emisi, akibatnya CPO tidak bisa masuk ke
pasar Uni Eropa (ICN, 2009a).
Permasalahan utama pengembangan kelapa sawit sebenarnya tidaklah
melulu isu lingkungan. Pada mulanya negara-negara Barat (terutama Eropa dan
Amerika) membuat kampanye negatif (negative campaign) dengan menyatakan
bahwa minyak kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan. Misalnya, Center for
Science in the Public Interest (CSPI) di Amerika Serikat pada tahun 2005
mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit dapat menimbulkan serangan
jantung. Demikian pula dengan World Health Organization yang telah
menyarankan untuk mengurangi konsumsi minyak kelapa sawit karena berpotensi
menimbulkan cardiovascular diseases. Kampanye negatif ini sebenarnya
merupakan ‘perang dagang’ karena terjadinya pergeseran penggunaan sumber
minyak nabati: dari minyak jagung, minyak kedelai, minyak biji matahari, dan
minyak canola ke minyak kelapa sawit. Peningkatan produksi dan konsumsi
minyak kelapa sawit di seluruh dunia telah mengurangi permintaan terhadap
minyak nabati konvensional yang selama ini dihasilkan sebagian besar oleh
negara-negara barat. Dari aspek produksi, minyak kelapa sawit memiliki biaya
produksi yang paling rendah, mengingat tingginya produktivitas kelapa sawit per
128
satuan luas serta rendahnya biaya pemeliharaan tanaman (Tan et al., 2009;
Syaukat, 2010; Sulaiman et al., 2010). Teoh (2010) menyenarai tantangan dan
peluang industri CPO dengan ringkasan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Tantangan dan peluang industri CPO
Aspek Tantangan Peluang
Ekonomi • Kesenjangan pendapatan
• Penurunan harga &
kenaikan Biaya
• Pemahaman buruk
tentang CPO
berkelanjutan yang
sudah memperoleh
sertifikasi
• Menutup kesenjangan hasil
• Meningkatkan produktivitas
petani kecil
Lingkungan
hidup
• Penebangan hutan
• Hilangnya
keanekaragaman hayati
• Perubahan iklim
• Penggunaan pestisida
dan pupuk
• Moratorium (penghentian
sementara) penebangan
hutan
• Penggunaan lahan
terdegradasi untuk
pemeliharaan kelapa sawit
• Mekanisme pengurangan
emisi gas rumah kaca
• Reducing Emissions from
Deforestation and
Degradation (REDD)
• Transformasi pasar
Sosial • Konflik hak atas tanah,
penggunaan tanah dan
akuisisi tanah
• Konflik dengan
• Reformasi tanah
berdasarkan hukum
• Mekanisme penyelesaian
konflik
129
Aspek Tantangan Peluang
masyarakat setempat
• Petani kecil yang tersisih
• Tenaga kerja murah dan
tenaga kerja anak-anak
• Masalah keamanan
• Dukungan kelembagaan
untuk petani kecil
• Membantu petani kecil
memperoleh sertifikasi
• Penggunaan pabrik lebih
kecil untuk kelompok tani
• Mempromosikan pertanian
terpadu
Tata kelola • Pemerintah
• Lembaga Internasional
• Platform Multi-
stakeholder
• Organisasi Masyarakat
Madani
• Korporasi
• Kemitraan Publik- Swasta-
CSO keberlanjutan
• Kebutuhan akan kemitraan
swasta
Sumber: Teoh (2010)
Dalam rangka memenuhi tuntutan internasional agar kelapa sawit dapat
diproduksi secara berkelanjutan, maka pada tahun 2004 telah dikembangkan the
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diikuti oleh tujuh kelompok
kepentingan, yaitu produsen kelapa sawit, pengolah atau pedagang kelapa sawit,
konsumen produk olahan kelapa sawit, pengecer, bank dan investor, NGO bidang
lingkungan atau konservasi alam, serta NGO bidang sosial atau pembangunan.
Tujuan RSPO adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan
produk minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui standard global yang kredibel
dan keterlibatan para pihak. Pada saat ini, anggota-anggota RSPO telah
menghasilkan 1.4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2006; Jelsma
et al., 2009; Paoli et al., 2010; Gumbir-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010).
Menurut Weng (2005) pengembangan industri kelapa sawit yang
berkelanjutan perlu menerapkan best-developed practice (BDP) dengan
karakteristik sebagai berikut:
130
(1) Melindungi lingkungan fisik seperti udara, tanah dan air
(2) Memperhatikan dampak lingkungan kimia seperti penggunaan pestisida,
keseimbangan nutrisi dan materi organik pada lahan sawit.
(3) Memelihara lingkungan biologis seperti keragaman hayati, mereduksi gulma,
hama dan penyakit, perlindungan ekosistem, keamanan dan kelangsungan
pangan, memperlambat perubahan iklim melalui stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca (greenhouse gas). Hal ini juga berimplikasi pada input energi
yang rendah pada sumberdaya seperti pestisida dan pupuk.
131
III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT
1. Pendahuluan
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja
dalam arti government yang menyangkut aparatur negara, tapi juga governance
yang menyentuk berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, hingga
masyrakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-
keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga
negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan
kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan-kepentingan
yang mewakili sistem politik suatu negara (Ellis, 1994; Suharto, 2007).
Definisi yang lebih sederhana menyebutkan kebijakan publik tidak lebih
dari pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; whatever
government choose to do or not to do (Bridgman and Davis, 2004). Setiap
peraturan atau perundang-undangan adalah kebijakan, tapi tidak semua kebijakan
menjadi peraturan atau menjadi undang-undang. Secara garis besar, kebijakan
publik dapat dimaknai sebagai 1) proses pengambilan keputusan, 2) proses
manajerial dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan, 3) intervensi
pemerintah dan 4) interaksi antara negara dengan rakyat (Nogi, 2003). Dengan
dasar klasifikasi di atas, maka efisiensi kebijakan publik dapat dilihat di ranah
mana formula kebijakan dibuat (pemerintah, pelaku, masyarakat) sehingga
kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan.
2. Pola Pengembangan Perkebunan
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.357 tahun 2002 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan, pengembangan usaha perkebunan harus
menyertakan masyarakat petani perkebunan dengan pola:
132
a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; modal usaha 100% dimiliki oleh Koperasi
Usaha Perkebunan.
b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor; saham 65% dimiliki koperasi dan
35% dimiliki investor/perusahaan.
c. Pola Patungan Investor Koperasi; saham 80% dimiliki investor/perusahaan
dan minimal 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.
d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer); pembangunan dan pengoperasian
dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu
seluruhnya dialihkan kepada koperasi.
e. Pola BTN (Bank Tabungan Negara); investor/perusahaan membangun kebun
dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan
kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.
f. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat,
membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.
Selanjutnya, pada UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan
Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan,
kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai
fungsi: a). ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b). ekologi, yaitu
peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan
penyangga kawasan lindung; dan c). sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan
pemersatu bangsa” (Pasal 4).
Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai
dengan undang-undang tersebut dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini
menurut Tryfino (2008) adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC).
Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma
sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan
tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini
perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2
ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja
dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya
akan menguntungkan perusahaan juga. Pola ini juga mengadopsi kepentingan
133
pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena
perusahaan wajib memberikan 10% sahamnya ke pemerintah daerah. Selain itu di
dalam pola ini perusahaan juga memberikan 10% sahamnya ke pemerintah pusat.
(Tryfino, 2006).
Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan
telah diatur secara operasional melalui Permentan
No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Di dalam peraturan tersebut (Pasal 5 dan Pasal 6) disebutkan bahwa untuk usaha
budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB
memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), sedangkan untuk
luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda
Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati/Walikota.
Menurut Fadjar (2006), pola kemitraan saat ini merupakan perubahan
struktur yang belum lengkap dan butuh perbaikan. Struktur kemitraan yang
diharapkan adalah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha
sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi
kepada petani kecil. Bahkan menurut Syam (2006), bentuk kemitraan usaha yang
diarahkan pemerintah untuk memberdayakan UKM tidak efektif karena UKM
selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak
dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari
pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan. Oleh karena itu diperlukan
alternatif pola pengembangan berupa Jejaring Usaha.
Didu (2001) dengan model agrosawit dengan pendekatan sistem
menyebutkan bahwa prioritas utama pengembangan agroindustri kelapa sawit
adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan pendapatan petani. Peran
pemerintah daerah masih sangat diharapkan dalam menciptakan kebijakan yang
kondusif terutama dalam hal penetapan harga TBS, gaji/upah dan perpajakan.
Basdabela (2001) mengajukan pola Perusahaan Agroindustri Rakyat
(PAR) sebagai kelembagaan alternatif lain dari lima pola yang ditawarkan oleh
pemerintah yang pada intinya mengupayakan pengembangan kebun dan PKS oleh
134
koperasi baik seluruhnya atau sebagian melalui patungan dengan investor.
Analisis terhadap kelembagaan pola PAR menunjukkan bahwa pola ini mampu
menetralisir dikotomi yang terjadi antara plasma dan inti, memberdayakan dan
meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan kredibilitas petani di mata
perbankan.
Syahza (2010) mengembangkan model agroestate berbasis kelapa sawit
(ABK) untuk percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam
model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama. Pertama, kegiatan bisnis
membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani
peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang, Kedua, bisnis
mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang
dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani
peserta itu sendiri. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di
pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan
perusahaan pengembang.
Wigena et al. (2010) merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit
plasma berkelanjutan berbasis pendekatan sistem dinamis. Model ini diklaim
mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, sosial dan lingkungan serta
peningkata kualitas SDM yang menjamin keberlangsungan usaha industri kelapa
sawit..
Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan
untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan
komprehensif yang menyatukan pengembangan desa-kota dengan mengaitkan
perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Bahkan Douglass (1998)
merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di
Indonesia. Tacoli (1998) menggunakan pendekatan serupa dengan istilah urban-
agriculture dan non-agricultural rural development. Di Indonesia, konsep
agropolitan ini kemudian dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang meski sebenarnya sudah diintroduksi pada tahun 2002. Menurut
Nugroho (2008), salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah
jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk
135
antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik
agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk
daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua.
3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional
Deptan (2007) telah merumuskan kebijakan, strategi dan program
pengembangan agribisnis kelapa sawit untuk tahun 2006 – 2005. Dalam
kebijakan jangka menengah (2006 – 2010) disebutkan bahwa kebijakan
pengembangan yang akan dilakukan adalah:
1) Peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit; meningkatkan produktivitas
tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh
petani pekebun maupun perkebunan besar.
2) Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit;
ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi
dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri
dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru.
3) Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu; kebijakan ini diperlukan
mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya
ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan
goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.
4) Dukungan penyediaan dana; tersedianya berbagai kemungkinan sumber
pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal
dari lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera
dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk
pengembangan agribisnis kelapa sawit.
Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia disajikan pada
Tabel 9.
136
Tabel 9. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia.
Tujuan Strategi
Meningkatkan ketahanan pangan
masyarakat
• Integrasi vertikal perkebunan kelapa
sawit dan agroindustri yang
menghasilkan produk turunan jenis
pangan, seperti minyak goreng dan
mentega
• Integrasi horizontal perkebunan kelapa
sawit dengan peternakan dan atau
tanaman pangan
Menumbuhkembangkan usaha
perkebunan di perdesaan
• Pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan usaha pengolahan
minyak sawit
• Mendorong penyediaan sarana dan
prasarana pengolahan minyak sawit
Meningkatkan pemanfaatan sumber
daya perkebunan
• Peningkatan produksi dan produktivitas
kebun kelapa sawit melalui inovasi
teknologi
• Penyediaan sarana dan prasarana
pendukung, terutama infrastruktur
transportasi di dan ke perkebunan
kelapa sawit dan infrastruktur
pengolahan
• Pengembangan diversifikasi usaha
• Pemberantasan Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT) dan perlindungan
sumber daya perkebunan kelapa sawit
Membangun kelembagaan
perkebunan yang kokoh dan
mandiri
• Revitalisasi dan mengembangkan
organisasi pelaku usaha pada agribisnis
kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi
petani dan gabungan asosiasi petani
137
Tujuan Strategi
kelapa sawit, koperasi petani kelapa
sawit dan dewan minyak sawit, serta
organisasi lain) melalui inovasi
kelembagaan
• Pengembangan aturan (UU dan aturan
pelaksanaannya) untuk diterapkan di
agribisnis kelapa sawit melalui
harmonisasi regulasi
• Pengembangan sumber daya manusia
sebagai pelaku yang handal pada
agribisnis kelapa sawit
Meningkatkan kontribusi sub
sektor perkebunan dalam
perekonomian nasional
• Peningkatan produksi dan kualitas
tandan buah segar dan minyak kelapa
sawit serta produk turunannya
• Pengembangan agroindustri yang
mengolah minyak dan limbah kelapa
sawit
• Pengembangan pasar minyak kelapa
sawit dan produk turunannya
• Perlindungan usaha dan produk minyak
sawit dan turunannya di pasar domestik
• Menjalin sinergi kebijakan antara
lembaga pemerintah dan lembaga
legislatif dan antara pemerintah pusat
dan daerah untuk menjadikan
perkebunan kelapa sawit sebagai motor
penggerak ekonomi nasional dan daerah
Meningkatkan peran birokrasi • Peningkatan kualitas, moral dan etos
kerja aparat yang bertugas pada
pengembangan agribisnis kelapa sawit
138
Tujuan Strategi
• Menciptakan lingkungan kerja yang
kondusif
• Membangun sistem pengawasan yang
efektif
Sumber: Deptan (2007).
Ke depan (2010 – 2014) industri sawit akan diarahkan ke klaster (cluster)
industri berbasis CPO dengan tujuan memperkuat keterkaitan pada semua
tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan
nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras
sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya
yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-
sumber daya terbarukan (green product) (Deptan, 2009).
Menurut Hambali (2005), roadmap pengembangan klaster tersebut dibagi
dalam empat tahap, yaitu:
1) Industri produk primer difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan
baku.
2) Industri produk antara difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan
baku.
3) Industri produk akhir tumbuh di daerah penghasil bahan baku.
4) Produk turunan CPO difasilitasi agar dapat diekspor oleh daerah penghasil
bahan baku.
Salah satu provinsi yang saat ini dibangun klaster industri kelapa sawit
adalah Provinsi Riau. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau
mencapai 1,68 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di
Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektar (BI, 2009a) dengan
skema seperti disajikan pada Gambar 2.
139
Gambar 2. Skema Model Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (BI, 2009a)
4. Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS)
Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di
Kuala Lumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan
situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi
penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan
gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga
minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO
merupakan acuan utama bagi harga TBS (Mulyana, 2007).
Berdasarkan peraturan sebelumnya (Keputusan Menhutbun No. 627Kpts-
11/1998, penetapan harga TBS adalah sebagai berikut:
Htbs = K [(Hcpo x Rcpo)+ (Hpko x Rpko)]
140
Keterangan:
Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)
K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh
petani (%)
Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang
realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing
perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)
Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)
Hpko = Harga inti sawit/PKO ( Rp/Kg)
Ris = Rendemen inti sawit/PKO (%)
Menurut Didu (2001), dalam penerapannya, harga TBS yang diterirna
petani dikurangi dengan margin yang diterima oleh PKS yang umumnya berkisar
5%. Penentuan harga TBS berdasarkan persamaan tersebut rnengandung
berbagai kelemahan yang merugikan petani, yaitu : (1) PKS mendapatkan
keuntungan yang pasti, sementara petani akan rnenanggung berbagai resiko;
(2) terdapat berbagai komponen biaya yang tidak dapat dikontrol oleh pemilik
TBS (petani), sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani; (3)
penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui oleh
petani; dan (4) penentuan nilai K (proporsi yang diterima petani) oleh suatu tim
di daerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik kenyataanya harga TBS
yang berlaku rnasih lebih rendah dari yang seharusnya diterima oleh petani.
Kebijakan Penetapan harga TBS berlaku sejak tahun 1998 terakhir direvisi
dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 tentang Pedoman
Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi
Kebun. Tujuan penetapan harga TBS Kelapa sawit ini adalah untuk memberikan
jaminan harga TBS kelapa sawit produksi kebun yang wajar serta menghindari
adanya persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit meskipun
141
substansinya tidak berubah secara signifikan (Mulyana, 2007; KPPU, 2008;
Pasaribu, 2010).
Harga pembelian dari perusahaan inti ini diperbaharui berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 627/Kpts.II/1998, dan
Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT. 140/11/2005. Rumus Harga
pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:
Htbs = K (Hcpo x Rcpo + His x Ris)
Keterangan:
Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)
K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh
petani (%)
Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang
realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing
perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)
Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)
His = Harga rerata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor
(FOB) dan lokal dari masing-masing perusahaan pada tahun
Sebelumnya ( Rp/Kg)
Ris = Rendemen inti sawit (%)
Kebijakan penetapan harga TBS tersebut pada dasarnya merupakan
kebijakan dalam rangka memberikan kesempatan bagi pekebun dalam
memperoleh informasi mengenai tingkat harga yang wajar di pasar. Namun fakta
di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan pola PIR-kelapa sawit terdapat
ketidakserasian hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti. Penetapan
harga dan rendemen Tandan Buah Segar (TBS) menjadi masalah pokok yang
142
dipertentangkan dan diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan
sangat dipengaruhi oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada
peraturan Menteri Pertanian Nomor 395 tahun 2005 (Mulyana, 2007; KPPU,
2008; Pasaribu, 2010).
Mengingat harga CPO dunia yang cenderung fluktuatif, maka Didu (2001)
mengajukan agar penetapan harga disesuaikan dengan pasar dunia melalui
mekanisme forecasting dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dijadikan
input situasional yang berubah menurut waktu. Hasil kajian Mulyana (2007)
tentang penetapan harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan dari
perspektif pasar monopoli bilateral juga menunjukkan bahwa harga TBS di
tingkat petani berdasarkan kebijakan penetapan harga oleh pemerintah lebih
rendah 15,23 – 41,73% dibandingkan dengan harga bersaing sempurna.
5. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO
Arisman (2002), Susila (2004c), Dradjat (2007a), Abidin (2008), Chalil (2008),
Obado et al. (2009) telah melakukan analisis terhadap sejumlah kebijakan
pemerintah terkait industri minyak kelapa sawit Indonesia terutama yang terkait
dengan pajak ekspor (PE). Karena merupakan komoditas strategis, maka
pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit
beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah
terdiri dari 1) pengaturan alokasi CPO, 2) pembentukan sistem pengawasan
secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, 3) pembatasan dan
pelarangan ekspor CPO. Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit
khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978
dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-
kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap
stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.
Arisman (2002), Susila (2004c), dan Dradjat (2007) menyatakan penetapan PE
sejak Agustus 2004 hingga penetapan pajak ekspor tambahan (PET) sebesar 40%
- 70% berdasarkan harga ekspor dan harga dasar berpengaruh besar terhadap
berbagai aspek industri seperti investasi, produksi, perdagangan, pendapatan
143
petani dan distribusi kesejahteraan. Pada tahun 1998 PE-CPO naik dari 40%
menjadi 60% sebelum akhirnya berturut-turut turun menjadi 40%, 30% dan 10%
pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 5% pada akhir tahun 2000. Dari tahun
2002 – 2007 terjadi fluktuasi nilai PE CPO yaitu 3% (2002), 1,5% (2004) dan
6,5% (2007). Obado et al. (2009) menyatakan kebijakan pajak ekspor CPO selain
menurunkan dayasaing industri CPO Indonesia juga memberatkan bagi produsen
CPO dan menguntungkan bagi Malaysia yang dapat mengambil alih pangsa pasar
dalam negeri Indonesia. Meski demikian, Susila (2004c) dan Obado et al. (2009)
merekomendasikan nilai pajak ekspor CPO yang efektif adalah berkisar antara
10,98% – 11,13% guna mencegah larinya CPO ke luar negeri yang
mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dalam negeri.
Menurut kajian Abidin (2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor
CPO Indonesia secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Harga CPO domestik berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia yaitu,
dengan koefisien sebesar -3,549 yang artinya jika harga CPO domestik naik
sebesar Rp l maka ekspor CPO Indonesia akan turun sebesar 3,549 ton.
2) Harga internasional CPO berpengaruh positif terhadap ekspor CPO
Indonesia dengan koefisien regresi sebesar 6,117 yang artinya jika harga
internasional minyak sawit (CPO) naik sebesar 1 Dollar maka ekspor
CPOIndonesia akan naik sebesar 6,117 ton konstan dengan koefisisen
regresi sebesar -1.578,48 yang artinya jika tidak ada variabel seperti harga
CPO domestik, harga CPO internasional, nilai tukar dan harga subsitusi
(minyak kelapa) maka Indonesia masih dapat mengekspor CPO meski turun
sebesar l.578,48 ton.
144
IV. METODOLOGI PENELITIAN
1. Kerangka Pemikiran Konseptual
Pengembangan agroindustri kelapa sawit sebagai strategi pembangunan
nasional merupakan suatu keniscayaan guna memperkecil kesenjangan
pembangunan antara kota dan desa serta menjembatani atara pembangunan
pertanian dan industri. Perhatian utama agroindustri sawit adalah daya saing dan
kesejahteraan pelaku usaha. Integrasi vertikal ke hulu (petani) dan hilir (pasar)
sangat membantu kelangsungan usaha dengann adanya jaminan supply bahan
baku dan kepastian penyerapan produk akhir. Penyediaan lapangan kerja dan
reduksi kemiskinan lebih merupakan efek ganda dari pengembangan agroindusri.
Indonesia dengan luas lahan sawit terbesar di dunia dan pengasil minyak
kelapa sawit terbesar masih memiliki peluang meningkatkan produksi karena
ketersediaan lahan serta kesesuaian iklim, asal didukung oleh kebijakan
pemerintah yang berpihak kepada para petani. Kelangsungan produksi sangat
ditentukan oleh para petani sebagai pemilik lahan terbanyak. Karena itu, perlu
insentif dan kompensasi yang memadai bagi petani sawit agar bergairah dalam
meningkatkan produksi dan mutu bahan baku (TBS) guna meningkatkan
kesejahteraan para petani sawit. Mengingat kualitas dan kuantitas produk sangat
ditentukan oleh supply bahan baku, maka perlu mengintegrasikan kepentingan
semua pemangku kepentingan (pemerintah, petani, pengusaha) dalam
pengembangan agroindustri sawit.
Pengembangan agroindustri baik pada skala apapun tidak bisa lepas dari
pengembangan ekonomi lokal yang bercirikan endogenous development dengan
memanfaatkan potensi SDM, institusi, kondisi fisik serta memperhatikan konteks
sosio-ekonomi dan budaya setempat. Oleh karena itu, pengembangan agroindustri
di tiap daerah selalu memiliki ciri khas, baik keunggulan maupun keterbatasan.
Tidak semua teori, konsep dan model yang sudah ada bisa berlaku di setiap
tempat dan waktu dengan kerangka pemikiran yang mengacu pada kondisi aktual
di tengah masyarakat petani sawit. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ini
disajikan pada Gambar 3.
145
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Visi dan Misi
Perkebunan Sumatera Utara
Kebijakan Pemerintah Pusat dalam
Pengembangan Industri Kelapa Sawit
Pengembangan Industri Kelapa Sawit di Medan
Sumatera Utara
Identifikasi Variabel Penyusunan Hierakhir
Kebijakan
Survey Pakar,MPE dan
FGD
Penyusunan Hierakhir Kebijakan
Strategi Kebijakan Pemerintah terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit di
PTPN IV Sumatera Utara
Pola kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri
Kelapa Sawit
AHP
Deskriptif
Implikasi Manajerial bagi Pemerintah dalam Penerapan Kebaijakan Strategi Pengembangan Kelapa Sawit di PTPN
IV Sumatera Utara
146
2. Tata Laksana
2.1. Tahapan Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian adalah metode
AHP(Analytical Hierarchy Process) yang dimodifikasi untuk memenuhi fungsi
tujuan penelitian. Metode AHP terdiri dari lima tahap, yaitu tahap identifikasi
sistem, tahap penerapan hirarki, tahap pengumpulan data primer yaitu dengan
wawancara pakar, tahap pengambilan keputusan berdasarkan pakar dan tahap
sistesis atau analisis rasio.
a. Persiapan
Tahap persiapan adalah tahap pendugaan awal pada variabel-variabel yang
diduga mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit. Pada tahap ini
dilakukan kegiatan pengumpulan data sekunder yang terkait dengan industri
kelapa sawit dan telaah pustaka relevan serta, penyebaran kuesioner awal untuk
mengakumulasikan variabel utama yang mempengaruhi perkembangan industri
kelapa sawit dengan metode MPE. Hasil pembobotan dengan metode MPE
selanjutnya dijadikan bahan dalam Focus Groups Dicussion (FGD) sebagai
bahan penyusunan struktur hirarki kebijakan. Sesuai dengan tujuan penelitian
yang difokuskan pada analisis kebijakan, maka telaah pustaka banyak diarahkan
ke proses tersebut. Selain itu, mengacu pada metode AHP, beberapa tahapan yang
dilakukan adalah menyiapkan tim audit dan sumber daya, membagi proses ke
dalam bagian-bagian operasi, dan menyusun diagram alir penelitian sesuai
konseptual pemikiran penelitian.
b. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperlukan sebagai input dalam komparasi berpasangan
yang diperoleh dari para pelaku (aktor) dalam industri minyak kelapa sawit
sehubungan dengan sasaran utamanya (ultimate goal), data primer ini dilakukan
melalui wawancara langsung dengan unsur Pimpinan di PTPN IV Medan
Sumatera Utara, Departemen Perindustrian, petani, unsur koperasi dan stakeholder
lainnya yang terkait langsung dengan pengembangan industri kelapa sawit dan
147
kuesioner terhadap para pelaku sebagai responden. Data sekunder diperoleh dan
dikumpulkan melalui studi kepustakaan, literatur, buku , jurnal, kajian penelitian
dan data dari Internet.
c. Metode Penentuan Sampel
Penentuan sampel dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Observasi lapangan (kebun dan perusahaan) dilakukan di PTPN IV
Medan Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
pengambilan contoh secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria
mewakili setiap bidang keahlian dan diperioritaskan kepada pakar yang memiliki
tingkat kepakaran yang telah diakui. Jumlah pakar yang disyaratkan untuk
menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) cukup beberapa orang (Saaty,
1992).
Data diolah dengan menggunakan Metode AHP (Analytical Hierarchy
Process) dengan langkah langkah analisis sebagaimana diuraikan pada
metodologi.
d. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Tahap awal yang dilakukan adalah menentukan prioritas faktor-faktor
penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit setelah mengkonfirmasi
kepada pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara terlebih dahulu. Tahap
selanjutnya adalah pembuatan hirarki yang juga disusun berdasarkan wawancara
dengan pihak manajemen PTPN IV Medan Sumatera Utara, terkait kegiatan
pengembangan industri kelapa sawit yang dilakukan. Struktur hirarki ini
merupakan dasar dalam pembuatan kuesioner yang diberikan kepada responden
pemilihan strategi. Kuesioner diberikan untuk mengetahui pembobotan setiap
elemen pada seluruh tingkat pada struktur hirarki. Validitas kuesioner untuk
pemilihan strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Medan
Sumatera Utara dilihat melalui konsistensi setiap matriks baik itu individu
maupun gabungan dan juga konfirmasi yang dilakukan dengan pakar.
Setelah hasil kuesioner didapat dan diketahui pembobotan setiap elemen
pada seluruh tingkat hirarki, data ini akan diolah dengan menggunakan AHP.
148
Hasil pengolahan data primer ini dimulai dengan memeriksa terlebih dahulu
kekonsistenan pembobotan yang diberikan responden. Pengolahan kekonsistenan
pembobotan dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 2000. Dimana dalam
penelitian ini batas tingkat inkonsitensi ditetapkan 10%. Kemudian setelah
masing–masing pembobotan per individu terbukti konsisten, keseluruhan
pembobotan oleh masing–masing individu akan digabungkan dalam satu matriks
gabungan. Setelah itu matriks gabungan inilah yang akan diukur kembali
pembobotannya lewat mekanisme perhitungan AHP dengan menggunakan
software expert choice 2000 yang akan menghasilkan pengolahan data horizontal
dan pengolahan data vertikal.
Hasil pengolahan horizontal akan memperlihatkan keterkaitan dan tingkat
pengaruh antara satu faktor dalam satu tingkat hirarki dengan elemen lain dalam
tingkat hirarki di atasnya. Hasil pengolahan vertikal akan menunjukkan data
pemilihan alternatif strategi pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV
Medan Sumatera Utara.
3. Pendekatan Sistem
Pendekatan Sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian
masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan
tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).
Pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan
alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain
sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan
secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama
(Eriyatno, 2002). Menurut Manetech dan Park (1997), suatu pendekatan sistem
akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut ini :
(1) Tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat
dikuantifikasikan, (2) Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah
tersentralisasi atau cukup jelas batasannya dan (3) Dalam perencanaan jangka
panjang memungkinkan untuk dilakukan.
Lucas (1993) menyatakan bahwa secara teoritis komponen-komponen
149
dalam suatu sistem saling berhubungan dan memiliki ketergantungan antar
komponen. Sistem harus di pandang secara keseluruhan (holistik) dan akan
bersifat sebagai pengejar sasaran (goal seeking), sehingga terjadi sebuah
keseimbangan untuk mencapai tujuan. Sebuah sistem mempunyai masukan
(input) yang akan berproses untuk menghasilkan keluaran (output). Pada sebuah
sistem ada umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen
sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sistem yang lebih besar
dapat terdiri atas beberapa sistem kecil (subsistem) yang akan membentuk suatu
hirarki.
1. Metode Perbandingan Eksponensial
Metode Perbandingan Eksponensial (Exponential Comparative Methode,
ECM) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang
mengkuantitasikan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Metode
ini pada prinsipnya merupakan metode skoring terhadap beberapa pilihan yang
ada. Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari
kriteria yang ada. Selain itu kemampuan orang yang memberikan judgement
sangat berpengaruh terhadap validnya hasil dari metode keputusan.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan
menggunakan metode MPE, adalah penentuan alternatif keputusan, penyusunan
kriteria keputusan yang akan dikaji, penentuan derajat kepentingan relatif setiap
kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan
keinginan pengambil keputusan, penentuan derajat kepentingan relatif setiap
pilihan keputusan pada setiap alternatif keputusan, dan peningkatan nilai yang
diperoleh dari setiap alternatif keputusan.
Hal yang sangat penting dalam penerapan Metode Perbandingan
Eksponensial (MPE) dalam pengambilan keputusan adalah penentuan derajat
kepentingan relatif atau bobot dari setiap kriteria yang ditetapkan. Penentuan
bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai total akhir dari
setiap pilihan keputusan. Metode dalam penentuan bobot adalah pemberian bobot
secara langsung kepada setiap kriteria tanpa melakukan perbandingan relatif yang
lainnya dan penentuan bobot dengan metode Eckenrode.
150
2. Model Analytical Hierarchy Process
Dalam melakukan analisis terhadap penentuan kebijakan strategi promosi
dari para pembuat keputusan, alat analisis yang digunakan untuk menganalisa
pembuatan keputusan tersebut adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP
adalah suatu metode pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel, yang
menampung kreativitas dalam rancangannya terhadap suatu masalah. Model AHP
pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, ahli matematika dari
University of Pitsburgh, Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Analisis
AHP ditujukan untuk membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan
biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah–masalah terukur maupun
masalah–masalah yang memerlukan pendapat (judgement).
AHP memasukan aspek kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia
(Saaty,1993). Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek
kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat.
Proses itu sendiri dirancang untuk mengintegrasikan dwi sifat ini. Proses ini
dengan jelas menunjukan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam
situasi yang kompleks, sehingga diperlukan menetapkan prioritas dan melakukan
pertimbangan.
Pada penerapan metode AHP yang diutamakan adalah kualitas data dari
responden, dan tidak tergantung pada kuantitasnya (Saaty, 1993). Oleh karena itu,
penilaian AHP memerlukan para pakar sebagai responden dalam pengambilan
keputusan dalam pemilihan alternatif. Para pakar disini merupakan orang-orang
kompeten yang benar-benar menguasai, mempengaruhi pengambilan kebijakan
atau benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Untuk jumlah responden
dalam metode AHP tidak memiliki perumusan tertentu, namun hanya ada batas
minimum yaitu dua orang responden.
AHP telah banyak digunakan oleh para pengambil keputusan untuk
membantu memecahkan masalah yang kompleks. Menurut Saaty (1993) AHP
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan seperti : menetapkan prioritas,
menghasilkan seperangkat alternatif, memilih alternatif, memilih alternatif
kebijakan yang terbaik, menetapkan berbagai persyaratan, mengalokasikan
sumber daya, meramalkan hasil dan menaksir risiko, mengukur prestasi,
151
merancang sistem, merencanakan dan memecahkan konflik.
A. Langkah–Langkah Penggunaan AHP
Saaty (1993) menjelaskan terdapat beberapa langkah dalam penggunaan
metode AHP sebagai suatu alat untuk memecahkan persoalan. Adapun langkah-
langkah yang dimaksud adalah :
1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan yang diinginkan.
Hal pertama yang harus dilakukan yaitu mengidentifikasi persoalan
dengan melakukan analisa atau pemahaman yang mendalam terhadap persoalan
yang dihadapi dan ingin dipecahkan. Setelah itu dapat dilakukan
pengidentifikasian dan pemilihan elemen-elemen yang akan masuk komponen
sistem, seperti focus, forces, actors, objecitives dan scenario dalam struktur AHP
nantinya. Dalam AHP sendiri tidak terdapat prosedur yang pasti untuk
mengidentifikasi komponen-komponen sistem. Komponen-komponen sistem
dapat diidentifikasikan berdasarkan kemampuan pada analisa untuk menemukan
unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam suatu sistem.
2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh.
Hirarki merupakan suatu abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari
fungsi interaksi antar komponen dan dampaknya terhadap sistem. Abstraksi ini
mempunyai bentuk yang saling berkaitan. Struktur hirarki disusun berdasarkan
jenis keputusan yang akan diambil berdasarkan sudut pandang dari tingkat puncak
sampai ke tingkat dimana dimungkinkan campur tangan untuk memecahkan
persoalan tersebut. Hirarki yang dapat terbentuk dalam metode AHP sendiri dapat
berupa hiraki lengkap dan hirarki tak lengkap. Dalam struktur hirarki lengkap,
semua elemen pada satu elemen pada satu tingkat memiliki hubungan dengan
semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Pada struktur hirarki lengkap,
jumlah tingkatan komponen sistem yang terdapat dalam hirarki tergantung pada
pilihan peneliti.
152
Gambar 4. Struktur Hirarki Lengkap
3. Menyusun matriks banding berpasangan.
Matriks perbandingan berpasangan ini berfungsi untuk mengetahui
kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang
berpengaruh yang berada setingkat diatasnya. Pada matriks ini, pasangan–
pasangan elemen dibandingkan berkenaan suatu kriteria di tingkat yang lebih
tinggi. Dalam membandingkan dua elemen, biasanya memberi suatu
pertimbangan yang menunjukan dominasi sebagai bilangan bulat. Matriks ini
memiliki satu tempat untuk memasukkan bilangan itu dan satu tempat lain untuk
memasukan nilai resiprokalnya.
4. Mendapatkan semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan
perangkat matriks dilangkah 3.
Setelah matriks pembanding berpasangan antar elemen dibuat, dilakukan
pembandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i dengan setiap
elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar elemen tersebut
dilakukan dengan pertanyaan “seberapa kuat elemen baris ke-i didominasi atau
dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak hirarki, dibandingkan
dengan kolom ke-j?”. Apabila elemen-elemen yang dipertimbangkan merupakan
sebuah peluang atau waktu, maka pertanyaannya adalah “seberapa lebih mungkin
suatu elemen baris ke-i dibandingkan dengan elemen dipuncak hirarki?”. Untuk
F
A1
A2
A3
An
A11
A12
A13
A14
A1n
T1
T2
T3
T4
Tn
153
mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang tertera pada
Tabel 10. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif pentingnya suatu
elemen dibandingkan dengan elemen lainnya sehubungan dengan sifat kriteria
tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian diatas garis diagonal
dari kiri ke kanan bawah.
Tabel 10. Nilai Skala Banding Berpasangan
Intensitas
Pentingn
ya
Definisi
Penjelasan
1 Kedua elemen sama
pentingnya
Dua elemen menyumbang sama
besar pada sifat itu.
3 Elemen yang satu
sedikit lebih penting
daripada elemen yang
lainnya
Pengalaman dan pertimbangan
sedikit menyokong satu elemen atas
elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu
sangat penting daripada
elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan
dengan kuat menyokong satu
elemen atas elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih
penting daripada
elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong elemen
yang satu atas yang lainnya
memiliki tinkat penegasan yang
tertinggi yang mungkin
menguatkan
9 Satu elemen mutlak
lebih penting daripada
elemen yang lainnya
Bukti yang menyokong elemen
yang satu atas yang lainya
memiliki tingkat penegasan yang
tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai–nilai diantara dua
pertimbangan yang
berdekatan
Kompromi diperhatikan di antara
dua pertimbangan
154
Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila
dibandingkan dengan i.
Sumber: Saaty (1993)
5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal
utama.
Angka 1 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi atau
mempengaruhi sifat fokus puncak hirarki (x) dibandingkan dengan Fj, namun bila
Fi kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X dibandingkan Fj, maka
digunakan angka kebalikannya. Matriks dibawah garis diagonal utama diisi
dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh, bila elemen F24 memiliki nilai 7, maka
nilai elemen F24 adalah 1/7.
6. Melaksanakan langkah 3, 4 dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam
hirarki tersebut.
Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada setiap tingkat
keputusan yang terdapat pada hirarki, berkenaan dengan kriteria elemen di
atasnya. Matriks perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi dua yaitu : Matriks
Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapat Gabungan (MGP).
• Matriks Pendapat Individu (MPI)
MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu. MPI
memiliki elemen yang disimbolkan dengan aij, yaitu elemen matriks pada baris
kolom ke-i dan kolom ke-j. MPI dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Matriks Pendapat Individu
X A1 A2 A3 … An
155
A1 a11 a12 a13 … a1n
A2 a21 a22 a23 … a2n
A3 a31 a32 a33 … a3n
… … … … … …
An an1 an2 an3 … ann
• Matriks Pendapat Gabungan (MPG)
MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata
geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil
atau sama dengan 10% dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama dari
MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. MPG dapat dilihat dari
tabel 12.
Tabel 12. Matriks Pendapat Gabungan
X G1 G2 G3 … Gn
G1 g11 g12 g13 … G1n
G2 g21 g22 g23 … G2n
G3 g31 g32 g33 … G3n
… … … … … …
Gn gn1 gn2 gn3 … gnn
Rumus rataan geometrik adalah sebagai berikut :
gij = n
n
k
kija!=1
)(
…….…………………..…….…………..............(1)
dengan : n = jumlah responden (pakar)
aij(k) = sel penilaian setiap pakar
7. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor–vektor
prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai
prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat
bawah berikutnya dan seterusnya.
Adapun vektor prioritas dapat dihitung dengan rumus :
156
VP (Vektor Prioritas) = ! "
=
n
n
i
ija
VE
1 …..….....……….…..…….(2)
dimana : VE (Vektor Eigen ) = n
n
i
ija!
=1 .…..…......…...……..….(3)
dengan : aij = Elemen MPI pada baris ke-i dan kolom ke-j
n = Jumlah elemen yang diperbandingkan
8. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hirarki.
Pengukuran konsistensi ini diperlukan untuk mengetahui konsistensi
jawaban yang berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Langkah yang digunakan
yaitu dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria
bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan
sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi
masing–masing matriks. Dengan cara yang sama setiap indeks konsistensi acak
dibobot berdasarkan prioritas kriteria bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan.
Rasio konsistensi hirarki harus 10% atau kurang. Jika tidak, mutu informasi harus
diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki pertanyaan ketika melakukan
pengisian ulang kuesioner atau lebih baik dalam mengarahkan responden yang
mengisi kuesioner. Namun batasan diterima atau tidaknya konsistensi suatu
matriks sebenarnya tidak ada yang baku, seperti Fewidarto (1996) menjelaskan
bahwa jika tingkat inkonsistensi sebesar 10% kebawah tidak dicapai maka dapat
digunakan batas yang lebih besar atau bahkan rataan CR penilaian pakar.
Rumus untuk perhitungan uji konsistensi adalah sebagai berikut :
• CI (Indeks Konsistensi)
157
CI = 1
max
!
!
n
n"
…………………...………..……............……....….(4)
dengan : CI = Indeks Konsistensi
max! = eigen value maksimum
n = jumlah elemen yang diperbandingkan
dimana: max! = n
VB!
……………….....……….......................…(5)
• VB (Nilai Eigen) = VPVA
……….........….……....(6)
• VA (Vektor Antara) = aij x VP ……..….......…......(7)
Lebih lanjut ingin diketahui apakah CI dengan besaran cukup baik atau tidak,
maka perlu diketahui rasio konsistensinya (CR) yaitu :
• CR (Rasio Konsistensi)
CR = RICI
……………….………………..………………………..(8)
RI adalah indeks acak yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory, dari
matrik berorde 1 sampai 15 dengan menggunakan sample berukuran 100. Tabel
RI tersebut seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Indeks Acak
n 1 2 3 4 5 6 7
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32
n 8 9 10 11 12 13 14
RI 1,41 1,45 1,49 1,51 1.48 1.56 1.57
Sumber : Fewidarto (1996)
B. Keuntungan AHP
158
Secara umum, keuntungan penggunaan metode AHP dapat diikhtisarkan
sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung, 2003) :
a. Kesatuan: AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti dan
luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur.
b. Kompleksitas: AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan.
c. Saling ketergantungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tak memaksakan pemikiran linier.
d. Penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk
memilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
e. Pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur objek dalam wujud
suatu metode untuk menetapkan prioritas.
f. Konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
g. Sintesis: AHP menuntun pada suatu taksiran yang menyeluruh tentang
kebaikan setiap alternatif.
h. Tawar–menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari
berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik
berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
i. Penilaian dan consensus: AHP tak memaksakan konsensus, tetapi mensintesis
suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda.
j. Pengulangan proses : AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka
pada suatu persoalan dan memperbaiki.
V. PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PTPN IV)
159
1. Kondisi Umum PTPN IV Medan Sumatera Utara
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV) merupakan salah
satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penggabungan (merger) dari PTPN
IV,dan PTPN VII yang berlokasi di Provinsi Sumatra Utara. Jenis tanaman
perkebunan yang diusahakan adalah kelapa sawit, kakao dan teh. Penggabungan
tersebut dilandasi oleh Akte Notaris Harun Kamil SH No. 37 tangal 11 Maret
1996 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. C2.8335.HT.01.01 tahun 1996
tanggal 8 Agustus 1996 yang dicantumkan dalam Tambahan Berita Negara No.81
tanggal 8 Agustus 1996. Visi PTPN IV adalah menjadi perusahaan agribisnis
perkebunan yang tangguh dan mampu bersaing baik di sektor hulu dan hilir di
tingkat nasional dan regional. Untuk mewujudkan visi tersebut, PTPN IV
mengemban misi sebagai berikut:
1. Menjalankan usaha agribisnis di bidang perkebunan kelapa sawit (komoditas
utama), teh dan kakao serta menghasilkan produk minyak sawit, teh jadi, biji
kakao kering serta produk turunannya yang berkualitas untuk memberikan
kepuasan bagi pelanggan.
2. Meningkatkan daya saing produk serta terus menerus yang didukung oleh
sistem, cara kerja dan lingkungan kerja yang mendorong munculnya kreativitas
dan inovasi untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi.
3. Menghasilkan laba yang berkesinambungan untuk menjamin pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan perusahaan serta memberikan manfaat dan nilai
tambah yang optimal bagi pemegang saham, karyawan dan stakeholder
lainnya.
4. Mengelola usaha secara profesional untuk meningkatkan nilai perusahaan
dengan berpegang teguh pada nilai-nilai etika bisnis dan senantiasa
berpedoman pada tata kelola perusahan secara sehat.
5. Memberikan perhatian dan peran yang sungguh-sungguh dalam membangun
kemitraan dan mengembangkan masyarakat lingkungan serta kelestarian
lingkungan hidup.
Maksud dan tujuan pendirian PTPN IV adalah turut melaksanakan dan
160
menunjang kebijakan dan program pemerintah dalam pembangunan nasional di
bidang ekonomi, khususnya pembangunan di bidang perkebunan. Maksud dan
tujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk kegiatan pengusahaan budidaya
perkebunan berupa tanaman kelapa sawit, teh dan kakao. Luas areal yang
diusahakan pada saat ini berupa : (1) Tanaman kelapa sawit seluas 126.343.85 ha,
terdiri atas tanaman menghasilkan seluas 96.777 ha dan tanaman belum
menghasilkan seluas 10.459 ha, Tahun Tanam yang Akan Datang (TTAD) seluas
4.087 ha, dan tanaman ulang /baru/konversi seluas 15.020,85 ha; (2) Tanaman teh
seluas 5.396,11 ha, yang terdiri dari tanaman menghasilkan seluas 5.341,07 ha,
tanaman belum menghasilkan seluas 55.04 ha; dan (3) Tanaman kakao seluas
4.135 ha yang semuanya merupakan tanaman menghasilkan.
Area Tanaman yang Menghasilkan (TM) kelapa sawit pada tahun 2005
adalah 96.777 ha, berkurang 2.732 ha bila dibandingkan dengan tahun 2004.
Berkurangnya areal ini disebabkan adanya mutasi areal 7.219 ha yang terdiri atas
areal Tanaman Ulangan (TU) 1.126 ha, TTAD 3.887 ha, areal percobaan PPKS 65
ha, pabrik kompos 8 ha, pengeboran minyak oleh Pertamina 1 ha dan realisasi
penanaman TU 2003 sebesar 10 ha dan penambahan areal tanaman belum
menghasilkan menjadi tanaman yang menghasilkan adalah 2.365 ha.
Tanaman kakao memiliki luas areal lahan yang menghasilkan 4.135 ha.
Luas areal ini berkurang setelah sebagian areal dikonversi menjadi perkebunan
kelapa sawit seluas 3.281 ha pada tahun 2004 dan 2005. Untuk tanaman teh, pada
tahun 2005 luas areal TM yaitu 5.341,07 ha, dan areal TBM 55,04 ha. Luas areal
ini sama untuk tahun 2004. Luas areal tanaman yang menghasilkan dicapai setelah
dikurangi dengan areal yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas
3.179,85 ha pada tahun 2004 dan 2005.
PTPN IV memiliki peralatan produksi untuk operasional dengan kapasitas
terpasang dan kapasitas terpakai disajikan pada Table 14. Selain itu perusahaan
juga memiliki pabrik perakitan mesin 1 unit da pabrik kompos 1 unit yang
terdapat pada PKS Dolok Sinumbah. Perusahaan tidak memiliki load faktor.
Tabel 14. Alat produksi ,kapasitas terpasang , dan kapasitas terpakai PTPN IV
161
Alat Produksi Kapasitas terpasang Kapasitas
terpakai
Pabrik Kelapa Sawit 15 unit
560 ton TBS/Jam 474 ton TBS/Jam
Pabrik Fraksionasi dan Rafinasi
1 unit
300 ton CPO/hari 310 CPO/hari
Pabrik Pengolahan Inti Sawit 1
unit
Pabrik Teh 4 unit
400 ton IS/hari
266 ton DTB/hari
350 ton IS/hari
254 ton DTB/hari
Selain bergerak pada sub sistem hulu (budidaya), PTPV IV juga bergerak
pada sub sistem hilir (industri pengelolahan). Industri pengolahan yang beroperasi
paad saat ini berupa pabrik fraksionasi dan rafinasi yang berlokasi di Belawan
dengan kapasitas 300 ton Crud Palm Oil (CPO)/hari. Produk yang dihasilkan
dalam bentuk RDB olien, crude stearin dan fatty acid. Industri hilir ini pada tahun
2005 sudah di spin off dengan dengan PT. Pamina yang merupakan anak
perusahaan PTPN IV yang mengusahakan produk sejenis. Pabrik Pengolahaan Inti
Sawit (PPIS) yang berlokasi di kebun pabatu dengan kapasitas 400 ton inti
sawit/hari menghasilkan produk berupa Palm Kernel (PKO) dan Palm Kernel
Meal (PKM)
Pihak manajemen PTPN IV merupakan budaya kerja perusahaan
(corporate culture) yang bersifat aktif agar para karyawan memiliki motivasi dan
kinerja yang optimal. Setiap karyawan diberi bimbingan dan dorongan agar
memiliki perilaku sebagai berikut : (1) Berfikir positif untuk dapat menangkap
setiap peluang, (2) Proaktif dalam menghasilkan inovasi dan prestasi, (3) Kerja
sama tim untuk membangun kekuatan, (4) Menempatkan kepentingan perusahaan
sebagai pertimbangan utama bagi setiap keputusan yang diambil oleh setiap
keputusan yang diambil setiap jajaran perusahaan dan (5) menempatkan
peningkatan kesejahteraan karyawan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pencapaian sasaran perusahaan.
162
Sasaran PTPN IV adalah menjaga kesinambungan perusahaan dengan
mengupayakan pencapaian laba yang optimal agar dapat tumbuh dan
perkembangan di masa yang akan datang. Pada tahun 2005 ditetapkan beberapa
indikator sasaran yang perlu dicapai perusaan seperti : tingkat produksi dan
produktivitas, pendemen, harga pokok produksi termasuk pembelian, harga pokok
penjualan, volume penjualan, pengadaan barang, pendapatan penjualan, kinerja
keuangan, laba sebelum pajak, jumlah tenaga kerja, peningkatan kompetensi
karyawan, dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) 11 unit kebun yang sudah
habis masa berlakunya dan penerbitan HGU baru untuk 6 unit kebun yang belum
ada.
Untuk mencapai sasaran perusahaan yang telah ditetapkan dilandasi oleh
kebijakan-kebijakan dasar sesuai bidang masing-masing. Selanjutnya setiap
kebijakan tersebut dilengkapi dengan strategi dan program guna dan memudahkan
pencapaian sasaran. Strategi yang dirumuskan pihak perusahaan secara umum
adalah meningkatkan kinerja perusahaan melalui upaya peningkatan pengendalian
biaya dan produktivitas sumber-sumber yang bersedia.
2. Kebijakan Berbasis Industri
Kebijakan PTPN IV dalam rangka mencapai sasaran yang sudah
ditetapkan dikelompokkan ke dalam 13 bidang. Kebijakan, strategi, dan program
pada masing-masing bidang tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
1. Bidang Tanaman
Kebijakan bidang tanaman adalah pemeliharaan tanaman yang sesuai
dengan baku teknis yang telah disesuaikan dengan kondisi tiap blok serta
pemupukan berpedoman pada rekomendasi yang disusun oleh balai penelitian.
Peremajaan tanaman kelapa sawit didasarkan bukan hanya kepada umur tanaman
tetapi juga mempertimbangkan kondisi blok, kualitas produksi harus tetap
dipertahankan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan upaya
peningkatan kualitas struktur tanah dengan pemberian limbah cair/padat (LCKS,
tangkos dan kompos).
Strategi bidang tanaman adalah menyempurnakan system panen,
163
mengintensifkan pemeliharaan tanaman dengan melaksanakan pemupukanm,
tempat waktu dan dosis sesuai rekomendasi balai penelitian dan memperbaiki
komposisi umur khususnya kelapa sawit, kakao dan teh yang dilakukan sesuai
jadwal yang ditetapkan. Pemupukan dua kali setahun dan peremajaan tanaman
kelapa sawit, konversi kakao ke kelapa sawit seluas 15.020,85 ha, pemeliharaan
tanaman belum menghasilkan kelapa sawit seluas 10.459 ha dan teh seluas
55,04 ha.
2. Bidang Pengolahan
Kebijakan bidang pengolahan adalah semua hasil produksi kebun yang
dipanen setiap hari harus dapat diolah pada hari itu juga dan pabrik hanya
mengolah hasil produksi yang kualitasnya memenuhi persyaratan. Strateginya
adalah melaksanakan pembelian TBS pihak ketiga (masyarakat) dalam rangka
mengoptimalkan kapasitas pabrik kelapa sawit dan meningkatkan mutu produk
yang dihasilkan.
Program kerja bidang pengolahan adalah melakukan pengaturan jam olah,
melakukan sortasi TBS yang akan diolah, mengatur pengolahan TBS plasma dan
pihak ketiga, menganalisa hasil olahan produksi secara teratur.
3. Bidang Teknik
Kebijakan bidang teknik adalah penggantian mesin-mesin dan peralatan
pabrik agar disesuaikan dengan jadwal dan memperhatikan masa manfaat dan
rehabilitasi/penggantian sarana dan prasarana produksi lainya harus
memperhatikan tingkat kepentingannya.
Strategi bidang teknik adalah melaksanakan pemeliharaan (maintenance)
mesin-mesin dan instalasi pabrik, meningkatkan pemeliharaan sarana dan
prasarana produksi dan melaksanakan penggantian (replacement) atas mesin dan
sarana pabrik. Program kerja bidang teknik adalah melaksanakan
pemeliharaan/penggantian mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal, mengatur
alat transport untuk mengangkut hasil produksi, dan membangun sarana dan
prasarana sesuai jadwal.
4. Bidang Perencanaan, Pengkajian dan Pengembangan
164
Kebijakan adalah membuat perencaan, pengembangan usaha, pengkajian
dan peningkatan informasi manajemen, harus berpedoman pada rencana kerja
jangka pendek dan rencana jangka panjang.
Srategi bidang perencanaan, pengkajian dan pengembangan adalah
melaksanakan pengkajian dan pengembangan usaha mengenai industri hilir teh
dan kelapa sawit, pemanfaatan limbah menjadi pupuk dan pemanfaatan pupuk
organik, melaksanakan aplikasi lahan (land application) atas limbah pabrik kelapa
sawit dan membangun sarana teknologi informasi dan sistem informasi
manajemen. Program kerjanya meningkatkan teknologi informasi dan sistem
informasi manajemen resiko dan meningkatkan sarana local area network.
5. Bidang Dalam Pemasaran Hasil
Kebijakan pemasaran hasil adalah semua pesanan harus dapat dipenuhi
tempat waktu dengan mutu sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak
kerja. Strateginya adalah mempertahankan pasar yang telah ada dan mencari
peluang pasar baru,meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, pengujian dan
sertifikasi, melakukan kordinasi dengan lembaga pemasaran dalam rangka
memperluas pasar, meningkatkan komunikasi dengan pembelian dalam rangka
mempercepat pengapalan dan pembayaran atas kontrak penjualan.
Program kerja pemasaran hasil adalah melakukan penjualan sesuai jadwal
dan produksi yang dihasilkan, mengatur alat pengangkutan sesuai jadwal
pengiriman yang ditetapkan, memonitor produksi di gudang, kebun atau tempat
penimbunan untuk mendukung rencana penjualan, melakukan penagihan sesuai
jadwal dan melaksanakan pengadaan bahan/barang tempat waktu.
6. Bidang Pengadaan
Kebijakan pengadaan adalah pengadaan barang dan bahan sesuai
kebutuhan dan levering tempat waktu. Strateginya adalah berupaya mendapatkan
harga beli yang wajar dan bersaing dengan mutu yang terjamin, melaksanakan
system dan prosedur yang berlaku serta memonitor persedian barang/bahan di
Gudang Penimbunan Umum (GPU) kantor pusat, membina dan mensosialisasikan
system dan prosedur pengadaan yang berlaku di PTPN IV kepada seluruh mitra
165
kerja.
7. Bidang Keuangan
Kebijakan bidang keuangan adalah pelaksanaan kegiatan-kegiatan
disesuaikan dengan rencana kerja operasional yang dibahas setiap tiga bulan dan
pelaksaan investasi hanya dilakukan jika kondisi keuangan mendukung.
Strategi bidang keuangan adalah mengendalikan arus kas (cash flow)
perusahaan, meningkatkan pengendalian pelaksaan anggaran sesuai RKAP,
pengendalian biaya melalui Rencana Kerja Operasional (RKO) dan meningkatkan
sosialisasi, manajemen perpajakan dan asuransi.
8. Bidang Akuntansi
Kebijakan akuntansi adalah mengoptimalkan penggunaan komputer,
mengolah data dan penyusunan laporan. Strategi akuntansi adalah meningkatkan
kegiatan ferivikasi agar pencatatan lebih akurat dan penyelesaian laporan tepat
waktu. Program kerja akuntansi adalah mengadakan pengecekan semua dokumen
pengeluaran secara cermat dan melaksanakan ferivikasi secara berkala sesuai
kebutuhan.
9. Bidang Sumber Daya Manusia
Kebijakan sumber daya manusia adalah pendidikan dan latihan dilakukan
sesuai kebutuhan perusahaan dan penerimaan (recruitment) karyawan dilakukan
sesuai standar formasi. Strategi sumber daya manusia adalah penyempurnaan
struktur organisasi perusahaan sesuai dengan kebutuhan agar dapat dicapai
efisiensi dan efektifitas kerja yang tinggi, menyempurnakan system imbal jasa
yang lebih kompetitif dan mengarah pada prestasi kerja, meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia dan disiplin kerja agar mampu melaksanakan tugas sesuai
dengan ketentuan perusahaan, menyusun man power planning untuk
mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan meningkatkan
hubungan industrial, kesehatan dan K3.
Program kerja sumberdaya manusia adalah menyusun struktur organisasi
166
dan pembagian kerja (job ceiling), agar ada kejelasan masing-masing fungsi,
menyusun peraturan jenjang karier, menyusun dan menentukan karyawan untuk
melaksanakan pelatihan sesuai jadwal dan kebutuhan, menyempurnakan sistem
imbal jasa dan menyusun rencana pensiun dan pensiun dini.
10. Bidang Umum
Kebijakan bidang umum adalah pengamanan aset perusahaan dilakukan
dengan biaya paling efisien. Strategisnya adalah meningkatkan koordinasi dengan
instansi terkait dalam upaya mengamankan aset perusahaan, meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait untuk penyelesaian HGU perusahaan, dan
meningkatkan koordinasi pelayanan kerumahtanggaan, keamanan dan sarana
komunikasi.
Program kerja bidang umum adalah menginventariskan areal HGU
perusahaan yang akan habis masa berlakunya, melakukan perpanjangan HGU
sesuai jadwal yang di tetepkan dan melaksanakan pengamanan aset.
11. Bidang Pembinaan Usaha Kecil Dan Koperasi.
Kebijakan bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah penyaluran
dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan masyarakat
harus berdasarkan pada kebutuhan sesuai sasaran agar memberikan manfaat
paling besar bagi perusahaan, dan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB)
dengan BUMN lain dalam rangka pengalihan mitra binaan di luar Provinsi
Sumatera Utara.
Strategi bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait dan kebun unit untuk penyaluran, penagihan
dana pengembangan usaha kecil dan koperasi, pemberdayaan masyarakat,
mengalihkan mitra binaan yang berada di luar Provinsi Sumatera Utara ke BUMN
lain, meningkatkan pelaksanaan evaluasi dan monitoring kepada mitra kerja,
menggambarkan tindakan hukum kepada mitra binaan yang tidak mempunyai
itikad baik dalam membayar kembali pinjamannya.
Program kerja bidang pembinaan usaha kecil dan koperasi adalah
menyalurkan dana pengembangan usaha kecil dan koperasi dan pemberdayaan
167
masyarakat, melaksanakan evaluasi dan monitoring secara efektif dan efisien,
melakukan penjadwalan terhadap mitra binaan yang akan dialihkan pembinaannya
ke BUMN lain dan meminta persetujuan kemitraan BUMN untuk penagihan mitra
binaan di luar Provinsi Sumatera Utara.
12. Bidang Kesehatan
Kebijakan bidang kesehatan adalah pengiriman pasien ke rumah sakit
rujukan diupayakan seminimal mungkin dan pemakaian obat diupayakan
seoptimal mungkin obat generik. Strateginya adalah meningkatkan kemampuan
rumah sakit perusahaan. Program kerja bidang kesehatan adalah melaksanakan
pemeriksaan umum (general check up) bagi karyawan, melaksanakan program
imunisasi bagi karyawan dan melaksanakan penyuluhan program keluarga
berencana dan gizi sehat.
13. Bidang Pabrik Mesin Tenera
Kebijakan bidang pabrik mesin tenera adalah pemeliharaan mesin dan
peralatan-peralatan pabrik diupayakan seoptimal mungkin oleh petugas di bagian
pabrik mesin tenera sendiri. Strategi bidang pabrik mesin tenera adalah
meningkatkan keahlian dan keterampilan karyawan, meningkatkan kualitas hasil
pekerjaan dengan biaya yang bersaing, dan meningkatkan mutu pelayanan
terhadap kebun/unit kebun. Program kerja pabrik mesin tenera adalah
melaksanakan pemeliharaan mesin-mesin dan peralatan pabrik sesuai jadwal yang
ditetapkan dan membuat peralatan mesin sesuai pesanan.
VI. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
168
PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT
Tujuan utama dari pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah untuk
peningkatan pendapatan masyarakat, perekonomian daerah dan perekonomian
nasional. Hasil survei pakar pada penelitian ini menunjukkan bahwa
pengembangan industri kelapa sawit dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
yakni :
1. Keamanan Berusaha
Faktor keamanan berusaha sangat dominan pada pengembangan industri
kelapa sawit, ini disebabkan antara lain oleh periode tanaman mulai menghasilkan
cukup lama (5 tahun sejak pembukaan lahan), merupakan investasi jangka
panjang (sampai tanaman berusia 25 tahun) dan melibatkan masyarakat dalam
jumlah banyak yang berpotensi timbulnya gangguan sosial. Gangguan sosial
yang dimaksud disini adalah bagaimana penerimaan masyarakat artinya setiap
rencana pengembangan industri kelapa sawit hendaknya mengutamakan sejauh
mana tingkat penerimaan masyarakat setempat terhadap pengembangan industri
kelapa sawit. Faktor lain yang menyangkut sosial adalah keadilan dalam
pembagian keuntungan dan peningkatan pendapatan masyarakat, hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat menganggap lebih penting masalah keadilan
dibanding peningkatan pendapatan. Keadilan dapat terwujud apabila adanya
transparansi dalam pengolahan usaha dimana masyarakat ikut berpartisipasi
didalamnya sehingga kemanan berusaha dapat terwujud.
2. Teknologi Produktivitas
Teknologi pengembangan industri kelapa sawit dapat dikelompokkan
menjadi teknologi pembibitan, budidaya, dan teknologi pengolahan. Teknologi
pembibitan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memperpanjang umur
tanaman menghasilkan, meningkatkan rendemen dan meningkatkan kualitas
minyak yang dihasilkan. Dominannya faktor teknologi produktifitas tanaman
kelapa sawit disebabkan karena produktivitas tanaman kelapa sawit secara
signifikan mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan TBS.
169
Pemilihan teknologi pembibitan yang tepat mempengaruhi peningkatan
pendapatan perkebunan dan PKS. Perbedaan yang nyata antar setiap teknologi
pembibitan menyebabkan perlunya kebijakan pembibitan untuk pengembangan
industri kelapa sawit di Indonesia.
Pada teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, limbah yang dihasilkan
oleh PKS terdiri dari limbah cair dan limbah padat.Limbah padat yang dihasilkan
berupa tandan kosong, sabut, dan cangkang. Limbah juga dapat berasal dari
perkebunan, terutama limbah pelepah dan batang sawit. Pelepah dapat digunakan
sebagai pupuk dan bahan baku pulp, sedangkan batang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan meubel dan papan partikel.
3. Investasi Dan Pendanaan
Agroindustri kelapa sawit merupakan industri padat modal karena
tingginya investasi untuk membangun satu unit PKS yang lengkap dengan kebun.
Untuk mensuplai bahan baku PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam dibutuhkan
kebun sawit seluas 6.000 ha. Untuk membangun satu unit agroindustri kelapa
sawit dibutuhkan investasi sebesar Rp. 130 milyar terdiri dari investasi pabrik
Rp. 40 milyar dan investasi kebun Rp. 90 milyar (investasi per ha 15 juta).
Besarnya investasi tersebut menjadi hambatan bagi petani atau organisasi petani
untuk memiliki unit agroindustri kelapa sawit.
Walaupun investasi kebun lebih tinggi dari pabrik, karena perkebunan
dapat diusahakan dalam skala kecil maka perkebunan rakyat dapat berkembang
dengan baik. Dampak dari ketidak mampuan memiliki pabrik tersebut
menyebabkan banyak dari petani sawit yang mengelola perkebunan rakyat saat
ini masih sangat tergantung pada pemilik pabrik. Ketergantungan rakyat pekebun
terhadap pabrik sangat tinggi disebabkan karena waktu panen buah tidak dapat
ditunda karena buah yang sudah dipanen harus diolah paling lambat 24 jam.
Bagi perserta plasma ketergantungan mereka smakin tinggi karena mereka tidak
memiliki pilihan untuk menjual TBS-nya kecuali pada pemilik kebun inti
sebagai penjamin hutang dari pinjaman untuk investasi perkebunan. Kondisi ini
menyebabkan posisi tawar petani sawit menjadi sangat rendah. Transaksi yang
kurang adil menyebabkan terjadinya ketidak efisienan sumber daya. Karena
170
jumlah rakyat pekebun yang bergerak dalam industri kelapa sawit cukup besar
maka selayaknya kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada kelompok
petani agar aspirasi dan kepentingan mereka diakomodir oleh kebijakan
Pemerintah.
Distribusi pendapatan pemerintah ditunjukkan oleh besarnya penerimaan
yang diperoleh dari pajak. Sumber penerimaan pajak pemerintah terhadap
agroindustri kelapa sawit terdiri dari pajak PPh, pajak PPn, pajak ekspor CPO dan
PK. Pada tingkat propinsi terdapat (3) tiga faktor yang hendaknya menjadi
perhatian propinsi, diantaranya adalah pengaturan kepemilikan saham atau bentuk
pola usaha. Peran yang diterapkan dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam
pengembangan industri kelapa sawit yang terpenting adalah penetuan tingkat
upah, dan pengaturan pengendalian lingkungan.
4. Pemberdayaan Masyarakat Kebun (SDM)
Pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku pertanian
berkebudayaan industi hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun
sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu
menjalin kerjasama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan,
produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam
mengelola sumber daya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam
transaksi produk dan jasa. Menurut Nasoetion (1999) bahwa strategi
pengembangan agroindustri, selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
juga harus diarahkan pada: (1) Peningkatan kapasitas masyarakat dan
kelembagan, (2) Peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya,
(3) Pemberdayaan setiap komponen yang terlibat dalam pengembangan
agroindustri, (4) Pendistribusian aset produktif dan hasil pembangunan secara
berkeadilan dan (5) Pembangunan yang berkelanjutan dan tahan akan pengaruh
eksternal. Strategi tersebut dapat terwujud melalui peningkatan kapasitas dan
kemampuan masyarakat.
Oleh karena itu maka pengembangan agroindustri kelapa sawit seharusnya
dikembangkan sesuai dengan kebudayaan industri yang dilandaskan kepada
pengetahuan, kemajuan teknologi, mekanisme pasar sebagai media utama
171
transaksi dikaitkan dengan kemandirian daerah bukan kemandirian masyarakat.
Karakteristik agroindustri kelapa sawit di Indonesia berupa padat modal sekaligus
padat karya, berbasis pada pendayagunaan sumberdaya lokal dan produknya
sebagian besar dipasarkan di pasar global, dengan karakteristik demikian maka
pemberdayaan masyarakat kebun, khususnya masyarakat kebun kelapa sawit
berarti memberdayakan sebagian besar mesyarakat Indonesia memasuki era
globalisasi.
5. Daya Saing
Kelapa sawit telah menjadi komoditi unggulan yang menghasilkan banyak
devisa kepada negara. Walaupun menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia,
tetapi komoditi ini belum memiliki rantai industri yang kuat. Contohnya saja,
pengembangan industri hilir kelapa sawit nasional seperti biodiesel maupun
oleokimia, dapat dikatakan masih jalan di tempat. Dibandingkan Cina dan
Malaysia, produksi Indonesia untuk kedua produk tersebut masih dibawah 1 juta
ton.
Di sektor hulu, permasalahan juga kerap terjadi antara lain rendahnya
produktifitas terutama pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Masalah lain tentang
kendala terkait masalah lingkungan dimana kelapa sawit dituding menjadi biang
keladi kerusakan lingkungan, semisal pembakaran hutan, peningkatan GHG, dan
perusakan habitat orang hutan. Di produk minyak sawit, isu kesehatan juga perlu
mendapat perhatian yang cukup serius oleh karena itu sebagai upaya memperkuat
daya saing industri kelapa sawit nasional, dibutuhkan suatu pengembangan system
penelitian nasional yang bersifat komperhensif yang disinergikan dengan kegiatan
bisnis.
Sampai saat ini banyak penelitian dan makalah yang mengkaji kelapa
sawit. Kajian itu tersebar disemua lini kelapa sawit, mulai dari hulu hingga ke
hilir. Beberapa penelitian yang dapat berkontribusi pada pengembangan industri
sawit antara lain : pengembangan bibit sawit tahan ganoderma, pemuliaan
tanaman sawit kaya PUFA di sektor hulu. Sedangkan di Hilir dihasilkannya
teknologi pengolahan biosurfaktan, Cocoa Butter Equivalen (CBE) dan pekatan
karoten, untuk sektor lingkungan.
172
Berbagai hasil analisis dan kajian yang berkaitan sosial ekonomi
(kelembagaan, selera konsumen, peluang pasar), kebijakan, dan lingkungan
merupakan salah satu pilar dalam meningkatkan daya saing, termasuk industri
kelapa sawit. Dukungan kebijakan dan kelembagaan merupakan salah satu elemen
penting dalam peningkatan daya saing. direspon dengan teknologi-teknologi
ramah lingkungan, karena aspek lingkungan juga termasuk salah satu atribut
dalam menentukan daya saing. Isu pengelolaan kelapa sawit di Indonesia,
khususnya yang dicurigai merusak hutan memperlemah daya saing industri sawit
Indonesia, baik pada sisi investasi (kredit dari luar negeri untuk membangun
kebun kelapa sawit) dan pasar CPO Indonesia di Eropa.
6. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pengembangan industri kelapa sawit meliputi
ketersediaan pupuk yang cukup, pestisida, insetisida dan herbisida serta
penyediaan dan pembangunan infrastruktur bagi industri kelapa sawit.
Penyediaan infrastruktur meliputi pembangunan pelabuhan yang layak,
pembangunan jembatan, jalan, transportasi yang memadai. Infrastruktur di
Indonesia masih dirasakan sangat kurang dibandingkan dengan Malaysia,
akibatnya produktivitas kelapa sawit tidak maksimal. Dengan luas lahan produksi
di Indonesia mencapai 7,5 juta ha produtivitas kelapa sawitnya hanya mencapai
19 juta ton setahun. Padahal Malaysia yang hanya memiliki lahan produksi 4 juta
ha sanggup menghasilkan 16 juta ton kelapa sawit setahun.
7. Politik Ekonomi Industri Kelapa Sawit
Pengembangan industri kelapa sawit di masyarakat saat ini merupakan
hasil proses evolusi yang sudah berlangsung 1,5 abad yang lau sehingga pola
perkebunan sudah memiliki cirri khas hubungan sosial dan budaya yang masih
dipengaruhi oleh hubungan sosial yang dibangun pada zaman kolonialisme.
Pengembangan industri kelapa sawit sangat terkait dengan aspek sosial,
karena selain membutuhkan lahan yang luas dan membutuhkan tenaga kerja yang
banyak, juga investasi dalam industri kelapa sawit juga membutuhkan waktu yang
lama (minimum 25 tahun).
173
Keterkaitan politik ekonomi dalam pengembangan industri kelapa sawit
terutama disebabkan karena produk yang dihasilkan yaitu minyak goreng
merupakan salah satu kebutuhan pokok yang stabilitas harganya terus dipantau
oleh pemerintah. Setiap ada gejolak harga minyak goreng pemerintah
mengeluarkan kebijakan seperti pajak ekspor untuk menstabilkan harga.
Terdapat dua faktor yang menunjukkan bahwa eratnya kaitan antara
perkembangan politik-ekonomi dengan pengembangan industri kelapa sawit
yaitu : faktor keamanan berusaha dan tingkat penerimaan masyarakat. Karenanya
untuk mewujudkan kondisi yang stabil dibutuhkan dukungan politik karena salah
satu prasyarat masuknya investor adalah terjaminnya keamanan berusaha dalam
arti luas, terutama kepastian hukum. Dan kondisi tersebut ditentukan oleh
keberhasilan menciptakan harga TBS dan keberhasilan mengantisipasi harga
CPO.
Untuk mewujudkan pengembangan industri kelapa sawit sebagai
agroindustri unggulan, strategi pengembangan hendaknya diarahkan menjadi satu
pilar pembangunan pertanian dalam menunjang perekonomian masyarakat. Kunci
pokok yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) Peningkatan kualitas SDM,
(2) Peningkatan penguasaan IPTEK, (3) Pengembangan kelembagaan dan
(4) Pengembangan sarana dan prasarana. Keempat kunci tersebut dikaitkan
dengan peningkatan daya saing, kemandirian dan berkelanjutan. Dukungan
kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat umum juga sangat
diperlukan guna pengembangan industri kelapa sawit.
VII. ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN BERBASIS INDUSTRI
174
1. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Pengembangan
Industri kelapa Sawit dengan AHP
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi, aktor yang berkepentingan serta
tujuan yang ingin dicapai maka disusun struktur hirarki yang terdiri dari lima
tingkat seperti yang dapat dilihat di Gambar 5, dimana pada tingkat satu yaitu
fokus atau goal, tingkat dua adalah faktor yang mempengaruhi penyusunan
strategi kebijakan, tingkat tiga adalah aktor yang berkepentingan dan memiliki
peranan dalam menyusun strategi kebijakan, tingkat empat adalah tujuan yang
ingin dicapai, dan tingkat lima adalah alternatif-alternatif yang dapat dipilih oleh
perusahaan dan pemerintah untuk mencapai tujuan pengmbangan industri kelapa
sawit.
Gambar 5. Struktur Hirarki Pemilihan Strategi Kebijakan Pemerintah
Keterangan :
175
A. Tingkat 1 : Goal yang menjadi inti atau fokus dari permasalahan yang
ingin dipecahkan dengan metode AHP (Fokus)
B. Tingkat 2 : Hal-hal yang menjadi faktor penyusun strategi promosi
(Faktor)
1. SP : Sarana Prasarana (infrastruktur)
2. SDA : Sumber Daya Alam
3. Inv : Investasi
4. Tekprod : Tekhnologi dan produktivitas
5. SDM : Sumber Daya Manusia
C. Tingkat 3 : Aktor-aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan
strategi promosi (Aktor)
1. DRU : Direktur PTPN IV
2. Depdag : Departemen Perdagangan
3. Deprin : Departemen Perindustrian
4. Dirbun : Dirjen Perkebunan
5. Kelembagaan
6. Petani
7. Pengusaha
D. Tingkat 4 : Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan strategi
promosi (Tujuan)
• Meningkatkan pendapatan pemerintah di bidang pertanian.
• Meningkatkan pendapatan pengusaha perkebunan dan usaha perkebunan.
• Meningkatkan kinerja pabrik pengolahan kelapa sawit.
• Miningkatkan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pabrik CPO/PKO
dan PKS.Meningkatkan kualitas lingkungan yg lebih baik.
E. Tingkat 5 : Hal-hal yang dirumuskan sebagai pilihan yang akan
direkomendasikan sebagai hasil untuk mencapai tujuan
penelitian (Alternatif)
1. Pemerintah menetapakan kebijakan tetentang pajak ekspor secara berkala
agar pelaku usaha dan pemerintah sama-sama mendapat keuntungan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Penetapan kebijakan tentang harga TBS.
176
3. Ditetapkannya kebijakan tentang pemupukan cadangan penyangga minyak
kelapa sawit.
4. Kebijakan tentang distribusi lahan.
5. Menetapkan pola usaha dan tata cara pemasaran produk berbasis kelapa
sawit agar merata.
Pengolahan data dilakukan pada setiap tingkat terhadap faktor pada tingkat
diatasnya. Dari hasil pengolahan AHP didapatkan dua sudut pandang pengolahan,
yaitu pengolahan vertikal dan pengolahan horizontal.
1. Hasil Pengolahan Data secara Horizontal dalam AHP
Hasil pengolahan horizontal menunjukan hubungan antara elemen-elemen
dalam satu hirarki dengan elemen-elemen lainnya di tingkat hirarki yang berbeda.
Dari pengolahan horizontal akan terlihat tingkat pengaruh antara satu faktor
terhadap sejumlah faktor lainnya pada tingkat hirarki dibawahnya.
a. Aktor
Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa aktor yang paling dominan
pengaruhnya terhadap keberhasilan pengambangan industri kelapa sawit adalah
Direktur PTPN (0,456) dan departemen perdagangan (0,192). Kepentingan
seorang Direktur PTPN sangat tinggi karena kedua elamen ini merupakan
manajemen tertinggi dalam PTPN IV. Oleh karena itu, beliau merupakan pihak
yang berkepentingan langsung dalam mengarahkan, mengkoordinasikan dan
menyetujui kebijakan apa yg akan di tetapkan dan dijalankan oleh PTPN IV.
Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap anggaran promosi yaitu
Dirjen Perkebunan (0,090), Kelembagaan (0,102), petani (0,093) dan pengusaha
(0,067).
Tabel 15. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar
177
Elemen pada Tingkat 3 (Elemen Aktor Penyusun Strategi kebijakan
pengembangan industri kelapa sawit).
AKTOR URAIAN F1 F2 F3 F4 F5
1 Direktur PTPN 0,456 0,457 0,45
9
0,31
0
0,43
0
2 Deperindag 0,192 0,174 0,22
4
0,17
5
0,19
6
3 Dirjen Perkebunan 0,090 0,108 0,12
9
0,27
4
0,15
4
4 Kelembagaan 0,102 0,074 0,07
2
0,04
9
0,08
0
5 Petani 0,093 0,083 0,05
3
0,05
1
0,05
0
6 Pengusaha 0,067 0,104 0,06
3
0,10
1
0,08
9
Dalam hal Sumber Daya Alam, pihak yang memiliki tingkat kepentingan
terbesar juga masih dipegang oleh Direktur Utama (0,457). Seorang Direktur
PTPN memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh Sumber Daya Alam
yang berada dalam kepemilikan perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur PTPN
diharapkan mampu mengatur SDA yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya
dengan tingkat pengaruh terhadap Sumber Daya Alam yaitu Deperindag (0,174),
Dirjen Perkebunan (0,108), Pengusaha (0,104), Petani (0,083) dan
Kelembagaan (0.074).
Aktor yang memiliki tingkat kepentingan terbesar pada karakteristik
investasi adalah Direktur PTPN (0,459). Direktur PTPN IV merupakan jajaran
manajemen atas yang banyak memiliki peran terhadap kebijakan lapangan.
Oleh karena itu, Direktur dituntut untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan
yang tepat. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh terhadap karakteristik
Investasi yaitu Deperindag (0,224), Disbun (0,129), Kelembagaan (0,072),
Pengusaha (0,063) dan Petani (0,053).
178
Berkaitan dengan karakteristik teknologi dan produktivitas PTPN IV,
pihak yang memiliki kepentingan tertinggi adalah Direktur PTPN (0,310).
Hal ini dikarenakan seorang Direktur Utama merupakan pembuat kebijakan
strategis, diantaranya kebijakan tersebut menjadi penting dikarenakan seorang
Direktur PTPN merupakan orang yang memiliki kapabilitas mengenai spesifikasi
produk pembiayaan PTPN IV. Pihak berikutnya dengan tingkat pengaruh
terhadap karakteristik teknologi dan produktivitas yaitu Dirjen Perkebunan
(0,274), Deperindag (0,175), Pengusaha (0,101), Petani (0,051) dan Kelembagaan
(0,049).
Dalam hal sumber daya manusia, pihak yang memiliki tingkat kepentingan
terbesar juga masih dipegang oleh Direktur PTPN (0,430). Seorang Direktur
Utama memiliki wewenang langsung untuk mengatur seluruh sumber daya
manusia yang berada dalam perusahaannya. Oleh karenanya, Direktur Utama
diharapkan mampu mengatur SDM yang ada di PTPN IV. Pihak berikutnya
dengan tingkat pengaruh terhadap sumber daya manusia yaitu Deperindag (0,196),
Dirjen Perkebunan (0,154), Pengusaha (0,089), Kelembagaan (0,080) dan Petani
(0,050).
b. Tujuan
Berdasarkan Tabel 16 tujuan untuk meningkatkan pendapatan pelaku
usaha perkebunan dalam rangka pengembangan industri pertanian berbasis kelapa
sawit dipegang oleh Direktur PTPN (0,505). Sebagai jajaran lini atas perusahaan,
Direktur PTPN bertanggung jawab langsung kepada pemilik saham PTPN IV.
Volume penjualan yang baik merupakan ukuran kinerja yang paling utama dari
seorang Direktur PTPN IV. Dengan begitu meningkatkan volume penjualan dan
peningkatan produksi menjadi sangat penting untuk menjadi tujuan
pengembangan industri kelapa sawit. Sedangkan prioritas ke dua untuk tujuan
peningkatan pendapatan tenaga kerja (0,219). Prioritas ke tiga untuk tujuan
pendapatan pemerintah (0,010), prioritas tujuan ke empat dan ke lima masing-
masing yaitu meningkatkan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan kinerja
pabrik kelapa sawit (0,086).
Tabel 16. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar
179
Elemen pada Tingkat 4 (Elemen Tujuan analisis strategi kebijakan
pemerintah terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit)
Tuju
an Uraian A1 A2 A3 A4 A5 A6
1 Pendapatan
Pemerintah
0,101
0
0,085
0
0,0930 0,071
0
0,060
0
0,054
0
2 Pendapatan
PK/USABUN
0,505
0
0,429
0
0,4220 0,330
0
0,441
0
0,438
0
3 Peningkatan PAB PKS 0,086
0
0,103
0
0,1280 0,121
0
0,118
0
0,163
0
4 Peningkatan
Pendapatan TK
0,219
0
0,292
0
0,2010 0,248
0
0,219
0
0,166
0
5 Kualitas Lingkungan 0,089
0
0,091
0
0,1560 0,229
0
0,162
0
0,178
0
Dalam prioritas tujuan utama meningkatkan pendapatan usaha perkebunan
kelapa sawit aktor lain yg berperan penting selain Direktur PTPN dalam jajaran
pemerintahan yaitu Deperindag (0,429) dimana aktor ini berperan dalam
penetapan kebijakan, peraturan dan memberikan fasilitas dalam pengambangan
industri kelapa sawit, sedangkan prioritas ke dua dari tujuan adalah untuk
peningkatan pendapatan tenaga kerja yg di pekerjakan kebun seperti pekerja
untuk pemupukan, pembersihan gulma, dan pemanenan (0,219), dan prioritas
tujuan ketiga peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,103), prioritas keempat
untuk tujuan peningkatan kualitas lingkungan (0,091) dan pendapatan pemerintah
(0,085)
Bagi aktor Dirjen Perkebunan, tujuan untuk meningkatkan pendapatan
pelaku usaha perkebunan besar merupakan hal utama (0,422). Hal ini menjadi
penting bagi Dirjen Perkebunan, sehubungan dengan tanggung jawabnya
terhadap pencapaian dari target bisnis dan pembuat kebijakan, peraturan
pemanfaatan lahan serta mengeluarkan ijin usaha dalam bidang perkebunan
kelapa sawit. Dengan tercapainya tujuan tersebut dapat mengindikasikan kinerja
180
cukup baik dari jajaran pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan
menurut Dirjen Perkebunan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan
pendapatan tenaga kerja yang di pekerjakan perusahaan perkebunan (0,201).
Prioritas ketiga untuk tujuan meningkatkan kualitas lingkungan sekitar usaha
perkebunan kelapa sawit (0,156), dan prioritas ke empat yakni meningkatkan
kinerja pabrik kelapa sawit (0,128).
Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan program
pelaksanaan kegiatan di lapangan, kelembagaan merupakan suatu organisasi yang
bertujuan mewadahi organisasi pekerja dan pelaku usaha perkebunan dilapangan
dan kelembagaan ini menjadikan tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha
baik negeri (PTPN) maupun swasta menjadi hal utama dalam rangka
meningkatkan pengembangan industri kelapa sawit (0,330). Sedangkan menurut
kelembagaan prioritas ke dua tujuan adalah untuk meningkatkan pendapatan
tenaga kerja di PTPN IV (0,248). Prioritas ke tiga untuk tujuan meningkatkan
kualitas lingkungan, baik dari lingkungan masyarakat sekitar usaha perkebunan
maupun pemanfaatan limbah kelapa sawit (0,229), dan tujuan ke empat untuk
tujuan peningkatan kinerja pabrik kelapa sawit (0,121) dan prioritas ke lima untuk
tujuan pendapatan pemerintah (0,071).
c. Alternatif
Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa untuk mencapai tujuan meningkatkan
pendapatan pemerintah, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah
strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) (0,482). Melalui penetapan
harga Tandan Buah Segar (TBS) diharapkan petani dapat meningkatkan taraf
hidupnya dan menjaga kualitas kalapa sawit yg dihasilkan dan pemerintah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan manaikkan upah dan gaji
karyawan yg bekerja di bidang perkebunan .
Dalam rangka mencapai tujuan meningkatkan pendapatan pelaku usaha
dan perkebunan PTPN IV, alternatif dengan prioritas yang paling tinggi adalah
strategi 2, penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS). Alternatif ini menjadi
penting mengingat strategi ini merupakan strategi yang baik guna meningkatkan
produktifitas pengolahan kelapa sawit di tengah terbatasnya lahan yang dapat di
181
gunakan .
Tabel 17. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar
Elemen pada Tingkat 5 (Elemen Alternatif Strategi kebijakan)
AL
T
URAIAN T1 T2 T3 T4 T5
1 Penetapan Pajak Ekspor secara
berkala
0,20
2
0,19
7
0,18
3
0,18
9
0,20
4
2 Penetapan Harga TBS 0,48
2
0,48
6
0,46
0
0,40
0
0,37
9
3 Diversivikasi produk olahan
Minyak sawit
0,12
8
0,11
1
0,13
0
0,18
4
0,17
2
4 Distribusi Lahan 0,11
2
0,07
2
0,04
0
0,09
2
0,12
1
5 Pola Usaha dan Pemasaran Produk
yang Merata
0,07
6
0,13
4
0,13
4
0,13
5
0,12
4
Alternatif 3 (0,184) yaitu diversivikasi produk olahan minyak sawit
merupakan alternatif prioritas utama untuk mencapai tujuan meningkatkan
pendapatan tenaga kerja perkebunan. Alternatif ini menjadi penting karena
semakin banyak cabang industri pengolahan kelapa sawit menjadi berbagai
macam produk olahan selain minyak sawit menjadikan pendapatan pekerja di
bidang perkebunan kelapa sawit semakin bertambah karena semakin banyak
memerlukan tenaga kerja.
Distribusi lahan sebagai alternatif 4 (0,112) dipilih sebagai prioritas utama
dari tujuan meningkatkan pendapatan pemerintah karena distribusi lahan yang
tepat akan mendapatkan keutungan bagi pemerintah berupa pajak dan penyerapan
tenaga kerja agar tercipta masyarakat yang lebih sejahtera dan pemanfaatan lahan
yang tepat guna serta meningkatnya pertumbuhan industri khususnya industri
182
minyak kelapa sawit dan olahan lain dari kelapa sawit.
Pola usaha dan pemasaran produk yang merata menjadi alternatif
5 (0,135) yang menjadi prioritas tujuan peningkatan pendapatan tenaga kerja.
Alternatif ini menjadi penting karena dengan diaturnya pola usaha dan pemasaran
produk yang merata memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta
berusaha di bidang perkebunan dengan pola usaha yg telah di tetapkan pemerintah
yang pastinya menguntungkan bagi masyarakat dan pengusaha yang bergerak
dibidang perkebunan.
2. Hasil Pengolahan Data secara Vertikal dalam AHP
183
Goal
Aktor
Faktor
Tujuan
Alternatif
Dari pengolahan data secara vertikal akan menunjukan besarnya tingkat
alternatif dari strategi kebijakan yang dapat dipilih disertai dengan bobot yang
dikandung oleh masing-masing elemen dalam hirarki. Hirarki pemilihan alternatif
strategi kebijakan terkait pengembangan industri kelapa sawit studi kasus
PTPN IV disertai dengan hasil dari pengolahan secara vertikal dapat dilihat pada
Gambar 6 dibawah ini.
Gambar 6. Hasil pengolahan vertikal struktur hirarki pemilihan alternatif strategi
kebijakan pemerintah terkait pengembanagan industri kelapa sawit
(Studi Kasus PTPN IV)
Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa faktor yang paling berpengaruh
Penentuan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan USAHA Besar Industri Kelapa Sawit
(Studi Kasus di PTPN IV Sumatera Utara)
Teknologi Produktifitas
0,840
Sarana Prasarana
0,242
Daya Saing 0,117
SDM 0,083
Infestasi 0840
Pendapatan PK/USAB UN
0,449
Peningkatan Tenaga Kerja
0,226
Kualitas Lingkungan
0,120
Peningkatan PAB PKS
0,105
Pendapatan Pemerintah
0,087
Penetapan harga TBS
0,445
Penetapan Pajak Ekspor
0,193
Divervikasi olahan kelapa sawit 0,137
Pola Usaha dan Pemerataan
produk 0,127
Distribusi Lahan 0,082
Deperindag 0,202
Dirjendbud 0,160
Kelembagaan 0,071
Pengusaha 0,066
Petani 0,059
Direktur PTPN 0,420
184
terhadap analisis strategi kebijakan pemerintah (Studi Kasus di PTPN IV) adalah
Teknologi dan Produktivitas (0,480). Dominannya faktor teknologi baik teknologi
pembibitan maupun teknologi yang di gunakan pabrik pengolahan kelapa sawit
dan produktivitas tanaman kelapa sawit karena secara signifikan dapat
mempengaruhi pendapatan perkebunan dalam penjualan Tandan Buah Segar
(TBS).
Tabel 18. Bobot dan prioritas faktor-faktor penyusun strategi pengembangan
industri kelapa sawit
FAKTOR URAIAN BOBOT FAKTOR RANGKING
1 Daya Saing 0,117 3
2 Investasi 0,077 5
3 Produktivitas 0,480 1
4 Sarana Prasarana 0,242 2
5 Sumber Daya Manusia 0,083 4
Sarana prasarana (0,242) menjadi faktor kedua dari analisis AHP diatas
yang di anggap dominan karena dengan tersedianya sarana dan prasarana produk
pertanian seperti pupuk, bibit yang baik serta mendukungnya infrastruktur seperti
jalan, pengangkutan akan sangant membantu peningkatan kualitas dari tandan
buah segar yang dihasilkan dan ketersediaan bahan baku kelapa sawit yang tepat
waktu dan dapat menguntungkan semua pihak.
Daya saing (0,117) menjadi faktor dengan prioritas ketiga yang
berpengaruh dalam analisis strategi kebijakan di PTPN IV. Daya saing sangat
penting karena hal ini di kaitkan dengan pengembangan kualitas SDM,
peningkatan penguasaan IPTEK sehingga tercipta kemandirian usaha sehingga
dapat tercapai nilai ekspor dan peluang ekspor yang tingi, dan daya saing nilai
produk yang tingi. Peran pemerintah dalam hal daya saing ini selain sebagai
birokrasi juga berperan sebagai fasilitator yang yang memfasilitasi perkembangan
produk serta menjamin kaamanan berusaha sehingga mendorong para pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan
sehingga mampu bersaing di pasar internasional. Faktor yang menjadi prioritas
185
selanjutnya yaitu sumber daya manusia (0,083) dan investasi (0,077).
Kedua faktor ini juga sangat mendukung pengembangan industri kelapa sawit,
dengan pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku pertanian
berkebudayaan industri hendaknya diarahkan untuk mewujudkan rakyat pekebun
sebagai manusia yang memiliki sikap dan cara berpikir maju, profesional, mampu
menjalin kerja sama, serta berorientasi pada peningkatan mutu, keunggulan,
produktivitas dengan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
mengelola sumberdaya serta mampu menjalin jaringan pemasaran dalam
transaksi produk dan jasa, sama halnya dengan sumberdaya manusia investasi
juga merupakan faktor penting. Kelayakan usaha perkebunan dan PKS terhadap
harga TBS merupakan tolak ukur bagi pengembangan industri kelapa sawit.
Pada jenjang aktor, menunjukkan bahwa pemerintah pusat yang diwakili
direktur PTPN, Deperindag dan Dirjen Perkebunan masih dominan pengaruhnya
terhadap keberhasilan pengembangan industri kelapa sawit, sedangkan Pengusaha,
Kelembagaan dan Petani perannya masih dianggap rendah.
Peran pemerintah yang masih dominan dalam pengembangan industri
kelapa sawit desebabkan faktor-faktor mempengaruhi agroindustri kelapa sawit
(teknologi dan produktivitas, sarana dan prasarana (infrastruktur), daya saing,
sumberdaya manusia dan ketersediaan modal) sebagian besar dalam penguasaan
atau minimal sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Aktor lain belum
mampu mengimbangi pengaruh pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor
tersebut. Mulai diberlakukannya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pusat dan Daerah, maka strategi yang penting di laksanakan adalah
mentransformasikan berbagai kewenangan yang sesuai dengan peraturan
pemerintah tersebut untuk dilaksanakan di daerah agar pengembangan
agroindustri di daerah lebih sesuai dengan kondisi yang diinginkan masyarakat di
sekitar perkebunan kelapa sawit.
Tabel 19 . Bobot dan prioritas aktor yang berperan dalam pengambilan
186
keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan
industri kelapa sawit
AKTOR URAIAN BOBOT
AKTOR
RANGKING
1 Direktur PTPN 0,420 1
2 Deperindag 0,202 2
3 Dirjen Perkebunan 0,160 3
4 Kelembagaan 0,071 5
5 Petani 0,059 6
6 Pengusaha 0,078 4
Tujuan untuk peningkatan pendapatan perkebunan dan tenaga kerja
sebagai perioritas dalam analisis strategi dan kebijakan pengembangan
agroindustri kelapa sawit hendaknya dijadikan faktor utama setiap perumusan
strategi dan kebijakan agroindustri kelapa sawit (Tabel 20). Perkebunan sudah
sewajarnya menerima tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari PKS karena
resiko usaha perkebunan lebih besar dari PKS karena produksinya tergantung oleh
kondisi alam seperti hama dan penyakit tanaman dan TBS yang dihasilkan hanya
dapat disimpan selama 24 jam. Sementara tenaga kerja di perkebunan dan PKS
perlu di perioritaskan karena hingga saat ini gaji/upah yang diterima sebesar Upah
Minimum Regoinal (UMR) masih belum menukupi untuk memenuhi Kebutuhan
Hidup Minimum (KHM).
Tabel 20 . Bobot dan prioritas tujuan yang berperan dalam pengambilan
187
keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengambangan
industri kelapa sawit
TUJUAN URAIAN BOBOT
TUJUAN
RANGKING
1 Pendapatan Pemerintah 0,0872 5
2 Pendapatan PK/USABUN 0,4496 1
3 Peningkatan PAB PKS 0,1056 4
4 Peningkatan Pendapatan
TK
0,2264 2
5 Kualitas Lingkungan 0,1203 3
Sementara strategi yang dominan untuk pengembangan agroindustri
kelapa sawit yaitu harga Tandan Buah Segar (TBS), kemudian gaji/upah tenaga
kerja, dan perpajakan merupakan kebijakan yang terbaik bagi semua pihak yang
berkepentingan dalam industri kelapa sawit. Sedangakan aktor yang masih
memerlukan penataan yakni peran aktor yang dominan yaitu kelembagaan, dan
pemerintah pusat, serta upaya pemberdayaan rakyat pekebun agar peranannya
dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit dapat setara dengan peran aktor
lainnya.
Tabel 21. Bobot dan prioritas alternatif kebijakan yang berperan dalam
188
pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait
pengambangan industri kelapa sawit
Alternat
if
Uraian
Bobot
Alternat
if
Rangkin
g
1 Penetapan Pajak Ekspor secara berkala
0,193
2
2 Penetapan Harga TBS 0,445 1
3 Diversivikasi produk olahan Minyak sawit
0,137
3
4 Distribusi Lahan 0,082 5
5 Pola Usaha dan Pemasaran Produk yang
Merata
0,127 4
Pendalaman terhadap tujuan pengembangan agroindustri kelapa sawit
selanjutnya dilakukan dengan mengidentifikasikan output atau dampak yang
diharapkan dari sistem agroindustri kelapa sawit. Hasil survey pakar menunjukkan
bahwa terdapat 10 jenis dampak kebijakan yang diharapkan dari pengembangan
agroindustri kelapa sawit. Tiga jenis dampak diantaranya memiliki peringkat
tinggi yaitu : Peningkatan pendapatan perkebunan rakyat, peningkatan
kesejahteraaan rakyat dan peningkatan pendapatan tenaga kerja. Selengkapnya
jenis dampak dan peringkatnya dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Bobot Peringkat Dampak dalam Pengembangan Industri Kelapa
189
Sawit (Studi Kasus PTPN IV).
No Jenis Dampak Bobot
Peringk
at
1 Peningkatan Pendapatan Pemerintah 3.400 5
2 Berkembangnya Produk yang dihasilkan 3.000 7
3 Peningkatan Pendapatan PK/USABUN 4.700 1
4 Pengaruh sosial budaya 2.400 8
5 Berkembangnya perekonomian daerah 3.100 6
6 Peningkatan PAB PKS 2.700 4
7 Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja 4.000 2
8
Jenis dan jumlah pajak yang layak bagi pelaku
usaha dan pemerintah 2.400 9
9 Peningkatan Kualitas Lingkungan 3.700 3
10 Peningkatan Pemerataan pembangunan 2.300 10
Pengambilan keputusan kebijakan pengembangan agroindustri kelapa
sawit akan dihadapkan pada banyaknya dampak hendak dicapai. Tujuan tersebut
dapat dicapai melalui berbagai kebijakan. Setiap jenis tujuan membutuhkan jenis
kebijakan yang berbeda. Dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit, 10 jenis
output atau dampak yang disebutkan diatas menjadi kriteria dalam penentian jenis
kebijakan. Atas dasar 10 kriteria tersebut, hasil pendapat pakar dengan teknik
MPE menunjukkan instrumen kebijakan gaji/upah merupakan perioritas pertama,
disusul oleh kebijakan harga CPO, kuota ekspor, bentuk pola usaha, harga TBS,
dan kebijakan perpajakan, seperti dapat dilihat pada Gambar. Instrumen kebijakan
yang diperlukan dapat saling terkait satu sama lain, seperti untuk peningkatan
pendapatan tenaga kerja dapat dicapai melalui penataan kebijakan gaji/upah itu
sendiri dan kebijakan lainnya seperti harga CPO, penataan ekspor, teknologi
pengolahan TBS dan penataan pola usaha. Untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat diperlukan penataan kebijakan gaji/upah, harga TBS dan
CPO, pola usaha dan kebijakan perpajakan. Peningkatan pendapatan daerah
sangat ditentukan oleh kebijakan perpajakan, harga CPO, dan kebijakan ekspor.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa pendapat pakar melalui teknik AHP
190
juga menunjukkan bahwa instrumen kebijakan harga TBS merupakan instrumen
yang memiliki bobot tertinggi untuk pengembangan agroindustri kelapa sawit,
yang disusul oleh instrumen kebijakan gaji/upah dan pajak. Dari hasil AHP dan
MPE dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor strategis didalam pengembangan
agroindustri kelapa sawit adalah faktor TBS (harga dan ketersediaan), keamanan
berusaha, dana (tingkat suku bunga, sumber dana dan ketersediaan dana), pasar
(suplai, permintaan dan harga CPO dan PKO).
Hasil dari AHP dan MPE (dapat dilihat pada lampiran) dalam
pengembangan agroindustri kelapa sawit juga berfungsi untuk penyelesaian
konflik kepentingan antar pihak berkepentingan, selain itu juga dapat digunakan
sebagai alat untuk menentukan strategi pengembangan agroindustri kelapa sawit
nasional.
a. Analisis Sensitivitas AHP Strategi Kebijakan Pemerintah
Untuk melihat tingkat sensitivitas perubahan skala prioritas kebijakan
dilakukan uji sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dimaksudkan untuk melihat
kecendrungan perubahan suatu perioritas terhadap faktor lain yang
mempengaruhinya. Adapun hasil dari analisis sensitivitas selengkapnya diuraikan
dibawah ini :
Gambar 7. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level faktor
Kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10) menunjukkan bahwa
skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri
kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) pada level faktor secara berturut-
turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga TBS
191
(0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk
olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata
(0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama
didasarkan atas pertimbangan aspek peningkatan produktivitas (0,480), disusul
dengan pertimbangan aspek peningkatan sarana dan prasarana sebagai skala
prioritas kedua (0,242), dan aspek daya saing (0,117) sebagai prioritas ketiga serta
aspek SDM (0,083) dan investasi (0,077) sebagai prioritas keempat dan kelima.
Seandainya preferensi para stakeholder terhadap pertimbangan
produktivitas meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah terhadap
diversifikasi produk olahan minyak sawit ataupun adanya peningkatan mutu
kelapa sawit yang dihasilkan meningkat, sehingga aspek produktivitas mencapai
skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan
masih tetap (Gambar 8).
Gambar 8. Preferensi terhadap aspek daya saing ditingkatkan 70,2%
Demikian pula jika preferensi para stakeholder terhadap produktivitas
meningkat mencapai skala proiritas utama (100%), maka urutan strategi kebijakan
masih tetap sama (Gambar 9).
192
Gambar 9. Preferensi terhadap daya saing ditingkatkan 100%
Kondisi yang sama juga berlaku apabila aspek daya saing, sarana dan
prasarana serta aspek Sumber Daya Manusia (SDM) mencapai skala prioritas
utama maka urutan strategi kebijakan masih tetap sama.
Pada level aktor kondisi awal pendapat para stakeholder (Gambar 10)
menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan pemerintah terkait
pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di PTPN IV) secara
berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir adalah penetapan harga
TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala (0,195), diversifikasi produk
olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan pemerataan produk yang merata
(0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan skala prioritas tersebut terutama
didasarkan atas pertimbangan pembuat kebijakan yakni direktur PTPN (Studi
Kasus Direktur PTPN IV) (0,456), disusul dengan pertimbangan keputusan
Deperindag sebagai skala prioritas kedua (0,2192), dan Kelembagaan (0,117)
sebagai prioritas ketiga serta petani (0,093) dan Dirjen Perkebunan (0,090)
sebagai prioritas keempat dan kelima, Pengusaha (0,067) di prioritas keenam.
193
Gambar 10. Diagram Batang Analisis Sensitivitas (awal) pada level aktor
Seandainya preferensi para stakeholder terhadap pelaku usaha perkebunan
yakni Direktur PTPN selaku pembuat keputusan meningkat, misalnya akibat
adanya kebijakan pemerintah terhadap Peraturan Perundang-undangan
Perkebunan ataupun adanya penetapan kebijakan baru yang berkaitan dengan
kelapa sawit, sehingga Direktur PTPN mencapai skala prioritas utama (70,2%),
maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap. Selengkapnya urutan
prioritas mulai dari prioritas utama hingga terakhir dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Prefensi terhadap aktor Direktur PTPN ditingkatkan 70,2%
Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor pengusaha
ditingkatkan menjadi 70,2% ataupun preferensi aktor lain yakni Petani
ditingkatkan 70,2%, dan kondisi ini juga berlaku pada aktor lain seperti
Deperindag, Dirjen Perkebunan, dan Kelembagaan. Selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 12 dan 13.
194
Gambar 12. Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 70,2%
Gambar 13. Preferensi terhadaap aktor Pengusaha ditingkatkan 70,2%
Kondisi yang sama juga berlaku apabila preferensi aktor direktur PTPN
ditingkatkan menjadi 100% ataupun preferensi aktor lain yakni Deperindag,
Dirjen Perkebunan, Kelembagaan, Petani serta Pengusaha ditingkatkan sampai
100% maka urutan skala prioritas masih tetap sama. Hal ini berlaku pada semua
level aktor dari peringkat paling utama sampai terakhir.
195
Gambar 14. Preferensi terhadap aktor Dirut PTPN ditingkatkan 100%
Gambar 15. Preferensi terhadap aktor petani ditingkatkan 100%
Gambar 16. Preferensi terhadap aktor pengusaha ditingkatkan 100%
Selanjutnya pada level tujuan kondisi awal pendapat para stakeholder
(Gambar 17) menunjukkan bahwa skala prioritas strategi dan kebijakan
pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional (Studi Kasus di
PTPN IV) secara berturut-turut dari prioritas utama hingga prioritas terakhir
196
adalah penetapan harga TBS (0,451), penetapan pajak ekspor secara berkala
(0,195), diferifikasi produk olahan minyak sawit (0,139), pola usaha dan
pemerataan produk yang merata (0,128) dan distribusi lahan (0,088). Penetapan
skala prioritas tersebut terutama didasarkan atas tujuan yang hendak di capai
yakni direktur peningkatan pengusaha kelapa sawit dan usaha perkebunan (0,505),
disusul dengan peningkatan pendapatan tenaga kerja (petani) sebagai skala
prioritas kedua (0,219), dan peningkatan pendapatan pemerintah (0,101) sebagai
prioritas ketiga serta peningkatan kualitas lingkungan (0,089) dan peningkatan
pendapatan pabrik kelapa sawit (0,086) sebagai prioritas keempat dan kelima.
Gambar 17. Diagram Batang Analisis Sensiitivitas (awal) pada level tujuan
Seandainya preferensi para stakeholder terhadap tujuan peningkatan
pendapatan pelaku usaha meningkat, misalnya akibat adanya kebijakan
pemerintah terhadap izin usaha perkebunan ataupun adanya peningkatan jumlah
perkebunan swasta atau perkebunan inti plasma, sehingga pelaku usaha mencapai
skala prioritas utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan
masih tetap tetapi terjadi peningkatan nilai bobot. Selengkapnya urutan prioritas
mulai dari prioritas utama hingga terakhir sebagai berikut : Penetapan harga TBS
dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,465), terjadi peningkatan nilai bobot
sebesar 0,14% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128)
menjadi (0,130) atau naik sebesar 0,02%. Penurunan bobot terjadi pada penetapan
pajak ekspor secara berkala (0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%;
diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,128) atau turun
197
sebesar 0,11%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,081) atau turun sebesar
0,07%.
Gambar 18. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 70,2%
Apabila preferensi stakeholder ditingkatkan mencapai kondisi ekstrim
pada 100%, maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama tetapi
terjadi peningkatan nilai bobot. Peningkatan bobot terjadi pada penetapan harga
TBS dimana kondisi awal (0,451) menjadi (0,486), terjadi peningkatan nilai bobot
sebesar 0,34% (0,014), pola usaha dan pemerataan produk yang merata (0,128)
menjadi (0,134) atau naik sebesar 0,06%, penetapan pajak ekspor secara berkala
(0,195) menjadi (0,196) atau sebesar 0,01%. Penurunan nilai bobot terjadi pada
diversifikasi produk olahan minyak sawit (0,139) menjadi (0,111) atau turun
sebesar 0,28%, dan distribusi lahan (0,088) menjadi (0,072) atau turun sebesar
1,6%. Selengkapnya dapat diliah pada Gambar 19.
198
Gambar 19. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 100%
Jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas kedua yakni
peningkatan pendapatan tenaga kerja, misalnya akibat adanya kebijakan
pemerintah terhadap kenaikan UMR ataupun adanya peningkatan penetapan harga
TBS, sehingga peningkatan pendapatan tenaga kerja mencapai skala prioritas
utama (70,2%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama
tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada diversifikasi produk olahan minyak
sawit, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, dan distribusi lahan
sedangkan penurunan nilai bobot terlihat pada penetapan harga TBS, penetapan
ekspor secara berkala. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga
Kerja menjadi skala prioritas utama (70,2%)
Alternati Kebijakan
Nilai Bobot
Awal
Kondisi
70,2%
Keterangan
Penetapan harga TBS 0,451 0,420 Penurunan nilai bobot
3,1%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,191 Penurunan nilai bobot
0,4%
Diversifikasi produk olahan minyak sawit 0,139 0,167 Peningkatan nilai
bobot 2,8%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
merata
0,128 0,132 Peningkatan nilai bobot
0,4%
Distribusi lahan 0,088 0,090 Peningkatan nilai bobot
0,2%
Kondisi yang sama terjadi apabila tujuan pada prioritas kedua yakni
peningkatan pendapatan tenaga kerja dinaikkan sampai mencapai kondisi ekstrim
100%, maka skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama (Tabel 24).
199
Table 24. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga
Kerja menjadi skala prioritas utama (100%)
Alternatif Kebijakan Nilai Bobot
Awal
Kondisi
100%
Keterangan
Penetapan harga TBS 0,451 0,400 Penurunan nilai bobot
5,1%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,189 Penurunan nilai bobot
0,6%
Diversifikasi produk olahan minyak
sawit
0,139 0,184 Peningkatan nilai bobot
4,5%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
merata
0,128 0,135 Peningkatan nilai bobot
0,7%
Distribusi lahan 0,088 0,092 Peningkatan nilai bobot
0,4%
Selanjutnya jika preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas
ketiga yakni peningkatan pendapatan pemerintah, misalnya akibat adanya
kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan
pemerintah tentang pajak ekspor kelapa sawit sehingga peningkatan pendapatan
pemerintah mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai kepada kondisi
ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan masih tetap sama
tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan harga TBS, penetapan
ekspor secara berkala, distribusi lahan , dan distribusi lahan sedangkan penurunan
nilai bobot terlihat pada diversifikasi produk olahan minyak sawit serta pola usaha
dan pemasaran produk yang merata (Tabel 25).
Table 25. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan pemerintah
menjadi skala prioritas utama (70,2%)
Alternatif kebijakan
Nilai
bobot
Kondisi
70,2%
Keterangan
200
awal
Penetapan Harga TBS 0,451 0,471 Peningkatan nilai
bobot 2,0%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,200 Peningkatan nilai
bobot 0,5%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,132 Penurunan nilai bobot
0,7%
Pola usaha dan pemasaran produk
yang merata
0,128 0,094 Penurunan nilai bobot
3,4%
Distribusi lahan 0,088 0,104 Peningkatan nilai
bobot 1,6%
Tabel 26. Uji sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapaatan
Pemerintah menjadi skala prioritas utama (100%).
Alternatif kebijakan
Nilai
bobot
awal
Kondisi
100%
Keterangan
Penetapan Harga TBS 0,451 0,482 Peningkatan nilai
bobot 3,1%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,202 Peningkatan nilai
bobot 0,7%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,128 Penurunan nilai bobot
1,1%
Pola usaha dan pemasaran produk
yang merata
0,128 0,077 Penurunan nilai bobot
5,1%
Distribusi lahan 0,088 0,112 Peningkatan nilai
bobot 2,4%
Apabila preferensi para stakeholder terhadap tujuan perioritas keempat
yakni peningkatan kualitas lingkungan, misalnya akibat adanya kebijakan
pemerintah terkait penanganan limbah industri kelapa sawit ataupun adanya
kebijakan pemerintah tentang zero waste industri kelapa sawit sehingga
201
peningkatan kualitas lingkungan mencapai skala prioritas utama (70,2%) sampai
kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala prioritas strategi kebijakan
masih tetap sama tetapi terjadi peningkatan nilai bobot pada penetapan ekspor
secara berkala, diversifikasi produk olahan minyak sawit, distribusi lahan.
Penurunan terjadi pada penetapan harga TBS dan pola usaha dan pemasaran
produk yang merata (Tabel 27).
Table 27. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala
prioritas utama 70,2%)
Alternatif kebijakan
Nilai
bobot
awal
Kondisi
70,2%
Keterangan
Penetapan Harga TBS 0,451 0,403 Penurunan nilai bobot
4,8%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,201 Peningkatan nilai
bobot 0,6%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,161 Peningkatan nilai
bobot 2,2%
Pola usaha dan pemasaran produk
yang merata
0,128 0,125 Penurunan nilai bobot
0,3%
Distribusi lahan 0,088 0,110 Peningkatan nilai
bobot 2,2%
Table 28. Uji sensitivitas pada level tujuan kualitas lingkungan menjadi skala
prioritas utama (100%).
Alternatif kebijakan
Nilai
Bobot
Kondisi
Keterangan
202
Awal 100%
Penetapan Harga TBS 0,451 0,379 Penurunan nilai bobot
7,2%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,204 Peningkatan nilai bobot
0,9%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,172 Peningkatan nilai bobot
3,3%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
merata
0,128 0,124 Penurunan nilai bobot
0,4%
Distribusi lahan 0,088 0,121 Peningkatan nilai bobot
3,3%
Uji sensitivitas pada tujuan perioritas kelima yakni peningkatan pabrik
pengolahan industri kelapa sawit, misalnya akibat adanya kebijakan pemerintah
terkait pengembangan industri kelapa sawit ataupun adanya kebijakan pemerintah
tentang perizinan pendirian industri kelapa sawit sehingga peningkatan kualitas
dan kuantitas pabrik pengolahan kelapa sawit meningkat mencapai skala prioritas
utama (70,2%) sampai kepada kondisi ekstrim (100%), maka urutan skala
prioritas masih tetep sama tetapi ada peningkatan nilai bobot pada penetapan
harga TBS, pola usaha dan pemasaran produk yang merata, distribusi lahan.
Penurunan nilai bobot terjadi pada alternatif kebijakan penetapan pajak ekspor
secara berkala dan diversifikasi produk olahan minyak sawit (Tabel 29).
Tabel 29. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit
menjadi skala prioritas utama (70,2%).
203
Alternatif kebijakan
Nilai
bobot
awal
Kondisi
70,2%
Keterangan
Penetapan Harga TBS 0,451 0,457 Peningkatan nilai
bobot 0,6%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,187 Penurunan nilai bobot
0,8%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,133 Penurunan nilai bobot
2,6%
Pola usaha dan pemasaran produk
yang merata
0,128 0,132 Peningkatan nilai
bobot 0,4%
Distribusi lahan 0,088 0,092 Peningkatan nilai
bobot 0,4%
Tabel 30. Uji sensitivitas pada level tujuan peningkatan pabrik kelapa sawit
menjadi skala prioritas utama (100%).
Alternatif kebijakan
Nilai
bobot
awal
Kondisi
100%
Keterangan
Penetapan Harga TBS 0,451 0,460 Peningkatan nilai bobot
0,9%
Penetapan ekspor secara berkala 0,195 0,183 Penurunan nilai bobot
0,9%
Diversifikasi Produk olahan minyak
sawit
0,139 0,130 Penurunan nilai bobot
0,9%
Pola usaha dan pemasaran produk yang
merata
0,128 0,134 Peningkatan nilai bobot
0,6%
Distribusi lahan 0,088 0,094 Peningkatan nilai bobot
0,6%
3. Implikasi Manajerial Analisis dan Strategi Kebijakan Pemerintah
Terkait Pengembangan Industri kelapa Sawit.
204
Dari uraian uji sensitivitas AHP yang diperoleh dari stakeholder dan
pendapat pakar sepakat dapat disimpulkan bahwa strategi kebijakan pemerintah
yang paling efektif yakni penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), selanjutnya
penetapan pajak ekspor secara berkala oleh pemerintah pusat, diversifikasi produk
turunan minyak sawit, pengaturan pola usaha dan pemasaran produk yang merata
baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah serta di perlukannya
kebijakan daerah tentang distribuusi lahan perkebunan agar pemanfaatan lahan
menjadi lebih efektif lagi dan kualitas lingkungan dapat terjaga.
Pada uji sensitifitas AHP ini telah dilakukan perningkatan skala prioritas
pada masing-masing level baik dari level faktor, aktor, maupun tujuan dan
kesimpulan dari peningkatan skala prioritas tersebut tidak mengubah skala
prioritas alternatif kebijakan yang disarankan walaupun ada kenaikan bobot pada
level tujuan tapi tidak mempengaruhi skala prioritas alternatif.
Alternatif kebijakan ini dapat berubah nilai bobotnya apabila pada level
masing-masing tujuan ditingkatkan skala prioritasnya tetapi hal ini tidak
mengubah tingkat skala prioritas pada alternatif yakni pertama penetapan harga
TBS, kedua penetapan pajak ekspor secara berkala, ketiga diversifikasi produk
olahan minyak sawit, keempat pola usaha dan pemasaran produk yang merata dan
kelima distribusi lahan.
Secara keseluruhan dapat ditarik benang merah bahwasanya penetapan
harga TBS yang transparan merupakan hal utama dan pokok yang harus dilakukan
pemerintah karena aspek ini sangat berpengaruh kepada aspek yang lain seperti
peningkatan pendapatan pelaku usaha perkebunan disusul oleh peningkatan
pendapatan petani kelapa sawit dan pendapatan pemerintah juga secara otomatis
akan ikut meningkat. Selain itu juga pemerintah diharapkan segera menetapkan
kkebijakan tentang diversifikasi produk hilir minyak kelapa sawit sehingga
merangsang pertumbuhan industri dalam negeri dan dapat miningkatkan jumlah
penyerapan tenaga kerja.
Industri ini sangat mempunyai prospek yang cerah apabila dibarengi
dengan kebijakan pemerintah yang memperhatikan kepentingan banyak pihak
guna menyelesaikan konflik yang selama ini blom mampu diatasi agar
pertumbuhan perekonomian dalam negeri dapat meningkat.
205
VIII. ANALISIS KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA TANDAN BUAH
SEGAR (TBS) BERBASIS INDUSTRI
206
Dari hasil Pengolahan data dengan metode AHP dan uji sensitivitas yang
dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penetapan harga Tandan
Buah Segar (TBS) sangat menentukan pengembangan indusrti kelapa sawit
kedepannya. Hal ini ditandai dengan tidak maksimalnya kebijakan pemerintah
yang diterapkan dilapangan. Masih dijumpai terjadinya ketidak adilan yang
diterima oleh petani kelapa sawit yakni adanya ketimpangan harga TBS.
Kecendrungan terjadinya ketimpangan harga oleh perusahaan inti terhadap petani
plasma akan dapat mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh petani dan
akhirnya akan menurunkan produktifitas petani
Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di
Kualalumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan
situasi permintaaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan subsitusi
penting minyak goring asal kelapa sawit. Produk akhir yang menentukan gejolah
harga dalam industri kelapa sawit adalah harga minyak goring. Harga minyak
goring merupakan acuan utama bagi harga TBS.
Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah
mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat
melindungi petani. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan
mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Harga TBS
ditentukan berdasarkan hrga ekspor (FOB) minyak kelapa sawit. Hal ini berarti
kemampuan petani kelapa sawit dalam berproduksi sangat tergantung pada
perekonomian dunia.
Harga pembelian dari perusahaan inti (studi kasus di PTPN IV) ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Mentri Kehutanan dan Perkebunan No.
627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Mentri Pertanian No. 395/Kpts/OT.140/11/2005.
Dimana rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:
Htbs = K (Hcpo x Rcpo +His x Ris)………………………….(1)
Angka-angka untuk perhitungan komponen rumus tersebut seluruhnya
dikalkulasi oleh manajeman perusahaan (studi kasus di PTPN IV). Harga TBS
yang diterima petani dihitung berdasarkan Indeks Proporsi K. Untuk komponen K
207
merujuk kepada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan
Menteri Pertanian pada dasarnya merupakan persetase besarnya hak petani
tersebut terhadap harga TBS. Dalam proses penentuan indeks proporsi K,
diperhitungkan beban biaya yang harus ditanggung oleh petani mulai dari proses
pengolahan TBS sampai dengan pemasaran CPO. Biaya-biaya tersebut terdiri
dari:
1. Biaya pengurusan di pelabuhan dan penjualan;
2. Biaya pengangkutan ke pelabuhan;
3. Biaya pengolahan yang terdiri dari (a) biaya langsung, (b) biaya
pemliharaan pabrik, (c) biaya pengemasan, (d) asuransi pabrik, (e) gaji dan
tunjangan staf dan (f) gaji da tunjangan non staf.
4. Biaya penyusutan pabrik
5. Biaya administrasi.
Penentuan harga TBS berdasarkan rumus yang ditetapkan pemerintah tersebut
diduga memiliki beberapa kelemahan yaitu:
1. Pembebanan Biaya yang tidak proporsional. Komponen biaya trsebut di
atas dapat berubah atau variable sesuai dengan jumlah produksi TBS.
Artinya, biaya yang dibebankan kepada petani dalam satuan Rp/kg TBS
yang disalurkan ke pabrik akan semakin besar mengikuti jumlah TBS yang
dijual petani ke pabrik. Selain itu tidak semua bersifat variable terhadap
jumlah TBS. Dengan demikian terjadi pembebanan yang kurang
proporsional atas biaya pengolahan dan pemasaran yang diperhitungkan
pada indeks K. Dengan kata lain perolehan indeks K yang kecil akan
mempengaruhi pendapatan petani.
2. Distribusi Keuntungan dan Resiko. Petani kelapa sawit menghadapi tiga
sumber resiko yaitu: (1) Penurunan harga CPO, (2) Kenaikan harga input
produksi TBs, dan (3) Kenaikan biaya pengolahan di pabrik. Sementara
perusahaan inti cendrung mendapatkan margin yang stabil.
3. Transportasi Biaya. Terdapat bebrapa komponen biaya yang itdak dapat
dikontrol oleh petani plasma, sementara biaya tersebut harus ditanggung
oleh petani plasma yaitu biaya pemasaran, biaya engangkutan ke
208
pelabuhan, biaya pengolahan, dan biaya penyusutan. Ketidakmampuan
petani dalam mengontrol biaya pengeluaran pabrik tersebut menjadikan
perusahaan inti sangat bebas menentukan besarnya biaya tersebut.
4. Rendemen. Penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilan K sulit
diketahui petani. Rendemen yang rendah akan ditanggung oleh petani,
padahal kemungkinan besar adalah kesalahan pabrik.
5. Penentuan nilai K. Penentuan nilai K (proporsi yang dditerima petani) oleh
suatu tim didaerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik
kenyataannya harga TBS yang berlaku masih lebih rendah dari harga yang
seharusnya diterima petani dan pengusaha perkebunan.
Selain harga TBS yang diterima petani masih rendah dan berbeda-beda antar
perusahaan perkebunan, petani plasma juga dihadapkan pada dilema dimana
mereka diberi kewajiban untuk menjual seluruh hasil panen kepada perusahaan
dan membayar cicilan kredit yang telah diberikan pemodal kepada mereka. Selain
itu TBS merupakan produk yang cepat rusak, sehingga petani plasma tidak dapat
menyimpan hasil produksi dan menjual pada saat situasi harga sedang baik.
Kebijakan yang ditawarkan pada penelitian ini adalah penentuan harga TBS
berdasarkan kesepakatan antara perusahaan perkebunan, pengusaha dan petani
kelapa sawit. Pada penelitian ini studi kasus di PTPN IV, berdasarkan ketentuan
penetapan harga TBS oleh tim penentuan harga pambelian TBS produksi petani,
petani sebagai plasma dari perusahaan inti rakyat harus menjual TBS mereka
kepada perusahan (PTPN IV) sesuai dengan surat perjanjian sebagai peserta dan
menandatangani kontrak kerjasama yang telah disepakati. Dengan kata lain bahwa
penentuan harga TBS ditentukan oleh perusahaan (studi kasus PTPN IV) kepada
organisasi yang menaungi petani kelapa sawit sehingga petani memiliki posisi
tawar yang baik dan menciptakan win win solution bagi semua pihak. Sehingga
tidak ada lagi kebijakan penentuan harga TBS dengan pendekatan “titip olah jual”
atau “titip jual” yang sudah seharusnya diganti dengan kebijakan win win solution
yang menguntungkan semua pihak sehingga tercipta tranformasi posisi petani dari
tingkat ketergantungannya tinggi menjadi pihak yang lebih mandiri yang
209
selanjutnya akan terjadi saling ketergantungan antara petani dan pabrik yang
mewujudkan terjadinya pertanian yang berkebudayaan industri.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
210
1. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan sistem dalam
pengembangan agroindustri kelapa sawit membutuhkan perumusan kebijakan
publik dengan pendekatan sistem untuk menyelesaikan konflik kepentingan demi
terwujudnya pemenuhan kebutuhan para pelaku agroindustri kelapa sawit.
Berdasarkan hasil analisis kebijakan, maka disajikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terdapat beberapa kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mengatur
tata niaga minyak sawit antara lain (a) Pengendalian laju inflasi dan
mencegah penurunan pendapatan riil masyarakat, (b) Pengendalian pasokan
minyak sawit kasar di dalam negeri melalui pembatasan ekspor dalam
rangka menjaga kestabilan harga minyak goreng sebagai salah satu
kebutuhan pokok masyarakat, dan (c) Mencegah terjadinya distorsi pasar
mengingat pasar minyak sawit kasar dan minyak goreng lebih cenderung
pada struktur pasar yang bersifat oligopoli dan oligopsoni. Dalam kebijakan
pemerintah tersebut digunakan beberapa instrumen kebijakan yang
digunakan oleh pemerintah antara lain adalah : (a) Penetapan pajak ekspor
secara berkala, (b) Penetapan alokasi kebutuhan dalam negeri berupa
pembatasan ekspor, (c) Pemupukan cadangan penyangga minyak sawit
kasar, (d) Pelarangan ekspor dan (e) Impor minyak goreng dalam upaya
menstabilkan harga minyak goreng melalui operasi pasar.
2. Keberhasilan pengembangan agroindustri kelapa sawit ditentukan oleh
kemampuan menciptakan keamanan berusaha, menyediakan sumber
pendanaan yang layak, serta menata sistem tataniaga produk perkebunan
(TBS) dan produk pengolahan (CPO). Setiap keputusan dalam
pengembangan agroindustri kelapa sawit hendaknya mengutamakan pada
tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan
pendapatan perkebunan rakyat, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan
pendapatan. Selanjutnya kegiatan yang perlu diprioritaskan adalah
peningkatan pemerataan pembangunan, pelestarian lingkungan, peningkatan
pendapatan pelaku usaha, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Untuk
mewujudkan perioritas tersebut, terdapat 5 (lima) instrumen kebijakan
211
terpenting yang berpengaruh, yaitu kebijakan harga TBS, penetapan pajak
ekspor secara berkala, pemupukan penyangga minyak kelapa sawit, pola
usaha dan kelembagaan, dan distribusi lahan.
3. Peningkatan pengembangan industri kelapa sawit dilakukan dengan
melakukan berbagai survey untuk persiapan penetapan kebijakan
pemerintah yang bersifat peningkatan kualitas produk dan menjamin
kesejahteraan pelaku usaha dan pendapatan masyarakat perkebunan dan
menjamin kelestarian lingkungan serta peningkatan kualitas dan produksi
TBS melalui mekanisme pengembangan industri kelapa sawit yang
transparan efisien dan efektif sehingga memberi keuntungan ekonomi dan
sosial yang berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat.
4. Dalam penyusunan strategi pengembangan industri kelapa sawit, faktor
utama yang menjadi bahan perhatiaan adalah ketersediaan modal/dana dan
kondisi pasar. Ditinjau dari segi aktor (pelaku), peran utama masih dipegang
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tujuan yang seharusnya
mendapat perioritas adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan
peningkatan pendapatan tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan tersebut upaya
pokok yang menentukan adalah pengaturan dalam hal harga Tandan Buah
Segar (TBS) gaji dan upah dan perpajakan.
2. Saran
Berdasarkan analisis dan kesimpulan penelitian, beberapa saran dapat
212
disampaikan sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah tentang pengembangan industri kelapa sawit harus
disesuaikan dengan kondisi yang terjadi dilapangan dan kondisi spesifik
wilayah masing-masing. Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah
geofisik, pendapatan masyarakat, dan faktor teknologi yang tersedia.
2. Model sistem pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dapat
direplikasi sesuai dengan wilayah dan daerah lain. Untuk replikasi kebijakan
di wilayah lain disarankan disesuaikan dengan aspek kebijakan perusahaan
guna mengantisipasi pasar global.
3. Sistem pengambilan keputusan guna pengembangan industri kelapa sawit
telah dilengkapi basis pengetahuan dari hasil survey pakar, namun untuk
meningkatkan ketepatan penggunaannya dalam penunjang keputusan
diperlukan adanya Sistem Manajemen Basis Pengetahuan yang terintegrasi
dengan Sistem Basis Model sehingga model tersebut menjadi satu kesatuan
sebagai sistem pakar.
4. Untuk kepentingan penelitian lebih lanjut perlu diilakukan kajian dari aspek
sosial mengenai kebijakan yang diterapkan pemerintah maupun perusahaan
terhadap pendapatan masyarakat.
3. Rekomendasi
1. Untuk mengantisipasi pengembangan system agroindustri yang semakin
213
menghendaki terjadinya tranparansi dalam pengambilan kebijakan,
desentralisasi kewenangan pemerintah, dan mengantisipasi persaingan
global strategi yang dapat di tempuh adalah : (1) Menerapkan kebijakan
yang dapat memberikan solusi optimum bagi semua pihak, (2)
Melakukan penataan kewenangan kelembagaan pemerintah (Pusat dan
Daerah) dan fungsi kelembagaan rakyat pekebun, (3) Melakukan
debirokratisasi dan desentralisasi kewenangan penetapan kebijakan dan (4)
Meningkatkan posisi tawar rakyat pekebun melalui pembentukan kelompok
usaha bersama ekonomi sawit yang dalam memperjuangkan kepentingan
ekonomi anggota diwujudkan dalam bentuk koperasi.
2. Pengembangan indistri kelapa sawit hendaknya dilaksanakan dalam sistem
agroindustri yang terintegrasi antara perkebunan dan pabrik yang dikelola
oleh suatu system pertanian berbudayakan industri melalui transformasi
posisi petani menuju terwujudnya petani pekebun yang mandiri, melalui
pemberdayaan masyarakat pekebun, industrialisasi pertanian dan
pengembangan usaha bersama.
DAFTAR PUSTAKA
214
Abidin, Z. 2008. Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia. Jurnal Aplikasi Manajemen 6(1): 139 – 144.
Afifuddin S. dan S.I. Kusuma. 2007. Analisis Struktur Pasar CPO: Pengaruhnya Terhadap Pengembangan Ekonomi Wilayah Sumatera Utara. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, 2(3): 124 – 136.
Ardiansyah, F. 2006. Realising Sustainable Oil Palm Development in Indonesia – Challenges and Opportunities. WWF-Indonesia, Jakarta. Presented at the International Oil Palm Conference 2006, General Lecture Session, 20 June 2006. Bali, Indonesia
Arisman. 2002. Analisis Kebijakan: Daya Saing Cpo Indonesia. Jurnal Universitas Paramadina 2 (1) September 2002: 75-90
Bank Indonesia. 2009. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan III-2009. Kantor Bank Indonesia Medan.
Bank Indonesia. 2009a. Kajian Ekonomi Regional Riau Triwulan IV-2009. Kantor Bank Indonesia Riau.
Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Sumatera Utara Triwulan I-2010. Kantor Bank Indonesia Medan.
Barlow, C., Z. Zen and R. Gondowarsito. 2003. The Indonesian Oil Palm Industry. Oil Palm Industry Economic Journal 3(1): 8 – 15.
Basdabella, S. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi. IPB, Bogor.
Basiron, Y. 2002. Palm Oil and It’s Global Supply and Demand Prospects. Oil Palm Industry Economic Journal 2 (1): 1 – 10.
Bridgman, P. and G. Davis. 2004. The Australian Policy Handbook, Crows Nest: Allen and Unwin, Sydney, Australia.
Chalil, D. 2008. Market power and subsidies in the Indonesian palm oil industry. Prepared for presentation in AARES 52nd Annual conference, February 2008, Canberra ACT.
Depperin. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kelapa Sawit. Sekretariat Jenderal Departemen Perindustrian, Jakarta.
215
Depperin. 2009. Roadmap Industri Pengolahan CPO. Ditjen Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Jakarta.
Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Didu, M.S. 2001. Rancangbangun Strategi Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit (Agrosawit). Jurnal Teknologi Industri Pertanian 11(1): 20 – 26.
Didu, M.S. 2003. Kinerja Agroindustri Indonesia. Agrimedia 8 (2) April 2003: 16 – 25.
Ditjenbun. 2010a. Statistik Perkebunan 2008-2010. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan, Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Ditjenbun. 2007. Pedoman Umum Program Revitalisasi Perkebunan (Kelapa Sawit, Karet dan Kakao). Departemen Pertanian, Jakarta.
Ditjenbun. 2010. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004: 121 – 132.
Dou, H. 2009. Palm Oil Strategy – General Considerations and Strategic Patent Analysis. Asia Pacific Journal of Innovation and Entrepreneurship 3(2): 75 – 93.
Douglass, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Lin-kages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol 20, No. 1, 1998.
Dradjat, B. 2007. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Masih Berpotensi Dikembangkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (2): 6 – 7.
Drajat, B. 2007a. Stabilisasi Harga Minyak Goreng. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29 (6): 13 – 15.
216
Ellis, F. 1994. Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press, Melbourne.
Fadjar, U. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur Yang Belum Lengkap. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (1): 46 – 60.
Friedmann, J. and M. Douglass. 1978. “Agropolitan Development: Toward a New Strategy for Regional Planning in Asia,” in Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. F. Lo and K. Salih (eds.) Oxford: Pergamon Press
GAPKI. 2010. Industri Kelapa Sawit Indonesia menghadapi Issu Perubahan Iklim. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Jakarta.
Gumbira-Sa’id, E. 2010. Review Kajian, Penelitian dan Pengembangan Agroindustri Strategis Nasional: Kelapa Sawit, Kakao dan Gambir. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 19 (1): 45 – 55.
Hambali, E. 2005. Pengembangan Klaster Industri Turunan Minyak Kelapa Sawit. Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit Pada Berbagai Industri. Bogor, 24 November 2005.
ICN. 2009a. Laporan Market Intelligence Industri Palm Oil Di Indonesia. Indonesian Commercial Newsletter November 2009, Jakarta.
ICN. 2009b. Implication of Industrial Incentive. Indonesian Commercial Letter, Jakarta.
INDEF. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. The Institute for Development of Economics and Finance, Jakarta.
Jelsma, I., K. Giller and T. Fairhurst. 2009. Smallholder Oil Palm Production Systems in Indonesia: Lessons Learned from the NESP Ophir Project. Wageningen University. Shell Gobal Solutions International B.V.
Kadin. 2009. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014. Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Jakarta.
KPPU. 2008. Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Jakarta.
Manurung, E.G.T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Environmental Policy and Institutional Strengthening dan BAPPENAS, Jakarta.
217
Miranti, E. 2004. Potensi Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Analisis Perbankan Indonesia, Jakarta.
Miranti, E. 2010. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit 2010. Economic Review No. 219 Maret 2010: 1 – 12.
Mulyana, A. 2007. Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral. Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang.
Nakashima, N. 2010. Oil Palm Development and Violence: A Case Study of Communal Land Struggle in Kapar, West Sumatra, Indonesia. Hosei University Repository.
Nugroho, P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. J. Tata Loka Vol 9 (2) Mei 2008: 201 – 212.
Nuryanti, S. 2008. Nilai Strategis Industri Sawit. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (4) Desember 2008: 378 – 392.
Nogi, H. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Lukman Offset, Yogyakarta.
Obado, J., Y. Syaukat and H. Siregar. 2009. The Impacts Of Export Tax Policy On The Indonesian Crude Palm Oil Industry. J. of International Society for Southeast Asian Agricultural Science ( ISSAAS) Vol. 15(2):107-119.
Oladipo, J.A. 2008. Agro-Industry as Strategy for Rural Development: An Impact Assessment of Nigeria Oil-Palm Industry. European Journal of Social Sciences 7 (1): 75 – 87.
Paoli, G.D., B. Yaap, P.L. Wells and A. Sileuw. 2010. CSR, Oil Palm and the RSPO: Translating boardroom philosophy into conservation action on the ground. Opinion Article. Tropical Conservation Science 3 (4): 438 – 446.
Pasaribu, W. 2010. Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu. Skripsi. Departeman Agribisnis, Fakultas Pertanian, USU, Medan.
Plummer, P. 2005. A Review of Sustainable Development Implementation Through Local Action From An Ecosystem Management Perspective. J. Rural and Tropical Public Health No. 4: 33-40.
218
PTPN IV. 2009. Sumut Jadi Barometer Industri Sawit Nasional. Berita dan Siaran Pers 10/12/2009. http://www.ptpn4.co.id [diakses 25 Januari 2011]
Purwantoro, R.N. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Rai, S. 2010. Agribusiness Development and Palm Oil Sector in Indonesia. Economia Vol 61 (1): 45 – 59.
RSPO. 2006. Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Jakarta.
Sachico, A.W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau: Sebuah Tafsiran Seputar Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol. 19: 1 – 16
Sulaiman, F., N. Abdullah, H. Gerhauser and A. Shariff. 2010. A Perspective of Oil Palm and Its Wastes. Journal of Physical Science 21(1): 67 – 77.
Susila, W.R. 2004a. Contribution of Oil Palm Industry To Economic Growth and Poverty Alleviation Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 23 (3): 107 – 114.
Susila, W.R. 2004b. Peluang Investasi Pada Rehabilitasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Agrimedia 9 (1) Maret 2004: 54 – 63.
Susila, W.R. 2004. Impact of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Economic Journal 4 (2): 1 – 13.
Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung.
Syahza, A. 2010. Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.
Syaukat, Y. 2010. Menciptakan Dayasaing Ekonomi dan Lingkungan Industri Kelapa Sawit Indonesia. Agrimedia 15 (1) Juni 2010: 16 – 19.
Tacoli, C. 1998. Rural-Urban Interactions: A Guide To The Literature. Environment and Urbanization, Vol. 10 (1) : 147 – 166.
Tadjoeddin, M.Z. 2007. A future resource curse in Indonesia: The political economy of natural resources, conflict and development. CRISE
219
Working Paper No. 35. Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE), University of Oxford, Mansfield Rd, OX1 3TB, UK
Tambunan, T. 2006. Indonesian Crude Palm Oil: Production, Export Performance And Competitiveness. Kadin-Jetro, Jakarta.
Tan, K.T., K.T. Lee, A.R. Mohameda and S. Bhatia. 2009. Palm oil: Addressing issues and towards sustainable development. Renewable and Sustainable Energy Reviews 13(2), February 2009: 420 – 427.
Teoh, C.H. 2010. Persoalan Keberlanjutan Kunci dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit. International Finance Corporation, The World Bank.
Tryfino. 2006. Potensi dan Prospek Industri Kelapa Sawit. Economic Review No. 206 Desember 2006: 1 – 7.
USAID. 2009. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil Untuk Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN).
USDA. 2009. Indonesia: Palm Oil Production Prospects Continue to Grow. Foreign Agricultural Service. United States Department of Agriculture, USA.
USDA. 2010. Indonesia: Rising Global Demand Fuels Palm Oil Expansion. Commodity Intellegence Report, 8 Oktober 2010.
Weng, C.K. 2005. Best-Developed Practices and Sustainable Development of The Oil Palm Industry. J. of Oil Palm Research No. 17: 124 – 35.
Widodo, K.H., A. Abdullah, K.P.D. Arbita. 2010. Sistem Supply Chain Crude-Palm-Oil Indonesia dengan Mempertimbangkan Aspek Economical Revenue, Social Welfare dan Environment. Jurnal Teknik Industri, Vol. 12 (1) Juni 2010: 47−54
Wigena, I.G.P., H. Siregar, Sudradjat dan S.R.P. Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Jurnal Agroekonomi 27 (1) Mei 2009: 81 – 108.
World Growth. 2009. Palm Oil - The Sustainable Oil. A Report by World Growth. September 2009.
220
Lampiran 1. Hasil Pembobotan dengan Metode MPE
No Faktor Bobot Peringkat
1 Sarana prasarana 4.750 1 2 SDA 4.000 5 3 Investasi 4.400 3
221
4 status kepemilikan lahan 2.250 13 5 SDM 4.650 2 6 sistem informasi 2.600 11 7 Teknologi dan Produktivitas 4.050 4 8 Ketersediaan lahan 3.400 8 9 Pengolahan limbah 3.150 9 10 Bentuk pola usaha 2.250 12 11 Sistem tataniaga TBS 3.050 10 12 Sistem tataniaga produk 3.550 7 13 Sistem tataniaga bibit 3.750 6
Lampiran 2. Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE
No Faktor Bobot Peringkat
1 Direktur PTPN 4.750 1
2 Deperindag 4.350 3
222
3 Dirjen Perkebunan 4.350 4
4 Tokoh Masyarakat 2.250 11
5 Petani 4.600 2
6 Pengusaha 4.000 6
7 Tengkulak 2.400 9
8 Kelembagaan 4.150 5
9 Perkebunan rakyat 2.750 8
10 Tenaga kerja Agroindustri 2.250 10
11 Tenaga kerja perkebunan 3.150 7
DATA MPE UNTUK BOBOT AKTOR
Direktur PTPN
Deperindag
Dirjen Perkebunan
Tokoh M asyarakat
PetaniPengusaha
Tengkulak
Kelembagaan
Perkebunan rakyat
Tenaga kerja Agroindus tri
Tenaga kerja perkebunan
DATA MPE UNTUK BOBOT AKTOR