isi pertusis

46
PRESENTASI KASUS Pertusis Pembimbing : Letkol Ckm dr. Roedi Djatmiko, Sp.A Disusun oleh : Desi Megafini 1410221055 KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Upload: pebinscribd

Post on 11-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

isi pertusis

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Pertusis

PRESENTASI KASUS

Pertusis

Pembimbing:

Letkol Ckm dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Disusun oleh:

Desi Megafini

1410221055

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA

RUMAH SAKIT TENTARA Tk. II Dr. SOEDJONO MAGELANG

Page 2: Isi Pertusis

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Desi Megafini

NIM : 1410221055

Fakultas : Kedokteran Umum

Tingkat : Universitas Pembangunan Nasional Veteran

Jakarta

Bidangpendidikan : Ilmu Kesehatan Anak

Judul : PertusisPembimbing : Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Mengetahui :

Pembimbing

Letkol Ckm dr. Roedi Djatmiko, SpA

Page 3: Isi Pertusis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu

penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun

1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella

pertussis.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan

anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa

masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada

bayi atau anak yang belum diimunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena

menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian

dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka

kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi pertusis diharapkan tidak ditemukan lagi.

WHO menyaranan sebaiknya anak pada usia satu tahun telah

mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan 2 dosis booster. Di

Indonesia, penyakit ini menempati urutan ketiga penyebab kematian pada anak

balita. Pada pelaksanaannya program imunisasi pertusis masih banyak hambatan,

mengingat secara geografis Indonesia terdiri dari beribu pulau dan fasilitas

kesehatan yang kurang memadai, sedangkan syarat mutlak keberhasilan program

adalah tingginya presentase populasi target yang harus dicakup yaitu sebesar 80%

atau lebih, sehingga sirkulasi patogen dapat diputuskan.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, manifestasi klinis, foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang

lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan

Page 4: Isi Pertusis

cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang

lebih lanjut.

Page 5: Isi Pertusis

BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. DK

Umur : 1 tahun

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jetis Pesidi, RT 02/ RW 07, Pesidi, Kec. Grabag

TanggalMasuk Poli : 19-08-2015

TanggalMasuk Bangsal : 19-08-2015

ANAMNESA

Anamnesa dilakukan secara alloanamnesis terhadap pasien pada tanggal 19-07-2015, pukul 11.30 wib di Bangsal Flamboyan RST Dr. Soedjono.

a. KeluhanUtama

Pasien datang ke Poliklinik anak RST Dr. Soedjono, dengan keluhan Batuk berdahak sejak 1 bulan SMRS

b. KeluhanTambahan

Sesak napas, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, pilek (+)

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Berdasarkan alloanamnesis dari Ibu pasien, Pasien anak Perempuan

berusia 1 tahun datang ke Poliklinik Anak RST Dr. Soedjono dengan keluhan

Batuk sejak 1 bulan SMRS, batuk berbunyi keras terdapat banyak dahak tapi sulit

di keluarkan, batuk hilang timbul tetapi sering terjadi, terutama pada malam hari

Page 6: Isi Pertusis

dan batuk semakin parah sehingga pasien tidak dapat tidur, selama batuk pasien

sering terlihat kesulitan bernafas sampai wajah dan mulut membiru, diakhir batuk

sering disertai muntah berisi susu atau makanan. Saat batuk mereda pasien terlihat

sesak napas. Karena keluhan batuk, nafsu makan pasien menurun sehingga berat

badan pasien menurun. Awalnya keluhan ini bermula seperti batuk pilek biasa

disertai demam yang sembuh bila diberi obat warung dan obat tradisional, tetapi

lama kelamaan batuk semakin sering dan semakin parah. BAB dan BAK normal.

Kejang (-).

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien tidak memiliki riwayat alergi, asma, maupun riwayat batuk-

batuk dalam jangka waktu yang lama sebelumnya, kejang. Pasien belum pernah

mendapat perawatan di rumah sakit, dan tidak pernah mengalami gejala serupa.

RIWAYAT PENGOBATAN

Diberikan obat penurun panas bodrexyn anak, serta obat tradisional

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada riwayat penyakit yang sama di dalam keluarga. Riwayat asma,

batuk lama maupun alergi disangkal oleh kedua orang tua pasien.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

1. Kehamilan

a. Perawatan Antenatal : Kontrol ke bidan dua kali selama

kehamilan

b. Penyakit Kehamilan : Tidak ada

2. Kelahiran

a. Penolong Persalinan : Bidan

b. Cara Persalinan : Spontan

Page 7: Isi Pertusis

c. Masa Gestasi : 40 minggu

d. Riwayat Kelahiran

i. Berat Badan : 2800 gram

ii. Panjang Badan Lahir : 48 cm

iii. Lingkar kepala : --

iv. Langsung Menangis : Ya

v. Kelainan Bawaan : Tidak ada

e. Riwayat Perkembangan

i. Pertumbuhan gigi pertama : 9 bulan

ii. Psikomotor :

- Tengkurap : 5 bulan

- Duduk : 7 bulan

- Berdiri : 10 bulan

- Berjalan : 15 bulan

- Bicara : 12 bulan

iii. Perkembangan pubertas: Belum ada

iv. Perkembangan sosial : Pasien dapat berespon dan

interaksi denngan kedua orangtua, seperti tersenyum,

berbicara sepatah kata.

v. Gangguan Perkembangan: Perkembangan sesuai usia

vi. Kesan perkembangan : Baik

Page 8: Isi Pertusis

A. Riwayat Imunisasi

VAKSIN

DASAR

(Umur)

ULANGAN

(Umur)

BCG Lahir - - - - -

DPT/DT - - - - - -

Polio - - - - - -

Campak - - - - - -

Hep B - - - - - -

PCV - - - - - -

Influenza - - - - - -

MMR - - - - - -

Tifoid - - - - - -

Hep A - - - - - -

Varisela - - - - - -

HPV - - - - - -

Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap karena kurangnya pengetahuan

orang tua.

Page 9: Isi Pertusis

B. Riwayat Makanan

UMUR

(Bulan)ASI/PASI

BUAH

BISKUIT

BUBUR

SUSUNASI TIM

0-2 ASI + PASI - - -

2-4 ASI + PASI - - -

4-6 ASI + PASI - - -

6-8 ASI + PASI √ - -

8-10 ASI + PASI √ √ √

10-12 ASI + PASI √ √ √

JENIS MAKANAN FREKUENSI & JUMLAHNYA

Nasi/Pengganti 3x/hari

Sayur 2x/hari

Daging Ayam : 2x/minggu

Telur 4x/minggu

Ikan 3-4x/minggu

Tahu 1x/hari

Tempe 1x/hari

Susu -

Page 10: Isi Pertusis

K

E

Kesan:

ASI eksklusif terpenuhi

Makanan sehari-hari baik secara kuantitas namun kurang secara

kualitas.

Data Keluarga

AYAH/WALI IBU/WALI

Page 11: Isi Pertusis

Perkawinan ke 1 1

Umur saat menikah 23 18

Kosanguinitas - -

Keadaan kesehatan/penyakit bila ada Sehat Sehat

Data Perumahan

a. Kepemilikan rumah : Rumah sendiri

b. Keadaan rumah :

Keluarga pasien tinggal di rumah mereka sendiri, dalam satu rumah

terdapat 3 kepala keluarga dengan luas bangunan ± 100 M2 terdiri 3

kamar tidur dan 1 kamar mandi. Jendela tidak terdapat di setiap

kamar. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah. Didepan

rumah terdapat kolam ikan ukuran 3m x 6m, yang jarang dikuras.

Serta terdapat kandang ayam dibelakang rumah dekat kamar mndi.

Untuk konsumsi air sehari-hari meliputi minum dan mandi,

keluarga pasien menggunakan air PDAM. Keluarga

mengkonsumsi air dari yang dimasak.

c. Keadaan lingkungan:

Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk. Jarak rumah pasien

ke tempat pembuangan sampah tidak terlalu jauh. Didepan rumah

pasien terdapat parit yang kadang sering tersumbat.

PEMERIKSAAN FISIK

Page 12: Isi Pertusis

Tanggal: 19-08-2015

a. Status Generalis

KeadaanUmum :Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

N :156 x/menit, reguler, volume cukup, equalitas sama kanan dan kiri

R : 32 x/menit

S : 36,6o C

BB : 6,6 Kg

TB : 65 cm

KepalaBentuk : NormocephalRambut : Kemerahan, tidak mudah dicabut

Mata Palpebra : Edema –/–Konjungtiva : Anemis–/–Sklera : Ikterik–/–

Pupil : Bulat, isokorRefleksCahaya : +/+ Cekung: -/-

TelingaBentuk :Normal/Normal Liang : LapangMukosa:Tidakhiperemis

Serumen : –/–MembranTimpani:Intak/Intak

 Hidung

Bentuk : Normal Deviasi Septum :–Sekret : –/–Concha : Hipertrofi–/–, hperemis–/–, oedem–/–

 Mulut

Bibir : kering, sianosis saat batuk (+)

Lidah : DBN

Tonsil : T1–T2tenangMukosa Faring: Hiperemis (-)

LeherKGB : Tidak terdapat pembesaran

Page 13: Isi Pertusis

Kel. Thyroid : Tidak terdapat pembesaran

 ThoraksParu

- Inspeksi : Hemithorax kanan-kiri simetris dalam keadaan statis dan dinamis. Retraksi supraklavikula (+)

- Palpasi : Fremitus taktil dan vocal kanansama dengan kiri- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru- Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki +/+, wheezing –/–

JantungInspeksi : Ictus cordis tidak terlihatPalpasi : Ictus cordis tidak terabaPerkusi : Jantung dalam batas normal Auskultasi : BJ I–BJ II reguler, murmur (–), gallop (–)

 Abdomen Inspeksi : kembung, simetrisAuskultasi : Bising usus(+) normal Palpasi : Supel, nyeri tekanPerkusi : Timpani

EkstremitasAtas

Akral : HangatSianosis : (–)

Perfusi : BaikEdema : (–)

BawahAkral : HangatSianosis : (-) Perfusi : Baik Edema : (-)

Parameter Result Normal Range AlarmsWBC 6.4 K/Ul 4.0 – 12.0 L3

LYM # 2.6 K/Ul 1.0 – 5.0 L4

Page 14: Isi Pertusis

MID # 0.5 K/Ul 0.1 – 1.0GRA # 3.3 K/Ul 2.0 – 8.0

LYM % 39.8 % 25.0 – 50.0MID % 8.5 % 2.0 – 10.0GRA % 51.7 % 50.0 – 80.0

RBC 4.41 M/ul 4.00 – 6.20 R1HGB 10.2 g/dl 11.0 – 17.0HCT 33.4 % 35.0 – 55.0MCV 75.7 Fl 80.0 – 100.0MCH 23.1 pg 26.0 – 34.0

MCHC 30.5 g/dl 31.0 – 35.5RDW 13.7 % 10.0 – 16.0PLT 367 K/ul 150 – 400MPV 7.0 fl 7.0 – 11.0PCT 0.26 % 0.20 – 0.50PDW 15.7 % 10.0 – 18.0

PEMERIKSAAN LABORATORIUMLaboratorium 24 – 08 - 2015 WIB

Page 15: Isi Pertusis

Hasil pemeriksaan radiologi

Thorax AP view:

- Infiltrat perihiller dan paracardial bilateral terutama dextra mengarah proses spesifik- Perselubungan semiopak relatif homogen di suprahiller dextra susp. Pneumonia dd thymus

prominent- Konfigurasi cor normal- Sistema tulang intact

DIAGNOSIS KERJA

Pertusis

Pneumonia

DIAGNOSIS BANDING

Bronkiolitis

Tuberkulosis

Page 16: Isi Pertusis

PLAN TERAPI

Inf D5 ¼ NS 600 ml/24 jam

Fixacep 2x1 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fartolin 1 + NaCl 1 ½ 3x1

PLAN

Cek darah lengkap

FOLLOW UP

Hari/Tanggal/ HasilPemeriksaan InstruksiDokter

19/08/2015 S : Batuk sejak 1 bulan yll, dahak (+) sulit dikeluarkan, jika batuk kambuh wajah dan mulut membiru, peurunan berat badan, sesak (+)

O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM VS :

R : 32 x/menitS : 36,6 CHR: 156 x/m

Kepala : normochepalMata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis,

retraksi (-) Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+, Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (+)Cor : SI>S2 regular, murmur (–), gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

A :Bronkopneumonia

Therapy:

Inf D5 ¼ NS 600

ml/24 jam

Fixacep 2x1 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fartolin 1 +

NaCl 1 ½ 3x1

Cek DL

+ ++ +

– –– –

Page 17: Isi Pertusis

20/08/2015 S :Batuk berdahak masih seperti kemarin belum mereda. Saat batuk, mulut dan muka masih sering biru. Sehabis nebu, keluhan mereda, kemudian muncul lagi. Sudah 2 kali nebu. Demam (-), BAB (+) normal, BAK (+) normal, makan minum (sulit)

O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM VS :

R : 28 x/menitS : 37,1 CHR: 160 x/m

Kepala : normochepalMata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis,

retraksi (-) Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+, Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (+)Cor : SI>S2 regular, murmur (–), gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

A :Bronkopneumonia

Therapy:

Inf D5 ¼ NS 600

ml/24 jam

Fixacep 2x1 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fartolin 1 +

NaCl 1 ½ 3x1

Foto Thorax

21/08/2015 S : Batuk belum mereda, batuk terus-menerus sehingga pasien tidak tidur, dhak bisa keluar. Sudah nebu 5 x. Jika batuk, mulut kebiruan, sesak saat batuk. Muntah (+), nakan minum sulit. BAB (+) normal, BAK (+) normal

O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM VS :

R : 28 x/menitS : 37,4 CHR: 160 x/m

Kepala : normochepal

Therapy:

Inf D5 ¼ NS 600

ml/24 jam

Fixacep 2x1 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fartolin 1 +

NaCl 1 ½ 3x1

– –– –

+ ++ +

Page 18: Isi Pertusis

Mata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis,

retraksi (-) Pulmo : Suaranafasvesikuler +/+, Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (+)Cor : SI>S2 regular, murmur (–), gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

Px. Foto thotax:

- Infiltrat perihiler dengan paracardiac bilateral, terutama dekstra mengarah ke proses spesifik

- Perselubungn semiopak relatif homogen di suprahiller dekstra, susp. Pneumonia dd thymus prominent

A :Bronkopneumonia

22/08/2015 S :Batuk bekum mereda, terus-menerus, kebiruan, sesak (+), susah tidur, pilek (+). Muntah (-), makan minum (+), BAB (+), BAK (+)

O: KU/KS : tampak sakit sedang / CM VS :

R : 28 x/menitS : 36,8 CHR: 152 x/m

Kepala : normochepalMata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis, Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (-)Cor : SI>S2 regular, murmur (–),

Therapy:

Inf D5 ¼ NS 600

ml/24 jam

Fixacep 2x1 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fartolin 1 +

NaCl 1 ½ 3x1

+ ++ +

– –– –

Page 19: Isi Pertusis

gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

A :Pertusis

23/08/2015 S :Batuk terus-menerus hingga muntah 2x. Tidak disertai kebiruan pd mulut saat batuk. Sesak sudah mereda. Demam (-), BAB (+), BAK (+). Makan minum (normal)

O: KU/KS : tampaksakitsedang / CM VS :

R : 28 x/menitS : 37,1 CHR: 140 x/m

Kepala : normochepalMata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis, Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Rh +/+ , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (-)Cor : SI>S2 regular, murmur (–), gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

A :Pertusis

Therapy:

Azomax 1x1,4 ml

Mucos 2x1 ml

Nebulizer fentolin 1

ml + NaCl 1 ½ ml 3x1

24/08/2015 S :Batuk terus-menerus hingga muntah 1x. Tidak disertai kebiruan pd mulut saat batuk. Sesak (-). Demam (-), BAB (+), BAK (+). Makan minum (normal)

O: KU/KS : tampak sakitsedang / CM VS :

R : 28 x/menitS : 36,7 C

Therapy:

Azomax 1x1,4 ml

Mucos 2x1 ml

+ ++ +

– –– –

+ ++ +

– –– –

Page 20: Isi Pertusis

HR: 144 x/mKepala : normochepalMata : CA –/–, SI –/–Hidung: rinorhe (-) Thorax : Simetris, statis&dinamis, Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Rh -/- , Wh -/-. Retraksi supraklavikula (-)Cor : SI>S2 regular, murmur (–), gallop (–)Abdomen: BU (+) normal, nyeritekan

(-)Ekstremitas : akralhangatedem

A :Pertusis

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

+ ++ +

– –– –

Page 21: Isi Pertusis

PERTUSIS

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan

di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah

pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping

cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).

Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit

infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang

belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,

terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian

disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan

kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas

penyakit ini mulai menurun.

B. Angka Kejadian

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta

kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin

tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak

di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi

kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun. Dalam

satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian

kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua

golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun (balita), umur penderita termuda

ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki

dengan perbandingan 0.9:1. Namun berdasarkan (Farizo, 1992), perbandingan insidensi

antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan

proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama

sampai 27%.

Page 22: Isi Pertusis

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis melalui droplet,

manusia merupakan satu – satunya pejamu pertusis. Anak akan menjadi infeksius selama 2

minggu sampai 3 bulan setelah terjadi penyakit. Imunisasi sangat mengurangi angka kejadian

dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara dimana imunisasi belum

merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak

berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai

digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat

pada tahun 1976.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk mencegah

bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat ditemukan dari

ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan

pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan pertussis karena biakan

nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa reinfeksi alamiah dengan

B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih

rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. Bordotella pertusis ini mengakibatkan

suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan batuk

paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil berbentuk

pleomorfik dan tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak

bergerak. Rata-rata masa inkubasi sekitar 6 hari. Bisa didapatkan dengan swab pada daerah

nasofaring penderita pertusis dan kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou. Ada

enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B.

holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling

umum ditemukan pada manusia.

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi pada gen

virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin klasifikasi sebagai

spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP),

protein virulen yang utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen klabil

panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara

geografis dan sesuai waktu.

Page 23: Isi Pertusis

B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak sarinya

dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan

aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan FIM3), dan

protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan

terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan.

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan

organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara

dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala pernafasan dan

mempermudah penyerapan TP.

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas histamine,

sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik

penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang percobaan dangan

pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa memainkan peran sentral

tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis.

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/

Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada

silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar

ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis

tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan

toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya

berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada

daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag

ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis

protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel

Page 24: Isi Pertusis

target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan

serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan

menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid

peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus

pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan

menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat

ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai

kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder

sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi

yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi:

5-10 hari, rata-rata 7 hari dan dapat memanjang hingga 21 hari. Gejala timbul dalam waktu 7-

10 hari setelah terinfeksi, yaitu demam, batuk serta kelar cairan hidung yang secara klinik

sulit dibedakan dari bauk pilek biasa. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan

saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak

Tahap Kataral (prodormal, preparoksimal):

Gejala umum infeksi saluran napas atas, injeksi dan peningkatan sekret nasal, dapat disertai

demam ringan. Penyakit ini sangat infeksius pada fase-fase awal. Batuk (pada awalnya hanya

timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)

Tahap Paroksismal (spasmodik):

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal). Selama 1-6 minggu

atau > 3 bulan. Batuk keras terus-menerus di awali inspirasi panjang disebut Whoop,

selanjutnya diikuti batuk saat ekspirasi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir

Page 25: Isi Pertusis

vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di

hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangkaian

kejadian ini dinamakan Whooping cough Syndrome, karena sulitnya membuang mukus tebal

yang menempel pada epitel saluran napas. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan

kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas), sianosis, kejang e.c

hipoksia serta tersedak lebih sering terjadi. Pada keadaan yang parah perdarahan

subkonjungtiva dapat terjadi.

Tahap Konvalesen (penyembuhan):

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah

juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan,

biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. Dengan demikian total lama penyakit 6-10 minggu.

F. Diagnosis

Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya,

faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi. Menurut

Buku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, curiga pertusis jika anak batuk berat lebih

dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. Tanda diagnostik yang paling

berguna.

1. Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah

2. Perdarahan subkonjungtiva

3. Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis

4. Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya

napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk

5. Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 / UI dengan

limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada

bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis juga

terjadi pada infeksi lain.

Page 26: Isi Pertusis

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis.

Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3

dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya

infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum

IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon

imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes

yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak setelah

pertussis. Selain pemeriksaan yang telah disebutkan, uji immunofluorescent atau pemeriksaan

polymerase chain reaction (PCR) mungkin dapat dijadikan sebagai alat untuk diagnosis

pertusis.

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau

emfisema. Pemeriksaan radiologi bermanfaat untuk mendeteksi komplikasi paru atau infeksi

sekunder, bukan untuk diagnosis pertusis.

G. Diagnosis Banding

Infeksi virus RSV (respiratory syncytial virus), parainfluenza, Klebsiella sp. Atau C. Pneumonia (pada bayi).

Infeksi M. Pneumonia yang menyebabkan bronkitis kronis (pada anak besar atau remaja).

H. Tatalaksana

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.

Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan penunjang. Umur < 6 bulan dirawat di rumah sakit, demikian juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan.

Page 27: Isi Pertusis

Antibiotik

Beri eritromisisn peroral 12,5 mg/kgBB/kali terbagi menjadi 4 dosis, diberikan selama 10 hari atau diberikan 40-50 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 4 dosis, diberikan selama 14 hari. Pemberian antibiotik ini apabila diberikan pada stadium kataralis dapat memperpendek periode penularan tetapi tidak memperpendek lamanya sakit teteapi menurunkan memperpendek periode infeksius.

Alternatif: trimetoprim-sulfametoksasol (TMP-SMZ) 6-8 mg/kgBB/hari PO, terbagi menjadi 2 dosis (maksimal 1 gram).

Oksigen

Beri oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti napas atau batuk paroksismal berat. Gunakan nasal prongs, jangan kateter nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk. Selalu upayakan agar lubang hidung bersih dari mukus agar tidk menghambat aliran oksigen.

Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang disebutkan di atas tidak ada lagi Perawat memeriksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal prongs berada pada posisi

yang benar dan tidak tertutup oleh mukus dan bahwa semua sambungan aman.

Tatalaksana jalan napas

Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret.

Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati

Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen

Perawatan penunjang

Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan dan penggunaan NGT.

Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif, mukolitik atau antihistamin Obat antitusif dapat diberikan bila batuk amat sangat mengganggu Jika anak demam ≥ 39 oC yang dianggap dapat menyebabkan distres berikan

parasetamol Beri ASI atau cairan per oral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik

dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernapasan, berikan cairan rumatan IV untuk menghindari risiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rangsang batuk. Berikan nutrisi yang adekuat dengan pemberian makanan porsi kecil dan sering. Jika penurunan berat badan terus terjadi, beri makanan melalui NGT.

Page 28: Isi Pertusis

Pemantauan

Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari. Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan apnea., serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan oksigen. Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Juga ajarkan orangtua untuk mengenali tanda serangan apnea dan segera memanggil perawat bila ini terjadi.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.

I. Komplikasi

Pneumonia. Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat. Tatalaksana sesuai pneumonia.

Kejang. Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apneu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin. Jika kejang tidak berhenti selama 2 menit, beri antikonvulsan.

Gizi kurang. Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.

Perdarahan dan hernia. Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus.

Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.

J. Pencegahan

Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan

jarak 8 minggu. Saat anak berusia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan, dilanjutkan booster saat usia

18-24 bulan serta 5 tahun. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis,

difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi

dapat dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7

tahun tidak rutin diimunisasi.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama adolesens infeksi

Page 29: Isi Pertusis

pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi B. pertussis pada

bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol

epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti

eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,

dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko

terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per

oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan

neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga

adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi

pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian

vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang

demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high

picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak

dapat diterangkan C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis. Beri DPT ulang untuk anak yang

sebelumnya telah diimunisasi.

Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu

dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari.

Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin

profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B.

pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi

sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak

tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu

terjadi epidemi.

Beri eritromisin suksinat (12,5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari untuk

setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau tanda lain dari infeksi

saluran pernapasan dalam keluarga.

K. Prognosis

Page 30: Isi Pertusis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio

kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase

rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi

pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %12. Kebanyakan

kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.

BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien didiagnosa Pertusis karena berdasarkan anamnesa serta monitoring pasien selama di bangsal didapatkan gejala batuk keras terus-menerus di awali inspirasi panjang disebut Whoop, selanjutnya diikuti batuk saat ekspirasi. Batuk bisa disertai pengeluaran

Page 31: Isi Pertusis

sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangkaian kejadian ini dinamakan Whooping cough Syndrome, serta terdapat gejala sianosis pada mulut dan wajah pasien. Keluhan ini merupaka ciri khas dari gejala pertusis stadium paroksismal, dan menurut ibu pasien sebelumnya anak hanya mengalami batuk pilek biasa dimana, batuk pilek biasa ini adalah masa inkubasi dari pertusis.

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya respiration rate yang meningkat, pasien sempt demam ringan, yaitu 37,4 0C, didapatkan rhomki pada kedua lapang paru serta retraksi supraklavikula yang menandakan kerja dari otot bantu pernapasan, karena ditemukannya gejala klinis tersebut maka pasien didiagnosis mengalami komplikasi dari pertusis yaitu Bronkopneumonia,salah satu gejala khas terjadinya komplikasi pneumonia pada pertusis adalah terdapat takipnea diantara batuk.

Pasien diberikan terapi Inf D5 ¼ NS 600 ml/24 jam ini dikarnakan pasien sulit makan

dan minum karena keluhan batuk, untuk mencegah dehidrasi. Selain terapi rehidrasi pasien

juga diberikan terapi simptomatik yaitu, Azomax 1x1,4 ml merupakan antibiotik turunan

ertiromisin yang mengandung azithromicun, bekerja dengan menghambat sintesis protein

bakteridengan mengikat ribosom subunti 50s, efektif untuk pertusis. Mucos 2x1 ml

mengandung ambroxol dengan mekanisme kerjanya yaitu mukolitik(mengurangi viskositas

dahak dan sekretolitik. Nebulizer fartolin 1 + NaCl 1 ½ 3x1 ventolin yang mengandung

salbutamol merupakan golongan beta adrenergik agonist meningkatkan jumlah cyclic AMP

yang berdampak pada relaksasi otot polos bronkial serta menghambat pelepasan mediator

penyebab hipersenstivitas.

Kasus ini dapat didiagnosis banding dengan bronkiolitis karena terdapat gejala batuk,

sianosis, muntah setelah batuk serta sesak nafas yang biasanya terjadi pada anak < 2 tahun.

Tetapi bronkiolitis dapat disingkarkan karena pada bronkiolitis terdapat gejala: batuk kering,

wheezing, ekspirasimemanjang serta hiperinflasi inding dada. Kasus ini juga dapat

didiagnosis tuberkulosis karena terdapat gejala batuk kronis, sesak, serta berat badan

menurun. Tetapi diagnosis banding tuberkulosis dapat disingkirkan karena tidak terdapat

riwayat kontak dengan penderita TB, hanya demam ringan, tidak terdapat pembengkakan

kelenjar limfe, foto dada tidak sugestif TB, atau dengan sistem skoring skor 3.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Country Office for Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia, 2009

Page 32: Isi Pertusis

2. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. FKUI. Jakarta

3. Poerwanto, Ignatius. A Papua Infant with Severe Pertusis from The Low Coverage of Imunization. Papua: Medica Hospitalia, 2012

4. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.

5. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

6. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

7. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 163–73.

8. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

9. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

10. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

11. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

12. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

13. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

14. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

15. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

16. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30

Page 33: Isi Pertusis

Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

17. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm