isi kep

51
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurang energi protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun di banyak negara berkembang lainnya. Kekurangan energi protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kekurangan energi protein adalah suatu keadaan dimana berat badan anak kurang dari 80% indeks berat badan menurutumur (BB/U) baku WHO-NCHS yang disebabkan oleh kurangnya zat gizi karbohidrat dan kekurangan protein disertai susunan hidangan yang tidak seimbang. Penyakit akibat kekurangan energi protein ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Marasmik Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya kekurangan energi protein adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama.Bentuk berat darikekurangan energi protein pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem).

Upload: riaramadhanti

Post on 20-Oct-2015

48 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kekurangan energi protein

TRANSCRIPT

29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurang energi protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun di banyak negara berkembang lainnya. Kekurangan energi protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Kekurangan energi protein adalah suatu keadaan dimana berat badan anak kurang dari 80% indeks berat badan menurutumur (BB/U) baku WHO-NCHS yang disebabkan oleh kurangnya zat gizi karbohidrat dan kekurangan protein disertai susunan hidangan yang tidak seimbang.

Penyakit akibat kekurangan energi protein ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik Kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan Marasmik Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya kekurangan energi protein adalah konsumsi yang kurang dalam jangka waktu yang lama.Bentuk berat darikekurangan energi protein pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem).

Faktor yang memiliki kontribusi terhadap gizi kurang pada anak adalah riwayat penyakit infeksi, tingkat pengetahuan ibu yang kurang, tingkat sosial ekonomi keluarga yang rendah, dan asupan kalori serta protein yang kurang, tingkatfrekuensi penyuluhan gizi, pola asuhan, serta kebersihan lingkungan tempat tinggal.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan energi protein merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatnya resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis yang berakibat terhadap berkurangnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang.B. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Umum

Tujuan secara umum dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun di banyak negara berkembang lainnya yaitu kekurangan energi protein.

2. Tujuan Khususa. Menjelaskan tentang definisi kekurangan energi protein.b. Menjelaskan tentang epidemiologi kekurangan energi protein.c. Menjelaskan tentang etiologi dan faktor resiko kekurangan energi protein.d. Menjelaskan tentang klasifikasi kekurangan energi protein.e. Menjelaskan tentang patofisiologi kekurangan energi protein.f. Menjelaskan tentang gejala klinis dan diagnosa kekurangan energi protein.g. Menjelaskan tentang penegakkan diagnosa kekurangan energi protein.h. Menjelaskan tentang komplikasi kekurangan energi protein.i. Menjelaskan tentang penatalaksanaan kekurangan energi protein.j. Menjelaskan tentang follow-up kekurangan energi protein.k. Menjelaskan tentang prognosis kekurangan energi protein.3. Manfaat

Hasil referat ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: untuk mengetahui mekanisme perjalanan penyakit ini bagi penulis dan akan memudahkan penulis untuk mendiagnosa kekurangan energi protein. Untuk meningkatkan pemahaman pembaca tentang masalah gizi terutama pada balita.BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Kekurangan Energi Protein ( KEP ) ialah suatu keadaan yang terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain (Arisman, 2009).Kekurangan energi protein adalah gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan protein dan atau kalori, serta sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain (Pediatrik, 2010).

Kekurangan energi protein adalah kelompok gangguan yang disebabkan oleh berbagai derajat defisiensi protein dan kalori, sendiri atau dalam kombinasi, sering diperburuk oleh stress fisiologik dan lingkungan yang menyertainya. Ini dapat terjadi primer, diantaranya termasuk marasmus, kwashiorkor, dan marasmik kwashiorkor. Penyakit yang mengakibatkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan ( dan / atau kehilangan ) akan zat gizi, dikategorikan sebagai kekurangan energi protein sekunder (Arisman,2009; Dorland, 2002).

WHO mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi dan energi dan kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan melakukan fungsinya. Kekurangan energi protein menunjukkan sekelompok gangguan yang terdiri dari marasmus, kwashiorkor, dan marasmus kwashiorkor (Scheinfeld, 2011)

Sindrom kwasiorkor terjadi manakala defisiensi lebih menampakkan dominasi protein, dan marasmus termanifestasi jika terjadi kekurangan energi yang parah. Kombinasi kedua bentuk ini, marasmik kwasiorkor, juga tidak sedikit, meskipun sulit menentukan kekurangan apa yang lebih dominan (Arisman, 2009).

B. Epidemiologi

WHO (World Health Organization) pada tahun 2000 memperkirakan anak-anak yang menderita kekurangan gizi mencapai 181,9 juta (32%) di negara-negara berkembang. Asia tengah bagian selatan dan Afrika Timur diperkirakan sekitar setengah anak-anak mengalami retardasi pertumbuhan akibat kekurangan energi protein (Scheinfeld, 2011).Berdasarkan SUSENAS (2002) 26% balita di Indonesia menderita gizi kurang dan 8% balita menderita gizi buruk (marasmus, kwashiorkor, dan marasmik kwashiorkor).

Diperkirakan 50% dari 10 juta kematian setiap tahun di negara-negara berkembang terjadi karena kekurangan gizi pada anak-anak dengan usia dibawah 5 tahun (Scheinfeld, 2011).C. EtiologiKekurangan energi protein dapat akibat dari masukan kalori dan protein yang tidak cukup karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital. Gangguan berat setiap sistem tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati kronik (Behrman dkk, 2000).

D. Faktor Resiko

Ada 13 faktor yang kemungkinan melatarbelakangi terjadinya kekurangan energi protein, yaitu: tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, tingkat frekuensi penyuluhan gizi, tingkat kunjungan ke posyandu, riwayat pemberian ASI eksklusif, riwayat imunisasi, riwayat sakit, riwayat pemberian MP-ASI, riwayat kelahiran , pola asupan gizi, pola asuhan, kebersihan lingkungan tempat tinggal (Arisman, 2009).Kemiskinan salah satu determinan sosial ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat pemukiman yang berjejalan, kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Tingkat pendidikan ibu balita yang rendah mempunyai dampak pengetahuan gizi terhadap anak balitanya juga rendah. Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan, menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar. Rendahnya tingkat kunjungan ibu ke posyandu ditambah rendahnya frekuensi penyuluhan tentang gizi dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang susunan makanan yang memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna. Hal lain yangjuga berpotensi menumbuhkan kekurangan energi protein dikalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara menyapih. Pemberian imunisasi secara lengkap dapat meningkatkan reaksi pembentukan kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi sehingga dapat menekan terjadinya gizi kurang pada balita (Arisman, 2009).Komponen biologi yang menjadi latarbelakang kekurangan energi protein, antara lain : malnutrisi ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi dan protein. Balita yang mempunyai riwayat kelahiran prematur dan berat badan lahir kurang dari 2500 gram mempunyai resiko lebih mudah mengalami berbagai kelemahan fisik dan mental ( intelegensia ), serta akan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas karena rentan terhadap infeksi. Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit kekurangan energi protein. Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran nafas kerap menghilangkan nafsu makan (Arisman, 2009).Hampir semua kwashiorkor dipicu oleh infeksi. Bertumpang tindih dengan keadaan defisiensi makanan secara keseluruhan, defisiensi nutrien antioksidan, seperti seng, tembaga, karoten, serta vitamin C dan E dapat ditemukan. Letupan respiratorik sebagai respons terhadap infeki menyebabkan terbentuknya radikal bebas halogen dan oksigen sebagai bagian dari efek sitotoksik makrofag yang terstimulasi. Tambahan stres oksidan ini dapat memicu terjadinya kwashiorkor (Murray dkk, 2009)

.E. Klasifikasi

Gomez ( 1956 ) merupakan orang pertama yang mempublikasikan carapen gelompokan kasus kekurangan energi protein. Klasifikasi kekurangan energi protein menurut Gomez didasarkan pada berat badan terhadap umur ( BB / U ). Berdasarkan sistem ini, kekurangan energi protein diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu derajat I, II, III(Arisman, 2009).

Klasifikasi kekurangan energi protein menurut GomezDerajat KEPBerat badan/usia (%)

I (Ringan)

II (Sedang)

III (Berat)90-76

75-61

90%(0) / 8090%(1)70-80%(2) / < 70% (3)

> 90% ( derajat 0 )

9590% ( derajat 1 )

85-90% ( derajat 2 )

< 85% ( derajat 3 )Normal

Normal

Pendek

PendekKurus

Kurus

Kurus Pendek

Kurus Pendek

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Gizi, EGC; Ilmu Kesehatan Anak Nelson,EGC )Terakhir, departemen kesehatan RI ( 2000 ), berdasarkan temu pakar gizi di Bogor tanggal 19 21 januari dan di Semarang tanggal 24 -26 mei tahun 2000, merekomendasikan baku WHO NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometris di Indonesia. Indikator yang dipakai ialah tinggi dan berat, sementara penyajian indeks digunakan simpangan baku.

Berlainan dengan metode yang digunakan untuk menilai keadaan gizi anak, status gizi remaja dan dewasa ditentukan dengan menggunakan indikator indeks masa tubuh (body mass index/BMI) (Arisman, 2009).Klasifikasi kekurangan energi protein menurut Depkes 2000

IndeksSimpangan bakuStatus gizi

BB / U 2 SD

-2 SD sampai +2 SD

< -2 SD sampai 3 SD

< -3 SDGizi lebih

Gizi baik

Gizi kurang

Gizi buruk

TB / UNormal

Pendek-2 SD sampai +2 SD

< -2 SD

BB / TB 2 SD

-2 SD sampai +2 SD

< -2 SD sampai -3 SD

< -3 SDGemuk

Normal

Kurus

Sangat kurus

( Sumber : Buku Ajar Ilmu Gizi, EGC )F. PatofisiologiPerubahan patofisiologi terkait dengan gizi dan defisit energi dapat digambarkan sebagai berikut: perubahan komposisi tubuh, perubahan metabolik, dan perubahan anatomi (Rabinowitz, 2009).

Perubahan komposisi tubuh

Massa tubuhSecara signifikan menurun dengan cara yang berbeda-beda (Rabinowitz, 2009).

Massa lemakPersediaan lemak dapat menurun rendah hingga 5% dari berat total tubuh dan secara makroskopik tidak terdeteksi. Lemak yang tersisa biasanya disimpan di lemak menghasilkan perlemakan hati. Kolesterol total, low density lipoprotein (LDL), dan high density lipoprotein (HDL) secara signifikan meningkat pada kwashiorkor dibandingkan pada marasmus (Rabinowitz, 2009).

Cairan tubuhProporsi dari kandungan air dalam tubuh meningkat seiring dengan meningkatnya keparahan kekurangan energi protein. Proporsi cairan ekstrasel juga meningkat dan menyebabkan terjadinya edema (Rabinowitz, 2009). Massa proteinMassa protein dapat menurun hingga 30% pada kondisi yang parah. Serat otot menipis, sel otot atrofi, dan jaringan otot berinfiltrasi dengan jaringan lemak dan jaringan ikat (Rabinowitz, 2009). Massa organ lainnyaHepar, pankreas, dan traktus digestif merupakan organ yang pertama berpengaruh dibandingkan dengan otak, tulang, dan ginjal (Rabinowitz, 2009). Perubahan psikologi pada anak dan orang dewasaPerubahan psikologis pada bayi dan anak berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai contoh, bayi dengan marasmus punya kecenderungan yang tinggi terhadap hipotermia dan hipoglikemia. (Rabinowitz, 2009)Perubahan metabolik

Secara keseluruhan perubahan metabolik yang terjadi pada marasmus sama dengan yang terjadi pada kelaparan. Tujuan utama perubahan metabolik ini adalah untuk mempertahankan energi yang adekuat menuju ke otak dan organ vital lainnya. Reaksi glukoneogenesis berperan penting dalam peningkatan laju metabolik. Sama seperti keadaan pada saat puasa, glukoneogenesis ditekan untuk meminimalkan kerusakan protein otot, dan keton yang berasal dari lemak menjadi sumber energi bagi otak (Rabinowitz, 2009).

Kekurangan makanan yang kronis menyebabkan laju metabolisme basal menurun. Salah satu penyesuaian utama yang berlangsung lama pada defisiensi energi adalah menurunnya laju pertumbuhan. Kekurangan nutrisi dapat merusak kemampuan organisme untuk memobilisasi substrat untuk merespon stres (Rabinowitz, 2009).

Metabolisme energi

Dengan berkurangnya asupan energi, penurunan aktifitas fisik terjadi seiring dengan semakin melambatnya laju pertumbuhan. Penurunan berat badan awal mulanya karena adanya penurunan massa lemak dan sesudah itu terjadi penurunan massa otot yang dapat diukur dari perubahan lingkar lengan atas. Kehilangan massa otot mengakibatkan penurunan pengeluaran energi. Berkurangnya metabolisme energi dapat mengganggu respon dari tubuh pada perubahan suhu lingkungan yang mengakibatkan meningkatnya resiko hipotermia. Selama infeksi, demam cenderung berkurang dibandingkan dengan infeksi pada orang normal. Dalam kasus kekurangan gizi ini. Metabolisme lebih diarahkan untuk fungsi vital (diperlukan 80-100kkal/kgBB/hari) (Rabinowitz, 2009).

Metabolisme protein

Absorpsi intestinal terhadap asam amino dipertahankan meskipun terjadi atrofi pada mukosa intestinal. Pergantian protein menurun (mencapai 40% pada keadaan yang parah), dan mekanisme hemat protein diatur oleh hormon kompleks yang mengontrol redirect asam amino ke organ-organ vital. Asam amino dibebaskan dari katabolisme otot dan kemudian diolah oleh hepar untuk proses sintesis dari protein esensial. Total plasma protein termasuk albumin cenderung menurun (hipoalbuminemia) sedangkan gamma globulins meningkat (Rabinowitz, 2009).

Albumin

Konsentrasi albumin yang kurang dari 30 g/L sering dianggap sebagai penyebab terjadinya edema akibat dari penurunan tekanan onkotik. Hasilnya hipoalbuminemia terkumpul di cairan ekstrasel dan menimbulkan edema piting. Edema ini disebabkan oleh penurunan protein plasma akibat kegagalan untuk menghasilkan protein dalam jumlah yang cukup menimbulkan penurunan tekanan osmotik koloid plasma dan terjadi peningkatan filtrasi kapiler di seluruh tubuh. Konsentrasi prealbumin menurun dengan menurunnya asupan protein dan dengan cepat meningkat dalam beberapa hari dengan rehabilisasi nutrisi yang sesuai (Rabinowitz, 2009; Guyton&Hall, 2008).

Metabolisme karbohidrat

Kadar glukosa pada awalnya rendah, dan cadangan glikogen habis. Pada tingkat tertentu intoleransi glukosa tidak jelas penyebabnya, kemungkinan terkait dengan resistensi perifer insulin atau hipokalemia (Rabinowitz, 2009).

Metabolisme lemak

Mobilisasi cadangan lemak untuk metabolisme energi terjadi dibwah kontrol hormon adrenalin dan hormon pertumbuhan. Kadar lipid darah biasanya rendah, dan disregulasi dari metabolisme lipid dapat terjadi, sering pada kwashiorkor namun jarang pada marasmus (Rabinowitz, 2009).

Perubahan Anatomi

Traktus digestif

Seluruh saluran pencernaan dari mulut hingga rektum sangat dipengaruhi. Permukaan mukosa menjadi lembut dan tipis, dan fungsi sekresi nya terganggu. Menurunnya ekskresi asam lambung (HCl) dan melambatnya gerak peristaltik dapa menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan bakteri di dalam duodenum (Rabinowitz, 2009).

Sistem endokrin

Terjadi banyak penyesuaian pada hormon tiroid, insulin, dan hormon pertumbuhan. Pada keadaan stres, respon adrenergik diaktifkan (lihat gambar dibawah) (Rabinowitz, 2009).

(Rabinowitz, 2009)Protein otot diubah menjadi asam amino dan digunakan untuk sintesis hepatik dari lipoprotein. Lipoprotein ini bertugas untuk mengangkut trigliserida dari hepar. Pada kwashiorkor, fungsi itu terganggu dan menyebabkan degenerasi lemak di hati dan terjadi perlemakan hati dan hepatomegali (Rabinowitz, 2009). Sistem hematopoietik

Gambaran anemia normokrom dan sedikit hipokrom selalu terjadi dengan sel darah merah yang berukuran normal. Defisiensi besi dan folat, parasit usus, malaria, dan infeksi kronis lainnya dapat memperburuk anemia (Rabinowitz, 2009).

Sistem imun

Gangguan sistem imun biasanya terkait pada marasmus. Atrofi timus merupakan manifestasi dari marasmus tetapi limfosit T dapat berpengaruh. Imunitas seluler sangat berpenaruh dengan karateristik anergi tuberkulin. Pada marasmus dapat terjadi defisiensi imun dengan penurunan sekresi immunoglobulin A (IgA) dan terganggunya sistem pertahanan non spesifik seperti produk limfokin (Rabinowitz, 2009).

Sistem saraf dan otak

Atrofi otak dengan kerusakan fungsi serebral hanya terjadi pada bentuk marasmus yang sangat berat. Pengaruh terhadap otak sangat penting jika malnutrisi terjadi pada tahun pertama kehidupan atau selama kehidupan janin (Rabinowitz, 2009).

Sistem kardiovaskuler

Serat otot jantung tipis, dan kontraksi myofibril terganggu. Cardiac output terutama fungsi sistolik menurun. Bradikardia dan hipotensi sering terjadi pada penderita malnutrisi yang parah. Dengan metabolisme yang cepat, perubahan energi dan elektrolit pada fase awal renutrisi merupakan fase yang beresiko tinggi terjadinya aritmia (Rabinowitz, 2009).Kekurangan energi protein juga meliputi tidak adekuatnya asupan nutrisi esensial lainnya seperti vitamin A, vitamin C, dan vitamin E yang menyebabkan rambut rontok. Serum besi yang rendah menyebabkan ulserasi kulit pada beberapa pasien. Serum besi juga berhubungan dengan timbulnya edema dan pertumbuhan terganggu (Scheinfeld, 2011).G. Gejala dan tanda KlinisMarasmus biasanya berkaitan dengan masukan kalori yang tidak cukup karena diet yang tidak cukup. Sementara kwasiorkor terkait dengan defisiensi protein berat dan masukan kalori tidak cukup (Behrman dkk, 2000).

Perbedaan antara kedua bentuk kekurangan energi protein berat, termasuk bentuk antaranya (Marasmik Kwasiorkor ) ini dapat pula ditentukan dengan menggunakan skor yang dipaparkan sebagai berikut:Pemberian skor pada kekurangan energi protein berat ( McLaren )Tanda yang adaTetapan

Edema

Dermatosis

Edema + Dermatosis

Perubahan rambut

Hepatomegali3

2

6

1

1

Serum albumin

< 1,00

1,00-1,491,50-1,992,00-2,492,50-2,993,00-3,493,50-3,99> 4,00Protein total (g/100cc)

( < 3,25 )( 3,25-3,99 )( 4,00-4,74 )( 4,75-5,49 )( 5,50-6,24 )( 6,25-6,99 )( 7,00-7,74 )( > 7,75 )7

6

5

4

3

2

1

0

( Sumber : Buku Ajar Ilmu Gizi, EGC )Skor 0 3 = marasmusSkor 4 8 = marasmik kwasiorkorSkor 9 15 = kwasiorkorMarasmusPada mulanya, ada kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan. Gambaran penderita marasmus dapat terwakili dalam istilah tulang terbalut kulit jaringan lemak bawah kulit ( nyaris ) lenyap, otot mengecil. Berat badan penderita marasmus biasanya hanya sekitar 60 % dari berat yang seharusnya. Kulit kering, tipis, tidak lentur serta mudah berkerut karena lemak subkutan hilang. Rambut tipis, jarang, kering, tanpa kilat normal dan mudah dicabut tanpa menyisakan rasa sakit. Penderita terlihat apatis, meskipun biasanya tetap sadar, dan menampakkan gurat kecemasan. Tanda tanda itu, disokong dengan lekukan pipi dan cekungan dimata, menjelaskan gambaran wajah seperti orang utan atau bahkan kera (Arisman, 2009; Behrman dkk, 2000).

Mula-mula bayi mungkin cerewet (rewel), tetapi kemudian menjadi lesu. Nafsu makan sebagian penderita hilang sama sekali. Sebagian lagi masih dapat mengutarakan rasa lapar, namun jika diberikan sejumlah makanan yang diperkirakan dapat melenyapkan rasa lapar itu, penderita tidak jarang muntah. Memang, jumlah yang diperkirakan ini terlalu banyak bagi mereka dan tidak dapat ditoleransi. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul apa yang disebut diare tipe kelaparan, dengan buang air besar sering, tinja berisi mukus, dan sedikit. Diare menahun dan kelemahan yang menyeluruh sering mendampingi kekurangan energi protein sehingga anak tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibantu (Arisman, 2009; Behrman dkk, 2000).

Suhu biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, tekanan darah rendah, dan angka metabolisme basal cenderung menurun. Dinding perut menegang, sementara kelenjar limfe mudah sekali diraba (Arisman, 2009; Behrman dkk, 2000).

Kwasiorkor

Edema yang jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak, biasanya terjadi di ekstremitas, merupakan gambaran utama kwasiorkor biasanya terjadi di awal penyakit. Rambut kering, rapuh, tidak berkilap, dan mudah dicabut tanpa menimbulkkan rasa sakit. Rambut yang sebelumnya berombak berubah menjadi lurus, sementara pigmen rambut berganti warna menjadi coklat, merah, atau bahkan putih kekuningan. Keberselangan antara asupan protein yang buruk dan (agak) baik membentuk porsi depigmentasi dan gambaran normal pada satu helai rambut sehingga memberi gambaran seperti bendera atau hipokromotrichia (Arisman, 2009; Behrman dkk, 2000).Anoreksia dapat terjadi pada anak, kekenduran jaringan subkutan, dan kehilangan tonus otot. Penderita tampak pucat, tungkai berwarna kebiruan dan teraba dingin. Ekspresi wajah tampak seperti susah dan sedih, disamping letargi, apatis dan iritatif (cengeng). Bila terus maju, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, dan bertambahnya kerentanan infeksi (Arisman, 2009; Behrman dkk, 2000).Marasmik kwasiorkor

Bentuk kelainan ini merupakan gabungan antara kekurangan energi protein yang disertai oleh edema, dengan tanda dan gejala khas kwasiorkor dan marasmus. Gambaran yang utama ialah kwasiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan kwasiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah (Arisman, 2009).H. Penegakkan diagnosaAnamnesis

Diet yang lazim sebelum sakit. Riwayat pemberian ASI. Pangan dan cairan yang disantap beberapa hari sebelum sakit. Riwayat penckungan air mata Lama dan frekuensi muntah atau diare; tampilan muntahan dan tinja cair. Saat terakhir berkemih. Kontak dengan penderita campak dan TBC. Riwayat kematian saudara kandung. Berat badan lahir. Riwayat perkembangan fisik. Riwayat imunisasi(Arisman, 2009).Pemeriksaan fisik

Suhu badan (hipotermia atau demam) Anemia (mukosa pucat) Edema Dehidrasi (kehausan, turgor kulit, mata berkerut) Syok hipovolemik (pulsasi radial lemah, ekstremitas dingin, penurunan kesadaran) Takipnea (pneumonia atau gagal jantung) Perut: distensi, penurunan bising usus, hepar membesar atau mengecil, feces berdarah atau berlendir Mata: lesi kornea (defisiensi vitamin A) Kulit: tanda infeksi atau purpura THT: tanda infeksi (otitis, rhinitis)(Rabinowitz, 2009).Pemeriksaan laboratorium

Jika tersedia kemudahan untuk pemeriksaan, sebaiknya uji laboratorium ini dilakukan. Namun, langkah ini bukanlah satu kewajiban karena hasil pemeriksaannya pun diragukan karena hampir seluruh parameter yang teraplikasi pada orang normal tidak berlaku bagi penderita kekurangan energi protein (Arisman,2009).MateriHasil pemeriksaan

Mungkin berguna:

Glukosa darah

Apusan darah

Hb

Ht

Kultur urine

Pemeriksaan feses

Radiologi

Tes kulit TBC