isi antihelmintik

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengobatan herbal telah banyak digunakan selama beberapa abad di berbagai belahan dunia. Ilmuwan dan profesional tenaga kesehatan menunjukkan ketertarikan yang semakin meningkat terhadap bidang ini setelah mengetahui dan menyadari manfaat kesehataan yang diberikan dari pengobatan herbal untuk berbagai penyakit seperti hipertensi, kolesterol, diabetes, dan sebagainya termasuk penyakit cacingan. Lebih dari dua miliar penduduk diperkirakan terinfeksi cacing di seluruh dunia dan 300 juta diantaranya merupakan penderita infeksi berat dengan 150 ribu kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi cacing Soil Transmitted Helminth (STH). Infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides sebesar 1,2 miliar, Trichuris trichiura sebesar 795 juta, dan Necator americanus serta Ancylostoma duodenale sebanyak 740 juta. (Suriptiastuti dalam Rahayu dan Ramdani, 2013). Sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius, berbagai pengobatan penyakit cacing atau yang lebih dikenal dengan agen antihelmintik terus dikembangkan. Namun obat-obat yang banyak beredar saat ini dapat 1

Upload: megazhang94

Post on 25-Dec-2015

70 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

isi antihelmintik

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Antihelmintik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pengobatan herbal telah banyak digunakan selama beberapa abad di berbagai

belahan dunia. Ilmuwan dan profesional tenaga kesehatan menunjukkan

ketertarikan yang semakin meningkat terhadap bidang ini setelah mengetahui dan

menyadari manfaat kesehataan yang diberikan dari pengobatan herbal untuk

berbagai penyakit seperti hipertensi, kolesterol, diabetes, dan sebagainya

termasuk penyakit cacingan.

Lebih dari dua miliar penduduk diperkirakan terinfeksi cacing di seluruh

dunia dan 300 juta diantaranya merupakan penderita infeksi berat dengan 150 ribu

kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi cacing Soil Transmitted Helminth

(STH). Infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides sebesar 1,2

miliar, Trichuris trichiura sebesar 795 juta, dan Necator americanus serta

Ancylostoma duodenale sebanyak 740 juta. (Suriptiastuti dalam Rahayu dan

Ramdani, 2013).

Sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius, berbagai pengobatan

penyakit cacing atau yang lebih dikenal dengan agen antihelmintik terus

dikembangkan. Namun obat-obat yang banyak beredar saat ini dapat

menimbulkan berbagai efek samping seperti mual muntah, diare, nyeri abdomen,

sakit kepala, ruam kulit, dan sebagainya. Kondisi inilah yang menyebabkan

pengobatan herbal semakin dikembangkan dan diminati karena harganya lebih

murah, mudah didapatkan, memiliki beragam khasiat, lebih diterima oleh tubuh,

dan efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit.

1.2 Tujuan penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Mengetahui pengertian antihelmintik dan pendekatan pengobatan herbal

terkait

1.2.2 Mengetahui tumbuhan-tumbuhan yang memiliki khasiat antihelmintik

1

Page 2: Isi Antihelmintik

1.3 Metode penulisan

Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan untuk

mendapatkan data-data yang dibutuhkan, yakni dengan mencari informasi dan

beberapa sumber buku dan jurnal yang berkaitan dengan makalah serta melalui

media internet di dalam situs-situs yang dapat dipercaya.

1.4 Sistematika penulisan

Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

1.2 Tujuan penulisan

1.3 Pembatasan masalah

1.4 Metode penulisan

1.5 Sistematika penulisan

BAB II: ISI

2.1 Antihelmintik

2.2 Pendekatan pengobatan herbal

2.2.1 Pepaya

2.2.2 Pare

2.2.3 Mengkudu

2.2.4 Bawang putih

2.2.5 Petai cina

2.2.6 Lidah buaya

2.2.7 Biji pinang

2.2.8 Ginseng India

BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

2

Page 3: Isi Antihelmintik

BAB II

ISI

2.1 Antihelmintik

Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas

atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Sebagian besar

obat cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing, sehingga diperlukan

diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu.

Diagnosis dilakukan dengan menemukan cacing, telur cacing dan larva dalam

tinja, urin, sputum, darah atau jaringan lain penderita. Sebagian besar obat cacing

diberikan secara oral yaitu pada saat makan atau sesudah makan dan beberapa

obat cacing perlu diberikan bersama pencahar.

2.2 Pendekatan Pengobatan Herbal

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin maraknya penelitian

yang dilakukan pada tanaman, ditemukan manfaat kandungan kimia dari berbagai

tanaman tentang kemampuannya sebagai antihelmintik. Pada tulisan ini penulis

memilih beberapa tanaman yang dilaporkan memiliki kandungan kimia sebagai

antihelmintik, diantaranya adalah :

2.2.1 Akar Lidah Buaya

Gambar 2.1. Lidah Buaya

Sumber: Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeurup

BPOM 2008

3

Page 4: Isi Antihelmintik

A. Taksonomi (BPOM, 2008)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Liliales

Suku : Liliaceae

Marga : Aloe

Jenis : Aloe vera (L.) Burm. f.

B. Simplisia yang digunakan

Aloe vera yang akrab dikenal dengan lidah buaya, telah banyak

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kosmetik dan pengobatan herbal.

Daun, akar, dan bunganya telah banyak digunakan dalam berbagai

pengobatan. Daunnya selain dapat digunakan sebagai kosmetik khususnya

untuk rambut, ternyata dapat dijadikan sebagai obat diabetes. Akar yang

dikeringkan dijadikan sebagai obat cacingan. Lalu bunganya dimanfaatkan

dalam pengobatan muntah darah.

C. Kandungan kimia

Dalam Thesis nya Afrah (2005) menyebutkan kandungan kimia dari

akar lidah buaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing yaitu

Saponin, Antrakuinon dan Tanin. Selain itu lidah buaya juga mengandung

senyawa kimia yang bermanfaat lain diantaranya ada asam amino,

vitamin, kolesterol mineral, asam salisilat. (Pankaj K. Sahu, 2013)

D. Efek farmakologi

Akar lidah buaya memiliki efek antihelmintik dikarenakan banyak

senyawa kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi

farmakologi, dalam Efek Antelmintik Akar Lidah Buaya (Aloe Vera(L.)

Burm. f.) Terhadap Ascaris Suum In Vitro oleh Afrah tahun 2005

menyebutkan aktivitas-aktivitas farmakologi tersebut sebagai berikut:

4

Page 5: Isi Antihelmintik

- Saponin

Saponin mempunyai aktivitas sebagai surfaktan yang dapat

meningkatkan penetrasi makromolekul seperti protein melalui

membran sel. Saponin yang berasal dari akar lidah buaya bekerja

dengan cara menghambat enzim kolinesterase. Enzim kolinesterase

merupakan enzim yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin, suatu

neurotransmitter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis,

parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan enzim

kolinesterase menyebabkan penumpukan asetikolin pada reseptor

nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-

menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan

kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan

paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing. Selain itu

senyawa saponin dapat mengiritasi saluran pencernaan sehingga

penyerapan zat-zat makanan terganggu yang mempengaruhi

kelangsungan hidup cacing.

- Antrakuinon

Kompleks antrakuinon (terutama aloin dan emodin) dapat

membentuk kompleks yang bersifat ireversibel dengan asam amino

nukleofilik dalam protein, sehingga terjadi inaktivasi protein dan

kehilangan fungsinya. Kompleks anthrakuinon dapat berfungsi

juga sebagai laksatif. Dua mekanisme efek laksatif dari akar lidah

buaya: memengaruhi motilitas usus besar yang mengakibatkan

percepatan waktu transit pada kolon; dan memengaruhi proses

sekresi mukosa dan klorida yang mengakibatkan peningkatkan

volume cairan. Defekasi terjadi sekitar 6-12 jam karena diperlukan

waktu transpor antrakuinon ke kolon dan dimetabolisme menjadi

senyawa aktif sehingga membantu mengeluarkan cacing dari

dalam tubuh.

- Tanin

5

Page 6: Isi Antihelmintik

Sifat tannin yang dapat mengendapkan protein membuat rusak

protein pada cacing, sehingga protein kehilangan struktur dan

fungsinya.

E. Uji praklinis

Ekstrak akar lidah buaya terbukti menginduksi kelumpuhan dan

kematian dari cacing parasit manusia, Eisonia fatida dalam waktu kurang

dari sehari secara in vitro. Paradeep Kumar et al (2012) dalam Therapeutic

and Medicinal Uses of Aloe Vera: A Review membandingkan kelompok

cacing Eisonia fatida yang diberi perlakuan dengan penambahan ekstrak

lidah buaya dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 25, 50, dan 100 mg/ml

dalam aquades. Piperazin digunakan sebagai standar, kemudian waktu

pada saat kelumpuhan cacing hingga mati diamati. Hasilnya menunjukan

bahwa dengan penambahan ekstrak lidah buaya dapat melumpuhkan

cacing.

F. Dosis dan penyiapan sediaan

Akar lidah buaya mula-mula dikeringkan. Kemudian diambil 15-30 gram

akar yang sudah kering, lalu direbus. Air rebusannya kemudian diminum.

Gambar2.2. Contoh sediaan herbal dari lidah buaya

Sumber: Google images

G. Efek samping

Efek samping yang ditimbulkan biasanya adalah diare dikarenakan efek

laksatif, dan keram usus.

6

Page 7: Isi Antihelmintik

H. Kontraindikasi peringatan

Dilarang penggunaanya untuk ibu hamil, karena dapat menyebabkan

kontraksi.

2.2.2 Petai Cina

Gambar 2.3. Petai Cina

Sumber: Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeurup

BPOM 2008

A. Taksonomi (BPOM 2008)

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Fabales

Suku : Mimosaceae

Marga : Leucaena

Jenis : Leucaena glauca (Willd) Benth

B. Simplisia yang digunakan

Bagian yang digunakan sebagai obat herbal adalah seluruh tanaman, biji

yang dikeringkan, dan daun.

7

Page 8: Isi Antihelmintik

C. Kandungan kimia

Biji mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein. Daun

mengandung alkaloid, saponin, flavonoida, tanin, protein, lemak, kalsium,

fosfor, besi, serta vitamin ( A, B, C ) (Violita, 2014).

D. Efek farmakologi

Petai cina mengandungan beberapa zat aktif yang hampir sama dengan

pirantel pamoat sehingga mekanisme kerja yang ditimbulkannya juga

hampir sama. Kandungan yang berefek antelmintik daun petai cina adalah

saponin yang merupakan senyawa alkaloid. Senyawa tersebut dapat

mengiritasi saluran pencernaan cacing dan mengganggu sistem saraf

cacing sehingga pada akhirnya paralisis (Violita, 2014)

E. Uji praklinis

Uji praklinis petai cina sebagai antihelmintik atau obat cacing dilakukan

oleh Arif Amanullah tahun 2008, peneliti menggunakan 192 cacing

Ascardia galli yang dibagi dalam 4 kelompok. Setiap kelompok diberi

perlakuan infuse daun petai cina, infus biji petai cina, piperazin sitrat, dan

NaCl isotonis. Didapat hasil bahwa rerata waktu kematian cacing pada

kelompok perlakuan (dengan petai cina) lebih rendah dari kelompok

control negative (NaCl isotonis) tetapi lebih tinggi dari kelompok control

positif dengan perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukan bahwa

infuse petai cina memiliki daya antihelmintik, namun efeknya masih

dibawah piperazin sitrat (obat cacing).

F. Penyiapan dan dosis

Petai cina memberikan berbagai macam khasiat, salah satunya adalah

pengobatan penyakit cacingan,. Pada hal ini yang digunakan berupa biji

dari petai cina yang sudah tua dan kering, digoreng tanpa minyak dan

ditumbuk halus. Kemudian diambil 1 sendok dan diseduh dengan ½ - 1

gelas air panas. Diminum menjelang tidur malam.

8

Page 9: Isi Antihelmintik

Gambar2.4. Contoh sediaan herbal dari petai cina

Sumber: Google images

G. Efek samping

Salah satu keunggulan penggunaan obat herbal adalah minimnya efek

samping. Pada penggunaan petai cina ini efek samping yang ditimbulkan

tidaklah menyebabkan hal yang serius contohnya diare dan sakit perut.

H. Peringatan dan kontraindikasi

Penggunaannya tidak dianjurkan untuk ibu hamil.

2.2.3 Pepaya

Gambar 2.5. Buah Pepaya

Sumber: Badan POM RI

9

Page 10: Isi Antihelmintik

A. Taksonomi (Badan POM RI, 2008)

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Violales

Suku : Caricaceae

Marga : Carica

Jenis : Carica papaya L.

Tanaman yang memiliki batang tidak berkayu, memiliki daun tunggal,

bentuknya bulat, ujungnya runcing, dan tepinya bergerigi dengan diameter

25-27 cm, pertulangan menjari dengan panjang tangkai 25-100 cm

berwarna hijau. Memiliki bunga tunggal, bentuknya bintang, terdapat di

ketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan berwarna

kuning, bentuk mahkotanya terompet. Bunga betina berdiri sendiri,

mahkotanya lepas, kepala putiknya lima, warnanya putih kekuningan.

Buah buni, bentuknya bulat memanjang, bergading, warna hijau muda bila

masih muda dan jingga bila sudah tua. Bentuk biji bulat panjang, kecil dan

bagian luarnya dibungkus selaput yang berisi cairan dengan warna putih

bila masih muda dan hitam bila sudah tua. Akar tunggang, bercabang dan

berwarna putih kekuningan (Badan POM RI, 2008).

B. Simplisia yang digunakan

Carica papaya atau biasa disebut papaya ini merupakan tanaman yang

sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Semua bagian

dari tanaman ini seperti buah, daun, biji, akar, dan getahnya pun dapat

digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Buahnya digunakan

untuk mengobati tumor, pengerasan kulit, kutil, kanker, kutil, rematik, dan

diuretik. Akarnya untuk mengobati sifilis, tumor rahim, wasir. Daunnya

digunakan untuk mengobati pertumbuhan elephantoid

(pembengkakan dikarenakan gangguan langka dari sistem limfatik yang

disebabkan oleh cacing), nyeri saraf, asma dan penyembuhan luka bakar.

10

Page 11: Isi Antihelmintik

Bijinya digunakan sebagai obat cacing, stimulasi menstruasi. TB,

hipertensi, hiperkolesteronia (Elgadir, et al., 2014). Biji papaya inilah

yang merupakan salah satu alternatif pengobatan cacingan yang banyak

digunakan karena mudah didapatkan dan biasanya merupakan limbah

yang tidak ada harganya.

C. Kandungan kimia

Kandungan kimia biji pepaya diantaranya protein, serat, asam lemak,

minyak pepaya, karpain, benzilisotiosianat, benzilglukosinolat,

glukotropakolin, benziltiourea, hentriakontan, β-sitosterol, karisin

(sinigrin), dan enzim mirosin (Rupa dan Jayanta 2013).

D. Efek Farmakologi

Biji pepaya yang memiliki berbagai manfaat dikarenakan banyak senyawa

kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi farmakologi.

Senyawa tersebut seperti benzilisotiosianat yang merupakan senyawa anti

nematode, serta memiliki aktivitas bakteri dan antifungi yang kuat (Badan

POM RI, 2011). Senyawa alkaloid, karpain juga bermanfaat

memperlambat denyut jantung pada manusia sehingga mengurangi

tekanan darah yang aksinya mirip dengan obat yang diresepkan untuk

pasien jantung, yaitu digitalis, serta dilaporkan juga dapat membunuh

cacing dan amuba (Aravind, et al.,2013).

E. Uji Praklinis

Ekstrak air biji segar buah pepaya (sebanding dengan 1,2-2,4 mg biji

pepaya) dapat membunuh 90% nematoda Caenorhabditis elegans dalam

waktu 4-5 jam, dan jika waktu diperpanjang sampai 12 jam, maka semua

nematoda tersebut mati. C. elegans merupakan nematoda non parasit,

yang secara genetik memiliki kemiripan dengan nematoda parasit maka

sering digunakan sebagai model uji aktivitas antihelmintik (Badan POM

RI, 2011).

Pada penelitian lain, Effendy, et al., (2014) menggunakan 40 Dwarf

Afrika (WAD) kambing Barat yang terinfeksi secara alami dengan

11

Page 12: Isi Antihelmintik

cacingan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas Carica biji pepaya

dalam bentuk ekstrak air dan bubuk terhadap cacing usus. Hewan-hewan

secara acak menjadi empat kelompok perlakuan: GI, GII, GIII dan GIV

terdiri dari 10 kambing/kelompok. Hewan GI tidak diperlakukan,

sementara GII diberikan thiabendazole pengobatan obat cacing. GIII dan

GIV diberikan bentuk bubuk dan air dari ekstrak biji pepaya melalui

pakan dan air masing-masing. Setelah dua minggu pemberian, feses dan

darah dikumpulkan untuk parasitologi dan analisis hematologi. Hasilnya

perawatan dari kedua bentuk ekstrak biji pepaya menghasilkan

peningkatan yang signifikan dalam jumlah limfosit, volume sel (PCV), sel

darah merah (RBC) dan konsentrasi hemoglobin, dan terjadi penurunan

dalam jumlah telur cacing dalam feses dibandingkan dengan yang

diperoleh untuk pengobatan thiabendazole. Hal tersebut menunjukkan

bahwa ekstrak dari biji pepaya bisa berguna berpotensi sebagai

antihelminthik.

F. Uji Klinis

Pengujian efek antihelmintik pada manusia juga pernah dilakukan oleh

Hutapea (2014) dengan memberikan ekstrak biji pepaya pada partisipan

yang telah diperiksa positif terinfeksi cacing yang dipilih secara purposive

sampling. Pemeriksaan sampel feses yang telah dikumpulkan di lakukan

di Laboratorium dengan menggunakan teknik sediaan tebal (cellophane

covered thick smear technic) atau disebut teknik Kato untuk menentukan

jumlah cacing yang ada didalam usus. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase kecacingan pada

partisipan yaitu sebesar 66,66%. Walaupun dalam penelitian tersebut

belum dapat membunuh cacing secara 100%, namun cukup membuktikan

bahwa biji pepaya mempunyai khasiat yang dapat digunakan untuk

mengobati kecacingan.

G. Penyiapan dan Dosis

Dosis tunggal: 10 g serbuk biji kering (Badan POM RI, 2011).

12

Page 13: Isi Antihelmintik

Gambar2.6. Contoh sediaan herbal dari pepaya

Sumber: Google images

H. Efek Samping

Ekstrak biji pepaya dalam dosis besar memiliki efek kontrasepsi pada

tikus dan monyet, sejauh ini belum ditemukan efek samping yang terjadi

pada manusia. Pepaya yang tidak cukup matang akan melepaskan cairan

lateks yang dapat menyebabkan iritasi dan memicu reaksi alergi pada

beberapa orang. Konsentrasi lateks pepaya mentah berspekulasi

menyebabkan kontraksi rahim, yang dapat menyebabkan keguguran

(Aravind, et al.,2013).

I. Kontaindikasi dan Peringatan

Penggunaan papaya pada ibu hamil tidak dianjurkan karena terdapat

penelitian yang membuktikan bahwa papaya memiliki efek embriotoksik

dan teratogenik dan juga menyebabkan keguguran pada kehamilan. Biji

pepaya yang mengandung glikosida sianogenik, menimbulkan adanya

risiko keracunan asam sianida, terutama jika menggunakan biji pepaya

segar. Konsumsi berlebihan pepaya juga dapat menyebabkan karotenemia

(Badan POM RI, 2011).

13

Page 14: Isi Antihelmintik

2.2.4 Pare

Gambar 2.7. Tanaman Pare

Sumber: Google images

A. Taksonomi (Kumar, et al., 2010).

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Violales

Suku : Cucurbitaceae

Marga : Momordica

Jenis : Momordica charantia L.

Tanaman berupa semak menjalar, dengan buah berbentuk bulat telur atau

elips, memanjang, biasanya bergerigi atau berkutil. Biji dan empulur

tampak putih saat masih mentah, pematangan menjadi merah, tekturnya

berair, mirip dengan mentimun, labu siam atau paprika hijau. Buah yang

masak berubah oranye dan lembek. Daun pare berbentuk membulat,

bergerigi dengan pangkal bentuk jantung, garis tengah 4-7 cm, tepi

berbagi 5-9 lobus, berbintik-bintik tembus cahaya, taju bergigi kasar

hingga berlekuk menyirip, memiliki sulur daun dan berwarna agak

kekuningan dan berasa pahit. Bunga jantan dan bunga betina tumbuh pada

ketiak daun (Kumar, et al., 2010).

14

Page 15: Isi Antihelmintik

B. Simplisia yang digunakan

Tanaman pare (Momordica charantia L.) merupakan tanaman yang tidak

asing bagi masyarakat Indonesia, karena buahnya sering digunakan

sebagai sayuran atau lalapan. Semua bagian tanaman ini dapat digunakan

untuk pengobatan, seperti buahnya dapat dipakai untuk penurunan kadar

gula darah, tonikum, penurun panas (antipiretik), penambah nafsu makan,

obat pencahar, anti asam urat, anti rematik, dan sebagai obat cacing.

Bijinya dapat digunakan untuk obat cacing dan obat luka, sedangkan

daunnya dapat digunakan sebagai obat cacing, obat batuk, demam, dan

malaria (Tulika dan Mala, 2015).

C. Kandungan kimia

Buah mengandung glikosida, saponin, alkaloid, asam amino bebas, 5-

hidroksitriptamin, momordisin, momordikosid, asam oksalat, asam oleat,

pektin, polipeptida P, asam stearat, stigmasterol, rubixantin. Biji

mengandung kukurbitin, 20-40% protein dan 30-50% minyak lemak

dengan komponen utama asam oleat, asam linoleat (70-90%),

momordikosid, saponin, visin. Daun mengandung saponin, tannin,

flavonoid dan triterpene glycoside, kukurbitasin (Kumar, et al., 2010).

D. Efek Farmakologi

Efek antihelmintik dari beberapa senyawa yang terkandung dalam pare

memiliki efek farmakologi diantaranya, saponin dapat mengiritasi

membran mukosa saluran pencernaan cacing sehingga mengganggu

penyerapan makanannya. Sedangkan tanin dapat mengikat protein bebas

dalam traktus intestinal yang dapat mengakibatkan kematian cacing.

Senyawa flavonoid dapat mengakibatkan terjadinya degenerasi neuron

pada tubuh cacing sehingga mengakibatkan kematian cacing pula.

Triterpene glycosides dalam daun pare juga dapat menyebabkan inhibisi

motilitas spontan pada cacing. Semua hal ini akhirnya akan menyebabkan

cacing menjadi paralisis/mati (Tjokropranoto, et al., 2011).

15

Page 16: Isi Antihelmintik

E. Uji Praklinis

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kendyartanto dan Suhardjono (2008),

infus daun dan infus biji dari pare diuji menggunakan 192 cacing

Ascaridia galli yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama

diberi perlakuan infus daun pare konsentrasi 10g/100ml, 20g/100ml, dan

40g/100ml. Kelompok kedua diberi perlakuan infus biji pare konsentrasi

10g/100ml, 20g/100ml, dan40g/100ml. Kelompok ketiga diberi piperazin

sitrat 0,5% sebagai kontrol positif. Kelompok keempat diberi NaCl 0,9%

sebagai kontrol negatif. Hasilnya Rerata waktu kematian cacing pada

kelompok perlakuan lebih rendah dari kelompok kontrol negatif tetapi

lebih tinggi dari kelompok kontrol positif dengan nilai perbedaan yang

bermakna. Hal tersebut menunjukan bahwa Infus daun dan biji pare

memiliki daya antihelmintik terhadap cacing Ascaridia galli lebih efektif

dari Piperazin sitrat 0,5%.

F. Uji Klinis

Pengujian secara klinis pada manusia mengenai efek antihelmintik dari

tanaman pare sejauh ini masih belum diketahui. Pengujian hanya baru

dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan hewan coba, seperti

tikus dan kelinci.

G. Penyiapan dan Dosis

Dosis harian dewasa:

Ekstrak air buah pare 15 g/hari

Jus buah pare segar 10-15 mL

2-15 simplisia kering buah pare

16

Page 17: Isi Antihelmintik

Gambar 2.8. Contoh sediaan herbal dari pare

Sumber: Google images

H. Efek Samping

Kadang-kadang bisa membuat mulas, mual, muntah. M. charantia juga

dapat menyebabkan koma hipoglikemik dan kejang pada anak-anak

(Aronson, 2009), meningkatkan y-glutamil transferase dan alkalin

fosfatase dan nyeri kepala. Dosis besar menyebabkan diare dan nyeri pada

usus halus (Badan POM RI, 2011).

I. Kontaindikasi dan Peringatan

Pada wanita hamil tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi pare karena

dapat merangsang rahim dan dapat menyebabkan kelahiran prematur

(Kumar, et al., 2010). Biji pare mengandung senyawa alfatrikosantin dan

p-momorkin yang berefek abortif. Komsumsi pare yang berlebihan dapat

menurunkan fertilitas baik pada laki-laki dan perempuan (Badan POM RI,

2011).

2.2.5 Mengkudu

Gambar 2.5. Buah mengkudu

Sumber: https://sites.google.com/site/instanbuahmengkudu/17

Page 18: Isi Antihelmintik

A. Taksonomi (The Integrated Taxonomic Information System)

Kingdom : Plantae

Divisi : Traceophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Gentianales

Familia : Rubiaceae

Genus : Morinda

Spesies : Morinda citrifolia L.

B. Simplisia yang digunakan

Morinda citrifolia yang akrab dikenal dengan mengkudu atau buah

noni di Indonesia, telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

bahan pangan dan pengobatan herbal. Daun, biji, kulit batang, buah, dan

akarnya telah banyak digunakan dalam berbagai pengobatan di dunia

khususnya Asia Tenggara. Seluruh bagian tumbuhan mengkudu

digunakan untuk mengobati disentri. Buahnya yang matang digunakan

untuk mengobati penyakit cacingan, asma, diabetes, dan hipertensi.

Bagian daunnya digunakan untuk mengobati batuk, mual muntah, dan

kolik dikarenakan efek antiinflamasinya. Daun mengkudu juga digunakan

unruk mengobati penyakit gout, TBC, dan penyakit cacingan (Stuart,

2005).

C. Kandungan kimia

Peter (2007) dalam Clinical Research on Morinda citrifolia L

menuliskan bahwa terdapat beberapa senyawa kimia dalam mengkudu

yaitu oligo dan polisakarida, glikosida termasuk flavonoid (rutin dan asam

asperulosidat), ester asam lemak trisakarida, skopoletin, beta-sitosterol,

damnacanthal, alkaloid (xeronine, proxeronine), asam oktonoat, kalium,

vitamin C, terpenoid, antrakuinon (nordamnacanthal, morindone, rubiadin,

rubiadin, metil eter, glikosaida antrakuinon), karoten, vitamin A, glikosida

18

Page 19: Isi Antihelmintik

flavon, asam linoleat, alizarin, asam amino, acubin, L-asperuloside, asam

kaproat, asam ursolat.

D. Efek farmakologi

Mengkudu memiliki berbagai manfaat dikarenakan banyak senyawa

kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi farmakologi, Peter

(2007) dalam Clinical Research on Morinda citrifolia L menyebutkan

aktivitas-aktivitas farmakologi tersebut sebagai berikut.

Oligo dan polisakarida, memberikan fungsi probiotik sebagai serat

makanan yang dapat difermentasi oleh bakteri kolon

Scopoletin, memberikan aktivitas antibiotik

Beta sitosterol, memberikan aktivitas antikolesterol

Damnacanthal, memiliki potensi sebagai inhibitor protein virus HIV

Ahli biokimia, Ralph Heinicke, menyatakan buah mengkudu

mengandung prekursor dari alkaloid Xeronine yang bernama Proxeronine.

Di dalam tubuh, Proxeronine dikonversikan menjadi Xeronine oleh enzim

Proxeroninase. Xeronine dapat memodifikasi struktur molekular dari

protein sehingga memiliki banyak aktivitas biologis (Wang, 2002).

E. Uji praklinis

Ekstrak etanol dari daun mengkudu terbukti menginduksi kelumpuhan

dan kematian dari cacing parasit manusia, Ascaris lumbricoides dalam

waktu kurang dari sehari secara in vitro (Peter, 2007).

Satapathy (2007) dalam Effect of Noni on Filarial Worm Infestation In

Vitro Study membandingkan kelompok cacing Wuchereria bancrofti

dewasa yang diberi perlakuan dengan penambahan ekstrak buah

mengkudu di media dengan kelompok kontrol. Hasilnya menunjukan

bahwa kelompok yang diberi perlakuan mati dalam waktu kurang dari 20

jam sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan dapat

bertahan selama 60 jam.

Khuntia et al dalam Singh (2012) melaporkan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa ekstrak alkohol mengkudu memperlihatkan efek

19

Page 20: Isi Antihelmintik

antihelmintik yang lebih baik dibanding dengan ekstrak petroleum eter

dan efek yang dihasilkan hampir setara dengan Piperazine sitrat.

F. Uji klinis

Sejauh ini uji klinis pada manusia menggunakan buah mengkudu

masih belum diketahui. Berbagai uji hanya baru dilakukan secara in vitro

atau dengan menggunakan binatang (Wang dalam Stuart, 2005).

Sebuah survey klinis mengenai mengkudu pernah dilakukan oleh Neil

Solomon untuk mengetahui manfaat kesehatan dari mengkudu terhadap

10000 subjek yang mengonsumsi jus mengkudu. Dari hasil survey klinis

ini diketahui bahwa mengkudu memiliki efikasi terhadap berbagai

masalah kesehatan seperti kanker, berat badan berlebih, hipertensi,

arthritis, penyakit jantung, diabetes, masalah kesehatan, dan alergi.

G. Dosis dan penyiapan sediaan (Nelson, 2003)

Jus mengkudu

Buah mengkudu matang diblender dengan penambahan air

secukupnya.

Serbuk mengkudu

Buah mengkudu dikeringkan kemudian dibuat menjadi serbuk untuk

selanjutnya diolah lebih lanjut menjadi jus, tablet, atau kapsul.

Gambar 2.6. Contoh sediaan herbal buah mengkudu yang beredar di

pasaran

Sumber: Google images

H. Efek samping

Jus mengkudu dilaporkan menimbulkan efek hiperkalemia. Seorang

pria yang mengonsumsi jus mengkudu dengan kondisi insufisien ginjal

20

Page 21: Isi Antihelmintik

kronik mengalami peningkatan konsentrasi plasma kalium tanpa tambahan

konsumsi apapun. Buah mengkudu juga dapat mengakibatkan kerusakan

hati. Seorang pria yang mengonsumsi jus mengkudu selama tiga minggu

secara kontinyu mengalami peningkatan aktivitas transaminase dan laktat

dehidrogenase yang sangat tinggi (Aronson, 2009).

I. Kontraindikasi peringatan

Pasien dengan gangguan atau penyakit hati (Aronson, 2009)

2.2.6 Bawang Putih

Gambar 2.7. Bawang putih

Sumber: http://www.huffingtonpost.ca/2012/10/12/garlic-health-

benefits_n_1962523.html

A. Taksonomi (The Integrated Taxonomic Information System)

Kingdom : Plantae

Divisi : Traceophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Asparagales

Familia : Amarylidaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium sativum L.

21

Page 22: Isi Antihelmintik

B. Simplisia yang digunakan

Bagian yang digunakan sebagai pengobatan herbal adalah seluruh

bagian umbi bawang putih, baik dalam keadaan segar, dikeringkan,

maupun dalam bentuk minyaknya (Fleming, 2000).

C. Kandungan kimia

Senyawa yang terkandung di dalam putih adalah enzim-enzim

(allinase, peroksidase, mirosinase, katalase, superoksida dismutase,

arginase, lipase), minyak esensial (aliin termasuk allicin, alilpropil

disulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida; ajoen dan vinyldithiines), terpen

(sitral, geraniol, linalool, α dan β felandren). Bawang putih juga

mengandung senyawa-senyawa lain seperti protein (glutamil pepsida),

asam amino (arginin, asam glutamat, asam asparagat, metionin, treonin),

mineral, vitamin, unsur hara, lipid, prostaglandin (A2, D2, E2, F1α, F2)

(Barnes et al, 2007).

D. Efek farmakologi

Barnes et al (2007) dalam Herbal Medicines Third Edition

menyatakan bawang putih memiliki berbagai efek terapi sebagai

diaphoretic, ekspektoran, antispasme, antiseptik, bakteriostatik, antiviral,

hipotensif, dan antihelmintik. Bawang putih memiliki spektrum

antimikroba yang luas; bawang putih memiliki efek antibakteri, antifungi,

antiviral, dan antiparasit dengan mempengaruhi setidaknya 12 jenis parasit

pada manusia dan nonmanusia yang berbeda. Bawang putih juga memiliki

aktivitas sebagai immunomodulator (Anthony et al dalam Worku, M., et

al, 2009).

E. Uji praklinis

Uji praklinis telah banyak dilakukan secara in vitro maupun in vivo

pada binatang untuk menguji efek farmakologi antihipertensi, menurunkan

kadar lipid, antiatherogenic, antithrombotik, fibrinolitik, antioksidan,

antikarsinogenik, antitumorigenic, immunomudulatory, antimikroba, dan

antihelmintik dari bawang putih (Barnes et al, 2007). Efikasi bawang putih

22

Page 23: Isi Antihelmintik

sebagai antihelmintik pada kambing dewasa membuktikan bahwa jus

bawang putih terbukti menurunkan jumlah cacing Haemonchus contortus

pada kambing dewasa secara signifikan (Worku, M., et al, 2009).

F. Uji klinis

Uji klinis bawang putih telah dilakukan untuk mengetahui efek

farmakologis terhadap beberapa parameter yaitu konsentrasi kolesterol,

konsentrasi trigliserida, tekanan darah, agregasi platelet, resistensi

vaskular, dan fibrinolisis (Barnes et al, 2007). Namun untuk pengujian

klinis secara spesifik mengenai efek antihelmintik dari bawang putih

belum dilakukan.

G. Dosis dan penyiapan sediaan (Barnes, J., et al, 2007)

Dosis pemberian bawang putih sebagai pengobatan herbal untuk orang

dewasa adalah sebagai berikut.

Bawang putih segar: sehari 4 gram

Bawang putih kering: sehari tiga kali 2-4 gram

Tincture bawang putih: sehari tiga kali 2-4 mL

Minyak bawang putih: sehari tiga kali 0,03-0,12 mL

Jus bawang putih: 2-4 mL

Sirup bawang putih: 2-8 mL

Gambar 2.8. Contoh sediaan jus bawang putih

Sumber: Google images

23

Page 24: Isi Antihelmintik

H. Efek samping

Meski bawang putih banyak digunakan dalam berbagai pengobatan

tradisional, terdapat beberapa efek samping yang perlu diperhatikan.

Menghirup bubuk bawang putih dapat memicu asma. Penggunaan bawang

putih yang berlebihan dapat mengakibatkan hematoma epidural spinal

spontan yang berujung kepada paraplegia. Kontak topikal dari bawang

putih dapat mengakibatkan alergi dermatitis kontak atau lesi yang

menyebabkan kulit seperti terbakar (Aronson, 2009).

I. Kontraindikasi dan peringatan

Pasien yang mengonsumsi antikoagulan

Bawang putih memiliki efek sebagai antiplatelet sehingga akan

meningkatkan risiko terjadinya perdarahan apabila dikonsumsi

bersama dengan obat antiplatelet dan antikoagulan seperti aspirin,

warfarin (Aronson, 2009).

Ibu hamil dan menyusui

Bawang putih dapat meningkatkan konsentrasi uterus dan mengubah

bau ASI (Barnes, 2007).

2.2.7 Pinang

Gambar 2.13. Areca catechu (pinang)

Sumber: Google images

24

Page 25: Isi Antihelmintik

A. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisi :Spermatophyta

Kelas : Monokotil

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Areca

Spesies : Areca catechu

Nama Daerah : Pinang, Jambe (Banyuwangi), Jambe (Sunda),

Pineng, pineung (Aceh), pinang (Gayo), batang mayang (Karo), pining

(Tobal), batang pinang (Minangkabau).

Batang pinang berbentuk bulat dan tumbuh lurus, tidak bercabang dengan

ketinggian bisa mencapai 18 m, bahkan ada yang mencapai 30 m dengan

lingkaran batang 44 – 80 cm. Bunganya berbentuk rangkaian , berupa

tandan yang terletak di bawah pelepah daun. Buahnya berwarna hijau

ketika masih muda dan berubah menjadi jingga atau merah kekuningan

setelah masak.

B. Kandungan Kimia

• Zat aktif utama pada biji pinang : alkaloid, seperti arekolin,

arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin

terkondensasi, tanin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat,

getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang

et al., 1996).

• Panjaitan (2008) : mengandung 0,3 - 0,6%, alkaloid, seperti arekolin

(C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan

isoguvasine. Selain itu juga mengandung red tannin 15%, lemak 14%

(palmitic, oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic acid), kanji

dan resin.

25

Page 26: Isi Antihelmintik

C. Efek Farmakologi

Arekolin : antihelmintik dan juga sebagai penenang, sehingga bersifat

memabukan bagi penggunanya sehingga tidak dianjurkan untuk

pemakaian dalam jumlah besar.

Proantosianidin : efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-

inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi.

Choline, Arecaidine, Tanin, Guvacoline, dan Guvacine : memiliki sifat

astringent dan berfungsi sebagai hemostatik

D. Uji Praklinik (In Vitro)

Penelitian dilakukan oleh Debra Tiwow et al, 2013 bertujuan untuk

mengetahui efek antihelmintik ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu)

terhadap cacing Ascaris Lumbricoides dan Ascaridia Galli secara in

vitro.

Ekstrak etanol biji pinang mengandung senyawa tanin yang mampu

menghambat enzim dan merusak membran sel. Penelitian ini digunakan

untuk mengetahui daya antelmintik ekstrak etanol biji pinang terhadap

cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli, serta mengetahui

konsentrasi efektif dari ekstrak etanol biji pinang sebagai antelmintik.

Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi

10%, 20%, dan 30% dan menggunakan pirantel pamoat sebagai kontrol

positif. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam sampai

batas waktu penelitian dan selanjutnya data dianalisis menggunakan

ANOVA. Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui PC50 dan LC50.

E. Prosedur Pelaksanaan

Cawan petri disiapkan, masing-masing berisi ektrak etanol biji pinang

dan larutan pirantel pamoat sesuai konsentrasi masing-masing serta

larutan NaCl 0,9%.

26

Page 27: Isi Antihelmintik

Cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli sebanyak 3 ekor

dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri , kemudian

diinkubasi pada suhu 37 O C.

Untuk mengetahui apakah cacing lisis/mati, paralisis, atau masih

normal setelah diinkubasi, cacing-cacing tersebut diusik dengan

batang pengaduk. Jika cacing diam, dipindahkan ke dalam air panas

dengan suhu 50 0C, apabila dengan cara ini cacing tetap diam, berarti

cacing tersebut telah lisis, tetapi jika bergerak, berarti cacing itu hanya

paralisis.

Hasil yang diperoleh dicatat. Batasan lisis dalam percobaan ini adalah

bila cacing mati atau cacing tidak bergerak bila dimasukkan ke dalam

air panas dengan suhu 500 C.

F. Hasil

Menunjukkan ekstrak etanol biji pinang mempunyai daya antelmintik

terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara in

vitro.

Dari hasil pengujian didapatkan nilai PC50 pada cacing Ascaris

lumbricoides sebesar 27,12 %. dan LC50 sebesar 27,11 % pada cacing

Ascaridia galli selama 12 jam.

G. Toksisitas

Besar potensi ketoksikan akut ekstrak etanol biji pinang secara oral

dosis tunggal pada mencit jantan tidak dapat dinyatakan dengan pasti

atau hanya diketahui LD50 semu (LD0)yaitu lebih besar dari 2.363,2

mg/kg berat badan dan bermakna toksikologi tidak begitu toksik (low

toxic).

Ekstrak etanol biji pinang tidak dapat disimpulkan apakah memiliki

efek toksik terhadap hepar hepar hewan uji atau tidak.

27

Page 28: Isi Antihelmintik

2.2.8 Withania somnifera (Gingseng)

Gambar 2.14. Gingseng (kiri) dan Simplisia akar pinang (kanan)

Sumber: Google images

A. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Solanales

Suku : Solanaceae

Marga : Withania

Jenis : Withania somnifera

Nama daerah: ashwagandha, indian ginseng, poison gooseberry, winter

cherry, di Indonesia biasa disebut ginseng india atau aswaganda

Tinggi tanaman 30-60cm, berbentuk semak tegak , Daunnya panjang 10

cm, lebar cm., Kelopak bunga berwarna kuning di dalam tetapi dengan

lapisan luar hijau , Buah berwarna merah dalam pelindung tipis (kelopak);

berakar panjang dan umbinya berdaging , Simplisia yang digunakan adalah

akar dan daun.

B. Kandungan Kimia

Terdapat lebih 35 senyawa kimia yang telah di ekstrasi, isolasi dan di

identifikasi diantaranya : alkaloid (isopelletierine, anaferine), steroidal

28

Page 29: Isi Antihelmintik

lactones (withanolides, withaferins), saponins (sitoindoside VII and VIII),

and withanolides (Purwal et al., 2010).

C. Efek Farmakologi

Tanaman ini sudah sering digunakan sebagai obat tradisional yang

mempunyai kemampuan dalam menyembuhkan berbagai macam

penyakit, seperti inflamasi, demam.

Secara farmakologis, tanaman ini dapat berkhasiat sebagai antikanker,

anabolik, antisertogenik, antiinflamasi, antistres, antioksidan,

immunomodulatory, hemopoetik, dan antihelmintik (Purwal et al.,

2010).

D. Penyiapan Simplisia dan Metode Ekstraksi Tanaman

• Daun dan akar dari tanaman W. somnifera dibersihkan

• Dikeringkan tanpa sinar matahari langsung selama beberapa hari, dan

kemudian diserbukkan

• Serbuk daun dan serbuk akar (masing-masing 500 gram) yang sudah

kering kemudian diektraksi dengan aquadest menggunakan metode

dekokta

• Hasil ekstrak dari akar sebesar 18,5% dan dari daun sebesar 16,7%.

Masing-masing ekstrak yang sudah didapat dilarutkan dalam aquadest

sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 2, 4, 6, dan 8 mg/ml.

(Abhyankar et al., 2014).

E. Penyiapan Hewan Percobaan

Digunakan cacing tanah (Pheretima posthuma) sebagai hewan coba

karena cacing tanah mempunyai kemiripan dengan cacing yang ada di

saluran cerna manusia dan cacing tanah mudah didapatkan. Selain itu,

sudah dipastikan bahwa semua senyawa antihelmintik bersifat toksik

pada cacing tanah, oleh karena itu cacing tanah dapat digunakan dalam

percobaan ini (Purwal et al., 2010).

29

Page 30: Isi Antihelmintik

F. Metode Percobaan

Cacing tanah yang sudah diambil, dicuci dan dibersihkan dengan NaCl

0,9%, dibagi menjadi 10 kelompok, yang terdiri dari 10 cacing pada

masing-masing kelompok. Semua ekstrak tanaman yang sudah

didapatkan dilarutkan dengan aquadest dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan

8 mg/ml. Semua cacing yang sudah dikelompokkan dimasukkan ke

dalam 50 ml larutan yang sudah dibuat

Kelompok 1 (control) aquadest

Kelompok 2 (standar) albendazole 10mg/ml

Kelompok 3, 4, 5, 6 ekstrak akar tanaman dengan dosis 2,4,6,8

mg/ml

Kelompok 7, 8, 9, 10 ekstrak daun tanaman dengan dosis 2,4,6,8

mg/ml (Purwal et al., 2010)

G. Hasil Percobaan

Dari tabel diatas dapat diliat bahwa Withania somnifera Leaves

(WSL) memiliki waktu kelumpuhan (Paralysis Time) dan Waktu Mati

(Death Time) tercepat yaitu 20.63 menit dan 43.74 menit sehingga dapat

30

Page 31: Isi Antihelmintik

disimpulkan bahwa ektrak daun gingseng india memiliki khasia yang

lebih efektif bila dibandingkan dengan ekstrak akarnya (Purwal et al.,

2010)

H. Dosis

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pada dosis 2-8 mg/ml

sudah didapatkan aktivitas atihelmintik pada ekstrak tanaman

Withania somnifera.

Direkomendasikan bahwa konsumsi ekstrak tanaman ini tidak boleh

terus-menerus, sebaiknya diselang setiap satu bulan. Ekstrak tanaman

ini sering dijumpai dalam bentuk kapsul yang berisi 350 mg serbuk

ekstrak atau 125 mg ekstrak kering.

Infusa : 1-2 gram akar kering direbus selama 15 menit, dikonsumsi

maksimal 2 gelas sehari.

I. Efek Samping dan Kontraindikasi

Withania somnifera sebaiknya tidak dikonsumsi bagi pengidap

hipertiroid atau wanita hamil. Dalam dosis yang tinggi tanaman ini

dapat menimbulkan efek hipnotik.

BAB II

31

Page 32: Isi Antihelmintik

PENUTUP

Nama Tanaman Spesies Famili Simplisia

Lidah Buaya Aloe vera Liliaceae akar

Petai Cina Leucaena

glauca

Mimosaceae Seluruh bagian

Pepaya Carica papaya Caricaceae Seluruh bagian

Pare Momordica

charantia

Cucurbitaceae Seluruh bagian

Mengkudu Morinda

citrifolia

Rubiaceae Seluruh bagian

Bawang Putih Allium sativum Amarylidaceae Seluruh bagian umbi

Pinang Areca catechu Arecaceae Biji pinang

Ginseng India Withania

somnifera

Solanaceae Akar

3.1 Kesimpulan

Jenis tanaman daun papaya, daun pare, buah mengkudu, bawang putih, petai

cina, akar lidah buaya, biji pinang, dan ginseng india yang telah diuraikan pada bab isi

telah menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut berpotensi sebagai obat cacing

(antihelmintik) yang cukup efektif, dengan aktivitas, potensi dan penggunaan masing-

masing dan telah diuji baik preklinik maupun klink.

3.2 Saran

32

Page 33: Isi Antihelmintik

Tanaman Indonesia dikenal sangat beranekaragam. Sebagian besar tanaman

tersebut telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Namun karena

keterbatasan yang ada, penggunaan tanaman tertentu sebagai obat suatu penyakit hanya

dikenal oleh sekelompok masyarakat. Selain itu, aktivitas tanaman obat dan efek

farmakologi yang dihasilkannya juga belum diteliti secara maksimal. Seperti yang

tersusun dalam makalah ini hanya sebagian kecil contoh tanaman yang memiliki aktivitas

medis khususnya sebagai antihelmintik.

DAFTAR PUSTAKA

Abhyankar, et al. (2014). Evaluation of Some Herbal Drugs for Their Anthelmentic and Antibacterial Activity, International Journal of Pharmaceutical Research and Bio-Science.

Afrah, Nidia. (2005). Efek Antelmintik Akar Lidah Buaya (Aloe Vera (L.) Burm. f.) Terhadap Ascaris Suum In Vitro. Other thesis, Universitas Kristen Maranatha.

Amanullah, A. (2008). Uji Daya Anthelmintik Infus Biji Dan Infus Daun Petai Cina (Leucanea Leucocephala) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia Galli) Secara In Vitro (Doctoral Dissertation, Faculty Of Medicine).

Andreanus A. Soemardji, et al. (2011). Decoction of Morinda citrofolia L. Leaves As a Herbal Medicine, Institut Teknologi Bandung.

Aronson, J.K. (2009). Meyler’s Side Effects of Herbal Medicines. Oxford: Elsevier.

Badan POM RI. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat

Citeureup. Direktorat Obat Asli Indonesia, Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Badan POM RI. (2011). Acuan Sediaan Herbal Volume 6 Edisi I. Badan Pengawas

Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

33

Page 34: Isi Antihelmintik

Barnes, J., et al. (2007). Herbal Medicines Third Edition. London: Pharmaceutical

Press.

CH. Kethani Devi, et al. (2013). Phytochemical Screening, Antibacterial, Antifungal and Anthelmintic Activity of Morinda citrifolia Stem. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry.

Debra Tiwow, et al. (2013). Uji Efek Antihelmintik Ekstrak Etanol Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap Cacing Ascaris Lumbricoides dan Ascaridia Galli Secara In Vitro, Pharmacon.

Effendy, A. M. W., Suparjo, N. M., Ameen, S. A., dan Abdullah, O. A. (2014).

Evaluation of Anthhelmintic Potential of Pawpaw (Carica papaya) Seeds

Administered In-Feed and In-Water for West African Dwarf (WAD) Goatss.

Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, Vol.4(16).

Elgadir, M.A., Salama, M., Adam, A. (2014). Carica Papaya As A Source Of

Natural Medicine And Its Utilization in Selected Pharmacetical Applications.

International Journal Of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences: Vol 6, Issue

1.

Fleming, Thomas. (2000). PDR (Physicians’ Desk Reference) for Herbal Medicines.

Montvale, New Jersey: Medical Economics Company.

G., Aravind, D., Bhowmik, S., Duraivel, G., Harish. (2013). Traditional and

Medicinal Uses of Carica papaya. Journal of Medicinal Plants Studies,

Volume 1, Issue 1 : 7-15.

Hutapea, J.B. (2014). Pengaruh Pemberian Biji Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap

Persentase Kecacingan Pada Mahasiswa Di Asrama Khusus Universitas

Advent Indonesia. Universitas Advent Indonesia.

Kendyartanto, R., dan Suhardjono. (2008). Uji Daya Anthelmintik Infus Daun Dan

Infus Biji Pare (Momordica charantia) Terhadap Cacing Gelang Ayam

(Ascaridia galli) Secara In Vitro . Universitas Diponegoro Semarang.

34

Page 35: Isi Antihelmintik

Khuntia Tapas Kumar, et al. (2010). Evaluation of Antibacterial, Antifungal and Anthelmintic Activity of Morinda citrifolia L. (Noni), International Journal of PharmTech Research.

Kumar, S.D., et al. (2010). A Medicinal Potency of Momordica Charantia.

International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research,

Volume 1, Issue 2: 95-100.

Manolong, V. V. (2009). Penggunaan Albumin Untuk Penurunan Kadar Tanin dan

Peningkatan Kualitas Serbuk Minuman Instan Biji Petai Cina (Leucaena

leucocephala Lmk. de Wit) (Doctoral dissertation, UAJY).

Nelson. S.C. (2003). Morinda citrifolia L. Diakses dari College of Tropical

Agriculture and Human Resource University of Hawai’i at Manoa

http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/downloads/morinda_species_profile.pdf

Nethravathi, et al. (2010). Antibacterial and Anthelmintic activity of Chogaru (Betel nut Concentrate), Res Rev Biomed Biotech 1(1).

Pankaj K. Sahu et al. (2013) Therapeutic and Medicinal Uses of Aloe Vera: A Review. Journal Pharmacology & Pharmacy 4, 599-610.

Peter, P.I. (2007). Clinical Research on Morinda citrifolia L. – Noni. Noni Clinical

Research Journal 1, (1-2).

Pradeep Kumar et al. (2012). Studies on Antimicrobial and Anthelmintic Potential of Aloe. IJRAP International Journal of Research Ayur. Pharm. 3(6):841-843

Purwal, et al. (2010). Anthelmintic activity of aqueous extracts of some Saponin containing medicinal plants, Scholars Research Library.

Rahayu, N., Ramdani, M. (2013). Faktor risiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing

Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal

Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang Vol 4, No.3, 150-154.

Rupa, S., dan Jayanta, B. (2013). Comparative Studies on Anthelmintic Potential of

Cucurbita maxima (Pumkin) Seeds and Carica papaya (Papaya) Seeds. Int. J.

Res. Ayurveda Pharm: 4 (4).35

Page 36: Isi Antihelmintik

Satapathy, Rangadhar. (2007). Effect of Noni on Filarial Worm Infestation In Vitro

Study. Noni Clinical Research Journal 1.

Singh, D.R. (2012). Morinda citrifolia (Noni): A review of the scientific validation

for its nutritional and therapeutic properties. Journal of Diabetes and

Endocrinology Vol 3(6), 77-91.

Stuart, Arnando, D. (2005). Noni. Diakses dari

http://www.academicjournals.org/article/article1379423803_Singh.pdf.

T.B. Murdiati, et al. (2010). Penulusuran Senyawa Aktif dari Buah Mengkudu (Morinda citrofolia) dengan Aktivitas Antelmintik Terhadap Haemonchus contortus, Balai Penelitian Veteriner.

The Integrated Taxonomic Information System. (2010). Allium sativum L. Diakses

dari http://www.itis.gov/servletSingleRpt/SingleRpt?

search_topic=TSN&searchvalue=42652.

The Integrated Taxonomic Information System. (2010). Morinda citrifolia L. Diakses

dari http://www.itis.gov/servletSingleRpt/SingleRpt?

search_topic=TSN&searchvalue=35071.

Tjokropranoto, R., Rosnaeni, dan Nathania, Y.M. (2011). Daya Anthelmintik

Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia L.) Terhadap

Cacing Ascaris Suum Betina In Vitro. Jurnal Medika Planta - Vol. 1 (4).

Tulika, T. dan Mala, A. (2015). Therapeutic efficacy of Centella asiatica (L.) and

Momordica charantia: As traditional medicinal plant. Journal of Plant

Sciences, 3(1-1): 1-9.

Violita, Wan Haddis (2014) Efek Antelmintik Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena

leucocephala) terhadap Cacing Ascaris suum secara In Vitro. Other thesis,

Universitas Kristen Maranatha.

36

Page 37: Isi Antihelmintik

Wang, MY, et al. (2002). Morinda citrifolia (Noni): A literature review and recent

advances in Noni research.

Worku, M., et al. (2009). Efficacy of garlic as an antihelmintic in adult boer goats.

Arch. Biol. Sci., Belgrade, 61 (1), 135-140.

www.traditionaltree.org, 2006. Species Profiles for Pacific Island Agroforesty.

37