isi antihelmintik
DESCRIPTION
isi antihelmintikTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengobatan herbal telah banyak digunakan selama beberapa abad di berbagai
belahan dunia. Ilmuwan dan profesional tenaga kesehatan menunjukkan
ketertarikan yang semakin meningkat terhadap bidang ini setelah mengetahui dan
menyadari manfaat kesehataan yang diberikan dari pengobatan herbal untuk
berbagai penyakit seperti hipertensi, kolesterol, diabetes, dan sebagainya
termasuk penyakit cacingan.
Lebih dari dua miliar penduduk diperkirakan terinfeksi cacing di seluruh
dunia dan 300 juta diantaranya merupakan penderita infeksi berat dengan 150 ribu
kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi cacing Soil Transmitted Helminth
(STH). Infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides sebesar 1,2
miliar, Trichuris trichiura sebesar 795 juta, dan Necator americanus serta
Ancylostoma duodenale sebanyak 740 juta. (Suriptiastuti dalam Rahayu dan
Ramdani, 2013).
Sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius, berbagai pengobatan
penyakit cacing atau yang lebih dikenal dengan agen antihelmintik terus
dikembangkan. Namun obat-obat yang banyak beredar saat ini dapat
menimbulkan berbagai efek samping seperti mual muntah, diare, nyeri abdomen,
sakit kepala, ruam kulit, dan sebagainya. Kondisi inilah yang menyebabkan
pengobatan herbal semakin dikembangkan dan diminati karena harganya lebih
murah, mudah didapatkan, memiliki beragam khasiat, lebih diterima oleh tubuh,
dan efek samping yang ditimbulkan lebih sedikit.
1.2 Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Mengetahui pengertian antihelmintik dan pendekatan pengobatan herbal
terkait
1.2.2 Mengetahui tumbuhan-tumbuhan yang memiliki khasiat antihelmintik
1
1.3 Metode penulisan
Dalam menulis makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan untuk
mendapatkan data-data yang dibutuhkan, yakni dengan mencari informasi dan
beberapa sumber buku dan jurnal yang berkaitan dengan makalah serta melalui
media internet di dalam situs-situs yang dapat dipercaya.
1.4 Sistematika penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan penulisan
1.3 Pembatasan masalah
1.4 Metode penulisan
1.5 Sistematika penulisan
BAB II: ISI
2.1 Antihelmintik
2.2 Pendekatan pengobatan herbal
2.2.1 Pepaya
2.2.2 Pare
2.2.3 Mengkudu
2.2.4 Bawang putih
2.2.5 Petai cina
2.2.6 Lidah buaya
2.2.7 Biji pinang
2.2.8 Ginseng India
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
2
BAB II
ISI
2.1 Antihelmintik
Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas
atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Sebagian besar
obat cacing efektif terhadap satu macam kelompok cacing, sehingga diperlukan
diagnosis yang tepat sebelum menggunakan obat tertentu.
Diagnosis dilakukan dengan menemukan cacing, telur cacing dan larva dalam
tinja, urin, sputum, darah atau jaringan lain penderita. Sebagian besar obat cacing
diberikan secara oral yaitu pada saat makan atau sesudah makan dan beberapa
obat cacing perlu diberikan bersama pencahar.
2.2 Pendekatan Pengobatan Herbal
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan semakin maraknya penelitian
yang dilakukan pada tanaman, ditemukan manfaat kandungan kimia dari berbagai
tanaman tentang kemampuannya sebagai antihelmintik. Pada tulisan ini penulis
memilih beberapa tanaman yang dilaporkan memiliki kandungan kimia sebagai
antihelmintik, diantaranya adalah :
2.2.1 Akar Lidah Buaya
Gambar 2.1. Lidah Buaya
Sumber: Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeurup
BPOM 2008
3
A. Taksonomi (BPOM, 2008)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Liliales
Suku : Liliaceae
Marga : Aloe
Jenis : Aloe vera (L.) Burm. f.
B. Simplisia yang digunakan
Aloe vera yang akrab dikenal dengan lidah buaya, telah banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kosmetik dan pengobatan herbal.
Daun, akar, dan bunganya telah banyak digunakan dalam berbagai
pengobatan. Daunnya selain dapat digunakan sebagai kosmetik khususnya
untuk rambut, ternyata dapat dijadikan sebagai obat diabetes. Akar yang
dikeringkan dijadikan sebagai obat cacingan. Lalu bunganya dimanfaatkan
dalam pengobatan muntah darah.
C. Kandungan kimia
Dalam Thesis nya Afrah (2005) menyebutkan kandungan kimia dari
akar lidah buaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing yaitu
Saponin, Antrakuinon dan Tanin. Selain itu lidah buaya juga mengandung
senyawa kimia yang bermanfaat lain diantaranya ada asam amino,
vitamin, kolesterol mineral, asam salisilat. (Pankaj K. Sahu, 2013)
D. Efek farmakologi
Akar lidah buaya memiliki efek antihelmintik dikarenakan banyak
senyawa kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi
farmakologi, dalam Efek Antelmintik Akar Lidah Buaya (Aloe Vera(L.)
Burm. f.) Terhadap Ascaris Suum In Vitro oleh Afrah tahun 2005
menyebutkan aktivitas-aktivitas farmakologi tersebut sebagai berikut:
4
- Saponin
Saponin mempunyai aktivitas sebagai surfaktan yang dapat
meningkatkan penetrasi makromolekul seperti protein melalui
membran sel. Saponin yang berasal dari akar lidah buaya bekerja
dengan cara menghambat enzim kolinesterase. Enzim kolinesterase
merupakan enzim yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin, suatu
neurotransmitter di berbagai sinaps serta akhiran saraf simpatis,
parasimpatis, dan saraf motor somatik. Penghambatan enzim
kolinesterase menyebabkan penumpukan asetikolin pada reseptor
nikotinik neuromuskular. Akibatnya, akan terjadi stimulasi terus-
menerus reseptor nikotinik yang menyebabkan peningkatan
kontraksi otot. Kontraksi ini lama-kelamaan akan menimbulkan
paralisis otot hingga berujung pada kematian cacing. Selain itu
senyawa saponin dapat mengiritasi saluran pencernaan sehingga
penyerapan zat-zat makanan terganggu yang mempengaruhi
kelangsungan hidup cacing.
- Antrakuinon
Kompleks antrakuinon (terutama aloin dan emodin) dapat
membentuk kompleks yang bersifat ireversibel dengan asam amino
nukleofilik dalam protein, sehingga terjadi inaktivasi protein dan
kehilangan fungsinya. Kompleks anthrakuinon dapat berfungsi
juga sebagai laksatif. Dua mekanisme efek laksatif dari akar lidah
buaya: memengaruhi motilitas usus besar yang mengakibatkan
percepatan waktu transit pada kolon; dan memengaruhi proses
sekresi mukosa dan klorida yang mengakibatkan peningkatkan
volume cairan. Defekasi terjadi sekitar 6-12 jam karena diperlukan
waktu transpor antrakuinon ke kolon dan dimetabolisme menjadi
senyawa aktif sehingga membantu mengeluarkan cacing dari
dalam tubuh.
- Tanin
5
Sifat tannin yang dapat mengendapkan protein membuat rusak
protein pada cacing, sehingga protein kehilangan struktur dan
fungsinya.
E. Uji praklinis
Ekstrak akar lidah buaya terbukti menginduksi kelumpuhan dan
kematian dari cacing parasit manusia, Eisonia fatida dalam waktu kurang
dari sehari secara in vitro. Paradeep Kumar et al (2012) dalam Therapeutic
and Medicinal Uses of Aloe Vera: A Review membandingkan kelompok
cacing Eisonia fatida yang diberi perlakuan dengan penambahan ekstrak
lidah buaya dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 25, 50, dan 100 mg/ml
dalam aquades. Piperazin digunakan sebagai standar, kemudian waktu
pada saat kelumpuhan cacing hingga mati diamati. Hasilnya menunjukan
bahwa dengan penambahan ekstrak lidah buaya dapat melumpuhkan
cacing.
F. Dosis dan penyiapan sediaan
Akar lidah buaya mula-mula dikeringkan. Kemudian diambil 15-30 gram
akar yang sudah kering, lalu direbus. Air rebusannya kemudian diminum.
Gambar2.2. Contoh sediaan herbal dari lidah buaya
Sumber: Google images
G. Efek samping
Efek samping yang ditimbulkan biasanya adalah diare dikarenakan efek
laksatif, dan keram usus.
6
H. Kontraindikasi peringatan
Dilarang penggunaanya untuk ibu hamil, karena dapat menyebabkan
kontraksi.
2.2.2 Petai Cina
Gambar 2.3. Petai Cina
Sumber: Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat Citeurup
BPOM 2008
A. Taksonomi (BPOM 2008)
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Fabales
Suku : Mimosaceae
Marga : Leucaena
Jenis : Leucaena glauca (Willd) Benth
B. Simplisia yang digunakan
Bagian yang digunakan sebagai obat herbal adalah seluruh tanaman, biji
yang dikeringkan, dan daun.
7
C. Kandungan kimia
Biji mengandung mimosin, leukanin, leukanol, dan protein. Daun
mengandung alkaloid, saponin, flavonoida, tanin, protein, lemak, kalsium,
fosfor, besi, serta vitamin ( A, B, C ) (Violita, 2014).
D. Efek farmakologi
Petai cina mengandungan beberapa zat aktif yang hampir sama dengan
pirantel pamoat sehingga mekanisme kerja yang ditimbulkannya juga
hampir sama. Kandungan yang berefek antelmintik daun petai cina adalah
saponin yang merupakan senyawa alkaloid. Senyawa tersebut dapat
mengiritasi saluran pencernaan cacing dan mengganggu sistem saraf
cacing sehingga pada akhirnya paralisis (Violita, 2014)
E. Uji praklinis
Uji praklinis petai cina sebagai antihelmintik atau obat cacing dilakukan
oleh Arif Amanullah tahun 2008, peneliti menggunakan 192 cacing
Ascardia galli yang dibagi dalam 4 kelompok. Setiap kelompok diberi
perlakuan infuse daun petai cina, infus biji petai cina, piperazin sitrat, dan
NaCl isotonis. Didapat hasil bahwa rerata waktu kematian cacing pada
kelompok perlakuan (dengan petai cina) lebih rendah dari kelompok
control negative (NaCl isotonis) tetapi lebih tinggi dari kelompok control
positif dengan perbedaan yang bermakna. Hal tersebut menunjukan bahwa
infuse petai cina memiliki daya antihelmintik, namun efeknya masih
dibawah piperazin sitrat (obat cacing).
F. Penyiapan dan dosis
Petai cina memberikan berbagai macam khasiat, salah satunya adalah
pengobatan penyakit cacingan,. Pada hal ini yang digunakan berupa biji
dari petai cina yang sudah tua dan kering, digoreng tanpa minyak dan
ditumbuk halus. Kemudian diambil 1 sendok dan diseduh dengan ½ - 1
gelas air panas. Diminum menjelang tidur malam.
8
Gambar2.4. Contoh sediaan herbal dari petai cina
Sumber: Google images
G. Efek samping
Salah satu keunggulan penggunaan obat herbal adalah minimnya efek
samping. Pada penggunaan petai cina ini efek samping yang ditimbulkan
tidaklah menyebabkan hal yang serius contohnya diare dan sakit perut.
H. Peringatan dan kontraindikasi
Penggunaannya tidak dianjurkan untuk ibu hamil.
2.2.3 Pepaya
Gambar 2.5. Buah Pepaya
Sumber: Badan POM RI
9
A. Taksonomi (Badan POM RI, 2008)
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Violales
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L.
Tanaman yang memiliki batang tidak berkayu, memiliki daun tunggal,
bentuknya bulat, ujungnya runcing, dan tepinya bergerigi dengan diameter
25-27 cm, pertulangan menjari dengan panjang tangkai 25-100 cm
berwarna hijau. Memiliki bunga tunggal, bentuknya bintang, terdapat di
ketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan berwarna
kuning, bentuk mahkotanya terompet. Bunga betina berdiri sendiri,
mahkotanya lepas, kepala putiknya lima, warnanya putih kekuningan.
Buah buni, bentuknya bulat memanjang, bergading, warna hijau muda bila
masih muda dan jingga bila sudah tua. Bentuk biji bulat panjang, kecil dan
bagian luarnya dibungkus selaput yang berisi cairan dengan warna putih
bila masih muda dan hitam bila sudah tua. Akar tunggang, bercabang dan
berwarna putih kekuningan (Badan POM RI, 2008).
B. Simplisia yang digunakan
Carica papaya atau biasa disebut papaya ini merupakan tanaman yang
sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Semua bagian
dari tanaman ini seperti buah, daun, biji, akar, dan getahnya pun dapat
digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Buahnya digunakan
untuk mengobati tumor, pengerasan kulit, kutil, kanker, kutil, rematik, dan
diuretik. Akarnya untuk mengobati sifilis, tumor rahim, wasir. Daunnya
digunakan untuk mengobati pertumbuhan elephantoid
(pembengkakan dikarenakan gangguan langka dari sistem limfatik yang
disebabkan oleh cacing), nyeri saraf, asma dan penyembuhan luka bakar.
10
Bijinya digunakan sebagai obat cacing, stimulasi menstruasi. TB,
hipertensi, hiperkolesteronia (Elgadir, et al., 2014). Biji papaya inilah
yang merupakan salah satu alternatif pengobatan cacingan yang banyak
digunakan karena mudah didapatkan dan biasanya merupakan limbah
yang tidak ada harganya.
C. Kandungan kimia
Kandungan kimia biji pepaya diantaranya protein, serat, asam lemak,
minyak pepaya, karpain, benzilisotiosianat, benzilglukosinolat,
glukotropakolin, benziltiourea, hentriakontan, β-sitosterol, karisin
(sinigrin), dan enzim mirosin (Rupa dan Jayanta 2013).
D. Efek Farmakologi
Biji pepaya yang memiliki berbagai manfaat dikarenakan banyak senyawa
kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi farmakologi.
Senyawa tersebut seperti benzilisotiosianat yang merupakan senyawa anti
nematode, serta memiliki aktivitas bakteri dan antifungi yang kuat (Badan
POM RI, 2011). Senyawa alkaloid, karpain juga bermanfaat
memperlambat denyut jantung pada manusia sehingga mengurangi
tekanan darah yang aksinya mirip dengan obat yang diresepkan untuk
pasien jantung, yaitu digitalis, serta dilaporkan juga dapat membunuh
cacing dan amuba (Aravind, et al.,2013).
E. Uji Praklinis
Ekstrak air biji segar buah pepaya (sebanding dengan 1,2-2,4 mg biji
pepaya) dapat membunuh 90% nematoda Caenorhabditis elegans dalam
waktu 4-5 jam, dan jika waktu diperpanjang sampai 12 jam, maka semua
nematoda tersebut mati. C. elegans merupakan nematoda non parasit,
yang secara genetik memiliki kemiripan dengan nematoda parasit maka
sering digunakan sebagai model uji aktivitas antihelmintik (Badan POM
RI, 2011).
Pada penelitian lain, Effendy, et al., (2014) menggunakan 40 Dwarf
Afrika (WAD) kambing Barat yang terinfeksi secara alami dengan
11
cacingan digunakan untuk mengevaluasi efektivitas Carica biji pepaya
dalam bentuk ekstrak air dan bubuk terhadap cacing usus. Hewan-hewan
secara acak menjadi empat kelompok perlakuan: GI, GII, GIII dan GIV
terdiri dari 10 kambing/kelompok. Hewan GI tidak diperlakukan,
sementara GII diberikan thiabendazole pengobatan obat cacing. GIII dan
GIV diberikan bentuk bubuk dan air dari ekstrak biji pepaya melalui
pakan dan air masing-masing. Setelah dua minggu pemberian, feses dan
darah dikumpulkan untuk parasitologi dan analisis hematologi. Hasilnya
perawatan dari kedua bentuk ekstrak biji pepaya menghasilkan
peningkatan yang signifikan dalam jumlah limfosit, volume sel (PCV), sel
darah merah (RBC) dan konsentrasi hemoglobin, dan terjadi penurunan
dalam jumlah telur cacing dalam feses dibandingkan dengan yang
diperoleh untuk pengobatan thiabendazole. Hal tersebut menunjukkan
bahwa ekstrak dari biji pepaya bisa berguna berpotensi sebagai
antihelminthik.
F. Uji Klinis
Pengujian efek antihelmintik pada manusia juga pernah dilakukan oleh
Hutapea (2014) dengan memberikan ekstrak biji pepaya pada partisipan
yang telah diperiksa positif terinfeksi cacing yang dipilih secara purposive
sampling. Pemeriksaan sampel feses yang telah dikumpulkan di lakukan
di Laboratorium dengan menggunakan teknik sediaan tebal (cellophane
covered thick smear technic) atau disebut teknik Kato untuk menentukan
jumlah cacing yang ada didalam usus. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase kecacingan pada
partisipan yaitu sebesar 66,66%. Walaupun dalam penelitian tersebut
belum dapat membunuh cacing secara 100%, namun cukup membuktikan
bahwa biji pepaya mempunyai khasiat yang dapat digunakan untuk
mengobati kecacingan.
G. Penyiapan dan Dosis
Dosis tunggal: 10 g serbuk biji kering (Badan POM RI, 2011).
12
Gambar2.6. Contoh sediaan herbal dari pepaya
Sumber: Google images
H. Efek Samping
Ekstrak biji pepaya dalam dosis besar memiliki efek kontrasepsi pada
tikus dan monyet, sejauh ini belum ditemukan efek samping yang terjadi
pada manusia. Pepaya yang tidak cukup matang akan melepaskan cairan
lateks yang dapat menyebabkan iritasi dan memicu reaksi alergi pada
beberapa orang. Konsentrasi lateks pepaya mentah berspekulasi
menyebabkan kontraksi rahim, yang dapat menyebabkan keguguran
(Aravind, et al.,2013).
I. Kontaindikasi dan Peringatan
Penggunaan papaya pada ibu hamil tidak dianjurkan karena terdapat
penelitian yang membuktikan bahwa papaya memiliki efek embriotoksik
dan teratogenik dan juga menyebabkan keguguran pada kehamilan. Biji
pepaya yang mengandung glikosida sianogenik, menimbulkan adanya
risiko keracunan asam sianida, terutama jika menggunakan biji pepaya
segar. Konsumsi berlebihan pepaya juga dapat menyebabkan karotenemia
(Badan POM RI, 2011).
13
2.2.4 Pare
Gambar 2.7. Tanaman Pare
Sumber: Google images
A. Taksonomi (Kumar, et al., 2010).
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Violales
Suku : Cucurbitaceae
Marga : Momordica
Jenis : Momordica charantia L.
Tanaman berupa semak menjalar, dengan buah berbentuk bulat telur atau
elips, memanjang, biasanya bergerigi atau berkutil. Biji dan empulur
tampak putih saat masih mentah, pematangan menjadi merah, tekturnya
berair, mirip dengan mentimun, labu siam atau paprika hijau. Buah yang
masak berubah oranye dan lembek. Daun pare berbentuk membulat,
bergerigi dengan pangkal bentuk jantung, garis tengah 4-7 cm, tepi
berbagi 5-9 lobus, berbintik-bintik tembus cahaya, taju bergigi kasar
hingga berlekuk menyirip, memiliki sulur daun dan berwarna agak
kekuningan dan berasa pahit. Bunga jantan dan bunga betina tumbuh pada
ketiak daun (Kumar, et al., 2010).
14
B. Simplisia yang digunakan
Tanaman pare (Momordica charantia L.) merupakan tanaman yang tidak
asing bagi masyarakat Indonesia, karena buahnya sering digunakan
sebagai sayuran atau lalapan. Semua bagian tanaman ini dapat digunakan
untuk pengobatan, seperti buahnya dapat dipakai untuk penurunan kadar
gula darah, tonikum, penurun panas (antipiretik), penambah nafsu makan,
obat pencahar, anti asam urat, anti rematik, dan sebagai obat cacing.
Bijinya dapat digunakan untuk obat cacing dan obat luka, sedangkan
daunnya dapat digunakan sebagai obat cacing, obat batuk, demam, dan
malaria (Tulika dan Mala, 2015).
C. Kandungan kimia
Buah mengandung glikosida, saponin, alkaloid, asam amino bebas, 5-
hidroksitriptamin, momordisin, momordikosid, asam oksalat, asam oleat,
pektin, polipeptida P, asam stearat, stigmasterol, rubixantin. Biji
mengandung kukurbitin, 20-40% protein dan 30-50% minyak lemak
dengan komponen utama asam oleat, asam linoleat (70-90%),
momordikosid, saponin, visin. Daun mengandung saponin, tannin,
flavonoid dan triterpene glycoside, kukurbitasin (Kumar, et al., 2010).
D. Efek Farmakologi
Efek antihelmintik dari beberapa senyawa yang terkandung dalam pare
memiliki efek farmakologi diantaranya, saponin dapat mengiritasi
membran mukosa saluran pencernaan cacing sehingga mengganggu
penyerapan makanannya. Sedangkan tanin dapat mengikat protein bebas
dalam traktus intestinal yang dapat mengakibatkan kematian cacing.
Senyawa flavonoid dapat mengakibatkan terjadinya degenerasi neuron
pada tubuh cacing sehingga mengakibatkan kematian cacing pula.
Triterpene glycosides dalam daun pare juga dapat menyebabkan inhibisi
motilitas spontan pada cacing. Semua hal ini akhirnya akan menyebabkan
cacing menjadi paralisis/mati (Tjokropranoto, et al., 2011).
15
E. Uji Praklinis
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kendyartanto dan Suhardjono (2008),
infus daun dan infus biji dari pare diuji menggunakan 192 cacing
Ascaridia galli yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama
diberi perlakuan infus daun pare konsentrasi 10g/100ml, 20g/100ml, dan
40g/100ml. Kelompok kedua diberi perlakuan infus biji pare konsentrasi
10g/100ml, 20g/100ml, dan40g/100ml. Kelompok ketiga diberi piperazin
sitrat 0,5% sebagai kontrol positif. Kelompok keempat diberi NaCl 0,9%
sebagai kontrol negatif. Hasilnya Rerata waktu kematian cacing pada
kelompok perlakuan lebih rendah dari kelompok kontrol negatif tetapi
lebih tinggi dari kelompok kontrol positif dengan nilai perbedaan yang
bermakna. Hal tersebut menunjukan bahwa Infus daun dan biji pare
memiliki daya antihelmintik terhadap cacing Ascaridia galli lebih efektif
dari Piperazin sitrat 0,5%.
F. Uji Klinis
Pengujian secara klinis pada manusia mengenai efek antihelmintik dari
tanaman pare sejauh ini masih belum diketahui. Pengujian hanya baru
dilakukan secara in vitro yaitu dengan menggunakan hewan coba, seperti
tikus dan kelinci.
G. Penyiapan dan Dosis
Dosis harian dewasa:
Ekstrak air buah pare 15 g/hari
Jus buah pare segar 10-15 mL
2-15 simplisia kering buah pare
16
Gambar 2.8. Contoh sediaan herbal dari pare
Sumber: Google images
H. Efek Samping
Kadang-kadang bisa membuat mulas, mual, muntah. M. charantia juga
dapat menyebabkan koma hipoglikemik dan kejang pada anak-anak
(Aronson, 2009), meningkatkan y-glutamil transferase dan alkalin
fosfatase dan nyeri kepala. Dosis besar menyebabkan diare dan nyeri pada
usus halus (Badan POM RI, 2011).
I. Kontaindikasi dan Peringatan
Pada wanita hamil tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi pare karena
dapat merangsang rahim dan dapat menyebabkan kelahiran prematur
(Kumar, et al., 2010). Biji pare mengandung senyawa alfatrikosantin dan
p-momorkin yang berefek abortif. Komsumsi pare yang berlebihan dapat
menurunkan fertilitas baik pada laki-laki dan perempuan (Badan POM RI,
2011).
2.2.5 Mengkudu
Gambar 2.5. Buah mengkudu
Sumber: https://sites.google.com/site/instanbuahmengkudu/17
A. Taksonomi (The Integrated Taxonomic Information System)
Kingdom : Plantae
Divisi : Traceophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Gentianales
Familia : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia L.
B. Simplisia yang digunakan
Morinda citrifolia yang akrab dikenal dengan mengkudu atau buah
noni di Indonesia, telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
bahan pangan dan pengobatan herbal. Daun, biji, kulit batang, buah, dan
akarnya telah banyak digunakan dalam berbagai pengobatan di dunia
khususnya Asia Tenggara. Seluruh bagian tumbuhan mengkudu
digunakan untuk mengobati disentri. Buahnya yang matang digunakan
untuk mengobati penyakit cacingan, asma, diabetes, dan hipertensi.
Bagian daunnya digunakan untuk mengobati batuk, mual muntah, dan
kolik dikarenakan efek antiinflamasinya. Daun mengkudu juga digunakan
unruk mengobati penyakit gout, TBC, dan penyakit cacingan (Stuart,
2005).
C. Kandungan kimia
Peter (2007) dalam Clinical Research on Morinda citrifolia L
menuliskan bahwa terdapat beberapa senyawa kimia dalam mengkudu
yaitu oligo dan polisakarida, glikosida termasuk flavonoid (rutin dan asam
asperulosidat), ester asam lemak trisakarida, skopoletin, beta-sitosterol,
damnacanthal, alkaloid (xeronine, proxeronine), asam oktonoat, kalium,
vitamin C, terpenoid, antrakuinon (nordamnacanthal, morindone, rubiadin,
rubiadin, metil eter, glikosaida antrakuinon), karoten, vitamin A, glikosida
18
flavon, asam linoleat, alizarin, asam amino, acubin, L-asperuloside, asam
kaproat, asam ursolat.
D. Efek farmakologi
Mengkudu memiliki berbagai manfaat dikarenakan banyak senyawa
kimia yang terkandung didalamnya memberikan aksi farmakologi, Peter
(2007) dalam Clinical Research on Morinda citrifolia L menyebutkan
aktivitas-aktivitas farmakologi tersebut sebagai berikut.
Oligo dan polisakarida, memberikan fungsi probiotik sebagai serat
makanan yang dapat difermentasi oleh bakteri kolon
Scopoletin, memberikan aktivitas antibiotik
Beta sitosterol, memberikan aktivitas antikolesterol
Damnacanthal, memiliki potensi sebagai inhibitor protein virus HIV
Ahli biokimia, Ralph Heinicke, menyatakan buah mengkudu
mengandung prekursor dari alkaloid Xeronine yang bernama Proxeronine.
Di dalam tubuh, Proxeronine dikonversikan menjadi Xeronine oleh enzim
Proxeroninase. Xeronine dapat memodifikasi struktur molekular dari
protein sehingga memiliki banyak aktivitas biologis (Wang, 2002).
E. Uji praklinis
Ekstrak etanol dari daun mengkudu terbukti menginduksi kelumpuhan
dan kematian dari cacing parasit manusia, Ascaris lumbricoides dalam
waktu kurang dari sehari secara in vitro (Peter, 2007).
Satapathy (2007) dalam Effect of Noni on Filarial Worm Infestation In
Vitro Study membandingkan kelompok cacing Wuchereria bancrofti
dewasa yang diberi perlakuan dengan penambahan ekstrak buah
mengkudu di media dengan kelompok kontrol. Hasilnya menunjukan
bahwa kelompok yang diberi perlakuan mati dalam waktu kurang dari 20
jam sedangkan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan dapat
bertahan selama 60 jam.
Khuntia et al dalam Singh (2012) melaporkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa ekstrak alkohol mengkudu memperlihatkan efek
19
antihelmintik yang lebih baik dibanding dengan ekstrak petroleum eter
dan efek yang dihasilkan hampir setara dengan Piperazine sitrat.
F. Uji klinis
Sejauh ini uji klinis pada manusia menggunakan buah mengkudu
masih belum diketahui. Berbagai uji hanya baru dilakukan secara in vitro
atau dengan menggunakan binatang (Wang dalam Stuart, 2005).
Sebuah survey klinis mengenai mengkudu pernah dilakukan oleh Neil
Solomon untuk mengetahui manfaat kesehatan dari mengkudu terhadap
10000 subjek yang mengonsumsi jus mengkudu. Dari hasil survey klinis
ini diketahui bahwa mengkudu memiliki efikasi terhadap berbagai
masalah kesehatan seperti kanker, berat badan berlebih, hipertensi,
arthritis, penyakit jantung, diabetes, masalah kesehatan, dan alergi.
G. Dosis dan penyiapan sediaan (Nelson, 2003)
Jus mengkudu
Buah mengkudu matang diblender dengan penambahan air
secukupnya.
Serbuk mengkudu
Buah mengkudu dikeringkan kemudian dibuat menjadi serbuk untuk
selanjutnya diolah lebih lanjut menjadi jus, tablet, atau kapsul.
Gambar 2.6. Contoh sediaan herbal buah mengkudu yang beredar di
pasaran
Sumber: Google images
H. Efek samping
Jus mengkudu dilaporkan menimbulkan efek hiperkalemia. Seorang
pria yang mengonsumsi jus mengkudu dengan kondisi insufisien ginjal
20
kronik mengalami peningkatan konsentrasi plasma kalium tanpa tambahan
konsumsi apapun. Buah mengkudu juga dapat mengakibatkan kerusakan
hati. Seorang pria yang mengonsumsi jus mengkudu selama tiga minggu
secara kontinyu mengalami peningkatan aktivitas transaminase dan laktat
dehidrogenase yang sangat tinggi (Aronson, 2009).
I. Kontraindikasi peringatan
Pasien dengan gangguan atau penyakit hati (Aronson, 2009)
2.2.6 Bawang Putih
Gambar 2.7. Bawang putih
Sumber: http://www.huffingtonpost.ca/2012/10/12/garlic-health-
benefits_n_1962523.html
A. Taksonomi (The Integrated Taxonomic Information System)
Kingdom : Plantae
Divisi : Traceophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asparagales
Familia : Amarylidaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium sativum L.
21
B. Simplisia yang digunakan
Bagian yang digunakan sebagai pengobatan herbal adalah seluruh
bagian umbi bawang putih, baik dalam keadaan segar, dikeringkan,
maupun dalam bentuk minyaknya (Fleming, 2000).
C. Kandungan kimia
Senyawa yang terkandung di dalam putih adalah enzim-enzim
(allinase, peroksidase, mirosinase, katalase, superoksida dismutase,
arginase, lipase), minyak esensial (aliin termasuk allicin, alilpropil
disulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida; ajoen dan vinyldithiines), terpen
(sitral, geraniol, linalool, α dan β felandren). Bawang putih juga
mengandung senyawa-senyawa lain seperti protein (glutamil pepsida),
asam amino (arginin, asam glutamat, asam asparagat, metionin, treonin),
mineral, vitamin, unsur hara, lipid, prostaglandin (A2, D2, E2, F1α, F2)
(Barnes et al, 2007).
D. Efek farmakologi
Barnes et al (2007) dalam Herbal Medicines Third Edition
menyatakan bawang putih memiliki berbagai efek terapi sebagai
diaphoretic, ekspektoran, antispasme, antiseptik, bakteriostatik, antiviral,
hipotensif, dan antihelmintik. Bawang putih memiliki spektrum
antimikroba yang luas; bawang putih memiliki efek antibakteri, antifungi,
antiviral, dan antiparasit dengan mempengaruhi setidaknya 12 jenis parasit
pada manusia dan nonmanusia yang berbeda. Bawang putih juga memiliki
aktivitas sebagai immunomodulator (Anthony et al dalam Worku, M., et
al, 2009).
E. Uji praklinis
Uji praklinis telah banyak dilakukan secara in vitro maupun in vivo
pada binatang untuk menguji efek farmakologi antihipertensi, menurunkan
kadar lipid, antiatherogenic, antithrombotik, fibrinolitik, antioksidan,
antikarsinogenik, antitumorigenic, immunomudulatory, antimikroba, dan
antihelmintik dari bawang putih (Barnes et al, 2007). Efikasi bawang putih
22
sebagai antihelmintik pada kambing dewasa membuktikan bahwa jus
bawang putih terbukti menurunkan jumlah cacing Haemonchus contortus
pada kambing dewasa secara signifikan (Worku, M., et al, 2009).
F. Uji klinis
Uji klinis bawang putih telah dilakukan untuk mengetahui efek
farmakologis terhadap beberapa parameter yaitu konsentrasi kolesterol,
konsentrasi trigliserida, tekanan darah, agregasi platelet, resistensi
vaskular, dan fibrinolisis (Barnes et al, 2007). Namun untuk pengujian
klinis secara spesifik mengenai efek antihelmintik dari bawang putih
belum dilakukan.
G. Dosis dan penyiapan sediaan (Barnes, J., et al, 2007)
Dosis pemberian bawang putih sebagai pengobatan herbal untuk orang
dewasa adalah sebagai berikut.
Bawang putih segar: sehari 4 gram
Bawang putih kering: sehari tiga kali 2-4 gram
Tincture bawang putih: sehari tiga kali 2-4 mL
Minyak bawang putih: sehari tiga kali 0,03-0,12 mL
Jus bawang putih: 2-4 mL
Sirup bawang putih: 2-8 mL
Gambar 2.8. Contoh sediaan jus bawang putih
Sumber: Google images
23
H. Efek samping
Meski bawang putih banyak digunakan dalam berbagai pengobatan
tradisional, terdapat beberapa efek samping yang perlu diperhatikan.
Menghirup bubuk bawang putih dapat memicu asma. Penggunaan bawang
putih yang berlebihan dapat mengakibatkan hematoma epidural spinal
spontan yang berujung kepada paraplegia. Kontak topikal dari bawang
putih dapat mengakibatkan alergi dermatitis kontak atau lesi yang
menyebabkan kulit seperti terbakar (Aronson, 2009).
I. Kontraindikasi dan peringatan
Pasien yang mengonsumsi antikoagulan
Bawang putih memiliki efek sebagai antiplatelet sehingga akan
meningkatkan risiko terjadinya perdarahan apabila dikonsumsi
bersama dengan obat antiplatelet dan antikoagulan seperti aspirin,
warfarin (Aronson, 2009).
Ibu hamil dan menyusui
Bawang putih dapat meningkatkan konsentrasi uterus dan mengubah
bau ASI (Barnes, 2007).
2.2.7 Pinang
Gambar 2.13. Areca catechu (pinang)
Sumber: Google images
24
A. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi :Spermatophyta
Kelas : Monokotil
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu
Nama Daerah : Pinang, Jambe (Banyuwangi), Jambe (Sunda),
Pineng, pineung (Aceh), pinang (Gayo), batang mayang (Karo), pining
(Tobal), batang pinang (Minangkabau).
Batang pinang berbentuk bulat dan tumbuh lurus, tidak bercabang dengan
ketinggian bisa mencapai 18 m, bahkan ada yang mencapai 30 m dengan
lingkaran batang 44 – 80 cm. Bunganya berbentuk rangkaian , berupa
tandan yang terletak di bawah pelepah daun. Buahnya berwarna hijau
ketika masih muda dan berubah menjadi jingga atau merah kekuningan
setelah masak.
B. Kandungan Kimia
• Zat aktif utama pada biji pinang : alkaloid, seperti arekolin,
arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine, tanin
terkondensasi, tanin terhidrolisis, flavan, senyawa fenolik, asam galat,
getah, lignin, minyak menguap dan tidak menguap, serta garam (Wang
et al., 1996).
• Panjaitan (2008) : mengandung 0,3 - 0,6%, alkaloid, seperti arekolin
(C8H13NO2), arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan
isoguvasine. Selain itu juga mengandung red tannin 15%, lemak 14%
(palmitic, oleic, stearic, caproic, caprylic, lauric, myristic acid), kanji
dan resin.
25
C. Efek Farmakologi
Arekolin : antihelmintik dan juga sebagai penenang, sehingga bersifat
memabukan bagi penggunanya sehingga tidak dianjurkan untuk
pemakaian dalam jumlah besar.
Proantosianidin : efek antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, anti-
inflamasi, anti-alergi, dan vasodilatasi.
Choline, Arecaidine, Tanin, Guvacoline, dan Guvacine : memiliki sifat
astringent dan berfungsi sebagai hemostatik
D. Uji Praklinik (In Vitro)
Penelitian dilakukan oleh Debra Tiwow et al, 2013 bertujuan untuk
mengetahui efek antihelmintik ekstrak etanol biji pinang (Areca catechu)
terhadap cacing Ascaris Lumbricoides dan Ascaridia Galli secara in
vitro.
Ekstrak etanol biji pinang mengandung senyawa tanin yang mampu
menghambat enzim dan merusak membran sel. Penelitian ini digunakan
untuk mengetahui daya antelmintik ekstrak etanol biji pinang terhadap
cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli, serta mengetahui
konsentrasi efektif dari ekstrak etanol biji pinang sebagai antelmintik.
Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi
10%, 20%, dan 30% dan menggunakan pirantel pamoat sebagai kontrol
positif. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam sampai
batas waktu penelitian dan selanjutnya data dianalisis menggunakan
ANOVA. Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui PC50 dan LC50.
E. Prosedur Pelaksanaan
Cawan petri disiapkan, masing-masing berisi ektrak etanol biji pinang
dan larutan pirantel pamoat sesuai konsentrasi masing-masing serta
larutan NaCl 0,9%.
26
Cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli sebanyak 3 ekor
dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri , kemudian
diinkubasi pada suhu 37 O C.
Untuk mengetahui apakah cacing lisis/mati, paralisis, atau masih
normal setelah diinkubasi, cacing-cacing tersebut diusik dengan
batang pengaduk. Jika cacing diam, dipindahkan ke dalam air panas
dengan suhu 50 0C, apabila dengan cara ini cacing tetap diam, berarti
cacing tersebut telah lisis, tetapi jika bergerak, berarti cacing itu hanya
paralisis.
Hasil yang diperoleh dicatat. Batasan lisis dalam percobaan ini adalah
bila cacing mati atau cacing tidak bergerak bila dimasukkan ke dalam
air panas dengan suhu 500 C.
F. Hasil
Menunjukkan ekstrak etanol biji pinang mempunyai daya antelmintik
terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan Ascaridia galli secara in
vitro.
Dari hasil pengujian didapatkan nilai PC50 pada cacing Ascaris
lumbricoides sebesar 27,12 %. dan LC50 sebesar 27,11 % pada cacing
Ascaridia galli selama 12 jam.
G. Toksisitas
Besar potensi ketoksikan akut ekstrak etanol biji pinang secara oral
dosis tunggal pada mencit jantan tidak dapat dinyatakan dengan pasti
atau hanya diketahui LD50 semu (LD0)yaitu lebih besar dari 2.363,2
mg/kg berat badan dan bermakna toksikologi tidak begitu toksik (low
toxic).
Ekstrak etanol biji pinang tidak dapat disimpulkan apakah memiliki
efek toksik terhadap hepar hepar hewan uji atau tidak.
27
2.2.8 Withania somnifera (Gingseng)
Gambar 2.14. Gingseng (kiri) dan Simplisia akar pinang (kanan)
Sumber: Google images
A. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Solanales
Suku : Solanaceae
Marga : Withania
Jenis : Withania somnifera
Nama daerah: ashwagandha, indian ginseng, poison gooseberry, winter
cherry, di Indonesia biasa disebut ginseng india atau aswaganda
Tinggi tanaman 30-60cm, berbentuk semak tegak , Daunnya panjang 10
cm, lebar cm., Kelopak bunga berwarna kuning di dalam tetapi dengan
lapisan luar hijau , Buah berwarna merah dalam pelindung tipis (kelopak);
berakar panjang dan umbinya berdaging , Simplisia yang digunakan adalah
akar dan daun.
B. Kandungan Kimia
Terdapat lebih 35 senyawa kimia yang telah di ekstrasi, isolasi dan di
identifikasi diantaranya : alkaloid (isopelletierine, anaferine), steroidal
28
lactones (withanolides, withaferins), saponins (sitoindoside VII and VIII),
and withanolides (Purwal et al., 2010).
C. Efek Farmakologi
Tanaman ini sudah sering digunakan sebagai obat tradisional yang
mempunyai kemampuan dalam menyembuhkan berbagai macam
penyakit, seperti inflamasi, demam.
Secara farmakologis, tanaman ini dapat berkhasiat sebagai antikanker,
anabolik, antisertogenik, antiinflamasi, antistres, antioksidan,
immunomodulatory, hemopoetik, dan antihelmintik (Purwal et al.,
2010).
D. Penyiapan Simplisia dan Metode Ekstraksi Tanaman
• Daun dan akar dari tanaman W. somnifera dibersihkan
• Dikeringkan tanpa sinar matahari langsung selama beberapa hari, dan
kemudian diserbukkan
• Serbuk daun dan serbuk akar (masing-masing 500 gram) yang sudah
kering kemudian diektraksi dengan aquadest menggunakan metode
dekokta
• Hasil ekstrak dari akar sebesar 18,5% dan dari daun sebesar 16,7%.
Masing-masing ekstrak yang sudah didapat dilarutkan dalam aquadest
sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 2, 4, 6, dan 8 mg/ml.
(Abhyankar et al., 2014).
E. Penyiapan Hewan Percobaan
Digunakan cacing tanah (Pheretima posthuma) sebagai hewan coba
karena cacing tanah mempunyai kemiripan dengan cacing yang ada di
saluran cerna manusia dan cacing tanah mudah didapatkan. Selain itu,
sudah dipastikan bahwa semua senyawa antihelmintik bersifat toksik
pada cacing tanah, oleh karena itu cacing tanah dapat digunakan dalam
percobaan ini (Purwal et al., 2010).
29
F. Metode Percobaan
Cacing tanah yang sudah diambil, dicuci dan dibersihkan dengan NaCl
0,9%, dibagi menjadi 10 kelompok, yang terdiri dari 10 cacing pada
masing-masing kelompok. Semua ekstrak tanaman yang sudah
didapatkan dilarutkan dengan aquadest dengan konsentrasi 2, 4, 6, dan
8 mg/ml. Semua cacing yang sudah dikelompokkan dimasukkan ke
dalam 50 ml larutan yang sudah dibuat
Kelompok 1 (control) aquadest
Kelompok 2 (standar) albendazole 10mg/ml
Kelompok 3, 4, 5, 6 ekstrak akar tanaman dengan dosis 2,4,6,8
mg/ml
Kelompok 7, 8, 9, 10 ekstrak daun tanaman dengan dosis 2,4,6,8
mg/ml (Purwal et al., 2010)
G. Hasil Percobaan
Dari tabel diatas dapat diliat bahwa Withania somnifera Leaves
(WSL) memiliki waktu kelumpuhan (Paralysis Time) dan Waktu Mati
(Death Time) tercepat yaitu 20.63 menit dan 43.74 menit sehingga dapat
30
disimpulkan bahwa ektrak daun gingseng india memiliki khasia yang
lebih efektif bila dibandingkan dengan ekstrak akarnya (Purwal et al.,
2010)
H. Dosis
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pada dosis 2-8 mg/ml
sudah didapatkan aktivitas atihelmintik pada ekstrak tanaman
Withania somnifera.
Direkomendasikan bahwa konsumsi ekstrak tanaman ini tidak boleh
terus-menerus, sebaiknya diselang setiap satu bulan. Ekstrak tanaman
ini sering dijumpai dalam bentuk kapsul yang berisi 350 mg serbuk
ekstrak atau 125 mg ekstrak kering.
Infusa : 1-2 gram akar kering direbus selama 15 menit, dikonsumsi
maksimal 2 gelas sehari.
I. Efek Samping dan Kontraindikasi
Withania somnifera sebaiknya tidak dikonsumsi bagi pengidap
hipertiroid atau wanita hamil. Dalam dosis yang tinggi tanaman ini
dapat menimbulkan efek hipnotik.
BAB II
31
PENUTUP
Nama Tanaman Spesies Famili Simplisia
Lidah Buaya Aloe vera Liliaceae akar
Petai Cina Leucaena
glauca
Mimosaceae Seluruh bagian
Pepaya Carica papaya Caricaceae Seluruh bagian
Pare Momordica
charantia
Cucurbitaceae Seluruh bagian
Mengkudu Morinda
citrifolia
Rubiaceae Seluruh bagian
Bawang Putih Allium sativum Amarylidaceae Seluruh bagian umbi
Pinang Areca catechu Arecaceae Biji pinang
Ginseng India Withania
somnifera
Solanaceae Akar
3.1 Kesimpulan
Jenis tanaman daun papaya, daun pare, buah mengkudu, bawang putih, petai
cina, akar lidah buaya, biji pinang, dan ginseng india yang telah diuraikan pada bab isi
telah menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut berpotensi sebagai obat cacing
(antihelmintik) yang cukup efektif, dengan aktivitas, potensi dan penggunaan masing-
masing dan telah diuji baik preklinik maupun klink.
3.2 Saran
32
Tanaman Indonesia dikenal sangat beranekaragam. Sebagian besar tanaman
tersebut telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Namun karena
keterbatasan yang ada, penggunaan tanaman tertentu sebagai obat suatu penyakit hanya
dikenal oleh sekelompok masyarakat. Selain itu, aktivitas tanaman obat dan efek
farmakologi yang dihasilkannya juga belum diteliti secara maksimal. Seperti yang
tersusun dalam makalah ini hanya sebagian kecil contoh tanaman yang memiliki aktivitas
medis khususnya sebagai antihelmintik.
DAFTAR PUSTAKA
Abhyankar, et al. (2014). Evaluation of Some Herbal Drugs for Their Anthelmentic and Antibacterial Activity, International Journal of Pharmaceutical Research and Bio-Science.
Afrah, Nidia. (2005). Efek Antelmintik Akar Lidah Buaya (Aloe Vera (L.) Burm. f.) Terhadap Ascaris Suum In Vitro. Other thesis, Universitas Kristen Maranatha.
Amanullah, A. (2008). Uji Daya Anthelmintik Infus Biji Dan Infus Daun Petai Cina (Leucanea Leucocephala) Terhadap Cacing Gelang Ayam (Ascaridia Galli) Secara In Vitro (Doctoral Dissertation, Faculty Of Medicine).
Andreanus A. Soemardji, et al. (2011). Decoction of Morinda citrofolia L. Leaves As a Herbal Medicine, Institut Teknologi Bandung.
Aronson, J.K. (2009). Meyler’s Side Effects of Herbal Medicines. Oxford: Elsevier.
Badan POM RI. (2008). Taksonomi Koleksi Tanaman Obat Kebun Tanaman Obat
Citeureup. Direktorat Obat Asli Indonesia, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
Badan POM RI. (2011). Acuan Sediaan Herbal Volume 6 Edisi I. Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.
33
Barnes, J., et al. (2007). Herbal Medicines Third Edition. London: Pharmaceutical
Press.
CH. Kethani Devi, et al. (2013). Phytochemical Screening, Antibacterial, Antifungal and Anthelmintic Activity of Morinda citrifolia Stem. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry.
Debra Tiwow, et al. (2013). Uji Efek Antihelmintik Ekstrak Etanol Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap Cacing Ascaris Lumbricoides dan Ascaridia Galli Secara In Vitro, Pharmacon.
Effendy, A. M. W., Suparjo, N. M., Ameen, S. A., dan Abdullah, O. A. (2014).
Evaluation of Anthhelmintic Potential of Pawpaw (Carica papaya) Seeds
Administered In-Feed and In-Water for West African Dwarf (WAD) Goatss.
Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, Vol.4(16).
Elgadir, M.A., Salama, M., Adam, A. (2014). Carica Papaya As A Source Of
Natural Medicine And Its Utilization in Selected Pharmacetical Applications.
International Journal Of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences: Vol 6, Issue
1.
Fleming, Thomas. (2000). PDR (Physicians’ Desk Reference) for Herbal Medicines.
Montvale, New Jersey: Medical Economics Company.
G., Aravind, D., Bhowmik, S., Duraivel, G., Harish. (2013). Traditional and
Medicinal Uses of Carica papaya. Journal of Medicinal Plants Studies,
Volume 1, Issue 1 : 7-15.
Hutapea, J.B. (2014). Pengaruh Pemberian Biji Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap
Persentase Kecacingan Pada Mahasiswa Di Asrama Khusus Universitas
Advent Indonesia. Universitas Advent Indonesia.
Kendyartanto, R., dan Suhardjono. (2008). Uji Daya Anthelmintik Infus Daun Dan
Infus Biji Pare (Momordica charantia) Terhadap Cacing Gelang Ayam
(Ascaridia galli) Secara In Vitro . Universitas Diponegoro Semarang.
34
Khuntia Tapas Kumar, et al. (2010). Evaluation of Antibacterial, Antifungal and Anthelmintic Activity of Morinda citrifolia L. (Noni), International Journal of PharmTech Research.
Kumar, S.D., et al. (2010). A Medicinal Potency of Momordica Charantia.
International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research,
Volume 1, Issue 2: 95-100.
Manolong, V. V. (2009). Penggunaan Albumin Untuk Penurunan Kadar Tanin dan
Peningkatan Kualitas Serbuk Minuman Instan Biji Petai Cina (Leucaena
leucocephala Lmk. de Wit) (Doctoral dissertation, UAJY).
Nelson. S.C. (2003). Morinda citrifolia L. Diakses dari College of Tropical
Agriculture and Human Resource University of Hawai’i at Manoa
http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/downloads/morinda_species_profile.pdf
Nethravathi, et al. (2010). Antibacterial and Anthelmintic activity of Chogaru (Betel nut Concentrate), Res Rev Biomed Biotech 1(1).
Pankaj K. Sahu et al. (2013) Therapeutic and Medicinal Uses of Aloe Vera: A Review. Journal Pharmacology & Pharmacy 4, 599-610.
Peter, P.I. (2007). Clinical Research on Morinda citrifolia L. – Noni. Noni Clinical
Research Journal 1, (1-2).
Pradeep Kumar et al. (2012). Studies on Antimicrobial and Anthelmintic Potential of Aloe. IJRAP International Journal of Research Ayur. Pharm. 3(6):841-843
Purwal, et al. (2010). Anthelmintic activity of aqueous extracts of some Saponin containing medicinal plants, Scholars Research Library.
Rahayu, N., Ramdani, M. (2013). Faktor risiko terjadinya kecacingan di SDN Tebing
Tinggi di Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal
Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang Vol 4, No.3, 150-154.
Rupa, S., dan Jayanta, B. (2013). Comparative Studies on Anthelmintic Potential of
Cucurbita maxima (Pumkin) Seeds and Carica papaya (Papaya) Seeds. Int. J.
Res. Ayurveda Pharm: 4 (4).35
Satapathy, Rangadhar. (2007). Effect of Noni on Filarial Worm Infestation In Vitro
Study. Noni Clinical Research Journal 1.
Singh, D.R. (2012). Morinda citrifolia (Noni): A review of the scientific validation
for its nutritional and therapeutic properties. Journal of Diabetes and
Endocrinology Vol 3(6), 77-91.
Stuart, Arnando, D. (2005). Noni. Diakses dari
http://www.academicjournals.org/article/article1379423803_Singh.pdf.
T.B. Murdiati, et al. (2010). Penulusuran Senyawa Aktif dari Buah Mengkudu (Morinda citrofolia) dengan Aktivitas Antelmintik Terhadap Haemonchus contortus, Balai Penelitian Veteriner.
The Integrated Taxonomic Information System. (2010). Allium sativum L. Diakses
dari http://www.itis.gov/servletSingleRpt/SingleRpt?
search_topic=TSN&searchvalue=42652.
The Integrated Taxonomic Information System. (2010). Morinda citrifolia L. Diakses
dari http://www.itis.gov/servletSingleRpt/SingleRpt?
search_topic=TSN&searchvalue=35071.
Tjokropranoto, R., Rosnaeni, dan Nathania, Y.M. (2011). Daya Anthelmintik
Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia L.) Terhadap
Cacing Ascaris Suum Betina In Vitro. Jurnal Medika Planta - Vol. 1 (4).
Tulika, T. dan Mala, A. (2015). Therapeutic efficacy of Centella asiatica (L.) and
Momordica charantia: As traditional medicinal plant. Journal of Plant
Sciences, 3(1-1): 1-9.
Violita, Wan Haddis (2014) Efek Antelmintik Ekstrak Daun Petai Cina (Leucaena
leucocephala) terhadap Cacing Ascaris suum secara In Vitro. Other thesis,
Universitas Kristen Maranatha.
36
Wang, MY, et al. (2002). Morinda citrifolia (Noni): A literature review and recent
advances in Noni research.
Worku, M., et al. (2009). Efficacy of garlic as an antihelmintic in adult boer goats.
Arch. Biol. Sci., Belgrade, 61 (1), 135-140.
www.traditionaltree.org, 2006. Species Profiles for Pacific Island Agroforesty.
37