ir-perpustakaan universitas airlangga i bab i …

45
IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA I-1 SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH I BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kolaborasi tata kelola pemerintahan perlu dilakukan untuk mewujudkan sinergitas pembangunan antar daerah yang berdekatan. Hal ini bertujuan untuk mencapai percepatan dalam sektor tertentu sebagai bentuk penyelesaian masalah bersama. Selain itu, juga perlu dilakukan penyelarasan kebijakan antar daerah yang berdekatan agar tidak tumpang tindih. Pembangunan daerah didukung oleh PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu sinergi pembangunan antar daerah yang berdekatan yaitu kawasan Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Untuk mengetahui potret fenomena peningkatan pembangunan di kawasan Malang Raya dapat dilihat melalui data PAD dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018-2019, PAD Kabupaten Malang pada tahun 2018 sejumlah 3.826,7 milyar dan tahun 2019 sebesar 4.107,72 milyar. Sedangkan, PAD Kota Malang tahun 2018 mencapai 2.040,19 milyar dan tahun 2019 sejumlah 2.247,76 milyar. Sementara, PAD Kota Batu tahun 2018 sejumlah 985.25 milyar dan tahun 2019 mencapai 990.15 milyar. Ini menunjukkan peningkatan penerimaan daerah yang selaras dengan penambahan pembangunan infrastruktur. Hal ini mengingat pentingnya fungsi PAD bagi pengembangan suatu daerah yaitu untuk menunjang pembangunan. Untuk mencapai pembangunan yang seimbang tidak hanya dilihat dari penambahan investasi, namun perlu memperhatikan dampak lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya bisa diminimalisir melalui perizinan pemanfaatan ruang. Salah satu bentuk dari adanya pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat melalui perencanaan tata ruang dan wilayah. Hal ini telah diatur pada Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 11 Ayat 2 bahwa pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-1

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kolaborasi tata kelola pemerintahan perlu dilakukan untuk mewujudkan

sinergitas pembangunan antar daerah yang berdekatan. Hal ini bertujuan untuk

mencapai percepatan dalam sektor tertentu sebagai bentuk penyelesaian masalah

bersama. Selain itu, juga perlu dilakukan penyelarasan kebijakan antar daerah yang

berdekatan agar tidak tumpang tindih. Pembangunan daerah didukung oleh PAD

(Pendapatan Asli Daerah) yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan masyarakat

dan penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu sinergi pembangunan antar

daerah yang berdekatan yaitu kawasan Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang,

Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Untuk mengetahui potret fenomena

peningkatan pembangunan di kawasan Malang Raya dapat dilihat melalui data

PAD dari BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2018-2019, PAD Kabupaten Malang

pada tahun 2018 sejumlah 3.826,7 milyar dan tahun 2019 sebesar 4.107,72 milyar.

Sedangkan, PAD Kota Malang tahun 2018 mencapai 2.040,19 milyar dan tahun

2019 sejumlah 2.247,76 milyar. Sementara, PAD Kota Batu tahun 2018 sejumlah

985.25 milyar dan tahun 2019 mencapai 990.15 milyar. Ini menunjukkan

peningkatan penerimaan daerah yang selaras dengan penambahan pembangunan

infrastruktur. Hal ini mengingat pentingnya fungsi PAD bagi pengembangan suatu

daerah yaitu untuk menunjang pembangunan. Untuk mencapai pembangunan yang

seimbang tidak hanya dilihat dari penambahan investasi, namun perlu

memperhatikan dampak lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengendalikan

pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya bisa diminimalisir melalui

perizinan pemanfaatan ruang.

Salah satu bentuk dari adanya pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat

melalui perencanaan tata ruang dan wilayah. Hal ini telah diatur pada Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 11 Ayat 2 bahwa

pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-2

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

wilayah kabupaten. Fungsi rencana tata ruang wilayah kabupaten atau kota di

antaranya:1

a. Acuan dalam pemanfaatan ruang atau pengembangan wilayah kabupaten

atau kota.

b. Acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah

kabupaten atau kota.

c. Acuan dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah dan

rencana pembangunan jangka menengah daerah.

d. Acuan lokasi investasi dalam rilayah kabupaten atau kota yang dilakukan

pemerintah, masyarakat, dan swasta.

e. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kabupaten

atau kota.

f. Acuan dalam administrasi pertahanan

Sedangkan, manfaat rencana tata ruang wilayah, yaitu mewujudkan keserasian

pembangunan wilayah kabupaten kota dengan wilayah sekitarnya, menjamin

terwujudnya tata ruang wilayah kabupaten atau kota yang berkualitas dan

keterpaduan pembangunan wilayah kabupaten atau kota. Sehingga, dapat dilihat

bahwa kolaborasi terkait kebijakan tata ruang dan wilayah di daerah yang

berdekatan seperti Malang Raya penting untuk meningkatkan pembangunan.

Dasar penyusunan kebijakan tata ruang dan wilayah di Malang Raya dapat

dilihat dari beberapa permasalahan tata ruang yang dialami oleh Kota Malang,

Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Salah satunya yaitu penggunaan lahan Kota

Batu dengan luas total 19.576 Ha dari tahun 2016 -2019 masih didominasi untuk

kawasan hijau, terdiri dari kawasan Taman Hutan Raya Raden Suryo 5.342,50 Ha

(26,84%), hutan lindung sebesar 3.563,30 Ha (17,9%), kawasan hutan produksi

2.521,70 Ha (12,67%), kawasan pertanian 4.018 Ha (20,19%). dan Ruang Terbuka

Hijau (RTH) 1.777,70 Ha (8,93%). Sementara penggunaan lahan untuk kawasan

perumahan seluas 2.104 Ha (10,57%) (Kota Batu Dalam Angka 2020)2. Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW) daerah Kota Batu telah diatur dalam Peraturan

1 https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/21/060000369/perencanaan-tata-ruang--pengertian-

dan-jenis?page=all diakses 18 Oktober 2020 pada 17.17 WB 2 Kota Batu Dalam Angka 2020

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-3

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Daerah Kota Batu Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Batu Tahun 2010-2030. Bahkan, Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor

3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang juga saling

berhubungan. Untuk menjaga kawasan lindung, maka dilakukan strategi yaitu

kerjasama daerah di sekitar Kota Batu dan DAS (Daerah Aliran Sungai) Brantas

untuk penyelamatan ekosistem sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Proses perubahan RTRW (Perda RTRW Kota Batu 2019-2039)

diberhentikan oleh Pemerintah Kota Batu atas permintaan dari Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dikarenakan ada beberapa kejanggalan.3

Dimana proses penyusunannya terkesan tergesa-gesa yang rentan ditunggangi oleh

kepentingan kelompok tertentu, sehingga bisa menyebabkan kapitalisasi ruang

perkotaan. Salah satunya pada Pasal 23 disebutkan bahwa RTH Privat hanya

sebesar 10 persen saja. Sedangkan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada

wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Serta untuk proporsi

RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.

Sedangkan, Pemerintah Kota Batu harus mewujudkan Pasal 8 pada RTRW Kota

Batu Tahun 2010-2030 yaitu meningkatkan kuantitas dan kualitas ruang terbuka

hijau hingga 30 % dari luas wilayah Kota dalam mengendalikan dan memelihara

kualitas lingkungan. Untuk mewujudkannya perlu dibentuk kerangka kolaborasi

dengan melihat konsep tata pemerintah negara (rezim) bersama Kabupaten Malang

terkait kebijakan tata ruang dan wilayah.

Tabel I.1 Jumlah Penduduk Kawasan Malang Raya Tahun 2017-2019

Kota Batu Kota Malang Kabupaten Malang

Tahun 2017 203.997 jiwa 861.414 jiwa 2.576.596 jiwa

Tahun 2018 205.788 jiwa 866.118 jiwa 2.591.795 jiwa

Tahun 2019 207.490 jiwa 870.682 jiwa 2.606.204 jiwa

Sumber: Data diolah oleh peneliti dari BPS

3 https://jatim.beritabaru.co/walhi-jatim-minta-hentikan-perubahan-rtrw-kota-batu/ diakses 19

Oktober 2020 pada 16.05 WIB

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-4

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Berbeda dengan Kota Malang yang sering kali mengalami masalah

konservasi lahan karena kepadatan penduduknya sehingga mengakibatkan

kerusakan lingkungan (dapat dilihat pada tabel I.1). Persentase jumlah pelanggaran

tata ruang yang tertangani meningkat sejak tahun 2015 sebanyak 90 persen dan

tahun 2016 hingga tahun 2017 sejumlah 100 persen. Hal ini diatasi dengan adanya

aplikasi E-RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) untuk menyajikan data peraturan

daerah maupun data fungsi lahan di wilayah Kota Malang. Sehingga, warga bisa

mengetahui satu kawasan boleh untuk didirikan bangunan atau tidak. Sehingga

potensi warga melanggar saat akan mendirikan bangunan bisa ditekan dengan

alasan tidak tahu (Radarmalang.id, 2018)4. Pembangunan yang melanggar tata

ruang bisa menyebabkan terjadinya bencana banjir (Malangtimes.com, 2020)5. Ini

bisa menjadi inovasi baru untuk dapat diimplementasikan di daerah yang

berdekatan sebagai bentuk kontrol dari pemerintah terkait kebijakan tata ruang dan

wilayah.

Hal ini telah diatur pada Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun

2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010 – 2030. Salah

satu slogan Kota Malang yaitu mewujudkan Malang Nyaman yang

mengidentifikasikan perlunya pengendalian pemanfaatan ruang dengan kerja sama

tata ruang perbatasan daerah. Isu mengenai RTRW Kota Malang tahun 2010-2030

yang pelaksanaannya sudah berjalan selama sepuluh tahun adalah RTH yang masih

belum memenuhi target. Sementara tercapai sebesar 17% dari 30% yang telah

ditentukan (20% untuk alokasi RTH publik dan 10% merupakan RTH privat).

Selain itu, dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 24

poin D menyebutkan bahwa pemerintah akan melakukan pengadaan bus metro.

Trayek dari bus sama dengan trayek angkutan umum di Kota Malang, sehingga

memungkinkan akan mengurangi pendapatan supir angkutan umum (angkot).

Dimana sebelumnya angkot sudah tersaingi dengan adanya ojek online. Selain itu,

4 https://radarmalang.id/mau-dirikan-bangunan-di-kota-malang-nih-cek-dulu-e-rtrw-nya/ diakses

1 April 2020 pada 15.15 WIB 5https://www.malangtimes.com/baca/48967/20200212/191900/menelisik-penyebab-banjir-di-

kota-malang-marak-pembangunan-langgar-tata-ruang diakses 1 April 2020 pada 17.15 WIB

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-5

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

penggunaan lahan di Kota Malang untuk sawah dan pertanian bukan sawah semakin

berkurang dari tahun 2016 hingga 20186. Sedangkan, lahan bukan pertanian justru

semakin meningkat setiap tahunnya. Berikut grafik penggunaan lahan di Kota

Malang tahun 2016-2018, yaitu:

Grafik I.1 Luas Lahan Menurut Penggunaan Kota Malang

Sumber: Kota Malang Dalam Angka (2019)7

Sedangkan, wilayah Kabupaten Malang yang terletak diantara Kota Malang

dan Kota Batu memiliki kompleksitas persoalan tata ruang dan wilayah yang cukup

tinggi. Hal ini dikarenakan Kota Malang dan Kota Batu juga melakukan

pembangunan, sehingga Pemerintah Kabupaten Malang perlu melakukan antisipasi

terkait tata ruang dan wilayah. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun

2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Malang sudah berjalan

selama sepuluh tahun dan menunjukkan pembangunan yang begitu pesat.

Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Malang mengidentifikasikan adanya

peningkatan permintaan atas lahan untuk pemukiman, rekreasi, fasilitas belanja,

6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Malang Tahun 2018-2023

7 https://malangkota.bps.go.id/publication/2020/04/27/f12dca597c93015fa19920ab/kota-malang-

dalam-angka-2020.html diakses 12 April 2020 pada 13.21 WIB

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-6

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

kebutuhan air bersih, dan lain sebagainya. Selain itu, perubahan signifikan telah

terjadi pada penataan ruang dan wilayah di Singosari yang akan dipersiapkan

menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Strategis Pariwisata

Nasional Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (KSPN TNBTS) serta Kepanjen

sebagai Ibu Kota Kabupaten Malang.8 Ketiga prioritas RTRW tersebut erat

kaitannya dengan visi dan misi Kabupaten Malang yang beriringan dengan

kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Percepatan pembangunan yang

ada sudah tidak relevan dengan Peraturan Daerah (PERDA) RTRW. Sehingga,

diperlukan payung hukum yang kuat, detail, dan bersifat memaksa melalui sanksi

untuk menghindari alih fungsi lahan pertanian menjadi industri atau pemukiman

dan lain sebagainya. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Malang mengajukan

Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) atau revisi total terkait perencanaan

tata ruang wilayah sebagai prioritas.9 Hal ini bertujuan untuk mengatasi perubahan

yang ada dengan membentuk kerangka kolaborasi berdasarkan tata pemerintah

daerah sehingga kebijakan tata ruang dan wilayah dapat berjalan sesuai peraturan.

Meskipun, penggunaan lahan untuk sawah di Kabupaten Malang tahun

2018 seluas 45.888 hektar yang paling mendominasi di Kawasan Malang Raya

(BPS, 2019). Namun, tetap diperlukan pengelolaan tata ruang dan wilayah yang

tepat untuk dapat melakukan pembangunan sesuai dengan rencana. Kabupaten

Malang berusaha untuk mengintegrasikan RTRW dengan RPJMD (Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah) sehingga tidak tumpang tindih. Dalam

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah

Kabupaten Malang menyatakan bahwa wilayah pengembangan (WP) Kabupaten

Malang yang berorientasi ke Kota Malang yaitu: 1) Peningkatan akses jalan tembus

terkait Kota Malang; 2) Pengembangan jalan Malang–Batu; 3) Peningkatan

konservasi lingkungan; 4) Peningkatan kualitas koridor jalan Kota Malang -

Bandara Abdul Rahman Saleh dan pengembangan permukiman. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan penataan ruang dan wilayah antara Kabupaten

I 8https://www.jatimtimes.com/baca/160745/20171026/155146/tata-ruang-kabupaten-malang-

berubah-kapasitas-kedinasan-pun-digenjot diakses 18 Oktober 2020 pada 22.28 WIB

II 9https://www.jatimtimes.com/baca/206033/20191209/141800/tahun-2020-pemkab-malang-

usulkan-12-ranperda-persoalan-tata-ruang-wilayah-dan-pangan-jadi-prioritas diakses 19 Oktober

2020 pada 11.12 WIB

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-7

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Malang dengan Kota Malang. Selain itu, peningkatan kualitas dan kuantitas RTH

dan pemenuhan RTH Publik minimal 20% serta penegakan hukum secara konsisten

menjadi fokus Kabupaten Malang10. Ini diwujudkan dengan strategi sebagai

berikut: (1) Meningkatan RTRW dengan rencana penyediaan atau pembangunaan

prasarana sarana dan pengembangan wilayah; (2) Meningkatkan pemanfaatan tata

ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR).

Oleh karena itu, pada tahun 2018 Pemerintah Daerah Kota Batu, Kota

Malang, dan Kabupaten Malang duduk bersama membentuk sinergi yang dikenal

dengan Malang Raya. Dimana setiap daerah di kawasan Malang Raya memiliki

keunggulan, yaitu Kota Batu dengan potensi pariwisatanya, Kabupaten Malang

dengan potensi SDA (Sumber Daya Alam), serta Kota Malang dengan potensi

heritage dan kulinernya yang dikenal dengan Kota Pendidikan sehingga berpotensi

mendatangkan masyarakat dari luar kota. Hal ini menandakan bahwa dengan

keunggulan komparatif yang dimiliki oleh setiap daerah dapat menjadi langkah

strategis untuk mengembangkan potensi daerah.

Ada lima poin kesepakatan yang tertuang dalam berita acara, yakni sepakat

merealisasikan rencana pertemuan kepala daerah se-Malang Raya dan melakukan

langkah-langkah teknis persiapan kegiatan yang dibutuhkan. Kedua, Kota Malang

menjadi tuan rumah pertemuan yang akan direncanakan pada 27 Agustus atau

waktu lain yang disepakati bersama. Ketiga, pertemuan ditujukan untuk

menyinergikan komitmen kebijakan Malang Raya yang akan dituangkan dalam

bentuk nota kesepahaman. Keempat, sebagai tindak lanjut secara simultan akan

disusun roadmap kerja sama, didahului proses inventarisasi permasalahan prioritas.

Terakhir, hasil rapat dilaporkan kepada Gubernur Jawa Timur dengan tembusan

Kepala Bakorwil dan kepala daerah se-Malang Raya11. Pada akhirnya, awal tahun

2019 tiga kepala daerah yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu

menghadiri seminar “Sinergi Antar Pemangku Kepentingan dalam Kebijakan

10 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang Tahun 2016-2121 11

https://jatimtimes.com/baca/176885/20180808/081400/dulu-jalan-sendirisendiri-pemerintah-

malang-raya-mulai-kompak diakses 15 Maret 2020 pada 18.08 WIB

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-8

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Pembangunan Malang Raya” dan sepakat untuk melakukan kolaborasi yang

dibuktikan dengan penandatanganan nota kesepahaman12.

Pada bulan Agustus 2018, Wali Kota Batu menandatangani perjanjian

kerjasama bersama Pemerintah Kota Malang dan Kabupaten Malang untuk

membangun infrastruktur terkait dengan pendidikan, kesehatan, fasilitas maupun

sarana prasarana. Kerjasama ketiga daerah di kawasan Malang Raya yang sudah

lama terjalin adalah pengelolaan sumber air. Hal ini dikarenakan Kota Malang

mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan mengalir secara terus

menerus selama 24 jam. Sedangkan, Kota Batu dan Kabupaten Malang memiliki

potensi sumber air dengan kualitas baik sehingga perlu adanya kerjasama antar

ketiga daerah ini. Dengan potensi alam dan pariwisata yang dimiliki Kabupaten

Malang dan Kota Batu secara tidak langsung akan berimbas kepada Kota Malang

yang memiliki banyak penduduk pendatang. Arus lalu lintas di Kota Malang dan

Kabupaten Malang menjadi tambah padat pada akhir pekan. Sehingga diperlukan

kerjasama pembangunan infrastruktur jalan berupa jalan tol tengah kota atau

membangun jalan lingkar. Karena wilayah Kabupaten Malang masih luas untuk

dibangun jalan lingkar.

Implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya

diperlukan peran dari setiap stakeholder khususnya Pemerintah Daerah yang

berdekatan. Sehingga, permasalahan yang ada dapat diselesaikan dan target yang

belum tercapai bisa terpenuhi melalui kolaborasi antar daerah berdekatan. Oleh

karena itu, penelitian ini dianalisis menggunakan teori Collaborative Governance

Regime oleh Emerson dkk (2011) untuk melihat implementasi kebijakan tata ruang

dan wilayah di kawasan Malang Raya. Teori ini menggambarkan kerangka

integratif dengan mengintegrasikan banyak komponen tata kelola kolaboratif dari

konteks sistem dan pendorong eksternal melalui dinamika kolaboratif hingga

tindakan, dampak, dan adaptasi13. Peneliti menggunakan teori ini karena bersifat

12

https://humas.malangkota.go.id/2019/01/18/sinergi-antar-pemangku-kepentingan-dalam-

kebijakan-pembangunan-malang-raya/ diakses 15 Maret 2020 pada 17.35 WIB 13 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). An Integrative Framework for Collaborative

Governance. Journal of Public of Administration Research and Theory (June 2009), pp. 1–29. doi:

10.1093/jopart/mur011.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-9

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

komprehensif dalam menganalisis kerangka kolaborasi dengan melihat tata

pemerintahan atau rezim yang berlaku.

Adapun studi terdahulu terkait dengan penelitian ini yang menjadi acuan

terdapat yang dijelaskan melalui tabel dibawah ini:

Tabel I.2 Studi Terdahulu

No. Judul dan

Nama Peneliti

Perspektif/Fokus

Penelitian

Hasil

1. Dinamika

Collaborative

Governance

Antar

Stakeholder

Dalam Upaya

Penanggulangan

HIV&AIDS

Di Kabupaten

Sleman oleh

Khusna et al.

(2017)14

Perspektif

mengenai

kelembagaan serta

dibingkai dalam

teori collaborative

governance yang

ditawarkan oleh

Emerson dkk

(2011).

Dinamika kolaborasi antara

tiga stakeholder tersebut

berjalan dengan baik dengan

melihat aspek keterlibatan,

motivasi bersama dan kapasitas

aksi bersama dapat dikatakan

baik. Namun, dalam aspek

kapasitas aksi bersama pada

unsur kelembagaan kolaboratif

dan sumber daya memiliki

beberapa tantangan yang

menjadikanya kurang berjalan

maksimal sehingga dapat

mempengaruhi

keberlangsungan kolaborasi

secara umum. Dari data riset

yang diperoleh dapat dimaknai

bahwa collaborative

governance yang terjadi

sekaligus mampu digunakan

sebagai mekanisme kontrol

yang kuat antar stakeholder.

2. Collaborative

Governance

(Studi tentang

Kolaborasi

Antar

Stakeholder

dalam

Pengembangan

Kawasan

Minapolitan di

Kabupaten

Penelitian ini

menggambarkan

proses kolaborasi

yang terjalin antara

pemerintah, swasta

dan masyarakat

dalam kerangka

collaborative

governance regime

yang terdiri dari

empat komponen

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa proses

kolaborasi sudah melalui

pengerakan prinsip bersama,

motivasi bersama dan

pembentukan kapasitas

bersama. Setelah tiga hal itu

terbentuk dilanjutkan dengan

melaksanakan tindakan

kolaborasi yang memberikan

dampak sementara. Sedangkan

14 Khusna, I. N. et al. (2017). Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder Dalam Upaya

Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman. Skripsi Universitas Gajah Mada. Retrieved

From: http://digilib.fisipol.ugm.ac.id/handle/15717717/6328

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-10

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Sidoarjo oleh

Luqito and

Arrozaaq

(2016)15

utama dari Kick

Emerson

hambatan-hambatan dalam

pelaksanaan kolaborasi antara

lain: kesulitan dalam

membentuk kelompok usaha

menjadi berbadan hukum,

kontinuitas kolaborasi yang

masih kurang, pemerintah

hanya memfasilitasi

peningkatan produktivitas

tanpa memberikan alternatif

pemasaran, dan pihak swasta

kurang diikutsertakan dalam

seluruh kegiatan kolaborasi.

3. Proses

Collaborative

Governance

Dalam Bidang

Kesehatan (Studi

Deskriptif

Pelaksanaan

Kolaborasi

Pengendalian

Penyakit TB-

HIV Di Kab.

Blitar) oleh Ist,

(2016)16

Penelitian ini

menggambarkan

proses kolaborasi

mengenai

pengendalian

penyakit TB-HIV

dengan teori

collaborative

governance regime

oleh Kick Emerson

Hasil dari penelitian ini adalah

proses kolaborasi tidak efektif.

Indikator dinamika kolaborasi

yang tidak efektif berasal dari

berprinsip, motivasi bersama,

kapasitas untuk tindakan

kolektif, yang tidak terbentuk

dengan benar, dan memiliki

dampak kembali pada indikator

tindakan kolaborasi. Dengan

demikian, kolaborasi TB- HIV

tidak menimbulkan dampak

signifikan bagi proses

kolaborasi, dan juga adaptasi

belum efektif untuk

mengendalikan kejadian

selanjutnya.

4. Kolaborasi

Antara Aparatur

Birokrasi

Pemerintah

Daerah Istimewa

Yogyakarta dan

Forum

Pengurangan

Risiko Bencana

(FPRB) DIY

Dalam

Penelitian ini

menjelaskan proses

kolaborasi antara

Pemerintah DIY

dengan FPRB

dalam kerangka

collaborative

governance regime

oleh Kick Emerson

Penelitian ini yang mengacu

pada kolaborasi antara

Pemerintah DIY dan Forum

PRB DIY mendapatkan hasil

bahwa pelaksanaan

penyelanggaraan

Penanggulangan bencana di

DIY saat ini telah dilakukan

oleh berbagai multi aktor secara

kolaboratif. Masing-masing

aktor telah di bagi-bagi

15 Luqito, D. and Arrozaaq, C. (2016). Collaborative Governance (Studi Tentang Kolaborasi Antar

Stakeholders Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo). Skripsi

Universitas Airlangga. Retrieved From: http://repository.unair.ac.id/67685/3/Sec.pdf.

16 Ist, M. M. Bin (2016). Proses Collaborative Governance Dalam Bidang Kesehatan (Studi

Deskriptif Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB- HIV Di Kab. Blitar). Skripsi

Universitas Airlangga. 4(April), pp. 1–9.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-11

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Penyelenggaraan

Penanggulangan

Bencana di

Daerah Istimewa

Yogyakarta

Oleh Agustina

(2017)17

perannya sesuai dengan

keahlian masing-masing.

Dalam Collaborative

Governance dapat dilihat

melalui dua dimensi yaitu

sistem konteks dan pendorong.

Melalui dua dimensi tersebut

dalam penelitian ini melihat

bagaimana kolaborasi yang

terjadi diantara Pemerintah

DIY dan Forum PRB DIY.

5. Collaborative

Governance

dalam

Pengendalian

Narkoba Antara

Badan Narkotika

Nasional

Provinsi Jawa

Timur Dengan

Lembaga

Swadaya

Masyarakat oleh

Utami (2018)18

Penelitian ini

dianalisis

menggunakan teori

Collaborative

Governance oleh

Ansell dan Gash

(2007)

Untuk menjelaskan tentang

kolaborasi antar stakeholder

dan pencapaian kolaborasi

yang dikaitkan dengan

pengendalian narkoba.

Sedangkan komponen indikator

dari pengendalian narkoba

yang digunakan peneliti untuk

menganalisis pencapaian

kolaborasi ada tiga yaitu

pencegahan, pemberantasan,

dan kebijakan P4GN.

Sumber: Diolah peneliti (2020)

Dari penjelasan tersebut, penelitian ini memiliki perbedaan dengan

penelitian sebelumnya. Penelitian pertama ditulis oleh Isnaeni Nurul Khusna

dengan judul Dinamika Collaborative Governance Antar Stakeholder Dalam

Upaya Penanggulangan HIV&AIDS di Kabupaten Sleman. Dimana menghasilkan

temuan bahwa praktik collaborative governance yang dilakukan oleh KPA, Dinas

Kesehatan Kabupaten Sleman dan LSM Peduli AIDS berada pada tingkat

eksplorasi. Ini berarti pertemuan yang dilakukan dalam bentuk formal dan informal

baik dalam brainstorming issue atau persoalan seputar HIV dan AIDS, membangun

forum koordinasi, membangun hubungan dan komuikasi yang baik dan intensif

antar mitra KPA. Dengan demikian artinya praktik yang dilakukan masih pada

17 Agustina, D. (2017). Kolaborasi Antara Aparatur Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY Dalam Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 9

No.1. 18 Utami, D. R. (2018). Collaborative Governance dalam Pengendalian Narkoba Antara Badan

Narkotika Nasional Provinsi Jawa Timur Dengan Lembaga Swadaya Masyarakat. Skripsi

Universitas Airlangga.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-12

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

tahap pengembangan format yang utuh menuju suatu collaborative governance

yang ideal. Perbedaannya terletak pada konsep collaborative governance regime

terhadap pemangku kepentingan yang berbeda di tiga daerah yaitu, Kota Batu, Kota

Malang, dan Kabupaten Malang. Penelitian Isnaeni hanya berfokus pada

stakeholder di Kabupaten Sleman.

Penelitian kedua yaitu Kolaborasi Antar Stakeholder dalam Pengembangan

Kawasan Minapolitan di Kabupaten Sidoarjo oleh Dimas Luqito Chusuma

Arrozaaq. Hasil penelitian menunjukan bahwa aspek keterlibatan dan motivasi

dapat dikatakan baik. Namun, dalam aspek kapasitas aksi bersama pada unsur

kelembagaan kolaboratif dan sumber daya memiliki beberapa tantangan yang

menjadikanya kurang berjalan maksimal sehingga dapat mempengaruhi

keberlangsungan kolaborasi secara umum. Sedangkan, unsur leadership

menunjukan bahwa pola yang terjalin adalah pola jaringan sehingga tidak terjadi

hierarki dalam kolaborasi serta pengetahuan yang mampu diakses dengan baik oleh

semua stakeholder. Dinamika kolaborasi yang berhasil dibangun dapat

dikategorikan pada tahapan eksplorasi. Faktor penghambat yang ditemui dalam

dinamika kolaborasi tersebut adalah faktor kultur dan keterbatasan sumber daya.

Penelitian ini hanya berfokus pada pengembangan kawasan minapolitan di

Kabupaten Sidoarjo, sementara pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti

berfokus pada kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya.

Penelitian ketiga yang ditulis oleh Muhammad Muqorro bin Ist dengan judul

Proses Collaborative Governance dalam Bidang Kesehatan (Studi Deskriptif

Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB-HIV di Kab. Blitar). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi yang terjadi tidak efektif dikarenakan

indikator tindakan kolaborasi yakni prinsip, motivasi, kapasitas tidak terbentuk

dengan benar sehingga berdampak pada dinamika kolaborasi yang tidak efektif

sehingga kolaborasi TB-HIV yang dilakukan tidak menimbulkan dampak

signifikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti terletak pada hasil

penelitian yang bersifat negatif dan tidak meneliti bentuk kolaborasi yang dilakukan

tetapi lebih berorientasi kepada proses collaborative governance regime.

Penelitian keempat oleh Dwi Agustina mengenai Kolaborasi Antara

Aparatur Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Forum

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-13

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY Dalam Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam Collaborative

Governance dapat dilihat melalui dua dimensi yaitu sistem konteks dan dimensi

pendorong. Melalui dua dimensi tersebut dalam penelitian ini melihat bagaimana

kolaborasi yang terjadi diantara Pemerintah DIY dan Foum PRB DIY. Maka, dapat

diketahui bahwa penelitian ini hanya melihat unsur sistem konteks dan dimensi

pendorong. Ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena

melihat secara keseluruhan aspek dalam teori Collaborative Governance Regime,

yaitu System Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions.

Penelitian kelima dari Daniar Rizky Utami tentang Collaborative

Governance dalam Pengendalian Narkoba Antara Badan Narkotika Nasional

Provinsi Jawa Timur Dengan Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Collaborative Governance yang dilaksanakan dengan melihat

delapan kriteria keberhasilan pemerintahan kolaboratif yang dikaitkan dengan tiga

indikator dari pelaksanaan program Kebijakan P4GN yakni pencegahan,

pemberantasan dan Kebijakan P4GN. Hal ini terlihat dari lima kriteria

pemerintahan kolaboratif yang masih belum terpenuhi terutama kriteria

distiributive accountability dan access to resources pada indikator Kebijakan

P4GN. Kriteria tersebut menunjukkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam

forum kolaborasi, dan ketersediaan sumber keuangan yang masih belum tersedia.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti terletak pada fokus dan analisis

teori yang digunakan yaitu Collaborative Governance dari Ansell dan Gash (2007).

Sedangkan peneliti menggunakan analisis teori Collaborative Governance Regime

oleh Emerson et al (2011) yang berfokus pada kebijakan tata ruang dan wilayah di

kawasan Malang Raya.

Untuk dapat mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, maka

diperlukan peran dari multi-stakeholder untuk menerapkan kebijakan. Hal ini

dimaksudkan untuk mewujudkan Collaborative Governance Regime antar daerah

yang berdekatan, salah satu penerapannya yaitu kawasan Malang Raya. Kawasan

ini terbentuk dengan adanya kesadaran saling ketergantungan dalam kebijakan tata

ruang dan wilayah. Dimana Kota Batu perlu berkolaborasi dengan Kabupaten

Malang terkait kebijakan tata ruang dan wilayah untuk mewujudkan RTH. Seperti

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-14

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

halnya Kota Malang yang memiliki jumlah pelanggaran terkait tata ruang dan

berkurangnya lahan pertanian, sehingga perlu berkolaborasi dengan Kabupaten

Malang untuk mengantisipasinya. Begitu pula dengan Kabupaten Malang yang

memiliki pertumbuhan penduduk paling tinggi diantara Kota Batu dan Kabupaten

Malang. Sehingga, untuk mengetahui pelaksanan tata ruang dan wilayah di

kawasan Malang Raya tercetus penelitian ini dengan judul “Analisis Collaborative

Governance Regime Dalam Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah di Kawasan

Malang Raya”.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan

masalah penelitian yaitu: “Bagaimana gambaran dalam kebijakan tata ruang

dan wilayah di Kawasan Malang Raya dilihat dari perspektif Collaborative

Governance Regime?”.

I.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kebijakan tata ruang

dan wilayah di Kawasan Malang Raya berdasarkan perspektif Collaborative

Governance Regime.

I.4 Manfaat

I.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat teoritis untuk

pengembangan penelitian lebih lanjut dalam bidang Collaborative

Governance Regime terkait konteks kebijakan tata ruang dan wilayah di

Kawasan Malang Raya.

I.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan

penjelasan mengenai Collaborative Governance Regime dalam kebijakan

tata ruang dan wilayah di Kawasan Malang Raya sehingga dapat menjadi

rujukan maupun rekomendasi khususnya bagi Pemerintah Kota Batu,

Kota Malang, dan Kabupaten Malang untuk melakukan penataan ruang

dan wilayah yang terpadu.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-15

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I.5 Landasan Teori

I.5.1 Kebijakan Publik

Banyak pengertian kebijakan publik yang beragam diutarakan oleh para ahli

berdasarkan konteksnya. Menurut Dye (1976) dalam Farazmand (2018), kebijakan

publik tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa ia melakukannya, dan apa

implikasinya.19 Pendapat tersebut menyiratkan tindakan nyata dari pemerintah

sekaligus alasan dibalik tindakan tersebut. Sebagaimana diartikan bahwa kebijakan

publik merupakan jantung, jiwa, dan darah kehidupan pemerintah. Sedangkan

menurut Farazmand (2018), kebijakan publik dapat didefinisikan secara sederhana

sebagai rangkaian tindakan atau prosedur formal dan informal yang dilakukan oleh

pemerintah atau sengaja dipilih untuk tidak dilakukan. Kebijakan publik adalah apa

yang pejabat publik dalam pemerintahan dan lebih luas lagi warga yang mereka

wakili, memilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan tentang masalah publik

(Kraft, Michael E. and Furlong, 2018).20 Kebijakan publik adalah suatu tindakan

atau kelambanan pemerintah dalam menanggapi masalah publik. Hal ini terkait

dengan tujuan dan sarana kebijakan yang disetujui secara resmi, serta peraturan dan

praktik lembaga yang melaksanakan program.

Menurut Moran and Goodin (2008), ada dua pernyataan yang melekat

dalam kebijakan publik. Pertanyaan pertama adalah apakah sesuatu memiliki nilai

selain nilai yang melekat pada manusia, dan jika demikian, bagaimana kebijakan

dapat memengaruhi hal-hal lain yang diperhitungkan dalam haknya sendiri.

Pertanyaan kedua adalah bagaimana kebijakan dapat memengaruhi sistem alam,

spesies, dan/atau individu yang dilakukan manusia sebagai nilai fakta.21 Kedua

pertanyaan tersebut mencoba untuk memperlihatkan bahwa kebijakan publik dapat

mempengaruhi segala hal.

Menurut James E Anderson dalam Budi Winarno memberikan definisi

tentang kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat

19 Farazmand, A. (2018). Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and

Governance. Springer International Publishing AG. doi: 10.1007/978-3-319-20928-9. 20 Kraft, Michael E. and Furlong, S. R. (2018). Public Policy: Politics, Analysis, and Alternatives.

Sixth. SAGE Publications. 21 Moran, M. and Goodin, R. O. B. E. (2008). The Oxford Handbook of Public Policy. Oxford

University Press.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-16

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik

selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi pada

tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik

merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan

apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil

bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala

sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan

pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-

tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang

bersifat mengikat dan memaksa.22

Sehingga, definisi kebijakan publik adalah tindakan musyawarah (atau nun

aksi) yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Tujuan dari kebijakan publik untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: masalah

apa yang harus diperhatikan pemerintah? Siapa yang memutuskan masalah apa dan

apakah itu membutuhkan perhatian dan tindakan pemerintah? Kapan dan mengapa

kebijakan berubah? Apakah karena masalah sudah terpecahkan, apakah karena

masalah didefinisikan ulang, atau karena masalah lain?.

I.5.1.1 Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah

Menurut Wahid (2016), tata ruang adalah ekspresi geografis yang

merupakan cermin lingkup kebijakan yang dibuat masyarakat terkait ekonomi,

sosial, dan budaya.23 Kebijakan Tata Ruang dan Wilayah di Indonesia telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). RTRWN adalah arahan

kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Sedangkan, penataan

ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang. RTRWN ini menjadi pedoman untuk, sebagai

berikut :

a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;

22 Winarno, Budi. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo hal 20-

21 23 A.M. Yunus Wahid. (2014). Pengantar Hukum Tata Ruang (Ed. Pertama, Jakarta: Penerbit

Prenadamedia Group,). h. 8.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-17

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;

c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah

nasional;

d. Pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan

antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;

e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;

f. Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan

g. Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan:

a. Ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;

b. Keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

c. Keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan

kabupaten/kota;

d. Keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

e. Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi,

dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan

pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;

f. Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat;

g. Keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah;

h. Keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan

i. Pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa RTRWN ini menjadi pedoman bagi

pemangku kepentingan untuk menyusun kebijakan tata ruang dan wilayah di

Provinsi Jawa Timur. Ini telah tercantum pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Timur Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun

2011—2031. RTRW Provinsi adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari

wilayah provinsi, yang merupakan penjabaran dari RTRWN, dan yang berisi

tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; rencana struktur

ruang wilayah provinsi; rencana pola ruang wilayah provinsi; penetapan kawasan

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-18

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

strategis provinsi; arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan arahan

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Kemudian, RTRW Provinsi ini

diterjemahkan menjadi RTRW Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu.

I.5.2 Governance

Bentuk pembaharuan dari Government adalah Governance. Tujuan

Governance adalah untuk membimbing, mengarahkan dan mengatur kegiatan

warga melalui kekuatan berbagai sistem dan hubungan untuk memaksimalkan

kepentingan publik (Keping, 2017)24. Tata pemerintahan yang baik diharapkan

bersifat partisipatif, transparan, akuntabel, efektif dan adil serta mempromosikan

supremasi hukum (Unesco). Sedangkan, menurut Rose-ackerman (2016), tujuan

normatif reformasi pemerintahan yaitu kebijakan publik yang lebih efektif dan

prosedur yang sah serta dapat dipertanggungjawabkan kepada warga negara25.

Governance mengacu pada aktor non-negara, aktor swasta, dan juga aktor publik.

Aktor-aktor tersebut memiliki kontrak dan kesepakatan untuk memberikan layanan

kepada warga, dan pemerintah hanyalah salah satu aktor yang memberikan layanan

(Farazmand, 2018).26 Pendapat ini mengartikulasikan adanya keterlibatan aktor

non-negara, swasta, dan publik dalam perumusan hingga pelaksanaan

penyelenggaraan pelayanan publik.

Governance adalah proses mengatur kota, organisasi, atau sistem di mana

proses pengambilan keputusan dilibatkan, diimplementasikan, atau tidak

dilaksanakan (Abas, 2019)27. Dalam banyak hal, pengertian tentang Governance

dan Good Governance muncul secara bersamaan. Gagasan tentang Good

Governance telah berperan penting dalam mempromosikan hak asasi manusia,

pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial dalam masyarakat berkembang di

dunia. Bagaimanapun, pencarian kualitas Good Governance adalah aspirasi

24 Keping, Y. (2017). Governance and Good Governance : A New Framework for Political Analysis.

Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences. Springer Berlin Heidelberg, 9(2001). doi:

10.1007/s40647-017-0197-4. 25 Rose-ackerman, S. (2016). ‘What Does “ Governance ” Mean ?’, An International Journal of

Policy, Administration, and Institutions, 30(1), pp. 23–27. doi: 10.1111/gove.12212. 26 Farazmand, A. (2018). Global Encyclopedia of Public Administration, Public Policy, and

Governance. Springer International Publishing AG. doi: 10.1007/978-3-319-20928-9. 27 Abas, M. A. (2019). Public Policy and Governance: Theory and Practice. Global Encyclopedia of

Public Administration, Public Policy, and Governance. Springer Nature Switzerland AG 2019. doi:

10.1007/978-3-319-31816-5.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-19

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

komunitas politik yang tidak pernah berakhir (Nag, 2018)28. Praktik good

governance dibutuhkan dalam proses kebijakan publik dari perumusan dan

implementasi kebijakan. Selain itu, implementasi kebijakan publik adalah bagian

dari governance yang menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas

publik. Namun, praktik governance dalam implementasi kebijakan publik

bergantung pada aktivitas penyampaian kebijakan yang dipertaruhkan. Mengingat

berbagai karakter konteks di mana praktisi administrasi publik bertindak, sehingga

penerapan governance akan bervariasi dari situasi ke situasi. Oleh karena itu, kajian

tentang kebijakan publik dan Governance saat ini menjadi sangat penting. Poin

utamanya adalah Governance tidak lagi menjadi aktivitas hierarkis yang sederhana,

namun melibatkan interaksi yang lebih kompleks antara sektor publik dan swasta.

I.5.2.1 Prinsip Good Governance

Berdasarkan prinsip dan usulan dari berbagai lembaga donor internasional

(Bank Dunia, IMF, UNDP, ODA, IDA) dan praktek yang diterapkan oleh

pemerintah penerima bantuan demokrasi liberal untuk mencapai Good

Governance, berikut karakteristik, yaitu (Nag, 2018)29:

I.5.2.1.1 Partisipasi

Partisipasi adalah dimensi politik dari Good Governance. Partisipasi aktif

semua pemangku kepentingan dalam proses pembangunan di masyarakat

merupakan syarat mutlak dari tata pemerintahan yang baik. Semua masyarakat baik

pria maupun wanita, termasuk penyandang disabilitas harus mengungkapkan

pendapat dalam pengambilan keputusan secara langsung atau melalui lembaga

perantara yang legal untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi adalah proses

di mana pembuatan kebijakan, memprioritaskan masalah, aksesibilitas ke barang

dan jasa publik, dan juga mengalokasikan sumber daya dipengaruhi oleh

stakeholder utama. Dari sudut pandang hak asasi manusia, orang memiliki hak

untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi mereka serta mencari

ganti rugi jika hak-hak tersebut ditolak.

28 Nag, N. S. (2018). Government , Governance and Good Governance. Indian Journal of Public

Administration, 64(1):, pp. 122–10. doi: 10.1177/0019556117735448. 29 Nag. Op.Cit., Hal. 127.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-20

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I.5.2.1.2. Aturan hukum

Negara Hukum sebagai unsur penting dari pemerintahan yang baik

didasarkan pada gagasan bahwa keadilan tidak kalah pentingnya sebagai barang

publik daripada pendidikan dasar dan perawatan kesehatan dasar. Supremasi

hukum adalah landasan masyarakat demokratis dan egaliter. Ini berarti bahwa

setiap orang sama di depan hukum dan hukum diterapkan secara adil. Negara

Hukum dalam masyarakat memandang bahwa operasi dan fungsi lingkungan

masyarakat harus didasarkan pada hukum obyektif dan tidak boleh ada peran

keinginan dan khayalan dari siapa pun yang kuat dan berpengaruh. Penguatan

supremasi hukum membayangkan reformasi di lembaga penegakan hukum. Dalam

hal inilah reformasi yang sesuai dalam kepolisian (reformasi kepolisian) dan sistem

peradilan pidana (reformasi peradilan) sedang dilakukan di India dan negara

berkembang lainnya.

I.5.2.1.3. Ekuitas dan Inklusivitas

Kesetaraan berarti bahwa setiap orang setara dan memiliki kesempatan yang

sama dalam suatu komunitas terlepas dari kasta, agama atau keyakinan jenis

kelamin, ras, warna kulit dan status sosialnya. Inilah yang menjadi dasar dari

standar HAM masyarakat dan esensi keadilan sebagai prinsip dasar pemerintahan

dalam masyarakat manusia. Inklusivitas mensyaratkan bahwa saat merumuskan

kebijakan dan program tertentu perlu untuk mempertimbangkan kepentingan,

aspirasi, dan pendapat semua individu dan kelompok dalam masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat bergantung pada memastikan bahwa semua anggotanya

tidak merasa dikucilkan dari arus utama masyarakat dan merasa memiliki

kepentingan. Berbagai kebijakan reservasi yang sedang berlangsung di India yang

ditujukan bagi orang-orang yang didapati secara ekonomi, pendidikan, sosial dan

fisik tidak mampu mendapatkan manfaat dari pembangunan adalah hasil dari upaya

untuk mengamankan kesetaraan dan inklusivitas.

I.5.2.1.4. Transparansi

Transparansi didasarkan pada arus informasi yang bebas. Artinya, setiap

orang dalam masyarakat memiliki akses langsung terhadap proses, lembaga, dan

informasi. Ini mempromosikan keterbukaan tindakan pemerintah, proses

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-21

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

pengambilan keputusan dan proses konsultatif antara sektor publik dan semua

pemangku kepentingan. Proses ini tunduk pada pengawasan lembaga pemerintah

lainnya, masyarakat sipil, dan lembaga eksternal. Kurangnya transparansi dalam

penyelenggaraan pemerintahan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

berbagai jenis korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang merugikan

kemajuan dan kesejahteraan masyarakat umum.

I.5.2.1.5. Responsivitas

Responsivitas penyedia barang dan jasa, baik di sektor publik dan swasta,

berarti bahwa permintaan dan kebutuhan masyarakat ditangani secara tepat waktu

dan kerangka waktu. Penundaan yang tidak perlu yang disengaja dari pihak

penyedia layanan dalam menjalankan tugasnya terhadap masyarakat harus

dihindari dengan biaya berapa pun. Harus dipastikan bahwa sistem pemberian

layanan harus memiliki ketentuan klausul waktu dan periode untuk menyelesaikan

tugasnya dalam kerangka waktu yang dapat diprediksi. Di India, untuk memastikan

ketanggapan dari pihak penyedia layanan, berbagai pemerintah negara bagian telah

memberlakukan undang-undang dalam bentuk Undang-Undang Hak atas Layanan.

I.5.2.1.6. Konsensus dan Legitimasi

Konsensus dan legitimasi pemerintahan adalah dimensi politik dari

pemerintahan yang baik. Harus ada konsensus di antara berbagai pemangku

kepentingan untuk menjamin perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat,

sehingga struktur dan fungsi pemerintahan memperoleh legitimasi dari seluruh

masyarakat. Konsensus biasanya melibatkan kolaborasi, bukan kompromi. Alih-

alih satu pendapat diadopsi oleh pluralitas, pemangku kepentingan disatukan

sampai keputusan konvergen dikembangkan. Pengambilan keputusan konsensus

adalah proses keputusan yang tidak hanya mencari persetujuan dari sebagian besar

peserta tetapi juga menyelesaikan atau mengurangi keberatan minoritas untuk

mencapai keputusan yang paling disetujui.

I.5.2.1.7. Efektivitas dan Efisiensi

Aspek teknis Good Governance menekankan pada efektivitas dan efisiensi

yang akan digunakan untuk melaksanakan kebijakan, program, dan sumber daya

tersebut. Tata kelola yang baik berarti bahwa proses dan program yang

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-22

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

dilaksanakan oleh lembaga untuk menghasilkan hasil yang baik memenuhi

kebutuhan pemangku kepentingan sekaligus memanfaatkan sumber daya dengan

sebaik-baiknya. Karakteristik ini mendorong sistem penyampaian publik yang

efisien dan keluaran publik yang berkualitas. Untuk mencapai efektivitas dan

efisiensi, prinsip-prinsip tata kelola yang baik menetapkan lingkungan ekonomi

yang kompetitif, pengembangan kapasitas lembaga dan pelatihan yang diperlukan

untuk personel.

I.5.2.1.8. Akuntabilitas

Akuntabilitas berarti pembuat keputusan di pemerintahan, sektor swasta dan

organisasi masyarakat sipil bertanggung jawab kepada publik dan juga pemangku

kepentingan kelembagaan atas kelambanan atau penyimpangan yang disengaja. Inti

dari prinsip akuntabilitas adalah berbagi informasi dan transparansi yang harus

didorong oleh struktur pemerintahan. Karenanya, akuntabilitas sulit dicapai,

terutama tanpa adanya akses informasi. Lembaga dan personel harus bertanggung

jawab atas kegagalan dan kesuksesan mereka serta harus ada audit publik atas

perbuatan dan kesalahan penyedia layanan.

I.5.3 Collaborative Governance

Collaborative Governance muncul sebagai bentuk pembaharuan dari

Governance yang menyiratkan adanya keterlibatan pemangku kepentingan atau

stakeholder untuk mencapai tujuan bersama. Makna kolaborasi menunjukkan

komunikasi dua arah dan pengaruh antara pemangku kepentingan. Menurut Ansell

and Gash (2007), Collaborative Governance terjadi ketika pengetahuan menjadi

semakin terspesialisasi dan terdistribusi serta infrastruktur kelembagaan menjadi

lebih kompleks dan saling tergantung, maka permintaan untuk kolaborasi akan

meningkat. Collaborative Governance dimulai dan dikembangkan dalam "multi-

layered system context" yang mencakup kondisi sumber daya, kerangka kebijakan

dan hukum, hubungan kekuasaan, dan karakteristik jaringan (Bryson, John M.,

Barbara C. Crosby, 2015)30. Sehingga, makna dari pemerintahan kolaboratif adalah

30 Bryson, John M., Barbara C. Crosby, and M. M. S. (2015) ‘Designing and implementing cross-

sector collaborations: Needed and challenging’, Public Administration Review, 75 (5):, pp. 647–63.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-23

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

keterlibatan langsung dari pihak pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk

merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan.

I.5.4 Collaborative Governance Regime

Berbeda dengan Emersson, Nabatchi and Balogh (2011) yang

memunculkan konsep Collaborative Governance Regime terkait framework untuk

tata kelola kolaboratif yang bersifat integratif dalam beberapa cara. Pertama,

definisi tata kelola kolaboratif lebih luas dari apa yang biasa dilihat dalam literatur

dan menerapkan pengetahuan dan konsep dari berbagai bidang untuk pemerintahan

kolaboratif. Kedua, kerangka kerja mengintegrasikan banyak komponen tata kelola

kolaboratif dari konteks sistem dan pendorong eksternal melalui dinamika

kolaboratif hingga tindakan, dampak, dan adaptasi31.

Istilah “regime” mengingatkan terhadap sistem pemerintahan yang otoriter

dan terprogram atau merujuk pada partai politik tertentu maupun pemerintahan

koalisi dalam kekuasaan (misalnya, rezim sosial demokrat). Namun, Emersson,

Nabatchi and Balogh (2011) meminjam istilah tersebut dari teori politik

internasional, di mana "rezim" mengacu pada kerja sama yang berkelanjutan antara

aktor negara dan non-negara.32 Secara khusus, Emersson, Nabatchi and Balogh

(2011) mengacu pada definisi Stephen Krasner (1983, 2) tentang rezim sebagai

pengaturan pemerintahan yang dijiwai dengan serangkaian prinsip, norma, aturan,

dan prosedur pengambilan keputusan yang eksplisit dan implisit di mana ekspektasi

aktor bertemu di area isu tertentu.33

Kerangka kerja integratif untuk Collaborative Governance Regime

digambarkan dalam Gambar I.5 sebagai tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu

System Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions. Dimensi

pertama, dapat dilihat dari kotak terluar yang digambarkan oleh garis-garis kokoh.

Dimensi kedua mengacu pada istilah “rezim” yaitu mencakup mode khusus atau

sistem untuk pengambilan keputusan publik di mana kolaborasi lintas batas

mewakili pola perilaku dan aktivitas yang berlaku. Dalam kerangka ini, CGR

31 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011) ‘An Integrative Framework for Collaborative

Governance’, (June 2009), pp. 1–29. doi: 10.1093/jopart/mur011 32 Ibid 33 Ibid

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-24

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

digambarkan oleh kotak tengah dengan garis putus-putus dan berisi dinamika

kolaboratif dan aksi kolaboratif. Hal ini diartikan bahwa dinamika dan tindakan

kolaboratif membentuk kualitas keseluruhan dan dapat melihat sejauh mana CGR

dikembangkan dan efektif.

Dimensi ketiga merupakan dinamika kolaborasi yang diwakili oleh kotak

terdalam dengan garis putus-putus. Terdiri dari tiga komponen interaktif yaitu :

principled engagement, shared motivation, dan capacity for joint action. Tiga

komponen tersebut bekerja sama secara interaktif dan berulang untuk menghasilkan

tindakan kolaboratif untuk mengimplementasikan tujuan bersama CGR. Tindakan

CGR dapat mengarah pada hasil di dalam maupun di luar rezim. Dengan demikian,

tanda panah dari kotak actions untuk menunjukkan dampak dari hasil di lapangan

dan potensi adaptasi (transformasi situasi atau masalah yang kompleks) baik dalam

system context dan CGR itu sendiri.

Gambar I.5 Kerangka Kerja Integratif untuk Collaborative Governance

Sumber: Emerson, Nabatchi and Balogh (2011)34

34 Ibid, Hal. 6

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-25

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I.5.4.1 System Context

Collaborative Governance muncul dan berkembang dapat dipengaruhi oleh

sistem yang kompleks seperti politik, hukum, sosial ekonomi, lingkungan, dan

lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh CGR. System Context ini

menciptakan peluang dan kendala serta memengaruhi parameter umum di mana

CGR dibuka. Rezim dalam CGR dapat mempengaruhi konteks sistem melalui

dampak tindakan kolaboratifnya, selain System Context yang membentuk CGR

secara keseluruhan (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).35 Menurut Ansell and

Gash (2007), beberapa elemen utama dalam konteks sistem yang dapat

membedakan atau memengaruhi sifat dan prospek CGR, termasuk dinamika politik

dan hubungan kekuasaan di dalam masyarakat dan seluruh tingkat pemerintahan.36

System Context bukan hanya sebagai seperangkat kondisi awal tetapi ruang

tiga dimensi di sekitarnya karena pengaruh kondisi eksternal (misalnya,

pembangunan infrastruktur, pengembangan pariwisata) dapat mempengaruhi

dinamika dan kinerja kolaborasi setiap saat selama kehidupan CGR. Sehingga,

berpeluang untuk membuka kemungkinan baru atau menghadirkan tantangan yang

tidak terduga sebelumnya (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)37.

Kondisi pada System context ini dapat mendorong atau menghambat kerja

sama antara pemangku kepentingan dan antara lembaga dan pemangku kepentingan

(Ansell and Gash, 2007).38 Hal ini konsisten dengan pendapat Emerson, Kirk, and

Nabatchi (2015), salah satu dasar pemikiran untuk memulai Collaborative

Governance adalah memengaruhi serangkaian kondisi di sekitarnya yang

menciptakan, memperburuk, atau mempertahankan masalah39. Dari konteks sistem

ini muncul driver, seperti Leadership, Consequential Incentives, Interdependence

dan Uncertainty yang membantu memulai dan menetapkan arah untuk CGR. Satu

atau semua driver ini harus hadir untuk memulai CGR, dimana tanpa adanya

35 Ibid, Hal. 8 36 Ansell and Gash. Loc. Cit 37 Emerson, Nabatchi and Balogh. (2011). Op. Cit, Hal. 8. 38 Ansell and Gash. Loc. Cit. 39 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Collaborative Governance Regime. Georgetown

University Press.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-26

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

dorongan untuk kolaborasi tidak akan berhasil terungkap (Emerson, Nabatchi and

Balogh, 2011).

1. Leadership

Hal ini mengacu pada kehadiran pemimpin yang diidentifikasi

keberadaannya untuk mengelola sumber daya dan driver untuk mewujudkan CGR

secara signifikan (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).40 Pemimpin harus

berkomitmen untuk memecahkan masalah secara kolaborasi dan tidak

mengadvokasi solusi tertentu serta menunjukkan ketidakberpihakan sehubungan

dengan preferensi peserta. Menurut Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015), pemimpin

yang berinisiatif menghargai tantangan system context dan mengakui kehadiran

tekanan dari tiga pendorong lainnya yaitu ketidakpastian kondisi masa depan, saling

ketergantungan antar aktor, dan konsekuensi dari tindakan.41 Selain itu, kapasitas

seorang pemimpin untuk memulai upaya kolaboratif, misalnya dengan

menyediakan staf, teknologi, dan sumber daya lainnya dapat membantu

memperkuat upaya tersebut.

2. Consequential Incentives

Ini mengacu pada penggerak internal (masalah, kebutuhan sumber daya)

atau eksternal (krisis situasional atau institusional, ancaman, atau peluang) untuk

melakukan tindakan kolaboratif. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua insentif

konsekuensial bersifat negatif. Misalnya, ketersediaan hibah atau peluang

pendanaan baru dapat mengarah pada pengembangan inisiatif kolaboratif. Calon

peserta harus menyadari insentif dan memahami bahwa memberikan perhatian dan

bekerja sama dapat memiliki efek positif, dan sebaliknya. Pada akhirnya, kesadaran

ini membantu menciptakan tekanan motivasi yang mendorong individu untuk

bersama-sama bertindak (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).42 Namun demikian,

insentif seperti itu (positif atau negatif) harus ada untuk mendorong para pemimpin

dan peserta untuk terlibat bersama.

3. Interdependence

40 Emerson, Nabatchi and Balogh. (2011). Op. Cit, Hal. 9. 41 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 47 42 Ibid. Hal. 46.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-27

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Individu dan organisasi tidak dapat mencapai tujuan dengan sendirian. Hal

ini merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan kolaboratif sebagai insentif

konsekuensial utama. Ketika otoritas publik, yurisdiksi, penyedia layanan/sumber

daya, kelompok masyarakat, atau organisasi non-pemerintah tidak berhasil dalam

mengatasi masalah publik utama atau kebutuhan melalui organisasi internal dan

dengan sumber dayanya sendiri, kemudian menjangkau lembaga atau sektor lain

mungkin menjadi perlu (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015)43.

4. Uncertainty

Tantangan utama untuk mengelola permasalahan publik menjadi sebuah

peluang. Ketidakpastian yang tidak dapat dikelola dapat mendorong kelompok

untuk berkolaborasi dalam rangka mengurangi, menyebar, dan berbagi risiko yang

dapat menumbuhkan inovasi dan kreativitas (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).44

Ketidakpastian kolektif mengenai cara mengelola masalah sosial juga berkaitan

dengan driver lainnya yaitu interdependence yang dapat mengubah respon

kompetisi menjadi kerjasama (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)45.

Seperti dijelaskan sebelumnya, kerangka kerja integratif memperkenalkan

istilah CGR untuk menunjukkan suatu sistem di mana kolaborasi lintas batas

mewakili mode yang dominan untuk melakukan, membuat keputusan, dan

aktivitas. Bentuk dan arah CGR awalnya dibentuk oleh driver yang muncul dari

system context. Namun, pengembangan CGR dipengaruhi oleh dua komponen yaitu

dinamika kolaboratif dan tindakan kolaboratif. Berikut penjelasannya:

I.5.4.2 Collaborative Dynamics

Dinamika dan tindakan yang dihasilkan dari waktu ke waktu merupakan

proses CGR. Proses kolaboratif sebagai urutan linear dalam langkah kognitif dari

definisi masalah hingga pengaturan arah dan implementasi. Konsisten dengan

Ansell and Gash (2007), melihat tahapan dalam dinamika kolaboratif sebagai

43 Ibid. Hal. 45. 44 Ibid. Hal. 44. 45 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal 9.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-28

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

interaksi siklus.46 Ada tiga komponen interaksi dinamika kolaboratif yaitu

Principled Engagement, Shared Motivation, dan Capacity for Joint Action.

1. Principled Engagement

Keterlibatan berprinsip terjadi dari waktu ke waktu dan melibatkan

pemangku kepentingan yang berbeda pada titik yang berbeda. Hal ini terjadi dalam

format tatap muka atau virtual, jaringan lintas organisasi, atau pertemuan pribadi

dan publik. Melalui Principled Engagement, orang dengan latar belakang yang

berbeda, tujuan relasional, dan identitas bekerja lintas batas kelembagaan, sektoral,

atau yurisdiksi masing-masing bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dan

konflik. Meskipun dialog tatap muka pada awalnya menguntungkan, namun tidak

selalu penting ketika konflik (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).47

Kata ''berprinsip'' pada keterlibatan ini mengacu untuk mematuhi prinsip-

prinsip dasar yang dimaknai secara luas dalam praktik dan penelitian, termasuk

komunikasi terbuka dan inklusif, diimbangi dengan perwakilan dan diinformasikan

oleh perspektif dan pengetahuan semua aktor yang terlibat (Ansell and Gash,

2007).48 Sebelum menentukan elemen yang berkaitan dengan Principled

Engagement, penting untuk membahas pemangku kepentingan. Siapa aktor yang

terlibat dan siapa yang diwakili merupakan sinyal penting untuk kolaborasi

bergantung pada konteks dan tujuan CGR. Mereka dapat mewakili diri mereka

sendiri, klien, konstituensi, pengambil keputusan, lembaga publik, LSM, bisnis atau

korporasi, komunitas, atau masyarakat luas. Peran pemangku kepentingan juga

sangat beragam mulai dari pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Proses keterlibatan mengidentifikasi berbagai hasil positif dari keterlibatan

yang sukses di luar kualitas penentuan secara keseluruhan, seperti peningkatan

kejelasan tentang isu-isu utama dan masalah; meningkatkan kepercayaan dan saling

menghormati yang dibangun di antara para pihak; peningkatan kapasitas sosial,

operasional, dan pengambilan keputusan; integrasi yang lebih baik dari

pengetahuan yang relevan ke dalam musyawarah dan keputusan; dan legitimasi

yang lebih besar dirasakan di dalam dan di luar kolaborasi (Emerson, Nabatchi and

46 Ansell and Gash. Loc. Cit. 47 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 10. 48 Ansell and Gash. Loc. Cit.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-29

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Balogh, 2011).49 Dengan kata lain, dalam kerangka tata kelola kolaboratif, siklus

dinamis penemuan, definisi, pertimbangan, dan penentuan selama keterlibatan

berprinsip menciptakan dan memperkuat motivasi bersama dan membangun

kapasitas yang dibutuhkan untuk aksi bersama.

2. Shared Motivation

Siklus yang menguatkan diri terdiri dari empat elemen yaitu Mutual Trust,

Mutual Understanding, Internal Legitimacy, dan Shared Commitment. Semua

kecuali legitimasi termasuk dalam konfigurasi proses kolaborasi (Ansell and Gash,

2007).50 Motivasi bersama, sebagian, diprakarsai oleh keterlibatan berprinsip, dan

dalam ini adalah hasil jangka menengah. Namun, Shared motivation juga

memperkuat atau mempercepat proses keterlibatan berprinsip.

Elemen pertama dari Shared Motivation sebagai hasil dari Principled

Engagement adalah kepercayaan dihasilkan ketika para pemangku kepentingan

bekerja sama, saling memahami dan membuktikan satu sama lain bahwa mereka

saling membutuhkan. Mekanisme kepercayaan dikonseptualisasikan dalam siklus

motivasi bersama, yaitu kepercayaan menghasilkan saling pengertian, yang pada

gilirannya menghasilkan Internal Legitimacy dan akhirnya Shared Commitment.

Ini membentuk dasar saling pengertian sebagai elemen kedua dalam

motivasi bersama. Pada tingkat interpersonal, kepercayaan memungkinkan orang

untuk melihat dan kemudian menghargai perbedaan pada orang lain. Saling

pengertian bukanlah “pemahaman bersama” seperti yang dibahas oleh Ansell and

Gash (2007) di mana para peserta menyetujui serangkaian nilai atau tujuan

bersama. Sebaliknya, Mutual Understanding secara khusus mengacu pada

kemampuan untuk memahami dan menghormati posisi dan minat orang lain bahkan

ketika orang mungkin tidak setuju.

Pada gilirannya, saling pengertian menghasilkan legitimasi kognitif (elemen

ketiga). Konfirmasi bahwa pemangku kebijakan dalam upaya kolektif dapat

dipercaya dan kredibel, dengan minat yang kompatibel dan saling bergantung,

melegitimasi dan memotivasi kolaborasi yang sedang berlangsung. Tidak kalah

49 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 11. 50 Ansell and Gash. Loc. Cit.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-30

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

penting juga untuk membenarkan keterlibatan berkelanjutan pemangku kebijakan

dengan yang diwakili (Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015).51 Ini mengarah pada

menciptakan ikatan komitmen (elemen keempat), yang memungkinkan para peserta

untuk melintasi batas-batas organisasi, sektoral, dan/atau yurisdiksi yang

sebelumnya memisahkan mereka dan berkomitmen pada jalur bersama. Ansell and

Gash (2007) juga membedakan komitmen terhadap proses sebagai faktor kunci

dalam dinamika kolaboratif.52

3. Capacity for Joint Action

Kolaborasi dalam kegiatan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas diri

dan orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, CGR harus

menghasilkan kapasitas baru untuk aksi bersama yang tidak ada sebelumnya dan

mempertahankan atau menumbuhkan kapasitas itu selama durasi tujuan bersama.

Pengembangan kapasitas yang diperlukan dapat ditentukan selama principled

engagement sebagai dimensi fungsional untuk mencapai tujuan kolaboratif

(Emerson, Kirk, and Nabatchi, 2015). 53

Capacity for Joint Action dikonseptualisasikan sebagai kombinasi dari

empat elemen yang diperlukan, yaitu pengaturan prosedural dan kelembagaan,

kepemimpinan, pengetahuan, dan sumber daya. Selain itu, kapasitas untuk aksi

bersama dapat dilihat sebagai hasil dari siklus interaksi principled engagement dan

shared motivation. Namun, seiring dengan berkembangnya kapasitas bersama, ini

juga dapat memperkuat atau meningkatkan keterlibatan dan siklus motivasi

bersama.

Pengaturan prosedural dan institusional ini harus didefinisikan pada tingkat

intraorganisasional (bagaimana satu kelompok atau organisasi akan mengatur dan

mengelola dirinya sendiri dalam inisiatif kolaboratif) dan pada tingkat antar

organisasi (bagaimana kelompok organisasi akan mengatur dan mengelola

bersama-sama dalam CGR dan berintegrasi dengan otoritas pengambilan keputusan

eksternal). Struktur seperti itu dapat bervariasi berdasarkan fungsi dan bentuk,

misalnya, dikelola oleh lembaga atau badan pemimpin yang ditunjuk, atau dengan

51 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 65. 52 Ansell and Gash. Loc. Cit. 53 Emerson, Kirk, and Nabatchi, T. (2015). Op. Cit. Hal. 69.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-31

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

penciptaan struktur pemerintahan baru. Protokol yang mengatur upaya kolaboratif

dapat berupa norma timbal balik dan/atau lebih aturan formal interaksi jaringan

(Thomson dan Perry, 2006 dalam Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).54

Kepemimpinan dalam tata kelola kolaboratif secara luas dikonfirmasi

(Ansell and Gash, 2007).55 Kepemimpinan dapat menjadi pendorong eksternal,

unsur penting dari tata kelola kolaboratif dan hasil kolaborasi yang signifikan.

Selain itu, tata kelola kolaboratif menuntut dan menumbuhkan banyak peluang dan

peran untuk kepemimpinan (Bryson, Crosby, dan Stone, 2006 dalam Emerson,

Nabatchi and Balogh, 2011).56 Ini termasuk peran kepemimpinan sponsor,

penyelenggara, fasilitator atau mediator, perwakilan dari organisasi atau

konstituensi, penerjemah sains, teknolog, dan advokat publik. Peran kepemimpinan

tertentu sangat penting mulai proses perencanaan hingga implementasi.

Pengetahuan adalah mata uang kolaborasi sehingga dibutuhkan

pengetahuan bersama yang dihasilkan bersama. Intinya, kolaborasi membutuhkan

agregasi, pemisahan, dan pengumpulan data dan informasi, serta generasi baru

untuk mendapatkan pengetahuan bersama. Pengetahuan adalah informasi yang

dikombinasikan dengan pemahaman dan kemampuan yang hidup dalam pikiran

orang. Sehingga, pengetahuan memandu tindakan, sedangkan informasi dan data

hanya dapat menginformasikan atau bahkan membingungkan (Groff dan Jones,

2003 dalam Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011).57 Istilah pengetahuan dalam

kerangka kerja ini mengacu pada modal sosial dari pengetahuan bersama yang telah

ditimbang, diproses, dan diintegrasikan dengan nilai-nilai dan penilaian semua

peserta. Ansell and Gash (2007: 544) mencatat, ketika pengetahuan menjadi

semakin terspesialisasi dan terdistribusi dan ketika infrastruktur institusional

menjadi lebih kompleks dan saling tergantung, permintaan untuk kolaborasi

meningkat58. Maka, manajemen pengetahuan sangat penting untuk

keberlangsungan kolaborasi antar jaringan.

54 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 15. 55 Ansell and Gash. Loc. Cit. 56 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit. 57 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 16. 58 Ansell and Gash. Loc. Cit.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-32

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Sumber daya adalah salah satu manfaat terjalinnya kolaborasi. Sumber daya

dapat mencakup pendanaan, waktu, dukungan teknis dan logistik; bantuan

administrasi dan organisasi; keterampilan yang diperlukan untuk analisis atau

implementasi; dan membutuhkan keahlian, termasuk kekuasaan. Kesenjangan

sumber daya di antara peserta sering disorot dalam pengaturan lintas budaya, di

mana bahasa, adat, dan budaya dapat menghadirkan hambatan untuk keterlibatan.

Sumber daya ini dapat dimanfaatkan dan didistribusikan kembali sebagai sumber

daya bersama untuk mempengaruhi tujuan bersama CGR melalui dinamika

kolaboratif. Perbedaan sumber daya ini harus dikelola dengan adil untuk

keberlanjutan proses kolaborasi. Sumber daya administrasi disusun dan

dikonfigurasikan sebagai hal penting untuk keberhasilan kolaborasi (Thomson dan

Perry, 2006 dalam (Emerson, Nabatchi and Balogh, 2011)59.

I.5.4.3 Collaborative Actions

Tindakan kolaboratif harus menjadi jantung dari kerangka kerja

collaborative governance apa pun, tetapi tindakan tersebut mendapat perhatian

terbatas (Thomas, Craig W., 2011).60 Namun, CGR yang efektif harus menyediakan

mekanisme baru untuk tindakan kolektif oleh mitra kolaborasi sesuai dengan teori

tindakan untuk mencapai hasil. Bergantung pada konteks CGR, tindakan tersebut

dapat mencakup, misalnya, memberlakukan langkah kebijakan (undang-undang

atau peraturan baru). Tindakan kolaboratif dapat dilakukan oleh semua mitra yang

disepakati melalui CGR atau entitas eksternal yang menanggapi rekomendasi atau

arahan dari CGR. Tindakan kolaboratif akan sulit dicapai, jika tujuan bersama dan

alasan operasi untuk mengambil tindakan tidak dibuat eksplisit (Emerson, Nabatchi

and Balogh, 2011).61

1. Impacts

Dalam kerangka kerja ini, memfokuskan definisi dampak dihasilkan dari

tindakan yang didorong oleh dinamika kolaboratif. Dampak adalah perubahan yang

59 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit. 60 Thomas, Craig W., and T. M. K. (2011) ‘Research Designs for Evaluating the Impact of

Community-Based Management on Natural Resource Conservation’, Journal of Natural Resources

Policy Research, 3(2), pp. 97–111. 61 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 17.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-33

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

disengaja (dan tidak disengaja) dalam konteks sistem. Dampak juga dapat

mencakup nilai tambah dari sistem sosial atau inovasi teknologi baru yang

dikembangkan oleh tindakan kolaboratif. Dampak dapat berupa fisik, lingkungan,

sosial, ekonomi, dan/atau politik. Mereka dapat spesifik, diskrit, jangka pendek atau

secara lebih luas, bersifat kumulatif dengan dampak jangka panjang. Yang pertama

lebih mudah untuk diukur dan dikonfirmasikan, yang terakhir lebih sulit untuk

diverifikasi dan dievaluasi.

2. Adaptions

Potensi adaptasi dalam CGR dapat terjadi secara tidak langsung sebagai

akibat dari perubahan dalam konteks sistem (misalnya, sehingga mengubah

pendorong untuk berkolaborasi) atau secara langsung sebagai tanggapan terhadap

efektivitas tindakan dan dampak yang dirasakan. Menurut Emerson, Nabatchi and

Balogh (2011), tata kelola kolaboratif sering dianjurkan karena potensinya untuk

mengubah konteks situasi atau masalah yang kompleks menjadi peluang.62 Salah

satu konsekuensi paling penting adalah mengubah arah situasi yang kompleks

untuk membantu menggerakkan masyarakat. Dalam kerangka kerja,

mengidentifikasi potensi perubahan transformatif seperti adaptasi terhadap dampak

yang ditumbuhkan oleh CGR.

Peneliti menggunakan Collaborative Governance Regime (CGR) sebagai

pisau analisis dalam penelitian ini. Alasan digunakannya CGR yaitu karena

framework ini mengintegrasikan banyak komponen tata kelola kolaboratif dari ini

system context yang dipengaruhi oleh faktor politik, hukum, sosial ekonomi,

lingkungan dan lainnya dalam proses CGR, collaborative dynamics sebagai siklus

dari CGR, dan collaborative actions merupakan implementasi dari proses CGR.

Proposisi adalah pernyataan yang terdiri dari satu atau lebih konsep. Dalam

teori Collaborative Governance oleh Emerson, Nabatchi and Balogh (2011), dapat

dilihat proposisi yang menggambarkan kolaborasi secara komprehensif, sebagai

berikut63:

62 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Op. Cit. Hal. 19. 63 Emerson, K., Nabatchi, T. and Balogh, S. (2011). Loc. Cit.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-34

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

1. Satu atau lebih pendorong Leadership, Consequential Incentives,

Interdependence dan Uncertainty diperlukan untuk memulai CGR. Semakin

banyak pendorong yang hadir dan diakui oleh pelaku kolaborasi, semakin

besar kemungkinan CGR akan dimulai.

2. Principled engangement dihasilkan dan ditopang oleh proses interaktif

penemuan, definisi, pertimbangan, dan penentuan. Keefektifan Principled

engangement ditentukan oleh kualitas proses interaktif ini.

3. Interaksi berulang dan berkualitas melalui principled engagement akan

membantu menumbuhkan kepercayaan, saling pengertian, legitimasi

internal, dan komitmen bersama, sehingga menghasilkan dan

mempertahankan shared motivation.

4. Setelah dihasilkan, shared motivation akan meningkatkan dan membantu

mempertahankan principled engangement dan sebaliknya dalam “siklus

yang baik”.

5. Principled engangement dan shared motivation akan merangsang

pengembangan pengaturan kelembagaan, kepemimpinan, pengetahuan, dan

sumber daya, sehingga menghasilkan dan mempertahankan capacity for

joint action.

6. Tingkat yang diperlukan untuk empat elemen capacity for joint action

ditentukan oleh tujuan CGR, teori aksi bersama, dan hasil yang ditargetkan.

7. Kualitas dan tingkat collaborative dynamics tergantung pada interaksi yang

produktif dan menguatkan diri di antara principled engagement, shared

motivation, dan capacity for joint action.

8. Collaborative actions lebih mungkin diterapkan jika teori aksi bersama

diidentifikasi secara eksplisit di antara mitra kolaborasi dan fungsi

collaborative dynamics untuk menghasilkan capacity for joint action.

9. Dampak yang dihasilkan dari collaborative action cenderung lebih dekat

dengan hasil yang ditargetkan dengan lebih sedikit konsekuensi negatif

yang tidak diinginkan ketika ditentukan dan berasal dari teori aksi bersama

selama collaborative dynamics.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-35

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

10. CGR akan lebih berkelanjutan dari waktu ke waktu ketika beradaptasi

dengan sifat dan tingkat dampak yang dihasilkan dari tindakan bersama

mereka.

I.6 Definisi Konsep

Konsep adalah hasil abstraksi dari realitas empiris. Dalam memahami

konsep yang terdapat pada penelitian ini, maka peneliti menyusun pelbagai definisi

konsep di bawah ini:

1. Rencana tata ruang wilayah yaitu penyelenggaraan kegiatan penataan

pembangunan daerah secara terarah dan berkelanjutan sesuai dengan visi

rencana yang telah ditetapkan.

2. Governance merupakan tata kelola pemerintah dengan melibatkan peran

swasta dan masyarakat untuk mewujudkan kebijakan tertentu dari

keputusan bersama.

3. Good Governance adalah kerja sama yang aktif dan produktif antara negara

dan warga negara, dan kunci keberhasilannya terletak pada kekuasaan yang

berpartisipasi dalam administrasi politik.

4. Partisipasi yaitu proses di mana pembuatan kebijakan, memprioritaskan

masalah, aksesibilitas ke barang dan jasa publik, dan juga mengalokasikan

sumber daya dipengaruhi oleh stakeholder utama.

5. Aturan hukum merupakan operasi dan fungsi lingkungan masyarakat harus

didasarkan pada hukum obyektif dan tidak boleh ada peran keinginan dan

khayalan dari siapa pun yang kuat dan berpengaruh.

6. Ekuitas adalah setiap orang setara dan memiliki kesempatan yang sama

dalam suatu komunitas terlepas dari kasta, agama atau keyakinan jenis

kelamin, ras, warna kulit dan status sosialnya.

7. Inklusivitas yaitu saat merumuskan kebijakan dan program tertentu perlu

untuk mempertimbangkan kepentingan, aspirasi, dan pendapat semua

individu dan kelompok dalam masyarakat.

8. Transparansi merupakan setiap orang dalam masyarakat memiliki akses

langsung terhadap proses, lembaga, dan informasi.

9. Responsivitas adalah sistem pemberian layanan harus memiliki ketentuan

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-36

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

waktu dan periode untuk menyelesaikan tugasnya dalam kerangka waktu

yang dapat diprediksi.

10. Konsensus dan Legitimasi yaitu proses keputusan yang tidak hanya mencari

persetujuan dari sebagian besar peserta tetapi juga menyelesaikan atau

mengurangi keberatan minoritas untuk mencapai keputusan yang paling

disetujui.

11. Efektivitas dan Efisiensi merupakan proses dan program yang dilaksanakan

oleh lembaga untuk menghasilkan yang baik dalam memenuhi kebutuhan

pemangku kepentingan sekaligus memanfaatkan sumber daya secara

optimal.

12. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari sektor publik, swasta, dan

organisasi masyarakat sipil kepada masyarakat dan juga pemangku

kepentingan kelembagaan atas keberhasilan atau kegagalan dalam

mencapai tujuan.

13. Collaborative Governance yaitu pelibatan stakeholder dari pihak publik,

swasta, dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam forum kolektif bersama

lembaga publik untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan yang

berorientasi pada konsensus.

14. Collaborative Governance Regime merupakan untuk mengetahui dan

memahami suatu sistem untuk menjalin kerangka kolaborasi lintas batas

mewakili mode yang dominan untuk melakukan, membuat keputusan, dan

aktivitas. CGR memiliki tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu System

Context, Collaborative Dynamics, dan Collaborative Actions.

15. System Context adalah menciptakan peluang dan kendala serta

memengaruhi dinamika dan kinerja kolaborasi terhadap Collaborative

Governance Regime.

16. Driver yaitu pendorong yang harus hadir untuk memulai CGR, dimana

tanpa adanya dorongan untuk kolaborasi tidak akan berhasil terungkap.

Driver ini meliputi kepemimpinan, insentif konsekuensi, saling

ketergantungan, dan ketidakpastian.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-37

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

17. Leadership merupakan kehadiran pemimpin yang diidentifikasi

keberadaannya untuk mengelola sumber daya dan driver untuk

mewujudkan CGR secara signifikan.

18. Consequential Incentives adalah penggerak internal atau eksternal untuk

melakukan tindakan kolaboratif.

19. Interdependence yaitu prasyarat untuk melakukan tindakan kolaboratif

sebagai insentif konsekuensial utama karena individu dan organisasi tidak

dapat mencapai tujuan dengan sendirian.

20. Uncertainty merupakan ketidakpastian yang tidak dapat dikelola dapat

mendorong kelompok untuk berkolaborasi dalam rangka mengurangi,

menyebar, dan berbagi risiko yang dapat menumbuhkan inovasi dan

kreativitas.

21. Collaborative Dynamics adalah proses kolaboratif sebagai tahapan kognitif

yang terjadi dari definisi masalah hingga penentuan arah dan implementasi.

Ada tiga komponen interaksi dinamika kolaboratif yaitu Principled

Engagement, Shared Motivation, dan Capacity for Joint Action.

22. Principled Engagement yaitu keterlibatan berprinsip terjadi dari waktu ke

waktu dan melibatkan pemangku kepentingan yang berbeda pada titik yang

berbeda.

23. Shared Motivation merupakan siklus yang menguatkan diri terdiri dari

empat elemen yaitu Mutual Trust, Mutual Understanding, Internal

Legitimacy, dan Shared Commitment.

24. Capacity for Joint Action adalah menumbuhkan kapasitas baru untuk aksi

bersama yang tidak ada sebelumnya dan mempertahankan atau

menumbuhkan kapasitas itu untuk mencapai tujuan bersama.

25. Collaborative Actions yaitu tindakan kolaboratif dapat dilakukan oleh

semua mitra yang disepakati untuk menanggapi rekomendasi atau arahan

dari Collaborative Governance Regime dalam mencapai tujuan bersama.

Ada dua komponen yang mempengaruhi yaitu Impacts dan Adaptions.

26. Impacts merupakan memfokuskan definisi dampak dihasilkan dari tindakan

yang didorong oleh dinamika kolaboratif.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-38

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

27. Adaptions adalah mengidentifikasi potensi perubahan transformatif seperti

adaptasi terhadap dampak yang ditumbuhkan oleh CGR.

I.7 Metode Penelitian

I.7.1 Pendekatan Penelitian

Menurut Neuman (2016:44), ciri pendekatan kualitatif yaitu fokus pada

proses yang interaktif, mengonstruksi makna budaya dan realitas sosial, kebenaran

dan keasilian merupakan faktor utama, nilai hadir secara eksplisit, data dan teori

harus menyatu, situationally constrained, analisis tematik, dan peneliti terlibat

dalam penelitian64. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif guna meneliti

fenomena dari hasil kontruksi budaya dan makna dalam menjawab rumusan

masalah yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui dan memahami

implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di Kawasan Malang Raya dalam

perspektif Collaborative Governance Regime.

I.7.2 Tipe Penelitian

Menurut Neuman (2016: 43-47), terdapat tiga jenis tipe penelitian

berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu eksplanatif, eksploratif, dan deskriptif.

Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan tujuan untuk “melukis

gambar” menggunakan angka atau kata dan untuk menyajikan profil, klasifikasi

jenis atau garis besar guna menjawab pelbagai pertanyaan seperti bagaimana, siapa,

dimana, dan kapan. Studi deskriptif menggambarkan gambaran yang spesifik dari

latar sosial, situasi, atau hubungan65. Penelitian deskriptif mencoba untuk

menjawab mengapa fenomena yang ada dapat terjadi yang dijelaskan secara akurat.

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah dijabarkan, yaitu dengan

menyajikan gambaran rinci tentang implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah

di Kawasan Malang Raya dalam perspektif Collaborative Governance Regime. Hal

ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan implementasi kebijakan

Malang Raya dalam perspektif Collaborative Governance Regime.

64 Neuman, W. L. (2016). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.

Jakarta : PT Indeks 65 Ibid hal. 22

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-39

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I.7.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yaitu tempat atau wilayah penelitian dilakukan. Penentuan

lokasi penelitian berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah

dibuat. Dalam hal ini terkait dengan implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah

di kawasan Malang Raya. Maka, penelitian ini dilakukan di kawasan Malang Raya

yaitu Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, yaitu sebagai berikut:

1. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Batu di Jl. Kartini No.14,

Ngaglik, Kec. Batu, Kota Batu.

2. Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan, dan Kawasan

Permukiman Kota Malang di Jl. Bingkil No.1, Ciptomulyo, Kec. Sukun,

Kota Malang.

3. Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Malang di Jalan Trunojoyo

No.6, Kedungpedaringan, Kepanjen, Ngadiluwih, Kedungpedaringan, Kec.

Kepanjen, Malang.

I.7.4 Teknik Penentuan Informan

Penggunaan sampel nonprobabilitas dalam penelitian kualitatif lebih sesuai

dengan tujuan penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan kasus yang

spesifik secara bertahap. Teknik purposive digunakan untuk memperoleh pelbagai

data yang sesuai dengan kriteria informan yang telah ditentukan (Neuman, 2016:

303)66. Sampel non-acak dimana peneliti menggunakan berbagai metode untuk

menemukan semua kasus yang mungkin dari populasi yang sangat spesifik dan sulit

dijangkau. Pengambilan purposive (juga dikenal sebagai judgmental) adalah jenis

pengambilan sampel yang berharga untuk situasi khusus dalam penelitian

eksplorasi atau dalam penelitian lapangan menggunakan penilaian ahli dalam

memilih kasus, atau memilih kasus dengan tujuan tertentu. Tidak tepat jika

tujuannya adalah untuk memiliki sampel yang representatif atau untuk memilih

kasus "rata-rata" atau "khas". Sehingga, dalam purposive, kasus yang dipilih jarang

mewakili seluruh populasi dan bersifat unik yang sangat informatif.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teknik snowball untuk

melengkapi data penelitian sesuai dengan rekomendasi dari informan sebelumnya

66 Ibid hal. 22

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-40

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

yang berkaitan dengan implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan

Malang Raya. Sampel non-acak di mana peneliti memulai dengan satu kasus dan

kemudian, berdasarkan informasi tentang hubungan timbal balik dari kasus itu,

mengidentifikasi kasus-kasus lain dan mengulangi proses berulang-ulang. Maka,

peneliti bisa mendapatkan informan selanjutnya dari infoman sebelumnya. Adapun

yang menjadi key informan dalam penelitian ini antara lain :

1. Kepala Seksi Perencanaan Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum, Penataan

Ruang Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kota Malang yaitu Dedy

Indrawan

2. Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kota Malang yaitu M. Anis Januar

3. Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Kota Batu yaitu Dian Fachroni Kurniawan, SE,MSE,MA.

4. Kepala Sub Bidang I Perencanaan Pembangunan Perekonomian, SDA,

Infrastruktur dan Kewilayahan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kota Batu yaitu Wiwit

5. Analis Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Malang yaitu Maulien Khairina Sari ST.,MT.

6. Staf Tata Ruang Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya

Kabupaten Malang yaitu Indra Purnama Putra, S.T.

I.7.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data harus dilakukan oleh peneliti dengan konsisten dan terus-

menerus, akan berhenti jika data yang diperoleh sudah mencapai titik jenuh. Dalam

hal ini tidak lagi memunculkan gagasan baru dari penelitian yang dilakukan

(Charmaz dalam Creswell, 2016: 254)67. Data primer berasal dari observasi

kualitatif dan wawancara mendalam, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi

dokumentasi (audio dan visual) dan studi literatur. Strategi pengumpulan data,

sebagai berikut:

1. Observasi kualitatif

67 Creswell, J. W. (2016) ‘Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Method

Approaches’. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-41

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Ini dilakukan saat peneliti turun lapangan untuk mengamati aktivitas dan

perilaku individu di lokasi penelitian. Peneliti dapat mencatat aktivitas di lapangan

dengan cara terstruktur maupun semi struktur. Peneliti turun ke lapangan untuk

mengamati aktivitas pemerintah secara langsung dalam pelaksanaan kebijakan tata

ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya. Dalam konteks penelitian ini, peneliti

diajak oleh DPUPR Kota Batu untuk menghadiri koordinasi perbatasan dengan

DPKPCK Kabupaten Malang yang bertujuan untuk mengetahui titik perbatasan

antara Kota Batu dan Kabupaten Malang. Observasi ini dilakukan untuk

memperoleh informasi lebih mendalam sesuai dengan pedoman yang telah

ditentukan sebelumnya yaitu penataan ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya.

2. Wawancara mendalam

Dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu wawancara tatap muka, melalui

telepon, dan wawacara dalam kelompok tertentu yang terdiri dari enam sampai

delapan partisipan setiap kelompok. Wawancara mendalam yang dilakukan peneliti

terhadap informan melalui metode purposive sampling dan dilengkapi dengan

snowball sampling. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah penjelasan

atau deskripsi secara komprehensif dan opini dari informan mengenai implementasi

kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya dalam perspektif

Collaborative Governance Regime.

3. Dokumen kualitatif

Saat penelitian, peneliti dapat mengumpulkan berbagai informasi yang

mendukung data penelitian, seperti dokumen atau sumber bacaan baik dari

dokumen publik seperti notulen hasil rapat, laporan, maupun koran atau dokumen

privat seperti jurnal dan buku. Hal ini untuk memperkuat data yang sudah ada

seperti studi terdahulu maupun data sekunder yang tidak dapat terpenuhi melalui

pengambilan data primer di lapangan. Pada penelitian ini, peneliti membutuhkan

data sekunder, sebagai berikut:

a. Dokumen kesepakatan bersama antara Pemerintah Kota Batu, Kota Malang,

dan Kabupaten Malang terkait kerja sama pembangunan daerah di Malang

Raya.

b. Dokumen rencana tata ruang dan wilayah Kota Batu, Kota Malang, dan

Kabupaten Malang.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-42

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Batu, Kota Malang,

dan Kabupaten Malang.

4. Materi audio dan visual kualitatif

Selain data diatas, peneliti dapat mengumpulkan data dari foto, video, objek

seni, dan segala suara atau bunyi apapun. Pengambilan data ini untuk

mendokumentasikan setiap fenomena dan proses dalam penelitian sebagai bukti

autentik (keaslian) dari penelitian ini. Dalam konteks penelitian ini, peneliti

mencari informasi melalui pemotretan gambar berupa foto peneliti bersama

narasumber maupun audio dari rekaman wawancara.

I.7.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Peneliti menggunakan triangulasi sumber data oleh Saldana, Johny,

Matthews B. Miles (2014) karena strategi ini dapat memberikan pemeriksaan

keabsahan data dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari wawancara,

dokumentasi, dan observasi. Triangulasi ini dilakukan dengan beberapa tahapan,

sebagai berikut68:

1. Membandingkan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan

observasi di lapangan. Peneliti melaksanakan perbandingan ulang antara temuan

yang didapatkan dari wawancara mendalam dengan keadaan yang telah diamati

oleh peneliti melalui obsevasi lapangan.

2. Membandingkan data yang diperoleh dari wawancara mendalam dengan

beberapa informan. Peneliti melaksanakan perbandingan antara hasil temuan dari

satu informan ke informan lain berkaitan dengan fenomena yang menjadi objek

penelitian.

3. Membandingkan data yang diperoleh wawancara mendalam dengan berbagai

dokumentasi yang sudah dilakukan. Peneliti melaksanakan perbandingan antara

temuan dari wawancara mendalam dengan segala bentuk dokumen pendukung yang

sesuai dengan fenomena yang diteliti.

68 Saldana, Johny, Matthews B. Miles, and A. M. H. (2014) Qualitative Data Analysis: A Methods

Sourcebook Edition 3. SAGE Publications.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-43

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

Strategi triangulasi dalam teknik pemeriksaan keabsahan data dipilih oleh

peneliti karena dapat memberikan data yang valid sesuai dengan kondisi di

lapangan secara komprehensif. Hal ini dilakukan dengan membandingkan data

yang diperoleh dengan studi dokumentasi, studi pustaka, wawancara mendalam,

dan observasi. Tahapan pemeriksaan data dilakukan dengan studi dokumen dengan

mencari dokumen melalui website resmi Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten

Malang terkait implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah. Kemudian,

memeriksa kebenaran data tersebut dengan melakukan observasi dan wawancara

mendalam kepada key informan. Selanjutnya, hasilnya dibandingkan dengan studi

dokumen yang telah diperoleh sebelumnya.

I.7.7 Teknik Analisis Data

Penelitian kualitatif mendapatkan data dari berbagai macam sumber melalui

wawancara mendalam, observasi, materi audio dan visual serta studi dokumentasi.

Setelah dilakukan pengumpulan data tersebut, maka langkah selanjutnya adalah

menganalisis data dan informasi yang diperoleh untuk dapat ditarik kesimpulan.

Menurut Saldana, Johny, Matthews B. Miles, (2014) analisis data merupakan

kegiatan analisis yang terdiri dari tiga komponen yaitu, sebagai berikut69:

a) Data Condensation

Data Condensation merupakan kegiatan memilih, memfokuskan,

menyederhanakan, abstraksi dan atau mengubah data yang muncul secara

keseluruhan dalam catatan lapangan, wawancara mendalam, studi dokumen,

dan materi empiris lainnya. Dengan demikian, kegiatan tersebut dapat

memperkuat data yang telah ditemukan selama proses penelitian kualitatif

berlangsung sehingga membantu peneliti untuk disiplin dalam pengumpulan

data. Proses pengumpulan data dalam kondensasi data meliputi penulisan

ringkasan, pengkodean, pengembangan tema, membuat kategori, dan menulis

memo analisis. Setelah penelitian berakhir, proses kondensasi data berlanjut

hingga laporan akhir selesai. Kondensasi data menjadi bagian dari proses

analisis itu sendiri. Kondensasi data merupakan suatu bentuk analisis yang

dapat memilah data sesuai dengan kebutuhan penelitian sehingga dapat ditarik

69 Ibid Hal 26

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-44

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

kesimpulan dan verifikasi akhir.

b) Data Display

Aktivitas analisis selanjutnya adalah penyajian data yang membantu peneliti

untuk memberikan informasi sehingga dapat mengetahui tindakan apa yang

harus dilakukan ketika terjadi suatu hal. Dalam data kualitatif, penyajian data

yang sering digunakan yakni teks naratif untuk mempermudah menarik

kesimpulan. Penyajian data dapat berupa grafik, bagan, matrik, ataupun

jaringan. Semua dirancang untuk mengumpulkan informasi yang terorganisir

menjadi bentuk yang ringkas dan mudah diakses. Oleh karena itu, seorang

peneliti dapat merancang penyajian data yang sistematis.

c) Drawing And Verifying Conclusion

Langkah terakhir dalam analisis data kualitatif yaitu kegiatan penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Sejak pengumpulan data, peneliti mulai

menginterpretasikan arti benda-benda, pola-pola, penjelasan, hubungan sebab

akibat, dan proposisi. Kesimpulan awal yang disajikan masih bersifat

sementara, jika tidak ditemukan bukti yang dapat diandalkan untuk mendukung

kesimpulan tersebut pada pengumpulan data tahap berikutnya, maka

kesimpulan tersebut akan diubah. Namun, jika kesimpulan sebelumnya

didukung oleh bukti yang valid dan konsisten ketika peneliti kembali ke lokasi

penelitian untuk mengumpulkan data. Maka, kesimpulan yang disajikan

merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan dari penelitian kualitatif

adalah penemuan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada penelitian

ini kesimpulan ditulis secara jelas dan ringkas mengenai penerapan

Collaborative Governance Regime pada kebijakan tata ruang dan wilayah di

kawasan Malang Raya.

Dalam penelitian ini, diperoleh penjelasan mengenai implementasi

kebijakan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya. Metode analisis

deskriptif digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dalam

menjelaskan atau mendeskripsikan fenomena yang berkaitan dengan masalah

penelitian. Sehingga, data yang diperoleh adalah data deskriptif berupa kalimat

tertulis atau lisan dari kegiatan observasi.

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

I-45

SKRIPSI ANALISIS COLLABORATIVE... SITI KHODIJAH

I.7.8 Rincian Data yang Dikumpulkan

Untuk dapat menjawab rumusan masalah secara empiris, maka perlu adanya

pengumpulan data terkait implementasi kebijakan tata ruang dan wilayah di

Kawasan Malang Raya. Sebelum peneliti terjun ke lapangan, peneliti telah

merencanakan pengumpulan data yang relevan untuk menjawab rumusan masalah.

Berikut rincian data yang dikumpulkan:

1. Data tata ruang dan wilayah di kawasan Malang Raya tahun 2017-2020.

2. Rencana kerja pembangunan tata ruang dan wilayah di kawasan Malang

Raya tahun 2020.

3. Rencana strategis Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang Perumahan, dan

Kawasan Permukiman Kota Malang tahun 2018-2023.

4. Rencana strategis Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Batu

tahun 2018-2022.

5. Rencana strategis Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta

Karya Kabupaten Malang Kabupaten Malang tahun 2016-2021.