ipi

Upload: warjoko

Post on 05-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asasad

TRANSCRIPT

  • 1

    STUDY ETHNOMATHEMATICS:

    PENGUNGKAPAN SISTEM BILANGAN MASYARAKAT ADAT BADUY

    Oleh:

    Nilah Karnilah (1)

    Dadang Juandi (2)

    Turmudi (2)

    ABSTRAK

    Penelitian ini menyangkut tentang upaya untuk menunjukkan hubungan yang terjadi

    secara timbal balik antara matematika dengan budaya. Selama ini matematika dianggap

    tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya. Anggapan tersebut berperan besar dalam

    melahirkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika di beberapa negara. Upaya untuk

    menghilangkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika tersebut didiskusikan oleh

    para matematikawan dan ahli pendidikan matematika internasional dalam suatu wadah yang

    disebut ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di daerah adat Baduy, tepatnya di

    Kampung Gajeboh. Fokus situasi sosial yang diteliti adalah aktivitas di huma (ladang).

    Tujuannya yaitu mengungkap sistem bilangan (bentuk matematika yang tidak familiar) yang

    terdapat pada aktivitas tersebut. Metode penelitian terbaru dalam kajian ethnomathematics

    mengadopsi prinsip mutual interrogation berupa critical dialogue. Metode itu pula yang

    digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana penelitian-penelitian ethnomathematics di

    negara-negara lain, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-

    prinsip dalam ethnography, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, hingga pada

    pembuatan catatan lapangan (field notes). Hasil temuan pada aktivitas pertanian diungkap

    melalui budaya sebagai kerangka acuan. Penelitian ini merekomendasikan kepada

    masyarakat Indonesia bahwa sudah seharusnya kita memandang adanya keterhubungan

    antara matematika dengan budaya.

    Kata kunci: ethnomathematics, Masyarakat Adat Baduy, mutual interrogation, critical

    dialogues, dan ethnography.

  • 2

    PENDAHULUAN

    Sebagai gambaran umum bagaimana matematika dipelajari saat ini adalah proses belajar

    mengajar masih menggunakan model konvensional yang berlangsung satu arah yaitu dari

    guru kepada siswa. Guru menerangkan dan siswa mendengarkan, mencatat apa yang dicatat

    oleh guru dan menghapalkannya, sehingga tujuan pembelajaran akan cepat selesai. Dengan

    kata lain guru biasanya menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan

    memberikan soal latihan yang lebih bersifat prosedural dan mekanis dari pada menanamkan

    pemahaman kepada siswa. Proses pembelajaran ini mengakibatkan munculnya wajah seram

    matematika pada siswa, sehingga siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang

    membosankan, kurang menarik, dan jauh dari kehidupan sehari-hari.

    Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) mengakui pula adanya gejala-gejala

    yang memunculkan wajah seram matematika. Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran,

    2004) mengakuinya dengan terlebih dahulu menyajikan hasil penelitian bahwa persepsi guru

    terhadap matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran

    matematika. Untuk menyebut salah satunya, Hersh (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 1)

    menyatakan bahwa hasil pengamatan di kelas, menurut para peneliti, bagaimana matematika

    diajarkan di kelas dipengaruhi dengan kuat oleh pemahaman guru tentang sifat matematika.

    Pandangan bahwa matematika memiliki wajah yang seram, dan jauh dari kehidupan

    sehari-hari, secara tidak langsung pandangan tersebut menyiratkan bahwa matematika tidak

    terkait dengan budaya. Alasan rasional bahwa masyarakat memandang bahwa matematika

    tidak terkait dengan budaya dimulai dari perilaku siswa yang tidak tahu bagaimana

    menggunakan matematika untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya pada

    kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat kurang begitu merasakan manfaat dari

    matematika.

  • 3

    Gejala yang timbul akibat memandang matematika jauh dari kehidupan sehari-hari

    adalah buah dari paradigma yang berkembang di masyarakat dunia sejak lebih dari 2000

    tahun ini. Paradigma itu dinamakan oleh Turmudi (2009: 4) sebagai paradigma absolut dalam

    memandang matematika. Matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sempurna

    dengan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma absolut

    membuat matematika seakan-akan adalah ilmu yang terlepas dari budaya.

    Pandangan yang menyebutkan bahwa matematika terlepas dari budaya mulai banyak

    dirasakan sebagai pandangan yang keliru. Kini, mulai banyak penelitian-penelitian yang

    mengkaji dan meneliti keterhubungan antara matematika dan budaya. Salah satunya dapat

    dilihat dari hasil pertemuan-pertemuan International Community of Mathematics Education

    beberapa tahun ini (Clements, 1996: 824). Hasil utamanya menyebutkan bahwa permasalahan

    yang terkait dengan budaya mau tidak mau akan mengelilingi proses belajar pembelajaran

    matematika, bahkan mengelilingi pula semua bentuk-bentuk matematika (selain pendidikan

    matematika). Dengan kata lain matematika sebenarnya terkait erat dengan budaya.

    Pandangan masyarakat bahwa tidak ada keterkaitan antara matematika dengan budaya,

    menurut peneliti merupakan hal yang tidak tepat dalam memandang matematika. Dikatakan

    tidak tepat, salah satunya dikarenakan tidak sesuai dengan deskripsi matematika itu sendiri.

    Sampai saat ini, memang belum ada definisi formal yang mendeskripsikan dengan tepat apa

    itu matematika. Namun deskripsi yang diambil dari Hadi (2005) dan tujuan dipelajarinya

    matematika dari TIM Mata Kuliah Proses Belajar Mengajar (MKPBM) pada tahun 2001,

    meyakinkan peneliti bahwa ada keterkaitan bahkan hubungan timbal balik antara keduanya.

    Matematika adalah kegiatan manusia. Matematika dikembangkan melalui

    penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Dunia nyata diartikan sebagai segala

    sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan

    sekitar, bahkan mata pelajaran lain. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal

    pembelajaran (Hadi, 2005).

  • 4

    Sedangkan tujuan dipelajarinya matematika yang diungkapkan dalam Garis-Garis Besar

    Program Pengajaran (TIM MKPBM, 2001: 56) adalah bahwa salah satu tujuan diberikannya

    matematika di sekolah adalah mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika

    dan pola pikir matematik dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu

    pengetahuan.

    Potongan kalimat dari Hadi (2005) kegiatan manusia dan dikembangkan melalui

    penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata, dan dari TIM MKPBM agar dapat

    menggunakan matematik dan pola pikir matematik dalam kehidupan sehari-hari

    menunjukkan dengan jelas bahwa matematika terkait bahkan dipengaruhi oleh aktivitas

    (budaya) kehidupan manusia. Kedua kutipan di atas dijadikan peneliti sebagai alasan bahwa

    telah terjadi penyimpangan antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi.

    Ranah kajian yang peneliti ambil untuk mengatasi masalah bahwa matematika tidak

    terkait dengan budaya tersebut dikenal dengan nama ethnomathematics. Peneliti memandang

    bahwa ethnomathematics merupakan alternatif yang paling baik yang dapat digunakan untuk

    menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya saling terkait bahkan saling

    mempengaruhi satu sama lainnya.

    Ethnomathematics dapat dipandang sebagai suatu ranah kajian yang meneliti cara

    sekelompok orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan

    menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh

    peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana dikemukakan oleh William Barton

    bahwa Ethnomathematics is a field of study which examines the way people from other

    cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture

    and which the researcher describes as mathematical (Barton, 1996: 196).

    Melihat kenyataan-kenyataan yang telah diungkap di atas, yaitu pandangan siswa tentang

    matematika yang jauh dari kehidupan sehingga mereka tidak tahu bagaimana

  • 5

    menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut berdampak kepada pandangan

    masyarakat bahwa matematika dan budaya tidak saling terkait satu sama lain, merupakan

    salah satu alasan dilakukannya penelitian ini.

    Alasan selanjutnya dilakukan penelitian ini adalah data penelitian yang menunjukkan

    bahwa memungkinkan untuk mengungkap keterikatan antara matematika dengan budaya.

    Data penelitian tersebut telah diperoleh peneliti pada saat pengamatan pendahuluan terhadap

    Masyarakat Adat Baduy di Kampung Gajeboh (Karnilah, 2012). Hasilnya bahwa

    dimungkinkan untuk dilakukannya pencatatan, pendokumentasian, dan pembukuan nilai-nilai

    matematis pada aktivitas pembangunan Masyarakat Adat Baduy, seperti penanggalan yang

    digunakan sebagai pedoman untuk memasukan padi ke dalam leuit (lumbung padi). Hasil

    pengamatan tersebut, melalui study ethnomathematics peneliti yakini sebagai modal awal

    untuk dilakukannya penelitian lanjutan guna mengungkap keterikatan atau hubungan timbal

    balik antara matematika dan budaya pada Masyarakat Adat Baduy.

    Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengungkap sistem bilangan yang

    digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy, karena pada dasarnya setiap kelompok manusia mau

    tidak mau akan dan telah menggunakan bilangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

    Untuk menunjukkan keterkaitan antara matematika dan budaya atau hubungan timbal balik

    antara keduanya, peneliti menggunakan Study Ethnomathematics. Sistem bilangan yang

    digunakan pada Masyarakat Adat Baduy dipilih karena selama pengamatan pendahuluan

    menunjukkan bahwa pada aktivitas pembangunannya, Masyarakat Adat Baduy menggunakan

    bilangan-bilangan yang khas dan memperlakukannya dengan istimewa, bahkan penggunaan

    bilangan ini tidak hanya digunakan pada saat aktivitas pembangunan saja, tetapi hampir pada

    setiap aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat Baduy pun ditemukan fenomena yang sama.

    Aktivitas sehari-hari Masyarakat Adat Baduy yang peneliti duga lekat dengan

    penggunaan bilangan pada kegiatannya adalah aktivitas-aktivitas di huma (ladang) dan

  • 6

    aktivitas di acara adat. Aktivitas di huma dipilih karena hasil pengamatan pendahuluan

    menunjukkan bahwa hampir setiap lelaki Baduy (orang dewasa), menghabiskan waktunya di

    huma. Sedangkan, aktivitas di acara adat dipilih karena Masyarakat Adat Baduy sangat

    memegang teguh aturan adat, sehingga dimungkinkan adanya konsep-konsep bilangan yang

    menarik untuk diungkap pada aktivitas adat tersebut.

    Peneliti dengan sadar memahami bahwa data yang diperoleh dalam penelitian akan

    berupa data-data kualitatif sehingga peneliti perlu untuk memahami situasi sosial apa saja

    yang terjadi. Dengan mengamati situasi sosial yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy,

    hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya

    terdapat keterkaitan satu sama lainnya. Sistem bilangan yang diungkap, selain digunakan

    untuk menunjukkan adanya keterikatan tersebut, diharapkan pula menghasilkan konsep

    matematika yang baru, sehingga melahirkan pemahaman yang lebih (transformasi) dalam

    memandang matematika.

    Berdasarkan pada latar belakang penelitian, yaitu masyarakat yang memandang bahwa

    tidak ada keterkaitan sama sekali antara matematika dengan budaya, serta data penelitian

    yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk dilakukannya penelitian guna mengungkap

    hubungan yang terjadi antara matematika dan budaya pada aktivitas Masyarakat Adat Baduy,

    maka penelitian ini disusun dengan menggunakan bentuk rumusan masalah deskriptif, yaitu

    Bagaimana sistem bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy?

    Rumusan masalah deskriptif di atas, dirinci kembali menjadi pertanyaan penelitian, yaitu

    Bagaimanakah konsep bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy pada

    aktivitas mereka di huma?

    Setelah dilakukannya penelitian ini, terungkap bagaimana sebenarnya sistem bilangan

    yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy.

    METODE

  • 7

    Prosedur pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada Bulan Mei 2012 sampai dengan

    Januari 2013 ini secara umum ditempuh melalui tiga langkah utama yaitu, analisis pra-

    lapangan, analisis selama di lapangan, dan analisis data keseluruhan.

    Desain penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada praktik budaya,

    dibangun dengan empat pertanyaan umum. Keempat pertanyaan umum tersebut merupakan

    intisari pemanfaatan dari prinsip ethnography, yaitu sebagai berikut:

    1. Where to start looking?

    2. How to look?

    3. How to recognize that you have found something significant?

    4. How to understand what it is?

    Berdasarkan empat pertanyaan umum yang memanfaatkan prinsip ethnography pada

    desain penelitian yang memfokuskan pada praktik budaya, maka desain penelitian yang

    dibuat dalam penelitian ini disusun sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

    Kerangka penelitian study ethnomathematics pada masyarakat adat baduy

    Generic Question

    (Pertanyaan

    Umum)

    Initial Answer

    (Jawaban Awal)

    Critical

    Construct

    (Poin

    Kritis)

    Specific Activity (Aktivitas Spesifik)

    Where to look?

    (Dimana memulai

    pengamatan?)

    Pada aktivitas di

    huma (ladang)

    Masyarakat Adat

    Baduy.

    Budaya Melakukan dialog dan wawancara kepada

    orang-orang yang memiliki pengetahuan atau

    pelaku pada aktivitas di huma Masyarakat Adat

    Baduy.

    Menggambarkan bagaimana dunia modern kini

    memandang bilangan.

    Menggambarkan bagaimana aktivitas di huma Masyarakat Adat Baduy kaya akan bentuk

    penggunaan sistem bilangan yang mereka

    gunakan.

    How to look?

    (Bagaimana cara

    mengamatinya?)

    Investigasi aspek-

    aspek QRS

    (quantitativ,

    relational, spatial)

    pada aktivitas di

    huma Masyarakat

    Adat Baduy.

    Berpikir

    alternatif

    Menentukan ide-ide QRS apa saja yang

    terdapat pada penggunaan sistem bilangan

    Masyarakat Adat Baduy pada aktivitas mereka

    di huma dan memperhatikan pula aspek budaya

    lain seperti bahasa, mitos-mitos pada aktivitas

    yang terkait dengan kedua hal di atas yang akan

    diteliti.

    What it is?

    (Apa yang

    ditemukan?)

    Bukti (hasil)

    berpikir alternatif di

    proses sebelumnya.

    Filosofis

    matematika

    Mengidentifikasi karakteristik-karakteristik

    matematika yang terkait dengan QRS pada

    aktivitas di huma Masyarakat Adat Baduy,

    khususnya ketika menggunakan konsep bilangan.

  • 8

    Menunjukkan bahwa aktivitas di huma dan di

    acara adat Masyarakat Adat Baduy di atas

    memang bersifat matematis setelah dikaitkan

    dan dikaji tentang karakteristik matematika.

    What It means?

    (Apa makna dari

    temuan itu?)

    Bernilai penting

    untuk budaya dan

    bernilai penting pula untuk matematika.

    Metodologi

    antropologi

    Menggambarkan keterhubungan yang terjadi

    antara dua sistem pengetahuan (matematika

    dan budaya).

    Menggambarkan konsepi-konsepsi baru

    matematika pada bahasan sistem bilangan

    dengan menggunakan aktivitas di huma

    Masyarakat Adat Baduy sebagai konteksnya.

    Penelitian ethnomathematics menggunakan kajian antropologi dengan menggunakan

    prinsip-prinsip ethnography dalam menggumpulkan data yang terkait dengan budaya,

    sehingga skripsi ini menekankan pada tiga hal utama dalam teknik pengumpulan data, yaitu

    setting, sumber, dan cara. Setting dalam penelitian ini dilakukan pada kondisi alamiah.

    Sedangkan unduk sumber, penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu sumber data

    yang langsung memberikan data kepada peneliti melalui wawancara yang mendalam, dengan

    teknik wawancara yang bersifat tidak terstruktur dan terstruktur sesuai dengan kebutuhan di

    lapangan. Terakhir, yaitu cara, penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, teknik

    observasi (deskriptif, terfokus, dan terselieksi), wawancara mendalam dan artefak

    (dokumentasi foto).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat Adat Baduy menggunakan bilangan

    asli dalam kehisupan mereka sehari-hari. Pengucapan bilangan oleh Masyarakat Adat Baduy

    diantaranya hiji untuk menyebutkan bilangan satu, dua untuk menyebutkan bilangan dua, tilu

    untuk menyebutkan bilangan tiga dan seterusnya. Selain itu, untuk bilangan 21 mereka

    menyebutnya dengan dua puluh hiji atau salikur. Dua puluh hiji merupakan pengucapan

    bilangan 21 dalam Bahasa Sunda, sedangkan salikur merupakan pengucapan bilangan 21

    dalam Bahasa Jawa. Jika diamati, pengucapan bilangan oleh Masyarakat Adat Baduy

  • 9

    menggunakan campuran bahasa pengucapan bilangan dari Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa.

    Nampaknya telah terjadi proses enkulturasi pengucapan bilangan di wilayah Baduy.

    Selain bahasa pengucapan untuk bilangan, bilangan yang digunakan oleh Masyarakat

    Adat Baduy pun terbatas pada bilangan asli, dan separo. Dengan kata lain, mereka tidak

    menggunakan bilangan nol, pecahan, desimal, ataupun negatif.

    Bilangan asli terdiri dari bilangan bulat positif bukan nol yaitu 1, 2, 3, 4, dan seterusnya.

    Hal yang wajar apabila jenis bilangan yang digunakan oleh Masyarakat Adat Baduy tidak

    menggunakan bilangan nol. Karena dalam kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Baduy

    sangat jarang (bahkan tidak pernah) membutuhkan bilangan nol untuk menghitung jumlah

    atas kuantitas dari sejumlah benda yang dimilikinya. Seperti dalam menghitung durian pada

    gambar dibawah ini, kita tidak menghitungnya dengan cara menghtung dari nol (nol durian,

    satu durian, dua durian, dan seterusnya) melainkan dengan menghitung dari satu. Ataupun

    ketika kita ditanya berapa banyak durian yang kamu miliki, kita akan lebih cenderung

    menjawab tidak punya durian daripada menjawab saya punya nol durian atau Masyarakat

    Adat Baduy menyebutnya dengan euweuh.

    Begitupun apabila Masyarakat Adat Baduy memiliki 3 buah durian dan seorang pembeli

    akan membeli kepadanya sebanyak lima buah durian. Masyarakat Adat Baduy akan

    menyebutnya dengan mun rek meuli lima, kudu ditambahan dua. Dari kasus ini mereka

    terlihat tidak menggunakan istilah lain untuk menyebut bilangan negatif.

    Bilangan separo yang disebut Masyarakat Adat Baduy muncul dari konteks pembagian

    harta waris. Istilah separo dalam pemahaman Masyarakat Adat Baduy Adat Baduy bukanlah

    bilangan pecahan

    seperti yang kita kenal, melainkan separo diucapkan untuk menyatakan

    setengah banyaknya benda/objek yang ada, atau dengan kata lain banyaknya benda yang ada

    dibagi menjadi dua bagian yang sama. Selain bilangan yang mereka sebut dengan separo

    tersebut, mereka tidak mengenal ataupun menggunakan bilangan pecahan lain.

  • 10

    Jika kita telusuri, bilangan asli merupakan salah satu konsep matematika yang paling

    sederhana dan termasuk konsep pertama yang bisa dipelajari dan dimengerti oleh manusia.

    Berbeda halnya dengan kehidupan di Masyarakat Adat Baduy, dalam dunia keilmuan

    matematika konsep bilangan selama bertahun-tahun telah diperluas untuk meliputi bilangan

    nol, bilangan asli, bilangan bulat, bilangan rasional, bilangan irasional, dan lain-lain.

    Hasil penelitian pada aktivitas sekitar huma merujuk kepada beberapa konteks budaya,

    yaitu pertanian dan penjualan buah durian. Hasil penelitian akan dibahas menggunakan

    prinsip mutual interrogation melalui critical dialogues yang dapat ditempuh dengan

    menggunakan budaya sebagai kerangka acuan.

    Konteks Pertanian

    Elemen budaya yang terdapat pada konteks pertanian, bahwa 1 ranggeong padi setara

    dengan 5 liter beras (hasil wawancara kepada G1, pada tanggal 4 Januari 2013).

    Kemungkinan konsep bilangan dari elemen budaya tersebut adalah model matematika yang

    mungkin untuk dikembangkan dalam proses penjualan beras, yaitu model mengkonversi

    banyaknya ranggeong padi ke dalam datuan-satuan berat seperti kilogram. Model tersebut

    adalah:

    ..............................................................(1)

    Keterangan:

    1) K adalah berat beras yang dihasilkan dalam satuan kilogram.

    2) rg adalah banyanyaknya ranggeong padi dan rg merupakan bilangan asli dan r dalam

    satuan ikat ranggeong.

    Koefisien 3,6 diperoleh dengan mengasumsikan untuk 1 ranggeong padi akan dihasilkan

    4,5 liter beras dan 1 liter beras setara dengan 0,8 kilogram beras, sehingga untuk 1 ranggeong

    padi akan menghasilkan 3,6 kilogram beras. Perhatikan:

    1 ranggeong padi = 4,5 liter beras

  • 11

    = kilogram beras

    = 3,6 kilogram beras

    Asumsi pertama, 1 ranggeong padi akan menghasilkan 4,5 liter beras diperoleh dari

    narasumber G1 dan Jurnal Bumi Lestari Volume 12 No.2 yang ditulis oleh Gunggung

    Senoaji. G1 (wawancara pada tanggal 4 Januari 2013) menyatakan bakwa 1 ranggeong padi

    setara dengan 5 liter beras, sedangkan Senoaji (2012: 287) mengungkapkan bahwa jika 1

    ranggeong padi ditumbuk akan menghasilkan beras sebanyak 4 sampai 5 liter. Karena beras

    yang dihasilkan dari 1 ranggeong padi berkisar antara 4-5 liter, maka untuk mengurangi

    tingkat ke salahan perhitungan (margin error), dipilihlah untuk 1 ranggeong padi akan

    menghasilkan 4,5 liter beras, yaitu nilai tengah dari

    = 4,5 liter beras.

    Asumsi kedua, 1 liter beras setara dengan 0,8 kilogram beras diperoleh dari tulisan

    berjudul Etika Penjual Beras yang ditulis oleh Teddy Hartono. Hartono (2011:2)

    mengungkapkan bahwa 1 kilogram beras sama dengan 1,25 liter beras. Jika 1 kilogram beras

    sama dengan 1,25 liter beras, maka kita akan memperoleh untuk 1 liter beras sama dengan

    = 0,8 kilogram beras.

    Contoh kasus: Berapa kilogram beras yang dihasilkan dari 800 ikat ranggeong?

    Dengan menggunakan model yang dikembangkan di atas, kita dapat memperkirakan

    bahwa banyaknya beras yang dihasilkan adalah

    K = 3,6 rg

    =

    = 2880 kilogram beras

    Dari hasil penggunaan model, diperoleh bahwa banyaknya beras yang dihasilkan dari

    800 ikat ranggeong padi adalah 2.880 kilogram beras. Jika dikehendaki dalam satuan berat

    yang lain, kita dapat mengkonversinya seperti aturan yang telah ada dalam konsep

  • 12

    matematika bahwa 1 kilogram = 0,01 kwintal = 0,001 ton. Jadi dari 800 ikat ranggeong padi

    akan dihasilkan 2.880 kilogram beras atau setara dengan 2,8 ton beras.

    Konteks Penjualan Durian

    Elemen budaya yang terdapat pada konteks penjualan durian, bahwa satu bauh durian

    disebut dengan sabiji, dua buah durian disebut dengan dua biji, tiga buah durian disebut

    dengan tilu biji, empat buah durian disebut dengan sakojor, dan seterusnya (hasil wawancara

    kepada G1, pada tanggal 4 Januari 2013). Kemungkinan konsep bilangan dari elemen budaya

    tersebut adalah model matematika yang mungkin untuk dikembangkan dalam untuk

    menghitung banyaknya durian yang dibicarakan (berdasarkan pengucapan yang digunakan

    oleh Masyarakat Adat Baduy pada durian) menggunakan penjumlahan dan perkalian terhadap

    bilangan 4. Model tersebut adalah:

    ........................................................(2)

    Keterangan:

    1) D adalah banyaknya buah durian yang dibicarakan.

    2) adalah banyaknya buah durian dalam satuan kojor dan merupakan bilangan asli.

    3) adalah banyaknya buah durian dalam satuan biji dan .

    Notasi digunakan untuk merepresentasikan banyaknya buah durian dalam satuan

    kojor, sedangkan b merepresentasikan banyaknya buah durian dalam satuan biji.

    Contoh kasus: Berapa banyaknya buah durian yang ada, jika Masyarakat Adat Baduy

    menyebut lima kojor tilu biji?

    Dengan menggunakan model yang dikembangkan di atas, kita dapat menghitung

    banyaknya durian adalah:

    D = (

    = (5

    = 23 buah

  • 13

    Dari hasil penggunaan model, diperoleh bahwa banyaknya buah durian ketika

    Masyarakat Adat Baduy menyebutkan lima kojor tilu biji adalah 23 buah durian.

    Untuk memahami model di atas, kita dapat melihat awal mula bagaimana pembuatan

    model tersebut. Perhatikan tabel berikut ini.

    Penamaan banyaknya buah durian berdasarkan penjumlahan dari suatu bilangan

    Banyaknya

    buah durian

    (K)

    Jumlah dari

    bilangan

    Bentuk

    sederhana

    (model)

    Disebut Orang

    Baduy dengan

    1 1 1 Sabiji

    2 2 2 Dua biji

    3 3 3 tilu biji

    4 4 4 Sakojor

    5 4+1 (14)+1 Sakojor biji

    6 4+2 (14)+2 Sakojor dua biji

    7 4+3 (14)+3 Sakojor tilu biji

    8 4+4 (24) Dua kojor

    9 4+4+1 (24)+1 Dua kojor sabiji

    10 4+4+2 (24)+2 Dua kojor dua biji

    ... ... ... ...

    Dari tabel di atas, dapat kita generalisasikan bahwa untuk kojor dan biji durian,

    maka akan terdapat D buah durian. Sehingga model matematikanya adalah:

    ........................................................(3)

    KESIMPULAN dan SARAN

    Pada dasarnya Masyarakat Adat Baduy belum memiliki sistem bilangan secara tertulis,

    meskipun pada banyak konteks budaya, mereka telah mempraktikkan/menggunakan konsep-

    konsep bilangan. Konsep bilangan tersebut diperoleh dari dua konteks budaya dari aktivitas

    di huma, yaitu konteks pertanian dan konteks penjualan buah durian.

    Pada konteks pertanian, muncul model matematika yang dirumuskan

    untuk menyelesaikan persoalan berapa kilogram beras yang dihasilkan dari banyaknya

    ranggeong padi di Baduy dengan K adalah berat beras yang dihasilkan dalam satuan

    kilogram; rg adalah banyaknya ranggeong padi, rg dalam satuan ikat ranggeong dan rg

    merupakan bilangan asli.

    Pada konteks penjualan buah durian, muncul model matematika ;

    dimana D adalah banyaknya buah durian yang dibicarakan, k adalah banyaknya buah durian

  • 14

    dalam satuan kojor dan k merupakan bilangan asli, b adalah banyaknya buah durian dalam

    satuan biji dan .

    Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks

    sistem bilangan Masyarakat Adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini,

    yaitu meneliti lebih lanjut mengenai 1 ranggeong padi yang setara dengan 5 liter beras.

    Apakah untuk setiap musim 1 ranggeong padi akan selalu tetap menghasilkan 5 liter beras.

    Sehingga dapat dibuat model matematika yang lebih akurat untuk mengkonversi banyaknya

    ranggeong padi ke dalam satuan berat lainnya, seperti kilogram, kwintal dan ton.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and

    Mathematics. Doctoral Dissertation, University of Auckland, Auckland, New

    Zealand: Unpublished.

    Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics. A

    Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education University of Auckland:

    Unpublished.

    Clements, K. (1996). Historical Perspective, dalam International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

    Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.

    Hartono, T. (2011). Etika Penjual Beras. Tersedia:

    http://teddyhartono.files.wordpress.com/2011/04/etika-penjual-beras.pdf. [10 April

    2013].

    Karnilah, N. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Dalam Produk Masyarakat Baduy. Makalah

    pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung.

    Maftukha, N. (2010). Analisis Transmisi Tenun Selendang Pada Masyarakat Baduy. Skripsi

    Sarjana pada FPBS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

    Miswanto. (2010). Bilangan dan Angka. [Online]. Tersedia:

    http://wanto.student.umm.ac.id/2010/10/11/bilangan-dan-angka.html [6 Desember

    2012]

    Paket Pembinaan Penataran. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap

    Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.

  • 15

    Senoaji, G. (2012).Pengelolaan Lahan Dengan Sistem Agroforestry Oleh Masyarakat Baduy Di Banten Selatan. Jurnal Bumi Lestari. 12, (2), 283-293.

    Susandi. (2012). Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes Kabupaten Lebak, Banten 1986-2001

    Asal Mula, Makna, dan Perkembangannya. Skripsi Sarjana pada FPIPS UPI

    Bandung: tidak diterbitkan.

    Teguh. (2005). Pembelajaran Konsep Nilai Tempat Bilangan Cacah Di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Jurnal Edukatif.(2). 71-85.

    Tim Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. (2004).

    Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan Cisungsang serta

    Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug. Lebak: Disporabudpar.

    TIM MKPBM. (2001). Strategi Mengajar Kontemporer. Bandung: JICA.

    Turmudi. (2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika Berparadigma

    Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.