iodometri
DESCRIPTION
kimanTRANSCRIPT
LAPORAN MINGGUANKIMIA ANALITIK
IODOMETRI
Oleh :
Nama : FahrunnisaNRP : 063020078Meja : 4 (empat)Kelompok : III (Tiga)Asisten : Devita IndrianiTgl. Percobaan : 1November 2007
LABORATORIUM KIMIA ANIALITIKJURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG2007
I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang
Percobaan, (2)Tujuan Percobaan, (3) Prinsip Percobaan,
dan (4) Reaksi Percobaan.
1.1. Latar Belakang Percobaan
Larutan Iod yang merupakan zat pengoksid yang jauh
lebih lemah daripada kalium permanganat. Di pihak lain, ion
iodida merupakan zat pereduksi yang kuat lebih dari misalnya
Fe(II). Dalam proses analitis, iod digunakan sebagai zat
pengoksid (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai zat
pereduksi (iodometri). Relatif sedikit zat yang bersifat
pereduksi yang cukup kuat untuk dapat dititrasi langsung
dengan Iod. Jadi penetapan iodimetri sedikit jumlahnya, tetapi
banyak zat pengoksid yang cukup kuat untuk bereaksi dengan
lengkap dengan ion iodida, dan terdapat banyak penerapan
proses iodometri. Ion iod berlebih ditambahkan pada zat
pengoksid yang akan ditetapkan, dibebaskan iod, yang
kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi
antara iod dan tiosulfat berlangsung baik sampai lengkap.
Biasanya indikator yang digunakan adalah kanji dan
amilum. Pada konsentrasi kurang dari 10-5 m dapat ditekan
dengan mudah oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung
pada pelarut yang digunakan. Komplekan iodium-amilum
mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya
ditambahkan pada titik akhir reaksi, dengan formadida
penyerangan kanji oleh mikroorganisme.
Sistem redoks iod (triodida) iodida mempunyai
potensial standar + 0,54 V. oleh karena itu, iod merupakan zat
pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada kalium
permanganat, senyawa serum (IV) dan kalium dikromat.
Dipihak lain, ion iodida merupakan zat pereduksi yang wajar
kuatnya, lebih kuat daripada ion Fe (II). Dalam proses
anlisisnya, iod digunakan sebagai zat pengoksidasi (iodometri)
dan ion iodide digunakan sebagai zat pereduksi (iodometri)
(Underwood, 1999).
1.2. Tujuan Percobaan
Tujuan percobaan iodometri adalh untuk menentukan
konsentrasi larutan standar Na2S2O3 sebagai peniter dengan
menggunakan zat baku primer KIO3/K2Cr2O7, serta
menentukan kosentrasi larutan sample secara iodometri.
1.3. Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan iodometri adalah berdasarkan reaksi
redoks (reduksi-oksidasi) antara I2 dan S2O32- dalam suasana
asam tehadap indicator amylum. I2 dihasilkan dari reaksi
KIO3/K2Cr2O7 dengan KI berlebih. Titik akhir titrasi ditunjukan
oleh perubahan warna yang terjadi dari biru ke hijau (zbp :
K2Cr2O7) atau dari biru ke biru lemah (zbp : KIO3).
1.4. Reaksi Percobaan
Reaksi dari percobaan ini adalah
Zbp KIO3 :
IO3 + 5I‾ + 6 H → 3I2+ 3 H2O
I2 + 2S2O32- (biru) → 2I- + S4O6
2- (biru Lemah)
Zbp K2Cr2O7 :
Cr2O72- + 6I‾ + 14 H → 2Cr3-+ 3I2 + 7 H2O
I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O6
2-
(biru) (hijau)
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Iodometri,
(2) Proses-proses indikator langsung, (3) Proses-proses
indikator tidak langsung (4) Natrium Tiosulfat, dan (5) Jenis
-jenis indikator.
2.1 Iodometri
Idiometri adalah suatu sistem titrasi dengan
menggunakan larutan iodium sebagai penitrasinya,
sedangkan idiometri adalah suatu sistem titrasi yang
menghasilkan iodium dengan menggunakan larutan tiosulfat
sebagai penitrasinya. Dasar-dasar dari analis iodiometri dan
iodometri merupakan reksi kesetimbangan.
I2 + 2e ↔ 2I-
Kesembangan reaksi tersebut diatas dapat berjalan ke
kanan atau ke kiri. Pada reaksi yang pertama iodium bekerja
sebagai oksidator, sedangkan pada reaksi yang kedua iodida
bekerja sebagia reduktor (Khopkar, 2002).
Pada reasi pertama zat yang akan di titrasi memiliki
sistem oksidasi-reduksi potensial yang lebih rendah dari reaksi
kedua, jadi pada reasi kedua memiliki sistem oksidasi-reduksi
potensial yang lebih tinggi dari pada sistem iodium-iodida,
atau pula dapat dikatakan bahwa zat oksidator yang lebih
rendah di oksidasi oleh iodium, dan zat oksidator yang lebih
kuat akan membebaskan iodium dari iodida-iodida
( Underwood, 1999).
2.2. Proses-proses Indikator Langsung
Iodometri langsung adalah titrasi dimana dipakai larutan
baku I2 sebagai larutan peniter. Reaksi tersebut adalah :
I2 + 2e- 2I. Zat – zat penting yang merupakan zat pereduksi
cukup kuat untuk dititrasi dengan iod adalah tiosulfat, arsen
(III), stibium (III), sulfida, sulfit, timah (II), dan ferosianida.
Daya mereduksi dari beberapa zat ini bergantung pada
konsentrasi ion hidrogen, dan hanya dengan penyesuaian pH
dengan tepat dapatlah reaksi dengan iod itu dibuat kuantitatif.
Iod hanya sedikit sekali dapat larut dalam air, namun sangat
larut dalam larutan yang mengandung ion iodida. Iod
membentuk kompleks triiodida dengan iodida yaitu dengan
tetapan kesetimbangan sekitar 710 pada 25˚C. Ditambahkan
iodida berlebih untuk meningkatkan kelarutan dan
menurunkan keatsirian iod. Biasanya ditambahkan 3% sampai
4% bobot KI kedalam larutan 0,1 N dan kemudian wadahnya
disumbat baik–baik. Iod cenderung dihidrolisis dengan
membentuk asam iodida dan hipoiodit.
Kondisi yang meningkatkan derajat hidrolisis haruslah
dihindari. Titrasi tidak dapat dilakukan dalam larutan yang
sangat basa, dan larutan standar iod haruslah disimpan dalam
botol gelap untuk mencegah penguraian HIO oleh cahaya
matahari. Asam hipoiodit dapat juga diubah menjadi iodat
dalam larutan basa. Larutan iod standar dapat disiapkan
dengan menimbang langsung iod murni dan melarutkannya
serta mengencerkan dalam sebuah labu volumetri. Iod itu
dimurnikan dengan sublimasi dan ditambahkan kedalam
larutan KI pekat, yang ditimbang dengan tepat sebelum
maupun sesudah penambahan iod. Tetapi biasanya larutan itu
distandarkan terhadap standar primer, yang paling lazim
digunakan adalah As2O3 (Underwood, 1999).
Warna larutan iod 0,1 N cukup tua sehingga iod dapat
bertindak sebagai indikatornya sendiri. Iod juga memberikan
suatu warna ungu atau lembayung kepada pelarut seperti
tetraklorida atau kloroform, dan kadang – kadang ini
digunakan dan mendeteksi titik akhir reaksi. Tetapi lebih lazim
digunakan suatu larutan (dispersi koloid ) kanji, karena warna
biru tua kompleks pati – iod berperan sebagai uji kepekaan
terhadap iod. Kepekaan itu lebih besar dalam larutan sedikit
sekali asam daripada larutan netral dan lebih besar dengan
adanya ion iodida.
Mekanisme yang eksak pembentukkan kompleks itu
belum diketahui. Tetapi dibayangkan bahwa molekul iod diikat
pada permukaan betha amilosa, yaitu suatu konstituen kanji.
Konstituen kanji lain, alpha amilosa atau amilopektin
membentuk kompleks kemerahan dengan iod, warna yang
tidak mudah dihilangkan. Oleh karena itu kanji yang banyak
mengandung amilopektin sebaiknya tidak digunakan.
2.3. Proses Iodometri tidak Langsung
Kalium iodida berlebih dapat ditambahkan pada
banyak zat pengoksid kuat agar dapat dianalisis dan kalium
iodida ini dapat digunakan untuk mentitrasi iod yang
dibebaskan. Hal ini dikarenakan banyak zat pengoksid yang
menuntut larutan asam untuk bereaksi dengan iodida, natrium
tiosulfat lazim digunakan sebagai titran. Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya, bahwa titrasi dengan arsen (III)
memerlukan larutan yang seidkit sekali basa. Beberapa
tindakan pencegahan perlu diambil dalam menangani larutan
kalium iodida untuk menghindari galat. Misalnya ion iodida
dioksidasi oleh oksigen dari udara. Reaksi ini berjalan lambat
dalam larutan netral, namun lebih cepat dalam asam dan
dipercepat oleh cahaya matahari. Setelah penambahan kalium
iodida kedalam suatu larutan asam dari suatu zat pengoksid,
larutan tidak boleh dibiarkan terlalu lama bersentuhan dengan
udara, karena akan terbentuk tambahan iod oleh reaksi
tersebut diatas. Nitrit tidak boleh ada karena garam ini akan
direduksi oleh ion iodida menjadi nitrogen monoksida, yang
kemudian dioksida kembali menjadi nitrit oleh oksigen dari
udara (Svehla, 1990).
Kalium iodida haruslah bebas dari iodat karena kedua
zat ini berada dalam suasana asam yang akan bereaksi
dengan cara membebaskan iod. Reaksi – reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut :
4H+ + 4I- + O2 2I2 + 2H2O
2HNO2 + 2H+ + 2I- 2NO + I2 + 2H2O
4NO + O2 + 2H2O 4HNO2-
IO3- + 5I- + 6I- 3I2 + 3H2O
2.4. Natrium Tiosulfat
Larutan natrium tiosulfat adalah larutan standar yang
biasa digunakan dalam kebanyakan proses iodometri. Garam
ini lazimnya digunakan sebagai pentahidrat. Larutan ini tidak
boleh distandarkan berdasarkan penimbangan langsung,
melainkan harus distandarkan terhadap suatu standar primer.
Larutan natrium tiosulfat tidak stabil dalam waktu
lama. Bakteri yang memakan belerang akhirnya masuk
kedalam larutan itu, dan proses metaboliknya akan
mengakibatkan pembentukkan ion sulfit dan sulfat juga
belerang koloidal. Belerang ini akan menyebabkan
kekeruhan ; bila timbul kekeruhan larutan harus dibuang.
Biasanya air yang digunakan untuk menyiapkan larutan
tiosulfat didihkan agar steril, dan sering ditambahkan boraks
atau natrium karbonat sebagai pengawet. Oksidasi tiosulfat
oleh udara berlangsung lambat. Tetapi runutan tembaga yang
kadang –kadang terdapat dalam air suling akan
mengkatalisis oksidasi oleh udara ini. Tiosulfat diuraikan
dalam larutan asam dengan membentuk belerang sebagai
endapan mirip susu. Reaksi ni berjalan lambat dan tidak akan
terjadi apabila tiosulfat dititrasi kedalam larutan iod yang
asam, asal larutan diaduk dengan baik. Reaksi antara iod dan
tiosulfat jauh lebih cepat daripada reaksi penguraian
(Underwood, 1999).
2.5. Jenis-jenis Indikator
Indikator adalah suatu zat yang berubah warna
bergantung pada pH larutan.
Jenis-jenis indikator yaitu:
1. Indikator Redoks
Indikator redoks adalah indikator yang warna bentuk
oksidasinya berbeda dengan warna dalam reduksi.
Iox + Ne ↔ Ired
Iox: Indikator dalam bentuk oksidasinya
Ired: Indikator dalam bentuk perudiksinya
Contoh: difenilamin dan difenilbensidina
Indikator ini sukar larut didalam air, apabila
penggunaanya dilarutkan dalam asam sulfat pekat.
Ion ferofenatroline.
2. Indikator Eksternal
Dipergunakan apabila indikator internal tidak ada.
Contoh: ferrisianida untuk penentuan ion feno memberikan
warna biru (ferro ferrisianida) pada keping tetes dilakukan
diluar labu titrasi.
3. Indikator Spesifik
Yaitu zat yang bereaksi secara khas dengan salah satu
pereaksi dalam titrasi menghasilkan warna, contoh: Amilum
membentuk warna biru dengan iodium, atau tiosianat
membentuk warna merah dengan ion ferri.
III ALAT, BAHAN, DAN METODE PERCOBAAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Alat yang
digunakan, (2) Bahan yang digunakan, dan (3) Prosedur
Percobaan.
3.1. Alat yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam percobaan iodometri
adalah labu takar, erlenmeyer, gelas ukur, buret, corong, pipet
tetes, pipet gondok, statif, kertas karbon dan gelas kimia.
3.2. Bahan yang Digunakan
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah
KIO3, aquadest, H2SO4 2N, indikator amilum, pentiter Na2S2O3
( natrium Tiosulfat ), KI padat dan zat sampel 3.
3.3.Metode percobaan
3.3.1. Pembuatan Larutan KIO3 0,05 N
Timbang KIO3 0,05 N sebanyak 0,45 gram masukan
kedalam labu takar 100 ml, kemudian tambahkan aquadest
sampai tanda batas pada labu takar tersebut lalu kocok.
3.3.2. Pengenceran Na2S2O3 → 0.05N
Larutan Na2S2O3 0,2 N sebanyak 150ml (Na2S2O3 37,5
ml + aquadest 112,5 ml) di masukan kedalam gelas kimia
kemudian di masukan larutan tersebut ke dalam buret yang
telah di sediakan.
3.3.3. Pembakuan Na2S2O3 0,05 N
Pipet 25 ml larutan KlO3 0,5 N masukan kedalam
erlenemeyer, tambahkan 1 – 2 gram Kl padat dan 10 ml
H2SO4 2N. Titrasi cepat-cepat dengan larutan natrium tiosulfat
sampai terbentuk warna kuning muda. Tambahkan indicator
amilum 1 ml dan titrasi di lanjutkan lagi sampai perubahabn
warna sampai dari yang biru ke tidak warna.
3.3.4 Penentuan Konsentrasi Sampel “ 3 ”
Pipet 25 ml dari sampel masukan kedalam Erlenmeyer,
tambahkan 1-2 gram Kl padat dan 10 ml H2SO4 2N. Titrasi
dengan larutan natrium tiosulfat sampai terjadi perubahan
warna dari coklat ke kuning, kemudian tambahkan 1 ml
amilum dan titrasi di lanjutkan lagi sampai terbentuk warna
dari biru ke putih.
IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Hasil Pengamatan
dan (2) Pembahasan.
4.1. Hasil Pengamatan
Dari percobaan iodometri didapatkan :
Berat KIO3 = 0,45 gr
BE KIO3 = 35,67 larutan standar 0,05 N
Volume pengenceran = 125 ml
Dilarutkan dengan aquadest sampai dengan 125 ml sehingga
diperoleh konsentrasinya larutan standar 0,056 N
Normalitas larutan standar : 0,05 N
Normalitan sample (3) : 0,0154 N
Normalitan sampel (SH) : 0,0163 N
Faktor Kesalahan = 7,9 %
TAT (Titik Akhir Titrasi) = Biru lemah
4.2. Pembahasan
Pada percobaan ini terjadi kesalahan 7,9% sehingga
hasil yang didapatkan sebesar 0,0154N yang seharusnya
0,0163N. Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam
penimbanagan KIO3.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi pada saat
titrasi iodometri adalah: (1) kesalahan oksigen, oksigen udara
dapat menyebabkan hasil titrasi terlalu tinggi karena dapat
mengoksidasi ion iodida menjadi I2 juga sebagai berikut:
O2 + 4I- + 4H+ → 2I2 + 2H2O
Reaksi ini mengarah kekanan pada pH rendah.Selain
dari pada itu reaksi ini di katalisasi oleh cahaya dan panas.
Kebanyakan dari titrasi iodometri dilakukan pada pH antara 5
dan 9, maka kesalahan oksigen akan kecil. Namun jangan
membiarkan larutan dititrasi terlalu lama, sebaiknya
secepatnya dititrasi setelah penambahan Kl. (2) pada pH
tinggi muncul bahaya lain, yaitu bereaksi I2 yang terbentuk
dengan air (hidrolisa) dan hasil reaksinya bereaksi lanjut:
4HOI + S2O3 + H2O → 2SO4- + 4I- + 6H+
(3) Pemberian amilum terlalu awal, (4) banyak reaksi analat
dengan KI yang berjalan agak lambat, dan (5) oksidasi dari
iodida dalam keadaan asam dan oksigen di udara, oksidasi ini
berjalan dengan lambat dalam keadaan netral, tapi apabila
kadar asam bertambah maka reaksinya akan lebih cepat.
Sinar matahari juga dapat mempercepat reaksi tersebut, oleh
sebab itu larutan iodida yang diasamkan harus dititrasi
secepat mungkin.
Amilum digunakan sebagai indikator, meskipun larutan
iodium dalam berwarna kuning jelas dan encer tapi pada titk
akhir titrasi biasanya ditambahkan amilum agar titk akhir titrasi
jadi lebih jelas. Iodium dan amilum jika ada iodida akan
mengadakan reaksi atau persenyawaan sampai terjadi
absorbsi kompleks berwarna biru tua yang dapat terlihat
meskipun kadar iodium sangat kecil. Kecepatan reaksi ini
berkurang jika dalam larutan ini tidak terdapat iodida dan juga
bila suhu naik (Khopkar, 2002).
Ketidakstabilan larutan ion disebabkan oleh (1)
penguapan iod, (2) reaksi iod dengan karet, gabus, dan bahan
organik lain yang mungkin masuk dalam larutan lewat debu
dan asap, dan (3) oksidasi oleh udara pH rendah, oksidasi ini
disimpan dalam botol berwarna gelap ditempat sejuk. Juga
harus dihindarkan kontak dengan bahan organik maupun gas
mereduksi seperti SO2 dan H2S (Underwood, 1999).
V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan mengenai : (1) Kesimpulan dan
(2) Saran.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, maka dapat disimpulkan
bahwa kosentrasi larutan standar Na2S2O3 adalah O,056 N,
dan Normalitas larutan sample (3) adalah O,0154 N dengan
FK sebesar 7,9 %.
5.2. Saran
Saran untuk percobaan ini adalah agar para praktikan
lebih teliti dan jeli dalam pengukuran volume karena apabila
konsentrasinya berlebih atau kurang dari yang telah
ditentukan maka akan mempengaruhi hasil akhir dari
percobaan ini yang dapat menimbulkan persentase faktor
kesalahan yang cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
Khopkar, (2002), Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press, Jakarta.
Svehla, G, (1990), Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semi mikro, PT Kalman Media Pustaka, Jakarta.
Team Dosen, (2007), Penuntun Praktikum Kimia Analitik, Universitas Pasundan, Bandung.
Underwood, (1999), Analisis Kuantitatif, Erlangga, Surabaya.
LAMPIRAN
1. Perhitungan pembuatan larutan baku primer membuat
larutan KIO3 0,05 yaitu :
N = gr x 1000 BE pelarut
0,05N = gr x 1000 35,67 250 gram
gr = 0,45 gram
2. pengenceran Na2S2O3 0,2 N 0,05 N
V1 . N1 = V2 . N2
V1 . 0,1N = 250ml. 0,05N
V1 = 125 ml
3. Perhitungan pembakuan larutan Na2S2O3 yaitu :
(VN) KIO3 = (VN) Na2S2O3
N Na2S2O3 = (VN) KIO3
V Na2S2O3
N Na2S2O3= 25ml x 0,05N = 0,056N 22,2 ml
4. Perhitungan konsentrasi dengan memakai sampel 3 yaitu :
V1 = 7ml
V2 = 6,5 ml
V rata-rata = V1 + V2 = 7ml+ 6,5ml 2 2
= 6,75ml
(VN) Na2S2O3 = (VN) sampel
N sampel = (VN) Na2S2O3
V sampel
N sampel = 6,75ml x 0,056N = 0,0154 N 25ml
Normalitan sampel (3) : 0,0154 N
Normalitan sampel (SH) : 0,0163 N
Faktor Kesalahan = 7,9 %
Studi Hubungan antara Kadar Senyawa Aktif N-(3,4-diklorobenzoil)sefaleksin (secara Iodometri) dengan Aktivitas Antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Sefaleksin merupakan senyawa semi sintetik dari
generasi pertama sefalosporin Dan dapat diberikan secara per
oral karena adanya gugus α-amino pada struktur dasar
menyebabkan senyawa tahan terhadap asam lambung.
Sefaleksin digunakan terutama untuk pengobatan infeksi
saluran kemih karena sedikit diikat oleh protein plasma dan
sebagian besar diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk tak
berubah.
Untuk mendapatkan senyawa turunan baru sefaleksin yang
memiliki stabilitas dan aktivitas lebih baik, telah dilakukan
sintesis senyawa-senyawa turunan dari sefaleksin. Salah satu
senyawa hasil sintesis yang dilakukan oleh Laboratorium
Kimia Medisinal Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
adalah senyawa N-(3,4-diklorobenzoil) sefaleksin, yang
diperoleh dari hasil sintesis dengan menambahkan gugus 3,4-
diklorobenzoil pada gugus N-amino dari sefaleksin.
Sebagai turunan dari sefaleksin, aktivitas N-(3,4-
diklorobenzoil)sefaleksin sebagai antibakteri ditentukan oleh
bentuk utuh dari struktur inti β-laktamnya. Jika struktur ini
terbuka akan menyebabkan penurunan aktivitas antibakteri,
atau bahkan aktivitas antibakteri hilang, sehingga efek terapi
yang diinginkan tidak tercapai.
Ada persamaan konsep antara kadar senyawa aktif dengan
aktivitas antibakteri yaitu sama-sama berdasarkan jumlah
cincin β-laktam utuh, makin banyak cincin β-laktam yang utuh
maka makin besar kadar senyawa aktif dan makin besar pula
aktivitas antibakteri N-(3,4-diklorobenzoil)sefaleksin.
Permasalahan yang ada : apakah ada hubungan linier yang
bermakna antara kadar senyawa aktif N-(3,4-
diklorobenzoil)sefaleksin yang ditetapkan secara iodometri
dengan aktivitas antibakteri yang dinyatakan dengan diameter
daerah hambatan terhadap Staphylococcus aureus ATCC
25923.
Untuk membuktikannya dilakukan penelitian dengan tujuan
untuk menjelaskan adanya hubungan linier yang bermakna
antara kadar senyawa aktif N-(3,4-diklorobenzoil)sefaleksin
yang ditetapkan secara iodometri dengan aktivitas antibakteri
yang dinyatakan dengan diameter daerah hambatan terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923.
Penelitian ini dilakukan pada berbagai kadar senyawa N-
(3,4diklorobenzoil)sefaleksin yang belum terurai. Pembuatan
larutan uji dilakukan dengan melarutkan N-(3,4-
diklorobenzoil)sefaleksin dalam pelarut campur metanol-air
(7 : 3), pada suhu kamar dan hasil pemanasan larutan uji
tersebut pada suhu 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C selama 3
jam. Replikasi percobaan dilakukan sebanyak tiga kali.
Penentuan kadar larutan uji dilakukan secara kimia dan
secara mikrobiologi untuk menentukan ada hubungan yang
linier antara keduanya. Penentuan kadar larutan uji secara
kimia dilakukan dengan metode iodometri, sedangkan secara
mikrobiologi dilakukan dengan metode difusi silinder
menggunakan media Antibiotika-1.
Hasil penelitian dan analisis data menggunakan uji regresi
pada α = 0,05 menunjukkan adanya hubungan linier yang
bermakna antara kadar N-(3,4diklorobenzoil)sefaleksin secara
iodometri (variabel x) dan secara mikrobiologi (variabel y).
Hubungan ini dinyatakan dengan persamaan garis y = 0,186 x
+ 9,335 (n = 3; r = 0,961; F = 35,995) untuk Staphylococcus
aureus ATCC 25923.
Bertitik tolak dari penelitian ini maka untuk selanjutnya perlu
dilakukan uji mikrobiologi senyawa N-(3,4-
diklorobenzoil)sefaleksin terhadap bakteri Grampositif dan
bakteri Gram-
Telah di uji penerapan metode titrasi iodometri secara
coulometri arus tetap untuk anal ysis kuantitatifamoksisilin dan
flukloksasilin. Batas kuantisasi amoksisilin pada pH 4,5, 6,0
dan 7,0 berturut-tiuvt adalah 0,100, 0,124 dan 0,098 pmol,
sedangkan untuk flukloksasilin berturut-turut 0,197, 0,139 dan
0,127 pmol. Pengukuran kuantisasi menggunakan larutan
dapar fosfat pH 4,5 dan kaliurn iodida 0,1 M memberikan hasil
perolehan kembali terbaik, 97,5 % untuk amoksisilin dan 92,6
% untuk flukloksasilin.
QUIZ
1. Apa yang dimaksud dengan indikator?
Sebutkan macam-macamnya?
Jawab :
Indikator adalah suatu zat yang warnanya berbeda-
beda sesuai dengan konsentrasi ion hidrogen.
Macam-macam indikator :
Auto indikator
Indikator Redoks
Indikator Eksternal
Indikator Spesifik
Indikator Asam Basa
dll
2. Indikator kanji / amilum mudah teurai oleh bakteri.
Bagaimana cara memperlambat proses tersebut ?
Jawab :
Proses tersebut dapat diperlambat dengan jalan
sterilisasi atau dengan penambahan zat pengawet.
3. 1,2 gram K2Cr2O7 ditimbang dan dilarutkan dalam labu
takar 250 ml. Kemudian dipipet 25 ml, dan dititrasi dengan
larutan tio memakai indikator amilum. TAT = 23,35.
a. Sebutkan perubahan warnanya ?
b. Tuliskan reaksinya ?
c. Hitung konsentrasi K2Cr2O7 ?
Jawab :
a. Reaksi:
Cr2O72- + 6I- + 14H+ → 2 Cr3+ + 3I2 + 7H2O
I2 + S2O32- → 2I- + S4O6
2-
b. Perubahan warna dari warna biru ke warna hijau
c. N = g x L → N = g x 1000
BE BM/mol vol (ml)
N = 1,2 x 1000
49 250
N = 0, 0244 x 4
= 0, 0979 N
V1 . N1 = V2 . N2
25. 0, 0979 N= 23,35. N2
N2 = 25 x 0,0979 = 0, 1048 N
23,35
4. Apa perbedaan antara iodometri dan iodimetri
?
Jawab :
Iodometri adalah titrasi di mana reaksinya terbentuk I2
lalu I2 ini dititrasi kembali dengan suatu larutan baku
sedangkan iodimetri (iodometri langsung) adalah titrasi di
mana dipakai larutan baku I2 sebagai larutan pentiter.
5. Apa yang dimaksud dengan larutan baku dan
larutan baku primer ?
Jawab :
Larutan standar adalah larutan yang telah diketahui
konsentrasinya biasanya berupa larutan asam atau basa yang
konsentrasinya tidak mudah berubah dan dapat dipakai untuk
menentukan kadar / konsentrasi larutan lain
Larutan baku primer adalah larutan yang dapat
dipakai langsung untuk menentukan kadar / konsentrasi
larutan lain