interview with mrs: haryanti hardjo (daughter of salikin mardi

27
Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies Reuvensplaats 2 2311 BE Leiden Netherlands tel: (+)31 71 - 527 2295; email: [email protected] Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi Hardjo) Transcriptic summary (00:00) Nama lengkap Haryanti Hardjo, anak nomer 4 dari istri kedua. Nomor 4 dari 8 bersaudara, kelahiran Tongar. Waktu kecil kita tau waktu PRRI itu tau tapi masih kecil. Mereka dateng kadang-kadang minta telur, minta ayam, kami tau asal mereka datang kita pada lari. Terus sudah itu, ya sampai dah besar-besar ya kehidupannya gitu lah. Lahir tahun 55, jadi waktu PRRI umurnya 4-5 tahun. Waktu kecil aku mainnya delik-delikkan, nanti kalo main masak-masakkan cari tempurung, ya maklum belum ada mainan ya? Terus mama itu nyapu rumah-rumah yang orang yang diurusin itu, orang-orang tua itu pagi itu nyapu dulu. Orang-orang itu rumahnya dekat, dibelakang rumah, dideket bedeng. Ceritanya begini yang pertama kan yang diikuti papa ya, itu kan tanggung jawab dia. Memang itu kebetulan ga punya sanak keluarga, ga punya anak. Adapun saudaranya udah kepati obor, dah ga tau lagi. Jadi mereka maklumlah dulu mangane, tahun berapa itu ya? Makan ubi, makan nasi itu aku cuma sore. Pagi, siang ini makan ubi. Telo itu disawut, makan pake sayur, ya kayak gitulah. Kira-kira tahun 68 ya mungkin? Ya itulah. Itu terus papa kan tanam ini, mau bikin pabrik tapioka rencana kan, itu semua belakang hutan itu ditanam ubi racun semua itu. Jam pulang sekolah, nyuci, nyucinya disungai dibikin bronjong kan ada yang ngumbah, diuncalke. Itu aku nyuci. Lah SD kelas 4 ke atas itu kalo pulang sekolah dulu tahun-tahun itu ndak ada laku kelapa, ga ada laku, kopi ga laku, cokelat ga laku, ya di apa sendiri ... diolah sendiri cokelat itu, digoreng, ditumbuk, terus dikepel- kepelnya itu nanti kan dia kering ya, kering diparut untuk minum kalo pagi. Nek dicampuri kopi.

Upload: dinhhanh

Post on 09-Dec-2016

244 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies

Reuvensplaats 2 2311 BE Leiden Netherlands

tel: (+)31 71 - 527 2295; email: [email protected]

Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi Hardjo)

Transcriptic summary

(00:00)

Nama lengkap Haryanti Hardjo, anak nomer 4 dari istri kedua. Nomor 4 dari 8 bersaudara,

kelahiran Tongar.

Waktu kecil kita tau waktu PRRI itu tau tapi masih kecil. Mereka dateng kadang-kadang

minta telur, minta ayam, kami tau asal mereka datang kita pada lari. Terus sudah itu, ya

sampai dah besar-besar ya kehidupannya gitu lah. Lahir tahun 55, jadi waktu PRRI umurnya

4-5 tahun. Waktu kecil aku mainnya delik-delikkan, nanti kalo main masak-masakkan cari

tempurung, ya maklum belum ada mainan ya? Terus mama itu nyapu rumah-rumah yang

orang yang diurusin itu, orang-orang tua itu pagi itu nyapu dulu. Orang-orang itu rumahnya

dekat, dibelakang rumah, dideket bedeng. Ceritanya begini yang pertama kan yang diikuti

papa ya, itu kan tanggung jawab dia. Memang itu kebetulan ga punya sanak keluarga, ga

punya anak. Adapun saudaranya udah kepati obor, dah ga tau lagi. Jadi mereka maklumlah

dulu mangane, tahun berapa itu ya? Makan ubi, makan nasi itu aku cuma sore. Pagi, siang ini

makan ubi. Telo itu disawut, makan pake sayur, ya kayak gitulah. Kira-kira tahun 68 ya

mungkin? Ya itulah.

Itu terus papa kan tanam ini, mau bikin pabrik tapioka rencana kan, itu semua belakang hutan

itu ditanam ubi racun semua itu. Jam pulang sekolah, nyuci, nyucinya disungai dibikin

bronjong kan ada yang ngumbah, diuncalke. Itu aku nyuci. Lah SD kelas 4 ke atas itu kalo

pulang sekolah dulu tahun-tahun itu ndak ada laku kelapa, ga ada laku, kopi ga laku, cokelat

ga laku, ya di apa sendiri ... diolah sendiri cokelat itu, digoreng, ditumbuk, terus dikepel-

kepelnya itu nanti kan dia kering ya, kering diparut untuk minum kalo pagi. Nek dicampuri

kopi.

Page 2: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Enggak dijual, enggak laku tahun segitu. Padahal cokelatnya bawa dari suriname. Semua papa

itu ya dibawa semua untuk ditanam disini tapi ga laku. Kayak gitulah, kelapa itu asal pulang

sekolah, 50 biji dah dikupas itu sama mama, ini jatah anak-anak pulang sekolah, diparut pake

tangan nanti sudah bersih, diperesin lalu mama yang ngolah. Bikin minyak, minyak mah ga

beli. Minyak manis itu ga beli, minyak kelapa asli. Nah kalo 20 tahun terakhir ini ya lah enak,

kelapa walaupun 500 satu laku. Kopi laku dicari orang. Pinang laku, dulu pinang itu sampai

tumbuh-tumbuh ga diopeni orang untuk apa.

Dulu bawa bibit kakao, cokelat itu. cokelat ... ya pokoknya sudah disiapin semua. Yang ada

disini kelapa, itu dah dibagi semua. Jadi yang untuk seperempat hektar untuk perumahan itu

dah ditanam kelapa. Kelapa ya ga pa-pa juga ada yang nyari. Terus kembali lagi kita ke orang

yang jompo tadi ya, mereka itu karena mudanya ceritanya disana foya-foya minum-minum

gitu loh.

(00:05)

Dia ga punya anak lagipula terus dia disini kan suaminya ditinggal di sana kan? Suaminya

tinggal disana ya kawin lagi. Di dalam sekapal itu yang laki-laki yang istrinya ditinggal,

cocok lagi disini. Banyak yang ga punya anak. Terus sampai mupu. Kayak Kange (Pak

Sarmudjie). Sampai diangkat jadi anak dierkenkan itu. Nah itu umumnya yang sama mama

juga, ya kadang anaknya sampai pergi seperti tadi. Yu tukinah tuh kaya, polisi, Neneknya ga

diurusin. Mama yang ngurusin. Sampe busuk. Laki-laki perempuan mama yang diurusin.

Kira-kira ada 50 (orang) lebih. Orang tua semua, yang muda gila. Kadang-kadang itu ada. Itu

gilanya setelah beberapa tahun lah gitu. Biasanya gimana, apa yang dia tanam ga ada laku lah

terus mangan apa? Ya ga mungkin dia mau makan kopi aja. Ya beladang tanam ubi, tanam

opo ya itulah buat nyambung. Kadang ada orang pendatang gitu ya. Tanahnya ini diminta, ini

ta’ tukune semene, ya dikasih. Dia butuh duit. Sampai cerita mama itu ya, kain panjang itu

jaman prri sampe dijualin loh. Kepengennya megang duit. Jalan kaki setengah enam, simpang

empat itu jalan kaki ke pasar. Nampak pasar itu, kalo bilang mau pergi kepasar itu kayak kita

mau kemana lah ya? Dari Tongar Ke Simpang Empat jalan kaki setengah hari. Pokoknya jam

enam lagi baru sampai rumah lagi gitu. Aku aja dulu diajak kepasar itu, jam 5 dah bangun

saking senenge kalo ke pasar itu. Biasanya kalo di pasar yang dibeli ya es, cuma di pasar,

Simpang Empat adanya es itu. Esnya aja es untuk ikan. Es balok. Asli es balok. Dipecah,

terus diserut, terus dikasih sirup. Itu paling nomer satu indah itu rasanya itu. Dulu harganya 5

rupiah yang gambarnya kuning, biru warnanya gambarnya kuning masih ingat. Terus

pulangnya dibeliin arum manis, itu kembang gula yang kayak kupuk itu. Itu berapa anaknya

Page 3: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

itu dibelikan itu. Tapi itu, ta’ ceritain ya, kan dah dibagi sama mama. Martini kan yang tua.

Dibagi adik-adiknya, tau-tau kebetulan yang untuk saya ini aku nampak kakakku itu. Tinggal

yanti. Makanilah aku punya, dia dikecilin. Ini yang aku punya ini pasti yang mau dikasihin

aku. Dimakanin, dimakanin. Ya ni kamu. Tak ambil, tak injek-injek lantaran sudah dimakan

sama dia. Diajar aku sama mama, diajar sama papa. Yanti dikei dibuang. Lha aku nampak.

Tapi aku ga bisa ngomong. Bela diri untuk aku, ga bisa. Lah ga bisa, lah dipukulin, mau

ngomong ga bisa. Sini diajar, yang sana. Gimana mau coba? Aku wis ngomong kan gitu kan.

Jadi aku dari kecil ini sama kakak yang nomer ini yang namanya walau jelek kakak aku ya

tapi dalam hati kecil saya ini berontak rasanya dengan dia, kenapa dialah yang jadi tua? Dia

itu satu ayah satu ibu, iya nomer satu. Dari Ibu yang kedua, aku nomer 4. Martini, Rosini lahir

di suriname.

(00:10)

Selain dua anak pertama, semua lahir disini, terus kakak saya Bandri baru aku, terus yang di

pupu pak ponco itu arni, terus adik saya yang dijambak ini gunawan, terus bibis, terus yang

bungsu itu lilis suarni namanya. Waktu lahir sudah pindah rumah, ga di bedeng lagi. Bikin

bedeng sendiri khusus untuk orang jompo itu. mama dateng kesini, orang-orang itu dibedeng,

mama disimpang empat. Lah rumah masih ada, sekarang. Mama nginep disitu. Kang bandri

lahiran di situ disimpang empat itu. Terus rumah jadi, disinilah kelahiran saya.

Aku ikut ngurusin, ya itu bawa teleknya orang itu bawa ke sungai. Itu kadang-kadang nangis

aku, apalah orang kayak gini kok diurusin? Kita kan kecil belum tau ya, kok mau-maunya

ngurusin gini. Orangnya ook disitu. Itu kerjaan kami bawa ke sungai nanti baru dikasih,

karena belum ada molto-molto itu pake daun, apa namanya yang disuling dari daun apa itu

jadi harum-harum itu loh, nilam. Daun nilam itulah. Daunnya diremes gitu untuk nyuci kain

itu ya belum ada molto ga ada opo-opo.

Yang membantu kebetulan ya, cuma aku sama kakakku, rosi itu. Kak martini ini anak manja

ga mau deh kalo dia ga mau ya udah ga pernah dipaksa. Kalo kami takut ama perintah. Itu

perintah harus dikerjakan. Apalagi papa orangnya diktator. Iya iya enggak enggak. Minta duit

ya, sangu sekolah itu dikasih 50 perak, minta 25 kan dikasih 50 itu pulang ditanya itu mana

songsongnya? kalo bilang abis, pak, lain kali diulangi lagi ya. Kalo minta 25 ya 25, yang 25

harus dipulangin.

Yang diinget, Bapak saya, kalo soal didikan anak keras. Disiplin, dia enaknya, tapi untuk

dorongan kamu jadi orang musti gini musti gitu, ndak ada. Mau sekolah ya disekolahin. Mau

kemana ya disekolahin. Cuma yang mungkin harus gini harus gini itu ndak ada? Lah itulah

Page 4: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

sayangnya. Ya kalo ga sekolah ya digebukin tenan. Tapi namanya maksa itu ga mau. Ada

adik saya yang namanya gunawan itu, dia sekolah sd kelas 3, dia itu agak pekak, dulu pernah

sakit telinganya. Dia kan ikut nenek, ini kebetulan ada diobatin sama nenek sembuh. Sampai

nenek meninggal, sampai dah tua itu ga pernah dateng lagi. Bekas sakit itu, mungkin ga di

anu dokter lah ya. Pak aku ga sekolah. Lah kenapa? Aku budek kalo gurunya nerangkan itu ga

kerungu. Itu lah salah satu anak yang ngomong sing ngakoni dia itu budek, cuma kan yang

karena dia itu masih lugu gitu loh. Terus maumu opo? Aku arep bajak neng ladang, belikan

sapi sama papa. Jadi tanam kacang, kacang disini numbuh kan. Babi opo itu siang malam.

Siang monyet malam babi. Kebetulan, dia itu nunggu, yang keluar ini macan. Naiklah larilah

dia di atas pondoknya itu, di atas pondok itu. lari dia takut, naik di atas pondok semalam ga

turun.

(00:15)

Macan itu karena dia bikin api-api itu malah enak dia ngangetin situ duduk aja. Sudah itu pagi

pulang sambil nangis, pak aku mau ngeladang maneh. Lah ngopo? Lah didol lah sapine

katanya. Lah dijual sapinya itu.

Terus dia kerja ini, bandar ikut bandar, dah dibeliin kendil, dibeliin wajan ngerantau kan

bandar di daerah sana. Itu pulang-pulang, pak pacule sekope ilang. Lah itulah adikku,

sekarang dia punya sawit dapat bagian, orang-orang purnanirawan, jadi anak-anaknya dapet

juga. Sekarang seneng dia daripada saya. Karena istrinya kan adik mas ini. Adik masku ini

kan purnanirawan, kan punya jatah juga untuk anak-anak. Ini ga mau dulu. Dia punya juga

sebenarnya. Tapi ga mau.

Kalo dulu pak Hardjo sering cerita ga sih tentang kehidupannya di Suriname sampai pulang

kesini?

Bapak sering cerita kalo dia kan tinggalnya di Paramaribo. Setiap tahun kalo orang sana

bilang kan verjari itu ulang tahun loh. Setiap ada yang ulang tahun katanya nengok kami-

kami ini, walah nak kasihan kamu ga ada yang ditengok, kalo mama dulu disana tiap ada yang

ulang tahun atau apa itu nyarter kapal ada pesta dansa gitu. Itu kan tinggal dikota ya. Mamaku

kan dikota di Paramaribo. Dan disini ada yang ngerawat adik saya itu, Arni itu, orang

Paramaribo juga. Terus Mbah Kasinem yang geteng2 mama yang di kota itu. Ibu lahir di

Paramaribo. Bapak lahir di Jawa. Dia pernah bilang, saking pengennya kerja itu susahlah

untuk makan. Dia itu umur 10 tahun 15 tahun terus ikut-ikut orang tuanya kerja, sekolah.

Kerja di perkebunan, jadi kuli kontrak karena ngapusi umurnya tadi. Kalo Mbah, itu asli kuli

kontrak, kalo Mbahku itu asli. Dibawa dari jawa, asli kuli kontrak. Waktu balik ke Indonesia,

Page 5: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Mbah dari mama dibawa, Mbah dari bapak ga mau, tinggal di sana. Kalo dilihat dari bapak

mungkin dah enggak ada saudara di Suriname soalnya cuman berdua. Oom waktu itu pindah

ke belanda, dari Suriname ke belanda. Karena istrinya orang Itali kalo ga salah, orang

Perancis. Pernah kesini. Itu mau nyari saudara di Jawa itu, tapi wis mati obor susah. Dah

anak-anaknya sana mungkin. Udah payah.

Soal sekolah Bapak pernah cerita ngga pake sepatu yang penting dia sekolah, kadang-kadang

ngga mandi ga pa-pa. Ngga ada baju kan, ngga salin, raup sama ini air embun. Air embun dari

pohon-pohon daun-daun itu raup itu. Kalo dia main katanya diikuti adiknya ini. Adiknya

suruh pulang dulu, ga mau dia. Itu ceritanya. Ga pake sepatu ngga pa-pa, pak? Enggak, yang

penting sekolah katanya melu melu anak-anak negro, anak-anak apa itu. Bajunya wis embuh

koyo opo yang penting sekolah, dulu kan ga masalah baju ya.

(00:20)

Bapak cuma 2 bersaudara. Adiknya di Belanda, kakaknya sudah meninggal di jawa waktu

kecil. Kakaknya sudah meninggal duluan waktu kecil, waktu umur 5 tahun mungkin

kakaknya itu, sakit.

Setelah abis masa buruh kontrak, kakek masih di Slootwijk yang cerita ada ular itu. Nenekku

itulah yang cerita itu. Lengkapnya pun ga tau, namun ceritanya dulu ada belanda kaya, jadi

siapa yang mau kerja sama dia gajinya sekian-sekian, tau-tau ini ada ruangan gitu itu dah ada

makanannya enak-enak, ya kita orang kurang makan memang ya, makan pertama, makan

akhirnya ga pulang. Sampai dua kali tiga kali, ga pulang. Akhirnya setelah itu kayak cerita

legenda itu. Asal dah makan orang terus ninggal uang. ooknya ular itu uang. Tapi ada yang

entah pengen menyelidiki itu atau gimana itu tau, terus ia pake stagen sengaja dia pake stagen

panjang. Wong Jowo kan pake stagen. Gantung di tengah-tengah itulah dia diatas. Di atas

plafon gitu, lakinya bongkar plafon itu terus suruh nali disitu. Jadi naik diatas plafon terus

istrinya ikut naik gitu loh jadi pake stagen itu naiknya. Bukalah lantainya buka, dia nyari

baunya ada kok orangnya ga ada. Marah, makanannya itu diserak-serakkan semua. Persislah

pak Sarmidi cerita. Tapi jangan cerita sama orang, kamu mau apa? Mau duit, mau pulang?.

Terus katanya dia dipulangin, dibawain duit banyak. Sampai di Indonesia dia cerita-cerita

semua orang. Terus katanya dateng berapa apa gitu di drill ditempatku. Persis pak Sarmidi

cerita itu, ada suara katanya, aku sekarang kalah ga pa-pa tapi aku tetep makan manusia.

Bapakku ndak pernah itu kena penyakit sika itu, benjol-benjol gitu isinya itu kayak ulat

lembut itu, diiris dibuang isinya itu sembuh. Tapi besok sini lagi. Bapakku ga pernah kena,

sika namanya. Yang nyebar itu ular itu, dia masih dendam gitu loh. Dimanapun aku masih

Page 6: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

akan memakan manusia. Sejak itu di Suriname banyak penyakit. Sika, kulit, banyak penyakit

disitu. Nenekku disitu tinggalnya.

Saya sekolah SD disana (di Tongar), bikinan orang dari Suriname. Dulu waktu itu belum

diserahkan ke pemerintah masih sekolah Yayasan namanya, masih punya Yayasan, belum

diserahkan ke pemerintah. Mulai sekolah dulu kan ngga pake umur ya. Pokoknya kalo tangan

ini dah bisa kekuping ini sini dah disuruh sekolah. Jadi kalo tangannya pendek, ya mungkin

umur 10 tahun pun masih baru masuk.

(00:25)

Diukur gini. Kepegang sedikit saja dah itu boleh sekolah besok itu. Umur berapa ngga ngerti

aku. Sekolah sampai kelas 4. Terus kelas 4 ini kebetulan yang kak Rohani kemarin, anaknya

kan banyak. Ada kak Martini ikut dia waktu itu, dari Medan sampai Jakarta. Itu kak

Martininya mau kawin, pulang. Dimintalah aku penggantinya, diceritakan malam-malam itu.

Kebetulan pas ngopeni aku. Entah ada apa lah waktu itu, 30s itu entah gimana. Nurunlah

kakakku ini, beras ga dapet, apa-apa ga dapet. Sebelumnya suaminya polisi, dari Medan.

Habis ikut di sana ga nerusin sekolah lagi, lah kena marah terus. Minta duit ini, minta buku

ini. Alah, sing-sing jare gitu. Ya aku takut, keluar aku sendiri. Ibu ngomong, kenapa kowe ga

sekolah? Ga pa-pa. Ngopo ga sekolah gitu aja. Terus aku bilang, tiap hari kok diteror terus, ya

aku bilang ya aku keluar. Ngopo kok metu? Lah piye. Iku ta’ omongke pak’e sesuk. Omongke

lah men pak’e tau, aku ngomong gitu. Terus lama-lama kayak dianggap babu lah aku itu. Lah

aku sendiri denger itu kalo, loh itu siapa bu? Pembantu katanya. Jadi aku mah ngga cerita

ngga ngomong ya sama siapapun ya ngga ngomong. Bapakku kan udah tua, mungkin mau

mati lagi aku baru cerita. Terus bapak ngomong apa, kenapa kowe ngga ngomong dari dulu.

Itulah aku minggat kerja sama orang India itu. Di Jakarta, ya satu antara dua rumah itu.

Dijalan Rasamala dibelakang cendana.

Rohani itu satu bapak, dari istri pertama bapak punya 7 anak. Semua itu kembali ke

Indonesia, mama bawa anak satu. Mama kan ada dua, yang satu di Suriname ditinggal, kang

Waridi yang dibawa kesini. Semua naik pesawat. Waktu pertama ke Padang dulu, dah ke

Padang, terus ada rumah yang disewa di Simpang Empat, rumahnya masih ada sekarang,

sampai sekarang. Rumah pertama itu. Itu sedang bikin bedeng-bedeng itu untuk persiapan

orang itu dateng kan gitu. Orang itu lama juga di Padang entah berapa hari. Waktu ke Tongar

bareng rombongan.

Aku nikah umur 16. Pokoknya asal dah dipinang orang dah dikasih aja. Ga sekolah kan, udah

ngga sekolah maksudnya. Orang dulu tau sendiri lah, anak banyak kan nafkahnya banyak.

Page 7: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Kalo dikawinkan bebas tanggung jawab. Pak Hardjo pernah sekolah tapi dia ngga pernah

memaksa anak untuk sekolah. Kalo anak ngga mau sekolah mau apalagi, kecuali dia sekolah,

kuliah terus ditanya orang ngga mau. Lah dah mau, mau apalagi. Daripada ditahan, ditahan

nanti orang yang ngga tanggung jawab pula gitu. Waktu dinikahkan aku ditanya dulu. Cuma

waktu yang pertama, Saiun, aku ga tau. Rupanya dikasih kesempatan cari kerjaan dulu. Biar

mateng gitu.

(00:30)

Waktu pertama ngelahirin, aku di rumah di Duri, ngelahirin yang kembar itu. Kalo dulu waktu

masih kecil kalo ada yang melahirkan, kebetulan ada zuster dari Suriname juga, zuster Nora

namanya. Dia zuster disana. Itulah yang nolong-nolong tahun 60an ya nolong kalo yang

langsung dukun-dukun ngga ada. Ada zuster dari sana. Kebetulan dia ikut. Itu zuster nora

namanya. Itulah boleh dikatakan dokternya, bidannya, apa namanya ya dia. Kalo sakit ya ke

dia, kalo dia dapet obatnya darimana, ya aku ga tau ya.

Dulu waktu kecil aku juga belajar ngaji di mesjid. Bapak nyuruh ngaji tapi kalo udah besar,

udah ngga istilahnya dah ngga fanatik gitu loh. Ada kakak saya yang namanya Mursiyem itu,

yang saya cerita ini, kakak saya islam kak Mursiyem itu katolik, menyatu dia punya anak.

Tapi yang salah anaknya, ikut bapaknya semua. Tak ada satupun yang ikut agama ibunya.

Bapak ngga apa apa meskipun tahu beda agama, kan yang dikawinin bukan agamanya,

orangnya. Prinsip bapak itu. Bapak sendiri orang yang taat, orang islam taat. Wong bapaknya,

kakeknya papa, bapaknya itu ustad di Malang itu, ustad. Cuman itu, bapak saya ini prinsipnya

begini, cari jati dirimu sendiri, kamu mau apa, agamamu terserah kamu, mau apa terserah

kamu. Kowe karo wong buddha kowe seneng ya udah lanjutkan. Jadi ngga ada yang saya

ngga setuju agamamu, ngga ada. Tidak pernah ada bapak itu berontak, ngga ada. Mau wong

melarat men wong opo ya org itu yang dicari wong kaya ya, tapi itu kan yang susah. Yang

penting kowe seneng. Laki-laki itu tanggung jawab, itu saja. Dah itu aja. Ndak pernah bapak

itu masalah agama. Itulah bapak saya sampai meninggal. Ngadu sama bapak kan, piye toh pak

anak-anak kok ga ada yang ikut aku? Itu urusan dia biarke, kalo dia dah mantep berarti jati

dirinya sudah ketemu, ga usah dipaksa-paksa.

Meskipun untuk agama dia sangat demokrat, tapi Bapak juga seorang dictator. Kalo ngehajar

anak setengah mati, anak itu ga dikasih ..., ini siapa yang anu ini? Ga aku, itu ngga ada.

Pokoknya salah, anaknya ke delapan-delapan itu keluar satu ya, si Arni itu, ketujuh-tujuh itu

baris itu, digebuki semua. Jadi rata ya, ngga ada yang syukur, ngga ada yang ini, ngga ada itu.

kena semua. Salah satu semua kena. Hukumannya dipukul sampai ampun-ampun. Kalo belum

Page 8: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

ampun, terus. Sudah ampun, kadang-kadang kakak saya yang nama bandri itu kan paling

nakal. Belum digebuk, baru dipanggil. Bandri! Ampun pak’e. Padahal dia sendiri ndak tau

salahe opo, ya karena takut, ampun pak.

(00:35)

Dan lagi kalo dia panggil anak gitu ya, kita lagi makan misalnya, makan Pak? Sambil makan

jangan tanya, harus ditaruh nasinya laporan dulu. Kenapa pak? Aku lagi makan. Oh yo wis

kalo dah mangan, kesini lagi. Tapi jangan ngomong kalo lagi makan. Begitulah. Ini buku

kayak gini ini, ini geser gini, dicari orangnya yang geser ini siapa. Pena di atas ini geser gini,

kita minjem kan, kan dibalikkan lagi, ga posisinya seperti tadi, jangan coba-coba. Itu lah yang

namanya pak Hardjo itu minta ampun. Jadi kayak kami itu mau berontak ya, mamanya nyuci

koreng, kainnya suruh aku yang nyuci, mau bilang ga mau, ga ada cerita ga mau, harus

dikerjakan. Ndak bisa jadi harus bisa. Lah itu setelah aku sama bapak jadi kepala desa, akulah

yang turun aku nurun mama. Ya gimana mau ngadu kemana? Mbah Sony, mbah Manyah, tak

bangunkan rumah. Diantara delapan keluarga ini, yang ninggal rumah sama tanah perumahan

ini ya hanya yg nama mbah Manyah. Yang lainnya sudah dijual semua. Ga ada rumah, dia

sendiri yang jual. Mbah Sony pernah jadi pembantu di pekanbaru. Terus ra duwe opo-opo,

tinggal mate’e. Sementara belum mati itu mana dia? Itulah aku yang ngopeni. Hanya Mbah

Manyah punya kebon seperumahan itu sama rumah, setelah itu aku jual untuk nyemen

kuburannya. Sisa 100 rb itulah untuk aku. Ta’ jual 250, ta’ serahke ke kang Saridi 150, tolong

kuburannya disemen iki duit. Karena dia mati ninggal rumah ya, ta’ bikinkan rumah

dikuburannya. Dulu mama juga ngebiayain semua biaya penguburan. Kan dia dapet 2 hektar.

Yang 2 hektar itulah yang dia jual sama papa atas nama orang-orang yang dipelihara itu.

Itulah isunya jual tanah bapak. Anak-anak itu kan ga tau.

Pak Hardjo gimana harus cerita, wong kenyataannya wong udah tau dah nampak. Lah

Tukinah itu sudah tau mbah’e laki-laki perempuan mamaku yg ngurusin. Mbah guru juga

mamaku yang ngurusin sampai mati, kenapa harus diceritakan. Orang yang tinggal disini, itu

ga masalah. Pekanbaru yang terutama. Yang Jakarta ga papa. Ya gimana baiknya gitulah. Ini

generasi yang kecil-kecil ini. Dan inipun yang nguatkan orang-orangpun kakakku sendiri. Ya

pada percaya wong anakke Pak Hardjo.

Papa punya banyak buku, dari Suriname. Suka baca, satu lemari itu disusun rapi. Itu ga boleh

ada yang buka sedikitpun, kecuali ada tamu penting baru dikeluarin.

Ga memberikan kesempatan anak untuk membaca buku-buku itu?

(00:40)

Page 9: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Anaknya ga dikasih kesempatan baca buku-bukunya, anaknya pun ga minat. Kalo minat ya

mungkin dia kasih. Anaknya ga mau tahu. Ga ada yang kepengen baca. Tapi kalo yang anak-

anak papa yang sama mama yang dulu, itu seneng baca. Mesti seneng itu. Tapi kalo yang

sama mama ini, karena karena goblok-goblok atau piye. Yang kuliah ora eneng. Kak Martini

ini yang ngaku kuliah tingkat dua. Padahal SMA aja ga tamat. Si Rosi SMA tingkat dua

dipinang orang, kalo ga mau kawin suruh minggat. Kelas dua itu. Takut itu zaman dulu sama

bapak.

SMasak masakan suriname itu diajarin, kebetulan wong aku dari kecil itu sama nanya-nanya

gitu loh. Kalo ada tamu kan mama’e kan sibuk. Nggawe iki iki. Kawan-kawan yang dari

Jakarta dari apa itu kan sering, kalo komunitas ini kalo dia dateng gitu ya, karena ga ada

telpon atau ga ada apa-apa. Kalo yang ada satu nanya piye sarmudjie. Itulah maka aku kenal

nama sama kang’e ini. Ketika aku pulang pertama dulu aku masih inget-inget dikit gitu.

Emang ya IQ-nya ya kurang.

Masak, kalo nanti ngga enak kena marah itu. Potong lidahmu itu, masak kok ga diicipi? Mulai

belajar masak itu gimana ya, itu sudah dikasih kesibukkan semua. Umur 5 tahun waktu nyapu

latar itu, musing itu, bener. Ndak bersih katanya tapi harus itu ada tanggung jawabnya. Jam

sekian main, jam sekian harus pulang nyapu latar. Engko Makku teko. Mak kan ke ladang.

Tanam padi juga mama, kalo ga tanam, makan apa? Bapak juga, sempet tanam padi. Padahal

waktu disana ga pernah, untuk nyambung apa coba. Kalo kita bisa tanam padi, tanam cabe

kita kan ga pernah beli gitu. Sudah padi, terus tanam jagung, dah jagung lalu kacang, tapi

dijaga itu. Padi itu sehari kalo dah mau masak itu, burung. Jam 6 pulang jam 6. Itu makanya

mama kalo pulang itu masak’e wis rampung, nyapu rumah sudah bersih jangan sampai ada

gelas kosong di meja, terus rumah belum disapu terus kowe duduk-duduk. Ndalangnya

semalam ga berhenti nanti. Kak Rosi itu asal mama udah marah-marah dia pergi. Tinggal.

Pergi tanpa manggil yang ngopeni Arni itu kan Bik Samiyem. Bik, ndak pengen ndelok

wayang, kae dalange wis teko kuwi? Itu kak ku Rosi itu, dia paling berani, aku paling takut.

Yanti mrene! Dah bawa kayu itu aku ya ngga ampun-ampun ya diam aja. Sakit takutnya. Jadi

sampai sekarang ini ya aku bisa napok orang itu ya orang itu marah sama aku ya aku tahu. Itu

kayak Pekanbaru itu kalo kesini, benci sekali sama aku. Masalah tanah itu tadi.

Tipe orang Jawa di sini tidak terbuka. Iya kayak gitu lah makanya, itu udah kebiasaan. Kalo

dulu waktu aku kecil ya, orang padu-padu ngelabrak-ngelabrak itu banyak sekali. Dan waktu

itu orang itu bangga. Wah yanti ta’ onek-oneke toh? Bangga, dia cerita. Kenapa? Kayak

Page 10: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

gitulah bunyinya. Itu kalo ada orang bengok-bengok itu sampai denger kan sampai rumah,

kami lari itu nengok, cerita. Si itu tadi…. Kayak gitu. Dulu anak-anak mainannya gitu aja

hiburannya.Nengok wong padu. Terus kalo cerita sama mama kan kayak terkejut gitu ya, ha

kenapa? Dimana? Seneng sekali dia.

(00:45)

Itu satu ya, Bapakku ini punya pacar jadi kebetulan bapakku ini di rumah pacarnya itu.

ceritalah aku sama mama, kalo papa ditempat (perempuan itu). Diajar aku sama mama, jangan

sekali-kali kamu cerita ini. Kalo nampak bapakku apapun yang dilakuin aku diam aja. Ga

berani ngomong. Malah diajar. Sebenernya mama udah tau itu. Ndak pa-pa, kok sampai anak-

anak tau kan ngga seneng dia gitu loh. Iya ngga boleh ngomong ama dia. Dah tua-tua ini kan

ta’ tanya. Ngopo toh ma, dulu kok gini-gini? Ya kan panas telingaku, kalo bapakmu pulang,

itu aku marah katanya. Itu kalo aku ngga tau sama sekali ya ngga pa-pa, katanya. Itu ngambil

kesempatan pas mama lagi ke ladang, kadang-kadang bapak ada tamu kan, mama berangkat

duluan gitu. Entah pacaran, entah ndak tapi papa sering duduk disitu gitu loh. Orang

Suriname juga. Di sini nikah cerai hal yang biasa tapi resmi, kawin resmi. Yang selingkuh

juga banyak, jadi kalo yang istrinya ketinggalan di Suriname terus disini kawin lagi, terus

selingkuh. Khan katanya kloter kedua, duluan sama kamu katanya gitu. Yang kedua gagal.

Duitnya dimakan sama .... apanya kata papa. Sama ... apa ketuanya, Soeminta, Soeminta itu

loh. Ada dibukunya, di Suriname. Ketua PBIS. Jadi orang-orang di kloter kedua itu sudah

ngumpulin uang. Ga jadi berangkat karena uangnya ga ada. Kalo sama papa, papa cerita ya,

kalo yang lebih mereka ambil, kalo yang kurang diam aja, itu bayangin. Itu tanggung jawab

papa, BI dulu, Bank Indonesia pertama belum ada bank lain lain ya, BI itulah. Makanya kan

kita disini kayak waktu itu ramainya kayak padang hiburannya. Listrik ada sendiri, sumin,

singsu. Sumin itu untuk bikin papan itu loh, untuk bikin-bikin rumah itu mesin sendiri itu

bawa sendiri itu dari sana. Atap seng ambil kan dengan cara dikredit juga. Yang lebih duitnya

diambil, yang kurang ndak mau tau. Setelah orang ini misalnya, pak kulo ajeng ngedol griyo

kulo ngene-ngene? Loh lah piye? Utangmu mbiyen seng’e urung lunas inggih mengke nek iki

anu payu, kulo lunasi. Tetep diminta sama bapak, tetep. Dia ikut sama anaknya, terus

rumahnya dijual. Wong nenekku sendiri utang ga bayar diambil sengnya sama bapak.

Mertuanya itu. Utangnya itu untuk bikin rumah, terus dia kan ikut sama mama, dibikinin

rumah dibelakang itu. Atapnya diambil. Jadi dijual ini cuma rangkanya tok. Itu masih utang

sengnya itu. kayak gitulah modelnya bapakku. Disiplin banget dan dia sehari itu apa yang dia

dikerjakan hari itu langsung ditulis. Sayang terbakar semua, dokumen-dokumen buku

Page 11: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

penting-penting, bukan rumahnya, bukan duitnya yang disesali ya, itulah. Akte-akte kelahiran

dari Suriname itu kan dipegang orang itu satu, dipegang bapak satu. Masih ada semua. Tapi

kayak kang’e ini fotonya sama bapaknya, itu ada. Berdua itu sama bapak itu. Ada tiga

anaknya, juga ada semua itu difoto. Bersama tapi ga satu-satu.

(00:50)

Siapa yang dibawa, difoto itu ada semua. Tapi sayang terbakar. Termasuk buku hariannya.

Tanam cabe di pematang sawah diceritakan. Tulis disitu, ga ada yang tiru. Waktune daripada

nggo nulis nggo turu.

Nek iki sampai putune loh ternyata mbahe orang bersejarah juga, mama kok ndak pernah

cerita. Kowe kan ndak pernah nanya, mbahku mbiyen piye? Mbahku mbiyen piye? Aku yo

sering nanya-nanya ke Bapak. Pak kok ini yo ... pernah mamaku begini, marahin kami kan,

kowe wong Indonesia asal marah itu anake mung, lah wong Indonesia ya ngono kuwi. Aku

bilang Mama sekarang dimana? Waktu kecil diam aja toh. Setelah kami dewasa, mama

kelahiran dimana? Di Suriname cilik-cilik sikile apik-apik wis nggo sepatu. Kebetulan ada

nama Mbah Sanikem ini, kakinya agak gini ya jadi kalo jalan gini. Lah Mbah Sanikem kan

wong Suriname toh ma, kok mlakune koyo gitu? Udah diam aja, itu kan satu-satu ndak mau

kalah. Itu kan satu-satu katanya. Anaknya wong Indonesia ra iso dididik. Lah mak orang

mana? Aku ngomong gitu.

Sehari-hari pakai bahasa Jawa, tapi kalo sama bapak bahasa apa ... Suriname. Negro campur.

Bahasa belanda itu juga. Ga diajarin ke anak-anaknya, kalo anaknya ngga nanya ya ngga

diajari. Datang ke cucunya anakku yang sering nanya. Yang sekarang di Belanda, itu pula dia

yang sering nanya mungkin karena itu dia mau keluar, mungkin ya. Opo toh pak? Iku ojo

ditiru. Omongan elek-elek gitu. Mamaku pinat artinya mbokmu dobol.

Negro kan kalo ngomong kan kasar. Kalo marah sama orang gitu-itu. Bahasa itu dikeluarin.

Pas mau marah ama orang, dia cerita, mau marah sama kita ga berani.

Bapak sering bilang sekarang aku lading padahal di Suriname kerja, jadi ditawarin diajak ke

Pekanbaru sama anak-anak itu, ga mau. Ga usah lah ben lah. Aku tak tani neng kene.

Tujuanku disini kok katanya gitu. Berladang, bersawah bapak. Bapak sedihnya ya waktu itu

hiburan ngga ada, dia hanya buku ke buku, buku ke buku. TV belum ada waktu itu. Bapak

saya walaupun sesulit apapun, sesakit apapun ndak pernah ngeluh. Contohnya, waktu

mamaku sakit dia bilang gini, mama pulang kan nanti aku dulu yang mati kata bapak, itu

mama marah. Aku yang koma, aku yang sakit, sebulan itu di ICU mamaku, liver, gula. Aku

yang sakit kok kowe yang mati? Aku ini sakit, tapi aku ngga mau ngomong ama siapa-siapa.

Page 12: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

(00:55)

Ngomong sama kowe nanti kowe sendiri sakit, ngomong sama anake otomatis itu

diberobatke, bawa ke dokter, berobat. Lah itu yang dia ga mau berobat, paling ga mau dia

diperiksa. Nanti aku ketahuan ini, ini, malah ndak boleh makan ini, itu. Nah kayak gitu, jadi

sampai meninggal pun waktu koma dia seminggu terus meninggal. Kepeleset dari tempat

tidur. Papa, kalo mama jatuh di trotoar dan waktu itu papa pun ngomong kowe ojo melu anak-

anakmu yo kowe tunggu neng omah mengko tak parani. Kayak orang pergi terus balik lagi.

Seratus harinya papa kurang 15 hari, mama. Itulah wong belum mati kuburannya sudah

dilukis sendiri. Udah pesen sebelahan, dia gambar sendiri. Dia bikin kayak gini. Seminggu

mau koma dia bilang, aku kalo mati nanti carikan aku apa ya masukkan peti, aku rasa peti itu

rapi kita ga digelundungke wae. Gitu lho. Walaupun dikasih tanah juga tapi bersih gitu. Itu

langsung dibikinkan 3 hari jadi.

Mama setelah kami menikah semua, itu kain sarung sama baju lengan segini terus pake segini

ada sakunya. Kalo mau nolong orang masak ya, masak mau beralek nikah kawin, itu harus

baju baru itu. Jahit sendiri. Mamaku suka jahitkan. Tapi sebelum kami masih kecil-kecil

masih pake baju Suriname itu, baju panjang, terusan itu kayak difoto-foto itu kan ada roknya,

yang namanya njarik sarung itu tetep. Kalo ke pasar pake kain panjang itu. Kalo ada pesta-

pesta gitu. Selalu baju baru, pokoke ada kain panjang baru dipotong. Kami dulu bajunya itu

ga pernah dibeliin sudah, memang ga ada orang jual. Kain panjang itu potong dua itu. Iya,

potong dua. Kayak u can see. Blong gitu aja. Celananya, kain putih yang warnanya kuning

kayak tempat goni, kain gandum itu, blacu namanya. Dulu belom ada kain putih yang bersih

warnanya kuning. Ya itu. Mama itu kalo bikin yang udah dilapisi itu yang udah “mens-mens”.

Dilapisi kain lagi dibikin tebel gitu loh. Ada tempatnya. Itu dikasih nama itu, Martini, Rosi.

Ga ada Rinso dulu ya, sabun batangan itu kan. Sabun dulu ditaruh di hujan panas gitu, putih

sendiri nanti. Dipelantang namanya itu. Itu yang putih-putih kalo yang bandel itu

dikelantangi. Dan mamaku ini dulu kamarnya ada 5 kasur, 5 itu disprei semua. Ga ada seprei

yang berbunga putih semua pake renda. Renda itu dibikin sendiri pinggirnya dikasih renda

gitu ya. Breien namanya ya, zaman dulu, mamaku pandai, budéku pandai. Ga nemuin kaos.

Ga ada yang pengen belajar, nampak aja mama gitu ditengok aja ga. Kayak dibikinin empi

kalo sekarang kaos dalam gitu ya, itu dari kain putih tadi terus bawahnya dikasih renda. Kalo

hamil udah 6 bulan, itu bajunya bayi dibikin sendiri dibikin renda-renda ga ada yang beli. Itu

mama dulu orangnya.

(1:00)

Page 13: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Mama suka ketrampilan. Tapi anaknya ra enek yang ngambil. Kecuali memasak kalo ga

pandai ditapuki. Masakan yang paling sering dimasak dulu sederhana aja, kalo daging sapi ya

direndang. Dia ga pernah masak gitu. Kecap. Daging sapi dicincang, lembut kan. Dibumbui

merica, pala, kasih telor terus dibulet-bulet goreng. Setelah digoreng dibikinkan kuah kayak

semur itu. Itu namanya ... kalo kata orang itu steak tapi dagingnya di cincang. Terus sup itu

ada bisa ubi, bisa kimpul itu. Kentang kalo beli di Padang disini ga ada. Itu gimana mau nyari

kentang itu. Ada pisang yang namanya itu bana, itu pisang tanduk kalo kita disini, pisang

tanduk yang panjang. Itu diparut dikasih bumbu kayak bikin miso itu loh. Kalo ga digituin

ditumbuk kayak getuk itu, makannya pake sup. Sup itu ada kacangnya, kacang digiling

runyah-runyah itu. Bumbu-bumbu sup. Dikei tayawiri ama ayam itu aja. Ayam ga beli,

melihara sendiri. Daging setahun sekali. Pas orang mau potong hari raya. Hari Raya ya ada

juga, idul fitri ada juga. Yang lain-lain kalo mau makan daging, ya ayam. Kalo orang-orang

yang dulu kan banyak juga orang kristen dari suriname banyak. Babi-babi masih banyak, mau

dia makan. Jadi kalo yang mau makan iwak sapi harus nunggu setahun sekali. Beli baju

setahun sekali.

Di Suriname roti itu kan bikinan orang negro, itu dijunjung ditaruh disini. Disungging,

brood..brood.. itu kalo jualannya. Bikin sendiri mama, makan bikin sendiri. Ya dijual juga.

Ada anak umur berapa tahun itu suruh nganter keliling. Mama jualan sampai umur 60an.

Manggangnya manggang api itu, atas-bawah, ga oven. Aku ingetnya kayak orang mandi itu

kalo manggang. Roti tawar cuma dibentuk kayak gini-gini loh, segini gini. Aku sering bikin

dulu, ta’ jual juga. Makannya pake mentega. Papa itu senengnya anget-anget pake mentega

terus diceploke telor setengah mateng. Gitu lah terus ditutupke lagi ya roti kayak gitu. Itu

orang negro yang jual pake keranjang, jalan, di Suriname.

Kebiasaan semua di Suriname masih dibawa. Mama itu kecilnya ikut sama orang belanda. Dia

nolong-nolong gitu loh, cara isah-isah piring walaupun dah dicuci kan diginin itu disajikannya

harus dilap lagi, sendok itu juga harus dilap lagi. Barang yang disimpen itu dilap lagi bersih.

Kalo ikut mamanya ga ngerti opo-opo, aku nek melu makku ga ngerti opo-opo. Saking

kepengennya kamar orang belanda itu kan harum ya, pulang dia, nyari kembang melati terus

ditaruh dibawah bantal dia tidur itu. mamaku cerita itu. Kebersihannya itu dijiplak semua. Ini

tempat tidur ini ga mau dia kayak gini. Aku mau lah tidur kayak gini kotor ga nampak. Dia

putih semua. Seminggu sekali harus dibongkar, dicuci, dikanji.

(1:05)

Page 14: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Kanjinya ga sembarangan loh. Air mendidih terus kanjinya dicairkan dulu kasih minyak

lampu satu sendok, kasih minyak tanah satu sendok. Itu bikin mengkilat licin gitu. Kaku,

memang harus kaku. Kalo kaku kan memang kainnya itu harus dikanji. Kalo sekarang dah

kain goyang semua, dulu kan tegang. Tegang kalo ga dikanji ga bisa halus digosok. Gosoknya

bakar ini bakar tempurung dulu. Apinya kayak orang bikin sate, dimasukan ke gosokan itu.

Pake arang termasuk bikin arang itu dijualin itu. Semua orang masak pake arang. Pake gosok,

pake yang dipanggang juga arang itu. Setrika kayak gitu emang udah ga ada. Setelah aku

besar, mama terus beli di padang yang diisi arang dalamnya. Kalo yang dipanggang itu bik

karpik ini yg bagian nyuci sarung bantal, seprei, baju kami sekolah. Dulu kerja ga dibayar

pake duit. Kasih beras, kasih iwak asin. Kok kasih misalnya baju mama bekas itu udah

berharga banget orang itu. Terus ada orang dari jawa sama orang yang ngungsi-ngungsi itu ga

pulang, ikut mama, itu dibikinkan bedeng sendiri. Itu kowe kalo ga percaya ada yang

namanya erol, arman di pekanbaru, tanyalah sama dia. Mama kalo nyuruh mangan pake

klentengan kayak anak sekolah itu, teng teng itu kumpul semua, makan semua. Baru 15

orang, itu kerja nolong-nolong, ada kalo minggu ikut yang ke pasar, ada yang ke ladang. Di

pabrik tapioka itu. Gaji ga ada dia, hari minggu ada kasih dia duit, ga ada bulanan atau apa.

Cuman dapet makan. Mama dapet uang karena Papa itu bawa emas batangan dari suriname,

itulah yang sedikit-sedikit dititili sedikit-sedikit. Sampai waktu jaman PRRI, jual itu kan di

padang, jadi mama mau beli kain panjang kata papa ga usah lah tau-tau sampai PRRI ga

punya kain. Dikasih-kasih kan sama orang ngungsi untuk selimut. Orang ngungsi itu ga

mungkin dibawa semua. Orang lari orang ikut perang, kita nyelamatke nyawa. Sampai ga

nduwe jarik mamaku. Jadi kadang-kadang kalo ngomong itu disinggung, aku mbiyen nek

entuk tuku jarik neng Padang aku kan ga kayak gini katanya. Ya pake baju itu baju kayak

ginilah istilahnya, itu sudah umur 60 lewat udah pake sarung. Walaupun pake daster ya

dikasih sarung. Kayak orang minang.

Kalo anak-anakku yang sering diceritain (pengalaman kakek neneknya) itu yang di belanda

itu karena dia seneng nanya, yang lain ga ada. Prinsipnya orang yang mau tau dikasih tau,

yang ga tau itu ga dipake ama dia, ga dihayati istilahnya. Selain Dido (anak bungsunya), yang

lain ketemu (sama pak Salikin Hardjo) Nanang masih ada ketemu, ini (Dido) yang ngga

ketemu sama mbahnya. Ini kalo ketemu mungkin lebih pienter, dia seneng nanya ini. Kadang-

kadang jengkel aku, cerewet ora urusane dewe biarin lah aku, lah.

(1:10)

Page 15: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Kalo yang itu selalu nanya, kalo ada tamu gini-gini. Sering dia, kalo megang-megang

bukunya itu ngga pa-pa karena dia ingin tau kan, lah kalo yang ngga tau ini guna ngga guna

nanti embuh disuwek embuh di opo. Jadi sama pak Hardjo itu bukunya itu dijaga karena dia

tahu kalo anak-anaknya yang lain kurang berminat. Jadi takut bukunya rusak tapi kalo

berminat sebetulnya boleh, silahkan. Ini satu ya, Gunawan sama Bibis, itu beda. Kalo yang

Gunawan ini masuk di ruangan papa kerja itu, ruangan kerja kan ada sendiri. Itu Gunawan

yang masuk, kena marah itu. Tapi kalo yang nama bibis masuk, ga pa-pa. Bibis ini tau ga ada

yang mau diganggu, dia cuman nengok doang, ga ada yang ganggu. Tapi kalo Gunawan yang

masuk, semua kacau. Ingin tau tapi ngerusak. Ojo mlebu, bekakrakan kabeh. Kalo Bibis tau

dia kadang-kadang ikut, panggil papa kan, kan bikin wayang kulit itu ya, jadi papa yang

ngelukis-ngelukis, si bibis itu yang tukang ngelubang-ngelubangnya itu, natah-natah gitu, itu

bibis itu, gunawan ga bisa. Jadi dianggap gunawan ini goblok apa jadi ga boleh gitu, tapi dia

pinter sakjane tapi karena udah di cap kayak gitu. Endi anakku sing paling goblok? Mau mati

itu mamaku. Celuklah katanya. Dah mau mati itu sing paling goblok itu suruh nyeluk, suruh

dateng. Masih inget itu ya, dielus-elus kepalanya, ga ada sejam meninggal ya

Di rumah dulu kamarnya banyak, ya anak papa berapa 7, 8, sama 9, 10, kamarnya itu masing-

masing satu orang itu satu, dua orang. Laki-laki 2 orang 2 orang perempuan 2 orang 2 orang.

7 kamar yang di atas. Bawah itu ruangan tamu, ruang kerja. Dari tembok separo yang di atas

papan yang tingkat dua itu papan. Aku lahir di rumah itu. Itu ya yang di atas itu, kalo

seminggu sekali itu harus dibros, pake sabun, pake air. Dibros. Ngepelnya ga dipel dilap kan

papan sudah dilap bersih kasih solar, mengkilat kayak gini. Kayak diplitur. Lah itu Bik

Karpik, yu Klara, yu Surip bersihkan di atas. Seminggu sekali sawang-sawang harus

dibersihkan semua. Itu mama. Pokoknya ceweknya minta ampun. Lampu templok aja sebelas

biji itu kamar kan satu satu satu satu ruangan tengah ruang ... ga ada listrik kan. Itu jam 4 itu

harus udah siap isi minyak lampu, udah siap semprongnya itu dicuci, nah itu nanti kalo itu

sampai kotor, paling-paling kuning sedikit gitu, ga mau mama. Yang tukang bersihkan kena,

yang kakak-kakaknya kena. Semua kena, lha kok ora dielingke, ora digoleki. Jadi nyalur-

nyalur harus bertanggung jawab juga kakaknya, ga bisa ngomong yanti kok, kena juga semua.

Kakaknya kan biasanya kan dia tau. Itu harus bersih semua, harus siap isi, korek dah disitu

jangan sampai nanya. Korek untuk dapur ada, untuk lampu itu ada. Jangan sampai dapur

pindah kesini-kesini, ga ada ceritanya. Embuh caranya gimana ga ada korek, ga ada duit,

embuh piye carane harus ada.

(1:15)

Page 16: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Itu pabrik padi itu kurasa lama juga lah, sampai dipindah sini. Umurku lebih dari 6 tahunlah,

terus itu kan udah lunas udah dibayar, kredit sudah selesai dipindah ke depan rumah. Huller

itu. Kalo tapioka itu teknisnya bapakku sendiri, biayanya sendiri. Pagi jam 5 buang airnya, itu

papa sendiri. Air kan ngendap kanjinya, airnya itu dibuang. Jadi orang kerja dateng udah

kering tinggal ngeroki terus dijemur. Aku kalo hari minggu ga sekolah ya ngeroki itu. Ga

sekolah ga enek yang main, setelah itu terus bapak ada sapi, sapi Australi, melihara sapi. Ada

10 ekor, cuman dibuat pemerasan. Itu kalo pagi sebelum berangkat sekolah, nyemproti

kandang sapi dulu. Ya ga ada yang berhenti anaknya. Paling pantang mamaku nengok orang

duduk sementara ini kok berantakan, ga boleh. Mau duduk, mau tidur selesaikan dulu.

Waktyu main jadi lebih sedikit daripda waktu kerja. Sampai sekarang kerja terus ga kaget lah.

Anak mama yang tani ya cuma aku. Yang lain polisi. Kalo mereka dateng. Kalo mereka

dateng kalo ga aku dicari. Dicari dibelakang mana Yanti, ndak pernah aku berani ke depan, ga

pernah. Pernah dicemeeh sama kakakku Bandri itu, hei kowe orang hutan ngapain kesini?

Aku dipanggil mama tukang cuci, tukang isah-isah jadi orang hutan ngapain kesini. Hei ngga

enek orang hutan kowe ngga makan nasi kowe? Ya ngga ada orang tanam padi, ngga makan

toh dia. Nanti dia cerita, aku habis sekian bulan segini, kalo sabun habis segini ... maklum

pegawai semua kan. Lah kowe, Yan? Katanya. Aku nandur pari sak hektar ta’ pangan ndewe

ga entek, ta’ jual, aku bilang gitu. Aku sendiri yang tani pokoknya megang bajak megang

cangkul, aku sendiri. Saudara-saudaraku ngga ada. Ada kakakku Bandri itu sekali, tanam

kacang padi dibelakang. Ta’ ceritain, pas aku cerita, Bandri cerita itu didepan anakku, aku ga

terima anakku. Ya aku malah bangga yo. Bapaknya kayak gitu terus anaknya berhasil kan

haruse bangga kan. Sekarang Bandri itu pengangguran, ikut anaknya, dulu kuliah arsitek.

Papa ga pernah ngelarang anak-anaknya pergi dari Tongar. Terserah sama anak. Kakak yang

pertama kan di Medan, terus adik-adiknya ikut semua kesana. Papa ga pernah ngelarang,

engko gantine pak’e sopo? Ndak ada. Bebas, mau kemana, mau dimana.

(1:20)

Bapak abis udah jadi DPR, udah lelah. Setelah ada pemilihan kepala desa dipanggilah ini,

sanggup ngga kowe? Kalo ngga sanggup sopo yang pantes, jadi orang ngga mau semua. Aku

wis ngga sanggup, kata papa. Ini satu-satunya anu papa, itu ini, terus kakak saya, Martini ga

mau kerja sama malah buruk-burukin adik-adiknya gini gini. Kalo orang pikirannya main ya

malu ya, kita saudara jangan sampailah apanya kita ini diketahui orang. Dia malah ngubal-

ngubal. Sama cerita orang ngobok-ngobok telek neng batok. Biar keno raine dewe thok. Pak

Page 17: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Budiman (suami bu Haryanti) jadi kepala desa setelah Pak Hardjo selesai masa tugas DPR,

tapi masih dampingi terus kalo ada apa-apa masih pak Hardjo juga yang dicari.

Waktu jadi anggota DPR, tani masih jalan, mama. Kalo ga tani opo mau makan. Mamaku

banyak untuk orang. Nanti kalo pulang ya oleh-oleh itu bukannya anaknya duluan, orang.

Halah bu apikke, gelem kowe? Jupukken. Kayak gitu mamaku, jadi ga ada cukupnya. Apalagi

kalo ada orang sakit itu ya dibawa ke rumah dikasih susu, dia sendiri ga minum susu. Terus

aku tiru. Ya aku sendiri yang ikut mama yang ngopeni orang bosok, ada yang kanker sampe

bolong segini. Itu kapas segini masuk. Yu Ngadinem namanya. Diobatin, dibawa ke rumah

sakit tapi udah kayak gitu loh. Diobatin itu terus, tapi dia ga pernah ngeluh kalo sakit. Pas aku

bersihkan kadang-kadang loro. Itu kadang-kadang ta’ kasih kemben dibuka. Jadi sprei lebar

gini ta’ bagi 3 ini, ta’ potong jadi 3, yak penitiin di belakang sini ra iso buka toh. Sampai

berulat ketika dibuka itu kan, panas kan. Ndak enek sing nengok, ga ada. Yang nengok ga

ada. Dia, saudara ga ada, ya cuma ga punya saudara orang-orang Suriname sendiri ga enek

nengok, ngga keilangan, neng ngendi, ga ada. Rumah sakitnya pikirmu di Simpang Empat?

Di SukaMenanti disana ta’ bawa kesana orangnya itu. Kalo orang tekon piye bayare, piye

kabare, piro bayare iurannya ga ada. Uang yang aku ngeladang. Tanam kacang, tanam padi.

Itu yang ta’ bilang tadi ada sisa 100ribu yang lainnya ga nduwe pa-pa, dijual terus pergi ke

Pekanbaru, ga cocok sana, balik lagi. Kerja di rumah itu yo, nek aku neng di ladang, dia

masak di rumah.

(1:25)

Laki-laki perempuan sama aku semua. Kira-kira ada 10 orang, kadang-kadang aku sampai

heran sendiri, salahku ini apa. Belum tau ya, kok aku ngopeni orang kayak gini, sampai ga

enek kesempatan aku untuk badanku sendiri. Ya gimana pagi nunggu padi nanti jam apa udah

mandikan lagi, nanti jam 9 balik lagi ke kebon, ladangnya sih rumahnya cedak, deket ama

ladang itu, tapi pikirannya ngga tenang. Hari ini belum dikasih makan, hari gini belum

dimandikan. Rata-rata ngga punya saudara.

Ceritanya (desa Tongar dapat banyak pengahargaan) gini ya, kita tuh di sini dulu kan ada

orang trans, dia itu mau bikin apa sendiri gitu loh, mau bikin ketua sendiri, apa sendiri, dan

bapak ini mulai kalau ada acara urusan-urusan langsung ke wali negeri, jadi dengan adanya

Mas ini dikasih tau dia kan pak Hardjo sing nggowo kene. Nek wong Suriname ra ngekei

lemah kowe ra duwe opo-opo. Terus lama-lama mereka sadar, semua di sini dan sudah itu,

sholat disini. Istilahnya mbangkit bantang terendam, kayu itu terendam kita angkat lagi. Terus

orang-orang sini, gini walaupun dia rumahnya dinding bambu, walaupun WC itu cemplung

Page 18: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

tetap ada padahal sungai itu kan ada. Ini kalo orang Minang ga ada bikin WC ini, WC

terpanjang di dunia ini orang minang, air yang terus mengalir. Ini di cek kalo ga percaya nanti

di cek. Sampai bunga ta’ tanam di tepi jalan ini, pak gubernur ini ga percaya. Masalahnya

yang dilombakan daerah-daerah lain ini, pot-pot bunga itu ditimbun. Ditaruh di jalan-jalan

ditimbun, nanti kalo dah siap lomba diangkat lagi kan gitu. Ta’ kasih pacul, bongkar lah pak

kalo ini pot bunga. Ini jalan sejak dikerikil ini dah kami tanamkan semuanya ini, kami bukan

hanya mau lomba pak bikin ini, kami hanya ingin kampung kita ini bersih, indah, aku bilang

gitu. Kenapa kampung sendiri kok harus disuruh aku bilang gitu, ga percaya gali lah pak, ta’

kasih cangkul. Ta’ kasih tong sampah di tepi jalan, ta’ upahkan, waktu itu 5000 satu. Tanam

bunga itu 500 perak, anaknya masih hidup masih ada. Wiwik, namanya Wiwik, masih ada itu.

Keturunan Suriname juga, ditimbun dikasih tanah. Jadi jalan itu di kuatkan diratakan ini

sudah hidup, itu makanya pak gubernur ga percaya waktu tingkat junior, kalo tingkat senior

mungkin masih bisa di picu kan, setelah seniornya kan baru juniornya wakil bupatinya wakil

gubernurnya yang dateng waktu tingkat seniornya, juniornya. Senior tentu bapaknya yang

dateng. Itu seluruh instansi dari peternakan, perkebunan semua itu. Ya ta’ bilangin aku

dikasih sudah konsep kayak gini, dan konsep itu bertentangan dengan hati kecil saya. Konsep

pidato yang dikasih bu camat. Dan orang-orang yang jompo-jompo yang masih bisa anu, itu

ta’ suruh bikin sapu karena pelepah kelapa kan banyak. Ta’ bikin sapu, ta’ beli sapu itu,

dengan jalan kasih dia beras, iwak asin, gula. Sapu ini ta’ jual keluar, dengan segini-gini entah

berapa lah kasihnya.

(1:30)

Nah, dengan pagar rumah itu, ta’ suruh mampir ya, semua di pagar ga bisa pagar kita pagar

dengan pemuda-pemudi. Kami kapur sekali ada yang kami mintai se-sen pun. Jamu tamu,

kelapa muda ini aku tinggal di sini 2 tahun belum bisa ngambil yang tua, siapa yang mau tiap

hari ada tamu mintanya kelapa muda, jagung rebus, kacang rebus itu uang pribadi saya

sendiri. Lah, itu terus, lombanya ini orangnya ini setiap ditanya, kami ga pernah ngomongi ga

pernah apa-apa, jawabannya sama. Kok bikin kakos untuk apa toh bu? Loh ini kan kesehatan

toh pak, kami dari Suriname kesini kayak gini ini, rumah saya di Suriname ya ada WC

cemplungnya kayak gini. Orang pendatang pun diharuskan walaupun ga porslein ga apa, tapi

ada untuk membuangnya. Disitu kami menangnya, sebenarnya ga ada lain2 sama, kalo

disamakan sama bukit tinggi sama padang, dga masuk akal lah eso koyo ngene bisa tingkat

propinsi. Nah Cuma kebersamaan waktu itu, pengertian orang-orang itu, orang tua lewat, piye

mbah? Sekarang ga ada lagi.

Page 19: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Mas ini (suaminya) disukai anak-anak, disukai pemuda, orang tua, bandit, maling, jadi tadi

malam keilangan ini, tau dia orangnya siapa, balike lah itu kan kampungku ojo digituin, balik.

Preman dia pancen. Tapi setelah satu yang kedua dia terus maen sama pembantuku org jd ga

seneng. Padahal kami itu ga mikir, itu kan pribadi ya, wong sing dilarakke ati ga pa-pa, kan

seharusnya gitu, itu dicampur aduk kan. Terus isu kakakku juga lagi, satu kertas cuma, waktu

pemilihan itu. Kalo aku ga muluk-muluk, kalo mas nya yang jadi ini kan udah ini, kita

selangkah lagi dimajukan. Saya tinggal bersihkan aja yang barat, sudah ditebangi, sudah di

apa tinggal ditanami kan, nah kakakku ini mung rebutan tanah yg dijual budiman ini nanti ta’

bagi-bagi sama kalian gitu, akhirnya dia sendiri ga dapet. Dia sendiri malah dimusuhi sama

ketuanya, dia bikin grup sendiri. Sepak langsung sama ketuanya itu, makanya dia terus malu,

itu kakakku sendiri. Kan dia bentuk ketua yayasan lagi. Terus aku ngomong, iki bukan

kerajaan yu. Org aku yg mau jd kepala kok org Pekanbaru malah milih didit. Langsung

putuslah hubungan mereka itu. Dia punya ini, yang mau diangkat kan bapaknya opo salahnya

kerja sama-sama mas-nya itu, iki mantunya karo anaknya kan bersatu. Kok malah ngelek-elek

yang terdahulu, itulah kakakku sendiri. Yang ungkit-ungkit itu dia sendiri.

Kalo Didit itu yang dipilih sama orang pekanbaru. Dokumen-dokumen yang mas punya,

penghargaan yang dari presiden diminta semua. Itu kan kita yang apa. Kalo kita dah pernah

bangkitkan tongar, ga usah biar aja. Org dudu de’e sik ngerti. Di situ nama kita ada di situ,

kasihkan semua. Dokumen tanah dimintanya, ini semua dimintanya, minta semua. Kasih

semua, dikasih ke dia.

(1:35)

Habis itu, mati dia. Dokumennya ga tau sampai sekarang. Ga pernah, ga ada yang nanyain.

Sama cerita bapak tadi belum pernah ada orang yang bawa surat tanah, surat tanah ini

dimana? Katanya sudah dijual sama pak Hardjo, ga ada, belum pernah ada, hanya gembar-

gembor di luar. Bahwa pak Hardjo jual tanah, memang bapakku jual tapi yang punya orang-

orang yang diopeni sama dia itu. Dia ga beranilah, hak orang kok, dia yang bagi dia yang

ngambil.

Kalo perubahan-perubahan di Tongar mengikuti zaman ya mungkin bagus sekarang ya, bagus

sekarang, cuma dengan kebahagiaan kenikmatan keindahan, indah yang dulu. Indah yang

waktu aku kecil. Kalo ada orang nduwe ngawe itu sumut obor semua, orang itu ga mikir

korban minyak lampu ga mikir, apalagi kalo mau hari raya setiap rumah dikasih obor. Malam

takbiran itu anak kecil bawa obor yang besar-besar, allahu akbar ... di depan, indah sekali.

Sekarang mungkin teknologi sudah maju, dah ga ada itu lagi. Contohnya aja kentongan yang

Page 20: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

kakekku bikin itu ga dipake, dibuang. Ga mikir itu kenang-kenangan, ini bersejarah loh ini,

gawean kakekku. Kentongan untuk mesjid, tong..tong..tong,.., tapi gede dibikinnya, kayu

randu. Zaman dulu buat manggil sholat, terus kalo ada acara-acara itu manggil, kalo ga

jamnya orang kan, ini enek opo yo? Dateng 1-2, mengko bengi rapat yo? muterlah orang itu

kasih tau. Cuma yang kayak itu, kentongan yang itu dia sudah tau, langsung dateng ke rumah

papa, ada apa pak? kalo sekarang kan pake hape (HP handphone). Kalo sekarang orangnya itu

banyak gimana ya, ongah-ongahan gitu loh sekarang. Sombong. Punya kebon sawit terus

punya mobil. Aku dulu punya mobil 8 ya. Kalo ada orang, aku bilang sama supir, kalo ada

orang tongar opo wong Juranggo nek petuk mlaku sikil, berhenti. Supirku wong Minang,

berhenti, kemana bu, mau kemana bu? Ke Tongar masukkan. Mau mbayar, terima ga bayar ga

usah diminta. Sekarang aku tegak disini ya dah bawa keranjang mau ke pasar nunggu ojek,

orang itu naik mobil, mbak ayo mbak? Ga ada. Jadi untuk kebersamaan ga ada. Aku 8

mobilku dulu. Mobil tambangan ke Bangis, Palu, kayak angkot. Sekarang udah habis, motor

dah cantik-cantik, aku dulu baknya aja bak kayu. Sekarang mobil dah cantik-cantik. Terus aku

naik mobil kan pulang pasar, jadi ada orang, bareng Mbak Yanti ... bareng Mbak Yanti biar

gratis, aku mbayar ta’ bayari 4 orang ini sama supirku. Loh mbayar Mbak? Lah iki kan

bangku ini ada harganya lah ora enek mbayar, aku bayar kreditnya gimana.

(1:40)

Jadi disitu orang-orang itu mbayar. Mosok bos’e mbayar. Maka orang-orang abis itu mbayar

wong bos’e yo mbayar. Dulu itu trayeknya Pasar-Tongar, Tongar-Simpang Empat, Tongar-

Talu, Tongar-Air Gadang, Tongar-Jambak, sekarang banyak perusahan mobil tambangan

saing harga. Juali, ta’ belikan sawah. Sekarang sawahnya sudah ta’ jual, dah ga ada lagi. Jual,

bikin rumah ini. Sisa tanah masih, ditanami sawit. Itu beli lagi, beli sama mbah poniyem,

sama suratiyem, beli lagi itu. Semua 8 hektar tapi sudah ta’ bagi anak-anak. Yang di belanda

ngga mau, mak jual aja lah kalo ngga, untuk adik-adik, kalo aku ngga usah dipikir. Akhirnya

dijual, disana dibeliin sawah lagi yang di jambi itu. Ya udah, ini yang tak makan ini dido

punya. Sawit ini kan buahnya itu masih menurun. Harga naik, sawit turun buahnya. Misalnya

buah semua kan 100 batang ya. Kalo buah raya buah semua. Tapi kalo pas kayak gini separo,

ada yang masih kuncup, ada yang masih pokoknya. Sehektar itu kalo rawatnya bagus, 2 ton.

Sekilonya 1100. Tanahnya Dido ada 1,5 ha, beli bekas rancah, rawa, sungai-sungai mati.

Kemarin hasilnya 2,5 ton. Tapi ini turun hanya 1,5 ton. Kmrn Cuma 800 per kilo. Cuma sini

kalo sejuta bisa untuk hidup berdua udah smaa sekolah. Tapi tingkat SMA. Uang sekolah dido

Page 21: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

60 rb, uang buku 2 juta pas pertama. 50 uang sekolah 10 uang osis, kalo mo ujian, 2 bulan hrs

lunas.

Bibit yang divawa dari Suriname selain bitawiri, tayawiri, ya antrua, dikiranya disini kan ga

ada, tau-taunya disini ada tapi ga dimakan orang, yang dimakan cuma daunnya.

(1:45)

Di Suriname ama disini beda. Aku kemarin dibelikan anakku yang di belanda itu, pahitnya

minta ampun. Pahitnya dimakan itu masih tinggal dimulut, kalo disini digoreng gitu aja enak

kok. Yang di Suriname pahit, yang di belanda itu. Di sini ga pahit.

Budaya Jawa masih diajarkan ke anak-anak, kayak selamatan, kayak mau Hari Raya itu kan

kita kan ziarah, ya itu masak-masak. Masak-masak terus nanti ada sesajen. Itu cerita mama

kan cerita nenek gini katanya kan ada yang di neraka ada yang apa gitu ya. Masuk puasa itu

dilepasin semua katanya, dilepasin dia cari famili-familinya. Jadi dia nampak sesajen itu,

masih inget sama gitu. Yang digituin itu katanya, dia mencari-mencari sampai kayak orang

gelandangan kehausan, gitu lah kayak gitu lah. Aku masih pake. Tapi entah anakku besok.

Karena mamaku kayak gitu. Terus punjung, orang-orang tua semua dikunjungi, itu namanya

punggahan. Nanti kalo seminggu malam 27, itu pudunan jenenge itu juga. Biasanya masak

nasi, kan ayam itu disemur, bikin sambel goreng. Rantang itu 4 ya isi 4. Kayak gitu. Itu masih

tradisi Jowo. Selametan, kenduri, ada jajan pasar itu masih dari jawa. Di Suriname itu masih

dipake, pake itu. Ya mereka orang Jawa kepercayaannya disitu. Koyo selametan ini ada yang

ga usah katanya. Kalo wong Suriname tetep ada selametan. 7 hari, 40 hari, 100 hari. Cuma

ngomong-ngomong orang yang dipelihara itu sampai 40 hari ga sampai 100. Disini ya nanti

kalo selametan kayak gitu ya, yang rukunnya itu ada yang bawa beras ada yang bawa sampai

puluhan kilo, puluhan cokek beras. Ben wong Batak, wong apa tetep ngasih. Sampai sekarang

kadang-kadang susah, sekarang barang-barang dah apa. Masih juga kayak gitu, nganter gula

kalo ada orang selametan. Masih itu. Itu tradisi ya.

Kalo secara ekonomi, seneng sekarang lah. Sekarang cokelat 25.000 rupiah sekilo, diopeni.

Kalo dulu dimakan bajing jarke wae. Sekarang bajing diusiri. Kopi ditebangi semua, ganti

sawit, ada yang tanam cokelat. Cokelat 25.000 sekilo, dulu ga laku. Sampai pohonnya mati,

ga dipanen ya ... ya harus dipanen. Dulu ya dijual sama tetangga-tetangga yang butuh, aku

butuh kopi ini, goreng sendiri, ditumbuk sendiri. Ga laku. Sekarang malah ga ada.

(1:50)

Dulu ada yang tanam kacang kuning, ada yang tanam kacang bogor, kacang bogor yang

merah-merah itu ada. Bengkuang, macemlah. Jadi, ayo tuku bengkuang neng mbahe itu. tuku

Page 22: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

kacang bogor sana. Sekarang ra enek. Semua ganti sawit, cuman sini ya sayuran itu jarang

beli kecuali ikan, brambang. Sayuran tayawiri, bitawiri ngari ngepek, kates tinggal ngambil,

gori tinggal metik. Ga enek yang beli, ga ada. Ke pasar biasanya beli iwak asin, iwak laut,

bukan sayur. Jadi saya sayur lobak, kol itu kurang, ga seneng. Ada tertentu misalnya mau nge-

sup iwak sapi, beli wortel beli itu gitu. Ya sehari-harian pokoke ono iwak asin ono beras, ono

uyah wis enak. Mau gempa, gempalah. Ya kalo makanan, saiki duit ya ada apa aja yang di

simpang empat itu dah ada kan seneng. Walau swalayan ga mentereng tapi ada.

Sekarang ga ada angkot ke Simpang Empat. Kalo diluar ada dijalan rumah capin itu ada, tiap

hari ada. Ojek di dalam kan ga ada, ojek diluar ada. Kalo kita mau keluar payah. Anak-anak

sini entah malu entah gimana ra enek yang ojek. Gengsi, anak tongar’e. Anak tongar kan di

nguk dari luar itu orangnya pinter-pinter semua. Padahal pinter-pinter wis minggat kabeh, wis

adoh. Tukang dodos sawit, e malu. Gayane kayak orang. Sekarang harga saling menghargai

itu ga ada, kesetiakawanan. Sejak sawit inilah, dah berubah kelakuan orang semua. Jadi

sombong-sombong.

Sekarang, ekonomi meningkat tapi kehidupan sosial malah berkurang. Contohnya aja ya,

dimintain duit sesok bodo ngadain ini, ngomel itu tapi dikasih. Dan aku bilang kan, kalo

orang ini, karena aku dah ngerasain ya dimintain iuran, ini gara-garanya dari anak-anakku

juga, tahun baru dimintain iuran rupanya malah beli tuak. Bikin ramai-ramai untuk dia sendiri

sampai semalam suntuk disitu. Jengkel orang tuanya. Jadi sekarang kalo untuk tahun baru

minta sumbangan untuk apa gitu ga dikasih untuk contoh yang kemarin itu, malah minum

tuak mabuk-mabukan nyuri ayam orang. Kan malah nganu yang ga baik. Lah itulah sekarang

orang-orang itu ngomel. Ini nanti Hari Raya mau ngadakan ini gitu ya. Opo tenan iki, ojo-ojo

koyo kemaren gini-gini. Tapi karena ada bukti, aku seneng ngga masalah. Tapi kadang-

kadang anak-anak ini yang salah gunakan.

Jadi sampai udah berapa tahun baru biasanya ramai loh. Ada lomba tari dangdut, nyanyi

dangdut. Acara-acara itu sudah ada dari aku kecil. Tapi dulu itu orang ngga begitu ngomel.

Ada wayang kulit misalnya, ada bener. Dulu ngga ada orang mabuk. Ini sejak mungkin

campur-campur ini ya. Orang Batak, ada orang Minang itu kan.

(1:55)

Dia kalo natalan kan gitu, jadi anak-anak yang ikut natalan itu juga minum-minum dibikinlah.

Itulah yang kami tentang kemarin itu ga enek sing njaluk. Aku bilang aku mau 100 ribu

ngasih kalo dah panen, tapi kalo untuk itu untuk apa. Untuk beli tuak, beli minum-minum itu.

Jadi kita nyokong yang ga bener jadinya. Dah ngasih cara yang ga langsung kan. Sejak itu ga

Page 23: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

ada lagi. Kalo hari raya kemarin itu anakku sendiri yang carter jaran kepang, 2,5 juta dari

Kotabaru sana, main disini, hari raya kedua, sebenarnya 1,5 juta lantaran hari raya kedua kan

orang masih di rumah, ngumpulin orang itu payah. Hari raya kedua masih pada di rumah.

Warga yang punya perasaan ya malu. Kan seharusnya orang perantauan ini lah kalo pulang ya

bikin kayak gini jadi kami yang dikampung ini seneng rasanya gitu. Anak pekanbaru ga ada

pernah. Sejak aku kecil sampai segede inilah baru anakku inilah. Orang-orang yang merantau

kalo pulang tunjukkan dia punya mobil, jalan sana, jalan sana gitu. Mereka ngasih sesuatu

buat desa, tapi untuk mereka sendiri. Yang untuk dia ah iki misalle kang sarmudjie teko, arep

enek organ, udah ditunggu itu. Yg sering pulang itu wong pekanbaru. Pulangnya pas hari

raya, kadang hari raya haji. Pulang semua itu.

Ga ada yang suka ngumpulin warga yang kurang mampu. Sekali kemarin waktu reuni, 60

tahun. Ada sisa-sisa dana dari jakarta, medan, mana-mana itu. Ada sisa aku dikasih 200 ribu.

Lampu dikasih. Adillah gitu. Ada sisa ditaruh di mesjid. Sebagian diamplopi, itu aku yang

nganter langsung. Malah aku disuruh data, ini yan sopo-sopo yang perlu kiranya dikasih.

Kadang-kadang orang pensiun dikasih juga kan ga bener. Nah kang daripada ini dikasih

mending yg ini. Jadi mereka itu ga pandang bulu. Pokoknya yg bener-bener. Pak Ngadimin

ini walaupun anakke sugih, dia disini urut, ngurut patut dikasih. Enek Modho lho. Ini bukan

pensiunan. Yang punya pensiunan, dia punya pensiun. Kaya Rukinem, karena yg data adiknya

Rukinem, coret dia, ga peduli aku. Ini lebih baik kasihke ini. Ada 3 orang kemarin. Malah

Ngadimin ini, Modho bilang bapaknya ga perlu dikasih. Kowe sugih lha bapakmu khan

tukang urut, mesakke.

(2:00)

Mungkin malu dia. Aku ngomong, ngga iso, sik sugih kowe tapi bapakmu tukang urut. Aku

transparan aja wong bener. Yang melarat dari ini banyak lah. Aku yang nganter bar beralek.

Abis nganter duit ak tidur sehari. Belum punya HP dulu, jadi ga bisa ngomong jadi tanda

bukti. Mereka nyuwun sama aku thok. Padahal kalo ada HP kan bisa tak tunjukkin rekaman

kalo dia sudah nerima.

Ceritanya sampai diadain reuni itu, siapa yang punya rencana ndak ngerti aku. Cuma orang itu

bilang, mau ngadaian reuni di Tongar. Iki sumbangan dari Jakarta, dari Pekanbaru ini.

Disewakan bus besar itu. Dari Duri ke sini, 2 bus itu. Tidur di sekolahan itu, aku yang

nembung sama kepala sekolah. Ini ta’ bikin tangga, ta’ kasihkan kayu untuk pegangan itu ya.

Kalo kita ta’ terpenuhi disini kamar mandi, itu disungai. Orang itu pun seneng di sungai.

Pokoknya kayak pasar malam, ramai. Rumahku kayak dealer, dealer mobil. Penuh sampai di

Page 24: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

tepi2. Tinggal milih aja. Semalam suntuk itu. Acara andalannya itu ada campur sari, ada kuda

kepang. Dan itu sehari semalam itu, orang itu dibayar ga mau yang masak-masak itu. Aku kan

cuma apa yang ga ada. Dikasih duit aku sama si karsih, yu apa yang ga ada ini duit pegang.

Aku ngambil orang 5 orang, senior-seniornya masak-masak itu. Dan besoknya mau ngadakan

acara lagi, aku bilang sama si anak pak sarmidi itu, kayanya maaf ya jan iki ga dibayar hari ini

sama hari kemarin. Kalo mau ngadakan lagi aku minta tolonglah kasihkanlah uang wong iki

untuk kerja dengan hari ini dia kerja, nek wingi dia gotong royong. Oh ya ga pa-pa yu ga pa-

pa. Kita kan terus terang ya, daripada wis rampung ngomel. Aku kerja mati-matian gini ga

dikei opo-opo entuk mangan tok kan gitu. Ngertilah wong Jowo. Nek dikei yo iyo, nek ra

dikei bukannya njaluk terus terang ngga, ngomel neng mburi. Aku terus terang aja, bayarlah

sehari ini. Ada uang, ada, bayar iso.

Makanannya ya ta’ bikinkan yang dari ubi semua, kecuali wajik itu memang istrinya kang ...

si sukarni sing ngowo, wajik, rendang, ada 10 kilo dia bikin. Itu pun ditotal loh dia, apa-apa

sekian apa sekian, namanya orang bersama ya itu kan uang sumbangan tentu harus transparan.

Aku sebelum dia dateng, aku wis ngawe ceriping. Gaya ceriping yang tahan-tahan dulu lah.

Jangan pondong ... jangan pondong wis ta’ carterke pondong. Orang itu gali-gali masa lalu,

kon goleke ngawe kacang rebus aja lah. Padahal bupati ne sing teko. Makannya dikotak-kotak

itu. 200 kotak undangan. Makanan Suriname, ada urap, kalo orang sini kan ga manis, kalo

orang jawa kan manis asem. Ada urap, ada semur, semur ayam, rendang dari pekanbaru itu.

Sayur tayawiri.

(2:05)

Kalo orang-orang itu kan ga anu yang untuk makanan khas Suriname ya orang-orang dari

Pekanbaru. Yang dari ubi itu boyo, boyo itu ubi diparut dikasih kayu manis dikei mentega

dikei gula dipanggang kayak bolu itu namanya boyo. Enek boyo, enek boyo. Bukan perintah

dari dia, inisiatif aja. Makanannya ga mahal-mahal lah, dari tepung itu kan sana pun banyak.

Ini kayak wingko gitu loh. Meriah, murah. Jadi kepengen sampai ta’ bawa-bawain pulang.

Criping dari ubi, ketela itu loh. Sekarang kan ada yang di pak-pak’i gitu loh. Kebetulan

singkong itu ada kebon, singkongnya itu banyak banget. Kalo ada warga yang mau ngambil,

ngambil. Kebetulan pas itu disana mau tempat parkir, ta’ suruh nyabutin semua. Semua ta’

suruh nyabutin untuk makanan. Malamnya itu boyo diirs-iris, sarapannya lemet. Lemet itu

dari telo juga. Dalamnya gula jawa, dibungkus sama daun telo juga lagi. Semua hampir sama.

Makan siangnya, disini kan zaman aku kecil kalo ada orang beralek itu ikannya udah ditaro

dipiring gitu satu ya. Ikannya ayam, ditaro dipiring, orang itu tinggal ngambil nasi sama sayur

Page 25: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

disitu. Ikannya sudah tertentu misalnya yang diundang 50, ya 50 itu. ta’ bikin kayak gitu

lantaran kan minim ya. Semurnya iwaknya sekian jadi berapa potong, itu 3 kali makan. Pagi

ta’ bikinin lontong ama gulai gori kasih juga iwak seiris-iris dipiring-piring ngantri kayak

orang ngambil ransum wae. Terus kang sukidi, pinter juga kowe yo yan? Loh iwak iki nek

dikei neng adahe kene wong tongar e bukan wong , itu tau ya orang dari pekanbaru ya tapi

kan ga mungkin kita pilihi, iki wong pekanbaru kene sing wong tongar kene ga mungkin kan.

Wong tongar kerja juga bikin tenda-tenda itu kan. Ta’ gituin semua sampai kang sukidi ta’

ambilin gitu juga. Hebat kowe, pinter juga kowe. Lah iya presmanan entek-entekan lah kang

aku ngono. Segini rendang segini harus dua hari, kalo ga cara itu nanti habis.

Orang ini, pagi sarapan ini, siang makan nasi sama ini, ta’ jangankan bening wae 10 ikat

segini-gini, jangan bening bayam goreng iwak asin nyambel sambel terasi, tandes ga enek

opo-opo. Kurang-kurang orang itu. Nasi didandang ada di termos gede itu ada 2. wis pokok

makannya, siapa yang laper makan, mbak aku mau makan, ta’ ambilin satu iris semua piring

kan. Tinggal ngambil nasi mau sekarep, sayur mau sekarepmu cuman ini seiris. Ketua

rombongan pun ta’ kei seiris-seiris.

Dulu waktu masih kami megang, kalo reunian ini kami hanya bersih desa. Bersih desa itu

bawa nampan diisi nasi lauk pauk gitu ya terus kita tukar sampai sana. Misalnya kowe bawa,

kowe bawa, ini tukar ini, kamu tukar ini. Selametan disitu. Makannya bareng, ada yang

dibawa pulang. Kan pakai takir, satu ini 4 takir. Satu besek itu takirnya 4, ikannya 4, nasinya

4, itulah dibagi-bagi. Tiap tahun tanggal 4 februari itu tetep. Itu tanggal datengnya (orang

Suriname ke Tongar).

(2:10)

Ga muluk-muluk cuman selametan ya istilah terimakasih sama yang baurekso yang bumi kita

injak-injak ini gitu. Tapi setelah mas ini apa punah. Tak ada lagi, sampai orang transmigrasi

yang ga mau dateng, marah ini, diparani sama ini. Ben ga gowo sego, kowe iso mangan neng

kono. Isinya 4-1 orang. Bisa 1 takir-1 takir kan. Marah dia. Kowe musti ngerti dasarmu kowe

ngopo alasanmu kowe ga teko digituin. Ini ga individu khusus orang tongar ini ga. Kowe

orang tongar juga, tanah tongar yang kowe nggoni loh. Kompak semua dateng, penuh balai

itu panjang ya. Sekarang sempit, dulu itu panjang ada pentasnya, pentasnya untuk kami-kami

main sandiwara dulu dibimbing sama kang basar ini. Dulu aku ikut. Aku dapatnya sama

bapak Yudi (suaminya-Pak Budiman) gara-gara main drama itu. Aku jadi ibunya, dia jadi

anaknya. Dulu indah kok, sekarang nampaknya seneng tapi secara fisik saja. Istilahnya mau

jalan malam wis ga pake obor, wis ga becek. Kayak dulu gini. Setiap ada orang mau nikah-

Page 26: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

kawin dikasih ember sama air untuk cuci kaki untuk masuk rumah. Becek jalan tanah.

Disiapkan untuk cuci kaki. Cuci tangan disiapkan di dalam. Duduknya Kalo beralek khan

biasanya di bawah. Prasmanan khan baru-baru aja. Ikut-ikut orang luar. Kalo saya pernah ke

padang. Liat gitu, ikut-ikut lah. Kalo beralek disini menunya kalo di Tongar semur ta’

ketinggalan. Semur ayam, daging ga pernah ada sama kentang. Kalo orang daerah sana ga

semur, ayam disantani, gulai. Orang Suriname ga suka santan, kecuali santan jangan rebung,

jangan gori, sayur pondong iki. jarang pake santan iki. Sayur pondong itu dari Suriname,

bukan asli Jawa, di suriname yo wis ngerti nek pondong itu enak. Kalo pondong itu kan efek

samping ga ada. Kalo rebung kan seratnya tajam, ini seratnya ga ada seratnya lunak. Sayur

pondong selalu ada pas acara-acara besar, tapi sekarang ga, sekarang itu tewel itu, gori itu. Itu

kemarin ada tumbuh disitu. Waktu reuni kemarin, aku punya 2 batang, ta’ tebang. Kayak

rebung, kalo rebung kan agak keras. Iki lunak. Nyayur pun ga boleh lunak-lunak, kalo lunak

lodok jadi bubur. Sebentar, mendidih langsung diambil. Kayak lodeh. Itu kalo lodeh

tertentulah pake santan. Yang sering ya tumis.

(2:15)

Aku sebagai anak keturunan Suriname banggalah, bangga ya seneng, lantaran kayak kita ini

berjuang kan ringanlah sekarang ga kayak orang tua kita dulu. Bangga sekali lah. Iki syukur

juga kayak ada kalian, mungkin cicit-cicitku aku wis mati masih tau dia sejarah ini. Aku

jarang cerita ke anak-anak kayak papa, aku kalo orang ga nanya males aku ngomong.

Dicemeeh anak-anak itu. Males aku, kalo dia nanya gini-gini baru aku cerita. Aku ga tau kalo

punya kakek kayak gini. Dia baru tau dibuku itu. Sebelumnya ga pernah tau.

Aku ga nyimpen buku itu. Wong reuni kemarin loh, fotonya ya ada kan masuk di Haluan

Singgalang ya. Itu ta’ kirim semua neng ngone kang Sukidi. Aku malah ga ngambil. Misalnya

aku beli lagi ta’ kliping ndak ada. Harusnya disimpen itu, menyesal juga. Ada foto waktu aku,

menteri pertanian dateng ya, sampai ke sawahku sana, itu banyak foto tapi ga mikir sampai

kesitu. Sibuk ngolek pangan ya, ga pernah megang buku-buku itu jadi kayak barang ga

berarti. Baru sekarang, kenapa ga di simpen. Padahal papa waktu sebelum kebakaran itu ya,

dia dah mikir loh mau ditaruh di museum padang itu semua. Tapi mungkin yang dukung yang

bawa, ayo pak sekarang atau gimana gitu ga ada ya. Dan bapak itu yang mau dimintain tolong

koyo di Tongar ni siapa. Kecuali ada anak yang berpendidikan itu ya mungkin, tapi bapakku

kan nyeluk ... ke pekanbaru ... opo-opo piye, ya ga pernah mau ini. Kan untuk itu bagus kan

ditaruh di museum jadi kalo ada ini. Sekarang itu habis. Dia udah ngomong, aku iki jan’e iki

dikek’e museum apik loh. Belum kesampaian, terus kobong omahe, buku yang setebel-tebel

Page 27: Interview with mrs: Haryanti Hardjo (daughter of Salikin Mardi

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

ini, bahasa belanda, bahasa inggris, banyak sekali. Seginilah lemari khusus dokumen-

dokumen.

Nama lengkap Haryanti Hardjo, suami Budiman. Lahirnya tahun 52, tempat lahir Jogja,

pekerjaan tani. Anak Rina Eka Priana, Adeani, Andi Lesmana, Lidya Oktarina. Rina tanggal 9

juni.

(2:20)

Martini kelahiran Suriname, Rosini kelahiran Suriname, Subandrio kelahiran Simpang Empat,

Haryanti di Tongar, Arni di Tongar, Gunawan di Tongar, Bibisono di Tongar, Lilis Suwarni.

Pekerjaan Martini wiraswasta, Rosini ibu rumah tangga, Subandrio wiraswasta, Haryanti ibu

rumah tangga, Arni ibu rumah tangga, Gunawan punya kebun sawit, tani, Bibisono

wiraswasta punya percetakan di Medan di Tanjung Sari, Lilis Suwarni ibu rumah tangga.

Salikin Mardi Hardjo, Madiun. Warni, Suriname. Kakek dari mama Wirojoyo, nenek

Kaminah, dari Bapak Dulhardjo. Dia ngga ikut ke Indonesia. Dia berat anaknya satu lagi adik

kakak, Samingun jenenge, sudah ga ada, pindah ke belanda, tinggal istrinya sekarang.

Bapaknya pak Budiman Rasidi, pensiunan CPM anak purnanirawan. Ceritanya dia beli rumah

punya pak ponco, tetangga sama mama, deket gitu. Kayak sini sama situ. Dia beli pas waktu

aku pulang dari Pekanbaru, janda kan dah punya anak 2 itu kenalnya. Dia tinggal di Lubuk

Sekaping. Dia lahirnya di Jogja, besarnya di Solo. Solo di oper ke Bukittinggi dari Bukit

tinggi terus Lubuk Sikaping terakhir tinggal disini.

Bapaknya bapak asli Jogja, Ibunya Ngatini, Solo.

Jadi aku dari lahir selalu di Tongar belum pernah pindah kemana-mana, cuman ke Jakarta itu

kan urusan desa. 3 tahun, tahun 68-70, ikut kakak. Setelah itu tinggal di Tongar. Sekolah

sampai kelas 4. Sampai sini disekolahkan lagi sama mama, malu. Masuk kelas 4 lagi. Dari

sini niat 5, tapi sampai sana ga bisa ngikutin pelajaran turun lagi di kelas 4.

Kakak-kakakku ibu ada yang orang yang Suriname, kak Rosi ini sama orang Suriname, mas

Amir itu adik dari istri pak Teguh. Kak Martini, orang Jawa. Dulu, kadang-kadang di jodohin,

misalnya dateng mamanya kan, ini anakmu karo anakku wae yo, tanggal sekian tunangan

gitu. Kalo kak Rosi sama mas Amir malah melalui foto aja, iki wong’e gelem opo ra gelem ya

udah langsung. Masih kelas 2 itu mau ujian kelas 3, dipaksa suruh kawin kalo ga mau diusir.

Awet sampai meninggal