insight - asosiasi gula...

35
sugar I N S I G H T PRODUKSI GULA 2013 LESU ERA BARU ASOSIASI GULA INDONESIA REVITALISASI INDUSTRI GULA EDISI PERDANA Rp. 38.000,-

Upload: lecong

Post on 24-Jul-2019

238 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

sugari n s i g h t

Produksi Gula 2013

lesu

era Baruasosiasi

Gula indonesia

revitalisasi industri gula

edisi perdana

rp. 38.000,-

Page 2: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang
Page 3: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

2 sugar insight | Desember 2013 3sugar insight | Desember 2013

daftar isi

Etalasesunsweet Brown sugar

raja Gula, siap Menembus pasar ritel

Kilas iltekpTpn Xi adopasi Teknologi pembibitan Tebu dari Kolumbia

Gula Tebu Cair penetrasi solo

pemkab Banjarnegara Galakkan Tanam Tebu

Limbah Tebu Tingkatkan produksi Gula

5

39

42 48 58 62

36 28

8

12

6

OrasiMembalik arus Guremisasi petani dan pertanian

CerobongGMp: Optimis Menatap industri Gula

Mungkinkah sinergitas pabrik Gula Tebu dengan rafinasi? ... Hal 52

pabrik Gula Blora:ayuk…nandur Tebu ... Hal 54

sosokBambang sugiharto, penemu Tebu Transgenik HOBi saYa BeKerJa dan BeLaJar

Jalan-jalanMuseum Gula, Klaten:saKsi BisU KeJaYaan GULa nasiOnaL

dialogera Baruasosiasi Gula indonesia

risetsepatutnya riset Gula diberdayakan

Menuju Varietas Tebu spektakuler ... Hal 30

sumber Benih Tebu dengan Teknik Kultur Jaringan ... Hal 34

Opiniindustri Gula, Hendak dibawa ke Mana?

Konspirasi Kemakmuran Gula ... Hal 40

Ekonomiproduksi Gula 2013 Lesu

Ketika Bioetanol Menjadi Kewajiban ... Hal 46

industri gula indonesia masih tak jelas kemana arahnya. swasembada gula yang telah dicanangkan tak kunjung terwujud. swasembada hanya sekadar wacana dari roadmap. Kapan akan berjaya di tanah sendiri jika jalan pintas impor lebih diutamakan.

fokus

sWaseMBada gula riWaYatMu Kini

stop pembangunan stand alone refinery

Factory ... Hal 18

Quo Vadis revitalisasi pabrik Gula ... Hal 22

Kesejahteraan petani Tercekik di negeri

sendiri... Hal 25

Page 4: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

4 sugar insight | Desember 2013 5sugar insight | Desember 2013

Dewan Penasehat : adi prasOnGKO, rUdi CH BasaraH, KUsUMandarU ns

Pemimpin Umum : TiTO pranOLO

Redaksi senior : aCHMad WidJaJa, HUsein saWiT, adiG sUWandi, aLi sUsMiadi, Yadi YUsriadi

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: aGUs sUpriOnO

staff Redaksi : CiCi Wardini, UnTUnG praseTYO, nandia GUsTini, iLFan aKBar, M. iQBaL

Desainer grafis :dHOni nUrCaHYO

sekretaris : KarTini

Produksi dan sirkulasi :soekoharjo dan Mukimin

Keuangan :MasKHUrO dan Trisna MaULina

Penerbit: asOsiasi GULa indOnesia (aGi)apartemen The Boulevard Lt. UG C-1Jl. KH. Fakhrudin no. 5 Jakarta pusat 10250Telp/ Fax (021) 31991482 . email: [email protected]

rekening : no. 1210090012109 Bank Mandiri Cab. Jakarta Fakhrudin a.n asosiasi Gula indonesia

EditOrial EtalasE

Perusahaan BUMN yang bergerak di bidang Agro Industri, Farmasi dan Alat

Kesehatan dan Perdagangan & Distribusi, pada Juli lalu meluncurkan produk gula kemasan dengan nama Raja Gula. Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Ismed Hasan Putro mengatakan bahwa kebutuhan akan gula jenis premium semakin meningkat seiring dengan konsumen kelas menengah,

Salah satu produk gula yang berasal dari Afrika Selatan dan mungkin tidak asing lagi bagi

warga masyarakatnya adalah Hullets. Berdiri sejak tahun 1982, Hullets merupakan bagian dari perindustrian negara yang tidak terelakan dari kehidupan Afrika Selatan. Dengan pendapatan per kapita yang saat ini diperoleh konsumen, mereka setidaknya menginginkan kenyamanan dalam pengeluaran dengan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Hal inilah yang hingga saat ini menjadikan Hullets memiliki posisi konsisten sebagai produk gula nomor wahid di Afrika Selatan. Kualitas Hullets juga mendapatkan

mereka lebih memilih mengonsumsi gula yang incumsanya dibawah 100%. Oleh karena itu, gula kemasan ini berjenis gula premium.

Pada tahun ini RNI akan memperbesar pangsa pasar penjualan gula dalam bentuk sachet dan kiloan. RNI telah telah bekerjasama dengan Alfamart serta Giant untuk menunjang distribusi pasar retail hingga pasar modern yang akan menjual Raja Gula sachet. Disamping itu, RNI

juga menjualnya di outlet khusus milik sendiri yaitu Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali. RNI akan menjual produk Raja Gula dengan 7 varian kemasan, yaitu seperempat kg, setengah kg, 1 kg, 5 kg, 25 kg, dan 50 kg. Ismed juga mengatakan, pihaknya memperkecil penjualan gula dalam bentuk bulk. Sehingga, dari 170 ribu ton produksi gula di pabrik milik RNI tahun ini, sebanyak 140 ribu ton akan dijual dalam bentuk kemasan dan kiloan, sedangkan sisanya masih dapat dijual dalam bentuk bulk.

PT RNI melalui anak perusahaannya PT Rajawali Nusindo dapat melakukan distribusi ke seluruh penjuru Indonesia dengan 42 cabang yang dimiliki. Bahkan sampai saat ini, diperkuat dengan kepemilikan jaringan ritel yaitu Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali serta dukungan mitra ritel nasional lainnya. Penjualan produk baru Raja Gula kemasan dapat diharapkan dapat menembus pasar ritel sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.

sumber: www.rni.co.id

akreditasi yang baik dengan Sertikasi ISO 9001:2008.

Dipasaran, Hullets dianggap memliki produk gula yang memuaskan

serta inovasi yang beragam. Produk tradisional Hullets ini berupa white sugar dan brown sugar dengan berbagai produk eceran seperti sirup, icing, bahkan untuk kebutuhan catering dan industri. Sebagai perusahaan yang sehat dan terus melakukan inovasi, baru-baru ini Hullets mengeluarkan

produk brown sugar dengan nama 8kg SunSweet Brown Sugar. Ini

sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat Afrika Selatan akan

produk Hullets dengan konsep easy-carry pack. l

sumber: http://www.hulettssugar.co.za

SunSweet Brown Sugar

KeBimBangan arah gula naSional

raja gula, Siap menemBuS paSar ritel

ersoalan klasik dalam pergulaan nasional yang terus mencuat ke permukaan semakin menenggelamkan semangat swasembada gula Indonesia. Betapa tidak, rencana swasembada gula nasional masih saja mandeg di sebuah persimpangan antara

kesejahteraan petani tebu dengan impor gula rafinasi. Sejarah telah mancatat, sekitar tahun 1930-an Indonesia

mampu menjadi produsen gula terbesar dan menjadi eksportir gula unggulan. Namun, apa yang terjadi saat ini sangatlah berbalik 180 derajat. Pergulaan Indonesia dalam kebimbangan. Gula dalam negeri yang dihasilkan dari tebu menemukan kegamangan mulai dari hasil produksi hingga harga yang mempengaruhi kesejahteraan kehidupan petani tebu. Terlepas dari masalah teknis lapangan, sejarah pun menjelaskan bahwa dari masa ke masa, dimulai dari masa penjajahan kolonial Belanda hingga kini, petani tebu selalu berada dalam lingkaran centrum-periphery. Lingkaran yang dilingkupi dengan kekuatan pabrik gula dengan dukungan pemerintah yang mengangkangi kesejahteraan petani.

Alangkah bijaknya apabila pemerintah dan pemangku kepentingan dalam industri gula melihat tebu yang menghasilkan gula bukan saja dari sisi komoditas ekonomi, melainkan lihatlah dari sisi budaya sosio-kultural. Tebu bukan saja sebagai tanaman produksi, namun jauh dari hal itu, tebu adalah bagian dari budaya masyarakat yang menanamnya. Seperti akarnya yang tertanam dalam tanah, akar budaya yang diciptakan oleh tebu telah mendarah daging di kehidupan masyarakatnya.

Satu masalah belum terpecahkan, muncul lagi masalah gula rafinasi yang merembes ke pasar tradisional. Tak hanya merembes, bahkan dalam beberapa kasus gula rafinasi digunakan untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Apakah ini salah PG Rafinasi? Apakah ini salah pengusaha gula rafinasi dan distributor? Atau kembali lagi ini kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan? Pada fase ini kita harus secara cerdas dan gamblang melihat persoalannya. Bukan memfokuskan siapa yang menjadi kambing hitam, namun kita harus bisa berfikir bahwa masalah ini harus segera dipecahkan.

Sejalan dengan aturan dari kementerian pertanian yang akan mengeluarkan SNI untuk gula kristal putih (GKP). Disinilah peran Asosiasi Gula Indonesia (AGI), petani tebu dan pemangku kepentingan bergandengan tangan untuk meningkatkan mutu GKP demi tercapainya gula yang sesuai dengan SNI dan tercapai swasembada gula Indonesia. l

sugari n s i g h t

P

Kami menerima artikel mengenai kelapa sawit. Tulisan yang sesuai

akan kami muat setelah ada persetujuan dari rapat dewan

redaksi. TerimakasihKirimkan ke:

[email protected]

Page 5: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

6 sugar insight | Desember 2013 7sugar insight | Desember 2013

Pemkab Banjarnegara akan memperluas areal tanaman tebu hingga 500 ha. Untuk

menjamin pemasaran tebu, segera diadakan kerjasama dengan PT Industri Gula Nusantara (IGN) Kendal. Bupati Banjarnegara Sutedjo Slamet Utomo mengatakan, luas areal tebu kini mencapai 250 ha, tersebar di Kecamatan Rakit, Punggelan, Susukan, Bawang Purwanegara. “Kami sudah menyiapkan 500 hektare lahan non irigasi teknis atau tidak produktif untuk ditanami tebu,” katanya.

Beberapa hari sebelumnya, bupati Sutedjo beraudiensi dengan jajaran direksi PT IGN Cepiring Kendal. Menurut Bupati Sutedjo, jika kerja sama berjalan lancar, tentu jumlah petani tebu akan terus bertambah. IGN juga memiliki teknologi pupuk organik yang sudah teruji dibidang perkebunan tebu, sehingga teknologi ini bisa di jadikan untuk media pembelajaran bagi petani tebu. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nurudin mengatakan, kerjasama dengan IGN nantinya bukan hanya penambahan baku tebu namun juga peningkatan kualitas pupuk non organik. Menurutnya, setiap satu hektar lahan di Banjarnegara mampu menghasilkan 100 ton tebu siap giling. l

www.KRjogja.com

hingga tujuh tahun untuk itu,” ucap Direktur PT GEN, Joko Budi Waryono saat perkenalan produk gula tanpa merek ini di Cees Resto, September lalu. Gula produksi Semarang ini telah mengantungi sertifikat halal dan izin dari Dinas Kesehatan. Dikemas dengan berbagai ukuran, produk ini bakal membidik dua segmen pasar, yakni ritel dan industri. Untuk pasar ritel, produk ini akan dipenetrasikan lewat jaringan mini market. “Gula ini baru dipasarkan di Solo lewat jaringan Atria. Di kota lain akan segera tersedia, setelah kerja sama dengan beberapa ritel,” ungkap dia.

Di sisi pasar industri, Joko telah membidik salah satu produsen mi instan dan produsen kecap untuk menjadi suplier. Penggunaan gula cair, terutama di kalangan industri akan sangat praktis dan efisien dibanding gula kristal. Sebab gula kristal pada akhirnya akan dicairkan saat digunakan. Dengan menggunakan gula tebu cair, proses pelarutan gula tidak perlu dilakukan. l

www.suaramerdeka.com

Kilas iltEK

Salah satu penyebab turunnya produktivitas dan rendemen tebu ialah alih fungsi lahan

dan menurunnya kesuburan tanah. Ditambah lagi, kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang No.12 tahun 1996 memperparah kondisi industri gula Indonesia. Gula berkualitas tinggi ialah gula rafinasi karena telah melalui proses penyulingan, penyaringan, dan proses pembersihan. Namun, teknologi untuk menghasilkan gula rafinasi belum banyak berkembang di Indonesia.

Dari persoalan itu, dua mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) mencoba melahirkan solusi dengan menggunakan limbah pertanian. Mereka adalah Bayu Irianto dan Prisca Sari Paramudhita.

Limbah pertanian bisa dimanfaatkan untuk mengembangbiakkan mikroba simbion yang berasal dari organisme laut. Mikroba ini bisa mendegradasi subtrat limbah pertanian khususnya limbah tebu yang menghasilkan gula dengan derajat kemurnian tinggi.

Dalam tulisannya, mereka memaparkan proses hidrolisis enzim selulosa menggunakan mikroba simbion tergolong cepat dan efisien karena dilakukan melalui proses kimiawi. Mikroba laut merupakan salah satu agen pendekomposisi yang baik karena memiliki daya saing yang tinggi. Penggunaan teknologi mikroba laut simbion untuk menghasilkan gula berafinasi tinggi memiliki beberapa keunggulan. Mulai dari sifatnya yang ramah lingkungan, relatif mudah didapat, biaya produksi lebih rendah di banding teknologi konvensional, dan dapat menghasilkan gula pada suhu rendah.

Keduanya berpendapat, suhu merupakan salah satu titik kritis dalam produksi gula. Suhu yang terlalu tinggi dapat membuatnya meleleh dan menurunkan kualitas. Pengembangan teknologi gula berafinasi tinggi berbasis limbah pertanian diharapkan dapat terlaksana dengan memanfaatkan kerjasama dari Kementerian Pertanian, ilmuwan, dan industri gula di Indonesia sehingga dapat mewujudkan swasembada gula nasional. l www.okezone.com

limBah teBu tingKatKan produKSi gula

ptpn Xi adopaSi teKnologi pemBiBitan teBu dari KolumBia

pemKaB Banjarnegara galaKKan tanam teBu

gula teBu Cair penetraSi Solo

Produsen gula nasional PT Perkebunan Nusantara XI mengadopsi teknologi

pembibitan tebu dari Kolumbia dengan model “single bud planting” atau penanaman tunas tunggal untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi penggunaan bibit. General Manager Penelitian dan Pengembangan Usaha PTPN XI Adig Suwandi mengemukakan selain lebih efisien, jenjang pembibitan model single bud planting (SBP) dapat diakselerasi dari empat tahun menjadi hanya 1-2 tahun, atau lebih cepat dibanding pola konvensional berjenjang. “Model ini juga sangat tepat diterapkan untuk menyiasati keterbatasan lahan tebu yang cenderung menyusut luasnya setiap tahun.

Melalui model ini, penangkaran bibit bisa lebih meningkat dari hanya delapan menjadi 25,” katanya. Artinya, lanjut Adig, bila cara pembibitan konvensional satu hektare kebun bibit hanya menghasilkan bibit untuk 5 hektare areal tebu giling tertanam, dengan model SBP dapat dihasilkan bibit untuk kebutuhan 25 hektare areal tebu. “Dari sisi waktu juga lebih cepat,

dimana lama pembibitan model SBP dapat dipersingkat dari enam bulan menjadi hanya dua hingga 2,5 bulan. Uji coba model SBP telah dilakukan PTPN XI pada 2012 dengan hasil sangat meyakinkan,” tambahnya.

Adig menambahkan PTPN XI sebagai salah satu produsen gula nasional terus berupaya meningkatkan produktivitas pada semua lini kegiatan, termasuk melalui tersedianya bibit unggul sebagai kunci utama meningkatkan produktivitas. Dari areal tebu giling musim 2013/2014 yang diusahakan PTPN XI seluas 74.390 hektare, di dalamnya terdapat tanaman baru pada lahan 8.345 hektare dan sebagian di antaranya telah menggunakan bibit SBP yang secara khusus dialokasikan untuk tanaman bulan Mei-September 2013.

Sejauh ini, tambah Adig, penyediaan SBP merupakan cara penyiapan bahan tanam yang diambilkan dari mata tunas untuk disemaikan selama dua minggu dan selanjutnya dipindahkan ke “pot tray” selama dua bulan yang dilakukan masing-masing pabrik gula. l

www.antaranews.com

Produk gula tebu cair pertama diperkenalkan di Indonesia. Solo menjadi target pertama

pemasaran produk yang dihasilkan PT Gula Energi Nusantara (GEN) ini. Produk gula cair sebenarnya sudah ada di pasaran sejak beberapa tahun terakhir. Namun, gula cair tersebut bukan berasal dari tebu, melainkan dari jagung dan singkong.

“Ini merupakan gula tebu cair yang pertama di Indonesia. Teknologi mesin untuk proses produksi kami kembangkan sendiri. Makan waktu

Page 6: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

8 sugar insight | Desember 2013 9sugar insight | Desember 2013

ejak Indonesia menganut kebijakan ekonomi dan secara praktis terintegrasi

ke dalam kapitalisme global, berbagai aturan tentang perdagangan merujuk ke sana. Tarik ulur antara keberpihakan kepada ekonomi domestik dengan daya saing terseok-seok atau mengambil peran bermitra dengan negara-negara lain untuk mendatangkan produk impor dengan harga jauh lebih murah dan mutu lebih baik seringkali membuat bingung para pengambil kebijakan. Sikap pragmatis dan terjebak kepentingan sesaat dengan alasan terdesak situasi akhirnya menjadi pilihan, tidak peduli korban berjatuhan terus bertambah.

Gula menjadi komoditas pangan dengan tarik ulur tidak terlalu mudah bagi pemuasan publik. Ketika dihadapkan pada harga, posisi negara berada di ujung tanduk dilema. Harga ekstrim tinggi membuat konsumen berteriak, khususnya industri kecil dan kegiatan penglahan pangan kelas rumah tangga pengguna untuk keperluan bahan baku. Sebaliknya bila harga jatuh terpelanting, petani tebu dan pabrik gula (PG) menderita.

Petani melancarkan protes dan pasti menuding negara tidak berpihak. Keberadaan petani selaku pemasok bahan baku PG mengharuskan setiap kebijakan terkait gula perlu mendengar suara mereka. Kealpaan negara menimbang suara petani bisa berakibat fatal. Bukan saja reputasi dan kredibilitas pemerintah terancam turun, tetapi juga gerakan pasif hengkang dari tanama tebu pastilah memberikan sinyal buruk bagi swasembada dan kemandirian panaan.

Pembenahan InternalPersoalan gula sendiri sudah terlalu kompleks. Secara internal, sebagian besar PG, terutama di Jawa merupakan warisan kolonial. Setelah beberapa PG dibekuoperasikan pada awal abad ini, sebagian memang sudah lolos hingga kapasitas terpasang secara bertahap meningkat sejalan bertamahnya bahan baku dari petani dan kecerdasan manajemen mengelola lingkungan. Sebut saja beberapa PG berkapasitas 1.200-1.500 ton tebu sdehari (tth) yang kini sudah merangkak naik menuju 3.000-3.500 tth. Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata

OPini

induStri gula, hendaK diBawa Ke mana?

s

masih terdapatnya sejumlah PG mengalami kesulitan beroperasi dengan baik akibat minimnya tebu. Tidak mengherankan kalau manajemen perusahaan mengalihkan sebagian tebu di kawasan tertentu demi menjaga kelangsungan hidup PG minus bahan baku meskipun secara ekonomi sebenarnya lebih feasible kalau PG terdekat ditingkatkan kapasitasnya.

Sampai saat ini kinerja teknis sejumlah PG juga belum terlalu baik, setidaknya dilihat overall recovery yang jauh dari angka standar internasional. Penggantian mesin dan peralatan secara berkala sudah dilakukan dengan investasi tidak kecil agar kondisi optimal pabrik tua dapat dikembalikan, tetapi hasil belum sebagaimana diharapkan. Terjadi

tarik ulur apakah rendahnya efisiensi pabrik membuat petani kekurangan stamina menanam tebu ataukah akibat tebu petani bermutu apa adanya efisiensi PG sulit diungkit. Tebu kotor, tidak ditebang saat kemasakan optimal, dan diangkut pada kondisi tidak segar merupakan rentetan persoalan klasik yang tidak kunjung usai. Efisiensi pabrik menjadi faktor kunci, dari sinilah semua material mengandung gula diproses dalam good manufacturing practices.

Perbaikan internal pada level kebun terus dilakukan meskipun hasilnya juga belum terlalu sempurna. Penataan varietas berjalan simultan mengikuti komitmen petani untuk mendapatkan manfaat ekonomi lebih. Selama produktivitas masih di bawah 8,5 ton gula per hektar, memang harga

Adig SuwandiRedaktur Senior

Sugar Insight

Page 7: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

10 sugar insight | Desember 2013 11sugar insight | Desember 2013

OPinipokok produksi (unit cost) gula pada level petani belum dapat mengimbangi eskalasi biaya produksi. Kenaikan nilai sewa lahan, harga bibit, agroinputs, upah tenaga kerja, panen, dan transportasi sering berjalan lebih cepat dibanding produktivitas.

Kesadaran petani untuk melaksanakan best agricultural practices pun bertambah setelah mereka tahu bahwa hanya tebu terbaik menghailkan rendemen optimal. Namun pengaturan jadwal tebang-angkut dan panjangnya antrian tebu masuk pada periode tertentu bisa membuat mereka kecewa. Kalkulasi jumlah tebu dan pengaturan tentang pola tebang yang baik hanya terjadi bila pemantauan jumlah tebu dilakukan secara periodik berdasarkan data akurat.

fenomena tersebut, isyarat akumulasi tebu pada periode tertentu tak dapat dihindari. Sebaliknya pada awal giling, petani tidak tertarik menebang tebu dengan alasan klasik rendemen rendah.

Berbagai upaya telah dilakukan manajemen perusahaan gula untuk mengembalikan kepercayaan petani terhadap PG. Langkah-langkah tersebut antara lain mencakup penyediaan dana talangan (bridging financing) selama gula belum terjual, jaminan rendemen minimum sesuai kualitas tebu, dan potongan harga pembelian bibit bagi mereka yang berseda membongkar keprasan lanjut dan menggantinya dengan varietas baru (bongkar ratoon). Persoalan tidak juga selesai mengingat akumulasi semua kegiatan dalam usahatani adalah diperoleh pendapatan dan sisa hasil usaha secara wajar. Tingkat kewajaran bahkan dibandingkan komoditas agribisnis lain kalau ditanam pada lahan sama, apalagi untuk mendapatkan hasil dari tebu diperlukan waktu setahun, sedangkan sejumlah komoditas agribisnis lain hanya 4 bulan. Daya saing menjadi kunci penyelesaian kemelut gula. Kesediaan para stakeholders untuk berperan dan bekerrja dengan kontribusi optimal sesuai peran masing-masing dipertaruhkan di sini.

Kehadiran NegaraKehadiran negara selaku fasilitator dan regulator gula tidak bisa dipungkiri. Melalui kewenangan dimiliki dan komitmen melindungi kaum lemah, negara dapat melakukan tindakan penyelamatan dan pemberdayaan terhadap pelaku ekonomi lokal. Keberpihakan negara bahkan diperlukan dalam suasana ekonomi dualitis dan terpolarisasikan seperti sekarang. Kegagalan negara dalam menjalankan peran keberpihakan bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup dan masa depan industri gula nasional. Pelaku ekonomi, baik terlibat

langsung seperti petani tebu dan pekerja PG maupun komunitas lokal yang selama ini mendapatkan manfaat dari multipler effects, semakin di ujung tanduk ketidakjelasan.

Salah satu bentuk keberpihakan tersebut adalah pengaturan pasar melalui pemilahan segmen secara jelas antara gula rafinasi hanya untuk industri makanan/minuman dan gula lokal dari tebu untuk konsumsi langsung (direct conbsumption). Memang di seluruh dunia, hanya Indonesia yang melakukan separasi dan pembedaan pasar di antara kedua jenis gula. Relevansi pemisahan semata-mata karena basis persaingan di antara keduanya tidak paralel. Gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor dimungkinkan selama masa pengembangan dan berorientasi ekspor mendapatkan fasilitas keringanan bea masuk 0-5 persen.

Tidak menanam tebu selama setahun dengan risiko guncangan agroklimat ada ada genggaman gula rafinasi melegkapi tidak parelelnya persaingan. Sementara gula lokal berbahan baku tebu harus dibudidayakan selama setahun dengan risiko besar, khususnya faktor iklim. Selain itu, bila PG berkeinginan mengoptimalkan kapasitas kemudian mengimpor raw sugar tetap terkena kewajiban membayar bea masuk Rp 550 per kg. Banyak pihak salah kaprah dengan menganggap seolah-olah gula lokal tidak siap bersaing melawan rafinasi di pasar tanpa membaca landscape persaingan secara proporsional.

Industri gula rafinasi seharusnya sudah membangun kebun di sejumlah daerah. Bila lokasi pabrik sekarang sudah tidak sesuai dengan alasan jauh dari kebun, seharusnya direlokasi saja ke dekat kebun yang bakal dibangun. Sayangnya negara sendiri tidak berdaya saat sejumlah perusahaan berkeinginan membangun PG dan meminta lahan tersedia bebas permasalahan dan konflik. Tanpa

pembangunan kebun selama itu pula gula rafinasi terperangkap impor berkepanjangan. Tidak menjadi masalah kalau harga gula dunia murah, tetapi bisa menjadi bumerang begitu terjadi kegagalan panen di sejumlah negara produsen utama yang memicu minimnya stok dan melejitnya harga seperti kedelai sekarang. Belum adanya tanda-tanda kalangan industri gula rafinasi membangun kebun dan kini sudah eksis 11 pabrik berkapasitas terpasang sekitar 5 juta ton, membuat petani tebu semakin galau. Dari total produksi 2,4 juta ton ton saja sudah memantik kekecewaan petani, apa jadinya kalau kapasitas terpasang tersebut terpenuhi.

Murahnya harga raw sugar dunia dan besarnya pasar di Indonesia menjadikan investasi terkait industri gula rafinasi tak pernah surut. Selama investasi memberikan keuntungan besar, rasanya apa pun bakal ditempuh investor. Ekspansi pabrik memang diperlukan guna mengimbangi permintaan produk oleh kalangan industri makanan./minuman yang berkembang pesat, namun kalau pembiaran rembesannya ke pasar terus terjadi, komitmen negara terkait perlindungan petani dan PG lokal patut dipertanyakan. Pertanyaan selanjutnya, hendak dibawa ke mana industri gula kita?

Tampaknya pengaturan oleh negara menuju harmoninasi kepentingan di antara berbagai stakeholders sedang digugat. Penguatan basis produksi gula dalam negeri menjadi keharusan sejalan meningkatnya jumlah penduduk dan makin beragamnya menu makanan masyarakat yang memerlukan, aik untuk pemanis berkalori maupun bahan baku. Tanpa upaya konkret, liberalisasi perdagangan dipastikan menggilas kekuatan petani tebu dan PG. Dalam konteks kemandirian pangan, bagaimana pun juga kepentingan nasional harus berada di atas segala-galanya. l

Sayangnya para petani seringkali terlalu memaksa bahwa tebu harus ditebang pada periode Juli-September meski dari sisi kemasakan belum terpenuhi. Keinginan petani sangat mudah ditebak. Mereka beranggapan bahwa rendemen tertinggi terjadi pada periode tersebut dan Oktober adalah hujan normal mulai mengguyur. Kreativitas PG untuk mengubah kurva rendemen melalui perbaikan budidaya menjadi krusial. Rendemen efektif bukanlah fungsi perode giling, tetapi kombinasi antara kemasakan, kualitas tebu, pola tebang, dan efisiensi pabrik. Selama PG belum berkemampuan meyakinkan petani akan terjadinya

Daya saing menjadi kunci penyelesaian kemelut gula.

Kesediaan para stakeholders untuk berperan dan bekerrja

dengan kontribusi optimal sesuai peran masing-masing

dipertaruhkan di sini.

Page 8: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

12 sugar insight | Desember 2013 13sugar insight | Desember 2013

fOKus

Oleh: Cici Wardini

industri gula indonesia masih tak jelas kemana arahnya. swasembada gula yang telah dicanangkan tak kunjung terwujud. swasembada hanya sekadar wacana dari roadmap. Kapan akan berjaya di tanah sendiri jika jalan pintas impor lebih diutamakan.

arget kemandirian gula nasional sebenarnya sudah digaungkan sejak tahun

2002, namun gaung itu ternyata tak bertaji. Tak kurang satu dasawarsa lebih ternyata pemerintah tak mampu merealiasikan targetnya. Pertanyaannya kemudian, mengapa kita tidak berdaya dengan target swasembada? Apa yang menjadi akar masalah? Dua persoalan utama yang sering dianggap sebagai hambatan tak mulusnya swasembada adalah kebutuhan lahan seluas 350 ribu ha yang sulit diperoleh (ekstensifikasi) dan Sebagian besar Pabrik Gula (PG) yang kondisinya tak lagi segar. Seperti yang dikatakan Rusman Heriawan, Wakil Menteri Pertanian, dalam satu kesempatan pernah menyebutkan jika kendala tak mulusnya swasembada gula lebih pada dua permasalahan tersebut.

“Produksi dan problem kita perlu lahan 350 ribu ha kan tidak mudah juga,” kata Rusman. Senada dengan wakilnya, Suswono, Menteri Pertanian, juga menyebutkan faktor pendukung pencapaian swasembada tidak terpenuhi diantaranya bersumber dari persiapan lahan seluas 350 ribu ha yang tak terealisasi, belum lagi pembangunan PG baru dan revitalisasi PG yang tak kunjung tercapai.

t

sWaseMBada gula riWaYatMu Kini

Page 9: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

14 sugar insight | Desember 2013

ini seharusnya lebih dilihat aspek kebijakannya. Agus Pakpahan, Ketua Badan Eksekutif Gapperindo menilai harus ada konsistensi kebijakan jangka panjang bagi pergulaan nasional. Tak hanya itu, sebagai wujud konsistensi tersebut perlu dibangun institusi “sedia payung sebelum hujan”. Bukan tanpa alasan mengapa Agus mengusulkan antisipasi kebijakan ini. Menurutnya, berdasarkan perkiraan Bank Dunia tahun 2025, harga komoditas seperti sawit dan gula akan menunjukkan tren harga yang terus turun.

Untuk itu, antisipasi yang harus segera dilakukan pemerintah adalah serius tangani nilai tambah dari satu komoditas. “Industrialisasi itu diciptakan. Makna industrialisasi meningkatkan permintaan pasar

Services Business & Finance Manager PT Gunung Madu Plantation menyebutkan perlu pembenahan baik secara intensifikasi dan ekstensifikasi. “Belum ada yang bisa 8 ton per ha di Indonesia maka intensifikasi harus lebih digetolkan. Langkah ekstensifikasi juga tidak ada komitmen yang jelas (dari pemerintah-red),” kata Gunamarwan.

Suara lain juga didengungkan oleh Direktur PTPN IX, Adi Prasongko. Ia menilai setidaknya ada dua hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pertama adalah kebijakan tata niaga gula yang semestinya harus menjadi satu. Selama ini menurut Adi kebijakan raw sugar untuk industri gula rafinasi ditangani oleh Kementerian Perindustrian, sementara untuk Gula Kristal Putih alias GKP diurusi oleh

fOKusSuswono kemudian menegaskan

bahwa Kementerian Pertanian akan mengevaluasi dan memfokuskan pada pemenuhan konsumsi rumah tangga. Seperti diketahui, di Indonesia sendiri pemahaman swasembada gula dikatakan sudah berhasil apabila pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga sudah terpenuhi. Pengertian ini sebenarnya masih menimbulkan kerancuan, seperti yang dikatakan Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Aris Toharisman. Ia berpendapat bahwa swasembada dalam pengertian terbaru adalah memenuhi semua kebutuhan. “Tetapi kan orang kadang cari celah, kalau untuk konsumsi langsung sudah terpenuhi maka sudah swasembada atau 90% sudah swasembada,” ujar Aris.

Ditemui saat acara Musyawarah Nasional Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia, (Gapperindo) Suswono juga sempat mengingatkan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI agar ikut mengawasi keberhasilan swasembada. Ia juga menceritakan pengalamannya berkunjung ke PG untuk mengatahui permasalahan di lapangan. “Rendemen 8 itu hak petani. Ini kenapa tidak tercapai? Padahal ada APTRI?” tuding Suswono. Ia kemudian memberi benang merah terkait jatuhnya rendemen tebu rakyat.

Menurutnya, rendemen menjadi rendah akibat tiga hal seperti persoalan pabrik yang tidak efisien, PG yang disinyalir berbuat curang dan tak jujur, dan masalah dari tanaman tebu itu sendiri. “Saya kemudian kasih Rp10 juta untuk ditongkrongin ternyata setelah satu minggu berjalan rendemen naik menjadi 7,” tandas Suswono. Ia lanjut mengatakan bahwa masalah lebih pada faktor manusia yang berbuat curang. “Padahal ada APTRI,” ujarnya lagi.

Namun, berdasarkan pantauan sejumlah pengamat, persoalan tak selesainya kemandirian gula nasional

bahan baku yang satu menjadi banyak sehingga petani dihadapkan pada banyak harga,” ujar Agus. Upaya yang lainnya menurut Agus adalah kontrak melalui pasar yang modern. “Kita harus menjamin harga sekarang misalnya lima tahun ke depan, harus ada kontrak delivery untuk hedging,” tandasnya.

Sementara poin terakhir lanjut Agus adalah perlu diciptakan pasar asuransi. Ia menyayangkan pemerintah tidak mencontoh Brazil yang sukses dengan bioethanolnya. Menurutnya, Brazil bisa berhasil tidak lepas dari kebijakan pemerintahnya yang konsisten tak kurang dari 40 tahun.

Membenahi persoalan gula di Indonesia memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Dari sisi pengusaha, Gunamarwan,

Kementerian Pertanian. “Belum sinkron, kayaknya dari dulu seperti itu,” kata Adi.

Pekerjaan rumah lainnya adalah komitmen perusahaan rafinasi yang mempunyai kewajiban bangun kebun menurut Adi harus ada batas waktunya. Jika tidak pemerintah harus tegas mencabut izinnya. Saat ini berdasarkan pantauan Sugar Insight sendiri, memang belum ada PG rafinasi yang melunasi janjinya untuk membangun kebun. “Dikasih bea masuk yang rendah dan diberi fasilitas yang sudah baik itu ya harus konsisten dengan membangun kebun. Ini kan sudah bertahun-tahun tetapi belum terealisasi juga,” gusar Adi.

Persoalan belum adanya PG rafinasi yang akan membangun kebun juga ikut dikritisi oleh Aris

“Industrialisasi itu diciptakan. Makna industrialisasi meningkatkan permintaan pasar bahan baku yang satu menjadi banyak sehingga petani dihadapkan pada banyak harga.”

15sugar insight | Desember 2013

Page 10: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

16 sugar insight | Desember 2013 17sugar insight | Desember 2013

Toharisman. Ia memberi contoh bagi PG yang idle dan dipersilahkan untuk mengolah raw sugar. Pertanyaannya kemudian adalah berapa lama PG ini akan mengolah raw sugar dan berapa tahun sebuah PG bisa membangun kebun. Raw sugar saja yang dijalankan dan tidak kembangkan tebu mau sampai kapan kita akan swasembada?,” tanya Aris.

Dari sisi petani, ada pandangan ektrim lain yang diutarakan Arum Sabil, Ketua Umum APTRI. Ia menilai gula tahun ini dan seterusnya bagi petani tebu sudah diambang kehancuran. Bukan tanpa alasan Arum mengungkapkan kekecewaannya, sebab Ia menilai kebutuhan konsumsi langsung sudah di angka surplus. Sementara untuk industri makanan dan minuman seharusnya hanya 2,1 juta ton. Ia menyayangkan pemerintah terus member izin impor raw sugar hingga mencapai angka 3,5 juta ton.

“Ini seolah-olah ada institusi yang melegitimasi kalau pasokan gula kita kurang. BPS, Sucofindo, Surveyor Indonesia itu lembaga yang menjadi legitimasi pemerintah mengatakan bahwa kebutuhan gula kita masih harus dipenuhi dari impor,” kecam Arum.

Terkait Road Map yang membutuhkan tak kurang dari 558 ribu ha lahan untuk tebu, Arum punya jawaban sendiri. Dari 451 ribu ha perkebunan tebu menurut Arum, pemerintah bisa menambah 300 ribu ha dengan cara membagi ke masing-masing PG. Jika dihitung, apabila produksi rata-rata tebu per hektar ditingkatkan 100 ton tebu per/ha maka akan didapatkan tebu sebanyak 75 juta ton dari hasil luasan yang sudah ditambah. Dukungan lain yakni dari rendemen yang ditingkatkan menjadi 10% dari rendemen 8 maka dengan usaha revitalisasi pabrik dan tanaman tebu akan dihasilkan 7,5 juta ton gula.

“Pemerintah harus serius menangani revitalisasi tanaman dan

pabrik paling lama lima tahun dari sekarang. Maka kita bisa menjadi eksportir,” tandas Arum. Persoalan revitalisasi tanaman tebu, kata Arum, tidak boleh tidak berhadapan dengan tebu transgenik yang tahan kekeringan.

“Ketika iklim berubah dan debit air berkurag karena hutan sudah berkurang, kita tidak bisa kita tangguhkan lagi tebu transgenik. Jagung dan kedelai yang kita makan (sudah) transgenik,” pungkasnya.

Tak hanya itu, seyogyanya jelas Arum, pemerintah juga harus mengutamakan riset dan sumber daya manusia. Ini kata Arum, agar peneliti tak lari dari Indonesia maka penghasilan peneliti juga harus menjadi catatan. “Sungguh tidak manusiasi dengan kelimuwan yang dimiliki jika melihat gaji peneliti saat ini,” kata Arum.

Arum juga menyayangkan hitung-hitungan ini seperti tak dianggap oleh pemerintah. Ia menilai semakin banyak impor tentu semakin banyak yang menikmati. Jika petani bisa memenuhi kebutuhan nasional tentu impor akan berkurang dan berimbas pada “cipratan keuntungan” yang berkurang bagi segelintir oknum pemerintah.

“Salah kah saya bilang imposible akan ada swasembada gula, karena akan terus diciptakan petani ini tidak berdaya sehingga impor akan terus bisa dilakukan. Swasembada hanya pemanis di bibir jika memang tidak niat untuk dilakukan,” kata Arum gusar.

Persoalan swasembada gula memang sudah diujung tanduk. Hanya saja menurut Aris hingga detik ini swasembada baru sebatas di atas kertas. “Kapan akan swasembada? Mungkin 20 tahun lagi baru bisa, sampai rezim kepemimpinan berubah dan kebijakan sudah tidak bisa lagi dibeli mungkin kita bisa berswasembada gula,” ujar Aris menegaskan. l

fOKus

Page 11: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

18 sugar insight | Desember 2013 19sugar insight | Desember 2013

fOKuseputaran pertengahan September lalu di ruas jalan tepat di depan Kementerian

Perdagangan tidak bisa dilalui karena dipenuhi oleh pendemo yang berasal dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Mereka berdemo mengenai marak beredarnya Gula Kristal Rafinasi (GKR) ke pasaran rumah tangga yang seharusnya hanya boleh di isi oleh Gula Kristal Putih (GKP) yang berasal dari tebu. Petani Tebu merasa dirugikan karena harga tebu mereka turun karena kehadiran gula rafinasi, padahal mereka sedang panen raya. Kasus lain terkait rembesan gula rafinasi adalah tutupnya pabrik gula PTPN 14 di Sulawesi Selatan karena tidak dapat bersaing dengan gula rafinasi. Tutupnya pabrik tersebut kembali membuat petani tebu tidak bisa mengolah hasil panennya.

Terkait kebocoran gula rafinasi, Yamin Rahman selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mengatakan bahwa terdapat kemungkinan rembesan tersebut berasal dari distributor yang khusus menjual kepada industri kecil. Menurutnya kemungkinan itu bisa terjadi dilihat dari pengaturan penjualan gula rafinasi terangkum dalam surat edaran Kementerian Perdagangan No.111/ tahun 2009 yang membedakan penjualan gula rafinasi untuk industri besar dan menengah secara langsung sedangkan industri kecil melalui distributor. “Kami semua rata-rata hampir 80-90 % menjualnya direct ,” ujar Yamin.

Selain itu, menurutnya GKR yang ditemukan bocor di pasaran rumah tangga tidak berasal dari pabrik gula rafinasi di Indonesia, tetapi berasal dari gula eks impor, gula selundupan, dan gula dari lampung. Ditambah lagi terdapat kemungkinan pemalsuan terhadap karung-karung dari pabrik rafinasi yang temukan pada saat penyusuran kebocoran gula rafinasi. “banyak karung kita di jual dan banyak orang memasukannya di situ,” ujarnya.

Sedangkan, menurut, Tito Pranolo, Ketua Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mengatakan bahwa di pasar gula Indonesia yang terbagi dua memiliki konsumen yang abu-abu, seperti di restauran, warung, dan industri rumah tangga. Konsumen abu-abu tersebut dapat menggunakan GKR dan GKP . “Sebagian itu pasar yang bisa diisi dua-duanya,” ujarnya.

Menanggapi kebocoran ini pihak pemerintah mengatakan bahwa pihaknya sudah berhati-hati dalam menghitung kebutuhan gula rafinasi. Kehati-hatian tersebut di lakukan Pemerintah dengan selalu meninjau berbagai data road map kebutuhan gula rafinasi dan data realisasi penyaluran dari AGRI serta meminta masukan dari gabungan industri makanan dan minuman (GAPMI) terkait kebutuhan gula rafinasi. Selain itu ketika pabrik gula rafinasi mendapat rekomendasi melakukan impor raw sugar dari Kementerian Perdagangan harus disertakan dengan kontrak jual beli dari produsen makanan dan minuman. Dia juga memberitahukan apabila pabrik-pabrik tersebut ketika di audit terbukti membocorkan GKR ke pasar tradisional maka pihaknya akan memberikan sanksi. “Mereka itu ada pakta integritas artinya kalau ada bocor mereka (pabrik rafinasi) harus bertanggung jawab,” ujar Edy Sutopo, Kasubdit Industri Hasil Perkebunan, Kementerian Perindustrian.

Edy juga mengatakan maraknya pembangunan pabrik gula rafinasi telah sesuai aturan, karena pabrik-pabrik rafinasi diharuskan untuk memiliki kebun dan kewajiban itu tertuang dalam Peppres No 36/2011. Menyinggung juga masalah harga dan produktivitas petani tebu yang terkena dampak kebocoran gula rafinasi, menurutnya hal ini merupakan masalah klasik petani ketika produksi mereka tidak sesuai dengan pendapatan. “Kalau kita lihat awal bulan juni-agustus masih hujan. Ongkos produksi petani

stop peMBangunan Stand alone

RefineRy factoRy

gula rafinasi terus bocor di pasar konsumsi, tercatat telah tiga kali Kementerian Perdagangan melakukan jurus audit semenjak 2011 hingga 2013. Apakah yang menyebabkan itu semua? Apakah terdapat permainan dalamnya?

s

Oleh: Cici Wardini

Page 12: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

20 sugar insight | Desember 2013 21sugar insight | Desember 2013

fOKusmeningkat tetapi produksi mereka turun, sehingga pendapatan mereka menurun. Akhirnya yang menjadi kambing hitam itu gula rafinasi,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Tito mengatakan bahwa pernyataan pemerintah tidak sejalan dengan swasembada gula yang di targetkan. Dikarenakan industri rafinasi berbasiskan kepada raw sugar yang asal muasalnya dari impor, sehingga industri gula Indonesia akan terlantar dan akhirnya pemerintah Indonesia lebih condong kepada pengembangan gula rafinasi. Tidak hanya sampai di situ, Ia juga mengatakan bahwa industri gula rafinasi seharusnya sudah tidak boleh dikembangkan lagi. “Sudah cukup sekarang sudah 8 pabrik ditambah 3 pabrik jadi sudah 11.

Cukup itu, kalau dikembangkan

terus nanti arah swasembada gula kita tidak jelas,” ujarnya.

Pemerintah, kata Tito,

harusnya

mencontoh Thailand yang tidak memiliki stand alone refinery factory yang khusus mengolah raw sugar impor, dikarenakan pabrik yang mereka miliki dapat mengolah gula putih dan gula rafinasi. Di mana pabrik stand alone tersebut umumnya hanya dimiliki oleh negara-negara yang tidak memiliki kemampuan untuk menanam tebu seperti Uni Emirat Arab. Berbeda kasus dengan Uni Emirat Arab, dia menyebutkan Malaysia sebagai negara yang memiliki stand alone refinery factory sebenarnya mampu menanam tebu jika lahan mereka luas, tetapi negara tersebut hanya memiliki lahan yang sedikit. Akibatnya negara tersebut lebih memilih tanaman unggulan mereka yaitu kelapa sawit. “Mereka impor karena mereka enggak punya kebun tebu. Kita punya kebun tebu, kalau kita punya kebun tebu seharusnya stand alone refinery factory tidak kita kembangkan,” ujarnya.

Melihat juga penyebaran gula yang tidak seimbang seperti daerah Indonesia bagian timur yang kerap mengalami krisis GKP dan akhirnya mengandal GKR, menurutnya, pemerintah seharusnya kembali mengembangkan pabrik-pabrik gula di daerah kekuasaan PTPN 14. Di mana pabrik-pabrik tersebut di revitalisasi agar dapat menghasilkan gula yang baik dan banyak. Di tambah lagi daerah-daerah timur Indonesia masih bisa kembangkan termasuk Merauke yang merupakan daerah asal tanaman tebu. “Bukan dengan mengizinkan pabrik gula rafinasi untuk beroperasi disana dengan kapasitas yang besar,” ujar Tito.

Menyorot juga tentang pabrik gula dan luas lahan tebu di Indonesia, menurutnya, pabrik tebu di Indonesia sudah sangat tua dengan kapasitas giling 3000 ton tebu perhari berbanding jauh dengan Thailand yang memiliki kapasitas giling hingga 13.000 ton tebu perhari. Sedangkan untuk lahan, Indonesia hanya memiliki 400.000 Ha, sehingga ada baiknya

dinaikkan menjadi 1 juta Ha. “Naikkan kapasitas kita jadi 6000. Lahannya kita 400.000 ribu hektar naikkan jadi satu juta. Untuk swasembada kita butuh 300 ribu Ha. 300 ribu Ha masa kita enggak bisa dapat. Cuman 300.000 siapa yang nyediain ? Musti pemerintah dong. Swasembada gula-kan program pemerintah bukan corporate action,” ujarnya.

Lantas, bagaimana nasib pabrik gula rafinasi yang terlanjur kadung sudah dibuat banyak? Menurut Tito, pabrik-pabrik tersebut sebaiknya membuat GKR yang benar-benar halus, sehingga masyarakat tidak akan membeli GKR yang menyerupai gula kristal untuk konsumsi masyarakat. Hal ini dikarenakan stigma gula yang biasa digunakan masyarakat Indonesia adalah yang memiliki kekasaran ketika di pegang oleh tangan. Ditambah juga pemerintah seharusnya tidak memberikan keringanan biaya masuk kepada industri gula rafinasi, melainkan kepada pabrik-pabrik tebu di Indonesia dan buatlah raw sugar dari tebu Indonesia. “Kalau mereka bikin yang kasar, niat mereka memang sudah mau ke pasar kan.” ujarnya.

Izin Impor MisteriusGula rafinasi di Indonesia berasal dari impor raw sugar, sehingga banyaknya impor yang dilakukan pemerintah pastinya akan membuat gula rafinasi berlebih dan akhirnya bisa di selewengkan ke pasar-pasar konsumsi oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini yang diperhatikan oleh Arum Sabil, Ketua APTRI, mengatakan ketika dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDB) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) antara Komisi VI dan Komisi IV juga Kementerian Perdagangan diketahui terdapat impor raw sugar yang berlebih untuk industri makanan dan minuman yang seharusnya hanya 2 juta. “Ternyata impor gula mentah tahun ini (2013) sudah mencapai diatas 3,5 juta ton,” ujarnya.

Artinya, Impor gula rafinasi telah melebihi kouta kebutuhan industri makanan dan minuman sebesar 1 juta ton lebih. Kelebihan ini, menurutnya, diakibatkan oleh data-data dari institusi-institusi seperti BPS, Sucofindo, dan Surveyor yang dimanfaatkan sebagai legitimasi oleh pihak-pihak tertentu yang mana memiliki kepentingan-kepentingan tertentu agar impor raw sugar terus dilakukan. “Memang dijadikan atap legitimasi seolah-olah kita masih kurang,” ujar Arum.

Arum mengungkapkan bahwa terdapat modus baru berupa pendirian pabrik-pabrik gula baru di Indonesia yang tujuannya seolah-olah mulia, tetapi pembangunannya lebih ditujukan kepada pengolahan raw sugar menjadi GKP. Hal ini terbukti dari munculnya banyak pabrik gula yang memiliki output sebesar 600 ribu ton, tetapi memiliki izin untuk mengolah ribuan ton raw sugar menjadi gula kristal putih. “Sehingga tidak ada alasan untuk di tolak karena gula kristal putih boleh dipasarkan dalam negeri,” ujarnya.

Lebih mengagetkan lagi, kata Arum, mengatakan dari data yang diberikan

komisi VI DPR ditemukan bahwa izin impor raw sugar di tahun 2014 telah mencapai 9,5 juta ton untuk pabrik gula rafinasi dan pabrik gula baru yang mengolah GKP. Akibatnya di tahun 2014 di perkirakan GKP dan GKR yang beredar di Indonesia mencapai 12 juta ton. Dia juga menambahkan ketika Dewan Gula melaksanakan peninjauan izin impor raw sugar seharusnya mengundang pihak APTRI. Hal ini sesuai dengan yang termaklumat di SK Presiden No. 63.

Melihat hal ini, Arum menyarankan, pemerintah Indonesia pertama-tama, harus merevisi ulang kebijakan impor. kedua, revalitisasi pabrik gula yang fokuskan kepada kapasitas terpasang serta kualitas gula yang dihasilkan. Ketiga, pemanfaatan limbah dan peningkatan pada pohon industri tebu agar petani sejahtera. Keempat, pemakaian tebu transgenik untuk meningkatkan kualitas tanaman petani dan yang terakhir adalah peningkatan kemakmuran terhadap kehidupan peneliti tebu berupa gaji yang tinggi. “Harus ada kebijakan jangka panjang yang merupakan benteng penyelamat. Perlu disiapkan dari sekarang,” ujarnya. l

Tito Pranolo, Ketua Asosiasi Gula

Indonesia

Arum Sabil

Page 13: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

23sugar insight | Desember 201322 sugar insight | Desember 2013

erkaca di masa lalu, Indonesia sebenarnya pernah mengukir sejarah indahnya

swasembada gula. Swasembada kala itu tak lepas dari pabrik gula (PG) yang berhasil dibangun sebanyak 10 PG dari 16 PG yang ditargetkan dalam waktu tiga tahun, mampu merevitalisasi 42 PG peninggalan Belanda yang selesai dalam kurun waktu empat tahun. Tak hanya itu, riset dan pengembangan juga didukung penuh dengan komitmen yang kuat pada era orde baru.

Menanggapi PG baru yang tak kunjung kelar, Suswono menilai ini adalah kerja dari Kementerian Perindustrian. Kementrian Pertanian sendiri kilahnya, hanya memiliki 20% dari tugas pergulaan nasional. “PG yang baru hanya satu saja yang terwujud. Produksi gula 5,7 juta ton yang ditargetkan juga tidak tercapai,” lanjut Menteri Pertanian.

Persoalan merevitalisasi PG memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oktober lalu, Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Panggah Susanto mengatakan anggaran yang diperlukan untuk revitalisasi pabrik gula mencapai Rp 7,9 triliun. Persoalan teknologi masih menjadi kendala sebagian besar PG. Seperti diketahui, umumnya PG yang ada sekarang ini masih memproses gula melalui teknik sulfitasi. Padahal menurut Panggah, jika ingin menghasilkan refined sugar setara kualitas produksi pabrik rafinasi maka proses ini harus diubah menjadi sistem karbonatasi. Sistem ini paling tidak sudah diintroduksi di PG baru yang akan beroperasi 2014 nanti yakni PT Gendhis Multi Manis.

Panggah melanjutkan hingga saat ini sebanyak 62 pabrik gula yang beroperasi di Indonesia rata-rata sudah berumur puluhan tahun, bahkan ratusan tahun telah berdiri sejak zaman Belanda. Sebanyak 52 diantaranya dimiliki oleh perusahaan pelat merah, dan hanya 10 yang dimiliki swasta. Gula yang dihasilkan pabrik gula tersebut jauh di bawah kualitas refined sugar yang dihasilkan pabrik rafinasi.

Di kesempatan lain Edy Sutopo, Kasubdit Industri Hasil Perkebunan pada Kementerian Perindustrian juga sempat meluruskan perihal PG baru yang tak kunjung berbangun. “Soal revitalisasi yang pertama pembenahan PG yang sudah ada. Kedua, untuk PG baru sebanyak 20-25, asumsinya lahan sudah tersedia pada tahun 2010. Namun, kenyataannya hingga saat ini belum ada,” bela Edy.

Ia lanjut menjelaskan upaya restrukturisasi yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian melalui dua skema. Skema yang pertama melalui bantuan keringanan. Skema ini diklaim sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu. Di skema bantuan keringanan ini, kata Edy, Kemenperin mengharapkan dapat menggantikan mesin-mesin utama agar bisa meningkatkan efisiensi.

“Tetapi ternyata skema bantuan keringanan ini hanya mengganti sparepart atau mesin-mesin yang kecil,” ujar Edy. Hanya saja Ia tak menyebutkan berapa yang diperbantukan untuk PG yang mendapatkan sokongan dana dari skema bantuan keringanan ini. Apakah nilainya memang cukup mengganti mesin krusial di PG itu sendiri atau tidak.

Skema kedua menurut Edy adalah dengan menerapkan bantuan langsung dengan mengganti mesin peralatan utama PG. Skema kedua ini sudah diserap oleh PG Merican dan PG Mojo Panggung, kepunyaan PT Perkebunan Nusantara X. Menurutnya kedua PG utamanya PTPN X relatif sudah siap dari sisi perencanaan dan pendanaan. Skema kedua yang digulirkan Kemenperin ini juga menuntut PG agar memiliki dana yang mumpuni. Sebab bantuan yang diberikan Kemenperin sifatnya budget sharing atau pembiayaan bersama. Edy juga menegaskan PG yang sudah memiliki roadmap untuk merevitalisasi PG akan lebih mudah.

“Yang mana yang harus diubah melalui roadmap dan audit teknologi sudah dirancang. Pemerintah tinggal membantu,” katanya. Ia lanjut

fOKus

Quo vadis revitalisasi paBriK gula

nadi utama pembenahan industri gula di negeri ini tentu menyasar pada pabrik gula yang dianggap sudah tak memiliki stamina kuat hasilkan rendemen yang baik, pun memproses gula yang efektif.

Pemerintah mengklaim telah berupaya maksimal tangani perbaikan Pg mulai dari revitalisasi secara parsial hingga niatan membangun Pg

baru. Lalu kemana semua tujuan itu?

Oleh: Cici Wardini

B

saat ini sebanyak 62 pabrik gula yang beroperasi di Indonesia rata-rata sudah berumur puluhan tahun, bahkan ratusan tahun telah berdiri sejak zaman Belanda.

Page 14: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

24 sugar insight | Desember 2013 25sugar insight | Desember 2013

menegaskan pemerintah khususnya Kemenperin memiliki kemampuan terbatas. “Kami harus membenahi 52 PG dengan jumlah anggaran yang relatif kecil,” tambahnya.

Sementara itu, jelas Edy, PG yang baru dibangun dengan kondisi hampir siap uji coba adalah PG di Blora milik PT Gendhis Multi Manis. Perusahaan gula lain yang sudah mengutarakan niatnya untuk membangun PG berikut kebun adalah PT Sukses Mantap Sejahtera yang berlokasi di Dompu. Perusahaan milik grup PT Sentra Usahatama Jaya itu disebut-sebut sudah menginvestasikan dananya senilai Rp1,5 triliun dengan kapasitas 5 ribu TCD (Ton Cane per Day) dan bisa meningkat menjadi 12 ribu TCD.

“Ini PG rafinasi yang bangun kebun dan akan memproduksi gula. Intinya memproduksi gula rafinasi (GKR) atau kristal putih (GKP) terserah yang penting harus terintegrasi dengan kebun karena dua-duanya kurang pasokannya,” ujar Edy.

Ia lanjut menegaskan, Kemenperin tidak akan mempermasalahkan sebuah PG baru akan seluruhnya mengolah GKP atau GKR. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah PG yang ada saat ini masih belum membangun kebun. Upaya ini pula yang terus digenjot. “Yang dipersoalkan banyak orang membangun pabrik tanpa membangun kebun. Ini yang kami tekankan. Harus ada inti plasma, membangun kebun sendiri dan bekerja sama dengan masyarakat,” pungkasnya.

N9 Bangun Pabrik gula rafinasi Masih dalam proses tender, ucap Adi Prasongko, Direktur PT Perkebunan Nusantara IX saat ditanyakan perkembangan pembangunan pabrik gula rafinasi milik PTPN IX. Ia menjelaskan bahwa kondisi PTPN IX saat ini berada dalam kondisi yang tak menguntungkan. Produksi gula N9 mengalami kerugian hingga mencapai

angka kumulatif sebesar Rp800 milyar. Daripada merevitalisasi PG yang sudah ada, Adi nyatanya lebih memilih untuk membangun PG baru yang mengolah raw sugar atau gula mentah.

Adi mengatakan PG rafinasi baru yang berlokasi di Pekalongan ini rencananya akan dibangun dengan kapasitas 600 ton per hari dengan nilai investasi sebesar Rp 250 milyar. “Raw sugar impor dulu, kalau swasta boleh kenapa BUMN tidak boleh. Saya masih minta pemerintah berapa yang akan dikasih untuk mengolah raw sugar ini. Keuntungan dari membangun PG ini

akan digunakan untuk merevitalisasi PG lama,” tandas Adi.

Di tengah kesulitan menghadapi gula yang terus merugi, Adi berharap pemerintah dapat memberikan insentif. Sebab untuk melunasi utang sebesar itu Adi menjelaskan tak akan cukup jika mengandalkan jumlah kapasitas pabrik yang sudah ada dan jumlah pasokan tebu. “Selama ini kan kami membina petani bertahun-tahun mengolah tebu petani. Maka kami akan membangun pabrik dan impor raw sugar. Minta izin agar diberi fasilitas itu,” katanya.

Adi juga mengklaim PTPN IX saat ini sudah memiliki road map untuk memuluskan revitalisasi PG lama. Peta jalan ini disusun untuk empat tahun ke depan dimana delapan PG milik PTPN IX ditargetkan sudah selesai direvitalisasi menyusul sudah terbangunnya PG rafinasi yang baru tersebut. Hanya saja Adi tidak menyebutkan berapa nilai yang harus dikeluarkan untuk merevitalisasi kedelapan pabrik miliknya.

“Tergantung kondisi pabriknya sekarang berapa yang harus direvitalisasi,” tambahnya. Seperti diketahui, PTPN IX juga memiliki rendemen yang paling rendah diantara semua PG di Indonesia, yakni 5,88%.

PTPN IX, kata Adi, juga tak ingin terus terusan merugi. Untuk itu Ia terus mengarah pada efisiensi, salah satunya membuat gula kemasan dengan merek N9. Hanya saja, Adi tak mau muluk sebelum memiliki kontinuitas dalam hal kualitas gulanya. “Investasi tetap jalan tidak boleh berhenti. Kami akan masuk ke kemasan dengan kondisi gula yang sudah sangat bagus. Serapan gula kemasan kami paling hanya 10%,” ujar Adi.

Dari sisi petani, Arum Sabil, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia menilai, revitalisasi pabrik harus terintegrasi bersama seluruh elemen gula dan perlu pengawasan. “Fokuskan kepada peningkatan kapasitas terpasang dan hasil kualitas gula yang dihasilkan,” kata Arum. l

“raw sugar impor dulu, kalau swasta boleh kenapa BuMN tidak boleh. saya masih minta pemerintah berapa yang akan dikasih untuk mengolah raw sugar ini. Keuntungan dari membangun Pg ini akan digunakan untuk merevitalisasi Pg lama,”

asalah demi masalah menghinggapi petani tebu, dimulai dengan masalah

lahan yang sempit hingga persaingan dengan gula rafinasi mewarnai gejolak kehidupan petani. Kehadiran gula rafinasi (GKR) yang merembes ke pasar menyebabkan harga gula rumah tangga (GKP) anjlok dan kian menuju titik yang memprihatinkan. Protes yang kian hari kian meledak menuntut kepada pemerintah yang memiliki kewenangan mengatur perdagangan gula di dalam negeri serta memiliki otoritas terhadap kekuasaan membuka dan menutup pintu gula rafinasi untuk bisa bersikap adil dan berpihak kepada petani tebu.

Dilihat dari aspek sosiologi kehidupan petani, menurut Hotman M. Siahaan, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, saat ini nasib petani tebu mengalami stagnasi bahkan mungkin telah masuk ke dalam marginalisasi.

Menurutnya petani tebu terbelenggu sejarah, baik pada masa kolonial, masa orde lama, bahkan orde baru, dimana tidak ada keberpihakan terhadap nasib petani. Menurut Hotman, akar permasalahan yang dihadapi oleh petani tebu saat ini terfokus pada dua hal, yaitu penguasaan lahan yang sempit dan masuknya gula rafinasi. Menurutnya penguasaan lahan yang sempit menyebabkan petani tidak mampu mencapai margin yang memadai. “Seintens apa pun sistem pengelolaan, sekualitas apapun benih, pupuk, dan kesuburan lahan, dengan rendemen yang rendah, apalagi di bawah sistem rendemen yang tidak transparan, dengan luas tanaman yang dibawah 0,5 Ha rata-rata, tampaknya mustahil bagi petani tebu berlahan sempit bisa menggantungkan kesejahteraan hidupnya sebagai petani tebu,” pungkas Hotman.

Selain itu, penyebab lain dan semakin membuat petani tebu

Kesejahteraan petani terceKiK di negeri sendirinasib petani tebu mengalami

stagnasi bahkan mungkin telah masuk ke dalam

marginalisasi. Penguasaan lahan yang sempit dan masuknya gula rafinasi

menjadi momok terhimpitnya kesejahteraan petani. Kini

pemerintah harus memilih, kembangkan pasar neoliberal atau sejahterakan kehidupan

petani.

Oleh: Untung Prasetyo

fOKus

M

Adi Prasongko

Page 15: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

26 sugar insight | Desember 2013 27sugar insight | Desember 2013

tercekik, yaitu masuk dan beredarnya gula rafinasi di pasar tradisional. Hotman menyebutkan, gula rafinasi sangat merugikan petani tebu, dampaknya jelas pada penurunan tingkat kesejahteraan petani tebu. Hal tersebut tidak lain disebabkan produk yang mereka hasilkan akan mengalami penurunan tingkat harga di pasar. Sebagai gambaran, data yang dihimpun oleh Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) diperkirakan kebutuhan gula rafinasi sekitar 2,8 juta ton untuk tahun 2013. Jumlah tersebut akan meningkat sekitar 5% hingga 10%. Peningkatan permintaan itu pun berimpilikasi pada pembukaan kembali pintu impor gula rafinasi oleh pemerintah sebanyak 250 ribu ton. Apabila hal tersebut terus dibiarkan dan kebijakan impor gula rafinasi seperti tali yang longgar, maka tak dapat dipungkiri petani tebu menjadi korban kebijakan yang prematur.

“Bagaimanapun, kebijakan gula rafinasi selayaknya tidak boleh ada kalau pemerintah ingin melindungi nasib petani tebu,” ujar Hotman. Lanjut dirinya berpendapat, pemerintah selayaknya merumuskan kebijakan politik yang benar-benar berpihak kepada petani tebu. Menurutnya, harus ada kebijakan yang mengatur hubungan yang lebih baik antara petani dengan pabrik gula, ada kebijakan kredit petani yang lebih mudah dan berpihak, asosiasi-asosiasi gula seharusnya menguatkan posisi petani tebu dalam hubungannya dengan kemudahan kredit petani, dan adanya transparasi dalam penentuan rendemen di pabrik.

Kembali pemerintah harus mengambil sikap berani dan pemangku kepentingan harus berpikir tidak melulu mengedepankan keuntungan pribadi. Para importir raw sugar swasta dianggap sebagai pedagang yang orientasinya meraih keuntungan, tanpa memiliki komitmen membangun pergulaan nasional. Bila prinsip tersebut semakin mengemuka

dan dibiarkan tanpa ada batas, besar kemungkinan di masa mendatang akan semakin sering gula rafinasi membanjiri pasar tradisional. Diperparah lagi oleh pemberlakuan sanksi pemerintah yang ringan dan tidak membuat jera para pemasok gula rafinasi yang dilakukan secara illegal. Jika hal tersebut terus berlanjut, dampak yang paling mengerikan yaitu petani tebu menjadi tidak tertarik untuk membangun kembali kualitas on farm perkebunan tebu, bahkan petani beralih untuk menanam komoditas lain yang berimplikasi pada gagalnya peningkatan produksi gula nasional untuk menuju swasembada gula.

Melihat kondisi petani tebu saat ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Arum Sabil angkat bicara, kesejahteraan petani tidak akan pernah membaik jika pemerintah tidak memiliki niatan baik melalui kebijakan yang konsisten untuk mendukung perkembangan gula nasional. “Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain hanyalah menciptakan mesin pembunuh bagi petani tebu indonesia,” ungkap Arum Sabil. Menurutnya pada saat ini gula nasional dan petani tebu rakyat sudah diambang kehancuran. Arum menjelaskan, petani tebu seringkali dibuat merugi oleh keberpihakan pemerintah kepada industri gula rafinasi. Ucapan Ketua Umum APTRI tersebut terlontar kepada Sugar Insight didasarkan pada kenyataan yang hingga kini gula rafinasi masuk kembali ke Indonesia hingga 3,5 juta ton. Berdasarkan hal tersebut, menurut Arum Sabil alangkah bijaknya bila pemerintah mengulas kembali ijin impor gula rafinasi berdasarkan kuota kebutuhan, bukan berdasarkan kebutuhan kapasitas terpasang.

Bicara soal kebijakan, regulasi gula yang selama ini telah terbukti menyelamatkan petani dan industri gula nasional seharusnya mampu dipertahankan. Seperti halnya SK Menperindag No. 643/MPP/

fOKus

Kep/9/2002 (tata niaga impor gula yang menghapus importir umum menjadi importir terdaftar dan memberikan jaminan harga minimal gula petani), SK Presiden No. 63/2003 (Dewan Gula Indonesia yang menjadi perumus kebijakan pergulaan nasional), SK Presiden No. 57/2004 (menetapkan gula sebagai barang yang diawasi pemerintah), dan SK Menperindag No. 57/MPP/Kep/2004 (ketentuan impor gula yang mempermudah pengawasan terhadap

gula impor illegal, pembatasan importir gula, ketentuan jenis gula dan peruntukannya berdasarkan batasan icumsa). Namun sekali lagi, Arum Sabil tidak melihat regulasi-regulasi tersebut secara konsisten dijalankan. Bahkan selama proses perjalanannya, semua pihak harus mewaspadai adanya benturan kepentingan yang mengakibatkan adanya perubahan regulasi tersebut oleh mafia-mafia gula. “Waspadai mafia gula yang akan merubah regulasi sehingga bisa

merugikan petani dan gula nasional,” ungkap Arum.

Kembali Guru Besar FISIP UNAIR menegaskan, semua regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah, baik SK Menperindag ataupun yang lainnya, pada dasarnya hanya terlihat baik di atas kertas. Regulasi yang ada secara tertulis menampilkan nuansa perlindungan dan keberpihakan kepada petani tebu, namun dalam prakteknya, regulasi tersebut jauh dari pengawasan dan penegakan

aturan. “Hukum pasar yang cenderung neoliberal mengakibatkan semua regulasi tersebut tidak berdampak banyak secara positif terhadap kesejahteraan petani tebu,” ujar Hotman. Seperti yang diungkapkan oleh Arum Sabil sebelumnya, Hotman pun menegaskan pemerintah harus membangun hukum dan regulasi secara konsisten hingga semua kebijakan tersebut benar-benar berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraam petani tebu. l

Page 16: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

28 sugar insight | Desember 2013 29sugar insight | Desember 2013

erawal dari mewabahnya penyakit sereh dan persaingan kompetisi gula bit di Eropa, Belanda sadar

betul bahwa untuk mengembangkan industri gula di Indonesia membutuhkan sebuah riset yang memadai. Kehadiran lembaga riset gula di Pasuruan dianggap mampu menjawab masalah yang dihadapi pabrik gula (PG) kala itu. Berlanjut pada era orde baru, P3GI pun menjadi corong dan ikut menentukan arah kebijakan gula Indonesia. Namun saat ini, sepertinya P3GI perlu “tenaga ekstra” menjadi wadah riset dan

mendapatkan tebu yang diinginkan. “Mau tebu kayak apapun bisa misalnya tebu tahan kekeringan. Tetapi kan perlu dana, sebab dari jumlah itu perlu kita karakteristikan lagi,” ujar Aris.

Tak hanya plasma nutfah, untuk varietas saja P3GI sedikitnya sudah memiliki 100 varietas. Upaya menghasilkan varietas ini setidaknya membutuhkan waktu selama 12 tahun dengan dana yang tak sedikit. Kondisi yang saat ini memaksa P3GI menjadi lembaga yang profit oriented membuat pengembangan varietas berjalan tak optimal. Ini yang membedakan tebu dengan kelapa sawit. Di kelapa sawit, petani dan pengusaha perkebunan sangat tergantung pada kecambah maupun bibit, sementara di tebu, petani bisa memperbanyak sendiri. Pun jika hanya meminta selonjor tebu, maka tanaman ini akan mudah diperbanyak. Ini pula yang membuat Aris harus berpikir keras agar P3GI tetap dapat melakukan riset dan tak bisa mengandalkan penjualan bibit tebu. “60% baik dari sisi SDM hingga alokasi dana itu ke arah pemuliaan atau perakitan varietas tebu, tetapi ini tidak menghasilkan (keuntungan-red) apa-apa,” kata Aris.

Tetapi bukan P3GI namanya jika tak tahan banting. Tak bisa mengandalkan cash flow dari penjualan bibit, P3GI sedari tahun 1990-an sudah menggodok pengolahan hasil samping tebu. “Jasa-jasa konsultasi membangun pabrik gula dan meningkatkan kapasitas pabrik gula dan pabrik ethanol, melakukan jasa konsultasi pengawalan, menjual produk pupuk dengan bermitra atau kami hasilkan sendiri pupuknya, inilah sumber dana kami agar terus berkarya,” tandas Aris. Berbekal sumber dana inilah penelitian di P3GI menjadi lebih berwarna misalnya saja dalam mengembangkan hilirisasi. Produk hilir tanaman tebu bisa menjadi berbagai macam jenis mulai dari produk antara seperti asam asetat, asam nitrat, liptoselulosa.

risEt

sepatutnYa riset gula diBerdaYaKan

Menjadi sebuah lembaga penelitian bagi komoditas yang kini diperbincangkan karena target yang tak kunjung tercapai membuat

Pusat Penelitian Perkebunan gula indonesia (P3gi) mengemban amanah yang cukup berat bagi keberhasilan risetnya. sudah 126 tahun

berkarya dan melahirkan berbagai inovasi di bidang pergulaan, P3gi pantas mendapatkan pengakuan di negeri ini.

Oleh: Cici Wardini

Bpengembangan gula di Indonesia.

Usia 126 bukan waktu yang sebentar, selama rentang waktu tersebut berbagai riset sudah banyak dilakukan dari hulu hingga ke tingkat hilir. Beberapa kekayaan yang dimiliki P3GI selain SDM yang berkualitas adalah pabrik gula mini dan koleksi plasma nutfah yang berjumlah 6000 buah. Jumlah ini melebihi plasma nutfah kepunyaan Thailand yang hanya sekitar 400 buah. Padahal Thailand sendiri adalah salah satu pengekspor gula terbesar ke Indonesia. Dengan jumlah tersebut Aris mengklaim jika petani bisa

Page 17: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

30 sugar insight | Desember 2013 31sugar insight | Desember 2013

Diversifikasi produk lainnya seperti, monosodium glutamate (MSG), pasta pemanis menyerupai pasta gigi yang asalnya dari nira tebu, sirup glukosa, lilin, produk kosmetik seperti lipstik. Khusus berbasis tebu, ampas yang keluar dari pabrik dapat menjadi pakan ternak dan kertas. Dan yang saat ini umum dilakukan Pabrik Gula (PG) adalah produk tetes tebu (molasses). Tetes tebu memiliki senyawa yang baik yang bisa digunakan sebagai bahan baku fermentasi. Belum lagi minuman sari tebu yang saat ini marak menjadi jajanan pasar. “P3GI sudah membuat itu semua. Menggunakan varietas yang bagus dan higienis,” tandas Aris. Menurut Aris, tebu memiliki pohon industri yang tak kalah kompleks dari jenis tanaman lain. “Kita memiliki varian yang banyak dari sisi produk. Di dunia ada 1500 industri berbasis tebu dan 50 yang sudah komersial yang menggunakan bahan tebu atau sisa prosesnya,” lanjutnya.

Untuk itu pula, Aris menyarankan agar PG segera bergerak ke hilir. P3GI menurut Aris melakukan riset ke arah hilir agar nantinya dapat diintroduksi oleh seluruh PG di Indonesia. “Industri gula ke depan tidak boleh bertumpu pada single produk, harus ada diversifikasi produk. Apalagi kita importir terbesar maka harga gula akan berfluktuatif mengikuti harga gula dunia. Ketergantungan pada satu produk itu berbahaya, ketika turun, maka lost,” tandas Aris.

Bibit unggulSaat ini, P3GI memasarkan bibit unggul eks-kultur jaringan (G2) yang memiliki produktivitas tinggi untuk menyiasati sulitnya penambahan lahan tebu, terutama di Pulau Jawa. Generasi kedua ini sudah melalui tahap aklimatisasi dan dengan handling yang baik. P3GI juga melakukan pelatihan gratis bagi petani. Seperti yang dilakukan pada Oktober lalu, P3GI melakukan Pelatihan Tenaga Teknis Penangkar dengan Sumber Benih Bagal Mikro Generasi (G2) Kultur Jaringan. “Kami terus berinovasi

menghasilkan varietas unggul, semisal PSJK 922 dan PS 881 yang mampu meningkatkan produktivitas gula hingga lebih dari 10 ton per ha,” tandas Aris. P3GI juga memiliki varietas unggul lainnya seperti PS 901 dengan potensi hasil tebu 86,6 ton/ha, rendemen 10,9% dan hablur 9,5 ton/ha. Lain lagi dengan PS 882 dengan potensi hasil tebu 113,1 ton/ha, rendemen 12,1%, dan hablur 13,7 ton/ha.

Bicara mata tebu yang dihasilkan, sepanjang perjalannya rata-rata setiap tahunnya P3GI menghasilkan 25 juta mata tebu. Begitu bongkar ratoon digalakkan pemerintah tahun ini, Aris mengaku menaikkan target menjadi 400%. “Awalnya kami sudah siapkan 150 juta mata, lalu kami turunkan 100 juta, karena dalam perjalanan dibuka peluang bibit-bibit yang bukan dari kultur jaringan dan pada akhirnya yang digunakan dari P3GI hanya 7,5 juta mata tebu,” kisah Aris.

Tak hanya kultur jaringan, sebenarnya P3GI juga sudah memiliki tebu hasil rekayasa genetika. Tebu transgenik ini membawa antisense gen pfp yakni salah satu enzim pendegradasi sukrosa yang berfungsi membungkam ekspresi gen pfp sehingga degradasi sukrosa tidak terjadi. Namun Aris mengaku masih banyak yang perlu dibenahi terutama permasalahan persepsi di Indonesia yang masih merasa tabu akan produk hasil rekayasa genetika. ”Sebenarnya peluang Indonesia melakukan hal lain sebelum rekayasa genetika masih banyak, tetapi kami tidak terburu-buru melepas. Kami tidak butuh pencitraan,” akunya.

Tetap ada asa yang diharapkan P3GI bagi kemajuan riset dan pengembangan gula ke depan. Namun komitmen yang dirasa kurang dari pemerintah membuat P3GI hanya bisa menunggu dan melihat. Ditegaskan oleh Aris untuk penyediaan bibit, pemerintah harus lebih sigap dalam hal penyediaannya. Sebut saja kebutuhan bibit di tahun 2014 yang harus dilakukan dua tahun sebelumnya.

Sebagai lembaga swasta, P3GI menurut Aris sanggup memenuhi permintaan pemerintah. Tinggal dukungan dan komitmen yang jelas dari pemerintah bagi kemajuan riset di Indonesia. Aris berharap kejayaan lembaga penelitan berbasis gula dapat mengulangi masa jayanya saat era Soeharto dulu dimana dana dapat disisihkan dari hasil penjualan atau setiap kilogramnya dapat disisihkan untuk dana riset, termasuk pengadaan dana Sumbangan Masalah Pergulaan (SMP). Aris juga berharap P3GI dapat kembali dilibatkan dalam menyumbang pikiran terkait persoalan dalam kebijakan pergulaan nasional. “Zaman dulu padahal lebih gak jelas status kami tetapi jelas komitmennya. Saya yakin ke depan fungsi dan peran kami akan besar ke depan,” jelas Aris optimis.

Ketua Umum Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO), Agus Pakpahan, melihat bahwa untuk membangun kesejahteraan petani tebu dapat dilakukan dengan pengembangan riset. Namun sekali lagi riset pun harus terbentur dengan minimnya dana yang digelontorkan. “Pada dasarnya bukan hanya melalui bea keluar, dengan mengurangi impor gula maka akan ada penghematan biaya yang bisa dialokasikan untuk riset dengan tujuan mengedepankan kesejahteraan petani tebu, namun apabila itu tidak dilakukan berarti pemerintah membiarkan petani tebu tetap miskin, itu pilihan,” ujar Ketua Umum GAPPERINDO tersebut.

Tidak hanya sampai disitu, posisi riset pun memiliki peran yang penting dalam membangun industrialisasi terhadap produk hilir tebu. Agus Pakpahan menilai bahwa dengan adanya pembangunan dan pengembangan industrialisasi produk hilir tebu, maka petani kedepannya akan mendapatkan nilai tambah seiring dengan adanya peningkatan permintaan yang tinggi terhadap bahan baku. l

risEt

Page 18: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

32 sugar insight | Desember 2013 33sugar insight | Desember 2013

ebih dari 100 tahun silam, tepatnya pada tahun 1887 peneliti kenamaan

Soltwede berhasil menemukan sebuah teori yang sangat membantu perkebunan dan industri tebu hingga saat ini. Dalam penelitiannya, Soltwede menyimpulkan bahwa perbanyakan tebu dapat dilakukan melalui biji. Sejak saat itulah mata dunia terbuka bahwa tebu yang pada awalnya dibudidayakan hanya menggunakan tebu asli dari spesies Saccharum officinarum, beralih dengan merakit varietas-varietas tebu unggul. Seiring berjalannya waktu, penelitian terus dikembangkan hingga pada tahun 1923 dihaslkan POJ 2878 sebagai varietas unggul spektakuler. Penyebutan spektakuler pantas disandang oleh varietas tersebut sebab mampu mengatasi penyakit sereh yang mengancam industri gula pada masa itu.

POJ 2878 merupakan varietas tebu unggul yang dimiliki oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang dihasilkan dari lompatan genetik sebagai hasil persilangan antara kultivar tebu nobel dengan spesies liarnya S. Spontaneum kemudian keturunannya disilang balik dengan S. officiniorum. Bersama P3GI yang mengembangkan POJ 2878, varietas tersebut tercatat sebagai

varietas terbaik sejak zaman Hindia Belanda. Pada masa tersebut POJ 2878 mampu meningkatkan produksi gula secara drastis, yaitu sekitar 35% dari varietas sebelumnya. Bukan saja mengatasi penyakit sereh, namun peningkatan produksi tersebut pun mengatasi masalah persaingan gula tebu dengan gula bit pada saat itu. Sehingga pada zamannya POJ 2878 lebih dikenal sebagai wondercane from Java (tebu ajaib dari jawa). Pada saat yang bersamaan pula, di beberapa negara seperti India, menghasilkan varietas-varietas tebu unggul yang memberikan sumbangan penting pada percepatan perkembangan industri gula dunia, yaitu diantaranya Co290, Co419, Nco210, dan CP49/50.

Melihat sifat dasar dari tanaman tebu yang sangat polipoid dan memiliki genom yang sangat kompleks, sehingga dalam proses perbanyakannya sangat dipengaruhi faktor strategi, metode, dan efisiensi program perakitan varietasnya. Namun dengan lahirnya POJ 2878 faktor-faktor tersebut dapat diminimalisir, sebab POJ 2878 telah digunakan sebagai varietas tetua persilangan pada program pemuliaan tebu di seluruh dunia hingga kini. Sehingga menurut peneliti P3GI bidang pemuliaan, Dr.

Wiwit Budi Widyasari, dasar genetik pada varietas-varietas modern saat ini menjadi tampak sempit karena berasal dari satu “darah” yaitu POJ 2878. “Keragaman keturunan persilangan saat ini sangat rendah sebab keragaman tetua persilangannya pun sangat rendah, inilah alasan mengapa kemajuan program perakitan varietas tebu unggul menjadi sangat lambat,” ungkap Widyasari. Mengutip dari tulisan Widyasari, dengan demikian keragaman genetik populasi keturunan yang dihasilkan sangatlah sempit. Sempitnya keragaman populasi keturunan akibat perkawinan kerabat dekat atau satu saudara ini yang menyulitkan terjadinya lompatan

perbaikan genetik berupa varietas tebu unggul yang spektakuler.

Menengok dari sejarah varietas unggul POJ 2878 dan semakin rendahnya hasil persilangan yang menghasilkan varietas unggul, timbul pertanyaan akankah dapat kembali mengulang sejarah tersebut? Berdasarkan hal tersebut, menurut Widyasari terlahirnya wondercane baru sangat mungkin terwujud apabila menyilangkan tetua yang mempunyai keragaman genetik tinggi dan berkerabat jauh. Sehingga Widyasari menuturkan bahwa dengan adanya POJ 2878 seharusnya kini kita banyak belajar dengan melakukan perbaikan genetik pada tebu yang dicirikan

dengan penambahan perolehan genetik yang luar biasa dan berpeluang akan terjadi lompatan kemajuan genetik seperti POJ 2878. “Kunci lain untuk mewujudkan mimpi menciptakan wondercane-wondercane baru yaitu melalui penyediaan koleksi plasma nutfah tebu yang meliputi kerabat-kerabat liarnya,” jelas Widyasari.

Pengambil alihan POJ 2878 oleh pemerintah menambah “sepi” nya proses pemuliaan tanaman dengan menghasilkan varietas unggul seperti di masanya. Widyasari menuturkan di sisi lain klon-klon hasil ekspedisi yang dilakukan oleh P3GI belum ada yang dimanfaatkan dalam perakitan varietas tebu unggul masa kini. Lanjut dirinya menceritakan, sejak tahun 2009 P3Gi telah melakukan terobosan baru yaitu melakukan persilangan antar genus yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Pada masa-masa sebelumnya menurut peneliti tersebut, perkawinan kerabat liar yang sudah pernah dilakukan sebelumnya menggunakan S. spontaneum. “Sedangkan pada tahun 2009, P3GI menggunakan kerabat liar dari genus Erianthus dalam program perakitan varietas tebu unggul baru,” ungkap Widyasari.

Widyasari menjelaskan, dalam perajalanannya dari hasil persilangan tersebut dihasilkan keturunan yang menunjukan potensi unggul yang telah dibuktikan dari keturunan pertama (F1). “Hasil yang sangat membanggakan telah terlihat dengan persilangan satu kali saja, hasilnya telah memberikan harapan melebihi varietas standarnya,” jelas Widyasari.

Kebanggaan tersebut ditunjukkan dengan capaian potensi rendeman beberapa klon F1 yang mencapai 12% bahkan hingga 14%. Beberapa klon lagi memberikan potensi hablur lebih dari 200 kw/ha di lahan percobaan. Namun Widyasari menyayangkan masih adanya kekurangan yang ditemukan dari percobaan tersebut. Dirinya menjelaskan bahwa ternyata antara hasil tebu dengan rendeman korelasinya tidak positif. “Klon yang potensi hasil tebunya tinggi, potensi hasil tebunya rendah. Sehingga sangat sulit untuk mendapatkan rata-rata rendeman tinggi karena periode puncak kemasakannya yang singkat,” jelas Widyasari.

Namun kekurangan dan kegagalan sejatinya menjadi sebuah semangat yang harus terus dijaga untuk menghasilkan varietas-varietas unggul melalui percobaan-percobaan klon-klon yang dimiliki oleh P3GI. Widyasari dan para peneliti P3GI optimis di masa mendatang akan dihasilkan varietas unggul untuk mengembangkan industri gula tebu indonesia. “Walaupun inovasi P3GI masih perlu pengujian lebih lanjut dalam skala lahan yang lebih luas, namun terobosan yang dilakukan P3GI telah sejalan dengan perlunya membuat strategi perkawinan tebu untuk memperluas dasar genetik varietas tebu komersial,” pungkas Wiwit Budi Widyasari.

Menurutnya apa yang dilakukan oleh nya dan bersama peneliti lainnya di P3GI telah memberikan pengetahuan baru mengenai tebu, yakni jawaban atas pertanyaan mengapa perakitan varietas tebu unggul baru cenderung mengalami leveling off dalam keragaman. Kedepannya Widyasari dan P3GI tetap optimis dan memiliki mimpi yang harus diwujudkan untuk menghasilkan terobosan baru dalam mempercepat pembentukan varietas tebu unggul spektakuler seperti POJ 2878 di masa mendatang. l

risEt

Lahirya POJ 2878 sebagai varietas tebu unggul yang spektakuler memberikan pelajaran akan pentingnya plasma nutfah tebu. Kejayaan yang telah memudar dan menjadi sejarah, seharusnya mampu membangunkan pikiran dari kenangan masa lalu. Bangkit dan realisasikan mimpi untuk menghasilkan varietas unggul layaknya POJ 2878 menjadi harga mati untuk kejayaan pergulaan nasional.

Menuju varietas teBu speKtaKuler

Oleh: Untung Prasetyo

l

Wiwit Budi Widyasari

Page 19: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

34 sugar insight | Desember 2013 35sugar insight | Desember 2013

auh sejak penjajahan kolonial Belanda, komoditas tebu pada dasarnya telah

mendapatkan perhatian besar sebagai komoditas komersial. Pemerintah kolonial Belanda telah mengembangkan industri gula di Pulau Jawa karena faktor yang begitu mendukung, yaitu tanah yang subur dan ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan tersebut pun berlanjut pada pemerintah Indonesia melalui perusahaan negara perkebunan dan perkebunan-perkebunan besar swasta di luar Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman tebu juga diusahakan oleh petani tebu rakyat intensifikasi dengan sistem pergiliran areal tanam. Sebagai salah satu industri manufaktur tertua di Indonesia, industri gula Indonesia pernah merasakan era keemasan pada tahun 1930-an.

Dimana pada masa tersebut Indonesia menjadi eksportir gula

terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Pada masa itu produktivitas pabrik gula sekitar 14,8% dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula menyentuh angka 2,4 juta ton. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun industri gula Indonesia mengalami kemunduran dan sulit untuk bangkit, hingga pada akhirnya Indonesia menjadi salah satu importir gula di dunia pada saat ini. Dari data yang dihimpun Dewan Gula Indonesia pada tahun 2005, menunjukkan pada periode 1991 hingga 2001, industri gula Indonesia mulai mengalami berbagai masalah. Salah satu indikatornya adalah volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,66%, dan produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03% per tahun.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perekebunan, pada tahun 2014 diperkirakan kebutuhan gula nasional baik untuk konsumsi langsung rumah tangga maupun industri akan terus meningkat sejalan dengan meningkatknya jumlah penduduk. Diperkirakan pada tahun 2014 saja kebutuhan gula nsional mencapai 5,7 juta ton. Untuk memenuhi kebutuhan gula tersebut diupayakan melalui Progran Swasembada Gula Nasional. Namun akankah program tersebut tercapai apabila produksi gula dalam negeri sendiri mengalami penurunan? Harus ada perbaikan yang dilakukan untuk mencapai swasembada gula nasional, baik on farm maupun off farm. Sasaran tersebut diusahakan secara bertahap dalam kurun waktu 2010 hingga 2014 dengan langkah-langkah intensifikasi untuk peningkatan produktivitas

tebu. Peningkatan tersebut sekiranya akan dapat dicapai dengan sinergitas seluruh aspek, diantaranya sistem manajemen industri gula, rehabilitasi tanaman, penyediaan bibit bermutu, ketersediaan dana, pupuk, hingga dukungan teknologi.

Salah satu faktor terpenting dalam perbaikan pergulaan nasional di skala on farm, pengadaan benih tebu yang berkualitas dalam skala besar, cepat, dan murah merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Pengadaan benih pada tanaman tebu, khusunya yang akan dipanen secara besar-besaran dalam waktu yang cepat akan sulit dicapai melalui teknik tradisional.

Didasari hal tersebut, peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia(P3GI) bidang pemuliaan, Dr. Hermono Budhisantosa, menyebutkan Good Seed Makes a Good Crop, benih yang baik menghasilkan

tanaman yang baik. Menurutnya peningkatan produktivitas gula nasional selayaknya dimulai dari penataan penggunaan benih. Dalam budidaya tebu telah dikenal standar mutu benih yang baik menyangkut kebenaran, kemurnian, dan kesehatan benih. Untuk menjamin hal itu, dirinya menjelaskan bahwa dalam budidaya tebu terdapat juga sistem penyediaan benih dengan pola penjenjangan. Namun dirinya menyayangkan dalam prakteknya, baik penjenjangan maupun sertifikasi mutu sering tidak terlaksana dengan baik. Dirinya menyebutkan, evaluasi kinerja kebun pembenihan tebu telah dilakukan P3GI tahun 2003 hingga 2004. Pengamatan dilakukan di 14 pabrik gula yang mewakili pabrik gula di Pulau Jawa. Berdasarkan pengamatan tersebut, Hermono menyebutkan bahwa P3GI mendapatkan hasil

evaluasi yaitu secara umum 86% kebun pembenihan tebu di bawah kualifikasi dan sekitar 12% dari pembibitan tebu yang diamati memenuhi persyaratan. Sedangkan dari tingkat kemurnian tebu, P3GI mendapatkan hasil evaluasi sekitar 64% pembibitan tebu dilakukan sebagai persyaratan standar. “Hasil ini menggambarkan bahwa perkebunan tebu tidak memberikan perhatian serius pada kesehatan tebu pembibitan,” ungkap Hermono.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, Hermono mengungkapkan bahwa sangat beresiko mengandalkan kebun penjenjangan konvensional terutama pada aspek kesehatan. Lanjut dirinya menjelaskan, penjenjangan konvensional dapat digunakan bila diiringi dengan penerapan sertifikasi mutu serta perbaikan sumber benih. “Perbaikan mutu benih bisa dilakukan dengan kultur jaringan sebagai salah satu alternatif,” ungkap Hermono. Secara teknis dirinya menjelaskan pada teknik kultur jaringan, bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ ditumbuhkan dan diperbanyak dalam media buatan dengan kondisi aseptik dan terkontrol. Salah satu manfaat menggunakan metode tersebut, yaitu mampu menghilangkan virus penyebab penyakit garis kuning (sugarcane yellow leaf virus), virus mosaik tebu (sugarcane mosaic virus), dan ratoon stunting disease (RSD). “Selain menyehatkan sumber benih, teknik ini merupakan upaya perbanyakan benih secara cepat. Perbanyakan melalui kultur jaringan juga meningkatkan penangkaran,” jelas peneliti P3GI tersebut.

Hermono menyebutkan untuk mencapai swasembada gula nasional, dapat pula dengan mengusahakan peningkatan produktivitas melalui penggunaan bongkar ratoon. Peningkatan produktivitas melalui program bongkar ratoon mencakup dua hal penting. Dirinya menyebutkan yang pertama adalah peningkatan karena berubahnya tanaman keprasan

menjadi tanaman plant cane (PC). “Jika produktivitas keprasan diasumsikan 90% dari produktivitas tanaman sebelumnya, maka program bongkar ratoon dari tanaman keprasan ke tiga menjadi PC bila dilaksanakan dengan baik akan mengembalikan potensi produksi yang telah menurun hingga 65% menjadi 100%,” jelas Hermono. Yang kedua adalah peningkatan produktivitas dengan menggunkan benih bermutu. Di sinilah peran penggunaan benih G2 dalam meingkatkan produktivitas. “Dengan benih yang bebas dari penyakit serta kebenaran dan kemurnian varietas yang terjamin, produktivitas tebu dapat naik 25%, sedang produktivitas gula naik lebih dari 1%,” ujar Hermono Budhisantosa.

Pada dasarnya apapun yang akan dilakukan untuk mencapai swasembada gula nasional yang terpenting adalah keberlanjutan dari mutu tebu itu sendiri. Sehingga peningkatan produktivitas bukan menjadi suatu hal yang dilakukan untuk jangka pendek, melainkan harus diusahakan sebagai program dengan skala jangka panjang. Sangat ironis apabila peningkatan produktivitas tidak diiringi dengan penggunaan bibit yang bermutu, khususnya dalam masalah kesehatan. Program swasembada gula nasional merupakan agenda penting, namun alangkah pentingnya menjaga kualitas mutu dari benih tebu itu sendiri. Hermono mengungkapkan, benih kultur jaringan mampu memperbaiki sumber benih menjadi sehat dan murni sehingga mampu meningkatkan produktivitas. Dengan berbagai kendala, penyaluran benih bermutu pada program bongkar ratoon nampaknya tidak memenuhi target. “Tidak terpenuhinya target penyaluran benih terutama kultur jaringan dalam program bongkar ratoon dikhawatirkan membuat peningkatan produktivitas tidak sejalan dengan yang diharapkan,” pungkas Hermono Budhisantosa. l

risEt

Pemerintah telah mencanagkan swasembada gula nasional. namun dalam perkembangannya, pergulaan nasional pun masih banyak kekurangan. Benih sebagai salah satu faktor yang mampu meningkatkan produktivitas tebu harus segera diperbaiki. Melalui kultur jaringan diharapkan benih tebu mampu mendukung perbaikan pergulaan nasional.

suMBer Benih teBu dengan teKniK Kultur jaringan

Oleh: Untung Prasetyo

J

Page 20: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

36 sugar insight | Desember 2013 37sugar insight | Desember 2013

Agi lahir dan berkembang untuk menginisiasi dan memperjuangkan kepentingan anggota yang bergerak dalam pergulaan berbasis tebu nasional. Kini Agi telah bangkit kembali setelah lama mati suri. Dengan menampilkan wajah baru, pemimpin baru, dan rencana kedepan yang lebih nyata, Agi kembali hadir dengan semangat baru untuk bersama-sama membangun pergulaan nasional.

ergerakan pergulaan indonesia tidak terlepas dari sejarah yang

melingkupinya. Di masa awalnya, gula yang berasal dari tebu merupakan komoditas yang sepenuhnya diatur regulasinya oleh pemerintah. Melalui BULOG pemerintah mencoba mengatur sistem pergulaan nasional secara monopoli. Sistem tersebut pun mengatur keluar masuk gula impor yang dibutuhkan untuk industri makanan minuman dan industri farmasi dengan kualitas gula yang memiliki kemurnian tingkat tinggi (ditunjukan dengan nilai icumsa rendah). Dalam perjalanannya impor gula dengan tingkat kemurnian tinggi bukan lagi suatu hal yang patut dipertahankan. Pemerintah yakin bahwa industri dalam negeri pun mampu mengahsilkan gula dengan icumsa rendah.

Ditandai dengan reformasi dan terbukanya liberalisasi, regulasi

pergulaan dirubah menjadi baru. Keran raw sugar impor dibuka untuk swasta untuk diolah menjadi gula rafinasi dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Pada dasarnya industri tersebut didesian untuk memenuhi keutuhan industri makanan minuman dan farmasi yang memerlukan gula dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Industri rafinasi tidak pernah didesain ke pasar tradisional. Jadi kehadiran industri rafinasi yang menghasilkan gula dengan tingkat kemurnian yang tinggi merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa tolak. Selanjutnya adalah bagaimana dengan nasib gula dari tebu dalam negeri?

Bergerak dari perspektif sejarah yang melingkupi kehidupan industri gula, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia, Ir. Tito Pranolo, MBA, Msc mengungkapkan, bahwa Asosiasi Gula Indonesia (AGI) dibentuk untuk merespon kebutuhan para pemangku kepentingan baik perusahaan swasta

maupun BUMN dalam suatu wadah demi memperjuangkan kepentingan bersama untuk kemajuan pergualaan nasional.

Tepat 33 tahun yang silam, bertempat di Jakarta 10 November 1980 Asosiasi Gula Indonesia terbangun atas inisiasi perusahaan yang berkecimpung dalam dunia gula untuk bersatu memperjuangkan aspirasinya untuk kepentingan anggota dan gula nasional. Selain itu, kini AGI pun ditujukan untuk meningkatkan posisi tawar organisasi dalam perumusan kebijakan pergulaan nasional dan membangun jejaring kerja untuk meningkatkan value creation.

Maka dari itu perlu sebuah asosiasi yang mampu memperjuangkan kepentingan tersebut. Inilah fungsi AGI pada dasarnya,” ungkap Tito Pranolo.

Pada masa kepimpinan Tito Pranolo saat ini, AGI akan memposisikan perannya sebagai ujung tombak pergulaan nasional yang berbasis tebu untuk mampu menjadi komoditas unggulan yang mendukung program pemerintah menuju swasembada gula nasional. AGI dengan pemimpin baru memunculkan wajah baru yang memiliki rencana kerja lebih nyata untuk membangun industri gula berbasis tebu. Tito

asosiasi gula indonesia

Oleh: Untung Prasetyo

dialOg

P

Untuk diketahui, anggota AGI adalah industri gula yang berbasis tebu. Dalam keanggotan AGI terdapat perusahaan yang dapat dilihat dari dua model, yaitu pertama industri yang memproduksi gula dari petani tebu, dan kedua yaitu perusahaan yang memproduksi gula dari tebu yang dikelola sendiri.

“AGI merupakan asosiasi yang harus memperjuangkan kepentingan industri gula yang diantaranya, harus mampu berbicara pada pemerintah, petani, dan diantara anggota-anggota itu sendiri. Dimana setiap anggota apabila memperjuangkan kepentingan nya sendiri-sendiri pasti tidak efektif.

Tito Pranolo

Page 21: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

38 sugar insight | Desember 2013 39sugar insight | Desember 2013

Pranolo menjelaskan kedepannya AGI akan memberikan sumbangan pada pemerintah tentang kebijakan gula Indonesia pada masa mendatang. Hal tersebut dianggap penting karena menurutnya pada saat ini policy antara gula kristal rafinasi (GKR) dengan gula kristal putih (GKP) masih terpisah dan harus secepatnya terintegrasi menjadi satu kebijakan yang utuh serta bersifat nasional.

“Misalkan, dalam hal stabilisasi harga, pada dasarnya apabila gula ini benar-benar ingin dilepas ke pasar bebas, maka apabila harga gula naik atau turun pemerintah seharusnya tidak ikut campur tangan. Namun, pada saat ini pemerintah melakukan intervensi manakala terjadi perubahan harga gula. Sehingga perlu adanya kebijakan yang jelas, dan kini AGI sedang mengusahakan hal tersebut,” ungkap Tito Pranolo.

Selain iyu Tito Pranolo mengungkapkan bahwa kedepan AGI akan memperjuangkan GKP menuju SNI. Sebagai awalan pada tahun 2013 ini AGI akan menggelar workshop dari anggota AGI untuk mengantisipasi dan merespon kebijakan pertanian tentang GKP harus memenuhi standar SNI dalam kurun waktu dua tahun. “Dan hasil workshop tersebut pada akhir tahun ini, dapat kita gunakan untuk membuat program kerja berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan dalam dua tahun kedepan untuk memenuhi keinginan pemerintah agar GKP memenuhi SNI. Hal tersebut yang penting untuk dilakukan oleh AGI dalam waktu dekat ini,” jelas Tito.

Saat disinggung masalah kebocoran gula kristal rafinasi di pasar tradisional dan bagaimana peranan AGI dalam menanggapinya, Tito Pranolo melihat dari pendekatan industri maka masalah tersebut adalah sebuah tantangan. Menurutnya ini ada adalah tantangan bagi industri GKP dan AGI sendiri untuk harus memenuhi standar-standar yang diinginkan oleh konsumen.

“Pada saat ini konsumen terus meminta gula dengan kualitas yang baik, maka industri harus mampu ke arah tersebut. Itulah alasan kenapa AGI mengambil inisiatif untuk bersama-sama membuat program kerja untuk mencapai SNI. Karena kita harus menaikan standar GKP, tidak ada pilihan lain,” jelas Direktur Eksekutif AGI tersebut.

Perjuangan tidak bisa diwujudkan apabila hanya tertulis di atas kertas, sehingga dalam perjalannya, Tito Pranolo menegaskan AGI harus bisa dan mampu meyakinkan stakeholder tentang kebutuhan anggotanya. Untuk itu, secara bertahap dan berkali-kali melalui seminar, pertemuan

apakah hal tersebut kebijakan pemerintah atau coorporate action? Apabila hal tersebut diserahkan sepenuhnya oleh pabrik, maka hal tersebut tidak akan tercapai, sehingga harus ada kebijakan nasional,” jelas Tito. Dirinya menyebutkan bahwa di sinilah kembali AGI harus berperan dengan memperbaiki kebijakan tersebut. AGI harus mampu memperjuangkan hal tersebut melalui stakeholder yang memangku kepentingan, baik dewan gula maupun pemerintah.

Tito Pranolo pun tidak menampik ada kekurangan yang menghinggapi AGI dan harus segera diperbaiki. Menurutnya hingga kini AGI memiliki permasalahan dalam hal komunikasi antar anggota, asas kemanfaatan, dan transparansi. Seperti organisasi atau asosiasi pada umumnya, AGI pun harus terus memperbaiki dan menyempurnakan pola komunikasi antar anggota sehingga timbul interaksi yang menghasilkan manfaat bagi anggota itu sendiri. Selain itu diperlukannya transparansi yang baik sehingga memunculkan trust dari anggotanya kepada asosiasi.

Pada akhirnya, Tito Pranolo berharap kedepannya AGI mampu mensinergikan antara pemerintah, industri dan petani untuk bisa berjalan dengan baik. Dirinya pun mengharapkan AGI di bawah kepemimpinannya mampu mengembangkan industri gula berbasis tebu serta merubah kebijakan revitalisasi pabrik gula menjadi kebijakan gula nasional bukan coorporate action. Sebagai catatan akhir, Tito Pranolo mengungkapkan kita harus dapat melihat tebu bukan sebatas komoditas, namun tebu adalah bagiah dari kebudayaan. “Tebu hidup dan tetap harus hidup merupakan sebuah keharusan, maka dari itu kedepannya negara harus membangun refine factory dengan kombinasi PG gula tebu,” pungkas Tito Pranolo. l

dialOg Orasi

antar stakeholder AGI secara aktif menginisiasi kebutuhan anggota AGI baik dalam hal operasional maupun dalam tingkat tataran kebijakan.

Pada saat ini kebijakan gula hanya bertumpu pada kebijakan kementerian perdagangan. Untuk saat ini kebijakan gula yang dikeluarkan oleh beberapa SK dari kementerian perdagangan terlalu berat untuk menanggung masalah pergulaan nasional. Kebijakan tersebut menurutnya hanya kebijakan yang mengatur perdagangan gula saja. Sehingga tetap saja harus ada kebijakan yang mengatur pergulaan nasional.

“Misalkan masalah revitalisasi pabrik gula, pertanyaannya adalah

November 2013 mungkin menjadi hari yang tak bisa dilupakan bagi

Ketua Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (Gaperindo), Agus Pakpahan. Pasalnya di hari tersebut, Mantan Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan tahun 2005-2010 ini resmi mendapatkan gelar Profesor Riset. Seolah menjadi atribut, Agus Pakpahan, seorang yang dikenal humble ini tak bisa melepaskan penelitiannya dari hal yang berhubungan dengan petani. Hasil riset yang membawa gelar profesornya ini mencoba menelisik kembali nasib petani yang disebut sudah mengalami guremisasi. Disebut demikian kata Agus, akibat warisan evolusi sejarah pembangunan yang keliru.

Dalam orasinya, Agus menekankan Korea Selatan dan Jepang sebagai referensi empirik yang terlebih dahulu mampu meningkatkan luas lahan usahatani per RTP dengan menghadirkan transformasi ekonomi yang dicirikan oleh kekuatan sektor industri dan jasa dalam menyerap tenaga kerja pertanian dan perdesaan. Meski secara sosial budaya menurut Agus kondisi ketiga Negara ini tak sama, namun seharusnya ini bukan menjadi satu alasan untuk tidak maju. Agus menilai tidak ada suatu negara yang bisa mengelak dari kenyataan bahwa kemajuan suatu negara tergantung kesuksesan industrialiasasinya.

Agus juga tak lupa merewiew kekeliruan yang dilakukan pada masa pemerintahan lalu yang justru semakin memasifkan guremisasi, utamanya saat kepemimpinan orde baru. Pada era ini kata Agus penguasaan lahan pertanian menjadi variabel eksogen atau luas lahan minimum diserahkan kepada proses “almiah”. Artinya, peningkatan produksi dan produktifitas pertanian yang memberikan swasembada pangan tidak berkorelasi positif dengan aset lahan yang dimiliki petani. Di lain pihak, perusahaan perkebunan besar, khususnya kelapa sawit semakin berkembang dengan laju yang sangat cepat dengan penguasaan sedikit

pihak. Hal ini justru berkebalikan dengan kondisi Korea Selatan dan Jepang dimana guremisasi bukan merupakan proses ilmiah.

Dalam programnya, Agus mengatakan perlu disorot dan kembali mengintensifkan persoalan intensifikasi pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang juga merupakan inti program antiguremisasi dan isi pokok pengembangan organisasi petani dan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Di negara maju kata Agus, program peningkatan organisasi dan BUMP sangat terarah, jelas, dan terukur sesuai karakteristik petani gurem. Tak hanya itu, Agus menyarankan agar Pemerintah mau mendirikan lembaga semacam FELDA di Malaysia.

Bagi petani gurem, Agus juga menyarankan perlu dibangun Bank Tanah. Apabila pada awal 1980-an lahir Program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), maka hal itu juga harus diciptakan untuk kebutuhan petani. Di sesi penutup orasinya, Agus menyebut perlu dilakukan koreksi bahkan reformasi terhadap arah, strategi, kebijakan, dan program pembangunan nasional agar guremisasi petani dan pertanian di Indonesia tidak berlanjut. “Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan political commitment yang kuat,” tegas ayah empat anak ini. l

Judul diangkat dari Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Agro Ekonomi (Ekonomi

Pertanian) oleh Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementerian Pertanian

MeMBaliK arus gureMisasi petani dan pertanian1

Oleh: Cici Wardini

13

Diperlukan political commitment yang kuat untuk menghentikan guremisasi petani

“Tebu hidup dan tetap harus hidup merupakan sebuah keharusan, maka dari itu kedepannya negara harus membangun refine factory dengan kombinasi Pg gula tebu.”

Agus Pakpahan

Page 22: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

40 sugar insight | Desember 2013 41sugar insight | Desember 2013

OPini

ntuk kesekian kalinya pada 17 September 2013 lalu ribuan petani tebu melakukan unjuk

rasa atas maraknya peredaran gula rafinasi di pasar bebas. Mereka demo di depan kantor Departemen Perdagangan di Jakarta. Petani minta agar peredaran gula rafinasi diawasi supaya tidak masuk ke pasar konsumsi yang menyebabkan penurunan harga gula kristal putih (GKP).

Protes terhadap masuknya gula rafinasi ke pasar konsumsi masyarakat, yang berdasarkan aturan diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, bukan kali ini saja. Unjuk rasa serupa hampir berulang setiap tahun, terutama pada saat harga GKP rendah.

Penetrasi gula rafinasi tampaknya sulit dihindari. Pengawasan atas pelanggaran distribusi tidak cukup memadai dan bahkan relatif lemah. Di pesisir timur Sumatera, sebagian besar Kalimantan dan Sulawesi, gula rafinasi dengan mudah ditemukan di warung dan toko-toko. Peredarannya sangat bebas serta kasat mata. Mungkin saja itu gula impor ilegal.

Saat ini ada 11 pabrik gula rafinasi dengan total kapasitas terpasang

hampir 5 juta ton, sementara kebutuhan hanya 2,5 juta ton setahun. Jadi logis kalau keinginan untuk menambah produksi agar pabrik tidak idle capacity selalu muncul. Apalagi, 62 pabrik GKP berbahan baku tebu lokal masih belum bisa mencukupi konsumsi gula masyarakat sebanyak 2,8 juta ton. Seiring dengan pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan masyarakat, kebutuhan gula akan terus meningkat. Tarikan pasar ini yang menggoda gula rafinasi masuk ke pasar.

Derita Terus MelandaHarga GKP rendah bukan semata-mata karena rembesan gula rafinasi. Mesti diakui, penggunaan bahan baku gula mentah impor dengan harga lebih murah untuk rafinasi, akan menghasilkan gula yang lebih murah dibandingkan GKP. Gula mentah yang umumnya dihasilkan negara produsen gula relatif efisien seperti Brazil, India, Thailand dan Australia memang sulit disaingi produsen gula lokal. Tampaknya hingga beberapa tahun ke depan, biaya produksi gula kita masih akan lebih tinggi dibanding negara-negara di atas.

Harga patokan petani (HPP) GKP tahun ini yang sama dengan tahun lalu sebesar Rp 8.100 per kg, juga disinyalir menjadi penyebab rendahnya harga GKP. Permintaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) menjelang awal giling agar HPP ditetapkan Rp 9.800 per kg tidak disetujui Departemen Perdagangan. Mungkin argumennya untuk menjaga stabilitas harga di pasar dan menekan inflasi.

Soal harga baru satu cerita. Derita petani bermula dari iklim yang tak bisa diduga. Hujan berkepanjangan terjadi ketika sebagian besar PG memulai awal giling pada Juni 2013, bahkan terus berlanjut hingga pertengahan Agustus.

Hujan selama musim giling tebu jelas menambah biaya. Ongkos tebang dan angkut tebu naik, biaya prosesing gula membengkak,

KonSpiraSi KemaKmuran gula

Aris [email protected]

Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)

sementara gula yang dihasilkan berkurang. Keuntungan petani pasti turun dan bahkan diambang kerugian.

Harga yang diharapkan jadi penyelamat cenderung turun hingga Rp 9.000 per kg. Padahal sebelumnya harga gula bertengger pada kisaran Rp 11.000 sekilo. Kondisi ini benar-benar membuat petani kelimpungan.

solusi KemelutProtes petani tebu atas persoalan merembesnya gula rafinasi dan harga gula rendah, merefleksikan carut marutnya persoalan gula selama ini. Hasrat mencari rente dari impor gula sampai batas tertentu telah menggelapkan mata beberapa oknum. Hitungan neraca kebutuhan gula sering berbeda diantara para stake holder dan ujung-ujungnya impor

gula melampaui kebutuhan. Lagi-lagi luberan gula masuk ke pasar.

Di sisi lain, produsen GKP harus meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Alokasi sumberdaya, baik dalam bentuk pemanfaatan lahan, prasarana produksi, dan aset lainnya, harus dioptimalkan. Sayangnya, upaya tersebut belum banyak kelihatan. Roadmap Swasembada Gula dan Revitalisasi Industri Gula tidak bisa diimplementasikan sepenuhnya. Swasembada gula tampaknya masih sekedar wacana dan jauh dari realita.

Persoalan diatas sebenarnya bisa diselesaikan asal ada kemauan. Pertama, kalau separasi pasar gula rafinasi dan GKP tetap dipertahankan, kuota impor gula mentah harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Jangan ada over kuota impor, apapun alasannya. Kedua, harus ada ketentuan yang jelas dan terukur atas alokasi jumlah impor raw sugar untuk idle capacity, commissioning test, dan keperluan khusus. Ketiga, harmonisasi kebijakan gula harus dilakukan. Tarif impor gula mentah sebaiknya fleksibel dan diserasikan dengan fluktuasi harga gula mentah sehingga harga jual gula rafinasi tidak berada dibawah HPP GKP. Kebijakan ini harus benar-benar dikaji agar tidak merugikan semua pihak, khususnya industri mamin. Keempat, dalam jangka panjang dikotomi pasar gula perlu dihilangkan karena akan sulit dipertahankan. Pembatasan akses masyarakat terhadap gula yang berkualitas lebih putih dan bersih jelas menghalangi hak konsumen.

Akar masalah persoalan gula sebenarnya mudah dibaca, hanya solusi tuntasnya tak pernah ada. Meminjam istilah Vickinisasi, mungkin Pemerintah harus lebih sungguh-sungguh membangun konspirasi kemakmuran.antara pabrik gula rafinasi pabrik GKP, petani tebu, konsumen dan industri pengguna gula lainnya. Jika tidak, industri gula nasional akan labil ekonomi. l

u

Page 23: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

42 sugar insight | Desember 2013 43sugar insight | Desember 2013

ementerian Pertanian akhir Oktober lalu telah merilis perkiraan produksi gula nasional tahun ini. Total

produksi GKP nasional tahun 2013 berdasarkan data akhir giling 2013 diperkirakan sebesar 2,254 juta ton atau menurun sebesar 1,77% dibanding tahun 2012 yang mencapai 2,591 juta ton. Menurut Suswono, penyebab terjadi penurunan ini selain akibat pabrik yang tak efisien juga karena adanya anomali iklim yaitu curah

hujan dan bulan basah yang lebih banyak dibanding tahun sebelumnya, menyebabkan tebu yang digiling banyak mengandung air.

Dibandingkan tahun 2012, kinerja tahun 2013 untuk luas areal, produksi dan produktivitas tebu mengalami peningkatan. Masing-masing sebesar 2,06% untuk luas areal giling tebu, 10,94% untuk produksi tebu giling, dan 6,51 untuk produktivitas tebu. Dari sisi lahan, menurut sumber Kementan terdapat penambahan luas hingga 9.035 ha dibandingkan tahun lalu. Tahun 2013, luas areal tebu mencapai 460.496 ha. Hitungan ini sudah termasuk penambahan luas areal yang berlokasi di Madura seluas 4.000 ha. Sayangnya, jika dilihat dari rendemen terjadi penurunan sebesar 11,44% dibanding tahun 2012. Ini mengakibatkan produksi gula mengalami penurunan 1,77% dan produktivitas hablur/gula menurun 5,64%. Tahun ini, rendemen gula nasional juga hanya 7,2 % lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 8,13%.

Sangat kontras jika sebelumnya pemerintah menargetkan produksi gula yang disebut akan mengalami kenaikan. Perbaikan yang ditujukan dengan kenaikan produksi ini

diperkirakan akan naik 12% dibandingkan tahun 2012. Target produksi GKP atau gula konsumsi 2012 sebesar 2,54 juta ton sementara realisasinya adalah 2,58 juta ton. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir pernah mengatakan, target produksi gula tahun ini lebih tinggi 300 ribu ton dibandingkan dengan tahun lalu. “Untuk tahun 2013, target produksi gula sebesar 2,8

Rupanya Suswono juga tak mau dianggap gagal. Saat jumpa pers Hari Pangan Sedunia pertengahan Oktober lalu Suswono menilai produksi gula tahun ini meningkat karena adanya penambahan luas lahan, tetapi rendemen atau kadar gula dalam tebu yang dinyatakan dalam persentase justru turun akibat hujan berkepanjangan. Berdasarkan taksasi, produksi gula pada 2013 sebanyak

EKOnOMi

produKsi gula 2013 lesusudah bukan rahasia lagi jika produksi gula tahun ini turun 10-15%. Faktor anomali cuaca dan iklim basah menjadi alasan utama para produsen gula tak maksimal hasilkan gula Kristal Putih (gKP).

Oleh: Cici Wardini

Perkembangan Luas Areal Giling, Produksi Tebu, Rendemen, dan Produksi Gula Tahun 2003-2013

No Tahun Luas (Ha)Tebu

Rendemen(%)

Gula

Produksi(ton)

Produktivitas(ton/ha)

Produksi (ton)Produktivitas

(ton/ha)

1 2003 335.725 22.631.108 67,41 7,21 1.631.919 4,86

2 2004 344.793 26.743.179 77,56 7,67 2.051.644 5,95

3 2005 381.786 31.142.268 81,57 7,20 2.241.742 5,87

4 2006 396.440 29.179.399 73,60 7,90 2.303.758 5,81

5 2007 428.401 33.286.453 77,70 7,35 2.448.143 5,71

6 2008 436.517 32.960.164 75,51 8,10 2.668.428 6,11

7 2009 422.935 30.256.778 71,54 7,60 2.299.504 5,44

8 2010 432.714 35.458.159 81,94 6,08 2.290.117 5,29

9 2011 450.298 30.323.228 67,34 7,29 2.228.259 4,95

10 2012 451.191 31.888.927 72,10 8,13 2.591.687 5,86

11 2013 460.496 35.378.805 76,80 7,20 2.390.000 5,53

% Peningkatan tahun 2013 thd 2003 137 156 114 100 146 114

Sumber: Statistik Ditjen Perkebunan tahun 2012 dan DGI tahun 2013

K juta ton,” ujar Gamal awal tahun 2013 lalu. Ia juga optimistis target tersebut dapat tercapai dengan argumen bahwa tahun 2013 produktivitas gula akan naik karena rendemen naik. Kenaikan produktivitas gula ini merupakan hasil dari kegiatan bongkar ratoon dalam dua tahun belakangan ini. Rerata rendemen gula pada tahun 2012, sebesar 8,12% atau lebih tinggi dibandingkan dengan rerata tahun sebelumnya yang hanya 7,5%.

2,55 juta ton. Upaya pencapaian target swasembada gula menghadapi banyak kendala di antaranya adalah penambahan lahan baru minimal 350 ribu ha dari luas saat ini 450 ribu ha. Untuk meningkatkan produksi gula bagi industri makanan dan minuman dibutuhkan minimal 20 pabrik gula baru.

Sementara itu, dari sisi pengusaha, PTPN IX mengungkapkan ketidakpuasan hasil tebu tahun ini.

Persoalan anomali cuaca dan iklim basah rupanya bukan cuma membuat tebu yang dihasilkan menjadi tak optimal. Tetapi juga berpengaruh pada proses pemanenan.

Page 24: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

44 sugar insight | Desember 2013 45sugar insight | Desember 2013

EKOnOMi

Hasil Giling Gula (dalam ton)Perusahaan Gula / Pabrik Gula 2012* 2013**

pT perkebunan nusantara ii 41.506 37.167

pT perkebunan nusantara Vii 106.302 118.331

pT perkebunan nusantara iX 144.688 137.264

pT perkebunan nusantara X 494.419 491.476

pT perkebunan nusantara Xi 409.072 400.258

pT rajawali nusantara indonesia 345.190 320.536

pT pG Madu Baru 38.217 34.576

pT Kebon agung 182.230 185.939

pT iGn 5.489 12.441

pT pakis Baru 30.845 28.874

pG Bone 10.407 14.595

pG Camming 14.939 17.347

pG Takalar 8.439 10.383

pT Gunung Madu plantation 190.842 182.000

pT sugar Grup 416.735 393.889

pT pG Gorontalo 31.849 26.395

pT pemuka sakti Manis indah 71.181 74.750

pT Lpi (pG Komering) 49.333 59.615

*: realisasi 2012**: hasil taksasi 2013

Sumber: Dewan Gula Indonesia

Menurut Adi, Direktur PTPN IX, tahun ini sungguh dirasakan sulit baik bagi perusahaan maupun petani. “Produktivitas petani rendah karena iklim. Rendemen kami 5,88 dari target semula sebesar 7,5,” kata Adi. Faktor iklim, kata Adi, yang paling mempengaruhi sehingga target ini produksi PTPN IX juga ikut turun dari 160 ribu ton menjadi 140-an ribu ton. Sementara dari sisi pabrik, persoalan cuaca juga menyebabkan ketidakefisienan yang sangat dirasakan PTPN IX dan berimbas pada biaya produksi semakin tinggi. “Penggunaan biaya untuk minyak bahan bakar yang melampaui anggaran. Biaya produksi per kilonya di atas Rp10 ribu untuk minyak,” lanjutnya.

Berdasarkan pantauan Aris Toharisman, Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia/P3GI melalui informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) produksi gula nasional pada 2011 sebanyak 2,26 juta ton, lebih rendah ketimbang tahun 2010 sebanyak 2,28 juta ton. Belakangan, siklus anomali iklim semakin pendek dan tidak bisa diramalkan secara tepat. Tahun ini tingkat produksi diperkirakan seperti 2011 lalu. Pada Februari 2013, kata Aris, BMKG memprediksi kemarau berjalan normal. Namun memasuki Mei, BMKG merevisi kembali prediksinya bahwa hujan terus berlangsung hingga Agustus. Padahal, petani tebu berharap musim kemarau lebih panjang agar giling tebu berjalan normal. “Tebu yang digiling masih terimbas hujan abnormal sebelumnya,” ucapnya.

Persoalan anomali cuaca dan iklim basah rupanya bukan cuma membuat tebu yang dihasilkan menjadi tak optimal. Aris menilai, akibat terbesar dari adanya perubahan iklim ini adalah proses pemanenan menjadi terganggu. Kala hujan yang tak kunjung berhenti menyebabkan petani kesulitan menebang hingga ke lahan bagian dalam, akibatnya petani

hanya menebang bagian terluar dari lahan tebu. Sayangnya, seringkali tebu yang ditebang di bagian pinggir belum cukup umur sehingga mempengaruhi hasil perasan gula. Belum lagi transportasi juga ikut menjadi mahal, dan ini yang harus ditanggung oleh petani.

Tak hanya di lahan, di pabrik gula sendiri memproses gula juga menjadi terhambat. Jika pasokan masih kurang, PG akan menunggu hingga tebu yang masuk sesuai volume pabrik. “Jadi disebut karena musim, ada penurunan sebagian besar karena itu. Rangkaian itu banyak disebabkan oleh teknis,” jelas Aris. Ia juga mencontohkan, kondisi di Indonesia tak seperti di Kolombia yang memiliki curah hujan kecil dan merata sehingga tebu dapat dipanen dan ditebang sepanjang tahun.

Meski tahun ini produksi maupun produktivitas gula tak mampu membuat kita tersenyum, Pemerintah rupanya tak kendor. Kementan justru

memasang target yang cukup fantastis jika dibandingkan dengan kenyataan realisasi produksi gula tahun ini. Suswono bilang target produksi tahun 2014 akan terealisasi sebanyak 3,1 juta ton.

Namun, garis bawahnya adalah, Kementan hanya akan menfokuskan target swasembada gula untuk kebutuhan konsumsi. Kebutuhan konsumsi ini ujar Suswono akan tercapai di tahun 2014. Angka produksi itu merupakan revisi dari target awal swasembada yang mencapai 5,7 juta ton yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan industri makanan dan minuman. “Saat ini kami fokus meningkatkan produksi gula konsumsi,” tandasnya.

Mari kita lihat apakah kali ini Pemerintah betul-betul mampu realisasikan target dan janjinya membawa industri gula menjadi lebih baik. Tak hanya gembar-gembor di awal tahun seperti sebelumnya. l

Page 25: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

46 sugar insight | Desember 2013 47sugar insight | Desember 2013

udah lama Pemerintah menggadang-gadang isu energi terbarukan.

Bioetanol bukanlah barang baru. Hanya saja perkembangannya seperti hidup segan mati tak mau. Belum ada dorongan yang signifikan dari Pemerintah. Namun, akhir Agustus lalu, Pemerintah lewat Menteri Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi tentang kewajiban menggunakan bioetanol secara bertahap. Singkong dan tebu dianggap yang paling siap.

Permen ini terdorong dari fakta bahwa neraca perdagangan Indonesia begitu labil. Defisit neraca perdagangan menumpuk terus, bahkan defisit neraca perdagangan Bulan Juli 2013 saja mencapai US$2,3 miliar. Angka ini melebihi defisit neraca perdagangan sepanjang tahun 2012 yang mencapai US$1,6 miliar.

Angka defisit neraca perdagangan bulan Juli ini dikeluarkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Agustus 2013. Tentu saja data BPS ini membuat Pemerintah seperti kebakaran jenggot. Hal ini yang membuat telinga Pemerintah memerah. Lantas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat empat paket kebijakan pada tanggal 23 Agustus 2013 atau tiga minggu setelah keluarnya data BPS.

Kebijakan pertama berisi tentang upaya memperbaiki neraca transaksi berjalan dan menjaga nilai tukar rupiah. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, salah satu dari

implementasi riil kebijakan pertama ini adalah menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan biodiesel dan bioetanol. Inilah yang kemudian mendorong Kementerian ESDM pada akhir Agustus 2013 membuat aturan kewajiban penggunaan bioetanol yang dikemas bersama dengan aturan kewajiban penggunaan biodiesel.

Dalam aturan anyar itu disebutkan bahwa penggunaan Bahan Bakar Nabati dalam rangka ketahanan energy nasional wajib dilakukan secara bertahap oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak, Pengguna Langsung Bahan Bakar Minyak, dan Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listik yang masih menggunakan bahan bakar minyak.

Untuk bioetanol sendiri, pentahapan itu dimulai dari sektor transportasi Non-Public Service Obligation (Non-PSO) yang berkewajiban memanfaatkan bioetanol minimal sebesar 1% dari kebutuhan total mulai September 2013. Pentahapan berikutnya adalah pada Januari 2014. Sektor transportasi Non-PSO masih diwajibkan memanfaatkan etanol sebesar 1%. Sedangkan sektor transportasi PSO mulai diwajibkan memanfaatkan etanol sebesar 0,5%. Sektor industri dan komersial juga mulai diwajibkan memanfaatkan bioetanol mulai Januari 2013, yaitu sebesar 1%.

Satu tahun kemudian, yaitu Januari 2015, kewajiban pemanfaatan bioetanol ditingkatkan minimal menjadi dua kali lipatnya. Sektor transportasi PSO wajib memanfaatkan bioetanol sebesar 1%. Sementara sektor transportasi Non-PSO serta sektor industri dan komersial wajib

menggunakan bioetanol sebesar 5%.Pada Januari 2020, sektor

transportasi PSO wajib memanfaatkan bioetanol sebesar 5%. Sementara sektor transportasi Non-PSO dan sektor industri dan komersial wajib menggunakan bioetanol sebesar 10%. Baru kemudian pentahapan terakhir pada Januari 2025, yaitu seluruh sektor yang disebut di atas wajib memanfaatkan bioetanol sebesar 20% terhadap kebutuhan total.

Peraturan Menteri ESDM ini hanya mengatur pentahapan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol untuk tiga sektor di atas, yaitu transportasi PSO, transportasi Non-PSO, dan Industri & Komersial. Sementara sektor rumah tangga dan sektor pembangkit listrik belum ditentukan, sehingga belum ada kewajiban menggunakan bioetanol.

170 Juta Liter siapPerlu digarisbawahi, bahwa dalam aturan tersebut juga mewajibkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dari dalam negeri. Dengan kewajiban konsumsi bioetanol seperti ini, tentu akan meningkatkan sisi permintaan pasar dalam negeri. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah permintaan yang meningkat ini bisa diiringi dengan peningkatan penawaran/produksi yang cukup?

Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan produksi bioetanol akan cukup, terutama bersumber dari tebu dan singkong. “Bioetanol 170 juta liter siap untuk penuhi kebutuhan tersebut. Tidak ada masalah dari sisi volume

EKOnOMi

produksi,” kata Dadan kepada Sugar Insight, pertengahan November lalu.

Yang masih menjadi kendala, kata Dadan, adalah ketidakcocokan harga antara Pemerintah dengan produsen bioetanol. Pemerintah menginginkan harga berdasar Harga Indeks Pasar (HIP). Sementara produsen biofuel menganggap harga tersebut belum masuk. Dadan memberikan gambaran, HIP yang berlaku adalah sekitar Rp7.400/liter. Sedangkan harga yang diinginkan produsen biofuel lebih tinggi sekitar Rp1.000 dari HIP tersebut.

Dari sisi pengusaha biodiesel, Permen tersebut seperti buah simalakama. Di satu sisi, mereka butuh pasar akan produk mereka, tetapi di sisi lain, harga tidak mengikuti mekanisme pasar. Kewajiban pemanfaatan bioetanol dalam Permen itu mengikat cukup kuat. Jika Pemegang Izin Usaha Niaga BBN tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka akan ada teguran tertulis dari Pemerintah. Lalu bisa dilanjutkan dengan sanksi administratif berupa penangguhan Kegiatan Usaha Niaga BBN. “Ketidakcocokan harga

ini masih terus kami bicarakan,” kata Dadan. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia sedang belajar bagaimana caranya agar bioetanol di Indonesia bisa semaju di Brazil atau di Thailand. Di Brazil, bahkan kendaraan sudah menyesuaikan dengan bensin dari tebu yang diproduksi di dalam negerinya sendiri.

ampas TebuPT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) sudah melihat potensi pemanfaatan ampas tebu (bagas) untuk dijadikan bioetanol. Potensi ampas tebu jauh lebih besar daripada tetes tebu (molasses). Direktur Utama PTPN X Subiyono mengungkapkan, bahwa satu liter bioetanol memerlukan bahan baku ampas tebu sebanyak lima kilogram yang harga per kilogramnya berkisar di angka Rp200. Dengan begitu, bahan baku satu liter bioetanol dari ampas tebu adalah Rp1.000.

Sementara jika bahan baku pembuatan bioetanol menggunakan tetes tebu, maka untuk menghasilkan satu liter bioetanol akan memerlukan bahan baku empat kilogram tetes tebu atau setara dengan Rp4.000. Dengan begitu, profit margin pembuatan bioetanol dengan ampas tebu jah lebih besar ketimbang menggunakan tetes tebu.

Berdasarkan hitung-hitungan tersebut, PTPN X telah membentuk tim pengkaji khusus dalam rangka perencanaan pembangunan pabrik bioetanol dari ampas tebu. Saat ini, PTPN X sendiri sudah memiliki pabrik bioetanol dari tetes tebu, yaitu di Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto. Subiyono menjelaskan, dari sebelas pabrik gula yang ada dalam naungan PTPN X, setidaknya terdapat 1,8 juta ton ampas tebu. Katakanlah yang digunakan untuk operasional pabrik sebesar 1,3 juta ton, maka akan tersisa 0,5 juta ton ampas tebu yang bisa dikonversi menjadi 100 juta liter bioetanol. “Potensi ini harus dimaksimalkan,” kata dia. l

KetiKa Bioetanol Menjadi KeWajiBanOleh: Muhammad Iqbal

s

Page 26: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

48 sugar insight | Desember 2013 49sugar insight | Desember 2013

CErOBOng

gMp: optiMis Menatap industri gula

ondisi industri gula Indonesia yang saat ini mengalami “kemunduran”

tak menyurutkan langkah PT Gunung Madu Plantation (GMP) untuk tetap tegak melangkah. Masih ada harapan, dan industri gula di Indonesia akan terus berkibar. Itulah optimisme sebuah perusahaan yang telah tiga dasawarsa lebih malang melintang di industri pemanis ini.

Perjalanan GMP ketika menginjakkan kaki di tanah Lampung tak selalu mulus. Berdiri di atas lahan kering seluas 35 ha membuat musim giling perdana di tahun 1978 hanya mencetak sekitar 18 ribu ton dengan tingkat produktivitas kristal gula sebesar 3,5 ton gula/ha. Ditertawakan bahkan dicibir sudah mereka rasakan, namun kerja keras dan belajar membuat GMP bisa tersenyum saat ini. “Kami butuh cash flow dan kami perlu

Berdiri tegak sebagai pioneer di lahan kering, Pt gunung Madu Plantation (gMP) hingga kini mampu membuktikan bahwa industri gula di indonesia patut dibanggakan dan masih memiliki kontribusi yang cukup besar di indonesia.

Oleh: Cici Wardini

K

memutar bisnis maka dari hasil itu kami perlu belajar,” ujar Gunamarwan, Services Business & Finance Manager GMP.

GMP tergolong ke dalam Perusahaan Modal Asing (PMA) dengan penanam modal utama dari Kuok Investment Co, Ltd. dengan

shareholder sebesar 45%, sisanya adalah dua perusahaan lokal lainnya yakni PT. Redjo Sari Bumi dan PT. Pipit Indah. Keberhasilan GMP tidak

lepas dari ketiga perusahaan tersebut. Sebut saja persoalan lahan kering yang ketika itu menjadi momok. Beruntungnya, Kuok Investment

memiliki pengalaman sebelumnya terhadap lahan kering di Malaysia tepatnya di daerah Kucing yang justru memiliki unsur hara yang lebih miskin

Page 27: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

50 sugar insight | Desember 2013 51sugar insight | Desember 2013

ketimbang di Lampung. Pengalaman inilah yang kemudian dibagi untuk GMP baik secara teknologi maupun sumber daya alamnya.

Semula Gunamarwan mengisahkan, dahulu Lampung tak dijadikan rekomendasi untuk industri gula berbasis tebu akibat lahannya yang cenderung kering. Namun pertimbangan memilih lokasi Lampung yang berdekatan dengan Pulau Jawa serta pelabuhan yang sudah mantap kala itu tak menyurutkan langkah GMP membangun industri gula yang berlokasi di Gunung Batin ini. GMP kemudian membawa top soil—salah satu bagian tanaman—untuk kemudian dikirim dan dipelajari di negara tetangga. Upaya mengembangkan riset dan teknologi ini menuntut GMP membentuk unit penelitian sendiri sebagai langkah strategis menghadapi berbagai masalah teknologi khususnya di bidang pertanian tebu.

Dalam perkembangannya, anggaran yang disediakan untuk bidang ini dapat mencapai Rp2,5 miliar lebih per tahun. “Dulu kan mindset kita tebu hanya tumbuh di Jawa dengan tingkat kesuburan tertentu. Mindset ini kan jadi berubah,” ungkap pria yang bekerja sejak awal GMP berdiri ini. Setelah mengalami masa sulit produksi di awal berdirinya, pelan tapi pasti dalam musim lima tahun terakhir setelahnya produksi gula mencapai rata-rata di atas 160.000 ton dengan tingkat produktivitas di atas tujuh ton gula per ha.

Hasil riset dan pengembangan GMP tak sia-sia, hingga kini GMP sudah masuk di musim yang ke-36 atau paling tidak sudah sembilan periode sudah terlewati dengan menerapkan empat kali panen di setiap kali tanamnya. Tak tanggung-tanggung, setiap tahun GMP memiliki komitmen untuk membenahi pabrik agar kondisinya tetap prima. “Untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas

kondisi seluruhnya harus bagus,” tandas Gunamarwan.

anomali CuacaTak dipungkiri, kondisi tahun ini menjadi cobaan yang berat bagi industri pergulaan nasional. GMP juga tak luput dari kondisi yang miris ini. “Tahun ini (produksi gula) Indonesia menurun 10-15% ini karena curah hujan tinggi. Produksi menurun dan harga juga turun,” ujar Gunamarwan. Menurutnya, produksi GMP mengalami penurunan dari target yang sudah ada sebelumnya yakni 195 ribu ton menjadi 185 ribu ton dengan rendemen 8,38%. Sementara dari hasil samping yakni tetes tebu (molasses), GMP mampu mengantongi hasil yang kemudian diekspor ke berbagai negara ini sebesar 80 ribu ton. Dari produksi ini, Gunamarwan mengaku pangsa pasar GMP tidaklah besar atau sekitar 8-10%. Ini menurutnya masih belum cukup untuk bisa mempengaruhi harga gula secara nasional.

Kapasitas GMP sendiri sejak tahun 1990-an sudah mengalami peningkatan signifikan. Berawal

dari kapasitas empat ribu TCD (Ton Cane Day) menjadi 12 ribu TCD. Ini menurut Gunamarwan masih dapat ditingkatkan kapasitasnya apabila kebutuhan dan pasokan tebu menigkat. GMP, selain mengolah tebu dari kebun yang bersumber dari HGU sendiri juga berasal dari plasma yang dibina oleh GMP. Pada musim tebang dan giling tiba, GMP sudah memasang blok sehingga saat masuk ke pabrik sudah ada nomor masing-masing.

“Kami prinsipnya transparansi dan tidak ada keterpaksaan. Kami bayar setelah satu bulan panen 80% itu kami bayar,” tegas Gunamarwan. GMP sadar saat ini model plasma dan kemitraan harus dibangun agar masyarakat sekitar mampu berdaya. Gunamarwan mengaku luas lahan untuk plasma seluas 3800 ha dan pada tahun 2003-2004 sudah panen. GMP juga menjadi avails bagi petani tebu yang menjadi plasmanya.

Dengan kondisi yang menurun saat ini, dipastikan untuk tahun ini omzet GMP akan menurun. Seperti diketahui, tahun 2012 lalu, produksi

GMP mencapai 190 ribu dengan omzet dari harga gula yang dipatok Rp9000, GMP mampu mengantongi Rp1,9 triliun. “Angka 1,9 bukan semua milik GMP, masih ada dari petani dan ini belum dihitung ppn. Ada yang bilang keuntugan GMP Rp1 trilun ya Alhamdulillah,” kata Gunamarwan sambil tersenyum.

Upaya GMP agar industri gula dapat menjadi industri yang ramah lingkungan dan mengolah limbah hingga zero waste dibuktikan dengan pengolahan limbah cair yang dilakukan secara biologis melalui serangkaian kolam anaerob dan aerob. Instalasi pengolahan ini menempati lahan seluas 10 Ha. Limbah padat berupa blotong seluruhnya dimanfaaatkan kembali sebagai pupuk organik di kebun tebu. Blotong ini cepat memberikan peningkatan pertumbuhan vegetatif tanaman, mengurangi pemakaian pupuk kimia dan memperbaiki kesuburan fisik dan kimiawi tanah.

Buangan padat lainya, ampas tebu (bagasse), digunakan sebagai bahan bakar ketel yang berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik. Dalam hal

ini pabrik gula selalu berswasembada listrik. Ampas yang tidak habis terpakai oleh ketel pabrik digunakan untuk membangkitkan listrik yang lebih besar (untuk penyediaan tenaga listrik sampai ke kebun), ampas tebu kini juga dimanfaatkan untuk bahan baku utama pembuatan kompos.

Bagi GMP, jangka panjang sebuah kesuksesan didapatkan jika tiga keberlanjutan (sustainable) ini dapat tercapai diantaranya keberlanjutan secara ekonomi, ekologi, dan bermanfaat secara sosial. “Secara ekonomi, GMP harus ada memiliki profit maka produktivitas kami harus bagus,” kata Gunamarwan.

Ia lanjut memaparkan jika GMP juga terus berusaha menjaga keseimbangan ekologi sebagai tindak lanjut kesuksesan yang kedua. Dari sisi ekologi, GMP menurut Gunamarwan memberlakukan tanah dengan pupuk organik tanpa insektisida. Menanam sesuai kontur tanah, dan memanfaatkan sebaik mungkin ampas tebu untuk energy. Gunamarwan mengklaim dibutuhkan sekira 15 megawatt bagi keberlangsungan pabrik berikut

perumahan di sekitar pabrik. “Kalau ekologi jelas kita harus mempertahankan alam harus lebih bagus dan dijaga. Ini kan konsekuensi long term tadi,” tandasnya.

Sementara yang terakhir yakni bermanfaat secara sosial mulai dari ruang lingkup R0 atau internal GMP hingga sampai R3 atau masyarakat sekitar kawasan. GMP setidaknya harus menyentuh empat hal: pertama fisik meliputi gaji, fasilitas perumahan dan kesehatan baik sarana olahraga, pendidikan, dan rekreasi. Kedua intelektual berupa ide-ide dari seluruh lini karyawan yang dihargai. Ide-ide tentang teknologi misalnya yang ada riset teknik periodisasi soal pembungaan tanaman tebu, “Kami ada lahan 225 ha untuk riset karena perusahaan akan besar jika punya riset dan pengembangan,” tandas Gunamarwan.

Poin ketiga dan keempat yang harus disentuh oleh GMP dari sisi manfaat secara sosial adalah usaha GMP bekerja dengan hati dan jiwa baik dengan staf maupun karyawan dan masyarakat sekitar. Bermanfaat secara sosial ini berbuah manis. Hingga saat ini setidaknya, GMP dan masyarakat sekitar sudah membangun koperasi dengan lahan seluas 200 ha tanaman sawit, singkong, dan kebun tebu.

Memegang teguh prinsip dan landasan perusahaan, GMP berusaha menatap optimis industri gula ke depan. “Sebetulnya kalau kita lihat konsumsi naik terus artinya dengan pendapatan per kapita yang naik kebutuhan gula akan ikut naik,” kata Gunamarwan. Hanya saja Ia berharap pesaing industri gula berbasis tebu yakni gula rafinasi seringkali merembes ke pasar hingga dirasakan menyulitkan. Namun GMP menurut Gunamarwan tetap optimis dengan target produksi gula tahun 2014 mendekati 200 ribu ton. Kami masih akan bergerak ke depan. Kami optimis!” tegas Gunamarwan. l

CErOBOng

Page 28: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

52 sugar insight | Desember 2013 53sugar insight | Desember 2013

ertumbuhan yang cukup pesat membuat perkembangan akan permintaan makanan dan

minuman menjadi semakin tinggi. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki daya tarik sebagai tujuan para investor untuk menanamkan investasinya dalam membangun industri makanan dan minuman. Ditambah lagi pertumbuhan yang begitu pesat dan tidak diimbangi dengan perkembangan makanan jadi yang hanya meningkat 12,72% dari rata-rata jumlah konsumsi makanan per kapita sebesar 51,08% (data BPS, Maret) membuat industri makanan dan minuman sangat menarik untuk dikembangkan.

Peluang inilah yang harus segera direspon dan dimanfaatkan oleh industri gula rafinasi dalam melebarkan usahanya. Pasalnya, industri makanan dan minuman yang kini terus berkembang tidak terlepas akan kebutuhannya terhadap gula rafinasi dengan kualitas baik dan memiliki tingkat kemurniaan yang tinggi. Menurut Direktur SEAFAST CENTER IPB, Purwiyatno Hariyadi, jelas apabila industri makanan dan minumam memilih gula rafinasi

sebagai salah satu bahan pokoknya, disebabkan dengan prinsip aman, berkualitas, dan harus memenuhi tuntutan mutu konsumen, maka gula rafinasilah yang sesuai dengan syarat-syarat tersebut. “Gula rafinasi memiliki peranan penting dalam pembangunan daya saing produk dan gizi masyarakat,” ungkap Purwiyatno.

Namun kini persoalannya adalah bagaimana peluang tersebut dapat dimanfaatkan secara semaksimal mungkin dengan mensinergikan pabrik gula yang telah ada. Sehingga akan terjadi pengintegrasian antara pabrik gula tebu dengan industri gula rafinasi melalui konsep kemitraan. Namun sebelum jauh menyentuh kata “kemitraan”, ada baiknya apabila kita melihat konsep sinergitas dalam membangun pergulaan nasional.

Menurut Wakil Sekjen Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), Colosewoko, sinergitas pergulaan nasional akan tercapai ketika adanya good will dari pihak-pihak yang konflik, baik pengusaha Gula Kristal Putih (GKP) maupun Gula Kristal Rafinasi (GKR), serta komitmen antar lembaga pemerintah yang terkait untuk memfasilitasi dan menetapkan kebijakan yang jelas, tegas, tepat, tanpa memihak, dan secara konsisten dijalankan. Lanjut dirinya menjelaskan hal tersebut mengindikasikan harus adanya perbaikan kebijakan (SK Menperindag No.57/2004) yang menjadi pegangan para pelaku industri gula serta harus ada tindakan nyata antara pabrik gula rafinasi dan asosiasi petani tebu untuk menjaga stabilisasi harga gula pada

MungKinKah sinergitas paBriK gula teBu dengan rafinasi?industri makanan dan minuman berkembang begitu pesat seiring pertumbuhan yang melaju dengan cepat. Peluang gula rafinasi sebagai salah satu bahan pokok industri makanan dan minuman terbuka lebar. Kini tantanganya adalah bagaimana peluang tersebut mampu menyentuh industri gula rafinasi dan pabrik gula tebu?

Oleh: Untung Prasetyo

P

tingkat yang wajar.Lain halnya dengan Colosewoko,

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Tito Pranolo melihat peluang bisnis industri makanan dan minuman yang membutuhkan gula rafinasi sebagai tantangan yang harus mampu direspon oleh pabrik gula tebu. Dengan adanya perkebunan tebu dan pabrik gula tebu, menurutnya Indonesia harus mampu membangun refine factory kombinasi dengan pabrik gula tebu. “Kedepan, Indonesia bukan lagi stand alone refine factory, namun harus sudah menuju refine factory kombinasi dengan pabrik gula tebu,” ungkap Tito. Sehingga selain memajukan pergulaan nasional, hal tersebut pun dapat meminimalisir kesenjangan antara petani tebu rakyat dengan industri rafinasi.

Selain itu, Tito Pranolo mengungkapkan bahwa perlu adanya revitalisasi pabrik gula. Untuk menghasilkan gula dengan kualitas baik atau dengan nilai icumsa yang rendah, maka diperlukan teknologi yang lebih baik. Sehingga menurutnya sudah menjadi sebuah keharusan bahwa revitalisasi menjadi kebijakan nasional, bukan lagi hanya menjadi aksi korporasi dalam memajukan industrinya. “Tidak akan tercapai sinergitas dan perbaikan kualitas gula apabila revitalisasi gula sebatas corporate action,” ungkap Tito Pranolo.

Namun memang tak dapat dipungkiri, menuju sinergitas dan kemitraan pabrik gula tebu dengan rafinasi bukanlah pekerjaan yang mudah, banyak yang harus diperbaiki. Dari penyelesaian konflik, kebijakan yang tidak jelas, hingga terhambatnya revitalisasi pabrik masih menyelimuti pergulaan nasional. Menurut catatan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang disampaikan oleh Wakil Sekjen DPN APTRI, M. Nur Khabsyin, masih banyak permasalahan yang muncul di lapangan, diantaranya turunnya harga gula lokal sebagai akibat banyaknya gula rafinasi yang ngerembes di pasaran tradisional, adanya izin raw sugar yang melibihi kebutuhan, dan tidak ada sanksi yang tegas dari pemerintah berkenaan hal tersebut.

Menurutnya, kedepan pengusaha-pengusaha gula rafinasi yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) harus mampu menjamin tidak ada gula rafinasi yang bocor dan harus membayar ganti rugi pada petani apabil ada kebocoran pada gula rafinasi serta komitmen dalam menjalankan kemitraan. “Untuk membangun kemitraan diperlukan check and balance dan komitmen manjalankan kesepakatan sehingga timbul trust dari pihak petani mapun AGRI sendiri,” ungkap Khabsyin. l

CErOBOng

Page 29: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

54 sugar insight | Desember 2013 55sugar insight | Desember 2013

Gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 berkunjung mendadak ke pabrik gula Cepiring di Kendal. Bibit merasa terkesan dengan perjuangan Kamadjaya, Presiden Direktur PT. Gendhis Multi Manis yang kala itu memakai nama PT. Multi Manis Mandiri dalam merenovasi pabrik gula milik PTPN IX tersebut. Ketika itu Kamadjaya hendak membangun pabrik gula di Sambas, Kalimantan Barat. Akan tetapi, hal tersebut dianggap terlalu jauh oleh Bibit karena menurutnya di pulau jawa masih terdapat tempat potensial untuk pembangunan pabrik gula yaitu Blora. “Makanya ditunjukan bekas bumi perkemahan yang sudah 20 tahun tidak di pakai,” ujarnya.

Setelah mendapat petunjuk lahan yang potensial, Kamadjaya akhirnya mengundang konsultan ternama dari England untuk melihat potensi lahan tersebut untuk dijadikan pabrik gula berbasis tebu. Setelah dinyatakan berpotensi untuk digunakan dimulailah PT. GMM melakukan kompensasi lahan yang awalnya hanya 27 hektar hingga mencapai 40 hektar untuk kebutuhan pembangunan jangka panjang. “Kita (PT.GMM) lakukan perluasan di sekitarnya,” ujarnya.

Eddy menjelaskan bahwa pada saat

perluasan lahan, PT. GMM sempat pula mengalami permasalahan munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempermasalahkan pembebasan lahan yang dilakukan perusahaan tersebut. Walaupun sempat mengalami permasalahan dengan LSM, PT. GMM tetap maju membangun pabrik gula tersebut dan tanpa disadari suara-suara sumbang dari LSM tersebut lenyap seketika bahkan di sekitaran pabrik muncul perkembangan ekonomi dari masyarakat itu sendiri. Ditambah lagi, PT. GMM adalah perusahaan pertama yang membuat pabrik dengan nilai investasi tertinggi dan nantinya juga pabrik ini akan memperkerjakan 60.000 untuk on farm sedangkan untuk di pabrik diperkirakan 600 orang. “Lihat ada rumah kos-kosan banyak warung-warung, efek dominonya telah terlihat,” ujarnya.

Different and gorgeousPabrik gula di Blora ini pastinya

bukanlah pabrik gula biasa karena mesin-mesin yang digunakan didatangkan langsung oleh Sutech Engineering Co.Ltd yang telah berpengalaman dalam membangun pabrik-pabrik gula di Thailand. Pabrik ini menggunakan planetary drive sebagai alat penggerak mesin-mesin

penggiling tebu, sehingga nantinya pabrik ini tidak akan mengalami low speed yang sering dialami oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia yang umumnya masih menggunakan tenaga uap atau turbin. Penggunaan juga akan meningkatkan efisiensi dari pabrik ini. “Kita generasi ketiga diatas, planetary

dengan electric drive pake listrik” ujar Bambang Subekti, Staf Ahli dan Direksi PT. GMM.

Lebih dalam tentang tenaga mesin-mesin di Pabrik Blora, Bambang merincikan tentang boiler yang digunakan akan menghasilkan tekanan steam 32 bar. Boiler ini dapat dinyalakan dengan ampas tebu dan nantinya akan menghasilkan 12 mega watt listrik. Nantinya tenaga tesebut untuk menggerakkan mesin-mesin di pabrik. “Ini nantinya akan mengerakkan quintet toople dengan effect evaporator (proses pabrik) dan close look circulation (kondensor),” ujarnya.

Bambang mengungkapkan bahwa pabrik ini dalam pengolahan gulanya menggunakan sistem karbonatasi yang mana pemurniaannya menggunakan kapur dan CO2 sebagai bahan pemurni. Kapur digunakan untuk mengendapkan nira lebih banyak 10 kali dari pada menggunakan sulfitasi sedangkan CO2 digunakan untuk mengendapkan kelebihan kapur serta membuat nira yang dihasilkan lebih tahan lama dan memiliki tingkat kemurnian yang baik ketika menjadi Gula Kristal Putih (GKP). Selain itu, Pabrik yang menggunakan karbonatasi di percaya lebih ramah terhadap lingkungan. “Jelas ini lebih ramah lingkungan. pabrik ini betul betul tidak ada toksin,” ujarnya.

Eddy juga menjelaskan pabrik ini menggunakan mekanisme gravitasi dalam pengolahannya sehingga dapat menghemat listrik, tempat, dan penggunaan pompa. Jika dilihat pabrik gula Indonesia umumnya dalam pengembangan menggunakan metode horizontal yang pasti akan memakan tempat dan lahan. Selain itu, penggunaan pompa diminimalkan untuk menghindari terjadinya abrasi yang kadanga harus membuat pabrik gula melakukan reprossesing kembali. Hal ini merupakan yang dihindari oleh pabrik yang menargetkan dapat mencapai ikumsa 100. “Pabrik kita modern dengan 6 level, analoginya

paBriK gula Blora:aYuK…nandur teBuPuasa 31 tahun indonesia atas kehadiran pabrik gula harus berakhir sudah, karena di jantung pulau Jawa atau lebih tepatnya di Kabupaten Blora telah berdiri pabrik gula milik Pt. gendhis Multi Manis (gMM) yang modern.

Oleh: Ilfan

d i tanah kelahiran, Sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer telah dibangun

sebuah pabrik gula yang berkapasitas 6000 Ton of Cane Perday (TCD) yang dapat ditingkatkan hingga mencapai 10.000 TCD dengan nilai investasi sebesar 1,8 Trilyun. Kesangsian pasti akan muncul ketika mengetahui bahwa Blora merupakan daerah terpencil dan minim akses, tetapi nyatanya pabrik milik PT. Gendhis Multi Manis telah berdiri kokoh di Blora. “Pabrik ini di desain sustainable sampai 12.000 TCD,” ujar Eddy Winoto, General Manager PT. GMM.

Sejarah Blora terpilih sebagai tempat pembangunan pabrik gula PT.GMM adalah ketika Bibit Waluyo,

CErOBOng

Page 30: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

56 sugar insight | Desember 2013 57sugar insight | Desember 2013

pabrik gula lain melebar secara horizontal ini vertikal kita turun prosesnya,” ujarnya.

Lanjut, Bambang, menjelaskan keunggulan pabrik ini dengan pabrik-pabrik gula lainnya dikarenakan memiliki overroll recovery yang tinggi. Hal ini jika di rinci, mills attraction yang dimiliki pabrik ini adalah 95 dengan bearing recovery 90, sehingga jika dikalikan menjadi 85,5 dengan tebu yang ada dengan asumsi all-kitnya 10. Dalam hal ini apabila melihat PG lain yang hanya memiliki recovery awal sejumlah 75-76, tentunya pabrik ini memiliki keunggulan yang jauh di depan pabrik lainnya dalam masalah ketahanan. “Pabrik gula lainnya paling 75 satu point diatas, karena awal recovery paling 75-76,” ujarnya.

Selain itu, Pabrik ini dilengkapi juga dengan beberapa peralatan yang belum pernah digunakan oleh pabrik gula di Indonesia, seperti Hydrolic Truck Deeper untuk membawa tebu yang petani hasilkan agar lebih efisien ketika diangkut ke pabrik. Hal ini nantinya akan membuat perpindahan tebu dari petani ke pabrik tidak melalui proses perpindahan yang biasanya dilakukan manual dengan tenaga manusia atau reel lori . “Kalau kita enggak kita directly dari hydrolic truck deeper jadi truk mundur, langsung di-hidrolis jatuh semuanya tergiling tidak ada ceceran,” ujarnya

Ditambah juga, Heavy Duty Shredder yang digunakan sebagai persiapan awal tebu ketika diproses di three mills akan menambah efisiensi pabrik dalam mengolah tebu ketika pemotongan. Hal ini akan menjadi kelebihan pabrik ini karena biasanya pabrik gula di Indonesia hanya menggunakan two cane cutter. Selain itu ketika masuk dalam three mills, pabrik ini juga menggunakan tambahan preasure reader di depannya agar hasil olahan tebu yang di dapat lebih maksimal hingga mencapai 90% dalam pembukaan sel-sel tebunya. Di sana pun telah disiapkan masin-mesin

lain yang dapat mengolah produk-produk derivatif tebu agar nantinya tanaman tebu memiliki lebih banyak pohon industri. “Di tanah seberang kita ada 10 hektar nanti pengembangan untuk pupuk, pakan ternak, dan tetes molases,” ujar Eddy.

Sedang untuk kebutuhan air di pabrik, PT. GMM membuat waduk (raw water pond) berukuran 120.000 m³ dengan kedalaman hingga mencapai 7 m yang memiliki kegunaan sebagai penampung air dari tebu. Yang mana, airnya akan digunakan sebagai penyuplai steam dengan sistem water treatment plan. Dalam prosesnya air tersebut akan dipisahkan dalam tiga jenis waduk dengan ukuran 40.000 m³ dan satu jenis waduk dengan ukuran 20.000 m³. Waduk-waduk ini dibangun untuk menepis keraguan-keraguan yang muncul, dikarenakan pabrik gula umumnya menggunakan air yang banyak sedangkan Blora adalah daerah yang kering. “Tempat ini kan gunung di puncak. kita pakai system close look (sirkulasi sistem tertutup) dengar air yang dari tebu.” ujar Bambang.

Eddy juga memberikan konfirmasi mengenai alasan pabriknya mengolah raw sugar yang berasal dari impor. Hal ini dikarenakan PT.GMM harus bertanggung jawab kepada investor-investor yang telah menanam modal di Blora. Selain itu, Break Even Point (BEP) pabrik ini jika diperhitungkan baru bisa tercapai 9-10 tahun kemudian, apabila pabrik ini bekerja 330 ton gula perhari. Sedangkan tanaman tebu merupakan tanaman musiman dengan siklus satu tahun sekali. Selain itu, menurutnya, akan sangat disayangkan apabila mesin-mesin yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara maksimal. “Kita (PT. GMM) akan tetap prioritas giling tebu. Mungkin, pabrik gula lain hanya 150. Kita bisa lebih kalau kapasitas tebu ada,” ujarnya.

Dia juga membenarkan nantinya PG Blora akan membuat raw sugar dengan ikumsa yang tinggi dari tebu petani ketika terjadi over capacity.

Hal ini dilakukan oleh PT. GMM agar petani dapat menyimpan dan memiliki alternatif jual, ketika produksi tanaman tebu mereka turun. “Itu (produksi tebu) tetap komitmen sepanjang tebu di blora ada sekitarnya. Gold-nya satu yaitu kemakmuran petani tebu di Blora dan khususnya petani tebu lainnya,” ujarnya

Secara total angka perputaran duit yang dihasilkan dari mesin-mesin yang dapat mengolah 6000 ton tebu

tersebut diperkirakan perhari sekitar 3,4 M, sedangkan dari gula yang dihasilkan pabrik ini nantinya akan 10 M perhari dengan estimasi 300 M pertahun. “Sudah termasuk idle capacity,” ujar Eddy

Pembangunan sinergi di BloraAgar terus berproduksi di masa depan butuh pondasi yang kuat terutama dari para petani tebu di Blora dengan

menggunakan sistem plasma. Oleh karena itu, PT.GMM memberikan stimulus-stimulus berupa motivasi berupa program dan jaminan dana agar pembangunan pabrik gula Blora merupakan jalan menuju komunitas tebu yang diimpikan Kamadjaya. Yang mana di musim giling 2014 ini, petani akan diberikan jaminan rendemen 8 untuk setiap tebu yang dihasilkan. Ditambah lagi, PT.GMM memberikan jaminan bagi hasil yang berani yaitu 70 untuk petani dan 30 untuk pabrik gula. “Dia (Kamadjaya) membangun komunitas petani blora. PG ini kan komunitas, siapa saja bisa masuk ke komunitas,” ujar Eddy.

PT. GMM juga telah mempersiapkan lahan seluas 25 hektar untuk pembibitan yang nantinya akan menciptakan varietas-varietas tebu baru. Pembibitan juga dilakukan bersama petani-petani yang berada di dekat aliran sungai dengan sistem plasma. Bibit-bibit ini berasal dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dengan jaminan kualitas Kebun Bibit Induk (KBI). Selain itu, P3GI juga telah di gandeng PT. GMM untuk melakukan bimbingan dan supervisi kepada para petani yang berniat membangun perkebunan tebu. Di mana petani-petani tersebut akan dibimbing di awal dalam pengolahan tebu termasuk waktu pengangkutan di tahun pertama setelah di potong biaya yang dikeluarkan pihaknya. Kemudian pada tahun kedua, petani hanya di supervisi oleh PT.GMM dan diharuskan untuk mandiri dalam mengolah perkebunan tebunya. “Panen tahun pertama setelah di potong biaya yang kita keluarkan tanpa bunga zero interest. Untungnya sisanya berapa? kita serahkan kepada petani,” ujar Eddy.

Sehingga saat ini, petani telah banyak diberikan bantuan pada penanaman awal berupa intensif dana hingga 7 milyar dan PT.GMM juga menjadi avalis kepada bank untuk para petani tebu dalam membangun perkebunan tebu. Peminjaman ini

dilakukan dengan sangat hati-hati dengan meninjau petani-petani dari laporan pabrik gula-gula yang telah lama berhubungan dengan petani-petani di Blora. “Mereka mengajukan melalui kelompok tani atau koperasi tebu,”ujar Wahyuningsih, Plantation Manager PT.GMM.

Di tambah lagi saat ini, PT. GMM sedang menjadi buah bibir petani dikarenakan banyaknya minat yang muncul dari petani-petani tebu akibat akan terkuranginya beban pengangkutan. Oleh karena itu, PT.GMM telah memiliki kesiapan penambahan equipment dan perhitungan konfigurasi kapasitas. “Tinggal melanjutkan tidak masalah penambahan bisa terus dilakukan dan tidak mempengaruhi produksi,” ujar Bambang.

Selain itu, PT. GMM telah membawa beberapa petani Blora untuk lebih memahami rahasia majunya pertanian tebu yang dimiliki petani-petani Thailand. Di mana terdapat perbedaan jelas attitude gaya berpikir petani Thailand yang mementingkan inovasi dalam menanam tebu, seperti menanam tebu dengan jarak tanam hingga 3 meter hanya untuk mendapat kualitas akar yang hingga mencapai satu setengah meter. Hal ini nantinya akan menyebabkan kualitas rendeman hingga mencapai dua digit. “Kita pembelajaran juga. kita memang jujur pelan-pelan agar bisa meng follow up itu,” ujar Bambang yang juga salah satu mantan General Manager BUMN ini.

Sampai saat ini, telah banyak komentar positif yang ditemukan oleh sugar insight tentang keberadaan pabrik gula ini. Seperti yang diungkapkan oleh Anton Sudibyo yang mengatakan sangat optimis terhadap keberadaan pabrik gula PT. GMM dan rendemen 8 yang diberikan. “GMM ini harapan terakhir petani. Kalau GMM seperti pecundang seperti pabrik-pabrik lainnya, enggak ada harapan kita menanam tebu. swasembada gula imposible terjadi,” ujarnya. l

CErOBOng

Page 31: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

58 sugar insight | Desember 2013 59sugar insight | Desember 2013

emakin meluasnya penanaman tebu di lahan kering membuat PT.

Perkebunan Nusantara XI tertarik mengembangkan bahan tanam unggul yang sesuai untuk lahan kering. Hasilnya, di tahun 2013, tanaman tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG) toleran kekeringan baru saja mendapat persetujuan dari Kementerian Pertanian dan dilepas sebagai varietas baru. Keberhasilan ini tidak terlepas dari kontribusi Bambang Sugiharto, Guru Besar Bidang Ilmu Biokimia Tanaman Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). PRG yang bernama resmi NXI-4T merupakan PRG yang di rakit oleh peneliti-peneliti di lingkungan PTPN XI yang bekerja sama dengan peneliti dari PT. Ajinomoto Jepang sebagai penyedia materi genetik serta peneliti dari Universitas Jember tempat dia bekerja.

“Saya sebagai peneliti tambahan yang berkonstribusi utamanya dalam pengujian keamanan lingkungan, keamanan pangan dan keamanan pakan serta pelepasan tebu PRG toleran kekeringan tersebut,” ujar Sugiharto merendah.

Menurut Sugiharto, tebu PRG NXI-4T di rakit dari jenis tebu BL (sebagai tetua/tebu asal) yang ditransformasi (diinsersi) dengan gen betA penyandi protein enzim choline dehydrogenase (CDH). Tebu BL didapat dari kebun koleksi PTPN XI

untuk pelepasan varietas tebu PRG di Tim Penilai dan Pelepas Varietas (TP2V). “Dan hasil pelepasan varietas tebu PRG toleran kekeringan dinamakan sebagai varietas tebu NXI-4T,” ujar Sugiharto.

Sugiharto menjelaskan bahwa NXT-4T memiliki keunggulan sifat toleran terhadap kekeringan dan mempunyai produksi gula tebu yang lebih tinggi dibandingkan varietas tebu lainnya di lahan tegalan. Walaupun, menurutnya varietas ini masih memiliki kelemahan lain yang merupakan sifat bawaan dari tanaman tebu BL. “Akan tetapi tebu varietas NXI-4T ini tidak beda atau mempunyai produksi sama bila ditumbuhkan pada lahan basah atau berpengairan,” ujarnya.

Selanjutnya, Sugiharto menjelaskan perakitan tebu PRG toleran tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya memakan waktu kurang dari lima tahun. Akan tetapi, dalam proses pengujian untuk mendapatkan sertifikasi keamanan lingkungan, pangan, dan pakan memakan waktu yang cukup lama. Sampai saat ini pun pihaknya masih berusaha untuk mendapat sertifikasi yang sama terkait PRG tebu yang memiliki keunggulan rendemen tinggi kepada Komisi Keamanan Hayati PRG. “Total waktu yang diperlukan sampai dengan pemanfaatan tebu PRG tersebut (NXI-4T) lebih dari 10 tahun,” paparnya.

Sugiharto memiliki target ke depan mendapatkan jenis tebu yang lebih baik dari NXI-4T dan bahkan berkeinginan juga untuk dapat merakit tebu dengan insersi double trait (sifat). Di mana nantinya, PRG tebu impiannya memiliki rendemen tinggi dengan sifat toleran terhadap kekeringan dan memiliki berbagai sifat toleran lainnya yang diperlukan untuk peningkatan produksi gula tebu nasional. “Target ke depan adalah peningkatan produksi gula sehingga dapat menambah keuntungan

sOsOK

BaMBang sugiharto, PeneMU teBU tRAnsgeniK

hoBi saYa BeKerja dan BelajarKaroly ereky yang merupakan father of biotechnology boleh bangga karena berkat dirinya ilmu bioteknologi menjadi sangat populer di masa kini. Di indonesia pun bermunculan sosok-sosok yang getol merekayasa dan salah satunya adalah Bambang sugiharto, guru Besar Universitas Jember yang berhasil meloloskan tebu transgenik.

s dan gen betA didapat dari kerjasama dengan PT. Ajinomoto Jepang. Proses perakitan tebu PRG NXI-4T diawali dengan transformasi genetik menggunakan ekplant kalus tebu BL dan Agrobacterium tumefacient yang membawa konstruk (kaset) gen betA dengan penanda gen katahanan terhadap antibiotik higromycin. Eksplant kalus yang tertransformasi (kalus transforman) didapat dengan cara seleksi ketahanan terhadap antibiotik higromysin, dan kemudian diregenerasi menjadi plantlet tebu transforman dan diaklimatisasi di rumah kaca (green house).

Tebu hasil aklimatisasi dari plantlet transforman, kemudian diuji dan dianalisis secara molecular, biokimiawi, fisiologis, dan penampilan fenotipiknya (termasuk pertumbuhan dan produksi gulanya) secara terbatas dalam rumah kaca. Hasil pengujian dan analisis kemudian dijadikan acuan untuk memilih event tebu transformant yang digunakan untuk Lapang Uji Terbatas (LUT / confined field trial) dengan seijin dan dibawah pengawasan Tim Teknis Komisi Keamanan Hayati PRG.

Hasil penelitian yang didapat kemudian digunakan sebagai dasar pengajuan sertifikasi keamanan lingkungan, pangan dan pakan di Komisi Keamanan Hayati PRG. Sertifikat keamanan lingkungan dan pangan yang didapat kemudian digunakan sebagai salah satu syarat

Page 32: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

60 sugar insight | Desember 2013 61sugar insight | Desember 2013

bagi industri gula tebu nasional dengan menggunakan pendekatan bioteknologi,” ujarnya.

Cintanya dengan Tebu dan PekerjaannyaKetertarikan Sugiharto terhadap tanaman tebu berawal ketika dia menempuh studi biokimia dan fisiologi molekuler tanaman di Nagoya, Jepang, tahun 1987. Ketertarikannya muncul karena tanaman tebu merupakan jenis tanaman C4 yang memiliki sifat yang sama dengan tanaman jagung yang ditelitinya ketika di Nagoya dulu. Menurutnya tanaman C4 secara fotosintetik memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain dan gula sukrosa adalah produk proses fotosintetis tanaman. Cinta Sugiharto semakin tinggi terhadap tanaman tebu karena ketika dia lulus di tahun 1992 kondisi produksi gula tebu masih tidak mencukupi kebutuhan nasional Indonesia dan harus terus mengimpor dari negara lain. “Maka saya tertarik melakukan penelitian untuk meningkatkan produksi gula tebu,” ujarnya.

Dia mengatakan untuk membuat Indonesia kembali menjadi negara penghasil gula dan pengekspor gula dunia dibutuhkan bioteknologi mengingat bahwa saat ini persilangan tebu sangat sulit dilakukan, varietas tebu saat ini sulit berbuah, biji tebu kecil sekali, ditambah mendapatkan varietas tebu baru melalu persilangan perlu waktu dan biaya lebih besar. Ditambah juga tebu merupakan tanaman tropis yang pastinya harus menjadi raja di negara Indonesia yang beriklim tropis. “Sebagaimana apa yang sudah dialami dan dinikmati pada waktu jaman Hindia Belanda yang telah membangun banyak industri gula tebu di Indonesia,” ujar Sugiharto.

Sehingga, menurutnya, Research & Development dalam upaya pembangunan industri gula sangat penting dan merupakan

bagian terdepan yang menentukan perkembangan dan kemajuan suatu suatu industri. Dia juga mendukung adanya industri produk turunan yang bisa dikembangkan dari industri gula tebu seperti bio-ethanol dari molasses (tetes), bagasse (ampas) tebu, biofertilizer dari filter cake (blotong) yang di dalam pengembangannya, bioteknologi akan memegang peranan penting.

“Pesatnya perkembangan bioteknologi ini mendorong kami untuk meningkatkan produksi gula tanaman tebu dengan pendekatan bioteknologi,”ujarnya bersemangat.

Sugiharto menilai pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sangat diperlukan. Hal ini menjadi sangat penting karena apabila dibandingkan negara-negara lain yang juga mengembangkan industri gula tebu, SDM berkualitas di Indonesia masih sangat minim. Dia juga berpendapat bahwa sarana-prasarana juga ikut andil berperan menentukan perkembangan bioteknologi tebu, tetapi tidak sepenting SDM yang berkualitas dan adanya prioritas dari pemerintah dalam pengembangan bioteknologi tebu. “Saya merasa bidang dasar biologi molekul, biokimia dan fisiologi sel kurang diminati, oleh karena itu saya sangat menginginkan adanya peningkatan minat dan penguasaan bidang kajian biologi dasar tersebut,” ujarnya.

Sebagai guru besar bidang ilmu biokimia tanaman, Ilmu yang selama ini digelutinya memiliki peranan dalam kemajuan bioteknologi tebu, dikarenakan berguna untuk mengerti proses dasar biologi yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan sel biologi. Di mana tanpa mengerti proses-proses dasar biologi akan sulit untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan sel biologi. Karena nantinya ilmu ini akan menjadi dasar untuk melakukan rekayasa untuk meningkatkan kemampuan sel biologi kearah yang

lebih baik. “Jadi pengetahuan proses dasar biologi adalah penting untuk mengerti pertumbuhan sel dan mengendalikanya agar bisa lebih bermanfaat pada kehidupan manusia,” ujar Sugiharto.

Pekerjaan sebagai peneliti dilakukan Sugiharto dengan sungguh-sungguh karena baginya semua pekerjaan adalah rumit dan tidak ada pekerjaan yang mudah dilakukan. Sehingga semua pekerjaan rekayasa genetika yang dikenal sangat rumit tetap ditekuninya dengan kemauan besar. Karena baginya akan selalu ada jalan untuk berhasil. “Itu bidang yang saya tekuni, maka saya jalankan,” ujarnya.

Polemik Transgenik Tanaman transgenik masih menjadi perdebatan karena beberapa kasus terdahulu tanaman transgenik dikatakan berbahaya, dikarenakan pemakaian gen lain dalam suatu tumbuhan memiliki kemungkinan dapat menimbulkan efek samping. Hal ini, menurut Sugiharto, Pemerintah Indonesia telah mengatur perundangan untuk PRG yaitu PP 21 tahun 2005 dan juga Permentan no.61 tahun 2011. Di mana dalam garis besar perundangan tersebut disebutkan

pengujian apa saja yang harus dilakukan agar tanaman PRG aman di konsumsi. Disebutkan pula bahwa materi genetik yang diinsersikan harus dijelaskan dari sisi lingkungan dan harus dikaji, apakah PRG tersebut nantinya menularkan materi genetik ke tanaman atau organisme lain.

Dari sisi bahan pangan juga harus dikaji apakah akan menimbulkan toksiksitas atau alergenitas apa tidak, termasuk kemudahan untuk dicerna dan dihancurkan dalam perut, semuanya sudah diatur dalam perundangan tersebut. Begitu lengkap dan banyaknya persyaratan analisa yang harus dilakukan, membuat Sugiharto yakin bahwa tanaman PRG aman dikonsumsi. Walaupun dia membenarkan terlalu banyaknya pengujian yang harus dilakukan kerap membuat peneliti menjadi frustasi.

Khusus untuk produk rekayasa genetika tebu, perlu dia tambahkan bahwa gula yang digunakan untuk konsumsi adalah produk olahan hasil pemurnian di pabrik gula. Sehingga selama proses pemurnian gula menjadi kristal, apabila tanaman tebu tercampur dengan senyawa lain maka tidak akan terbentuk kristal gula. Hal ini pun mencakup produk-produk samping lain seperti bio-ethanol dan

mono sodium glutamate. “Mengapa menjadi polemik

produk rekayasa genetika ini terus terang saya tidak mengerti alasannya. Kami sebagai peneliti bekerja dengan atas dasar fakta ilmiah dan nilai kejujuran. Peneliti belajar dari fenomena alam yang kemudian dikaji dan dikembangkan menjadi suatu produk yang lebih bermanfaat bagi kehidupan,” ujarnya.

Lebih dalam, Sugiharto berkisah bahwa PRG merupakan organisme yang dihasilkan dari proses transformasi genetik (insersi materi genetik). Jika dicermati, proses transformasi genetik terjadi secara ilmiah seperti virus dan bakteri berkembang dengan masukan materi genetik ke sel lainnya. Di dalam persilangan tanaman juga terjadi proses penggabungan gen ke individu lainnya sehingga terbentuk individu baru yang diinginkan. “Jadi jelas bahwa rekayasa genetika merupakan proses yang dipelajari dan dikembangkan dari fenomena alam,” ujar Sugiharto.

Lanjut, Sugiharto menjelaskan tentang pekerjaannya yang dianggap mengubah hakikat awal ciptaan Tuhan. Menurutnya peneliti itu belajar dari fenomena alam dan alam sebagai anugrah Tuhan selalu menjadi tempat inspirasi bagi ilmu pengetahuan yang tidak akan habis di gali manusia. Di mana manusia juga harus mempelajari perilaku alam agar terhindar dari bencana yang datang dari alam itu sendiri. Baginya manusia dengan akal pikirannya selalu berusaha untuk menghasilkan hal-hal baru yang bisa membuat kehidupan dan teknologi baru yang akan muncul mestinya akan membuat perubahan, tetapi teknologi yang muncul itu pastinya akan diteliti terlebih dahulu tentang kegunaan dan keuntungannya sehingga dampak merugikan dapat dihindari. “Suatu hal yang juga ingin saya tambahkan disini bahwa manusia itu mempunyai akal budi yang terbatas, tidak ada manusia super yang bisa mengacak-acak kondisi

alam,” ujarnya.Oleh karena itu, ia sangat berharap

banyak terhadap CDAST (Center for Development of Advanced Science and Technology) tempatnya bernaung sebagai peneliti yang kerap mengembangkan advanced science dalam bidang biologi molekul, bioproses ataupun nano-biology, kedepannya akan menjadi pusat penelitian untuk pengembangan advanced science dalam bidang kimia, fisika, dan bahkan bisa mengintegrasikan bidang-bidang tersebut menjadi suatu teknologi unggulan. “Terkait kemajuan tebu PRG, hanyalah kelompok penelitian saya saja yang berkaitan dengan tebu PRG. Kelompok peneliti lain mempunyai spesifikasi dan unggulan masing-masing,” ujarnya.

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa bioteknologi adalah suatu alat yang ditawarkan dengan segala keuntungan dan kekurangan yang ada, untuk terus meningkatkan kinerja industri gula. “Saya memilih bioteknologi untuk mendukung industri gula nasional dengan segala kelebihan dan keuntungan yang ada dibandingkan tehnik lainnya,” ujarnya.

Bambang Sugiharto tampaknya merupakan orang yang sangat sibuk dan mencintai pekerjaannya, jika melihat daftar kesibukannya yang selalu melakukan penelitian, memberikan kuliah, diskusi dengan mahasiswa atau teman sejawat, melakukan seminar dan menulis publikasi.

Di tambah lagi usahanya dalam menjalin kerjasama dan sharing pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan akademiknya dengan mitra baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Akan tetapi, semua hal itu di lakukannya dengan senang hati karena baginya semua itu adalah kesenangan. “Saya tidak tahu apakah saya punya hobi atau tidak, yang jelas saya suka bekerja dan belajar,” ujar lelaki kelahiran Kediri tahun 1955. l

sOsOK

Page 33: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

62 sugar insight | Desember 2013 63sugar insight | Desember 2013

area parkir yang cukup luas dengan dipayungi teduhnya pohon beringin tua yang mungkin sudah berumur ratusan tahun. Dihiasi dengan kolam air mancur yang cukup eye catching, dapat membuat Anda nyaman untuk mengisi waktu berlibur maupun sekedar beristirahat.

Museum Gula Klaten yang berdiri sejak tahun 1982, memiliki luas sekitar 15 Ha. Museum ini memiliki beberapa bagian yang akan membawa Anda lebih dekat dengan masa-masa jaya industri gula Indonesia. Sebelum memasuki gedung museum utama, Anda akan menemukan koleksi-koleksi yang dipajang di halaman museum. Salah satu koleksi yang menarik adalah lokomotif tua dengan nama yang cukup unik dan mistis yaitu

“Simbah” (Si Mbah). “Simbah” dibuat pada tahun 1989 dan dulu digunakan untuk mengangkut tebu dari kebun ke areal pabrik. Selain “Simbah”, masih banyak koleksi-koleksi museum yang berada diluar bangunan utama, seperti mesin uap yang biasa digunakan untuk menggerakan mesin penggiling tebu dan gerobak sapi yang memiliki fungsi yang sama dengan lokomotif pembawa tebu.

Di samping koleksi-koleksi ini, terdapat sebuah bangunan yang merupakan bangunan utama museum. Bangunan utama ini merupakan bangunan tua dengan desain yang kental dengan masa-masa kolonial Hindia Belanda. Anda akan menemukan ciri yang khas di bangunan ini, seperti temboknya tebal dan kuat, langit-langit yang tinggi serta keramik yang sangat khas dengan memancarkan aura gelap namun elegan. Memasuki ruang pertama Anda akan menemukan peta Jawa Tengah yang cukup besar di salah satu sisi tembok ruangan tersebut. Peta tersebut dihiasi dengan titik-titik lampu yang tersebar ke beberapa area di Jawa Tengah, yang menunjukan adanya pabrik gula di daerah itu.

Titik-titik lampu tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu lampu hijau merepresentasikan pabrik gula yang masih beroperasi hingga sekarang sedangkan lampu merah merepresentasikan pabrik gula yang sudah tidak beroperasi bahkan sudah hilang atau hancur. Jika Anda memperhatikan peta tersebut, Anda akan merasa khawatir dikarenakan banyaknya lampu merah yang menyala dibanding lampu hijau. Dari sekitar 60 pabrik gula yang beroperasi di Jawa Tengah, hanya 8 pabrik yang hingga saat ini masih beroperasi. Pemandu museum pun menjelaskan, “Ini terjadi karena banyak lahan perkebunan yang beralih fungsi, dari tebu menjadi lahan pemukiman”.

Di sisi lain, Anda akan menemukan diorama-diorama ladang tebu pada zaman dahulu. Diorama ini bercerita mengenai sistem penanaman tebu

yang secara spesifik ditujukan untuk penanaman tebu di lahan basah. Anda akan mengetahui sejarah sistem penanaman tebu. Dulu, sebagian besar perkebunan tebu di Jawa Tengah ditanam di lahan persawahan. Sistem ini dinamakan sistem Reynoso (Reynoso Plantation System), yang mengambil nama dari Don Alvaro Reynoso yang menemukan sistem ini pada tahun 1863. Tahap-tahap sistem Reynoso ini dapat dilihat seluruhnya dari diorama-diorama yang terpampang rapi, dimulai dari proses pengeringan tanah yang berawal dari lahan sawah hingga proses panen tebu.

Berjalan ke ruangan berikutnya, Anda akan melihat beberapa koleksi museum yang dapat digunakan di

Jalan-Jalan

MuseuM gula, Klaten:

saKsi Bisu KejaYaan gula nasional

alan raya Jogjakarta-Solo selalu ramai dilalui kendaraan yang melintas.

Namun jarang para pengendara yang menyadari adanya sebuah bangunan yang berdiri sejak puluhan tahun lalu dan dibatasi oleh pagar sepanjang beberapa meter. Tepatnya di Klaten, di sebuah komplek pabrik gula tua dan kokoh berdiri sebuah Museum Gula yang menjadi saksi bisu kejayaan pergulaan Indonesia. Gondang Baru, nama pabrik tua itu, yang tentu

asing di telinga Anda yang awam dengan pergulaan. Tetapi tidak bagi stakeholder gula di Indonesia.

Dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 30 menit, dari arah Jogjakarta Anda sudah dapat mencapai tempat ini. Terletak di sebelah kiri jalan, Anda akan menemukan sebuah gerbang besar yang bertuliskan “Gondang Winangoen”. Saat Anda memasuki gerbang yang merupakan pintu masuk ke areal komplek Pabrik Gula Gondang Baru, Anda akan menemukan

J

Page 34: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang

64 sugar insight | Desember 2013

Jalan-Jalan

Salah satu koleksi lain yang menarik adalah museum ini memiliki deretan botol-botol sampel gula hasil produksi pabrik gula Gondang Baru yang hingga saat ini menjadi acuan standar mutu bagi pabrik-pabrik gula lainnya.

“Ini karena gula yang diproduksi pabrik kita (Gondang Baru), masih menggunakan sistem produksi karbonatasi rangkap. Jadi sistem ini sistem yang paling tua, jadinya gula yang dihasilkan juga punya standar kemurnian yang tinggi”, ujar sang pemandu.

Ruang selanjutnya Anda akan dihadapkan dengan miniatur pabrik gula Gondang Baru. Miniatur ini dibuat sangat detail dan membuat Anda merasa penasaran untuk melihat pabrik gula yang memang berada tidak jauh dari museum ini. Disini pemandu kembali menjelaskan step by step dalam memproduksi gula. Hal ini dapat membantu Anda dalam memahami proses produksi gula agar tidak lost pada saat Anda berada di pabrik gula Gondang Baru yang sesungguhnya.

Sampai di akhir ruangan, ditampilkan potret para pemimpin Gondang Winagoen sejak pabrik ini dinasionalisasikan oleh negara pada tahun 1960-an. Dilengkapi dengan sketsa ruang kerja direktur, Anda akan merasakan suasana yang unik seperti layaknya Anda berada tepat di

ruangan seorang direktur Gondang Winangoen.

Ada salah satu foto yang menarik, yakni foto dari Mangkunegaran IV. Dalam sejarah industri gula Indonesia, beliau merupakan figur yang penting. Beliau merupakan satu-satunya warga pribumi yang memiliki pabrik gula pada masa kolonial. Di masa itu sebagian besar pabrik gula berada dibawah kepemilikan asing, kepemilikan pabrik gula oleh Mangkunegaran IV merupakan salah satu fakta sejarah yang signifikan.

Tur museum gula berakhir di ruangan ini. Bagi anda yang berminat, anda dapat melanjutkan tur dengan mengunjungi pabrik gula untuk melihat bagaimana pabrik gula beroperasi, dan kemudian anda juga dapat melepas lelah dengan bersantai di café yang disediakan oleh manajemen. l

pabrik gula pada umumnya. Seperti mesin-mesin kuno yang digunakan dalam pabrik tebu, diantaranya turbin air manual, mesin uap, dan lainnya. Yang menarik, mesin kuno ini memang pernah digunakan di areal pabrik gula Gondang Baru hingga akhirnya menjadi koleksi museum karena sudah tidak dapat berfungsi dengan baik. Di dalam ruangan ini pun, Anda dapat melihat koleksi varietas tebu yang beragam dengan mengetahui berbagai macam karakteristik tebu dan keunikannya masing-masing. Terdapat 6 varietas yang ditampilkan dalam museum ini, sebagian besar varietas ini ditemukan oleh Pusat Penelitian Gula yang terletak di Pasuruan. Keenam varietas tebu inilah yang cocok untuk ditanam di wilayah Klaten dan sekitarnya. Tidak hanya sekedar melihat berbagai macam varietas tebu, Anda juga akan mengetahui berbagai hama dan penyakit yang seringkali menyerang tanaman tebu.

Memasuki ruangan ketiga, Anda akan menemukan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan proses pertumbuhan hingga perawatan tebu yang berkaitan dengan proses produksi gula. Ruangan ini memperkenalkan alat-alat yang digunakan dalam proses pertumbuhan sampai produksi gula walaupun hanya berupa sampel. Anda akan melihat alat-alat yang digunakan untuk melakukan proses pemupukan, penyiraman, pengukur curah hujan, bahkan peralatan laboratorium yang berfungsi untuk memantau setiap tahapan produksi gula dalam pabrik.

GeNeRAL INfoRmATIoN:Wisata agro “Goendang Winangoen”Jalan Klaten – Jogja Km. 5 plawikan,

Jogonalan, Klaten0272 – 326057/322328

Twitter: @wisata_edukasi FB: Wisata agro Gondang Winangoen (Klaten)

Opening hours: 8am – 5pm (everyday)admission: idr 5.000 (domestic tourists),

idr 10.000 (foreign tourists)

Fresh News

Fresh Idea

aLaMaT redaKsi :apartemen The Boulevard Lt. UG C-1

Jl. KH. Fakhrudin no. 5 Jakarta pusat 10250Telp/ Fax (021) 31991482 . email: [email protected]

Fresh Business

Page 35: insight - Asosiasi Gula Indonesiaasosiasigulaindonesia.org/wp-content/uploads/2013/12/SUGAR-INSIGHT-PERDANA.pdf · a.n asosiasi Gula indonesia EditOrial EtalasE P erusahaan BUMN yang